Uploaded by endog.bereum69

Buku - Rekayasa Sistem Energi Nasional - Suyitno

advertisement
REKAYASA SISTEM ENERGI NASIONAL
Penulis:
Budhi M. Suyitno
Desain Cover:
Usman Taufik
Tata Letak:
Handarini Rohana
Editor:
Reza Abdu Rahman
ISBN:
978-623-459-102-6
Cetakan Pertama:
Juli, 2022
Hak Cipta 2022, Pada Penulis
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang
Copyright © 2022
by Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung
All Right Reserved
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT:
WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG
(Grup CV. Widina Media Utama)
Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas
Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat
Anggota IKAPI No. 360/JBA/2020
Website: www.penerbitwidina.com
Instagram: @penerbitwidina
PRAKATA PENULIS
Disertai puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pada akhirnya
buku Referensi Rekayasa Sistem Energi, hadir di depan sidang pembaca
khususnya para peneliti dan mahasiswa. Berbagai kendala dan rintangan
menyebabkan penyelesaian buku ini agak mundur. Bersyukur banyak
kolega peneliti, dosen, staf kependidikan, mahasiswa dan lingkungan
keluarga sangat mendukung dan tanpa henti selalu memberikan semangat.
Pada kesempatan ini penyusun bermaksud menyampaikan ucapan
terimakasih kepada mereka yang telah berjasa baik langsung maupun tak
langsung atas penerbitan buku ini sebagai berikut:
1. Para pimpinan Universitas Pancasila (UP) yang telah menyediakan
berbagai fasilitas sehingga proses penerjemahan berjalan lancar;
2. Pimpinan Fakultas Teknik Universitas Pancasila (FTUP) yang telah
menyediakan fasilitas dan berbagai bantuan untuk penerbitan buku ini;
3. Para Guru Besar di lingkungan UP yang selalu menyediakan waktu
untuk tukar pikiran dan diskusi yang bermanfaat;
4. Para kolega peneliti di lingkungan Program Studi Magister Teknik
Mesin (MTM) dan Program S1 Teknik Mesin (TM) di lingkungan FTUP
yang senantiasa berbagi ide dan gagasan untuk mengembangkan
metoda penelitian terapan di FTUP;
5. Para peneliti di Pusat Kajian Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang
menginspirasi para peneliti sehingga bergairah terus guna menambah
materi HAKI dan inovasi;
6. Para staf kependidikan di lingkungan FTUP yang dengan tulus
melakukan banyak koreksi dan penyempurnaan buku sehingga siap
cetak;
7. Para mahasiswa tingkat Sarjana dan Pasca Sarjana FTUP yang telah
bersama-sama mengembangkan penelitian tepat guna sesuai
kebutuhan pasar;
8. Anggota keluarga di rumah yang memberikan kedamaian dan
semangat untuk menyelesaikan tulisan ini;
iii
9. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan kontribusinya selama ini sampai proses penerbitannya.
Demikian penyusun telah sampaikan terimakasih setulus-tulusnya, bila
ada kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja mohon dibukakan pintu
maaf sebesar-besarnya.
Jakarta, 23 April 2022
Budhi M. Suyitno
iv
DAFTAR ISI
PRAKATA PENULIS ················································································· iii
DAFTAR ISI ····························································································· v
BAB 1 PENGANTAR ENERGI ····································································· 1
A. Latar Belakang ··················································································· 1
B. Hukum Dasar Energi ········································································· 2
C. Energi dan Pelestarian Lingkungan···················································· 3
BAB 2 SISTEM ENERGI ············································································· 7
A. Umum ································································································ 7
B. Pengertian Sistem ·············································································· 7
C. Sistem Makro ····················································································· 8
D. Sistem Mikro ······················································································ 9
E. Siklus Rekayasa Sistem Energi (RSE) ·················································· 9
F. Kegunaan Laporan Studi Kelayakan RSE ········································· 10
G. Rekayasa Perancangan Desain (Project Design Engineering) ·········· 11
H. Evaluasi Pasar ·················································································· 11
BAB 3 SUMBER DAYA ENERGI NASIONAL ··············································· 13
A. Umum ······························································································ 13
B. Kebutuhan Energi Nasional ····························································· 15
C. Cadangan Energi Tak Terbarukan ···················································· 17
D. Cadangan Energi Alternatif······························································ 21
E. Energi Alternatif Lainnya dan Bauran Energi ··································· 29
BAB 4 SEJARAH SINGKAT ENERGI NASIONAL·········································· 35
A. Umum ······························································································ 35
B. Bonanza Minyak ·············································································· 36
C. Keanggotaan OPEC ·········································································· 37
D. Fluktuasi Harga BBM 1970-2016 ····················································· 38
E. BBM Komersial ················································································ 41
v
BAB 5 KONSERVASI, TRANSISI DAN KETAHANAN ENERGI ······················· 45
A. Umum ······························································································ 45
B. Konservasi Energi············································································· 46
C. Revolusi Industri dan Transisi Energi ··············································· 50
D. Transisi Energi ················································································· 54
E. Ketahanan Energi ············································································ 60
BAB 6 PENUTUP ···················································································· 65
A. Umum ······························································································ 65
B. Gagasan Tesla ·················································································· 66
C. Bumi Hijau dan Makmur ·································································· 67
REFERENSI ···························································································· 68
PROFIL PENULIS ···················································································· 77
vi
PENGANTAR ENERGI
A. LATAR BELAKANG
Energi berasal dari kata ergon yang artinya kerja dalam Bahasa Yunani.
Selain kerja, energi bisa berbentuk potensial yang terkandung di dalam
setiap benda atau materi yang diam dan energi gerak (kinetik) manakala
benda atau materi tersebut sedang bergerak dengan kecepatan tertentu.
Energi dapat berubah bentuk apa saja, namun energi bersifat kekal.
Hukum kekekalan energi mengajarkan kepada kita bahwa total energi
sampai kapanpun tak berubah. Kekekalan energi ini berlaku untuk seluruh
alam semesta beserta isinya. Baik di dalam inti atom sampai ukuran
terkecil maupun di bentangan semesta tak terbatas, energi selalu ada dan
kekal. Energi dapat didefinisikan sebagai materi fisik yang tak kasat mata,
berupa daya atau kekuatan, menjadi sumber hidup dan kehidupan
manusia khususnya serta alam semesta (universe) umumnya.
Dengan kata lain, energi berada di segala sesuatu dan pada saat yang
sama energi juga meliputi segala sesuatu. Selanjutnya agar lebih
memahami energi dalam kehidupan sehari-hari, marilah kita mulai dengan
energi sekitar kita. Sesuai penggunaannya oleh masyarakat konsumen kita
kenal energi primer dan sekunder. Energi primer biasanya langsung
digunakan sesuai keadaan fisik asli dari sumbernya. Seperti batubara
misalnya langsung menjadi arang pembakaran pada lokomotif uap, minyak
mentah dan gas bumi langsung dipakai sebagai bahan bakar, sinar
matahari sebagai pengering gabah, kayu bakar untuk memasak dan angin
sebagai penggerak perahu layar. Kalau diurut akan ditemukan masih
banyak contoh energi primer di sekitar kita. Selanjutnya energi primer ini
dapat diolah menjadi energi sekunder yang lebih berfaedah bagi
masyarakat konsumen seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar
gas (BBG) dan listrik.
B. HUKUM DASAR ENERGI
Untuk melengkapi dasar pembahasan lebih lanjut, maka berikut akan
disampaikan landasan teori dasar tentang hukum energi dari sudut
Termodinamika.
a. Hukum Kesetimbangan Termal (Termodinamika ke Nol):
“Bila kesetimbangan termal terjadi pada dua sistem dengan sistem
ketiga, maka satu sama lainnya masing-masing mengalami
kesetimbangan termal”
b. Hukum Konservasi Energi (Termodinamika 1): “Energi bersifat kekal,
yaitu tak ada awal penciptaan dan tak ada akhir pemusnahan, dan
hanya berubah bentuknya saja” dengan dasar perhitungan:
Q = W + ΔU
dimana
Q = energi yang diterima/dilepas,
W = energi berupa kerja/usaha, dan
ΔU = gradien energi.
c. Hukum Entropi (Termodinamika 2)
Hukum Termodinamika 2 membakukan konsep entropi sebagai
karakteristik fisik sistem termodinamika. Entropi memprediksi arah
proses spontan dan menentukan apakah proses tersebut mampu balik
atau tidak, walaupun selalu tunduk terhadap ketentuan konservasi
energi sebagaimana hukum Termodinamika 1. Hukum Termodinamika
2 dapat diformulasikan melalui observasi bahwa entropi dari sistem
terisolasi yang menandakan evolusi spontan tak dapat berkurang,
yaitu saat mencapai kondisi keseimbangan termodinamika dengan
nilai entropi tertinggi. Jika semua proses dalam sistem mampu balik,
maka entropi akan konstan. “Energi berpindah alamiah dari benda
yang lebih panas ke benda yang dingin; dan sebaliknya energi hanya
2 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
akan berpindah dari benda dingin ke benda panas bila dikenakan
energi kerja”.
d. Hukum Temperatur dan Entropi (Termodinamika 3)
“Pada suhu absolut nol derajat maka entropi suatu kristal sempurna
adalah sama dengan nol”
C. ENERGI DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN
Dalam pemanfaatan energi belakangan ini masyarakat konsumen juga
harus mempertimbangkan masalah kelestarian lingkungan hidup. Energi
fosil seperti batubara, minyak dan gas bumi yang banyak digunakan oleh
industri dan sektor transportasi tercatat sebagai penyumbang terbesar
polusi karbon dioksida (CO2). Selain efek gas rumah kaca, perusakan ozon
di atmosfer dan perubahan iklim terkait erat dengan masalah lingkungan.
Pemanasan global terjadi sebagai akibat ulah manusia yang abai akan
pelestarian lingkungannya. Sehingga terjadi peningkatan suhu permukaan
planet bumi yang merata dalam kurun waktu seabad terakhir ini.
Dalam kurun beberapa dekade terakhir mulai terjadi perubahan
pemakaian bahan bakar fosil, dari dominasi minyak bumi bergeser ke gas
bumi dan batubara. Sedangkan penggunaan bahan bakar alternatif non
fosil, atau energi baru terbarukan (EBT) masih mengalami stagnasi sampai
tahun 2015, sebagaimana terlihat pada angka bauran energi (energy mix)
yang hanya 6,9 %. Data mutakhir bauran energi EBT di tahun 2020 sudah
ada kenaikan mencapai 11%. Tekad pemerintah untuk terus memperbaiki
bauran energi, khususnya EBT, menjadi relevan mengingat sumber daya
alam non fosil yang tersedia sangat berlimpah dan menunggu dieksploitasi
bagi kemakmuran Bersama.
Pemerintah saat ini telah menerapkan kebijakan “single price policy”
untuk bahan bakar minyak (BBM) di seluruh Nusantara. Penerapan
kebijakan ini memungkinkan rakyat yang tinggal di pelosok manapun
pedalaman dapat menikmati harga wajar sebagaimana di wilayah
perkotaan seperti di pulau Jawa. Disparitas harga terutama di Indonesia
Timur seperti wilayah Papua cenderung membaik, menjadi lebih stabil
pada tingkat harga wajar. Sementara itu khusus minyak solar, di beberapa
tempat yang banyak aktivitas industrinya, konsumen rumah tangga harus
Pengantar Energi | 3
bersaing dengan industri pertambangan. Antrian truk cukup panjang di
SPBU guna memperoleh solar, menjadi pemandangan yang lumrah.
Sudah saatnya pemerintah melakukan terobosan dalam
mengkampanyekan pemakaian bio-solar, baik dari bahan dasar kelapa
sawit, tumbuhan jarak atau lainnya. Kebijakan ini tentunya harus disertai
dengan perbaikan tata kelola BBM secara nasional dan penyesuaian harga
yang berpihak pada konsumen. Pengalaman satu dekade lalu hendaknya
tak terulang lagi, kebijakan pemerintah terhadap pengembangan bio-solar
yang tidak konsisten telah menimbulkan kerugian bagi para investor
sehingga mereka urung berpartisipasi. Keadaan ini terjadi karena harga
bio-solar jauh lebih mahal dibanding solar-minyak bumi yang mendapat
subsidi. Selain itu, para investor yang akan mengembangkan bio-alkohol
(ethanol dan methanol) dari tumbuhan jagung, tebu, singkong dan lainnya
juga mengalami nasib serupa.
Sejalan dengan program utama kelompok G-20 tahun 2022 ini,
Indonesia sebagai pemegang mandat Presidensi, telah mencantumkan
Transisi Energi G20 menjadi salah satu dari 3 program unggulan. Transisi
Energi G20 yang telah diumumkan berlangsung sejak 1 Desember 2021
sampai dengan KTT G20 pada November 2022. Bagi Indonesia program ini
sangat penting sebagai bentuk komitmen Presidensi untuk berpartisipasi
aktif dalam usaha menggantikan energi fosil menuju penggunaan energi
hijau (green energy) dan sekaligus perubahan iklim global ke arah lebih
baik.
Pembangkit listrik energi hijau misalnya dapat dikembangkan dari biomassa, tenaga air, mikrohidro, gelombang laut, air pasang-surut, tenaga
angin, tenaga surya, panas bumi dan energi termal lautan tersedia
berlimpah di bumi Indonesia. Demikian pula energi bersih lainnya seperti
listrik berasal dari perbedaan keasaman dan salinitas tanah, generator
magnet permanen, generator “polisi tidur” dan pembangkit listrik tenaga
nuklir berbasis thorium dapat memperbanyak pilihan bagi masyarakat
konsumen. Penerapan program Transisi Energi G20 ini dapat memicu
gairah masyarakat guna mengembangkan kemandirian energi hijau
berbasis dengan sumber daya lokal. Pemerintah diharapkan peka
terhadap kondisi ini dengan melengkapi dengan berbagai paket kebijakan
utamanya berupa Program Pendorong (Push Program) dan Insentif
4 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Penarik (Pull Incentive). Sehingga melalui paket kebijakan tersebut, inisiatif
masyarakat dalam pengembangan energi hijau akan tumbuh menjadi
suatu gerakan nasional yang masih dan intensif. Pola pembinaan petani
plasma di sektor pertanian dapat pula diterapkan dalam pengunduhan EBT
di sektor energi. Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan pusat dapat
memfasilitasi teknologi tepat guna, metode pembiayaan yang mudah tapi
efektif, tata kelola energi dan pola distribusinya ke seluruh lapisan
masyarakat konsumen. Dengan demikian EBT akan menggantikan energi
fosil yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dan memakmurkan bumi.
Pengantar Energi | 5
6 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
SISTEM ENERGI
A. UMUM
Dalam keseharian, secara sederhana masyarakat mengenal dua
macam sistem energi, yaitu sistem makro dan mikro. Sistem makro
meliputi alam semesta di luar manusia (macro system) dan sistem mikro
manusia itu sendiri (micro system). Keduanya merupakan sistem yang
identik, dengan kata lain manusia merupakan miniatur alam semesta
dengan segala kompleksitasnya. Itulah sebabnya ada kalimat bijak
“Kenalilah dirimu sendiri (move in) sebelum mengenal alam semesta
(move out)”. Ringkasnya dengan bahasa sederhana move in dulu sebelum
dapat move on. Analogi dengan ulasan di atas, untuk mempermudah
pembahasan energi lebih lanjut, maka dibedakan menjadi sistem energi
makro di tingkat nasional dan sistem energi mikro di tingkat proyek,
produk dan sebagainya.
B. PENGERTIAN SISTEM
Suatu sistem makro/mikro bisa terdiri dari kumpulan sub sistem atau
elemen sistem yang saling berkontribusi, terkait, berinteraksi, dependensi
satu dengan lainnya dan terintegrasi menjadi satu kesatuan guna
mencapai tujuan sistem bersama (Gambar 2.1). Selanjutnya bermacammacam istilah di dalam praktek kesisteman yang sering dijumpai
diantaranya sebagai berikut:
a. System thinking adalah cara memvisualisasikan dan menganalisis
sistem secara konseptual maupun fisiknya;
b. System approach diperlukan guna merealisasikannya melalui
kerangka kerja untuk merumuskan dan menyelesaikan masalah.
Disamping itu system approach juga merupakan metodologi untuk
penyelesaian masalah sekaligus mengelola sistem.
c. System Engineering Suatu ilmu perancangan sistem yang kompleks
secara totalitas untuk memastikan seluruh subsistem bekerja
sebagaimana seharusnya secara efektif dan efisien. Juga dapat
dikatakan all systems go, mengandung arti keseluruhan sistem yang
mencakup sampai jutaan elemen/komponen yang membentuk karya
rekayasa beserta pendukung sistemnya dengan seluruh personil dan
fasilitas lainnya siap untuk jalan.
d. Rekayasa Sistem Energi (mengubah system engineering), ilmu
perancangan sistem yang diterapkan di sektor energi sebagai sumber
penggerak semua elemen/komponen untuk menghasilkan unjuk kerja,
produk jadi atau pelayanan secara terus menerus berkesinambungan
dan berimbang dalam harmoni semesta.
Gambar 2.1 Skema suatu proses pada “sistem”
C. SISTEM MAKRO
Sistem energi nasional yang mempunyai input (Anggaran, Lembaga/
Kementerian, SDM sipil/militer, UU/Regulasi, Manajemen, dll), CPU
(central processor unit: memproses semua input untuk memenuhi kriteria
dan standar output), pengaruh eksternal/internal mencerminkan berbagai
masukan tambahan yang harus dikelola dalam proses yang optimal,
umpan balik memberikan peluang terus-menerus memperbaiki diri guna
8 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
memenuhi output. Dalam sistem makro energi nasional, dikenal ada 8
elemen dasar yang meliputi:
a. Undang-undang ESDM
b. Peraturan Operasional
c. Struktur Kelembagaan: VMST
d. Tenaga Ahli
e. Petunjuk Pelaksanaan
f. Perizinan, Sertifikasi dan Lisensi
g. Pengawasan dan Pemeriksaan
h. Penyelesaian Masalah Keamanan dan Keselamatan.
D. SISTEM MIKRO
Sistem mikro meliputi proyek energi regional maupun urge, produk
energi berupa mesin, motor, engine, pembangkit energi dan peralatan
lainnya yang merupakan replika sistem makro. Berbeda dengan sistem
makro yang berskala nasional di tataran kebijakan pada sistem mikro lebih
berorientasi ke implementasi fisik unsur-unsur yang lebih spesifik secara
bersama.
