Uploaded by Kang Aal

revisi bab 1

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir
dengan membawa risalah Alquran yang tiada bandingannya sampai
saat ini. Hadirnya agama Islam ini tak lain dan tak bukan melainkan
untuk menjadi pedoman dan sumber rujukan seluruh umat manusia
dalam menjalani kehidupannya di dunia ini agar terciptanya sebuah
kedamaian dan keadilan. Dalam artian bahwa, ajaran dalam Islam itu
meliputi semua segi kehidupan manusia tanpa memandang suku, ras,
bangsa, maupun agama.1 Sebab ketika berbicara tentang manusia itu
sendiri, para sosiolog menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk
sosial yang tak lepas dengan interaksi antar sesama manusia karena
memiliki naluri untuk selalu hidup bersama, yang kemudian terbentuk
sebuah perkumpulan-perkumpulan atau yang kemudian dikenal dengan
istilah masyarakat.2 Sekalipun, sebenarnya misi adanya ajaran Islam di
sini tidak terbatas hanya kepada sesama manusia melainkan untuk
seluruh alam.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya ayat 107:
َ‫س ْل َٰنَكَ ِإ اَّل َرحْ َمةً ِل ْل َٰ َعلَ ِمين‬
َ ‫َو َما ٓ أ َ ْر‬
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Wahai
Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.
Dengan posisinya sebagai sumber rujukan di tengah-tengah
manusia, terlebih lagi para sosiolog menyatakan bahwa dengan adanya
1
Misbāhuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Alquran, dalam Jurnal AlUlum, (Manado: STAIN Manado, Vol.11, No.2), hal 287.
2
Muhammad Azhar, Filsafat politik, Perbandingan Antara Islam dan Barat,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hal. 32.
2
latar belakang dan keyakinan yang beragam di tengah-tengah
perkumpulan umat manusia yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya
terkhusus dalam keyakinan beragama yang menyebabkan terdapatnya
sekat-sekat ,3 maka di dalam Alquran Islam telah memberikan solusi
dengan menghadirkan beberapa ayat yang di dalamnya terkandung
sebuah ajaran kemoderatan, diantaranya terdapat adanya misi dari
agama Islam yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam seperti yang
tertuang dalam surah al-Anbiya ayat 107, kemudian adanya
karakteristik ajaran Islam yaitu agama yang sesuai dengan kemanusiaan
seperti yang tertuang dalam surah al-Rum ayat 30, dan adanya
karakteristik umat Islam yaitu menjadi umat yang moderat (al-Baqarah
ayat 143), umat yang berpihak kepada kebenaran (al-Rum ayat 30),
umat yang menegakan keadilan (al-Maidah ayat 8), dan umat yang
terbaik (al-Imran ayat 110).
Dari ketiga kandungan tersebut menunjukan bahwa Islam
memerintahkan kepada manusia terkhusus umat Islam untuk perlunya
beragama dengan sikap moderat, yang kemudian para ulama
merumuskannya menjadi sebuah konsep ajaran yang dikenal dengan
istilah moderasi Islam (Wasaṭiyah al-Islam). Wasaṭiyah di sini dalam
makna sebagai ajaran agama yang terbaik, menjunjung tinggi keadilan
yang di dalamnya mengedepankan pertengahan dalam hal apapun, tidak
ekstrem kanan maupun kiri4, dll. Yūsuf Al-Qarḍāwī mengatakan,
bahwa esensi dari Agama Islam itu adalah al-wasaṭ (moderat) yaitu
sebuah ajaran yang mempertimbangkan antara ruhani dan jasmani,
duniawi dan ukhrowi. Misalnya seperti, jika dilihat dari segi akidah,
Islam tidaklah seperti paham materialisme yang menolak sama sekali
segala sesuatu yang gaib (metafisik), sehingga hal ini berdampak pada
tidak berimannya para materialis terhadap Tuhan.5
3
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010),
hal. 26-27.
4
Abu Yazid, Islam Moderat, (Jakarta, Erlangga 2014), hal 7.
5
Yūsuf Al-Qarḍāwī, al-Khaṣāiṣ al ‘Ammah fī al-Islām (Suriah: Muassasah
al-Risalah, 1989), hal. 127-137.
3
Adapun salah satu ayat yang secara gamblang menunjukan
adanya perintah bersikap moderat dan menjadikannya sebagai dasar
pijakan adalah tedapat dalam surah al-Baqarah ayat 143, yaitu :
ً ‫س‬
ُ ‫طا ِلِّت َ ُكونُوا‬
‫علَ ْي ُك ْم‬
ُ ‫الر‬
َّ َ‫اس َو َي ُكون‬
ِ َّ‫علَى الن‬
َ ‫سو ُل‬
َ ‫ش َهدَا َء‬
َ ‫َو َك َٰذَلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
ۗ ‫ش ِهيدًا‬
َ
Artinya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu.6
Kata wasaṭ dalam ayat di atas, pada mulanya bermakna “segala
yang baik sesuai objeknya”. Rasulullah SAW bersabda, ‫خير االمور اوسا‬
‫ طها‬yang bermakna “sebaik-baik persoalan adalah jalan tengahnya”.7
Kemudian, dalam hadith lain juga dijelaskan ”dan sebaik-baik amal
perbuatan adalah yang tengah-tengah, dan agama Allah itu berada
diantara yang beku dan yang mendidih.8 Dalam artian bahwa, segala
sesuatu yang posisinya berada di tengah dan di antara dua ekstrem
adalah sesuatu yang baik. Kalau boleh dicontohkan, seperti “kesucian”
adalah pertengahan antara kedurhakaan yang disebabkan oleh dorongan
nafsu yang menggebu-gebu, dan “kedermawanan” adalah pertengahan
antara sikap boros dan kikir.
Terkait baiknya sesuatu yang di tengah, Alquran sendiri sudah
mengisyaratkan dalam surah al-Isra’ ayat : 29.
ْ ‫س‬
‫ْط فَت َ ْقعُدَ َملُو ًما‬
ِ ‫ط َها ُك َّل ْٱل َبس‬
ُ ‫َو َال تَجْ َع ْل َيدَكَ َم ْغلُولَةً ِإلَ َٰى‬
ُ ‫عنُقِكَ َو َال ت َ ْب‬
‫ورا‬
ُ ْ‫َّمح‬
ً ‫س‬
Artinya:
6
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. (Semarang: Karya
Toha Putra, 2002), QS: Al-Baqarah ayat 143.
7
Ibnu Al-Atsir, Jami’ al-ushul Fi Ahadith al-Rasul, Maktabah Al-Halwaniy,
Matba’ah Al-Malah, Maktabah Dar Al-Wayan, 1969 Juz II, hal 318-319..
