Uploaded by rizkyatika

wcms 209132 (1)

advertisement
Copyright © International Labour Organization 2012
ILO Country Office Jakarta
Menara Thamrin, 22nd Floor
Jalan MH Thamrin Kav. 3
Jakarta
10250
Indonesia
First published 2012
Publications of the International Labour Office enjoy copyright under Protocol 2 of the Universal Copyright
Convention. Nevertheless, short excerpts from them may be reproduced without authorization, on condition that the
source is indicated. For rights of reproduction or translation, application should be made to ILO Publications (Rights
and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: pubdroit@ilo.org.
The International Labour Office welcomes such applications. Libraries, institutions and other users registered with
reproduction rights organizations may make copies in accordance with the licences issued to them for this purpose.
Visit www.ifrro.org to find the reproduction rights organization in your country.
The designations employed in ILO publications, which are in conformity with United Nations practice, and the
presentation of material therein do not imply the expression of any opinion whatsoever on the part of the
International Labour Office concerning the legal status of any country, area or territory or of its authorities, or
concerning the delimitation of its frontiers.
The responsibility for opinions expressed in signed articles, studies and other contributions rests solely with their
authors, and publication does not constitute an endorsement by the International Labour Office of the opinions
expressed in them. Reference to names of firms and commercial products and processes does not imply their
endorsement by the International Labour Office, and any failure to mention a particular firm, commercial product or
process is not a sign of disapproval. ILO publications and electronic products can be obtained through major
booksellers or ILO local offices in many countries, or direct from ILO Publications, International Labour Office,
CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Catalogues or lists of new publications are available free of charge from the
above address, or by email: pubvente@ilo.org
Visit our website: www.ilo.org/publns
Graphic design in Indonesia
Photocomposed in Indonesia
Printed in Indonesia
i
Rencana Strategis
Pariwisata Berkelanjutan
dan Green Jobs
untuk Indonesia
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia
bekerjasama dengan
International Labour Organization
ii
Kata Pengantar
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia
Pariwisata dan ekonomi kreatif memainkan peran penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari kontribusinya terhadap PDB dan lapangan kerja, baik langsung maupun
tidak langsung. Secara bersamaan, pariwisata dan ekonomi kreatif memberikan kontribusi 11,8%
terhadap PDB Indonesia dan 14,66% terhadap total lapangan kerja.
Dalam mengembangkan sektor ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menetapkan
visi yaitu "terwujudnya kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia, melalui pariwisata dan
ekonomi kreatif". Keberlanjutan jelas merupakan kunci dalam pencapaian visi ini, karena kualitas
hidup tidak akan pernah menjadi kenyataan tanpa keberlanjutan.
Sejalan dengan latar belakang tersebut di atas, saya sangat mendukung upaya ILO yang didukung
oleh Pemerintah Australia (Ausaid) untuk mengembangkan Rencana Strategis Pariwisata
Berkelanjutan dan Pekerjaan Layak dan Ramah Lingkungan (Green Jobs) untuk Indonesia. Rencana
strategis yang menggambarkan kerangka kerja untuk perencanaan pariwisata yang berkelanjutan,
dan menawarkan sejumlah strategi kunci serta strategi pelaksanaannya ini dapat menjadi acuan
penting untuk mencapai keberlanjutan dan penyediaan lapangan kerja yang layak dan ramah
lingkungan dalam sektor pariwisata. Dengan menggunakan rencana strategis ini, kami berharap
bahwa keberlanjutan dan lapangan kerja yang layak dan ramah lingkungan dapat diarusutamakan
dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kepariwisataan di Indonesia
Saya sungguh berterima kasih kepada ILO dan Pemerintah Australia untuk upaya ini, dan berharap
bahwa kerjasama yang baik ini dapat terus berlanjut untuk waktu yang akan datang.
Jakarta, 10 September 2012
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia,
i
Kata Pengantar ILO
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam pengembangan
Rencana Strategis ini yang kami tidak mungkin menyebutkan semua kontributor yang telah
berpartisipasi dalam pengembangan rencana strategis ini, tetapi kami pastikan semua masukan telah
kami rangkum ke dalam dokumen kebijakan ini. Terima kasih yang sebesar besarnya kami ucapkan
kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Apindo, Serikat Pekerja dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan lebih dari 250 pejabat
nasional antara lain Bapak Wardiyatmo, Bapak Firmansyah Rahim, Bapak Henky Hermantoro, Ibu
Ni Wayan Giri Adnyani, Bapak Abdul Wahab Bangkona, Bapak Guntur Wicaksono dan Ibu Nora
Ekaliana atas sumbang sarannya, khususnya, kepada Yang Terhormat: Ibu Menteri Dr. Mari Elka
Pangestu SE, Msc dan Bapak Menteri Drs. H. Abdul Muhaimin Iskandar yang telah berperan
mengarahkan pengembangan Rencana Strategis ini.
Berikutnya kami ucapkan juga terima kasih kepada BAPPEDA Jawa Barat, Kalimantan Tengah,
Sumatra Selatan dan Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur yang telah menyelenggarakan
diskusi dan konsultasi Rencana Strategis.
Dalam hal ini ILO berperan sebagai fasilitator memberikan bantuan teknis dan koordinasi dalam
persiapan pembuatan Rencana Strategis. Staff ahli yang terlibat dalam ini adalah Mr. Vincent
Jugault, Mr. Peter van Rooij, Mr. Matthew Hengesbaugh, Mr. Muce Mochtar, and Mr. Steve Noakes
(konsultan).
Terakhir, para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Mr. Wolgang Weinz (ILO), Mr.
Stefanos Fotiou (UNEP), Ms. Zorits Urosevic (UNWTO), and Ms. Adrienne Stork (UNCTAD) yang
telah bersedia untuk mengulas dokumen ini.
Para Penulis
Myra Gunawan
Oliver Ortis
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Visi Pembangunan Nasional Jangka Panjang Indonesia, Visi Pembangunan Pariwisata
Nasional dan Visi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengandung kesamaan prospek,
yang menunjuk kepada pentingnya pembangunan berkelanjutan dan khususnya tentang kesejahteraan
rakyat, kesatuan dan identitas nasional kualitas hidup, nilai tambah, pelestarian sumberdaya budaya
dan seni, dan kerjasama internasional sebagai sasaran kunci yang akan dicapai, dipelihara dan
diperluas.
Bagaimana pariwisata dapat berperan dalam memaknai kesejahteraan dan perbaikan kualitas
hidup merupakan pertanyaan yang dicoba dijawab dalam Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan
dan Pekerjaan yang Layak Lingkungan ini, yang digagas oleh ILO bersama dengan Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan ditempatkan
dalam payung Proyek ILO tentang Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan di Asia, untuk
Indonesia.
Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan di
Indonesia bertujuan mengajak-serta berbagai mitra nasional dalam bertukar pandangan dan
membangun konsensus untuk membangun industri kepariwisataan yang kuat di Indonesia yang
menciptakan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan. Penyiapan Rencana Strategis dimaksudkan
untuk membantu Pemerintah, berbagai mitra sosial dan masyarakat luas umumnya untuk mengenal
penting dan strategisnya kepariwisataan berkelanjutan dalam pembangunan Indonesia dan
menemukenali langkah langkah menuju ke arah itu melalui serangkaian strategi kunci yang dapat
didukung pada tingkat nasional, provinsi dan lokal. Rencana Strategis ini dirancang berdasarkan pada
proses konsultasi yang melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan kunci dari semua
tingkat pemerintahan, berbagai komunitas, industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, mitra sosial
dan masyarakat umum, mengidentifikasi “ramuan”/unsur-unsur yang hilang untuk dapat memperoleh
kemauan politis yang sudah nyata melembaga kuat dalam pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan.
Dengan sumberdaya alam dan budaya yang melimpah serta potensi pasar domestik dan
internasional yang signifikan, Indonesia menghadapi tantangan tentang bagaimana menggunakan
semua aset ini agar lebih bermanfaat bagi negara dan rakyatnya. Pembangunan berkelanjutan telah
ditetapkan dalam kerangka hukum, namun implementasi praktisnya belum konsisten dilakukan.
Sementara dukungan politis yang kuat untuk pariwisata berkelanjutan dan peluang
pertumbuhan pasartetap berlanjut, orientasi sektor publik dan swasta terhadap manfaat ekonomi
jangka pendek dalam pembangunan pariwisata merupakan ancamana besar. Di samping itu,
sumberdaya manusia dalam pariwisata dan hospitality merupakan isu strategis yang akan
menentukan kualitas pencapaian sasaran pembangunan nasional dan juga dalam meningkatkan daya
saing global Indonesia.
Meskipun demikian perencanaan pariwisata dan administrasi,
memperlihatkan kondisinya yang lemah sumberdaya, kekurangan kepakaran khusus dalam kebijakan
iv
publik untuk perencanaan dan pengelolaan pariwisata dan tidak terkoordinasi antar berbagai
kementerian dan unit pemerintah yang berbeda.
Karena berbagai kendala tersebut di atas, berbagai upaya pembangunan yang lalu telah
menimbulkan ketidakseimbangan dalam sektor dan juga distribusi manfaat yang tidak merata Lebih
lanjut, perlindungan terhadap lingkungan alami dan juga budaya dalam prakteknya masih kurang,
banyak permasalahan lingkungan terkait pariwisata yang langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan isu isu lingkungan membahayakan keberlanjutan banyak sumberdaya pariwisata dan menjadi
ancaman untuk destinasi dan kemakmuran komunitas tuan rumah. Demikian juga dengan ekonomi
informal, yang meskipun kontribusi dan perannya dalam pengurangan kemiskinan serta penciptaan
lapangan kerja untuk mereka yang tidak terlatih signifikan, merupakan isu yang tidak terselesaikan
dalam sektor pariwisata terkait dengan berbagai isu tentang pekerjaan layak yang ramah lingkungan,
jaminan sosial dan keselamatan serta keberlanjutan jangka panjang.
Pariwisata berkelanjutan jika direncanakan dan dikelola dengan baik dapat secara langsung
dan positif berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, termasuk
pengurangan kemiskinan, pembangunan perdesaan, pelestarian budaya dan masyarakat, kesetaraan
jender, perlindungan lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan memperlihatkan dampak yang
bermanfaat terhadap mitigasi perubahan iklim. Agar supaya beroleh manfaat dari berbagai
keterkaitan positif ini, diperlukan transisi ekonomi yang berkeadilan menuju pembangunan yang
rendah karbon, yang tak berpengaruh mengubah iklim (climate resilient), dan ramah lingkungan di
Indonesia dengan pandangan kepada Pekerjaan Layak yang ramah lingkungan, termasuk pendidikan
dan kesadaran para pemberi kerja/majikan, pekerja, komunitas tuan rumah dan wisatawan, dengan
pemerintah daerah berada di garis depan. Penciptaan lapangan kerja merupakan salah satu di antara
berbagai pilar kunci transisi semacam itu, dan penciptaan pekerjaan layak yang layak lingkungan
mempunyai potensi besar dalam sektor pariwisata melalui berbagai produk ramah lingkungan, jasa
ramah lingkungan, pekerjaan publik (ke-PU-an) dan bangunan yang ramah lingkungan. Investasi
yang dinamis dalam Ekonomi Ramah Lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan
pariwisata berkelanjutan.
Efektivitas berbagai kebijakan harus didukung oleh struktur yang memungkinkan terjadinya
koordinasi antara para pemangku kepentingan, dan pemberlakuan berbagai campuran perangkat yang
berimbang, termasuk instrumen ekonomi dan hukum. Dengan penetapan pembangunan berkelanjutan
dalam UU Kepariwisataan, pemerintah juga secara khusus telah menyerukan pembangunan dengan
berbagai kebijakan yang pro orang miskin, pro penciptaan lapangan pekerjaan dan pro lingkungan, di
samping pro pertumbuhan, di seputar mana para pemangku kepentingan kepariwisataan perlu
menemukan jalan menuju ke masa depan yang lebih baik.
Untuk melengkapi kerangka kebijakan yang ada, Rencana Strategis ini telah mengidentifikasi
berbagai dimensi kebijakan baru untuk diletakkan sebagai elemen-elemen kunci dalam kebijakan
pembangunan pariwisata:
v






Bersesuaian dengan arahan pro-orang miskin dalam agenda pembangunan nasional,
pariwisata diharapkan memainkan peran penting dalam pengurangan kemiskinan, khususnya
di kawasan sekitar tempat kunjungan wisata
Pemahaman tentang dan komitmen terhadap Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan yang
mendukung transisi pekerja dan pemberi kerja (para majikan) menuju pembangunan yang
rendah karbon, mengurangi kecepatan perubahan iklim, ramah lingkungan, dan ramah sosial
di Indonesia merupakan bagian penting strategi pariwisata berkelanjutan dan hendaknya
menjadi arusutama kebijakan.
Pencapaian Pekerjaan layak yang ramah lingkungan merupakan bagian penting dari
pariwisata berkelanjutan dan agenda pro-orang miskin dan pro -lapangan kerja.
Pemuda sebagai pelaku perjalanan yang potensial, sumberdaya manusia yang terdidik dan
terlatih untuk masa sekarang dan masa depan serta sebagai penggiat pembangunan pariwisata
berkelanjutan haruslah didorong.
Pengarusutamaan Jender dan pencegahan penggunaan tenaga kerja anak-anak
merupakan dua tujuan yang harus ditekankan lebih lanjut dalam agenda pembangunan
kepariwisataan di Indonesia.
Agar supaya jalur pembangunan dapat tercapai secara ajeg/konsisten, berbagai standar untuk
pariwisata berkelanjutan harus dikembangkan dan diterapkan sebagai panduan.
Terkait dengan perencanaan, perencanaan pembangunan sumberdaya manusia yang
komprehensif merupakan dasar untuk keberhasilan industri yang berbasis ilmu pengetahuan dan
pondasi untuk pembangunan berkelanjutan dan harus dilakukan. Pendekatan berkelanjutan dalam
pembangunan kepariwisataan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Milenium, RPJPN, perundangundangan kepariwisataan, dan arah kebijakan kunci dari pemerintah mensyaratkan agar manfaat
ekonomi yang berjalan diimbangi dengan pelestarian sumberdaya alam dan budaya serta
kesejahteraan komunitas. Indonesia juga perlu mendudukan (kembali) dirinya dalam komunitas
ASEAN untuk pembangunan kepariwisataan dan mencapai saling kunjung yang lebih berimbang di
antara negara negara anggota. Kerjasama internasional dalam ASEAN dapat tercapai dengan
mengintegrasikan dan menyinergikan berbagai elemen yang berbeda dari negara negara anggota
untuk dapat meraih daya saing yang lebih baik dalam pasar yang lebih luas.
Berdasarkan dimensi kebijakan dan pendekatan perencanaan yang diusulkan, kerangka
strategis untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mempunyai empat strategi :




Strategi Kunci 1: Perubahan Pola Pikir semua pemangku kepentingan.
Strategi Kunci 2: Pengembangan Indikator Pariwisata Berkelanjutan, penyesuaian dan
pemberlakuan
Strategi Kunci 3: Pembiasaan diri terhadap Pola Pikir Baru tentang Pekerjaan Layak yang
Ramah Lingkungan dan Pariwisata Berkelanjutan.
Strategi Kunci 4: Memperkenalkan berbagai Mekanisme pengelolaan strategis dan
Penegakannya
vi
Setelah Kerangka Strategis, diusulkan 10 strategi implementasi untuk melaksanakan dimensi
kebijakan baru, yaitu:










Strategi Implementasi 1: Mengarusutamakan dan Memromosikan Pekerjaan Layak yang
Ramah Lingkungan melalui Pariwisata Berkelanjutan.
Strategi Implementasi 2: Memprioritaskan Pengurangan Kemiskinan dalam Kepariwisataan.
Strategi Implementasi 3: Memperkuat Peluang Lapangan Kerja bagi Pemuda dalam Sektor
Kepariwisataan dan Pariwisata (untuk) Anak Muda.
Strategi Implementasi 4: Mendukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dalam Memberantas Isu-isu terkait Jender dan Perlindungan terhadap
Anak.
Strategi Implementasi 5: Menerapkan Sistem dengan berbagai Aturan/Standar Sukarela untuk
Pariwisata Berkelanjutan.
Strategi Implementasi 6: Menetapkan Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian terkait pariwisata
sebagai prioritas dalam Agenda Pendidikan dan Peneltian Nasional.
Strategi Implementasi 7: Identifikasi Mitra Lokal (daerah) yang potensial dan mempunyai
komitmen.
Strategi Implementasi8: Melakukan Pemasaran yang Selektif dan Kreatif.
Strategi Implementasi 9: Menerapkan Pendekatan Berkelanjutan dalam Perencanaan
Kepariwisataan
Strategi Implementasi 10: Membentuk satu Badan Koordinasi Tunggal untuk Pembangunan
Kepariwisataan yang Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan bukanlah hal yang dapat dicapai dalam jangka pendek, atau dicapai
secara parsial. Semua pemangku kepentingan perlu bergerak bersama secara konsistendalam program
JANGKA PANJANG menuju visi dan tujuan BERSAMA. Untuk hal ini sedangkan dikembangkan
satu agenda dan dikelompokkan ke dalam empat bagian, secara konsisten mengikuti lingkungan
pembangunan pariwisata sebagaimana diindikasikan dalam UU no 9-2010 tentang Kepariwisataan.




Agenda 1: Bergerak Menuju Destinasi yang Berkelanjutan
Agenda 2: Mendorong Industri Kepariwisataan yang Sinergetik dan Berkembang (viable)
Agenda 3: Memperkenalkan Pemasaran untuk Destinasi Ramah Lingkungan secara Efektif
Agenda 4: Membangun Kelembagaan yang mendukung (Sumberdaya insani, Organisasi dan
Regulasi)
Secara ringkas dapatlah disebutkan bahwa meskipun arahnya tampak jelas, tetapi jalannya
rumit. Kepemimpinan yang kuat mutlak diperlukan dalam melaksanakan Rencana Strategis dan Visi
Nasional, bergerak menuju pariwisata berkelanjutan, Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dan
pengembangan kualitas. Strategi ini harus didukung oleh sikap yang tepat, kewenangan, dan
sumberdaya yang memadai, dan yang paling penting adalah komitmen dan etika untuk
melaksanakannya lebih lanjut. Untuk ini, Kantor Wakil Presiden diusulkan untuk mengemban fungsi
koordinasi yang mengikut-sertakan banyak kementerian dan menerapkan berbagai undang-undang
vii
dan peraturan terkait dengan pariwisata berkelanjutan. Cakupannyameliputipengembangan
(sumberdaya) manusia, penataan ruang, pengembangan daya saing bisnis dan industri dan juga
pengelolaan sumberdaya alam dan budaya untuk kemanfaatan negara dan rakyatnya. Suatu Rencana
Pembangunan Sumberdaya Manusia untuk menunjang pembangunan pariwisata dengan kualitas
sebagaimana diharapkan seyogyanya tidak terbatas pada tingkat pusat saja melainkan harus diperluas
ke semua tingkat dari provinsi sampai ke daerah Kabupaten/Kota dan juga sektor swasta, tanpa
menghiraukan skala usahanya yang bermacam-macam.
Dengan sektor publik yang berada di garis depan, transisi yang berkeadilan perlu digagas.
Perubahan pola pikir dan pendekatan dalam menata/menangani pembangunan daerah masingmasing dan destinasi yang potensial oleh pemerintah serta menyediakan kerangka legislatif pekerjaan
layak yang ramah lingkungan dan berkeadilan untuk para majikan/pemberi kerja.
Akhirnya, Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan, perlindungan sosial, hak saat bekerja,
dialog sosial dan ekonomi informal, disamping berbagai syarat ramah lingkungan budaya dan alam
yang sudah dipahami, adalah sebagian dari berbagai isu yang sangat penting untuk diangkat.
Selanjutnya, Pedoman dan Rencana Aksi yang melengkapi dalam Proses Perencanaa
Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia dan disusun berdasarkan Rencana Strategis harus segera
disiapkan.
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA .... I
KATA PENGANTAR ILO ........................................................................................................................................II
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................................................................... III
RINGKASAN EKSEKUTIF.................................................................................................................................... IV
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................. IX
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................................................................. XI
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .............................................................................................................. XII
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................................1
1.
2.
INDONESIA MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN DAN PEKERJAAN LAYAK YANG RAMAH LINGKUNGAN ....1
MAKSUD RENCANA STRATEGIS DAN PROSES PERUMUSANNYA ........................................................................7
BAB 1 GAMBARAN MASA KINI SEKTOR PARIWISATA DI INDONESIA ................................................. 10
1.1 PENTINGNYA PARIWISATA UNTUK INDONESIA ................................................................................................... 10
1.1.1 Kedatangan Wisatawan, Perjalanan Domestik dan Indikator Terkait ...................................................... 10
1.1.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Ekonomi dari Pariwisata ............................................................. 13
1.1.3 Lingkungan Usaha ..................................................................................................................................... 14
1.2 LAPANGAN KERJA.............................................................................................................................................. 15
1.2.1 Kontribusi Pariwisata terhadap Lapangan Kerja dan Pekerjaan untuk Angkatan Muda ......................... 15
1.2.2 Keadilan Sosial .......................................................................................................................................... 16
1.3 BEBERAPA ISU MUTAKHIR ................................................................................................................................. 17
1.3.1 Pendidikan Pariwisata dan Pengembangan Sumberdaya Insani ............................................................. 17
1.3.2 Pariwisata dan Pembangunan Perdesaan ................................................................................................. 18
1.3.3 Ekonomi Informal ...................................................................................................................................... 19
1.3.4 Administrasi ............................................................................................................................................... 20
1.3.5 Kerangka Hukum ....................................................................................................................................... 23
1.3.6 Lingkungan ................................................................................................................................................ 26
BAB 2 PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN UNTUK INDONESIA ................................... 29
2.1 KONSEP PARIWISATA BERKELANJUTAN ............................................................................................................. 29
2.1.1 Dasar Dasar Pariwisata Berkelanjutan..................................................................................................... 29
2.1.2 Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) .................................................................................................. 31
2.1.3 Pengurangan Kemiskinan dan Pembangunan Perdesaan ......................................................................... 31
2.1.4 Masyarakat dan Kebudayaan .................................................................................................................... 34
2.1.5 Kesetaraan Jender ..................................................................................................................................... 35
2.1.6 Peralihan ke Berbagai Praktek Berkelanjutan .......................................................................................... 36
2.1.7 Menciptakan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan .......................................................................... 37
2.1.8 Mendefinisikan Kriteria Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan untuk Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia
............................................................................................................................................................................ 40
2.1.9 Kontribusi Pariwisata Berkelanjutan pada Mitigasi Perubahan Iklim...................................................... 42
2.1.10 Membangun Industri Kepariwisataan yang Lentur terhadap Bencana Alam dan Buatan Manusia ....... 44
2.1.11 Mengelola Dampak Pariwisata yang Merugikan .................................................................................... 46
2.1.12 Pembelajaran dari Pengalaman dan Praktek yang baik dan benar. ...................................................... 46
ix
2.2 ANALISIS SWOT UNTUK PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA ............................................................ 48
2.2.1 Kekuatan .................................................................................................................................................... 48
2.2.2 Kelemahan ................................................................................................................................................. 50
2.2.3 Peluang ...................................................................................................................................................... 53
2.2.4 Ancaman .................................................................................................................................................... 56
BAB 3 VISI DAN KERANGKA KEBIJAKAN PARIWISATA BERKELANJUTAN ....................................... 60
3.1 VISI PARIWISATA BERKELANJUTAN INDONESIA ................................................................................................ 60
3.2 DIMENSI BARU DALAM KEBIJAKAN KUNCI ........................................................................................................ 64
3.2.1 Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dalam Pariwisata .................................................................. 64
3.2.2 Pengurangan Kemiskinan .......................................................................................................................... 66
3.2.3 Partisipasi Pemuda dan Lapangan Kerja .................................................................................................. 66
3.2.4 Pengarusutamaan Jender dan Perlindungan Anak ................................................................................... 67
3.2.5 Sistem Aturan Sukarela/ Standar Pariwisata Berkelanjutan ..................................................................... 68
3.3 PERENCANAAN PARIWISATA BERKELANJUTAN .................................................................................................. 70
3.3.1 Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Insani ...................................................................................... 70
3.3.2 Pendekatan Berkelanjutan dan Komprehensif dalam Perencanaan, Pembangunan, dan Pengoperasian
Pariwisata ........................................................................................................................................................... 71
3.3.3 Pariwisata Berkelanjutan dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi ...................................................... 72
3.3.4 Pendekatan Wilayah (ASEAN) untuk Mengimplementasikan Prakarsa Dunia dalam Pariwisata
Berkelanjutan ...................................................................................................................................................... 73
BAB 4 KERANGKA STRATEGIS .......................................................................................................................... 76
4.1 KERANGKA STRATEGIS UNTUK PARIWISATA BERKELANJUTAN INDONESIA ....................................................... 76
4.1.1 Strategi Kunci 1: Perubahan Pola pikir .................................................................................................... 78
4.1.2 Strategi Kunci 2: Adaptasi dan Adopsi Indikator Pariwisata Bekelanjutan .............................................. 80
4.1.3 Strategi Kunci 3: Pembiasaan Pola Pikir Baru dalam Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dan
Pariwisata Berkelanjutan ................................................................................................................................... 81
4.1.4 Strategi Kunci 4: Memperkenalkan dan Menegakkan Mekanisme Pengelolaan ....................................... 83
4.2 STRATEGI IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN ...................................................... 84
BAB 5 AGENDA IMPLEMENTASI ....................................................................................................................... 95
5.1 AGENDA 1: MENUJU DESTINASI BERKELANJUTAN............................................................................................. 95
5.2 AGENDA 2: DUKUNG TERCIPTANYA INDUSTRI KEPARIWISATAAN YANG SINERJIK DAN RAMAH LINGKUNGAN
(ALAM DAN BUDAYA) ............................................................................................................................................ 100
5.3 AGENDA 3: MEMPERKENALKAN PEMASARAN YANG EFEKTIF BAGI DESTINASI YANG RAMAH LINGKUNGAN .. 102
5.4 AGENDA 4: BANGUN LEMBAGA PENDUKUNG (SUMBERDAYA MANUSIA, ORGANISASI, REGULASI) ................ 104
BAB 6 CATATAN PENUTUP DAN HARAPAN ................................................................................................. 108
BIBLIOGRAFI ........................................................................................................................................................ 149
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Data Statistik Sektor Pariwisata ............................................................................................................ 118
Lampiran 2: Studi Kasus Nasional dan Internasional ............................................................................................... 122
Lampiran 3: Petikan yang Relevan dari Deklarasi Bern ............................................................................................ 128
Lampiran 4 : Pembelajaran dari Berbagai Praktek Terbaik Ekowisata ..................................................................... 129
Lampiran 5: Definisi Pariwisata Ramah Lingkungan (Green Tourism) .................................................................... 130
Lampiran 6: Alternatif Indikator Pariwisata Berkelanjutan dari UNWTO ................................................................ 132
Lampiran 7: Undang-undang dan Peraturan terkait dengan Usaha dan Pengembangan Pariwisata .......................... 136
Lampiran 8: Kode Etik Global Pariwisata ................................................................................................................. 142
Lampiran 9 : Jejaring Lingkungan (Eco-Network) di Indonesia ............................................................................... 143
Lampiran 10 : Siklus-Hidup Tipikal Destinasi Pariwisata ......................................................................................... 147
xi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AMDAL
ASEAN
ATS
BAPPENAS
BDSP
BIMP – EAGA
:
:
:
:
:
:
BPS
BTDC
:
BUMN
CEA
CLMS
CSR
DI Yogyakarta
DKI Jakarta
DMO
DWCP
EEE
EU
GATS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
GCF
GDI
GDP / PDB
GEM
GEMS
:
:
:
:
GRDP/ PDRB
HRD
ITC
IYB
ILO
IMT- GT
:
:
:
:
:
:
KAN
KLHS
LULUCF
MCT
:
:
:
:
:
:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Association of South East Asian Nation(Asosiasi Negara Negara Asia Tenggara)
After Training Support (Dukungan Setelah Pelatihan)
Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional
Business Development Service Providers (Penyedia Jasa Pengembangan Usaha)
Daerah Pertumbuhan ASEAN Timur: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
dan Pilipina- (East ASEAN Growth Area)
Badan Pusat Statistik
Bali Tourism Development Corporation(Perusahaan Pembangunan Pariwisata
Bali
Badan Usaha Milik Negara
Community Employment Assessment (Penilaian Pekerjaan Komunitas)
Child Labour Monitoring System (Sistem Pemantauan Pekerja Anak)
Corporate Social Responsibility (Tanggungjawab Sosial Perusahaan)
Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Destination Management Organization(Organisasi Pengelolaan Destinasi)
Decent Work Country Program (Program ‘Nasional’ Pekerjaan yang Layak)
Employment Environment Economy(Ekonomi Lingkungan Pekerjaan)
European Union (Uni Eropa)
General Agreement on Trade in Services (Kesepakatan Umum dalam Jasa
Perdagangan)
Governor’s Climate Forests
Gender Development Index (Indeks Pembangunan Jender)
Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)
GenderEmpowerment Measure(Tindakan Pemberdayaan Jender)
Gender Empowerment Mainstreaming Strategy(Strategi Pengarusutamaan
Pemberdayaan Jender)
Gross Regional Domestic Product(Produk Domestik Regional Bruto)
Human Resource Development(Pengembangan Sumberdaya Manusia)
International Trade Centre (Pusat Perdagangan Internasional)
Improve Your Business
International Labour Organization(Organisasi Buruh Internasional)
The Indonesia- Malaysia- Thailand Growth Triangle (Segitiga Pertumbuhan
Indonesia-Malaysia-Thailand)
National Accreditation Committee (Komisi Akreditasi Nasional)
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Land Use, Land Use Change and Forestry
Ministry of Culture and Tourism (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata)
xii
MoE
MoHA
MoWECP
MTC
NGO
OSH
Perhutani
PGA
PHRI
PKK
PNPM
PPP
PTP/PNP/
PTPN
REDD+
Renstra
REPELITA
Rp
RPJM
RPJP
RPPLH
SARS
SIYB
SMEs (UKM)
STD
SWOT
SYB
TSA
TTCI
UK
UN
UNCTAD
UNDP
UNESCO
UNPDF
: Ministry of Environment (Kementerian Lingkungan Hidup)
: Ministry of Home Affairs (Kementerian Dalam Negeri)
Ministry of Women Empowerment and Child Protection(KementerianPember:
dayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
Ministry of Tourism and Creative Industry (Kementerian Pariwisata dan
:
Ekonomi Kreatif)
: Non- Governmental Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
: Occupational Safety and Health (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
: Perusahaan Hutan Negara Indonesia
: Participatory Gender Audit(Audit Jender Partisipatif)
: Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
: Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
: Public Private Partnership(Kemitraan Pemerintah dan Swasta)
Perusahaan Terbatas Perkebunan/ Perusahaan Negara Perkebunan/ PT
:
Perkebun-an Nusantara
Reducing Emissions from Deforestration and Degradation(Pengurangan Emisi
:
dari Penebangan dan Kerusakan Hutan)
: Rencana Strategis
: Rencana Pembangunan Lima Tahun
: Rupiah
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
: Rencana Pembangunan jangka Panjang
Environment Protection and Management Plan (Rencana Perlindungan dan
:
Pengelolaan Lingkungan Hidup)
: Severe Acute Respiratory Syndrome
: Start and Improve Your Business
Small and Medium Enterprises (Usaha Kecil dan Menengah)
: Sustainable Tourism Development (Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan)
Strength, Weakness, Opportunity, Threat (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
:
Ancaman)
: Start Your Business
: Tourism Satellite Account (Neraca Satelit Pariwisata)
Travel and Tourism Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Pariwisata dan
:
Perjalanan)
: United Kingdom
: United Nations(Perserikatan Bangsa-Bangsa)
United Nations Conference on Trade and Development (Konferensi dalam
:
Perda-gangan dan Pembangunan – PBB)
: United Nations Development Programme
: United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
: United Nations Partnership for Development Framework (Kemitraan PBB
xiii
UNWTO
US
UU
WEF
Wisnus
WTO
:
:
:
:
:
:
untuk Kerangka kerja Pembangunan)
United Nations World Tourism Organization(Organisasi Pariwisata DuniaPBB)
United States (Amerika Serikat)
Undang- Undang
World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia)
Indonesian Domestic Tourists (Wisatawan Nusantara)
World Tourism Organization (lihat UNWTO) (Organisasi Pariwisata Dunia)
xiv
PENDAHULUAN
1.
Indonesia Menuju Pariwisata Berkelanjutan dan Pekerjaan Layak yang
Ramah Lingkungan
Setelah sudah lebih dari enam dekade merdeka, Indonesia baru memulai secara strategis
merencanakan pembangunan pariwisatanya sekitar 40 tahun yang lalu. Sementara pada tahap awal
perkembangan tersendat selama tahun 1970-an oleh hambatan kebijakan internal, penyesuaian nilai
tukar mata uang yang dipacu oleh boom minyak bumi, dan biaya yang tinggi bagi wisatawan
mancanegara dibandingkan dengan mengunjungi destinasi di negara tetangga, pada tahun 1980
Indonesia menerima 562.000 pengunjung internasional. Tiga puluh tahun kemudian Indonesia
menyambut 7 juta pengunjung internasional pada tahun 2010. Pada tahun 2014, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (KemenPareKraf) berharap meningkatkan angka tersebut dengan
target 10 juta kedatangan. Sementara permintaan pariwisata dunia mendekati capaian 1 milyar
kedatangan dan pasar pariwisata domestik terus berkembang, pangsa nasional pada pasar pariwisata
global dan kesempatan baru untuk melayani kelas menengah yang tumbuh dengan cepat dan
kelompok wisatawan domestik potensial diharapkan dapat menjamin bahwa pariwisata tetap menjadi
sektor strategis dalam agenda pembangunan nasional.
Karena pariwisata internasional dan domestik tumbuh terus, maka akan terjadi tekanan yang
lebih besar pada apa yang dalam beberapa kasus sudah menjadi ancaman terhadap lingkungan alami
dan budaya yang rentan. Hal ini menempatkan kebutuhan peningkatan kesadaran dan praktek
pariwisata berkelanjutan oleh industri dan juga wisatawan sebagai masalah yang mendesak.
Kompetisi dunia untuk meraup dolar dari wisatawan sangat kuat. Yang akan menjadi
“pemenang” adalah destinasi yang memanfaatkan kekuatan pariwisata dan dukungan ekonomi
kreatif untuk berkontribusi dalam masa transisinya menuju “ekonomi ramah lingkungan yang
ditandai oleh karbon rendah, perlambatan perubahan iklim, bersahabat dengan lingkungan, dan
bentuk-bentuk pembangunan berkelanjutan yang ramah sosial
Sebagai anggota G20, perekonomian Indonesia sedang beralih untuk menjadi salah satu dari
10 negara ekonomi terkuat di tahun 2020. Sektor pariwisata dapat tumbuh sebagai penyumbang yang
lebih signifikan terhadap kemajuan ekonomi Indonesia. Pariwisata juga dapat menjadi sektor ramah
lingkungan terdepan untuk pengembangan yang inovatif dan menarik modal publik dan swasta agar
mengalir ke jalur karbon rendah, yang efisien sumberdaya.
Lebih dari sekedar penghasil devisa yang penting, pariwisata, jika diperlakukan dengan cara
yang berkelanjutan, dapat dimanfaatkan untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan
dan tujuan pembangunan milenium yang penting melalui pengadaan pekerjaan dan lapangan kerja di
wilayah perkotaan maupun perdesaan, menyebarkan pembangunan ke daerah daerah perdesaan yang
lebih miskin dan terasing, memperbaiki transportasi dan koridor telekomunikasi, menciptakan
pekerjaan ramah lingkungan dengan kerja yang layak dan pelatihan keterampilan untuk perempuan
dan angkatan muda yang mungkin dengan cara lain tidak mempunyai peluang tersebut..
1
“Pekerjaan disebut ramah lingkungan (green) apabila membantu mengurangi dampak
lingkungan negatif dan akhirnya membawa ke arah perusahaan dan ekonomi yang berkelanjutan
dari segi lingkungan alam, ekonomi, dan sosial. Pekerjaan ramah lingkungan adalah pekerjaan yang
layak yang akan mengurangi konsumsi energi dan bahan baku, membatasi emisi rumah kaca,
meminimumkan sampah dan polusi, dan melindungi serta memulihkan ekosistem” i
Lebih lanjut membangkitkan kesadaran dan sumberdaya untuk membantu perlindungan
terhadap lingkungan, pencegahan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain serta meningkatkan peluang
untuk pendidikan dan pelatihan merupakan tujuan kunci sektor pariwisata berkelanjutan yang dapat
membantu Indonesia mencapai tujuan pembangunan meliniumnya.
Sebagai industri padat karya, dengan pasar domestik yang besar dan tumbuh mantap,
pariwisata diharapkan berkontribusi banyak pada program penghapusan pengangguran di Indonesia.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus program pembangunan kapasitas untuk laki-laki dan perempuan
yang bekerja pada industri pariwisata seringkali tidak dirancang dengan baik, tidak efisien, dan
kinerja di bawah harapan. Hal ini mengakibatkan produk dan jasa pariwisata tidak memenuhi baik
standar kualitas minimum maupun harapan pengunjung (pasar) domestik dan internasional.
Selanjutnya, tujuan akhir pembangunan kepariwisataan – kesejahteraan bagi komunitas lokal di
banyak daerah belum tercapai. Pendidikan serta pelatihan kepariwisataan dan hospitality perlu lebih
dari mengembangkan
keterampilan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa dalam industri dan
pemerintahan bahwa pentingnya standar kompetensi untuk pendidikan dan kualitas pelatihan
kejuruan telah terabaikan. Pemerintah setempat perlu mengembangkan visinya dalam konteks sistem
pariwisata yang kompleks dan secara realistik membuat rencana demi keuntungan masyarakat.
Krisis multidimensi pada tahun 1998, telah membuktikan bahwa industri kepariwisataan
berada di antara yang paling rentan dan sangat terpengaruh. Krisis telah menjadi pengalaman yang
memperlihatkan bahwa pariwisata memerlukan perhatian ekstra, kebijakan yang komprehensif,
strategi yang kuat, dan kerangka kelembagaan, terutama saat sulitnya kontrol terhadap tiap usaha
pariwisata atau destinasi yang berakibat terjadinya dampak negatif. Dalam pernyataan kebijakan
internasional yang telah diterima dan disahkan oleh UNWTO (Agenda 21 untuk Perjalanan dan
Pariwisata, dan Kode Etik Pariwisata), secara berturut-turut pemerintah nasional telah mencoba
untuk membangkitkan kesadaran akan kebutuhan dan keuntungan dari pembangunan pariwisata
berkelanjutan. Meskipun demikian, kenyataan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen terhadap
kebijakan panduan termasuk yang berkaitan dengan pekerjaan yang layak dan produktif, dalam
kondisi kebebasan, adil, aman, dan bermartabat, tidak otomatis menjamin bahwa semua konsep dan
prinsip tersebut telah berhasil diterapkan di seluruh negeri.
Pemerintah daerah, yaitu pemerintah kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional masih
dihadapkan pada masalah implementasi terkait dengan kapasitas sumberdaya insani dan kesiapan
untuk dapat mewujudkan berbagai keinginan serta tuntutan pembangunan berkelanjutan. Otonomi
daerah dan semangat demokrasi mengharuskan perubahan struktural dan budaya dalam
pemerintahan, yang saat ini berada pada tahap transisi menuju ke arah praktek-praktek
berkelanjutan.
2
Dengan perencanaan yang baik dan manajemen yang efektif, pariwisata dapat menghasilkan
keuntungan yang positif dari segi ekonomi, sosial/budaya dan lingkungan alam. Sebaliknya pun bisa
terjadi, menimbulkan kerugian, bila tata cara kebijakan publik dan implementasi serta sumberdaya
manajemen tidak memadai. Hal ini dapat mencakup tingginya angka/nilai kebocoran ekonomi
(economic leakage), luasnya dampak negatif sosial dan budaya dan degradasi lingkungan.
Mendorong industri pariwisata berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan dan sosial merupakan
langkah penting yang akan memberi sumbangan terhadap pembangunan yang secara sosial inklusif
dan melestarikan modal lingkungan, sehingga industri dapat bertumbuh subur dalam jangka
menengah dan jangka panjang. Hal ini juga akan semakin meningkatkan pemenuhan atas permintaan
pasar yang kompetitif.
Konsep pariwisata berkelanjutan di Indonesia sudah dituangkan dalam dokumen kebijakan
dan hukum, tetapi tidak perlu dilaksanakan berdasarkan standar minimum internasional yang sudah
disepakati. Kenyataan bahwa berbagai isu keberlanjutan telah disebutkan dalam UU Kepariwisataan
yang lama, nomor 9 tahun 1990, yang kemudian diperbaharui menjadi UU nomor 10 Tahun 2009,
mengindikasikan adanya kesadaran tentang konsep berkelanjutan, yang beraspek multidimensi:
ramah lingkungan, secara ekonomi dapat memberi manfaat, secara sosial budaya dapat diterima, dan
menempatkan masyarakat sebagai subjek inti dalam pembangunan.
Berbagai produk hukum lain, seperti UU tentang Penanaman Modal, UU tentang
Ketenagakerjaan, dan lainnya juga mencanangkan komitmen pemerintah untuk kesejahteraan
masyarakat danpemberantasan kemiskinan, antara lain melalui komitmen terhadap pengarusutamaan
UMKM dan dengan menghormati kesetaraan jender. Sebagai tambahan (dapat disebutkan bahwa
dengan) diamanati oleh Intruksi Presiden (Inpres No.9/2000), semua kementerian/badan pada semua
tingkat harus memastikan strategi bahwa pengarusutamaan kesetaraan jender masuk ke dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dalam masing-masing tugas pokok dan fungsi
yang menjadi tanggungjawabnya yang dikoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA). Baru-baru ini, tahun 2010, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menandatangani suatu
Memorandum kerja sama (MOU) dengan KPPA dalam kesetaraan jender. Kedua kementerian
tersebut menyediakan landasan tentang bagaimana pariwisata berkelanjutan, sebagai industri padat
karya dan tempat berkumpulnya sebagian besar pekerja informal, harus secara hati-hati didefinisikan
dan dilaksanakan untuk memastikan adanya distribusi manfaat industri pariwisata yang setara untuk
laki-laki dan perempuan.
Indonesia menyusun Agenda 21 nasional pada tahun 1992, dan pada tahun 2001
menambahkan Agenda21 Sektoral; Kehutanan, Pertambangan dan Pariwisata, dibantu oleh UNDP
(United Nations Development Programme). Agenda ini diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan
Hidup, melibatkan berbagai pemangku kepentingan pariwisata dan memuat sambutan yang
“ditanda-tangani” oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu. Meskipun demikian,
nampaknya berbagai prinsip yang disampaikan belum menjadi acuan program-program
pembangunan pariwisata nasional. Pilihan terhadap sektor pariwisata tersebut dirangsang oleh
Agenda 21 for the Travel and Tourism Industry: Towards Environmental Sustainabe Development
3
(1996) dan juga adanya kenyataan peran strategis pariwisata untuk Indonesia yang tumbuh secara
cepat selama dua dekade terakhir abad 20 yang lalu.
Pada tahun 2003 Indonesia telah menerima bantuan teknis UNWTO untuk Pembangunan
Pariwisata yang Bertumpu pada Komunitas, dengan dua desa sebagai studi kasus yaitu Desa
Candirejo di dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah dan kawasan Banten Lama di dekat Mesjid
Banten Lama, di bagian barat Provinsi Banten.
Sebagai anggota UNWTO, Indonesia juga telah mensosialisasikan Kode Etik Dunia (Global
Code of Ethics) segera setelah diterbitkan, dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia serta
melengkapinya dengan Kode Etik dari berbagai asosiasi industri terkait.
Pada tahun 2004, di Jakarta telah diselenggarakan lokakarya, yang dihadiri oleh para operator
pariwisata ramah lingkungan (ecotourism), serta telah membuat daftar ‘praktek terbaik’ (best
practice) dan mendokumentasikan sejumlahpengalaman pembelajaran (lesson learned) oleh para
operator ekowisata dan pemangku kepentingan (lihat Lampiran 4).
Indonesia sudah mempunyai suatu jaringan pariwisata ramah lingkungan yang dihormati,
yang dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, dan program peningkatan kesadaran untuk
memperbaiki standar dan kualitas dari ‘Pengalaman Ekowisata Indonesia’.
Pada tahun 2006, UNWTO bersama dengan Pemerintah Jerman membentuk suatu Unit
Konsultasi tentang Keanekaragaman Hayati dan Pariwisata untuk negara yang terkena musibah
tsunami. Indonesia telah mendapat bantuan untuk melaksanakan program: Pengembangan Pariwisata
yang Mendukung Konservasi Keanekaragaman Hayati. Pemerintah Indonesia bersama UNWTO
sepakat memilih Pangandaran, unggulan pariwisata Jawa Barat, yang telah diporakporandakan oleh
bencana tsunami pada Juli 2006. Program yang berlangsung pada tahun 2007-2009 merupakan
program pemulihan dan telah memberdayakan Kelompok Kerja Lokal untuk menyiapkan rencana
dan aktivitasnya dengan bimbingan dan pengawasan. Program tersebut dilanjutkan dengan program
tahap berikutnya yang sedang berlangsung dalam rangka konservasi alam dan efisiensi energi.
Selain semua perbaikan yang merupakan hasil intervensi, kualitas keberlanjutan lingkungan tetap
diperlukan dan pelaksanaan peraturan yang sah harus terus di dukung.
Pada tahun 2009, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Perencanaandan Pengembangan
Kepariwisataan-ITB juga telah menerbitkan Pedoman Pengembangan Pariwisata Perdesaan Terpadu
dan Berkelanjutan. Pedoman ini dimaksudkan sebagai arahan bagi pemerintah setempat dalam
mengembangkan kepariwisataan di desa secara berkelanjutan. Meskipun demikian, tetap ada
kebutuhan untuk menyebarluaskan, dan melakukan pelatihan guna menguji apakah pedoman ini
dapat dilaksanakan setelah diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk siapa pedoman ini telah
disiapkan.
Destinasi pariwisata Indonesia yang dikenal secara internasional yaitu Bali, sudah mempunyai
pengalaman yang panjang dalam melaksanakan praktek-praktek pariwisata berkelanjutan yang
4
didasarkan pada kearifan budaya setempat, yaitu Tri Hita Karana – keharmonisan hubungan antara
Alam, Manusia, dan Sang Pencipta. Konsep ini bahkan sudah dibawa ke tingkat internasional dan
pada tahun 2002 serta telah mendapat pengakuan UNWTO dan organisasi industri regional
terkemuka seperti Pacific Asia Travel Association (PATA). Saat ini banyak komponen industri
pariwisata (hotel, rumah makan, resor) yang telah mendapat penghargaan Tri Hita Karana, sebagai
wujud kepeduliannya terhadap lingkungan, budaya dan kesejahteraan masyarakat. Tri Hita Karana
merupakan model yang yang dapat dimodifikasi dan diadaptasi dalam industri pariwisata di daerah
lain di Indonesia. Hal itu juga merupakan suatu contoh kerangka praktek pariwisata berkelanjutan
dan pengembangan kebijakan untuk dipelajari oleh
pemerintah lokal dan provinsi yang
mengeluarkan ijin-ijin.
Menanggapi seruan Presiden tahun 2007, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi, sejak 2009 telah meluncurkan program pemberdayaan
pariwisata di perdesaan. Pada tahun 2009, kegiatan pemberdayaan dilaksanakan di 104 desa yang
berada di 17 Provinsi; pada tahun 2010, mencakup 200 desa di 29 Provinsi, dan 2011 mencakup 569
desa di 33 provinsi. Nilai bantuan berkembang luar biasa dari Rp. 8,75 miliyar pada tahun 2009
menjadi Rp. 51,7 miliar pada 2011. Pada tahun 2014, dicanangkan untuk mencakupi 2000 desa di
seluruh nusantara, yang secara angka, kecil jumlahnya dibanding dengan jumlah keseluruhan desa
yang ada di Indonesia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan program pemberdayaan pariwisata di
perdesaan tersebut, perlu dipantau dan dievaluasi demi kemajuan pelaksanaan program tersebut.
Dorongan yang tampak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap keberlanjutan
lingkungan bersama dengan pembangunan ekonomi dan sosial, lapangan kerja dan penurunan
kemiskinan sebagai pilar-pilar pembangunan berkelanjutan juga telah meletakkan dasar dukungan
pada transisi ke ekonomi ramah lingkungan dengan mengalihkan lapangan kerja ke pekerjaan ramah
lingkungan. Peralihan ini diharapkan mempunyai dampak yang besar terhadap lapangan pekerjaan
nasional: pekerjaan tambahan akan tercipta, lapangan pekerjaan akan tergantikan, mungkin ada
pekerjaan yang dihapuskan, dan pekerjaan yang sudah ada akan ditransformasikan. Permintaan akan
aneka keterampilan dan program baru akan tercipta, tetapi transisi ini harus juga didukung oleh
adanya perlindungan sosial dan rencana finansial yang tepat agar dapat membantu para pekerja dan
pelaku bisnis dalam sektor pariwisata.
Prakarsa bersama antara Program Lingkungan PBB (United Nations Environment
Programme /UNEP), Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO),
Organisasi Pemberi Kerja Internasional (International Organization of Employers/IOE) dan
Konfederasi Serikat Dagang Internasional (International Trade Union Confederation /ITUC ) telah
diluncurkan pada tahun 2001, untuk menilai, menganalisis, dan mendorong terciptanya pekerjaan
yang layak sebagai konsekuensi dari kebijakan lingkungan yang diperlukan.
Maka dari itu, agar dapat memastikan dampak positif dan menanggapi perubahan iklim,
transisi ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan ramah lingkungan, Prakarsa Pekerjaan Ramah
Lingkungan telah diperkenalkan sebagai suatu proyek nasional Indonesia oleh ILO bersama dengan
Pemerintah Indonesia pada tahun 2009 di bawah naungan the Green Jobs in Asia Initiative.
5
Pekerjaan Ramah Lingkungan dapat didefinisikan sebagai:
“Pekerjaan yang dapat mengurangi dampak lingkungan perusahaan dan sektor ekonomi, yang
pada akhirnya sampai pada tingkat keberlanjutan, sementara pada saat bersamaan memenuhi
persyaratan pekerjaan yang layak”.
Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan (Green Jobs) = Pekerjaan
yang layak + Lingkungan Berkelanjutan
Sasaran Proyek Pekerjaan Ramah Lingkungan adalah memperdalam pemahaman dan
komitmen konstituen ILO dalam memromosikan peluang pekerjaan ramah lingkungan yang sensitif
jender dan menransisikan secara tepat pekerja dan majikan menuju ke pembangunan yang rendah
karbon, yang menyesuaikan dengan iklim, dan yang ramah lingkungan di Indonesia. Transisi dalam
pasar kerja dan kebutuhan akan model usaha yang baru dipusatkan melalui dialog sosial yang
inklusif .
Sasaran Projek Pekerjaan Ramah Lingkungan yang segera ingin dicapai adalah :
I.
Meningkatnya kapasitas konstituen ILO berperan serta dalam dialog pekerjaan ramah
lingkungan melalui peningkatan akses kepada sumber data dan informasi yang terpercaya
tentang pekrjaan ramah lingkungan dan pelatihan, termasuk tentang dampak lapangan
kerja terhadap berbagai kebijakan terkait lingkungan dan praktek-praktek yang baik
dalam pekerjaan ramah lingkungan di semua negara yang berperan serta;
II.
Mengarusutamakan pekerjaan ramah lingkungan dalam kebijakan sosial dan tenaga kerja
negara yang berperan serta mendorong dimensi sosial dan lapangan kerja dalam berbagai
kebijakan terkait iklim dan lingkungan;
III.
Melaksanakan program percontohan tentang pekerjaan ramah lingkungan yang
menanggapi kebutuhan laki-laki maupun perempuan, yang dilaksanakan dalam berbagai
sektor yang dipilih berdasarkan penelitian dan konsultasi di empat negara dimana projek
dilaksanakan.
Dalam pilar ke-3, Projek Pekerjaan Ramah Lingkungan ILO secara langsung mendukung
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Proyek Percontohan Organisasi Manajemen
Destinasi(DMO) di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Lombok, yang menerapkan berbagai strategi
berbasis pariwisata lokal yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan
komunitas, melalui pelestarian lingkungan dan budaya yang berfokus pada dua produk ramah
lingkungan – Pemandu Ramah Lingkungan (Eco-Tourguides) dan Pondokan Ramah Lingkungan
(Green Homestays).ii Pentingnya Program DMO diperoleh dari peluangnya sebagai wahana untuk
‘menghijaukan’ industri pariwisata melalui pengembangan berbagai praktek berkelanjutan terbaik
yang mempunyai efek pembelajaran yang kuat untuk pengembangan destinasi di daerah lain.
6
2.
Maksud Rencana Strategis dan Proses Perumusannya
Maksud utama dari Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Pekerjaan Ramah
Lingkungan di Indonesia adalah mengajak kalangan luas mitra nasional bertukar pendapat dan
membangun konsensus dalam pembangunan industri pariwisata berkelanjutan yang kokoh di
Indonesia dengan pekerjaan yang layak. Penyiapan Rencana Strategis dimaksudkan untuk membantu
Pemerintah, mitra sosial dan masyarakat luas agar mengakui pentingnya strategi pariwisata
berkelanjutan dalam pembangunan Indonesia dan menemukenali cara melangkah maju melalui
serangkaian strategi kunci yang dapat didukung pada tingkat nasional, provinsi, dan lokal.
Untuk tercapainya sasaran dalam Rencana Strategis:
(1) Dimasukkan berbagai elemen ke dalam berbagai dimensi kunci baru kebijakan
pariwisata (Pekerjaan Ramah Lingkungan, Lapangan Kerja bagi Pemuda,
Pengarusutamaan Jender dan Perlindungan Anak, Standar Pariwisata Berkelanjutan,
Penurunan Kemiskinan)
(2) Digambarkan tantangan pembangunan manusia dalam birokrasi dan industri pariwisata
serta kebutuhan akan sumberdaya yang lebih banyak untuk mengembangkan birokrasi
yang kompeten untuk merumuskan kebijakan dan pengambilan keputusan; dan juga
tenaga kerja terlatih demi keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan sektor
pariwisata (termasuk kewirausahaan, keterampilan, dan akses ke keuangan).
(3) Diangkat berbagai aspek dan pendekatan penting untuk perencanaan dan pembangunan
pariwisata berkelanjutan (dampak potensial pembangunan perdesaan dan pelestarian
lingkungan serta budaya, memromosikan perusahaan berkelanjutan dan ‘bekerja sendiri’
(self employment) secara berkelanjutan yang sesuai dengan standar nasional untuk
pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan, dan ekowisata yang berfokus pada
keterkaitan antara lapangan kerja, lingkungan dan ekonomi.
(4) Diperlihatkan potensi tindakan yang dirumuskan dalam strategi khusus dan satu agenda
yang mendukung komitmen RENSTRA Kementerian Parisiwisata dan Ekonomi Kreatif
terhadap pendekatan pariwisata berkelanjutan dengan kebijakan publik dan aneka
praktek industri, memasukkan berbagai indikator kinerja baru, pendidikan pariwisata
(untuk mencapai ramah lingkungan), pengembangan manajemen dan mekanisme
pengendalian; memadukan dan menegakkan hukum dan peraturan yang ada, serta
memperkuat kelembagaan berbagai organisasi yang merupakan pemangku kepentingan
kunci dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan penerapan pendekatan
pariwisata berkelanjutan yang lebih berkualitas oleh industri.
(5) Diulang-ulang pernyataan kuatnya hubungan antara pariwisata berkelanjutan dengan
agenda pembangunan nasional, seperti juga dengan beragam program perlindungan
lingkungan serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
7
(6) Disingkapkan adanya kesempatan dan tantangan baru, terkait dengan transisi ke
ekonomi ramah lingkungan (green economy), yang memerlukan perhatian khusus
(memperkuat hubungan antara pariwisata dan pengurangan emisi akibat kerusakan
hutan dan degradasi (REDD+), pembangunan rendah karbon, mitigasi perubahan iklim.
(7) Digambarkan hubungan dengan program DMO dan digarisbawahi betapa pentingnya
sebagai wahana untuk ‘meramah-lingkungankan’ / ‘menghijaukan’ industri pariwisata
dan keseluruhan kualitas destinasi.
(8) Ditunjukkan pentingnya bisnis pariwisata dan kelembagaan publik yang
bertanggungjawab untuk mengadopsi temuan dan teknologi tepat guna yang inovatif
dan sarana untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya (seperti lahan,
energi, air), menanggulangi tantangan perubahan iklim, meminimalkan emisi gas rumah
kaca dan produksi sampah, sambil melindungi keanekaragaman hayati.
(9) Diangkat berbagai isu tentang investasi besar dalam sektor pariwisata ramah
lingkungan (termasuk membuat usaha kecil menengah menjadi ramah lingkungan dan
meningkatkan sektor informal).
(10) Diberikan keterangan tentang berbagai elemen lanjutan tentang strategi nasional
pengembangan keterampilan ramah lingkungan bagi pariwisata berkelanjutan termasuk
masyarakat umum, kemitraan pemerintah dengan swasta (PPP), pelatihan berbasis
kompetensi,
hubungan dalam konteks ASEAN dan peluang Indonesia untuk
meningkatkan pendekatan berbasis standar demi promosi pariwisata berkelanjutan.
(11) Disiapkan panduan strategis dan cara implementasi pembangunan pariwisata
berkelanjutan di Indonesia bagi pemerintah untuk melaksanakan strategi arah
pembangunan nasional (pro masyarakat miskin, pro pertumbuhan, pro lingkungan, pro
pekerjaan).
Penyiapan Rencana Strategis diprakarsai oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) bersama
dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan ditempatkan dibawah payung Proyek Pekerjaan Ramah Lingkungan ILO (ILO’s
Green Jobs) untuk Asia khususnya Indonesia. Rencana untuk mempersiapkan Rencana Strategis ini
pertama kali dipaparkan pada bulan Februari 2011,kemudian pada bulan Mei 2011 dibentuk satu
satuan tugas yang terdiri dari konsultan nasional dan internasional. Persiapan untuk pengembangan
Rencana Strategis juga dimulai pada bulan Mei 2011. Sejak dari awal secara langsung semua
konstituen ILO, dan terutama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Lingkungan Hidup, asosiasi pengusaha dan asosiasi
pekerja juga dilibatkan.
Rencana Strategis ini dirancang berdasarkan proses konsultasi yang melibatkan para
konstituen ILO seperti yang disebutkan di atas dengan kelompok kunci pemangku kepentingan lintas
pemerintah di semua tingkatan, masyarakat, industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, mitra sosial
8
dan masyarakat umum. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memimpin dalam
pengembangan Rencana Strategis. Rumusan langkah dan tindakan utama dalam perumusan Rencana
Strategis dapat diringkas sebagai berikut:
1. Tahap Pengenalan Proyek (Februari-April 2011)
2. Pembentukan Satuan Tugas Rencana Strategis (Mei 2011)
3. Penelitian ekstensif kepustakaan (Mei-Juli 2011)
4. Pertemuan persiapan dengan pemangku kepentingan, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian
Lingkungan Hidup, Bappenas, Apindo, Serikat Dagang (Mei-Desember 2011)
5. Lokakarya Konsultasi Daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan
Sumatera Selatan (Februari-April 2012)
6. Lokakarya Konsultasi Nasional (Januari-Juli 2012)
7. Penyelesaian dan pengesahan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Lingkungan Hidup.
8. Peresmian (September 2012)
Rencana Strategis menetapkan suatu kerangka kebijakan pembangunan pariwisata
berkelanjutan dan Pekerjaan Ramah Lingkungan dalam sektor pariwisata di Indonesia. Kemudian
akan diikuti dengan dokumen panduan bagi para aktor kunci, memuat Rencana Tindak guna
mendukung pelaksanaan strategi dengan usulan langkah nyata. Hal ini merupakan permintaan yang
kuat selama konsultasi dan juga disarankan selama tinjauan mendalam (peer reviews) dalam rangka
mendukung pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan serta para aktor kunci
kepariwisataan. Direncanakan bahwa Panduan dan pelaksanaan Rencana Tindak akan dipersiapkan
melalui kerjasama erat antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, serta pemangku kepentingan lainnya dalam proses konsultasi selanjutnya
atas dasar konsep pembangunan dalam Rencana Strategis. Upaya ini diprakarsai oleh pemerintah
Indonesia dan tampak ada dukungan yang sangat kuat. Usulan Panduan dan Rencana Tindak
pembangunan Priwisata Berkelanjutan dan Pekerjaan Ramah Lingkungan di Indonesia telah
dimasukkan ke dalam nota konsep Proyek Pekerjaan Ramah Lingkungan Tahap II di Indonesia.
9
BAB 1
Gambaran Masa Kini Sektor Pariwisata di
Indonesia
Ikhtisar Bab
Bab ini menguraikan kondisi sektor pariwisata Indonesia saat kini, berdasarkan indikator
makro-ekonomi kuantitatif dan juga analisis kualitatif, pentingnya sektor pariwisata bagi
Indonesia, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan penciptaan
pekerjaan, keterlibatan masyarakat, dan berbagai isu mutakhir lainnya.
1.1 Pentingnya Pariwisata untuk Indonesia
1.1.1 Kedatangan Wisatawan, Perjalanan Domestik dan Indikator
Terkait
Berdasarkan indikator yang lazim digunakan, kinerja sektor pariwisata Indonesia naik turun
sepanjang waktu. Dulu, kinerja pariwisata terutama ditengarai melalui jumlah kedatangan dan
perjalanan domestik, dan juga melalui jumlah hotel serta fasilitas lain yang dibangun, jumlah agen
perjalanan, meningkatnya aksesibilitas yang ditengarai oleh frekuensi dan kapasitas penerbangan,
kereta api, dan juga bus serta frekuensi dan kapasitas alat transportasi wisatawan lainnya.
Pada tahap awal pembangunan, Indonesia mengalami pertumbuhan kedatangan internasional
dua digit, dan merupakan yang tertinggi di wilayah Asia-Pasifik. Meskipun demikian, karena
Indonesia memulainya terlambat, maka dalam konteks ASEAN volume wisatawan mancanegara
(wisman) yang tertarik ke Indonesia menghadapi kompetisi kuat dari wilayah tetangga seperti
Malaysia, Thailand, dan Singapur. Ekspansi destinasi untuk wisatawan internasional di Vietnam dan
Kamboja yang cepat pada dekade yang lalu menambah ancaman terhadap daya saing Indonesia
sebagai suatu destinasi ASEAN dalam dekade ke depan ini.
Pada saat yang sama, menguatnya tingkat kesejahteraan dalam arti daya beli, akses terhadap
jaminan sosial dan jaminan kesehatan serta infrastruktur dan bertumbuhnya keinginan kelas
menengah Indonesia untuk melakukan perjalanan, pada tingkat tertentu, telah menyelamatkan
industri pariwisata pada masa yang paling sulit.Wisatawan domestik yang lazim disebut dengan
10
istilah wisatawan nusantara (wisnus) telah bertumbuh.Di luar perjalanan domestik yang dilakukan
oleh orang asing yang menetap di Indonesia, jumlah perjalananmencapai lebih dari 234 juta pada
tahun 2010. Dengan skala penduduk nasional yang ada, Indonesia dengan sendirinya menempati
posisi yang diingini untuk tidak bergantung semata mata pada wisman, sementara perjalanan
domestik potensial di Indonesia melampaui skala negaranegara tetangga. Selama dekade yang lalu
juga telah menunjukkan pertumbuhan yang mantap 20% (2001-2010). Apabila wisnus ini
diperhitungkan, Indonesia berada di peringkat 10 terbesar destinasi pariwisata dunia iiiiv,karena itu
potensi untuk mengembangkan peluang pariwisata domestik perlu mendapat lebih banyak perhatian
dan ditunjang oleh kebijakan.
Dalam hal sumberdaya alami dan budaya untuk pariwsata, Indonesia mempunyai potensi
luar biasa untuk ditawarkan, akan tetapi kekurangan infrastruktur dan sumberdaya manusia yang
mampu mengelola dampak yang berasaldari penduduk setempat dan pengunjung pada banyak
sumberdaya kunci baik alami maupun budaya. Beberapa kelemahan ini pada akhirnya memengaruhi
indekx daya saing pariwisata dan perjalanan dari Forum Ekonomi Dunia (the World Economic
Forum (WEF) Travel and Tourism Competitiveness Index) tahun 2010, yang menilaiIndonesia
sebagai yang terlemah dalam (i) kebijakan dan regulasi, (ii) pariwisata berkelanjutan, (iii)
keselamatan dan keamanan, (iv) kesehatan, and (v) teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam hal infrastruktur, fasilitas yang ada dan yang sudah diperbaiki sebagai hasil dari upaya
pembangunan pada tahun 1990-an yang lalu, tidak mampu mengisi potensi sebenarnya karena
Indonesia mengalami penurunan tajam kedatangan wisatawan pada masa terjadinya kekacauan
politik, penyakit, dan terorisme pada akhir tahun 1990-an dan pada tahuantahun awal abad ke-21.
Setelah penurunan wisatawan yang terjadi pasca tahun 1998, sektor ini selanjutnya terganggu oleh
adanya serangan terorisme, dan perlu waktu sekitar satu dekade untuk kembali ke tingkat pra-krisis,
meskipun, atau mungkin hanya karena, banyak danadan daya ditanamkan dalam sektor ini oleh para
pemangku kepentingan pariwisata.
Bila kinerja pariwisata dulu hanya ditengarai melalui kriteria tersebut di atas, sekarang
dengan Laporan Satelit Pariwisata(Tourism Satellite Account /TSA) mampu melihat secara lebih baik
dampak pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB; Gross Domestic Product /GDP),
lapangan kerja, pajak tak langsung, upah dan gaji. TSA nasional dan juga TSA provinsi telah
mengukur seluruh dampak pengeluaran pariwisata selama dekade terakhir ini, juga memastikan
posisi pariwisata domestik terkait dengan kontribusinya terhadap PDB nasional dan juga penciptaan
lapangan kerja. Banyak studi khusus tentang pariwisata domestik juga menunjukan bahwa
pengeluaran wisatawan dapat mencapai lapisan komunitas terbawah.
Kinerja pariwisata Indonesia, dengan menggunakan indikator yang biasa dipakai, berflutuasi
dari waktu ke waktu. Semula kinerja pariwisata terutama diukur dari jumlah kedatangan wisatawan
mancanegara, dan perjalanan domestik, juga dari jumlah hotel dan sarana lain yang dibangun,
jumlah agen perjalanan, meningkatnya aksesibilitas yang ditunjukkan melalui frekuensi dan kapasitas
penerbangan.
11
Pada tahap awal pembangunan, Indoensia mengalami pertumbuhan dua digit dalam jumlah
kedatangan wisatawan mancanegara. Dan menjadi yang terpesat di wilayah Asia Pasifik. Namun
demikian, sementara Indonesia merupakan negara yang baru mulai belakangan dan dalam konteks
ASEAN, kunjungan wisatawan mancangera menghadapi persaingan ketat dengan tetangga di
ASEAN seperti Malaysia, Tahiland dan Singapura. Perkembangan Vietnam dan Kamboja yang pesat
juga merupakan ancaman tambahan bagi daya saing Indonesia sebagai destinasi ASEAN pada
dekade yang akan datang.
Pada saat yang bersamaan, peningkatan kesejahteraan, dalam arti kemampuan membeli,
akses ke kesehatan dan keinginan masyarakat kelompok menengah Indonesia untuk bepergian yang
tumbuh telah sampai batas tertentu menyelamatkan industri kepariwisataan pada masa masa sulit.
Pariwisata domestik yang dimaksud dan disebut sebagai pariwisata nusantara merupakan sesuatu
yang sedang meningkat. Tanpa menghitung jumlah perjalanan domestik oleh penduduk asing yang
tinggal di Indonesia, jumlah perjalanan melampaui 234 juta pada tahun 2010. Mengingat jumlah
penduduknya, Indonesia berada dalam posisi yang beruntung untuk tidak tergantung hanya kepada
wisatawan mancanegara karena potensi wisatawan nusantara melampaui negara-negara tetangga.
Dalam dekade yang terakhir (2001-2010), pertumbuhannya mantap (20%).v Bilamana perjalanan
domestik ini diperhitungkan, Indonesia termasuk dalam 10 besar dalam destinasi pariwisata dunia, vi
oleh karena itu potensi untuk mengembangkan pariwisata nusantara lebih lanjut perlu untuk
mendapat lebih banyak perhatian dan dukungan politik.
Dalam hal sumberdaya alam dan budaya untuk pariwisata, Indonesia memiliki potensi yang
luar biasa, namun masih kekurangan dalam infrastruktur dan sumberdaya insani untuk mengelola
dampak kegiatan masyarakat dan wisatawan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang utama,
lingkungan alam dan budaya. Kelemahan ini telah memengaruhi penilaian World Economic Forum
(WEF) Travel and Tourism Competitiveness Index 2010 , yang menilai bahwa kelemahan utama
Indonesia adalah dalam (i) kebijakan dan peraturan, (ii) pariwisata berkelanjutan, (iii) keamanan dan
keselamatan, (iv) kesehatan, serta (v) teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam hal prasarana, berbagai fasilitas yang tersedia yang merupakan hasil pembangunan
sebelumnya pada tahun 1990-an, tidak menjadi efektif penuh saat Indonesia mengalami penurunan
kunjungan yang drastis karena krisis politik, wabah penyakit, terorisme dan lainnya pada akhir 1990an dan awal abad ke 21. Setelah penurunan kunjungan internasional pasca 1998, pariwisata
Indonesia mengalami masalah lanjutan yang disebabkan oleh terorisme, dan membutuhkan waktu
hampir satu dekade untuk kembali ke kondisi sebelum krisis, meskipun atau hanya karena banyak
dana dan daya dikerahkan oleh para pemangku kepentingan.
Sementara pada waktu yang lalu kinerja kepriwisataan hanya diindikasikan oleh berbagai
kriteria yang disebut diatas, sekarang Neraca Satelit Pariwisata Nasional memungkinkan kita
memperoleh gambaran yang lebih baik tentang dampak terhadap PDB, lapangan kerja, pajak tak
langsung, upah dan gaji. Neraca Satelit Pariwisata Nasional dan Daerah mengukur dampak
menyeluruh dari pengeluaran wisatawan maupun pemerintah selama dekade ini juga memastikan
posisi pariwisata nusantara dalam berkontribusi terhadap PDB dan lapangan kerja. Banyak studi
12
khusus tentang pariwisata nusantara juga mengindikasikan bahwa pengeluaran mereka akan
mencapai masyarakat kelompok bawah.
1.1.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Ekonomi dari
Pariwisata
Bab ini membahas kasus khusus Indonesia. Berdasarkan metodologi prakirakan kontribusi
langsung ekonomidari Perjalanan dan Pariwisata yang sepenuhnyasesuai dengan Laporan Satelit
Pariwisata yang disetujui Divisi Statistik PBB, 2008: Usulan Kerangka Metodologi (TSA: RMF
2008), “Perjalanan dan Dampak Ekonomi Pariwisata” (2011) yang dilaporkan oleh Badan Perjalanan
dan Pariwisata Dunia (World Travel and Tourism Council), bagian Asia Tenggara, menyediakan
himpunan informasi tentang Indonesia dalam berbagai indikator.
PDB (GDP)
Sumbangan Langsung: Kontribusi langsung dari Perjalanan dan Pariwisata pada PDB
diharapkan menjadi USD86.9 milyar (4.2% dari total PDB) pada tahun 2011, meningkat 6.4%
p.a.ke USD161.7 milyar (4.4%) di tahun 2021 (dalam harga tetap 2011): 6.4%.
Sumbangan Keseluruhan: Kontribusi keseluruhan dari perjalanan dan Pariwisata terhadap
PDB, termasuk dampak ekonomi yang lebih luas, diperkirakan meningkat 6.1% p.a.dari USD223.5
milyar (10.9% PDB) pada tahun 2011 menjadi USD405.9 milyar (11.4%) pada tahun 2021: 6.1%
Devisa dari pengeluaran pariwisata mancanegara dan pengeluaran wisatawan nusantara
Perolehan devisa dari pengeluaran wisatawan mancanegara telah menghasilkan
USD76,1milyar (5.6% dari ekspor keseluruhan pada tahun 2011, tumbuh dengan 8.2% per tahun
(secara nominal) menjadi USD148.8 milyar (5.4%) pada tahun 2021 (6.9%).
Investasi
Pada tahun 1980-an pemerintah mempermudah pembebasan lahan, permohonan kredit dan
juga perizinan yang perlu diterbitkan untuk investasi terkait pariwisata, yang menyebabkan investasi
di sektor pariwisata bertumbuh secara signifikan. Hal ini menunjang pembangunan pariwisata di
beberapa lokasi tertentu di satu pihak, akan tetapi di lain pihak memperlihatkan kegagalan kebijakan
dengan meningkatnya spekulasi lahan sebagai akibat kebijakan tersebut. Investasi juga sangat
terkonsentrasi dalam industri perhotelan dan secara geografis di Jawa (Jakarta) dan Bali, dan
mengakibatkan pembangunan infrastruktur resor pariwista skala besar yang kurang berhasil, seperti
misalnya dekat Menado, Sulawesi Utara.
13
Pola semacam itu masih terlihat hingga hari ini. Sebagian besar investasi asing dalam industri
perhotelaan ditanamkan di Bali, Jakarta dan selebihnya di beberapa kota besar lain. Perlu dicatat
bahwa beberapa provinsi di luar Jawa dan Bali, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan
Riau, telah mengambil kesempatan menjadi tuan rumah beberapa peristiwa olahraga untuk memicu
dukungan pemerintah pusat dan investasi. Sumatera Selatan misalnya telah membangun infrastruktur
olahraga berstandar internasional untuk menyelenggarakan SEA GAMES pada tahun 2011, dan
Pekan Olahraga Nasional (PON) pada tahun 2004. Kalimantan Timur menjadi tuan rumah PON pada
tahun 2008 dan kemudian Riau akan menjadi tuan rumah PON pada tahun 2012. Berbagai bentuk
peristiwa dan olahraga pembangkit pariwisata ini dapat mendorong pembangunan infrastruktur untuk
menarik investasi pariwisata baru dan pasar ke suatu daerah yang sebelumnya merupakan destinasi
pinggiran di Indonesia.
Investasi Perjalanan dan Pariwisata ini diperkirakan mencapai USD 45.4 milyaratau 8.2%
dari investasi keseluruhan pada tahun 2011. Diharapkan investasi ini akan meningkat 7.8% per tahun
mencapai USD 95,0 milyar (or 8.4%) dari investasi total pada tahun 2021.
1.1.3 Lingkungan Usaha
Pada akhir 2010, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat ke-121 di antara 183
negarayang dinilai daya tariknya terhadap kegiatan bisnis. Pada 2010 Indonesia masih berada
diperingkat ke-115. Bahkan dengan perbaikan indikator ‘memulai usaha’, akses terhadap kredit di
Indonesia dinilai sebagai yang terburuk. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia berada
diperingkat di bawah Singapura (1), Thailand (19), Malaysia (21), Vietnam (78), dan Brunei
(112).viiEvaluasi didasarkan pada 9 indikator: memulai usaha, izin mendirikan bangunan,
memperoleh properti, akses terhadap kredit, perlindungan terhadap investor, perpajakan,
perdagangan lintas batas, pelaksanaan kontrak dan penutupan usaha. Evaluasi dilihat dari sudut
pandang investor internasional, yang berlaku bagi investor bisnis besar, menengah atau kecil dari
luar negeri. Dilihat dari sudut pandang berbeda, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa
melakukan bisnis di Indonesia terlalu mudah untuk semua jenis ekonomi informal yang dapat
tumbuh dimana saja dan kapan pun, yang menghasilkan situasi tidak nyaman dan meningkatkan
risiko terkait standar yang rendah, meningkatkan risiko terhadap kesehatan masyarakat, keselamatan
dan keamanan, higenitas, masalah lalu lintas, dan sebagainya pada masyarakat umumnya dan juga
mendatangkan keluhan dari ekonomi formal. Usaha mikro dan usaha kecil juga mengeluhkan biaya
sertifikasi produk, yang tidak terjangkau oleh usaha yang modalnya sangat terbatas.
14
1.2 Lapangan Kerja
1.2.1 Kontribusi Pariwisata terhadap Lapangan Kerja dan
Pekerjaan untuk Angkatan Muda
Dari perspektif global, sebagai industri yang menyumbang 30% jasa ekspor dunia, sektor
pariwisata menyumbang lebih dari 235 juta pekerjaan, yaitu sekitar 8% dari seluruh pekerjaan
(langsung dan tidak langsung) atau satu dari setiap 12,3 pekerjaan pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 sektor perdagangan, hotel dan restoran bersama sama menyerap angkatan
kerja, nomor dua setelah pertanian. Dalam Nesparnas (Neraca Satelit Pariwisata Nasional) yang
disiapkan secara tahunan sejak tahun 2000 oleh Biro Pusat Statistik (BPS), disebutkan bahwa
pariwisata memberi sumbangan terhadap penciptaaan lapangan kerja secara signifikan, akan tetapi
berfluktuasi. Pada tahun 2001 kontribusinya mencapai 8,57% dan pada tahun 2004 mencapai 9,06%.
Tahun 2006 merupakan tahun terburuk, sumbangan sektor pariwisata hanya 4,65%, kemudian
membaik kembali menjadi 6,84% pada tahun 2008, dan 6,87% pada tahun 2010. Angka angka
tersebut termasuk mereka yang secara langsung dan tak langsung bekerja dalam sektor pariwisata.
Data ini mengungkapkan bahwa dalam perioda 2000-2008 kontribusi sektor pariwisata terhadap
pekerjaan menurun sebagaimana tampak pada Lampiran Tabel 1.4
Pada waktu yang bersamaan terdapat indikasi bahwa lapangan kerja yang diciptakan tidak
mengutamakan keinginan pekerja, khususnya pada lapisan terbawah. Upah yang rendah, jam kerja
yang panjang-termasuk bekerja selama masa liburan, lapangan kerja yang tidak stabil dan pekerja
lepas, dan pendapatan yang kurang layak merupakan beberapa isu yang menarik perhatian para
pembuat kebijakan. Pariwisata adalah industri padat karya yang memerlukan rentang keterampilan
profesional yang lebar. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak
terlatih, yang dapat dianggap sebagai suatu hal yang positif dilihat dari sudut pengadaaan kesempatan
kerja jangka pendek, tetapi akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan industri dalam jangka
panjang dan inisiatif kebijakan terhadap pekerjaan yang layak. Pekerja lapisan terbawah mungkin
akan memengaruhi kualitas produk dan jasa yang harus ditingkatkan dari waktu ke waktu untuk
mencapai keberlanjutan dan agar berdaya saing. Karena itu, keterkaitan antara lembaga pendidikan
dan pelatihan pariwisata dari sektor publik maupun swasta dan industri pariwisata perlu difasilitasi
secara efektif. Identifikasi dan pengembangan standar kompetensi khusus seharusnya dipromosikan
dan dilaksanakan.
Tidak hanya karena sifat pekerjaannya, akan tetapi karena sifat musimannya dan permintaan
akan tenaga kerja yang tinggi selama masa liburan, pariwisata secara tradisional telah menjadi sektor
yang menarik tenaga kerja usia muda. Selama masa liburan – musim puncak – mungkin tersedia
pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa dan memberikan pengalaman sertauntuk menghabiskan
waktu produktif pada angkatan muda. Karena 38,6% dari perjalanan domestik dilakukan oleh
15
kelompok usia muda (< 24 tahun), angkatan muda juga memberikan kontribusi secara signifikan
terhadap industri kepariwisataan sebagai konsumen.
Kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak dan pendatang mungkin berada dalam
kondisi kerja yang tidak menguntungkan, ilegal, atau tidak etis. Perempuan dan pekerja muda
mendominasi tenaga kerja dalam sektor pariwisata, tetapi perlu ditekankan bahwa ada kesempatan,
tantangan dan resiko terkait dengan situasi ini pada saat yang sama.
Sektor ini relatif mudah menawarkan akses terhadap dunia kerja akan tetapi karena isu
jender, pengalaman kerja yang rendah, lemahnya keberadaan serikat kerja, pekerjaan/kontrak yang
tidak terjamin, sektor ini juga terbuka terhadap kondisi kerja yang buruk dan berbahaya
maupunkurangnya perspektif karir dan penerimaan terhadaptak terenuhinya hal hal terkait hak azasi
mereka seperti upah yang adil untuk pekerjaan yang setara, perlindungan terhadap kehamilan,
jaminan sosial dan cuti. Terlebih pula isu seperti itu akan menghasilkan tingkat pergantian yang
tinggi dan dampak negatif terhadap kualitas jasa. Aneka tantangan ini harus diangkat dan
diselesaikan oleh semua pemangku kepentingan di sektor ini. Etika perlakuan kerja terhadap pekerja
perempuan dan pekerja muda seharusnya dikembangkan sejalan dengan hukum nasional dan
internasional untuk menjaga dan menjamin terpenuhinya hak-hak mereka.
1.2.2 Keadilan Sosial
Kondisi keadilan sosial dalam hal ini dilihat dari perbedaan antara pekerja di daerah
perkotaan dan perdesaan, lelaki – perempuan dan juga antara pekerja tetap dan pekerja lepas. Survai
tentang Situasi Buruh oleh BPS (2010) mencatat perdagangan dan pariwisata ke dalam satukelompok
bersama dan memperlihatkan statistik sebagai berikut:

Prosentasi dari mereka yang bekerja dalam perdagangan dan pariwisata dengan pendapatan
kurang dari Rp 1 juta, cukup besar. 52,86% di daerah perkotaan dan bahkan di daerah
perdesaan angkanya lebih signifikan yaitu 76,23% berupah kurang dari Rp 1 juta per bulan.
Pekerja dengan upah di bawah Rp 600.000 mencapai 21,59% di daerah perkotaan, dan
44,33% di daerah perdesaan.

Pekerja perempuan dengan upah atau gaji kurang dari Rp 1 juta berjumlah lebih dari 65%
dan lebih dari 52% untuk pekerja lelaki
Kesenjangan upah atau gaji di daerah perkotaan dan perdesaan dan antara pekerja lepas dan
tetap cukup signifikan.

Mengenai kontribusi sektor pariwisata terhadap upah dan gaji nasional antara tahun 2000 dan
2010, terlihat ada penurunan yang signifikan lebih dari setengahnya dalam hitungan prosentase.
Sebagai catatan upah dan gaji ratarata per orang dalam sektor pariwisata yang lebih tinggi sekitar
20% dari rata-rata nasional pada tahun 2000, telah menurun sampai sekitar 30% kurang dari ratarata
16
nasional pada tahun 2010. Kenyataan bahwa lebih banyak pekerjaan pada tingkat upah yang lebih
rendah perlu diteliti secara intensif.
Pemerintah perlu memberlakukan standar upah minimum untuk lelaki dan perempuan,
khususnya bila pasokan buruh melebihi kapasitas penyerapannya, karena posisi tawar pekerja sangat
lemah. Sistem kontrak untuk pekerja lepas dan paruh waktu merupakan hal yang lazim dalam sektor
pariwisata sebagai akibat sifat industri yang musiman.
1.3 Beberapa Isu Mutakhir
1.3.1 Pendidikan Pariwisata dan Pengembangan Sumberdaya
Insani
Hakikatnya Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia bertanggungjawab atas semua
institusi pendidikan, termasuk sekolah pariwisata, baik sekolah kejuruan maupun sekolah lanjutan.
Walau demikian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengelola 4 lembaga pendidikan
kepariwisataan: Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Sekolah Tinggi Pariwisata Bali, Sekolah Tinggi
Pariwisata Makassar dan Sekolah Tinggi Pariwisata Medan.viii
Jumlah lembaga pendidikan yang mempunyai program pariwisata merupakan petunjuk
adanya kecenderungan positif semakin banyaknya universitas, negeri maupun swasta, meningkat
minatnya untuk menyelenggarakan program pariwisata dan hospitality. Kini, selain empat lembaga
pendidikan tersebut di atas, terdapat 17 universitas negeri dan swasta yang menyeleggarakan
program pariwisata, termasuk program pasca sarjana. Meskipun begitu, diperlukan pemantauan
untuk menilai kualitasnya dan apakah lembaga lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan ini
menyediakan akses, peluang, dan nilai yang adil dalam penerimaan siswa perempuan dan lelaki. 75%
penyelenggara pendidikan tinggi dalam pariwisata dan hospitality berlokasi di Jawa dan Bali,
khususnya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan secara terbatas terdapat di Surabaya dan
Semarang, sedangkan pendidikan menengah terkait hospitality lebih tersebar di seluruh negeri.ix
Di seluruh dunia, patokan (voluntary benchmarking) yang bersifat sukarela dan sistem
sertifikasi atas penyelenggara pendidikan kepariwisataan dan hospitality telah tumbuh pada dekade
yang lalu dan sedang menjadi satu komponen yang semakin penting dalam standar pendidikan
kepariwisataan dan daya saing internasional. Walau begitu, lembaga pendidikan kepariwisataan
Indonesia yang terakreditasi sesuai standar yang mengacu pada lembaga serupa di wilayah Asia
Pasifik, seperti badan independen akreditisasi internasional yang mengkhususkan diri dalam
pariwisata, hospitality, seni kuliner dan pendidikan penyelenggara acara/peristiwa (event organizers),
seperti the International Centre for Excellence in Tourism and Hospitality Education x nor the
UNWTO TedQual Accreditation Systemxi masih sangat terbatas. Mereka praktis/pelaku terbaik
17
internasional yang dapat memandu dan memberi tahu tentang sistem kualitas internal Indonesia
untuk pendidikan dan pelatihan pariwisata dan hospitality.
Ketika perdagangan, jasa dan tenaga kerja diharapkan mengalir bebas pada tahun 2015
dengan pembentukan komunitas ASEAN, maka sektor pariwisata juga akan terimbas. Indonesia telah
menerapkan kurikulum pendidikan pariwisata berbasis pada Standar Kompetensi Umum ASEAN
untuk Profesional Pariwisata (ASEAN Common Competency Standards for Tourism Professionals
(ACCSTP), yang akan mendukung mobilitas jabatan pekerja pada tahun 2015. Dengan target
meningkatkan kedatangan wisatawan mancanegara dari 7 juta orang pada tahun 2010 menjadi
menjadi 10 juta pada tahun 2014, ditambah antisipasi pertumbuhan pasar pariwisata nusantara, maka
akan ada kenaikan permintaan akan peringkat keterampilan tenaga kerja sektor pariwisata lokal.
Demikian juga akan ada tekanan tambahan terhadap sumberdaya yang ada untuk mengurangi
“kebocoran sumberdaya manusia” atau “hijrah keahlian (brain drain)” ke destinasi ASEAN lain dan
untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas tenaga pendidik dan kelembagaan pariwisata.xii
Saat lembaga pendidikan menghasilkan lebih banyak lulusan dalam berbagai bidang terkait
kepariwisataan, terutama hospitality, mereka mempunyai kesempatan untuk memasukkan
pembangunan berkelanjutan ke dalam kurikulumnya. Untuk itu akan diperlukan pelatihan
pengembangan profesi dalam rancangan kurikulum pariwisata berkelanjutan dan implementasinya
untuk staf pengajar lembaga pendidikan menengah dan tinggi dan juga tenaga pengajar masa depan
di sektor ini. Juga akan diperlukan pelatihan untuk pejabat pemerintah dan kalangan industri daripada
tingkat nasional, provinsi dan lokal.
Agar dapat menarik dan mempertahankan pekerja yang berkualitas dan agar investasi dalam
pelatihan memberi hasil, strategi sumberdaya manusia yang komprehensif merupakan hal yang
penting untuk sektor pariwisata yang menghadapi tingkat pergantian staf yang tinggi. Pemagangan
dan program pelatihan kerja berorientasi karir kurang berkembang dan perlu inisiatif dari sektor
swasta.xiii
1.3.2 Pariwisata dan Pembangunan Perdesaan
Salah satu isu utama pembangunan Indonesia adalah tingkat kecepatan urbanisasi, sebagai
akibat dari semakin lebarnya kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Kebijakan
pembangunan yang lalu telah menghasilkan kondisi pembangunan sekarang yang bias ke perkotaan.
Sekarang ini, telah banyak upaya dijalankan untuk mengurangi kesenjangan, akan tetapi ketidakseimbangan antara Jawa dan pulau-pulau di luarnya, barat dan timur, di samping kesenjangan
perkotaan-perdesaan tetap merupakan tantangan untuk para pembuat kebijakan dan perencana.
Kebanyakan infrastruktur kepariwisataan terkonsentrasi di kotakota besar dan pusat
pariwisata utama, khususnya hotel dan restoran berkelas. Juga ada kecenderungan mengembangkan
kawasan sub-urban sekitar metropolitan untuk pariwisatadan rekreasi termasuk hotel, taman bertema
18
(thematic parks) sebagai bagian dari area perbelanjaan. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena
distribusi penduduk, melainkan juga oleh faktor sosio-ekonomi lain, gaya hidup dan kekuatan
budaya. Penduduk perkotaan mempunyai lebih banyak pendapatan untuk dibelanjakan dan gaya
hidup untuk melakukan lebih banyak perjalanan daripada penduduk perdesaan, sehingga telah
menciptakan pasar domestik yang lebih kuat. Peningkatan perjalanan perkotaan – perdesaan dapat
menyeimbangkan perjalanan antar kota yang saat ini menonjol , yang juga mendukung
pengembangan destinasi perdesaan.
Daerah perdesaan yang berkontribusi dalam produksi makanan dan sektor primer lainnya,
selain kurang berkembang, juga rentan terhadap degradasi lingkungan dan masalah sosial. Kebakaran
hutan dan pembalakan kayu tidak hanya terjadi di sejumlah pulau besar di luar Jawa tetapi juga di P.
Jawa. Kompetisi sumberdaya dan perubahan tata guna lahan berlangsung secara dramatis: lahan
pertanian, daerah tangkapan air, tepian sungai, daerah pesisir berubah menjadi permukiman, atau
kawasan industri termasuk pariwisata. Infrastruktur yang telah dibangun pada masa lalu untuk
mendukung pertanian mengalami degradasi padahal penting untuk produksi pangan nasional.
Pariwisata perdesaan seringkali dibangun salah arah dengan mengubah lansekap perdesaan menjadi
lansekap perkotaan, padahal bilamana dipahami secara tepat, pariwisata ‘niche’ dalam bentuk
ekowisata, pariwisata berbasis pertanian, pariwisata petualangan dan bentuk pariwisata minat khusus
lainnya dapat memberikan alternatif penghidupan bagi komunitas perdesaan dengan menciptakan
pekerjaan non-pertanian dan nilai tambah tanpa menghapuskan fungsi pertaniannya.
Di pihak lain meningkatnya permintaan terhadap barang dan jasa karena pariwisata
mengakibatkan biaya hidup setempat meningkat secara signifikan, meningkatkan harga lahan,
rumah, barang kebutuhan pokok dan jasa, menarik tenaga kerja dari sektor pertanian sehingga
menghabiskan tenaga kerja untuk sektor tradisional lainnya. Efek kumulatifnya berakibat pada
berkurangnya secara relatif daya beli. Perlu dilakukan perencanaan kebijakan publik secara hati-hati
agar diperoleh manfaat, dan untuk mengelola dampak negatif pariwisata sebagai suatu strategi
pembangunan perdesaan.
1.3.3 Ekonomi Informal
Sektor informal telah dianggap sebagai suatu jaring pengaman sosial untuk pasar tenaga
kerja nasional. Juga dalam pariwisata, ekonomi bayangan ini memainkan peran yang signifikan, di
beberapa tempat bahkan mendominasi industri pariwisata. Pariwisata, melalui potensinya untuk
aktivitas usaha mikro merupakan alat untuk mengurangi kemiskinan dengan menawarkan usaha yang
luwes dan peluang lapangan kerja berupah rendah. Sektor informal menawarkan banyak dan
bermacam barang dan jasa untuk wisatawan, secara langsung dan tak langsung. Destinasi merupakan
pusat/simpul (hub) untuk pedagang, pemasok informal, yang menawarkan usahanya dalam berbagai
kesempatan, secara musiman atau permanen. Keuntungan dari usaha kecil informal adalah
19
fleksibilitasnya dalam menutup dan membuka usahanya di mana saja dan kapan saja. Selama masa
liburan (liburan sekolah, Idul Fitri dan liburan lainnya) usaha baru atau usaha musiman bermunculan.
Beberapa di antaranya mungkin menjadi usaha yang permanen sifatnya. Informal atau
formal, semua pengusaha pastilah memerlukan pemberdayaan supaya lebih memahami seluk beluk
kegiatan usaha, termasuk pembangunan usaha pariwisata berkelanjutan. Rencana komprehensif
pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat menunjang pembangunan kapasitas seperti itu,
termasuk juga untuk sektor informal. Pembangunan kapasitas yang sesuai untuk komunitas lokal,
perempuan dan laki-laki, tentang kewirausahaan di sekitar kawasan pariwisata perlu dilaksanakan
sebagai alat untuk mempercepat peluang ekonomi aktivitas pariwisata. Pemerintah juga mempunyai
kepentingan untuk menggerakkan usaha mikro dan kecil dari informal menjadi ekonomi formal.
Sungguhpun peluang usaha dan lapangan kerja dapat meningkat, tetapi juga perlu
diperhatikan kelemahannya. Karena status usahanya tidak terdaftar, pemerintah kehilangan pajak
pendapatan, standar dan pemenuhan berbagai isu seperti misalnya keselamatan di tempat kerja,
eksploitasi tenaga kerja, kesehatan masyarakat, kualitas produk, pengamatan perjanjian hak cipta
internasional tidak dapat dipantau atau dikendalikan. Bila pembangunan pariwisata berkelanjutan
tidak dapat menghapus usaha informal ini, maka perlu dicari jalan keluar dan mendidik sektor
informal dalam pariwisata melalui peningkatan kesadaran dan pembangunan kapasitas dengan tujuan
jangka panjang mengintegrasikannya ke dalam sektor formal.
Singkatnya, isu mengenai sektor pariwisata mempunyai dua sisi: (1) belum ditera secara
resmi dan karena itu kurang /tidak cukup mendapat dukungan, dan (2) meremehkan potensi justru
memandangnya lebihsebagai persoalan ketimbang sebagai potensi.
1.3.4 Administrasi
Tantangan birokrasi yang ekstensif lintastingkat pemerintahan yang berbeda menimbulkan
persoalan kerjasama antarorganisasi serta efisiensi, dan bagaimana membagi tanggungjawab secara
jelas dan dalam implementasi kegiatannya. Untuk negara sebesar Indonesia dengan keberagamannya,
berbagai lembaga sub-nasional memainkan peran yang penting dalam pelaksanaan kebijakan secara
efektif. Bukan hanya luasan geografisnya yang jadi masalah, melainkan juga konteks khusus regional
dan lokal memerlukan perhatian. Karakteristik wilayah berbeda-beda, tidak hanya secara alami tetapi
juga sosio-ekonomi dan budaya, dengan berbagai norma dan nilaiyang harus diakomodasi.
Kementeran Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memegang posisi sentral dalam pengembangan
kebijakan pembangunan kepariwisataan pada tingkat nasional, pariwisata juga dipengaruhi oleh
berbagai unit fungsional pemerintah lainnya, kementerian, dan berbagai lembaga lain. Kementerian
Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup menangani
berbagai isu kebijakan dan pengelolaan pariwisata dalam wilayah tanggungjawabnya masing-masing.
20
Pemerintah telah membentuk beberapa unit khusus untuk mengurus pariwisata seperti BTDC (Bali
Tourism Development Cooperation)di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan
Direktorat Pariwisata Alam di Kementerian Kehutanan. Hal ini tidak hanya menyulitkan kohesivitas
peran pemerintah secara menyeluruh,bahkan juga dapat mengarah kepada pertentangan kepentingan
antara para pemangku kepentingan yang berbeda. Konsekuensinya dapat berbentuk kesenjangan,
tumpang-tindih atau bahkan perbedaan arah kegiatan oleh berbagai lembaga yang berbeda. Di
bawah ini dicoba memetakan peraturan dan regulasi yang ada dikelompokkan sedemikian rupa
supaya diperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang siapa yang berbuat apa.
A. Dalam kebijakan, peraturan dan regulasi mengenai penataan ruang, pariwisata diperlakukan
sebagai aktivitas pengguna lahan yang harus diintegrasikan ke dalam rencana tataruang baik
di daerah perkotaan maupun di perdesaan. Terdapat beberapa dokumen hukum terkait dengan
kebijakan tata ruang, seperti misalnya Rencana Tata Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang
Provinsi dan Kabupaten. Rencana yang sudah disahkan menjadi Undang-undang di tingkat
Nasional (Undang-undang no 26 tahun 2007) dan regulasi di tingkat provinsi/kabupaten
(Peraturan Daerah/Perda. Banyak Kementerian yang berbeda mempunyai kewenangan
terhadap bagian tertentu dari “ruang nasional”, tempat kegiatan pariwisata mungkin
diselenggarakan. Kementerian Kehutanan memegang kewenangan terhadap Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa dan Cagar Alam, semuanya berada dalam status
kawasan lindung. Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai kewenangan di laut dan
samudra, tempat pariwisata berbasis kelautan berada, termasuk berbagai tempat untuk
olahraga menyelam, memancing atau olahraga air lainnya. Aktivitas pariwisata ini mungkin
konflik dengan banyak aktivitas lainnya, seperti misalnya transportasi dan usaha perikanan
komersial. Masih ada bentuk lain “kewenangan” melalui aktivitas sektoral, seperti misalnya
otoritas dari Kementerian Pertanian terhadap pengembangan produktivitas pertanian, untuk
pasokan makanan dan juga untuk komoditi ekspor. Agrowisata berada di daerah atau ruang
pertanian, atau mengambil sebagian ruang yang dialokasikan untuk pertanian. Kementerian
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mungkin juga mempunyai kebijakan di
beberapa provinsi tertentu, yang mempunyai potensi pariwisata, seperti kasus Nusa Tenggara
Timur yang dikenal dunia melalui Komodo-nya.
B. Sejumlah kebijakan terkait dengan industri pariwisata mungkindikeluarkan oleh
kementerian yang berbeda. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang
berwewenang atas industri transportasi milik pemerintah (kapal udara, kapal laut, kereta api),
dan akomodasi. BTDC (Bali Tourism Development Corporation) juga ditempatkan di bawah
kementerian ini. Kementerian lain yang secara langsung dan tidak langsung terkait dengan
pembangunan industri terkait pariwisata adalah: Kementerian Industri, Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nasional (dan Daerah).dan Kementerian Perdagangan bisa juga
mempunyai pengaruh terhadap pariwisata terkait dengan perdagangan.
C. Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan: paling sedikit terdapat tiga kementerian yang
terlibat dalam pembangunan sumberdaya insani: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Pendidikan Tinggi Pariwisata di
21
Bandung, Bali, Medan dan Makassar. Lembaga pendidikan ini dulunya merupakan Pusat
Pelatihan (in house training) yang kemudian dikembangkan dan menerima jumlah
mahasiswa untuk berbagai program, melayani kebutuhan industri dan juga sektor publik.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai kewenangan mengawasi dan
mengendalikan pelatihan pengembangan tenaga kerja, termasuk dalam bidang pariwisata.
D. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah
kementerian yang mengkoordinasikan kesetaraan jender, akan memainkan peran penting
dalam penyediaan bantuan teknis dalam memajukan kesetaraan jender dalam pendidikan dan
pelatihan.
E. Dampak Pariwisata – pariwisata bisa menimbulkan dampak lingkungan yang diatur melalui
Undang-undang No. 32 – 2009 tentang Perlindungan terhadap Lingkungan. Kementerian
Lingkungan bertugas membuat kebijakan mengenai keberlanjutan lingkungan. Penjabaran
undang-undang menjadi peraturan – antara lain peraturan pemerintah mengenai analisis
dampak lingkungan, yang menjadi persyaratan untuk proyek/konstruksi/aktivitas skala besar
–karenakemungkinannya akan berdampak penting dalam arti jumlah orang yang akan
terkena.
F. Koordinasi Pariwisata – Pariwisata dan Industri Kreatif diharapkan menjadi pembangkit
ekonomi utama yang menyebabkan pariwisata berada dibawah Koordinasi Menko
Perekonomian dan juga diharapkan memainkan peran penting dalam memperbaiki
kesejahteraan komunitas dengan kemungkinan adanya dampak sosial yang tidak diinginkan,
yang dikoordinasikan melalui Menko Kesejahteraan Rakyat.
Dengan kebijakan desentralisasi, didukung oleh Undang-Undang Otonomi Daerah, peran
pemerintah pusat telah bergeser menjadi lebih sebagai pengarah melalui kerangka kebijakan,
koordinasi dan pengendalian selain pemberdayaan. Karena itu peran administrasi sub-nasional akan
menjadi lebih penting. Situasi telah menciptakan suatu kondisi yang memerlukan koordinasi dan
pemahaman tingkat tinggi. Kesenjangan dan tumpang tindih terjadi karena dalam kenyataannya
kepemimpinan yang kuat koordinasinya dan komitmennya masih langka.
Koordinasi telah menjadi isu, ketika pemerintah setempat, meskipun tidak “punya bekal”
untuk memimpin pembangunan pariwisata, tetapi menggunakan haknya untuk mengelola
teritori mereka sendiri. Persepektif yang berbeda dengan pemerintah provinsi dan bahkan
pemerintah nasional mungkin terjadi dan pengendalian pembangunan masih tetap
merupakan isu yang perlu mendapat perhatian penuh.
Pada tingkat provinsi, tanggung-jawab koordinasi pariwisata antar Kabupaten/Kota masih
lemah dan telah memburuk sejak era otonomi daerah diberlakukan. Tanggung-jawab beralih ke
pemerintah daerah, akan tetapi mereka seringkali tidak siap menjalankan perannya dan tetap masih
22
mengharapkan pengarahan dari pemerintah pusat. Pada umumnya, dapat ditunjukkan bahwa
kelemahan utama administrasi kepariwisataan di Indonesia terletak pada kurangnya
koordinasi/sinergi dalam dan antar tingkat pemerintahan dan ketersediaan sumberdaya agar
tanggung-jawab di antara mitra berjalan secara efisien dan efektif.
Administrasi pemerintahan provinsi terbiasa mengikuti organisasi nasional, tetapi terdapat
banyak variasi. Pariwisata merupakan pilihan dalam birokrasi/administrsi sub-nasional dan sangat
bergantung pada tingkat kepentingannya dalam ekonomi regional. Di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota terdapat Dinas Pariwisata yang bertanggungjawab atas administrasi pariwisata.
Beberapa dari DINAS ini telah mengelola kontribusi pariwisata secara signifikan terhadap
pendapatan provinsi dan daerah setempat dan menjadi Dinas Pariwisata. Tetapi ada juga beberapa
kasus yang menempatkan pengelolaan pariwisata dalam satu portofolio dengan bagian lain, seperti
misalnya Kantor /DINAS Pariwisata, Seni, Budaya, Pemuda dan Olahraga.
1.3.5 Kerangka Hukum
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengembangkan pariwisata Indonesia dan
industri kreatif berbasis pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal, yang melampaui batas wilayah
dan negara. Banyak diantara prinsip dan nilai yangdapat dijumpai dalam Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik,dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,Sosial dan
Budaya serta Deklarasi Dunia tentang Hak Azasi Manusia. Dalam Deklarasi Dunia tentang Hak
Azasi Manusia, pasal 23 mengenai lapangan kerja, Pasal 24 mengatur istirahat, bersantai dan liburan
(rest, leisure and holidays)1. Yang penting juga adalah Konvensi ILO No. 172 tentang Kondisi Kerja
(Hotel dan Restoran) yang menetapkan bahwa semua pemangku kepentingan hendaknya
bekerjasama untuk memperbaiki regulasi tentang lapangan kerja dan kondisi kerja dalam industri
pariwisata, sejalan dengan agenda Lapangan Kerja dan Pekerjaan yang Layak. Para pemangku
kepentingan hendaknya menjamin keselamatan, kesetaraan, dan martabat manusia serta juga tingkat
pemberian upah yang cukup dalam lapangan kerja pariwisata.
1
Pasal 23:(1) Setiap orang mempunyai hak atas pekerjaan, memilih lapangan kerja secara bebas, kondisi kerja yang
adil dan baik dan dilindungi terhadap pengangguran. (2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, mempunyai hak atas upah,
hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. (3) Setiap orang yang bekerja mempunyai hak mendapat upah
yang adil dan baik yang menjamin keberadaan dirinya dan keluarganya sesuai dengan martabat manusia, dan
mendapat tambahan jika diperlukan, dengan berbagai alat perlindungan sosial. (4)Setiap orang berhak untuk
membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Pasal 24: Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat cuti dan bersantai, termasuk pembatasan jam kerja yang
pantas dan liburan berkala yang dibayar.
23
Mengenai realisasi dalam sistem hukum Indonesia, penggantian UU No. 9, 1990 dengan UU
No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dapat dipandang sebagai suatu kemajuan yang signifikan.
Terlihat banyak perubahan fokus dari semata-mata mengenai pengelolaan industri dan usaha
pariwisata, ke undang-undang yang lebih komprehensif yang mencakup berbagai pasal terkait
dengan etika, pembangunan berkelanjutan, kebutuhan akan adanya tingkat perencanaan yang berbeda
dan juga lingkup pembangunan pariwisata yang mencakup destinasi, industri, pasar dan
pembangunan kelembagaan.
Sejalan dengan banyaknya kementerian yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan
kepariwisataan, terdapat juga banyak undang-undang dan regulasi yang ‘membingkai’ pembangunan
kepariwisataan Indonesia dari berbagai sudut yang berbeda; sistem perencanaan, perencanaan dan
pengelolaan tata ruang, tenaga kerja/lapangan kerja, aspek lingkungan dan sosial dan juga mitigasi
bencana (lihat Lampiran 9 tentang daftar undang-undang dan peraturan terkait dengan
kepariwisataan)
Dokumen kebijakan inti tentang kepariwisataan Indonesia adalah UU Republik Indonesia No
10 tahun 2009, tertanggal 16 Januari, 2009. Tanpa menggunakan istilah spesifik secara eksplisit,
lembar perundang-undangan ini merangkul konsep yang sudah diterima dunia tentang pembangunan
pariwisata berkelanjutan dan Kode Etik Global yang diterbitkan oleh UNWTO. Secara khusus yang
terkait dengan potensi Karya Ramah Lingkungan dalam sektor pariwisata dan proses Organisasi
Pengelolaan Destinasi dari Kementerian Pariwisata, UU ini menyebutkan referensi khusus tentang
•
Zona Strategis Pariwisata (yang lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan tentang Ekowisata
No 36/2010 dan Peraturan Menteri tentang Aktivitas Ekowisata yang diterbitkan oleh
Kementerian Kehutanan No P48/Menhut-II/2010).
•
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Provinsi dan Kabupaten/ Kota (tercermin dalam
proses dan penataan oleh DMO). Pembangunan Ekowisata diatur oleh Kementerian Dalam
Negeri No 33/2010).
•
Kompetensi – keterampilan, profesionalisme kerja (pengembangan kompetensi dan standar
industri juga diatur melalui peraturan tentang lembaga sertifikasi pariwisata yang diterbitkan
oleh Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 135/ 2004)
•
Sertifikasi – untuk meningkatkan “kualitas produk pariwisata, jasa dan pengelolaan”.
•
Pertumbuhan Ekonomi, kesejahteraan masyarakat, penghapusan kemiskinan, pengangguran,
pelestarian lingkungan, pembinaan budaya, citra nasional, cinta/harga diri/kesatuan untuk
bumi pertiwi.
•
Pelatihan Sumberdaya Insani, Standarisasi, Sertifikasi dan Tenaga Kerja (Bab 26).
Khususnya, untuk menunjukkan bahwa masing-masing majikan dalam sektor terkait
kepariwisataan bertanggungjawab melestarikan dan menghargai agama, budaya dan nilai
setempat; menyediakan informasi yang akurat dan bertanggungjawab, pelayanan yang tidak
24
diskriminatif, menciptakan
kenyamanan, keramahan, dan aman bagi wisatawan;
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro lokal dan koperasi yang berbasis kepada
prinsip saling menguntungkan; memprioritaskan produk lokal dan peluang pekerjaan bagi
penduduk lokal; secara aktif terlibat dalam pelatihan dan pendidikan keterampilan;
pemberdayaan komunitas; menjaga lingkungan -alam dan budaya tetap bersih, hijau dan
aman; dan memberlakukan standar usaha dan kompetensi berdasarkan peraturan. Peraturan
Menteri Dalam Negeri no.17/2007 menjelaskan secara rinci pelatihan dan pemberdayaan
komunitas perdesaan.
Dokumen hukum lain yang juga penting diperhatikan sebagai indikator kemauan politik
untuk membangun pariwisata yang menguat, adalah Instruksi Presiden No 16, 2005 yang menjadi
alat untuk ‘menggerakkan’ semua kementerian yang terlibat, dan juga lembaga lainnya serta para
gubernur agar menunjang pembangunan kepariwisataan. Instruksi tersebut menekankan pada
perbaikan jasa dan fasilitasi pariwisata nusantara maupun internasional; mengambil langkah nyata
mengoptimalkan budaya dan pembangunan kepariwisataan nasional untuk kesejahteraan masyarakat,
membuka lapangan kerja, menghapuskan kemiskinan, dan memeratakan pembangunan, secara pro
aktif melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan sumberdaya alam dan juga budaya untuk
pembangunan pariwisata dan budaya, dan dengan menggunakan tema: “Indonesia ultimate in
diversity” untuk promosi internasional dan “Kenali negerimu, cintai negerimu, jelajahilah
Nusantara” untuk pariwisata nusantaraxiv. Sayangnya, instruksi tersebut belum menyebut siapa yang
akan melakukan koordinasi, dan sejauh ini efektivitasnya belum pernah dipantau.
Pada tingkat provinsi, Jawa Timur mempunyai program pariwisata terpadu (Peraturan
Gubernur No 52/2010 tentang Rencana Aksi 2011) Disebutkan bahwa pariwisata hendaknya
mengarusutamakan strategi pro-orang miskin dan strategi pro lingkungan. Sebagai bagian dari
Rencana Aksi revitalisasi hasil panen dan program ketahanan pangan, pariwisata perdesaan
seharusnya menunjangjaminan atas pangan dan menghemat energsi . Walau demikian, berkenaan
dengan akses bagi pariwisata, belum ada keterpaduan fokus. Transportasi, informasi dan kebijakan
kepariwisataan belum tertata dengan baik, terutama pada tingkat kabupaten dan antar kabupaten dan
tingkat pemerintahan lain. Misalnya, Jawa Timur mempunyai Peraturan Daerah No 38/2000 dari
Dinas Mineral dan Energi yang menguraikan tugas pokok dan fungsi dalam bidang energsi dan
perlistrikan. Disebutkan bahwa bagian ini bertanggung-jawab atas energsi alternatif, tetapi tidak
ditunjukkan pentingnya energsi alternatif dikaitkan dengan unit (Dinas)lain seperti pariwisata dan
transportasi, dan bagaimana koordinasi kebijakan dan tindakan akan diwujudkan.
Sebagai contoh kurangnya keterpaduan perencanaan antara tingkat nasional dan provinsi, ada
di Sumatera Utara. Pemerintah nasional melalui RPJM menargetkan 40% dari lahan di Sumatera
Utara harus dijaga sebagai kawasan hutan. Pada tahun 2005, Kementerian Kehutanan menerbitkan
Peraturan Menteri No SK 44/Menhut-II/2005 yang memutuskan untuk mengubah kurang lebih
3.742.120 ha di Sumatera Utara. Peraturan ini mencakup komunitas di daerah dekat Danau Toba,
yang menyatakan tidak pernah dikonsultasi terlebih dahulu. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana tanah adat komunitas dapat dikonversi menjadi hutan nasional, dan bagaimana
aktivitas komunitas di atas lahannya sendiri menjadi sesuai dengan hukum/legal. Peraturan Menteri
25
Dalam Negeri No. 33/2009 memberikan kerangka koordinasi kepariwisataan inter- dan antar
kabupaten yang lebih baik, akan tetapi setiap kabupaten mungkin mempunyai situasi sendiri yang
berbeda dan mungkin tidak menempatkan pariwisata sebagai sektor yang diprioritaskan. Karena itu,
sebuah percontohan di beberapa kabupaten terpilih dekat dengan lokasi program DMO dari
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merupakan pendekatan yang tepat untuk mendorong
koordinasi yang lebih baik dalam pembangunan kepariwisataan.
Pada tingkat wilayah yang lebih luas (super-regional), Indonesia telah sepakat terhadap
sejumlah kebijakan sektor kepariwisataan melalui lembaga regional seperti misalnya ASEAN,
APEC, Daerah Pertumbuhan Asia Timur (BIMP-EAGA) dan Segitiga Pertumbuhan Indonesia –
Malaysia – Thailand (IMT-GT). Kesepakatan seperti itumenggambarkan kepentingan keberlanjutan
bersama dalam instrumen kebijakan yang menjadi panduannya.Terdapat beberapa satuan tugas
seperti misalnya Tim Komunikasi Pariwisata ASEAN, Satuan Tugas Investasi Pariwisata ASEAN,
Satuan Tugas Tenaga Kerja Pariwisata ASEAN yang bekerja untuk menyiapkan berbagai kebijakan
ini, yang juga mangkus (relevant) untuk penyusunan kebijakan pariwisata nasional.
Penting untuk diketahui bahwa kebanyakan peraturan dalam kepariwisataan dan ekowisata
relatif baru, dan pengembangan standar serta panduan,masih sedang digarap atau belum
dikembangkan sama sekali.
1.3.6 Lingkungan
Lingkungan alami Indonesia merupakan inti dari keseluruhan daya tarik pariwisata.
Meskipun demikian, dari sudut pandang lingkungan, kondisinya jauh dari ideal. Eksploitasi
eksosistem indonesia yang kaya dan beraneka-ragam secara berlebihan sudah dikenal luas dalam
berbagai dokumen termasuk laporan-laporan resmi Pemerintah Indonesia, Laporan tentang Kondisi
Lingkungan ASEAN dan sejumlah laporan antar pemerintah dan sejumlah perwakilan internasional
lainnya. Merujuk pada evaluasi dari Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI), yang
mencakup kinerja pariwisata dalam keberlanjutan lingkungan dan sumberdaya alami, Forum
Ekonomi Dunia memperingkat Indonesia hanya di posisi 130 di antara 133 negara yang dievaluasi
(WEF, 2009). Meskipun dapat dibuktikan bahwa kondisi di beberapa wilayah lebih baik dan di
beberapa lagi lebih buruk, titik kuncinya adalah bahwa keberlanjutan lingkungan merupakan suatu
isu di semua tingkat pemerintahan di Indonesia.
Konsumsi energi dan air serta juga produksi sampah, misalnya, yang berasal dari wisatawan
nyaris dua kali lipat ketimbang yang berasal dari penduduk pada umumnya. Wisatawan
mengkonsumsi air dan energi lebih daripada konsumsi di rumahnya sendiri. Mereka juga
memproduksi lebih banyak sampah yang ditinggalkan di destinasi yang mereka kunjungi.
Hotel dan restoran pada berbagai skala operasi yang berbeda, mengkonsumsi bahan kimia
dan bahan yang tak teruraikan yang mempunyai efek pencemaran. Sementara di seluruh dunia
26
jaringan hotel utama dan banyak penyedia akomodasi yang dimiliki secara indipenden telah
memenuhi standar operasi ramah lingkungan, masih banyak hal yang perlu dikerjakan pada tingkat
global, dan di Indonesia khususnya memperbaiki kinerja lingkungan sektor akomodasi komersial.
Pada umumnya, khususnya di tingkat terbawah penyedia akomodasi, dampak lingkungan belum
menjadi perhatian utama. Di sepanjang jalan di banyak daerah wisata di Indonesia, dapat dijumpai
begitu berbagai warung makan dan beberapa sarana akomodasi yang dikelola tanpa pengetahuan
yang memadai, khususnya menyangkut dampak lingkungan.
Destinasi padat kunjungan, khususnya kunjungan domestik dalam jumlah besar dengan
kendaraan pribadi, menyebabkan pencemaran udara yang menjadi tanggungan penduduk lokal dan
menyebabkan lingkungan yang tidak sehat. Misalnya Bandung sebagai destinasi wisata perkotaaan
yang populer dengan sarana perbelanjaan dan kuliner sebagai daya tarik utamanya. Orang-orang
menghabiskan waktu beberapa hari atau akhir pekan yang menyebabkan kepadatan lalu lintas yang
sangat tinggi, terutama di pintu gerbang tol yang membuat antrian kendaraan bisa mencapai 10 km.
Terdapat laporan bahwa selama akhir pekan, sebanyak 200 ribu kendaraan memasuki kota. Lalu
lintas yang padat dan kehidupan malam di kota dapat menyebabkan pencemaran suara, perusakan
terhadap keaneka-ragaman hayati dan gangguan terhadap spesies di daratan dan di pesisir dapat
terjadi karena lemahnya pengelolaan waktu kunjungan,dan perusakan terhadap berbagai lokasi di
bawah permukaan air karena pengambilan karang yang ilegal telah berlangsung di beberapa destinasi
pantai yang terkenal, merupakan isu lain yang perlu diperhatikan.
Wisatawan juga dapat menciptakan dampak yang tidak disadari ketika mereka mengunjungi
tempat atau daya tarik dengan lingkungan alam dan budaya yang sensitif. Karena itu perlu
dikembangkan kampanye kesadaran pengunjung tentang kemungkinan dampak yang dapat
merekatimbulkan, khususnya dengan menggunakan tetenger (signage) dan syarat-syarat yang dapat
diintepretasikan dalam berbagai bahasa, ditempatkan pada gerbang masukke berbagai lokasi daya
tarik budayaatau alam tertentu.
Sebagai suatu aktivitas manusia, pariwisata akan menimbulkan tekanan terhadap
sumberdaya di lingkungan alami. Motivasi beroleh keuntungan jangka pendek akan dapat
mengesampingkan hilangnya sistem alami yang bersih, sehat dan tahan lama.Eksistensi Industri
kepariwisataan bergantung kepada “kesehatan” laut Indonesia dan lingkungan teresterialnya,
sehingga pariwisata harus selalu menjadi mitra alami untuk konservasi keaneka-ragaman hayati di
Indonesia. Keseimbangan antara manusia, bumi dan keuntungan melalui pembangunan pariwisata
berkelanjutan untuk Indonesia dapat terwujud.
27
Pesan Kunci Bab 1

Meskipun kunjungan internasional dan pengeluaran wisatawan mancanegara mengalami
pertumbuhan, perjalanan domestik dan pengeluaran wisatawan nusantara telah
memberikan sumbangan terhadap ekonomi nasional dan juga penciptaan lapangan kerja.
Yang jauh lebih signifikan, pertumbuhan dan pentingnya pariwisata nusantara hendaknya
tidak diabaikan dan diremehkan dalam sudut pandang rencana strategis.