E. SIKLUS REKAYASA SISTEM ENERGI (RSE)
Suatu sistem baik makro/mikro akan terus berjalan manakala
mengikuti siklus berkesinambungan dan semua tahapan proses berfungsi
sebagaimana mestinya. Secara ringkas Rekayasa Sistem Energi (RSE)
meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Pra-Investasi: meliputi antara lain gagasan RSE, pra-studi kelayakan
RSE, studi kelayakan RSE, studi pendukung dan studi lingkungan;
b. Pembangunan RSE: meliputi antara lain engineering design,
pembangunan RSE, pengadaan bahan baku/komponen/suku cadang/
fasilitas RSE, produksi percobaan, pelatihan dan persiapan operasinya;
c. Operasi RSE: meliputi antara lain perawatan, ekspansi, inovasi dan
rehabilitasi;
d. Umpan balik: mekanisme ini merupakan proses terus menerus dan
sensitif terhadap adanya permasalahan, ancaman, tantangan yang
menghadang, peluang yang terbuka, kritikan dan masukan lainnya
Sistem Energi | 9
baik langsung maupun tidak langsung dari masyarakat untuk
diselesaikan.
Waktu pembangunan sistem berhubungan dengan biaya
penghematan. Terlihat pada Gambar 2.2 dimana kurva hubungan antara
waktu pembangunan dan biaya penghematan saling berhubungan. Grafik
tersebut menunjukkan biaya Rekayasa Sistem Energi dapat dihemat
melalui analisis value engineering selama proses pra-investasi. Pada awal
RSE akan lebih banyak penghematan daripada saat mendekati akhir RSE.
Gambar 2.1 Hubungan antara biaya penghematan dengan waktu pembangunan
F. KEGUNAAN LAPORAN STUDI KELAYAKAN RSE
Laporan Studi Kelayakan RSE sangat diminati oleh:
a. Para calon investor, pemilik RSE dan para pemangku kepentingan
lainnya;
b. Para pemilik modal termasuk perusahaan modal ventura akankah
perlu turut berpartisipasi pada RSE ini atau tidak sebagai suatu
alternatif bisnis, para calon donor dana;
c. Calon pemberi dana pinjaman atau lembaga keuangan lainnya
yang biasanya menyediakan kredit, perusahaan penyewaan
barang modal, underwriter, para emiten bursa efek dsb.;
d. Badan pengatur izin penanaman modal asing maupun nasional,
regulator lingkungan dan aparat pemerintah yang terkait lainnya.
10 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
G. REKAYASA PERANCANGAN
ENGINEERING)
DESAIN
(PROJECT
DESIGN
a. Menyiapkan lahan atau tempat lokasi pembangunan dan
pengoperasian proyek RSE;
b. Memilih pemakaian teknologi, sarana dan prasarana produksi,
standar dan fasilitas lainnya yang akan dipakai dalam
pengoperasian proyek RSE;
c. Merencanakan pembangunan dan pengoperasian proyek RSE
secara lengkap;
d. Menyusun jadwal pembangunan proyek RSE sampai
pengoperasiannya, termasuk network planning, flowchart dan
contingency planning;
e. Menyusun tata letak/layout pabrik dan fasilitas pendukungnya,
khususnya untuk proyek manufaktur RSE.
H. EVALUASI PASAR
a. Merupakan urutan pertama dalam studi kelayakan proyek RSE;
b. Operasi pasar akan berhasil jika proyek RSE (dalam bentuk produk)
tersebut sangat kompetitif dan menguntungkan saat mulai
penetrasi pasar (jika proyek infrastruktur untuk kepentingan
publik, maka segi manfaat dan keuntungan intangible lebih
dominan);
c. Hasil evaluasi berupa:
1) Adakah captive market saat ini dan adakah cukup besar
permintaan di masa depan;
2) Perkiraan bentuk persaingan yang akan dihadapi dan apakah
proyek RSE mampu menggaet pangsa pasar yang memadai;
3) Perkiraan pengaruh bisnis internal maupun eksternal yang
harus diantisipasi.
Sistem Energi | 11
12 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
SUMBER DAYA ENERGI NASIONAL
A. UMUM
Kehidupan keseharian manusia dan alam semesta tak terlepas dari
energi. Karena pangkal asal muasal kehidupan di dunia berawal dari energi
semesta. Tahap kehidupan semesta termasuk manusia dari proses
kelahiran, perjalanan hidup dan proses kematian atau kemusnahannya
semua dapat diterangkan dengan pendekatan energi. Oleh karena itu
manusia selalu memerlukan energi dan sekaligus bagian dari energi itu
sendiri.
Sebagai konsumen energi, guna menopang kehidupan sehari-hari
manusia memilih energi yang langsung dapat dimanfaatkan berupa bahan
bakar gas (BBG), bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Bumi Indonesia
berlimpah sumber daya alam sebagai sumber energi primer seperti
sumber energi fosil diantaranya gas bumi, minyak bumi dan batubara.
Sementara untuk energi baru dan terbarukan (EBT) dapat diunduh dari
tenaga surya, bayu/angin, panas bumi, air daratan dan air laut. Selain itu
masih banyak EBT berasal dari tumbuh-tumbuhan hidup seperti tebu,
jagung dan singkong untuk diproses jadi bio-etanol dan kelapa sawit jadi
bio-solar. Selanjutnya contoh energi alternatif seperti tenaga nuklir,
generator magnet permanen, generator “polisi tidur” (speed-bump
generator), dan tanah yang punya beda potensial akibat salinitas atau
keasamannya merupakan sumber energi bersih yang berkelanjutan.
Kesemua sumber energi tersebut setelah melalui proses industri akan
dinikmati konsumen berupa energi sekunder yaitu bensin, solar atau listrik.
Sesuai dengan Visi Indonesia 2045 terdapat 4 pilar yaitu (1)
Pembangunan Manusia dan Penguasaan IPTEK, (2) Pembangunan Ekonomi
Yang Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan dan (4) Pemantapan
Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan yang wajib
ditegakkan. Secara eksplisit dan singkat, kebijakan energi nasional termuat
dalam pilar kedua (Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan) yaitu
pemantapan ketahanan energi melalui peningkatan kontribusi bauran
energi (energy mix) untuk EBT menjadi 31% di tahun 2045. Secara
signifikan energi fosil semakin berkurang pasokannya dalam bauran energi
nasional menjadi masing-masing gas bumi (BBG) 24%, minyak bumi (BBM)
20% dan batubara 25%. Target pembangkit tenaga listrik tahun 2045
sebesar 430 GW dengan energi per kapita 7000 kWH.
Dalam perjalanan upaya besar itu, ada laporan dari the Institute for
Essential Services Reform (IESR) pada akhir 2019, dapat disampaikan
secara garis besarnya sebagai berikut:
 Investasi di bidang EBT setiap tahun rata-rata kurang sekitar 15% dari
target sejak 2015;
 Selama periode 2015-2019 pembangkit listrik EBT meningkat 1.6 GW
atau setara 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit
listrik nasional;
 Pada 2020 pemerintah menargetkan penambahan kapasitas EBT
setara 0.685 GW (lebih rendah dari target RUEN (Rencana Umum
Energi Nasional) 4-5 GW/ tahun).
Oleh karenanya dalam rangka mencapai target EBT 31% di tahun 2045
Indonesia sedang memasuki periode transisi meninggalkan pemakaian
energi fosil. Agar program ini berhasil tentunya memerlukan kolaborasi
dengan semua pihak dalam atau luar negeri yang punya komitmen kuat
menuju energi bersih.
Cukup relevan, pada masa presidensi G-20 Indonesia telah
memasukkan Transisi Energi ini dalam agenda utama KTT G-20 di Bali
November 2022 mendatang. Selanjutnya mengingat geografi Nusantara
terdiri dari kepulauan yang dua-per-tiga diantaranya adalah laut
14 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
diperlukan strategi khusus dalam pemanfaatan EBT. Dalam rangka
membangun ketahanan energi nasional maka di setiap provinsi perlu
misalnya ada pemetaan regional akan sumber EBT yang siap dieksploitasi
sampai menjadi listrik untuk dinikmati masyarakat. Peta tersebut akan
memuat secara spesifik keunggulan dan ketahanan energi dari setiap
provinsinya. Bahkan jika dibutuhkan maka peta itu dikembangkan lebih
detail sampai ke tingkat desa dengan menyertakan peran masyarakat lokal.
Berangkat dari potensi Desa ini, semua pemangku kepentingan dapat
bahu membahu memproyeksikan ketahanan energi Desa tersebut, apakah
dapat mandiri dengan energi bersih (EBT) atau justru sebaliknya.
Ketahanan energi di tingkat Desa akan menjadi tumpuan di tingkat
kecamatan, terus kabupaten/Kota dan sampai ke tingkat Provinsi masingmasing. Selanjutnya pemetaan ini akan sanggup mendeteksi adanya
kesenjangan ketahanan energi regional dan sekaligus cara mengatasinya
melalui rantai pasok energi yang handal.
Gambar 3.1 Tendensi Kebutuhan Energi Nasional
B. KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL
Seperti terlihat pada Gambar 3.1, grafik kebutuhan energi nasional
terus meningkat cukup pesat. Diproyeksikan sampai di tahun 2050 akan
mencapai 980 sampai 1240 MTOE. Antara tahun 2010–2040, setiap jangka
waktu 15 tahun kebutuhan akan meningkat dua kali lipat dari sebelumnya,
Sumber Daya Energi Nasional | 15
kemudian mulai melambat menuju tahun 2050. Proyeksi kebutuhan ini
dikaitkan dengan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang
dicerminkan oleh pendapatan tercatat sekitar USD 4,050/kapita. Selain itu
Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sudah masuk kelompok negara G20 yang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) melebihi 1 Trilliun dollars.
Gambar 3.2 Proyeksi Peningkatan Kebutuhan Nasional
Pada Gambar 3.2 menunjukkan laju pertumbuhan tahunan rata–rata
(AAGR, average annual growth rate) sebesar 6%. Proyeksi ini dibuat
sebelum ada Covid-19, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per
tahun. Sebenarnya akibat ada koreksi pertumbuhan ekonomi 2020 yang
mengalami kontraksi dan menyusut -2.4 %, yang tentunya berpengaruh
terhadap grafik kebutuhan sehingga dapat mengalami penundaan dan
pelambatan sementara waktu.
16 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Gambar 3.2 Kebutuhan Energi Total Tahun 2000-2010
Sejalan dengan pengaruh tersebut, ada optimisme karena OECD (The
Organization for Economic Co-operation and Development) membuat
prediksi bahwa Indonesia di tahun 2021 ini pertumbuhan ekonominya
dapat mencapai 4 % dan tahun 2022 tumbuh 5%.
Pada Gambar 3.3 menunjukkan penggunaan energi final di komersial,
transportasi dan lainnya. Sektor Transportasi menyerap 40 % dari seluruh
penggunaan energi final. Sedangkan Gambar 3.4 menampilkan
penggunaan berbagai energi primer dalam rentang waktu tahun 20002010. Fakta menunjukkan selama waktu tersebut masih didominasi energi
fosil seperti minyak bumi (46.8%), gas bumi (24.3%) dan batubara (23.9%).
Sumber energi non-fosil masih sangat kecil prosentasenya seperti tenaga
air (3.8%) dan panas bumi (1.2%).
C. CADANGAN ENERGI TAK TERBARUKAN
Energi tak terbarukan umumnya tergolong energi fosil yang telah
dieksploitasi sejak dahulu kala sejak api ditemukan di belahan dunia
termasuk di Indonesia. Dewasa ini telah diperkirakan jenis energi fosil ini
akan segera ditinggalkan oleh banyak negara seiring menguatnya isu
pemanasan global dan kelestarian lingkungan. Cadangan energi fosil ini
kian lama kian sulit diperoleh secara ekonomis sebab jenis ini tak dapat
diperbaharui lagi. Berikut akan diuraikan jenis energi tak terbarukan yang
berpotensi untuk dimanfaatkan seperti dibawah ini:
Sumber Daya Energi Nasional | 17
Gambar 3.3 Kebutuhan Energi Primer Tahun 2000-2010
a. Energi berbasis fosil
Sumber energi yang berasal dari makhluk hidup yang karena sesuatu
sebab, seperti tumbukan benda antariksa, tertimbun dalam kerak bumi
jutaan tahun lamanya berubah menjadi energi fosil berupa gas bumi,
minyak bumi dan batubara. Energi fosil tersebut tergolong mengotori
lingkungan karena hasil pembakarannya mengemisikan gas karbon yang
bersifat polutif terhadap atmosfir bumi. Walaupun demikian selama masih
belum ada penggantinya, energi ini masih menjadi andalan komoditi
ekspor banyak negara. Seperti negara Timur Tengah, Asia Tengah, Kanada,
Amerika Serikat dan Amerika Latin masih bergantung pada komoditas ini.
Di antara negara tersebut seperti Amerika Serikat, masih terdapat
cadangan berupa shale oil, lapisan tipis minyak yang terhimpit batuan
karang dalam kerak bumi yang sangat luas tetapi biaya eksplorasinya
mahal. Beberapa alternatif terakhir minyak bumi merupakan komoditas
strategis yang menjadi sumber konflik tak terelakkan, khususnya di daerah
Timur Tengah dan Asia Tengah. Di Indonesia cadangan energi fosil berupa
minyak bumi, batubara dan gas bumi dapat diuraikan seperti berikut ini:
18 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
1) Minyak Bumi
Seperti diperlihatkan Tabel 3.1, dari tahun 2000 sampai 2010 tercatat
penurunan jumlah cadangan terbukti, cadangan potensi dan cadangan
total yang cenderung menurun. Di tahun 2010 jumlah masing-masing
menjadi cadangan terbukti 4.23 milyar barel, potensi 3.53 milyar barel dan
totalnya tinggal 7.76 milyar barel. Dengan demikian asupan devisa negara
dari energi minyak bumi semakin menurun, jika tanpa penemuan
eksplorasi tambang baru yang terbukti, atau jika hal ini berlangsung terus
pada suatu saat Indonesia akan berubah dari negara pengekspor minyak
menjadi net importir.
Tabel 3.1 Cadangan Minyak Bumi Nasional 2010
Tahun
Cadangan Terbukti
Potensi
Total
2000
5.12
4.49
9.61
2005
4.19
4.44
8.63
2010
4.23
3.53
7.76
Dalam satuan milyar barel
2) Batubara
Tercatat batubara potensinya masih termasuk signifikan. Beberapa
fakta mengungkap bahwa cadangan batubara pada Tabel 3.2 tercatat
105,187.40 juta ton dan cadangan terbukti 21,131.80 juta ton. Sebagian
besar batubara yang diekspor masih dalam bentuk curah belum diproses
menjadi batubara cair yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Di
beberapa wilayah Indonesia tambang batubara dapat ditemukan cukup
dangkal di permukaan tanah seperti di pulau Kalimantan atau di
kedalaman permukaan tanah seperti di pulau Sumatra yang akan
mempengaruhi kualitas nilai kalornya. Sehingga dikenal batubara muda
untuk permukaan dangkal dan tua bagi batubara di kedalaman permukaan.
Walaupun sudah ada UU Minerba 2009 yang mewajibkan pembangunan
smelter, namun kenyataan di lapangan masih tak mematuhi bunyi undangundang tersebut.
Sumber Daya Energi Nasional | 19
Tabel 3.2 Cadangan Batubara Nasional Tahun 2010
Tahun
Sumber Daya
Cadangan Terbukti
2010
105,187.44
21,131.80
Dalam satuan Juta Ton
Anthracite
1 Ton = 4.989 BOE Ombilin Coal
1 Ton = 4.845 BOE
Tanjung Enim
Imported Coal
1 Ton = 4.276 BOE
1 Ton = 3.777 BOE
Coal
Kalimantan
1 Ton = 4.276 BOE Lignite
1 Ton = 3.064 BOE
Coal
BOE = Barrel Oil Equivalent
3) Gas Bumi
Selanjutnya Tabel 3.3 menunjukkan bahwa khusus gas bumi, cadangan
terbukti, potensi dan totalnya dari 2005 sampai dengan 2010 selalu naik
turun. Tahun 2005 ada peningkatan untuk masing-masing cadangan
terbukti, potensi dan total namun di tahun 2010 masing-masing tercatat
sebagai berikut; cadangan terbukti 108.4 TSCF, potensi 48.7 TSCF dan total
157.4 TSCF (1 MSCF setara dengan 0,179 BOE). Negara tetangga Singapura
menikmati kontrak jangka panjang suplai gas dari kepulauan Natuna
melalui pipa bawah laut. Sebaliknya kebutuhan gas bumi nasional
sebagian dipenuhi dari impor.
Tabel 3.3 Cadangan Gas Bumi Nasional 2010
Cadangan
Tahun
Potensi
Total
Terbukti
2000
94.75
75.56
170.31
2005
97.26
88.54
185.80
2010
108.4
48.74
157.14
1 MSCF : setara 0.179 BOE
b. Energi Mineral
Mineral radioaktif yang terbentuk seiring dengan sejarah planet bumi
dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi setelah melalui rangkaian
proses berteknologi tinggi yang cukup kompleks dan penuh pertimbangan
keselamatan penduduk sekitar dan kelestarian lingkungan. Karena
properti atau karakteristiknya dan keduanya termasuk radioaktif, mineral
20 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Uranium dan Thorium keduanya dapat diolah menjadi sumber tenaga
nuklir. Di alam, Uranium dapat ditemukan dalam bentuk isotop U234
sedangkan Thorium dalam bentuk isotop U232. Perbedaan keduanya
terletak pada kemampuannya mengemisikan sinar radioaktif. Kalau
Uranium dapat mengemisikan sinar radioaktif alfa, beta dan gama maka
Thorium hanya mampu mengemisikan sinar alfa dan beta saja. Dengan
kata lain Thorium radioaktifnya lemah. Uranium dapat ditemukan di dekat
pertambangan emas misalnya Tembaga Pura di Papua dan Thorium di
pertambangan timah Bangka-Belitung. Data mengenai jumlah cadangan
dan potensi mineral nuklir ini belum dipublikasikan dengan baik, sehingga
masih berupa dugaan yang cukup besar jumlahnya.
Energi nuklir ini tergolong paling bersih dan paling efisien
dibandingkan energi fosil di atas. Banyak negara Eropa, Amerika, Jepang,
India, Pakistan, Iran dan Korea Utara telah mampu memanfaatkannya
untuk sumber pembangkit listrik tenaga nuklir yang sangat murah dan
efisien. Negara adidaya umumnya menganut politik energi sangat ketat.
Mereka menutup rapat-rapat bagi negara lain untuk ikut menikmati energi
ini, selain teknologinya sangat maju juga aturan keselamatan radiasi
internasionalnya rumit dan berbelit.