8
Jalāluddin ‘Abdurrahmān As-Suyūṭī, Jamī’ Al-hadīth, Bairut: Dar Al-Fikr,
1994,
4
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat
pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.9
Kemudian dalam ayat 110 juga dijelaskan :
۟ ‫ع‬
۟ ‫ع‬
۟ ‫ع‬
َّ ‫وا‬
‫وا فَلَهُ ْٱْل َ ْس َما ٓ ُء ْٱل ُح ْسن ََٰى ۚ َو َال‬
ُ ْ‫ٱلرحْ َٰ َمنَ ۖ أَيًّا َّما تَد‬
ُ ‫ٱَّللَ أ َ ِو ٱ ْد‬
ُ ‫قُ ِل ٱ ْد‬
َّ ‫وا‬
ً ِ‫سب‬
ْ ِ‫ص ََلتِكَ َو َال تُخَاف‬
‫يَل‬
َ َ‫ت بِ َها َوٱ ْبت َغِ بَيْنَ َٰذَلِك‬
َ ِ‫تَجْ َه ْر ب‬
Artinya:
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam solatmu
dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah
diantara kedua itu.10
Menurut Quraish Shihab, setidaknya ada 2 hal yang bisa dipetik
dari adanya ayat di atas. Pertama, ayat di atas menunjukan bahwa
makna dari kata wasaṭ mengalami perkembangan dari makna “yang
terbaik” menjadi makna “tengah”. Kedua, ayat tersebut memerintahkan
kita untuk berada di posisi tengah, sehingga manakala kita dihadapkan
pada dua pihak yang sedang berseteru maka kita dituntut untuk menjadi
wasaṭ (wasit), yaitu berada di posisi tengah, dan maksud posisi tengah
di sini adalah berlaku adil, dari sini maka lahirlah makna ketiga dari
kata wasaṭ, yaitu “adil”. Hal ini sama pendapatnya dengan Al-Syaukani
yang memaknakan kata wasaṭ salah satunya dengan makna adil,.
Sehingga dalam kesimpulannya, Quraish Shihab menyatakan bahwa
terdapat tiga makna populer dari kata wasaṭ yaitu yang terbaik, tengah,
dan adil.11
Namun, bagi Al-Syaukani di samping mengartikan kata wasaṭ
dengan makna adil, beliau juga menambahkan makna lain lagi, yaitu
moderat atau tidak ekstrem.12 Karena menurutnya sikap ekstrem
merupakan suatu sikap yang tidak berada dalam posisi tengah, anti
9
Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 285.
Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 293.
11
Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Mempungsikan Wahyu Dalam
Kehidupan, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2011), hal. 92.
12
Al-Syaukani, Faṭ al-Qadīr, juz 1. hal. 234.
10
5
moderasi dan tidak memiliki tempat dalam norma dan praktik Islam.
Bahkan sikap ekstrem sangat ditentang oleh Islam, sebagaimana
dijelaskan dalam surah al-Nisa ayat 171 :
۟ ُ‫وا فِى دِينِ ُك ْم َو َال تَقُول‬
۟ ُ‫ب َال ت َ ْغل‬
َّ ‫علَى‬
ۚ ‫ٱَّللِ إِ َّال ْٱل َح َّق‬
ِ َ ‫َٰيَٓأ َ ْه َل ْٱل ِك َٰت‬
َ ‫وا‬
Artinya:
Wahai Ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar.13
Kemudian dalam surah al-Maidah ayat 77 :
۟ ُ‫ب َال ت َ ْغل‬
َ ‫وا فِى دِينِ ُك ْم‬
‫ق َو َال تَتَّبِعُ ٓو ۟ا أ َ ْه َوآ َء قَ ْوٍ قَ ْد‬
ِ َ ‫قُ ْل َٰيَٓأ َ ْه َل ْٱل ِك َٰت‬
ِ ِّ ‫غي َْر ْٱل َح‬
۟ ُّ‫ضل‬
۟ ُّ‫ضل‬
۟ ُّ‫ضل‬
‫س ِبي ِل‬
َّ ‫س َوآ ِء ٱل‬
ً ِ‫وا َكث‬
َ ‫وا‬
َ ‫يرا َو‬
َ َ ‫وا ِمن قَ ْب ُل َوأ‬
َ
َ ‫عن‬
Artinya:
Katakanlah (Muhammad), “wahai ahli kitab, janganlah
kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang
yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak
(manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.14
Dengan adanya dasar pijakan dan perintah dari ayat-ayat di atas
untuk bersikap moderat terlebih dalam Moderasi (wasaṭiyah) yang
telah dirumuskan oleh para ulama, maka sepatutnya sudah tidak ada
alasan bagi umat Islam untuk bersikap tidak moderat dalam
kehidupannya terkhusus dalam beragama. Sebab dalam hal ini, di satu
sisi Islamlah yang menampilkan dirinya sebagai agama yang memiliki
ajaran Moderasi (wasaṭiyah), namun di sisi yang lain Umat Muslim
dituntut untuk mengakui dan mengamalkannya sebagai jalan
kehidupannya.
Namun, yang disayangkan adalah manakala kita melihat realitas
yang terjadi sampai detik ini, banyak sekali tindakan-tindakan
13
14
Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 105.
Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hal. 121
6
ekstremisme, radikalisme, terorisme yang mana tindakan ini sangatlah
bertolak belakang dengan ajaran wasaṭiyah yang terdapat dalam agama
Islam terlebih lagi tindakan tersebut mengatasnamakan Agama Islam.
Jangan jauh-jauh, mari kita lihat di negara Indonesia tercinta kita ini
sebagai negara dengan warga bermayoritas beragama Islam. Dalam
laporan tahunan SETARA Institute terkait kondisi kebebasan
beragama/berkeyakinan (KBB) pada tahun 2018, menyatakan bahwa
telah terjadi 109 peristiwa pelanggaran KBB yang tersebar di 20
provinsi yang mencakup bentuk diskriminasi, intoleransi, pelarangan
cadar, pelarangan perayaan valentine dan pengusiran.15 Kemudian,
dalam hasil survei Wahid Institute menunjukan bahwa tindakan
radikalisme dan ekstremisme yang menjurus kepada intoleransi di
Indonesia cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46% dan pada
awal tahun 2020 naik menjadi 54%.16 Terdapat pula sebuah kasus yang
belum lama terjadi di tanah air Indonesia ini yaitu tepatnya pada
tanggal 8 Agustus 2020 telah terjadi peristiwa penyerangan terhadap
rumah penganut Syi’ah di Solo yang sedang mengadakan acara
midodareni atau doa bersama sebelum pernikahan oleh laskar-laskar
yang mengaku dirinya paling benar, hanya gara-gara dugaan atas
pelestarian adat dalam tradisi Syi’ah.17
Sampai di sini kita dapat melihat bahwa betapa merebaknya
tindakan ekstrimisme dan radikalisme di Indonesia. Sebuah tindakan
yang semestinya tidak terjadi di sebuah negara yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai ketuhanan, terlebih lagi Islam sebagai agama dengan
15
SETARA Institute, Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia 2018, dalam
https://setara-Institue.org/laporan-tahunan-kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinandan-minoritas-keagamaan-di-indonesia-2018-, diakses pada 9 Desember 2020.