Perencanaan dan administrasi kepariwisataan telah terbukti kekurangan sumberdaya,
kekurangan kepakaran husus dalam kebijakan publik untuk perencanaan dan pengelolaan
kepariwisataan dan kurangnya koordinasi di antara berbagai kementerian dan berbagai
unit pemerintah yang berbeda. Pada tingkat lokal, bila direncanakan dengan layak,
pembangunan kepariwisataan akan memperkuat pembangunan ekonomi lokal,
mengurangi kemiskinan dan urbanisasi. Kebijakan yang efektif perlu diperkuat dengan
menata struktur yang memungkinkan koordinasi semua pemangku kepentingan, dan
meramu secara seimbang berbagai piranti, termasuk berbagai instrumen ekonomi dan
legislasi.

Sumberdaya manusia merupakan isu yang strategis, yang akan menentukan kualitas
pencapaian tujuan pembangunan nasional dan juga memperbaiki daya saing Indonesia
dalam memperoleh pangsa yang lebih baik dalam investasi dan kunjungan, dan juga
dalam menciptkan produk berkualitas untuk wisatawan nusantara dan mancanegara

Secara geografis, investasi perlu diseimbangkan, juga antara berbagai jenis industri
pariwisata terkait (tidak hanya dalam sektor akomodasi) agar diperoleh struktur industri
kepariwisataan yang lebih baik.

Pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan dalam kerangka hukum, akan tetapi,tanpa
implementasi praktisnya, termasuk dalam sektor pariwisata. Pemerintah (lokal) perlu
berada di garis depan dalam promosi dan pelatihan pariwisata berkelanjutan dalam
bingkai administrasi dan industri kepariwisataan.

Pada prakteknya, perlindungan terhadap lingkungan alami maupun budaya masih kurang,
berbagai isu lingkungan yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pariwisata
mengancam keberlanjutan berbagai sumberdaya pariwisata dan menjadi ancaman
terhadap destinasi dan kesejahteraan komunitas tuan rumah.

Meskipun kontribusi dan perannya dalam pengurangan kemiskinan serta pengadaan
lapangan kerja untuk mereka yang paling tidak terlatih cukup signifikan, ekonomi
informal dalam sektor kepariwisataanmempunyai isu yang belum terselesaikan terkait
dengan pekerjaan yang layak, jaminan sosial dan isu keselamatan serta keberlanjutan
jangka panjang.
28
BAB 2
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan untuk
INDONESIA
Ikhtisar Bab
Bab ini menguraikan dasar-dasar pariwisata berkelanjutan. Dalam bab ini
diperlihatkanketerkaitan antara pariwisata berkelanjutan di Indonesiadan potensinya untuk
menghasilkan berbagai efek yang positif di berbagai daerah. Hubungan seperti itu dapat
dilihat pada pengurangan kemiskinan, pembangunan perdesaan, Tujuan Pembangunan
Milenium, penciptaan peluang berbagai usaha baru dan pekerjaan layak yangramah
lingkungan dan sebagai kontribusi penting terhadap komitmen Indonesia dalam
pengurangan perubahan iklim yang memperkuat emisi. Selain daripada itu, Analisis SWOT
memperlihatkan kebutuhan dan berbagai bidang khusus (yang memberikan) peluang untuk
penguatan keberlanjutan dalam pariwisata di Indonesia dengan dari segi ekonomi,
lingkungan, khususnya kesejahteraan sosial, termasuk identifikasi potensi dan tantangan
utama untuk dengan kuat mendorong pariwisata ramah lingkungan di Indonesia.
2.1 Konsep Pariwisata Berkelanjutan
2.1.1 Dasar Dasar Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan didefinisikan oleh UNWTO sebagai:
"Pariwisata yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan
sekarang dan yang akan datang, menjawab kebutuhan pengunjung, industri (pariwisata),
lingkungan dan komunitas tuan rumah”.xv
Mengapa pariwisata berkelanjutan begitu penting bagi Indonesia, negara dengan ribuan
pulau dengan berbagai ukuran, kaya akan sumberdaya alami dan juga budaya, terbentang
sepanjang khatulistiwa. Hingga sekarang ini, hanya sebagain kecil penduduk yang mampu
menikmati potensi manfaat pariwisata, karena kendala multi dimensi, ekonomi maupun budaya.
Kebanyakan wisatawan mengunjungi destinasi terkenal dan hanya sedikit saja yang telah
menjelajahi nusantara di luar jalur yang populer, dan yang sekaligus menyebarkan kontribusi
ekonomi yang berasal dari pengeluaran pengunjung secara lebih luas. Beberapa komunitas tuan
29
rumah telah mendorong berbagai bentuk pengembangan kepariwisataan dan mendapat manfaat
ekonomi melalui pekerjaan, peluang pendidikan baru dan peningkatan kualitas hidup. Banyak
yang tidak mempunyai peluang terlibat dalam sektor pariwisata seperti itu karena sejumlah alasan
politis, geografis, sosial, budaya atau bisnis. Beberapa komunitas tuan rumah pembangunan
kepariwisataan tidak menikmati hak untuk mendapatkan manfaat dari model pembangunan
kepariwisataan yang bersifat ‘tertutup’ (enclave) di daerahnya.
Praktek pariwisata berkelanjutan tidak hanya berarti mengkonsumsi sumberdaya alami
dan budaya saja, melainkan juga mengonservasikannya juga; tidak hanya bermanfaat bagi sedikit
orang, akan tetapi bertujuan mendistribusikan keuntungan secara lebih luas di antara para
pemangku kepentingan dan komunitas. Pariwisata berkelanjutan merupakan konsep yang
komprehensif, dimaksudkan untuk segala macam usaha pariwisata: baik di daerah perkotaan
maupun di daerah perdesaan, skala besar dan kecil, swasta maupun pemerinta. Pembangunan
kepariwisataan berkelanjutan merupakansuatu agenda publik yang penting untuk semua
pemangku kepentingan di semua tingkat.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DARI PARIWISATA (UNWTO)
Pedoman dan Praktek Pengelolaan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dapat diterapkan
pada semua bentuk pariwisata dalam semua jenis destinasi, termasuk pariwisata massal dan
berbagai macam segmen ‘niche’. Prinsip-prinsip keberlanjutan mengacu kepada aspek-aspek
lingkungan, ekonomi dan sosio-budaya dalam pembangunan kepariwisataan, dan keseimbangan
yang sesuai harus dibentuk antara ketiga dimensi tersebut untuk menjamin keberlanjutannya dalam
jangka panjang. Jadi, pariwisata berkelanjutan hendaknya:
1. Memanfaatkan sumberdaya lingkungan yang menjadi elemen kunci dalam pembangunan
kepariwisataan secara optimal , menjaga proses ekologi penting dan membantu mengkonservasikan
pusaka alamdan keaneka-ragaman hayati.
2. Menghormati keotentikan sosio-budaya dan komunitas tuan rumah, melestarikan pusaka
buatan dan kehidupan budaya masa kini, nilai nilai tradisional, dan berkontribusi terhadap
pemahaman antar budaya dan toleransi.
3.Memastikan berlangsungnya operasi jangka panjang, yang memberikan manfaat sosio-ekonomi
kepada semua pemangku kepentingan yang terdistribusi secara berkeadilan, termasuk lapangan kerja
yang stabil dan peluang komunitas tuan rumah untuk beroleh pendapatan dan pelayanan sosial,
serta berkontribusi terhadap penghapusan kemiskinan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan
memerlukan partisipasi dari semua pemangku kepentingan yang mendapat informasi, dan
juga kepemimpinan politis yang kuat untuk menjamin adanya partisipasi yang luas dan
terbangunnya konsensus. Mencapai pariwisata berkelanjutan merupakan proses yang
berkesinambungan dan hal itu memerlukan pemantauan dampak secara konstan, mengenalkan
tindakan pencegahan dan/atau tindakan korektif bilamana diperlukan. Pariwisata berkelanjutan juga
harus menjaga tingkat kepuasan wisatawan yang tinggi dan menjamin pengalaman yang penuh
makna bagi wisatawan, menumbuhkan kesadaran tentang isu-isu keberlanjutan dan memromosikan
praktek-praktek pariwisata berkelanjutan di antara mereka.xvi
30
2.1.2 Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs)
Pariwisata berkelanjutan haruslah mempunyai dampak langsung dan positif bagi
pencapaian sasaran MDG Indonesia. Sementara kebanyakan inisiatif pariwisata “pro masyarakat
miskin” di seluruh dunia terfokus pada MDG no 1,3,7 dan 8 (penghapusan kemiskinan,
kesetaraan jender, pembangunan berkelanjutan dan kemitraan global), beberapa intervensi positif
dalam pariwisata dapat dilakukan agar memberi kontribusi lebih besar kepada berbagai tujuan
MDGs yang lainnya.
Kode Etik Pariwisata Dunia memberikan kerangka kebijakan untuk pembangunan
kepariwisataan berkelanjutan dalam konteks MDGs. Indonesia mempunyai sejarah dukungan
kebijakan nasional yang kuat terhadap Kode Etik tersebut, dan telah memasukkan rujukan
tentang hal itu dalam situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah judul
“Peraturan”. Kode Etik Pariwisata Dunia mencakup hak hak pekerja dan pengusaha dalam
industri kepariwisataan (pasal 9).xvii Kesepakatan Kerjasama antara UNWTO dan ILO, 2008,
mengarah pada pengembangan aktivitas bersama dalam HIV/ AIDS, pekerja anak, pekerja
pendatang dan sektor lain serta isu isu terkait tempat kerja. Konsep ILO tentang “Pekerjaan
Layak” merupakan komponen dasar dalam pariwsata berkelanjutan. Inti Kode Etik Global telah
tertuang dalam UU no 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
2.1.3 Pengurangan Kemiskinan dan Pembangunan Perdesaan
Hubungan antara pariwisata berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan bersifat multi
dimensi sebagaimana tergambar dalam diagram di bawah ini. Kehadiran pariwisata di suatu
lokasi, tidak otomatis mengurangi kemiskinan, juga bukan hubungan belas kasihan kepada
masyarakat miskin setempat baik oleh industri kepariwisataan maupun oleh wisatawan.
Pengurangan kemiskinan tidak hanya terbatas meningkatkan pendapatan moneter, tetapi juga
harga diri dalam aspek sosio-budaya dan lingkungan hidup.
31
GAMBAR 2.1: PARIWISATA DAN KEMISKINAN
Hubungan antara pariwisata dan kemiskinan beragam dan dinamis. Dengan kerangka kerja ini, hubungan antara
sektor pariwisata dan sektor terkait lainnya merupakan prasyarat untuk pengurangan kemiskinan. Grafik berikut
menyajikan analisis yang diusulkan dari isu utama yang menentukan hubungan antara pariwisata dengan
kemiskinan.
Sumberdaya
penghidupan
Pertumbuhan
pro-kemiskinan
Kesempatan
penghidupan
non- pertanian
Pendidikan dan
pelatihan
Pertumbuhan dan
diversifikasi di daerah
marjinal atau terpencil
Akses menuju
pasar untuk
masyarakat miskin
Pekerjaan:
Lapangan kerja dan
pemberdayaan
Perusahaan,
Usaha Mikro
Kecil Menengah
Pariwisata dan
Kemiskinan
Tanggung
jawab sosial
perusahaan
Pengelolaan
lingkungan
berkelanjutan
Kesehatan,
insfrastruktur,
dan pelayanan
Sumber: ILO Toolkit on Poverty Reduction through tourism (2011: 11)
Masyarakat miskin dapat secara langsung dan tak langsung mendapat manfaat
denganberpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Partisipasi langsung terjadi bilamana masyarakat
miskin menyediakan barang dan jasa bagi wisatawan. Mereka dapat berinter-aksi secara langsung
melalui pekerjaan di “rumah tamu” (guest house) perdesaan, hotel atau kafe dan restoran
setempat, menjual barang kerajinan di kaki lima atau menjalankan berbagai jenis bentuk
transportasi. Partisipasi tak langsung diperoleh melalui peluang masyarakat miskin yang bekerja
dalam usaha mikro yang memasok pada penyedia jasapariwisata langsung, seperti misalnya
bertani sayuran atau buah-buahan yang dihidangkan di hotel hotel, guest house, kafe, restoran,
dan sebagainya atau bekerja pada usaha manufaktur yang membuat pakaian/tekstil atau
perlengkapan yang dikonsumsi oleh wisatawan dan hotel hotel.
Di tempat-tempat yang distribusi sumberdaya dan kekuasaan mengalami distorsi,
penduduk setempat mungkin tidak mendapat bagian dalam aktivitas ekonomi yang bertumbuh
dari pariwisata. Sebaliknya, kondisi ekonominya akan bertambah buruk dengan meningkatnya
biaya hidup, kemampuan memiliki/menyewa rumah,perpindahan pekerja keluarga yang
diperlukan di sektor pertanian ke sektor pariwisata, dan penggunaan barang serta jasa yang
diimpor. Mereka juga mungkin mengalami kerugian oleh biaya modal yang dikeluarkan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan promosi pariwisata yang seyogyanya dapat
dipakai untuk biaya berbagai pelayanan dasar yang diperlukan masyarakat dan tersisihkannya
lahan serta air dari penggunaan untuk masyarakat umum yang beralih menjadi pemenuhan
kebutuhan untuk kepariwisataan.xviii
32
Pariwisata berkelanjutan dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan, dengan
menghormati keotentikan sosial-budaya, dan penggunaan sumberdaya lingkungan secara
bertanggung-jawab, dan tidak hanya mendorong melainkan juga memfasilitasi serta melakukan
pemberdayaan terhadap komunitas agar mereka mampu berperan serta dalam proses produksi
serta mendapat berbagai manfaat bersih (net) dari kegiatan tersebut.
Meskipun orang miskin juga terdapat di daerah perkotaan, fokus akan dilakukan di daerah
perdesaan, dengan asumsi bahwa jika penduduk perdesaan menjadi lebih baik, migrasi desa –
kota akan menurun dan membantu menurunkan tingkat urbanisasi yang menghasilkan
permasalahan lain.
Pariwisata perdesaan berkelanjutan merupakan elemen kunci terhadap pengurangan
kemiskinan di seluruh Indonesia melalui penciptaan aktivitas dan pekerjaan non pertanian.
Dengan pariwisata juga akan tersedia infrastruktur yang lebih baik untuk penduduk setempat,
mendukung pelestarian alam dan warisan budaya, mencegah perubahan guna lahan pertanian dan
bahkan menciptakan nilai tambah. Disamping itu, pariwisata juga menyediakan peluang untuk
pemuda perkotaan supaya dapat memahami secara lebih baik tentang kehidupan perdesaan.
Pariwisata tidak dimaksudkan untuk mengubah lansekap perdesaan menjadi pemandangan
dengan rekreasi gaya perkotaan.
Kebijakan yang lebih tegas dan komitmen praktis terhadap pariwisata berkelanjutan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan daya saing pariwisata Indonesia sekarang ini dan
kualitas pembangunan kepariwisataan di masa depan, agar supaya tidak hanya memuaskan para
wisatawan tetapi memberikan manfaat sebanyak mungkin bagi bangsa Indonesia dan khususnya
untuk komunitas lokal. Juga diharapkan bahwa pendekatan pariwisata berkelanjutan akan
memperbaiki kinerja pariwisata dalam kontribusinya terhadap pembangunan nasional, tidak
hanya dalam arti kontribusi terhadap PDB, tetapi juga dapat berperan lebih baik dalam
penghapusan kemiskinan, menciptakan pekerjaan, melestarikan lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Secara detil, sumber sumber keuntungan meliputi:
Peluang usaha lokal baru dan penguatan ekonomi
Penciptaan peluang usaha baru seperti misalnya ekowisata, akomodasi, transportasi dan
enersi ramah lingkungan, efisiensi energi dan air serta pengelolaan sampah yang berwawasan
lingkungan, pusat pembelajaran dan budaya, penguatan pendapatan untuk ekonomi setempat,
agar menjadi lebih swa sembada, mengurangi kebocoran dan memperkuat mata rantai produksi
setempat.
Penciptaan pekerjaan yang layak.
Terciptanya berbagai tempat kerja yang berkualitas karena pekerjaan layak yang ramah
lingkungan (green jobs) akan meningkatkan kemakmuran dan daya beli penduduk, membantu
mengurangi kemiskinan dan sebagai konsumsi akan masuk kembali ke dalam ekonomi lokal. Hal
ini bertentangan dengan skema pekerjaan yang biasa dilakukan, yang seringkali cenderung
menargetkan keuntungan maksimal dan upah minimal, yang membuat para pekerja tidak akan
33
mampu memperbaiki kehidupannya atau berkontribusi terhadap ekonomi lokal dengan
meningkatkan konsumsi. Permintaan akan tenaga kerja juga membuka peluang untuk pelatihan
tingkat lokal dan fasilitas untuk pengembangan kapasitas.
Daya tarik wisata dan penciptaan pasar
Ada permintaan yang besar terhadap destinasi pariwisata yang dikelola secara lebih baik
dan berkelanjutan dapat menarik wisatawan yang lebih berkualitas dan juga akan mampu
menjangkau kelompok sasaran dari berbagai sumber pasar,di manapraktek industrinya tidak
mengganggu masyarakat dan lingkungannya, melainkan lebih berkontribusi kepada
keberlanjutan. Tidak hanya menghasilkan keuntungan kompetitif bagi destinasi, tetapi pada
kenyataannya di‘tuntut’ oleh banyak mitra utama dalam saluran distribusi produk utama.
Daya tarik investasi terkendali
Konservasi sumberdaya jangka panjang, pembangunan komunitas dan infrastruktur yang
baik, menjamin lingkungan usaha yang baik untuk sekarang dan untuk masa mendatang, yang
akan membuat destinasi menjadi lebih menarik lagi bagi investor, dan dalam waktu yang
bersamaan membantu mengonservasi kekayaan pusaka komunitas.
Jejaring Usaha
Efek berganda yang kuat dapat terlihat dalam sektor pariwisata melalui pengeluaran
wisatawan untuk berbagai barang dan jasa yang dikonsumsi, seperti pemandu wisata, restoran,
toko kerajinan, transportasi lokal dan barang barang serta jasa lainnya baik dalam sektor ekonomi
formal maupun informal.
Pajak Pendapatan
Usaha yang syah dan terdaftar yang memenuhi kewajiban fiskal dan hukum merupakan
sumber pendapatan untuk pemerintah, yang selanjutnya akan menggunakan dana tersebut untuk
pembangunan. Dalam hal ini, penggunaan (yang dikhususkan) untuk pembangunan dari bagian
pajak pendapatan usaha yang berkelanjutan dapat merupakan suatu cara insentif dari pemerintah.
2.1.4 Masyarakat dan Kebudayaan
Dampak pariwisata terhadap situasi sosial dan budaya komunitas tuan rumah tidak boleh
diabaikan. Dampak dapat bersifat positif, dan dapat bersifat negatif pula. Pendekatan pariwisata
berkelanjutan dirancang untuk mendorong terjadinya dampak positif pembangunan pariwisata
terhadap nilai-nilai sosial dan budaya setempat, dan mengenali serta mengelola setiap dampak
negatifnya. Pembangunan pariwisata mungkin akan meningkatkan degradasi budaya dan
mengundang timbulnya kriminalitas, terutama terkait dengan obat-obatan terlarang dan prostitusi.
Permasalahan juga mungkin timbul, bila masyarakat setempat harus memperjuangkan
sumberdayanya sendiri dan terasing dari kenyamanan yang dinikmati wisatawan dan juga oleh
kelakuan wisatawan tak sesuai dengan nilai nilai setempat. Pendekatan berkelanjutan dalam
34
pembangunan pariwisata menawarkan lingkungan yang lebih baik untuk masyarakat dan
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dengan menempatkan budaya lokal sebagai
bagian atau bahkan menjadi inti produk pariwisata. Dengan menambahkan pendekatan
keberlanjutan dalam pembangunan kepariwisataan, pemberdayaan komunitas melalui pendidikan,
komunikasi, penguatan toleransi dan rasa hormat, pertukaran budaya, kerjasama dan kedamaian
dapat tercapai. Pada saat yang sama juga mungkin akan diperoleh kebanggaan yang lebih kuat
terhadap budaya lokal dan juga revitalisasi tradisi. Ketika masyarakat diperkuat toleransinya dan
rasa hormatnya terhadap tamu tamu mereka, tidak kurang pula pentingnya pendidikan bagi
wisatawan yang ditujukan agar mereka menghormati budaya lokal tuan rumah dan semua
atributnya
Pariwisata berkelanjutan berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan lokal dengan
memaksimumkan kontribusi pariwisata bagi kemakmuran destinasi dan komunitasnya. Akan ada
pengaruh terhadap kepedulian komunitas terhadap lingkungannya dan mungkin memperkuat
aktivitas budaya yang selanjutnya akan kembali berdampak positif baik kepada penduduk lokal
maupun wisatawannya. Implementasi pariwisata berkelanjutan bukanlah suatu yang sederhana
untuk dilakukan, akan diperlukan pemberdayaan komunitas yang berkesinambungan melalui
pendidikan, komunikasi, dan persuasi yang positif agar supaya terjadi penguatan toleransi dan
rasa hormat, pertukaran sosial budaya, kerjasama dan perdamaian dapat tercapai. Pada saat yang
sama kebanggaan yang lebih kuat dalam budaya lokal dan juga revitalisasi tradisi mungkin
dapat digalakkan.
2.1.5 Kesetaraan Jender
Sebagai bagian penting dalam pekerjaan yang layak dan juga Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs), kesetaraan jender dapat ditingkatkan melalui manajemen pariwisata
berkelanjutan. Pada umumnya perempuan bekerja dalam bidang pariwisata sudah merupakan hal
yang biasa, akan tetapi tetap menghadapi banyak kendala dan permasalahan dalam industri
termasuk upah yang rendah, pekerjaan berkualitas rendah, kekurangan akses terhadap pendidikan,
kekerasan dalam pekerjaan, tekanan (stress), pelecehan seksual, atau perlakuan kasar. Di sisi lain,
banyak jasa terkait pariwisata membuka peluang kepada perempuan. Menurut Laporan Dunia
tentang Perempuan dan Pariwiata (Global Report on Women in Tourism), 2011xix,perempuan
hampir dua kali lipat kemungkinannya menjadi pekerja di pariwisata dibanding dengan sektor
lainnya. Meskipun demikian, laporan tersebut menyatakan bahwa perempuan seringkali
“terkonsentrasi di keterampilan rendah, upah rendah dan pekerjaan yang berbahaya”, umumnya
berpendapatan 10% sampai 15% kurang dari mitra laki-laki, dan cenderung mengisi pekerjaan
memasak, membersihkan dan hospitality.
Ada 5 area yang perlu menjadi fokus agar pariwisata dapat memberikan manfaat kepada
perempuan – pekerjaan, kewirausahaan, pendidikan, kepemimpinan, dan komunitas. Peranan
perempuan di tingkat komunitas strategis sifatnya. Disamping peran reproduktifnya dan
tanggung-jawabnya dalam pengelolaan rumah tangga, perempuan memberi kontribusi terhadap
pemeliharaan dan pelestaran pusaka budaya dan berbagai tradisi. Misalnya seperti bekerja di
35
dapur, restoran, kafe dan hotel tradisional di Indonesia, juga di toko eceran, serta jasa lain yang
berhasil dimasuki oleh perempuan. Cukup banyak banyak pekerja perempuan yang telah
mencapai posisi profesional dalam berbagai peran pengelolaan, termasuk pemasaran dan
pengembangan sumberdaya insani sebagai pelatih. Peluang yang berkeadilan berkaitan dengan
penggajian yang adil membantu meningkatkan status sosial mereka, juga keselamatan dan
keamanan finansial para perempuan dan anak-anak yang menjadi tanggungannya.
Kesetaraan jender juga harus dilihat dari sisi permintaan pariwisata. Perempuan yang
melakukan perjalanan sendirian atau dengan anak-anak, akan memerlukan pertimbangan khusus
dalam perencanaan pariwisatanya. Contoh yang sederhana misalnya adalah perempuan
membutuhkan lebih banyak toilet umum per orang dibandingkan dengan laki-laki. Pelaku
perjalanan perempuan juga memerlukan keamanan ekstra agar merasa aman bepergian sendiri,
dalam transportasi umum, dalam akomodasi dan juga bila mereka sedang berada di ruang publik.
Perempuan dan pekerja muda merupakan mayoritas pekerja dalam sektor pariwisata dan
pariwisata berkelanjutan dapat memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan
secara politis, sosial, dan ekonomi. Hal tersebut dapat membantu para pembuat kebijakan publik
dan kalangan industri dalam mengembangkan kebijakan yang lebih peka jender, memperkuat
perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai angkatan kerja pariwisata dan menyediakan
pelatihan serta lebih banyak peluang untuk mengembangkan usahanya. Ke depan, pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya seperti penyelenggara program CSR dalam industri
kepariwisataan juga harus mengatasi tantangan mendorong industri kepariwisataan berkelanjutan
secara nyata. Mendorong komitmen oleh semua pemangku kepentingan dalam memperbaiki
kondisi kerja perempuan dan komponen pekerjaan yang layak, akan memberikan manfaat juga
bagi industri kepariwisataan. Pelatihan keterampilan berbasis kompetensi untuk perempuan dan
pekerja usia muda dan rantai produksi pariwisata dapat dipersiapkan secara sistematis, memberi
kemampuan bagi lebih banyak perempuan dan pekerja muda yang lebih berkualitas memasuki
sektor pariwisata.
2.1.6 Peralihan ke Berbagai Praktek Berkelanjutan
Dalam industri kepariwisataandiperlukan suatu peralihan yang adil menuju ke praktek
yang berkelanjutan. Sektor ini harus membiasakan diri untuk menangani permasalahan
lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh (kegiatan) pariwisata. Investasi yang sistematik dan
tindakan tindakan yang tepat diperlukan untuk menunjang upaya perlindungan lingkungan, sosial
dan keberlanjutan budaya sambil membangun sektor ekonomi yang kokoh. Para majikan, pekerja,
komunitas dan juga wisatawan haruslah mengikatkan diri terhadap perubahan menuju berbagai
praktek yang lebih berkelanjutan.
Meskipun beberapa pendukung industri mendorong pariwisata sebagai industri ramah
lingkungan, industri pariwisata itu sendiri dan juga perilaku wisatawannya tidak selalu ‘ramah
lingkungan’.
36
Pariwisata berkelanjutan merupakan suatu konsep yang perlu digalakkan, tidak hanya
kepada penyedia layanan pariwisata, tetapi juga kepada wisatawan serta komunitas
tuan rumah dan pemerintah setempat.
Perilaku wisatawan merupakan satu variabel penting dalam pariwisata berkelanjutan.
Mereka perlu diberi informasi dan dididik sedemikian rupa agar mengerti dan bertindak secara
bertanggungjawab terhadap lingkungan, budaya setempat dan komunitas. Mereka perlu
disadarkan bahwa mereka seharusnya menikmati sumberdaya alam dan budaya tanpa merusak,
menyokong prinsip:
“Ambil hanya fotonya saja, tinggalkan jejaknya saja”
Kesadaran komunitas dan juga wisatawan dalam isu lingkungan serta budaya merupakan
hal yang penting untuk pariwisata berkelanjutan pada masa depan. Sementara wisatawan perlu
dididik agar bertanggungjawab terhadap destinasi yang mereka kunjungi dan sumberdaya yang
mereka nikmati selama liburan, demikian pula komunitas perlu dukungan untuk mengenal apa
yang menarik wisatawan datang ke destinasinya dan menjamin agar berbagai atribut itu yang
mereka jaga tidak hilang.
Diperlukan upaya untuk mendukung peralihan yang tepat ke arah model pembangunan
yang lebih berkelanjutan dan yang lebih berkeadilan dengan penekanan pada pekerjaan layak
yang ramah lingkungan, yang akan membantu mengurangi sampah, penggunaan air dan enersi
dan juga akan mencegah kerusakan sumberdaya alami dan budaya. Perhatian lebih lanjut perlu
diberikan untuk melakukan pendekatan menjawab berbagai isu terkait dimensi sosial perubahan
iklim dan persyaratan untuk meningkatkan keuletan komunitas.
2.1.7 Menciptakan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan
Komponen penting dalam peralihan ke industri kepariwisataan yang lebih berkelanjutan
adalah beralihnya peluang lapangan kerja ke dalam pekerjaan payak yang ramah lingkungan.
Upaya untuk meningkatkan keberlanjutan sektor kepariwisataan, dari kedua sudut pandang – sisi
lingkungan dan sisi sosial – dapat dicapai melalui pendekatan multi-level, menjamin tepatnya
kebijakan pemerintah, instrumen dan insentif ditempatkan secara tepat untuk menciptakan
pekerjaan produktif yang mencakup akses untuk peningkatan keterampilan para pekerja,
informasi dan pengembangan kapasitas untuk para pemangku kepentingan utama.
Terciptanya pekerjaan layak yang ramah lingkungan dalam komunitas pariwisata dapat
dirangsang melalui berbagai produk, pelayanan dan prasarana ke-PU-an yang ramah lingkungan.
Selain dari pada itu, sektor konstruksi yang ramah lingkungan atau membuat bangunan yang
sudah ada menjadi ramah lingkungan dengan penekanan pada usaha mendapatkan (pekerjaan
37
ramah lingkungan juga menawarkan potensi besar dalam penciptaan lapangan kerja ramah
lingkungan dalam ekonomi terkait kepariwisataan. Pada dasarnya, sektor pariwisata berpotensi
besar untuk produk dan jasa pariwisata ramah lingkungan yang dapat dikembangkan, diproduksi
dan dipasarkan oleh komunitas lokal dan pemuda. Produk-produk ini bisa cocok untuk semua
destinasi, atau hanya untuk destinasi yang sangat khusus saja, dan harus ditemu kenali secara
tepat. Begitu teridentikasi, perlu segera dibuat rekomendasi untuk melakukan penilaian yang
menyeluruh tentang keterampilan yang diperlukan, kompetensi dan modul pelatihan serta
sertifikasi. Selain pelatihan keterampilan, pelatihan lain seperti misalnya pelatihan kewirausahaan
(usaha ramah lingkungan bagi pemuda) akan bermanfaat bagi komunitas setempat. Akan tetapi,
sikap ramah lingkungan pertama-tama perlu didorong dan dikembangkan. Pengembangan
keterampilan ramah lingkungan merupakan komponen penting untuk mencapai pariwisata
berkelanjutan. Hal itu akan memperkuat kapasitas pekerja dan para majikan/pengusaha dalam
industri kepariwisataan dan pemangku kepentingan yang terlibat lainnya,untuk mengerti dan
secara efektif memberi tanggapan secara efektif terhadap tantangan global mengenai perubahan
iklim di berbagai destinasi pariwisata. Pengembangan keterampilan harus fokus kepada kedua
aspek, yaitu aspek teknis dan keterampilan kewirausahaan usaha kecil.
Mengidentifikasi lembaga/program finansial yang potensial dapat mendukung usaha lokal
yang ramah lingkungan juga penting agar pengembangan berbagai produk dan jasa ramah
lingkungan dimungkinkan terselenggara.
Investasi yang sistematis ke industri kepariwisataan yang ramah lingkungan
diperlukan untuk pengembangan destinasi yang berkelanjutan.
Tak hanya akses pada keuangan, akan tetapi juga diperlukan investasi yang sistematis ke
dalam industri kepariwisataan ramah lingkungan untuk mengalihkan destinasi yang ada sekarang
ini dan juga pembangunan destinasi baru.
Dengan pandangan tersebut di atas, ILO telah mengembangkan sebuah Model Penciptaan
Lapangan kerja, yang ditujukan untuk mendorong pekerjaan dan mata pencaharian ramah
lingkungan dalam kepariwisataan berkelanjutan. Kegiatan tersebut menata kondisi teknis dan
normatif untuk menciptakan pekerjaan dan mata pencaharian di Indonesia dalam skala besar yang
terkait dengan produk dan jasa ramah lingkungan tertentu yang akan dipromosikan. Dalam
proyek kini berlangsung, produk-produk tersebut merujuk pada ekotwisata dan rumah inap
(homestay) ramah lingkungan menurut Standar Pariwisata ASEAN. Dengan maksud mencapai
tujuan penciptaan lapangan kerja layak yang ramah lingkungan, model tersebut mengusulkan
kemitraan yang inovatif yang bekerja dalam kelembagaan nasional dan daerah, pengembangan
keterampilan, kewirausahaan dan pelatihan keuangan untuk memperbaiki kondisi kerja dan
khususnya menciptakan pekerjaan produktif di tingkat lokal. Pekerjaan pekerjaan ramah
lingkungan kini diintegrasikan ke dalam program Organisasi Pengelolaan Destinasi (Destination
Management Organisation / DMO) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas 15 destinasi di Indonesia dan dalam prosesnya mencakup
pelibatan komunitas lokal. Model Penciptaan Lapangan Kerja tersebut sudah diuji di berbagai
38
destinasi: Gunung Bromo, Jawa Timur, Danau Toba di Sumatra Utara, Gunung Rinjani di
Lombok dan Tanjung Puting di Kalimantan Tengah sebagai daerah percontohan. Berbagai
aktivitas setempat mencakup berbagai intervensi yang luas. Di berbagai daerah percontohan,
diorganisir sesi pelatihan yang ditemukenali, termasuk pelatihan untuk pemandu eco-tour,
pelatihan untuk usahawan ramah lingkungan, pendidikan keuangan dan pelatihan koperasi,
pelatihan tentang homestay ramah lingkungan menurut standar industri dan kompetensi yang baru
dikembangkan. Di samping itu, untuk mendukung proses pengembangan ekonomi lokal untuk
komunitas, proyek telah menyerahkan aktivitas pasca pelatihandan penunjang tambahan di
berbagai area seperti misalnya kuliner, produksi cinderamata, dan produksi briket sebagai sumber
energi yang terperbaharui. (Untuk rincian, lihat Lampiran 10).
Produk dan jasa yang ramah lingkungan dapat didukung dan dipromosikan melalui
pelabelan “Ramah Lingkungan” (Green) atau “Eco” dan Sertifikasi. Di Indonesia terdapat 25
Eco-Label yang terus bertambah. Dua puluh dua di antaranya label internasional dan 3 lainnya
dari Indonesia, yang satu dikeluarkan oleh pemerintah, dan dua lainnya oleh LSM. Berbagai
label tersebut dapat diterapkan untuk beberapa industri dan banyak yang dapat terkait dengan
produk pariwisata. Dua di antaranya langsung mencakup pariwisata dan perjalanan (Sertifikasi
Earthcheck dan Green Globe), pangan dan produksi makanan, pengembangan/pematangan tanah
(land development), pengelolaan hutan, dan selebihnya mencakup produk produk umum atau
tidak terkait dengan pariwisata.xx Perjalanan Internasional yang Berkelanjutan, yang merupakan
lembaga non-profit juga masuk ke sektor pariwisata Indonesia dengan sejumlah ecolabel untuk
sektor ini.
Dalam hal pelabelan ramah lingkungan yang sangat khas Indonesia, pada tahun 2004
Kementerian Lingkungan Hidup bersama dengan Badan Standardisasi Nasional mengambil
prakarsa Program Eco-Label indonesia “Ramah Lingkungan” untuk produk produk Indonesia.
Eco-Label ini didaftarkan dengan Jejaring Pelabelan Dunia (the Global Ecolabelling Network).
Sertifikasi dilakukan oleh 5 lembaga akreditasi, yang telah mendapat akreditasi dari Komisi
Akreditasi Nasional (KAN). Eco-label ini masih terbatas untuk produk kertas cetakan, akan tetapi
diharapkan diperluas sampai ke produk tekstil, deterjen, dan produk kulit. Eco-label Indonesia
yang kedua disebut M-Brio dan mencakup makanan organik. M-Brio diakreditasi oleh Federasi
Internasional Gerakan Pertanian Organik (International Federation of Organic Agriculture
Movements). Eco-label Indonesia yang ketiga oleh Lembaga Indonesia Ekolabel, LSM, yang
mencakup pengelolaan sumber hutan dan menyediakan 4 jenis sertifikasi: (1) Sertifikasi Hutan
Alami, (2) Sertifikasi Hutan Perkebunan, (3) Sertifikasi Hutan Masyarakat, (4) Rantai/jaringan
penjagaan. Label label tertentu ini sangat berarti untuk pengelolaan hutan yang digunakan untuk
tujuan pariwisata.
Pada saat ini, belum ada Label Pariwisata Ramah lingkungan Indonesia yang spesifik dan
menimbulkan banyak kebingungan dalam industri dan di kalangan pasar tentang keotentikan
banyak ‘ecolabel’ dan praktek praktek “greenwash” dimana kinerja lingkungan yang diklaim oleh
usaha ynag termasuk ke dalam industri pariwisata yang tidak dapat divalidasi. Dalam area ini ada
keharusan yang mendesak untuk melakukan suatu tindakan, karena itu Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif sedang dalam proses mengembangkan standar industri dan sistem sertifikasi
untuk produk dan jasa pariwisata dengan pandangan pada lingkungan, budaya dan sosial yang
berkelanjutan.
39
2.1.8 Mendefinisikan Kriteria Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
untuk Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia
Merujuk pada UU No. 10, 2009 tentang Kepariwisataan, kinerja pembangunan pariwisata
seharusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga atas kontribusnya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan
pengangguran dan kemiskinan, pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan,
pengembangan budaya, perbaikan atas citra bangsa, cinta tanah air, identitas nasional dan
kesatuan dan persahabatan internasional.
Kriteria Pariwisata Berkelanjutan Dunia (Global Sustainable Tourism Criteriaxxi
mencerminkan bagiandari tanggapan komunitas pariwisata terhadap tantangan global dari Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs). Penghapusan kemiskinan dan keberlanjutan lingkungan –
termasuk perubahan iklim – merupakan isu-isu yang lintas silang (cross cutting) yang disebut
dalam kriteria ini.
Sebagaimana dinasehatkan oleh Badan Pariwisata Berkelanjutan Dunia (Global
Sustainable Tourism Council), kriteria merupakan upaya untuk mencapai pengertian bersama
tentang pariwisata berkelanjutan, dan menjadi persyaratanminimum yang setiap usaha pariwisata
seharusnya bercita-cita untuk mencapainya. Kriteria tersebut, dikelompokkan atas 4 tema utama:
(i) perencanaan keberlanjutan yang efektif; (ii) memaksimumkan keuntungan sosial dan ekonomi
untuk komunitas lokal; (iii) memperkuat pusaka budaya; dan (iv) mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan. Meskipun kriteria tersebut awalnya ditujukan untuk digunakan oleh sektor
akomodasi dan operasi perjalanan (tour operation), kriteria itu dapat diterapkan untuk
keseluruhan industri kepariwisataan atau destinasi.2xxii
Penggunaan kriteria mencakup:

penggunaan sebagai pedoman dasar untuk semua skala usaha agar menjadi lebih
berkelanjutan, dan membantu usaha dalam memilih program pariwisata berkelanjutan
yang dapat memenuhi kriteria global ini;

Penggunaan sebagai pedoman untuk agen perjalanan dalam memilih pemasok dan
program pariwisata yang berkelanjutan;

Membantu konsumen mengidentifikasi program pariwisata berkelanjutan dan usaha yang
sehat;

Penggunaan sebagai suatu sebutan umum untuk media informasi mengenai penyedia
pariwisata berkelanjutan;

Membantu sertifikasi dan program sukarela lainnya untuk menjamin bahwa standarnya
memenuhi garisdasar yang secara luas sudah diterima;
2
Kriteria Destinasi GSTC sekarang ini sedang dikembangkandengan program “Early Adopters’melibatkan destinasi
berikut:Fjord Norway; Teton County, Wyoming USA; Mt. Huangshan in China and St. Kitts & Nevis in the Caribbean.
40

Menawarkan suatu titik awal untuk mengembangkan persyaratan pariwisata berkelanjutan
dalam program program sektoral pemerintah, non pemerintah dan sektor swasta,;

Digunakan sebagai pedoman dasar untuk badan badan pendidikan dan pelatihan, seperti
sekolah perhotelan dan universitas.
Penting untuk diperhatikan, bahwa kriteria menunjukkan apa yang harus dilakukan,
bukan bagaimana mengerjakannya atau apakah tujuan sudah tercapai. Peran ini
dilaksanakan oleh indikator kinerja seperti misalnya contoh contoh dari UNWTO yang diberikan
di Lampiran 8, dan juga material pendidikan terkait, serta akses ke wahana implementasi,
semuanya merupakan kelengkapan yang tak dapat dipisahkandari Kriteria Pariwisata
Berkelanjutan Dunia.
Publikasi UNWTO yang ada tentang Indikator untuk Pariwisata Berkelanjutan
menawarkan sejumlah daftar indikator yang bermanfaat, yang paling penting diantaranya dapat
dilihat di bawah ini, yang dapat digunakan sebagai panduan perencanaan pembangunan
pariwisata berkelanjutan, operasi dan evaluasinya.
Dalam kaitan dengan memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial pariwisata
berkelanjutan bagi komunitas lokal dan meminimumkan dampaknya, kriteria GST menetapkan
standar minimum terkait dengan pekerjaan yang layak dalam sektor pariwisata adalah sebagai
berikut:
B.2. Penduduk setempat dipekerjakan, termasuk pada kedudukan manajemen. Pelatihan
ditawarkan sesuai kebutuhan.
B.7. Perusahaan mempekerjakan perempuan dan golongan minoritas setempat, termasuk
pada kedudukan manajemensecara berkeadilan, sementara pekerja anak ditolak.
B.8. Perlindungan hukum nasional atau internasional para pekerja dihormati, dan para
pekerja dibayar denganupah yang cukup untuk hidup.
Prakarsa lain yang mangkus (relevan) untuk mendukungan transisi ke ekonomi rendah
karbon dan inklusif yang ramah lingkungan adalah Kemitraan Global untuk Kepariwisataan
Berkelanjutan. Misi dari Kemitraan Global ini adalah mendorong kemitraan untuk memajukan
berbagai prinsip kepariwisataan berkelanjutan pada berbagai daerah destinasi melalui
pemberlakuan kebijakan yang jelas, proyek yang inovatif dan transformatif serta berbagi
pengetahuan dan pengalaman, dengan tujuan untuk menciptakan kemitraan yang
efektifDikembangkan pula portofolio proyek, alat-alat dan proses untuk memandu industri
kepariwisataan, para konsumennya dan sektor publik ke arah kinerja yang berkelanjutan, sesuai
dengan Rekomendasi Kebijakan dari Satuan Tugas Internasional untuk Pembangunan
Kepariwisataan Berkelanjutan (2009).
Bekerja sama dengan Badan Pariwisata Berkelanjutan Global (GlobalSustainableTourism
Council-GSTC), Kemitraan Global telah mengembangkan suatu saringan dan proses evaluasi untuk
meninjauusulan proyek dalam kelayakan dan keberlanjutannya.
41
Dalam hubungannya dengan pencipataan pekerjaan dalam kepariwisataan berkelanjutan,
Kemitraan Global menentukan kriteria berikut ini:

Proyekmenjamin akses pasar yang efektif untuk orang miskin dapat menjual barang dan
jasa pada usaha pariwisata dan/atau wisatawan;

Proyekmenstimulasi penciptaan lapangan kerja di daerah miskin, dan mendorong
perbaikan kondisi kerja;

Proyekmendukung Usaha Kecil dan Menengah untuk memproduksi barang lokal dan jasa
secara berkelanjutan.

Proyekmemberlakukan berbagai praktek baik dalam mengarusutamakan keberlanjutan ke
dalam investasi dan pembiayaan kepariwisataan;

Proyek memperbaiki aksespada investasi dan sumberdaya finansial untuk UKM setempat

