REKAYASA SISTEM ENERGI NASIONAL Penulis: Budhi M. Suyitno Desain Cover: Usman Taufik Tata Letak: Handarini Rohana Editor: Reza Abdu Rahman ISBN: 978-623-459-102-6 Cetakan Pertama: Juli, 2022 Hak Cipta 2022, Pada Penulis Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang Copyright © 2022 by Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung All Right Reserved Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. PENERBIT: WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG (Grup CV. Widina Media Utama) Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat Anggota IKAPI No. 360/JBA/2020 Website: www.penerbitwidina.com Instagram: @penerbitwidina PRAKATA PENULIS Disertai puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pada akhirnya buku Referensi Rekayasa Sistem Energi, hadir di depan sidang pembaca khususnya para peneliti dan mahasiswa. Berbagai kendala dan rintangan menyebabkan penyelesaian buku ini agak mundur. Bersyukur banyak kolega peneliti, dosen, staf kependidikan, mahasiswa dan lingkungan keluarga sangat mendukung dan tanpa henti selalu memberikan semangat. Pada kesempatan ini penyusun bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih kepada mereka yang telah berjasa baik langsung maupun tak langsung atas penerbitan buku ini sebagai berikut: 1. Para pimpinan Universitas Pancasila (UP) yang telah menyediakan berbagai fasilitas sehingga proses penerjemahan berjalan lancar; 2. Pimpinan Fakultas Teknik Universitas Pancasila (FTUP) yang telah menyediakan fasilitas dan berbagai bantuan untuk penerbitan buku ini; 3. Para Guru Besar di lingkungan UP yang selalu menyediakan waktu untuk tukar pikiran dan diskusi yang bermanfaat; 4. Para kolega peneliti di lingkungan Program Studi Magister Teknik Mesin (MTM) dan Program S1 Teknik Mesin (TM) di lingkungan FTUP yang senantiasa berbagi ide dan gagasan untuk mengembangkan metoda penelitian terapan di FTUP; 5. Para peneliti di Pusat Kajian Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang menginspirasi para peneliti sehingga bergairah terus guna menambah materi HAKI dan inovasi; 6. Para staf kependidikan di lingkungan FTUP yang dengan tulus melakukan banyak koreksi dan penyempurnaan buku sehingga siap cetak; 7. Para mahasiswa tingkat Sarjana dan Pasca Sarjana FTUP yang telah bersama-sama mengembangkan penelitian tepat guna sesuai kebutuhan pasar; 8. Anggota keluarga di rumah yang memberikan kedamaian dan semangat untuk menyelesaikan tulisan ini; iii 9. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan kontribusinya selama ini sampai proses penerbitannya. Demikian penyusun telah sampaikan terimakasih setulus-tulusnya, bila ada kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja mohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya. Jakarta, 23 April 2022 Budhi M. Suyitno iv DAFTAR ISI PRAKATA PENULIS ················································································· iii DAFTAR ISI ····························································································· v BAB 1 PENGANTAR ENERGI ····································································· 1 A. Latar Belakang ··················································································· 1 B. Hukum Dasar Energi ········································································· 2 C. Energi dan Pelestarian Lingkungan···················································· 3 BAB 2 SISTEM ENERGI ············································································· 7 A. Umum ································································································ 7 B. Pengertian Sistem ·············································································· 7 C. Sistem Makro ····················································································· 8 D. Sistem Mikro ······················································································ 9 E. Siklus Rekayasa Sistem Energi (RSE) ·················································· 9 F. Kegunaan Laporan Studi Kelayakan RSE ········································· 10 G. Rekayasa Perancangan Desain (Project Design Engineering) ·········· 11 H. Evaluasi Pasar ·················································································· 11 BAB 3 SUMBER DAYA ENERGI NASIONAL ··············································· 13 A. Umum ······························································································ 13 B. Kebutuhan Energi Nasional ····························································· 15 C. Cadangan Energi Tak Terbarukan ···················································· 17 D. Cadangan Energi Alternatif······························································ 21 E. Energi Alternatif Lainnya dan Bauran Energi ··································· 29 BAB 4 SEJARAH SINGKAT ENERGI NASIONAL·········································· 35 A. Umum ······························································································ 35 B. Bonanza Minyak ·············································································· 36 C. Keanggotaan OPEC ·········································································· 37 D. Fluktuasi Harga BBM 1970-2016 ····················································· 38 E. BBM Komersial ················································································ 41 v BAB 5 KONSERVASI, TRANSISI DAN KETAHANAN ENERGI ······················· 45 A. Umum ······························································································ 45 B. Konservasi Energi············································································· 46 C. Revolusi Industri dan Transisi Energi ··············································· 50 D. Transisi Energi ················································································· 54 E. Ketahanan Energi ············································································ 60 BAB 6 PENUTUP ···················································································· 65 A. Umum ······························································································ 65 B. Gagasan Tesla ·················································································· 66 C. Bumi Hijau dan Makmur ·································································· 67 REFERENSI ···························································································· 68 PROFIL PENULIS ···················································································· 77 vi PENGANTAR ENERGI A. LATAR BELAKANG Energi berasal dari kata ergon yang artinya kerja dalam Bahasa Yunani. Selain kerja, energi bisa berbentuk potensial yang terkandung di dalam setiap benda atau materi yang diam dan energi gerak (kinetik) manakala benda atau materi tersebut sedang bergerak dengan kecepatan tertentu. Energi dapat berubah bentuk apa saja, namun energi bersifat kekal. Hukum kekekalan energi mengajarkan kepada kita bahwa total energi sampai kapanpun tak berubah. Kekekalan energi ini berlaku untuk seluruh alam semesta beserta isinya. Baik di dalam inti atom sampai ukuran terkecil maupun di bentangan semesta tak terbatas, energi selalu ada dan kekal. Energi dapat didefinisikan sebagai materi fisik yang tak kasat mata, berupa daya atau kekuatan, menjadi sumber hidup dan kehidupan manusia khususnya serta alam semesta (universe) umumnya. Dengan kata lain, energi berada di segala sesuatu dan pada saat yang sama energi juga meliputi segala sesuatu. Selanjutnya agar lebih memahami energi dalam kehidupan sehari-hari, marilah kita mulai dengan energi sekitar kita. Sesuai penggunaannya oleh masyarakat konsumen kita kenal energi primer dan sekunder. Energi primer biasanya langsung digunakan sesuai keadaan fisik asli dari sumbernya. Seperti batubara misalnya langsung menjadi arang pembakaran pada lokomotif uap, minyak mentah dan gas bumi langsung dipakai sebagai bahan bakar, sinar matahari sebagai pengering gabah, kayu bakar untuk memasak dan angin sebagai penggerak perahu layar. Kalau diurut akan ditemukan masih banyak contoh energi primer di sekitar kita. Selanjutnya energi primer ini dapat diolah menjadi energi sekunder yang lebih berfaedah bagi masyarakat konsumen seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas (BBG) dan listrik. B. HUKUM DASAR ENERGI Untuk melengkapi dasar pembahasan lebih lanjut, maka berikut akan disampaikan landasan teori dasar tentang hukum energi dari sudut Termodinamika. a. Hukum Kesetimbangan Termal (Termodinamika ke Nol): “Bila kesetimbangan termal terjadi pada dua sistem dengan sistem ketiga, maka satu sama lainnya masing-masing mengalami kesetimbangan termal” b. Hukum Konservasi Energi (Termodinamika 1): “Energi bersifat kekal, yaitu tak ada awal penciptaan dan tak ada akhir pemusnahan, dan hanya berubah bentuknya saja” dengan dasar perhitungan: Q = W + ΔU dimana Q = energi yang diterima/dilepas, W = energi berupa kerja/usaha, dan ΔU = gradien energi. c. Hukum Entropi (Termodinamika 2) Hukum Termodinamika 2 membakukan konsep entropi sebagai karakteristik fisik sistem termodinamika. Entropi memprediksi arah proses spontan dan menentukan apakah proses tersebut mampu balik atau tidak, walaupun selalu tunduk terhadap ketentuan konservasi energi sebagaimana hukum Termodinamika 1. Hukum Termodinamika 2 dapat diformulasikan melalui observasi bahwa entropi dari sistem terisolasi yang menandakan evolusi spontan tak dapat berkurang, yaitu saat mencapai kondisi keseimbangan termodinamika dengan nilai entropi tertinggi. Jika semua proses dalam sistem mampu balik, maka entropi akan konstan. “Energi berpindah alamiah dari benda yang lebih panas ke benda yang dingin; dan sebaliknya energi hanya 2 | Rekayasa Sistem Energi Nasional akan berpindah dari benda dingin ke benda panas bila dikenakan energi kerja”. d. Hukum Temperatur dan Entropi (Termodinamika 3) “Pada suhu absolut nol derajat maka entropi suatu kristal sempurna adalah sama dengan nol” C. ENERGI DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN Dalam pemanfaatan energi belakangan ini masyarakat konsumen juga harus mempertimbangkan masalah kelestarian lingkungan hidup. Energi fosil seperti batubara, minyak dan gas bumi yang banyak digunakan oleh industri dan sektor transportasi tercatat sebagai penyumbang terbesar polusi karbon dioksida (CO2). Selain efek gas rumah kaca, perusakan ozon di atmosfer dan perubahan iklim terkait erat dengan masalah lingkungan. Pemanasan global terjadi sebagai akibat ulah manusia yang abai akan pelestarian lingkungannya. Sehingga terjadi peningkatan suhu permukaan planet bumi yang merata dalam kurun waktu seabad terakhir ini. Dalam kurun beberapa dekade terakhir mulai terjadi perubahan pemakaian bahan bakar fosil, dari dominasi minyak bumi bergeser ke gas bumi dan batubara. Sedangkan penggunaan bahan bakar alternatif non fosil, atau energi baru terbarukan (EBT) masih mengalami stagnasi sampai tahun 2015, sebagaimana terlihat pada angka bauran energi (energy mix) yang hanya 6,9 %. Data mutakhir bauran energi EBT di tahun 2020 sudah ada kenaikan mencapai 11%. Tekad pemerintah untuk terus memperbaiki bauran energi, khususnya EBT, menjadi relevan mengingat sumber daya alam non fosil yang tersedia sangat berlimpah dan menunggu dieksploitasi bagi kemakmuran Bersama. Pemerintah saat ini telah menerapkan kebijakan “single price policy” untuk bahan bakar minyak (BBM) di seluruh Nusantara. Penerapan kebijakan ini memungkinkan rakyat yang tinggal di pelosok manapun pedalaman dapat menikmati harga wajar sebagaimana di wilayah perkotaan seperti di pulau Jawa. Disparitas harga terutama di Indonesia Timur seperti wilayah Papua cenderung membaik, menjadi lebih stabil pada tingkat harga wajar. Sementara itu khusus minyak solar, di beberapa tempat yang banyak aktivitas industrinya, konsumen rumah tangga harus Pengantar Energi | 3 bersaing dengan industri pertambangan. Antrian truk cukup panjang di SPBU guna memperoleh solar, menjadi pemandangan yang lumrah. Sudah saatnya pemerintah melakukan terobosan dalam mengkampanyekan pemakaian bio-solar, baik dari bahan dasar kelapa sawit, tumbuhan jarak atau lainnya. Kebijakan ini tentunya harus disertai dengan perbaikan tata kelola BBM secara nasional dan penyesuaian harga yang berpihak pada konsumen. Pengalaman satu dekade lalu hendaknya tak terulang lagi, kebijakan pemerintah terhadap pengembangan bio-solar yang tidak konsisten telah menimbulkan kerugian bagi para investor sehingga mereka urung berpartisipasi. Keadaan ini terjadi karena harga bio-solar jauh lebih mahal dibanding solar-minyak bumi yang mendapat subsidi. Selain itu, para investor yang akan mengembangkan bio-alkohol (ethanol dan methanol) dari tumbuhan jagung, tebu, singkong dan lainnya juga mengalami nasib serupa. Sejalan dengan program utama kelompok G-20 tahun 2022 ini, Indonesia sebagai pemegang mandat Presidensi, telah mencantumkan Transisi Energi G20 menjadi salah satu dari 3 program unggulan. Transisi Energi G20 yang telah diumumkan berlangsung sejak 1 Desember 2021 sampai dengan KTT G20 pada November 2022. Bagi Indonesia program ini sangat penting sebagai bentuk komitmen Presidensi untuk berpartisipasi aktif dalam usaha menggantikan energi fosil menuju penggunaan energi hijau (green energy) dan sekaligus perubahan iklim global ke arah lebih baik. Pembangkit listrik energi hijau misalnya dapat dikembangkan dari biomassa, tenaga air, mikrohidro, gelombang laut, air pasang-surut, tenaga angin, tenaga surya, panas bumi dan energi termal lautan tersedia berlimpah di bumi Indonesia. Demikian pula energi bersih lainnya seperti listrik berasal dari perbedaan keasaman dan salinitas tanah, generator magnet permanen, generator “polisi tidur” dan pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium dapat memperbanyak pilihan bagi masyarakat konsumen. Penerapan program Transisi Energi G20 ini dapat memicu gairah masyarakat guna mengembangkan kemandirian energi hijau berbasis dengan sumber daya lokal. Pemerintah diharapkan peka terhadap kondisi ini dengan melengkapi dengan berbagai paket kebijakan utamanya berupa Program Pendorong (Push Program) dan Insentif 4 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Penarik (Pull Incentive). Sehingga melalui paket kebijakan tersebut, inisiatif masyarakat dalam pengembangan energi hijau akan tumbuh menjadi suatu gerakan nasional yang masih dan intensif. Pola pembinaan petani plasma di sektor pertanian dapat pula diterapkan dalam pengunduhan EBT di sektor energi. Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan pusat dapat memfasilitasi teknologi tepat guna, metode pembiayaan yang mudah tapi efektif, tata kelola energi dan pola distribusinya ke seluruh lapisan masyarakat konsumen. Dengan demikian EBT akan menggantikan energi fosil yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dan memakmurkan bumi. Pengantar Energi | 5 6 | Rekayasa Sistem Energi Nasional SISTEM ENERGI A. UMUM Dalam keseharian, secara sederhana masyarakat mengenal dua macam sistem energi, yaitu sistem makro dan mikro. Sistem makro meliputi alam semesta di luar manusia (macro system) dan sistem mikro manusia itu sendiri (micro system). Keduanya merupakan sistem yang identik, dengan kata lain manusia merupakan miniatur alam semesta dengan segala kompleksitasnya. Itulah sebabnya ada kalimat bijak “Kenalilah dirimu sendiri (move in) sebelum mengenal alam semesta (move out)”. Ringkasnya dengan bahasa sederhana move in dulu sebelum dapat move on. Analogi dengan ulasan di atas, untuk mempermudah pembahasan energi lebih lanjut, maka dibedakan menjadi sistem energi makro di tingkat nasional dan sistem energi mikro di tingkat proyek, produk dan sebagainya. B. PENGERTIAN SISTEM Suatu sistem makro/mikro bisa terdiri dari kumpulan sub sistem atau elemen sistem yang saling berkontribusi, terkait, berinteraksi, dependensi satu dengan lainnya dan terintegrasi menjadi satu kesatuan guna mencapai tujuan sistem bersama (Gambar 2.1). Selanjutnya bermacammacam istilah di dalam praktek kesisteman yang sering dijumpai diantaranya sebagai berikut: a. System thinking adalah cara memvisualisasikan dan menganalisis sistem secara konseptual maupun fisiknya; b. System approach diperlukan guna merealisasikannya melalui kerangka kerja untuk merumuskan dan menyelesaikan masalah. Disamping itu system approach juga merupakan metodologi untuk penyelesaian masalah sekaligus mengelola sistem. c. System Engineering Suatu ilmu perancangan sistem yang kompleks secara totalitas untuk memastikan seluruh subsistem bekerja sebagaimana seharusnya secara efektif dan efisien. Juga dapat dikatakan all systems go, mengandung arti keseluruhan sistem yang mencakup sampai jutaan elemen/komponen yang membentuk karya rekayasa beserta pendukung sistemnya dengan seluruh personil dan fasilitas lainnya siap untuk jalan. d. Rekayasa Sistem Energi (mengubah system engineering), ilmu perancangan sistem yang diterapkan di sektor energi sebagai sumber penggerak semua elemen/komponen untuk menghasilkan unjuk kerja, produk jadi atau pelayanan secara terus menerus berkesinambungan dan berimbang dalam harmoni semesta. Gambar 2.1 Skema suatu proses pada “sistem” C. SISTEM MAKRO Sistem energi nasional yang mempunyai input (Anggaran, Lembaga/ Kementerian, SDM sipil/militer, UU/Regulasi, Manajemen, dll), CPU (central processor unit: memproses semua input untuk memenuhi kriteria dan standar output), pengaruh eksternal/internal mencerminkan berbagai masukan tambahan yang harus dikelola dalam proses yang optimal, umpan balik memberikan peluang terus-menerus memperbaiki diri guna 8 | Rekayasa Sistem Energi Nasional memenuhi output. Dalam sistem makro energi nasional, dikenal ada 8 elemen dasar yang meliputi: a. Undang-undang ESDM b. Peraturan Operasional c. Struktur Kelembagaan: VMST d. Tenaga Ahli e. Petunjuk Pelaksanaan f. Perizinan, Sertifikasi dan Lisensi g. Pengawasan dan Pemeriksaan h. Penyelesaian Masalah Keamanan dan Keselamatan. D. SISTEM MIKRO Sistem mikro meliputi proyek energi regional maupun urge, produk energi berupa mesin, motor, engine, pembangkit energi dan peralatan lainnya yang merupakan replika sistem makro. Berbeda dengan sistem makro yang berskala nasional di tataran kebijakan pada sistem mikro lebih berorientasi ke implementasi fisik unsur-unsur yang lebih spesifik secara bersama. E. SIKLUS REKAYASA SISTEM ENERGI (RSE) Suatu sistem baik makro/mikro akan terus berjalan manakala mengikuti siklus berkesinambungan dan semua tahapan proses berfungsi sebagaimana mestinya. Secara ringkas Rekayasa Sistem Energi (RSE) meliputi tahapan sebagai berikut: a. Pra-Investasi: meliputi antara lain gagasan RSE, pra-studi kelayakan RSE, studi kelayakan RSE, studi pendukung dan studi lingkungan; b. Pembangunan RSE: meliputi antara lain engineering design, pembangunan RSE, pengadaan bahan baku/komponen/suku cadang/ fasilitas RSE, produksi percobaan, pelatihan dan persiapan operasinya; c. Operasi RSE: meliputi antara lain perawatan, ekspansi, inovasi dan rehabilitasi; d. Umpan balik: mekanisme ini merupakan proses terus menerus dan sensitif terhadap adanya permasalahan, ancaman, tantangan yang menghadang, peluang yang terbuka, kritikan dan masukan lainnya Sistem Energi | 9 baik langsung maupun tidak langsung dari masyarakat untuk diselesaikan. Waktu pembangunan sistem berhubungan dengan biaya penghematan. Terlihat pada Gambar 2.2 dimana kurva hubungan antara waktu pembangunan dan biaya penghematan saling berhubungan. Grafik tersebut menunjukkan biaya Rekayasa Sistem Energi dapat dihemat melalui analisis value engineering selama proses pra-investasi. Pada awal RSE akan lebih banyak penghematan daripada saat mendekati akhir RSE. Gambar 2.1 Hubungan antara biaya penghematan dengan waktu pembangunan F. KEGUNAAN LAPORAN STUDI KELAYAKAN RSE Laporan Studi Kelayakan RSE sangat diminati oleh: a. Para calon investor, pemilik RSE dan para pemangku kepentingan lainnya; b. Para pemilik modal termasuk perusahaan modal ventura akankah perlu turut berpartisipasi pada RSE ini atau tidak sebagai suatu alternatif bisnis, para calon donor dana; c. Calon pemberi dana pinjaman atau lembaga keuangan lainnya yang biasanya menyediakan kredit, perusahaan penyewaan barang modal, underwriter, para emiten bursa efek dsb.; d. Badan pengatur izin penanaman modal asing maupun nasional, regulator lingkungan dan aparat pemerintah yang terkait lainnya. 10 | Rekayasa Sistem Energi Nasional G. REKAYASA PERANCANGAN ENGINEERING) DESAIN (PROJECT DESIGN a. Menyiapkan lahan atau tempat lokasi pembangunan dan pengoperasian proyek RSE; b. Memilih pemakaian teknologi, sarana dan prasarana produksi, standar dan fasilitas lainnya yang akan dipakai dalam pengoperasian proyek RSE; c. Merencanakan pembangunan dan pengoperasian proyek RSE secara lengkap; d. Menyusun jadwal pembangunan proyek RSE sampai pengoperasiannya, termasuk network planning, flowchart dan contingency planning; e. Menyusun tata letak/layout pabrik dan fasilitas pendukungnya, khususnya untuk proyek manufaktur RSE. H. EVALUASI PASAR a. Merupakan urutan pertama dalam studi kelayakan proyek RSE; b. Operasi pasar akan berhasil jika proyek RSE (dalam bentuk produk) tersebut sangat kompetitif dan menguntungkan saat mulai penetrasi pasar (jika proyek infrastruktur untuk kepentingan publik, maka segi manfaat dan keuntungan intangible lebih dominan); c. Hasil evaluasi berupa: 1) Adakah captive market saat ini dan adakah cukup besar permintaan di masa depan; 2) Perkiraan bentuk persaingan yang akan dihadapi dan apakah proyek RSE mampu menggaet pangsa pasar yang memadai; 3) Perkiraan pengaruh bisnis internal maupun eksternal yang harus diantisipasi. Sistem Energi | 11 12 | Rekayasa Sistem Energi Nasional SUMBER DAYA ENERGI NASIONAL A. UMUM Kehidupan keseharian manusia dan alam semesta tak terlepas dari energi. Karena pangkal asal muasal kehidupan di dunia berawal dari energi semesta. Tahap kehidupan semesta termasuk manusia dari proses kelahiran, perjalanan hidup dan proses kematian atau kemusnahannya semua dapat diterangkan dengan pendekatan energi. Oleh karena itu manusia selalu memerlukan energi dan sekaligus bagian dari energi itu sendiri. Sebagai konsumen energi, guna menopang kehidupan sehari-hari manusia memilih energi yang langsung dapat dimanfaatkan berupa bahan bakar gas (BBG), bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Bumi Indonesia berlimpah sumber daya alam sebagai sumber energi primer seperti sumber energi fosil diantaranya gas bumi, minyak bumi dan batubara. Sementara untuk energi baru dan terbarukan (EBT) dapat diunduh dari tenaga surya, bayu/angin, panas bumi, air daratan dan air laut. Selain itu masih banyak EBT berasal dari tumbuh-tumbuhan hidup seperti tebu, jagung dan singkong untuk diproses jadi bio-etanol dan kelapa sawit jadi bio-solar. Selanjutnya contoh energi alternatif seperti tenaga nuklir, generator magnet permanen, generator “polisi tidur” (speed-bump generator), dan tanah yang punya beda potensial akibat salinitas atau keasamannya merupakan sumber energi bersih yang berkelanjutan. Kesemua sumber energi tersebut setelah melalui proses industri akan dinikmati konsumen berupa energi sekunder yaitu bensin, solar atau listrik. Sesuai dengan Visi Indonesia 2045 terdapat 4 pilar yaitu (1) Pembangunan Manusia dan Penguasaan IPTEK, (2) Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan dan (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan yang wajib ditegakkan. Secara eksplisit dan singkat, kebijakan energi nasional termuat dalam pilar kedua (Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan) yaitu pemantapan ketahanan energi melalui peningkatan kontribusi bauran energi (energy mix) untuk EBT menjadi 31% di tahun 2045. Secara signifikan energi fosil semakin berkurang pasokannya dalam bauran energi nasional menjadi masing-masing gas bumi (BBG) 24%, minyak bumi (BBM) 20% dan batubara 25%. Target pembangkit tenaga listrik tahun 2045 sebesar 430 GW dengan energi per kapita 7000 kWH. Dalam perjalanan upaya besar itu, ada laporan dari the Institute for Essential Services Reform (IESR) pada akhir 2019, dapat disampaikan secara garis besarnya sebagai berikut:  Investasi di bidang EBT setiap tahun rata-rata kurang sekitar 15% dari target sejak 2015;  Selama periode 2015-2019 pembangkit listrik EBT meningkat 1.6 GW atau setara 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional;  Pada 2020 pemerintah menargetkan penambahan kapasitas EBT setara 0.685 GW (lebih rendah dari target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) 4-5 GW/ tahun). Oleh karenanya dalam rangka mencapai target EBT 31% di tahun 2045 Indonesia sedang memasuki periode transisi meninggalkan pemakaian energi fosil. Agar program ini berhasil tentunya memerlukan kolaborasi dengan semua pihak dalam atau luar negeri yang punya komitmen kuat menuju energi bersih. Cukup relevan, pada masa presidensi G-20 Indonesia telah memasukkan Transisi Energi ini dalam agenda utama KTT G-20 di Bali November 2022 mendatang. Selanjutnya mengingat geografi Nusantara terdiri dari kepulauan yang dua-per-tiga diantaranya adalah laut 14 | Rekayasa Sistem Energi Nasional diperlukan strategi khusus dalam pemanfaatan EBT. Dalam rangka membangun ketahanan energi nasional maka di setiap provinsi perlu misalnya ada pemetaan regional akan sumber EBT yang siap dieksploitasi sampai menjadi listrik untuk dinikmati masyarakat. Peta tersebut akan memuat secara spesifik keunggulan dan ketahanan energi dari setiap provinsinya. Bahkan jika dibutuhkan maka peta itu dikembangkan lebih detail sampai ke tingkat desa dengan menyertakan peran masyarakat lokal. Berangkat dari potensi Desa ini, semua pemangku kepentingan dapat bahu membahu memproyeksikan ketahanan energi Desa tersebut, apakah dapat mandiri dengan energi bersih (EBT) atau justru sebaliknya. Ketahanan energi di tingkat Desa akan menjadi tumpuan di tingkat kecamatan, terus kabupaten/Kota dan sampai ke tingkat Provinsi masingmasing. Selanjutnya pemetaan ini akan sanggup mendeteksi adanya kesenjangan ketahanan energi regional dan sekaligus cara mengatasinya melalui rantai pasok energi yang handal. Gambar 3.1 Tendensi Kebutuhan Energi Nasional B. KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL Seperti terlihat pada Gambar 3.1, grafik kebutuhan energi nasional terus meningkat cukup pesat. Diproyeksikan sampai di tahun 2050 akan mencapai 980 sampai 1240 MTOE. Antara tahun 2010–2040, setiap jangka waktu 15 tahun kebutuhan akan meningkat dua kali lipat dari sebelumnya, Sumber Daya Energi Nasional | 15 kemudian mulai melambat menuju tahun 2050. Proyeksi kebutuhan ini dikaitkan dengan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh pendapatan tercatat sekitar USD 4,050/kapita. Selain itu Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sudah masuk kelompok negara G20 yang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) melebihi 1 Trilliun dollars. Gambar 3.2 Proyeksi Peningkatan Kebutuhan Nasional Pada Gambar 3.2 menunjukkan laju pertumbuhan tahunan rata–rata (AAGR, average annual growth rate) sebesar 6%. Proyeksi ini dibuat sebelum ada Covid-19, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun. Sebenarnya akibat ada koreksi pertumbuhan ekonomi 2020 yang mengalami kontraksi dan menyusut -2.4 %, yang tentunya berpengaruh terhadap grafik kebutuhan sehingga dapat mengalami penundaan dan pelambatan sementara waktu. 16 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Gambar 3.2 Kebutuhan Energi Total Tahun 2000-2010 Sejalan dengan pengaruh tersebut, ada optimisme karena OECD (The Organization for Economic Co-operation and Development) membuat prediksi bahwa Indonesia di tahun 2021 ini pertumbuhan ekonominya dapat mencapai 4 % dan tahun 2022 tumbuh 5%. Pada Gambar 3.3 menunjukkan penggunaan energi final di komersial, transportasi dan lainnya. Sektor Transportasi menyerap 40 % dari seluruh penggunaan energi final. Sedangkan Gambar 3.4 menampilkan penggunaan berbagai energi primer dalam rentang waktu tahun 20002010. Fakta menunjukkan selama waktu tersebut masih didominasi energi fosil seperti minyak bumi (46.8%), gas bumi (24.3%) dan batubara (23.9%). Sumber energi non-fosil masih sangat kecil prosentasenya seperti tenaga air (3.8%) dan panas bumi (1.2%). C. CADANGAN ENERGI TAK TERBARUKAN Energi tak terbarukan umumnya tergolong energi fosil yang telah dieksploitasi sejak dahulu kala sejak api ditemukan di belahan dunia termasuk di Indonesia. Dewasa ini telah diperkirakan jenis energi fosil ini akan segera ditinggalkan oleh banyak negara seiring menguatnya isu pemanasan global dan kelestarian lingkungan. Cadangan energi fosil ini kian lama kian sulit diperoleh secara ekonomis sebab jenis ini tak dapat diperbaharui lagi. Berikut akan diuraikan jenis energi tak terbarukan yang berpotensi untuk dimanfaatkan seperti dibawah ini: Sumber Daya Energi Nasional | 17 Gambar 3.3 Kebutuhan Energi Primer Tahun 2000-2010 a. Energi berbasis fosil Sumber energi yang berasal dari makhluk hidup yang karena sesuatu sebab, seperti tumbukan benda antariksa, tertimbun dalam kerak bumi jutaan tahun lamanya berubah menjadi energi fosil berupa gas bumi, minyak bumi dan batubara. Energi fosil tersebut tergolong mengotori lingkungan karena hasil pembakarannya mengemisikan gas karbon yang bersifat polutif terhadap atmosfir bumi. Walaupun demikian selama masih belum ada penggantinya, energi ini masih menjadi andalan komoditi ekspor banyak negara. Seperti negara Timur Tengah, Asia Tengah, Kanada, Amerika Serikat dan Amerika Latin masih bergantung pada komoditas ini. Di antara negara tersebut seperti Amerika Serikat, masih terdapat cadangan berupa shale oil, lapisan tipis minyak yang terhimpit batuan karang dalam kerak bumi yang sangat luas tetapi biaya eksplorasinya mahal. Beberapa alternatif terakhir minyak bumi merupakan komoditas strategis yang menjadi sumber konflik tak terelakkan, khususnya di daerah Timur Tengah dan Asia Tengah. Di Indonesia cadangan energi fosil berupa minyak bumi, batubara dan gas bumi dapat diuraikan seperti berikut ini: 18 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 1) Minyak Bumi Seperti diperlihatkan Tabel 3.1, dari tahun 2000 sampai 2010 tercatat penurunan jumlah cadangan terbukti, cadangan potensi dan cadangan total yang cenderung menurun. Di tahun 2010 jumlah masing-masing menjadi cadangan terbukti 4.23 milyar barel, potensi 3.53 milyar barel dan totalnya tinggal 7.76 milyar barel. Dengan demikian asupan devisa negara dari energi minyak bumi semakin menurun, jika tanpa penemuan eksplorasi tambang baru yang terbukti, atau jika hal ini berlangsung terus pada suatu saat Indonesia akan berubah dari negara pengekspor minyak menjadi net importir. Tabel 3.1 Cadangan Minyak Bumi Nasional 2010 Tahun Cadangan Terbukti Potensi Total 2000 5.12 4.49 9.61 2005 4.19 4.44 8.63 2010 4.23 3.53 7.76 Dalam satuan milyar barel 2) Batubara Tercatat batubara potensinya masih termasuk signifikan. Beberapa fakta mengungkap bahwa cadangan batubara pada Tabel 3.2 tercatat 105,187.40 juta ton dan cadangan terbukti 21,131.80 juta ton. Sebagian besar batubara yang diekspor masih dalam bentuk curah belum diproses menjadi batubara cair yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Di beberapa wilayah Indonesia tambang batubara dapat ditemukan cukup dangkal di permukaan tanah seperti di pulau Kalimantan atau di kedalaman permukaan tanah seperti di pulau Sumatra yang akan mempengaruhi kualitas nilai kalornya. Sehingga dikenal batubara muda untuk permukaan dangkal dan tua bagi batubara di kedalaman permukaan. Walaupun sudah ada UU Minerba 2009 yang mewajibkan pembangunan smelter, namun kenyataan di lapangan masih tak mematuhi bunyi undangundang tersebut. Sumber Daya Energi Nasional | 19 Tabel 3.2 Cadangan Batubara Nasional Tahun 2010 Tahun Sumber Daya Cadangan Terbukti 2010 105,187.44 21,131.80 Dalam satuan Juta Ton Anthracite 1 Ton = 4.989 BOE Ombilin Coal 1 Ton = 4.845 BOE Tanjung Enim Imported Coal 1 Ton = 4.276 BOE 1 Ton = 3.777 BOE Coal Kalimantan 1 Ton = 4.276 BOE Lignite 1 Ton = 3.064 BOE Coal BOE = Barrel Oil Equivalent 3) Gas Bumi Selanjutnya Tabel 3.3 menunjukkan bahwa khusus gas bumi, cadangan terbukti, potensi dan totalnya dari 2005 sampai dengan 2010 selalu naik turun. Tahun 2005 ada peningkatan untuk masing-masing cadangan terbukti, potensi dan total namun di tahun 2010 masing-masing tercatat sebagai berikut; cadangan terbukti 108.4 TSCF, potensi 48.7 TSCF dan total 157.4 TSCF (1 MSCF setara dengan 0,179 BOE). Negara tetangga Singapura menikmati kontrak jangka panjang suplai gas dari kepulauan Natuna melalui pipa bawah laut. Sebaliknya kebutuhan gas bumi nasional sebagian dipenuhi dari impor. Tabel 3.3 Cadangan Gas Bumi Nasional 2010 Cadangan Tahun Potensi Total Terbukti 2000 94.75 75.56 170.31 2005 97.26 88.54 185.80 2010 108.4 48.74 157.14 1 MSCF : setara 0.179 BOE b. Energi Mineral Mineral radioaktif yang terbentuk seiring dengan sejarah planet