Pendekatan Klinis terhadap Infeksi pada Gangguan Imunitas akibat Kemoterapi Pujo Prawiro Negoro Merlyna Savitri PENDAHULUAN Pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, sering muncul permasalahan baru yakni penurunan jumlah sel darah putih yang menyebabkan kerentanan tubuh terhadap agen infeksius. Seringkali pada penderita yang menjalani terapi dengan agen sitotoksik ditemukan penurunan neutrofil, yang merupakan pertahanan lini pertama terhadap Infeksi. Neutropenia dipertimbangkan sebagai kegawatan pada kasus onkologi dan dapat menyebabkan konsekuensi serius seperti komplikasi infeksi dan kematian (Lutsberg, 2012; Villafuerte-Gutierrez et al, 2014). Gangguan imunitas (atau defisiensi imun) adalah keadaan di mana kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit menular mengalami penurunan fungsi atau sama sekali tidak didapatkan. Sebagian besar kasus imunodefisiensi didapat (sekunder) tetapi beberapa orang dilahirkan dengan cacat pada sistem imunodefisiensi (primer) disebut sebagai imunodefisiensi primer. Pasien Hematologi-Onkologi, baik anak-anak maupun orang dewasa, memiliki insiden infeksi yang sangat tinggi, yang dihasilkan dari defisiensi imun iatrogenik yang didapat selama kemoterapi. Regimen kemoterapi selain dapat replikasi tumor juga dapat bersifat toksik bagi semua elemen dalam sumsum tulang, termasuk sel darah putih yang kompeten secara imunologis. (Steele, 2012). Etiologi Infeksi pada pasien dengan gangguan immunitas akibat kemoterapi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, maupun virus. Hal ini dapat terjadi karena penurunan sistem imun tubuh dapat menjadikan tubuh terserang infeksi . Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia tertera pada Tabel 1. (Dockrell D, Lewis L.L, 2001). Neutropenia adalah kondisi yang ditandai dengan konsentrasi abnormal dari granulosit neutrofil (< 1500 sel / mm3). Neutropenia dan infeksi adalah efek samping utama kemoterapi yang dipengaruhi oleh dosisnya. Resiko infeksi awal dan komplikasi selanjutnya berkaitan langsung dengan kedalaman dan durasi neutropenia. Berat ringannya neutropenia bergantung pada intensitas rejimen kemoterapi. Resiko infeksi mulai meningkat pada jumlah neutrofil absolut di bawah 1.000 / μl dimana kemoterapi menurunkan jumlah neutrofil dan menyebabkan defek kemotaksis dan fagositik (Ozer et al, 2000). Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 3 November 2020 1 Tabel 1 . Jenis organisme penyebab demam pada pasien neutropenia (Dockrell D, Lewis L.L, 2001). Organisme Sering Terjadi Jarang Terjadi Spesies Corynebacterium Spesies Bassilus Spesies Clostridium Bakteri gram positif S. Aureus Staphylococcus coagulase negatif Enterococcus Streptococcus Viridans E. Coli K. Pneumoniae P. Aeruginosa Fungi C. albicans C. Kruzei T. Glabrata Spesies Aspergillus Bakteri gram positif Virus Herpes simpleks Varicela-zoster Spesies Enterobacter Spesies Acitenobacter Cirrobacter Freundii Serretia marcescens Spesies Legionela Mucor Rhizopus Fusarium Trichospoon Pseudoallescheria boydii Cryptococcus Malazesia Furfur Cytomegalovirus Patogenesis Imunosupresi pada pasien dengan kanker terjadi akibat jaringan imunosupresif dari situs tumor primer ke organ limfoid sekunder dan pembuluh perifer yang dimediasi oleh beberapa tumour delivered soluble factor (TDSF) seperti interleukin-10 (IL-10), Transforming growth factor beta (TGF-β) dan Vascular endothelial growth factor (VEGF). TDSFs menginduksi sel myeloid imatur dan sel T regulator sesuai dengan perkembangan tumor, hal ini menghasilkan penghambatan pematangan sel dendritik dan aktivasi sel T dalam respon imun spesifik tumor. Selsel tumor tumbuh dengan mengeksploitasi situasi proinflamasi dalam lingkungan mikro tumor, sedangkan sel imun dipengaruhi oleh TDSF selama