Proyek itu secara ekonomi dapat berjalandan layak dalam jangka panjang dengan manfaat
yang dapat diukur bagi destinasi sasaran.
2.1.9 Kontribusi Pariwisata Berkelanjutan pada Mitigasi
Perubahan Iklim.
Pariwisata merupakan korban tapi juga penyumbang pemanasan global. Perubahan iklim
menyebabkan naiknya permukaan air laut yang menimbulkan dampak pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Penggundulan hutan berefek pada berbagai ekosistem yang rentan dan
mengurangi penyerap karbon (carbon sink) dunia, juga mengurangi permintaan wisatawan
terhadap destinasi semacam itu. Pemanasan global berpotensi mengganggu ekonomi pariwisata
Indonesia.
Dalam menanggapi isu perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan
Rencana Aksi Nasional, 2007, yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Dokumen
ini merupakan instrumen kebijakan yang bersifat dinamis yang perlu dimutakhirkan sesuai
dengan keadaan dan menjadi komponen penting dalampariwisata berkelanjutan. Pada langkah
kedua dokumen tersebut juga perlu tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan
Menengah (RPJP dan RPJM). Untuk masa mendatang, dokumen itu juga perlu dirujuk dalam
praktek praktek yang dilakukan oleh berbagai lembaga terkait pada tingkat nasional maupun
daerah, dalam pelaksanaan berbagai regulasi dan kebijakan yang ada sekarang, dan dalam
merancang rencana pembangunan yang akan datang. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen
untuk mendorong pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, untuk memberikan sumbangan
kepada gerakan dunia dalam mencegah,mitigasi dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.
Rencana Aksi Nasional menyatakan 4 prinsip dalam pengelolaan pembangunan nasional, yaitu:
42
i.
ii.
iii.
iv.
Sinkronisasikan semua instrumen kebijakan dan regulasi dengan cara
sedemikian sehingga pembangunan ekonomi dan daya saing didasarkan kepada
persyaratan kelayakan sosio-ekologis (keselamatan manusia dan alam, produktivitas
dan keberlanjutan jasa lingkungan).
Instrumen utama untuk mencapai ketaatan terhadap prinsip pertama adalah
sinkronsasikan dan integrasikan penggunaan ruang dan keterkaitannya pada
sumberdaya publik, menghapuskan ‘tradisi’ ego sektoral .
Pencapaian tujuan sosio-ekologi perlu dilakukan melalui adaptasi pola konsumsi
dan produksi berkelanjutan semua agen perubahan.
Keterpaduan harus diwijudkan melalui persiapan dan rekayasa sosial berbasis pada
konteks komunitas dan lingkungan setempat.
Semua rencana aksi tersebut tidak hanya dapat diterapkan pada pembangunan
kepariwisataan akan tetapi juga sejalan dengan berkembangnya isu isu tentang pembangunan
pariwisata berkelanjutan.xxiii
Konvensi Kerangkakerja Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention
on Climate Change-UNFCCC) memprakarsai Program REDD+ dalam pengurangan emisi akibat
penebangan hutan dan kerusakan hutan merupakan upaya penting selain upaya mitigasi
perubahan iklim di Indonesia. Satuan tugas untuk mempersiapkan organisasi REDD + telah
dibentuk oleh Presiden Indonesia dan draft strategi nasional untuk REDD + telah tersedia untuk
mendapat masukan dari masyarakat umum pada tahun 2011 yang lalu.
Mekanisme global REDD+ merupakan peluangbagi Indonesiauntuk masuk ke dalam
transisi ekonomi rendah karbon dan merealisasikan komitmen sukarela Pemerintah Indonesia
untuk mengurangi emisi 26% sampai 40% dari biasanya pada tahun 2020. Emisi dari
Pemanfaatan Tanah, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (lLand Use, Land Use Change
and Forestry-LULUCF) Indonesia yang berasal dari penebangan hutan dan kerusakan hutan serta
tanah lumut. Oleh karena itu, strategi implementasi REDD+ fokus pada pemulihan hutan dan
pengelolaan tanah lumut. Lingkup REDD+ Indonesia mencakup:
i.
Mengurangi kecepatan penebangan hutan;
ii.
Mengurangi kerusakan hutan;
iii.
Meningkatkan / memperbaiki pelestarian;
iv.
Meningkatkan cadangan karbonmelalui hutan berkelanjutan dan pengayaan cadangan
karbon
Strateginya mencakup berbagai kelembagaan dan proses, kerangka hukum dan regulasi,
implementasi program strategis, perubahan paradigma dan etos kerja serta keterlibatan semua
pemangku kepentingan. Implementasi REDD+ ditujukan pada perbaikan kesejahteraan komunitas
yang pendapatannya bergantung pada hutan dan untuk memperbaiki pelestarian keanekaragaman
dalam ekosistem kehutanan. Mitigasi emisi melalui REDD+ memerlukan penataan ruang yang
jelas dengan sistem kepemilikan yang jelas dan hak atas tanah untuk sekitar 70 juta penduduk
yang hidupnya bergantung pada hutan.
43
Dalam konteks ini, pariwisata berkelanjutan, terutama ekowisata merupakan aktivitas
potensial yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu pilihan untuk ekonomi lokal berbasis hutan.
Beberapa pihak yang berwewenang dalam kehutanan di tingkat lokal yang dihadapkan kepada
tantangan menciptakan mata pencaharian alternatif dari pembalakan hutan, telah memperlihatkan
minat yang besar untuk mendorong pariwisata, khususnya usaha (ventura) dalam ekowisata,
asalkan direncanakan dan dikelola secara tepat dan bertanggungjawab. Implementasi program
strategis yang peka jender fokus pada keberlanjutan lansekap, suatu sistem ekonomi berbasis
sumberdaya alam, konservasi dan rehabilitasi. Ketiga program strategis akan menjadi dasar untuk
peralihan ekonomi rendah karbon dan pada waktu yang sama juga menjamin hak tradisional dan
hak komunitas lokal lainnya untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam konteks ini,
pariwisata berkelanjutan dalam bentuk pengalaman ekowisata dapat memberi sumbangan yang
berguna terhadap program implementasi REDD+ dan dapat dipromosikan di beberapa daerah,
sebagai alternatif mata pencaharian yang memungkinkanbagi kelompok lokal. Semua provinsi
yang mempunyai area hutan akan mendapat dukungan sebagian dari REDD+berupa bantuan
teknis dan juga finansial untuk koordinasi dan domumentasi. Pada saat yang sama, tidak tampak
bukti bahwa ekowisata telah secara nyata dipromosikan dan diimplementasikan dalam konteks
strategi nasional REDD+ sebagai alternatif mata pencaharian dan untuk pengelolaan keberlanjutan
sumberdaya yang rentan. Bagaimana pun, ekowisata akan sesuai benar dengan pilar ketiga
Strategi REDD+ tentang pembuatan program pertumbuhan alternatif. Ekowisata juga akan cocok
dibawah pilar keempat Strategi REDD+ tentang promosi dan pemberian hadiah/imbal jasa pada
aktivitas aktivitas ramah lingkungan. Ini merupakan kesenjangan yang perlu ditanggapi melalui
penguatan kolaborasi antara kedua program nasional, REDD+ dan DMO (Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif) . Misalnya, pariwisata berkelanjutan dapat berkontribusi pada konservasi
hutan untuk meningkatkan kesadaran nasional dan dunia dalam permasalahan yang dihadapi dan
peluang ekonomi, lingkungan dan sosial yang tersedia. Ini mencakup promosi ekowisata,
pariwisata kehidupan liar (wildlife tourism), pariwisata berbasis komunitas, pariwisata perdesaan
dan berbagai bentuk produk produk pariwisata berkelanjutan. Insentif finansial untuk
merangsang berbagai praktek pariwsiata berkelanjutan dapat membantu pengurangan emisi gas
rumah kaca. Peran para interpreter, audio visual dan barang cetakan tentang apa yang harus
dilakukan dan dilarang dilakukan, yang perlu dipelajari dalam berbagai kunjungan harus dibuat
dan disediakan. Selain dari pada itu, daerah alami yang banyak dikunjungi juga perlu
dikendalikan melalui bentuk rencana pengelolaan pengunjung yang tepat.
2.1.10 Membangun Industri Kepariwisataan yang Lentur
terhadap Bencana Alam dan Buatan Manusia
Indonesia adalah negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana alam: gempabumi,
tsunami, banjir atau letusan gunung berapi. Pada tahun 2004 tsunami di Aceh telah menimbulkan
banyak korban dan kerusakan pada area yang luas. Gempabumi pada tahun 2005 menimpa Pulau
Nias di Sumatra Utara dan Jogyakarta mengalaminya pada tahun 2006. Direktorat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Vulkanologi mencatat bahwa terdapat 28 daerah di negeri ini yang rawan
gempabumi dan tsunami, terbentang di seluruh negeri termasuk destinasi pariwisata seperti Bali
44
dan Nusa Tenggara. Negeri ini dikelilingi oleh garis patahan tektonik dunia dengan 500 gunung
berapi, yang menempatkan Indonesia sebagai pemilik gunung api dengan jumlah terbesar, dan
129 di antaranya aktif. Intensitas dampak letusan gunung berapi pada korban bencana
bergantung pada sifat letusannya, kondisi lingkungan sekitarnya dan kesiapan komunitas
menghadapi situasi. Kepadatan penduduk adalah salah satu faktor yang menentukan. Beberapa
gunung berapi Indonesia berlokasi dekat dengan daerah padat penduduk dan destinasi pariwisata,
seperti Galunggung di Jawa Barat, Merapi di Jawa Tengah, Bromo di Jawa Timur dan lain
lainnya di luar Jawa. Bencana lain dapat dipertalikan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang
tidak berkelanjutan, seperti misalnya penebangan hutan yang menyebabkan lahan longsor,
pengikisan, penggurunan, kebakaran hutan, dan pengelolaan sampah yang buruk yang
menumpahkan bahan bahan kimiawi, pencemaran sungai/ jalur air, laut dan air tanah.
Disamping bahaya alam, jenis bencana lain yang perlu diperhatikan adalah kegagalan
teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi dan penyakit. xxiv Kegagalan teknologi mempunyai
potensi menimbulkan bahaya pada kehidupan, merusak bangunan, infrastruktur, dan lingkungan.
Bahaya seperti itu mungkin meluas menjadi bencana bila penerima tidak siap menghadapi situasi
dan kapasitasnya tidak memadai untuk dapat menanggapi. Kapasitas atau kelemahan untuk
menaggapi dipengaruhi oleh berbagai faktor multi dimensi: fisik, lingkungan dan juga sosioekonomi, budaya dan kelembagaan.xxv Kegagalan modernisasi mungkin terjadi ketika mesin atau
peralatan baru menyebabkan kecelakaan kerja atau menimbulkan permasalahan lain. Pariwisata
mungkin mengalami kasus kasus kegagalan teknologi atau modernsasi seperti itu, seperti
misalnya kecelakaan transportasi atau kegagalan sistem teknologi modern dalam infrastruktur
rekreasi. Mungkin juga terdapat dampak yang tidak terlalu kelihatan seperti pencemaran pada air
tanah karena buangan kimiawi. Epidemik dan penyakit di destinasi mungkin akan menular ke
wisatawan atau menyebar ke penduduk setempat. Penduduk setempat, pekerja dan wisatawan
mungkin menjadi korban.
Terakhir tapi bukan yang penghabisan, bencana sosial yang disebabkan oleh suatu acara
atau serangkaian acara yang diciptakan oleh manusia harus dipikirkan, seperti misalnya konflik
sosial antara kelompok kelompok sosial atau antar komunitas maupun terorisme. xxvi Bencana
sosial mungkin terjadi dalam komunitas, menyebabkan situasi yang tidak menyenangkan bagi
wisatawan, atau mungkin terjadi antara wisatawan dan komunitas atau antar wisatawan. Tempat
penyelenggaraan peristiwa penting/acara besar atau destinasi populer mungkin menjadi sasaran
bencana sosial dan politik. Banyak bencana dengan dampak pariwisata yang berbeda telah terjadi
di Indonesia seperti terorisme di Bali dan Jakarta, perang sipil di Aceh, Timor l’Este, kerusuhan
sosial di Maluku dan Papua, dan lain sebagainya.
Setiap jenis bencana dan bahaya mempunyai dampak langsung dan juga tak langsung
kepada pariwisata. Tsunami dan terorisme telah menyebabkan kematian penduduk setempat dan
juga wisatawan di destinasi. Peristiwa semacam itu seringkali diikuti oleh peringatan (travel
warnings) dari negara lain dan menyebabkan wisatawan menunda atau membatalkan
kunjungannya dan memilih destinasi yang lebih aman. Keamanan dan keselamatan menjadi
pertimbangan pertama wisatawan dalam memilih suatu destinasi.
45
Pariwisata berkelanjutan menganjurkan untuk bersiap menghadapi kemungkinan
bermacam-macam krisis yang banyak dan berbeda-beda yang disebabkan oleh alasan
alasan yang berbeda.
Hal ini memerlukan ketaatan terhadap prinsip prinsip pembangunan berkelanjutan, seawal
mungkin sejak proses perencanaan dimulai, pada saat pelaksanaan dan juga sepanjang aktivitas
operasional berlangsung. Bilamana memungkinkan, perlu disiapkan antisipasi, faktor-faktor
penyebab krisis harus diidentifikasi dan dihindari, serta dikembangkan rencana strategis dan
taktik untuk menanggapinya.
2.1.11 Mengelola Dampak Pariwisata yang Merugikan
Meskipun manfaat ekonomi mendorong provinsi, kabupaten dan kota dan juga investor
mengembangkan berbagai usaha kepariwisataan, dampak pariwisata harus ditangani dengan
penuh perhatian. Ini mencakup dampak lingkungan dan sosio-budaya, dengan penekanan pada isu
jender, dan juga dampak nyata terhadap ekonomi, termasuk biaya eksternal.
Dinamisnya pertumbuhan industri pariwisata telah menjadi pilihan usaha yang menarik
bagi para investor yang mengincar lokasi lokasi strategis dengan sumberdaya alam dan budaya
untuk mendukung bisnisnya. Teknologi informasi mendukung akses ke hampir semua jenis
informasi yang diperlukan oleh para pelancong, merangsang orang untuk berkunjung, melihat,
berkeliling dan menikmati berbagai tempat yang sebelumnya ‘tidak dikenal’nya, untuk
mendapatkan pengalaman yang bermakna. Fenomena alam, sumberdaya bawah air, pulau kecil,
hutan tropis, sungai dan arusnya sangat menarik bagi wisatawan.
Pengelolaan dampak lingkungan mungkin dilakukan dengan melaksanakan rencana
pengelolaan destinasi yang efektif yang secara konsisten memegang teguh berbagai prinsip
pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan destinasi, dalam hal ini, mungkin mencakup pemantauan
atas indikator alam dan budaya yang penting untuk melihat perubahan dari waktu ke waktu.
Perubahan tataguna lahan biasanya tidak menjadi perhatian para pejabat pariwisata pada
umumnya, yang lebih merasa berkepentingan dengan turun naiknya jumlah kunjungan.
2.1.12 Pembelajaran dari Pengalaman dan Praktek yang baik
dan benar.
Praktek yang baik dan benar dari Indonesia dan dunia internasional yang memperlihatkan
pelaksanaan yang benar dan hasil (outcome) yang positif dari praktek pariwisata berkelanjutan,
dapat digunakan sebagai panduan untuk pembangunan destinasi di masa depan. Harus diperjelas,
46
bahwa kasus pembangunan destinasi tidak dapat direplikasi dari satu tempat ke tempat lainnya,
akan tetapi aspek aspek tertentu dapat digunakan sebagai pembelajaran dan penunjuk ke arah
yang benar.
Contoh 1: Ekowisata di Bogor
Contoh ini diambil dari usaha kecil, yang menjalankan rumah inap (homestay). Rumah
inap ini memulai usahanya pertama tama dengan melibatkan komunitas setempat, melatih dan
melibatkannya dalam kegiatan. Mereka juga mengembangkan produk kreatif, melibatkan
masyarakat dan kerbaunya dalam paket wisata dan kemudian menarik para wisatawan
internasional maupun domestik. Mereka memfasilitasi komunitas lokal melalui tarian tardisional
yang masuk ke dalam paket/produk wisata rancangannya. Rumah inap ini telah sering dikunjungi
siswa dari jakarta dan tempat lainnya, termasuk dari berbagai sekolah internasional.
Kepemimpinan, konsistensi, dan bekerja dengan hati merupakan faktor kunci keberhasilannya.
Contoh 2: Perencanaan Pariwisata di Bali.
Salah satu pelajaran terbaik dari negeri ini adalah pembangunan Resor Nusa Dua Bali di
bawah Bali Tourism Development Corporation (BTDC) pada tahun 1970an. Proses perencanaan
dan implementasinya memakan waktu lama yang membuat Nusa Dua menjadi salah satu resor
terbaik di dunia. Secara kelembagaan, keputusan politis pada tingkat nasional, secara intensif
didiskusikan dengan Pemerintah Provinsi, didukung oleh konsultan yang profesional dan
bertanggung-jawab, telah membawa pembangunan kepariwisataan di Nusa Dua, Bali dilakukan
secara komprehensif dan terarah baik pada tahun 1980-an. Faktor-faktor yang menunjang
keberhasilannya antara lain: (i) penghargaan pada budaya dan kearifan lokal dalam proses
perencanaan serta melibatkan pekerja setempat selama tahap konstruksi dan operasionalnya, (ii)
pembentukan lembaga pendidikan yang mendidik terutama penduduk lokal untuk memperoleh
peluang menjadi tenaga kerja di resor tingkat dunia; (iii) Pemilihan tapak, lokasi yang prima
tanpa menganggu kehidupan ekonomi pada waktu itu. Lokasi kawasan Nusa Dua merupakan
daerah kering, tanah gersang yang hanya bisa ditumbuhi oleh pohon kelapa, tanpa dapat
menyediakan kehidupan yang layak bagi komunitasnya (tidak mengubah aktivitas produktif).
Pengembangan kapasitas dalam konsep dan praktek pariwisata berkelanjutan untuk
pemerintah lokal, sektor swasta nasional, dan komunitas yang dipertaruhkan sangat
penting dan perlu menjadi arusutama agenda pembangunan, dan khususnya
pembangunan pariwisata berkelanjutan
Contoh 3: Rehabilitasi Berkelanjutan di Pangandaran
Seperti dialami oleh banyak daerah,pariwisata sangat sensitif terhadap bencana alam
termasuk Pangandaran di Jawa Barat yang dilanda tsunami pada tahun 2006. Tragedi tersebut
telah mendorong Pemerintah mempersiapkan rencana pengelolaan yang bertumpu pada
komunitas, yang didukung oleh UNWTO. Meningkatnya kesadaran komunitas membawa
47
Pangandaran ke dalam tatanan yang baik ketika rehabilitasi dilaksanakan bersamaan dengan
promosi pariwisata berkelanjutan. Dalam kondisi tertentu, praktek-praktek yang tidak sesuai
dengan hukum seringkali terjadi untuk memenuhi tujuan jangka pendek atau memperoleh
manfaat pribadi. Meskipun pada umumnya, berbagai hal telah diarahkan ke pembangunan
berkelanjutan, akan tetapi masih terdapat praktek-praktek yang kurang tepat, bahkan telah
dilakukan oleh anggota kelompok kerja setempat yang seharusnya menjadi memberi contoh baik
bagi yang lain. Pemerintah setempat sangatlah perlu menjaga peraturan agar tetap
konsisten dan melakukan penegakan hukum.
Banyak cerita keberhasilan yang lain membekali kita dengan sejumlah kata kunci: Sebarluaskan konsepnya sebelum memulai satu program; dorong kesadaran dan kepekaan terhadap isu
isu lingkungan, partisipasi aktif, penguatan semua pemangku kepentingan, pelembagaan daya
dukung, memperluas jaringan dan promosi; pemantauan yang berkesinambungan dan lainnya.
Rincian dari berbagai praktek terbaik dan pembelajarannya telah disusun dan disajikan pada
Lampiran 5.
2.2 Analisis SWOT untuk Pariwisata Berkelanjutan di
Indonesia
Analisis SWOT di bawah ini menjadi dasar analisis tentang kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman yang relevan dengan masa depan pariwisata berkelanjutan di (dan untuk)
Indonesia.
2.2.1 Kekuatan
Sosio-budaya:
Pariwisata Indonesia mendapat manfaat dari aset budaya, pusaka dan juga kehidupan
budaya saat kini dengan kearifan lokalnya serta keunikan tradisinya. Semangat besar untuk
mengonservasi budaya lokal telah menguat. Peningkatan kebanggaan atas budaya, revitalisasi
budaya, perbaikan konservasi dan restorasi situs warisan budaya telah terbukti, antara lain
diperlihatkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program Perencanaan Kota Pusaka.
Lingkungan :
Kearifan lokal di beberapa tempat terbukti efektif dalam melindungi sumberdaya
lingkungan. Kesadaran akan pentingnya pembangunan yang ramah lingkungan pun semakin
menguat. Berbagai kelompok lingkungan dan aktivis pembangunan serta sikap ramah lingkungan
telah tumbuh di berbagai provinsi terdepan seperti Bali, Jakarta, Jawa Barat dan lainnya. Pada
48
tingkat destinasi lokal, Indonesia telah memperlihatkan banyak kasus dan praktek terbaik dalam
ekowisata, yang di antaranya dapat dilihat ringkasannya di lampiran 5.
Keaneka-ragaman hayati dan Budaya :
Area ini sejak lama merupakan kekuatan Indonesia, dan menjadi dasar pembangunan
pariwisata. Fenomena dan ciri alam seperti: gunung api dan kalderanya, gunung, danau, gua,
hutan hujan tropis, padang rumput, sungai, pantai, kehidupan bawah air dan peristiwa budaya,
festival, kerajinan dan juga pusaka merupakan sumberdaya pariwisata Indonesia, yang masih
menunggu pengemasan menjadi berbagai paket yang kreatif dan bertanggung-jawab.
Perencanaan Destinasi:
Kebanyakan daerah telah menyadari tentang perlu dan pentingnya perencanaan
pembangunan kepariwisataan. Pada tingkat nasional, Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Nasional telah mendapat pengesyahan. Destinasi pariwisata terkemuka seperti
Bali dan Jakarta telah mengintegrasikan rencana pembangunan pariwisatanya dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah. Semakin banyak DMO dibentuk oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif untuk rencana yang lebih baik bagi berbagai destinasi tertentu.
Dukungan Politis:
Pariwisata Indonesia didukung oleh kemauan politik yang semakin kuat, diantaranya
tampak dengan diterbitkannya Instruksi Presiden no. 16-2005, dan terus bertambahnya anggaran
belanja nasional untuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.3
Isu Jender :
Perempuan telah tercatat mengepalai sejumlah Asosiasi Industri Perjalanan dan
Pariwisata, Asosiasi Industri Perhotelan, Asosiasi Usaha Pertiketan dan juga berada dalam posisi
tinggi dalam administrasi sebagaimana dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang
sekarang ini.
Pembagian kerja berdasarkan jender sangat menonjol dalam industri pariwisata. Untuk
kedudukan tertentu dalam industri pariwisata perempuan lebih mudah masuk dan lebih banyak
diminta. Pekerja perempuan dominan dalam perdagangan grosir maupun eceran, restoran, dan di
‘garis depan’ (frontliners) hotel serta jasa pariwisata lainnya.
3
Mulai pada akhir Oktober 2011,Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata beralih menjadi Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif; dan Kemeterian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Rencana
Strategis ini, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan digunakan untuk hal hal terkait sebelum peralihan, dan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bila menunjuk pada perioda setelah Oktober 2011.
49
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan
Pedoman Perenca-naan dan Penganggaran yang Responsif Jender dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, bekerja sama dengan Kementerian lain (mis. Kementerian
Pekerjaan Umum). Upaya ini diperkuat melalui peraturan Menteri Keuangan (PMK 119/ 2009)
tentang pengesyahan penganggaran yang responsif jender kepada semua kementerian/lembaga
pada semua tingkat pemerintahan.
2.2.2 Kelemahan
Ekonomi:
Di antara berbagai indikator yang sejauh ini belum diukur adalah kebocoran ekonomi.
Berdasarkan pengamatan, wawancara dan pengalaman dari negara negara berkembang lain,
kebocoran dari beberapa operasi bisnis pariwisata tertentu dapat melebihi 50%. Semakin suatu
negara tidak berkembang, semakin tinggi kemungkinan kebocoran terjadi. Hal ini juga berlaku
pada daerah yang lebih terbelakang dalam suatu negara.Pemilikan banyak bisnis pariwisata skala
besar di Bali atau destinasi baru lainnya oleh MNEs, bertumbuh dengan tidak seimbang
dibandingkan dengan kepemilikan lokal. Keuntungan ekonomi di lokasi yang lebih dan paling
belum berkembang diperkirakan kecil atau sangat kecil, karena lemahnya keterkaitan ekonomi ke
depan mau pun ke belakang. Kontribusi pariwisata yang nyata dalam penanggulangan
kemiskinan masih memerlukan pengukuran yang lebih tepat.
Dari pengamatan di sejumlah destinasi, ekonomi informal masih memperkerjakan pekerja
di bawah usia 15 tahun sebagai pekerja sambilan atau pekerja keluarga yang tidak dibayar.
Berdasarkan masukan yang diperoleh pada waktu konsultasi dengan Asosiasi Pengusaha
Pariwisata Indonesia (Apindo, 2011), secara umum sektor informal dapat mencapai 70%-80%.
Perlu diperhatikan bahwa dalam sektor informal keterlibatan perempuan dibanding dengan sektor
formal adalah (75%:25%), lebih tinggi dibanding dengan laki-laki (66%:34%).
Sosio-budaya:
Kepuasan komunitas terhadap dampak pariwisata pada tingkat lokal sangat sering
diabaikan. Komunitas di Bali dan Bandung misalnya telah banyak mengeluh. Manfaat ekonomi
dari pariwisata mungkin tidak dengan sendirinya membawa perbaikan pada indikator sosiobudaya, malah sebaliknya seringkali erosi dari nilai-nilai budaya, pengabaian budaya lokal, dan
kerusakan pada situs budaya merupakan konsekuensi yang harus ditanggung.Bali yang telah
“dijaga” sebagai ikon pariwisata Indonesia terdepan masih menghadapi penyalahgunaan visa
wisatawan untuk praktek ilegal terkait obat-obatan terlarang, prostitusi dan pedofilia yang
mengakibatkan gangguan dan kerugian bagi penduduk lokal dalam hal keamanan, keselamatan,
kesehatan dan budayanya.
50
Banyak kasus pembongkaran bangunan pusaka bernilai sejarah menjadi berita di media
massa. Temuan arkeologi baru masih tetap menghadapi kendala terkait dengan keamanan dari
perlakuan yang tidak bertanggung jawab. Pariwisata seringkali dijadikan alasan untuk
pembenaran pembangunan situs pusaka, yang mungkin akan mengubah tampilan dengan
rancangan yang tidak tepat. Pengelolaan pengunjung yang lemah mungkin akan membahayakan
keberlanjutan situs tersebut.
Pekerjaan yang layak:
Prosentase buruh dan pekerja dalam perdagangan dan pariwisata yang bekerja dengan
waktu yang panjang, yaitu lebih dari 59 jam per minggu, masih besar. Jumlahnya secara terus
menerus bertambah dari 4,3 juta pada tahun 2006, menjadi 6,19 juta pada tahun 2008 dan 6,35
juta pada tahun 2010. Dibandingkan dengan total pekerja yang berumur 15 tahun ke atas,
proporsinya bertambah dari 23,2% (2006) menjadi 29,9% (2008) dan 28,6% dalam tahun 2010
(BPS, tentang KondisiTenaga Kerja Indonesia). Standar keamanan sosial, sistem pensiun,
keselamatan serta kesehatan, jaminan keamanan kerja, perspektif karir masih kurang.
Lingkungan:
Sementara telah banyak perbaikan dalam berbagai praktek pariwisata, terutama pada
beberapa hotel dan resor kelas menegah ke atas, di tempat-tempatwisata utama dan di beberapa
tempat ekowisata beroperasi, pada umumnya, industri yang terlibat dalamsertifikasi terkait
lingkungan masih sangat rendah.
Pada tingkat lokal, terdapat banyak isu lingkungan yang mempunyai pengaruh penting
pada keberlanjutan sektor pariwisatanya. Danau Toba misalnya, yang pernah menjadi destinasi
internasional yang populer di Sumatra Utara, telah mengalami degradasi lingkungan dan
pemanfaatan yang tidak kompatibel (perikanan dan pembangunan PLTA). Penegakan hukum
dalam perlindungan lingkungan masih lemah. Permintaan konsumen merupakan tantangan besar
dalam menarik investasi swasta dalam berbagai proyek kepariwisataanyang berkelanjutan di
Indonesia karena kurangnya informasi yang terkonsolidasi tentang permintaan ini. Sementara
beberapa studi dan data menunjukkan bahwa banyak individu mau mengeluarkan lebih banyak
uang untuk produk ramah lingkungan selama melakukan perjalanan, hanya sedikit data dari
kasus yang memperlihatkan persentase konsumen yang mau melakukannya atau mau
mendasarkan keputusan perjalanannya menurut kriteria berkelanjutan. Harga, pengalaman, dan
kenyamanan tetap menjadi faktor utama untuk wisatawan Indonesia.
Perencanaan dan Pengendalian Destinasi:
Salah satu aspek yang terlemah dalam pembangunan kepariwisataan Indonesia adalah
koordinasi perencanaan publik, efektivitas dan pengendalian rencana. Semua provinsi sudah
mempunyai rencana induk dalam bentuk dan tingkat kualitas tertentu, dan beberapa dari 383
51
pemerintah daerah Kabupaten/Kota juga telah mempunyai rencana atau sedang menyusunnya.
Tetapi, apakah rencana rencana tersebut telah disiapkan melalui proses pendekatan berkelanjutan,
pernah atau akan menjadi pedoman pembangunan, masih perlu dipertanyakan.
Kenyataan bahwa pejabat kepariwisataan di daerah mengalami mutasi kerja tanpa jalur
karir, dan bahwa banyak rencana pariwisata dipersiapkan tidak secara profesional, menyebabkan
perencanaan untuk pariwisata menjadi tidak realistik atau terlalu sederhana. Hanya beberapa
provinsi saja dengan pejabat yang kompeten, telah dapat mengintegrasikan pariwisata ke dalam
rencana komprehensif daerahnya.
Kelemahan signifikan lain ditunjukkan oleh banyaknya kasus pelanggaran peraturan:
pelanggaran atas ketinggian bangunan, izin usaha, pemanfaatan lahan, dan perubahan fungsi
lahan yang tidak terkendali, adalah sejumlah pelanggaran yang menjadi catatan. Sementara
kebanyakan hotel terdaftar sesuai hukum yang berlaku, di pihak lain banyak bermunculan tempat
menginap (homestay) atau akomodasi sewa lain yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Dalam
industri makanan, sektor informal, terutama pedagang kaki lima yang jumlahnya besar belum
terakomodasi dalam rencana apa pun.
Kapasitas Bandara Utama:
Kapasitas berbagai pintu gerbang internasional sudah terlampaui (bandara SoekarnoHatta di Jakarta/Banten, Ngurah Rai di Bali, dan sampai taraf tertentu bandara H.Juanda di
Surabaya/Jawa Timur). Rencana perluasan masih memerlukan waktu supaya menjadi efektif.
Kapasitas yang sudah terlampaui sekarang ini menyebabkan menurunnya kenyamanan, baik
untuk para penumpang yang bepergian dan juga untuk maskapai penerbangan.
Produk-Produk Pariwisata :
Perencanaan dan pengembangan produk ramah lingkungan masih sangat kurang ditengah
cepatnya pembangunan beberapa elemen produk yang sangat terkonsentrasi di sejumlah destinasi
tertentu, yang membuat ketidakseimbangan antar dan dalam daerah. Dalam kaitannya dengan
akomodasi, lebih dari 70% hotel berbintang dan lebih dari 50% hotel yang non-bintang berada di
Jawa dan Bali, membuat provinsi provinsi besar dan pulau lainnya tertinggal di belakang
(selebihnya juga terkonsentrasi di Pulau Batam dan kota kota yang berstatus ibukota).
Keselamatan penumpang dan standar teknis sarana transportasi masih perlu didorong.
Kecelakaan yang terjadi, pelanggaran oleh pilot, penundaan jadwal atau pembatalan
penerbangan merupakan indikator kualitas pelayanan transportasi umum yang perlu diwaspadai.
52
Integrasi/Koordinasi di antara Pemangku Kepentingan/Pembuat Kebijakan
Kepariwisataan:
Keterpaduan program berbagai kementerian dan lembaga dalam penanganan
kepariwisataan masih lemah. Masing-masing lembaga hanya merujuk kepada rencana strategis
kementeriannya masing-masing untuk penyusunan programnya. Kalaupun ada, hanya sedikit
program yang ditujukan sebagai program bersama antar kementerian. Kementerian Pekerjaan
Umum,misalnya mempunyai program untuk mendukung kota kota pusaka (yang juga merupakan
destinasi wisata) dalam persiapan rencana pengelolaannya. Keterlibatan sektor lain masih
terbatas pada perorangan, dan belum melembaga.
Peraturan dan Pengaturan/ Regulasi;
Sementara maksud kebijakan perundang-undangan yang mengatur kepariwisataan di
Indonesia sudah tepat, pelaksanaan peraturan dan regulasi dalam pariwisata masih lemah.
Pernyataan ini juga didukung oleh fakta bahwa WEF menempatkan Indonesia dalam peringkat
ke-113 di antara 133 negara yang dievaluasi dalam hal ‘rules and regulations’.4
2.2.3 Peluang
Pasar pasar Baru
Pasar Asia Pasifik yang bertumbuh cepat sebagai pasar utama bagi Indonesia merupakan
peluang bagi Indonesia yang secara strategis terletak di pusat wilayah ini. Timur Tengah
merupakan sumber pasar lain yang potensial. Selain dari itu, pasar internasional yang bervariasi
juga merupakan keuntungan bagi Indonesia yang sumberdayanya beragam.
Indonesia mungkin juga dapat berharap dari tumbuhnya pasar internasional negara
berkembang lainnya. Pasar domestik sendiri tumbuh mantap, disamping pasar masal sifat, pasar
‘niche’ baru untuk produk berkualitas lebih tinggi juga tumbuh. Dengan meningkatnya
pendidikan dan kesadaran, didukung oleh informasi yang lebih baik dan angkutan yang murah,
minat ke destinasi luar pulau juga tumbuh. Akan tetapi, belum ada prakarsa yang menargetkan
peristiwa (events), konperensi atau hotel kelas ekonomi rantai pasokan yang berkelanjutan,
khususnya di Indonesia.
Ekonomi:
Prospek ekonomi Indonesia, dengan tingkat pertumbuhannya tertinggi di ASEAN selama
6 tahun terakhir ini dan juga diharapkan pada tahun 2012, memberikan sinyal positif pada lebih
banyaknya investasi, termasuk investasi (yang akan berubah ke) pariwisata berkelanjutan yang
4
Evaluasi didasarkan pada indeks komposit yang menggunakan variabel, seperti: kelaziman pemilikan oleh asing, dampak
regulasi pada bisnis, visa, properti, kebijakan bilateral penerbangan, transparansi proses penyusunan kebijakan Pemerintah,
waktu dan biaya untuk memulai usaha.
53
menawarkan pekerjaan ramah lingkungan. Terdapat peluang untuk pembentukan usaha baru yang
secara langsung dan tidak langsung meningkatkan penciptaan lapangan kerja. Industri pariwisata
berpotensi besar menyerap pekerja muda. Diperkirakan separuh dari tenaga kerja pariwisata
berusia di bawah 25 tahun5. Perempuan juga banyak terwakili. Dalam hubungannya dengan rantai
pasokan, satu pekerjaan dalam industri inti pariwisata secara tidak langsung menimbulkan 1,5
pekerjaan tambahan pada ekonomi terkait.
Sosio-budaya:
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan merupakan peluang untuk
memperbaiki partisipasi UMKM dalam pelaksanaan pariwisata berkelanjutan. Perubahan gaya
hidup orang Indonesia, didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan meluasnya pasar domestik,
membaiknya pendidikan dan akses terhadap informasi, menyebabkan pariwisata telah semakin
menjadi bagian yang tetap dalam pengeluaran keluarga dan individu dibanding sebelumnya.
Bertumbuhnya kelas menengah bahkan kelas menengah-rendah, telah menempatkan pariwisata
sebagai salah satu kebutuhan mereka. Ini sangat berbeda dengan situasi beberapa dekade lalu
ketika pariwisata masih dipandang sebagai barang mewah untuk sejumlah kecil kelompok
masyarakat yang mapan. Sekarang ini orang lebih membutuhkan rekreasi dan bersenang-senang,
dalam berbagai bentuk bergantung pada kemampuan finansialnya, pendapatan yang dapat
disisihkannya, dan latar belakang sosio-budayanya.
Industri berbasis budaya bertumbuh sebagai bagian dari ekonomi kreatif dan relatif
menjadi jenis baru daya tarik atau bagian dari mata rantai produk pariwisata berkelanjutan yang
menghasilkan pekerjaan layak yang ramah lingkungan bagi penduduk lokal.
Kerangka Kelembagaan:
Pembentukan lembaga seperti misalnya Badan Nasional untuk Perubahan Iklim, REDD+
dan lembaga lembaga tingkat provinsi telah membuka peluang pada pariwisata untuk masuk ke
dalam rencana aktivitas ramah lingkungan, yang dapat memberi kontribusi pada program
pengurangan emisi dan konservasi dari daerah yang dilindungi misalnya melalui ekowisata.
Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Rencana Aksi Nasional menghadapi
perubahan iklim, dan juga Strategi Nasional REDD+. Ini juga berisi sumber dukungan finansial
yang semakin bebas melalui Governor’s Climate Forests /GCF.6
5
Berdasarkan ILO (2011): PanduanPenanggulangan Kemiskinan melalui Pariwisata(Toolkit on Poverty Reduction Through
Tourism)
6
GCF adalah koloborasi sub-nasional negara dan provinsi di Amerika Serikat, Brazilia, Nigeria, Peru, Mexico dan
INDONESIA yang mengembangkan Program Pengurangan Emisi, Penggundulan dan Kerusakan Hutan (REDD+) dan
mengaitkannya dengan ke peluang pasasr dan non-pasar yang sedang bertumbuh. Provinsi di Indonesia yang menjadi
anggota adalah Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua. Pertemuan Palangka Raya
antara lain mencakup pendidikan dalam kebijakan REDD+ pada tingkat nasional dan provinsi, peluang baru untuk
pembiayaan dan kerangka hukum, penyusunan lembaga REDD+ pada tingkat sub-nasional/ provinsi (Kompas, 26 September
2011)
54
Perencanaan dan Pengendalian Destinasi
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengembangkan program bantuan
pariwisata untuk pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri) sejak tahun 2009. Semakin banyak
desa di semua Provinsi dibantu untuk mengembangkan inisiatifnya. Selain dari pada itu, juga
telah dijalankan program DMO, yang diarahkan untuk mencapai pengelolaan yang lebih baik
bagi 15 destinasi pariwisata terpilih di Indonesia.Strategi DMO memberikan peluang pada
‘pekerjaan layak yang ramah lingkungan’ baru dan pengakuan Pemerintah bahwa pariwisata
berkelanjutan dapat menyumbang pada komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca.
Pariwisata juga dapat memperoleh manfaat dari program dan aktivitas terkait yang
dijalankan oleh Kementerian lain: Kehutanan, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Pendidikan dan
Kebudayaan, Kelautan dan Perikanan, Koperasi dan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro; atau
bahkan Kementerian Pemuda dan Olahraga.7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak juga mempunyai program terhadap perempuan dan anak-anak terkait dengan
pembangunan berkelanjutan melalui kesetaraan jender dalam pariwisata dan perhatian terhadap
perempuan dan anak-anak.
Ekonomi Kreatif:
Pengembangan Industri Kreatif yang sekarang berada di bawah satu atap dalam
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelumnya di bawah Kementerian Perdagangan)
membuka peluang terhadap pengembangan lebih banyak produk pariwisata ramah lingkungan
Destinasi aktif seperti Kota Bandung di Jawa Barat telah disebut sebagai pusat industri kreatif
yang telah mampu menarik wisatawan domestik dan internasional. Ekonomi kreatif dalam hal ini
mencakup inisiatif untuk menghasilkan produk ramah lingkungan, seperti misalnya produksi
kertas seni, dan berbagai benda dan barang fungsional lainnya dari sampah atau pengganti
barang barang dari plastik (tas, keranjang sampah, dll).
Pariwisata Perkotaan:
Banyak kota lain yang bertumbuh cepat seperti Pekanbaru di Riau, Palembang di Sumatra
Selatan, Surabaya di Jawa Timur, Makassar di Sulawesi Selatan, Manado di Sulawesi Utara
merupakan destinasi pariwisata perkotaan yang potensial. Pada masa depan destinasi perkotaan
ini, terutama yang kaya dengan aset pusaka (heritage) nya, juga mungkin berkembang ke arah
eco-ethno tourism dan destinasi pariwisata bisnis melalui berbagai acara acara besar, konvensi
dan ekshibisi. 8
7
SEA Gamesdi Palembang telah mempercepat konstruksi tidak hanya infrastruktur olahraga melainkan juga infrastruktur
pariwisata yang menguntungkan sektor pariwisata sebelum, selama dan setelah acara berlangsung.
8
Istilah eco-ethno tourism adalah istilah dari penulis untuk menunjukkan suatu konsep serupa dengan eko wisata dengan
lebih banyak penekanan pada warisan budaya, tanpa menghilangkan pentingnya ekologi. Ekowisata biasa diinterpretasikan
lebih sebagai pariwisata alam yang bertanggung-jawab; untuk menunjukan konsep – pelestarian, pendidikan, partisipasi dan
manfaat ekonomi- dapat juga diterapkan di daerah perkotaan, maka diperkenalkan istilah eco-ethno turisme.
55
ASEAN:
Kedudukan Presiden Indonesia sebagai pemimpin negara-negara anggota ASEAN (2011)
dapat mendukung semangat ASEAN dalam mengimplementasikan komitmen terhadap
pembangunan pariwisata berkelanjutan, sebagaimana digaris-bawahi selama pertemuan antara
kepala-kepala negara pada tahun 2011.
Indonesia sebaiknya berinvestasi lebih jauh dalam riset dan pendidikan pariwisata yang
berkualitas pada tingkat pendidikan tinggi (tertiary level) dan menjadi “ASEAN centre of
excellence” dalam ‘ekonomi pariwisata, yang berbasis pengetahuan’, mendorong riset dan
pengembangan dan menggunakan acuan
internasional untuk kurikulum pendidikan
kepariwisataan dan hospitality .
2.2.4 Ancaman
Kesadaran:
Ancaman ada pada pola pikir masyarakat dan pemerintah yang tidak menyadari dampak
negatif yang akan terjadi yang diakibatkan oleh kebocoran ekonomi dari investasi yang padat
modal dan perubahan tataguna lahan akibat adanya investasi terkait pariwisata, kurangnya
investasi publik dalam infrastruktur dan pengembangan sumberdaya insani, yang mungkin akan
menurunkan kontribusi pariwisata dalam pembangunan nasional.
Ekonomi:
Investasi dan bisnis pariwisata telah ditandai dengan semakin meningkatnya liberalisasi,
dalam kondisi ketidaksiapan. Di banyak daerah pariwisata, komunitas lokal telah termarjinalkan
karena peralihan kepemilikan lahan. Pembelajaran dari negara berkembang lain seperti misalnya
kasus Machu Picchu di Peru, dimana wisatawan kini telah dibuat tidak melewatitempat pedagang
para pedagang dan pemasok lokal berjualan, setelah Pemerintah Peru memberikan konsesi jangka
panjang di Warisan Dunia yang terkenal tersebut ke perusahaan swasta dan konsesi lain di
komunitas yang sebelumnya memiliki sawah dan perkebunan pisang ke hanya investor asing
yang potensial selama 50-60 tahun (lihat detilnya pada Lampiran 2) dan juga pernyataan deklarasi
Bern yang menyebutkan:
“komitmen lebih lanjut untuk liberalisasi di bawah WTO GATS akan menjadi ANCAMAN
terhadap sejumlah prakarsa pariwisata yang bertanggungjawab yang menguntungkan penduduk
setempat dan membantu melindungi mata pencahariannya (lihat detailnya dalam Lampiran 3)”
56
Investasi untuk mengatasi kekurangan infrastruktur di destinasi tidak mencukupi, dengan
ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat. Karena pariwisata melonjakkan permintaan
terhadap barang barang lokal/produk perdesaan dan lahan maka harga pun naik, nilai
pendapatan mereka yang sudah terbatas menjadi relatif menurun.
Lapangan kerja:
Pariwisata kadang-kadang menerima dukungan awal dari komunitas lokal yang berharap
akan tersedianya lapangan kerja. Akan tetapi, dalam banyak kasus malah sebaliknya yang terjadi,
pariwisata telah menggusur mata pencaharian/pekerjaan tradisional komunitas sebelum lapangan
kerja baru tercipta. Dan bahkan bila pariwisata benar-benar menciptakan lapangan kerja,
komunitas lokal, termasuk perempuan, mungkin tidak memenuhi syarat untuk menduduki
berbagai posisi yang ada.
Sumberdaya insani dan pendidikan kepariwisataan:
Investasi dalam pengembangan sumberdaya insani dan riset tentang subjek terkait
pariwisata tidak diprioritaskan, yang diindikasikan dengan sukarnya mendapat beasiswa dan dana
riset (pariwisata tidak menjadi daftar prioritas topik riset).
Pemilikan lahan yang semu:
Berbagai kasus termasuk di Bali, dimana masyarakat setempat, tanpa menyadari
akibatnya, meminjamkan namanya untuk digunakan sebagai “pemilik lahan” oleh orang asing,
tanpa mempunyai kewenangan sama sekali terhadap lahan tersebut. Bila beruntung, mereka
hanya diizinkan untuk menanam selama ‘perioda menunggu’. Kecenderungan pemilikan lahan di
atas kertas -tanpa ada kesadaran terhadap bisnis-telah menyebar juga ke daerah lain. Untuk
keluarga miskin yang tidak tahu apapun, ‘meminjamkan/menyewakan’ namanya merupakan cara
yang mudah untuk mengatasi kemiskinan.
Marjinalisasi Usaha kecil:
Arus masuk investasi asing, termasuk dalam akomodasi sederhana dengan kualitas
standard yang baik, mungkin akan memarginalkan akomodasi skala kecil yang sudah ada di
tempat tersebut. Juga terdapat indikasi bila pribadi (yang tidak mempunyai izin usaha) menjadi
tuan rumah wisatawan, menyaingi akomodasi komersial formal yang membayar pajaksecara tidak
sehat. Pengalaman lain untuk pembelajaran adalah kasus minimarket yang mendominasi usaha
eceran, tidak hanya terbatas pada kota besar tetapi sudah menyebar sampai ke kota kecil,
menyebabkan pasar dan toko toko tradisional mengalami kesulitan).
57
Kompetisi luar:
Kompetisi dari negara negara tetangga dengan kondisi pembangunan yang lebih maju dan
juga dengan pertumbuhan destinasi yang mantap merupakan tantangan besar bagi pasar
internasional Indonesia karena berbagai kendala yang terkait dengan krisis yang dihadapi oleh
Eropa, Amerika Serikat dan juga Jepang selama beberapa tahun yang ini. Hal itu juga telah
menarik orang Indonesia bepergian ke luar negeri. Orang Indonesia yang berwisata ke luar negeri
tumbuh sebesar 54% antara perioda 2004-2008 (Renstra Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata 2010-2014), lebih cepat dari perjalanan internasional yang masuk ke Indonesia (53%)
pada perioda yang sama.xxvii
Sosio-budaya:
Sementara pariwisata sudah menjadi bagian gaya hidup orang Indonesia, makin banyak
orang melakukan perjalanan dan dengan berbagai alasan, orang Indonesia lapisan menengah atas
dan kelas yang lebih atas lagi nampaknya lebih suka bepergian ke luar negeri. Jumlah wisatawan
yang ke luar negeri tumbuh dari 3,5 juta menjadi 5,4 juta (Renstra Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata 2010-2014). Juga perlu digaris-bawahi bahwa perjalanan untuk tujuan pengobatan
(pariwisata kesehatan) oleh orang Indonesia ke Singapura dan Malaysia bertumbuh secara mantap
dengan total jumlah pengeluaran yang diperkirakan luar biasa besarnya.
Perencanaan destinasi dan pengendalian lingkungan.
Sementara pemerintah melakukan upaya besar dalam perlindungan lingkungan terkait
kehutanan, kerusakan lingkungan tetap berlangsung di daerah yang seharusnya mendapat
perlindungan dan juga terjadi di luar hutan, khususnya di daerah perdesaan dan perkotaan yang
disebabkan oleh pembangunan yang tidak terkendali. Pada destinasi lokal, seringkali kapasitas
daya dukung dan rencana pengelolaan pengunjung kurang mendapat perhatian. Selain daripada
itu, pemberian hak atas tanah seringkali tidak menghormati hak hak masyarakat asli/adat
setempat. Hampir tidak ada atau hanya sedikit saja rencana yang benar benar peduli terhadap
daya dukung lingkungan. Pada semua tingkatan pemerintahan, fokusnya lebih tertuju pada
perolehan pendapatan melalui perizinan. Meskipun pemberdayaan komunitas melalui PNPM
Mandiri dan program DMO9 programs telah diperluas dari waktu ke waktu, tetapi kebutuhan
komunitas sasaran akan fasilitator yang pada kenyataannya sukar untuk dipenuhi karena
terbatasnya sumberdaya insani, mungkin akan mengancam tujuan yang menjadi hak mereka.
Perencanaan yang tidak efektif pada akhirnya mungkin akan menjadi ancaman, kecuali ada
koreksi terhadap tindakan yang dilakukan melalui perencanaan dan kepemimpinanyang lebih
baik. Pengendalian pembangunan merupakan tantangan lain yang dihadapi oleh pembangunan
pariwisata. Di antara aspek yang paling penting yang perlu dipantau adalah daya dukung destinasi
dan ketaatan terhadap regulasi yang ada. Memantau perilaku wisatawan merupakan pendekatan
lain yang dapat dilakukan untuk mitigasi dampak terhadap lingkungan alam dan budaya.
9
PNPM Mandiri = Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Program DMO ( Destination Management Organization)=program pendukung peningkatan destinasi
58
Pesan Kunci Bab 2

Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai: “Pariwisata yang secara penuh
memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan sekarang dan masa depan,
tanggap
terhadap
kebutuhan
pengunjung,
industri,
lingkungan
dan
komunitas”(UNWTO).

Pariwisata berkelanjutan secara langsung dan positif terkait dengan Tujuan Pembangunan
Milenium, pengurangan kemiskinan, pembangunan perdesaan, pelestarian budaya dan
masyarakat, kesetaraan jender, perlindungan lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan
memperlihatkan dampak yang bermanfaat terhadap mitigasi perubahan iklim.

Diperlukan peralihan ekonomi yang tepat ke praktek berkelanjutan dengan pandangan ke
pekerjaan ramah lingkungan, termasuk pendidikan dan kesadaran majikan, pekerja, komunitas
tuan rumah dan wisatawan, dengan pemerintah setempat berada di garis depan.

Pekerjaan ramah lingkungan dengan pekerjaan yang layak dapat diciptakan melalui
pembangunan dan promosi produk ramah lingkungan, pelayanan/ jasa ramah lingkungan,
pekerjaan umum ramah lingkungan. Label dan program sertifikasi ramah lingkungan
menunjang produk dan jasa ini, akan tetapi masih terbatas dikembangkan di pasar Indonesia:

Indikator alternatif memperhitungkan kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi, berdasarkan
pada tawaran UNWTO tentang cara baru mengukur kinerja:

Contoh praktek yang baik dalam pariwisata berkelanjutan dapat digunakan tidak
untuk replikasi, akan tetapi sebagai pembelajaran dan panduan untuk proyek
pembangunan destinasi baru. Konteks lokal dan kapasitas sumberdaya manusia
adalah yang terpenting;

Analisis SWOT dalam sektor pariwisata Indonesia memperlihatkan:
o Kekuatan utama: Keanekaragaman hayati dan budaya, dukungan politis untuk
pariwisata berkelanjutan;
o Kelemahan Utama: Kekurangan pekerjaan yang layak, degradasi lingkungan dan
dampak budaya,pengendalian perencanaan destinasi;
o Peluang Utama: Permintaan (pasar) baru terhadap pariwisata ramah lingkungan,
peningkatan kesejahteraan, pengurangan kemiskinan
o Ancaman Utama: kemungkinan marginalisasi akibat hilangnya kepemilikan lahan dan pola
pikir berorientasi jangka pendek
59
BAB 3
Visi dan kerangka kebijakan pariwisata
berkelanjutan
Ikhtisar Bab
Dalam bab ini dibahas visi pembangunan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Selain
itu, ditunjukkan bagaimana berbagaiazas kebijakan pariwisata berkelanjutan di Indonesia
di kembangkandan garis besar dimensi kebijakan yang penting. Pilar yang paling penting
dari beberapa kebijakan tersebut dielaborasi, berbagai sasaran kunci diperjelas, serta
sarana dan tolok ukur keberhasilan dalam implementasi dibahas dengan pendekatan
terpadu. Juga digambarkan beraneka unsur perencanaan keberlanjutan termasuk
pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
3.1 Visi Pariwisata Berkelanjutan Indonesia
Visi pembangunan pariwisata dirumuskan berdasarkan Visi Pembangunan Jangka
Panjang Indonesia: untuk kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran Indonesia dan
arah pembangunan yang berpihak pada-masyarakat miskin, pertumbuhan, penciptaan pekerjaan
dan lingkungan.
Pariwisata berkelanjutan dapat secara nyata memberi sumbangan terhadap tercapainya
visi pembangunan nasional tahun 2025 dan berjalan sesuai dengan sasaran pembangunan.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat memberdayakan komunitas di destinasi menjadi
mampu memanfaatkan peluang usaha dan pekerjaan sehingga mereka mendapat manfaat sosioekonomi dari pariwisata.
Penggunaan lingkungan secara optimal, dengan mempertimbangkan daya dukung alam,
ekologi, sosial, dan infrastruktur destinasi, akan menciptakan kenyamanan tidak hanya bagi
wisatawan akan tetapi juga bagi komunitas setempat. Pariwisata berkelanjutan bermakna lebih
dari pelestarian lingkungan alami, memasuki ranah kesejahteraan nyata dan memakmurkan
komunitas Indonesia, dengan lingkungan alam dan budaya dalam keseimbangan yang dinamis,
untuk kepentingan komunitas, wisatawan dan pengunjung.
Tahap pertama Agenda Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 sudah selesai (20052009), dan sekarang ini sedang berada pada tahap kedua (2010-2014), dengan visi : mewujudkan
kesejahteraan Indonesia yang demokratis dan merata.
60
Peraturan Pemerintah
No. 50-2011 tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Nasional yang relatif baru memuat visi kepariwisataan yang berlaku untuk
berbagai kementerian terkait sebagai berikut:
“Indonesia sebagai destinasi pariwisata berkelas dunia yang berdaya saing dan
berkelanjutan yang mampu mendorong pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat
Visi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai Kementerian yang mengemban
tugas tama dalam pembangunan kepariwisataan, dan didukung oleh kementerian dan lembaga
pemerintah lainnya, telah disebutkan dalam RENSTRA Lima Tahunan Kementerian sebagai
berikut:
2005-2009: “terwujudnya jati diri bangsa, persatuan, dan kesatuan dalam kerangka multi
kultural, kesejahteraan rakyat dan persahabatan antarbangsa”
2010-2014: “terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jatidiri dan karakter
bangsa serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat”
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang efektif sejak Oktober 2011, telah
menyiapkan modifikasi rencana strategis 2010-2014, disesuaikan dengan portofolio yang
sekarang, dan telah merumuskan visinya sebagai berikut:
“terwujudnya kesejahteraan dan kualitas
menggerakkan pariwisata dan ekonomi kreatif”
hidup
masyarakat
Indonesia
dengan
Tercapainya kesejahteraan sesuai dengan indikator kualitas hidup: pendapatan yang layak
dan akses pada pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan dan juga hak untuk bersantai (leisure)
serta kesejahteraan sosial.
Lebih jauh dalam misinya, pernyataan yang berkaitan dengan pembangunan
berkelanjutan dapat ditemukenali sebagai berikut:
1. “Kepariwisataan sebagai penggerak pembangunan nasional, pelestarian sumber
daya alam dan budaya, keutuhan nasional dan hubungan internasional” (2005-2009,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata).
2. “Pengembangan sumber daya, pelestarian nilai, keaneka-ragaman dan kekayaan
budaya, yang terkait dengan jati diri, industri yang berdaya saing, destinasi yang
berkelanjutan, pemasaran yang bertanggung jawab”(2010-2014,Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata)
3. “Membangun daya saing dan pariwisata kelas dunia yang berkelanjutan, mampu
mendorong pembangunan daerah; pendekatan kualitas dalam mengembangkan
sumberdaya kepariwisataan dan ekonomi kreatif; menciptakan nilai tambah
melalui industri kreatif, pengembangan seni dan budaya serta maju menuju
kepemerintahan (‘governance’) yang akuntabel, transparan dan cepat tanggap.
(2010-2014, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)
61
Jelaslah bahwa pariwisata berkelanjutan telah tercakup dalam agenda Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata yang lalu dan juga dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif sekarang. Selain itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah pula menekankan
pada pendekatan kualitas dalam pengembangan sumberdaya di bawah kepemerintahan
(‘governance’) yang tanggap.
Terdapat tambahan peluang yang dapat dipertimbangkan sebagai Misi Kementerian,
yaitu:

Memimpin dalam mendorong ‘promosi yang bertanggung-jawab’, menunjang
kepemimpinan Kementerian dalam pembangunan dan promosi Kode Etik
Pariwisata Dunia karena hal itu berhubungan dengan kejujuran tentang destinasi
dan pemasaran produk