bumi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi setelah melalui rangkaian proses berteknologi tinggi yang cukup kompleks dan penuh pertimbangan keselamatan penduduk sekitar dan kelestarian lingkungan. Karena properti atau karakteristiknya dan keduanya termasuk radioaktif, mineral 20 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Uranium dan Thorium keduanya dapat diolah menjadi sumber tenaga nuklir. Di alam, Uranium dapat ditemukan dalam bentuk isotop U234 sedangkan Thorium dalam bentuk isotop U232. Perbedaan keduanya terletak pada kemampuannya mengemisikan sinar radioaktif. Kalau Uranium dapat mengemisikan sinar radioaktif alfa, beta dan gama maka Thorium hanya mampu mengemisikan sinar alfa dan beta saja. Dengan kata lain Thorium radioaktifnya lemah. Uranium dapat ditemukan di dekat pertambangan emas misalnya Tembaga Pura di Papua dan Thorium di pertambangan timah Bangka-Belitung. Data mengenai jumlah cadangan dan potensi mineral nuklir ini belum dipublikasikan dengan baik, sehingga masih berupa dugaan yang cukup besar jumlahnya. Energi nuklir ini tergolong paling bersih dan paling efisien dibandingkan energi fosil di atas. Banyak negara Eropa, Amerika, Jepang, India, Pakistan, Iran dan Korea Utara telah mampu memanfaatkannya untuk sumber pembangkit listrik tenaga nuklir yang sangat murah dan efisien. Negara adidaya umumnya menganut politik energi sangat ketat. Mereka menutup rapat-rapat bagi negara lain untuk ikut menikmati energi ini, selain teknologinya sangat maju juga aturan keselamatan radiasi internasionalnya rumit dan berbelit. D. CADANGAN ENERGI ALTERNATIF Energi alternatif terdiri dari EBT dan energi lainnya seperti telah disinggung di Bab sebelumnya yang tidak mengemisikan karbon, ramah lingkungan dan relatif lebih efisien. Maraknya isu EBT berkaitan dengan timbulnya kesadaran kolektif masyarakat dunia akan lingkungan yang sehat, alami dan lestari. Efek gas rumah kaca (greenhouse effect) menjadi topik pembicaraan sejalan dengan isu perubahan iklim. Berbagai perubahan iklim secara reguler muncul menjadi acuan masyarakat dunia. Sebut saja Protokol Kyoto, Kopenhagen dan Paris. Emisi gas karbon beserta polutan lainnya yang telah teridentifikasi berasal mayoritas dari pembuangan sisa pembakaran, alat transportasi dan rumah tangga yang kesemuanya menggunakan bahan bakar fosil. Kesadaran akan pelestarian lingkungan juga memunculkan kesepakatan global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) yang Sumber Daya Energi Nasional | 21 telah menjadi komitmen bersama dari masing-masing negara (melibatkan pemerintah dan swasta) sedunia. Gambar 3.4 Potensi energi baru terbarukan di Indonesia Sebagai solusi jangka panjang agar dapat mengurangi emisi karbon, dicarilah bahan bakar alternatif dan pilihannya jatuh ke EBT. Energi nuklir juga tergolong energi alternatif, namun karena ketatnya regulasi tiap negara maupun internasional menjadi kurang populer sebagai pilihan. Karena kemunculannya masih baru maka EBT belum mampu bersaing atau menggantikan energi fosil dalam waktu dekat. Negara seperti China dan Kawasan Skandinavia sudah berkomitmen bahwa mulai tahun 2030, secara gradual akan beralih ke EBT untuk suplai listriknya. a. Potensi Energi Alternatif Dari sekian banyak jenis energi, terlihat pada Gambar 3.5 ada 7 (tujuh) yang sudah tercatat potensinya, yaitu tenaga air, panas bumi, mini/mikro hidro, biomasa, tenaga surya, tenaga angin dan uranium. 1) Tenaga Air (Hydropower) Hydropower merupakan sumber energi terbarukan di mana energi yang dihasilkan berasal dari pergerakan air. Air yang bergerak, seperti jatuhnya air terjun akibat gravitasi dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin yang selanjutnya energi gerak tersebut diubah menjadi energi listrik. Secara geografis, Indonesia memiliki banyak sungai yang dapat dimanfaatkan untuk dapat menghasilkan energi. Potensi tenaga air di Indonesia untuk dapat menghasilkan listrik mencapai angka 70,000 MW. Namun, angka sebesar itu belum termanfaatkan seluruhnya, hanya sekitar 6 persen atau 3,500 MW saja yang baru dihasilkan. 22 | Rekayasa Sistem Energi Nasional No. 1 2 3 4 5 6 7 Total Tabel 3.4 Potensi tenaga air Pulau Potensi (MW) Sumatra 15.6 Jawa 4.2 Kalimantan 21.6 Sulawesi 10.2 Bali, NTB dan NTT 0.62 Maluku 0.43 Papua 22.35 75.0 GW 2) Panas Bumi Disebut panas bumi karena bersumber dari panasnya inti bumi yang melebihi 6000 oC. Panas bumi tersebut akan selalu berusaha keluar menembus kerak bumi sebelum akhirnya menuju ke atmosfir. Sumber panas alami ini jika dipertemukan dengan aliran air akan menghasilkan uap yang kemudian siap ditampung dan diarahkan guna memutar turbin pembangkit listrik yang dikenal sebagai Pembangkit Listrik Panas Bumi. Karena lokasi panas bumi umumnya jauh dari permukiman atau perkotaan, maka sering timbul masalah jaringan yang menyediakan pelayanan listrik sampai ke konsumen. Sehingga walaupun potensi panas bumi di Indonesia berlimpah (lihat Tabel 3.5) namun pemanfaatannya masih jauh dari harapan masyarakat. Tabel 3.5 Potensi panas bumi Pada Tahun Sibayak 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 74 165 84 289 497 525 231 Lahendong Kamojang Salak 7,460 8,100 8,120 12,100 12,610 12,340 6,490 24,170 24,530 24,350 24,482 24,540 23,330 12,140 Di Luar P. Jawa 1,010 1,240 1,310 2,350 2,665 3,020 1,130 Darajat Wayang Windu Dieng 6,810 6,620 6,520 6,670 12,990 13,390 6,700 2,520 2,540 1,210 1,640 780 0 0 P. Jawa 7,550 7,630 10,320 13,490 13,980 14,140 6,930 Sumber Daya Energi Nasional | 23 3) Mini/mikro Hidro Tenaga mikro hidro ini juga mempergunakan tenaga air namun dalam skala kecil, mirip PLTA seperti telah disinggung di atas, merupakan sumber EBT yang juga melimpah di Seantero bumi Nusantara. Aliran air sungai, air terjun atau pancuran kecil yang cukup deras akan mampu menggerakkan turbin mini/mikro hidro, guna menghasilkan listrik melalui dinamo pelengkapnya. Kapasitas masing-masing Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sangat bervariasi tergantung dari debit aliran air, biasanya sekitar 100Watt sampai 5000 Watt. Secara keseluruhan potensi PLTMH di Indonesia seperti pada Tabel 3.6 di bawah. Tabel 3.6 Potensi tenaga mini/mikro hidro Kapasitas Per Tahun (kW) No Pulau 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Sumatra 55,700 55,920 56,180 56,630 56,719 59,546 2 Jawa 39,450 39,450 39,810 39,810 39,810 41,790 3 Kalimantan 850 849 849 1,270 1,270 1,340 4 Sulawesi 102,350 102,350 103,270 103,670 103,670 108,830 Bali, NTB, 5 11,960 11,960 11,960 12,053 12,053 12,650 NTT Maluku, 6 4,296 4,296 4,296 4,296 4,369 4,587 Papua 4) Bio-masa Energi bio-masa pada paragraf ini ditujukan dari segala sesuatu energi yang berasal dari sampah nabati terkait tumbuhan atau sampah hewan dan manusia berupa kotoran. Perolehan energi jenis ini dapat melalui pemanasan bio-masa secara langsung agar menghasilkan panas ataupun dengan menggunakan bakteri sehingga menghasilkan gas metane yang dapat dialirkan ke turbin gas penghasil listrik. Manfaat ganda dapat sekaligus diperoleh yaitu menghabiskan sampah di satu sisi dan hasil berupa listrik di sisi yang lain. Sementara itu terkait bio-fuel akan dibahas dalam paragraf tersendiri agar lebih spesifik terkait dengan kapasitas, karakteristik bahan dan pemanfaatannya yang lebih luas. Potensi bio-masa di Indonesia dapat ditemukan pada Tabel 3.7 seperti dibawah ini. 24 | Rekayasa Sistem Energi Nasional No 1 2 3 4 5 6 Tabel 3.7 Potensi biomassa Kapasitas Per Tahun (kW) Pulau 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumatra 924.61 924.61 924.61 924.61 1,607.5 1,687.48 Jawa 10.9 10.9 10.9 10.9 10.9 11.44 Kalimantan N/A N/A N/A N/A N/A N/A Sulawesi N/A N/A N/A N/A N/A N/A Bali, NTB, N/A N/A N/A N/A 9.6 10.08 NTT Maluku, N/A N/A N/A N/A N/A N/A Papua 5) Tenaga Surya Sebagai negara tropis yang dilalui garis katulistiwa, Indonesia menerima ekspose sinar matahari sangat ideal guna mengunduh energi surya. Energi surya dapat langsung diunduh dari alam sekitar menggunakan panel surya, baik panel kaku ataupun fleksibel yang langsung disimpan di penyimpan energi (energy storage) semacam baterai sebelum diteruskan ke jaringan rumah tangga/ industri. Potensi energi surya tersebut dapat disimak dibawah ini pada Tabel 3.8. 6) Tenaga Angin atau Bayu Energi angin diunduh dari alam sekitar melalui pemanfaatan kecepatan angin minimal yang dapat memutar kincir angin agar dapat digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Sudah banyak negara seperti Australia, Belanda, Denmark dan negara Eropa Barat lainnya yang anginnya cukup kencang dengan kecepatan rata-rata diatas 5 meter/detik. Indonesia juga telah mulai mengembangkannya dengan memasang kincir angin raksasa di daerah Sulawesi seperti Enrekang. Energi listrik yang dihasilkan turbin akan disimpan (energy storage) sebelum masuk jaringan rumah tangga/industri. Potensi energi angin atau bayu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.9. Sumber Daya Energi Nasional | 25 No 1 2 3 4 5 6 Tabel 3.8 Kapasitas terpasang energi surya Kapasitas Per Tahun (MWp) Pulau 2005 2006 2007 2008 Sumatra 0.33 0.78 1.69 2.65 Jawa 0.33 0.40 0.53 0.78 Kalimantan 0.16 0.38 0.71 1.11 Sulawesi 0.12 0.64 1.37 1.98 Bali, NTB, NTT 0.12 0.35 0.62 1.00 Maluku, Papua 0.16 0.36 0.71 1.15 2009 4.28 1.15 1.93 2.85 1.41 1.87 7) Uranium dan Thorium Matahari merupakan sumber energi yang tak ada habisnya. Energi matahari ini yang menerangi langit dan menghangatkan planet bumi tergolong tipe energi nuklir atau lebih tepatnya hasil reaksi nuklir matahari. Secara singkat sebelum memahami reaksi nuklir, ada baiknya memahami bahwa atom adalah blok bangunan terkecil dari suatu materi. Sedangkan materi adalah apapun yang mempunyai massa. Setiap atom mengandung inti atau nukleus. Di dalam nukleus terdapat proton dan netron. Reaksi nuklir dapat dikatakan suatu reaksi yang mampu merubah inti atom. Atau, sejumlah proton dan netron mengalami perubahan sebagai hasil reaksi nuklir. Tenaga nuklir tak lain ialah penggunaan reaksi nuklir untuk memperoleh energi nuklir guna menghasilkan panas yang dimanfaatkan memutar turbin uap agar dapat memproduksi listrik. Proses ini dapat dijumpai di PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Di seluruh dunia ada sekitar 450 reaktor tenaga nuklir yang dioperasikan oleh 31 negara dengan kapasitas totalnya lebih dari 380.000 MWe. Sementara itu ada lebih 60 reaktor baru yang dalam proses pembangunan. Keseluruhan reaktor nuklir ini menyumbang lebih dari 11% kebutuhan listrik dunia, sangat efisien, murah dan bersih tanpa emisi gas karbon dioksida. 26 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Tabel 3.9 Kapasitas terpasang energi bayu Kapasitas Per Tahun (kW) No Pulau 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Sumatra 1.5 81.5 81.5 81.5 81.5 85.58 2 Jawa 285.75 285.75 285.75 285.75 285.75 300.04 3 Kalimantan 0 0 0 0 0 0 4 Sulawesi 148.7 228.7 388.7 588.7 588.7 618.14 Bali, NTB, 5 591.05 591.05 911.05 911.05 911.05 956.6 NTT Maluku, 6 2 2 2 2 2 2 Papua Walaupun Indonesia punya potensi sebesar 3000 Mega Watt (MW) namun kapasitas terpasang baru 30 MegaWatt (MW). Itupun masih terbatas di lingkungan laboratorium penelitian. Umumnya masyarakat masih pro dan kontra pendapatnya. Mereka masih trauma dengan peristiwa ledakan Pusat Nuklir di Chernobil Rusia dan Fukushima Jepang. Sehingga belum ada kemauan politik yang kuat guna mendirikan fasilitas nuklir untuk kepentingan damai seperti mendirikan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Seperti India, China dan Australia, mereka memilih PLTN berbahan Thorium yang lebih aman. Energi nuklir adalah sumber energi yang berasal dari reaksi berantai bahan-bahan radioaktif yang terjadi dalam sebuah reaktor. Negara maju di dunia termasuk kelompok elit yang mampu menikmati listrik murah dan efisien berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sedangkan negara berkembang yang ingin mencoba mengembangkan PLTN langsung dituduh dan dicurigai akan membuat bom nuklir. Ketidakadilan tersebut sampai hari ini masih berlangsung. Untuk PLTN ada dua pilihan mineral nuklir yaitu Uranium dan Thorium. a) Uranium (U) Negara maju seperti Jepang, Amerika, Prancis dan negara Barat lainnya mengandalkan pasokan listriknya sebagian besar kepada PLTN. Sejak kecelakaan reaktor PLTN Fukushima di Jepang, para ilmuwan telah mengembangkan PLTN generasi baru yang lebih aman dan ramah lingkungan. Listrik yang dihasilkan PLTN dipandang sangat efisien, Sumber Daya Energi Nasional | 27 sehingga bila masalah keamanan dan lingkungan dapat ditingkatkan, maka PLTN akan menjadi pilihan energi alternatif yang sangat menjanjikan keberadaannya atau sangat kompetitif dibanding energi lainnya. Jika demikian sudah selayaknya penggunaan PLTN hendaknya dapat dinikmati pula oleh negara berkembang melalui tata kelola dan pengawasan yang lebih adil. Jepang sendiri sebagai negara yang telah berpengalaman menghadapi dampak bom atom dan kecelakaan radioaktif dari kebocoran PLTN, masih percaya akan kehandalannya. Dibalik keefisien dan sisi kelebihan PLTN lainnya, disadari adanya dampak radiasi yang membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan alam semesta. Sebagian besar reaktor nuklir di PLTN, memakai bahan baku materi nuklir Uranium yang di alam bebas dapat ditemui sebagai isotop U234. Isotop ini melalui pengayaan dapat menjadi plutonium U235 yang dapat diubah menjadi bom nuklir yang dahsyat. b) Thorium (Th) Selain Uranium sebagai bahan PLTN, maka pilihan lain jatuh pada mineral Thorium yang tingkat radioaktifnya jauh lebih rendah. Thorium sebagai mineral radioaktif dengan nomor atom 90 ini, diperkenalkan tahun 1828 oleh kimiawan Swedia Jöns J. Berzelius. Kemudian nama Thorium dilekatkan yang tak lain berasal dari panggilan dewa Norse Thor. Thorium umumnya secara fisik berwarna putih keperakan dan menjadi keabu-abuan atau sedikit hitam ketika terpapar udara. Di Indonesia kandungan Thorium dapat ditemukan misalnya pada limbah pertambangan timah yang biasa disebut monasit di Bangka-Belitung. Setelah terbukti mengandung unsur Thorium, maka monasit tak lagi dijual langsung ke tangan-tangan asing, mengingat nilai strategis maupun ekonomisnya tinggi. Selain di dalam monasit, kandungan Thorium juga ditemukan dalam mineral lain yaitu thorite dan thorianite. Secara teoritis kandungan Thorium di dalam kerak Bumi tiga kali lebih banyak dibandingkan kandungan Uranium. Karakteristik fisik lainnya seperti titik leleh dan titik didih sangat dipengaruhi oleh sejumlah kecil unsur kotoran tertentu, diantaranya karbon dioksida. 28 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Dengan berbagai kelebihan karakteristik dan potensi kandungannya maka Thorium dapat menggantikan fungsi Uranium sebagai bahan nuklir yang lebih baik untuk menghasilkan listrik. Negara seperti China, India dan Australia telah lama mengembangkan PLTN berbahan Thorium. Produksi komersial Thorium dapat dijumpai sebagai logam dengan reduksi (ThF4) dan dioksida (ThO2) dan melalui elektrolisis dari tetraklorida (ThCl4). Penanganan logam Thorium walau memiliki kekuatan mekanik rendah, akan mirip dengan logam pada umumnya yakni dapat ditempa, diekstrusi, digulung dan ditekuk. Di seluruh dunia tercatat ada 450 PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) yang telah beroperasi secara komersial di 31 negara. Semua PLTN tersebut menghasilkan listrik 380 GWe dari kapasitas terpakainya atau setara dengan pasokan 11% listrik dunia. Perkembangan terakhir di seluruh dunia ada tambahan sekitar 60 PLTN baru sedang dalam proses pembangunan. E. ENERGI ALTERNATIF LAINNYA DAN BAURAN ENERGI a. Energi Hidrogen Hidrogen dapat diubah menjadi bahan bakar pengganti BBM. Bahkan, diklaim lebih baik dari BBM yang kita kenal saat ini. Bahan bakar hidrogen tidak menghasilkan polusi, sehingga bahan bakar ini tidak merusak bumi. Persediaannya pun tidak akan habis karena cara pembuatannya hanya dari air, kemudian dibakar seperti bensin. Akan tetapi, untuk mendapatkan Hidrogen ini diperlukan banyak energi. Jika energi yang digunakan berasal dari bahan bakar fosil, maka keuntungan yang didapat akan minimal, sehingga harus ada sumber energi yang diperbaharui. b. Bahan Bakar Minyak Bio (Biofuel) Bahan bakar minyak bio (BBMB) atau biofuel merupakan bahan bakar minyak yang dihasilkan dari bahan tumbuhan alami ataupun lemak hewan. Bahan minyak nabati berasal dari tanaman yang memiliki kandungan gula tinggi seperti tebu, jagung dan sorgum serta tanaman yang dengan kandungan minyak nabati tinggi dan ditemukan pada kelapa sawit, jarak (jatropa) dan ganggang. Energi nabati ini dapat digunakan sebagai bahan bakar minyak nabati disingkat BBMN, sedangkan yang menggunakan Sumber Daya Energi Nasional | 29 minyak hewan disebut bahan bakar minyak hewani (BBMH). Produk BBMB ini dapat dijumpai di pasar berupa biodiesel, bioethanol dan bioavtur, yang dapat menggantikan BBM untuk kendaraan umumnya. Proses pembuatan BBMB ini biasanya mereaksikan minyak nabati misalnya dengan methanol dan ethanol, dan katalisatornya soda api. Salah satu kelemahan pada BBMB dalam pemakaiannya kurang cocok untuk kendaraan bermotor yang mengandalkan kecepatan tinggi dan tenaga yang kuat. Tabel 3.10 Perkembangan energi alternatif Uraian Satuan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 LISTRIK Panas MW 852 852 982 1,052 1,189 1,189 Bumi PLTS MW 1.23 2.91 5.63 8.67 13.5 13.5 PLTMW 1.03 1.19 1.67 1.87 1.87 1.96 Angin PLTA GW 3.224 3.532 3.512 4.2 5.711 5.711 PLTMH MW 215 215 216 218 218 229 PLT MW 935.51 935.51 935.51 935.51 1,628 1,628 Biomassa BBN Biodiesel 120 456.6 1,550 2,329.1 2,521.5 5,647.57 Ribu Bioetanol 2.5 12.5 135 192.4 212.5 223.12 kL Bio oil 0 2.4 37.2 37.2 40 42 1) Bio-solar (Biodiesel) Bio-solar menjadi semakin popular ketika produk kelapa sawit Indonesia diembargo oleh Uni Eropa. Para peneliti di beberapa kampus perguruan tinggi yang dimotori ITB, telah memperkenalkan konsep B-20 (bio-solar dengan campuran 20% minyak nabati dan solar biasa) sebagai pengganti bahan bakar solar. Dalam pengembangannya, B-20 ditingkatkan menjadi B-30 dan seterusnya guna memperoleh campuran yang paling optimal. Bahan bakar tumbuhan atau lemak binatang ini penggunaannya banyak pilihan, baik versi original/ murni atau dicampur dengan bahan bakar lain. Bio-solar ini selain memenuhi kriteria ramah lingkungan, juga terbarukan, dan dapat mengurangi emisi gas buang, merupakan unsur 30 | Rekayasa Sistem Energi Nasional keunggulannya sehingga di masa depan sebagai kandidat kuat guna menggantikan BBM berbasis fosil. 