1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir dengan membawa risalah Alquran yang tiada bandingannya sampai saat ini. Hadirnya agama Islam ini tak lain dan tak bukan melainkan untuk menjadi pedoman dan sumber rujukan seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini agar terciptanya sebuah kedamaian dan keadilan. Dalam artian bahwa, ajaran dalam Islam itu meliputi semua segi kehidupan manusia tanpa memandang suku, ras, bangsa, maupun agama.1 Sebab ketika berbicara tentang manusia itu sendiri, para sosiolog menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tak lepas dengan interaksi antar sesama manusia karena memiliki naluri untuk selalu hidup bersama, yang kemudian terbentuk sebuah perkumpulan-perkumpulan atau yang kemudian dikenal dengan istilah masyarakat.2 Sekalipun, sebenarnya misi adanya ajaran Islam di sini tidak terbatas hanya kepada sesama manusia melainkan untuk seluruh alam. Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya ayat 107: َس ْل َٰنَكَ ِإ اَّل َرحْ َمةً ِل ْل َٰ َعلَ ِمين َ َو َما ٓ أ َ ْر Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Dengan posisinya sebagai sumber rujukan di tengah-tengah manusia, terlebih lagi para sosiolog menyatakan bahwa dengan adanya 1 Misbāhuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Alquran, dalam Jurnal AlUlum, (Manado: STAIN Manado, Vol.11, No.2), hal 287. 2 Muhammad Azhar, Filsafat politik, Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hal. 32. 2 latar belakang dan keyakinan yang beragam di tengah-tengah perkumpulan umat manusia yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya terkhusus dalam keyakinan beragama yang menyebabkan terdapatnya sekat-sekat ,3 maka di dalam Alquran Islam telah memberikan solusi dengan menghadirkan beberapa ayat yang di dalamnya terkandung sebuah ajaran kemoderatan, diantaranya terdapat adanya misi dari agama Islam yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam seperti yang tertuang dalam surah al-Anbiya ayat 107, kemudian adanya karakteristik ajaran Islam yaitu agama yang sesuai dengan kemanusiaan seperti yang tertuang dalam surah al-Rum ayat 30, dan adanya karakteristik umat Islam yaitu menjadi umat yang moderat (al-Baqarah ayat 143), umat yang berpihak kepada kebenaran (al-Rum ayat 30), umat yang menegakan keadilan (al-Maidah ayat 8), dan umat yang terbaik (al-Imran ayat 110). Dari ketiga kandungan tersebut menunjukan bahwa Islam memerintahkan kepada manusia terkhusus umat Islam untuk perlunya beragama dengan sikap moderat, yang kemudian para ulama merumuskannya menjadi sebuah konsep ajaran yang dikenal dengan istilah moderasi Islam (Wasaṭiyah al-Islam). Wasaṭiyah di sini dalam makna sebagai ajaran agama yang terbaik, menjunjung tinggi keadilan yang di dalamnya mengedepankan pertengahan dalam hal apapun, tidak ekstrem kanan maupun kiri4, dll. Yūsuf Al-Qarḍāwī mengatakan, bahwa esensi dari Agama Islam itu adalah al-wasaṭ (moderat) yaitu sebuah ajaran yang mempertimbangkan antara ruhani dan jasmani, duniawi dan ukhrowi. Misalnya seperti, jika dilihat dari segi akidah, Islam tidaklah seperti paham materialisme yang menolak sama sekali segala sesuatu yang gaib (metafisik), sehingga hal ini berdampak pada tidak berimannya para materialis terhadap Tuhan.5 3 W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 26-27. 4 Abu Yazid, Islam Moderat, (Jakarta, Erlangga 2014), hal 7. 5 Yūsuf Al-Qarḍāwī, al-Khaṣāiṣ al ‘Ammah fī al-Islām (Suriah: Muassasah al-Risalah, 1989), hal. 127-137. 3 Adapun salah satu ayat yang secara gamblang menunjukan adanya perintah bersikap moderat dan menjadikannya sebagai dasar pijakan adalah tedapat dalam surah al-Baqarah ayat 143, yaitu : ً س ُ طا ِلِّت َ ُكونُوا علَ ْي ُك ْم ُ الر َّ َاس َو َي ُكون ِ َّعلَى الن َ سو ُل َ ش َهدَا َء َ َو َك َٰذَلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو ۗ ش ِهيدًا َ Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.6 Kata wasaṭ dalam ayat di atas, pada mulanya bermakna “segala yang baik sesuai objeknya”. Rasulullah SAW bersabda, خير االمور اوسا طهاyang bermakna “sebaik-baik persoalan adalah jalan tengahnya”.7 Kemudian, dalam hadith lain juga dijelaskan ”dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang tengah-tengah, dan agama Allah itu berada diantara yang beku dan yang mendidih.8 Dalam artian bahwa, segala sesuatu yang posisinya berada di tengah dan di antara dua ekstrem adalah sesuatu yang baik. Kalau boleh dicontohkan, seperti “kesucian” adalah pertengahan antara kedurhakaan yang disebabkan oleh dorongan nafsu yang menggebu-gebu, dan “kedermawanan” adalah pertengahan antara sikap boros dan kikir. Terkait baiknya sesuatu yang di tengah, Alquran sendiri sudah mengisyaratkan dalam surah al-Isra’ ayat : 29. ْ س ْط فَت َ ْقعُدَ َملُو ًما ِ ط َها ُك َّل ْٱل َبس ُ َو َال تَجْ َع ْل َيدَكَ َم ْغلُولَةً ِإلَ َٰى ُ عنُقِكَ َو َال ت َ ْب ورا ُ َّْمح ً س Artinya: 6 Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), QS: Al-Baqarah ayat 143. 7 Ibnu Al-Atsir, Jami’ al-ushul Fi Ahadith al-Rasul, Maktabah Al-Halwaniy, Matba’ah Al-Malah, Maktabah Dar Al-Wayan, 1969 Juz II, hal 318-319.. 