situasi antiinflamasi dimana hal tersebut dimediasi oleh gangguan pembersihan sel apoptosis yang menyebabkan pelepasan IL-10, TGF-β, dan prostaglandin E2 (PGE2) oleh makrofag. Akumulasi sel-sel apoptosis yang terganggu menginduksi antibodi anti-DNA yang diarahkan terhadap antigen diri, yang menyerupai status pseudoautoimun (Kim et al, 2006). Respon proinflamasi meningkatkan pertumbuhan tumor itu sendiri, kondisi proinflamasi memainkan peran penting dalam perkembangan tumor. Sebaliknya, sel-sel imun seperti sel 2 dendritik dan makrofag, berfungsi dalam kondisi anti-inflamasi. Pembersihan sel apoptotik dan sel yang tidak perlukan selama proliferasi sangat penting untuk pergantian sel di homeostasis, tetapi dalam sel kanker, pembersihan sel apoptosis terganggu oleh salah satu TDSFs yaitu Soluble phosphatidylserine (sPS). sPS yang diturunkan dari tumor berinteraksi dengan reseptor fosfatidilserin pada sel dendritik (DC) dan makrofag di mana keterikatan oleh DC dan makrofag dihambat. Lebih lanjut, interaksi sPS dengan reseptor fosfatidilserin dalam makrofag mendorong pelepasan mediator anti-inflamasi seperti IL-10, TGF-β dan PGE2 di mana sel-sel imun dialihkan ke situasi anti-inflamasi. Gangguan pembersihan sel apoptosis menghasilkan autoantibodi, yang berkontribusi untuk memprovokasi situasi pro-inflamasi dalam sel tumor. Perlu dicatat bahwa selsel apoptosis yang terganggu menghasilkan antibodi anti-DNA dapat meningkatkan produksi sel Treg, yang mengarah pada penghambatan fungsional sel T dan menyebabkan hambatan pada sel imunitas lain seperti sel granulosit (Kim et al, 2005). Pendekatan klinis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Febrile Neutropeni adalah suhu oral ≥ 380C dua kali pengukuran yang berlangsung lebih dari 1 jam atau pada dua kali pengukuran dalam waktu 12 jam, atau suhu oral ≥ 38,80C dalam satu kali pengukuran dan tidak didapatkan tanda- tanda non infeksi Tanda dan gejala infeksi pada pasien neutropenia dapat menjadi minimal terutama pada mereka yang menerima kortikosteroid. Kewaspadaan diperlukan . Pada setiap pasien berisiko demam neutropenia yang menunujukkan gejala tidak enak badan, hipotensi, dengan suhu badan demam ringan atau tidak demam, karena mungkin akan berkembang menjadi septikemia Gram-negatif dan membutuhkan pengobatan yang tepat. Pada pasien neutropenia, infeksi dapat terjadi mulai dari saluran cerna atas atau bahwa yakni berupa stomatitis, periodontitis, esophagitis, colitis dan lesi perianal, infeksi saluran pernapasan atas atau bawah berupa pharyngitis, sinusitis, pneumonia, atau bronkopneumonia serta infeksi kulit oleh karena trauma lokal ataupun kateter vena. Pendekatan klinis untuk pasien dengan neutropenia sekunder akibat penggunaan kemoterapi imunosupresif terdiri dari pemantauan cermat untuk episode infeksi dan pemberian awal terapi antimikroba. Setelah infeksi akut tercatat, pasien harus dirawat dengan durasi lebih lama karena pemberantasan bakteri tanpa bantuan aktivitas granulosit menjadi lebih sulit . (Steele, 2012) 3 Perlu Anamnesa lengkap mengenai penyakit hemato-onkologi sebelumnya dan jenis kemoterapi apa yang diberikan. Terdapat tipe kemoterapi yang dapat menginduksi neutropenia seperti penggunaan golongan obat antrasiklin, taksan, inhibitor topoisomerase, platinum, gemsitabine, vinorelbine, dan beberapa agen alkilasi lain seperti siklofosfamide dan ifosfamide (Lyman et al, 2011). Ketika neutropenia bersamaan dengan peningkatan suhu tubuh, pasien biasanya mengalami infeksi patologis yang disebabkan 33% oleh mikroorganisme patogenik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada bagian insiden, beberapa mikroorganisme termasuk bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif sebagaimana jamur dan virus dapat menyebabkan infeksi serius