2) Bio-Etanol Telah lama diketahui bahwa Etanol (etil-alkohol) adalah jenis EBT berupa hasil dari fermentasi tumbuhan seperti; singkong, tebu, shorgum dan jagung. Contoh negara di dunia yang sangat baik mengembangkan energi etanol ini adalah Amerika Serikat dan Brazil. Kedua negara tersebut saat ini adalah negara nomor satu dan dua di dunia dalam hal produksi etanol. Khusus Brazil produksi etanolnya berbasis kepada tumbuhan tebu, yang di awal tahun 60an diimpor dari Indonesia, dikembangkan sebagai pengganti BBM pada kendaraan bermotor. Sekitar 15 milyar liter etanol dihasilkan setiap tahun di Brazil. 3) Bio-Metanol Metanol (meta-alkohol) adalah bahan bakar yang berasal dari sintesa gula dan bakteri, seperti contohnya spiritus. Metanol baik digunakan secara murni, atau juga digunakan sebagai campuran bensin. Satu hal yang menjadi kelemahan dari penggunaan untuk kendaraan adalah bahan bakar ini dapat mempercepat terjadinya korosi pada mesin kendaraan. Gambar 3.5 Skema kerja sistem energi tidal Sumber Daya Energi Nasional | 31 c. Energi Tidal Energi tidal atau energi pasang surut air laut barangkali kurang begitu dikenal, atau mungkin kita belum pernah mendengarnya sama sekali. Jika dibandingkan dengan energi angin dan surya, energi tidal memiliki sejumlah keunggulan, antara lain memiliki aliran energi yang lebih pasti/ mudah diprediksi, lebih hemat ruang, dan tidak membutuhkan teknologi konversi yang begitu rumit. Kelemahan energi ini di antaranya adalah membutuhkan alat konversi yang handal yang mampu bertahan dengan kondisi air laut, terutama tingkat korosi dan kuatnya arus atau badai di laut. Prinsip kerja energi tidal ialah: saat pasang naik, air laut dengan volume jutaan kubik naik ke daratan. Jika di daratan itu dibuat bendungan yang besar, maka air pasang itu tertampung di dalam waduk. Di mulut waduk dipasang baling-baling yang berputar sesuai arah air. Biasanya digunakan dua arah putaran, yaitu saat pasang dan saat air surut. d. Gelombang Laut Selain energi tidal, potensi lain dari lautan yang dimanfaatkan adalah gelombangnya. Energi yang dimiliki gelombang laut tersebut dapat dikonversi menjadi listrik. Prinsip kerjanya adalah dengan mengumpulkan energi gelombang laut untuk memutar turbin generator. Saat ini beberapa negara telah berani mengembangkan potensi dari energi terbarukan ini. e. Energi Piezoelektrik Piezoelektrik adalah suatu yang dapat menghasilkan listrik dari hasil pengubahan energi mekanik. Sistem penghasil energi ini sangat baik diterapkan pada tempat-tempat umum, seperti yang terpasang di sebuah lantai stasiun kereta Jepang dan juga di lantai rumah disco di Inggris. Prinsip kerjanya adalah tekanan dari orang-orang di tempat itu akan dikonversi menjadi listrik. Jadi, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar tempat tersebut. Di kampus FTUP telah melakukan penelitian “polisi tidur”, yang dapat menghasilkan listrik berkelanjutan. 32 | Rekayasa Sistem Energi Nasional f. Bauran Energi Penyediaan Energi di Indonesia masih didominasi energi fosil sementara penggunaannya belum efisien. Energi baru dan terbarukan (EBT) yang berlimpah belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, EBT mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan berbagai teknologi energi terbarukan. Pengembangan EBT menjadi sumber energi utama akan memungkinkan harga energi dapat ditekan dan semakin murah (avoided cost sebagai benchmark). Sudah saatnya kita berkomitmen melaksanakan Paris Agreement dan melakukan green innovation untuk memanfaatkan EBT dan energi alternatif lainnya. Dengan menerapkan perencanaan yang seksama, inovasi hijau dan terobosan teknologi secara konsisten, bauran energi pada waktunya akan didominasi oleh EBT. Pergeseran dominasi ini akan melewati masa transisi, sekaligus sebagai proses pembelajaran bagi warga masyarakat guna beralih ke EBT. Tabel 3.11 Bauran energi Energi 2012 2025 (Target) Gas Bumi 20% 18% Batu Bara 24.7% 23% Minyak Bumi 48.4% 23% Energi Baru dan Terbarukan 6.9% 26% Sumber Daya Energi Nasional | 33 34 | Rekayasa Sistem Energi Nasional SEJARAH SINGKAT ENERGI NASIONAL A. UMUM Pada awal pemerintahan Orde Baru, yang menggantikan rezim Orde Lama era pemerintahan Soekarno, ekonomi Indonesia mengalami inflasi yang terdalam. Orde Baru dan Orde Lama adalah sebutan yang diperkenalkan oleh rezim Presiden Soeharto sehingga mudah dipahami oleh masyarakat bahwa pemerintahannya membawa nilai pembaharuan. Orde Baru yang kelahirannya diawali dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pemerintahannya dapat berlangsung selama 32 tahun hingga 1998. Sebagai langkah awal pembenahan ekonomi Presiden Suharto mendapat bantuan dana segar dari 9 negara donor yang tergabung dalam kelompok internasional yang dikenal sebagai IGGI (InterGovernmental Group on Indonesia). Lembaga IGGI ini yang berdiri tanggal 20 Februari 1967 di Amsterdam dikoordinir oleh Amerika beranggotakan Australia, Belanda, Belgia, Jepang, Jerman Barat, Italia, Kerajaan Inggris dan Prancis. Tujuan IGGI, yaitu memberi bantuan kredit jangka dengan bunga ringan kepada Indonesia dalam membiayai pembangunannya. Selain itu melalui mekanisme penanaman modal asing para anggota IGGI turut berinvestasi di Indonesia sekaligus meningkatkan devisa negara. Sebagai kompensasi dana yang diterima, Indonesia memberikan konsesi atau kontrak karya utamanya untuk pengelolaan sumber daya alam (SDA) terutama di sektor pertambangan dan perminyakan. Pada awal tahun 1992, sebagai tindak lanjut tanggapan terhadap kritik keras Menteri Belanda Jan Pronk, pemerintahan Soeharto menghentikan partisipasinya di pertemuan tahunan IGGI dan lebih memilih bentuk group donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) yang dipimpin Bank Dunia (World Bank). B. BONANZA MINYAK Masa ketika minyak bumi atau bahan bakar minyak (BBM) memberikan keuntungan sangat besar bagi penerimaan negara sering disebut dengan Bonanza Minyak. Hal tersebut dapat terjadi ketika harga minyak secara tak terduga mengalami kenaikan berlipat ganda atau disebut Oil Boom, sehingga devisa negara melejit dalam waktu relatif singkat. Kenaikan harga minyak dunia tersebut merupakan berkah tak terduga bagi Pemerintah Indonesia kala itu. Penyebabnya tak lain ialah perbaikan nyata mekanisme perdagangan internasional akibat Bonanza Minyak yang terjadi sampai dua kali tersebut. Peristiwa Oil Boom I terjadi tahun 1973/1974 akibat keputusan kartel minyak OPEC (the Organization of Petroleum-Exporting Countries), Indonesia sebagai salah satu anggotanya, untuk menaikkan harga minyak empat kali lipat melalui pengurangan kombinasi ekspor besar-besaran. Kemudian disusul Oil Boom II tahun 1979/1980 yang disebabkan oleh penutupan sementara minyak Iran sebagai akibat langsung terjadinya Revolusi yang ditandai dengan penggulingan rezim Shah, Mohammad Reza Pahlevi. Penutupan minyak Iran, sebagai pengekspor minyak terbesar setelah Arab Saudi, tentunya sangat berpengaruh terhadap terjadinya penurunan ekspor minyak OPEC. Tercatat waktu itu harga minyak menjadi dua kali lipat per barel. Dari dua kali peristiwa Oil Boom tersebut harga minyak yang tadinya hanya $ 1.60 per barel di tahun 1970 menjadi $35.00 per barelnya di tahun 1980. Situasi tersebut berdampak ke penerimaan Negara yang melonjak lebih dari 600 % antara kurun waktu tahun 1967/1970 dan 1974/1975. Selain itu, kontribusi dari hasil ekspor minyak untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) jumlahnya melampaui pendapatan pajak dan investasi pemerintah meningkat lebih dari 3000 % dari tahun 1969 sampai 36 | Rekayasa Sistem Energi Nasional tahun 1979. Setelah mengalami era Bonanza Minyak, periode 1974–1981 ekonomi Indonesia menikmati pertumbuhan cukup tinggi dengan rata-rata setiap tahun mencapai 7.7 %. Namun demikian pada tahun 1982, ekonomi dunia mengalami keguncangan akibat anjloknya harga minyak dunia. Hantaman dari luar atau external shock ini utamanya disebabkan melemahnya pasar minyak dunia sehingga merusak ekspor Indonesia. Beberapa ahli memperkirakan dampaknya sepadan dengan bonanza minyak yang telah dinikmati Indonesia sebelumnya. Sejak peristiwa tersebut produksi minyak Indonesia semakin menurun. Sampai akhirnya tahun 2004 Indonesia menjadi net importer dan pada 2009 sudah bukan lagi anggota OPEC. C. KEANGGOTAAN OPEC Sebagai negara produser minyak, Indonesia di masa jayanya pernah menjadi anggota organisasi kartel minyak dunia OPEC (the Organization of Petroleum-Exporting Countries). Sejak zaman Belanda atau lebih dari 135 tahun yang lalu Indonesia sudah dikenal sebagai produsen minyak dan gas bumi, dengan ditemukannya ladang minyak Sumatra Utara tahun 1885. Indonesia bergabung sebagai anggota OPEC mulai tahun 1961. Produksi minyak Indonesia dikontrol oleh OPEC sesuai alokasinya. Pada tahun 1991 pertemuan tingkat Menteri OPEC, kuota minyak Indonesia dibatasi 1.445 juta barrels per hari, yang faktanya masih lebih rendah dari kapasitas produksi sebesar 1.7 juta barrels per hari. Kuota Indonesia setara dengan 6% dari total produksi OPEC. Namun seiring makin berkurangnya produksi dalam negeri Indonesia pada tahun 2004 tercatat sebagai net importer. Lima tahun kemudian yaitu tahun 2009 keanggotaan Indonesia di OPEC mengalami penangguhan. Sempat bergabung lagi di bulan Januari tahun 2016 namun hanya berjalan 10 bulan, karena bulan November tahun yang sama keanggotaannya ditangguhkan lagi. Walaupun demikian menurut BP Statistical Review of World Energy 2019, Indonesia menemukan cadangan minyak terbukti sebesar 3.2 milyar barrels di akhir 2018. Dewasa ini tercatat lima besar perusahaan minyak yang masih beroperasi di Indonesia yaitu Chevron Pacific Indonesia, Exxon Mobil, Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, and the China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Sejarah Singkat Energi Nasional | 37 Kelima perusahaan tersebut memproduksi lebih dari 73% (568 ribu barel per hari) dari total produksi nasional Indonesia (774 ribu barel per hari). D. FLUKTUASI HARGA BBM 1970-2016 Selama periode 1970-2016 ada 6 (enam) Presiden RI telah menjalankan pemerintahannya. Hampir setiap presiden pernah mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Dari keenam presiden RI tersebut, kecuali BJ. Habibie, lima diantaranya pernah menaikkan atau menurunkan harga BBM (lihat Tabel 4.1). Kebijakan Habibie yang tak pernah menyentuh harga minyak dinilai wajar, karena masa pemerintahannya yang paling singkat, hanya kurang dari 18 bulan. Semasa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto (1966-1998) pernah menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali. Pada 1991 harga BBM naik dari semula Rp 150 menjadi Rp 550 per liter. Dua tahun kemudian yaitu 1993, harga BBM kembali naik menjadi Rp 700 per liter. Menjelang akhir jabatannya di tengah-tengah krisis ekonomi 1998 menerpa Indonesia, harga BBM naik menjadi Rp 1,200 per liter. Setelah rezim Orde Baru runtuh dan digantikan pemerintahan Bj Habibie (Mei 1998-Oktober 1999), harga minyak tak pernah mengalami kenaikan. Sebaliknya ada penurunan harga BBM dari Rp 1,200 menjadi Rp 1,000 per liter. Pada April 2000 atau di awal Era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001), harga BBM mengalami penurunan menjadi Rp 600 per liter. Sekitar enam bulan kemudian harga BBM dinaikkan menjadi Rp 1,150 per liter. Pada Juni 2001, harga BBM kembali dinaikkan menjadi Rp 1,450 per liter. Sebagai presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri (2001-1004) juga mengambil kebijakan menaikkan harga BBM dua kali. Pertama pada Maret 2002, harga BBM naik dari Rp 1,450 menjadi menjadi Rp 1,550 per liter. Kedua di awal Januari 2003 kembali harga BBM naik menjadi Rp 1,810 per liter. Demikian juga selama dua periode kabinetnya (2004-2014), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan kebijakan menaikkan dan menurunkan harga BBM masing-masing empat kali naik dan tiga kali turun. Pertama Maret 2005 menaikkan harga BBM menjadi Rp 2,400 per liter. Kedua Oktober 2005 harga BBM kembali naik menjadi Rp 4,500 per liter. Ketiga Mei 2008 kembali menaikkan harga BBM menjadi Rp 6,000 per liter. 38 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Tabel 4.1 Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 1970- 2016 Presiden Periode Kebijakan Harga BBM Keterangan Tahun 1991, kenaikan harga BBM dari Rp 150 ke Rp 550 per liter; ï‚· Tahun 1993, kembali 3 kali kenaikan kenaikan harga BBM dari harga BBM Rp 550 ke Rp 700 per liter; ï‚· Tahun 1998 awal Mei saat krisis ekonomi harga BBM meroket jadi Rp 1,200 per liter. Terjadi penurunan BBM dari Rp 1 kali penurunan 1,200 ke Rp 1,000 per liter. harga BBM ï‚· Kwartal pertama Tahun 2000 harga BBM turun seharga Rp 600 per liter; ï‚· Kwartal ketiga Tahun 2000 1 kali turun dan 2 kali kenaikan harga BBM naik ke Rp 1,150 harga BBM per liter; ï‚· Pertengahan Tahun 2001 harga BBM kembali naik jadi Rp 1,450 per liter. ï‚· Kwartal pertama Tahun 2002 kenaikan BBM 2 kali kenaikan seharga Rp 1,550 per liter; harga BBM ï‚· Awal Tahun 2003 naik lagi seharga Rp 1,810 per liter. ï‚· Kwartal pertama Tahun 2005 terjadi kenaikan harga BBM ke Rp 2,400 per liter; 4 kali kenaikan ï‚· Kwartal ketiga Tahun 2005 dan 3 kali naik lagi jadi Rp 4,500 per penurunan harga liter; BBM ï‚· Pertengahan Tahun 2008 naik lagi seharga i Rp 6,000 per liter; ï‚· Soeharto 19661998 BJ Habibie 19981999 Abdurrahman Wahid 19992001 Megawati Soekarnoputri 20012004 Susilo Bambang Yudoyono 20042014 Sejarah Singkat Energi Nasional | 39 Presiden Periode ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· • • Joko Widodo 2014sek • • • Kebijakan Harga BBM Kwartal ketiga Tahun 2008 harga BBM turun ke Rp 5,500; Akhir Tahun 2008 turun lagi seharga Rp 5,000 per liter; Awal Tahun 2009 harga BBM turun jadi Rp 4,500 per liter; Pertengahan Tahun 2013 harga BBM dinaikkan lagi ke Rp 6.500 per liter. Kwartal ketiga Tahun 2014 terjadi kenaikan harga BBM ke Rp 2,000 per liter, Premium seharga Rp 8,500 dan Solar jadi Rp 7,500 per liter; Awal Tahun 2015 terjadi penurunan Premium seharga Rp 7,600 dan Solar seharga Rp 7,250 per liter; Tahun 2016 sesuai dengan turunnya harga minyak dunia, harga Premium turun ke Rp 7,150 untuk wilayah Jakarta dan Rp 6,950 di luar Jawa serta Solar jadi Rp 5,950 per liter; Tanggal 5 Januari tahun 2020, harga BBM Pertamina turun. Kwartal pertama Tahun 2022 Pertamax naik ke harga Rp12.200 per liter. 