16
Media Indonesia, Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme
Cenderung Naik, dalam https://m.mediaindoneisa.com/read/detail/284269-surveiwahid-institute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik, diakses pada 9 Desember
2020.
17
SETARA Institute, Massa Bubarkan Midodareni Dikira Adat Syiah,
Setara Institute: Hukum Harus Tegak, dalam https://setara-Institue.org/massabubarkan-midodareni-dikira-adat-syiah-setara-institute-hukum-harus-tegak/, diakses
pada 10 Desember 2020.
7
pemeluk terbesar yang di dalamnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
moderat dan toleransi. Seharusnya dengan posisinya seperti itu, Islam
mampu menekan tindakan ekstremisme dan radikalisme di tengahtengah masyarakat bangsa Indonesia ini, namun rekam jejak sejarah
mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa tindakan ekstremisme,
radikalisme, dan terorisme justru mengatasnamakan Agama Islam.
Sedikit menengok dalam beberapa tahun silam, terdapat sebuah
peristiwa memilukan yang mengatasnamakan Islam dan sangat
mengguncang dunia yaitu peristiwa pengeboman di Bali yang terjadi
pada 12/10/2002 dan 01/10/2015,18 yang sehingganya dengan adanya
peristiwa tersebut menyebabkan terlahirnya stigma buruk terhadap
Islam. Dinyatakan bahwa “umat Islam adalah terdakwa atas berbagai
peristiwa terorisme, meskipun dalam perkembangannya stigma ini
secara khusus dilontarkan untuk Umat Islam Fundamentalis”,19 yang
menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran yang absolut.20
Jika ditelusuri secara mendalam, dari peristiwa di atas yang
mengatasnamakan Agama Islam tersebut nyatanya tidak sekonyongkonyong asal bertindak dengan tanpa ada alasan dan landasan pondasi
yang kuat, bagaimana tidak ? dalam sebuah buku yang berjudul Aku
Melawan Teroris karya Imam Samudra menyatakan bahwa adanya
tindakan ekstrem dan radikal dalam tubuh umat muslim terkhusus
dalam peristiwa pengeboman di bali, dll yang memiliki tujuan
menegakan syariat Islam merupakan bentuk jihad yang telah
diperintahkan oleh Alquran.21 Dalam artian bahwa segala tindakan
yang mereka perbuat merupakan hasil pemahaman yang berdasar pada
ayat suci Alquran sebagai kitab pedoman utama Agamanya yaitu Islam.
Berkenaan dengan ini, maka pantas jika Muhammad Arkoun
Deden Rodin, Islam dan Radikalisme: “Telaah Atas Ayat-Ayat Kekerasan
dalam al-Quran”, Kudus, Jurnal Addin. Vol. 10. No 1, hlm. 30.
19
Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi
Indonesia (Bekasi: Gugus Press, 2002), hal. 149.
20
Djam’annuri, Agama Kita Prespektif Sejarah Agama-agama, cet II
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hal. 25.
21
Imam samudra, aku melawan teroris , (solo: jazera, 2004), cet ke 2, hal
107-108.
18
8
mengatakan, bahwa Alquran telah digunakan umat Islam untuk
mengabsahkan setiap perilakunya, menjustifikasi tindakan peperangan,
melandasi berbagai apresiasi, dan menjadi pengukuh bagi identitas
kolektif.22 Karena memang pada realitasnya terjadi demikian.
Sehingganya, dengan melihat realitas yang terjadi dan hadirnya
stigma buruk terhadap Islam, maka para ahli sosiolog agama
meresponnya dengan membagi kategori Agama Islam menjadi dua
kutub, yaitu: Islam Moderat23 dan Islam Fundamentalis24. Dalam
pendapat yang lain, menyebutkan bahwa terdapat satu kategori lagi
selain kedua kategori tersebut, yaitu Islam Liberal.25 Namun terlepas
dari kategori di atas, menurut Leonard Binder26 secara tegas
menyatakan bahwa segala tindakan ekstrem dan radikal -seperti yang
sudah disebukan di atas- yang terjadi dalam tubuh umat muslim atau
22
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Alquran, terjh. Machasin
(Jakarta: INIS, 1997), hal. 9.
23
Islam Moderat merupakan sebuah ajaran agama yang mengajarkan
keseimbangan atau tidak ekstrem kanan maupun kiri, dengan sebuah prinsifnya yaitu
“menjaga tradidi lama yang bagus, dan mengambil isprirasi baru yang lebih bagus.
Yang lama dan yang baru tidak ditolak, keduanya diterima sejauh layak untuk kita di
masa kini”.
24
Islam Fundamentalis merupakan sebuah paham yang bercita-cita untuk
mengeksistensikan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional dalam
merespon kalangan sekulerisme. Dalam pendapat lain dijelaskan bahwa
Fundamentalisme Islam merupakan sebuah gerakan yang memiliki semangat untuk
melakukan pembaharuan, kembali kepada kemurnian, merealisasikan kebenaran, dan
kesederhanaan zaman rasulullah. Karakter khas dari gerakan ini adalah skripturalisme
yang berciri khusus. Akan tetapi dalam perkembangannya sampai detik ini,
Fundamentalisme memiliki konotasi minor dan sangat pejorative, bahkan dianggap
pula sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu
dikaitkan dengan gerakan-gerakan dan revolusi
25
Islam liberal merupakan sebuah paham yang menekankan kebebaan dari
struktur sosial-politik yang menindas. terkait penafsiran atas Islam, Islam liberal
memiliki beberapa prinsip yaitu, terbukanya pintu ijtihad pada semua dimensi Islam
di sepanjang waktu, penekanan pada semangat religio-etik, kepercayaan pada
kebenaran relative, terbuka dan plural, pemihakan pada pihak minoritas dan tertindas,
keyakinan pada kekeba san beragama, dan pemisahan otoritas keagamaan dan politik.
26
Leonard binder merupakan orang yang pertama kali mengintrodusir
penggunaan intilah fundamentalisme terhadap gerakan keagamaan umat muslim. Ia
merupakan seorang professor politik science, dan direktur NEC (The Near East
Center) di university of kalifornia, Los Angeles (UCLA).