8 Jalāluddin ‘Abdurrahmān As-Suyūṭī, Jamī’ Al-hadīth, Bairut: Dar Al-Fikr, 1994, 4 Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.9 Kemudian dalam ayat 110 juga dijelaskan : ۟ ع ۟ ع ۟ ع َّ وا وا فَلَهُ ْٱْل َ ْس َما ٓ ُء ْٱل ُح ْسن ََٰى ۚ َو َال ُ ْٱلرحْ َٰ َمنَ ۖ أَيًّا َّما تَد ُ ٱَّللَ أ َ ِو ٱ ْد ُ قُ ِل ٱ ْد َّ وا ً ِسب ْ ِص ََلتِكَ َو َال تُخَاف يَل َ َت بِ َها َوٱ ْبت َغِ بَيْنَ َٰذَلِك َ ِتَجْ َه ْر ب Artinya: Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam solatmu dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah diantara kedua itu.10 Menurut Quraish Shihab, setidaknya ada 2 hal yang bisa dipetik dari adanya ayat di atas. Pertama, ayat di atas menunjukan bahwa makna dari kata wasaṭ mengalami perkembangan dari makna “yang terbaik” menjadi makna “tengah”. Kedua, ayat tersebut memerintahkan kita untuk berada di posisi tengah, sehingga manakala kita dihadapkan pada dua pihak yang sedang berseteru maka kita dituntut untuk menjadi wasaṭ (wasit), yaitu berada di posisi tengah, dan maksud posisi tengah di sini adalah berlaku adil, dari sini maka lahirlah makna ketiga dari kata wasaṭ, yaitu “adil”. Hal ini sama pendapatnya dengan Al-Syaukani yang memaknakan kata wasaṭ salah satunya dengan makna adil,. Sehingga dalam kesimpulannya, Quraish Shihab menyatakan bahwa terdapat tiga makna populer dari kata wasaṭ yaitu yang terbaik, tengah, dan adil.11 Namun, bagi Al-Syaukani di samping mengartikan kata wasaṭ dengan makna adil, beliau juga menambahkan makna lain lagi, yaitu moderat atau tidak ekstrem.12 Karena menurutnya sikap ekstrem merupakan suatu sikap yang tidak berada dalam posisi tengah, anti 9 Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 285. Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 293. 11 Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Mempungsikan Wahyu Dalam Kehidupan, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2011), hal. 92. 12 Al-Syaukani, Faṭ al-Qadīr, juz 1. hal. 234. 10 5 moderasi dan tidak memiliki tempat dalam norma dan praktik Islam. Bahkan sikap ekstrem sangat ditentang oleh Islam, sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Nisa ayat 171 : ۟ ُوا فِى دِينِ ُك ْم َو َال تَقُول ۟ ُب َال ت َ ْغل َّ علَى ۚ ٱَّللِ إِ َّال ْٱل َح َّق ِ َ َٰيَٓأ َ ْه َل ْٱل ِك َٰت َ وا Artinya: Wahai Ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.13 Kemudian dalam surah al-Maidah ayat 77 : ۟ ُب َال ت َ ْغل َ وا فِى دِينِ ُك ْم ق َو َال تَتَّبِعُ ٓو ۟ا أ َ ْه َوآ َء قَ ْوٍ قَ ْد ِ َ قُ ْل َٰيَٓأ َ ْه َل ْٱل ِك َٰت ِ ِّ غي َْر ْٱل َح ۟ ُّضل ۟ ُّضل ۟ ُّضل س ِبي ِل َّ س َوآ ِء ٱل ً ِوا َكث َ وا َ يرا َو َ َ وا ِمن قَ ْب ُل َوأ َ َ عن Artinya: Katakanlah (Muhammad), “wahai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.14 Dengan adanya dasar pijakan dan perintah dari ayat-ayat di atas untuk bersikap moderat terlebih dalam Moderasi (wasaṭiyah) yang telah dirumuskan oleh para ulama, maka sepatutnya sudah tidak ada alasan bagi umat Islam untuk bersikap tidak moderat dalam kehidupannya terkhusus dalam beragama. Sebab dalam hal ini, di satu sisi Islamlah yang menampilkan dirinya sebagai agama yang memiliki ajaran Moderasi (wasaṭiyah), namun di sisi yang lain Umat Muslim dituntut untuk mengakui dan mengamalkannya sebagai jalan kehidupannya. Namun, yang disayangkan adalah manakala kita melihat realitas yang terjadi sampai detik ini, banyak sekali tindakan-tindakan 13 14 Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 105. Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 121 6 ekstremisme, radikalisme, terorisme yang mana tindakan ini sangatlah bertolak belakang dengan ajaran wasaṭiyah yang terdapat dalam agama Islam terlebih lagi tindakan tersebut mengatasnamakan Agama Islam. Jangan jauh-jauh, mari kita lihat di negara Indonesia tercinta kita ini sebagai negara dengan warga bermayoritas beragama Islam. Dalam laporan tahunan SETARA Institute terkait kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) pada tahun 2018, menyatakan bahwa telah terjadi 109 peristiwa pelanggaran KBB yang tersebar di 20 provinsi yang mencakup bentuk diskriminasi, intoleransi, pelarangan cadar, pelarangan perayaan valentine dan pengusiran.15 Kemudian, dalam hasil survei Wahid Institute menunjukan bahwa tindakan radikalisme dan ekstremisme yang menjurus kepada intoleransi di Indonesia cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46% dan pada awal tahun 2020 naik menjadi 54%.16 Terdapat pula sebuah kasus yang belum lama terjadi di tanah air Indonesia ini yaitu tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2020 telah terjadi peristiwa penyerangan terhadap rumah penganut Syi’ah di Solo yang sedang mengadakan acara midodareni atau doa bersama sebelum pernikahan oleh laskar-laskar yang mengaku dirinya paling benar, hanya gara-gara dugaan atas pelestarian adat dalam tradisi Syi’ah.17 Sampai di sini kita dapat melihat bahwa betapa merebaknya tindakan ekstrimisme dan radikalisme di Indonesia. Sebuah tindakan yang semestinya tidak terjadi di sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, terlebih lagi Islam sebagai agama dengan 15 SETARA Institute, Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia 2018, dalam https://setara-Institue.org/laporan-tahunan-kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinandan-minoritas-keagamaan-di-indonesia-2018-, diakses pada 9 Desember 2020. 16 Media Indonesia, Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme Cenderung Naik, dalam https://m.mediaindoneisa.com/read/detail/284269-surveiwahid-institute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik, diakses pada 9 Desember 2020. 17 SETARA Institute, Massa Bubarkan Midodareni Dikira Adat Syiah, Setara Institute: Hukum Harus Tegak, dalam https://setara-Institue.org/massabubarkan-midodareni-dikira-adat-syiah-setara-institute-hukum-harus-tegak/, diakses pada 10 Desember 2020. 