40 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Keterangan 1 kali naik dan 3 kali penurunan harga BBM Pada akhir 2008, pertama kali SBY menurunkan harga BBM dari Rp 6,000 ke Rp 5,500 per liter. Kedua menjelang Natal 2008 harga BBM kembali turun ke Rp 5,000 per liter. Ketiga menjelang Pemilu 2009, atau Januari 2009, BBM kembali turun seharga Rp 4,500 per liter. Pada akhir jabatannya periode kedua, Juni 2013, SBY membuat BBM semakin mahal seharga Rp 6,500 per liter disertai penjelasan agar tak akan membebani pemerintahan periode berikutnya. Kebijakan Presiden SBY kali ini tidak mampu meringankan beban pemerintahan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla penggantinya. Sebab selama SBY berkuasa pemerintah memberikan subsidi harga BBM yang anggarannya dapat mencapai empat ratusan trilliun per tahun di akhir jabatannya. Pemerintahan Jokowi harus menghadapi anggaran negara yang tak sehat ini, maka tindakan kurang popular diputuskan dengan cara menaikkan harga BBM saat umur kabinetnya mau masuk bulan kedua. Pada November 2014 Jokowi menyesuaikan harga BBM naik Rp 2.000 per liter. Harga jenis Premium dari Rp 6,500 naik ke Rp 8,500 per liter dan Solar juga naik dari Rp 5,500 ke harga Rp 7,500 per liter. Kemudian Januari 2015 Premium turun seharga Rp 7,600 dan Solar juga turun ke Rp 7,250 per liter. Seiring dengan penurunan harga minyak dunia, pada Tahun 2016 harga Premium turun seharga Rp 7,150 untuk wilayah Jakarta dan Rp 6,950 di luar Jawa serta Solar turun seharga Rp 5,950 per liter. Terhitung per tanggal 5 Januari 2020, harga BBM juga turun kembali. E. BBM KOMERSIAL Di Indonesia, jenis BBM komersial tergolong bermacam-macam. Pertamina melakukan diversifikasi BBM, diarahkan ke segmen pasar tertentu dengan harga jual per liternya bervariasi. Sehingga kalangan operator transportasi, rumah tangga dan kegiatan komersial lainnya dapat menyesuaikan pilihan harga dan jenis BBM sesuai kebutuhan mereka. a. Bensin Bensin merupakan jenis BBM primer yang langsung dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar motor penggerak yang memakai sistem pengapian. Pertamina menawarkan berbagai jenis bensin sebagai berikut: Sejarah Singkat Energi Nasional | 41 1) Produk Premium; bensin berwarna kuning, ditujukan untuk kendaraan berbahan bakar bensin. Premium merupakan produk komersial Pertamina berupa BBM yang mempunyai nilai oktan paling rendah. Dalam penggunaannya, minyak Premium dengan nilai RON 88, cocok untuk mobil atau kendaraan dengan kompresi mesin rendah, yaitu di bawah 9:1. 2) Produk Pertalite; bensin beroktan 90, sedikit di atas Premium dan menjangkau konsumen lebih luas. BBM ini ditujukan pada pengguna kendaraan yang rasio kompresinya bervariasi dari 9:1 sampai dengan 10:1. 3) Produk Pertamax; bensin beroktan 92, jauh diatas Premium, dan ditujukan untuk kendaraan dengan kompresi rasio berkisar antara 10:1 sampai dengan 11:1. Umumnya BBM ini cocok bagi konsumen kelas menengah ke atas yang menggunakan kendaraan relatif keluaran baru yang lebih modern. 4) Produk Pertamax Turbo; bensin beroktan 98, suatu produk yang ditujukan bagi konsumen kelas atas yang menggunakan kendaraan berteknologi tinggi dan tergolong mobil mewah. Nilai oktan 98 jauh lebih tinggi dari jenis bensin sebelumnya, ditujukan bagi kendaraan yang mempunyai rasio kompresi antara 11:1 hingga 13:1. 5) Produk Pertamax Racing; bensin beroktan 100, yang ditujukan kepada para konsumen yang dapat memacu kendaraannya seperti di lintasan balap pacu (racing). BBM tersebut bernilai oktan 100 yang hanya ditujukan bagi kendaraan dengan mesin berasio kompresi di atas 13:1. b. Minyak Solar Bahan bakar bernama lain High Speed Diesel (HSD) ini ditujukan bagi mobil yang berbasis diesel. Bahan bakar ini juga lazim dipakai untuk mesin umum, serta transportasi umum. c. Minyak Tanah Walau tidak dipakai untuk kendaraan jenis apa pun, bahan bakar ini tetap masuk ke dalam jenis BBM. Sebagaimana yang diketahui, bahan 42 | Rekayasa Sistem Energi Nasional d. e. f. g. h. i. bakar ini lazim dipakai untuk kepentingan rumah tangga dan usaha kecil. Semisal memasak dan juga bahan bakar untuk penerangan. Minyak Bakar Bahan bakar satu ini merupakan bahan bakar hasil residu dengan ciri khas berwarna hitam. Seperti halnya minyak tanah, jenis BBM ini tidaklah diperuntukkan untuk kendaraan. Tetapi, dipakai untuk bahan bakar pada steam power station. Jenis BBM ini punya kekentalan yang cukup tinggi. Minyak Diesel Jenis BBM ini cocok untuk kendaraan bermesin diesel. Ciri khas bahan bakar ini adalah warnanya yang hitam, serta bentuknya yang agak encer atau cair. Bahan bakar ini dihasilkan dari proses penyulingan minyak. Biodiesel Kalau yang satu ini merupakan pengganti dari minyak diesel. Berbeda dengan diesel, bahan bakar ini dibuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Semisal minyak hewani ataupun minyak nabati. Pertamina Dex Dari namanya saja sudah jelas, bahan bakar ini merupakan asli buatan Pertamina. Bahan bakar ini mengandung sulfur di bawah 300 ppm, serta telah mencapai standar emisi gas buang EURO 2. BBM ini sangat cocok untuk mobil dengan mesin Diesel Common Rail System. Pertamina Dex diyakini dapat menghasilkan tenaga yang besar, namun irit dan ekonomis. Aviation Turbine (Avtur) Bahan bakar satu ini khusus dipakai untuk pesawat terbang. Terutama, pesawat dengan tipe mesin external combustion alias mesin turbin. Avtur sendiri dibuat dari hasil fraksi minyak bumi. Aviation Gas (Avgas) Seperti halnya avtur, bahan bakar satu ini juga khusus dipakai untuk pesawat terbang. Adapun pesawat yang cocok untuk jenis BBM ini adalah pesawat bermesin internal combustion. Jenis BBM ini juga cocok untuk pesawat dengan mesin piston berbasis pengapian. Layaknya avtur, bahan bakar ini juga dibuat dari hasil fraksi minyak bumi. Sejarah Singkat Energi Nasional | 43 44 | Rekayasa Sistem Energi Nasional KONSERVASI, TRANSISI DAN KETAHANAN ENERGI A. UMUM Dalam kehidupan seluruh makhluk dimanapun dan kapanpun tak terpisahkan dari energi karena secara alamiah energi itu meliputi keseluruhan semesta dan sekaligus berada di segala unsurnya. Dewasa ini kesadaran manusia terhadap masalah global utamanya isu polusi, pemanasan global, perubahan iklim dan pelestarian lingkungan semakin membaik. Melalui pemahaman bersama tentang pentingnya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) maka banyak program, baik pemerintah maupun swasta, semakin memperkuat komitmen untuk memakmurkan dan menjaga pelestarian planet bumi ini agar dapat terus bertahan sampai akhir jaman. Di lingkungan PBB dapat disimak perkembangan kebijakan global terhadap perubahan iklim. Dari Protokol Kyoto tahun 1997 disusul Konferensi para pihak (Conference of Parties, COP) ke 15 di Copenhagen, Denmark tahun 2009 sampai Perjanjian Paris (Paris Climate Agreement) tahun 2015, menunjukkan adanya harapan membaiknya komitmen global setiap anggota PBB untuk berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan ke depan melalui perundingan perubahan iklim. Sementara di COP ke 15 Copenhagen sempat muncul pesimisme karena tanpa komitmen yang mengikat, sebaliknya pada Perjanjian Paris hasilnya sangat positif dengan disiapkannya modalitas, prosedur dan regulasi lainnya yang operasional sifatnya. Dengan demikian Indonesia baik sebagai anggota ASEAN maupun sebagai anggota PBB, terikat untuk mempersiapkan langkah kebijakan nasionalnya sendiri guna menyongsong perubahan iklim. Sejalan dengan dinamika global diatas, bukanlah kebetulan di tahun 2022 ini Indonesia sebagai Presidensi G-20 menyiapkan konsep transisi energi sebagai salah satu dari tiga agenda utama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 bulan November mendatang di Bali. Berdasarkan pertimbangan inilah tinjauan terhadap sistem energi nasional utamanya tentang konversi, transisi dan ketahanan energi menjadi relevan dan penting untuk dikemukakan sebagai persiapan sederet perundingan perubahan iklim berikutnya. B. KONSERVASI ENERGI Berdasarkan data tahun 2011 konsumsi energi listrik/kapita di Indonesia tercatat 572 kWh/kapita dengan GDP $2,251/kapita (572.225). Pada tingkat konsumsi rendah seperti ini, posisi Indonesia masih dibawah rata-rata konsumsi listrik ASEAN (914.265) maupun dunia (2517.917). Semakin tinggi GDP suatu negara maka akan memerlukan peningkatan pasokan listriknya. Secara umum gambaran kondisi Indonesia saat ini seperti berikut: a) Permintaan energi tumbuh sekitar 7%/tahun; b) Rasio Rumah Tangga berlistrik sekitar 67.63%, pembangunan infrastruktur energi lebih banyak di kota/urban, sedangkan di pedalaman masih tertinggal; c) Energi fosil masih mendominasi penyediaan kebutuhan masyarakat (89%); d) Ketimpangan konsumsi energi antar daerah masih terjadi; e) Impor energi fosil (BBM) masih berlangsung guna menutup kebutuhan masyarakat; f) Pemakaian listrik/kapita tercatat masih rendah (570 kWh/kapita); g) Konservasi energi belum berlangsung seperti diharapkan; h) Pemanfaat EBT baru 11% padahal potensi sumber daya alamnya melimpah. 46 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 1. Pengertian Konservasi Energi Aktivitas konservasi energi mempunyai acuan hukum cukup kuat yaitu berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 dan PP No. 70 Tahun 2009. Secara umum pengertian konservasi energi menunjukkan adanya upaya masif secara sistematis yang berkelanjutan, terencana dan terintegrasi dalam rangka (a) menjaga kecukupan sumber daya energi nasional dan (b) menaikkan efisiensi pemanfaatannya. Adapun implementasi konservasi energi dilakukan di setiap tahapan tata kelola energi baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, seperti (a) rantai pasokan, (b) pengelolaan, (c) pendistribusian dan (d) kegiatan pelestarian sumber daya energi. Dengan diterapkannya konservasi energi secara nasional diharapkan akhirnya akan tercapai tujuan nasional pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan SDGs, ketahanan energi dan penurunan emisi karbon secara terukur. 2. Basis Kebijakan Konservasi Energi Kebijakan konservasi energi ini berbasis pada unsur penggerak utamanya aspek keekonomian khususnya laju pertumbuhan dan daya kompetisi ekonomi, aspek ketahanan atau kemampuan daya tahan energi (energy security) agar dapat berkelanjutan dinikmati masyarakat dan aspek pengaruh lingkungan akibat perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming). Untuk aspek keekonomian dapat difokuskan pada intensitas energi, daya saing sektor industri, menurunkan ongkos produksi dan membuka akses energi dengan harga terjangkau. Kemudian untuk memperkuat aspek ketahanannya dimulai mempersiapkan substitusi impor energi, menggalakkan penggunaan energi alternatif dalam negeri tanpa tergantung impor, membuka dan mempermudah akses bagi penggiat EBT yang dapat diandalkan, kemudian mengkampanyekan penghematan untuk mencegah pemborosan, meningkatkan efisiensi dan penggunaan bermacam-macam (diversification) energi bersih yang ramah lingkungan. Selanjutnya aspek pengaruh lingkungan tertuju pada segala usaha mengatasi dampak perubahan iklim seperti pengendalian emisi karbon dalam rangka mengurangi polusi, mitigasi pemanasan global dan menindaklanjuti kesepakatan bersama seperti termuat dalam Perjanjian Paris tahun 2015. Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 47 3. Arah Kebijakan dan Implementasi Konservasi Energi Arah kebijakan konservasi energi akan selalu menyeimbangkan aspek pasok (supply) dan aspek kebutuhan masyarakat (demand) yang dinamis menuju energi bersih tanpa emisi karbon, dengan target bauran energi akan mencapai 31 % untuk EBT di tahun 2045 nanti. Implementasi kebijakan konservasi energi intinya mengkampanyekan, mendorong, memperkuat dan memfasilitasi segala program baik yang bersifat program pendorong (push program) maupun insentif penarik (pull insentive). Sebagai langkah awal pemerintah dapat memprioritaskan edukasi bagi para pemangku kepentingan kebijakan konservasi energi ini, baik para perumus kebijakan, para peneliti dan akademisi, pelaku industri dan masyarakat konsumen. Pendidikan ini termasuk merubah pola pikir (mind set) dan kesadaran (awareness) secara nasional siapapun yang tergolong bagian dari pemangku kepentingan. Dari sisi pasok (supply), kebijakan diarahkan ke program pendorong seperti; (a) pengutamaan inovasi pemilihan teknologi, rancang bangun dan kemasan produk EBT dari sumber daya lokal, (b) peningkatan diversifikasi infrastruktur pembangkit EBT, jaringan distribusi dan tata kelola energi bersih (termasuk penguatan standar, prosedur, norma dan regulasi) yang efisien dengan biaya terjangkau, dan (c) mendukung tumbuhnya industri produk penyediaan tempat penyimpan energi (energy storage) yang mudah diangkut (portable) dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah utamanya untuk memanfaatkan listrik hasil EBT secara optimal. Khusus mengenai tempat penyimpan energi (TPE) untuk gas misalnya pakai tabung ukuran 3 kilo dan untuk listrik dapat berupa kapasitor atau baterai, akan mempermudah fleksibilitas pemakaian, menjamin kecukupan atau cadangan, mengoptimalkan distribusi dan mengefisienkan rantai pasok EBT sampai ke tangan konsumen. Sedangkan dari sisi kebutuhan (demand) maka kebijakan efisiensi dan penghematan yang telah disinggung di atas juga dapat diteruskan penerapannya sampai ke tingkat jaringan distribusi energi berupa minyak atau listrik sampai ke tangan konsumen. Selain pasokan energi dari pemerintah, elemen masyarakat, baik dari pelaku bisnis industri swasta/ perorangan dapat berpartisipasi penuh dalam membangun dan 48 | Rekayasa Sistem Energi Nasional mengembangkan pembangkit EBT secara masif berbasis pada sumber daya alam yang melimpah di seluruh bumi Nusantara. Sebagai insentif penarik, pemerintah hendaknya; (a) memfasilitasi setiap elemen masyarakat yang akan berpartisipasi dalam pembangunan pembangkit EBT melalui kemudahan pemodalan, perizinan dan bimbingan teknis administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b) memberikan insentif langsung akses EBT ke jaringan milik pemerintah agar sampai ke masyarakat konsumen secara lebih efisien, (c) pemberian keringanan pajak, pinjaman modal dan perizinan bagi penggagas dan penyedia pembangkit EBT yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas. 4. Perkembangan Regulasi Ke Energi Kebijakan konservasi energi telah diamanatkan melalui Undangundang tentang Energi No. 30 Tahun 2007 dalam Pasal 25 tentang konservasi energi sebagai berikut; Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha & masyarakat, mencakup seluruh tahap pengelolaan energi. Selanjutnya para pengguna dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi energi diberi kemudahan/insentif oleh pemerintah. Sedangkan pengguna sumber energi dan pengguna energi yang tidak melaksanakan konservasi energi diberi dis-insentif oleh pemerintah dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan konservasi energi diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Dalam undang-undang nomor 30/3007 pasal-pasal antara 9 sampai 20 memuat cukup rinci tentang pelaksanaan konservasi energi meliputi penyediaan energi, pengusahaan energi, pemanfaatan energi dan konservasi sumber daya energi. Konservasi energi sebagaimana diatur dalam PP No. 70/2009 diantaranya memuat sebagai berikut; a). Dalam Pasal 12 mewajibkan pengguna energi diatas 6000 TOE/tahun menerapkan manajemen energi yang bertugas diantaranya menunjuk manajer energi, menyusun program konservasi energi dan melaksanakan audit energi secara berkala sekaligus juga bertugas melaksanakan rekomendasi hasil audit energi dan melaporkan pelaksanaan konservasi energi kepada pemerintah, b). Kemudian Pasal 13 meminta agar manajer Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 49 energi dan auditor energi wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, dan c) lebih jauh Pasal 20 menyatakan bahwa insentif yang diberikan pemerintah kepada pengguna energi, antara lain fasilitas perpajakan berupa pembebasan pajak daerah dan bea masuk untuk peralatan hemat energi serta suku bunga rendah untuk investasi konservasi energi dan audit energi. C. REVOLUSI INDUSTRI DAN TRANSISI ENERGI Transisi energi sebenarnya tak dapat terlepas dari peradaban manusia itu sendiri. Seperti catatan sejarah manusia modern yang berkaitan dengan perindustrian, hingga sekarang telah terjadi empat kali revolusi atau popular disebut Revolusi Industri 4.0 itu. Pada Tabel 5.1 dapat dilihat lebih rinci keterkaitan antara tahapan revolusi terhadap jenis bahan bakar atau energi yang relevan dipergunakan. Tabel 5.1 Relevansi Revolusi Industri dan Transisi Energi Transisi Sumber Revolusi Periode Rincian Aspek Revolusi Energi Tahap ini sudah mulai ada mekanisasi pekerjaan tahap Kayu bakar, awal yang dilakukan minyak menggunakan tangan. Industri 1.0 