D. CADANGAN ENERGI ALTERNATIF
Energi alternatif terdiri dari EBT dan energi lainnya seperti telah
disinggung di Bab sebelumnya yang tidak mengemisikan karbon, ramah
lingkungan dan relatif lebih efisien. Maraknya isu EBT berkaitan dengan
timbulnya kesadaran kolektif masyarakat dunia akan lingkungan yang
sehat, alami dan lestari. Efek gas rumah kaca (greenhouse effect) menjadi
topik pembicaraan sejalan dengan isu perubahan iklim. Berbagai
perubahan iklim secara reguler muncul menjadi acuan masyarakat dunia.
Sebut saja Protokol Kyoto, Kopenhagen dan Paris. Emisi gas karbon
beserta polutan lainnya yang telah teridentifikasi berasal mayoritas dari
pembuangan sisa pembakaran, alat transportasi dan rumah tangga yang
kesemuanya menggunakan bahan bakar fosil. Kesadaran akan pelestarian
lingkungan juga memunculkan kesepakatan global terhadap Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) yang
Sumber Daya Energi Nasional | 21
telah menjadi komitmen bersama dari masing-masing negara (melibatkan
pemerintah dan swasta) sedunia.
Gambar 3.4 Potensi energi baru terbarukan di Indonesia
Sebagai solusi jangka panjang agar dapat mengurangi emisi karbon,
dicarilah bahan bakar alternatif dan pilihannya jatuh ke EBT. Energi nuklir
juga tergolong energi alternatif, namun karena ketatnya regulasi tiap
negara maupun internasional menjadi kurang populer sebagai pilihan.
Karena kemunculannya masih baru maka EBT belum mampu bersaing atau
menggantikan energi fosil dalam waktu dekat. Negara seperti China dan
Kawasan Skandinavia sudah berkomitmen bahwa mulai tahun 2030,
secara gradual akan beralih ke EBT untuk suplai listriknya.
a. Potensi Energi Alternatif
Dari sekian banyak jenis energi, terlihat pada Gambar 3.5 ada 7 (tujuh)
yang sudah tercatat potensinya, yaitu tenaga air, panas bumi, mini/mikro
hidro, biomasa, tenaga surya, tenaga angin dan uranium.
1) Tenaga Air (Hydropower)
Hydropower merupakan sumber energi terbarukan di mana energi
yang dihasilkan berasal dari pergerakan air. Air yang bergerak, seperti
jatuhnya air terjun akibat gravitasi dapat dimanfaatkan untuk
menggerakkan turbin yang selanjutnya energi gerak tersebut diubah
menjadi energi listrik. Secara geografis, Indonesia memiliki banyak sungai
yang dapat dimanfaatkan untuk dapat menghasilkan energi. Potensi
tenaga air di Indonesia untuk dapat menghasilkan listrik mencapai angka
70,000 MW. Namun, angka sebesar itu belum termanfaatkan seluruhnya,
hanya sekitar 6 persen atau 3,500 MW saja yang baru dihasilkan.
22 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
No.
1
2
3
4
5
6
7
Total
Tabel 3.4 Potensi tenaga air
Pulau
Potensi (MW)
Sumatra
15.6
Jawa
4.2
Kalimantan
21.6
Sulawesi
10.2
Bali, NTB dan NTT
0.62
Maluku
0.43
Papua
22.35
75.0 GW
2) Panas Bumi
Disebut panas bumi karena bersumber dari panasnya inti bumi yang
melebihi 6000 oC. Panas bumi tersebut akan selalu berusaha keluar
menembus kerak bumi sebelum akhirnya menuju ke atmosfir. Sumber
panas alami ini jika dipertemukan dengan aliran air akan menghasilkan
uap yang kemudian siap ditampung dan diarahkan guna memutar turbin
pembangkit listrik yang dikenal sebagai Pembangkit Listrik Panas Bumi.
Karena lokasi panas bumi umumnya jauh dari permukiman atau perkotaan,
maka sering timbul masalah jaringan yang menyediakan pelayanan listrik
sampai ke konsumen. Sehingga walaupun potensi panas bumi di Indonesia
berlimpah (lihat Tabel 3.5) namun pemanfaatannya masih jauh dari
harapan masyarakat.
Tabel 3.5 Potensi panas bumi
Pada
Tahun
Sibayak
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
74
165
84
289
497
525
231
Lahendong
Kamojang
Salak
7,460
8,100
8,120
12,100
12,610
12,340
6,490
24,170
24,530
24,350
24,482
24,540
23,330
12,140
Di Luar P. Jawa
1,010
1,240
1,310
2,350
2,665
3,020
1,130
Darajat
Wayang
Windu
Dieng
6,810
6,620
6,520
6,670
12,990
13,390
6,700
2,520
2,540
1,210
1,640
780
0
0
P. Jawa
7,550
7,630
10,320
13,490
13,980
14,140
6,930
Sumber Daya Energi Nasional | 23
3) Mini/mikro Hidro
Tenaga mikro hidro ini juga mempergunakan tenaga air namun dalam
skala kecil, mirip PLTA seperti telah disinggung di atas, merupakan sumber
EBT yang juga melimpah di Seantero bumi Nusantara. Aliran air sungai, air
terjun atau pancuran kecil yang cukup deras akan mampu menggerakkan
turbin mini/mikro hidro, guna menghasilkan listrik melalui dinamo
pelengkapnya. Kapasitas masing-masing Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH) sangat bervariasi tergantung dari debit aliran air, biasanya
sekitar 100Watt sampai 5000 Watt. Secara keseluruhan potensi PLTMH di
Indonesia seperti pada Tabel 3.6 di bawah.
Tabel 3.6 Potensi tenaga mini/mikro hidro
Kapasitas Per Tahun (kW)
No
Pulau
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1 Sumatra
55,700 55,920 56,180 56,630 56,719 59,546
2 Jawa
39,450 39,450 39,810 39,810 39,810 41,790
3 Kalimantan
850
849
849
1,270
1,270
1,340
4 Sulawesi
102,350 102,350 103,270 103,670 103,670 108,830
Bali, NTB,
5
11,960 11,960 11,960 12,053 12,053 12,650
NTT
Maluku,
6
4,296
4,296
4,296
4,296
4,369
4,587
Papua
4) Bio-masa
Energi bio-masa pada paragraf ini ditujukan dari segala sesuatu energi
yang berasal dari sampah nabati terkait tumbuhan atau sampah hewan
dan manusia berupa kotoran. Perolehan energi jenis ini dapat melalui
pemanasan bio-masa secara langsung agar menghasilkan panas ataupun
dengan menggunakan bakteri sehingga menghasilkan gas metane yang
dapat dialirkan ke turbin gas penghasil listrik. Manfaat ganda dapat
sekaligus diperoleh yaitu menghabiskan sampah di satu sisi dan hasil
berupa listrik di sisi yang lain. Sementara itu terkait bio-fuel akan dibahas
dalam paragraf tersendiri agar lebih spesifik terkait dengan kapasitas,
karakteristik bahan dan pemanfaatannya yang lebih luas. Potensi bio-masa
di Indonesia dapat ditemukan pada Tabel 3.7 seperti dibawah ini.
24 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
No
1
2
3
4
5
6
Tabel 3.7 Potensi biomassa
Kapasitas Per Tahun (kW)
Pulau
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumatra
924.61 924.61 924.61 924.61 1,607.5 1,687.48
Jawa
10.9
10.9
10.9
10.9
10.9
11.44
Kalimantan
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
Sulawesi
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
Bali, NTB,
N/A
N/A
N/A
N/A
9.6
10.08
NTT
Maluku,
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
Papua
5) Tenaga Surya
Sebagai negara tropis yang dilalui garis katulistiwa, Indonesia
menerima ekspose sinar matahari sangat ideal guna mengunduh energi
surya. Energi surya dapat langsung diunduh dari alam sekitar
menggunakan panel surya, baik panel kaku ataupun fleksibel yang
langsung disimpan di penyimpan energi (energy storage) semacam baterai
sebelum diteruskan ke jaringan rumah tangga/ industri. Potensi energi
surya tersebut dapat disimak dibawah ini pada Tabel 3.8.
6) Tenaga Angin atau Bayu
Energi angin diunduh dari alam sekitar melalui pemanfaatan
kecepatan angin minimal yang dapat memutar kincir angin agar dapat
digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Sudah banyak
negara seperti Australia, Belanda, Denmark dan negara Eropa Barat
lainnya yang anginnya cukup kencang dengan kecepatan rata-rata diatas 5
meter/detik. Indonesia juga telah mulai mengembangkannya dengan
memasang kincir angin raksasa di daerah Sulawesi seperti Enrekang.
Energi listrik yang dihasilkan turbin akan disimpan (energy storage)
sebelum masuk jaringan rumah tangga/industri. Potensi energi angin atau
bayu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Sumber Daya Energi Nasional | 25
No
1
2
3
4
5
6
Tabel 3.8 Kapasitas terpasang energi surya
Kapasitas Per Tahun (MWp)
Pulau
2005
2006
2007
2008
Sumatra
0.33
0.78
1.69
2.65
Jawa
0.33
0.40
0.53
0.78
Kalimantan
0.16
0.38
0.71
1.11
Sulawesi
0.12
0.64
1.37
1.98
Bali, NTB, NTT
0.12
0.35
0.62
1.00
Maluku, Papua
0.16
0.36
0.71
1.15
2009
4.28
1.15
1.93
2.85
1.41
1.87
7) Uranium dan Thorium
Matahari merupakan sumber energi yang tak ada habisnya. Energi
matahari ini yang menerangi langit dan menghangatkan planet bumi
tergolong tipe energi nuklir atau lebih tepatnya hasil reaksi nuklir matahari.
Secara singkat sebelum memahami reaksi nuklir, ada baiknya memahami
bahwa atom adalah blok bangunan terkecil dari suatu materi. Sedangkan
materi adalah apapun yang mempunyai massa. Setiap atom mengandung
inti atau nukleus.
Di dalam nukleus terdapat proton dan netron. Reaksi nuklir dapat
dikatakan suatu reaksi yang mampu merubah inti atom. Atau, sejumlah
proton dan netron mengalami perubahan sebagai hasil reaksi nuklir.
Tenaga nuklir tak lain ialah penggunaan reaksi nuklir untuk memperoleh
energi nuklir guna menghasilkan panas yang dimanfaatkan memutar
turbin uap agar dapat memproduksi listrik. Proses ini dapat dijumpai di
PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir).
Di seluruh dunia ada sekitar 450 reaktor tenaga nuklir yang
dioperasikan oleh 31 negara dengan kapasitas totalnya lebih dari 380.000
MWe. Sementara itu ada lebih 60 reaktor baru yang dalam proses
pembangunan. Keseluruhan reaktor nuklir ini menyumbang lebih dari 11%
kebutuhan listrik dunia, sangat efisien, murah dan bersih tanpa emisi gas
karbon dioksida.
26 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Tabel 3.9 Kapasitas terpasang energi bayu
Kapasitas Per Tahun (kW)
No
Pulau
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1 Sumatra
1.5
81.5
81.5
81.5
81.5
85.58
2 Jawa
285.75 285.75 285.75 285.75 285.75 300.04
3 Kalimantan
0
0
0
0
0
0
4 Sulawesi
148.7 228.7 388.7 588.7 588.7 618.14
Bali, NTB,
5
591.05 591.05 911.05 911.05 911.05 956.6
NTT
Maluku,
6
2
2
2
2
2
2
Papua
Walaupun Indonesia punya potensi sebesar 3000 Mega Watt (MW)
namun kapasitas terpasang baru 30 MegaWatt (MW). Itupun masih
terbatas di lingkungan laboratorium penelitian. Umumnya masyarakat
masih pro dan kontra pendapatnya. Mereka masih trauma dengan
peristiwa ledakan Pusat Nuklir di Chernobil Rusia dan Fukushima Jepang.
Sehingga belum ada kemauan politik yang kuat guna mendirikan fasilitas
nuklir untuk kepentingan damai seperti mendirikan PLTN (pembangkit
listrik tenaga nuklir). Seperti India, China dan Australia, mereka memilih
PLTN berbahan Thorium yang lebih aman. Energi nuklir adalah sumber
energi yang berasal dari reaksi berantai bahan-bahan radioaktif yang
terjadi dalam sebuah reaktor.
Negara maju di dunia termasuk kelompok elit yang mampu menikmati
listrik murah dan efisien berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN). Sedangkan negara berkembang yang ingin mencoba
mengembangkan PLTN langsung dituduh dan dicurigai akan membuat
bom nuklir. Ketidakadilan tersebut sampai hari ini masih berlangsung.
Untuk PLTN ada dua pilihan mineral nuklir yaitu Uranium dan Thorium.
a) Uranium (U)
Negara maju seperti Jepang, Amerika, Prancis dan negara Barat
lainnya mengandalkan pasokan listriknya sebagian besar kepada PLTN.
Sejak kecelakaan reaktor PLTN Fukushima di Jepang, para ilmuwan telah
mengembangkan PLTN generasi baru yang lebih aman dan ramah
lingkungan. Listrik yang dihasilkan PLTN dipandang sangat efisien,
Sumber Daya Energi Nasional | 27
sehingga bila masalah keamanan dan lingkungan dapat ditingkatkan, maka
PLTN akan menjadi pilihan energi alternatif yang sangat menjanjikan
keberadaannya atau sangat kompetitif dibanding energi lainnya.
Jika demikian sudah selayaknya penggunaan PLTN hendaknya dapat
dinikmati pula oleh negara berkembang melalui tata kelola dan
pengawasan yang lebih adil. Jepang sendiri sebagai negara yang telah
berpengalaman menghadapi dampak bom atom dan kecelakaan radioaktif
dari kebocoran PLTN, masih percaya akan kehandalannya. Dibalik
keefisien dan sisi kelebihan PLTN lainnya, disadari adanya dampak radiasi
yang membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan alam semesta.
Sebagian besar reaktor nuklir di PLTN, memakai bahan baku materi nuklir
Uranium yang di alam bebas dapat ditemui sebagai isotop U234. Isotop ini
melalui pengayaan dapat menjadi plutonium U235 yang dapat diubah
menjadi bom nuklir yang dahsyat.
b) Thorium (Th)
Selain Uranium sebagai bahan PLTN, maka pilihan lain jatuh pada
mineral Thorium yang tingkat radioaktifnya jauh lebih rendah. Thorium
sebagai mineral radioaktif dengan nomor atom 90 ini, diperkenalkan
tahun 1828 oleh kimiawan Swedia Jöns J. Berzelius. Kemudian nama
Thorium dilekatkan yang tak lain berasal dari panggilan dewa Norse Thor.
Thorium umumnya secara fisik berwarna putih keperakan dan menjadi
keabu-abuan atau sedikit hitam ketika terpapar udara. Di Indonesia
kandungan Thorium dapat ditemukan misalnya pada limbah
pertambangan timah yang biasa disebut monasit di Bangka-Belitung.
Setelah terbukti mengandung unsur Thorium, maka monasit tak lagi dijual
langsung ke tangan-tangan asing, mengingat nilai strategis maupun
ekonomisnya tinggi. Selain di dalam monasit, kandungan Thorium juga
ditemukan dalam mineral lain yaitu thorite dan thorianite. Secara teoritis
kandungan Thorium di dalam kerak Bumi tiga kali lebih banyak
dibandingkan kandungan Uranium. Karakteristik fisik lainnya seperti titik
leleh dan titik didih sangat dipengaruhi oleh sejumlah kecil unsur kotoran
tertentu, diantaranya karbon dioksida.
28 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Dengan berbagai kelebihan karakteristik dan potensi kandungannya
maka Thorium dapat menggantikan fungsi Uranium sebagai bahan nuklir
yang lebih baik untuk menghasilkan listrik. Negara seperti China, India dan
Australia telah lama mengembangkan PLTN berbahan Thorium. Produksi
komersial Thorium dapat dijumpai sebagai logam dengan reduksi (ThF4)
dan dioksida (ThO2) dan melalui elektrolisis dari tetraklorida (ThCl4).
Penanganan logam Thorium walau memiliki kekuatan mekanik rendah,
akan mirip dengan logam pada umumnya yakni dapat ditempa, diekstrusi,
digulung dan ditekuk.
Di seluruh dunia tercatat ada 450 PLTN (pembangkit listrik tenaga
nuklir) yang telah beroperasi secara komersial di 31 negara. Semua PLTN
tersebut menghasilkan listrik 380 GWe dari kapasitas terpakainya atau
setara dengan pasokan 11% listrik dunia. Perkembangan terakhir di
seluruh dunia ada tambahan sekitar 60 PLTN baru sedang dalam proses
pembangunan.
E. ENERGI ALTERNATIF LAINNYA DAN BAURAN ENERGI
a. Energi Hidrogen
Hidrogen dapat diubah menjadi bahan bakar pengganti BBM. Bahkan,
diklaim lebih baik dari BBM yang kita kenal saat ini. Bahan bakar hidrogen
tidak menghasilkan polusi, sehingga bahan bakar ini tidak merusak bumi.
Persediaannya pun tidak akan habis karena cara pembuatannya hanya dari
air, kemudian dibakar seperti bensin. Akan tetapi, untuk mendapatkan
Hidrogen ini diperlukan banyak energi. Jika energi yang digunakan berasal
dari bahan bakar fosil, maka keuntungan yang didapat akan minimal,
sehingga harus ada sumber energi yang diperbaharui.
b. Bahan Bakar Minyak Bio (Biofuel)
Bahan bakar minyak bio (BBMB) atau biofuel merupakan bahan bakar
minyak yang dihasilkan dari bahan tumbuhan alami ataupun lemak hewan.
Bahan minyak nabati berasal dari tanaman yang memiliki kandungan gula
tinggi seperti tebu, jagung dan sorgum serta tanaman yang dengan
kandungan minyak nabati tinggi dan ditemukan pada kelapa sawit, jarak
(jatropa) dan ganggang. Energi nabati ini dapat digunakan sebagai bahan
bakar minyak nabati disingkat BBMN, sedangkan yang menggunakan
Sumber Daya Energi Nasional | 29
minyak hewan disebut bahan bakar minyak hewani (BBMH). Produk BBMB
ini dapat dijumpai di pasar berupa biodiesel, bioethanol dan bioavtur, yang
dapat menggantikan BBM untuk kendaraan umumnya. Proses pembuatan
BBMB ini biasanya mereaksikan minyak nabati misalnya dengan methanol
dan ethanol, dan katalisatornya soda api. Salah satu kelemahan pada
BBMB dalam pemakaiannya kurang cocok untuk kendaraan bermotor
yang mengandalkan kecepatan tinggi dan tenaga yang kuat.