9
yang mengatas namakan Agama: agama Islam merupakan perbuaan
kelompok Islam Fundamentalis, karena menurutnya Islam
Fundamentalis memiliki gerakan-gerakan ekstrem yang bercita-cita
untuk menjalankan hukum Islam secara umum dan menyeluruh dalam
tatanan masyarakat, sekalipun Ismāīl Rājī Al-Fārūqī menolak
penggunaan istilah fundamentalisme dalam gerakan-gerakan
kebangkitan Umat Islam, karena menurutnya istilah yang benar dalam
menamai gerakan kebangkitan Umat Islam adalah Nahḍah
(kebangkitan).27
Terlepas dari akar motif munculnya gerakan-gerakan
fundamentalisme di dalam Islam dengan perjalanan sejarahnya yang
sangat panjang, Ullil Abshar Abdala membagi fundamentalisme dalam
Islam menjadi dua model, pertama, Fundamentalisme Rejeksionis yaitu
fundamentalsime yang menolak secara total warisan modernitas yang
bersifat destruktif dan supremaris, dengan cita-cita menggantikan kota
manusia dengan kota tuhan, demi mewujudkan cita-citanya kelompok
ini akan melakukan tindakan ekstrim sebagai pilihannya, hal ini seperti
yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr bahwa kelompok
fundamentalis ini sangat identik dengan tindakan ekstrim dan
radikalnya dalam mewujudkan cita-citanya.28 kedua, fundamentalisme
Eskapiestik, yaitu fundamentalisme yang memiliki suatu cara hidup
lain yang berbeda dengan cara hidup sekuler, seperti dengan cara
menarik diri dari kehidupan umum untuk mencari ketenangan batin dan
untuk menghindari dari polusi nilai sekuler yang dianggapnya
bertentangan dengan nilai agama.
Sekalipun memiliki dua model kelompok, secara inti kedua
model di atas memiliki karakteristik yang sama, menurut Azyumardi
Azra yang menjadi inti karakteristik kaum fundamentalisme di sini
adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci
sebagai firman tuhan yang dianggap tanpa ada kesalahan. Dengan
Ismāīl Rājī Al-Fārūqī. “Islamic Renaissance In Contemporary Society”, Al
Ittihad 15 no.04 (178). hal 15-23.
28
Sayyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan,
(Bandung: Mizan, 2003), hal 127.
27
10
keyakinan itu maka lahirlah sebuah gagasan dasar yang menyatakan
bahwa agama islam dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan
bulat tanpa kompromi, pelunakan, reinterprtasi dan pengurangan.29
Namun jika dikaitkan dengan semua tindakan ekstrim dan radikal yang
ditujukan pada kelompok fundamentalis, maka tindakan tersebut
dikhususkan pada kelompok fundamentalis jenis Rejeksionis.
Lebih lanjut lagi, Menurut Ullil Abshar Abdalla, tokoh utama
Fundamentalisme Islam jenis Rejeksionis ini yang sangat terkenal
adalah Sayyid Quṭub seorang revolusioner berkebangsaan mesir dan
sekaligus seorang mufassir Alquran, hal ini berkat doktrin-doktrin
pemikiran ekstremnya yang sangat menolak moderenitas terkhusus di
lihat dari sisi keberagamaan, yang menurutnya bahwa
Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam”, dalam
Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993.
29
11
. Bahkan pemikiran dan gerakan ekstrem Sayyid Quṭub tak
berhenti di kehidupannya saja, Menurut Nuim Hidayat dalam bukunya
yang berjudul “Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya”
yang menjelaskan bagaimana pemikiran Sayyid Quṭub ini sangat
berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran generasi setelahnya seperti
bagaimana genealogi pemikiran Osama Bin Laden yang terkenal
ekstrem sesampainya ia dijuluki sebagai teroris kelas kakap, yang
merupakan murid dari Abdullah Azzam, sedangkan Azzam itu sendiri
banyak terinspirasi dari pemikiran Sayyid Quṭub .30 Sehingga berkat
doktrin-doktrin pemikiran ekstremnya yang sangat berpengaruh Sayyid
Quṭub digelari sebagai ‘Guru Para Teroris’,31 selain iu juga Sayyid
Quṭub dijuluki dengan Karen Amstrong sebagai bapak
fundamentalisme moderen.32
Namun untuk mengetahui seberapa jauh ekstremnya doktrindokrin pemikiran Sayyid Quṭub , maka perlu kiranya penulis paparkan
butir-butir pemikiran ekstremnya. Sejauh hasil pembacaan penulis dari
berbagai sumber, setidaknya penulis menemukan 5 doktrin utama
pemikiran Sayyid Quṭub yang dianggap ekstrem, di antaranya adalah :
Pertama, Islam adalah sebuah agama yang anti modernisme dan
menolak akan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa Islam harus
belajar dari barat mengenai pembangunan masyarakat dan politik.
Dengan alasan bahwa Alquran sesungguhnya telah menghimpun segala
sesuatu yang dibutuhkan manusia.33
Kedua, semua kehidupan di jaman sekarang berada dalam
kondisi jahiliyyah, dengan alasan bahwa kondisi kehidupan manusia di
Nuim Hidayat, Sayyid Quṭub : Biografi Dan Kejernihan Pemikirannya,
(jakarta: Persfektif, 2005), hal 12.
31
Sayed Khatab, The Power Of Sovereignty: The Political And Ideological
Philosophy Of Sayyid Sayyid Quṭub (New York: Routledge, 2006), hal 175.
32
Irwan Masduqi, BerIslam Secara Toleran : Teologi Kerukunan Umat
Beragama, (Bandung, Mizan, 2011), hal 108.
33
Antony Black, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini ,
Alih Bahasa: Abdullah Ali Dan Mariana Arisetyawati, (Jakarta: Serambi 2006), Hal.
578-579.
30
12
jaman sekarang baik dalam segi pemikiran, seni, konstitusi, budaya dan
pemerintahan telah melampaui batas dasar kedaulatan Allah di bumi
sebagai tuhan yang al-ḥakīmiyyah dan telah jauh dari manhaj Allah
dalam prakteknya.34 Bahkan menurutnya kaum jahiliyyah moderen
lebih buruk ketimbang jahiliyyah awal sebelum turunnya Nabi
Muhammad.