7 pemeluk terbesar yang di dalamnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moderat dan toleransi. Seharusnya dengan posisinya seperti itu, Islam mampu menekan tindakan ekstremisme dan radikalisme di tengahtengah masyarakat bangsa Indonesia ini, namun rekam jejak sejarah mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa tindakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme justru mengatasnamakan Agama Islam. Sedikit menengok dalam beberapa tahun silam, terdapat sebuah peristiwa memilukan yang mengatasnamakan Islam dan sangat mengguncang dunia yaitu peristiwa pengeboman di Bali yang terjadi pada 12/10/2002 dan 01/10/2015,18 yang sehingganya dengan adanya peristiwa tersebut menyebabkan terlahirnya stigma buruk terhadap Islam. Dinyatakan bahwa “umat Islam adalah terdakwa atas berbagai peristiwa terorisme, meskipun dalam perkembangannya stigma ini secara khusus dilontarkan untuk Umat Islam Fundamentalis”,19 yang menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran yang absolut.20 Jika ditelusuri secara mendalam, dari peristiwa di atas yang mengatasnamakan Agama Islam tersebut nyatanya tidak sekonyongkonyong asal bertindak dengan tanpa ada alasan dan landasan pondasi yang kuat, bagaimana tidak ? dalam sebuah buku yang berjudul Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra menyatakan bahwa adanya tindakan ekstrem dan radikal dalam tubuh umat muslim terkhusus dalam peristiwa pengeboman di bali, dll yang memiliki tujuan menegakan syariat Islam merupakan bentuk jihad yang telah diperintahkan oleh Alquran.21 Dalam artian bahwa segala tindakan yang mereka perbuat merupakan hasil pemahaman yang berdasar pada ayat suci Alquran sebagai kitab pedoman utama Agamanya yaitu Islam. Berkenaan dengan ini, maka pantas jika Muhammad Arkoun Deden Rodin, Islam dan Radikalisme: “Telaah Atas Ayat-Ayat Kekerasan dalam al-Quran”, Kudus, Jurnal Addin. Vol. 10. No 1, hlm. 30. 19 Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Bekasi: Gugus Press, 2002), hal. 149. 20 Djam’annuri, Agama Kita Prespektif Sejarah Agama-agama, cet II (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hal. 25. 21 Imam samudra, aku melawan teroris , (solo: jazera, 2004), cet ke 2, hal 107-108. 18 8 mengatakan, bahwa Alquran telah digunakan umat Islam untuk mengabsahkan setiap perilakunya, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai apresiasi, dan menjadi pengukuh bagi identitas kolektif.22 Karena memang pada realitasnya terjadi demikian. Sehingganya, dengan melihat realitas yang terjadi dan hadirnya stigma buruk terhadap Islam, maka para ahli sosiolog agama meresponnya dengan membagi kategori Agama Islam menjadi dua kutub, yaitu: Islam Moderat23 dan Islam Fundamentalis24. Dalam pendapat yang lain, menyebutkan bahwa terdapat satu kategori lagi selain kedua kategori tersebut, yaitu Islam Liberal.25 Namun terlepas dari kategori di atas, menurut Leonard Binder26 secara tegas menyatakan bahwa segala tindakan ekstrem dan radikal -seperti yang sudah disebukan di atas- yang terjadi dalam tubuh umat muslim atau 22 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Alquran, terjh. Machasin (Jakarta: INIS, 1997), hal. 9. 23 Islam Moderat merupakan sebuah ajaran agama yang mengajarkan keseimbangan atau tidak ekstrem kanan maupun kiri, dengan sebuah prinsifnya yaitu “menjaga tradidi lama yang bagus, dan mengambil isprirasi baru yang lebih bagus. Yang lama dan yang baru tidak ditolak, keduanya diterima sejauh layak untuk kita di masa kini”. 24 Islam Fundamentalis merupakan sebuah paham yang bercita-cita untuk mengeksistensikan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional dalam merespon kalangan sekulerisme. Dalam pendapat lain dijelaskan bahwa Fundamentalisme Islam merupakan sebuah gerakan yang memiliki semangat untuk melakukan pembaharuan, kembali kepada kemurnian, merealisasikan kebenaran, dan kesederhanaan zaman rasulullah. Karakter khas dari gerakan ini adalah skripturalisme yang berciri khusus. Akan tetapi dalam perkembangannya sampai detik ini, Fundamentalisme memiliki konotasi minor dan sangat pejorative, bahkan dianggap pula sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu dikaitkan dengan gerakan-gerakan dan revolusi 25 Islam liberal merupakan sebuah paham yang menekankan kebebaan dari struktur sosial-politik yang menindas. terkait penafsiran atas Islam, Islam liberal memiliki beberapa prinsip yaitu, terbukanya pintu ijtihad pada semua dimensi Islam di sepanjang waktu, penekanan pada semangat religio-etik, kepercayaan pada kebenaran relative, terbuka dan plural, pemihakan pada pihak minoritas dan tertindas, keyakinan pada kekeba san beragama, dan pemisahan otoritas keagamaan dan politik. 26 Leonard binder merupakan orang yang pertama kali mengintrodusir penggunaan intilah fundamentalisme terhadap gerakan keagamaan umat muslim. Ia merupakan seorang professor politik science, dan direktur NEC (The Near East Center) di university of kalifornia, Los Angeles (UCLA). 