Memasukkan konsep keberkelanjutan ke dalam semua bentuk pembangunan
kepariwisataan (ke semua pemangku kepentingan pada semua tingkat)
Istilah kemandirian dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN)
mempunyai arti penting khusus dalam sejarah dan konteks Indonesia. Era globalisasi
menyebabkan saling ketergantungan yang bertambah tinggi di antara semua negara di dunia.
Seperti halnya negara merdeka lain, dalam menentukan arah pembangunan nasionalnya Indonesia
ingin bebas dari intervensi yang berlebihan dari luar. Meskipun Indonesia harus tetap mengikuti
dinamika banyak negara lain di dunia, beberapa nilai inti tertentu tetap harus dipegang teguh,
yaitu rasa kebangsaan kesatuan, dan semangat yang telah ditunjukkan oleh rakyat Indonesia
dalam perjuangan kemerdekaan.
Dalam hal kepariwisataan, pasar internasional dilihat sebagai potensi yang telah dipilih
oleh Indonesia untuk dimanfaatkan, dengan berbagai cara yang paling memberi manfaat bagi
bangsa Indonesia. Indonesia mempunyai pasar domestik yang besar dan dinamis dengan
permintaan elastis terhadap beraneka produk kepariwisataan. Indonesia perlu menyadari arah
pembangunan kepariwisataannya, dalam arti siapa yang akan memimpin dalam pembangunan
destinasi pariwisata dan industri kepariwisataan dan dalam upaya penyesuaian denganpasar
potensial. Indonesia perlu mempunyai kemandirian dalam arti mampu menjadi aktor utama
dalam pembangunan kepariwisataan di negeri ini, mendapat manfaat utama dari
sumberdaya yang dimiliki dengan berbagai cara yang bertanggungjawab, sebagai tuan
rumah dan wisatawan di rumah/negara sendiri. Agar kepariwisataan dapat dibangun bagi
kesejahteraan dan kepuasan rakyat, pertama-tama, hak dan kewajiban dan juga pengendalian
terhadap investasi asing haruslah dipertimbangkan dan dilakukan secara seksama.
Pengalaman nyata dari bagian dunia lain dapat digunakan sebagai pelajaran bagi
Indonesia agar berhati-hati terhadap mengorbankan apa yang kita mungkin anggap sebagai
kepentingan bangsa atas nama keuntungan pariwisata jangka pendek dan kepuasan wisatawan
(lihat Lampiran 2 tentang studi kasus nasional dan internasional dan Lampiran 3 tentang
Deklarasi Bern). Indonesia seharusnya berkepentingan untuk secara penuh memperhatikan
kepemilikan berbagai tempat yang mempunyai nilai sumberdaya alam dan budaya tinggi. Selain
itu, bagaimana pariwisata mungkin memengaruhi perempuan dan laki-laki perlu dipertimbangkan
secara berhati-hati. Bagi perempuan, sebagaimana disebutkan dalam temuan awal dalam Laporan
62
Dunia tentang Perempuan dan Pariwisata (2010, UNWOMEN & UNWTO), terdapat lima bidang
yang perlu menjadi fokus perhatian, yaitu lapangan kerja, kewira-usahaan, pendidikan,
kepemimpinan, dan komunitas.
Pertanyaan paling sukar dijawab adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan/keadilan dan
kesejahteraan dalam mimpi Indonesia menjadi negara maju dan cara /sarana yang dapat membuat
kepariwisataan berkontribusi pada pencapaian tujuan tersebut. Indikator komprehensif
(sebagaimana tersebut dalam Bab 2 dan Lampiran 6) termasuk kesejahteraan dan manfaat untuk
penduduk lokal, keberlanjutan sumberdaya alam dan budaya, kesetaraan manfaat di antara para
pemangku kepentingan, dan penampilan identitas Indonesia dapat pula diperhitungkan.
Pemerintah Indonesia mempunyai peluang untuk mejajagi indikator komprehensif yang paling
sesuai untuk dijadikan arus utama dalam kebijakannya dan memromosikan indikator ini kepada
para pemangku kepentingan.
Berdasarkan berbagai pertimbangan dan pemikiran di atas, visi pembangunan pariwisata
Indonesia, sebagai panduan arah kebijakan bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat
dalam pembangunan pariwisata, tidakterbatas hanya pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif , dapat disebutkan sebagai berikut:
Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang menawarkan pekerjaan yang layak
dan peluang bagi kesejahteraan masyarakat dan jati diri Indonesia.
Visi pembangunan kepariwisataan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang
dimaksudkan tidak untuk membatasi hak generasi yang sekarang, termasuk hak untuk menjadi
wisatawan di negaranya sendiri, memperolah peluang berusaha dan pekerjaan di bidang
kepariwisataan, dan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang jenis
pariwisata apa yang akan dikembangkan di destinasi sekitar tempat tinggal mereka. Sebagai suatu
konsep, pembangunan kepariwisataan DI INDONESIA dan UNTUK INDONESIA perlu
dianggap sebagai satu kesatuan, sedangkan kedua aspeknya harus tercapai – tidak hanya satu atau
lainnya.
Sangatlah penting untuk menghindarkan pembangunan kepariwisataan di Indonesia tetapi
negara lain yang mendapat manfaat lebih atau semua dari keuntungannya, baik sebagai
penyelenggara bisnis maupun sebagai wisatawan. Hak generasi yang akan datang akan
ketersediaan sumberdaya alam dan budaya yang utuh dan berkelanjutan untuk penggunaan masa
depan, yang ‘dikonsumsi’ secara bertanggungjawab oleh generasi sekarang, harus diprioritaskan.
63
3.2 Dimensi Baru dalam Kebijakan Kunci
3.2.1 Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dalam
Pariwisata
Pemahaman dan komitmen terhadap pekerjaan layak ramah lingkungan (Green jobs)
untuk mendukung terjadinya transisi/ peralihan yang cukup bagi para pekerja/karyawan dan
majikan menuju pembangunan yang rendah karbon, mengurangi percepatan perubahan iklim,
ramah lingkungan dan ramah sosial, seyogyanya merupakan bagian yang paling penting dalam
kebijakan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu pekerjaan layak yang ramah
lingkungan perlu dipadukan pada semua kebijakan tentang lapangan kerja dan usaha dan
juga mitigasi perubahan iklim yang terkait dengan kepariwisataan, dengan maksud untuk
keberlanjutannya. Konstituen ILO ikut serta berdialog membahas pekerjaan layak yang ramah
lingkungan dan rencana Pemerintah Indonesia berkaitan dengan perubahan iklim di bawah
kelompok kerja Mitigasi dan Adaptasi. Berkenaan dengan Rencana Aksi Perubahan Iklim,
Dewan Nasional Perubahan Iklim sedang menyiapkan satuan tugas dan peta jalan kegiatan
(roadmap) nasional tentang Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan bersamasama dengan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan juga
diselaraskan dengan Kemitraan PBB untuk Kerangka Pembangunan Indonesia (United Nations
Partnership For Development Framework Indonesia/ UNPDF), terutama menyangkut tujuan
untuk memperkuat kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif, termasuk
pengelolaan sumberdaya alam dan efisiensi enersgi, serta pengelolaan ekosistem sumberdaya
alami yang kritikal dan meminimumkan degradasi lingkungan. xxviii Dua pilar Green Jobs adalah
keberlanjutan lingkungan dan pekerjaan yang layak .
Pekerjaan yang layak didefinisikan sebagai: “Pekerjaan produktif dalam kondisi
kebebasan, kesetaraan, keamanan dan bermartabat”.
Pekerjaan yang layak merupakan refleksi dari tujuan strategis Organisasi Buruh Sedunia
(ILO), yang sudah diangkat sejak tahun 1999. Pekerjaan yang layak telah menjadi tujuan bersama
yang luas, lebih dari hanya tujuan ILO. Dengan bantuan ILO, Indonesia telah berhasil maju
menuju sejumlah berbagai sasaran pekerjaan yang layak melalui serangkaian program dan
kegiatan. Mencapai pekerjaan yang layak secara implisit sebenarnya telah ditentukan di dalam
UUD 1945. Program pertama Indonesia dikembangkan untuk perioda 2002-2003 dan yang kedua
untuk perioda 2004-2005. Perumusan Program Nasional tentang Pekerjaan yang Layak (Decent
Work Country Program/DWCP) perioda 2006-2010 telah disiapkan melalui konsultasi dengan
konstituen ILO. Pekerjaan layak yang ramah lingkungan (green jobs) juga merupakan bagian
kunci dari DWCP (2011-2015) di bawah prioritas pertama “penciptaaan lapangan kerja untuk
pertumbuhan yang inklusif, produktif dan berkelanjutan”. DWCP didirikan dan diselaraskan
dengan kerangka kebijakan kunci ILO, sistem PBB, dan Pemerintah Indonesia.
64
Sektor kepariwisataan terdiri dari banyak jenis usaha yang berbeda, dari penyedia
akomodasi, penyelenggara wisata dan transportasi berbasis daratan, lautan dan udara, hiburan,
eceran dan jasa profesional lainnya. Dalam sub-sektor tersebut terdapat banyak contohkondisi
pekerjaan yang baik dan layak di Indonesia. Kekurangan umumnya terdapat dalam jaminan
sosial dan segala jenis perlindungan untuk pekerja lepas dan sektor informal, dan hal tersebut
telah memperburuk persoalan.
Pekerjaan yang layak dimaksudkan untuk mitigasi berbagaiisu tersebut. Konsep
pekerjaan yang layak merupakan bagian yang penting dalam pariwisata berkelanjutan, dan tujuan
pembangunan pro-masyarakat miskin mencakup empat pilar:
i.
ii.
iii.
iv.
Penciptaan Lapangan Kerja: mekanisme sosio-ekonomi, mengarusutamakanpekerjaan
yang Layak dalam kebijakan sosial dan ketenagakerjaan nasional, fasilitasi melalui
mekanisme sosio-ekonomi dan penyediaan skema keuangan mikro dan juga dengan
memperhitungkan kemungkinan dampak terhadap lingkungan pada setiap tahap
pekerjaan.
Hak selama bekerja: hak pekerja atas upah/gaji minimum, liburan yang dibayar, jam
istirahat/jam kerja, cuti tahunan dan jenis cuti laiinnya sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan.
Perlindungan sosial: yang mencakup keselamatan kerja dan kesehatan, jaminan sosial,
asuransi dan skema pensiun. Perlindungan sosial ini terkaitdengan panjangnya waktu
kerja dan giliran kerja malam (untuk perempuan), dan kenyataan bahwa jumlah pekerja
terkait pariwisata yang signifikan adalah pekerja lepas yang mungkin tidak mempunyai
jaminan atau mempunyai hak untuk pensiun. Perlindungan sosial bagi sekctor informal
juga perlu diperhatikan.
Dialog Sosial: tawar-menawar kolektif (collective bargaining) dan mekanisme dialog
sosial tripartite tentang berbagai sektor dalam mata rantai pasokan/produksi pariwisata
harus diperkuat dalam berbagai pernyataan kebijakan.Sementara berbagai kasussosial
mungkin tidaklah seburuk seperti apa yang terjadi dalam sector lain, juga terdapat isu
mengenai dialog sosial antara sektor informal dengan pemerintah daerah.
Di samping keempat pilar, isu lain yang perlu dipertimbangkan adalah nasib mereka yang
bekerja untuk UKM dan sektor informal, yang di Indonesia diperkirakan lebih dari separuh. xxix
Usaha mikro dan kecil dan usaha informalyang mendominasi sektorperlu menyadari aturan dan
regulasi tentangbagai hak sosial pekerja (UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Mereka yang bekerja dalam sektor
informal paling rentan terhadap ketidakamanan sosial. Mereka yang menggunakan ruang publik
mungkin harus meninggalkan tempat “mereka” bekerja setiap saat, tanpa mempunyai posisi
tawar, karena mereka dianggap ilegal/melanggar hukum. Industri rumahan dan UKM yang tidak
terdaftar perlu diidentifikasi. Di beberapa tempat mereka juga bergabung dalam asosiasi sektor
informal, dialog bipartit dengan pemerintah setempat perlu difasilitasi. Pembangunan pariwisata
berkelanjutan memerlukan komitmen atas hak azasi manusia dan pendapatan yang layak untuk
semua yang tenaga dan keterampilannya digunakan keberadaan industri dan keberhasilannya.
65
3.2.2 Pengurangan Kemiskinan
Distribusi manfaat yang diperoleh dari kepariwisataanbagi berbagai kelompok pemangku
kepentingan yang berbeda di seluruh Indonesia masih menjadi pertanyaan. Dengan arahan propenduduk miskin dalam agenda pembangunan nasional, kepariwisataan diharapkan juga
memainkan peran dalam pengurangan kemiskinan, terutama untuk komunitas di destinasi.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 2, ada keterkaitan kuat antara kepariwisataan dengan
pengurangan kemikinanan yang dapat menguntungkan. Destinasi potensial yang acap kali berada
dekat dengan desa/permukiman tempat tinggal penduduk miskin dengan peluang terbatas dalam
pembangunan berbagai sektor lain, dengan peluang daya tarik atau aktivitas guna memenuhi
kebutuhan pasar pariwisata, harus lebih diperhatikan atau diberi prioritas. Penting untuk
diperhatikan, bahwa pariwisata bukanlah obat mujarab untuk mengurangi kemiskinan tanpa
pertimbangan yang cermat dari kegiatan usahanya. Wirausahawan, baik yang mikro maupun yang
lebih besar perlu memiliki kemampuan menemukenali peluang pasar, menjajagi resiko dan
berkomitmen terhadap usaha baru.
Bila penentu kebijakan dan komunitas mempunyai perhatian terhadap investor besar yang
datangdan menjalankan aktivitas kepariwisataan yang dapat menciptakan kemiskinan lebih lanjut
sebagai akibat dari pengalihan kepemilikan lahan, dan mengusulkan untuk memperkenalkan
pariwisata berbasis komunitas, maka perlu untuk mempertimbangkan secara objektif apakah
terdapat berbagai atributdestinasi yang cukup untuk menarik minat sasaran pasar dan
menyiapkan komunitas melalui pengembangan kegiatan usaha dan kapasitas dalam menerima
kunjungan.Terlalu sering, parwisata berbasis masyarakat diprogramkan dengan maksud baik,
tetapi dilaksanakan secara buruk dan tidak berkelanjutan dan hanya menghasilkan impian yang
tidak realistis yang berdampak pada komunitas, pada budaya dan lingkungan. Hal ini dapat
menghasilkan lebih banyak gangguan ketimbang manfaat. Pariwisata berbasis komunitas
tampaknya dipakai untuk pembenaran pembangunan kepariwisataan dengan menempatkan
(menjanjikan untuk ) komunitas sebagai alat untuk mencapai tujuan pariwisata. Bukan tanpa
alasanatau bukti bahwa destinasi yang populeardan kaya perlu mempertimbangkan pembangunan
kepariwisataan berbasis komunitas dari pelaksanaan CSR (corporate social responsibility) dan
juga dari alokasi sumberdaya publikcyang diperoleh dari pariwisata demi kesejahteraan
komunitas yang lebih baik.
Penting untuk disebutkan bahwa pekerjaan yang layak dapat berkontribusi langsung pada
pengurangan kemiskinan dan juga menunjang MDGs lain melalui peluang lapangan kerja baru,
penghasilan yang cukup dan pekerjaan produktif, kombinasi kerja, keluarga dan kehidupan
pribadi, stabilitas dan jaminan selama bekerja dan jaminan sosial.xxx
3.2.3 Partisipasi Pemuda dan Lapangan Kerja
Angkatan muda atau pemuda sebagai wisatawan mempunyai potensi besar memberi
sumbangan pada pertumbuhan pariwisata domestik (nusantara). Dalam hal sebagai pelaku
perjalanan domestik, kontribusi pemuda dilihat dari proporsinya cukup signifikan, yaitu
66
mencapai hampir 40% dari jumlah keseluruhan penduduk yang melakukan perjalanan.(BPS
2010). Meskipun pengeluaran mereka tidak sebesar penduduk dewasa/yang lebih tua, mereka
mungkin menempuh jarak lebih jauh, mengunjungi berbagai tempat sesuai dengan karakteristik
psikografiknya, dan karena itu pengeluarannya lebih menyebar. Mereka juga berpotensi sebagai
pasar ekowisata dan wisata petualangan, mengunjungi destinasi yang lebih susah dijangkau di
seluruh pelosok nusantara, dan membawa berbagai gagasan baru yang melahirkan peluang bagi
usaha kecil bagi komunitas setempat.
Pemerintah juga menempatkan generasi muda sebagai sasaran pemberdayaan yang
strategis, untuk memasuki pasar tenaga kerja yang memerlukan keterampilan, pengetahuan dan
sikap, dan juga kompetensi. Kementerian Pemuda dan Olahraga yang ditugasi khusus untuk
menangani urusan terkait kepemudaan, termasuk kebutuhan mereka akan peluang pekerjaan dan
usaha. Lapangan kerja bagi generasi muda dalam sektor kepariwisataan populer di banyak
negara, disana para pelajar bekerja selama musim liburan, akhir minggu dan waktu luang lain
untuk membantu biaya pendidikan atau mendapat uang saku dan menabungnya untuk
bepergian/berlibur. Pariwisata yang bersifat musiman biasanya selalu membutuhkan tenaga kerja
tambahan selama musim puncak liburan akan cocok dengan skema tersebut. Hal tersebut
bermanfaat, baik bagi produktivitas generasi muda dan juga industri kepariwisataan yang
mendapat pasokan tenaga kerja musiman; yang dapat berdampak lebih luas. Dengan
menyediakan lapangan kerja bagi pemuda, mereka yang putus sekolah karena ketidak
mampuannya, mungkin akan dapat melanjutkan pendidikannya. Kepariwisataan mungkin tidak
bisa memecahkan persoalan negara atas lapangan kerja bagi generasi muda akan tetapi setidaktidaknya dapat memberikan kontribusi lebih dari apa yang sudah diperbuat sejauh ini.
Aspek penting lainnya dalam partisipasi pemuda adalah faktor pendidikan. Orang berusia
muda cenderung terlibat pada berbagai macam aktivitas santai (leisure) di alam terbuka, olahraga
dan kegiatan sosial lainnya. Gaya hidup aktif ini dapat diarahkan dengan menyediakan peluang
bagi pemuda untuk mengikuti berbagai proyek lingkungan atau sosial yang nantinya dapat
berkontribusi pada pariwisata berkelanjutan.10 Belajar pada usia muda akan membentuk perilaku
masyarakat dan berfikir secara dewasa.
3.2.4 Pengarusutamaan Jender dan Perlindungan Anak
Pengarusutamaan Jender dan perlindungan terhadap pekerja anak merupakan dua isu
penting dalam sektor kepariwisataan di Indonesia. Data hasil survei/peneitian sebagaimana
secara rinci ditampilkan pada Tabel 1.7 dan 1.10 dalam Lampiran 1, memperlihatkan bahwa
pekerja perdesaan dan perempuan memerlukan perhatian lebih jauh agar mendapat upah dan
10
Sebagai satu praktek baik, proyek Peta Hijau di Jakarta dan tempat tempat lainnya telah melibatkan sukarelawan muda
lokal ikut memproduksi peta yang dapat digunakan tidak hanya sebagai panduan wisata akan tetapi juga mendidik pemuda
untuk memahami lingkungan tempat mereka tinggal, membangun sikap ramah lingkungan. Peta ramah lingkungan
merupakan jejaring internasional yang bermarkas di New York.
Pemerintah Yogyakarta, didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum, REKOMPAK dan Dana Rekonstruksi Jawa telah
menerbitkan serial tentang Cerita Pendidikan Pusaka untuk anak-anak, yang disiapkan oleh para pemuda di bawah
pengawasan akademisi dan pakar terkait.
67
kondisi kerja yang lebih baik, memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang membuatnya
mampu mendapat kondisi pekerjaan yang lebih baik.
Sebagaimana disebutkan di atas, kesetaraan jender dalam industri kepariwisataan dan
administrasi pemerintahan terkait masih jauh dari harapan. Sebagai bagian penting dari pariwisata
berkelanjutan, maka hal tersebut harus didorong dan didukung. Meskipun perempuan dan pekerja
muda merupakan mayoritas pekerja dalam sektor kepariwisataan, situasi mereka ditandai oleh
tantangan berat sebagaimana dijelaskan pada Bab 1. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, pada masa
mendatang mereka akan menjadi tanggungan sektor ini. Semua pemangku kepentingan perlu
mempersiapkan dan mengembangkan kebijakan strategis untuk mengatasi berbagai tantangan
dan mendorong peluang yang.
Perlindungan anak harus mutlak menjadi prioritas dalam sektor ini. Di banyak tempat
(spot) wisata sangat jelas terlihat anak anak berlaku sebagai penjual aneka barang kecil kerajinan
dan cenderamata lainnya. Pengembangan kebijakan tentang penghapusan anak-anak pekerja
dalam berbagai sektor yang menjadi mata rantai pasokan pariwisata pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota juga merupakan keharusan untuk dapat mencapai tujuan
penghapusan tuntas pekerja anak dalam sektor kepariwisataan. Pada saat yang bersamaan,
perlindungan anak dari pelecehan seksual harus dialihkan menjadi fokus perhatian dalam
pembuatan kebijakan.
Demi perlindungan anak, industri kepariwisataan perlu mengacu pada hukum yang
berlaku sebagaiamana disebutkan dalam Bab 1 dan Lampiran 7, sehingga sektor kepariwisataan
akan mendukung isu perlindungan anak seperti: menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, menetapkan batas umur minimum untuk izin masuk menjadi pekerja pariwisata, dan
menghapuskan bemacam bentuk terburuk pekerja anak.
3.2.5 Sistem Aturan Sukarela/ Standar Pariwisata Berkelanjutan
i.
Penerapan Kode Etik
Jasa pariwisata melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan interaksi antarwisatawan,
pengusaha, berbagai unit sektor publik, antara wisatawan dan penyedia jasa, komunitas di tempat
yang dikunjungi, media masa, dan penyelenggara pendidikan, riset serta pelatihan. Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Kode Etik Pariwisata Dunia yang diterbitkan oleh UNWTO sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk diseminasi lebih jauh dan pada umumnya sudah
dimasukkanke dalam UU Kepariwisataan Indonesia, akan tetapi implementasi dan
pemahamanoleh para pemangku kepentinan masih perlu dipacu lebih lanjut.
ii.
Penerapan berbagai standar
Agar supaya jalur pembangunan yang konsisten tercapai, berbagai standar panduan
pariwisata berkelanjutan harus disusun dan dilaksanakan. Berbagai standar semacam itu sudah
68
ada di beberapa negara dan untuk jenis operasi pariwisata yang spesifik. Standar yang secara
internasional sudah dikenal dan juga standar yang spesifik di suatu negara juga sudah ada di luar
Indonesia, dan meskipun beberapa standar tersebut tidak dapat diterapkan secara langsung di
Indonesia, masih dapat digunakan sebagai dasar bagi pengembangan standar Indonesia dalam
konteks lokal Indonesia.
Sudah terdapat berbagai jenis standar yang dikembangkan di Indonesia, dan Kementerian
terkait terus mengembangkan lebih lanjut, terutama untuk kompetensi profesi. Standar untuk
produk, jasa, dan proses pariwisata masih terbatas. Standar semacam itu dapat mencakup
keseluruhan proses produksi dan rantai produksi. Misalnya dalam penyiapan makanan, dapat
mencakup sifat atau kualitas bahan baku, cara bahan diangkut, disimpan, dan dimasak.
Pemantauan sukar dan seringkali kurang dilakukan. Sejauh ini kualifikasi lebih ditujukan
terhadap kualitas dan kenyamanan fasilitas. Standar yang berkenaan dengan isu lingkungan dan
kepekaan sosio-budaya umumnya masih kurang.
iii.
Pengembangan program sertifikasi
Sudah terdapat ribuan label ramah lingkungan (eco-label) terkait kepariwisataan di
seluruh dunia. Lebih dari seratus eco-label semacam itu menyebut pariwisata berkelanjutan.
Program sertifikasi serupa sudah dimulai dan dapat dikembangkan lebih lanjut langkah demi
langkah, secara lokal dan nasional di Indonesia. Sistem yang dikehendaki, tidak hanya mengakui
komitmen dan praktek pariwisata berkelanjutan melalui sertifikasi, akan tetapi juga membantu
unit usaha untuk mencapai tujuannya melalui ‘konsultasi’(help desks) atau pelatihan dan
mengajarkan pada mereka apa yang wajib dilakukan. Salah satu standar lokal yang sudah dikenal
dan diakui oleh dunia internasional adalah Tri Hita Karana yang didasarkan pada filosofi Bali.
Yayasan Tri Hita Karana menganugerahkan sertifikat pada pemilik/pengelola penginapan
bermutu, restoran dan kemudian juga pada berbagai kegiatan/bangunan lain di Bali yang secara
sukarela dikelola dengan menerapkan cara ramah lingkungan dan budaya. Sertifikasi produk di
Indonesia sedang berkembang, seperti sertifikasi makanan halal dan organik, berbagai macam
produk dari bahan daur ulang danupcycled11 juga menjadi populer. Mengingat banyaknya elemen
produk dan unit usaha kepariwisataan, dengan tingkat berkelanjutan yang beragam, maka perlu
dilakukan ‘sertifikasi berjenjang’ dan penerapan standar yang diperlukan selangkah demi
selangkah. Standarisasi yang dilanjutkan dengan sertifikasi akan menuntun konsumen dalam
memilih produk ramah lingkungan, yang berlangsung melalui proses produksi yang
bertanggungjawab.
11
Penggunaan bahan daur ulang menjadi sesuatu dengan nilai lebih tinggi.
69
3.3 Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan
3.3.1 Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Insani
Keberhasilan pariwisata sebagai industri berbasis pengetahuan sangat bergantung
pada sumberdaya insani yang berada di belakang kemudi
Sumberdaya insani untuk pembangunan pariwisata mencakup mereka yang merumuskan
berbagai arah kebijakan pembangunan dan investasi, perencana yang merencanakan realisasi
kondisi masa depan yang diharapkan, dan tentu saja para pelaksana dan operator, yang
menanggung resiko modalnya pengelola dan pengawas, pengelola menengah, yang bekerja di
belakang layar dan juga mereka yang berada di baris depan yang perlu bertatap muka dengan
wisatawan.
Sekarang ini, sistem pendidikan dan pelatihan berada di bawah tiga Kementerian yang
berbeda: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, masing-masing mempunyai
program pendidikan atau pelatihan pariwisata “sendiri”. Rencana Pembangunan Tenaga Kerja
Manusia untuk Pariwisata yang sudah ada sejak tahun 1980an, belum pernah disempurnakan
sampai sekarang. Program pendidikan, sekolah kejuruan, dan juga pelatihan dan program
pendidikan tinggi telah mengalami pertumbuhan tanpa referensi “induk”; mereka tumbuh subur
begitu saja di banyak kota besar dan kurang pengendalian pada kurikulumnya dan penyampaian
programnya. Pembangunan sumberdaya insani tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan masa
depan, akan tetapi juga memperbaiki angkatan/ kekuatan yang sekarang, tidak hanya tentang
menyediakan ilmu pengetahuan dan keahlian/ keterampilan tetapi yang lebih penting adalah
membangun sikap dalam menghadapi tantangan masa depan dan memenuhi standar internasional
di satu sisi dan konteks budaya lokal di sisi lainnya. Wawasan yang komprehensif perlu
dipertimbangkan untuk mencakup penelitian lintas berbagai kebijakan terkait pariwisata,
perencanaan dan pembangunan kepariwisataan, dan pengembangan teknologi pendidikan.
Misi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang pariwisata berkelanjutan harus
didukung oleh pengembangan sumberdaya manusia yang terencana dengan baik, untuk
memenuhi kebutuhan masa depan dan juga untuk memperbaiki pasokan sumberdaya manusia
yang sekarang dalam bidang kepariwisataan dan hospitality. Pendidikan dan Pelatihan harus
melampaui capaian interpretasi tentang kepariwisataan dan hospitality yang sempit dan
mencakup , perencanaan makro, komprehensif, antardisiplin, manajemen, pengembangan
kebijakan dan berbagai studi khusus dalam berbagai bidang terkait.
Singkatnya, untuk memperoleh pandangan dan arahan yang jelas dalam pembangunan
sumberdaya insani, strategi pembangunan sumberdaya insaniyang komprehensifdiperlukan, yang
mencakup tidak hanya pendidikan kejuruan yang lebih baik, melibatkan mitra sosial, dan
menjawab berbagai isu berkaitan dengan mobilitas internasional para pekerja, akan tetapi juga
70
mencakup program eksekutif untuk pengembangan kapasitas pemerintah daerah, pendidikan
tinggidalam analisis kebijakan, perencanaan, manajemen, dan bidang terkait lain yang
merupakan kombinasi baik dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan implementasinya, dan
juga penyelenggaraan operasionalnya.
3.3.2 Pendekatan Berkelanjutan dan Komprehensif dalam
Perencanaan, Pembangunan, dan Pengoperasian
Pariwisata
Pariwisata berkelanjutan dalam konteks Rencana Strategis ini mencerminkan suatu
pendekatan yang dapat diterapkan pada semua jenis pariwisata, di semua destinasi dengan
mempertimbangkan semua tujuan MDGs, RPJPN dan peraturan perundang-undangan tentang
kepariwisataan dan arah kebijakan kunci Pemerintah Republik Indonesia.
Keberkelanjutan menuntut manfaat ekonomi yang seimbang dengan konservasi
sumberdaya alam dan budaya dan berbagai isu terkait kesejahteraan komunitas. Manfaat ekonomi
hendaknya tidak dilihat hanya secara kuantitatif dari pendapatan bruto yang dilihat dari
pengeluaran/ belanja wisatawan, akan tetapi juga dari manfaat ekonomi bagi pemeintah pusat,
pemrintah daerah, secara langsung dan tidak langsung melalui perolehan devisa, retribusi,
pendapatan penduduk sebagai pelaku usaha, dan pekerja di berbagai usaha yang berbeda di
bawah kondisi pekerjaan yang layak. Kesejahteraan rakyat juga terkait dengan indikator lain
seperti misalnya peluang terhadap infrastruktur dan utilisasi fasilitas yang barangkali tidak akan
tersedia kalau pariwisata tidak dikembangkandan juga menjaga martabat sebagai tuan rumah.
Pendekatan berkelanjutan harus menempatkan komunitas dan masyarakat sebagai subjek
kunci pembangunan yang bertujuan kepuasan komunitas tuan rumah yang berinteraksi dengan
pembangunan pariwisata sebelum menawarkan kepuasan kepada wisatawan. Pembangunan
daerah yang kurang berkembang, penghapuan kemiskinan, dan perbaikan kesejahteraan
komunitas perlu diprioritaskan. Perencanaan pariwisata berkelanjutan perlu memperhitungkan
semangat pembangunan pro-penduduk miskin, pro-pertumbuhan, pro-pekerjaan, dan prolingkungan yang dicanangkan pemerintah.
Pariwisata mungkin tidak akan tumbuh tanpa dukungan komunitas dan sektor lain yang
sudah siap/dipersiapkan. Karena itu penting untuk memastikan bahwa semua sektor menuju
pada arah yang sama, dengan pola pikir yang sama. Keterkaitan antar sektor merupakan
kondisi penting agar pariwisata bertumbuh. Pariwisata sebagai suatu sistem harus dikembangkan
secara holistik, tidak hanya dari sudut pandang industri, tetapi juga dari destinasi dengan
komunitas di dalamnya dan kelembagaan yang mencakup sumberdaya insani, organisasi, dan
peraturan, serta juga permintaan/potensi pasar.
Pembangunan industri kepariwisataan memerlukan keterpaduan antara berbagai
kebijakan pariwisata yang disusun oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan
71
regulasi lain yang diterbitkan oleh kementerian lain: Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, juga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan tidak mengabaikan mereka
yang berkaitan dengan lingkungan dan perlindungan pusaka budaya. Keterpaduan juga
diperlukan di antara bermacam jenis industri (akomodasi, perjalanan dan transportasi, makanan
dan minimum dan lainnya), termasuk industri kreatif tertentu untuk mencapai suatu kombinasi
yang baik dari produk pariwisata secara keseluruhan. Industri hendaknya selaras dengan sifat
daya tarik sebagai “inti” dari destinasi, dan tidak hanya mempertimbangkan regulasi yang tertulis,
akan tetapi juga norma dan nilai lokal, serta juga menghargai kearifan lokal.
Keterpaduan juga diperlukan antara pusat-provinsi-pemerintah daerah untuk
menyinergikan sumberdaya yang terbatas dan pengembangan kebijakan. Isu kelembagaan yang
strategiscadalah kepemimpinan pada semua tingkatan. Para pejabat dalam bidang
kepariwisataanpada berbagai tingkatan haruslah mengerti bahwa sistem kepariwisataan adalah
tentang dan bagaimana upaya profesional mereka dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan
nasional.Standar minimum kompetensi merupakan sesuatu yang krusial, tidak perlu diartikan
sebagai sesuatu yang terkait dengan gelar kesarjanaan, akan tetapi yang lebih penting adalah
memiliki visi, keterampilan, dan pengetahuan tentang kondisi dan situasi di bawah yurisdiksi
suatu kewenangan tertentu. Mempunyai pengetahuan tentang wilayah lain, juga suatu yang
menguntungkan untuk belajar tentang dan sadar akan daya saing destinasi. Isu lain adalah
manifestasi organisasi kepariwisataan di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan
dalam kaitan koordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk koordinasi. Persoalan koordinasi
mungkin kurang signifikan jika setiap orang yang terlibat dalam administrasi mengerti gambaran
pariwisata secara holistik, untuk menegetahui kemana arah pembangunan, apa yang perlu
dikoordinasikan, dengan siapa dan kementerian mana yang perlu diajak serta.12
Pada tingkat operasi, destinasi utama mempunyai kebutuhan sangat krusial akan rencana
pengelolaan seperti proses DMO yang dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, yang mecakup lingkup pengelolaan komunitas, pengunjung, pengusaha dan
pengelolalingkungan
3.3.3 Pariwisata Berkelanjutan dan Perencanaan Pembangunan
Ekonomi
Pada tingkat nasional, strategi pembangunan ekonomidengan pendekatan koridor
(MP3EI) telah menempatkan koridor Jawa- Bali – Nusa Tenggara sebagai fokus untuk pariwisata,
yang berarti pencapain pembangunan yang ada sekarang di Jawa dan Bali harus diintensifkan dan
diperluas lebih jauh ke timur. Pendekatan ini berarti mempercepat pembangunan ekonomi dan
pariwisata dianggap sebagai kontributor potensial. Indonesia dapat menuai pelajaran dari
berbagai pengalaman pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika pariwisata dikembangkan dengan
pendekatan “boosterisme”. Berdasarkan pada tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan
12
Di tingkat provinsi dan terlebih lagi di tingkat kabupaten atau kota,,unit organisasi untuk pariwisata secara administrasi
sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perubahan di tingkat nasional mungkin tidak diikuti oleh tingkat
lokal.
72
internasional yang tinggi dan dihadapkan pada kebutuhan akan “mata uang keras”, pariwisata
(internasional) telah diarusutamakan dan segala kemungkinan dukungan diberikan untuk
meningkatkan kedatangan wisatawan. Di antara mekanisme untuk mendukung berbagai
kebijakan pariwisata, pembebasan tanah untuk pariwisata telah dipermudah, akses terhadap
berbagai sumber financial (kredit) dengan tingkat bunga khusus, perizinan dan persyaratan
administratif telah diperlonggar untuk mendorong lebih jauh investasi di sekctor kepariwisataan.
Tanpa penyiapan yang layak dan pengendalian yang konsisten, kepariwisataan telah berkembang
dengan cepat, dan dalam beberapa kasus dengan cara yang dilihat oleh sejumlah pengamat
sebagai tidak terkendali. Investasi dalam kepariwisataan, khususnya di industri perhotelan telah
meledak, terutama terkonsentrasi di kepulauan Riau (Batam dan Bintan), Jakarta, dan Bali, dan
sedikit lebih jauh ke beberapa kota besar lainnya dan destinasi yang terkenal. Akan tetapi untuk
menyebarkan manfaat dan peluang ke sektor kepariwisataan yang beragam dan berimbang,
industri perlu lebih daripada sekedar berbagai hotel berstandar internasional. Resor pariwisata
telah direncanakan di banyak daerah dengan sekurang-kurangnya 10 terdaftar dan
dikembangkanssedemikian dengan harapan ‘Nusa Dua” yang lain akan tumbuh di berbagai
tempat lain. Tak satu pun dari aspirasi itu menjadi kenyataan. “Outcome”-nya adalah
penumpukan pariwisata yang lebih padat di Jawa dan Bali yang dalam beberapa kasus telah
melebihi kapasitas daya dukung. Destinasi seperti Borobudur terbebani oleh wisatawan maissal
yang mencari taman rekreasi. Wilayah potensial di daerah lain negeri ini masih dan sedang
dikembangkan dalam kecepatan yang jauh lebih rendah. Tergerak oleh berbagai kebijakan publik,
target ekonomi telah mendorong semua pemangku kepentingan untuk mencapai targeetnya atas
biaya lingkungan dan soscial. Meskipun sukses mencapai tujuan ekonomi, dampak terhadap
lingkungan lokal, budaya dan masyarakat meninggalkan banyak pertanyaan keberlanjutan dari
pendekatan pembangunan ini. Setelah krisis nasional pada akhir abad ke-20, dampak lingkungan
dan sosio-budaya menjadi lebih penting dan minat pembangunan di daerah luar koridor Jawa-Bali
juga mulai bertumbuh.
Artinya bahwa pariwisata mungkin menjadi penggerak ekonomi, akan tetapi
pertumbuhannya perlu dikelola secara berkelanjutan. Indonesia mempunyai atribut yang beraneka
ragam di banyak lokasi, sehingga negeri ini tidak perlu menyandarkan diri pada pembangunan
koridor tertentu pembangunan kepariwisataan. Sangat penting untuk dicatat bahwa bukanlah
kecepatan yang menjadi masalah, melainkan kualitas pembangunanlah yang lebih penting.
Paradigma baru pembangunan untuk mendukung gerakan ekonomi ramah lingkungan
sebagaimana dimaksudkan oleh Rio + 20 harus diformulasikan.
3.3.4 Pendekatan Wilayah (ASEAN) untuk
Mengimplementasikan Prakarsa Dunia dalam Pariwisata
Berkelanjutan
Indonesia, dengan lebih dari separuh pulau-pulau di wilayah ASEAN, dan satu per tiga
dari penduduk ASEAN, menempati posisi yang kuat untuk membawa isu pembangunan
pariwisata berkelanjutan ke ‘meja’ ASEAN. Malaysia, Thailand, dan Singapura, telah
73
mengalami pertumbuhan pertumbuhan kunjungan internasionalpada jaman modern, akan tetapi
masih terdapat negara lain seperti Myanmar, Vietnam, dan Laos yang juga giat mempercepat
pengembangan industri kepariwisataannya. Daerah-daerah tertentu di Indonesia menghadapi
tantangan yang sama: ada yang sudah berkembang dan mendapat kunjungan internasional, ada
yang masih dalam tahap percepatan pengembangan. Sesungguhnya sudah ada tatanan
kelembagaan untuk mengelola wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga Indonesia seperti
BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Phillippines - Area Pertumbuhan Asia Timur - ), dan
Segitiga Pertumbuhan IMT- GT (Indonesia, Malaysia, Thailand).
Untuk perioda waktu yang panjang, Indonesia memimpin pengembangan tenaga kerja
manusia di ASEAN. Telah ada dan telah dikemukakan gagasan untuk mempunyai program
internasional di antara universitas terpilih dalam pendidikan pariwisata di negara ASEAN, tempat
mahasiswa dimungkinkan melakukan registrasi di suatu negara dan pindah ke negara anggota
lainnya untuk mendapat pengalaman internasional dan juga memupuk budaya ASEAN. Dalam
melakukan hal tersebut, diharapkan bahwa kepariwisataan terkait dengan mobilitas sumberdaya
manusia di lingkungan negara anggota ASEAN tidak akan menimbulkan persoalan dalam
mendukung semangat ASEAN. Selain itu, para pemain usaha hendaknya berkolaborasi dalam
mengembangkan paket pariwisata berkelanjutan ASEAN, mengintegrasikan dan menyinergikan
berbagai elemen berbeda dari berbagai negara berbeda untuk meningkatkan daya saing pasar
yang lebih luas. Kerjasama kepariwisataan ASEAN yangkuat dengan beberapa prakarsa bersama
seperti: Kelompok Kerja STOM-NTOs untuk Kapal Pesiar, Program Pasar Bersama ASEAN,
ASEAN sebagai “Satu Destinasi Tunggal”, Tim Komunikasi Kepariwisataan ASEAN, Satuan
Tugas ASEAN dalam Investasi Kepariwisataan, dan Satuan Tugas ASEAN untuk Tenagakerja
Pariwisata sudah berjalan baik
Enam isu kunci yang telah dibahas dalam Pertemuan Pejabat Senior ASEAN adalah: (1)
Pemasaran Pariwisata ASEAN, (2) Standar ASEAN, (3) ASEAN Cruise, (4) Komunikasi
ASEAN, (5) Pengembangan Sumber Daya Insani, dan (6) Investasi Pariwisata ASEAN.
74
Pesan Kunci Bab 3

Kesejahteraan masyarakat, jati diri, kualitas hidup, nilai tambah dan konservasi sumberdaya seni
serta budaya dan kerjasama internasional merupakan unsusr unsur kunci Visi Pariwisata
Berkelanjutan Indonesia

Dimensi Baru Kebijakan Kunciyang diperkenalkan
o
Sesuai dengan arah pro-masyarakat miskin dalam agenda pembangunan nasional,
kepariwisataan diharapkan memainkan peran penting dalam pengurangan kemiskinan,
khususnya di berbagai destinasi wisata
o
Pemahaman tentang dan komitmen terhadap Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan
yang mendukung peralihan bagi pekerja dan pemberi kerja secara memadai menuju
pembangunan yang rendah karbon, memperlambat perubahan iklim, ramah lingkungan dan
ramah sosial di Indonesia adalah bagian penting strategi pariwisata berkelanjutan dan
seharusnya menjadi arusutama kebijakan
o
Pencapaian Pekerjaan yang Layak merupakan bagian penting dalam pariwisata
berkelanjutan dan agenda pro-masyarakat miskin dan pro-pekerjaan
o
Pemuda sebagai pelaku perjalanan potensial, terdidik dan berketerampilan merupakan
sumberdaya manusia sekarang dan masa depan, serta penggiat pembangunan pariwisata
berkelanjutan, haruslah dibantu
o
Pengarusutamaan Jender dan pencegahan pekerja anak merupakan dua sasaran penting
yang harus diberi tekanan dalam agenda pembangunan kepariwisataan di Indonesia
o
Untuk mencapai jalur pembangunan yang konsisten, standar panduan pariwisata
berkelanjutan harus dikembangkan dan dilaksanakan.

Perencanaan pengembangan sumberdaya manusia yang komprehensif merupakanbasis
keberhasilan industri berbasis pengetahuan dan pondasi untuk pembangunan berkelanjutan

Pendekatan keberkelanjutan pada pembangunan pariwisatasejalan dengan MDGs dan
RPJPN, dan peraturan perundang-undangan kepariwisataanserta arah kebijakan kunci dari
Pemerintah menuntutkeseimbangan antara manfaat ekonomidengan pelestarian sumberdaya alam
dan budaya sertaberbagaiisu isu terkait dengan kesejahteraan komunitas

Kerjasama Internasional ASEAN melalui integrasi dan sinergi beberapa elemen berbeda dari
negara-negara anggauta untuk meningkatkan daya saing pasar yang lebih luas.
75
BAB 4
KERANGKA STRATEGIS
Ikhtisar Bab
Bagian ini menggambarkan kerangka strategis yang memungkinkan implementasi dari
berbagaikebijakan pariwisata berkelanjutan yang diuraikan di bab sebelumnya
dilakukan. Dimensi kebijakan dan perencanaan yang terpenting sebagaimana tercakup
dalam Bab 3 dibahas pada tingkat yang strategis. Selain dari itu, juga dilakukan
pengkajian terhadap struktur kelembagaan dan finansial, pendekatan perencanaan untuk
pembangunan, sistem penunjang, dan juga prinsip ekonomi seperti kompetisi, analisis
pasar, sumberdaya, kendala dan sebagainya. Demikian juga digambarkan hubungan
untuk memadukan ke dalam strategi pembangunan nasional dan daerah. Hasil akhir bab
ini adalah dikembangkannya strategi konkrit untuk pelaksanaan setiap sub-bagian yang
dibuat khusussesuai dengan konteks Indonesia termasuk peran masing-masing pemangku
kepentingan.Strategi ini merupakan pedoman yang dapat digunakan oleh pemerintah
nasional/provinsi/ kabupaten/kota sebagai dasar bagi berbagai kebijakan dalam
pembangunan pariwisata berkelanjutan.
4.1 Kerangka Strategis untuk Pariwisata Berkelanjutan
Indonesia
Kompleksitas Indonesia yang disebabkan oleh besarnya jumlah dan keragaman penduduk
dan realitas geografi menjadikan pariwisata berada dalam kedudukan yang khas. Pariwisata lebih
dari sekedar penghasil devisa non minyak dan gas, melainkan penggerak ekonomi nasional yang
dibangkitkan oleh permintaan domestik dan internasional. Banyak kebijakan dan dokumen
hukum yang secara ajeg menyebutkan peran pariwisata mencakup kesatuan dan persatuan. Dalam
hal ini, dimensi sosio-budaya menjadi lebih mangkus (relevan) dalam pembangunan pariwisata
Indonesia yang berkelanjutan.
Industri kepariwisataan telah bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa, menanggapi
pertumbuhan permintaan pada tingkat internasional, nasional dan daerah. Dorongan permintaan
yang dibangkitkan oleh pasar yang semakin besar telah memungkinkan pariwisata padat modal
dikembangkan di destinasi yang paling banyak dikunjungi.Meskipun hal ini memperlihatkan
manfaat bagi pemerintah dan beberapa individu, juga menjadi ancaman bagi keberlanjutan
destinasi dan dapat menjadi beban bagi mayoritas komunitas tuan rumah akibat meningkatnya
76
biaya hidup.13 Karena itu perlu untuk mengubah pemikiran –dari pariwisata sebagai industri
berbasis sumberdaya yang mungkin akan membebanisumberdaya terkait lebih jauh
menuju ke pariwisata sebagai industri berbasis pengetahuandengan nilai tambah lebih
besar- yang akan memengaruhi tentang bagaimana sumberdaya pariwisata akan dikonsumsi.
Pengetahuan yang tepat guna tentang sumberdaya pariwisata diharapkan meningkatkan
tanggungjawab semua pemangku kepentingan, tanpa mengurangi kesenangan dan pengalaman
ketika mengunjungi suatu destinasi, tetapi membuat kunjungan lebih mempunyai makna.
Kebijakan otonomi daerah yang dimulai pada tahun 1999 ketika Indonesia mencari tata
kepemerintahan yang lebih baik masih dalam proses pendewasaan. Sejalan dengan otonomi
daerah, pendekatan dari bawah dalam pembangunan wilayah dan daerah setempat menjadi
semakin penting untuk menyeimbangkan pendekatan yang bersifat top-down. Ukuran dan
keaneka-ragaman Indonesiamemerlukan tidak hanya perspektif sebagai anggota yang
bertanggungjawab dalam komunitas global, tetapi juga memerlukan pengetahuan regional dan
lokal. Berfikir global dan bertindak lokal, dan juga berfikir secara lokal dan bertindak
secara global, keduanya perlu diterapkan. Meskipun otonomi daerah telah berlangsung lebih dari
satu dekade, kapasitas regional dan lokal dalam mengarahkan pembangunan pariwisata masih
dapat dipertanyakan. Budaya lama yang mengerjakan sesuatu dengan menunggu arahan dari atas
masih tetap berlangsung di beberapa daerah. Sifat pariwisata yang multi dimensional memerlukan
pejabat yang mengetahui “dunia luar” dalam arti berbagai destinasi pariwisata berdaya saing lain
yang ada di dalam negeri maupun di negara lain – sambil memahami bermacam situasi, potensi
dan tantangan lokal. Sayangnya, bahkan pejabat tinggi sekalipun mungkin belum pernah
melakukan perjalanan secara luas (tuntas) di dalam negeri14, meski mereka justru mungkin telah
melakukan (banyak) perjalanan ke luar negeri. Bila pun mereka melakukan perjalanan, mereka
mungkin tidak bepergian sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan pengalaman yang
dibutuhkan. Kurangnya kapasitas pegawai lokal dan kurangnyapengetahuan lokal dan
pemahaman pemerintah pusat mungkin telah menghasilkan kesenjangan persepsi dan kesalahan
pengertian. Keragaman dan juga keunikan setiap wilayah memerlukan prakarsa pemerintah
setempat untuk menemukenali potensi masing-masing untuk menarik wisatawan potensial, dan
juga memahami berbagai persoalan, permasalahan khusus dan peluang yang membedakan
lokalitas satu dan lainnya. Berbagai praktek me“niru” (replikasi) destinasi yang sukses dengan
harapan akan terjadi juga di daerahnya haruslah dilakukan secara cermat dan sesuai dengan
konteks masing-masing. Berbagai pelajaran telah dicermati dari berbagai pengalaman masa lalu
dan tetap masih tetap berlangsung sampai hari ini dimana Bali menjadi model yang ingin ditiru
berbagai provinsi lainnya. Tentu kenyataannya tidak akan sesederhana itu.
Sayangnya, gerakan otonomi, dalam satu dan cara lain, telah membuyarkan sistem
pengembangan data nasional yang sudah ada. Pemerintah Pusat menghadapi kesulitan untuk
mendapat data dari berbagai daerah. Bahkan basis data tentang daya tarik pariwisata masih perlu
untuk dimuthakhirkan dan disusun secara sistematis. Lebih banyak sumberdaya yang menjadi
daya tarik pariwisata telah ditemukenali dari waktu ke waktu. Misalnya Raja Ampat, tempat
diving di Papua Barat yang hingga akhir tahun 1990-an belum masuk ke dalam daftar. Sangatlah
13
Wawancara informal dengan pekerja di area Nusa Dua menyebutkan pembicaraan tentang sewa kamar yang tak terjangkau
yang memaksa mereka menjajdi komuter dari desanya ke tempat kerja.
14
Sangat mungkin bahwa tak seorang pun di negeri ini telah melakukan perjalanan ke 383 kabupaten dan kota di
33 provinsi.
77
mungkin banyak sumberdaya lokal yang tidak diketahui di tingkat provinsi dan nasional karena
kurangnya kapasitas untuk menemukenali dan mengkomunikasikannya. Selama ini kebanyakan
identifikasi diprakarsai oleh tenaga ahli dari berbagai disiplin misalnya sumberdaya kebumian
yang potensial untuk menjadi geo-park.
Pariwisata acapkali dipasarkan sebagai industri padat karya dan ramah lingkungan,
istilah yang sering digunakan untuk mendapat dukungan politis. Perlu diingat bahwa pada
kenyataannya industri kepariwisataan mungkin bukanlah industri yang secara
menyeluruhdiselenggarakan seideal itu. Pekerjaan yang diciptakan dan proses produksi harus
ditinjau kembali apakah pekerjaan yang layak telah untuk penduduk telah tersedia dan apakah
prosesnya benarbenar ramah lingkungan dan ramah komunitas yang ada di destinasi. Dalam hal
apakah praktek pariwisata ramah lingkungan atau tidak, aktivitasnya perlu dikendalikan dan
dipantau.
4.1.1 Strategi Kunci 1: Perubahan Pola pikir
Perubahan pola pikir dan kesadaran seluruh pemangku kepentingan merupakan
strategi inti yang memainkan peran penting dalam memperkuat dan meletakkan arah
pembangunan pariwisata berkelanjutan Indonesia
Strategi kunci 1 mencakup promosi- mendorong perubahan pola pikir para pemangku
kepentingan pariwisata dalam banyak aspek pembangunan pariwisata berkelanjutan. Kerangka
pemikiran mencakup halberikut ini:
i.
Pariwisata bukanlah tujuan, melainkan ‘kendaraan’ untuk mencapai tujuan
kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup;
ii.
Dalam sistem administrasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah
kementerian utama dalam pengembangan kebijakankepariwisataan, akan tetapi aspek
multidimensinya pengembangan tersebut menuntut perhatian dari banyak
kementerian, lain dan juga berbagai tingkat kepemerintahan.
iii.
Pembangunan pariwisata merupakan proses jangka panjang. Berbagai kebijakan dan
perencanaan perlu diarahkan ke tujuan dan sasaran jangka panjang; dengan
perencanaan jangka pendek yang merupakan bagian dari perencanaan jangka panjang
tersebut. Orientasi jangka panjang perlu didasarkan pada visi yang jelas, bukan
sekedaragenda pemecahan persoalan dan bukan pulabersasaran pada pembangunan
jangka pendek dan permintaan pasar.
iv.
Pariwisata adalah fenomena yang multi dimensi sifatnya, sebagaimana disebutkan
dalam konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, aspek sosio-budaya tidak
kurang pentingnya. Peran pariwisata dalam pembangunan bangsa, mempersatukan
78
rakyat dari berbagai daerah/wilayah berbeda; melakukan perjalanan dan melihat
bagian lain dari negeri ini sangatlah perlu dalam membangun pemahaman persatuan
bangsa; ini berarti bahwa pariwisata nusantara tidak kurang pentingnya dan
bahkan lebih penting dari pariwisata internasional.
v.
Paradigma pembangunan industri kepariwisataan bukan berbasis sumberdaya,
melainkan industri yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Industri kepariwisataan
tidak hanya padat karya dan dapat menghasilkan secara cepat, kecuali investasi besar
dalam infrastruktur akan perlu waktu beberapa tahun agar investasinya kembali, akan
tetapi juga mengarusutamakan peluang usaha bagi usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM), sambil juga membuktikan bahwa pariwisata sebagai industri ramah
lingkungan dan menyeimbangkan komposisi industri dan manfaat jangka panjang.
vi.
Otonomi tidak hanya sekedar mengalihkan kewenangan untuk mengambil
keputusan dalam pembangunan pariwasata ke pemerintah daerah, akan tetapi juga
perlu bertanggungjawab terhadap sejalannya pembangunan dengan kebijakan
nasional. Di pihak pemerintah pusat, meskipun beberapa tugas telah dialihkan, tetap
diperlukan pengendalian, apakah tugas tersebut telah dijalankan secara layak/tepat.
Esensi dari strategi ini adalah agar semua pemangku kepentingan sadar bahwa berfikir
keluar dari kotak (thinking out of the box) sangatlah penting. Tidak cukup masing-masing pihak
“berkegiatan sebagaimana biasanya” (‘business as usual’) “tinggal nyaman di zona nyaman”,
dengan pertumbuhan wisatawan internasional dan nusantara yang mantap.
Pariwisata berkelanjutan yang telah dikenal digunakan sebagai alat untuk mengarahkan
pembangunan baru dan mengarahkan kembali penyimpangan dalam pembangunan yang lalu,
menggaris-bawahi dimensi baru yang sebelumnya tidak cukup mendapat perhatian.
Langkah-langkah strategis:






Meningkatkan kesadaran pada semua tingkatan tentang kerangka pemikiran pariwisata
berkelanjutan melalui bermacam media dan memanfaatkan TOKOH yang dihormati atau
populer sebagai juru bicara
Menyiapkan panduan/pedoman nasional untuk pariwisata berkelanjutan dan membangun
konsensus tentang hal tersebut
Manfaatkan forum antar kementerian yang sudah terbentuk atau bentuk forum yang baru
disertai sistem komunikasi dengan pemerintah daerah dan komunitas di tingkat lokal
Memberdayakan pemerintah lokal dan provinsi dalam pelaksanaan berbagai prinsip
berkelanjutan termasuk kepuasan penduduk setempat
Memromosikan, menegakkan, dan memantau praktek berkelanjutan secara ajeg/ konsisten
dan lakukan sesuatu terhadap sikap pekerja pada setiap peluang
Mengembangkan asosiasi pengusaha untuk industri rantai produksi pasokan
kepariwisataan dan serikat/asosiasi karyawan pariwisata, dan kaitkan dengan KADIN atau
APINDO.
79
4.1.2 Strategi Kunci 2: Adaptasi dan Adopsi Indikator Pariwisata
Bekelanjutan
Sebagai konsekuensi perubahan pola pikir, indikator kinerja yang lazim digunakan
sebelumnya menjadi tidak memadai lagi. Serangkaian indikator kinerja baru perlu dikembangkan,
merujuk pada berbagai sumber yang tersedia dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Indikator kinerja untuk pembangunan pariwisata perlu diidentifikasi untuk setiap tingkatan
kepemerintahan– nasional, provinsi, dan daerah. Suatu indikator yang penting dan sesuai pada
tingkat nasional mungkin tidak dapat diterapkan pada tingkat lokal dan sebaliknya. Meskipun
pengukurannya sukar/tidak mudah dan tidak sederhana, dampak terhadap kehidupan sosiobudaya dan lingkungan haruslah tercakup. Dalam hal indikator ekonomi, tingkat kebocoran
mencerminkan dan merupakan indikator penting untuk kebijakan investasi pariwisata lebih lanjut.
“Indikator Pariwisata Berkelanjutan” yang disiapkan oleh UNWTO seperti yang ringkasannya
dapat dilihat dalam Bab 2 dan terdapat pada Lampiran 7 dapat dirujuk dan juga Indikator
Pertumbuhan Ramah Lingkungan dari OECD. Kriteria Pariwisata Berkelanjutan Global sebagai
panduan universal minimum juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan model
indikator. Selain dari itu, juga penting untuk memasukkan indikator yang berkaitan dengan
dimensi kebijakan baru: pengurangan kemiskinan, pekerjaan layak dan pekerjaan ramah
lingkungan, lapangan kerja bagi pemuda, pengarusutamaan jender, dan perlindungan
anak.
Faktor keberhasilan yang tepat yang menunjukkan apa yang membuat keberhasilan
kinerja harus pula disepakati. Kinerja pariwisata merupakan hasil dari banyak pemangku
kepentingan. Integritas semua pemangku kepentingan dalam bergerak menuju pencapaian visi
pariwisata, sinergi yang optimal antara sektor publik dan swasta, antara industri kecil dan besar
sepanjang rantai produksi, peraturan dan regulasi yang konsisten, semuanya merupakan bagian
dari pemantauan dan pengukuran untuk menyeimbangkan kepentingan semua pemangku
kepentingan. Karena itu, indikator yang baru haruslah dikomunikasikan dan disepakati oleh para
pemangku kepentingan.
Langkah-langah strategis:




Membentuk komisi tekniknasional untuk membahas sistem indikcator.
Menemukenali dan memilih sejumlah indikator kinerja, termasuk indikator keberhasilan
sosio-budaya, indikator terkait lingkungan (alam dan juga lingkungan buatan), selain dari
indikator ekonomi.
Mengembangkan indikator khusus untuk Pekerjaan yang Layak dan Pekerjaan Ramah
lingkungan dalam pariwisata berkelanjutan, mengaitkan dengan berbagai lembaga
internasional seperti UNEP dan OECD, yang menjalankan program yang serupa
Indikator khusus juga perlu ditambahkan pada evaluasi keberhasilan destinasi setempat.15
15
Kasus wisatawan mengunjungi Candi Borobudur di Jawa Tengah, tetapi tinggal di Yogyakarta, yang berbeda
unit administrasinya.
80

Meneliti situasi saat kini dan mengevaluasi keajegan/konsistensi berbagai aturan dan
regulasi dan implementasi berbagai program terkait pariwisata di berbagai kementerian
yang berbeda dan juga antara sektor publik dan swasta, dan peran sektor informal
4.1.3 Strategi Kunci 3: Pembiasaan Pola Pikir Baru dalam
Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dan Pariwisata
Berkelanjutan
Mengubah pola pikir bukanlah suatu proses yang sederhana. Tidak hanya cukup satu
pihak pemangku kepentingan yang berubah tanpa konvergensi dengan pihak lain. Semua pihak
perlu membiasakan diri, pemerintah, kalangan industri, masyarakat sebagai tuan rumah dan juga
sebagai wisatawan. Pemerintah harus mengubah pola pikirnya sambil merumuskan berbagai
kebijakan dan menyusun rencana implementasinya. Pemerintah harus memimpin dan asosiasi
industri merupakan yang pertama yang harus membiasakan diri. Pemerintah dan asosiasi harus
membangun kriteria pariwisata berkelanjutan dalam pembuatan kebijakan, perencanaan, dan juga
pengambilan keputusan.
Karena itu, pemerintah harus menciptakan sistem komunikasi dan koordinasi yang efektif
dan suatu pengelolaan antarsektor yang terpadu untuk pariwisata berkelanjutan. Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan juga kementerian lainnya
perlu mendukung tujuan pemerintah dalam pariwisata dengan pola pikir yang sama. Pemerintah
pusat dan daerah berperan sebagai pemimpin yang mengarahkan dan mengelola pembangunan
pariwisata berkelanjutan, dengan menggunakan indikator multidimensi yang sudah disepakati.
Pemerintah pada semua tingkatan harus menegakkan peraturan dan regulasi secara efektif dan
berkeadilan (tidak diskriminatif). Pemerintah daerah harus lebih peka pada kebutuhan komunitas,
yang tidak dapat diagregasikan pada tingkat nasional, sebagai imbalan atas permintaan untuk
menghadapi wisatawan dengan hospitality.
Industri kepariwisataan harus menyinkronasikan sasaran ekonomi dengan konservasi
sumberdaya alam dan lingkungan, nilai nilai sosio-budaya dalam menyusun visi, misi, kebijakan
dan dalam proses pengambilan keputusannya. Karena itu, industri kepariwisataan perlu
membiasakan diri mereka (atau melalui asosiasinya) pada praktekpraktek keberkelanjutan. Sektor
informal memerlukan lebih banyak perhatian dan bantuan. 16
Para pekerja harus diberi informasi melalui penataran (upgrading)atau pelatihan sikap
agar menyadari akan semua hak dan tanggungjawabnya dalam lingkungan kerja yang
berkelanjutan. Kelompok komunitas lain yang mungkin secara langsung atau tak langsung
terlibat dalam penyelenggaraan pariwisata juga harus didrong untuk memelihara SAPTA
16
Kasus di Surakarta/Solo misalnya membuktikan bahwa sektor informal dapat diikelala dan pemerintah daerah di bawah kepemimpinan
yang memperhatikan komunitas teklah berhasil berkomunikasi dengan sektor informal. Diperlukan proses yang lama tapi dapat dikerjakan.
81
PESONA17 yang telah ditetapkan sejak tahun 1980 – tidak hanya untuk kepentingan wisatawan,
akan tetapi juga untuk kenyamanan dan kebanggaan/martabat mereka.
Sepanjang mengenai wisatawan, pada dasarnya kampanye perilaku ramah lingkungan
dan komunitas di tingkat nasional diperlukan untuk memengaruhi aktivitas wisatawan. Pilihan
atas berbagai produk, penggunaan air dan listrik serta yang lainnya. Kampanye semacam itu
mungkin juga memengaruhi pilihan wisatawan atas destinasi. Beberapa panduan yang
menyampaikan sejumlah pesan untuk wisatawan di tempat menginap, restoran dan tempat
lainnya tentang budaya, aturan berpakaian, makanan dan minimum dan juga berbelanja sudah
tersedia 18 Permintaan wisatawan akan berbagai produk ramah lingkungan akan membantu
industri beralih ke produk dan jasa ramah lingkungan.
Dimensi penting lainnya dalam pendidikan kepariwisataan adalah mendorong dan
mendukung wisata domestik, tidak hanya untuk orang Indonesia melainkan juga untuk wisatawan
internasional meluaskan pengalamannya dan manfaat ekonominya ke seluruh negeri. Wisatawan
harus diperkenalkan pada etika wisatawan. Pentingnya pariwisata domestik sebagaimana
disebutkan sebelumnya terletak pada dampak bangkitan ekonominya yang terdistribusi lebih luas
dan mencapai lapisan bawah sektor informal. Hal ini juga memperbaiki pengetahuan tentang
negera dan bangsa Indonesia serta memainkan peran dalam mempersatukan bangsa. Pariwisata
domestik dapat mempunyai bermacam-macam manfaat: (1) manfaat ekonomi dari pengeluaran
wisatawan, (2) manfaat lingkungan dalam hal meningkatkan kesadaran warga kota setempat
untuk melestarikan pusaka alam dan budaya Indonesia, (3) menurunkan dampak musiman dan
ketidak-seimbangan pembangunan pariwisata serta mendorong pertumbuhan daerah yang kurang
berkembang, (4)meningkatkan saling pengertian antara budaya yang berbeda.
Langkah-langkah strategis


Pembangunanmelalui kampanye yang sudah ada dan memperkenalkan panduan dan/atau
standartentang perilaku wisatawan yang berkelanjutan. Untuk mendukung kampanye
tentang perilaku konsumen tersebut, pemerintah dan industri kepariwisataan hendaknya
juga memberi insentif dan keuntungan tempat pasar (marketplace advantages) untuk
industriagar mendukung praktek pariwisata berkelanjutan. Mengembangkan dan
menyebar-luaskan aturan bagi pelaku perjalanan/konsumenpariwisata berkelanjutan
seluas-luasnya.
Memperlihatkan dengan kasus bahwa menerapkan praktek pembangunan berkelanjutan
tidak akan meningkatkan (atau malahan mungkin mengurangi) modal dan pengeluaran
operasional, dengan demikian mengurangi ongkos kegiatan dan meningkatkan
keuntungan. Memperlihatkan bahwa konsumen menghargai berkelanjutan untuk cukup
untuk dijadikan faktor dalam proses pengambilan keputusannya.Tanpa permintaan,
pengembang dan penyedia (provider) tampaknya akan kurang berminat memilih
pemberlakuan strategi pariwisata berkelanjutan.
17
SAPTA PESONA adalah slogan nasional, yang diperkenalkan pada tahun 1980-an memromosikankesadaran masyarakat,
terdiri dari 8 (sapta) prinsip agar menarik sebagai destinasi pariwisata: keindahan, kebersihan, keteraturan, keselamatan dan
keamanan, keramah-tamahan, tanda kenang-kenangan (suvenir).
18
Disesuaikan dari Kode/Aturan untuk Pelaku perjalanan, Sahabat Pelestarian, UK, dalam Agenda 21 Sektoral tentang
Pariwisata, Agenda untuk mengembangkan Kualitas Hidup yang berkelanjutan.
82



Berbagai produk pariwisata yang lebih bersifat memberi pengalaman, yang
menyampaikan informasi tentang manfaat seperti ekowisata, geowisata, pariwisata
perdesaan, pariwisata pusaka harus dikembangkan dan aksesnya harus disediakan.
Melakukan kampanye pariwisata nusantara yang memromosikan kunjungan ke bagian
lain nusantara katimbang melakukan perjalanan ke luar negeri, membeli produk lokal di
destinasi ketimbang barang dan jasa yang diimpor. Memromosikan pariwisata nusantara
ke semua provinsi, terutama ke yang paling sedikit dikunjungi. Anak muda menjadi
sasaran utama.
Mencakup isu berkelanjutan dalam kurikulum kademik untuk semua program pendidikan
dan pelatihan kepariwisataan.
“There is no such knowledge of the nation as comes of traveling it, of seeing eye to eye
its vast extent, its various and teeming wealth, and above all its purpose-filled people”
(Stephen Merrit,1892).
4.1.4 Strategi Kunci 4: Memperkenalkan dan Menegakkan
Mekanisme Pengelolaan
Strategi pengelolaan diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran semua strategi yang
ditetapkan dalam Rencana Strategis dan selebihnya. Pola pikir yang berubah dan penetapan
indikator pariwisata berkelanjutan perlu ditindaklanjuti dengan berbagai tindakan nyata yang
efektif. Manajemen dilakukan melalui perencanaan strategik dan pemantauan yang teraturr, yang
akan menunjukkan apakah tindakan korektif diperlukan. Pemantauan memerlukan pengukuran
berbagai indikator. Data yang tersedia biasanya sangat terbatas, membuat pemantauan dan
evaluasi menjadi sukar. Selain data sosio-ekonomi, data aspek sosio-budaya dan indikator
lingkungan juga perlu dikumpulkan secara reguler dan sistematis.
Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai bagian dalam strategi pengelolaan
adalah skema insentif dan dis-insentif. Dalam sistem ini insentif diberikan kepada merekayang
memperlihatkan penguatan signifikan dalam operasinya dan juga mereka yang telah menerapkan
standar untuk berbagai praktek keberlanjutan. Di pihak lain, disinsentif dapat diterapkan kepada
mereka yang tidak memenuhi standar yang sudah ditetapkan. Strategi pengelolaan ditujukan
untuk menegakkan indikator keberlanjutan supaya efektif
Langkah-langkah strategis;