pada pasien kanker dengan febril neutropenia. Demam ini dikaitkan dengan produksi sitokin yang bertanggung jawab dalam mengaktivasi respon imun yang menyebabkan terjadinya demam. Produksi sitokin ini juga dipengaruhi oleh pirogen eksotoksin (Saito et al, 2013). Pemeriksaan Penunjang Selain gambaran klinis tersebut di atas, diperlukan juga pemeriksaan penunjang lain dalam mendiagnosis dan menentukan pengobatan yang akan diberikan antara lain: pemeriksaan radiologis berupa foto toraks, pemeriksaan laboratorium rutin darah tepi, kimia darah, fungsi hati, fungsi ginjal, CRP kuantitatif, laboratorium khusus mikrobiologi yakni kultur darah, urin, feses, dan swab . Stratifikasi Risiko National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan institusi lain telah mengeluarkan stratifikasi dari resiko FN dan mendukung penggunaan indeks Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC) untuk mengidentifikasi pasien bergantung resiko dari skor MASCC. Tabel 2 . Indeks Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC) Characteristic Burden of febrile neutropenia with no or mild symptoms No hypotension (systolic BP > 90) No chronic obstructive pulmonary disease Solid tumor or hematological malignancy with no previous fungal infection No dehydration requiring parenteral fluids Burden of febrile neutropenia with moderate symptoms Outpatient status Age < 60 years 4 Weight 5 5 4 4 3 3 3 2 Pada tabel 2 jika ditemukan pasien dengan skor <21 dipertimbangkan sebagai resiko rendah dan dirawat jalan, dimana pasien dengan skor >21 dipertimbangkan sebagai resiko tinggi dan harus dirawat inap (Ramsy et al, 2016). Tabel 3. Karakteristik pasien dengan resiko komplikasi dari febril neutropenia (Lyman et al, 2010). Resiko Rendah Resiko Tinggi Kebanyakan faktor yang disebutkan Faktor yang disebutkan dibawah dibawah Tidak ada faktor resiko tinggi Resiko MASCC skor indeks <= 21 Indeks resiko MASCC > 21 Status pasien rawat jalan pada saat Status rawat inap pada saat terjadinya terjadinya demam demam Komorbiditas klinis insignifikan atau tidak stabil secara medis, termasuk: Tidak terkait dengan penyakit komorbid akut secara independen yang mengindikasikan terapi pasien rawat inap atau observasi ketat Instabilitas hemodinamik Mukositis oral / GI yang menggangu proses menelan, menyebabkan diare berat. Nyeri abdomen onset baru, mual, muntah, atau diare. Perubahan neurologis / kebingungan Infeksi kateter intravaskular Durasi pendek yang terantisipasi (≤ 100 sel / Neutropenia berat memanjang mcL selama < 7 hari) terantisipasi (≤ 100 sel / mcL selama ≥ 7 hari) Status performa baik (ECOG 0-1) Keganasan tidak terkontrol / progresif, pneumonia atau infeksi kompleks pada presentasi klinis; terapi alemtuzumab; mukositis derajat 3-4 Tidak ada insufisiensi hepatik Insufisiensi hepatik (lima kali ULN terhadap aminotransferase) Tidak didapatkan insufisiensi ginjal Insufisiensi (bersihan kreatinin < 30 mL / menit) < 60 tahun Remisi keganasan parsial atau komplit Tidak ada temuan lokal infeksi Suhu < 39oC Foto thoraks normal Tidak ditemukan hipotensi Rerata respirasi ≤ 24 Tidak didapatkan penyakit paru kronis atau diabetes Tidak ada dehidrasi / kebingungan Tidak didapatkan riwayat infeksi jamur atau terapi antijamur pada pasien usia 6 bulan 5 Tabel 3 menggambarkan kondisi pasien terkait dengan resiko rendah dan tinggi bergantung pada NCCN dan panduan lainnya. Dalam stratifikasinya, perkembangan dari peraturan prediksi resiko dan ketersediaan dari agen antimikroba yang sesuai, unit ambulasi, dan bukti dari keamanan dan efikasi telah dibuat pada pasien dengan resiko rendah. Pasien dengan resiko rendah pun biasanya dilakukan rawat inap dalam 24 hingga 48 jam untuk evaluasi dan inisiasi pemberian antibiotik spektrum luas diikuti oleh terapi rawat jalan dalam durasi episode neutropenia (Lyman et al, 2010). Manifestasi Klinis Infeksi Bakteri Komplikasi infeksi kemoterapi yang paling umum adalah infeksi bakteri. Patogen spesifik yang diisolasi dari pasien yang mengalami neutropenia yang terinfeksi hampir secara eksklusif adalah bakteri piogenik atau enterik. Patogen gram positif yang paling umum termasuk Staphylococcus (epidermidis dan aureus), Streptococcus (pyogenes dan pneumoniae), dan Enterococcus faecalis. Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella adalah patogen gram negatif yang paling umum (. Satu studi mengevaluasi distribusi organisme untuk 909 episode bakteremia dan hasil terkait di antara 799 pasien demam neutropenik dengan kanker. Di antara episode bakteri, 46% disebabkan oleh organisme gram positif, 42% disebabkan oleh organisme gram negatif, dan 12% adalah polimikroba. Infeksi di situs selain darah saja diamati pada 242 episode, dan paru-paru terlibat dalam 40% kasus (Babady et al, 2016). Resiko untuk jenis infeksi tertentu juga mengalami peningkatan oleh keganasan yang mendasarinya dan defek imunitas yang terkait. Produksi antibodi yang menurun atau tidak berfungsi atau pembersihan kompleks imun seperti pada multiple myeloma, leukemia limfositik kronis, dan pasien yang mengalami splenektomi dapat mengakibatkan peningkatan risiko infeksi bakteri. Patogen yang umum pada pasien dengan splenektomi termasuk bakteri yang dienkapsulasi seperti S. pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Neisseria meningitidis (Sumaraju et al, 2001). Defek pada sel-T yang terkait dengan penyakit Hodgkin mengakibatkan peningkatan risiko infeksi dengan patogen intraseluler, seperti Listeria monocytogenes, Salmonella sp, Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium tuberculosis (Karakas et al, 2003). Bakteremia sering terjadi pada pasien kanker, dan kultur darah adalah metode utama diagnosis. Namun, tingkat pemulihan yang rendah untuk kultur darah, dengan satu ulasan mengutip tingkat pemulihan 20 hingga 30% selama episode demam, menghadirkan tantangan untuk menegakkan diagnosis yang cepat dan pasti. Hal ini sangat penting pada pasien kanker yang tanda-tanda infeksi umum mungkin hilang atau tidak dapat dibedakan dari sindrom tidak menular. 6 Sindrom umum ini ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda khas infeksi (misalnya, peningkatan neutrofil), dan demam mungkin merupakan satu-satunya penanda bakteremia. Oleh karena itu, profilaksis antibakteri secara rutin digunakan, terutama untuk pasien berisiko tinggi. Pasien kanker yang menjalani terapi kortikosteroid, yang menekan respons inflamasi, dapat datang dengan bakteremia afebris. Untuk menghindari masalah ini, beberapa institusi yang merawat pasienpasien ini menggunakan pengawasan kultur darah, yang dikumpulkan pada interval yang telah ditentukan pasca transplantasi (Kameda et al, 2016). Kejadian kematian pada pasien dengan keganasan yang mengalami keadaan imunokompromais dapat disimpulkan bahwa profilaksis fluoroquinolone rutin akan lebih besar manfaatnya bagi pasien berisiko tinggi yang menjalani perawatan untuk leukemia akut atau transplantasi sel induk. Profilaksis fluoroquinolon juga dapat direkomendasikan untuk beberapa pasien dengan tumor atau limfoma yang mengalami neutropenia mendalam selama setidaknya 7 hari dan untuk pasien yang tidak mendapatkan penggantian G-CSF. Meskipun demikian, FDA memberikan peringatan bahwa antibiotic fluoroquinolone telah dikaitkan dengan kejadian paralisis dan berpotensi menyebabkan efek samping permanen yang melibatkan tendon, otot, sendi, saraf perifer, dan SSP. fluoroquinolone harus ditunda pada pasien dengan infeksi bakteri serius yang manfaatnya lebih besar daripada efek sampingnya atau untuk infeksi bakteri yang mungkin