9 yang mengatas namakan Agama: agama Islam merupakan perbuaan kelompok Islam Fundamentalis, karena menurutnya Islam Fundamentalis memiliki gerakan-gerakan ekstrem yang bercita-cita untuk menjalankan hukum Islam secara umum dan menyeluruh dalam tatanan masyarakat, sekalipun Ismāīl Rājī Al-Fārūqī menolak penggunaan istilah fundamentalisme dalam gerakan-gerakan kebangkitan Umat Islam, karena menurutnya istilah yang benar dalam menamai gerakan kebangkitan Umat Islam adalah Nahḍah (kebangkitan).27 Terlepas dari akar motif munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme di dalam Islam dengan perjalanan sejarahnya yang sangat panjang, Ullil Abshar Abdala membagi fundamentalisme dalam Islam menjadi dua model, pertama, Fundamentalisme Rejeksionis yaitu fundamentalsime yang menolak secara total warisan modernitas yang bersifat destruktif dan supremaris, dengan cita-cita menggantikan kota manusia dengan kota tuhan, demi mewujudkan cita-citanya kelompok ini akan melakukan tindakan ekstrim sebagai pilihannya, hal ini seperti yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr bahwa kelompok fundamentalis ini sangat identik dengan tindakan ekstrim dan radikalnya dalam mewujudkan cita-citanya.28 kedua, fundamentalisme Eskapiestik, yaitu fundamentalisme yang memiliki suatu cara hidup lain yang berbeda dengan cara hidup sekuler, seperti dengan cara menarik diri dari kehidupan umum untuk mencari ketenangan batin dan untuk menghindari dari polusi nilai sekuler yang dianggapnya bertentangan dengan nilai agama. Sekalipun memiliki dua model kelompok, secara inti kedua model di atas memiliki karakteristik yang sama, menurut Azyumardi Azra yang menjadi inti karakteristik kaum fundamentalisme di sini adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci sebagai firman tuhan yang dianggap tanpa ada kesalahan. Dengan Ismāīl Rājī Al-Fārūqī. “Islamic Renaissance In Contemporary Society”, Al Ittihad 15 no.04 (178). hal 15-23. 28 Sayyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), hal 127. 27 10 keyakinan itu maka lahirlah sebuah gagasan dasar yang menyatakan bahwa agama islam dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi, pelunakan, reinterprtasi dan pengurangan.29 Namun jika dikaitkan dengan semua tindakan ekstrim dan radikal yang ditujukan pada kelompok fundamentalis, maka tindakan tersebut dikhususkan pada kelompok fundamentalis jenis Rejeksionis. Lebih lanjut lagi, Menurut Ullil Abshar Abdalla, tokoh utama Fundamentalisme Islam jenis Rejeksionis ini yang sangat terkenal adalah Sayyid Quṭub seorang revolusioner berkebangsaan mesir dan sekaligus seorang mufassir Alquran, hal ini berkat doktrin-doktrin pemikiran ekstremnya yang sangat menolak moderenitas terkhusus di lihat dari sisi keberagamaan, yang menurutnya bahwa Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993. 29 11 . Bahkan pemikiran dan gerakan ekstrem Sayyid Quṭub tak berhenti di kehidupannya saja, Menurut Nuim Hidayat dalam bukunya yang berjudul “Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya” yang menjelaskan bagaimana pemikiran Sayyid Quṭub ini sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran generasi setelahnya seperti bagaimana genealogi pemikiran Osama Bin Laden yang terkenal ekstrem sesampainya ia dijuluki sebagai teroris kelas kakap, yang merupakan murid dari Abdullah Azzam, sedangkan Azzam itu sendiri banyak terinspirasi dari pemikiran Sayyid Quṭub .30 Sehingga berkat doktrin-doktrin pemikiran ekstremnya yang sangat berpengaruh Sayyid Quṭub digelari sebagai ‘Guru Para Teroris’,31 selain iu juga Sayyid Quṭub dijuluki dengan Karen Amstrong sebagai bapak fundamentalisme moderen.32 Namun untuk mengetahui seberapa jauh ekstremnya doktrindokrin pemikiran Sayyid Quṭub , maka perlu kiranya penulis paparkan butir-butir pemikiran ekstremnya. Sejauh hasil pembacaan penulis dari berbagai sumber, setidaknya penulis menemukan 5 doktrin utama pemikiran Sayyid Quṭub yang dianggap ekstrem, di antaranya adalah : Pertama, Islam adalah sebuah agama yang anti modernisme dan menolak akan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa Islam harus belajar dari barat mengenai pembangunan masyarakat dan politik. Dengan alasan bahwa Alquran sesungguhnya telah menghimpun segala sesuatu yang dibutuhkan manusia.33 Kedua, semua kehidupan di jaman sekarang berada dalam kondisi jahiliyyah, dengan alasan bahwa kondisi kehidupan manusia di Nuim Hidayat, Sayyid Quṭub : Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya, (jakarta: Persfektif, 2005), hal 12. 31 Sayed Khatab, The Power Of Sovereignty: The Political And Ideological Philosophy Of Sayyid Sayyid Quṭub (New York: Routledge, 2006), hal 175. 32 Irwan Masduqi, BerIslam Secara Toleran : Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung, Mizan, 2011), hal 108. 33 Antony Black, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini , Alih Bahasa: Abdullah Ali Dan Mariana Arisetyawati, (Jakarta: Serambi 2006), Hal. 578-579. 30 12 jaman sekarang baik dalam segi pemikiran, seni, konstitusi, budaya dan pemerintahan telah melampaui batas dasar kedaulatan Allah di bumi sebagai tuhan yang al-ḥakīmiyyah dan telah jauh dari manhaj Allah dalam prakteknya.34 Bahkan menurutnya kaum jahiliyyah moderen lebih buruk ketimbang jahiliyyah awal sebelum turunnya Nabi Muhammad. Ketiga, dalam ranah politik Sayyid Quṭub menyerukan untuk terciptanya pemerintahan Islam yang bersifat menyeluruh dan supra nasioal. Sebuah pemerintahan yang memiliki pusat pemerintahan yang mencakup daerah-daerah Islam di luarnya dan warganya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga di pusat pemerintahan serta tidak diperlakukan negara jajahan. Konsep ini mengusulkan agar seluruh umat Islam yang berada dalam pemerintahan tersebut meninggalkan fanatisme ras dan kedaerahan.35 Keempat, manakala terdapat masyarakat muslim yang di dalamnya menyerupai manjah Allah, maka Allah memberikan hak kepadanya untuk bergerak dan maju untuk menyelamatkan atau mengambil kekuasaan dan menentukan pemerintahan.36 Kelima, barang siapa yang menentang Islamisasi masyarakat, negara dan pemimpin muslim, baik itu masyarakat yahudi, nasrani maupun yang mengaku muslim (tidak menjalankan manhaj Islam),37 maka harus diperlakukan seperti memperlakukan kaum jahiliyyah yaitu dengan disandangkannya istilah kafir dan murtad, dan diperbolehkan untuk melakukan kekerasan asal masih dalam ranah wilayah jihad demi terciptanya pemerintahan Islam.38 Terkait jihad, di dalam kitab tafsir Fî Sayyid Quṭub , Al-Adālah Al-Ijtimā’iyyah Fī Al-Islām, (Kairo: Darul Kitab Al-Arabi, 1967), hal. 100. 