Tabel 3.10 Perkembangan energi alternatif
Uraian
Satuan 2005
2006
2007
2008
2009
2010
LISTRIK
Panas
MW
852
852
982
1,052
1,189
1,189
Bumi
PLTS
MW
1.23
2.91
5.63
8.67
13.5
13.5
PLTMW
1.03
1.19
1.67
1.87
1.87
1.96
Angin
PLTA
GW
3.224 3.532 3.512
4.2
5.711
5.711
PLTMH
MW
215
215
216
218
218
229
PLT
MW
935.51 935.51 935.51 935.51 1,628
1,628
Biomassa
BBN
Biodiesel
120
456.6 1,550 2,329.1 2,521.5 5,647.57
Ribu
Bioetanol
2.5
12.5
135
192.4
212.5
223.12
kL
Bio oil
0
2.4
37.2
37.2
40
42
1) Bio-solar (Biodiesel)
Bio-solar menjadi semakin popular ketika produk kelapa sawit
Indonesia diembargo oleh Uni Eropa. Para peneliti di beberapa kampus
perguruan tinggi yang dimotori ITB, telah memperkenalkan konsep B-20
(bio-solar dengan campuran 20% minyak nabati dan solar biasa) sebagai
pengganti bahan bakar solar. Dalam pengembangannya, B-20 ditingkatkan
menjadi B-30 dan seterusnya guna memperoleh campuran yang paling
optimal. Bahan bakar tumbuhan atau lemak binatang ini penggunaannya
banyak pilihan, baik versi original/ murni atau dicampur dengan bahan
bakar lain. Bio-solar ini selain memenuhi kriteria ramah lingkungan, juga
terbarukan, dan dapat mengurangi emisi gas buang, merupakan unsur
30 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
keunggulannya sehingga di masa depan sebagai kandidat kuat guna
menggantikan BBM berbasis fosil.
2) Bio-Etanol
Telah lama diketahui bahwa Etanol (etil-alkohol) adalah jenis EBT
berupa hasil dari fermentasi tumbuhan seperti; singkong, tebu, shorgum
dan jagung. Contoh negara di dunia yang sangat baik mengembangkan
energi etanol ini adalah Amerika Serikat dan Brazil. Kedua negara tersebut
saat ini adalah negara nomor satu dan dua di dunia dalam hal produksi
etanol. Khusus Brazil produksi etanolnya berbasis kepada tumbuhan tebu,
yang di awal tahun 60an diimpor dari Indonesia, dikembangkan sebagai
pengganti BBM pada kendaraan bermotor. Sekitar 15 milyar liter etanol
dihasilkan setiap tahun di Brazil.
3) Bio-Metanol
Metanol (meta-alkohol) adalah bahan bakar yang berasal dari sintesa
gula dan bakteri, seperti contohnya spiritus. Metanol baik digunakan
secara murni, atau juga digunakan sebagai campuran bensin. Satu hal yang
menjadi kelemahan dari penggunaan untuk kendaraan adalah bahan
bakar ini dapat mempercepat terjadinya korosi pada mesin kendaraan.
Gambar 3.5 Skema kerja sistem energi tidal
Sumber Daya Energi Nasional | 31
c. Energi Tidal
Energi tidal atau energi pasang surut air laut barangkali kurang begitu
dikenal, atau mungkin kita belum pernah mendengarnya sama sekali. Jika
dibandingkan dengan energi angin dan surya, energi tidal memiliki
sejumlah keunggulan, antara lain memiliki aliran energi yang lebih pasti/
mudah diprediksi, lebih hemat ruang, dan tidak membutuhkan teknologi
konversi yang begitu rumit. Kelemahan energi ini di antaranya adalah
membutuhkan alat konversi yang handal yang mampu bertahan dengan
kondisi air laut, terutama tingkat korosi dan kuatnya arus atau badai di
laut. Prinsip kerja energi tidal ialah: saat pasang naik, air laut dengan
volume jutaan kubik naik ke daratan. Jika di daratan itu dibuat bendungan
yang besar, maka air pasang itu tertampung di dalam waduk. Di mulut
waduk dipasang baling-baling yang berputar sesuai arah air. Biasanya
digunakan dua arah putaran, yaitu saat pasang dan saat air surut.
d. Gelombang Laut
Selain energi tidal, potensi lain dari lautan yang dimanfaatkan adalah
gelombangnya. Energi yang dimiliki gelombang laut tersebut dapat
dikonversi menjadi listrik. Prinsip kerjanya adalah dengan mengumpulkan
energi gelombang laut untuk memutar turbin generator. Saat ini beberapa
negara telah berani mengembangkan potensi dari energi terbarukan ini.
e. Energi Piezoelektrik
Piezoelektrik adalah suatu yang dapat menghasilkan listrik dari hasil
pengubahan energi mekanik. Sistem penghasil energi ini sangat baik
diterapkan pada tempat-tempat umum, seperti yang terpasang di sebuah
lantai stasiun kereta Jepang dan juga di lantai rumah disco di Inggris.
Prinsip kerjanya adalah tekanan dari orang-orang di tempat itu akan
dikonversi menjadi listrik. Jadi, dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan listrik sekitar tempat tersebut. Di kampus FTUP telah
melakukan penelitian “polisi tidur”, yang dapat menghasilkan listrik
berkelanjutan.
32 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
f.
Bauran Energi
Penyediaan Energi di Indonesia masih didominasi energi fosil
sementara penggunaannya belum efisien. Energi baru dan terbarukan
(EBT) yang berlimpah belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, EBT
mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan berbagai
teknologi energi terbarukan. Pengembangan EBT menjadi sumber energi
utama akan memungkinkan harga energi dapat ditekan dan semakin
murah (avoided cost sebagai benchmark). Sudah saatnya kita
berkomitmen melaksanakan Paris Agreement dan melakukan green
innovation untuk memanfaatkan EBT dan energi alternatif lainnya. Dengan
menerapkan perencanaan yang seksama, inovasi hijau dan terobosan
teknologi secara konsisten, bauran energi pada waktunya akan didominasi
oleh EBT. Pergeseran dominasi ini akan melewati masa transisi, sekaligus
sebagai proses pembelajaran bagi warga masyarakat guna beralih ke EBT.
Tabel 3.11 Bauran energi
Energi
2012
2025 (Target)
Gas Bumi
20%
18%
Batu Bara
24.7%
23%
Minyak Bumi
48.4%
23%
Energi Baru dan Terbarukan
6.9%
26%
Sumber Daya Energi Nasional | 33
34 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
SEJARAH SINGKAT ENERGI NASIONAL
A. UMUM
Pada awal pemerintahan Orde Baru, yang menggantikan rezim Orde
Lama era pemerintahan Soekarno, ekonomi Indonesia mengalami inflasi
yang terdalam. Orde Baru dan Orde Lama adalah sebutan yang
diperkenalkan oleh rezim Presiden Soeharto sehingga mudah dipahami
oleh masyarakat bahwa pemerintahannya membawa nilai pembaharuan.
Orde Baru yang kelahirannya diawali dengan terbitnya Surat Perintah 11
Maret 1966 (Supersemar), pemerintahannya dapat berlangsung selama 32
tahun hingga 1998. Sebagai langkah awal pembenahan ekonomi Presiden
Suharto mendapat bantuan dana segar dari 9 negara donor yang
tergabung dalam kelompok internasional yang dikenal sebagai IGGI (InterGovernmental Group on Indonesia). Lembaga IGGI ini yang berdiri tanggal
20 Februari 1967 di Amsterdam dikoordinir oleh Amerika beranggotakan
Australia, Belanda, Belgia, Jepang, Jerman Barat, Italia, Kerajaan Inggris
dan Prancis.
Tujuan IGGI, yaitu memberi bantuan kredit jangka dengan bunga
ringan kepada Indonesia dalam membiayai pembangunannya. Selain itu
melalui mekanisme penanaman modal asing para anggota IGGI turut
berinvestasi di Indonesia sekaligus meningkatkan devisa negara. Sebagai
kompensasi dana yang diterima, Indonesia memberikan konsesi atau
kontrak karya utamanya untuk pengelolaan sumber daya alam (SDA)
terutama di sektor pertambangan dan perminyakan. Pada awal tahun
1992, sebagai tindak lanjut tanggapan terhadap kritik keras Menteri
Belanda Jan Pronk, pemerintahan Soeharto menghentikan partisipasinya
di pertemuan tahunan IGGI dan lebih memilih bentuk group donor yang
tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) yang dipimpin
Bank Dunia (World Bank).
B. BONANZA MINYAK
Masa ketika minyak bumi atau bahan bakar minyak (BBM)
memberikan keuntungan sangat besar bagi penerimaan negara sering
disebut dengan Bonanza Minyak. Hal tersebut dapat terjadi ketika harga
minyak secara tak terduga mengalami kenaikan berlipat ganda atau
disebut Oil Boom, sehingga devisa negara melejit dalam waktu relatif
singkat. Kenaikan harga minyak dunia tersebut merupakan berkah tak
terduga bagi Pemerintah Indonesia kala itu. Penyebabnya tak lain ialah
perbaikan nyata mekanisme perdagangan internasional akibat Bonanza
Minyak yang terjadi sampai dua kali tersebut.
Peristiwa Oil Boom I terjadi tahun 1973/1974 akibat keputusan kartel
minyak OPEC (the Organization of Petroleum-Exporting Countries),
Indonesia sebagai salah satu anggotanya, untuk menaikkan harga minyak
empat kali lipat melalui pengurangan kombinasi ekspor besar-besaran.
Kemudian disusul Oil Boom II tahun 1979/1980 yang disebabkan oleh
penutupan sementara minyak Iran sebagai akibat langsung terjadinya
Revolusi yang ditandai dengan penggulingan rezim Shah, Mohammad Reza
Pahlevi. Penutupan minyak Iran, sebagai pengekspor minyak terbesar
setelah Arab Saudi, tentunya sangat berpengaruh terhadap terjadinya
penurunan ekspor minyak OPEC. Tercatat waktu itu harga minyak menjadi
dua kali lipat per barel. Dari dua kali peristiwa Oil Boom tersebut harga
minyak yang tadinya hanya $ 1.60 per barel di tahun 1970 menjadi $35.00
per barelnya di tahun 1980.
Situasi tersebut berdampak ke penerimaan Negara yang melonjak
lebih dari 600 % antara kurun waktu tahun 1967/1970 dan 1974/1975.
Selain itu, kontribusi dari hasil ekspor minyak untuk Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) jumlahnya melampaui pendapatan pajak dan
investasi pemerintah meningkat lebih dari 3000 % dari tahun 1969 sampai
36 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
tahun 1979. Setelah mengalami era Bonanza Minyak, periode 1974–1981
ekonomi Indonesia menikmati pertumbuhan cukup tinggi dengan rata-rata
setiap tahun mencapai 7.7 %. Namun demikian pada tahun 1982, ekonomi
dunia mengalami keguncangan akibat anjloknya harga minyak dunia.
Hantaman dari luar atau external shock ini utamanya disebabkan
melemahnya pasar minyak dunia sehingga merusak ekspor Indonesia.
Beberapa ahli memperkirakan dampaknya sepadan dengan bonanza
minyak yang telah dinikmati Indonesia sebelumnya. Sejak peristiwa
tersebut produksi minyak Indonesia semakin menurun. Sampai akhirnya
tahun 2004 Indonesia menjadi net importer dan pada 2009 sudah bukan
lagi anggota OPEC.
C. KEANGGOTAAN OPEC
Sebagai negara produser minyak, Indonesia di masa jayanya pernah
menjadi anggota organisasi kartel minyak dunia OPEC (the Organization of
Petroleum-Exporting Countries). Sejak zaman Belanda atau lebih dari 135
tahun yang lalu Indonesia sudah dikenal sebagai produsen minyak dan gas
bumi, dengan ditemukannya ladang minyak Sumatra Utara tahun 1885.
Indonesia bergabung sebagai anggota OPEC mulai tahun 1961. Produksi
minyak Indonesia dikontrol oleh OPEC sesuai alokasinya. Pada tahun 1991
pertemuan tingkat Menteri OPEC, kuota minyak Indonesia dibatasi 1.445
juta barrels per hari, yang faktanya masih lebih rendah dari kapasitas
produksi sebesar 1.7 juta barrels per hari. Kuota Indonesia setara dengan
6% dari total produksi OPEC.
Namun seiring makin berkurangnya produksi dalam negeri Indonesia
pada tahun 2004 tercatat sebagai net importer. Lima tahun kemudian
yaitu tahun 2009 keanggotaan Indonesia di OPEC mengalami
penangguhan. Sempat bergabung lagi di bulan Januari tahun 2016 namun
hanya berjalan 10 bulan, karena bulan November tahun yang sama
keanggotaannya ditangguhkan lagi. Walaupun demikian menurut BP
Statistical Review of World Energy 2019, Indonesia menemukan cadangan
minyak terbukti sebesar 3.2 milyar barrels di akhir 2018. Dewasa ini
tercatat lima besar perusahaan minyak yang masih beroperasi di Indonesia
yaitu Chevron Pacific Indonesia, Exxon Mobil, Pertamina EP, Pertamina
Hulu Mahakam, and the China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Sejarah Singkat Energi Nasional | 37
Kelima perusahaan tersebut memproduksi lebih dari 73% (568 ribu barel
per hari) dari total produksi nasional Indonesia (774 ribu barel per hari).
D. FLUKTUASI HARGA BBM 1970-2016
Selama periode 1970-2016 ada 6 (enam) Presiden RI telah
menjalankan pemerintahannya. Hampir setiap presiden pernah
mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Dari keenam presiden RI
tersebut, kecuali BJ. Habibie, lima diantaranya pernah menaikkan atau
menurunkan harga BBM (lihat Tabel 4.1). Kebijakan Habibie yang tak
pernah menyentuh harga minyak dinilai wajar, karena masa
pemerintahannya yang paling singkat, hanya kurang dari 18 bulan.
Semasa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto (1966-1998)
pernah menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali. Pada 1991 harga BBM
naik dari semula Rp 150 menjadi Rp 550 per liter. Dua tahun kemudian
yaitu 1993, harga BBM kembali naik menjadi Rp 700 per liter. Menjelang
akhir jabatannya di tengah-tengah krisis ekonomi 1998 menerpa Indonesia,
harga BBM naik menjadi Rp 1,200 per liter. Setelah rezim Orde Baru
runtuh dan digantikan pemerintahan Bj Habibie (Mei 1998-Oktober 1999),
harga minyak tak pernah mengalami kenaikan. Sebaliknya ada penurunan
harga BBM dari Rp 1,200 menjadi Rp 1,000 per liter.
Pada April 2000 atau di awal Era pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur (1999-2001), harga BBM mengalami penurunan
menjadi Rp 600 per liter. Sekitar enam bulan kemudian harga BBM
dinaikkan menjadi Rp 1,150 per liter. Pada Juni 2001, harga BBM kembali
dinaikkan menjadi Rp 1,450 per liter. Sebagai presiden Indonesia kelima,
Megawati Soekarnoputri (2001-1004) juga mengambil kebijakan
menaikkan harga BBM dua kali. Pertama pada Maret 2002, harga BBM
naik dari Rp 1,450 menjadi menjadi Rp 1,550 per liter. Kedua di awal
Januari 2003 kembali harga BBM naik menjadi Rp 1,810 per liter.
Demikian juga selama dua periode kabinetnya (2004-2014), Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan kebijakan menaikkan dan
menurunkan harga BBM masing-masing empat kali naik dan tiga kali turun.
Pertama Maret 2005 menaikkan harga BBM menjadi Rp 2,400 per liter.
Kedua Oktober 2005 harga BBM kembali naik menjadi Rp 4,500 per liter.
Ketiga Mei 2008 kembali menaikkan harga BBM menjadi Rp 6,000 per liter.
38 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Tabel 4.1 Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 1970- 2016
Presiden
Periode
Kebijakan Harga BBM
Keterangan
Tahun 1991, kenaikan
harga BBM dari Rp 150 ke
Rp 550 per liter;
ï‚· Tahun 1993, kembali
3 kali kenaikan
kenaikan harga BBM dari
harga BBM
Rp 550 ke Rp 700 per liter;
ï‚· Tahun 1998 awal Mei saat
krisis ekonomi harga BBM
meroket jadi Rp 1,200 per
liter.
Terjadi penurunan BBM dari Rp 1 kali penurunan
1,200 ke Rp 1,000 per liter.
harga BBM
ï‚· Kwartal pertama Tahun
2000 harga BBM turun
seharga Rp 600 per liter;
ï‚· Kwartal ketiga Tahun 2000 1 kali turun dan 2
kali kenaikan
harga BBM naik ke Rp 1,150
harga BBM
per liter;
ï‚· Pertengahan Tahun 2001
harga BBM kembali naik
jadi Rp 1,450 per liter.
ï‚· Kwartal pertama Tahun
2002 kenaikan BBM
2 kali kenaikan
seharga Rp 1,550 per liter;
harga BBM
ï‚· Awal Tahun 2003 naik lagi
seharga Rp 1,810 per liter.
ï‚· Kwartal pertama Tahun
2005 terjadi kenaikan harga
BBM ke Rp 2,400 per liter;
4 kali kenaikan
ï‚· Kwartal ketiga Tahun 2005
dan 3 kali
naik lagi jadi Rp 4,500 per
penurunan harga
liter;
BBM
ï‚· Pertengahan Tahun 2008
naik lagi seharga i Rp 6,000
per liter;
ï‚·
Soeharto
19661998
BJ Habibie
19981999
Abdurrahman
Wahid
19992001
Megawati
Soekarnoputri
20012004
Susilo Bambang
Yudoyono
20042014
Sejarah Singkat Energi Nasional | 39
Presiden
Periode
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
•
•
Joko Widodo
2014sek
•
•
•
Kebijakan Harga BBM
Kwartal ketiga Tahun 2008
harga BBM turun ke Rp
5,500;
Akhir Tahun 2008 turun lagi
seharga Rp 5,000 per liter;
Awal Tahun 2009 harga
BBM turun jadi Rp 4,500
per liter;
Pertengahan Tahun 2013
harga BBM dinaikkan lagi ke
Rp 6.500 per liter.
Kwartal ketiga Tahun 2014
terjadi kenaikan harga BBM
ke Rp 2,000 per liter,
Premium seharga Rp 8,500
dan Solar jadi Rp 7,500 per
liter;
Awal Tahun 2015 terjadi
penurunan Premium
seharga Rp 7,600 dan Solar
seharga Rp 7,250 per liter;
Tahun 2016 sesuai dengan
turunnya harga minyak
dunia, harga Premium
turun ke Rp 7,150 untuk
wilayah Jakarta dan Rp
6,950 di luar Jawa serta
Solar jadi Rp 5,950 per liter;
Tanggal 5 Januari tahun
2020, harga BBM Pertamina
turun.
Kwartal pertama Tahun
2022 Pertamax naik ke
harga Rp12.200 per liter.