1750-1890 nabati/hewani, Kemudian dengan penemuan batubara dan mesin uap, mekanisasi ini energi uap makin berkembang ke industri, misalnya pemintalan benang. Penemuan mesin Diesel 1892 mengawali revolusi kedua ini. Kayu bakar, Terjadi transformasi dalam minyak mekanisasi pekerjaan dengan nabati/hewani, Industri 2.0 1890-1950 hadirnya elektrifikasi proses energi uap, produksi. Sehingga sejak saat energi fosil itu dikenal penggunaan jalur (fossil fuel) dan perakitan elektrik. listrik 50 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Revolusi Industri 3.0 Industri 4.0 Periode 1950-2000 2000Sekarang Rincian Aspek Revolusi Industri manufaktur menjadi lebih efisien dan efektif, dengan munculnya lini perakitan (assembly lines) dan devisi pekerjaan sehingga pekerja hanya fokus pada tanggung jawabnya Berbagai inovasi teknologi utamanya penggunaan komputer dan otomasi dalam proses industri. Otomasi diikuti oleh munculnya inovasi robotik yang mampu menggantikan peran manusia sehingga semakin efisien dan efektif. Tahap ini menghadirkan tata kelola baru yang diaplikasikan di sektor manufaktur, dari mata rantai pasokan sampai ke pabrikan sering disebut lean manufacturing. Semua serba digital yang didominasi oleh bermacammacam aplikasi seperti IOT (internet of thing), big data dan cloud computing sehingga efisien dan efektif dengan manfaatnya ongkos turun tapi produksi meningkat. Transisi Sumber Energi Kayu bakar, minyak nabati/hewani, energi fosil, listrik, nuklir, EBT, dan biofuel. Kayu bakar, minyak nabati/hewani, energi fosil, listrik dan nuklir, EBT, bio-fuel, dan hidrogen Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 51 1. Revolusi Industri 1.0 Seiring dengan Revolusi Industri 1.0 yang dimulai di Inggris, di penghujung 1750an dan ditandai dengan penemuan mesin uap oleh T. Newcomen dan J. Watts, terjadi pula transisi energi. Penggunaan kayu bakar dan minyak nabati/hewani dalam kehidupan sehari-hari mulai bergeser ke batubara untuk membangkitkan energi uap. 2. Revolusi Industri 2.0 Ciri revolusi ini ditandai dengan elektrifikasi proses industri manufaktur utamanya jalur perakitan elektrik. Penemuan mesin Diesel sesuai nama penemunya Rudolf Diesel tahun 1892 telah mengawali terjadinya revolusi 2.0. Pada waktu itu mesin diesel diyakini memiliki efisiensi terbaik (sampai 50% pada kecepatan rendah, untuk mesin kapal misalnya), karena rasio kompresinya cukup tinggi. Dalam perkembangannya mesin ini semula dipakai untuk menggantikan mesin uap. Tapi di awal 1910an juga dipasang di perkapalan, perkeretaapian, kendaraan truk, PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel), dan alat-alat berat. Pada era ini telah terjadi pemanfaatan energi fosil diproses menjadi listrik yang punya banyak kelebihan dibandingkan energi primer (BBM, batubara, kayu bakar dan sebagainya). 3. Revolusi Industri 3.0 Pada era Revolusi Industri 3.0, setelah selesai Perang Dunia II, terjadi lompatan inovasi teknologi. Proses otomasi di industri manufaktur misalnya ditunjang oleh komputer dan robot. Peranan robot ini secara massif telah menggantikan buruh dan meramaikan persaingan produk di pasar global terutama guna memenuhi konsep Quality, Cost and Delivery (QCD). Produk yang berkualitas, harga terjangkau dan mampu memenuhi selera konsumen pada saat yang tepat dibutuhkan, akan menjadi keunggulan kompetitif yang dominan. Pesatnya perkembangan industri di segala bidang, mengakibatkan kebutuhan energi fosil melonjak tinggi. Banyak negara industri maju saling berlomba untuk menguasai pasokan energi sampai ke sumbernya, bila perlu melalui peperangan. Oleh karenanya Wilayah Timur Tengah yang dikenal sebagai pusat produsen 52 | Rekayasa Sistem Energi Nasional minyak (BBM) dan gas bumi (BBG) menjadi wilayah yang paling bergejolak akibat kerusuhan atau peperangan (hot region). Harga BBM di tahun 1970an, seperti diulas pada bab IV sebelumnya, pernah mengalami lonjakan sehingga memberikan keuntungan berlipat ganda bagi para produsennya, termasuk Indonesia menikmati bonanza minyak. Sebaliknya era tahun 1980an harga BBM pernah anjlok dan sangat merugikan para produsen. Dengan kata lain energi telah masuk ranah politik global, yang turut meramaikan Era Perang Dingin antar Barat dengan Uni Soviet (sekarang setelah pecah jadi Rusia). Pada periode ini transisi energi berlangsung sangat signifikan, karena energi nuklir dan EBT mulai dimanfaatkan sebagai alternatif penggunaan energi fosil bio-fuel. 4. Revolusi Industri 4.0 Dampak langsung Revolusi Industri 4.0 telah menimbulkan disrupsi teknologi yang tak terelakkan terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. Banyak hal baru muncul seperti faktor kecepatan dan penguasaan manajemen informasi ternyata menjadi kunci eksistensi dan kompetisi sektor Industri. Pada era ini pula ukuran perusahaan dan kepemilikan asset bukanlah segalanya, melainkan manajemen dengan kemampuan adaptasi dan kegesitan menggunakan teknologi digital secara optimal menjadi penting. Tanpa harus meninggalkan rumah atau bepergian, seseorang dapat berbelanja segala kebutuhannya dengan ongkos jauh lebih murah. Berbekal penguasaan aplikasi digital, perusahaan unicorn bermunculan walaupun aset tak seberapa, seperti OJOL (ojek on-line), Toserba (toko serba ada on-line), restoran on-line dan lainnya. Revolusi ini dimotori oleh munculnya metode manufaktur (lean manufacturing) dan produksi (lean production) yaitu mempertimbangkan proses pengintegrasian seluruh sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan nilai ekonomisnya melalui konsep big data, internet of thing (IOT) dan cloud computing. Pihak industri atau pabrikan akan memperoleh manfaatnya yaitu dapat menghemat biaya tapi produksi tetap meningkat. Dari sisi transisi energi, dibandingkan dengan era sebelumnya, maka pada revolusi 4.0 ada perbedaan sedikit yang menggembirakan. Penggunaan EBT secara global terus meningkat. Demikian pula di Indonesia kontribusi EBT bertambah dari 6.9% di tahun 2010 menjadi 11% Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 53 untuk bauran energi di tahun 2019. Target nasional EBT meningkat menjadi 23% pada tahun 2025 menurut BAPPENAS akan mencapai angka 31% pada tahun 2045 nanti. Sejalan dengan komitmen para pihak (parties) terhadap Perjanjian Paris 2015, terjadi kecenderungan global bahwa energi masa depan sepertinya kembali ke energi bersih terutama EBT seperti masa revolusi pertama. D. TRANSISI ENERGI Transisi energi merupakan pekerjaan rumah setiap negara yang punya komitmen terhadap Protokol Kyoto, Kopenhagen dan Perjanjian Paris 2015. Bermacam-macam skenario dapat dipilih untuk mencapai kondisi yang ideal dari masing-masing negara. Pembangunan PLTA raksasa di sungai, kincir angin raksasa yang bilahnya sepanjang 60 meter dan tenaga surya (PLTS) yang panelnya membentang ratusan meter persegi. Bahkan untuk PLTS umpamanya, dapat memakai panel surya fleksibel yang dipasang menutupi permukaan jalan Tol beribu kilometer panjangnya. Teknologi yang mereka terapkan memungkinkan kendaraan berbagai jenis, dari ringan sampai berat, lalu lalang di atas panel surya tersebut tanpa merusaknya. Sesuai target terhitung tahun 2030, China akan meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke EBT. Demikian pula beberapa negara Skandinavia seperti Swedia, mengikuti jejak China dan mereka memasang target serupa. 1. Belajar dari Negara Lain Ada tiga contoh pembelajaran mengenai penangan transisi energi, salah satunya Swedia mewakili Eropa Barat, Brazil mewakili Amerika Latin dan satu lagi Bhutan mewakili kondisi ideal penanganan lingkungan hidup. Swedia dipilih karena kesungguhan mereka mempersiapkan diri jauh hari guna secara konsisten mengurangi emisi karbon menuju zero net emission dan kemudian nantinya meninggalkan sama sekali bahan bakar fosil. Brazil juga tak kalah gigihnya berjuang selama seabad lebih mengembangkan etanol dari tanaman tebu untuk dicampur dengan BBM dan siap beralih ke EBT. Bhutan dipilih karena satu-satunya negara di dunia ini yang emisi karbonnya negatif alias oksigen yang dihasilkan lebih banyak dari karbonnya. 54 | Rekayasa Sistem Energi Nasional a. Swedia Swedia sebagai salah satu Negara anggota International Energy Agency (IEA) sejak lama dan konsisten mengembangkan EBT. Salah satu pembangkit listriknya telah berjalan sukses dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan bakunya atau sering disebut PLTSa, yang terletak di kota kecil Bouros. Bahkan seringkali pengelola PLTSa Bouros mengimpor langsung sampah dari negara tetangganya Norwegia. Listrik yang dihasilkan disalurkan ke industri dan rumah tangga melalui smart grids, sedangkan minyak dari sampah plastik dipakai untuk menjalankan kendaraan pemerintah setempat. Proyek percontohan ini dapat sukses karena mendapat sambutan masyarakat Bouros melalui partisipasi langsung dalam proses pemilahan sampahnya. Swedia sejauh ini cukup sukses dengan program kebijakan energinya antara lain: 1) Intensitas karbon turun bertahap; 2) Pemakaian EBT terus bertambah dan energi nuklir berkurang; 3) Pajak energi dan emisi karbon dioksida diterapkan dengan sungguh-sungguh. Sebagai pedoman transisi energi Swedia terus memfokuskan pada tema sentral negerinya yaitu “Integrated Climate and Energy Policy Framework”. Dengan demikian jika semua program berjalan sukses, maka Swedia pada tahun 2030 akan mencapai targetnya; (a). Elektrifikasi armada angkutannya dan terbebas dari fossil fuel dan (b). Peningkatan EBT sehingga mampu menggantikan listrik dari PLTN nya. b. Brazil Berawal dari tahun 1973, saat terjadi krisis BBM global akibat kebijakan organisasi ekspotir minyak bumi (OPEC), Brazil terpicu untuk bergerak cepat mengatasinya. Pencanangan “Programa Nacional do Alcool” membawa Brazil mendorong pengembangan bio-etanol sebagai solusi andalan masalah energinya. Percobaan di lingkungan laboratorium yang dilakukan oleh para penelitinya Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 55 telah menunjukkan berbagai variasi campuran antara bio-etanol dengan BBM untuk diuji coba pada kendaraan. Hasil yang optimal diperoleh manakala campuran bio-etanolnya 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut sejak tahun 2009 sampai sekarang campuran bio-etanol tetap 25% dan disusul kebijakan lainnya guna melarang penjualan BBM murni di pasar bebas. Kesuksesan program bio-etanol ini didukung oleh program pendorong (push program) dan insentif penarik (pull incentive) yang masing-masing dapat diuraikan dibawah ini. 1) Program Pendorong a. Melarang penggunaan BBM murni untuk kendaraan; b. Mendorong produksi mobil fleksibel; c. Mengembangkan rekayasa genetika tanaman tebu sebagai sumber utama bio-etanolnya; d. Menyempurnakan teknologi proses, produksi, pengepakan, pemasaran dan rantai pasoknya; 2) Insentif Penarik a. Partisipasi dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dalam produk bio-etanol dan mobil fleksibel sangat terbuka melalui skema pinjaman lunak; b. Jaminan Pemerintah untuk membeli produk bio-etanol dari DUDI melalui BUMN/BUMD yang ditunjuk pada tingkat harga wajar yang menguntungkan; c. Konsumen dapat menikmati harga eceran yang terjangkau; d. Penerapan keringanan pajak bagi konsumen kendaraan fleksibel. e. Pajak diberi keringanan, khususnya selama tahun 1980 guna merangsang pembelian kendaraan etanol. c. Bhutan Kerajaan Bhutan di Himalaya, suatu negara di atas angin, yang kebijakan nasionalnya menggabungkan antara pelestarian lingkungan hidup dan kebahagiaan rakyatnya. Konsepnya sangat unik dengan mengedepankan kualitas hidup dan kehidupan dibalut menjadi “Gross National Happiness” yang mengakar pada 56 | Rekayasa Sistem Energi Nasional ajaran Budhisme. Konsep ini ditujukan untuk memberi keseimbangan antara program pelestarian lingkungan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Pengembangan EBT di Bhutan mengandalkan energi air dan hutan, yang sebenarnya sangat rentan terkena dampak langsung dari pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karenanya Bhutan sangat waspada terhadap aspek ekologi yang akan berpengaruh terhadap ekonominya dan kualitas kebahagiaan masyarakatnya. 2. Masa Depan Indonesia Dewasa ini Indonesia menghadapi masa transisi energi. Selain perubahan paradigma dari supply management menjadi demand management, juga secara gradual merubah orientasi kebijakan untuk lebih memprioritaskan energi baru dan terbarukan (EBT) dan alternatif lainnya yang jauh lebih efisien dan ramah lingkungan. Transisi Energi tersebut dapat dipetakan sebagai berikut: a. Arah Kebijakan Jika mengacu kepada tiga negara pembanding, Indonesia akan menghadapi pilihan konsep ekonomi energi yang meliputi tahapan; a). ekonomi berbasis hydrocarbon, b). ekonomi berbasis rendah karbon, c). ekonomi dengan zero net carbon emission atau d). ekonomi ekologis. Kebijakan nasional akan transisi energi yang terkait erat dengan bidang perekonomian memerlukan pilihan dan tahapan program yang tertuang ke dalam konsep holistik. Artinya setelah menentukan program pilihan wajib dilaksanakan secara konsisten dan penuh kehati-hatian. Posisi Indonesia saat ini masih tergolong pada ekonomi berbasis hidrokarbon. Perubahan sedang terjadi terhadap reorientasi arah kebijakan, yang tadinya mendahulukan sisi pasokan (supply side) berubah ke sisi permintaan (demand side). Sebab penataan dan pengelolaan sisi permintaan sektoral menjadi jauh lebih efisien agar nantinya dapat memenuhi komitmen nasional terhadap pengurang emisi karbon, gas rumah kaca dan efek perubahan iklim. Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 57 b. Fokus Peningkatan EBT Seperti telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya bahwa kontribusi EBT pada bauran energi ada sedikit kenaikan dari 7% di tahun 2013 menjadi 11 % di tahun 2019. Sesuai target awal, EBT akan terus meningkat ke angka 23% di tahun 2025 dan mencapai 31% pada tahun 2045. Dengan kata lain pada waktu bertepatan dengan usia NKRI ke 100 tahun, maka perekonomian Indonesia baru mencapai tahapan ekonomi berbasis rendah karbon. Kenyataan jika mengikuti kebijakan ini, atau pilihan skenario lambat apa adanya, akan menimbulkan pertanyaan kemampuan Indonesia memanfaatkan secara optimal terhadap melimpahnya sumber daya alam yang berpotensi jadi EBT. Kemungkinan yang lebih logis tentunya memilih skenario yang mampu mengakselerasi pencapaian target EBT tersebut. Direncanakan pada tahun 2060 Indonesia baru akan mencapai Zero Net Carbon Emission. c. Akselerasi Transisi Energi Program akselerasi ini dapat menjadi program pendorong (push program) secara nasional. Jika semua faktor secara holistik dapat dikerahkan, bukan tak mungkin ada peluang guna melakukan akselerasi transisi energi tersebut dengan memperhatikan perkembangan revolusi industri 4.0 sebagai prasyarat berikut ini: 1) Melakukan transformasi digital secara menyeluruh dalam tata kelola pengembangan EBT mengikuti kaidah lean manufacturing dan lean production; artinya mampu mengintegrasikan seluruh sumber daya dalam proses manufaktur dan produksi dengan biaya semakin murah tetapi produksinya terus meningkat. 2) Transformasi dari pemakaian BBM atau ekonomi berbasis hidrokarbon ke elektriktrifikasi peralatan atau ekonomi rendah karbon; pemanfaat EBT dari sumber daya alam sekitar langsung dapat disimpan dalam bentuk listrik di tempat penyimpanan (baik berupa baterai, kapasitor atau lainnya) sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu, mudah diangkut sampai ke konsumen, biaya terjangkau dan mudah diakses bagi yang membutuhkan. 58 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 3) Transformasi kebijakan transisi energi terpusat menuju desentralisasi yang terukur dan terintegrasi; artinya dalam pengembangan, pembangunan dan pengelolaan EBT di suatu wilayah maka kewenangannya dapat diserahkan langsung kepada otoritas setempat yang mengaturnya secara mandiri sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar. Keberhasilan desentralisasi ini patut didukung dengan tersedianya peta sumber daya alam yang berpotensi EBT di setiap wilayah, jika memungkinkan dari provinsi sampai ke kelurahan, agar tercapai kemandirian EBT di suatu wilayah tertentu. 4) Transformasi dari jaringan listrik konvensional ke jaringan cerdas (smart grids) yang lebih efektif dan efisien; kebijakan ini diharapkan akan mampu meningkatkan pelayanan kepada konsumen agar dapat menikmati listrik dengan harga terjangkau, akses lebih mudah, transparan dan terukur. 