tidak ada pilihan pengobatan lain. Dalam konteks pedoman ini, harus dipertimbangkan hasil pengobatan yang dihasilkan oleh fluoroquinolone . Untuk pasien yang tidak toleran atau alergi terhadap fluoroquinolones, dapat menggunakan cefpodoxime sebagai penggantinya (Bucaneve et al, 2005; Wojenski et al, 2014). Infeksi Virus Infeksi virus sering terjadi pada pasien yang menjalani kemoterapi antineoplastik. Virus herpes simpleks HSV-1 dan HSV-2 adalah penyebab umum erupsi kulit. HSV dapat menyebabkan berbagai macam sindrom klinis, termasuk pneumonia. Pasien immunocompromised dengan infeksi virus varicella-zoster diseminata dapat memiliki keterlibatan paru. Serokonversi atau reaktivasi primer dari virus herpes manusia lainnya (cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, HHV6) dapat terjadi pada populasi pasien ini sebagai akibat dari imunosupresi. Infeksi umum lainnya yang terjadi pada inang neutropenik termasuk virus yang didapat melalui Respiratory syncytial virus (RSV) dan virus influenza. Infeksi RSV dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien dengan kanker (Anaissie et al, 2004). 7 Secara umum, diagnosis infeksi virus pernapasan pada pasien ini dilakukan dengan menggunakan metode molekuler, karena peningkatan sensitivitas dan waktu penyelesaian yang cepat. Beberapa tes multipleks komersial untuk mendeteksi virus pernapasan sekarang tersedia untuk pengujian, terutama menggunakan sampel swab nasofaring. Banyak laboratorium telah memvalidasi jenis spesimen tambahan, terutama sampel saluran pernapasan yang lebih rendah, untuk penggunaan di luar label dengan pengujian ini. Selain virus patogen (virus influenza dan RSV), banyak jenis virus yang dapat menginfeksi seperti picornavirus (rhinovirus dan enteroviruses) dan coronavirus. Sebuah studi terkini menyoroti dampak infeksi virus influenza pada populasi pasien yang mengalami penekanan pada sistem kekebalannya pada pasien onkologi. Dalam penelitian ini, semua pasien yang tertekan sistem imun memerlukan rawat inap untuk penatalaksanaan influenza, dengan 18% memerlukan perawatan di unit perawatan intensif untuk ventilasi mekanis (Memoli et al, 2014). Infeksi Jamur Aspergillosis invasif paling sering muncul sebagai infeksi paru dan tetap berhubungan dengan kematian yang signifikan pada pasien dengan keganasan. Aspergillus fumigatus adalah spesies yang paling sering ditemukan, tetapi spesies lain yang sering ditemukan termasuk A. niger, A. flavus, dan A. terreus. A. terreus sangat penting karena peningkatan resistensi terhadap amfoterisin B dan potensinya menyebabkan fungemia pada pasien dengan keganasan hematologis (Kontoyiannis et al, 2010). Manifestasi klinis infeksi spesies Candida pada pasien kanker meliputi kandidemia, kandidiasis yang menyebar luas, dan kandidiasis mukosa. Kandidemia dapat berkembang lebih awal pada pasien kanker neutropenia yang persisten. Penggunaan profilaksis flukonazol dapat membuat penurunan yang signifikan pada penyakit kandida invasif (dari 18% menjadi 7% dalam satu penelitian), terutama yang disebabkan oleh Candida albicans. Peningkatan spesies Candida non-albicans yang resisten terhadap flukonazol telah diamati di berbagai pusat geografis. C. glabrata adalah spesies Candida non-albicans yang paling umum ditemukan pada pasien dengan keganasan hematologis, tetapi spesies lain, termasuk C. krusei dan C. parapsilosis, juga diamati (Babady et al, 2016). 