35 Munawir Sjadzili, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), Hal. 149s 36 Sayyid Quṭub , Ma’ãlim Fī At-Ṭarīq, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013), hal. 82. 37 Sayyid Quṭub , ma’ ālim fī at-ṭarīq….. hal. 88-91 38 Antony Black, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini…..hal 578. 34 13 Ẓilāl Alquran, Sayyid Quṭub mengomentari salah satu ayat dalam Alquran yang terdapat dalam surah at-taubah 9: 73 : Sebelumnya Rasul menyikapi kaum munafik dengan kelembutan dan toleran. Sampai pada kelimaksnya batas lemah lembut, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya dalam menyikapi mereka dengan sikap yang tegas bahkan mengkelompokan orang munafik kedalam orang-orang kafir yang harus diperangi dan tidak mengenal rasa kasih sayang ('anifan ghalizan lã rahmah fih). Lebih lanjut ia mengatakan, "sesungguhnya sikap lemah lembut itu ada tempatnya begitu juga dengan sikap kekerasan atau ketegasan. Maka ketika sudah selesai batas lemah lembut, lakukanlah dengan ketegasan dalam menyikapi mereka". Untuk menguatkan maksud memerangi dalam ayat di atas Sayyid Quṭub menghadirkan dengan dua pilihan berdasarkan riwayat yang ada: pertama, memeranginya dengan pedang sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Ali ra. Kedua, memeranginya dengan menampakkan kejelekan mereka di depan umum sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Abbas.39 Dari kelima doktrin pemikiran Sayyid Quṭub di atas, dapat dilihat bahwa manhaj Islam yang terdapat dalam benak Sayyid Quṭub tidak multi interpreted seperti yang telah terjadi sepanjang sejarah Islam, sebab apa yang Sayyid Quṭub anggap benar dalam sebuah interpreted terhadap teks agama merupakan sebuah kebenaran yang hakiki, tentu dampaknya adalah akan menganggap pemahaman yang besebrangan dengannya merupakan sebuah pemahaman yang keliru, dan secara otomatis akan disandangkan kepadanya istilah kafir dan murtad.40 Sayyid Ibn Quṭub bin Ibrahim As-Sadhili, Î, (Beirut: Dar As-Shuruq, 1412 H, Jilid 3), hal 102. 40 Adib Hasani, Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Eksklusif Sayyid Sayyid Quṭub , Dalam Jurnal Episeme, Vol. 11, No 1, Juni 2016. 39 14 Dengan hadirnya doktrin-doktrin pemikiran Sayyid Quṭub di atas tentu tidak menutup rapat-rapat akan lahirnya hujan kritik dan penyangsian dari tokoh ulama Islam lainya. Jika ditelusuri, tidak sedikit dari mereka yang meragukan akan kemoderatan Sayyid Quṭub , bahkan dianggap tidak moderat. Misalnya, Ismāil Ḥasan Al-Huḍaibī dengan tegas menentang pemikiran radikal Sayyid Quṭub dan mengkritik habis fundamen teologis pemikirannya terkhusus pemikirannya tentang takfirisme terhadap orang yang secara terang-terangan menindas dan telah bekerja sama dengan barat, terlebih lagi Sayyid Quṭub menuduh barat memiliki permusuhan terhadap Islam secara menyeluruh yang telah membuat skema yang matang untuk menghancurkan umat Islam. Hal ini tentu mendapat respon dari Olivier Roy seorang politikus prancis yang mengatakan bahwa sikap Sayyid Quṭub tentang barat telah menggambarkan sebuah penghinaan dan kebencian radikal terhadap barat.41 Selain itu ia juga menentang sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa dunia muslim sebenarnya non-muslim, karena dalam praktiknya sudah keluar dari ajaran Islam dan itu diangap sebagai sebuah kemurtadan. Penentangan tersebut diamini juga oleh Yūsuf Al-Qarḍāwī sebagai seorang tokoh moderat timur tengah sekaligus sebagai ketua Uni Cendikiawan Muslim Internasional. Dalam riwayat lain juga menyatakan bahwa di samping Sayyid Quṭub menolak semua budaya non-muslim ia juga menganggap bahwa semua budaya, pembelajaran yang merujuk kepada empat khalifah pertama itu tidaklah Islami bahkan dianggap tidak berharga.42 Sehingga menurut kedua nya pemikiran Sayyid Quṭub tersebut tidak mencerminkan ajaran Islam Ahlussunnah Wa al-Jamā’ah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moderat, menolak takfirisme dan sangat memelihara ajaran tradisional yang menjunjung tinggi empat khalifah. Sampaisampai berkat pemikirannya yang ekstrm dan radikal tersebut para 41 Olivier Roy, The Failure Of Political Islam, Diterjemahkan Oleh Carol Volk, (Harvard University Press, 1994), hal 19-20. 42 Abdelwahab Meddeb, the malady of Islam, (new york: basic book, 2003), hal 104. 15 ulama universitas al-azhar menyematkan istilah sesat kepada Sayyid Quṭub (munḥarif).43 Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Sayyid Quṭub mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah dalam Islam..? sebab wasaṭiyah itu sendiri menurut Ibnu ‘Asyur merupakan ajaran yang sangat menolak ekstimisme dan radikalisme,44 sedangkan manakala berbicara tentang ekstimisme dan radikalisme dalam Islam selalu merujuk kepada Sayyid Quṭub. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah Sayyid Quṭub mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah sebagai fitrahnya ajaran Islam ? menurut Nuim Hidayat dalam bukunya yang berjudul “Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya”, menyatakan bahwa dua sumber utama pemikiran Sayyid Quṭub adalah Ma’ ālim fī at-ṭarīq dan Fî Ẓilāl Alquran.45 Jika dilihat secara logika dengan adanya Kitab Tafsir Fî Ẓilāl Alquran sebagai buah karyanya, sudah menjadi bukti bahwa Sayyid Quṭub pasti mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah dalam Islam, karena semua dalil-dalil basis terkait ajaran tersebut tercantum di dalam Alquran secara gamblang, seperti dalam surah al-baqarah ayat 143, sehingga pertanyaannya adalah bagaimana pandangan dan penafsiran Sayyid Quṭub terkait ayat wasaṭiyah di dalam Alquran,? Oleh karena adanya masalah di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan pada dua pertanyaan di atas yaitu adalah bagaimana pandangan dan penafsiran Sayyid Quṭub terkaid ayat wasaṭiyah di dalam Alquran dan bagaimana pengaruh konsep wasaṭiyahnya terhadap perkembangan kekhazanahan Islam, yang mana akan penulis kaji dalam kitab tafsir karya Sayyid Quṭub yaitu Fî Ẓilāl Alquran. 