5) Transformasi dari tingkat ketahanan energi yang rentan ke tingkat lebih handal menjadi bagian tak terpisahkan dari Ketahanan Nasional; artinya jika karena sesuatu sebab Indonesia terisolir ekonominya secara total, negara masih dapat menjamin tersedianya energi untuk tetap bertahan hidup minimal selama setahun penuh. Dari program pendorong di atas, agar dapat diimplementasikan dengan sukses, berikut akan diuraikan berbagai insentif penarik (pull incentive) yang dapat disediakan oleh pemerintah seperti dibawah ini: 1) Jaringan internet secara masif dibangun dan disediakan oleh pemerintah sampai ke pelosok dan pedalaman agar pelayanan daring dapat dinikmati masyarakat lebih luas; kondisi ini akan memungkinkan DUDI (dari perorangan dan UKM khususnya) dapat memasarkan produk keunggulan lokal ke dunia luar. 2) Pembangunan penyimpanan energi (energy storage) diprioritaskan kepada siapa saja dengan bantuan pemerintah melalui BUMN/BUMD yang siap menawarkan skema pendanaan murah dan fleksibel; artinya sebagai komponen strategis untuk memanfaatkan EBT, tempat penyimpanan energi wajib dikuasai dan dapat menjadi keunggulan kompetitif nantinya. Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 59 3) Peta sumber alam lokal yang berpotensi menjadi EBT dapat disediakan oleh pemerintah pusat/daerah dengan diperkuat oleh regulasi tentang pelimpahan kewenangan pusat ke daerah; ini mengindikasikan agar semua lapisan pemerintah beserta rakyatnya dapat terlibat dan berkolaborasi secara terpadu. 4) Fasilitas jaringan listrik dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dan dapat diakses oleh para pengelola DUDI dengan segala kemudahannya; karena akses ke jaringan akan menjangkau sampai ke konsumen yang membutuhkannya sehingga perlu tata kelola yang adil, bertanggung jawab dan efisien. 5) Ketahanan energi bukan hanya kewajiban pemerintah pusat/daerah tetapi seluruh rakyat semesta; maksudnya dengan adanya kebijakan desentralisasi maka ketahanan energi dapat dirancang dari tingkat desa mandiri energi sampai ke tingkat nasional. d. Skema Insentif Global (global incentive scheme) Skema insentif ini utamanya ditujukan guna mendorong upaya penurunan emisi karbon dan efek gas rumah kaca. Para ekonom dunia menyepakati bahwa insentif global dapat menjadi solusi yang adil. Sesuai kesepakatan, maka insentive karbon global (global carbon incentive, GCI) ini ditentukan sesuai dengan berapa emisi karbon per kapita suatu negara dibandingkan dengan nilai rata-rata global. Bila suatu negara ternyata emisi karbonnya lebih tinggi dari nilai rata-rata global (sekitar 5 ton/kapita) maka akan diwajibkan membayar pajak karbon setiap tahunnya. Pajak karbon ini hitungannya cukup sederhana yaitu mengalihkan besaran ekses emisi karbon/kapita dengan jumlah populasinya dan GCI (nilainya $10 per ton). Sebaliknya bagi negara yang emisinya lebih rendah dari emisi global akan memperoleh insentif karbon setiap tahunnya secara adil. Besaran pajak karbon maupun insentifnya dapat mencapai puluhan miliar dollar per tahunnya. E. KETAHANAN ENERGI BBM menjadi salah satu komoditas andalan sejak era kolonial di abad XIX dengan penemuan sumur-sumur minyak dan gas di Sumatra maupun Jawa. Selain sebagai sumber energi kehidupan sehari-hari, sesuai amanat 60 | Rekayasa Sistem Energi Nasional Konstitusi/UUD 1945, maka BBM merupakan sumber kekayaan alam yang dikuasai negara dan ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pada awal Orde Baru sebagaimana telah dibahas di Bab sebelumnya, bonanza minyak dan gas bumi mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dan menyelamatkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Perwujudan amanat Konstitusi tersebut di era pemerintahan Jokowi dilakukan melalui penerapan kebijakan Single Price Policy untuk BBM di seluruh pelosok Nusantara. Dengan demikian masyarakat di pedalaman Papua atau di tempat terpencil lainnya dapat menikmati harga BBM yang sama. Penguasaan kembali Blok Rokan dan Mahakam oleh pemerintah, termasuk pembubaran unit bisnis anak perusahaan Pertamina bernama Petral dan pencabutan subsidi BBM yang salah sasaran, memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah hadir dalam upaya menjalankan amanat Konstitusi. Tabel 5.2 Peringkat Indeks Keberlanjutan Energi Dunia WORLD ENERGY COUNCIL (WGC) INDEX RELATED TO INDONESIA ENERGY SECURITY World Energy Council Energy Sustainability Index Rankings by WEC: Indonesia stayed at 60th ranking (2012), after slipped down from 47th ranking (2011) and dropped from 29th ranking (2010). Negara Ranking Kanada 1 Swedia 2 Denmark 3 Zimbabwe 4 Kolombia 5 ….. Jepang 7 Australia 25 USA 27 Filipina 52 Thailand 58 Indonesia 60 Source: DEN Modified Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 61 Dewan Energi Dunia (World Energy Council,WEC) secara berkala menerbitkan index keberlanjutan energi sebagai salah satu parameter yang dapat dikaitkan dengan pemeringkatan ketahanan energi suatu negara, seperti terlihat pada Tabel 5.2. Negara yang termasuk di 10 peringkat atas pada umumnya sudah memiliki cadangan energi dalam jumlah mencukupi sebagai bagian dari ketahanan energi mereka. Indonesia sendiri menduduki peringkat 60 terhitung tahun 2012. Pada tahun 2010 sempat menduduki peringkat ke 29, kemudian melorot ke urutan 47 di tahun 2011 dan akhirnya turun lagi ke peringkat 60. Laporan mutakhir tahun 2021 WEC menerbitkan World Energy Trilemma Index yang berbasis pada perhitungan tiga aspek gabungan masing-masing terdiri dari aspek keamanan energi (energy security), ekuitas energi (energy equity) dan pelestarian lingkungan (environmental sustainability). Keamanan energi; aspek pertama yang terkait kapasitas suatu negara terhadap kehandalan dan ketahanannya untuk menjamin kebutuhan energinya saat ini sampai rentang waktu ke depan ketika menghadapi disrupsi yang mengejutkan semisal isolasi lingkungan. Ekuitas energi; aspek ini merupakan hasil asesmen terhadap kemampuan suatu negara untuk menyediakan akses universal yang handal, terjangkau dan berlimpah energi untuk keperluan sendiri maupun komersial. Pelestarian lingkungan; ialah aspek yang menunjukkan upaya transisi sistem energi suatu negara untuk melakukan mitigasi dan menghindari kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim. Kali ini ada 127 negara yang dilibatkan dan digolongkan ke dalam 101 pemeringkatan. Berdasarkan penilaian terhadap index gabungan tersebut saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 58. Negara ASEAN lainnya memperoleh peringkat berturut-turut Malaysia 25, Singapore 34, Brunei 38, Thailand 53, Vietnam 61, Phillippines 70, Cambodia 82 dan Myanmar 83. Posisi di ASEAN menunjukkan bahwa Indonesia masih lebih baik dibanding Vietnam, Phillippines, Cambodia dan Myanmar tetapi lebih buruk daripada Malaysia, Singapore, Brunei dan Thailand. Gabungan ketiga aspek diatas merepresentasikan ketahanan energi suatu negara yang secara fisik diwakili kesiapannya terhadap a). cadangan strategis energi, b) cadangan penyangga dan c). cadangan operasional. Beberapa negara seperti Jepang dan Singapura mempunyai cadangan 62 | Rekayasa Sistem Energi Nasional strategisnya guna bertahan hidup dari isolasi total minimal selama setahun. Negara pulau misalnya Singapura sudah menyiapkan reservoir hidrokarbon sebagai cadangan strategis di kedalaman lebih dari 150m di bawah lautnya. Sedangkan Indonesia kondisinya dapat dibilang cukup rentan. Jika menggunakan standar WEC, Indonesia belum menyediakan baik cadangan strategis maupun penyangganya karena yang siap baru cadangan operasional yaitu yang disiapkan oleh BUMN Pertamina selama sekitar 3 minggu. Walau demikian masih ada optimisme dengan selesai pembangunan Kilang BBM di Tuban dengan kapasitas 12 juta barrel yang akan segera beroperasi di tahun 2022. Bila itupun dianggap belum sepadan, sumber alam Nusantara masih mampu diunduh energinya kapan saja. Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 63 64 | Rekayasa Sistem Energi Nasional PENUTUP A. UMUM Kehidupan manusia selalu lekat dengan masalah energi, karena pada dasarnya alam semesta beserta seluruh isinya tak lain adalah representasi bentuk energi sesuai fungsi dan perannya masing-masing. Energi merupakan elemen vital dalam kehidupan manusia dan semesta. Mudah untuk dipahami bagi negara yang kaya akan sumber energi, akan menjadi target atau incaran negara maju dan adidaya. Negara maju akan memberikan dua opsi, menjadi mitra atau lawan mereka. Jika lawan, cepat atau lambat sumber energi tersebut akan berpindah dikuasai mereka dengan cara apapun. Sebaliknya sebagai mitra, siap-siap harus mengikuti apa kemauan mereka, karena negara maju tersebut ingin memperoleh keuntungan maksimal. Kedua opsi tersebut tak serta-merta berlaku manakala negara penghasil energi ini cukup kuat. Boleh jadi perang menjadi opsi lain yang dipilih. Sebaliknya negara yang tak punya sumber energi akan selalu tergantung kepada negara lain seumur hidupnya. Selama puluhan tahun di era perang dingin, energi telah menjadi salah satu alasan untuk memicu perang berkepanjangan. Perang dingin yang berlangsung antara Blok Barat (AS dan sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) telah mengakibatkan wilayah Timur Tengah (sebagai negara mayoritas penghasil BBM dunia) selalu membara, sampai akhirnya merambat ke negara tetangganya seperti Afganistan, Irak dan Iran. Demikian pula yang sedang terjadi pada perang Rusia-Ukraina sejak 24 Februari 2022 lalu, telah memunculkan isu penghentian pasokan gas Rusia ke negara-negara Barat sebagai ancaman serius. Mempertimbangkan semua uraian di atas, maka timbul pertanyaan; adakah mekanisme pengelolaan energi yang adil, bermartabat, mengikat dan dapat diterima semua negara di dunia? Betulkah energi menjadi berkah Tuhan yang dapat dinikmati siapapun dan dimanapun tanpa merusak lingkungan hidup? Mungkinkah energi bersih tanpa emisi karbon selalu tersedia di alam dan dapat diunduh secara percuma alias gratis oleh siapapun yang memerlukannya? Masih banyak lagi pertanyaan lanjutannya yang pada akhirnya bermuara kepada kenyataan bahwa energi itu anugerah Tuhan yang ditujukan untuk seluruh ciptaannya. Jawaban dari sederet pertanyaan tersebut pernah diajukan melalui gagasan genius oleh Nicolas Tesla. B. GAGASAN TESLA Seorang inventor, innovator dan peneliti bernama lengkap Nicolas Tesla (1846-1943), warga Amerika keturunan Serbia, menghasilkan banyak sekali buah karya yang telah menginspirasi para ilmuwan. Dari sekian banyak kreasinya, dia pernah mempunyai idea genius (mungkin oleh sebagian ilmuwan dipandang gila) yaitu memanfaatkan atmosfir bumi seperti konduktor elektrik yang rinciannya dituangkan ke dalam gagasan atau konsep tentang “World Wireless System”. Menurut Tesla, konsepnya akan mampu mewujudkan transmisi energi listrik tanpa kabel dan demikian juga berlaku untuk telekomunikasi serta pengiriman sinyal/data secara bersamaan (broadcasting) dalam skala global. Bagi seorang peneliti seperti Tesla, bumi dan atmosfir penuh dengan sumber daya energi. Fenomena di atmosfir untuk sumber energi listrik yang berupa sinar matahari, angin, kilat, petir, halilintar dan lainnya, semestinya dapat diunduh, kemudian dikumpulkan melalui receiver ke tempat penyimpanan energi berupa listrik DC dan ditransmisikan kembali ke atmosfir. Dapat dibayangkan jika atmosfir berfungsi bukan hanya konduktor elektrik semata tapi juga sebagai “power bank” yang menyediakan energi bersih ke seluruh permukaan bumi, dapat dimanfaatkan kapan saja oleh siapa saja walau di tempat terpencil sekalipun. Selain itu bumi juga dapat 66 | Rekayasa Sistem Energi Nasional menjadi medium telekomunikasi dan penyiaran data sehingga akan mendekatkan masyarakat di pelosok ujung dunia dengan berbagai informasi/data sebagaimana dinikmati kelompok masyarakat di perkotaan umumnya. C. BUMI HIJAU DAN MAKMUR Seperti uraian di atas, gagasan Tesla dapat menjadi masukan berharga guna mengembangkan energi idaman dengan segala kelebihannya seperti bersih tanpa polusi, ramah lingkungan, mudah diakses, gratis dan dapat dinikmati bersama. Telekomunikasi dan penyiaran informasi/data ke segala penjuru dunia telah dapat diwujudkan saat ini melalui jaringan internet. Optimisme muncul kembali terhadap realisasi atmosfir bumi menjadi “global power bank” atau “listrik untuk semua (electric for all)” secepatnya menjadi kenyataan, asalkan semua pihak mendukung terutama negara adi daya. Dengan kemajuan IPTEK pada saat ini sudah selayaknya gagasan menyediakan “global power bank” dapat diwujudkan tanpa kendala berarti. Kendala yang mungkin terjadi hanya jika para pebisnis energi dan afiliasinya sulit beradaptasi dengan semua kemudahan ini. Dapat diilustrasikan secara singkat jika energi bersih tersedia gratis berupa “listrik untuk semua” akan membawa perbaikan fenomenal di tatanan sosial budaya dan lingkungan hidup sekaligus. Emisi karbon menurun drastis di seluruh muka bumi, efek gas rumah kaca (GHG) teratasi, bumi makin ramah sebagai tempat berkembangnya semua makhluk hidup, kelestarian alam terjaga dan segala bentuk pengrusakan oleh manusia lainnya dapat dibatasi, maka bumi ini akan semakin hijau dan makmur. Surga dunia atau “Heaven on Earth” akhirnya terwujud. Penutup | 67 REFERENSI 1. Agus Sugiyono. Outlook Kelistrikan Indonesia 2010-2030: Prospek Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan. In: Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012. 2012. p. 87–94. 2. Aimon H, Dwita S, Susanto P. The relationship between consumption and imports of fuel oil in indonesia. J Ekon Malaysia. 2020;54(2):125– 36. 3. Albers A. Five Hypotheses about Engineering Processes and their Consequences. In: Proceedings of the 8th International Symposium on Tools and Methods of Competitive Engineering - TMCE 2010. 2010. p. 1–13. 4. Amorim H V., Lopes ML, De Castro Oliveira JV, Buckeridge MS, Goldman GH. Scientific challenges of bioethanol production in Brazil. Appl Microbiol Biotechnol. 2011;91(5):1267–75. 5. Andadari RK, Mulder P, Rietveld P. Energy poverty reduction by fuel switching. Impact evaluation of the LPG conversion program in Indonesia. Energy Policy [Internet]. 2014;66:436–49. 6. Arsita SA, Saputro GE, Susanto. Perkembangan Kebijakan Energi Nasional dan Energi Baru Terbarukan Indonesia. J Syntax Transform [Internet]. 2021;2(12):1779–88. 7. Artha B, Putra JA. Pengaruh Penggunaan Energi Terbarukan Terhadap Produk Domestik Bruto (Studi Kasus di Indonesia). Ef J Ekon dan Bisnis [Internet]. 2020;11(2):143–8. 8. Arze del Granado FJ, Coady D, Gillingham R. The Unequal Benefits of Fuel Subsidies: A Review of Evidence for Developing Countries. World Dev. 2012;40(11):2234–48. 9. ASEAN Centre for Energy, The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040 10. Atty D, Zulkifli M, Muhammad H, Hamzah Z, Trijana RS. Economy Growth and Oil Import Requirement in Indonesia. In: Special Issue for International Conference on Energy, Environment and Sustainable Economy (EESE 2013. 2013. p. 76–84. 68 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 11. Aughenbaugh JM, Paredis CJJ. The value of using imprecise probabilities in engineering design. J Mech Des Trans ASME. 2006;128(4):969–79. 12. Azam M, Khan AQ, Zaman K, Ahmad M. Factors determining energy consumption: Evidence from Indonesia, Malaysia and Thailand. Renew Sustain Energy Rev [Internet]. 2015;42:1123–31. 13. Badaruddin M. Indonesia Rejoining OPEC: Dynamics of the Oil Importer and Exporter Countries. JAS (Journal ASEAN Stud. 2016;3(2):116. 14. Bayu H, Windarta J. Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan PLTS di Indonesia. J Energi Baru dan Terbarukan. 2021;2(3):123–32. 15. Blum NU, Sryantoro Wakeling R, Schmidt TS. Rural electrification through village grids - Assessing the cost competitiveness of isolated renewable energy technologies in Indonesia. Renew Sustain Energy Rev. 2013;22:482–96. 16. Brémond V, Hache E, Mignon V. Does OPEC still exist as a cartel? An empirical investigation. Energy Econ. 17. Brenna M, Falvo MC, Foiadelli F, Martirano L, Poli D. Sustainable Energy Microsystem (SEM): Preliminary energy analysis. 2012 IEEE PES Innov Smart Grid Technol ISGT 2012. 2012;1–6. 18. Brotosusilo A, Apriana IWA, Satria AA, Jokopitoyo T. Littoral and Coastal Management in Supporting Maritime Security for Realizing Indonesia as World Maritime Axis. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 2016;30(1). 19. Chapsos I, Malcolm JA. Maritime security in Indonesia: Towards a comprehensive agenda? Mar Policy [Internet]. 2017;76(April 2016):178–84. 20. Cunado J. Structural breaks and real convergence in opec countries. J Appl Econ [Internet]. 2011;14(1):101–17. 