40 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Keterangan
1 kali naik dan 3
kali penurunan
harga BBM
Pada akhir 2008, pertama kali SBY menurunkan harga BBM dari Rp
6,000 ke Rp 5,500 per liter. Kedua menjelang Natal 2008 harga BBM
kembali turun ke Rp 5,000 per liter. Ketiga menjelang Pemilu 2009, atau
Januari 2009, BBM kembali turun seharga Rp 4,500 per liter. Pada akhir
jabatannya periode kedua, Juni 2013, SBY membuat BBM semakin mahal
seharga Rp 6,500 per liter disertai penjelasan agar tak akan membebani
pemerintahan periode berikutnya. Kebijakan Presiden SBY kali ini tidak
mampu meringankan beban pemerintahan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla
penggantinya. Sebab selama SBY berkuasa pemerintah memberikan
subsidi harga BBM yang anggarannya dapat mencapai empat ratusan
trilliun per tahun di akhir jabatannya.
Pemerintahan Jokowi harus menghadapi anggaran negara yang tak
sehat ini, maka tindakan kurang popular diputuskan dengan cara
menaikkan harga BBM saat umur kabinetnya mau masuk bulan kedua.
Pada November 2014 Jokowi menyesuaikan harga BBM naik Rp 2.000 per
liter. Harga jenis Premium dari Rp 6,500 naik ke Rp 8,500 per liter dan
Solar juga naik dari Rp 5,500 ke harga Rp 7,500 per liter. Kemudian Januari
2015 Premium turun seharga Rp 7,600 dan Solar juga turun ke Rp 7,250
per liter. Seiring dengan penurunan harga minyak dunia, pada Tahun 2016
harga Premium turun seharga Rp 7,150 untuk wilayah Jakarta dan Rp
6,950 di luar Jawa serta Solar turun seharga Rp 5,950 per liter. Terhitung
per tanggal 5 Januari 2020, harga BBM juga turun kembali.
E. BBM KOMERSIAL
Di Indonesia, jenis BBM komersial tergolong bermacam-macam.
Pertamina melakukan diversifikasi BBM, diarahkan ke segmen pasar
tertentu dengan harga jual per liternya bervariasi. Sehingga kalangan
operator transportasi, rumah tangga dan kegiatan komersial lainnya dapat
menyesuaikan pilihan harga dan jenis BBM sesuai kebutuhan mereka.
a. Bensin
Bensin merupakan jenis BBM primer yang langsung dapat
dimanfaatkan untuk bahan bakar motor penggerak yang memakai
sistem pengapian. Pertamina menawarkan berbagai jenis bensin
sebagai berikut:
Sejarah Singkat Energi Nasional | 41
1) Produk Premium; bensin berwarna kuning, ditujukan untuk
kendaraan berbahan bakar bensin. Premium merupakan produk
komersial Pertamina berupa BBM yang mempunyai nilai oktan
paling rendah. Dalam penggunaannya, minyak Premium dengan
nilai RON 88, cocok untuk mobil atau kendaraan dengan kompresi
mesin rendah, yaitu di bawah 9:1.
2) Produk Pertalite; bensin beroktan 90, sedikit di atas Premium dan
menjangkau konsumen lebih luas. BBM ini ditujukan pada
pengguna kendaraan yang rasio kompresinya bervariasi dari 9:1
sampai dengan 10:1.
3) Produk Pertamax; bensin beroktan 92, jauh diatas Premium, dan
ditujukan untuk kendaraan dengan kompresi rasio berkisar antara
10:1 sampai dengan 11:1. Umumnya BBM ini cocok bagi
konsumen kelas menengah ke atas yang menggunakan kendaraan
relatif keluaran baru yang lebih modern.
4) Produk Pertamax Turbo; bensin beroktan 98, suatu produk yang
ditujukan bagi konsumen kelas atas yang menggunakan kendaraan
berteknologi tinggi dan tergolong mobil mewah. Nilai oktan 98
jauh lebih tinggi dari jenis bensin sebelumnya, ditujukan bagi
kendaraan yang mempunyai rasio kompresi antara 11:1 hingga
13:1.
5) Produk Pertamax Racing; bensin beroktan 100, yang ditujukan
kepada para konsumen yang dapat memacu kendaraannya seperti
di lintasan balap pacu (racing). BBM tersebut bernilai oktan 100
yang hanya ditujukan bagi kendaraan dengan mesin berasio
kompresi di atas 13:1.
b. Minyak Solar
Bahan bakar bernama lain High Speed Diesel (HSD) ini ditujukan bagi
mobil yang berbasis diesel. Bahan bakar ini juga lazim dipakai untuk
mesin umum, serta transportasi umum.
c. Minyak Tanah
Walau tidak dipakai untuk kendaraan jenis apa pun, bahan bakar ini
tetap masuk ke dalam jenis BBM. Sebagaimana yang diketahui, bahan
42 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
d.
e.
f.
g.
h.
i.
bakar ini lazim dipakai untuk kepentingan rumah tangga dan usaha
kecil. Semisal memasak dan juga bahan bakar untuk penerangan.
Minyak Bakar
Bahan bakar satu ini merupakan bahan bakar hasil residu dengan ciri
khas berwarna hitam. Seperti halnya minyak tanah, jenis BBM ini
tidaklah diperuntukkan untuk kendaraan. Tetapi, dipakai untuk bahan
bakar pada steam power station. Jenis BBM ini punya kekentalan yang
cukup tinggi.
Minyak Diesel
Jenis BBM ini cocok untuk kendaraan bermesin diesel. Ciri khas bahan
bakar ini adalah warnanya yang hitam, serta bentuknya yang agak
encer atau cair. Bahan bakar ini dihasilkan dari proses penyulingan
minyak.
Biodiesel
Kalau yang satu ini merupakan pengganti dari minyak diesel. Berbeda
dengan diesel, bahan bakar ini dibuat dari sumber daya yang dapat
diperbaharui. Semisal minyak hewani ataupun minyak nabati.
Pertamina Dex
Dari namanya saja sudah jelas, bahan bakar ini merupakan asli buatan
Pertamina. Bahan bakar ini mengandung sulfur di bawah 300 ppm,
serta telah mencapai standar emisi gas buang EURO 2. BBM ini sangat
cocok untuk mobil dengan mesin Diesel Common Rail System.
Pertamina Dex diyakini dapat menghasilkan tenaga yang besar, namun
irit dan ekonomis.
Aviation Turbine (Avtur)
Bahan bakar satu ini khusus dipakai untuk pesawat terbang. Terutama,
pesawat dengan tipe mesin external combustion alias mesin turbin.
Avtur sendiri dibuat dari hasil fraksi minyak bumi.
Aviation Gas (Avgas)
Seperti halnya avtur, bahan bakar satu ini juga khusus dipakai untuk
pesawat terbang. Adapun pesawat yang cocok untuk jenis BBM ini
adalah pesawat bermesin internal combustion. Jenis BBM ini juga
cocok untuk pesawat dengan mesin piston berbasis pengapian.
Layaknya avtur, bahan bakar ini juga dibuat dari hasil fraksi minyak
bumi.
Sejarah Singkat Energi Nasional | 43
44 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
KONSERVASI, TRANSISI DAN KETAHANAN ENERGI
A. UMUM
Dalam kehidupan seluruh makhluk dimanapun dan kapanpun tak
terpisahkan dari energi karena secara alamiah energi itu meliputi
keseluruhan semesta dan sekaligus berada di segala unsurnya. Dewasa ini
kesadaran manusia terhadap masalah global utamanya isu polusi,
pemanasan global, perubahan iklim dan pelestarian lingkungan semakin
membaik. Melalui pemahaman bersama tentang pentingnya pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) maka banyak program, baik
pemerintah maupun swasta, semakin memperkuat komitmen untuk
memakmurkan dan menjaga pelestarian planet bumi ini agar dapat terus
bertahan sampai akhir jaman.
Di lingkungan PBB dapat disimak perkembangan kebijakan global
terhadap perubahan iklim. Dari Protokol Kyoto tahun 1997 disusul
Konferensi para pihak (Conference of Parties, COP) ke 15 di Copenhagen,
Denmark tahun 2009 sampai Perjanjian Paris (Paris Climate Agreement)
tahun 2015, menunjukkan adanya harapan membaiknya komitmen global
setiap anggota PBB untuk berperan aktif dalam menentukan arah
kebijakan ke depan melalui perundingan perubahan iklim. Sementara di
COP ke 15 Copenhagen sempat muncul pesimisme karena tanpa
komitmen yang mengikat, sebaliknya pada Perjanjian Paris hasilnya sangat
positif dengan disiapkannya modalitas, prosedur dan regulasi lainnya yang
operasional sifatnya. Dengan demikian Indonesia baik sebagai anggota
ASEAN maupun sebagai anggota PBB, terikat untuk mempersiapkan
langkah kebijakan nasionalnya sendiri guna menyongsong perubahan iklim.
Sejalan dengan dinamika global diatas, bukanlah kebetulan di tahun 2022
ini Indonesia sebagai Presidensi G-20 menyiapkan konsep transisi energi
sebagai salah satu dari tiga agenda utama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
G-20 bulan November mendatang di Bali. Berdasarkan pertimbangan
inilah tinjauan terhadap sistem energi nasional utamanya tentang konversi,
transisi dan ketahanan energi menjadi relevan dan penting untuk
dikemukakan sebagai persiapan sederet perundingan perubahan iklim
berikutnya.
B. KONSERVASI ENERGI
Berdasarkan data tahun 2011 konsumsi energi listrik/kapita di
Indonesia tercatat 572 kWh/kapita dengan GDP $2,251/kapita (572.225).
Pada tingkat konsumsi rendah seperti ini, posisi Indonesia masih dibawah
rata-rata konsumsi listrik ASEAN (914.265) maupun dunia (2517.917).
Semakin tinggi GDP suatu negara maka akan memerlukan peningkatan
pasokan listriknya. Secara umum gambaran kondisi Indonesia saat ini
seperti berikut:
a) Permintaan energi tumbuh sekitar 7%/tahun;
b) Rasio Rumah Tangga berlistrik sekitar 67.63%, pembangunan
infrastruktur energi lebih banyak di kota/urban, sedangkan di
pedalaman masih tertinggal;
c) Energi fosil masih mendominasi penyediaan kebutuhan masyarakat
(89%);
d) Ketimpangan konsumsi energi antar daerah masih terjadi;
e) Impor energi fosil (BBM) masih berlangsung guna menutup
kebutuhan masyarakat;
f) Pemakaian listrik/kapita tercatat masih rendah (570 kWh/kapita);
g) Konservasi energi belum berlangsung seperti diharapkan;
h) Pemanfaat EBT baru 11% padahal potensi sumber daya alamnya
melimpah.
46 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
1. Pengertian Konservasi Energi
Aktivitas konservasi energi mempunyai acuan hukum cukup kuat yaitu
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 dan PP No. 70 Tahun 2009. Secara
umum pengertian konservasi energi menunjukkan adanya upaya masif
secara sistematis yang berkelanjutan, terencana dan terintegrasi dalam
rangka (a) menjaga kecukupan sumber daya energi nasional dan (b)
menaikkan efisiensi pemanfaatannya.
Adapun implementasi konservasi energi dilakukan di setiap tahapan
tata kelola energi baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, seperti
(a) rantai pasokan, (b) pengelolaan, (c) pendistribusian dan (d) kegiatan
pelestarian sumber daya energi. Dengan diterapkannya konservasi energi
secara nasional diharapkan akhirnya akan tercapai tujuan nasional
pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan SDGs, ketahanan energi
dan penurunan emisi karbon secara terukur.
2. Basis Kebijakan Konservasi Energi
Kebijakan konservasi energi ini berbasis pada unsur penggerak
utamanya aspek keekonomian khususnya laju pertumbuhan dan daya
kompetisi ekonomi, aspek ketahanan atau kemampuan daya tahan energi
(energy security) agar dapat berkelanjutan dinikmati masyarakat dan
aspek pengaruh lingkungan akibat perubahan iklim (climate change) dan
pemanasan global (global warming). Untuk aspek keekonomian dapat
difokuskan pada intensitas energi, daya saing sektor industri, menurunkan
ongkos produksi dan membuka akses energi dengan harga terjangkau.
Kemudian
untuk memperkuat
aspek
ketahanannya
dimulai
mempersiapkan substitusi impor energi, menggalakkan penggunaan
energi alternatif dalam negeri tanpa tergantung impor, membuka dan
mempermudah akses bagi penggiat EBT yang dapat diandalkan, kemudian
mengkampanyekan penghematan untuk mencegah pemborosan,
meningkatkan efisiensi dan penggunaan bermacam-macam (diversification)
energi bersih yang ramah lingkungan. Selanjutnya aspek pengaruh
lingkungan tertuju pada segala usaha mengatasi dampak perubahan iklim
seperti pengendalian emisi karbon dalam rangka mengurangi polusi,
mitigasi pemanasan global dan menindaklanjuti kesepakatan bersama
seperti termuat dalam Perjanjian Paris tahun 2015.
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 47
3. Arah Kebijakan dan Implementasi Konservasi Energi
Arah kebijakan konservasi energi akan selalu menyeimbangkan aspek
pasok (supply) dan aspek kebutuhan masyarakat (demand) yang dinamis
menuju energi bersih tanpa emisi karbon, dengan target bauran energi
akan mencapai 31 % untuk EBT di tahun 2045 nanti. Implementasi
kebijakan konservasi energi intinya mengkampanyekan, mendorong,
memperkuat dan memfasilitasi segala program baik yang bersifat program
pendorong (push program) maupun insentif penarik (pull insentive).
Sebagai langkah awal pemerintah dapat memprioritaskan edukasi bagi
para pemangku kepentingan kebijakan konservasi energi ini, baik para
perumus kebijakan, para peneliti dan akademisi, pelaku industri dan
masyarakat konsumen. Pendidikan ini termasuk merubah pola pikir (mind
set) dan kesadaran (awareness) secara nasional siapapun yang tergolong
bagian dari pemangku kepentingan.
Dari sisi pasok (supply), kebijakan diarahkan ke program pendorong
seperti; (a) pengutamaan inovasi pemilihan teknologi, rancang bangun dan
kemasan produk EBT dari sumber daya lokal, (b) peningkatan diversifikasi
infrastruktur pembangkit EBT, jaringan distribusi dan tata kelola energi
bersih (termasuk penguatan standar, prosedur, norma dan regulasi) yang
efisien dengan biaya terjangkau, dan (c) mendukung tumbuhnya industri
produk penyediaan tempat penyimpan energi (energy storage) yang
mudah diangkut (portable) dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah
utamanya untuk memanfaatkan listrik hasil EBT secara optimal. Khusus
mengenai tempat penyimpan energi (TPE) untuk gas misalnya pakai
tabung ukuran 3 kilo dan untuk listrik dapat berupa kapasitor atau baterai,
akan mempermudah fleksibilitas pemakaian, menjamin kecukupan atau
cadangan, mengoptimalkan distribusi dan mengefisienkan rantai pasok
EBT sampai ke tangan konsumen.
Sedangkan dari sisi kebutuhan (demand) maka kebijakan efisiensi dan
penghematan yang telah disinggung di atas juga dapat diteruskan
penerapannya sampai ke tingkat jaringan distribusi energi berupa minyak
atau listrik sampai ke tangan konsumen. Selain pasokan energi dari
pemerintah, elemen masyarakat, baik dari pelaku bisnis industri swasta/
perorangan dapat berpartisipasi penuh dalam membangun dan
48 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
mengembangkan pembangkit EBT secara masif berbasis pada sumber
daya alam yang melimpah di seluruh bumi Nusantara.
Sebagai insentif penarik, pemerintah hendaknya; (a) memfasilitasi
setiap elemen masyarakat yang akan berpartisipasi dalam pembangunan
pembangkit EBT melalui kemudahan pemodalan, perizinan dan bimbingan
teknis administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, (b) memberikan insentif langsung akses EBT ke jaringan milik
pemerintah agar sampai ke masyarakat konsumen secara lebih efisien, (c)
pemberian keringanan pajak, pinjaman modal dan perizinan bagi
penggagas dan penyedia pembangkit EBT yang ditujukan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat luas.
4. Perkembangan Regulasi Ke Energi
Kebijakan konservasi energi telah diamanatkan melalui Undangundang tentang Energi No. 30 Tahun 2007 dalam Pasal 25 tentang
konservasi energi sebagai berikut; Konservasi energi nasional menjadi
tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha & masyarakat,
mencakup seluruh tahap pengelolaan energi. Selanjutnya para pengguna
dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi
energi diberi kemudahan/insentif oleh pemerintah. Sedangkan pengguna
sumber energi dan pengguna energi yang tidak melaksanakan konservasi
energi diberi dis-insentif oleh pemerintah dan ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan konservasi energi diatur dengan peraturan
pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Dalam undang-undang nomor 30/3007 pasal-pasal antara 9 sampai 20
memuat cukup rinci tentang pelaksanaan konservasi energi meliputi
penyediaan energi, pengusahaan energi, pemanfaatan energi dan
konservasi sumber daya energi. Konservasi energi sebagaimana diatur
dalam PP No. 70/2009 diantaranya memuat sebagai berikut; a). Dalam
Pasal 12 mewajibkan pengguna energi diatas 6000 TOE/tahun
menerapkan manajemen energi yang bertugas diantaranya menunjuk
manajer energi, menyusun program konservasi energi dan melaksanakan
audit energi secara berkala sekaligus juga bertugas melaksanakan
rekomendasi hasil audit energi dan melaporkan pelaksanaan konservasi
energi kepada pemerintah, b). Kemudian Pasal 13 meminta agar manajer
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 49
energi dan auditor energi wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, dan c)
lebih jauh Pasal 20 menyatakan bahwa insentif yang diberikan pemerintah
kepada pengguna energi, antara lain fasilitas perpajakan berupa
pembebasan pajak daerah dan bea masuk untuk peralatan hemat energi
serta suku bunga rendah untuk investasi konservasi energi dan audit
energi.
C. REVOLUSI INDUSTRI DAN TRANSISI ENERGI
Transisi energi sebenarnya tak dapat terlepas dari peradaban manusia
itu sendiri. Seperti catatan sejarah manusia modern yang berkaitan
dengan perindustrian, hingga sekarang telah terjadi empat kali revolusi
atau popular disebut Revolusi Industri 4.0 itu. Pada Tabel 5.1 dapat dilihat
lebih rinci keterkaitan antara tahapan revolusi terhadap jenis bahan bakar
atau energi yang relevan dipergunakan.
Tabel 5.1 Relevansi Revolusi Industri dan Transisi Energi
Transisi Sumber
Revolusi
Periode
Rincian Aspek Revolusi
Energi
Tahap ini sudah mulai ada
mekanisasi pekerjaan tahap
Kayu bakar,
awal yang dilakukan
minyak
menggunakan tangan.