Ketiga, dalam ranah politik Sayyid Quṭub menyerukan untuk
terciptanya pemerintahan Islam yang bersifat menyeluruh dan supra
nasioal. Sebuah pemerintahan yang memiliki pusat pemerintahan yang
mencakup daerah-daerah Islam di luarnya dan warganya memiliki hak
dan kewajiban yang sama dengan warga di pusat pemerintahan serta
tidak diperlakukan negara jajahan. Konsep ini mengusulkan agar
seluruh umat Islam yang berada dalam pemerintahan tersebut
meninggalkan fanatisme ras dan kedaerahan.35
Keempat, manakala terdapat masyarakat muslim yang di
dalamnya menyerupai manjah Allah, maka Allah memberikan hak
kepadanya untuk bergerak dan maju untuk menyelamatkan atau
mengambil kekuasaan dan menentukan pemerintahan.36
Kelima, barang siapa yang menentang Islamisasi masyarakat,
negara dan pemimpin muslim, baik itu masyarakat yahudi, nasrani
maupun yang mengaku muslim (tidak menjalankan manhaj Islam),37
maka harus diperlakukan seperti memperlakukan kaum jahiliyyah yaitu
dengan disandangkannya istilah kafir dan murtad, dan diperbolehkan
untuk melakukan kekerasan asal masih dalam ranah wilayah jihad demi
terciptanya pemerintahan Islam.38 Terkait jihad, di dalam kitab tafsir Fî
Sayyid Quṭub , Al-Adālah Al-Ijtimā’iyyah Fī Al-Islām, (Kairo: Darul Kitab
Al-Arabi, 1967), hal. 100.
35
Munawir Sjadzili, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), Hal. 149s
36
Sayyid Quṭub , Ma’ãlim Fī At-Ṭarīq, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013),
hal. 82.
37
Sayyid Quṭub , ma’ ālim fī at-ṭarīq….. hal. 88-91
38
Antony Black, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini…..hal 578.
34
13
Ẓilāl Alquran, Sayyid Quṭub mengomentari salah satu ayat dalam
Alquran yang terdapat dalam surah at-taubah 9: 73 :
Sebelumnya Rasul menyikapi kaum munafik dengan
kelembutan dan toleran. Sampai pada kelimaksnya batas lemah
lembut, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya dalam
menyikapi mereka dengan sikap yang tegas bahkan
mengkelompokan orang munafik kedalam orang-orang kafir
yang harus diperangi dan tidak mengenal rasa kasih sayang
('anifan ghalizan lã rahmah fih). Lebih lanjut ia mengatakan,
"sesungguhnya sikap lemah lembut itu ada tempatnya begitu
juga dengan sikap kekerasan atau ketegasan. Maka ketika sudah
selesai batas lemah lembut, lakukanlah dengan ketegasan dalam
menyikapi mereka". Untuk menguatkan maksud memerangi
dalam ayat di atas Sayyid Quṭub menghadirkan dengan dua
pilihan berdasarkan riwayat yang ada: pertama, memeranginya
dengan pedang sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Ali
ra. Kedua, memeranginya dengan menampakkan kejelekan
mereka di depan umum sebagaimana yang disampaikan oleh
Ibn Abbas.39
Dari kelima doktrin pemikiran Sayyid Quṭub di atas, dapat
dilihat bahwa manhaj Islam yang terdapat dalam benak Sayyid Quṭub
tidak multi interpreted seperti yang telah terjadi sepanjang sejarah
Islam, sebab apa yang Sayyid Quṭub anggap benar dalam sebuah
interpreted terhadap teks agama merupakan sebuah kebenaran yang
hakiki, tentu dampaknya adalah akan menganggap pemahaman yang
besebrangan dengannya merupakan sebuah pemahaman yang keliru,
dan secara otomatis akan disandangkan kepadanya istilah kafir dan
murtad.40
Sayyid Ibn Quṭub bin Ibrahim As-Sadhili, Î, (Beirut: Dar As-Shuruq, 1412
H, Jilid 3), hal 102.
40
Adib Hasani, Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Eksklusif Sayyid
Sayyid Quṭub , Dalam Jurnal Episeme, Vol. 11, No 1, Juni 2016.
39
14
Dengan hadirnya doktrin-doktrin pemikiran Sayyid Quṭub di
atas tentu tidak menutup rapat-rapat akan lahirnya hujan kritik dan
penyangsian dari tokoh ulama Islam lainya. Jika ditelusuri, tidak sedikit
dari mereka yang meragukan akan kemoderatan Sayyid Quṭub , bahkan
dianggap tidak moderat. Misalnya, Ismāil Ḥasan Al-Huḍaibī dengan
tegas menentang pemikiran radikal Sayyid Quṭub dan mengkritik habis
fundamen teologis pemikirannya terkhusus pemikirannya tentang
takfirisme terhadap orang yang secara terang-terangan menindas dan
telah bekerja sama dengan barat, terlebih lagi Sayyid Quṭub menuduh
barat memiliki permusuhan terhadap Islam secara menyeluruh yang
telah membuat skema yang matang untuk menghancurkan umat Islam.
Hal ini tentu mendapat respon dari Olivier Roy seorang politikus
prancis yang mengatakan bahwa sikap Sayyid Quṭub tentang barat
telah menggambarkan sebuah penghinaan dan kebencian radikal
terhadap barat.41
Selain itu ia juga menentang sebuah pernyataan yang
menyatakan bahwa dunia muslim sebenarnya non-muslim, karena
dalam praktiknya sudah keluar dari ajaran Islam dan itu diangap
sebagai sebuah kemurtadan. Penentangan tersebut diamini juga oleh
Yūsuf Al-Qarḍāwī sebagai seorang tokoh moderat timur tengah
sekaligus sebagai ketua Uni Cendikiawan Muslim Internasional. Dalam
riwayat lain juga menyatakan bahwa di samping Sayyid Quṭub
menolak semua budaya non-muslim ia juga menganggap bahwa semua
budaya, pembelajaran yang merujuk kepada empat khalifah pertama itu
tidaklah Islami bahkan dianggap tidak berharga.42 Sehingga menurut
kedua nya pemikiran Sayyid Quṭub tersebut tidak mencerminkan
ajaran Islam Ahlussunnah Wa al-Jamā’ah yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai moderat, menolak takfirisme dan sangat memelihara
ajaran tradisional yang menjunjung tinggi empat khalifah. Sampaisampai berkat pemikirannya yang ekstrm dan radikal tersebut para
41
Olivier Roy, The Failure Of Political Islam, Diterjemahkan Oleh Carol
Volk, (Harvard University Press, 1994), hal 19-20.
42
Abdelwahab Meddeb, the malady of Islam, (new york: basic book, 2003),
hal 104.