Mengembangkan database untuk sistem pendukung pengambilan keputusan dan
perumusan kebijakan melalui pengukuranindikator berkelanjutan.
Mendorong industri menyiapkan data terkait dengan operasi usaha untuk pemantauan
dan tujuan pengendalian. Informasi yang dapat diandalkan akan diperlukan agar
penyusunan kebijakan bisa tepat/layak. Kebijakan yang didasarkan pada informasi salah
yang tak dapat dipercaya akan mendatangkan kerugian finansial pada industri atau
mungkin merusak destinasi.
83



Melembagakan mekanisme pengelolaan strategis untuk pembangunan pariwisata
berkelanjutan. Komunitas lokal mungkin berperan dalam mekanisme tersebut. (kontrol
sosial)
Mengimplemtasikan sistem insentif dan dis-insentif.
Memperkenalkan pengelolaan dan pengendalian pengunjung, membatasi lama kunjungan
dan jumlah orang dalam satuan waktu tertentu, menyediakan penerangan singkat audio
visual sebelum memasuki lokasi yang sensitif.
4.2 Strategi Implementasi Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan
Dengan perubahan pola pikir, seperangkat indikator baru, perubahan perilaku pemangku
kepentingan, pengelolaan strategis dan mekanisme pengendalian, serta dilengkapi dengan
panduan yang dibuat khusus, (masih) perlu diterapkan seperangkat strategi lain untuk
pelaksanaannya.
Strategi Implementasi 1: Mengarusutamakan dan Memromosikan
Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan melalui Pariwisata
Berkelanjutan.
Mengarusutamakan dan memromosikan pekerjaan layak yang ramah lingkungan melalui
pariwisata berkelanjutan tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan program lain yang terkait.
Kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang setelah Konferensi Rio+20 akan
menyelenggarakan pertemuan nasional tentang berbagi tanggungjawab di antara kementerian
untuk merealisasikan agenda “Masa Depan yang Kami Inginkan” hasil konperensi tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup juga mengusulkan konsep “Ekonomi Biru” yang dapat
diterapkan pada pariwisata bahari Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
merupakan mitra dekat dalam pengembangan sumberdaya insani untuk pariwisata berkelanjutan,
sementara Kementerian Dalam Negeri dinilai sebagai mitra yang paling tepat untuk implementasi
di tingkat lokal/daerah.
v.
Dengan mengarusutamakan, memromosikan, dan mendukung Pekerjaan Layak
yang Ramah Lingkungan dalam pembangunan pariwisata ke dalam kebijakan kepariwisataan
nasional dan juga dengan industri, sasaran pekerjaan produktif dalam kebebasan, kesetaraan,
keamanan dan martabat manusia serta mengurangi dampak lingkungan negatif dalam sektor
formal dan juga informal akan dapat dicapai.
Langkah-langkah strategis:
 Mengarusutamakan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan dalam kebijakan nasional
ketenagakerjaan, sosialdan pariwisata dan mempomosikan keempat pilar pekerjaan yang
84





layak misalnya penciptaan lapangan kerja, hak atas kerja, perlindungan dan dialog
sosialdalam industri kepariwisataan.
Mengarusutamakan dan memromosikan Pekerjaan Layak yangRamah Lingkungan melalui
Pariwisata Berkelanjutan bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri dan asosiasi industri.
Mendidik dan memberi informasi pada industri kepariwisataan yang ada tentang kebutuhan
dan menfaat untuk memperbaiki bisnis mereka melalui kualitas“pekerjaan pariwisata yang
layak dan ramah lingkungan” dan berbagai peluang untuk kelompok rentan.
Memromosikan kapasitas pemangku kepentingan pariwisata untuk ikut serta dalam dialog
tentang Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan melalui peningkatan akses ke sumber data
dan informasi yang dapat dipercaya tentang Pekerjaan Ramah Lingkungan dan pelatihan,
termasuk dampak lingkungan berbagai kebijakan terkait lingkungan dan berbagai praktek
baik terkait dengan Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan, dan melakukan program
percontohan yang menaggapi berbagai kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan llakilaki dalam sektor pariwisata.
Mendorong lebih lanjut pemerintah daerah untuk mengembangkan informasi tentang sektor
informal. Sektor informalyang menggunakan ruang publik perlu diakomodasi di tempat kerja
yang tepat dengan biaya terjangkau, khususnya di destinasi utama.
Mengembangkan pedoman, kerjasamaantara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
sementara penerapan pedoman perlu melalui Kementerian Dalam Negeri supaya sesuai
dengan sistem administrasi.
Strategi Implementasi 2: Memrioritaskan Penurunan Kemiskinan dalam
Pariwisata
Pengurangan kemiskinan melalui pariwisata berkelanjutan melengkapi Arahan Presiden,
RPJPN dan strategi untuk mencapai MDGs. Strategi pengurangan kemiskinan dalam pariwisata
mencakup (1) pemantauan dan evaluasi dampak lingkungan oleh pariwisata, (2) memromosikan
kepemilikan lokal dan pemanfaatan sumberdaya lokal, (3) mendukung lapangan kerja lokal
formal dan lapangan kerja perdesaan (pertanian dan non pertanianterkait dengan pariwisata:
ekowisata agrowisata), (4) memperkuat kolaborasi dan komunikasi, (5) mengarahkan defisit
pekerjaan masa kini. Sasarannya adalah pengurangan kemiskinan komunitas lokal, perlindungan
terhadap sumberdaya alam dan budaya dan cara-cara hidup .xxxi
Langkah-langah strategis:


Memanfaatkan program PNPM Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk
mengidentifikasi daerah yang kurang beruntung yang mempunyai potensi pariwisata dan
mendukung pembangunannya dengan memromosikan pariwisata sebagai pilihan
aktivitasnon-pertanian bagi komunitas dan menyediakan fasilitator atau pendamping
pemberdayaan
Memromosikan kepemilikan lokal dengan memfasilitasi akses terhadap keuangan melalui
kredit dan fasilitas pinjaman bagiwarga miskin, dengan maksud untuk keuntungan
ekonomi yang berkeadilan dalam sumberdaya yang dikelola komunitas dengan perhatian
khusus untuk menyediakan akses untuk para muda dan perempuan.
85



Mendukung lapangankerja perdesaan formal/lokal melalui pengembangan program
penjangkauan pekerjaan yang lebih luasyang membantu mendidik dan memberi informasi
penduduk lokal/perdesaan tentang prospek pekerjaan dalam industri kepariwisataan dan
sektor terkait, dan juga tentang konsekuensi dan resiko informalitas.
Memperkuat kolaborasi dan komunikasi antara industri kepariwisataan dan komunitas
lokal/perdesaan untuk mengaitkan komunitas dengan jejaring distribusi dalam industri
kepariwisataan, membantu komunitas dalam membangun kapasitasnya secara
berkesinambungan untuk menyiapkan pelayanan pariwisata/hospitalitydan memfasilitasi
penyediaan pangan, barang dan jasa atau infrastruktur oleh komunitas untuk membantu
mereka memahami lebih baik kebutuhan industri.
Bekerja dengan organisasi pembangunan dan mitra industri dalam penciptaan lapangan
kerja yang pro penduduk miskin untuk meningkatkan:
(a) Manfaat Ekonomi: 1. Meningkatkan lapangan kerja perdesaan/lokal dan upah, 2.
Meningkatkan peluang usaha lokal/perdesaan (baik berbasis perorangan maupun
kelompok), 3. Menciptakan sumber pendapatan kolektif – imbal jasa dan bagi hasil
(b) Memperkuat dampak mata pencaharian non finansial: 1. Pembangunan dan
pelatihan kapasitas yang tanggap jender , 2. Mitigasi dampak lingkungan, 3.
Mengarahkan persaingan pemanfaatan sumberdaya alam, 4.Memperbaiki dampak sosial
dan budaya dan 5. Meningkatkan akses perdesaan/lokal terhadap prasarana dan
pelayanan untuk meningkatkan kondisi mata pencaharian; dan
(c) Memperkuat partisipasi dan kemitraan 19: 1. Membangun kemitraan pro-penduduk
miskin dengan sektor swasta dan 2. Meningkatkan partisipasi penduduk miskin dalam
pengambilan keputusan
Strategi Implementasi 3: Memperkuat Peluang Lapangan Kerja dan
Berwisata bagi Pemuda
Kementerian Pemuda dan Olahraga merupakan mitra ideal untuk membantu pariwisata
pemuda dan juga lapangan kerja pemuda dalam sektor kepariwisataan, karena kementerian ini
juga mempunyai divisi khusus untuk pemberdayaan pemuda.
Mendukung
potensi pemuda sebagai pelaku perjalanan dansebagai sumberdaya
manusiasektor pariwisata dan juga sebagai partisipan aktif dalam memromosikan dan mendukung
praktekpraktek berkelanjutan. Strategi dimaksudkan untuk pemuda yang berpendidikan dan
berpartsipasi, yang sadar akan keberlanjutan dalam aktivitasnya sebagai pelaku perjalanan dan
juga mempunyai kapasitas bergabung dalam sektor ini sebagai angkatan kerja terlatih dengan
kemampuan dan sikap melaksanakan konsep berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengoperasian
serta membangun sistem kepariwisataan masa depan.
19
Desa Wisata Ekologis Bali merupakan suatu panduan untuk pengelolaan bersama berbagai desa potensial di Bali untuk
menaingkatkan pengembangan lapangan kerja perdesaan/lokal melalui usaha mikro, melestarikan nilainilai budaya dan
sumberdaya, penyelenggaraan ramah lingkungan dan ditujukan pada pemenuhan standar lokal serta sertifikasi untuk
memperbaiki mata pencaharian penduduk.
86
Langkah-langkah strategis:
 Memfasilitasi lapangan kerja pemuda setelah melakukan survai pasar tenaga kerja dalam
lapangan kerja pemuda dalam mata rantai pasokan kepariwisataan (misalnya memromosikan
konsultasi pasar tenaga kerja liburan untuk menjembatani industri kepariwisataan dengan
mahasiswa/anak muda yang berminat bekerja)
 Mengarahkan berbagai kebijakan pada lembaga pendidikan untuk menyelenggarakan
pelatihan yang layak/tepat yang diperlukan sebagai program reguler, termasuk program
pendidikan berkesinambungan yang membuka kembali peluang bagi mereka yang putus
sekolahyang disinergikan dengan kebijakan magang untuk peserta pelatihan pariwisata
dan penempatan kerja.
 Mengembangkan kebijakan dalam pelatihan terpadu dan komprehensif tentang
kewirausahaan (dengan menggunakan ILO-SIYB (Start andImprove Your Business)
untuk pengusaha muda yang potensial danpengusaha dalam industri rantai produksi,
latihan usaha, yang didukung berbagai kebijakan dalam regulasi membuka usaha
setempat dan akses terhadap keuangan bagi pengusaha muda. Menawarkan insentif
khusus kepada masyarakat muda usia untuk menjadi wirausaha pariwisata berkelanjutan.
 Memfasilitasi perjalanan pemuda dengan menyediakan wisma pemuda yang standar di
setiap provinsi, tarif mahasiswa untuk transportasi umum antar daerah, dan informasi
ramah pengguna (user friendly) tentang berbagai destinasi bernuansa pendidikan
termasuk pertukaran pemuda antarprovinsi.
Strategi Implementasi 4: Mendukung Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Pemberantasan Permasalahan
Jender dan Perlindungan Anak
Pengarusutamaan kesetaraan jender dan perlindungan anak di semua penjuru sektor
kepariwisataan dan menempatkan lelaki dan perempuan dalam kedudukan setara dengan
memudahkan akses untuk memperoleh keahlian dan pengetahuan yang lebih baik. Tujuannya
adalah agar perempuan dapat memperoleh upah yang lebih baik, setara dengan lelaki dalam
kedudukan yang sama dengan keahlian yang sama dan kondisi kerja yang lebih baik. Disamping
itu, yang menjadi sasaran adalah perlindungan terhadap anak dari perempuan yang bekerja dan
penghapusan secara tuntas segala macam bentuk pekerja anak-anak.
Langkah-langkah strategis:


Menjabarkan keterkaitan antara MDGs, khususnya MDG 1b dan 3a,20, termasuk
pencapaian MDGs yang diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia, yang dapat
menyediakan kerangka tambahan tentang bagaimana kebijakan pariwisata berkelanjutan
di Indonesia dapat dikembangkan.
Memromosikan dan melakukan analisis jender dalam industri kepariwisataan Indonesia,
khususnya tentang bagaimanalelaki dan perempuan secara aktif ikut serta sebagai
20
MDG 1 b dan 3a mengamanatkan pencipataan pekerjaan produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan
pemuda, dan penghapusan ketidak-adilan jender dalam pendidikan.
87



sumberdaya insani dan sebagai mitra dalam pekerjaan dan keluarga. Singkatnya, dalam
berbagai isu seperti akses, peluang dan nilainilai. Lebih jauh menjabarkan kaitannya
dengan RPJMN 2010-2014.
Menjabarkan temuan awal tentang Perempuan dan Pariwisata (UNWOMEN, UNWTO)
2011 yang akan digunakan sebagai rujukan tentang bagaimana mengembangkan
kebijakan berkelanjutan untuk Indonesia tentang pariwisata berkelanjutan berkenaan
dengan jender, dan menggunakan fakta bahwa delapan pokok konvensi ILO telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai rujukan untuk memperkuat sasaran
pariwisata berkelanjutan, khususnya yang terkait dengan pekerjaan yang layak.
Menegakkan hukum dalam pengarusutamaan jender dalam industri kepariwisataan dan
rantai pasokannya misalnya melalui pengembangan sarana kesetaraan jender,
menggunakan Strategi Pengarusutamaan Kesetaraan Jender dan audit partisipati
jender(participatory gender audit/PGA) berdasarkan pada perangkat PGA-ILO untuk
industri kepariwisataan dan sarana penghapusan pekerja anak dan Sistem Pemantauan
Tenaga Kerja Anak untuk digunakan dalam berbagai Industri Kepariwisataan
Menyelenggarakan pelatihan untuk semua industri kepariwisataan mengenai kesadaran
penghapusan buruh anak-anak dan kerja paksa, sex anak-anak dalam pariwisata, dan
perdagangan anak-anak.
Mengembangkan kapasitas dan skema pelatihan keterampilan untuk pekerja perempuan
dalam pariwisata, sambil mendorong anak-anak mereka melanjutkan sekolahnya.
Menunjang hak keibuan di tempat kerja dalam industri dan juga program kesehatan anak.
Strategi Implementasi 5: Menerapkan Sistem Aturan/Standar Sukarela
untuk Pariwisata Berkelanjutan
Strategi ini mempunyai tiga tujuan dan menyarankan penerapan
Kode Etik,
pengembangan dan penerapan standardan pengembangan programsertifikasi. Sasarannya adalah
terciptanya ‘jalur’ (arah) yang ajeg/konsisten dalam pembangunanpariwisata dengan kemudahan
interaksi yang baik di antara semua pemangku kepentingan yang mengikuti standar.
Langkah-langkah strategis



Mengembangkan panduan/standarberkelanjutan yang komprehensif,dan melembaga
untuk berbagai produk, jasa, dan proses untuk pariwisata di Indonesia. Standar semacam
itu harus berbentuk panduan pembangunan pariwisata berkelanjutan dan juga dapat
digunakan sebagai dasar untuk sertifikasi dan pelabelan, dan dengan demikian penting
untuk, dilakukan penekanan pada standartertentu bagi isu lingkungan dan sosio-budaya,
dan juga pemantauan dan evaluasi berkesinambungan untuk menjamin pemenuhannya
dalam jangka panjang.
Pengejawantahan berbagai standar tersebut dalam industri dan materi pendidikan
konsumen yang mudah dibaca dan disebar-luaskan bersama dengan Kode Etik kepada
pemerintah daerah dan pengusaha pariwisata. Materi pendidikan yang praktis perlu
tersedia dan mudah dibaca oleh semua pemangku kepentingan.
Mengembangkan sistem sertifikasi untuk usaha kepariwisataan berdasarkan standar dan
kode etik kepariwisataan serta melakukan pemantauan dan evaluasi yang
88


berkesinambungan untuk menjamin pemenuhan kode etik dan standar tersebut dalam
jangka panjang.
Mendukung lembaga sentral yang didukung dengan sumberdaya dari pemerintah, yang
menyediakan sertifikasi, yang menawarkan dukungan kepada penyedia pariwisata dalam
mencapai tujuan sertifikasi.Terlalu banyaknya lembaga sertifikasi yang berbeda-beda
menimbulkan kebingungan dan dapat menurunkan nilai masing-masing.Pilihan lain
adalah menetapkan standar perusahaan sertifikasi untuk mendukung fungsi pemerintah
pusat untuk mengelola pemenuhan syarat para penyedia eco-label– tidak perlu
pemerintah yang menyediakan sertifikasi, tetapi pemerintahdapat menjamin penyedia
sertifikasi/eco-label yang independen yang beroperasi di Indonesia
Menciptakan label untuk sertifikasi pariwisata berkelanjutan supaya memudahkan
konsumen menemukenali produk dan jasa yang sesuai, dan memromosikan label dengan
menggunakan media populer dan dengan informasi langsung kepada wisatawan melalui
pusat informasi pariwisata, penyedia jasa pariwisata, pemandu wisata,dan lain
sebagainya.
Strategi Implementasi 6: Menetapkan Pendidikan, Pelatihan dan
Penelitian Kepariwisataan sebagai Prioritas dalam Agenda Pendidikan dan
Penelitian Nasional
Pariwisata berkelanjutan dan pariwisata sebagai industri berbasis ilmu pengetahuan
memerlukan dukungan sumberdaya insani yang tepat dalam sektor publik maupun kalangan
swasta. Pendidikan dan pelatihan yang tepat untuk semua pemangku kepentingan pada semua
tingkatan sangatlah diperlukan. Penelitian dengan peta jalan (roadmap) yang jelas sangat penting
dilakukan untuk mendukung berbagai tingkat keputusan. Kecenderungan bertumbuhnya
penyelenggara pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas tumbuhnya permintaan akibat
pertumbuhan penduduk usia sekolah hendaknya tidak menujuketidak-sesuaian (mis-match) antara
keluaran dengan sumberdaya insani yang diperlukan oleh sektor pariwisata.
Langkah-langkah strategis:






Mengembangkan komisi lintas sektoral (antar kementerian, berbagai unit usaha dan
asosiasi lain yang gayut) untuk mendiskusikan beberapa butirdi bawah ini.
Memantau dan mengevaluasi pendidikan dan pelatihan kepariwisataan yang ada dan juga
penelitian dalam bidang kepariwisataan dan hospitality.
Memrioritaskan pendidikan kepariwisataandalam program pendidikan nasional dan
mengembangkan satu sistem yang terpadu untuk pendidikan kepariwisataan dan
hospitality, pelatihan dan penelitian, menampung semua hal yang dilaksanakan pada saat
sekarang dan melakukan benchmarking.
Mempersiapkan peta jalan (roadmap) penelitian yang bijaksana serta
mengintegrasikannya ke dalam programpenelitian perguruan tinggi .
Mengembangkan standar kompetensi hijau untuk setiap sub-sektor pariwisata dan
memadukannya ke dalam kurikulum pelatihan dan pendidikan.
Menyediakanbeasiswa bagi tenaga pengajar dan instruktur untuk pendidikan lanjutan
dalam berbagai bidang terkait pariwisata dan beasiswa bagi pemuda untuk studi
89




pariwisata, terutama bagi mereka yang berasal dari berbagai destinasi utama, dan juga
mendorong kajian di berbagaibidang yang diperlukan.
Di destinasi harus tersedia pelayanan pendidikan dasar, dengan kurikulum bermuatan
lokal terkait pariwisata. Membuka peluang untuk program pelatihan bagi pelatih (training
for trainers) dalam berbagai bidang terkait pariwisata. Memfasilitasi hubungan
universitas dan lembaga pendidikan lainnya denganpemerintah daerahsupaya terdapat
kerjasama dalam pelatihan dan menjadikan pejabat pemerintah daerah sebagai mitra
(counterpart) untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman satu sama lain.
Menjajagi pedoman untuk mengukur diri dan sertifikasi berbagai kursus pariwisata dan
hospitality.
Memperkuat pendidikan kewira-usahaan dalam program pendidikan kepariwisataan
untuk membantu berbagai usaha baru.
Memromosikan jejaring penelitiandan sistem pendidikan pariwisata berkelanjutan
ASEAN yang luasdengan berbagai program pariwisata antardaerah dan beasiswa.
Strategi Implementasi 7: Mengidentifikasi Mitra Provinsi dan Lokal yang
Berpotensial dan Memiliki Komitmen
Tidaklah mungkin bagi Indonesia membangun pariwisata di semua unit administrasi
pada waktu bersamaan. Indonesia terdiri dari 33 provinsi, dan 497 kabupaten serta kota dan
penekanan pada pembangunan pariwisata berkelanjutan harus dibuat sesuai dengan potensi
masingmasing daerah, kesiapan dan prioritas pembangunannya. Strategi ini dapat pula dikaitkan
dengan tujuan penghapusan kemiskinan dan juga Kawasan Strategis Nasional (KSN dalam
Rencana Tata Ruang Nasional)dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sebagaimana
diidentifikasi dalam Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional yang keduanya telah
menjadi dokumen hukum. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Pembangunan Pariwisata
Nasional telah mengindikasikan 50 destinasi pariwisata nasional (DPN), yang di dalamnya
terdapat 212 zona, dengan 88 dirancang sebagai KSPN. Ke-88 KSPN ituberbeda-beda dalam
tahap perkembangan, akses ke pasar dan jenis daya tariknya.
Langkah-langkah strategis:
 Menanggapi pemerintah daerah yang mempunyai komitmen dan bekerjasama dalam
mengembangkan destinasi baru untuk pasar yang akan datang dan juga memperbaiki kualitas
destinasi yang sudah ada. Keduanya harus didasarkan pada prinsipprinsip dan kriteria
berkelanjutan dalam mendukunga tujuan untuk mewujudkan visi.
 Destinasi baru perlu menempatkan kebutuhan komunitas akan kesejahteraansebagai tujuan
utama, sementara di destinasi yang sudah ada, kinerja pariwisata harus dipantau dari
perspektif apakah memberi kontribusi kepada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
komunitas
 Memperluas program DMO Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk proyek
percontohan kerjasama pusat-provinsi dan daerah yang efektif dalam pembangunan
pariwisata berkelanjutan.
 Menentukan prioritas dalam mengembangkan atau mendukung pembangunan KSPN dan
juga zona strategis pendukung pada tingkat provinsi perlu ditetapkan. Prioritas mungkin
90
didasarkan kepada kepentingan nasional, tetapi meskipun demikian dukungan dan
komitmen pemerintah provinsi/daerah tetap penting. Prakarsa lokal juga perlu didukung.
Strategi Implementasi 8: Melakukan Pemasaran yang Selektif dan Kreatif
Pemasaran Indonesia telah menghasilkan pertumbuhan yang mantap baik dari pariwisata
nusantara maupun internasional. Sasaran Indonesia adalah pasar geografis yang luas dan juga
pasar pchychographic. Pemasaran destinasi yang kompetitif dan efektif memerlukan alokasi
anggaran yang cukup besar, yang perlu diatur secara bijaksana dan efektif. Dari perspektif jangka
panjang, investasi yang cukup dalam penelitian pasar merupakan keharusan untuk dapat memilih
strategi pemasaran yang kreatif dengan biaya yang efektif,dan juga untuk mengidentifikasi
sumber pasar baru yang potensial.
Langkah-langkah strategis:
 Memberi perhatian lebih banyak pada pasar “niche”, tingkat atasyang tidak sensitif terhadap
harga dan biaya untuk memperoleh produk yang bermutu. Segmen yang lebih bersifat
edukatif ini juga memerlukan pengalaman yang berharga, lebih dari sekedar rekreasi massal.
 Memanfaatkan pasar internasional Indonesia yang utama, yaitu Asia dan Pasifik dengan
kemungkinan besar untuk kunjungan yang berulang dan dalam waktu yang sama menciptakan
produk tematik sedemikian rupa untuk memperkuat kunjunganulang dan waktu tinggal yang
lebih lama.
 Mengembangkan berbagai produk pariwisata berkelanjutan untuk pasar tradisional jarak jauh,
dengan penekanan lebih pada kualitas produk dan proses berkelanjutan.
 Menata dan mengelola kunjungan dengan upaya khusus untuk untuk mengurangi fluktuasi
(seasonalitas) pariwisata dan meningkatkan produktivitas.
Strategi Implementasi 9: Menerapkan Pendekatan Berkelanjutan dalam
Perencanaan Kepariwisataan
Pendekatan berkelanjutan menyarankan agar komunitas dan anak negeri menjadi subjek
kunci kepariwisataan, mentransformasikan indikator keberhasilan agar mencakup juga tolok ukur
kualitatif. Pembangunan semacam itu dimaksudkan untuk kepuasan komunitas tuan rumah yang
berinteraksi dengan pembangunan pariwisata dan pada saat yang sama juga menawarkan
kepuasan kepada wisatawan. Melakukan kajian atas berbagai rencana pengembangan pariwisata
daerah berkenaan dengan pendekatan berkelanjutan dan melakukan tindakan korektif adalah hal
yang penting dilakukan, khususnya untuk daerah yang berada di lokasi strategis, seperti misalnya
provinsi yang berbatasan dengan negara ASEAN yang mempunyaipotensi pariwisata dalam
berbagai aspekyang mempunyai manfaat kompetitif (competitive advantage)yang lebih kuat
dalam konteks ASEAN. Indonesia yang mempunyai posisi yang strategis dan kuat di ASEAN
seharusnya mencari manfaat maksimum dari wilayah ini. Perlu diperkuat kerjasama dengan
Singapura yang telah menjadi salah satu ibukota pariwisata yang ter’hormat’(distinguished) di
Asia.
91
Langkah-langkah strategis:








Menempatkanperencanaan dan pembangunan pariwisata di bawah satu unit koordinasi di
tingkat administrasi regional dan lokal. Memprakarsai tim satuan tugas dalam pariwisata
ramah lingkungan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk mengembangkan
“rencana aksi pariwisata ramah lingkungan” untuk masing masing daerah.
Meninjau kembali berbagai recana pembangunan pariwisata daerah (provinsi,
kabupaten/kota) yang tersedia untuk ditransformasikan ke rencana yang berkelanjutan.
Mengembangkan berbagai destinasi secara tepat dan konsisten mengikuti rencana
pembangunan pariwisata berkelanjutan dan menghindari pertumbuhan tak terkendali yang
didorong oleh alasan ekonomi.
Mengawal liberalisasi ekonomi dengan pengendalian yang ketat dan mekanisme
pemantauan dan sistem peringatan dini untuk mengembalikan arah.
Mendasarkan prioritas pada potensi destinasi dalam berkontribusi kepada tujuan
pembangunan nasional: penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk
Indonesia pada umumnya dan khususnya di daerah. Menggabungkan pembangunan
pariwisata dengan berbagai sasaran dengan kondisi destinasi setempat.
Mendorong investor setempat dan nasional, memberdayakan investor mini dan mikro.
Membantu perkembangan daya saing yang sehat dikombinasikan dengan kemitraan yang
membangun.
Tinjau kembali (revisit) skema/ rencana BIMP-EAGA dan IMT-GT dan jajagi lebih jauh
peluang yang berkenaan dengan pariwisata berkelanjutan. .
Secara internal melakukan konsolidasi dan pengintegrasian secara efektif sebagai bagian
dari destinasi ASEAN dan memromosikan kerjasama usaha dalam pariwisata
berkelanjutan dalam wilayah ASEAN. Gunakan pariwisata berkelanjutan sebagai cara
untuk memromosikan dan memperkuat budaya ASEAN, kerjasama dan kohesi.
Strategi Implementasi 10: Membentuk Badan Koordinasi Tunggal dengan
Kewenangan yang Cukup untuk Menyinergikan Program Dukungan
Antarsektor dalam Pembangunan Kepariwasataan
Isu utama yang dihadapi pada berbagai
tingkatkepemerintahan/‘governance’yang
berbeda adalah kurangnya kewenangan “kantor pariwisata” untuk berkoordinasi dengan sektor
terkait dan yang menunjang. Dasar hukum sudah tersedia melalui Instruksi Presiden No 16-2005,
implementasinya memerlukan badan koordinasi yang kuat yang menerjemahkan instruksi
tersebut ke dalam program yang lebih jelas dan terdefinisi. Badan koordinasi semacam itu juga
diperlukan dalam administrasi di tingkat provinsi dan daerah.
Langkah-langkah strategis:

Gunakan Instruksi Presiden yang dimaksud dengan cara sedemikian rupa untuk
membantu perkembangan bantuan yang efektif dari sektor publik, dan sebagai dasar
92
peralihan ke pengembangan pariwisata berkelanjutan serta pelaksanaannya. Berbagai
unsur baru yang belum secara khusus disebutkan mungkindapat ditambahkan.

Kantor Wakil Presiden diusulkan sebagai pusat koordinasi untuk memantau pelaksanaan
oleh semua pemangku kepentingan.

Menambahkan ke dalam instruksi yang sudah disetujui: aksi yang berorientasi pada
rencana kerja, sesuaikan dengan berbagai dimensi kebijakan, rencana dan strategi baru

Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota tempatkan perencanaan pariwisata berkelanjutan
dalam unit yang memiliki fungsi koordinasi
93
Pesan Kunci Bab 4
Kerangka Strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan terdiri atas
empat strategi kunci:
1: Mengubah PolaPikir Semua Pemnagku Kepentingan
2: Mengembangkan, Menyesuaikan dan Memberlakukan
Pariwisata Berkelanjutan.
Indikator
3: Membiasakan Diri dengan Polapikir Baru dalam Pekerjaan Layak yang
Ramah Lingkungan dan Pariwisata Berkelanjutan.
4: Memperkenalkan Mekanisme Pengendalian dan Penegakannya.
Sepuluh strategiImplementasi yang terkait dengan dengan dimensi kebijakan
baru adalah sebagai berikut:
1: Mengarusutamakan dan Memromosikan Pekerjaan Layak yang Ramah
Lingkungan melalui Pariwisata Berkelanjutan.
2: Memrioritaskan Pengurangan Kemiskinan dalam Pariwisata
3: Memperkuat Peluang untuk Lapangan Kerja bagi Pemuda dalam Sektor
Pariwisata dan Pariwisata bagi Pemuda.
4: Menunjang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak dalam Memerangi Permasalahan Jender dan Perlindungan Anak
5: Mengimplementasikan Sistem AturanSukarela/StandarPariwisata
Berkelanjutan
6: Menempatkan Pendidikan, Pelatihan dan PenelitianKepariwisataan,
sebagai Prioritas dalam Agenda Pendidikan dan Penelitian Nasional.
7: Mengidentifikasi Mitra Setempat yang Potensial dan Berkomitmen
8: Melakukan Pemasaran yang Selektif dan Kreatif.
9: Menerapkan Pendekatan Berkelanjutan dan Perencanaan Pariwisata.
10: Membentuk Badan Koordinasi Tunggal untuk Pembangunan
Pariwisata.
94
BAB 5
AGENDA IMPLEMENTASI
Ikhtisar Bab
Pariwisata berkelanjutan buka nsesuatu yang dapat dicapai dalam waktu yang
singkat maupun dicapai secara parsial. Semua pemangku kepentingan perlu bergerak
bersama secara konsisten dalam program Jangka Panjang bergerak dalam Kesamaan
visi dan tujuan. Dalam hal ini agenda terbagi dalam empat bagian, yang secara
konsisten mengikuti lingkup pembangunan pariwisata seperti yang tertuang dalam
Undang-undang Pariwisata No 10-2009: pengembangan destinasi, pengembangan
industri, pengembangan pasar dan pengembangan kelembagaan.
5.1 Agenda 1: Menuju Destinasi Berkelanjutan
Komunitas merupakan inti dalam destinasi manapun. Pariwisata dapat diposisikan
sebagai alat/kendaraan, bukan suatu tujuan – alat/kendaraan untuk mencapai kemakmuran
komunitas. Setiap destinasi mempunyai karakternya sendiri, secara fisik maupun yang lebih
penting adalah karakter sosio budayanya. Meskipun secara administrasi terdapat regulasi yang
umum, selalu ada sistem tradisional yang mungkin memengaruhi cara bagaimana sistem
kelembagaan berjalan.
(1) Pembangunan Komunitas
Pemetaan Komunitas
Sebagai suatu dasar untuk tindakan selanjutnya, pemetaan komunitas perlu dilakukan.
Tujuannya untuk mencoba memahami bekerjanya dinamika sosio-ekonomi dan juga sosiobudaya dan mendapat pengetahuan dan wawasan mengenai potensi komunitas dan juga
keinginannya. Pemetaan komunitas hendaknya menggali dari dalam komunitas, agar dapat
dianalisis apa yang perlu ditanamkan ke komunitas.
95
Pembangunan Komunitas yang Bertumpu kepada Pariwisata
Diusulkan agar setiap kegiatan kepariwisataan terpusat kepada pembangunan komunitas.
Pariwisata hanya akan bermanfaat bagi mereka yang mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam
proses produksi dan penyampaian/pengantaran produk pariwisata di area destinasi.
Pembangunan komunitas harus fokus pada pengembangan potensi komunitas dan bukan
mendesakkan pada mereka apa yang dipercayai benar oleh pusat/secara umum. Ini berarti
perubahan pola pikir dari semula: apa yangmereka seharusnya kerjakan menjadi: apa yang perlu
dilakukan untuk memperbaiki kapasitas mereka.
Tujuannya adalah perbaikan kesejahteraan komunitas yang dapat dilakukan melalui
pendidikan, kesehatan, pelayanan rekreasi dan kebutuhan sosio-budaya yang diperlukan oleh
komunitas dan juga peluang ekonomi yang tersedia bagi komunitas. Pariwisata diharapkan
menjadi sumber kemakmuran bagi komunitas melalui berbagai kontribusi langsung maupun tidak
langsung yang meningkatkan pendapatan mereka dan peluang untuk peri kehidupan yang lebih
baik.
Pembangunan Kepariwisataan yang Bertumpu pada Komunitas
Pembangunan kepariwisataanyang bertumpu pada komunitas dimaksudkan sebagai alat
untuk meningkatkan dukungan kepada komunitas dalam membangun bisnis terkait pariwisata
melalui pelatihan dan pemberdayaan serta perbaikan akses kepada dukungan finansial dan proses
produksi. Ketika suatu destinasi baru direncanakan untuk pariwisata, adalah komunitas yang
perlu diberitahu dan dilibatkan, dan bersama dengan komunitas harus diidentifikasi lingkaran
celah/peluang yang mungkin ada yang dapat membuat komunitas beroleh manfaat dari
pembangunan. Hal ini penting untuk dapat “melawan” banyak kejadian yang memarjinalkan
komunitas atau mata pencahariannya hilang demi pembangunan pariwisata. Pembangunan
pariwisata berbasis komunitas berarti membangun pariwisata tetapi fokus pada komunitas.
Memacu Pemberdayaan Antar Kelompok
Pemberdayaan ekonomi bukan berarti memerintahkan masyarakat untuk melakukan apa
dan menjadi apa,tetapi menggali lebih dalam apa yang menjadi aspirasi komunitas. Tidak hanya
mengajar, tetapi juga belajar. Kebanyakan program pemberdayaan bersifat parsial dan
instrumental, dan tidak sepenuhnya efektif.
Pemberdayaan perlu distrukturkan: pada tingkat individu, tingkat kelompok dan tingkat
antar kelompok. Tujuannya membantu kemampuan induvidu sebagai pondasi, dan juga sebuah
kelompok yang bersatu padu memerlukan serangkaian kompetensi dan pemberdayaan antar
kelompok akan menghubungkan satu kelompok dengan lainnya. Pemberdayaan antar kelompok
ini sangat penting dalam pariwisata khususnya, mengngat bahwa produknya terdiri atas berbagai
elemen yang berbeda.
96
Strateginya bertujuan memberi masyarakat akses kepada proses produksi dalam
matarantai usaha formal secara menyeluruh dan memacu pembagian kerja. Pemberdayaan
individu, kelompok, dan antar kelompok perlu diselenggarakan secara terpadu.
(2) Program Pembangunan Sumberdaya Alam dan Budaya
Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Budaya secara Berkelanjutan
Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumberdaya lingkungan dan budaya,
tersebar di seluruh wilayah geografisnya. Hal ini membuat akses kepada sumberdaya tidak selalu
mudah. Kekurangan infrastruktur merupakan isu umum dalam pemanfaatan sumberdaya
pariwisata secaraefektif.
Sementara sebagian sumberdaya masih terisolasi dan tidak dapat dicapai, lainnya yang
dekat dengan daerah padat penduduk telah kelebihan beban atau dimanfaatkan secara
berkelebihan,yang menyebabkan beragam tingkat kerusakan.Agar pariwisata dapat bertahan
dalam keberhasilan, sumberdaya alam dan budaya harus dalam kondisi bagus, dan terpelihara
baik.
Lokasi dengan pemandangan indah untuk ditatap, tanah pertanian dan aktivitasnya, atau
pekerjaaan komunitas lainnya yang terkait dengan sumberdaya lingkungan, cara hidup
tradisional, semuanya merupakan daya tarik pariwisata yang potensial. Akan tetapi, daya tarik
saja tidaklah cukup, yang paling penting adalah sumberdaya manusia yang mampu menggunakan
sumberdaya lingkungan dan budaya secara bertanggung jawab.
Pemantauan Keberlanjutan Destinasi
Suatu destinasi dengan produk pariwisata yang melekat padanya memperlihatkan proses
siklis, dimulai dengan tahap eksplorasi, pembangunan awal, dan percepatan dan mungkin
akhirnya mengalami penurunan setelah daya dukungnya terlampaui atau menjadi tidak ekonomis
atau tidak dapat bersaing (Lihat lampiran 10)
Karena itu, pemantauan merupakan agenda penting untuk mendapat peringatan awal,
menghindarkan terjadinya degradasi atau mendorong terjadinya masalah ekonomi yang tidak
berkelanjutan. Tanpa mengelola daya dukung, kunjungan yang berlebih akan memberikan
dampak merugikan baik bagi destinasi maupun pengalaman wisatawan.
Kapasitas infrastruktur lebih mudah diidentifikasi, seperti diindikasikan oleh kepadatan
lalu lintas, tingkat penghunian akomodasi, panjang antrian untuk memperoleh tiket, kerusakan
jalan, dan sebagainya. Sementara wisatawan umum mungkin memperlihatkan toleransinya,
segmen wisatawan tertentu mungkin memilih untuk tidak mengunjungi tempat tersebut. Daya
dukung destinasi juga harus dilihat dari pandangan tuan rumah. Kunjungan yang berlebih
mungkin tidak hanya menimbulkan kekecewaan dilihat dari sudut pandang wisatawan, tetapi juga
97
dari sudut pandang komunitas tuan rumah yang terganggu karena kenaikan biaya hidup,
persaingan penggunaan air, sampah yang berlebihan, polusi suara, estetika, dan lain-lain.
Keberlanjutan destinasi memerlukan kerjasama di antara para pemangku kepentingan agar
supaya praktek yang bertanggung jawab dapat berjalan dan indikator kunci yang strategis dapat
terpantau, sebagai dasar pengambilan keputusan, oleh pemerintah daerah dan juga oleh masingmasing individu.
(3) Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur, dimana dan kapan diperlukan untuk memungkinkan
pembangunan pariwisata berkelanjutan. Infrastruktur mencakup jaringan transportasi, kebutuhan
air dan listrik dan fasilitas untuk kesehatan, pendidikan, keselamatan dan keamanan.
Pembangunan infrastruktur mencakup pula pelabuhan laut, bandar udara, jalur pejalan kaki, jalur
sepeda, juga tempat sampah dan barang barang kecil lainnya yang menunjang amenitas destinasi.
Untuk infrastruktur yangterkait dengan penyediaan tempat bagi pedagang kecil dan sektor
informal di satu sisi, dan di sisi lain untuk memudahkan akses kepada wisatawan, pemilihan
lokasi menjadi sangat penting. Pembangunan infrastruktur merupakan senjatauntuk penurunan
kemiskinan, karena menyediakan akses terhadap pasar dan pekerjaan, termasuk pekerjaan yang
layak dan ramah lingkungan bagi komunitas lokal yang memudahkan meningkatkan pengiriman
barang dan jasa secara lebih baik dalam perekonomian yang lebih luas.
(4) Manajemen Destinasi
Manajemen destinasi mencakup semua aspek kepariwisataan di suatu destinasi. Program
DMO Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah merupakan langkah yang baik.
Lingkup manajemen destinasi termasuk pengembangan basis data, kriteria spesifik yang
lebih khusus (untuk taman bumi, taman laut, tempat pusaka budaya atau desa tradisional dan lainlain), perencanaan tapak/lokasi termasuk ruang bagi mobilitas wisatawan, implementasi standar
dan pengelolaan daya dukungdan lainnya yang berhubungan dengan pemasaran, serta
pengembangan jejaring dengan destinasi lain, di dalam dan di luar negeri (ASEAN).
Perencanaan danmanajemen penawaran dan permintaan untuk keseimbangan antara
kebutuhan dan kepuasan masyarakat dan wisatawan. Karena sifat dasar pariwisata adalah
musiman, destinasi pariwisata menghadapi masalah berfluktuasinya permintaan.
Pariwisata merupakan industri yang menjual pengalaman dan kebanyakan komponen
produknya harus dikonsumsi pada waktu diproduksi. Sementara pemesanan (reservasi) dapat
dilakukan akan tetapi jumlah pasokan tidak dapat diakumulasi untuk waktu puncak. Oleh karena
itu, manajemen pengunjung dan strategi harga juga diperlukan untuk mengendalikan fluktuasi.
Pada tingkat nasional, akan lebih baik jika permintaan yang berlebih pada waktu
puncakuntuk destinasi tertentu dapat ‘dipindahkan’ ke tempat lain. Hal ini membutuhkan
pemasaran yang kreatif dan prakarsa pengembangan produk untuk memindahkan permintaan
98
pasar ke waktu dan lokasi lain yang cocok dengan harapan dan pengalaman yang dicari
wisatawan.
Dampak negatif hendaknya diidentifikasi sedini mungkin, dan diikuti dengan tindakan
koreksi. Dengan menggunakan indikator yang telah diseleksi untuk mengukur keberlanjutan
(seperti disebutkan dalam butir 4.1) apa yang perlu dikoreksi atau diperbaiki akan dapat
ditemukenali. Dampak negatif mungkin terjadi dalam bentuk marjinalisasi komunitas, degradasi
lingkungan, infrastruktur yang terlampaui daya dukungnya, keluhan komunitas tuan rumah dan
juga persaingan tidak sehat serta menurunnya partisipasi pemasok lokal.
(5) Multiplikasi Destinasi
Destinasi baru dapat dikembangkan dari waktu ke waktu, untuk pasar tradisional dan juga
untuk menciptakan pasar baru. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, destinasi mempunyai siklus
hidup dan destinasi yang ada mungkin tumbuh atau berkembang cepat, dan pada suatu waktu
kemudian menjadi jenuh dan menurun. Mulitiplikasi destinasi diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen yang selalu mencari produk baru di tempat baru, untuk memberi
kesempatan bagi banyak orang yang memerlukan pekerjaan, untuk menyerap angkatan kerja
muda. Provinsi yang memiliki potensi dan kemauan politis yang kuat dengan komitmen
pemerintah Kabupaten dan Kota untuk bekerja sama dengan provinsi dan pemerintah pusat,
tetapi kurang berkembang perlu mendapat prioritas dalam pengembangan destinasi.
(6) Bantu Penciptaan Lingkungan yang Kompetitif tetapi Sinergis
Kebijakan, peraturan dan regulasi yang jelas merupakan instrumen bagi sistem
kepariwisataan agar dapat bekerja secara efektif. Norma dan nilai perlu dihargai, perlu diperjelas,
perlu diketahui tidak hanya oleh penduduk lokal melainkan juga oleh pengunjung, termasuk
mereka yang mau menanamkan modalnya, yang mungkin datang dari tempat berbeda dan dengan
budaya berbeda. Situasi sosio-ekonomi suatu tempat wisata yang ada atau yang potensial ada
memengaruhi “kesuburan” pertumbuhan destinasi. Kondisi perkembangan sektor lain yang baik
juga akan mendukung tumbuhnya pariwisata. Bila pariwisata diharapkan sebagai pembangkit,
sektor lain juga harus dikembangkan secara simultan. Pariwisata tidak harus menggantikan sektor
lain kecuali bila diartikan sebagai alternatif terhadap terjadinya praktek berbahaya atau ilegal
seperti halnya pembalakan kayu. Isunya adalah bagaimana fasilitasi dilakukan sedemikian rupa
agar pariwisata dapat menghasilkan nilai tambah terhadap mata pencaharian yang ada. Perbaikan
kualitas produk lokal atau penyesuaian lain mungkin diperlukan, akses terhadap informasi dan
peluang merupakan hal yang paling penting.
99
5.2 Agenda 2: Dukung terciptanya Industri
Kepariwisataan yang sinerjik dan Ramah Lingkungan
(alam dan Budaya)
Industri kepariwisataan akan memainkan peranan yang penting
dalam
keuntungan ekonomi. Keuntungan tersebut tergantung pada gabungan elemen-elemen
kepariwisataan yang tepat sebagai produk agregat. Keseimbangan antara berbagai
komponen perlu didukung dan dipertahankan untuk mengoptimalkan investasi
pembangunan industri kepariwisataan sebagai suatu sistem yang holistik.
menuju
industri
macam
dalam
(1) Menyeimbangkan Elemen-elemen Industri Keariwisataan
Industri perhotelan telah berkembang pesat di destinasi tertentu, dibutuhkan upaya ekstra
untuk pengembangan usaha-usaha lainnya, yang dianggap penting untuk didukung, menuju
strukturisasi industri dengan berbagai elemen baru yang dianggap penting.
Industri perjalanan yang langsung melayani konsumen maupun biro perjalanan
diharapkan dapat menghasilkan produk-produk yang berbeda daripada hanya mengurusi
penjualan tiket. (sebagian besar usaha perjalanan hanya berkonsentrasi pada penjualan tiket) dan
diharapkan dapat lebih berperan dalam pengemasan berbagai elemen produk dan jasa untuk
memudahkan masuknya usaha tersebut ke dalam matarantai produksi agar wisatawan dapat
menikmati lebih banyak elemen-elemen sepanjang perjalanannya.
Rencana pengembangan industri tidak hanya memutuskan tentang apa, dimana, dan
berapa banyak yang terkait dengan pengembangan destinasi, tetapi juga tentang jenis, sistem
bisnis (tata niaga), kepemilikan dan juga pertimbangan tentang seberapa jauh partisipasi
komunitas dapat direalisasikan. Dalam hal akomodasi, tidak terbatas pada berapa banyak hotel
dan kamar yang harus dibangun, akan tetapi juga tentang jenis apa, dimana dan bagaimana
(kebijakan tentang siapa yang akan diberi prioritas, kemitraan antara sektor swasta dan publik,
dan lain-lain).
(2) Menuju Industri Pariwisata yang Ramah Lingkungan
Dalam bergerak menuju pariwisata yang berkelanjutan yang menciptakan pekerjaan layak
yang ramah lingkungan, industri pariwisata yang ada sekarang harus didorong ke arah perubahan
kepada praktek yang lebih/ makin ramah lingkungan. Pemerintah dan asosiasi industri perlu
memfasilitasi dan mendukung upaya semacam itu.
Sertifikasi ramah lingkungan yang lebih luas perlu didorong dan didukung. Tri Hita
Karana sudah diakui secara internasional dan skema sertifikasi nasional maupun lokal lainnya
100
seperti juga sertifikasi internasional harus dipromosikan, tidak terbatas pada usaha skala besar,
tetapi juga untuk usaha kecil-mikro.
(3) Pengembangan Perusahaan yang Ramah Lingkungan
Pengembangan kewirausahaan dan kesempatan usaha
Tumbuhnya industri bukan hanya dengan memperbesar perusahaan yang ada, tetapi dari
perusahaan berkelanjutan baru, yang kreatif dan inovatif. Kewirausahaan akan memainkan peran
dalam mengubah wajah pariwisata Indonesia.
Mengembangkan peluang usaha dalam pariwisata ramah lingkungan mempunyai banyak
sisi, misalnya dapat melibatkan produksi sayuran organik dan buah-buahan sampai kepada
mendaur-ulang ke atas (upcycling)21 material yang bila tidak dilakukan akan menjadi sampah.
Juga konsultansi dalam pengelolaan energi, sampah, dan air yang ramah lingkungan semuanya
merupakan bidang baru yang baru sekarang ini ada.
Berbagai perusahaan kepariwisataan membutuhkan suatu rencana yang diharapkan dapat
mengarahkan dan memandu untuk memaksimumkan pengembalian investasi. dan optimasi
pemanfaatan kapasitas infrastruktur dan fasilitas yang tersedia dan juga tenaga kerja yang
dipekerjakan oleh industri kepariwisataan.
Akses keuangan bagi wirausaha bisnis yang ramah lingkungan
Hal ini merupakan salah satu faktor yang yang paling berpengaruh dan harus mendapat
perhatian utama dan khususnya fasilitasi untuk usaha kecil dan mikro penduduk setempat.
Sementara kebijakan merangkul berbagai usaha skala kecil, kendalanya muncul dari dalam
komunitas, yaitu kurangnya kesadaran dan ketidakterbiasaan (familiarity) terhadap portofolio
dasar yang sederhana dan terbatasnya akses ke pembiayaan.
(4) Membantu pengembangan sinergi dengan Industri Kreatif
Pariwisata dan industri kreatif sebaiknya tidak dipisahkan begitu saja. Tumpang tindih
antar keduanya semakin kuat ketika saling pengaruh ditingkatkan melalui pengembangan produk
pariwisata yang inovatif. Film, kerajinan, dan berbagai industri berbasis budaya lainnya serta
industri kreatif berbasiskan teknologi masuk ke dalam mata rantai produk pariwisata.
21
Upcycling adalah ujung dari penggunaan kembali, penambahan nilai dengan mentrasformasikan atau menemukan kembali
sesuatu yang kalau tidak dilakukan, maka benda itu akan menjadi sampah.
101
(5) Pengelolaan Mata Rantai Produk (value chain)
Pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan keluaran produk yang bila tidak dapat
diterima pasar akan menciptakan permasalahan.
Fasilitasi sangat diperlukan untuk dapat masuk ke dalam mata rantai produk pariwata.
Untuk peningkatan kualitas “farm to table management” harus diperkenalkan.Pengembangan
hubungan kerjasama antara masyarakat dan perusahaan adalah penting sekali.
Penaman bahan pangan > panen > penyimpanan > transportasi > penyimpanan >
pemrosesan di hotel, restoran dan rumah tangga menentukan kualitas makanan yang dihidangkan
di meja.
Pertanian organik harus diperkenalkan dan dipromosikan, penanganan yang tepat pada
setiap tahapnya haruslah masuk ke dalam pertimbangan.22 Hubungan kerjasama yang baik ini
harus diterapkan pada berbagai produk pariwisata lain seperti misalnya kualitas kerajinan dan
memasukkan desa-desa kerajinan sebagai bagian dari paket perjalanan.
5.3 Agenda 3: Memperkenalkan Pemasaran yang Efektif
bagi Destinasi yang Ramah Lingkungan
(1) intelijen Pasar dan Strategi Pemasaran
Pasar domestik maupun internasional Indonesia yang beragam harus diidentifikasi dan
dpahamii, tidak hanya terbatas pada ujung hulunya tetapi juga mencakup ujung
hilirnya.Memahami pasar sasaran sangatlah penting agar dapat mengembangkan pemasaran dan
strategi distribusi yang tepat. Dengan karateristik destinasi yang beragam, setiap destinasi
mungkin dapat fokus pada segmen pasar yang paling sesuai.
Sumberdaya dan budaya yang beraneka ragam serta juga karakteristik geografisnya telah
menciptakan beraneka ragam produk dan pasar yang memerlukan strategi pemasaran yang
berbeda. Pengawasan terhadap pengembangan produk pada ujung yang lebih bawah haruslah
dipupuk, prinsip berkelanjutan sangatlah penting pada segmen ini, khususnya yang disebabkan
oleh karakter masalnya.
22
Value chain management, atau pengelolaan mata rantai produksi juga berlaku untuk produksi kerajinan,
beberapa prduk kerajinan menggunakan bahan kimia untuk menghemat tenaga dan memudahkan proses, tetapi
merugikan lingkungan- sebagaimana dalam industri tekstil. Kembali kepada proses pewarnaan alami akan
menambah nilai produk. Keterampilan/keakhlian yang sangat teliti harus dihargai dengan meningkatkan nilai
dalam proses yang ramah lingkungan, yang akan menjadikan produk tidak hanya lebih berharga, tetapi juga
lebih bermakna.
102
(2) Bantu Kembangkan Kompetisi, Kemitraaan dan Kolaborasi antar Destinasi
Sangatlah perlu dipahami bahwa suatu destinasi bukanlah suatu tempat yang berdiri
sendiri. Destinasi lain yang ada atau yang sedang dikembangkan, dapat dianggap sebagai pesaing
dan juga mitra yang potensial. Provinsi dan kabupaten dan juga kota haruslah disadarkan bahwa
mereka sejogyanya tidak berkompetisi dengan cara yang saling merugikan, melainkan lebih baik
menjalin kemitraan dalam rangka mampu bersaing secara lebih baik dengan destinasi negara
tetangga untuk meningkatkan pangsa wisatawan mancanegara.
Lebih jauh untuk menciptakan suatu klaster pilihan bagi wisnus. Persaingan yang sehat
di antara destinasi dapat membantu meningkatkan kualitas dan menyuburkan inovasi. Kemitraan
mungkin dapat diperluas sampai ke tingkat internasional, bermitra dan berkolaborasi dengan
negara tetangga untuk menarik sasaran dari bagian dunia lain (lihat 4.2.6)
(3) Komunikasi yang Efektif
Komunikasi formal diperlukan dari sudut pemerintah. Dalam banyak kasus komunikasi
informal mungkin bisa lebih efektif.23 Komunikasi harus tergantung pada situasi, isi dan
penerima. .Seorang juara (tokoh terkemuka) atau orang lokal yang populer mungkin dapat
membantu komunikasi menjadi lebih efektif, terutama saat datangnya inovasi produk baru yang
ramah lingkungan bagi kelompok sasaran. Karakter tradisional mungkin juga dapat menjadi alat
yang efektif untuk komunikasi: maskot seperti “si Cepot” di jawa Barat24.
(4) Promosikan dan Hargai Produk dan Jasa Ramah Lingkungan
Sangat penting memromosikan produk dan jasa ramah lingkungan kepada komunitas dan
usaha yang ada, melalui fasilitasi, pelatihan dan juga berbagai insentif. Penghargaan pada praktek
praktek ramah lingkungan mungkin dapat menjadi kebanggaan usaha atau komunitas yang
memperolehnya. Inovasi produk dan jasa ramah lingkungan merupakan hal yang sangat penting
dan memerlukan pengetahuan (know how) dan pandangan yang berada di luar wawasan
penduduk lokal. Produk harus berdaya tarik bagi wisatawan, secara fisik dapat diakses dan
23
Beberapa daerah di Indonesia menggunakan jalur religi untuk mengkampanyekan kebersihan ,pemimpin
daerah lain mengundang duduk bersama secara informal dengan kelompok sasaran untuk mendiskusikan
berbagai permasalahan, sambil minum teh/kopi.
24
Dalam hal contoh praktek baik, Jogyakarta dapat disebutkan yang pada perioda tahun 1998-2006
menggunakan berbagai bentuk komunikasi dalam menyebarkan kebijakan serta umpan balik dari masyarakat:
minum kopi pagi antara administrator, pengusaha, pengamat ekonomi dan pihak lainnya yang mempunyai
perhatian terhadap pengembangan Jogyakarta; program melalui televise setempat yang dinamakan: MalioboroMalioboro (nama yang populer di jantung kota Jogyakarta), temu press (press meeting), pertemuan dengan para
profesional, komunikasi dengan komunitas – difasilitasioleh LSM; melakukan pertemuan dengan kelompok
khusus dalam komunitas. Dalam beberapa kasus komunikasi dilakukan dalam bahasa setempat (Bambang S.
Priyohadi, 2011).
103
dikombinasikan dengan fasilitas serta jasa pelayanan. Ketika merancang dan mengelola produk
pariwisata, siklus hidupnya yang terdiri atas (i) tahap pengenalan, (ii) tahap pertumbuhan, (iii)
tahap pematangan, dan (iv) tahap kejenuhan dan penurunan, harus masuk dalam pertimbangan.
Pemberian label ramah lingkungan dan sertifikasi yang sesuai perlu dikembangkan untuk
mendukung industri yang ramah lingkungan dan membantu konsumen.
5.4 Agenda 4: Bangun Lembaga Pendukung (Sumberdaya
Manusia, Organisasi, Regulasi)
Pariwisata merupakan satu sistem, yang dipengaruhi oleh kekuatan internal dan eksternal.
Keluaran (Output) dari sistem akan bergantung pada masukan (input) masukan lingkungan dan
juga input kelembagaan (environmental and institutional inputs). Lembaga pendukung pariwisata
berkelanjutan memerlukan kepemimpinan yang kuat dan sumberdaya manusia. Pemimpin dengan
karakter yang memegang nilai prinsip keberlanjutan, yang akan membawa sumberdaya manusia
yang kompeten mengembangkan berbagai kebijakan, penyiapan rencana rencana, implementasi
program dan mengoperasikan bisnis pariwisata. Sistem pariwisata hanya akan bekerja baik bila
berbagai elemen sistem berada dalam tatanan yang baik.
(1) MemadukanKebijakan, PeraturandanRegulasi.
Semua kelompok kebijakan, peraturan dan regulasi terkait di bawah berbagai kementerian
harus diintegrasikan dan dikoordinasikan dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan –
hal ini memerlukan lebih dari sekedar koordinasi di atas kertas, tetapi integrasi dalam program
dan aktivitas dan berbagai sasaran umum sejauh terkait dengan pembangunan pariwisata
berkelanjutan.
(2) Penguatan Kelembagaan Tingkat Provinsi dan Lokal
Pengalihan otoritas harus bersamaan dengan program pemberdayaan dan peningkatan
kapasitas dalam semua bidang termasuk pariwisata. Peningkatan kapasitas untuk pejabat
pariwisata perlu dilakukan secara menerus dan menjadi keharusan. Pada sisi lain panduan perlu
disediakan dan dipahami oleh pejabat yang bertugas dan juga pemangku kepentingan lain.
Tingkat provinsi perlu memegang koordinasi antar kabupaten dan kota.Lembaga lembaga
provinsi perlu memperhatikannya dari perspektif regional.25 Pariwisata diharapkan mempunyai
peran dalam menyeimbangkan pembangunan dan lembaga tingkat provinsi memberi dukungan
pada semua kabupaten/kota yang terlibat dalam upaya pembangunan pariwisatanya. Hal itu
25
Dalam kasus Jawa Barat, misalnya, salah satu permasalahan adalah ketimpanganpembangunan antara bagian
Utara dan Selatan
104
disebutkan dalam Rencana Induk Pariwisata Provinsi dan juga dalam rencana sub-regional bagian
selatan. Pembangunan seperti itu digagas oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah,
yang harus didukung oleh rencana aksi Dinas Pariwisata.
Lembaga di tingkat daerah harus lebih dekat dengan komunitas dan mereka yang
mewakili harus lebih peduli dengan kemiskinan, usaha mini dan mikroserta juga sektor informal
yang harus ditangani secara mendasar. Lembaga lokal sejogyanya mengelola pemantauan dan
pengendalian, mengukur berbagai indikator dan mengadakan pengembangan dan pemuthakhiran
(updating) basis data. Lembaga tersebut hendaknya merumuskan pengembangan pelatihan dan
keterampilan yang diperlukan dalam memfasilitasi pendirian koperasi bagi usaha mikro dan
menunjang akses finansialnya. Selanjutnya, mereka perlu memberi dukungan langsung kepada
operator bisnis pariwisata dan komunitas, selalu ada, terjangkau, dapat didekati, dan terhubung
dengan komunitas.
Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu memperbaiki kerangka hukum untuk
mendukung pariwisata berkelanjutan dan pekerjaan layak dan ramah lingkungan di wilayah
masing-masing untuk mendukung pengarusutamaan jender, pemberdayaan perempuan, pekerjaan
untuk generasi muda dan wirausaha muda, dan prakarsa perlindungan anak. Produk hukum dapat
berupa PERDA, Surat Keputusan Gubernur atau Bupati, Kebijakan Gubernur atau Bupati, dan
sebagainya.
(3) Penegakan Hukum dan integritas lingkungan
Pengendalian melalui izin lingkungan
UU no 32 tahun 2009 secara jelas menetapkan bahwa semua aktivitas dan bisnis yang perlu
mempunyai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pemantauan
Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL dan UKL), harus mengajukan izin
lingkungan kepada pemerintah (nasional, provinsi atau daerah, bergantung pada skala dan
intensitas dampak).
Tinjauan lingkungan dan perencanaan
Provinsi, kabupaten, dan kota yang mempunyai aktivitas pariwisata yang bersifat sensitif
perlu menyiapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis-KLHS, untuk memutuskan daya dukung
destinasi terkait dan menyiapkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH).
105
Pemberdayaan komunitas melalui informasi dan partisipasi
Pemberdayaan Komunitas merupakan dasar dan juga salah satu tujuan penting dalam
pariwisata berkelanjutan. Komunitas yang berdaya dapat memberi dukungan kuat pada industri
pariwisata yang kemudian akan menunjang kesejahteraan komunitas.
Pengakuan terhadap komunitas tradisional, lingkungan dan hak atas pusakanya.
Komunitas tradisional/adat dengan kearifan lokalnya mempunyai cara cara khusus untuk
menjaga keberlanjutan lingkungan dan budayanya.26
(4) Investasi dan Instrumen Ekonomi
Menurut apa yang dipahami dari peraturan perundangan di Indonesia, investasi mencakup
tidak hanya yang melibatkan usaha padat modal, tetapi semua jenis pengeluaran non konsumtif
untuk memulai bisnis, menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan atau orang lain. Semua
itu didefinisikan sebagai investasi. Pertanyaan pertama yang perlu didiskusikan adalah apakah
memang perlu berinvestasi dalam pembangunan pariwisata, apakah pariwisata memang
diinginkan.
(5) Ciptakan Sistem Penunjang yang Tepat
Data dasar yang tepat dan dapat dipercaya diperlukan untuk setiap keputusan atau
penyusunan kebijakan. Pengumpulan data pada tingkat nasional bergantung pada data dari
tingkat provinsi, yang bertumpu pada sistem pengumpulan data pada tingkat lokal. Bila data dari
tingkat lokal tidak dapat dipercayai, maka setiap data yang didasarkan pada agregasi data ini pun
tidak akan dapat dipercaya. Data dan informasi yang relevan merupakan bagian dari sistem
penunjang. Dukungan strategis yang diperlukan oleh komunitas adalah tempat untuk
berkonsultasi, dan atau “mitrakerja” kepada siapa mereka dapat berkonsultasi, bertanya untuk
beroleh informasi tentang bagaimana memulai dan mengelola suatu bisnis, termasuk informasi
tentang berbagai sumber finansial yang tersedia dan bagaimana mengaksesnya, informasi tentang
permintaan pasar, bagaimana mengoperasikan dan mengikuti prinsip prinsip berkelanjutan serta
26
Masyarakat Kampung Naga di Jawa Barat merupakan contoh cara tradisional dalam menjaga keberlanjutan. Mereka telah
menetapkan daya dukung lingkungannya sendiri, dengan tidak mengizinkan keluarga baru tinggal di kampung adatnya untuk
menjaga jumlah populasi dalam keseimbangan dengan luas sawah yang tersedia, dan kapasitas produksi makanan lain
(kolam ikan, peternakan ayam dan lainnya). Mereka juga menetapkan legenda tradisional agar anggota komunitas tidak
merusak sumber air mereka. Kaum Tua Toraja percaya bahwa akses mereka yang terbatas merupakan alat yang baik untuk
membatasi pengunjung. Seorang pimpinan komunitas pernah menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan topografi sedemikian,
menandakan bahwa Toraja bukan untuk kunjungan massal, ketika dia dikonsultasi tentang bandara untuk memudahkan
wisatawan mengunjungi Toraja, yang berlokasi 6 jam berkendaraan darat dari ibukota provinsi. Bali tidak diragukan lagi
telah mempunyai banyak lembaga tardisional setempat yang mengelola keberlanjutan hubungan antara lingkungan dan
budayanya, yaitu subak dan banjar. Filosofi Tri Hita Karana seperti telah disebutkan merupakan kearifan tradisional dalam
melihat hubungan antara manusia, lingkungan dan Sang Pencipta.
106
ramah lingkungan. Komunitas juga perlu didampingi dalam menjalankan perannya sebagai tuan
rumah, pekerja, dan sebagai pemangku kepentingan utama.
Pesan kunci Bab 5
o Agenda 1: Bergerak Menuju Desinasi yang Berkelanjutan
o Agenda 2: Bantu Kembangkan Industri Kepariwisataan yang Sinerjis
dan Dapat Berjalan
o Agenda 3: perkenalkan Pemasaran Destinasi Hijau yang Efektif
o Agenda 4: Bangun Institusi yang Mendukung yang mencakup
Pengembangan SDM,Organisasi dan Regulasi
107
BAB 6
CATATAN PENUTUP DAN
HARAPAN
Ikhtisar Bab
Bab penutup ini dimaksudkan sebagai ringkasan dari berbagai temuan yang paling penting
dalam Rencana Strategis dan ditampilkan berdasarkan topik-topik utama. Analisis yang
diperluas menekankan berbagai pesan kunci, menyampaikan harapan dan menjelaskan
kebutuhan akan berbagai tindak lanjut pelaksanaan seperti pengembangan Panduan praktis
berdasarkan pada Rencana Strategis untuk pemangku kepentingan lokal.
Isu-isu Utama berkaitan dengan Pariwisata Indonesia
Isu kunci pariwisata Indonesia adalah kurangnya kapasitas sumberdaya insani sektor
publik dan swasta, yang membuat kebijakan publik tidak konsisten dengan implementasinya di
berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda, kurangnya pembangunan fisik dan juga kurangnya
pengendalian operasional usaha. Infrastuktur pariwisata sangat terkonsentrasihanya di beberapa
destinasi tertentu dan wisatawan pun terkonsentrasi di tempat tersebut sehingga menimbulkan isu
tentang daya dukung di satu sisi, dan di sisi lain masih banyak daerah yang menunggu untuk
dapat lebih berperan serta dalam ekonomi pariwisata. Dalam hal pariwisata berkelanjutan, ada
beberapa ‘praktek terbaik’(best practices) yang perlu dibantu lebih lanjut. Dengan belum adanya
institusi yang secara permanen ditugasi untuk membantu, menguatkan melakukan kampanye dan
mengelola pelaksanaannya maka pariwisata berkelanjutan hanya mengandalkan diri pada
prakarsa/insiatif dari sedikit orang yang memiliki paemikiran yang berwawasan lingkungan dan
yang peka terhadap budaya. Sebagian besar pemangku kepentingan pariwisata, termasuk sektor
publik berpandangan pendek, bertujuan mendapat hasil secara cepat untuk mencapai tujuan yang
bersifat kuantitatif, engan hasil yang cepat, yang nampaknya lebih merupakan politik dangkal
belaka daripada berorientasi pada tujuan yang lebih bermakna dan berorientasi kepada
kesejahteraan masyarakat. Berbagai kendala hanya akan teratasi di bawah kepemimpinan yang
kuat yang harus diciptakan di lingkungan pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat umum.
Namun, jalan yang panjang masih harus dilalui untuk hal-hal umum oleh mayoritas unsur-unsur
industri kepariwisataan.
Globalisasi mungkin akan menyebabkan kebanyakan perusahaan nasional berada dalam
posisi yang sukar untuk bersaing, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah. Mereka tidak
hanya perlu diberdayakan untuk menghadapi tantangan globalisasi ekonomi dalam bidang
pariwisata, tetapi juga perlu ditopang oleh kebijakan yang lebih kuat.
108
Destinasi yang populer, sedang dan akan terus menghadapi berbagai masalah dalam hal
infrastruktur, daya dukung lingkungan atau sosio-budaya, yang mungkin pada akhirnya akan
menyebabkan degradasi pengalaman wisatawan, sedangkan destinasi baru – tanpa perencanaan
yang jelas dan pasti yang secara konsisten dilaksanakan - akan tumbuh secara acak/ tak tertata.
Destinasi pariwisata masal yang kurang memerhatikan keberlanjutan akan mengalami degradasi
dan ditinggalkan. Proses yang sama akan terjadi di tempat lain dan pengembangan destinasi baru
tidaklah semudah sebagaimana yang diharapkan.
Rencana Strategi Nasional, Visi dan Kepemimpinan yang Kuat
Indonesia telah menempatkan pariwisata pada posisi yang strategis dengan perspektif
jangka panjang yang pentingdalam pembangunannya. Pada masa lalu dan dalam situasi tertentu
sekarang, pembangunan sektor ini belum saling terjalin secara efektif di antara para pemangku
kepentingan yang berbeda, bahkan di sektor publik sendiri di manapariwisata menjadi perhatian
dan tanggungjawab banyak kementerian. Mekanisme pasar dan eksternalitasnya - seperti halnya
bencana dan bahaya alam, terorisme dan penyakit - telah memengaruhi tidak hanya pertumbuhan
sektor tetapi juga cara bagaimana sektor itu bertumbuh. Pada saat ini Rencana Pembangunan
Pariwisata Nasional telah diresmikan sebagai Peraturan Pemerintah, yang berarti bahwa
harus menjadi arahan bagi pembangunan masa depan.
Meskipun sektor ini sangat dinamis, perlu ada kesamaan visi pembangunan jangka
panjang dan digunakan sebagai dasar untuk mengarahkan agenda pembangunan. Implementasi
rencana tersebut memerlukan kepemimpinan yang kuat, yang bekerja secara konsisten dan gigih
mengikuti arah perencanaan, dengan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan secara regular
untuk mengatasi dinamika permintaan dan juga untuk situasi yang tak terantisipasi. Tanpa
kepemimpinan yang kuat gerakan pariwisata berkelanjutan tidak akan masuk ke lingkungan
mana pun baik swasta maupun publik. Rencana Strategi dapat dimodifikasi atau diubah, akan
tetapi nilai nilai tertentu: kualitas hidup dan identitas dalam visi jangka panjang harus
tetap dipertahankan. Berdasarkan Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Pekerjaan
Ramah Lingkungan, perlu dipersiapkansuatu Panduan yang mencakup berbagai peran dan tugas
dari berbagai kementerian yang berbeda dan aktor kunci lainnya.
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Pembangunan pariwisata berkelanjutan masih perlu dipahami dan diintegrasikan ke
dalam semua tahap proses pembangunan. Pembangunan berkelanjutan ini tidak hanya
diaplikasikanuntuk perusahaan besar yang formal saja, melainkan juga untuk UMKM dan sektor
informal. Tidak hanya sektor swasta, tetapi juga dan yang sangatlah penting adalah sektor
publik, yang harus berada di garis depan dalam upaya ini. Komunitas dan masyarakat umum
harus dilibatkan secara langsung dan tidak langsung dalam penyusunan kebijakan pariwisata,
pengambilan keputusan, perencanaan dan pengoperasian, dan penyampaian produk kepada
wisatawan.
109
Bila direncanakan dan dikelola dengan baik,pariwisata berkelanjutan akan benar-benar
memberi sumbangan langsung pada Cita-Cita Pembangunan Milenimum, penurunan kemiskinan,
pembangunan pedesaan, pemeliharaan budaya dan masyarakat, kesetaraan jender, pelestarian
lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan menunjukkan dampak yang bermanfaat dalam mitigasi
perubahan iklim. Suatutransisi/peralihan yang tepat bagi pekerja dan majikan dengan pekerjaan
ramah lingkungan ke rendahnya karbon, iklim yang pegas, pembangunan yang ramah lingkungan
di Indonesia sangatlah krusial/ penting. Transisi dalam pasar kerja dan kebutuhan akan berbagai
model usaha yang baru dilakukan melalui dialog sosial yang inklusif.
Potensi pariwisata berkelanjutan di Indonesia didukung oleh adanya berbagai bentuk dan
hirarki peraturan dan regulasi tingkat: Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi dan
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Provinsi, Keputusan Gubernur, sampai ke
tingkat Kabupaten dan Kota. Pada tingkat nasional, terdapat beberapa UU yang secara eksplisit
atau implisit menyatakan panduan yang harus diikuti, sesuai dengan prinsip prinsip berkelanjutan.
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu : UU
Lingkungan Hidup No 32 tahun 2009 dan UU Pariwisata No 10 tahun 2009, UU Cagar Budaya
No 11 tahun 2010, UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dan turunannya, akan tetapi
implementasi dari peraturan dan regulasi perlu ditingkatkan.
Agenda 21 Indonesia diterbitkan pada tahun 1997 dan diikuti oleh Agenda Sektor untuk
Pariwisata pada tahun 2001. Tanpa mempunyai status resmi Agenda 21 tetap tinggal sebagai
dokumen, dan bahkan tidak pernah dirujuk dalam perencanaan atau pemrograman pembangunan
pariwisata. Untungnya, dokumen lain yang secara umum menjadi arahan seperti Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM, rencana 5 tahunan) selalu memasukkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Penting
untuk dicatat bahwa misi yang disebutkan oleh Kementerian yang baru beralih menjadi
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif secara eksplisit menetapkan pembangunan
pariwisata berkelanjutan sebagai tujuan.
Pariwisata secara implisit mengikuti seluruh arahan yang ditetapkan RPJP, secara
eksplisit disebutkan bahwa pariwisata diarahkan agar mampu merangsang aktivitas ekonomi dan
memperbaiki citra Indonesia, memperbaiki kesejahteraan penduduk lokal, memperluas
kesempatan kerja. Pembangunan kepariwisataan akan memanfaatkan daya tarik alami yang
beraneka-ragam dan potensi nasional sebagai negara maritim dengan cara yang bijaksana dan
berkelanjutan, dan juga mendorong aktivitas ekonomi terkait dengan pembangunan budaya
bangsa. Pada setiap tahap rencana pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu disebutkan
secara eksplisit. Penurunan tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin dan
memperbaiki jaminan sosial telah ditempatkan dalam semua tahap RPJM.
Pengembangan Kualitas
Pembangunan kepariwisataan untuk Indonesia mencakup sasaran untuk pertumbuhan dan
juga perbaikan kualitas, sebagaimana ditekankan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
110
KreatifDalam misi dan visinya. Pertumbuhan diukur melalui ‘turnover’, jumlah kedatangan,
jumlah orang, perjalanan, pengeluaran dan indikator kuantitatif lainnya tidak akan cukup untuk
menilai kualitas dari pembangunan. Diperlukan adanya indikator yang mengikuti prinsip-prinsip
berkelanjutan sebagai alat untuk mencapai pengembangan yang kualitas; bertumbuh dan
membaik!
Dengan PDB yang bertumbuh dan IPM (Index Pembangunan Manusia) yang menurun,
Indonesia merupakan contoh bagus bahwa pertumbuhan ekonomi tidak menjamin membaiknya
kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga berlaku pada sektor pariwisata. Pembangunan kualitas
menuntut bahwa semua pemangku kepentingan harus mengerjakan HAL YANG BENAR
SECARA BENAR. Karena semua pemangku kepentingan bekerja dalam sistem, maka
kegagalan seorang anggota sistem mungkin mempunyai dampak yang luas dan merugikan pada
keseluruhan hasil. Model sistem dinamik mungkin akan dapat mengindikasikan bagaimana
berbagai unsur dalam sistem kepariwisataan saling berpengaruh satu sama lain, baik secara positif
maupun negatif. Neraca Satelit Pariwisata (Tourism Satellite Account), di satu sisi telah
digunakan secara internasional dan luas untuk mengukur dampak pariwisata yang dibangkitkan
oleh pengeluaran wisatawan dan pemerintah untuk pembangunan pariwisata terhadap: output,
nilai tambah, peluang pekerjaan, upah dan gaji serta perpajakan. Perhatian khusus dan penelitian
lebih lanjut perlu diprakarsai saat terjadi terjadi pertumbuhan pada nilai total tetapi kontribusi
upah dan gaji sektor pariwisata (dibandingkan dengan total nasional) mengalami penurunan yang
lebih tajam dibandingkan dengan penurunan kontribusi lapangan pekerjaan.
Pembangunan kepariwisataan dan keberhasilannya tergantung kepada kondisi sosioekonomi umumnya di daerah, tidak hanya dari ketersediaan sumberdaya pariwisata di daerah,
tetapi juga aspek sosio-budaya, khususnya bagaimana penduduk setempat melihat pariwisata dan
sikapnya terhadap sektor ini menentukan ‘kesuburan’ daerah ini untuk pengembangan pariwisata.
Pembangunan pariwisata tidak dapat dirampatkan, tetapi perlu disesuaikan dengan situasi dan
kondisi daerah/provinsi yang bersangkutan. Konteks merupakan hal yang penting. Provinsi
yang berbeda akan mempunyai manfaat pariwisata yang berbeda pula; jenis investasi yang sama
mungkin tidak akan menghasilkan pariwisata yang sama. Pembangunan kepariwisataan
Indonesia yang berkelanjutan dengan pekerjaan layak yang ramah lingkungan karenanya
perlu dirancang khusus (tailor made) untuk Indonesia, dan selanjutnya pada tingkat provinsi
jugadirancang khusus sesuai dengan situasi dan kondisi provinsi yang bersangkutan.
Etika Pariwisata
Terkait dengan pembangunan berkelanjutan, Kode Etik Pariwisata Global dalam Artikel 3
menyebutkan bahwa pariwisata merupakan faktor pembangunan berkelanjutan; untuk
Indonesia, pariwisata bukan tujuan pembangunan tetapi lebih merupakan alat untuk mencapai
tujuan pembangunan, dimana:
i)
Semua Pemangku Kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan harus menjaga
lingkungan alami;
111
ii)
Semua bentuk pembangunan kepariwisataan yang kondusif untuk menyelamatkan
sumberdaya langka dan berharga, perlu mendapat prioritas dan dorongan;
iii)
Distribusi perjalanan liburan yang lebih merata harus diupayakan untuk mengurangi
tekanan pada lingkungan dan memperkuat dampak manfaat bagi industri dan
ekonomi setempat serta juga kepuasan wisatawan;
iv)
Infrastruktur keariwisataan hendaknya dirancang dan aktivitas pariwisata diprogram
sedemikian rupa untuk melindungi warisan alam dan budaya;
v)
Pariwisata alam dan ekowisata secara khusus dikenal kondusif untuk memperkaya dan
memperkuat kedudukan pariwisata, asalkan menghargai warisan alam, penduduk lokal dan
menjaga daya dukung tapak
Promosi pariwisata berkelanjutan hendaknya menjadi program yang permanen, secara
intensif dijalankan pada berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda dengan dukungan untuk
tindakan korektif dan inovatif.
Kode Etik Pariwisata Global yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
dilengkapi dengan kode etik dari beberapa asosiasi sudah tersediaLingkup program
penyebarannya perlu diperluas pencakupannya dan secara berkesinambungan dilaksanakan secara
terpadu dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan. Agar supaya subjek efektif, diperlukan
berbagai upaya yang terus menerus, dengan pemantauan dan evaluasi, skema insentif dan
disintensif dan juga strategi kerja lainnya. Implementasinya tidak terbatas pada tanggung jawab
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kode etik pariwisata tidak hanya harus dipahami sebagai suatu konsep dan sebagai
masalah kesopan-santunan saja oleh para pemangku kepentingan pariwisata, tetapi dilaksanakan
secara konsisten walaupun seringkali rumit karena adanya tekanan dari berbagai sisi seperti
ekonomi, politik, atau budaya. Kriteria Global Pariwisata Berkelanjutan yang diresmikan oleh
UNWTO, UNEP, UN Foundation dan beberapa badan sejenislainnya belum digunakan sebagai
suatu alat kunci bagi pembuat kebijakan Indonesia dan pelaku industri pariwisata. . Proses
penyebarluasannya perlu selalu dilakukandari waktu ke waktu dalam jangka interval singkat,
disebarkan secara lebih luas sampai ke tahap operasional, baik untuk usaha formal maupun
informal.
Badan Koordinasi Tunggal
Terdapat peraturan dan regulasi yang terkait dengan (i) orang yang akan memimpin,
merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan menyampaikan jasa, (ii) penataan ruang, tempat
pariwisata akan berlangsung, (iii) industri dan bisnis dan (iv) otoritas dalam pengelolaan
sumberdaya – alam dan budaya – untuk pariwisata, dan (v) dampak pariwisata. Disamping itu
terdapat banyak kementerian yang secara langasung atau tak langsung berurusan dengan
pariwisata yang perlu disinergikan.
112
Karena terkait dengan banyak peraturan dan regulasi – yang berada di bawah
tanggungjawab kementerian dan aspek pembangunan yang berbeda beda- pembangunan
kepariwisataan harus merupakan usaha bersama. Beberapa kementerian yang terlibat berada di
bawah Koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Ekonomi dan beberapa lainnya
berada di bawah Koordinasi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Masyarakat. Yang terbaik
adalah apablia pembangunan pariwisata dapat dikoordinasikan di bawah satu badan koordinasi
tunggal, yang mempunyai otoritas ke semua kementerian terkait. Diusulkan bahwa
Pembangunan Kepariwisataan Nasional dikoordinasikan di bawah Kantor Wakil Presiden.
Masing-masing kementerian mungkin mempunyai rencana aksi sendiri, merujuk kepada Rencana
(Strategis) Pariwisata Nasional, dan melaksanakannya laksanakan berada di bawah kontrol badan
koordinasi.
Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota rencana kepariwisataan hendaknya
dikoordinasikan di bawah Bappeda untuk dipadukan ke dalam rencana pembangunan keseluruhan
(RTRWP atau RTRWK), bersinergi dengan sektor potensial lainnya di masing masing provinsi
/kabupaten/ kota.
Konsolidasi Internal dan Sinergi dengan Kementerian Lain.
Dengan baru dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, perlu pertama
tama melakukan konsolidasi internal terlebih dahulu, untuk menyirnegikan semua program
pariwisata di lingkungan kementerian, termasuk ekonomi kreatif yang sebelumnya berada di
bawah kementerian lain.Ini berarti konsolidasi terhadap sumberdaya insani tersedia dan juga
program kegiatannya dan masuk ke ranah berkelanjutan dengan dimensi kebijakan baru. Isu
mengenai lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan dan juga isu jender masih tetap relevan.
Industri kreatif dapat memperkuat sektor pariwisata dalam membangkitkan UKM baru dan
membuka peluang kerja yang mungkin dapat mengyrangi kemiskinan. Industri Kreatif juga
memperlihatkan hubungan yang dekat dengan Pekerjaan Ramah Layak yang Ramah
Lingkungan dan lapangan kerja bagi pemuda dan perempuan.
Mengingat ketergantungan pariwisata yang tinggi terhadap banyak kementerian lain,
Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif perlu lebih pro-aktif memromosikan berbagai
kebijakan dan rencananya, agar diperoleh dukungan dari kementerian lain. Di pihak lain
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu memetakan semua kegiatan yang terkait
pariwisata yang dilakukan oleh kementerian lain dan menyinergikannya di ranahyang
berhubungan dengan program pembangunan berkelanjutan.Kementerian lain diharapkan
mengorientasikan kontribusinya sesuai dengan agenda dan kepentingan nasional, sementara
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan memantau kinerja dari daftar kebutuhannya
(shopping list) dan memadukan proses transisi menujuke pembangunan pariwisata berkelanjutan
ke dalam rencana/skema pembangunan berkelanjutan nasional yang lebih luas.
113
Rencana Pengembangan Sumberdaya Insani
Keberhasilan pariwisata sebagai industri berbasis pengetahuan semata-mata tergantung
kepada sumberdaya insaninya. Mengenai program pembangunan manusia (human development)–
pemerintah maupun swasta - ada kebutuhan mendesak terhadap rencana pembangunan manusia
untuk 10-20 tahun yang akan datang. Selaindari upaya untuk pengembangan standar kompetensi
yang sedang berjalan, sistem pendidikan dan pelatihan kepariwisataan terpadu perlu
dibentuk – setelah mengevaluasi situasi saat kini.Transisi sektor lapangan kerja akan menuntut
sikap,keahlian dan keterampilanbaru yang ramah lingkungan, yang harus diidentifikasi dan
ditanggapi dengan pendidikan yang tepat, serta pelatihan dan program pengembangan
kapasitas.Terutama, program kejuruan yang menduduki kunci penting dalam hal ini. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi terlibat dalam pendidikan dan pelatihan dalam bidang hospitality
dan pariwisata. Sementara kebanyakan pendidikan pariwisata berbentuk perguruan tinggi monodisiplin, juga terbuka kesempatan untuk memperkaya dengan mengintegrasikan pendidikan
kepariwisataan di universitas untuk memungkinkan terjadinya pemupukan disiplin
silang.27 Pendidikan berkesinambungan (continuing education) dalam hospitality dan pariwisata
mungkin perlu dipertimbangkan untuk melayani pemuda putus sekolah, ibu rumah tangga atau
pensiunan yang mungkin cocok bekerja dalam atau mempunyai bisnis terkait hospitality atau
pariwisata. Pembangunan sumberdaya insani yang baik akan sangat berguna bagi pengisian
lapangan kerja setempat. Kebijakan untuk mendukung beasiswa untuk mahasiswa hospitality dan
pariwisata perlu disusun untuk mempercepat jumlah pemimpin, perencana, pengelola dan
pendidik dan juga peneliti pariwisata yang berkualitas pada masa depan, yang akan menjadi
landasan kokoh bagi pembangunan kepariwisataan Indonesia.
Apindo dan asosiasi pemerintah daerah (APKASI & APEKSI) belum menempatkan
pekerjaan ramah lingkungan dalam programnya; tetapi mereka mungkin dapat menjembatani
pengembangan kurikulum pendidikan dan pelatihan (ramah lingkungan) dalam bidang
hospitality dan pariwisata supaya sesuai dengan kebutuhan industri dan sektor public di tingkat
daerah.
Pekerjaan yang Layak, Perlindungan Sosial, Hak Selama Kerja, Dialog Sosial dan Ekonomi
Informal
70% dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal, langkanya tenaga kerja
ahli dan rendahnya produktivitas merupakan isu isu yang lazim dihadapi oleh para majikan;tak
terkecuali dalam industri kepariwisataan. Meskipun pekerjaan terkait pariwisata ‘mudah’ untuk
dimasuki, posisi tawar tenaga yang kurang terampil (non-skilled) lemah dan pekerja sektor
informal sama sekali tidak terlindung.
Dalam hal pekerjaan layak yang ramah lingkungan, perlindungan terhadap pekerja dalam
sektor pariwisata ini harus diperluas sehingga mencakup pekerja sektor informal. Hak
selamabekerja, sistem perlindungan sosial telah ada dalam dokumen resmi. Perlindungan sosial
tidak berarti bahwa hanya pekerja yang mempunyai hak, tetapi majikan juga mempunyai hak
27
114
yang berbeda untuk bertindak bila pekerja tidak memperlihatkan kinerja atau melakukan
kesalahan dalam pekerjaannya. Seringkali dialog sosial berakhir tanpa solusi yang memuaskan
kedua belah pihak. Nampaknya masih terdapat persepsi berbeda antara majikan dan karyawan
(seperti yang diindikasikan dalam asosiasi), keduanya berhak mempunyai persepsi berdasarkan
pada kasus-kasus tertentu yang berbeda. Para majikan mengeluh soal produktifitas, etos dan etika,
sementara para karyawan mengeluh kurangnya jaminan sosial dan perlindungan. Diharapkan juga
asosiasi yang profesional mempunyai sistem pemantauan terhadap sikap dan tingkah laku
anggotanya.
Perlindungan harus sesuai dengan ‘pendidikan’, beberapa nilai inti harus dipegang
sebelum perlindungan/proteksi absah diberlakukan. Di satu sisi, perusahaan juga harus
memelihara dan menggunakan tidak hanya peraturan dan regulasi, tetapi juga etika sebagai
majikan. Asosiasi industri, asosiasi profesi, dan asosiasi pekerja perlu duduk bersama dan
menyetujui bagaimana menggunakan sistem tersebut. Asosiasi pekerja tidak cukup hanya
melakukan pelatihan keterampilan, tertentu tetapi yang lebih penting adalah menanamkan etika
dan etos bekerja.
Asosiasi Pekerja mungkin terlibat tidak hanya dalam memperjuangkan upah’ gaji
minimum, dan perlindungan sosial, tetapi juga standar kompetensi minimumyang diperlukan,
melalui program pemberdayaan. Juga mengadvokasi CSR untuk proyek proyek komunitas, yang
mungkin diadakan di tempat tempat para pekerja itu berasal.Pertanyaannya terletak pada siapa
atau lembaga mana yang akan ‘memedulikan’ pekerja informal, yang menjadi pekerjaan rumah
besar bagi semua pemangku kepentingan pembangunan.
Kesetaraan jender dan penghapusan pekerja anak anak merupakan tujuan yang teramat
penting. Perlu untuk dipertimbangkan adanya upaya terpadu dengan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Asosiasi hotel kecil/ penginapan daerah/ lokal perlu suatu dorongan dan pengarahan agar
para anggotanya dapat dibawa pada isu praktek praktek ramah lingkungan dan pekerjaaan layak
yang ramah lingkungan, dengan model peran (role model) dari anggotanya sendiri yang telah
berhasil memraktekkan dengan baik (best practices). Berbagai macam jenis industri
kepariwisataan juga memerlukan dorongan dan arahan yang serupa. Usaha formal dapat
didorong untuk membuka kesempatan bagi pemuda- yang mungkin tidak mampu menjadi
wisatawan pada masa liburnya – untuk bekerja selama waktu puncak/masa liburannya.
Pekerjaan Layak yang Ramah Lingkungan melalui Produk Jasa dan Pekerjaan Publikyang
Ramah Lingkungan.
Penciptaan lapangan kerja yang layak merupakan salah satu tonggak terjadinya transisi
ekonomi menuju praktek yang ramah lingkungan. Terdapat potensi yang sangat besar untuk
pekerjaan yang ramah lingkungan dengan pekerjaan yang layak dalam industri kepariwisataan
melalui pengembangan dan promosi produk-produk ramah lingkungan, pelayanan dan jasa
ramah lingkungan yang dapat dikembangkan, di[produksi dan dipasarkan oleh komunitas lokal
dan pemuda..Berbagai produk ini mungkin dapat dijalankanuntuk berbagai destinasi atau secara
khusus dilaksanakan untuk satu destinasi tertentu. Penilaian yang menyeluruhterhadap
115
keterampilan, kompetensi dan modul pelatihan dan juga sertifikasi diperlukan untuk membuka
potensi bagi pekerja maupun majikan. Pelatihan kewirausahaan (seperti bisnis ramah lingkungan
untuk pemuda) dapat menambah manfaat bagi komunitas lokal. Dalam hal ini pengembangan
keterampilan ramah lingkungan penting bagi tercapainya pariwisata berkelanjutan. Hal itu akan
memperkuat kapasitas pekerja dan majikan dalam industri kepariwisataan sertapemangku
kepentingan lainnya yang terlibat untuk mengerti dan menanggapi secara efektif
berbagaitantangan global dalam perubahan iklimuntuk destinasi pariwisata.Kunci bagi
pengembangan produk dan jasa inovatif yang ramah lingkungan adalah menemu kenali
potensiberbagai lembaga/program keuangan yang dapat mendukung usaha-usaha lokal yang
ramah lingkungan merupakan. Pengembangan keterampilan seyogyanya terfokus kepada aspekaspek teknis dan kewirausahaan bagi para pengusaha kecil.
Selain itu, proyek infrastuktur publik dan sektor konstruksi swasta juga menawarkan
potensi besar untuk pekerjaan layak yang ramah lingkungan dalam ekonomi pariwisata yang
terhubung dengan konstruksi/bangunanramah lingkungan dengan penekanan pada usaha yang
ramah lingkungan. Singkatnya, investasi yang dinamis ke dalam ekonomi ramah lingkungan
menempati tempat teratas dalam Agenda.
116
Catatan Kunci Bab 6