Industri 1.0 1750-1890
nabati/hewani,
Kemudian dengan penemuan
batubara dan
mesin uap, mekanisasi ini
energi uap
makin berkembang ke industri,
misalnya pemintalan benang.
Penemuan mesin Diesel 1892
mengawali revolusi kedua ini.
Kayu bakar,
Terjadi transformasi dalam
minyak
mekanisasi pekerjaan dengan
nabati/hewani,
Industri 2.0 1890-1950 hadirnya elektrifikasi proses
energi uap,
produksi. Sehingga sejak saat
energi fosil
itu dikenal penggunaan jalur
(fossil fuel) dan
perakitan elektrik.
listrik
50 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Revolusi
Industri 3.0
Industri 4.0
Periode
1950-2000
2000Sekarang
Rincian Aspek Revolusi
Industri manufaktur menjadi
lebih efisien dan efektif,
dengan munculnya lini
perakitan (assembly lines) dan
devisi pekerjaan sehingga
pekerja hanya fokus pada
tanggung jawabnya
Berbagai inovasi teknologi
utamanya penggunaan
komputer dan otomasi dalam
proses industri.
Otomasi diikuti oleh munculnya
inovasi robotik yang mampu
menggantikan peran manusia
sehingga semakin efisien dan
efektif.
Tahap ini menghadirkan tata
kelola baru yang diaplikasikan
di sektor manufaktur, dari mata
rantai pasokan sampai ke
pabrikan sering disebut lean
manufacturing.
Semua serba digital yang
didominasi oleh bermacammacam aplikasi seperti IOT
(internet of thing), big data dan
cloud computing sehingga
efisien dan efektif dengan
manfaatnya ongkos turun tapi
produksi meningkat.
Transisi Sumber
Energi
Kayu bakar,
minyak
nabati/hewani,
energi fosil,
listrik, nuklir,
EBT, dan biofuel.
Kayu bakar,
minyak
nabati/hewani,
energi fosil,
listrik dan nuklir,
EBT, bio-fuel,
dan hidrogen
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 51
1. Revolusi Industri 1.0
Seiring dengan Revolusi Industri 1.0 yang dimulai di Inggris, di
penghujung 1750an dan ditandai dengan penemuan mesin uap oleh T.
Newcomen dan J. Watts, terjadi pula transisi energi. Penggunaan kayu
bakar dan minyak nabati/hewani dalam kehidupan sehari-hari mulai
bergeser ke batubara untuk membangkitkan energi uap.
2. Revolusi Industri 2.0
Ciri revolusi ini ditandai dengan elektrifikasi proses industri
manufaktur utamanya jalur perakitan elektrik. Penemuan mesin Diesel
sesuai nama penemunya Rudolf Diesel tahun 1892 telah mengawali
terjadinya revolusi 2.0. Pada waktu itu mesin diesel diyakini memiliki
efisiensi terbaik (sampai 50% pada kecepatan rendah, untuk mesin kapal
misalnya), karena rasio kompresinya cukup tinggi. Dalam
perkembangannya mesin ini semula dipakai untuk menggantikan mesin
uap. Tapi di awal 1910an juga dipasang di perkapalan, perkeretaapian,
kendaraan truk, PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel), dan alat-alat
berat. Pada era ini telah terjadi pemanfaatan energi fosil diproses menjadi
listrik yang punya banyak kelebihan dibandingkan energi primer (BBM,
batubara, kayu bakar dan sebagainya).
3. Revolusi Industri 3.0
Pada era Revolusi Industri 3.0, setelah selesai Perang Dunia II, terjadi
lompatan inovasi teknologi. Proses otomasi di industri manufaktur
misalnya ditunjang oleh komputer dan robot. Peranan robot ini secara
massif telah menggantikan buruh dan meramaikan persaingan produk di
pasar global terutama guna memenuhi konsep Quality, Cost and Delivery
(QCD).
Produk yang berkualitas, harga terjangkau dan mampu memenuhi
selera konsumen pada saat yang tepat dibutuhkan, akan menjadi
keunggulan kompetitif yang dominan. Pesatnya perkembangan industri di
segala bidang, mengakibatkan kebutuhan energi fosil melonjak tinggi.
Banyak negara industri maju saling berlomba untuk menguasai pasokan
energi sampai ke sumbernya, bila perlu melalui peperangan. Oleh
karenanya Wilayah Timur Tengah yang dikenal sebagai pusat produsen
52 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
minyak (BBM) dan gas bumi (BBG) menjadi wilayah yang paling bergejolak
akibat kerusuhan atau peperangan (hot region).
Harga BBM di tahun 1970an, seperti diulas pada bab IV sebelumnya,
pernah mengalami lonjakan sehingga memberikan keuntungan berlipat
ganda bagi para produsennya, termasuk Indonesia menikmati bonanza
minyak. Sebaliknya era tahun 1980an harga BBM pernah anjlok dan sangat
merugikan para produsen. Dengan kata lain energi telah masuk ranah
politik global, yang turut meramaikan Era Perang Dingin antar Barat
dengan Uni Soviet (sekarang setelah pecah jadi Rusia). Pada periode ini
transisi energi berlangsung sangat signifikan, karena energi nuklir dan EBT
mulai dimanfaatkan sebagai alternatif penggunaan energi fosil bio-fuel.
4. Revolusi Industri 4.0
Dampak langsung Revolusi Industri 4.0 telah menimbulkan disrupsi
teknologi yang tak terelakkan terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.
Banyak hal baru muncul seperti faktor kecepatan dan penguasaan
manajemen informasi ternyata menjadi kunci eksistensi dan kompetisi
sektor Industri. Pada era ini pula ukuran perusahaan dan kepemilikan
asset bukanlah segalanya, melainkan manajemen dengan kemampuan
adaptasi dan kegesitan menggunakan teknologi digital secara optimal
menjadi penting. Tanpa harus meninggalkan rumah atau bepergian,
seseorang dapat berbelanja segala kebutuhannya dengan ongkos jauh
lebih murah. Berbekal penguasaan aplikasi digital, perusahaan unicorn
bermunculan walaupun aset tak seberapa, seperti OJOL (ojek on-line),
Toserba (toko serba ada on-line), restoran on-line dan lainnya.
Revolusi ini dimotori oleh munculnya metode manufaktur (lean
manufacturing) dan produksi (lean production) yaitu mempertimbangkan
proses pengintegrasian seluruh sumber daya yang tersedia untuk
meningkatkan nilai ekonomisnya melalui konsep big data, internet of thing
(IOT) dan cloud computing. Pihak industri atau pabrikan akan memperoleh
manfaatnya yaitu dapat menghemat biaya tapi produksi tetap meningkat.
Dari sisi transisi energi, dibandingkan dengan era sebelumnya, maka
pada revolusi 4.0 ada perbedaan sedikit yang menggembirakan.
Penggunaan EBT secara global terus meningkat. Demikian pula di
Indonesia kontribusi EBT bertambah dari 6.9% di tahun 2010 menjadi 11%
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 53
untuk bauran energi di tahun 2019. Target nasional EBT meningkat
menjadi 23% pada tahun 2025 menurut BAPPENAS akan mencapai angka
31% pada tahun 2045 nanti. Sejalan dengan komitmen para pihak (parties)
terhadap Perjanjian Paris 2015, terjadi kecenderungan global bahwa
energi masa depan sepertinya kembali ke energi bersih terutama EBT
seperti masa revolusi pertama.
D. TRANSISI ENERGI
Transisi energi merupakan pekerjaan rumah setiap negara yang punya
komitmen terhadap Protokol Kyoto, Kopenhagen dan Perjanjian Paris
2015. Bermacam-macam skenario dapat dipilih untuk mencapai kondisi
yang ideal dari masing-masing negara. Pembangunan PLTA raksasa di
sungai, kincir angin raksasa yang bilahnya sepanjang 60 meter dan tenaga
surya (PLTS) yang panelnya membentang ratusan meter persegi. Bahkan
untuk PLTS umpamanya, dapat memakai panel surya fleksibel yang
dipasang menutupi permukaan jalan Tol beribu kilometer panjangnya.
Teknologi yang mereka terapkan memungkinkan kendaraan berbagai jenis,
dari ringan sampai berat, lalu lalang di atas panel surya tersebut tanpa
merusaknya. Sesuai target terhitung tahun 2030, China akan
meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke EBT. Demikian pula
beberapa negara Skandinavia seperti Swedia, mengikuti jejak China dan
mereka memasang target serupa.
1. Belajar dari Negara Lain
Ada tiga contoh pembelajaran mengenai penangan transisi energi,
salah satunya Swedia mewakili Eropa Barat, Brazil mewakili Amerika Latin
dan satu lagi Bhutan mewakili kondisi ideal penanganan lingkungan hidup.
Swedia dipilih karena kesungguhan mereka mempersiapkan diri jauh hari
guna secara konsisten mengurangi emisi karbon menuju zero net emission
dan kemudian nantinya meninggalkan sama sekali bahan bakar fosil. Brazil
juga tak kalah gigihnya berjuang selama seabad lebih mengembangkan
etanol dari tanaman tebu untuk dicampur dengan BBM dan siap beralih ke
EBT. Bhutan dipilih karena satu-satunya negara di dunia ini yang emisi
karbonnya negatif alias oksigen yang dihasilkan lebih banyak dari
karbonnya.
54 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
a. Swedia
Swedia sebagai salah satu Negara anggota International Energy
Agency (IEA) sejak lama dan konsisten mengembangkan EBT. Salah
satu pembangkit listriknya telah berjalan sukses dengan
memanfaatkan sampah sebagai bahan bakunya atau sering
disebut PLTSa, yang terletak di kota kecil Bouros. Bahkan
seringkali pengelola PLTSa Bouros mengimpor langsung sampah
dari negara tetangganya Norwegia. Listrik yang dihasilkan
disalurkan ke industri dan rumah tangga melalui smart grids,
sedangkan minyak dari sampah plastik dipakai untuk menjalankan
kendaraan pemerintah setempat. Proyek percontohan ini dapat
sukses karena mendapat sambutan masyarakat Bouros melalui
partisipasi langsung dalam proses pemilahan sampahnya.
Swedia sejauh ini cukup sukses dengan program kebijakan
energinya antara lain:
1) Intensitas karbon turun bertahap;
2) Pemakaian EBT terus bertambah dan energi nuklir berkurang;
3) Pajak energi dan emisi karbon dioksida diterapkan dengan
sungguh-sungguh.
Sebagai pedoman transisi energi Swedia terus memfokuskan pada
tema sentral negerinya yaitu “Integrated Climate and Energy
Policy Framework”. Dengan demikian jika semua program berjalan
sukses, maka Swedia pada tahun 2030 akan mencapai targetnya;
(a). Elektrifikasi armada angkutannya dan terbebas dari fossil fuel
dan (b). Peningkatan EBT sehingga mampu menggantikan listrik
dari PLTN nya.
b. Brazil
Berawal dari tahun 1973, saat terjadi krisis BBM global akibat
kebijakan organisasi ekspotir minyak bumi (OPEC), Brazil terpicu
untuk bergerak cepat mengatasinya. Pencanangan “Programa
Nacional do Alcool” membawa Brazil mendorong pengembangan
bio-etanol sebagai solusi andalan masalah energinya. Percobaan di
lingkungan laboratorium yang dilakukan oleh para penelitinya
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 55
telah menunjukkan berbagai variasi campuran antara bio-etanol
dengan BBM untuk diuji coba pada kendaraan. Hasil yang optimal
diperoleh manakala campuran bio-etanolnya 25%. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut sejak tahun 2009 sampai sekarang
campuran bio-etanol tetap 25% dan disusul kebijakan lainnya
guna melarang penjualan BBM murni di pasar bebas.
Kesuksesan program bio-etanol ini didukung oleh program
pendorong (push program) dan insentif penarik (pull incentive)
yang masing-masing dapat diuraikan dibawah ini.
1) Program Pendorong
a. Melarang penggunaan BBM murni untuk kendaraan;
b. Mendorong produksi mobil fleksibel;
c. Mengembangkan rekayasa genetika tanaman tebu
sebagai sumber utama bio-etanolnya;
d. Menyempurnakan
teknologi
proses,
produksi,
pengepakan, pemasaran dan rantai pasoknya;
2) Insentif Penarik
a. Partisipasi dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dalam
produk bio-etanol dan mobil fleksibel sangat terbuka
melalui skema pinjaman lunak;
b. Jaminan Pemerintah untuk membeli produk bio-etanol
dari DUDI melalui BUMN/BUMD yang ditunjuk pada
tingkat harga wajar yang menguntungkan;
c. Konsumen dapat menikmati harga eceran yang terjangkau;
d. Penerapan keringanan pajak bagi konsumen kendaraan
fleksibel.
e. Pajak diberi keringanan, khususnya selama tahun 1980
guna merangsang pembelian kendaraan etanol.
c. Bhutan
Kerajaan Bhutan di Himalaya, suatu negara di atas angin, yang
kebijakan nasionalnya menggabungkan antara pelestarian
lingkungan hidup dan kebahagiaan rakyatnya. Konsepnya sangat
unik dengan mengedepankan kualitas hidup dan kehidupan
dibalut menjadi “Gross National Happiness” yang mengakar pada
56 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
ajaran Budhisme. Konsep ini ditujukan untuk memberi
keseimbangan antara program pelestarian lingkungan,
pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.
Pengembangan EBT di Bhutan mengandalkan energi air dan hutan,
yang sebenarnya sangat rentan terkena dampak langsung dari
pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karenanya Bhutan
sangat waspada terhadap aspek ekologi yang akan berpengaruh
terhadap ekonominya dan kualitas kebahagiaan masyarakatnya.
2. Masa Depan Indonesia
Dewasa ini Indonesia menghadapi masa transisi energi. Selain
perubahan paradigma dari supply management menjadi demand
management, juga secara gradual merubah orientasi kebijakan untuk
lebih memprioritaskan energi baru dan terbarukan (EBT) dan alternatif
lainnya yang jauh lebih efisien dan ramah lingkungan. Transisi Energi
tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:
a. Arah Kebijakan
Jika mengacu kepada tiga negara pembanding, Indonesia akan
menghadapi pilihan konsep ekonomi energi yang meliputi tahapan; a).
ekonomi berbasis hydrocarbon, b). ekonomi berbasis rendah karbon, c).
ekonomi dengan zero net carbon emission atau d). ekonomi ekologis.
Kebijakan nasional akan transisi energi yang terkait erat dengan bidang
perekonomian memerlukan pilihan dan tahapan program yang tertuang
ke dalam konsep holistik. Artinya setelah menentukan program pilihan
wajib dilaksanakan secara konsisten dan penuh kehati-hatian.
Posisi Indonesia saat ini masih tergolong pada ekonomi berbasis hidrokarbon. Perubahan sedang terjadi terhadap reorientasi arah kebijakan,
yang tadinya mendahulukan sisi pasokan (supply side) berubah ke sisi
permintaan (demand side). Sebab penataan dan pengelolaan sisi
permintaan sektoral menjadi jauh lebih efisien agar nantinya dapat
memenuhi komitmen nasional terhadap pengurang emisi karbon, gas
rumah kaca dan efek perubahan iklim.
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 57
b. Fokus Peningkatan EBT
Seperti telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya bahwa kontribusi
EBT pada bauran energi ada sedikit kenaikan dari 7% di tahun 2013
menjadi 11 % di tahun 2019. Sesuai target awal, EBT akan terus meningkat
ke angka 23% di tahun 2025 dan mencapai 31% pada tahun 2045. Dengan
kata lain pada waktu bertepatan dengan usia NKRI ke 100 tahun, maka
perekonomian Indonesia baru mencapai tahapan ekonomi berbasis
rendah karbon. Kenyataan jika mengikuti kebijakan ini, atau pilihan
skenario lambat apa adanya, akan menimbulkan pertanyaan kemampuan
Indonesia memanfaatkan secara optimal terhadap melimpahnya sumber
daya alam yang berpotensi jadi EBT. Kemungkinan yang lebih logis
tentunya memilih skenario yang mampu mengakselerasi pencapaian
target EBT tersebut. Direncanakan pada tahun 2060 Indonesia baru akan
mencapai Zero Net Carbon Emission.
c. Akselerasi Transisi Energi
Program akselerasi ini dapat menjadi program pendorong (push
program) secara nasional. Jika semua faktor secara holistik dapat
dikerahkan, bukan tak mungkin ada peluang guna melakukan akselerasi
transisi energi tersebut dengan memperhatikan perkembangan revolusi
industri 4.0 sebagai prasyarat berikut ini:
1) Melakukan transformasi digital secara menyeluruh dalam tata kelola
pengembangan EBT mengikuti kaidah lean manufacturing dan lean
production; artinya mampu mengintegrasikan seluruh sumber daya
dalam proses manufaktur dan produksi dengan biaya semakin murah
tetapi produksinya terus meningkat.
2) Transformasi dari pemakaian BBM atau ekonomi berbasis hidrokarbon
ke elektriktrifikasi peralatan atau ekonomi rendah karbon; pemanfaat
EBT dari sumber daya alam sekitar langsung dapat disimpan dalam
bentuk listrik di tempat penyimpanan (baik berupa baterai, kapasitor
atau lainnya) sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu, mudah
diangkut sampai ke konsumen, biaya terjangkau dan mudah diakses
bagi yang membutuhkan.
58 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
3) Transformasi kebijakan transisi energi terpusat menuju desentralisasi
yang terukur dan terintegrasi; artinya dalam pengembangan,
pembangunan dan pengelolaan EBT di suatu wilayah maka
kewenangannya dapat diserahkan langsung kepada otoritas setempat
yang mengaturnya secara mandiri sehingga dapat dinikmati oleh
masyarakat sekitar. Keberhasilan desentralisasi ini patut didukung
dengan tersedianya peta sumber daya alam yang berpotensi EBT di
setiap wilayah, jika memungkinkan dari provinsi sampai ke kelurahan,
agar tercapai kemandirian EBT di suatu wilayah tertentu.
4) Transformasi dari jaringan listrik konvensional ke jaringan cerdas
(smart grids) yang lebih efektif dan efisien; kebijakan ini diharapkan
akan mampu meningkatkan pelayanan kepada konsumen agar dapat
menikmati listrik dengan harga terjangkau, akses lebih mudah,
transparan dan terukur.
5) Transformasi dari tingkat ketahanan energi yang rentan ke tingkat
lebih handal menjadi bagian tak terpisahkan dari Ketahanan Nasional;
artinya jika karena sesuatu sebab Indonesia terisolir ekonominya
secara total, negara masih dapat menjamin tersedianya energi untuk
tetap bertahan hidup minimal selama setahun penuh.