15
ulama universitas al-azhar menyematkan istilah sesat kepada Sayyid
Quṭub (munḥarif).43
Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Sayyid Quṭub
mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah dalam Islam..? sebab
wasaṭiyah itu sendiri menurut Ibnu ‘Asyur merupakan ajaran yang
sangat menolak ekstimisme dan radikalisme,44 sedangkan manakala
berbicara tentang ekstimisme dan radikalisme dalam Islam selalu
merujuk kepada Sayyid Quṭub. Kemudian pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Sayyid Quṭub mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah
sebagai fitrahnya ajaran Islam ? menurut Nuim Hidayat dalam bukunya
yang berjudul “Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan
Pemikirannya”, menyatakan bahwa dua sumber utama pemikiran
Sayyid Quṭub adalah Ma’ ālim fī at-ṭarīq dan Fî Ẓilāl Alquran.45 Jika
dilihat secara logika dengan adanya Kitab Tafsir Fî Ẓilāl Alquran
sebagai buah karyanya, sudah menjadi bukti bahwa Sayyid Quṭub
pasti mengakui akan adanya ajaran wasaṭiyah dalam Islam, karena
semua dalil-dalil basis terkait ajaran tersebut tercantum di dalam
Alquran secara gamblang, seperti dalam surah al-baqarah ayat 143,
sehingga pertanyaannya adalah bagaimana pandangan dan penafsiran
Sayyid Quṭub terkait ayat wasaṭiyah di dalam Alquran,?
Oleh karena adanya masalah di atas, maka dalam penelitian ini
penulis akan memfokuskan pada dua pertanyaan di atas yaitu adalah
bagaimana pandangan dan penafsiran Sayyid Quṭub terkaid ayat
wasaṭiyah di dalam Alquran dan bagaimana pengaruh konsep
wasaṭiyahnya terhadap perkembangan kekhazanahan Islam, yang mana
akan penulis kaji dalam kitab tafsir karya Sayyid Quṭub yaitu Fî Ẓilāl
Alquran.
43
Gilles Kepel, Jihad: The Trail Of Political Islam, (Harvard Universivy
Press, 1986), hal 58.
44
Ibnu ‘Asyur, Uṣūl An-Niẓām Al-Ijimā’ī Fī Al-Islā, (Tunis: As-Sharikah AtTūnisiyyah Li At-Tauzi’, 1979), hal 17.
45
Nuim Hidayat, Sayyid Quṭub: Biografi Dan Kejernihan
Pemikirannya,…..hal 24.
16
B. Identifikasi Masalah
Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah di atas,
terdapat masalah yang harus digaris bawahi bahwa sebagai seorang
inspirator para pelaku tindakan ekstrem dan radikal sekaligus sebagai
bapak fundamenalisme moderen, Sayyid Quṭub memiliki berbagai
riwayat kontroversional mulai dari aksi konspirasinya sampai kepada
pemikirannya yang dianggap ekstrem dan radikal yang sudah barang
tentu besebrangan dengan ajaran wasaṭiyah, hal ini menimbulkan
sebuah pertanyaan yang besar terkait konsep wasaṭiyah Sayyid Quṭub,
kemudian bagaimana pengaruh konsep wasaṭiyahnya terhadap
perkembangan kekhazanahan Islam. Mengingat bahwa beliau adalah
seorang mufassir Alquran kontemporer, seperti yang sudah diketahui
bahwa dalil naqli terkait wasaṭiyah terdapat di dalam Alquran, oleh
karenanya perlu adanya pengkajian mendalam terkait konsep wasaṭiyah
menurut Sayyid Quṭub dalam kitab tafsirnya yaitu kitab Fî Ẓilāl
Alquran untuk mengetahui bagaimana konsep wasaṭiyah menurut
Sayyid Quṭub.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis hanya
membahas ayat yang berkaitan dengan wasaṭiyah yang terdapat di
dalam ayat suci Alquran menurut penafsiran Sayyid Quṭub yang
tertuang dalam kitab tafsirnya yaitu Fî Ẓilāl Alquran. Adapun ayat yang
digunakan terbagi menjadi 2, Pertama, ayat yang secara gamblang
menyebutkan kata Wasaṭ yang terdapat dalam surah al-baqarah ayat
143. Kedua, ayat-ayat derivasi terkait moderat yaitu surah al-baqarah
ayat 226 dan 256, al-kahfi ayat 29, yunus ayat 99, al-buruj ayat 10, almuminun ayat 53, asz-dzariyat ayat 20-21.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang
menjadi pokok persoalan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana pandangan Sayyid Quṭub tentang wasaṭiyah
dalam tafsir Fî Ẓilāl Alquran ?
17
2. Bagaimana pengaruh wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub
terhadap perkembangan khazanahIslam ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan Sayyid
Quṭub tentang wasaṭiyah dalam tafsir Fî Ẓilāl Alquran.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengaruh
wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub terhadap perkembangan
khazanah Islam.
F. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dalam mengkaji penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan
pengetahuan berkenaan dengan konsep Wasaṭiyah menurut
Sayyid
Quṭub,
bahwasannya
seorang
tokoh
fundamentalisme Islam yang dikenal sangat ekstrempun
memiliki konsep wasaṭiyah tersendiri seuai versinya.
2. Manfaat praktis
a. Peneliti: Dengan penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan referensi bagi penulis dalam pembahasan
terkait konsep wasaṭiyah, terkhusus bagi penulis yang
ingin meneliti lebih jauh terkait konsep wasaṭiyah dalam
pandangan Sayyid Quṭub.
b. STFI Sadra: Dengan penelitian ini diharapkan dapat
menambah khazanah keilmuan kepustakaan terkait
konsep wasaṭiyah menurut Sayyid Quṭub di dunia
akademisi atau Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
khususnya bagi Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI
Sadra).
c. Masyarakat Umum: Dengan penelitian ini diharapkan
dapat memberi pemahaman dalam melihat problematika
18
di lapangan, terkhusus dalam melihat tindakan ekstrem
seseorang agar tidak gegabah dalam bertindak baik
dalam bersikap maupun menilai pemikiran. Selain itu
juga diharapkan penelitian ini dapat menjadi wedangan
renyah untuk segala kalangan guna menambah puingpuing ilmu pengetahuan keislaman.
G. Kajian pustaka
Dalam sebuah penelitian, kajian terdahulu menjadi sangat
penting untuk dibahas. Karena dengannya kita dapat menunjukan
bahwa tema yang akan diteliti telah banyak dibahas dan layak untuk
diteliti, memberikan referensi terkait tema yang akan dibahas, dan yang
paling penting adalah penulis dapat membandingkan kemudian mencari
aspek lain yang baru dan sama sekali belum pernah disentuh oleh
peneliti sebelumnya.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melakukan
penelusuran berkaitan dengan wasaṭiyah melalui skripsi dan jurnal.