8 Penatalaksanaan Terapi Pada pasien Febrile Neutropenia perlu dipikirkan terapi sesuai dengan infeksi yang menyertai. Namun dalam beberapa kasus harus diberikan antibiotic empiris dalam keadaan akut . (Steele, 2012). Terapi antibiotik Pada pasien Febrile Neutropenia sangat diperlukan pengobatan empiric sebelum diperoleh hasil kultur mikrobiologi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Adapun beberapa prinsip pengobatan empiric pada neutropenia febril adalah sebagai berikut: Diberikan secepatnya umtuk mengurangi mortalitas dan morbiditas Empiris, disesuaikan keadaan lingkungan, surveillance dan keadaan pasien Bakterisidal lebih diutamakan pada keadaan neutrofil rendah daripada yang bersifat bacteriostatic Broad sprectum agar mengenai semua jemis pathogen, sampai dibuktikan jenis pathogen yang sebenarnya. Dalam hal pemilihan jenis antibiotik yang akan diberikan terdapat beberapa konsep pengobatan yang hendaknya perlu diperhatikan antara lain adalah pemberian monoterapi atau antibiotik kombinasi. Antibiotik yang dipilih harus sudah diteliti dan terbukti efektif, terutama untuk spectrum kuman pathogen. Pola kuman dan pola resistensi kuman terhadap antibiotik di setiap rumah sakit atau ruang perawatan juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik. (Steele, 2012) (Dockrell D, Lewis L.L, 2001).. Permulaan monoterapi dengan antipseudomonal beta lactam seperti cefepim, meropenem, imipenem-cilastatin atau piperacilin-tazobactam juga menunjukkan hasil yang efektif dan dilanjutkan untuk digunakan di pusat-pusat kanker. Namun, banyak ahli yang juga menghindari monoterapi dengan ceftazidim karena peningkatan resistensi bakteri gram negative dan penurunan untuk melawan bakteri gram positif seperti streptokokus dibandingkan dengan alternative terbaru. Dosis untuk pasien dengan fungsi ginjal normal adalah: Cefepime – 2 g IV setiap 8 jam Meropenem – 1 g IV setiap 8 jam Imipenem-cilastatin – 500 mg IV setiap 6 jam 9 Piperacillin-tazobactam – 4.5 g IV setiap 6-8 jam Ceftazidime – 2 g IV setiap 8 jam Antibiotik lainnya (aminoglikosida, fluoroquinolon dan atau vankomisin) mungkin dapat ditambahkan regimen awal pada pasien dengan komplikasi (hipotensi dan atau perubahan status mental, selulitis, pneumoni) atau jika resistensi antibiotik telah terbukti. Monoterapi dengan menggunakan antibiotik betalaktam yang berfungsi melawan pseudomonas aeruginosa (seperti cefepim, meropenem, imipenem- cilastatin, piperacillin-tazobactam, atau ceftazidime) seringkali dipakai. Percobaan klinis dengan menggunakan ceftazidime, imipenem-cilastatin, atau meropenem memperlihatkan hasil yang sama jika dibandingkan dengan regimen dua obat. Sebagian besar regimen dievaluasi hasil terapinya pada basil gram negative, khususnya p.aeruginosa. Banyak kombinasi regimen antibiotik yang telah dipelajari sebagai terapi awal pada demam neutropenia, tapi tidak ada yang terbukti lebih superior dibanding yang lainnya atau dibanding monoterapi. Satu yang mendekati yaitu menggunakan betalaktam spectrum luas dikombinasikan dengan aminoglikosida. Contoh lainnya dari regimen kombinasi termasuk double betalaktam atau betalaktam-fluoroquinolon. (Steele, 2012) (Dockrell D, Lewis L.L, 2001). Pengobatan Antijamur Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal Amfo B. Antimikotik yang baru seperti vorikonazol, kaspofungin dikatakan juga efektif terhadap blastomises. Kelebihan amfoterisin B adalah spektrumnya yang lebih luas pada jamur candida dan juga aspergilus dibandingkan dengan flukonazol yang spektrumnya terbatas terhadap Candida albicans saja . Selain itu juga bermanfaat terhadap histoplasma kapsulatum, koksidioides, kriptokokkus neoformans dan blastomices. Pemberian anti jamur untuk pasien risiko ringan atau sedang dapat dimulai pada hari ke 6-8 sedangkan untuk risiko tinggi pada 72-96 jam pertama. Dosis amphotericin B 0,5-1 mg/KgBB/hari, diberikan dalam 250 cc Dekstrosa 5% dalam waktu 206 jam. Maximal cumulative dose adalah tidak melebihi 3,6 gr. Untuk menghindari reaksi anafilaksis sebaiknya terlebih dahulu diadakan Test dose 1 10 mg dalam 20 cc Dekstrose 5% selama 30 menit. Dalam hal ini terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya dipergunakan azol. (Steele, 2012) (Dockrell D, Lewis L.L, 2001).. Pengobatan Antivirus Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empiric. Obat antivirus hanya diindikasikan bila terdapat bukti klinis atau laboratorium adanya penyakit virus. Obat inti virus terbaru seperti valasiklovir dan famsiklovir mempunyai absorbs yang lebih baik dari pada asiklovir. Infeksi sistemik sitomegalovirus jarang didapatkan pada pasien neutropenia febril, kecuali yang menjalani transplantasi sumsum tulang atau pada pasien AIDS. (Steele, 2012) (Dockrell D, Lewis L.L, 2001). Pencegahan Upaya pencegahan demam neutropenia yang disebabkan oleh keganasan bukanlah hal yang mudah, akan tetapi penting dilakukan langkah-langkah untuk menurunkan resiko infeksi, diantaranya dengan mempertahankan lingkungan yang bersih (contoh: lingkungan tubuh dan makanan) untuk pasien dan staff medis. Tindakan prekausa untuk demam neutropenia bervariasi bergantung pada aspek yang berbeda seperti derajat neutropenia, tipe kanker, dan faktor resiko. Pada individu yang mengalami keganasan hematologi memanjang dan transplantasi sumsum tulang dimana pemanjangan neutropenia diobservasi untuk mengurangi kontak dengan hewan peliharaan dan tanaman hidup (Ramsy et al, 2016). Ketika beberapa regimen obat kanker digunakan, demam neutropenia tidak dapat dicegah, tetapi tambahan prosedur dapat diaplikasikan untuk mencegah komplikasi yang berat. Periode febrile neutropenia dapat dikurangi menggunakan koloni granulosit faktor stimulasi (G-CSF) pada pasien dan dapat membantu pembentukan neutrophil menjadi lebih optimal. G – CSF ( filgrastim ; r - metHuG - CSF ) adalah sitokin utama yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan neutrofil di sumsum tulang . Filgrastim memiliki efek farmakologi yang menyerupai cara kerja endogen manusia G - CSF ; meningkatkan aktivasi , proliferasi , diferensiasi sel progenitor neutrofil dan meningkatkan fungsi neutrofil matang . Hal ini mengakibatkan peningkatan granulopoiesis tanpa mengurangi neutrofil sehingga akan terjadi penurunan kejadian , durasi dan beratnya neutropenia. Pada panduan terapi NCCN, direkomendasikan bahwa individu dengan resiko tinggi neutropenia (>20% resiko mengalami neutropenia) sebelum memulai regimen terapi atau yang 11 menerima regimen kemoterapi terkait dengan resiko tinggi neutropenia mendapatkan manfaat dari penggunaan G-CSF. Reduksi dosis kemoterapi dan perubahan interval dosis juga merupakan prosedur pencegahan yang dapat digunakan (Lustberg et al, 2012). Ringkasan Beban diagnosis kanker melampaui dampak fisik dan psikologis penyakit; dampak sosial dan finansial dari kanker, perawatan kanker, dan perawatan suportif pada pasien dan keluarga dapat mendalam bagi pasien di seluruh dunia Pasien dengan situasi imunokompromis yang disebabkan oleh keganasan cenderung mengalami berbagai sindrom klinis. Manifestasinya tergantung pada penyebab imunosupresi, derajat imunosupresi, infeksi endemik, sistem atau organ dengan cedera dominan, dan penyakit terkait lainnya seperti keganasan dan penyakit infiltratif. Kebutuhan untuk pengawasan dan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi pada pasien ini untuk memastikan diagnosis dan intervensi dini. 12 Daftar Pustaka Lustberg MB. Management of Neutropenia in Cancer Patients. Clin Adv Hematol Oncol 2012;10(12): 825-826. Villafuerte-Gutierrez P, Villalon L, Losa JE, Henriquez-Camacho C. Treatment of Febrile Neutropenia and Prophylaxis in Hematologic Malignancies: A Critical Review and Update. 