Dari program pendorong di atas, agar dapat diimplementasikan
dengan sukses, berikut akan diuraikan berbagai insentif penarik (pull
incentive) yang dapat disediakan oleh pemerintah seperti dibawah ini:
1) Jaringan internet secara masif dibangun dan disediakan oleh
pemerintah sampai ke pelosok dan pedalaman agar pelayanan daring
dapat dinikmati masyarakat lebih luas; kondisi ini akan memungkinkan
DUDI (dari perorangan dan UKM khususnya) dapat memasarkan
produk keunggulan lokal ke dunia luar.
2) Pembangunan penyimpanan energi (energy storage) diprioritaskan
kepada siapa saja dengan bantuan pemerintah melalui BUMN/BUMD
yang siap menawarkan skema pendanaan murah dan fleksibel; artinya
sebagai komponen strategis untuk memanfaatkan EBT, tempat
penyimpanan energi wajib dikuasai dan dapat menjadi keunggulan
kompetitif nantinya.
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 59
3) Peta sumber alam lokal yang berpotensi menjadi EBT dapat disediakan
oleh pemerintah pusat/daerah dengan diperkuat oleh regulasi tentang
pelimpahan kewenangan pusat ke daerah; ini mengindikasikan agar
semua lapisan pemerintah beserta rakyatnya dapat terlibat dan
berkolaborasi secara terpadu.
4) Fasilitas jaringan listrik dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dan
dapat diakses oleh para pengelola DUDI dengan segala kemudahannya;
karena akses ke jaringan akan menjangkau sampai ke konsumen yang
membutuhkannya sehingga perlu tata kelola yang adil, bertanggung
jawab dan efisien.
5) Ketahanan energi bukan hanya kewajiban pemerintah pusat/daerah
tetapi seluruh rakyat semesta; maksudnya dengan adanya kebijakan
desentralisasi maka ketahanan energi dapat dirancang dari tingkat
desa mandiri energi sampai ke tingkat nasional.
d. Skema Insentif Global (global incentive scheme)
Skema insentif ini utamanya ditujukan guna mendorong upaya
penurunan emisi karbon dan efek gas rumah kaca. Para ekonom dunia
menyepakati bahwa insentif global dapat menjadi solusi yang adil. Sesuai
kesepakatan, maka insentive karbon global (global carbon incentive, GCI)
ini ditentukan sesuai dengan berapa emisi karbon per kapita suatu negara
dibandingkan dengan nilai rata-rata global. Bila suatu negara ternyata
emisi karbonnya lebih tinggi dari nilai rata-rata global (sekitar 5 ton/kapita)
maka akan diwajibkan membayar pajak karbon setiap tahunnya. Pajak
karbon ini hitungannya cukup sederhana yaitu mengalihkan besaran ekses
emisi karbon/kapita dengan jumlah populasinya dan GCI (nilainya $10 per
ton). Sebaliknya bagi negara yang emisinya lebih rendah dari emisi global
akan memperoleh insentif karbon setiap tahunnya secara adil. Besaran
pajak karbon maupun insentifnya dapat mencapai puluhan miliar dollar
per tahunnya.
E. KETAHANAN ENERGI
BBM menjadi salah satu komoditas andalan sejak era kolonial di abad
XIX dengan penemuan sumur-sumur minyak dan gas di Sumatra maupun
Jawa. Selain sebagai sumber energi kehidupan sehari-hari, sesuai amanat
60 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Konstitusi/UUD 1945, maka BBM merupakan sumber kekayaan alam yang
dikuasai negara dan ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Pada awal Orde Baru sebagaimana telah dibahas di
Bab sebelumnya, bonanza minyak dan gas bumi mampu mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi nasional dan menyelamatkan krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Perwujudan amanat Konstitusi tersebut di era pemerintahan Jokowi
dilakukan melalui penerapan kebijakan Single Price Policy untuk BBM di
seluruh pelosok Nusantara. Dengan demikian masyarakat di pedalaman
Papua atau di tempat terpencil lainnya dapat menikmati harga BBM yang
sama. Penguasaan kembali Blok Rokan dan Mahakam oleh pemerintah,
termasuk pembubaran unit bisnis anak perusahaan Pertamina bernama
Petral dan pencabutan subsidi BBM yang salah sasaran, memberikan
sinyal kuat bahwa pemerintah hadir dalam upaya menjalankan amanat
Konstitusi.
Tabel 5.2 Peringkat Indeks Keberlanjutan Energi Dunia
WORLD ENERGY COUNCIL (WGC) INDEX RELATED TO
INDONESIA ENERGY SECURITY
World Energy Council
Energy Sustainability
Index Rankings by WEC:
Indonesia stayed at 60th
ranking
(2012), after
slipped down from 47th
ranking (2011) and
dropped from 29th ranking
(2010).
Negara
Ranking
Kanada
1
Swedia
2
Denmark
3
Zimbabwe
4
Kolombia
5
…..
Jepang
7
Australia
25
USA
27
Filipina
52
Thailand
58
Indonesia
60
Source: DEN Modified
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 61
Dewan Energi Dunia (World Energy Council,WEC) secara berkala
menerbitkan index keberlanjutan energi sebagai salah satu parameter
yang dapat dikaitkan dengan pemeringkatan ketahanan energi suatu
negara, seperti terlihat pada Tabel 5.2. Negara yang termasuk di 10
peringkat atas pada umumnya sudah memiliki cadangan energi dalam
jumlah mencukupi sebagai bagian dari ketahanan energi mereka.
Indonesia sendiri menduduki peringkat 60 terhitung tahun 2012. Pada
tahun 2010 sempat menduduki peringkat ke 29, kemudian melorot ke
urutan 47 di tahun 2011 dan akhirnya turun lagi ke peringkat 60.
Laporan mutakhir tahun 2021 WEC menerbitkan World Energy
Trilemma Index yang berbasis pada perhitungan tiga aspek gabungan
masing-masing terdiri dari aspek keamanan energi (energy security),
ekuitas energi (energy equity) dan pelestarian lingkungan (environmental
sustainability). Keamanan energi; aspek pertama yang terkait kapasitas
suatu negara terhadap kehandalan dan ketahanannya untuk menjamin
kebutuhan energinya saat ini sampai rentang waktu ke depan ketika
menghadapi disrupsi yang mengejutkan semisal isolasi lingkungan. Ekuitas
energi; aspek ini merupakan hasil asesmen terhadap kemampuan suatu
negara untuk menyediakan akses universal yang handal, terjangkau dan
berlimpah energi untuk keperluan sendiri maupun komersial. Pelestarian
lingkungan; ialah aspek yang menunjukkan upaya transisi sistem energi
suatu negara untuk melakukan mitigasi dan menghindari kerusakan
lingkungan dan dampak perubahan iklim.
Kali ini ada 127 negara yang dilibatkan dan digolongkan ke dalam 101
pemeringkatan. Berdasarkan penilaian terhadap index gabungan tersebut
saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 58. Negara ASEAN lainnya
memperoleh peringkat berturut-turut Malaysia 25, Singapore 34, Brunei
38, Thailand 53, Vietnam 61, Phillippines 70, Cambodia 82 dan Myanmar
83. Posisi di ASEAN menunjukkan bahwa Indonesia masih lebih baik
dibanding Vietnam, Phillippines, Cambodia dan Myanmar tetapi lebih
buruk daripada Malaysia, Singapore, Brunei dan Thailand.
Gabungan ketiga aspek diatas merepresentasikan ketahanan energi
suatu negara yang secara fisik diwakili kesiapannya terhadap a). cadangan
strategis energi, b) cadangan penyangga dan c). cadangan operasional.
Beberapa negara seperti Jepang dan Singapura mempunyai cadangan
62 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
strategisnya guna bertahan hidup dari isolasi total minimal selama
setahun. Negara pulau misalnya Singapura sudah menyiapkan reservoir
hidrokarbon sebagai cadangan strategis di kedalaman lebih dari 150m di
bawah lautnya. Sedangkan Indonesia kondisinya dapat dibilang cukup
rentan.
Jika menggunakan standar WEC, Indonesia belum menyediakan baik
cadangan strategis maupun penyangganya karena yang siap baru
cadangan operasional yaitu yang disiapkan oleh BUMN Pertamina selama
sekitar 3 minggu. Walau demikian masih ada optimisme dengan selesai
pembangunan Kilang BBM di Tuban dengan kapasitas 12 juta barrel yang
akan segera beroperasi di tahun 2022. Bila itupun dianggap belum
sepadan, sumber alam Nusantara masih mampu diunduh energinya kapan
saja.
Konservasi, Transisi dan Ketahanan Energi | 63
64 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
PENUTUP
A. UMUM
Kehidupan manusia selalu lekat dengan masalah energi, karena pada
dasarnya alam semesta beserta seluruh isinya tak lain adalah representasi
bentuk energi sesuai fungsi dan perannya masing-masing. Energi
merupakan elemen vital dalam kehidupan manusia dan semesta. Mudah
untuk dipahami bagi negara yang kaya akan sumber energi, akan menjadi
target atau incaran negara maju dan adidaya. Negara maju akan
memberikan dua opsi, menjadi mitra atau lawan mereka. Jika lawan, cepat
atau lambat sumber energi tersebut akan berpindah dikuasai mereka
dengan cara apapun. Sebaliknya sebagai mitra, siap-siap harus mengikuti
apa kemauan mereka, karena negara maju tersebut ingin memperoleh
keuntungan maksimal. Kedua opsi tersebut tak serta-merta berlaku
manakala negara penghasil energi ini cukup kuat. Boleh jadi perang
menjadi opsi lain yang dipilih. Sebaliknya negara yang tak punya sumber
energi akan selalu tergantung kepada negara lain seumur hidupnya.
Selama puluhan tahun di era perang dingin, energi telah menjadi salah
satu alasan untuk memicu perang berkepanjangan. Perang dingin yang
berlangsung antara Blok Barat (AS dan sekutunya) dengan Blok Timur (Uni
Soviet dan sekutunya) telah mengakibatkan wilayah Timur Tengah
(sebagai negara mayoritas penghasil BBM dunia) selalu membara, sampai
akhirnya merambat ke negara tetangganya seperti Afganistan, Irak dan
Iran. Demikian pula yang sedang terjadi pada perang Rusia-Ukraina sejak
24 Februari 2022 lalu, telah memunculkan isu penghentian pasokan gas
Rusia ke negara-negara Barat sebagai ancaman serius.
Mempertimbangkan semua uraian di atas, maka timbul pertanyaan;
adakah mekanisme pengelolaan energi yang adil, bermartabat, mengikat
dan dapat diterima semua negara di dunia? Betulkah energi menjadi
berkah Tuhan yang dapat dinikmati siapapun dan dimanapun tanpa
merusak lingkungan hidup? Mungkinkah energi bersih tanpa emisi karbon
selalu tersedia di alam dan dapat diunduh secara percuma alias gratis oleh
siapapun yang memerlukannya? Masih banyak lagi pertanyaan
lanjutannya yang pada akhirnya bermuara kepada kenyataan bahwa
energi itu anugerah Tuhan yang ditujukan untuk seluruh ciptaannya.
Jawaban dari sederet pertanyaan tersebut pernah diajukan melalui
gagasan genius oleh Nicolas Tesla.
B. GAGASAN TESLA
Seorang inventor, innovator dan peneliti bernama lengkap Nicolas
Tesla (1846-1943), warga Amerika keturunan Serbia, menghasilkan banyak
sekali buah karya yang telah menginspirasi para ilmuwan. Dari sekian
banyak kreasinya, dia pernah mempunyai idea genius (mungkin oleh
sebagian ilmuwan dipandang gila) yaitu memanfaatkan atmosfir bumi
seperti konduktor elektrik yang rinciannya dituangkan ke dalam gagasan
atau konsep tentang “World Wireless System”. Menurut Tesla, konsepnya
akan mampu mewujudkan transmisi energi listrik tanpa kabel dan
demikian juga berlaku untuk telekomunikasi serta pengiriman sinyal/data
secara bersamaan (broadcasting) dalam skala global. Bagi seorang peneliti
seperti Tesla, bumi dan atmosfir penuh dengan sumber daya energi.
Fenomena di atmosfir untuk sumber energi listrik yang berupa sinar
matahari, angin, kilat, petir, halilintar dan lainnya, semestinya dapat
diunduh, kemudian dikumpulkan melalui receiver ke tempat penyimpanan
energi berupa listrik DC dan ditransmisikan kembali ke atmosfir.
Dapat dibayangkan jika atmosfir berfungsi bukan hanya konduktor
elektrik semata tapi juga sebagai “power bank” yang menyediakan energi
bersih ke seluruh permukaan bumi, dapat dimanfaatkan kapan saja oleh
siapa saja walau di tempat terpencil sekalipun. Selain itu bumi juga dapat
66 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
menjadi medium telekomunikasi dan penyiaran data sehingga akan
mendekatkan masyarakat di pelosok ujung dunia dengan berbagai
informasi/data sebagaimana dinikmati kelompok masyarakat di perkotaan
umumnya.
C. BUMI HIJAU DAN MAKMUR
Seperti uraian di atas, gagasan Tesla dapat menjadi masukan berharga
guna mengembangkan energi idaman dengan segala kelebihannya seperti
bersih tanpa polusi, ramah lingkungan, mudah diakses, gratis dan dapat
dinikmati bersama. Telekomunikasi dan penyiaran informasi/data ke
segala penjuru dunia telah dapat diwujudkan saat ini melalui jaringan
internet. Optimisme muncul kembali terhadap realisasi atmosfir bumi
menjadi “global power bank” atau “listrik untuk semua (electric for all)”
secepatnya menjadi kenyataan, asalkan semua pihak mendukung
terutama negara adi daya. Dengan kemajuan IPTEK pada saat ini sudah
selayaknya gagasan menyediakan “global power bank” dapat diwujudkan
tanpa kendala berarti. Kendala yang mungkin terjadi hanya jika para
pebisnis energi dan afiliasinya sulit beradaptasi dengan semua kemudahan
ini.
Dapat diilustrasikan secara singkat jika energi bersih tersedia gratis
berupa “listrik untuk semua” akan membawa perbaikan fenomenal di
tatanan sosial budaya dan lingkungan hidup sekaligus. Emisi karbon
menurun drastis di seluruh muka bumi, efek gas rumah kaca (GHG)
teratasi, bumi makin ramah sebagai tempat berkembangnya semua
makhluk hidup, kelestarian alam terjaga dan segala bentuk pengrusakan
oleh manusia lainnya dapat dibatasi, maka bumi ini akan semakin hijau
dan makmur. Surga dunia atau “Heaven on Earth” akhirnya terwujud.
Penutup | 67
REFERENSI
1. Agus Sugiyono. Outlook Kelistrikan Indonesia 2010-2030: Prospek
Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan. In: Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012. 2012. p. 87–94.
2. Aimon H, Dwita S, Susanto P. The relationship between consumption
and imports of fuel oil in indonesia. J Ekon Malaysia. 2020;54(2):125–
36.
3. Albers A. Five Hypotheses about Engineering Processes and their
Consequences. In: Proceedings of the 8th International Symposium on
Tools and Methods of Competitive Engineering - TMCE 2010. 2010. p.
1–13.
4. Amorim H V., Lopes ML, De Castro Oliveira JV, Buckeridge MS,
Goldman GH. Scientific challenges of bioethanol production in Brazil.
Appl Microbiol Biotechnol. 2011;91(5):1267–75.
5. Andadari RK, Mulder P, Rietveld P. Energy poverty reduction by fuel
switching. Impact evaluation of the LPG conversion program in
Indonesia. Energy Policy [Internet]. 2014;66:436–49.
6. Arsita SA, Saputro GE, Susanto. Perkembangan Kebijakan Energi
Nasional dan Energi Baru Terbarukan Indonesia. J Syntax Transform
[Internet]. 2021;2(12):1779–88.
7. Artha B, Putra JA. Pengaruh Penggunaan Energi Terbarukan Terhadap
Produk Domestik Bruto (Studi Kasus di Indonesia). Ef J Ekon dan Bisnis
[Internet]. 2020;11(2):143–8.
8. Arze del Granado FJ, Coady D, Gillingham R. The Unequal Benefits of
Fuel Subsidies: A Review of Evidence for Developing Countries. World
Dev. 2012;40(11):2234–48.
9. ASEAN Centre for Energy, The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040
10. Atty D, Zulkifli M, Muhammad H, Hamzah Z, Trijana RS. Economy
Growth and Oil Import Requirement in Indonesia. In: Special Issue for
International Conference on Energy, Environment and Sustainable
Economy (EESE 2013. 2013. p. 76–84.
68 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
11. Aughenbaugh JM, Paredis CJJ. The value of using imprecise
probabilities in engineering design. J Mech Des Trans ASME.
2006;128(4):969–79.
12. Azam M, Khan AQ, Zaman K, Ahmad M. Factors determining energy
consumption: Evidence from Indonesia, Malaysia and Thailand. Renew
Sustain Energy Rev [Internet]. 2015;42:1123–31.
13. Badaruddin M. Indonesia Rejoining OPEC: Dynamics of the Oil
Importer and Exporter Countries. JAS (Journal ASEAN Stud.
2016;3(2):116.
14. Bayu H, Windarta J. Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan
PLTS di Indonesia. J Energi Baru dan Terbarukan. 2021;2(3):123–32.
15. Blum NU, Sryantoro Wakeling R, Schmidt TS. Rural electrification
through village grids - Assessing the cost competitiveness of isolated
renewable energy technologies in Indonesia. Renew Sustain Energy
Rev. 2013;22:482–96.
16. Brémond V, Hache E, Mignon V. Does OPEC still exist as a cartel? An
empirical investigation. Energy Econ.
17. Brenna M, Falvo MC, Foiadelli F, Martirano L, Poli D. Sustainable
Energy Microsystem (SEM): Preliminary energy analysis. 2012 IEEE PES
Innov Smart Grid Technol ISGT 2012. 2012;1–6.
18. Brotosusilo A, Apriana IWA, Satria AA, Jokopitoyo T. Littoral and
Coastal Management in Supporting Maritime Security for Realizing
Indonesia as World Maritime Axis. IOP Conf Ser Earth Environ Sci.
2016;30(1).
19. Chapsos I, Malcolm JA. Maritime security in Indonesia: Towards a
comprehensive agenda? Mar Policy [Internet]. 2017;76(April
2016):178–84.
20. Cunado J. Structural breaks and real convergence in opec countries. J
Appl Econ [Internet]. 2011;14(1):101–17.
21. Dani S, Wibawa A. Challenges and policy for biomass energy in
Indonesia. Int J Business, Econ Law. 2018;15(5):41–7.
22. Dartanto T. BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di
Indonesia Teguh. Inovasi2. 5AD;05(November 2004):1–110.