Sejauh penelusuran peneliti, ditemukan beberapa penelitian yang
memiliki hubungan dengan penelitian ini yaitu, sebagai berikut :
Pertama, Ali Muhammad Al-Solabi, dalam tesisnya yang
berjudul Al-Wasaṭiyah
di Alquran. Penelitian ini menguraikan
pembahasan terkait wasaṭiyah dalam Alquran secara panjang lebar
dengan menggunakan sumber yang beragam, dalam artian Ali
menggunakan ragam tafsir dalam menlis penelitiannya. Adapun dalam
penelitiannya, ali memaparkan seluruh aspek yang berkaitan dengan
wasaṭiyah , misalnya dilihat dari segi aqidah, ibadah, akhlak, dan
syariat. Adapun persamaannya dengan penelitian ini adalah sama
membahas konsep wasaṭiyah , namun yang membedakannya adalah
dalam penelitiannya ali membuka semua pendapat para mufassir dalam
tafsirnya yang kemudian mengambil sebuah kesimpulan jalan tengah.
Adapun dalam penelitian ini lebih memfokuskan ke dalam penafsiran
pendapat satu tokoh yaitu Sayyid Sayyid Quṭub .
19
Kedua, Nasrul Hidayat, dalam sebuah tesisnya yang berjudul
Konsep Wasaṭiyah Dalam Tafsir Al-Sya’rawi. Penelitian ini berangkat
dari adanya sikap ekstrem yang sangat over kanan dan juga kiri yang
menurutnya tidak sejalan dengan prinsip Islam yang moderat. Dalam
penelitiannya Nasrul menggunakan Tafsir Al-Sya’rowi dalam sebagai
sumber primernya, yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam
menengahi problematika tersebut. Dalam kesimpulannya Nasrul
memaparkan bahwa wasaṭiyah dalam Tafsir Al-Sya’rawi dilihat dari
dua sisi, yaitu sisi iman dan aqidah. Yang menurutnya dalam segi
keimanan dan kepercayaan terdapat dua kubu yang berlawanan baik itu
kelompok yang tidak memiliki kepercayaan akan tuhan maupun yang
memiliki kepercayaan akan banyak tuhan. Kedua kelompok ini ditolak
mentah-mentah oleh al-sya’rawi dengan menggunakan dalil naqli dan
aqli. Adapun persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama
membahas konsep wasaṭiyah dalam pandangan seorang tokoh mufassir
dalam kitab tafsirnya. Sedangkan perbedaannya adalah peneltian
Nasrul berangkat untuk menjadikan solusi akan adanya sikap ekstrem,
sedangkan penelitian ini berangkat untuk mengetahui konsep wasaṭiyah
dari orang yang dianggap ekstrem. Kemudian perbedaan selanjutnya
adalah adanya perbedaan sumber utama penelitan antara Nasrul dan
penelitian ini, yang mana Nasrul menggunakan Tafsir Al-Sya’rawi
sedangkan penelitian ini menggunakan Tafsir Fî Ẓilāl Alquran.
H. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Jenis Penelitian
Metode penelitian diartikan sebagai cara atau strategi-strategi
yang dilakukan para peneliti untuk mengumpulkan dan menganalisis
20
data guna memecahkan persoalan penelitiannya.46 Dalam penelitian ini
menggunakan metode mawḍū’ī (tematik)47 di mana penulis berupaya
menghimpun ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan penciptaan
manusia dari berbagai surah. Kemudian penulis membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.48 Sedangkan jenis penelitian ini tergolong
penelitian kualitatif (qualitative research) studi dokumen atau teks
(document study), yaitu kajian yang menitikberatkan pada analisis
mendalam (in-depth analysis) terhadap bahan-bahan tulisan
berdasarkan konteksnya. Atau dengan bahasa lain, penelitian jenis ini
bisa diartikan sebagai menggali pikiran seseorang yang tertuang di
dalam buku-buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan.49
2. Data dan Sumber Data
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), data ialah
keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis
atau kesimpulan). Sumber artinya asal atau tempat keluar. 50 Sehingga
sumber data dipahami sebagai tempat paling awal munculnya suatu
kenyataan yang bisa dijadikan pedoman suatu penelitian. Dalam
penelitian ini, ada dua bentuk data dan sumber data, yaitu sumber
46
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Depok:
Rajawali Pers, 2017), hal. 12
47
Metode mawḍū’ī berbeda dengan metode analisis-redaksi. Dalam
penggunaan metode mawḍū’ī tidak membahas segala segi permasalahan yang
dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul
yang ditetapkan. Sementara metode analisis berusaha untuk menjelaskan segala
sesuatu yang ditemukan dalam setiap ayat, seperti arti kosakata, sebab nuzul,
munasabah ayat dari segi sistematika perurutan. Lihat: Quraish Shihab,
“Membumikan” Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
hal. 180-182
48
Quraish Shihab, “Membumikan” Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, hal. 132
49
Danu Eko Agustinova, Memahami Metode Penelitian Kualitatif: Teori &
Praktik, (Yogyakarta: Calpulis, 2015), hal. 10, 27.
50
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V 0.4.0 Beta (40)):
Aplikasi luring resmi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016-2020.
21
primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber data-data
berupa karya tokoh yang sedang diteliti. Sedangkan data sekunder ialah
data-data atau buku yang mengandung pemikiran tokoh tersebut yang
merupakan hasil dari riset peneliti lain, ataupun buku-buku lain yang
terkait dengan objek penelitian ini yang sekiranya bisa dipakai untuk
menganalisis persoalan yang sedang penulis teliti.51
Penelitian ini bersandar pada beberapa referensi, seperti sumber
data primer berupa
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan penelitian ini, mula-mula penulis
mendalami persoalan tentang subjek yang akan diteliti, mulai dari
membaca segala informasi mengenai kerangka dasar teoretis,
metodologi, hingga praktis — yang disebut “tinjauan literatur”52 atau
istilah lainnya, kepustakaan (library research). Metode koleksi data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dokumen, yaitu
sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi
dengan cara membaca sekaligus mempelajari bahan-bahan tulisan
(dokumen-dokumen), baik berkenaan dengan sumber primer maupun
data sekunder berupa literatur-literatur yang masih berkaitan erat
dengan topik yang diangkat dalam tulisan ini. Sehingga darinya,
peneliti bisa mengenal budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh objek
yang sedang diteliti. Penggunaan dokumen ini berkaitan dengan apa
yang disebut analisis isi. Cara menganalisis isi dokumen ialah dengan
memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk komunikasi
tertulis dalam suatu dokumen secara objektif.53
51
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta:
Idea Press, 2017), hal. 52.
52
Michael H. Walizer dan Paul L. Wienir, Research Methods and Analysis:
Searching for Relationships (terj)—Metode dan Analisis Penelitian: Mencari
Hubungan oleh Arief Sukadi Sadiman (ed), jil. 1, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 127128.