43 Gilles Kepel, Jihad: The Trail Of Political Islam, (Harvard Universivy Press, 1986), hal 58. 44 Ibnu ‘Asyur, Uṣūl An-Niẓām Al-Ijimā’ī Fī Al-Islā, (Tunis: As-Sharikah AtTūnisiyyah Li At-Tauzi’, 1979), hal 17. 45 Nuim Hidayat, Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya,…..hal 24. 16 B. Identifikasi Masalah Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah yang harus digaris bawahi bahwa sebagai seorang inspirator para pelaku tindakan ekstrem dan radikal sekaligus sebagai bapak fundamenalisme moderen, Sayyid Quṭub memiliki berbagai riwayat kontroversional mulai dari aksi konspirasinya sampai kepada pemikirannya yang dianggap ekstrem dan radikal yang sudah barang tentu besebrangan dengan ajaran wasaṭiyah, hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang besar terkait konsep wasaṭiyah Sayyid Quṭub, kemudian bagaimana pengaruh konsep wasaṭiyahnya terhadap perkembangan kekhazanahan Islam. Mengingat bahwa beliau adalah seorang mufassir Alquran kontemporer, seperti yang sudah diketahui bahwa dalil naqli terkait wasaṭiyah terdapat di dalam Alquran, oleh karenanya perlu adanya pengkajian mendalam terkait konsep wasaṭiyah menurut Sayyid Quṭub dalam kitab tafsirnya yaitu kitab Fî Ẓilāl Alquran untuk mengetahui bagaimana konsep wasaṭiyah menurut Sayyid Quṭub. C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis hanya membahas ayat yang berkaitan dengan wasaṭiyah yang terdapat di dalam ayat suci Alquran menurut penafsiran Sayyid Quṭub yang tertuang dalam kitab tafsirnya yaitu Fî Ẓilāl Alquran. Adapun ayat yang digunakan terbagi menjadi 2, Pertama, ayat yang secara gamblang menyebutkan kata Wasaṭ yang terdapat dalam surah al-baqarah ayat 143. Kedua, ayat-ayat derivasi terkait moderat yaitu surah al-baqarah ayat 226 dan 256, al-kahfi ayat 29, yunus ayat 99, al-buruj ayat 10, almuminun ayat 53, asz-dzariyat ayat 20-21. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang menjadi pokok persoalan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana pandangan Sayyid Quṭub tentang wasaṭiyah dalam tafsir Fî Ẓilāl Alquran ? 17 2. Bagaimana pengaruh wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub terhadap perkembangan khazanahIslam ? E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan Sayyid Quṭub tentang wasaṭiyah dalam tafsir Fî Ẓilāl Alquran. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengaruh wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub terhadap perkembangan khazanah Islam. F. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dalam mengkaji penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan berkenaan dengan konsep Wasaṭiyah menurut Sayyid Quṭub, bahwasannya seorang tokoh fundamentalisme Islam yang dikenal sangat ekstrempun memiliki konsep wasaṭiyah tersendiri seuai versinya. 2. Manfaat praktis a. Peneliti: Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penulis dalam pembahasan terkait konsep wasaṭiyah, terkhusus bagi penulis yang ingin meneliti lebih jauh terkait konsep wasaṭiyah dalam pandangan Sayyid Quṭub. b. STFI Sadra: Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan kepustakaan terkait konsep wasaṭiyah menurut Sayyid Quṭub di dunia akademisi atau Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) khususnya bagi Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI Sadra). c. Masyarakat Umum: Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dalam melihat problematika 18 di lapangan, terkhusus dalam melihat tindakan ekstrem seseorang agar tidak gegabah dalam bertindak baik dalam bersikap maupun menilai pemikiran. Selain itu juga diharapkan penelitian ini dapat menjadi wedangan renyah untuk segala kalangan guna menambah puingpuing ilmu pengetahuan keislaman. G. Kajian pustaka Dalam sebuah penelitian, kajian terdahulu menjadi sangat penting untuk dibahas. Karena dengannya kita dapat menunjukan bahwa tema yang akan diteliti telah banyak dibahas dan layak untuk diteliti, memberikan referensi terkait tema yang akan dibahas, dan yang paling penting adalah penulis dapat membandingkan kemudian mencari aspek lain yang baru dan sama sekali belum pernah disentuh oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melakukan penelusuran berkaitan dengan wasaṭiyah melalui skripsi dan jurnal. Sejauh penelusuran peneliti, ditemukan beberapa penelitian yang memiliki hubungan dengan penelitian ini yaitu, sebagai berikut : Pertama, Ali Muhammad Al-Solabi, dalam tesisnya yang berjudul Al-Wasaṭiyah di Alquran. Penelitian ini menguraikan pembahasan terkait wasaṭiyah dalam Alquran secara panjang lebar dengan menggunakan sumber yang beragam, dalam artian Ali menggunakan ragam tafsir dalam menlis penelitiannya. Adapun dalam penelitiannya, ali memaparkan seluruh aspek yang berkaitan dengan wasaṭiyah , misalnya dilihat dari segi aqidah, ibadah, akhlak, dan syariat. Adapun persamaannya dengan penelitian ini adalah sama membahas konsep wasaṭiyah , namun yang membedakannya adalah dalam penelitiannya ali membuka semua pendapat para mufassir dalam tafsirnya yang kemudian mengambil sebuah kesimpulan jalan tengah. Adapun dalam penelitian ini lebih memfokuskan ke dalam penafsiran pendapat satu tokoh yaitu Sayyid Sayyid Quṭub . 