Referensi | 69
23. Dartanto T. Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal
balance and poverty in Indonesia: A simulation analysis. Energy Policy.
2013;58:117–34.
24. Daryono, Wahyudi S, Suharnomo. The development of green energy
policy planning model to improve economic growth in Indonesia. Int J
Energy Econ Policy. 2019;9(5):216–23.
25. Dewata ER, Hariyati F, Nordin S. Study of Pertashop & BBM Satu Harga
in Parigi Baru Village on Pertamina’ s Reputation Measured by
Customer-Based Brand Equity. J Ris Kominukasi. 2022;5(2):32–50.
26. Dounis AI, Caraiscos C. Advanced control systems engineering for
energy and comfort management in a building environment-A review.
Renew Sustain Energy Rev. 2009;13(6–7):1246–61.
27. Du X, Chen W. Towards a better understanding of modeling feasibility
robustness in engineering design. J Mech Des Trans ASME.
2000;122(4):385–94.
28. Dutson AJ, Todd RH, Magleby SP, Sorensen CD. A Review of Literature
on Teaching Engineering Design Through Project-Oriented Capstone
Courses. J Eng Educ. 1997;86(1):17–28.
29. Efendi D. Dasar pembangunan di Indonesia dan Malaysia: suatu
analisis perbandingan. Jebat Malaysian J Hist Polit Strateg Stud.
2012;39(2):96–115.
30. Galiana FD, Bouffard F, Arroyo JM, Restrepo JF. Scheduling and pricing
of coupled energy and primary, secondary, and tertiary reserves. Proc
IEEE. 2005;93(11):1970–82.
31. Göke L. A graph-based formulation for modeling macro-energy
systems. Appl Energy [Internet]. 2021;301(July):117377.
32. Gunningham N. Managing the energy trilemma: The case of Indonesia.
Energy Policy [Internet]. 2013;54:184–93.
33. Hasan MH, Mahlia TMI, Nur H. A review on energy scenario and
sustainable energy in Indonesia. In: Renewable and Sustainable Energy
Reviews. Elsevier Ltd; 2012. p. 2316–28.
34. Herwin H, Giriansyah B., Rau IT. TOTAL’s experiences in tackling
mature field challenges in the Mahakam PSC. Search Discov.
2018;30565:9.
70 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
35. Hwang JH, Yoo SH. Energy consumption, CO2 emissions, and economic
growth: Evidence from Indonesia. Qual Quant. 2014;48(1):63–73.
36. Iannacci J. Microsystem based Energy Harvesting (EH-MEMS):
Powering pervasivity of the Internet of Things (IoT) – A review with
focus on mechanical vibrations. J King Saud Univ - Sci
37. Ikhsan M, Dartanto T, Usman S. Kajian dampak kenaikan harga BBM
2005 terhadap Kemiskinan. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat.
38. International Renewable Energy Agency (IRENA). Renewable Energy
Prospects: Indonesia. REmap 2030. 2017. 106 p.
39. Kamahara H, Hasanudin U, Widiyanto A, Tachibana R, Atsuta Y, Goto N,
et al. Improvement potential for net energy balance of biodiesel
derived from palm oil: A case study from Indonesian practice. Biomass
and Bioenergy
40. Kharina A, Malins C, Searle S. Biofuels policy in Indonesia: overview
and status report. Int Counc Clean Transp Washington, DC, USA.
2016;(August):14.
41. Kharina A, Malins C, Searle S. Biofuels policy in Indonesia: overview
and status report. Int Counc Clean Transp Washington, DC, USA.
2016;(August):14.
42. Kraal D. Petroleum industry tax incentives and energy policy
implications: A comparison between Australia, Malaysia, Indonesia
and Papua New Guinea. Energy Policy [Internet]. 2019;126(November
2018):212–22.
43. Kristiawan A, Wahyuningsih SE. Perspektif Tindak Pidana Administrasi
Terhadap Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Ijin (Peti) Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batubara.
J Daulat Huk. 2018;1(1):95–106.
44. Kutty AA, Abdella GM, Kucukvar M, Onat NC, Bulu M. A system
thinking approach for harmonizing smart and sustainable city
initiatives with United Nations sustainable development goals. Sustain
Dev. 2020;28(5):1347–65.
45. Levi PJ, Kurland SD, Carbajales-Dale M, Weyant JP, Brandt AR, Benson
SM. Macro-Energy Systems: Toward a New Discipline. Joule [Internet].
2019;3(10):2282–6.
Referensi | 71
46. Liu H, Chen W. Relative Entropy Based Method for Sensitivity Analysis
in Engineering Design. 2005. 1–37 p.
47. Liu H, Zhang G, Zheng X, Chen F, Duan H. Emerging miniaturized
energy storage devices for microsystem applications: From design to
integration. Int J Extrem Manuf. 2020;2(4).
48. Marquardt J. A Struggle of Multi-level Governance: Promoting
Renewable Energy in Indonesia. Energy Procedia
49. Martosaputro S, Murti N. Blowing the wind energy in Indonesia. In:
Energy Procedia. Elsevier B.V.; 2014. p. 273–82.
50. Messner S, Schrattenholzer L. MESSAGE-MACRO: Linking an energy
supply model with a macroeconomic module and solving it iteratively.
Energy. 2000;25(3):267–82.
51. Mulyani PA, Eia A, Esdm K, Migas D. Kajian Terhadap Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Subsidi Bahan Bakar Minyak ( BBM ) Indonesia
Study On The Factors Affecting The Fuel Subsidy ( BBM ) In Indonesia. J
Ekon Kuantitatif Terap. 2015;8(1):1–8.
52. Natashya J. Hambatan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Uni
Eropa pasca Kebijakan Renewable Energy Directive (RED). J Sentris.
2020;2(2):127–55.
53. Nefi A, Malebra I, Ayuningtyas DP. Implikasi Keberlakuan Kontrak
Karya Pt. Freeport Indonesia Pasca Undang-Undang No 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. J Huk Pembang.
2018;48(1):137.
54. Nehru V, Mckay L, Hofma B. Economic Brief for the Consultative Group
on Indonesia. 2000.
55. Nehru V, Mckay L, Hofma B. Indonesia Accelerating Recovery in
Uncertain Brief for the Consultative on Indonesia. 2000.
56. Nugroho H. Transisi Energi Indonesia: Janji Lama Belum Terpenuhi.
Bappenas Work Pap. 2019;2(2):208–14.
57. Nur AI, Kurniawan AD. Proyeksi Masa Depan Kendaraan Listrik di
Indonesia: Analisis Perspektif Regulasi dan Pengendalian Dampak
Perubahan Iklim yang Berkelanjutan. J Huk Lingkung Indones.
2021;7(2):197–220.
72 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
58. Nurrohim A. Peningkatan Ketahanan Energi Nasional Melalui
Penguatan IPTEK dan SDM. In: Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan
59. Okedu K. A Variable Speed Wind Turbine Flywheel Based Coordinated
Control System for Enhancing Grid Frequency Dynamics. Int J Smart
Grids, ijSmartGrid [Internet]. 2018;2(2).
60. Øvergaard S. Definition of primary and secondary energy. Stand Int
Energy Classif Int Recomm Energy Stat. 2008;(Energy Statistics):1–7.
61. Paillin DB, Wattimena E. Penerapan algoritma sequential insertion
dalam pendistribusian BBM di Kawasan Timur Indonesia (Studi kasus
pada PT. Pertamina Upms VIII Terminal Transit Wayame-Ambon).
Arika. 2015;9(1):53–62.
62. Persia AN. Studi Tentang Cadangan Penyangga Minyak (CPM) Untuk
Mewujudkan Ketahanan Energi Indonesia. J Ketahanan Energi.
2018;4(2):1–30.
63. Pinto B. Nigeria during and after the oil boom: A policy comparison
with Indonesia. World Bank Econ Rev. 1987;1(3):419–45.
64. Posthumus GA. The inter-governmental group on indonesia. Bull
Indones Econ Stud. 1972;8(2):55–66.
65. Pratama RA, Widodo T. The Impact of Nontariff Trade Policy of
European Union Crude Palm Oil Import on Indonesia, Malaysia, and
the Rest of the World Economy: An Analysis in GTAP Framework. J
Ekon Indones. 2020;9(1):39–52.
66. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia no 70/ 2009 Konservasi Energi. 2009. p. 1–17.
67. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang No. 30 Tahun 2007.
2007 p. 83–111.
68. Priwanza H, Saputra R, Manalu D, Muryanto B, Nuryanto Y, Dirgantoro
A, Maharanoe M, Sari K, Sayogyo B, Hutahean R, Dewanta D, Wibowo
A, Limawan V, Darma R. Development of well integrity management
tool in Mahakam Block. Soc Pet Eng - SPE/IATMI Asia Pacific Oil Gas
Conf Exhib 2017. 2017;2017-January (Figure 1):1–14.
Referensi | 73
69. Rahayu S, Wahyudhi D. Penegakan Hukum Ketentuan Pidana Pasal 158
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara Terhadap Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di
Kabupaten Muaro Jambi. 2009.
70. Rahman A, Dargusch P, Wadley D. The political economy of oil supply
in Indonesia and the implications for renewable energy development.
Renew Sustain Energy Rev [Internet]. 2021;144(September
2020):111027.
71. Rahman, Hakim. Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap
Pengumuman Kenaikan Harga Bbm 22 Juni 2013. Manag Anal J.
2014;3(1):1–5.
72. Rianto F, Utari DS, Jenawi B, Sujarwani R. Renewable Energy on Islands:
Lessons for Indonesia to Apply. J Rekayasa Bahan
73. Rivani E. Kebijakan Subsidi Bbm Dan Efisiensi Perekonomian. Info Singk
Ekon dan Kebijak Publik [Internet]. 2014;VI(9).
74. Rochwulaningsih Y, Sulistiyono ST, Masruroh NN, Maulany NN. Marine
policy basis of Indonesia as a maritime state: The importance of
integrated economy. Mar Policy [Internet]. 2019;108(March
2016):103602.
75. Romlan MR. Outlook Energi Indonesia 2014. Igarss 2014. 2014;(1):1–5.
76. S. I. Faizah and U. A. Husaeni, “Development of consumption and
supplying energy in Indonesia’s economy,” Int. J. Energy Econ. Policy,
vol. 8, no. 6, pp. 313–321, 2018.
77. Santika WG, Urmee T, Simsek Y, Bahri PA, Anisuzzaman M. An
assessment of energy policy impacts on achieving Sustainable
Development Goal 7 in Indonesia. Energy Sustain Dev [Internet].
2020;59:33–48.
78. Saputro IR. Kebijakan Indonesia Mengakhiri Kontrak Kerjasama
Sumber Daya Migas PT Chevron: Kasus Blok Rokan Riau. J Inov Ilmu
Sos dan Polit. 2018;17(2):117–22.
79. Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional. Indonesia Energy Outlook
2016. Vol. 2016. 2016.
80. Setiawati N, Santi C, Utami M. Peranan Inter-Governmental Group On
Indonesia ( IGGI ) dalam Perbaikan Perekonomian Indonesia Tahun
1967-1992. J Indones Hist. 2021;10(1):87–94.
74 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
81. Shintawaty A. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai
Bahan Bakar Alternatif di Indonesia. Econ Rev. 2006;03(Maret):1–20.
82. Sihombing G, Suwarno S. Pemanfaatan Energi Terbarukan off Grid di
Daerah Terpencil Indonesia. E-Link J Tek Elektro dan Inform.
2021;16(2):40.
83. Silver C, Azis IJ, Schroeder L. Intergovernmental transfers and
decentralisation in Indonesia. Bull Indones Econ Stud. 2001;37(3):345–
62.
84. Soccol CR, Vandenberghe LP de S, Medeiros ABP, Karp SG, Buckeridge
M, Ramos LP, Pitarelo AP, Ferreira-Leitão V, Gottschalk LMF, Ferrara
MA, Silva Bon EP da, Moraes LMP de, Araújo J de A, Torres FAG.
Bioethanol from lignocelluloses: Status and perspectives in Brazil.
Bioresour Technol. 2010;101(13):4820–5.
85. Sugiyono Agus Purwono B, Teknik Mesin J, Negeri Malang Jl Soekarno Hatta No P. Strategi Pengembangan Energi Terbarukan Di Jawa Timur.
In: Seminar Nasional Terapan Teknologi. 2016. p. 2016.
86. Summers JD, Shah JJ. Mechanical engineering design complexity
metrics: Size, coupling, and solvability. J Mech Des Trans ASME.
2010;132(2):0210041–02100411.
87. Sun Y. Sensitivity analysis of macro-parameters in the system design of
net zero energy building. Energy Build [Internet]. 2015;86:464–77.
88. Suryantoro S, Dwipa S, Ariati R, Darma S. Geothermal Deregulation
and Energy Policy in Indonesia. World Geotherm Congr 2005.
2005;(April):24–9.
89. Susanti E. Penanaman Modal Asing Sektor Pertambangan Minyak Dan
Gas Bumi Nasional Pada Masa Orde Baru Tahun 1967-1981. Avatara.
2016;4(3).
90. Suyitno BM. Energi Bagi Kesejahteraan Rakyat. In: Seminar
Internasional Teknik Mesin. 2012. p. 1–12.
91. Syahrial E, Adam R, Suharyati, Ajiwihanto N, Indarwati RRF, Kurniawan
F, Kurniawan A, Suzanti VM. 2012 Handbook of Energy and Economic
Statistics of Indonesia. 2012. 1–115 p.
92. Tsai WT. Service-oriented system engineering: A new paradigm. Proc SOSE 2005 IEEE Int Work Serv Syst Eng. 2005;2005(November
2005):3–6.
Referensi | 75
93. Udin U. Renewable energy and human resource development:
Challenges and opportunities in Indonesia. Int J Energy Econ Policy.
2020;10(2):233–7.
94. Usui N. Dutch disease and policy adjustments to the oil boom: A
comparative study of Indonesia and Mexico. Resour Policy.
1997;23(4):151–62.
95. Usui N. Policy adjustments to the oil boom and their evaluation: The
Dutch Disease in Indonesia. World Dev. 1996;24(5):887–900.
96. Widarjono A, Susantun I, Ruchba SM, Rudatin A. Oil and food prices
for a net oil importing-country: How are related in indonesia? Int J
Energy Econ Policy. 2020;10(5):255–63.
97. World Bank Group. Solar Resource and Photovoltaic Potential of
Indonesia [Internet]. 2017. 86 p.
98. Yáñez Angarita EE, Silva Lora EE, da Costa RE, Torres EA. The energy
balance in the Palm Oil-Derived Methyl Ester (PME) life cycle for the
cases in Brazil and Colombia. Renew Energy. 2009;34(12):2905–13.
99. Yudha SW, Tjahjono B. Stakeholder mapping and analysis of the
renewable energy industry in Indonesia. Energies. 2019;12(4):1–19.
76 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
PROFIL PENULIS
Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM
Penulis mengawali kariernya sebagai staf di
Kementerian Perhubungan pada tahun 1976 dan sejak
itu telah menduduki berbagai posisi di Kementerian
tersebut. Berturut-turut, ia pernah menjabat sebagai
Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara (tahun 1993-1995),
Sekretaris Badan Diklat Perhubungan (1998-2000), lalu
Inspektur Jenderal sejak Agustus 2005 hingga Maret
2007 dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dari Maret 2007 hingga
Maret 2009, sebagai staf ahli Menteri Perhubungan mewakili Kementerian
menjadi anggota Dewan Energi Nasional (DEN) tahun 2009-2013. Selain itu
pernah juga menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) Dirjen
Perkeretaapian tahun 2013 selama 6 bulan. Sebagai profesional bukan
partisan, ia juga pernah mengemban amanat sebagai Menteri
Perhubungan Republik Indonesia di tahun 2001 dalam kabinet Presiden
Abdurrahman Wahid (Juni-September 2001).
Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM menempuh pendidikan S1 Teknik
Mesin jurusan Aeronautika di Institut Teknologi Bandung, lulus tahun 1977,
kemudian melanjutkan pendidikannya dan memperoleh gelar spesialisasi
di bidang Teknik Aeronautika dan Luar Angkasa di ENSAE (Ecole National
Superieure d’Aeronautique et d’Espace) Toulouse, Perancis (1984). Gelar
Master (DEA) diperoleh dalam bidang Ilmu Material di ENSMA (Ecole
National Superieure de Mechanique et d’Aerotechnique) Poitiers (1985),
Perancis. Gelar doktor akhirnya diperoleh pada tahun 1988 di ENSMA
dengan judul “the Fatigue Crack Propagation of Steel in the Corrosive
Gaseous Environment”.
Selain berkarier di Kementerian Perhubungan, Dr. Ir. Budhi Muliawan
Suyitno, IPM juga membagi ilmu dengan menjadi pengajar dan penguji
program S2 dan S3 di bidang Teknik Aeronautika dan Teknik Mesin di
beberapa universitas di Indonesia.
Profil Penulis | 77
Publikasi karya ilmiah yang pernah ditulis antara lain B.M. Suyitno
bersama J.Petit, dan G. Chalant dengan judul “Fatigue Crack Propagation
in Gaseous Environment” dalam Fatigue Conference Hawaii tahun 1990,
“Aging Aircraft Corrosion Assessment” dalam Corrosion Seminar di
Bandung tahun 1994, serta bersama B. Sutarmadji, dengan judul
“Corrosion Control Assessment for Indonesian Ageing Aircrafts”, yang
diterbitkan dalam jurnal Anti-Corrosion Methods and materials Journal,
Vol. 44 Issue 2, 1996. Lima tahun terakhir fokus pada penelitian energi
baru dan terbarukan, dan telah menerbitkan sebanyak 14 judul publikasi
karya ilmiah di jurnal nasional dan internasional yang bereputasi, serta 4
buah judul buku ajar.
Selama kariernya, Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno, IPM telah menerima
beberapa penghargaan di Indonesia dan ASEAN, seperti Honorary Fellow
of ASEAN Federation Engineering Organization dari ASEAN Federation of
Engineering Organization (AFEO) dan juga ASEAN Engineer from AFEO. Dia
juga aktif berkiprah dalam beberapa organisasi seperti Komite Akreditasi
Nasional (KAN) (1997-2000) sebagai representatif organisasi profesi
Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Dewan Riset Nasional (2004-2007),
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) (2002-sekarang).
Setelah pensiun dari Kementerian Perhubungan, saat ini Dr. Ir. Budhi
Muliawan Suyitno, IPM masih tetap aktif mengajar dan diberi kepercayaan
menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Pancasila periode 2017sekarang, merangkap Ketua Pusat Kajian Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
di universitas yang sama (2014-sekarang), serta Ketua Majelis Layanan
Insinyur PII (2015-2018) dan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (2003-2018).
78 | Rekayasa Sistem Energi Nasional
Download