53
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal. 225-226
22
4. Sistematika Penulisan
Pada sub bab ini, peneliti akan mendeskripsikan gambaran besar
dari penelitian ini agar mempermudah pembaca untuk mengetahui
gambaran sistematika dalam pembahasan skripsi ini.
Bab pertama, pada bab ini memuat latar belakang masalah
untuk mengetahui pentingnya melakukan penelitian ini, kemudian
peneliti menjelaskan identifikasi masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab kedua, pada bab ini peneliti mengangkat penjelasan
mengenai moderat menurut Alquran, pembahasan ini nantinya akan
meliputi ayat-ayat tentang moderat yang terdapat dalam Alquran,
kemudian akan menguraikannya dengan pandangan mufassir.
Bab ketiga, pada bab ini peneliti menjelaskan tentang Sayyid
Qutub, dan tafsir Fî Ẓilāl Alquran, yang mana di dalamnya terdapat
biografi Sayyid Qutub, pemikiran, karya, serta tentang tafsir Fî Ẓilāl
Alquran.
Bab keempat, pada bab ini berisi pemaparan hasil penelitian
tentang wasaṭiyah menurut Sayyid Qutub yang bersumber dari tafsiran
ayat-ayat terkait dari Alquran. Kemudian penulis melakukan analisa
terkait Bagaimana pengaruh wasaṭiyah perspektif Sayyid Quṭub
terhadap perkembangan kekhazanahan islam.
Bab kelima, pada bab ini merupakan bab penutup yang
mencakup kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu,
(Depok: Rajawali Pers, 2017).
23
Agustinova, Danu Eko, Memahami Metode Penelitian Kualitatif: Teori
& Praktik, (Yogyakarta: Calpulis, 2015).
Al-Atsir, Ibnu, Jami’ al-ushul Fi Ahadith al-Rasul, Maktabah AlHalwaniy, Matba’ah Al-Malah, Maktabah Dar Al-Wayan, 1969
Juz II.
Al-Fārūqī, Ismāīl Rājī. “Islamic Renaissance In Contemporary
Society”, Al Ittihad 15 no.04 (178).
Al-Qarḍāwī, Yūsuf, al-Khaṣāiṣ al ‘Ammah fī al-Islām (Suriah:
Muassasah al-Risalah, 1989).
Al-Syaukani, Faṭ al-Qadīr, juz 1.
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Alquran, terjh. Machasin
(Jakarta: INIS, 1997).
As-Sadhili, Sayyid Ibn Quṭub bin Ibrahim, Î, (Beirut: Dar As-Shuruq,
1412 H, Jilid 3).
As-Suyūṭī, Jalāluddin ‘Abdurrahmān, Jamī’ Al-hadīth, Bairut: Dar AlFikr, 1994,
‘Asyur, Ibnu, Uṣūl An-Niẓām Al-Ijimā’ī Fī Al-Islā, (Tunis: As-Sharikah
At-Tūnisiyyah Li At-Tauzi’, 1979).
Azhar, Muhammad, Filsafat politik, Perbandingan Antara Islam dan
Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Azra, Azyumardi, “Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam”, dalam
Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993.
Black, Antony, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini ,
Alih Bahasa: Abdullah Ali Dan Mariana Arisetyawati, (Jakarta:
Serambi 2006).
Gerungan, W. A, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama,
2010).
24
Hasani, Adib, Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Eksklusif
Sayyid Quṭub , Dalam Jurnal Episeme, Vol. 11, No 1, Juni 2016.
Hidayat, Nuim, Sayyid Quṭub : Biografi
Pemikirannya, (jakarta: Persfektif, 2005).
Dan
Kejernihan
Jamal, Misbahuddin, Konsep Al-Islam Dalam Alquran, dalam Jurnal
Al-Ulum, (Manado: STAIN Manado, Vol.11, No.2).
Kepel, Gilles, Jihad: The Trail Of Political Islam, (Harvard Universivy
Press, 1986).
Khatab, Sayed, The Power Of Sovereignty: The Political And
Ideological Philosophy Of Sayyid Sayyid Quṭub (New York:
Routledge, 2006), hal 175.
Masduqi, Irwan, BerIslam Secara Toleran : Teologi Kerukunan Umat
Beragama, (Bandung, Mizan, 2011).
Meddeb, Abdelwahab, the malady of Islam, (new york: basic book,
2003).
Mustaqim, Abdul Metode Penelitian Alquran dan Tafsir, (Yogyakarta:
Idea Press, 2017).
Nasr,
Sayyed Hossein, Pesan-Pesan Universal
Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003).
Islam
Untuk
Quṭub, Sayyid , Al-Adālah Al-Ijtimā’iyyah Fī Al-Islām, (Kairo: Darul
Kitab Al-Arabi, 1967).
Quṭub, Sayyid , Ma’ãlim Fī At-Ṭarīq, (Yogyakarta: Darul Uswah,
2013).
Rodin, Deden, Islam dan Radikalisme: “Telaah Atas Ayat-Ayat
Kekerasan dalam Alquran”, Kudus, Jurnal Addin. Vol. 10. No 1.
Roy, Olivier, The Failure Of Political Islam, Diterjemahkan Oleh Carol
Volk, (Harvard University Press, 1994), hal 19-20.
25
Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan
Demokratisasi Indonesia (Bekasi: Gugus Press, 2002).
Sjadzili, Munawir, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993).
Samudra, Imam, aku melawan teroris , (solo: jazera, 2004), cet ke 2.
Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006).
Shihab, Quraish, Membumikan Alquran: Mempungsikan Wahyu Dalam
Kehidupan, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2011).
Walizer, Michael H. dan Paul L. Wienir, Research Methods and
Analysis: Searching for Relationships (terj)—Metode dan
Analisis Penelitian: Mencari Hubungan oleh Arief Sukadi
Sadiman (ed), jil. 1, (Jakarta: Erlangga, 1990).
Yazid, Abu, Islam Moderat, (Jakarta, Erlangga 2014).
Artikel daring:
SETARA Institute, Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia
2018, dalam https://setara-Institue.org/laporan-tahunan-kondisikebebasan-beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-keagamaan-diindonesia-2018-, diakses pada 9 Desember 2020.
26
Media Indonesia, Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme
Cenderung
Naik,
dalam
https://m.mediaindoneisa.com/read/detail/284269-survei-wahidinstitute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik, diakses pada 9
Desember 2020.
SETARA Institute, Massa Bubarkan Midodareni Dikira Adat Syiah,
Setara Institute: Hukum Harus Tegak, dalam https://setaraInstitue.org/massa-bubarkan-midodareni-dikira-adat-syiah-setarainstitute-hukum-harus-tegak/, diakses pada 10 Desember 2020.
Download