19 Kedua, Nasrul Hidayat, dalam sebuah tesisnya yang berjudul Konsep Wasaṭiyah Dalam Tafsir Al-Sya’rawi. Penelitian ini berangkat dari adanya sikap ekstrem yang sangat over kanan dan juga kiri yang menurutnya tidak sejalan dengan prinsip Islam yang moderat. Dalam penelitiannya Nasrul menggunakan Tafsir Al-Sya’rowi dalam sebagai sumber primernya, yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam menengahi problematika tersebut. Dalam kesimpulannya Nasrul memaparkan bahwa wasaṭiyah dalam Tafsir Al-Sya’rawi dilihat dari dua sisi, yaitu sisi iman dan aqidah. Yang menurutnya dalam segi keimanan dan kepercayaan terdapat dua kubu yang berlawanan baik itu kelompok yang tidak memiliki kepercayaan akan tuhan maupun yang memiliki kepercayaan akan banyak tuhan. Kedua kelompok ini ditolak mentah-mentah oleh al-sya’rawi dengan menggunakan dalil naqli dan aqli. Adapun persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas konsep wasaṭiyah dalam pandangan seorang tokoh mufassir dalam kitab tafsirnya. Sedangkan perbedaannya adalah peneltian Nasrul berangkat untuk menjadikan solusi akan adanya sikap ekstrem, sedangkan penelitian ini berangkat untuk mengetahui konsep wasaṭiyah dari orang yang dianggap ekstrem. Kemudian perbedaan selanjutnya adalah adanya perbedaan sumber utama penelitan antara Nasrul dan penelitian ini, yang mana Nasrul menggunakan Tafsir Al-Sya’rawi sedangkan penelitian ini menggunakan Tafsir Fî Ẓilāl Alquran. H. Metodologi Penelitian 1. Metode dan Jenis Penelitian Metode penelitian diartikan sebagai cara atau strategi-strategi yang dilakukan para peneliti untuk mengumpulkan dan menganalisis 20 data guna memecahkan persoalan penelitiannya.46 Dalam penelitian ini menggunakan metode mawḍū’ī (tematik)47 di mana penulis berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan penciptaan manusia dari berbagai surah. Kemudian penulis membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.48 Sedangkan jenis penelitian ini tergolong penelitian kualitatif (qualitative research) studi dokumen atau teks (document study), yaitu kajian yang menitikberatkan pada analisis mendalam (in-depth analysis) terhadap bahan-bahan tulisan berdasarkan konteksnya. Atau dengan bahasa lain, penelitian jenis ini bisa diartikan sebagai menggali pikiran seseorang yang tertuang di dalam buku-buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan.49 2. Data dan Sumber Data Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), data ialah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan). Sumber artinya asal atau tempat keluar. 50 Sehingga sumber data dipahami sebagai tempat paling awal munculnya suatu kenyataan yang bisa dijadikan pedoman suatu penelitian. Dalam penelitian ini, ada dua bentuk data dan sumber data, yaitu sumber 46 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hal. 12 47 Metode mawḍū’ī berbeda dengan metode analisis-redaksi. Dalam penggunaan metode mawḍū’ī tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkan. Sementara metode analisis berusaha untuk menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam setiap ayat, seperti arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan. Lihat: Quraish Shihab, “Membumikan” Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hal. 180-182 48 Quraish Shihab, “Membumikan” Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hal. 132 49 Danu Eko Agustinova, Memahami Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik, (Yogyakarta: Calpulis, 2015), hal. 10, 27. 50 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V 0.4.0 Beta (40)): Aplikasi luring resmi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016-2020. 21 primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber data-data berupa karya tokoh yang sedang diteliti. Sedangkan data sekunder ialah data-data atau buku yang mengandung pemikiran tokoh tersebut yang merupakan hasil dari riset peneliti lain, ataupun buku-buku lain yang terkait dengan objek penelitian ini yang sekiranya bisa dipakai untuk menganalisis persoalan yang sedang penulis teliti.51 Penelitian ini bersandar pada beberapa referensi, seperti sumber data primer berupa 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penyusunan penelitian ini, mula-mula penulis mendalami persoalan tentang subjek yang akan diteliti, mulai dari membaca segala informasi mengenai kerangka dasar teoretis, metodologi, hingga praktis — yang disebut “tinjauan literatur”52 atau istilah lainnya, kepustakaan (library research). Metode koleksi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dokumen, yaitu sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca sekaligus mempelajari bahan-bahan tulisan (dokumen-dokumen), baik berkenaan dengan sumber primer maupun data sekunder berupa literatur-literatur yang masih berkaitan erat dengan topik yang diangkat dalam tulisan ini. Sehingga darinya, peneliti bisa mengenal budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh objek yang sedang diteliti. Penggunaan dokumen ini berkaitan dengan apa yang disebut analisis isi. Cara menganalisis isi dokumen ialah dengan memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk komunikasi tertulis dalam suatu dokumen secara objektif.53 51 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press, 2017), hal. 52. 52 Michael H. Walizer dan Paul L. Wienir, Research Methods and Analysis: Searching for Relationships (terj)—Metode dan Analisis Penelitian: Mencari Hubungan oleh Arief Sukadi Sadiman (ed), jil. 1, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 127128. 