2014. Hindawi Publishing Corporation. http://dx.doi.org/10.1155/2014/986938. Ozer H, Armitage JO, Bennett CL, Crawford J, Demetri GD, Pizzo PA, Schiffer CA, Smith TJ, Somlo G, Wade JC, et al. 2000 update of recommendations for the use of hematopoietic colonystimulating factors: evidence-based, clinical practice guidelines. American Society of Clinical Oncology Growth Factors Expert Panel. J Clin Oncol 2000;18:3558–3585. Lyman GH, Christoper HL, Agboola O. Risk Models for Predicting Chemotherapy-Induced Neutropenia. The Oncologist. 2005; 10:427-437. Saito T, Aiba K. Pathophysiology and diagnosis of cancer patients with febrile neutropenia]. Gan To Kagaku Ryoho 2013; 40(6): 684- 687. Lyman GH, Rolston KVI. How We Treat Febrile Neutropenia in Patients Receiving Cancer Chemotherapy. American Society of Clinical Oncology. 2010;6(3): 149-152. Rasmy A, Amal A, Fotih S, Selwi W. Febrile Neutropenia in Cancer Patient: Epidemiology, Microbiology, Pathophysiology and Management. Journal of Cancer Prevention & Current Research. 2016. 5(3):00165. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al; Infectious Diseases Society of America. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011;52(4):e56- e93. doi: 10.1093/cid/cir073 Babady NE, Kraft CS. Laboratory Diagnosis of Infections in Cancer Patients: Challenges and Opportunities. J Clin Microbiol. 2016 Nov; 54(11): 2635–2646. Sumaraju V, Smith LG, Smith SM. Infectious complications in asplenic hosts. Infect Dis Clin North Am. 2001; 15:551-565.x. Karakas Z, Agaoglu L, Taravari B, Saribeyoglu E, Somer A, et al. Pulmonary Tuberculosis in Children with Hodgkin’s Lymphoma. Hematol J. 2003;4:78-81. 13 Kameda K, Kimura S, Akahoshi Y, Nakano H, Harada N, et al. 2016. High incidence of afebrile bloodstream infection detected by surveillance blood culture in patients on corticosteroid therapy after allogeneic hematopoietic stem cell transplantation. Biol Blood Marrow Transplant 22:371– 377. doi:10.1016/j.bbmt.2015.09.019. Anaissie EJ, Mahfouz TH, Asian T, Pouli A, Desikan R, et al. The natural history of respiratory synctial virus infection in cancer and transplant patients: implications for management. Blood. 2004; 103:1611-1617. Steele RW. Managing Infection in Cancer Patients and Other Immunocompromised Children. Ochsner J. 2012 Fall; 12(3): 202–210. Memoli MJ, Athota R, Reed S, Czajkowski L, Bristol T, Proudfoot K, Hagey R, Voell J, Fiorentino C, Ademposi A, Shoham S, Taubenberger JK. 2014. The natural history of influenza infection in the severely immunocompromised vs nonimmunocompromised hosts. Clin Infect Dis 58:214– 224. doi:10.1093/cid/cit725. Kontoyiannis DP, Marr KA, Park BJ, Alexander BD, Anaissie EJ, et al. 2010. Prospective surveillance for invasive fungal infections in hematopoietic stem cell transplant recipients, 2001–2006: overview of the Transplant-Associated Infection Surveillance Network (TRANSNET) Database. Clin Infect Dis 50:1091– 1100. doi:10.1086/651263. Bucaneve G, Micozzi A, Menichetti F, et al: Levofloxacin to prevent bacterial infection in patients with cancer and neutropenia. N Engl J Med 353: 977-987, 2005 Wojenski DJ, Barreto JN, Wolf RC, et al: Cefpodoxime for antimicrobial prophylaxis in neutropenia: A retrospective case series. Clin Ther 36: 976-981, 2014 Kim R, Emi M, Tanabe K. Cancer cell immune escape and tumor progression by exploitation of anti-inflammatory and pro-inflammatory responses. Cancer Biol Ther. 2005;4:924–33. Dockrell dan Lewis. Patients with neutropenia & fever. Dalam: Current diagnosis & treatment in infectious diseases. Wilson WR, Sande MA., penyunting. Edisi pertama. New york, Toronto; Langr med books/ McGraw-Hill 2001. h. 347-55 NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Prevention and Treatment of Cancer-Related Infections, version 2. 2017. National Cancer Comprehensive Network website. www.nccn.org/professionals/physician_gls/PDF/infections.pdf. Published February 21, 2017. Accessed September 27, 2017. 14