21. Dani S, Wibawa A. Challenges and policy for biomass energy in Indonesia. Int J Business, Econ Law. 2018;15(5):41–7. 22. Dartanto T. BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia Teguh. Inovasi2. 5AD;05(November 2004):1–110. Referensi | 69 23. Dartanto T. Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal balance and poverty in Indonesia: A simulation analysis. Energy Policy. 2013;58:117–34. 24. Daryono, Wahyudi S, Suharnomo. The development of green energy policy planning model to improve economic growth in Indonesia. Int J Energy Econ Policy. 2019;9(5):216–23. 25. Dewata ER, Hariyati F, Nordin S. Study of Pertashop & BBM Satu Harga in Parigi Baru Village on Pertamina’ s Reputation Measured by Customer-Based Brand Equity. J Ris Kominukasi. 2022;5(2):32–50. 26. Dounis AI, Caraiscos C. Advanced control systems engineering for energy and comfort management in a building environment-A review. Renew Sustain Energy Rev. 2009;13(6–7):1246–61. 27. Du X, Chen W. Towards a better understanding of modeling feasibility robustness in engineering design. J Mech Des Trans ASME. 2000;122(4):385–94. 28. Dutson AJ, Todd RH, Magleby SP, Sorensen CD. A Review of Literature on Teaching Engineering Design Through Project-Oriented Capstone Courses. J Eng Educ. 1997;86(1):17–28. 29. Efendi D. Dasar pembangunan di Indonesia dan Malaysia: suatu analisis perbandingan. Jebat Malaysian J Hist Polit Strateg Stud. 2012;39(2):96–115. 30. Galiana FD, Bouffard F, Arroyo JM, Restrepo JF. Scheduling and pricing of coupled energy and primary, secondary, and tertiary reserves. Proc IEEE. 2005;93(11):1970–82. 31. Göke L. A graph-based formulation for modeling macro-energy systems. Appl Energy [Internet]. 2021;301(July):117377. 32. Gunningham N. Managing the energy trilemma: The case of Indonesia. Energy Policy [Internet]. 2013;54:184–93. 33. Hasan MH, Mahlia TMI, Nur H. A review on energy scenario and sustainable energy in Indonesia. In: Renewable and Sustainable Energy Reviews. Elsevier Ltd; 2012. p. 2316–28. 34. Herwin H, Giriansyah B., Rau IT. TOTAL’s experiences in tackling mature field challenges in the Mahakam PSC. Search Discov. 2018;30565:9. 70 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 35. Hwang JH, Yoo SH. Energy consumption, CO2 emissions, and economic growth: Evidence from Indonesia. Qual Quant. 2014;48(1):63–73. 36. Iannacci J. Microsystem based Energy Harvesting (EH-MEMS): Powering pervasivity of the Internet of Things (IoT) – A review with focus on mechanical vibrations. J King Saud Univ - Sci 37. Ikhsan M, Dartanto T, Usman S. Kajian dampak kenaikan harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. 38. International Renewable Energy Agency (IRENA). Renewable Energy Prospects: Indonesia. REmap 2030. 2017. 106 p. 39. Kamahara H, Hasanudin U, Widiyanto A, Tachibana R, Atsuta Y, Goto N, et al. Improvement potential for net energy balance of biodiesel derived from palm oil: A case study from Indonesian practice. Biomass and Bioenergy 40. Kharina A, Malins C, Searle S. Biofuels policy in Indonesia: overview and status report. Int Counc Clean Transp Washington, DC, USA. 2016;(August):14. 41. Kharina A, Malins C, Searle S. Biofuels policy in Indonesia: overview and status report. Int Counc Clean Transp Washington, DC, USA. 2016;(August):14. 42. Kraal D. Petroleum industry tax incentives and energy policy implications: A comparison between Australia, Malaysia, Indonesia and Papua New Guinea. Energy Policy [Internet]. 2019;126(November 2018):212–22. 43. Kristiawan A, Wahyuningsih SE. Perspektif Tindak Pidana Administrasi Terhadap Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Ijin (Peti) Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batubara. J Daulat Huk. 2018;1(1):95–106. 44. Kutty AA, Abdella GM, Kucukvar M, Onat NC, Bulu M. A system thinking approach for harmonizing smart and sustainable city initiatives with United Nations sustainable development goals. Sustain Dev. 2020;28(5):1347–65. 45. Levi PJ, Kurland SD, Carbajales-Dale M, Weyant JP, Brandt AR, Benson SM. Macro-Energy Systems: Toward a New Discipline. Joule [Internet]. 2019;3(10):2282–6. Referensi | 71 46. Liu H, Chen W. Relative Entropy Based Method for Sensitivity Analysis in Engineering Design. 2005. 1–37 p. 47. Liu H, Zhang G, Zheng X, Chen F, Duan H. Emerging miniaturized energy storage devices for microsystem applications: From design to integration. Int J Extrem Manuf. 2020;2(4). 48. Marquardt J. A Struggle of Multi-level Governance: Promoting Renewable Energy in Indonesia. Energy Procedia 49. Martosaputro S, Murti N. Blowing the wind energy in Indonesia. In: Energy Procedia. Elsevier B.V.; 2014. p. 273–82. 50. Messner S, Schrattenholzer L. MESSAGE-MACRO: Linking an energy supply model with a macroeconomic module and solving it iteratively. Energy. 2000;25(3):267–82. 51. Mulyani PA, Eia A, Esdm K, Migas D. Kajian Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subsidi Bahan Bakar Minyak ( BBM ) Indonesia Study On The Factors Affecting The Fuel Subsidy ( BBM ) In Indonesia. J Ekon Kuantitatif Terap. 2015;8(1):1–8. 52. Natashya J. Hambatan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa pasca Kebijakan Renewable Energy Directive (RED). J Sentris. 2020;2(2):127–55. 53. Nefi A, Malebra I, Ayuningtyas DP. Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya Pt. Freeport Indonesia Pasca Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. J Huk Pembang. 2018;48(1):137. 54. Nehru V, Mckay L, Hofma B. Economic Brief for the Consultative Group on Indonesia. 2000. 55. Nehru V, Mckay L, Hofma B. Indonesia Accelerating Recovery in Uncertain Brief for the Consultative on Indonesia. 2000. 56. Nugroho H. Transisi Energi Indonesia: Janji Lama Belum Terpenuhi. Bappenas Work Pap. 2019;2(2):208–14. 57. Nur AI, Kurniawan AD. Proyeksi Masa Depan Kendaraan Listrik di Indonesia: Analisis Perspektif Regulasi dan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim yang Berkelanjutan. J Huk Lingkung Indones. 2021;7(2):197–220. 72 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 58. Nurrohim A. Peningkatan Ketahanan Energi Nasional Melalui Penguatan IPTEK dan SDM. In: Prosiding Seminar Nasional Pengembangan 59. Okedu K. A Variable Speed Wind Turbine Flywheel Based Coordinated Control System for Enhancing Grid Frequency Dynamics. Int J Smart Grids, ijSmartGrid [Internet]. 2018;2(2). 60. Øvergaard S. Definition of primary and secondary energy. Stand Int Energy Classif Int Recomm Energy Stat. 2008;(Energy Statistics):1–7. 61. Paillin DB, Wattimena E. Penerapan algoritma sequential insertion dalam pendistribusian BBM di Kawasan Timur Indonesia (Studi kasus pada PT. Pertamina Upms VIII Terminal Transit Wayame-Ambon). Arika. 2015;9(1):53–62. 62. Persia AN. Studi Tentang Cadangan Penyangga Minyak (CPM) Untuk Mewujudkan Ketahanan Energi Indonesia. J Ketahanan Energi. 2018;4(2):1–30. 63. Pinto B. Nigeria during and after the oil boom: A policy comparison with Indonesia. World Bank Econ Rev. 1987;1(3):419–45. 64. Posthumus GA. The inter-governmental group on indonesia. Bull Indones Econ Stud. 1972;8(2):55–66. 65. Pratama RA, Widodo T. The Impact of Nontariff Trade Policy of European Union Crude Palm Oil Import on Indonesia, Malaysia, and the Rest of the World Economy: An Analysis in GTAP Framework. J Ekon Indones. 2020;9(1):39–52. 66. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 70/ 2009 Konservasi Energi. 2009. p. 1–17. 67. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang No. 30 Tahun 2007. 2007 p. 83–111. 68. Priwanza H, Saputra R, Manalu D, Muryanto B, Nuryanto Y, Dirgantoro A, Maharanoe M, Sari K, Sayogyo B, Hutahean R, Dewanta D, Wibowo A, Limawan V, Darma R. Development of well integrity management tool in Mahakam Block. Soc Pet Eng - SPE/IATMI Asia Pacific Oil Gas Conf Exhib 2017. 2017;2017-January (Figure 1):1–14. Referensi | 73 69. Rahayu S, Wahyudhi D. Penegakan Hukum Ketentuan Pidana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Kabupaten Muaro Jambi. 2009. 70. Rahman A, Dargusch P, Wadley D. The political economy of oil supply in Indonesia and the implications for renewable energy development. Renew Sustain Energy Rev [Internet]. 2021;144(September 2020):111027. 71. Rahman, Hakim. Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap Pengumuman Kenaikan Harga Bbm 22 Juni 2013. Manag Anal J. 2014;3(1):1–5. 72. Rianto F, Utari DS, Jenawi B, Sujarwani R. Renewable Energy on Islands: Lessons for Indonesia to Apply. J Rekayasa Bahan 73. Rivani E. Kebijakan Subsidi Bbm Dan Efisiensi Perekonomian. Info Singk Ekon dan Kebijak Publik [Internet]. 2014;VI(9). 74. Rochwulaningsih Y, Sulistiyono ST, Masruroh NN, Maulany NN. Marine policy basis of Indonesia as a maritime state: The importance of integrated economy. Mar Policy [Internet]. 2019;108(March 2016):103602. 75. Romlan MR. Outlook Energi Indonesia 2014. Igarss 2014. 2014;(1):1–5. 76. S. I. Faizah and U. A. Husaeni, “Development of consumption and supplying energy in Indonesia’s economy,” Int. J. Energy Econ. Policy, vol. 8, no. 6, pp. 313–321, 2018. 77. Santika WG, Urmee T, Simsek Y, Bahri PA, Anisuzzaman M. An assessment of energy policy impacts on achieving Sustainable Development Goal 7 in Indonesia. Energy Sustain Dev [Internet]. 2020;59:33–48. 78. Saputro IR. Kebijakan Indonesia Mengakhiri Kontrak Kerjasama Sumber Daya Migas PT Chevron: Kasus Blok Rokan Riau. J Inov Ilmu Sos dan Polit. 2018;17(2):117–22. 79. Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional. Indonesia Energy Outlook 2016. Vol. 2016. 2016. 80. Setiawati N, Santi C, Utami M. Peranan Inter-Governmental Group On Indonesia ( IGGI ) dalam Perbaikan Perekonomian Indonesia Tahun 1967-1992. J Indones Hist. 2021;10(1):87–94. 74 | Rekayasa Sistem Energi Nasional 81. Shintawaty A. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia. Econ Rev. 2006;03(Maret):1–20. 82. Sihombing G, Suwarno S. Pemanfaatan Energi Terbarukan off Grid di Daerah Terpencil Indonesia. E-Link J Tek Elektro dan Inform. 2021;16(2):40. 83. Silver C, Azis IJ, Schroeder L. Intergovernmental transfers and decentralisation in Indonesia. Bull Indones Econ Stud. 2001;37(3):345– 62. 84. Soccol CR, Vandenberghe LP de S, Medeiros ABP, Karp SG, Buckeridge M, Ramos LP, Pitarelo AP, Ferreira-Leitão V, Gottschalk LMF, Ferrara MA, Silva Bon EP da, Moraes LMP de, Araújo J de A, Torres FAG. Bioethanol from lignocelluloses: Status and perspectives in Brazil. Bioresour Technol. 2010;101(13):4820–5. 85. Sugiyono Agus Purwono B, Teknik Mesin J, Negeri Malang Jl Soekarno Hatta No P. Strategi Pengembangan Energi Terbarukan Di Jawa Timur. In: Seminar Nasional Terapan Teknologi. 2016. p. 2016. 86. Summers JD, Shah JJ. Mechanical engineering design complexity metrics: Size, coupling, and solvability. J Mech Des Trans ASME. 2010;132(2):0210041–02100411. 87. Sun Y. Sensitivity analysis of macro-parameters in the system design of net zero energy building. Energy Build [Internet]. 2015;86:464–77. 88. Suryantoro S, Dwipa S, Ariati R, Darma S. Geothermal Deregulation and Energy Policy in Indonesia. World Geotherm Congr 2005. 2005;(April):24–9. 89. Susanti E. Penanaman Modal Asing Sektor Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Nasional Pada Masa Orde Baru Tahun 1967-1981. Avatara. 2016;4(3). 90. Suyitno BM. Energi Bagi Kesejahteraan Rakyat. In: Seminar Internasional Teknik Mesin. 2012. p. 1–12. 91. Syahrial E, Adam R, Suharyati, Ajiwihanto N, Indarwati RRF, Kurniawan F, Kurniawan A, Suzanti VM. 2012 Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. 2012. 1–115 p. 92. Tsai WT. Service-oriented system engineering: A new paradigm. Proc SOSE 2005 IEEE Int Work Serv Syst Eng. 2005;2005(November 2005):3–6. Referensi | 75 93. Udin U. Renewable energy and human resource development: Challenges and opportunities in Indonesia. Int J Energy Econ Policy. 2020;10(2):233–7. 94. Usui N. Dutch disease and policy adjustments to the oil boom: A comparative study of Indonesia and Mexico. Resour Policy. 1997;23(4):151–62. 95. Usui N. Policy adjustments to the oil boom and their evaluation: The Dutch Disease in Indonesia. World Dev. 1996;24(5):887–900. 96. Widarjono A, Susantun I, Ruchba SM, Rudatin A. Oil and food prices for a net oil importing-country: How are related in indonesia? Int J Energy Econ Policy. 2020;10(5):255–63. 97. World Bank Group. Solar Resource and Photovoltaic Potential of Indonesia [Internet]. 2017. 86 p. 98. Yáñez Angarita EE, Silva Lora EE, da Costa RE, Torres EA. The energy balance in the Palm Oil-Derived Methyl Ester (PME) life cycle for the cases in Brazil and Colombia. Renew Energy. 2009;34(12):2905–13. 99. Yudha SW, Tjahjono B. Stakeholder mapping and analysis of the renewable energy industry in Indonesia. Energies. 2019;12(4):1–19. 76 | Rekayasa Sistem Energi Nasional PROFIL PENULIS Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM Penulis mengawali kariernya sebagai staf di Kementerian Perhubungan pada tahun 1976 dan sejak itu telah menduduki berbagai posisi di Kementerian tersebut. Berturut-turut, ia pernah menjabat sebagai Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara (tahun 1993-1995), Sekretaris Badan Diklat Perhubungan (1998-2000), lalu Inspektur Jenderal sejak Agustus 2005 hingga Maret 2007 dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dari Maret 2007 hingga Maret 2009, sebagai staf ahli Menteri Perhubungan mewakili Kementerian menjadi anggota Dewan Energi Nasional (DEN) tahun 2009-2013. Selain itu pernah juga menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) Dirjen Perkeretaapian tahun 2013 selama 6 bulan. Sebagai profesional bukan partisan, ia juga pernah mengemban amanat sebagai Menteri Perhubungan Republik Indonesia di tahun 2001 dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid (Juni-September 2001). Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin jurusan Aeronautika di Institut Teknologi Bandung, lulus tahun 1977, kemudian melanjutkan pendidikannya dan memperoleh gelar spesialisasi di bidang Teknik Aeronautika dan Luar Angkasa di ENSAE (Ecole National Superieure d’Aeronautique et d’Espace) Toulouse, Perancis (1984). Gelar Master (DEA) diperoleh dalam bidang Ilmu Material di ENSMA (Ecole National Superieure de Mechanique et d’Aerotechnique) Poitiers (1985), Perancis. Gelar doktor akhirnya diperoleh pada tahun 1988 di ENSMA dengan judul “the Fatigue Crack Propagation of Steel in the Corrosive Gaseous Environment”. Selain berkarier di Kementerian Perhubungan, Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM juga membagi ilmu dengan menjadi pengajar dan penguji program S2 dan S3 di bidang Teknik Aeronautika dan Teknik Mesin di beberapa universitas di Indonesia. Profil Penulis | 77 Publikasi karya ilmiah yang pernah ditulis antara lain B.M. Suyitno bersama J.Petit, dan G. Chalant dengan judul “Fatigue Crack Propagation in Gaseous Environment” dalam Fatigue Conference Hawaii tahun 1990, “Aging Aircraft Corrosion Assessment” dalam Corrosion Seminar di Bandung tahun 1994, serta bersama B. Sutarmadji, dengan judul “Corrosion Control Assessment for Indonesian Ageing Aircrafts”, yang diterbitkan dalam jurnal Anti-Corrosion Methods and materials Journal, Vol. 44 Issue 2, 1996. Lima tahun terakhir fokus pada penelitian energi baru dan terbarukan, dan telah menerbitkan sebanyak 14 judul publikasi karya ilmiah di jurnal nasional dan internasional yang bereputasi, serta 4 buah judul buku ajar. Selama kariernya, Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM telah menerima beberapa penghargaan di Indonesia dan ASEAN, seperti Honorary Fellow of ASEAN Federation Engineering Organization dari ASEAN Federation of Engineering Organization (AFEO) dan juga ASEAN Engineer from AFEO. Dia juga aktif berkiprah dalam beberapa organisasi seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN) (1997-2000) sebagai representatif organisasi profesi Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Dewan Riset Nasional (2004-2007), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) (2002-sekarang). Setelah pensiun dari Kementerian Perhubungan, saat ini Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM masih tetap aktif mengajar dan diberi kepercayaan menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Pancasila periode 2017sekarang, merangkap Ketua Pusat Kajian Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di universitas yang sama (2014-sekarang), serta Ketua Majelis Layanan Insinyur PII (2015-2018) dan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2003-2018). 78 | Rekayasa Sistem Energi Nasional