53 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal. 225-226 22 4. Sistematika Penulisan Pada sub bab ini, peneliti akan mendeskripsikan gambaran besar dari penelitian ini agar mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran sistematika dalam pembahasan skripsi ini. Bab pertama, pada bab ini memuat latar belakang masalah untuk mengetahui pentingnya melakukan penelitian ini, kemudian peneliti menjelaskan identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab kedua, pada bab ini peneliti mengangkat penjelasan mengenai moderat menurut Alquran, pembahasan ini nantinya akan meliputi ayat-ayat tentang moderat yang terdapat dalam Alquran, kemudian akan menguraikannya dengan pandangan mufassir. Bab ketiga, pada bab ini peneliti menjelaskan tentang Sayyid Qutub, dan tafsir Fî Ẓilāl Alquran, yang mana di dalamnya terdapat biografi Sayyid Qutub, pemikiran, karya, serta tentang tafsir Fî Ẓilāl Alquran. Bab keempat, pada bab ini berisi pemaparan hasil penelitian tentang wasaṭiyah menurut Sayyid Qutub yang bersumber dari tafsiran ayat-ayat terkait dari Alquran. Kemudian penulis melakukan analisa terkait Bagaimana pengaruh wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub terhadap perkembangan kekhazanahan islam. Bab kelima, pada bab ini merupakan bab penutup yang mencakup kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Depok: Rajawali Pers, 2017). 23 Agustinova, Danu Eko, Memahami Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik, (Yogyakarta: Calpulis, 2015). Al-Atsir, Ibnu, Jami’ al-ushul Fi Ahadith al-Rasul, Maktabah AlHalwaniy, Matba’ah Al-Malah, Maktabah Dar Al-Wayan, 1969 Juz II. Al-Fārūqī, Ismāīl Rājī. “Islamic Renaissance In Contemporary Society”, Al Ittihad 15 no.04 (178). Al-Qarḍāwī, Yūsuf, al-Khaṣāiṣ al ‘Ammah fī al-Islām (Suriah: Muassasah al-Risalah, 1989). Al-Syaukani, Faṭ al-Qadīr, juz 1. Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Alquran, terjh. Machasin (Jakarta: INIS, 1997). As-Sadhili, Sayyid Ibn Quṭub bin Ibrahim, Î, (Beirut: Dar As-Shuruq, 1412 H, Jilid 3). As-Suyūṭī, Jalāluddin ‘Abdurrahmān, Jamī’ Al-hadīth, Bairut: Dar AlFikr, 1994, ‘Asyur, Ibnu, Uṣūl An-Niẓām Al-Ijimā’ī Fī Al-Islā, (Tunis: As-Sharikah At-Tūnisiyyah Li At-Tauzi’, 1979). Azhar, Muhammad, Filsafat politik, Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997. Azra, Azyumardi, “Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993. Black, Antony, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini , Alih Bahasa: Abdullah Ali Dan Mariana Arisetyawati, (Jakarta: Serambi 2006). Gerungan, W. A, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010). 24 Hasani, Adib, Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Eksklusif Sayyid Quṭub , Dalam Jurnal Episeme, Vol. 11, No 1, Juni 2016. Hidayat, Nuim, Sayyid Quṭub : Biografi Pemikirannya, (jakarta: Persfektif, 2005). Dan Kejernihan Jamal, Misbahuddin, Konsep Al-Islam Dalam Alquran, dalam Jurnal Al-Ulum, (Manado: STAIN Manado, Vol.11, No.2). Kepel, Gilles, Jihad: The Trail Of Political Islam, (Harvard Universivy Press, 1986). Khatab, Sayed, The Power Of Sovereignty: The Political And Ideological Philosophy Of Sayyid Sayyid Quṭub (New York: Routledge, 2006), hal 175. Masduqi, Irwan, BerIslam Secara Toleran : Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung, Mizan, 2011). Meddeb, Abdelwahab, the malady of Islam, (new york: basic book, 2003). Mustaqim, Abdul Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press, 2017). Nasr, Sayyed Hossein, Pesan-Pesan Universal Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003). Islam Untuk Quṭub, Sayyid , Al-Adālah Al-Ijtimā’iyyah Fī Al-Islām, (Kairo: Darul Kitab Al-Arabi, 1967). Quṭub, Sayyid , Ma’ãlim Fī At-Ṭarīq, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013). Rodin, Deden, Islam dan Radikalisme: “Telaah Atas Ayat-Ayat Kekerasan dalam Alquran”, Kudus, Jurnal Addin. Vol. 10. No 1. Roy, Olivier, The Failure Of Political Islam, Diterjemahkan Oleh Carol Volk, (Harvard University Press, 1994), hal 19-20. 25 Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Bekasi: Gugus Press, 2002). Sjadzili, Munawir, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993). Samudra, Imam, aku melawan teroris , (solo: jazera, 2004), cet ke 2. Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006). Shihab, Quraish, Membumikan Alquran: Mempungsikan Wahyu Dalam Kehidupan, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2011). Walizer, Michael H. dan Paul L. Wienir, Research Methods and Analysis: Searching for Relationships (terj)—Metode dan Analisis Penelitian: Mencari Hubungan oleh Arief Sukadi Sadiman (ed), jil. 1, (Jakarta: Erlangga, 1990). Yazid, Abu, Islam Moderat, (Jakarta, Erlangga 2014). Artikel daring: SETARA Institute, Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia 2018, dalam https://setara-Institue.org/laporan-tahunan-kondisikebebasan-beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-keagamaan-diindonesia-2018-, diakses pada 9 Desember 2020. 26 Media Indonesia, Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme Cenderung Naik, dalam https://m.mediaindoneisa.com/read/detail/284269-survei-wahidinstitute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik, diakses pada 9 Desember 2020. SETARA Institute, Massa Bubarkan Midodareni Dikira Adat Syiah, Setara Institute: Hukum Harus Tegak, dalam https://setaraInstitue.org/massa-bubarkan-midodareni-dikira-adat-syiah-setarainstitute-hukum-harus-tegak/, diakses pada 10 Desember 2020.