Untuk Indonesia, pariwisata bukan tujuan pembangunan tetapi lebih sebagai alat pencapaian
tujuan pembangunan: kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Isu utama pariwisata Indonesia adalah pola pikir pemangku kepentingan yang berorientasi
pada ekonomi jangka pendek dengan kapasitas sumberdaya manusia yang terbatas dan
pembentukan kelembagaan yang terpaksa. Kinerja pariwisata dalam arti pertumbuhan
kuantitatif sudah digunakan, akan tetapi kinerja kualitatif yang lebih baik harus
dioptimalkan.
Dibutuhkan kepemimpinan yang bekerja secara konsisten dan gigih mengikuti arah
perencanaan pariwisata berkelanjutan, dengan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan
secara regular untuk menanggulangi dinamika permintaan dan juga mengantisipasi situasi.
Rencana nasional pembangunan pariwisata menekankan pada nilai-nilai tertentu: kualitas
hidup dan identitas harus ditempatkan dalam visi jangka panjang untuk dan sebagai dasar
untuk mengarahkan agenda pembangunan. Dibutuhkan suatu Pedoman konkrit yang
melengkapi Rencana Strategis untuk memandu bermacam kementerian dan aktor kunci
yang terlibat dalam pembangunan pariwisata.
Transisi/peralihan yang tepat bagi pekerja dan majikan dengan pekerjaan ramah lingkungan
menuju ke rendah karbon, iklim yang berpegas, pembangunan yang ramah lingkungan di
Indonesia penting sekali. Transisi dalam pasar kerja dan kebutuhan akan model usaha baru
yang ditujukan melalui dialog sosial yang inklusif.
Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan tidak hanya sektor swasta, tetapi juga dan
yang teramat penting adalah sektor publik yang harus menjadi pelopor dalam usaha
tersebut. Dua dari sasaran utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
perluasan kesempatan bekerja.
Pengembangan kualitas harus menjadi prioritas. Tumbuh dan Membaik bertujuan
khususdan konteks dasar pengembangan.
Diusulkan agar implementasi Pembangunan Pariwisata Nasional yang mencakup peran dan
tugas dari kementerian yang berbeda-beda dikoordinasikan di bawah Kantor Wakil Presiden
sebagai badan koordinasi tunggal.
Rencana pembangunan sumberdaya manusia yang komprehensif untuk 10-20 tahun yang
akan datang diperlukan dengan maksud untuk meramah lingkungankan berbagai perspektif
di semua tingkatan.
Pekerjaan yang layak, inklusif dalam Pekerjaan Ramah Lingkungan harus menjadi
arusutamadalam kebijakan pariwisata dan dipromosikan berbagai prakteknya. Penciptaan
Pekerjaan Ramah Lingkungan mempunyai potensi besar melalui produk, jasa, pekerjaan
dan konstruksi publik yang ramah lingkungan.
Perubahan pola pikir sangat diperlukan dari yang sebelumnya berpusat pada sumberdaya
dan pertumbuhan mekanisme pasar berjangka pendek ke yang berpusat pada masyarakatpengetahuan dan pengembangan pasar untuk produk ramah lingkungan, indikator ramah
lingkungan yang berkelanjutan harus ditetapkan, yang disepakati oleh semua pemangku
kepentingan. Permintaan ini mengarahkan baik investasi ke Ekonomi Ramah Lingkungan
untuk keberlanjutan di masa mendatang.
117
Lampiran 1: Data Statistik Sektor Pariwisata
TABEL 1.1 KONTRIBUSI PARIWISATA TERHADAP PDB DIBANDINGKAN PERTUMBUHAN
EKONOMI INDONESIA (DALAM PERSEN)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pertumbuhan ekonomi
3.83 4.38 4.72 5.03 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.20
Kontribusi
pariwisata 9.38 7.72 6.14 5.55
5.01 5.27 4.30 4.29 4.70
4.16 4.06
terhadap PDB
Sumber: ILO, Laporan ILO 2011, Mengukur Lapangan Kerja dalam Industri Kepariwisataan lebih dari Neraca
Satelit Pariwisata, Studi Kasus Indonesia, Tabel 3.1, 3.2. dan 3.3.
TABEL 1.2 BEBERAPA INDIKATOR KONTRIBUSI PARIWISATA TERHADAP PEMBANGUNAN
INDONESIA (2000-2010)
Total PDB (Rp)
PDB Pariwisata
% terhadap total
Total Pajak Tak langsung (trilliun RP)
Pajak tak langsung Pariwisata
% terhadap total
Kesempatan kerja –total (juta)
Kesempatan kerja pariwisata
% terhadap total
Upah dan gaji (triliun Rp)
Upah & gaji pariwisata
% terhadap total
Sumber: Laporan ILO 2011, Mengukur
Pariwisata, Studi Kasus Indonesia
2000
1,368.09
128.31
9.38
61.30
5.08
8.29
89.84
7.36
8.11
406.09
40.09
9.87
2002
1,610.01
98.81
6.14
71.19
5.53
7.77
91.65
7.77
8.48
466.97
29.91
6.41
2004
2,273.14
113.78
5.01
75.23
5.88
7.81
93.72
8.49
9.06
724.99
33.75
4.66
2006
3,339.50
143.62
4.30
131.00
5.40
4.12
95.46
4.41
4.65
1,028.20
45.63
4.44
2008
4,951.36
232.93
4.70
194.31
8.41
4.32
102.55
7.02
6.84
1,519.12
75.45
4.57
2010
6,422.92
261.06
4.06
225.10
9.35
4.16
108.21
7.44
6.87
1,831.09
84.80
4.63
Lapangan Kerja dalam Industri Kepariwisataan lebih dari Neraca Satelit
TABEL 1.3
KONTRIBUSI PARIWISATA MENURUT BEBERAPA INDIKATOR TERPILIH DI
BEBERAPA PROVINSI
BALI
DKI
JAWA BANTEN SULAWESI RIAU SUMATRA
JAKARTA BARAT
TENGAH
SELATAN
2007
2009
2010
2008
2008
2007
2006
[1]
[2]
[3]
(4)
[5]
(6)
[7]
[8]
1. Keluaran (%)
51.56
6.46
3.79
2.56
6.04
2.31
1.25
2. PDB (%)
46.16
5.84
3.91
3.04
4.92
2.14
1.07
3. Pajak tak langsung 66.44
8.33
3.90
3.23
7.23
4.03
1.50
(%)
4. Upah & gaji (%)
36.12
6.54
3.79
3.15
2.49
3.11
1.17
5. Kesempatan kerja 40.56
9.48
3.97
4.03
2.78
5.22
1.04
(%)
Sumber: Laporan ILO 2011, Mengukur
Pariwisata, Studi Kasus Indonesia
Lapangan Kerja dalam Industri Kepariwisataan lebih dari Neraca Satelit
118
TABEL 1.4 KONTRIBUSI SEKTOR PARIWISATA 2000-2010
Indikator
2000
2010
(1)
(2)
(3)
1. Keluaran (%)
9.27
5.06
2. PDB (%)
9.38
4.06
3Pajak tak langsung (%)
8.29
4.16
4. Upah & gaji (%)
9.87
4.63
5. Kesempatan kerja (%)
8.11
6.87
Penurunan kontribusi
(2)-(3) /(2)
4.21 - 45.41 %
4.68 - 49.89 %
3.97 - 47.89 %
4.90 - 49.65 %
1.27 - 15.66 %
Sumber: Laporan ILO 2011, Mengukur Lapangan Kerja dalam Industri Kepariwisataan lebih dari Neraca Satelit
Pariwisata, Studi Kasus Indonesia Perhitungan dari Tabel 1.3
TABEL 1.5
JUMLAH PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA DALAM
SEKTOR PERDAGANGAN DAN PARIWISATA (SEMINGGU SEBELUMNYA) BERDASARKAN
JAM KERJA
NO
Total jam Kerja (jam)
2006
2008
2010
1
0
189,744
403,570
309,447
2
1-4
10,446
61,862
59,622
3
5-9
117,395
250,842
206,463
4
10-14
274,078
503,736
519,786
5
15-19
344,171
450,312
476,311
6
20-24
712,181
837,289
1,058,074
7
25-34
1,777,276
1,486,891
1,937,717
8
35-44
4,028,601
4,017,477
4,290,855
9
45-54
4,683,334
4,469,279
4,846,424
10
55-59
2,114,651
2,010,119
2,155,997
11
60-74
3,079,006
3,766,089
4,071,670
12
75+
1,224,174
2,426,575
2,280,518
18,555,057
20,684,041
22,212,885
Total
Sumber: Publikasi BPS, 2006,2008, 2010 Kondisi Tenaga Kerja
TABEL 1.6 KATEGORI DISTRIBUSI PENDAPATAN TENAGA KERJA DALAM PERDAGANGAN
DAN PARIWISATA Di TEMPAT KERJA (2010)
Kategori
Pendapatan Perkotaan
%
Perdesaan
%
(RPs)
< 600,000
777,001
21.59
393,284
44.33
600,000 - 1,000,000
1,125,373
31.27
283,009
31.90
Total <1,000,000
>1,000,000
1,902,373
1696517
52.86
47.14
676,292
210,881
76.23
23.77
All Categories
3,598,891
100.00
887,174
100.00
Sumber: BPS, Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, 2010 , Pengukuran Lapangan Kerja dalam Industri Pariwisata
melalui Perhitungan Akun Satelit Pariwisata: Studi Kasus Indonesia, ILO,2011
119
TABEL 1.7 KATEGORI PENDAPATAN TENAGA KERJA DALAM PERDAGANGAN DAN
PARIWISATA BERDASARKAN JENDER
Kategori Pendapatan (RPs) Laki-laki
%
Perempuan
%
< 600,000
600,000 - 1,000,000
586,162
861,081
21.30
31.29
583,014
546,944
33.62
31.54
Total <1,000,000
>1,000,000
All category Semua kategori
1,447,243
1,304,693
2,751,936
52.59
47.41
100.00
1,129,958,
604,171
1,734,129
65.16
34.84
100.00
Sumber: BPS, Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, 2010 , Pengukuran Lapangan Kerja dalam Industri Pariwisata melalui
Perhitungan Akun Satelit Pariwisata: Studi Kasus Indonesia, ILO,2011
TABEL 1.8
UPAH DAN GAJI TENAGA KERJA TETAP DALAM PERDAGANGAN DAN
PARIWISATA MENURUT LOKASI/DAERAH
Periode Survai
(1)
Perkotaan
Perdesaan
(2)
dan Perkotaan
(3)
Perdesaan Perbedaan
(4)
PerkotaanPerdesaan
(3)-(4)/(4)
Februari 2008
Agustus 2008
948,800
976,640
1,007,161
1,034,037
712,414
719,543
294,747 – 41.36 %
314,494 – 43.71 %
Februari 2009
Agustus 2009
1,038,270
1,103,404
1,106,257
1,168,558
779,462
773,047
326,795- 41.92 %
395,511 - 49.87 %
Februari 2010
1,110,562
1,188,374
794,908
393,466 – 49.50%
Sumber: BPS, Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, 2010 , Pengukuran Lapangan Kerja dalam Industri Pariwisata melalui
Perhitungan Akun Satelit Pariwisata: Studi Kasus Indonesia, ILO,2011
TABEL 1.9 PERBEDAAN UPAH DAN GAJI ANTARA TENAGA KERJA TETAP DAN TIDAK
TETAP DALAM PERDAGANGAN DAN PARIWISATA
(1) Tenaga kerja tetap
Tenaga kerja tidak tetap
(1)-(2) dan persen ke (2)
(dalam 1000 Rps)
(2) (dalam 1000 Rps)
dalam 1000 Rps- %
Februari 2008
1,126,8
949,4
177,4 - 18.68%
Agustus 2008
1,158,1
976,9
181,2 - 18.55%
Februari 2009
Agustus 2009
1,296,1
1,322,4
1,071,9
1,103,2
224,2 - 20.92%
219,2 - 19.87%
Februari 2010
1,337,8
1,133,3
204,5 - 18.04%
Sumber: CBS, Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, 2010 , Pengukuran Lapangan Kerja dalam Industri Pariwisata melalui
Perhitungan Akun Satelit Pariwisata: Studi Kasus Indonesia, ILO,2011
120
TABEL 1.10: PERBEDAAN UPAH DAN GAJI TENAGA KERJA TETAP DI SEKTOR
PERDAGANGAN DAN PARIWISATA MENURUT JENDER
Periode Survai
Laki-laki
Perempuan
Perbedaan laki-laki-perempuan
(1)
(2) (000rps)
(3)(000rps)
(2)-(3) /(3) (000rps -%)
Februari 2008
1,023,703
824,739
198,964 – 22.40 %
Agustus 2008
1,031,438
887,944
143,494 - 16.16 %
Februari 2009
Agustus 2009
1,116,045
1,220,893
912,497
921,612
203,548 – 22.30 %
299,281 -32.47 %
Februari 2010
1,195,497
975,776
219,721- 22.51%
Sumber: BPS, Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, 2010 , Pengukuran Lapangan Kerja dalam Industri Pariwisata melalui
Perhitungan Akun Satelit Pariwisata: Studi Kasus Indonesia, ILO,2011
121
Lampiran 2: Studi Kasus Nasional dan Internasional
Kasus Bali, Indonesia
Kasus Bali menyajikan suatu refleksi pendapat masyarakat Bali, yang peduli dengan
pembangunan di pulau Bali dan menuliskan kepedulian mereka dalam sebuah buku berjudul
Jendela Pariwisata Indonesia: How Lucky is Bali?
Kepariwisataan untuk Bali: Sebagai sistem tradisional, Bali berdasarkan pada falsafah dan
prinsip keseimbangan dan terwujud dalam sistem organisasi kemasyarakatannya, misal banjar
dan subak. Perencanaan dan pembangunan kepariwisataan di Bali harus mengacu pada falsafah
dan prinsip masyarakat Bali di atas. (I Gede Ardika, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,
Anggota Komite Kode Etik, UNWTO).
Antara Aneka Paradoks dan Budaya Hibrida: Globalisasi dan modernisme akan
menyebabkan sejumlah paradox pada pariwisata di Bali: degradasi unsur budaya, kemerosotan
pertanian, marjinalisasi, dan terjadinya budaya hibrida. (I Wayan Geriya, Tim ahli Lembaga
Pelestarian Budaya, 2005-sekarang, Universitas Indonesia)
Subak Hancur, Pariwisata Bali Hancur: Perkembangan kepariwisataan di Bali secara perlahan
menghancurkan sektor pertanian (pertanian semakin terpinggirkan). Sistem tradisional lokal
(subak) harus dilestarikan. Untuk itu diperlukan komitmen penyelamatan subak yang kondisinya
sangat kritis secara kelembagaan dan hancur secara ekonomi. Munculnya kebijakan sertifikasi
pertanahan (kepemilikan atas nama pribadi) dari pemerintah semakin membuka peluang bagi
pemilik tanah untuk melakukan apa pun terhadap tanah miliknya, termasuk melakukan alih
fungsi menjadi perumahan, pertokoan, hotel atau restoran. (I Wayan Windia, Ketua Badan
Penjaminan Mutu, Universitas Udayana)
Pariwisata dan Pertanian di Bali: Prioritas pembangunan perekonomian di Bali mencakup 3
sektor ekonomi, yaitu: pertanian swasembada pangan, pariwisata budaya (budaya Bali dan agama
Hindu), industri kecil dan kerajinan. Sektor pertanian memegang peranan penting dalam
perekonomian Bali, antara lain sebagai : sumber pendapatan masyarakat pedesaan, bahan baku
bagi agro industri, devisa ekspor pertanian dan kegiatan konservasi alam. Di sektor pariwisata
perlu dikembangkan: subsidi pada petani agar mempertahankan lahan pertaniannya melalui
pemerintah dari pajak hotel dan restoran; eco-wisata,agro-wisata dan wisata pedesaan merupakan
beberapa pilihan. (Agung Suryawan, Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan,
Universitas Udayana, Ketua Yayasan Bali Greenery, Konsultan dan Agen Sertifikasi Green
Tourism (EC3 Global) di Indonesia)
Perlu Roadmap Pembangungan Bali: (ini secara mutlak berarti bahwa pembangunan yang lalu
tidak berdasarkan pada roadmap). Pertumbuhan ekonomi di Bali tidak proporsional, karena
jumlah orang Bali sebagai pelaku bisnis sangat minim. Pemerintah pusat berharap besar pada
pengusaha Bali: 99 persen pengusaha di Bali adalah usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Pengusaha Bali harus mendapatkan proteksi agar mampu menghadapi liberalisasi ekonomi. .
Oleh karena itu diperlukan sebuah roadmap pembangunan Bali, seperti penegasan zona,
pemetaan kekuatan pembangunan Bali menuju masyarakat sejahtera dan nilai alami
122
kepariwisataan. Dibutuhkan transparansi komunikasi di bawah kepemimpinan yang benar.
(Gdesumarjaya Linggih, Ketua Kadin Bali 2010-2015, Anggota Komisi VI DPRRI).
Orang Bali “Tidak Menjual” Bali: Pembangunan pariwisata di Bali sudah overbuilt; apakah
pemerintah akan membawa pariwisata Bali menjadi destinasi mass tourism?. Bali tumbuh dan
berkembang sebagai destinasi wisata budaya dengan niche market-nya. Diperlukan : masterplan
untuk pembangunan Bali ; pengembangan dan pengelolaan atraksi wisata agar bisnis pariwisata
Bali semakin kompetitif. (Ida Bagus Ngurah Wijaya, Ketua Bali Tourism Board dan Bali Village;
Konsulat Kehormatan swedia dan Finlandia di Bali, Operator pariwisata).
Inkonsistensi Pariwisata Budaya: Inkonsistensi antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku
industri. Pariwisata budaya tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan, tetapi penting
untuk keberlanjutan jangka panjang. Kebijakan pemerintah belum mendukung “pemupukan”
(‘fertilizing’) keunikan Bali, keaslian alam dan masyarakat Bali. Perhitungan PBB lahan
pertanian sama besanya dengan lahan yang diperuntukkan untuk kawasan komersial. Gianyar
mempunyai blue print pembangunan dengan zona konservasi; zona pengembangan olah raga dan
pemerintahan; zona konservasi air; zona pariwisata dan budaya; dan zona komersial. (Tjokorda
Oka Artha Ardhana Sukawati: Bupati Kabupaten Gianyar; Ketua BPD-PHRI Bali; Wakil Ketua
Bali Tourism Board)
Jauh Ke Belakang: Posisi pariwisata Indonesia dibandingkan country to country masih jauh di
bawah Malaysia, Singapura, Thailand dan Macau. Meskipun adanya budaya yang menarik,
banyaknya pulau yang dimiliki, sebanyak 8000 pulau yang tidak terpakai tidak dimanfaatkan.
Untuk perlu adanya pembenahan dengan Pemerintah sebagai pihak utama yang bertanggung
jawab, dalam mempersiapkan blue print yang jelas tentang arah pembangunan kepariwisataan
Indonesia. (Aloysius Purwa: Ketua Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies
(ASITA); Konsul Kehormatan Belanda wilayah Bali-NTB)
Pengembangan pembangunan di Bali harus mampu menyeimbangkan sektor pariwisata
dengan pertanian, dan perlu melakukan penguatan pilar ekonomi. Jenis-jenis ekonomi yang
beragam akan memperkuat ekonomi regional. Bali (dan Indonesia) menarik dengan beragam
budayanya, tidak perlu ada kasino di Bali (Indonesia). (Made Sidartha “Peter” Arya: Pengusaha
AryaCom Teknologi, desain pengolahan limbah dan penyediakan panel kontrol otomatis sirkuit
listrik untuk beberapa properti hotel, restoran dan mall di Indonesia)
Umumnya pertunjukan/pagelaran budaya Bali dan Indonesia tidak pernah secara sengaja
diciptakan untuk tujuan pariwisata. Agar supaya berbagai pertunjukan/pagelaran pariwisata
bermanfaat, untuk itu diperlukan organisator yang professional. (I Gusti Kade Heryadi Angligan:
Manager Inna Hotels; aktif di BHA (Bali Hotel Association) dan IAPINDO (Ikatan Ahli
Perhotelan Indonesia)
Pariwisata Bali sebagai batu loncatan untuk pencapaian tujuan pembangunan pariwisata di semua
lini. Namun, potensi kepariwisataan yang ada di Bali kurang terkelola dengan baik. Perlu
pendekatan yang terkoordinasi dan pemetaan kemampuan, kompetensi, peluang dan pasar.
Diperlukan orang yang jujur, pintar dan profesional serta kepemimpinan tunggal dalam
mengelola Bali dengan optimalisasi pengembangan, diversifikasi produk dan penerapan sistem
yield management sehingga mampu mengoptimalkan income kepariwisataan untuk
123
masyarakat Bali. (Made Suryawan Corporate Quality Development & Training Manager PT
Grahawita Santika)
Perlu adanya peraturan yang jelas, dan menyosialisasikan aturan tersebut melalui banjar
dan kelompok subak; masyarakat berkembang lebih awal (daripada aturan pemerintah).
(Anak Agung Gde Rai Direktur The Walter Spies Foundation Bali; Ketua Himpunan Museum
Bali)
Kita boleh berpuas diri karena produk yang sudah memenuhi selera konsumen. Tetapi sebenarnya
kita hanyalah menjadi salah satu penonton dalam aktivitas pariwisata dunia. Kualitas pariwisata
masih kurang. Pariwisata di Bali dibentuk dari komunitas budaya, dan belum banyak proses
konservasi budaya yang dilakukan Bali. Pembangunan berbasis komunitas belum sepenuhnya
ditunjang oleh sektor pariwisata seperti hotel. Pelaku pariwisata seharusnya membawa
tamunya menyaksikan atraksi wisata di komunitas aslinya, bukan dengan
memindahkannya ke hotel. Agar kualitas pariwisata bisa berkelanjutan, diperlukan upaya
untuk mengkonservasi alam dan budaya. Budaya bukan faktor profit atau ekonomis, tetapi
sesuatu yang harus dibiayai secara menyeluruh. (I Gusti Putu Wahyudi Angligan: Dewan
Kehormatan Bali Tourism Board; Anggota Tim Pengkaji Pariwisata Bali; Dewan Pembina
BARES (Bali Amateur Rescue Emergency Services)
Pelaku pariwisata bermodal kecil merupakan ujung tombak kepariwisataan. Namun,
pendampingan bagi masyarakat kecil ini kurang mendapat perhatian. Kesiapan promosi terkesan
lebih banyak untuk promosi ke luar negeri daripada mempersiapkannya untuk menerima turis.
Masih banyak pelaksanaan yang bersifat ilegal (tidak sah) seperti pertukaran uang, pemandu,
vila-vila ilegal. Selama pemerintah memasang target jumlah wisatawan dan bukannya melakukan
pembenahan pada hal-hal yang telah disebutkan diatas , maka orang Bali hanya akan
mendapatkan limbahnya. (Made Supatra Karang: Dewan Penasehat Badan Pengurus Pusat
Asosiasi Pedagang Valuta Asing Indonesia (BPP APVA) dan BPD APVA)
Hindari Stagnasi - Problem kepariwisataan Indonesia ada pada manajemen kepariwisataan
mulai dari pemerintah pusat maupun daerah. Dalam menghadapi persaingan bebas, perlu
melakukan pendekatan dari semua lini. Pengembangan kualitas SDM perlu ditingkatkan di dalam
agenda untuk menghindari stagnasi. (Gusti Kade Sutawa: Ketua Kuta Executive Club dan Aliansi
Masyarakat Pariwisata Bali)
Mendesain Sendiri Model Pariwisata Bali - Perkembangan industri kepariwisataan masih mengarah ke
pariwisata massal, mengeksploitasi dan mengkomoditisasikan sumberdaya komunitas (alam dan budaya).
Wisata ekologi adalah pariwisata yang ditujukan untuk peningkatan pendapatan masyarakat dengan tetap
menerapkan nilai-nilai budaya lokal, dalam menjaga lingkungan dan kehidupan sosial berdasarkan kesepakatan
bersama. Bali Desa Wisata Ekologi (Bali DWE) melihat pentingnya membangun strategi mempertahankan
keberadaan dan keseimbangan Bali dari kehancuran lingkungan dan nilai budayanya. (I Putu Alit
Suarsawan: Ketua Asosiasi Bali Desa Wisata Ekologi-Bali DWE; Ketua Koperasi Anugerah Arta
Jaya)
Bali Overbuilt - Bali dulu dan sekarang sudah berbeda, Bali sudah overbuilt. Timbul
kesemrawutan pembangunan karena peraturan dan rencana tata ruang belum dilaksanakan secara
tegas. Ditengah-tengah perubahan, nilai dasar yang memberikan corak tertentu budaya Bali perlu
124
dipertahankan. Alih fungsi lahan pertanian di Bali; dalam dunia pertanian masyarakat Bali
melakukan aktivitas sosial budayanya
dan ini menjadi pagelaran/pertunjukan menarik
kepariwisataan Bali. (Anak Agung Gede Rai: Direktur Operasi & Pemasaran PT Hotel Indonesia
Internasional dan PT Natour serta PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC).
Keterpinggiran Pelaku Budaya: Terpinggirnya masyarakat Bali di tengah semaraknya
kepariwisataan Indonesia merupakan ancaman terberat dari persoalan Bali. Perubahan budaya
telah terjadi - dari masyarakat yang ramah , sopan, penolong sekarang menjadi masyarakat yang
tidak peduli, individualistik, yang disebabkan karena pengembangan pariwisata tidak terbagi
dengan baik dan benar atau karena aturannya lebih banyak dilanggar. Dibutuhkan adanya
kebijakan pemerintah yang berpihak pada sektor pertanian, sebagai pendukung kepariwisataan di
Bali dan Indonesia. (Bagus Sudibya: - Pengusaha di bidang perhotelan, travel agent dan MICE;
Koordinator Asita Wilayah Bali dan Nusa Tenggara).
(Disimpulkan dari Jendela Pariwisata Indonesia: How lucky is Bali).
Kasus Borobudur, Indonesia
Candi Borobudur di Jawa Tengah terdaftar di UNESCO sebagai Pusaka Budaya Dunia (No.592).
Candi ini dibawah manajemen Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan, milik perusahaan
Pemerintah di bawah tim manajemen professional.
Candi ini memiliki angka kunjungan tertinggi, terutama oleh turis domestik, tetapi juga dari turis
mancanegara dengan jumlah yang signifikan. Turis domestik dikenakan biaya sebesar Rp
20.000,-, untuk anak remaja Rp 23.000,- per hari dan Rp 30.000,- per akhir minggu – selama
masa puncak hari raya Idulfitri. Sejauh ini tidak ada pembatasan lamanya kunjungan, selama
waktu kunjungan masih dibuka. Pintu masuk ditutup 30 menit sebelum waktu berkunjung habis.
Isu terakhir yang memakan waktu yang lama adalah tentang pedagang keliling dan pedagang kaki
lima (PKL) yang dianggap mengganggu kenyamanan para wisatawan. Baru-baru ini mereka
diberi tempat di sekitar area parkir, di bagian depan dan juga di sepanjang jalan menuju pintu
masuk, yang memaksa semua pengunjung melalui jalan para pedagang tersebut. Di pintu masuk,
para pengunjung di periksa – dilarang membawa barang/benda. Makanan/makanan ringan tidak
diijinkan dibawa, tetapi masih ada yang membawa minuman – menghindari sampah di area pintu.
Seorang responden, kusir delman, mengatakan bahwa dia mendapatkan uang sebesar Rp 14.000,per sekali jalan; ongkos yang dibayarkan oleh konsumen adalah Rp 30.000,-. Setiap 35 hari
mereka berkumpul, hasil pendapatan tersebut dibagi rata diantara anggota kelompok. Responden
tersebut mengatakan bahwa di luar area candi terdapat pasar yang menguntungkan bagi
delmannya, tapi dia menjalankannya hanya setengah hari selama akhir minggu. Informan lain
mengatakan bahwa keberadaan candi ini member berkah bagi komunitas.
Isu lain adalah bahwa pemerintah menanggapi tentang kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
desa-desa sekitarnya. Pada awal tahun 2000, ada LSM yang bekerja di desa Candirejo bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yang membawa desa ini pada tingkat nasional.
Pada tahun 2003 desa ini menerima penghargaan dari Presiden. Mereka membentuk koperasi
125
untuk rumah tinggal penduduk (home-stays), memproduksi souvenir (cindera mata) dan juga
mendorong pelatihan/praktek tarian tradisional.
Di tahun 2011 kunjungan ke rumah tinggal penduduk tampaknya tidak ada wisatawan yang
berkunjung 4 bulan terakhir, sejak Merapi meletus, gunung berapi yang letaknya dekat dengan
candi. Koperasi menetapkan harga Rp 100.000,- per tempat tidur, makan pagi dan malam per
orang. Pemilik rumah menerima Rp 35.000,- untuk akomodasi dan Rp 15.000,- untuk makan pagi
dan makanan ringan, termasuk the/kopi. Terdapat 25 rumah tinggal penduduk di desa ini.
Kunjungan wisatawan ke desa ini mendorong penduduk lokal untuk memelihara kebun dengan
bermacam-macam buah-buahan: mangga, papaya, jeruk diantaranya meningkatkan ke a rah yang
lebih menarik. Penemuan lain adalah keberadaan seorang artis yang tinggal di Ubud, Bali untuk
waktu yang lama dan tengah mencari tempat tinggal yang baru. Dia tinggal di bantaran sungai
Progo di desa Wanurejo, tidak jauh dari Candirejo. Para pemandu menamakan tempat itu sebagai
Galeri SONY. Disini juga ada tempat untuk kinerja seni dan beberapa unit untuk tempat tinggal,
semuanya didisain secara alami. Pemiliknya juga membantu masyarakat, tetangganya,
membangun kamar-kamar untuk akomodasi wisatawan. Tempat tersebut menjadi tempat
pertemuan para artis dan siapa saja yang mencari inspirasi dan ketenangan.
Pada tahun 2011 pemerintah daerah juga mendukung desa tersebut dengan memberikan program
PNPM Mandiri, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, melalui Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif. Administrasi pemerintah desa membelanjakan uang tersebut untuk
pembangunan rumah-rumah tinggal dan membeli sepeda yang disewakan kepada wisatawan.
Di area luar halaman dan yang lebih jauh, terdapat beberapa fasilitas: akomodasi dan restauran
juga cindera mata/galeri seni yang melayani wisatawan yang datang dari jauh, wisatawan
domestik dan mancanegara. Pada saat rumah tinggal kekurangan tamu beberapa akomodasi di
luar, yang berkelas tinggi, tetap dipesan.
Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan segmen pasar dan perbedaan tingkat penyedia
akomodasi. Masyarakat dan pedagang lokal yang berada di sekitar candi adalah penyedia pasar
besar, sebagian besaar wisatawan tidak tinggal sampai malam, dimana mereka cenderung
membawa makanan dan minuman. Mereka juga tidak menghabiskan pengeluaran berkenaan
dengan perjalanan disamping transportasi dan tiket – walaupun kecil sekalipun – pengeluaran
mereka sangat berarti bagi pedagang kecil. Segmen lainnya adalah mereka yang tidak menyukai
keramaian dan menyukai kunjungan yang menyenangkan, sesuai standar yang mereka bayar.
Segmen yang ketiga adalah inti utama, yang giat mempelajari sesuatu, tidak terbatas hanya
mengagumi, tetapi ingin lebih mengerti, mencari informasi tentang sejarah dan arti dari setiap
segi yang mereka lihat di candi Borobudur. Mereka mau menetap di rumah-rumah penduduk,
dalam waktu yang lama dan juga menetap di Yogyakarta atau Magelang yang jaraknya dekat dan
mudah dicapai.
Ketika ketiga kelompok konsumen ini bergabung, tampaknya hanya kelompok pertama yang
menikmati dan kelompok lainnya merasa terganggu dengan situasi tersebut. Penting sekali
adanya survai yang mendalam tentang pasar untuk ketiga kelompok yang berbeda, meneliti
tanggapan yang baik tentang isu-isu keberlanjutan. Ada anggapan yang kuat bahwa wisatawan
massa mencari taman rekreasi – meskipun mereka sangat bangga dengan warisan budaya, mereka
tidak bersikeras untuk mendapatkan informasi yang detil; ketiga kelompok tersebut mempunyai
126
arti yang berbeda tentang warisan budaya yang memerlukan pemeliharaan yang lebih baik untuk
keberlanjutannya. Pembatasan waktu dalam bentuk pengelolaan pengunjung merupakan satu
jalan untuk mengurangi beban.
Kunjungan yang dilakukan pada tanggal 30 Oktober, 2011, dipandu oleh pemandu lokal yang
berijazah. Informasi juga didapatkan melalui wawancara informal dengan kusir delman dan
petugas di lapangan. Wawancara melalui telepon juga diadakan dengan pimpinan manajemen
dari PT Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan.
Kasus Machu Picchu, Peru
Kasus Peru: Dalam upaya untuk promosi pariwisata, dalam tekanan untuk membayar kembali
utangnya, Pemerintah Peru melakukan privatisasi sarana pariwisata di sekitar peninggalan yang
terkenal Machu Picchu dengan memberikan konsesi jangka panjang kepada swasta. Pada tahun 1996,
Peru Hotel, suatu anak perusahaan US-ORIENT EXPRESS, mendapat konsesi 30 tahun atas hotel di
gunung yang sakral, di sebelah peninggalan, dan juga kereta api dari Cuzco ke Aguas Calientes, di
bawah peninggalan yang dimaksud. Perusahaan yang sama juga menjalankan hotel mewah di Cuzco.
Wisatawan sekarang tidak lagi menggunakan layanan pedagang dan pemasok lokal, sementara tiket
masuk dan biaya perjalanan tak terjangkau bagi masyarakat lokal. Menurut UNESCO, pusaka dunia
tersebut sekarang berada dalam keadaan terancam berat. Pemerintah Peru sekarang (saat itu)
merencanakan untuk memasarkan Playa Hermosa dekat Tumbes, pantai berpasir yang hampir belum
terjamah, di sebelah utara, dan membebaskan 100 ha lahan dari petani padi dan pisang. Konsesi akan
diberikan hanya kepada investor asing yang potensial untuk periode 50-60 tahun untuk
mengembangkan kawasan wisata dan sarana mewah untuk bersantai, termasuk padang golf, lapangan
tenis untuk wisatawan kelas atas. Hal ini berarti pemindahan hak atas tanah dan hilangnya kehidupan
bagi 10.000 petani dan nelayan. Selain itu juga direncanakan hal serupa untuk benteng Kuelap
(provinsi Amazone), salah satu peninggalan arkeologis terpenting di Peru dari masa pra-INCA. Ke
dua lokasi sudah dicanangkan sebagai lokasi untuk bisnis pariwisara oleh swasta dan amandemen
undang-undang dilakukan, tanpa memberitahu, apalagi konsultasi kepada penduduk yang akan
terkena dampak. (Sollifonds Infromations Bulletin Nr 38/juni 2004)
127
Lampiran 3: Petikan yang Relevan dari Deklarasi Bern
Beberapa pernyataan dalam Deklarasi Bern (2005) yang ditulis oleh Marianne Hochuli (Deklarasi Bern) dan
Christine Pluss (Kelompok Kerja Pariwisata dan Pembangunan) perlu menjadi perhatian pariwisata Indonesia
kita:
“- ketidak-pastian masa depan: deregulasi dan liberalisasi telah membawa perubahan menyeluruh yang
dramatis dalam industri kepariwisataan (hal 9);
- para pemain, struktur dan orang orang yang bertanggung-jawab semakin lama semakin sukar
mengidentifikasi masa depan yang banyak mengandung ketidak-pastian; beberapa destinasi pariwisata
di negara berkembang mungkin MENYUBSIDI wisatawan dari negara asalnya; (hal 6)
- dalam liberalisasi ekonomi, tak ada sektor jasa lain yang mendapat banyak komitmen dari negara
seperti halnya pariwisata (hal 7) (kemungkinan besar tanpa ditunjang oleh suatu study terlebih dahulua,
catatan penulis);
- berbagai janji negara negara industr pemberi bantuan pada negara berkembang untuk akses pasar dan
akses TIDAK DIPENUHI; sementara negara negara berkembang terbiasa menjadi kompetitif karena
iklim yang menguntungkan, akses ke laut dan budaya serta keaneka-ragaman biologi, akses ke informasi
internasional dan sistem reservasi on line sekarang telah menjadi faktor penting; (hal. 8)
- MEMBATASI hak Pemerintah Daerah/setempat untuk mengatur- artikel GATS VI menuntut agar hukum
dan regulasi domestik diadministrasikan dengan cara yang layak, objektif dan tidak memihak, bahwa mereka
tidak merupakan penghalang yang tak perlu pada perdagangan dalam jasa (pasal VI.4) bila ada kasus konflik,
harus diserahkan ke sistem penyelesaian perselisihan WTO (World Trade Organization) untuk dinilai apakah
tindakan itu layak, objektif dan tidak memihak, ini akan secara signifikan mengurangi kemungkinan pemerintah
secara cukup mengatur pariwisatanya dan berbagai kebijakan investasinya pada tingkat nasional, sub-nasional
dan lokal. Khususnya dalam pariwisata, yang bertumpu pada daya tarik, pemandangan yang tak terganggu dan
keramahan penduduk lokal yang tulus, sangatlah penting agar prakarsa yang berkelanjutan dan berkeadilan
dapat diberi dukungan khusus.pemerintah daerah harus mampu mengeluarkan peraturan yang berpihak
pada pemilikan dan kedudukan lahan lokal, atau harus mampu memberi konsesi pada hotel yang
mempekerjakan stafnya dengan prosentase besar berasal dari komunitas lokal, memberi preferensi pada
material bangunan, pasokan makanan dan kerajinan setempat, dan mengambil pendekatan hati-hati
pada pasokan air dan enersi .. (hal. 9);
- sejumlah kecil perusahaan pariwisata besar telah mendominasi sektor pariwisata internasional; khususnya
dalam bidang agen perjalanan (pengecer) dan operator wisata yang oleh negara negara industri diminta
liberilalisasi lebih lanjut kepada negara berkembang dalam negosiasi GATT, akan tetapi juga sektor perhotelan
28
yang telah juga diintegrrasikan.
-insentif investasi untuk memikat investasi asing, atas kerugian penduduk lokal (hal 10)
- ……….Deklarasi Berne dan Kelompok Kerja Pariwisata dan Pembangunan berbagi kepedulian dengan banyak
ahli pembangunan bahwa komitmen lebih jauh untuk liberalisasi di bawah WTO akan merupakan
ANCAMAN terhadap semakin banyaknya jumlah prakarsa untuk pariwisata yang bertanggungjawab
yang menguntungkan penduduk lokal dan membantumelindungi mata pencaharian mereka (hal 14) .
28
Negara-negara berkembang khawatir bahwa pembukaan pasar yang lebih luas akan menghasilkan oligopoli oleh perusahaan besar yang
sedikit jumlahnya; yang akan menambah tekanan pda perusahaan lokal dan mengurangi peluang pendapatn mereka; (hal 9);
128
Lampiran 4 : Pembelajaran dari Berbagai Praktek Terbaik Ekowisata
YAYASAN
PUSAT PENDIDIKAN
KONSERVASI ALAM
BODOGOL
alami@prima.ney.id
YAYASAN
EKOWISATA
HALIMUN
bcn-ni16@indo.net.id
TANGKAHAN
Tourism Institute, North
Sumatera
Namo Sialang village,
Batang Serangan
sugenkd@yahoo.com
WALLACEA
FOUNDATION
JlPulauSaelusII, Gang
Kenanga No 17 Bali
STRATEGI
. Ekowisata :jumlah sedikit, nilai tinggi
. pendidikan melalui partisipasi : interpreter dan modul-modul
. Inventarisasi potensi dan pemantauan
. Pengembangan Koperasi,
. Menggunakan sistem reservasi dan melakukan evaluasi teratur,
. konsorsium untuk pengelolaan wilayah yang dilindungi (TN GedePangrango),
Yayasan Alam Mitra Indonesia dan Conservation International,
. bermitra dengan LSM dan komunitas, lembaga pendidikan?universitas dan
operator perjalanan,
. membangun rumah tamu di tiap zona, dimiliki oleh masyarakat,
. kenaggotaan terbuka bagi masyarakat di sekitar lokasi,
. pelatihan untuk semua tingkatan: manajer, pemandu sampai penjaga/ porter
. pembagian kerja : manajer untuk tiap rumah tamu, ada staff promosi yang
berkantor di Bogor
. DISEMINASI KONSEP EKOWISATA
Perencanaan kawasan /zonasi :kawasan penelitian, pendidikan dan rekreasi
. pengenalan PAKET: melalukan observasi: burung, kupu-kupu, arung jeram, paket
penelitian dan sebagainya
. Manajemen rumah inap yang ramah lingkunagan
. Pemantauan oleh masyarakat, kerjasama dengan lembaga atau
yayasan yang bertugas di lokasi,
Pemantauan dilakukan oleh masyarakat , bekerjasama dengan staf Yayasan yang
bertugas di lokasi
Mengendalikan penebangan pohon, menghitung populasi burung dan
menemukenali kerusakan hutan
. pengendalian penggunaan dinamit dalam penangkapan ikan
. memosisikankomunitassebagai actor utamadalamekowisata
129
PEMBELAJARAN
* Mencapai VISI dan Misi bersama antar
anggota konsorsium
*Partisiasi aktif komunitas pada setiap tahap
dalam proses pembangunan,
* Program penyebaruasan secara intensif
*system pemagangan dalam pemahaman
konsep oleh pengelola kawasan dan operator
*keuntunganlokasionalterhadappasar
* pentingnya menentukan kapasitas daya
dukung yang dilembagakan : jumlah
pengunjung secara formal diatur dan
dikendalikan
*pemantauan secara menerus
*fasilitator berperan dalam menjembatani
hubungan
antara
komunitas
dengan
masyarakat luar.
*promosi
kreatif
untuk
meningkatkan
kunjungan
* konsep perlu disosialisasikan kepada
komunitas sebelum memulai program
*semua
pihak
yang
berkepentingan
mendapatkan penguatan,
*jejaring menjadi makin luas
*jangan mudah menjajikan apapun
* diseminsasi program sebelum mulai
* kepekaan tinggi terhadap lingkungan,
kesarandan niat baik, peduli lingkungan sosial.
Lampiran 5: Definisi Pariwisata Ramah Lingkungan
(Green Tourism)
Istilah ‘pariwisata ramah lingkungan’ semakin banyak digunakan dalam berbagai diskusi
yang mencakup segitiga mendasar (ekonomi, lingkungan, sosial) sebagai ciri-ciri ‘pariwisata
berkelanjutan’. Istilah ‘pariwisata ramah lingkungan’ ini sudah terdapat dalam literatur pariwisata
sejak lebih dari 20 tahun yang lalu, dengan adaptasi merujuk pada gerakan dari perdesaan ke
pariwisata ‘ramah lingkungan’ di Eropa dan, di Jepang, Kementerian Pertanian (1992)
mendefinisikan pariwisata ramah lingkungan sebagai “aktivitas bersenang-senang jenis tinggal
(‘staying type’) untuk menikmati alam dan budaya dari destinasi dan berinteraksi dengan
penduduk lokal di daerah yang kaya dengan lanskap alaminya’ (Kementerian Pertanian, 1992,
dalam Hong et al 1992) perdesaan dan pegunungan .
Pada umumnya, konsep ‘pariwisata ramah lingkungan’ dapat ‘dikaitkan’ dengan
‘konsumerisme ramah lingkungan’, yang dapat didefinisikan sebagai ‘individu-individu yang
mencari perlindungan diri mereka sendiri dan dunianya melalui kekuatan keputusan belinya.
Dalam usahanya untuk melindungi dirinya sendiri dan dunianya, mereka meneliti dengan cermat
berbagai produk untuk keselamatan lingkungan (Ottman, 1992:3)
‘Wisatawan ramah lingkungan’ akan lebih suka membeli berbagai produk perjalanan yang
menurut persepsinya tidak merusak lingkungan. Isu lainnya adalah apakah mereka benar
mempraktekan (a) pada rute ke suatu destinasi atas kebaikan dari penerbangan internasional
muatan jarak jauh dengan emisi gas rumah kaca, menghabiskan sumberdaya enersi terbatas,
polusi suara di bandara yang tidak mempunyai praktek pengurangan kebisingan seperti jam
tengah malam/ dinihari dalam memperebutkan area tempat tinggal dsb.nya, dan (b) dalam
destinasi ketika digunakan transportasi yang digerakkan oleh minyak fossil, makan malam
dengan makanan dan minuman impor, menggunakan ac yang dinyalankan hampir di sepanjang
hari, tidak mematikan listrik, tv, ac dan sebagainya selama waktu mereka tidak menggunakan
ruangan, dan seterusnya
Konsep yang lebih kontemporer dari ‘pariwisata ramah lingkungan’ adalah menyertakan
kapasitas industri untuk berkontribusi pada masa depan yang ekonomis yang memperlambat
perubahan iklim, rendah karbon, sumberdaya yang efisien, ramah lingkungan dan ramah sosial.
Untuk tujuan dari Rencana Strategis ini, definsi ILO tentang’ pariwisata ramah
lingkungan’ diturunkan dari laporan UNEP ‘Menuju ekonomi ramah lingkungan’ (2011) yang
mencakup satu Bab dalam kolaborasi dengan UNWTO berjudul ‘Investing in energy and resource
efficiency’. Disebutkan: Pariwisata ramah lingkungan mempunyai potensi menciptakan
bermacam pekerjaan baru dan mengurangi kemiskinan.
Perjalanan dan pariwisata adalah kegiatan yang padat sumberdaya insani, mempekerjakan
secara langsung dan tak langsung 8% dari tenaga kerja global. Membuat pariwisata ramah
lingkungan, yang menyertakan perbaikan efisiensi dalam enersi, air, dan sistem persampahan,
diharapkan akan memperkuat potensi lapangan kerja sektor ini dengan meningkatnya persewaan
130
dan pemanfaatan sumber lokal serta peluang yang signifikan dalam pariwisata berorientasi pada
budaya lokal dan lingkungan alam.
131
Lampiran 6: Alternatif Indikator Pariwisata
Berkelanjutan dari UNWTO
Indikator Ekonomi :
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Pendapatan dari pariwisata, pendapatan dari pengeluaran wisman sangat penting sebagai
pemasukan devisa, dan untuk menyeimbangkan neraca pembayaran, dibandingkan dengan
pengeluaran oleh orang Indonesia di luar negeri (outbound). Pengeluaran wisnus juga
penting, secara keseluruhan lebih banyak daripada pengeluaran semua wisman, juga dilihat
dari sudut distribusinya yang lebih ekstensif. Pajak dan retribusi merupakan indikator yang
lebih baik daripada hanya pengeluaran total dari wisatawan.
Sumbangan terhadap penanggulangan kemiskinan, meningkatkan pendapatan penduduk
lokal – penanggulangan kemiskinan telah menjadi tujuan dan juga komitmen Pemerintah,
sebagaimana diperlihatkan dalam berbagai dokumen hukum. Akan tetapi, masih harus
dilaksanakan. Juga kenyataan bahwa banyak daya tarik pariwisata berlokasi di atau dekat
dengan daerah miskin, merupakan hal yang perlu dicatat. Indikator hendaknya dinilai
terhadap (1) pertumbuhan pro penduduk miskin (pro poor), (2) peluang penghidupan non
pertanian, (3) pengembangan usaha atau SMEs dalam mata rantai produk pariwisata, (4)
pengelolaan lingkungan berkelanjutan, (5) hubungan dengan CSR (Corporate Social
Responsibilities), (6) lapangan kerja dan pemberdayaan, (7) pertumbuhan dan diverfikasi,
(8) akses ke pasar, dan (9) sumber mata pencaharian; Juga dampak langsung terhadap
masyarakat miskin (penghasilan dan perbaikan pendapatan; pengembangan ekonomi
lokal/pedesaan dan mata pencaharian penduduk; serta dampak baik terhadap lingkungan
alami tempat masyarakat tinggal).
Nilai uang (value for money) untuk produk pariwisata; salah satu indikator yang telah
memperbaiki Index Daya Saing Perjalanan dan Pariwisata Indonesia: WEF menyebutkan
peringkat nilai uang Indonesia sebagai sangat berdaya saing
Kebocoran ekonomi, komitmen Pemerintah Indonesia dalam liberalisasi ekonomi, telah
menciptakan ruang kebocoran yang besar. Bahkan industri pariwisata kecil pun tidak
terbebas dari kebocoran, mengurangi manfaat ekonomi bagi negara.
Prosentase pendapatan dari pariwisata yang dianggarkan untuk konservasi –
konservasi sumberdaya alami dan budaya diperlukan untuk keberlanjutan pariwisata dan
sumber pendanaan dapat secara langsung disumbangkan oleh pariwisata.
Investasi bisnis, investasi komunitas dan pengeluaran Pemerintah – pariwisata tidak
akan pernah terjadi tanpa investasi oleh sektor swasta dan sektor publik; komunitas juga
perlu melakukan investasi agar pariwisata lebih dapat berkelanjutan; investasi hendaknya
membuka peluang untuk menunjang penciptaan lapang kerja dan kewira-usahaan angkatan
muda dalam rantai sektor suplai , dan juga menciptakan pekerjaan yang ramah lingkungan.
Struktur Industri, pariwisata berkelanjutan akan tergantung kepada kombinasi yang
seimbang di antara berbagai jenis bisnis dan distribusinya.
132
Indikator Sosio budaya berkelanjutan
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
ix.
x.
xi.
Kesejahteraan Komunitas tuan rumah, pemerintah berkomitmen sebagai diindikasikan
di dalam undang undang, peraturan pemerintah, instruksi presiden dan dokumen lainnya
dan juga peraturan pemerintah daerah.
Aset budaya yang berlanjut, tak akan ada pariwisata tanpa budaya, bahkan pariwisata
alam pun, implisit mencakup budaya. Asset budaya sering menjadi target kapitalistik
untuk dimiliki atau dikelola secara modern. Asset budaya selalu perlu melekat pada
komunitas, termasuk nilai, dan budaya dalam bentuk makanan, pakaian dan lainnya –
lebih dari sekedar budaya panggung.
Partisipasi komunitas, agar diperoleh tingkat tertentu kesejahteraan, komunitas perlu
dilibatkan, tidak hanya terbatas sebagai pekerja, tetapi juga dalam memutuskan arah,
perencanaan, dan sebagai penyedia jasa juga sebagai tuan rumah yang dihormati di
daerahnya sendiri;
Kepuasan atau tidak-kepuasan lokal, sebagaimana diindiaksikan dari sikap dan reaksi.
Pariwisata yang memberikan manfaat pada komunitas akan diterima secara positif,
ketidak-puasan akan membawa pada konflik atau sikap negatif terhadap bisnis,
pemerintah, sesama penduduk, dan juga wisatawan
Pengaruh pariwisata terhadap komunitas, sikap, manfaat sosial, perubahan gaya
hidup, perumahan dan kependudukan.
Akses oleh penduduk setempat pada aset aset kunci, akses ke tapak tapak yang
penting, halangan ekonomi, kepuasan terhadap tingkat akses
Kesetaraan jender, tingkat partisipasi perempuan di pasar kerja formal dan informal
berada di bawah partisipasi laki-laki, meskipun akomodasi, restoran, dan jasa perorangan
merupakan subsektor yang lebih mudah dimasuki oleh angkatan pekerja perempuan,
semua sektor hendaknya terbuka kepada perempuan dan laki-laki dan menawarkan upah
dan kondisi kerja yang setara; akan tetapi, perhatian khusus perlu diberikan kepada jenis
pekerjaan jender dalam pariwisata seperti akomodasi, restoran, dan jasa perorangan
Pariwisata sex, terkait dengan sex anak-anak dan prostitusi; pemantauan, pengawasan,
pembangunan, membantu/ memberi pertolongan kepada korban/ orang yang terlbat;
(wakil) indikator harus pula dikembangkan dengan mempertimbangkan pencegahan dan
mekanisme rujukan / referal
Pekerja anak, perlu ditanggapi dan dipantau di destinasi pariwisata, karena kenyataannya
mereka adalah pekerja yang tidak dibayar, khususnya di sektor informal; disamping itu
juga perdagangan anak perlu dipantau.
Konservasi/pusaka terbangun, tapak tapak budaya, monumen, penandaan (tetenger),
sistem reservasi, kerusakan, pemeliharaan
Konservasi nilai nilai budaya, kehidupan tradisional, makanan/ memasak, aturan
berpakaian, peristiwa budaya, kerajinan, dll.
133
Indikator Lingkungan :
i.
Perlindungan pada sumberdaya alami berharga.
a.
b.
c.
ii.
Perlindungan terhadap ekosistem yang kritis: tapak yang rentan, spesies yang
terancam
Kualitas air laut: kontaminasi, persepsi tentang kualitas air
Promosi dan pemeliharaan industri pariwisata ramah lingkungan
Pengelolaan sumberdaya alami langka.
a.
b.
c.
iii.
Pengelolaan Enersi: penghematan, efisiensi, enersi terperbaharui.
Perubahan Iklim dan Pariwisata: mitigasi, adaptasi, kejadian iklim ekstrim, resiko,
dampak terhadap destinasi, emisi rumah kaca, transpor dan penggunaan enersi.
Ketersediaan air dan konservasi: pasokan air, tarif air, daur ulang, kelangkaan.
Pembatasan dampak aktivitas pariwisata.
a.
b.
c.
d.
Pengolahan limbah cair: air kotor, perluasan sistem, efektivitas, pengurangan
kontaminasi
Pengelolaan sampah padat: sampah, pengurangan, daur ulang, penggunaan kembali,
deposit, pengumpulan, bahan berbahaya.
Pencemaran udara: kualitas, kesehatan, pencemaran dari pariwisata, persepsi
wisatawan
Pengendalian tingkat kebisingan; pengukuran, persepsi.
iv.
Pengelolaan dampak visual dari fasilitas pariwisata dan infrastruktur: rona
lingkungan, konstruksi, rancangan, bentang alam.
v.
Promosi pariwisata berkelanjutan untuk memastikan kepuasan konsumen,
agenda pekerjaaan yang layak, keuntungan bisnis pariwisata, melalui 3 pilar:
a. Keadilan sosial /sosio-budaya (monumen, pusaka budaya, kelompok etnis, budaya
hidup (living culture) , kelompok penduduk asli (indigenous).
b. Pembangunan ekonomi (pembangunan ekonomi nasional dan lokal, penciptaan
lapangan kerja, dan kondisi kerja yang lebih baik)
c. Integritas lingkungan (ekologi yang baik, lingkungan yang baik dan sumberdaya alam
yang baik)
vi.
Kesehatan dan Keselamatan
a.
b.
c.
Kesehatan: kesehatan masyarakat, kesehatan komunitas, keamanan makanan,
kesehatan dan keselamatan pekerja yang mempertimbangkan kebutuhan khusus
pekerja perempuan dan laki-laki sesuai dengan latar belakang pekerjaannya
Mekanisme penanggulangan epidemi dan penyakit transmisi internasional seperti TB,
flu burung, HIV/AIDS pada semua tingkat dengan keterlibatan semua pemangku
kepentingan; fasilitasi, perencanaan keadaan darurat, dampak pada pariwisata
Keamanan wisatawan, keamanan resiko, perselisihan/ kerusuhan sipil, terorisme,
bencana alam, pengelolaan perencanaan tanggap darurat, fasilitasi
134
vii.
Pengendalian tingkat aktivitas wisatawan
a. Pengendalian intensitas penggunaan: tekanan di tapak dan sistem, jumlah wisatawan,
kesesakan (crowding)
b. Pengelolaan kegiatan (event): olahraga, pameran, pengendalian kesesakan/ kerumunan
Indikator Pengendalian Destinasi dan Perencanaan
i.
Pengintegrasian pariwisata ke dalam perencanaan lokal/regional: informasi untuk
perencana, evaluasi rencana, hasil implementasi
Pengawasan pembangunan: prosedur pengawasan, pemanfaatan lahan, pengelolaan
properti, pelaksanaan.
Transpor terkait pariwisata: pola mobilitas, keamanan, sistem transportasi,
efisiensi, transportasi di dalam destinasi, transpor dari/ke destinasi, transportasi udara:
respons terhadap perubahan pola dan akses
Perancangan Produk dan Jasa
ii.
iii.
iv.
a.
b.
c.
d.
v.
Penciptaan rute dan sirkuit perjalanan
Penyiapkn jasa yang beraneka-ragam
Pemasaran untuk pariwisata berkelanjutan: pemasaran ramah lingkungan, produk dan
pengalaman yang menekankan pada keberlanjutan, penetrasi pasar, respons
wisatawan, efektivitas pemasaran
Citra destinasi
Keberlanjutan operasi dan jasa pariwisata
(1) Menciptakan rute dan sirkuit trip
(2) Menyiapkan jasa yang beraneka-ragam
(3) Pemasaran untuk pariwisata berkelanjutan: pemasaran ramah lingkungan, produk dan
pengalaman yang menekankan pada keberlanjutan, penetrasi pasar, respons
wisatawan, efektivitas pemasaran
(4) Perlindungan citra destinasi: merk (branding), visi, pemasaran strategik
135
Lampiran 7: Undang-undang dan Peraturan terkait
dengan Usaha dan Pengembangan Pariwisata
Undang-undang No 25-2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
bertujuan membantu koordinasi, integrasi, dan sinergi, keterkaitan dan konsistensi, partisipasi
komintas dan efisiensi penggunaan sumberdaya.
Undang-undang No 32-2004 dan N0 12-2008 tentang Pemerintah Daerah yang
berhubungan dengan pembagian kepemerintahan/ governance antara pemerintah pusat dan
provinsi dan kabupaten/kota.
Undang-undang No. 32 – 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan,
dengan lingkup perlindungan, pengelolaan, perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Undang-undang No 13-2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyangkut isu-isu
ketenagakerjaan, termasuk tanggung jawab tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga komunitas
mempunyai kuasa dalam pengembangan kesempatan bekerja, tidak terbatas sebagai pekerja tetapi
juga penciptaan kesempatan yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya.
Undang-undang No 11-2010 tentang Warisan Budaya, yang bertujuan untuk
mengkonservasi warisan budaya bagi kesejahteraan rakyat, identitas nasional dan martabat serta
juga memromosikannya kepada komunitas internasional.
Undang-undang No 27-2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
yang mencakup isu-isu perencanaan dan juga pemanfaatan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil
serta berbagai persyaratannya dalam pengelolaan lingkungan
Undang-undang No 23-2002 tentang Perlindungan Anak, dengan tujuan untuk menjamin
pemenuhan hak anak supaya mereka dapat bertahan hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal berdasarkan martabat manusia dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Pelaksanaan Penerapan Undang-undang Perlindungan Anak berdasarkan pada Pancasila dan
UUD-45 dan prinsip-prinsip dasar Konvensi tentang Hak Anak seperti non diskriminasi,
minat/kepentingan terbaik anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan pengembangan, dan
menghormati pandangan anak.
Undang-undang No 7-1984 tmengenai Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan
Undang-undang No 20-1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 138 Mengenai Usia
Minimum untuk Izin Kerja.
Undang-undang No 1-2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 182 mengenai Larangan
dan Tindakan Segera terhadap Penghapusan Bentuk Terburuk Buruh Anak
136
Kerangka Perundangan di Indonesia (No 10-2004, Pasal 7 Ayat 1) sudah diganti oleh
Undang-undang no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
pasal 7 nomor (1):
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundangan-undangan terdiri atas:
a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat);
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah ;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tingkat Peraturan Daerah dapat mencakup sampai ke hierarki peraturan Provinsi;
Peraturan Gubernur; Peraturan Daerah (kabupaten/kota); Peraturan Kepala Daerah (Bupati/
Walikota) dan Peraturan Desa
Oleh karena itu, mungkin akan ada berbagai tingkat pengaruh dan pengendalian dari
berbagai kebijakan publik yang relevans dengan pembangunan pariwisata dari pemerintah yang
paling senior dan pejabat resmi, sampai ke tingkat desa/ lokal
137
Kelompok
Dimensi
Keseluruhan
(Umum)
Peraturan Perundang- Undangan terkait Pariwisata
Jenis Regulasi
Mengenai
UU Nomor 11 Tahun 2010
Cagar Budaya
UU Nomor 10 Tahun 2009
Kepariwisataan
UU No 13 Tahun 2003
Ketenagakerjaan
UU Nomor 23 Tahun 2002
Perlindungan Anak
UU Nomor 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia
PP Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025
Perpres Nomor 79 Tahun Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing ke
2011
Indonesia
Perpres Nomor 16 Tahun Bebas Visa Kunjungan Singkat
2008
(Perubahan Kedua Atas
Keputusan Presiden Nomor
18 Tahun 2003)
Kepres Nomor 59 Tahun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk2002
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
Kepres Nomor 87 Tahun Rencana
Aksi
Nasional
Penghapusan
2002
Ekslploitasi Seksual Komersial Anak
Inpres Nomor 16 Tahun 2005
Kebijakan Pembangunan Kebudayaan Dan
Pariwisata
UU Nomor 25 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2008
PP Nomor 1 Tahun 2007
Penanaman Modal
Penanaman Modal Pemerintah
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu
PP Nomor 83 Tahun 2001 Pemilikan Saham dalam Perusahan yang
(Perubahan atas Peraturan Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal
Pemerintah Nomor 20 Tahun Asing
1994)
Perpres Nomor 6 Tahun 2012 Rencana Umum Penanaman Modal
Perpres Nomor 36 Tahun Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan
2010
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Investasi
Perpres Nomor 27 Tahun Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang
2009
Penanaman Modal
Perpres Nomor 76 Tahun Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang
2007
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka
dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal
Perpres Nomor 77 Tahun Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan
2007
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
Perpres Nomor 90 Tahun Badan Koordinasi Penanaman Modal
2007
138
Kelompok
Investasi
Lingkungan
dan
Sumberdaya
Jenis Regulasi
Mengenai
Perpres Nomor 16 Tahun Pengesahan Protokol Perubahan Persetujuan
2006
Dasar Skema Kerjasama Industri ASEAN
Kepres Nomor 29 Tahun Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam
2004
Rangka Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal dalam Negeri Melalui
Sistem Pelayanan Satu Atap
Kepres Nomor 48 Tahun Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai
2004
Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara
Negara-Negara Anggota Asosiasi BangsaBangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat
China
Inpres Nomor 3 Tahun 2006
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi
UU Nomor 32 Tahun 2009
UU Nomor 45 Tahun 2009
(Perubahan
atas UndangUndang Nomor 31 Tahun
2004 )
UU Nomor 7 Tahun 2004
PP Nomor 3 Tahun 2008
(Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007)
PP Nomor 42 Tahun 2008
PP Nomor 60 Tahun 2007
PP Nomor 44 Tahun 2004
PP Nomor 45 Tahun 2004
PP Nomor 34 Tahun 2002
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perikanan
Sumber Daya Air
Tata Hutan dan Penyusunan
Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Air
Konservasi Sumber Daya Ikan
Perencanaan Kehutanan
Perlindungan Hutan
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan
PP Nomor 4 Tahun 2001
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan
PP Nomor 19 Tahun 1999
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan
Laut
PP Nomor 68 Tahun 1998
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
PP Nomor 6 Tahun 1996
Perairan Indonesia
PP Nomor 18 Tahun 1994
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan Taman Nasional,Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
Perpres Nomor 61Tahun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
2011
Rumah Kaca (RAN-GRK)
Perpres Nomor 12 Tahun Dewan Sumber Air
2008
Perpres Nomor 78 Tahun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
2005
Kepres Nomor 33 Tahun Pengendalian Dan Pengawasan Pengusahaan
2002
Pasir Laut
139
Kelompok
Lingkungan
dan
Sumberdaya
Jenis Regulasi
Inpres Nomor 2 Tahun 2008
Inpres Nomor 4 Tahun 2005
Inpres Nomor 2 Tahun 2002
UU Nomor 26 Tahun 2007
UU Nomor 27 Tahun 2007
UU Nomor 25 Tahun 2004
PP Nomor 50 Tahun 2011
Perencanaan
PP Nomor 26 Tahun 2008
PP Nomor 40 Tahun 2006
PP Nomor 39 Tahun 2006
Kepres Nomor 4 Tahun 2009
Inpres Nomor 1 Tahun 2010
Inpes Nomor 7 Tahun 2002
UU Nomor 1 Tahun 2009
UU Nomor 22 Tahun 2009
UU Nomor 17 Tahun 2008
UU Nomor 23 Tahun 2007
PP Nomor 37 Tahun 2002
Transportasi
PP Nomor 69 Tahun 2001
PP Nomor 70 Tahun 2001
PP Nomor 82 Tahun 1999
Mengenai
Penghematan Energi Dan Air
Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal
di Kawasan Hutan dan Peredarannya
di
Seluruh Wilayah Republik Indonesia
Penambangan Pasir Laut
Penataan Ruang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010 - 2025
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan
Nasional
Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
Perencanaan
Pelaksanaan
Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010
Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional
Percepatan Pembangunan Kawasan Timur
Indonesia
Penerbangan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pelayaran
Perkeretaapian
Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan
yang Ditetapkan
Kepelabuhanan
Kebandarudaraan
Angkutan di Perairan
UU Nomor 14 Tahun 2001
UU Nomor 15 Tahun 2001
UU Nomor 8 Tahun 1999
PP Nomor 28 Tahun 2004
dan PP Nomor 58 Tahun 2001
Paten
Merek
Perlindungan Konsumen
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Industri
Pembinaan dan Pengawasan
Konsumen
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
PP Nomor 59 Tahun 2001
Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat
Perpres Nomor 28 Tahun Kebijakan Industri Nasional
2008
Kepres Nomor 24 Tahun Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus
2005
Barang Ekspor dan Impor
Industri
dan Kepres Nomor 127 Tahun Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk
Konsumen
2001
Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang
140
Kelompok
Jenis Regulasi
Inpres Nomor 6 Tahun 2007
Inpres Nomor 5 Tahun 2005
UU Nomor 32 Tahun 2004
PP Nomor 38 Tahun 2007
Pemerintahan
PP Nomor 50 Tahun 2007
PP Nomor 25 Tahun 2000
Mengenai
Terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar
dengan Syarat Kemitraan
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor
Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional
Pemerintahan Daerah
Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota
Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom
141
Lampiran 8: Kode Etik Global Pariwisata
Kontribusi pariwisata terhadap saling pengertian dan saling menghormati
antara penduduk berbagai bangsa dan masyarakat
Pariwisata sebagai kendaraan bagi kepuasan individu dan bersama
Pariwisata, faktor pembangunan berkelanjutan
Pariwisata, pengguna pusaka budaya
terhadap penguatannya
umat manusia dan berkontribusi
Pariwisata, aktivitas yang bermanfaat bagi negara yang menjadi tuan rumah
dan komunitas
Kewajiban pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan
Hak atas pariwisata
Kebebasan/keleluasaan pergerakan wisatawan
Hak pekerja dan pengusaha dalam industri kepariwisataan
Penerapan prinsip-prinsip Kode Etik Global Pariwisata
Sumber: UNWTO. Resolusi yang Disetujui oleh General Assembly. 2001
142
Lampiran 9 : Jejaring Lingkungan (Eco-Network) di
Indonesia
Peta Hijau atau Green Map Indonesia adalah pusat organisasi nasional yang berada di
Yogyakarta, Indonesia. Kami mengkonsolidir gerakan Peta Hijau, memperkenalkan Peta
Hijau ke lebih banyak daerah, dan mengembangkan jejaringkerja dengan pendiri Peta
Hijau lainnya, secara regional dan global http://greenmap.or.id/
Generasihijau Indonesia (Greeneration Indonesia (GI) adalah perusahaan sosial yang
menjalankan aktivitas bisnisnya tanpa melupakan komitmennya terhadap dampak sosial,
mislanya meningkatkan kesadaran rakyat Indonesia terhadap isu lingkungan yang terjadi
di dunia, dan mengajak mereka agar menjadikan sikap dan gaya hidup yang bersahabat
dengan lingkungan sebagai fiosofi hidup. http://greeneration.org/
Yayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL) adalah organisasi nir laba terletak di
Jakarta,
berpengalaman
dan
spesialisasi
dalam
memromosikan
dan
mengimplementasikan berbagai program dalam enersi terperbaharui, Mekanisme
Pembangunan Bersih dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah bersahabat
lingkungan yang berbasis komunitas melalui pendidikan, pembangunan kapasitas, studi
kelayakan dan advokasi kebijakan dan juga akses pada keuangan mikro dan mengaitkan
usaha kecil dan menengah ke akses teknologi, pasar dan finansial. http://ybul.or.id/
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah organisasi lingkungan nir laba
terbesar di Indonesia. Visi kami adalah merealisasikan tatanan sosialm ekonomi dan
politik yang adil dan demokratis dan dapat menjamin hak hak rakayt pada berbagai
sumber penghidupannya dan lingkungan yang sehat,
http://www.walhi.or.id/
Pengawas Hutan Indonesia (Forest Watch Indonesia (FWI) adalah jejaring pemantau
hutan yang independen yang menggabungkan individu dan organisasia yang
berkomitmen membantu sistem pengelolaan data dan informasi kehutanan yang
transparan yang dapat menjamin pengelolaan hutan yang tepat dan berkelanjutan.
http://fwi.or.id
LEI-Lembaga Ekolabel Indonesia adalah organisasi berbasis konstituen nir laba yang
mengembangkan sistem sertifikasi kehutanan yang memromosikan misi kami:
pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan tepat di Indonesia. http://www.lei.or.id
Yayasan Pengembangan Biosains & Bioteknologi (YPBB) adalah organisasi nonpemerintah tidak untuk laba yang mengabdikan diri untuk mendidik masyarakat melalui
contoh dan proses formal, mendidik mereka dan mentransfer keahlian yang diperlukan
untuk memberdayakan mereka agar hidup dengan harmonis dan meningkatkan keanekaragaman hayai. http://ypbbblog.blogspot.com/
TUNAS HIJAU (TH) adalah organisasi lingkungan nir laba, oleh anak-anak dan anak
muda yang melakukan aksi untuk bumi yang lebih baik, berada di Surabaya, yang
konsisten dalam upayanya untuk membantu agar lingkungan menjadi lebih baik secara
berkesinambungan, nyata dan sederhana. http://tunashijau.org/
143
Indonesia Hijau adalah organisasi yang bertujuan mengembalikan fungsi hutan dan
konservasi bumi sebagai satu planet untuk kehidupan. http://indonesiahijau.or.id/
www.indonesiaorganic.com (CV Dunia dan Gaya) adalah situs yang fokus pada
organik yang menyampaikan manfaat pokok yang sama, dan juga menghubungan orang
orang yang ingin hidup sehat dari ekosistem yang seimbang baik dan mengkonservasi
sumberdaya bumi untuk generasi yang akan datang, khususnya mereka di Indonesia
yang bersandar pada rahmat alam dalam penghidupannya hari ke hari.
http://www.indonesiaorganic.com/
Yayasan IDEP (Indonesian Development of Education and Permeaculture:
Pendidikan dan Pengembangan dan Permeakultur) adalah LSM lokal Indonesia yang
mengembangkan dan menyelenggarakan program pelatihan, komunitas dan media
terkait dengan pembangunan berkelanjutan melalui Permakultur, dan Pengelolaan
Bencana berbasis Komunitas. http://www.idepfoundation.org/
KEHATI adalah lembaga pemberi bantuan independen, yang bekerja dengan semua
mitra untuk mengkonservasi keanek-ragaman hayati dan secara tidak mengenal lelah
mendukung berbagai upaya konservasi keaneka-ragaman biologi dan pemanfaatn
berkelanjutan untuk kenakeragaman hayati, termasuk partisipasi komunitas, kelompok
kepentingan dan berbagai usaha yang mempertaruhkan konservasi keanekaragaman
hayati. http://www.kehati.or.id
Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI) adalah jejaring organisasi yang didirikan
pada Januari 1992, dengan keanggotaan terdiri dari 12 LSM dari 4 provinsi di Sumatra
(Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Bengkulu dan Jambi), yang fokusnya adalah
konservasi
keanekaragaman
hayati
dan
pembangunan
komunitas.
http://www.warsi.or.id/
Telapak adalah asosiasi aktivis LSM, parktisi usaha, akademisi, afiliasi media dan
pimpinan masyarakat adat/ asli, yang bekerja dengan masyarakat ada/ asli, nelayan, dan
petani Indonesia menuju ke keberlanjutan, kedaulatan dan integritas.
http://www.telapak.org
Ekolabel Indonesia. Ecolabel ini digunakan untuk barang barang eceran/ retil di
Indonesia. Kriteria didasarkan pada studi teknik ilmiah dari seluruh siklus hidup aspek
lingkungan dari produk. http://www.ecolabelindex.com/ecolabel/ekolabel-indonesia
Pelangi Indonesia adalah lembaga riset independen dengan reputasi nasional dan
internasional yang menjadi rujukan dan pelopor melalui berbagai studi dan advokasinya
tentang berbagai isu strategis. http://www.pelangi.or.id
Indecon adalah organisasi nir laba yang mefokuskan aktivitasnya dalam pengembangan
dan promosi ekoturisme di Indonesia. Didirikan pada tahun 1995, Indecon telah
memfasilitasi bermacam pemangku kepentingan ekoturisme dalam pembangunan
ekoturisme di indonesia. http://www.indecon.or.id
Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi dari 3 organisasi lingkungan di Riau, Sumatera,
Indonesia: Program Tesso Nilo WWF Indonesia, Jikalahari ("Jejaring Penyelamat Hutan
Riau") dan Walhi Riau (Sahabat Bumi Indonesia). http://www.eyesontheforest.or.id
144
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) adalah organisasi
jejaring yang diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah, organisasi komunitas
adat, penelitidan individu yang peduli pada isu kekayaan sumberdaya alami, khususnya
hutan di Indonesai. http://kpshk.org/
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) adalah organisasi nir laba yang
menciptakan komunitas yang sejahtera dan mandiri melalui pendekatan kolaboratif yang
adil dan berkelanjutan sumberdaya alam dan sumberdaya alam. http://www.latin.or.id
Peduli Konservasi Alam Indonesia (PEKA Indonesia) Foundation adalah lembaga
yang memunyai 4 program utama dalam Riset, Konservasi, Pendidikan dan
Pembangunan Komunitas, kami memromosikan Kesehatan Ekosistem di indonesai.
http://www.peka-indonesia.org
Sources of Indonesia (SoI) or (Sumber daya-sumber daya Indonesia) adalah
organisasi lokal nir laba yang melibatkan masyarakat setempat dalam setiap
implementasi dari programnya. http://www.soindonesia.org
Greenomics Indonesia adalah lembaga pengembangan kebijakan yang mengabdikan
diri untuk memperkenalkan pendekatan kebijakan, finansial dan ekonomi berbasis
empirik dan lapangan inovatif, dengan tujuan untuk mendukung gerakan menuju
governance bersumberdaya alam yang baik. http://www.greenomics.org
PT. Greenliving Indonesia adalah perusahaan yang melibatkan diri dalam manufaktur
berbagai produk yang ramah lingkungan yang bisnis intinya adalah mengembangkan
produk hutan rakyat yang dikelola secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
http://greenlivingindonesia.com
Sumatran Orangutan Society (SOS) mengabdikan diri pada konservasi orangutan
Sumatra dan rumah hutannya melalui peningkatan kesadaran atas ancaman yang
dihadapi orangutan liar, dan melalui aktivitas pencaharian dana untuk mendukung
proyek konservasi akar rumput di Sumatra. http://www.orangutans-sos.org/
Global Green (Indonesian Ecosystem Restoration: Restorasi Ekosistem Indonesia))
Global Green adalah perusahaan swasta nasional yang fokus pada restorasi ekosistem.
Tujuan kami adalah untuk memaksimumkan fungsi hutan sebagai kesatuan ekosistem
dengan melakukan perlindungan hutan, memperkaya penanaman, memperkenalkan
kembali flora dan fauna asli, revegetasi dan repopulasi dan pengelolaan habitat.
http://www.globalgreen.co.id/
Global Green Indonesia Global Green Indonesia adalah perusahaan independen,
inovatif, berdaya saing tinggi, perhatian pada lingkungan dan secara menerus melakukan
berbagai usaha untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global yang didukung oleh
sumberdaya profesioanl.
http://www.globalgreenindonesia.co.cc/
Green Radio adalah satu satunya statsion radio di indonesia yang menyiarkan program
berfokus pada berbagai isu lingkungan.
http://www.greenradio.fm/
Asosiasi Organik Bali didirikan dengan dasar mengembalikan Bali ke Pulau Organik
yang mengembangkan berbagai upaya yang memungkinkan mereka mampu membantu
berbagai teknologi pertanian organisk untuk nilai tambah dan memperbaiki kualitas
hidup
petani
sambil
merawat
lingkungan
alami
Bali
http://baliorganicassociation.wordpress.com
145
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali adalah Organisasi non Pemerintah
yang didirika pada tahun 1997 yang menkonsentrasikan diri pada mengatasi
permasalahan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kelompok menjalankan
berbagai program pendidikan dan penyadaran lingkungan yang bertujuan untuk
melestarikan lingkungan alami kita.
http://www.pplhbali.or.id/
Forum Hijau Bandung (FHB) adalah organisasi publik yang memfasilitasi para
pemangku kepentingan untuk plestarian lingkungan di kota Bandung.
http://forumhijaubandung.wordpress.com/
146
Lampiran 10 : Siklus-Hidup Tipikal Destinasi Pariwisata
Rejuvenation
Reduced growth
NUMBER OF TOURIST
CRITICAL
RANGE
OF Stagnation
ELEMENTS
OF CAPACITY
Stabilization
Decline
Development
Immediate Decline
Involvement
Exploration
TIME
Tm
Tc
Sumber: Butler (1980)
147
Lampiran 11 : Green Jobs Strategic Model
Source: ILO (2012)
Source: ILO (2012)
148
BIBLIOGRAFI
i
ILO (2011a): Green Jobs in Asia Brochure.
ii
ILO (Mar. 2012): Green Jobs in Asia Project-Project Status Brief.
iii
Eijgelaar (2010)
iv
CBS (2010): Traveling Population Survey 2010.
v
CBS (2011): Traveling Population Survey 2010.
vi
Eijgelaar (2010)
vii
World Ban (2011): Doing Business 2011: Making a Difference for Entrepreneurs
viii
UNWTO (2009): The Policy on Development of Tourism Human Resources in Indonesia.
http://statistics.unwto.org/sites/all/files/pdf/laksaguna.pdf
ix
Hildiktipari (2012): http://www.hildiktipari.org/.
x
THE-ICE (2012): http://www.the-ice.org/
xi
UNWTO (2012):Certification System TedQual.
http://dtxtq4w60xqpw.cloudfront.net/sites/all/files/docpdf/tqcertificacion-en_0.pdf
xii
The further development of the human resources to meet anticipated tourism growth in Indonesia and for the
workforce to experience competitive work conditions and remuneration include the core components of the ILO
definition of ‘decent work’, namely:
… opportunities for women and men to obtain decent and productive work in conditions of freedom,
equity, security and human dignity
… aspirations of people in their working lives – for opportunity and income; rights, voice and
recognition; for family stability and personal development; for fairness and gender equality
… dimensions of decent work that underpin peace in communities and society
… poverty reduction - for achieving equitable, inclusive and sustainable development.
xiii
ILO (2011): Toolkit on Poverty Reduction Through Tourism. Geneva
xiv
The instruction is addressed to the coordinating Minister for Politics, Legal and Security, Minister for National
Education, Minister of Home Affairs, Minister for Communication and Information, Ministry of Finance,
Minister of Legal and Human Rights, Minister for Foreign Affairs, Minister of Marine and Fishery, Minister of
Industry, Minister of Trade, Minister of Public Works, Minister of Health, Minister of Energy and Mineral
Resources, Minister of Forestry, Minister of Transportation, Minister for State Enterprises, Head of National
Land Authority, Head of Investment Coordinating Board, Head of the Police Department, all Governors,
Bupati-s and Mayors, and specifically Minister for Culture and Tourism to prepare complete information,
improve cooperation with provincial and local governments, as well as international partners to support
149
promotional activities, support development of prime destination and improve awareness of the conservation of
cultural and tourism attractions.
xv
UNWTO (2012): Definition of Sustainable Tourism.
http://sdt.unwto.org/en/content/about-us-5 Accessed 5 March 2012)
xvi
UNWTO (n.a.) Definition of Sustainable Tourism.
Source: http://sdt.unwto.org/en/content/about-us-5
xvii
UNWTO (1999): Global Code of Ethics for Tourism.
xviii
Holden in Jafari (2000)
xix
UN-WOMEN (2011): Tourism a Vehicle for Gender Equality and Women’s Empowerment.
http://www.unwomen.org/2011/03/tourism-a-vehicle-for-gender-equality-and-womens-empowerment/
xx
Ecolabel Index (2012): All Ecolables in Indonesia.
http://www.ecolabelindex.com/ecolabels/?st=country,id
xxi
GSTC (2011): GSCT Criteria.
http://new.gstcouncil.org/resource-center/gstc-criteria
xxii
Global Sustainable Tourism Council 2012
xxiii
In 2011, the Ministry of Tourism and Creative Economy commissioned the report, "A Green Growth 2050
Road-Map for Bali Tourism". The report is at completed draft stage and will be shortly submiited to the Minister
for consideration and subsequent actions. While ‘Bali specific’, it may include recommendations relevant and
adaptable to other destinations within Indonesia.
xxiv
Law No 24, 2007 on Disaster Mitigation, par 1
xxv
Nawangsidi (2008)
xxvi
Law No 24-2007
xxvii
MoTCE (2011)
xxviii
ILO (Apr 2012): Mainstreaming Green jobs into National Policies.
xxix
Apindo (2011)
xxx
ILO (2011): Toolkit on Poverty Reduction Through Tourism. Geneva
xxxi
ILO (2011): Toolkit on Poverty Reduction Through Tourism. Geneva
150
Download