Uploaded by al malik

CHD ASIANOTIK salinan

advertisement
BAGIAN KARDIOLOGI DAN
REFARAT
KEDOKTERAN VASKULAR
MARET 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Asianotic Congenital Heart Disease
DISUSUN OLEH:
Andi M Zulfiqri Arafah
C014212225
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
Daftar ISI
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...............................................................................................................................4
BAB II TINAJUAN PUSTAKA .........................................................................................................5
2.1.
Embriologi Jantung ...............................................................................................................5
2.2.
Penyakit Jantung Bawaan ...................................................................................................10
2.3.
Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect; ASD) ...........................................................15
2.4.
Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect; VSD) ...............................................26
2.5.
Duktus Arteriosus Paten (Patent Ductus Arteriosus; PDA) ................................................37
BAB III ..............................................................................................................................................45
PENUTUP .........................................................................................................................................45
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:
Nama
: Andi M Zulfiqri Arafah
NIM
: C014212225
Judul Referat : Asianotic Congenital Heart Disease
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu penyakit jantung
dan pembuluh darah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar,
April 2023
Pembimbing
dr. Akhtar Fajar Muzakkar, Sp.JP(K), FIHA
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung
atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau
kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2
golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing
memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.(1)
Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 8–10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 %
diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak
terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada
bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam
masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak
yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat
mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat
diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta
tindakan bedah yang diperlukan.(1)
Menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia), penyakit
jantung bawaan menempati peringkat pertama diantara penyakit-penyakit lain yang
menyerang bayi. Angka kejadian PJB di indonesia cukup tinggi, namun penanganannya amat
kurang. Dalam The 2nd Internasional Pediatric Cardiology Meeting di Cairo, Egypt, 2008
dr.Sukman Tulus Putra lebih lanjut mengungkapkan 45.000 bayi Indonesia terlahir dengan
PJB tiap tahun. Dari 220 juta penduduk indonesia, diperhitungkan bayi yang lahir mencapai
6.600.000 dan 48.800 diantaranya adalah penyandang PJB.(5) PJB asianotik merupakan
kelompok penyakit terbayak, yakni sekitar 75% dari semua PJB. Sisanya merupakan
kelompok PJB sianotik (25%).(2)
BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
2.1.
Embriologi Jantung
Seluruh sistem kardiovaskular jantung, pembuluh darah, dan sel-sel darah
berasal dari lapisan germinativum mesoderm. Meskipun pada awalnya berpasangan,
pada hari ke-22 perkembangan kedua tabung jantung membentuk satu tabung
jantung yang sedikit bengkok (melalui proses pembentukan lengkung jantung) yang
terdiri dari tabung endokardium di sebelah dalam dikelilingi oleh selubung
miokardium. Selama minggu ke-4 sampai ke-7 jantung terbagi menjadi struktur
beruang empat yang khas.(3)
Gambar 1. Pembentukan Lengkung Jantung
Gambar 2. Potongan Frontal Jantung pada Mudigah 30 Hari
Pembentukan septum di jantung sebagian terjadi melalui pembentukan jaringan
bentalan endokardium di kanalis atrioventrikularis (bantalan atrioventrikel) dan di
regio konotrunkal (penebalan konotrunkal). Karena lokasi jaringan bantalan sangat
strategis, banyak malformasi jantung berkaitan dengan kelainan morfogenesis
bantalan tersebut.(3)
PEMBENTUKAN SEPTUM ATRIUM
Septum primum merupakan suatu krista berbentuk sabit yang turun dari atap
atrium, mulai membagi atrium menjadi dua tetapi meninggalkan sebuah lubang yaitu
ostium primum untuk menghubungkan kedia bagian atrium tersebut. Kemudian saat
septum primum mengalami obliterasi akibat penyatuan septum primum dengan
bantalan endokardium, terbentuk ostium sekundum akibat kematian sel yang
menciptakan lubang di septum primum. Akhirnya terbentuk septum sekundum,
tetapi suatu lubang antar atrium (foramen ovale) menetap. Hanya pada saat lahir,
ketika tekanan di atrium kiri meningkat, kedua septum saling menekan dan menutup
hubungan antar keduanya.(3)
Terdapat
empat
bantalan
endokardium
yang
mengelilingi
kanalis
atrioventrikularis. Penyatuan bantalan superior dan inferior yang saling berhadapan
membagi ostium mengadi kanalis atrioventrikularis kanan dan kiri. Jaringan
bantalan ini kemudian menjadi fibrosa dan membentuk katup mitral (bikuspid) di
kiri dan katup trikuspid di kanan. Menetapnya kanalis atrioventrikularis komunis
dan kelainan pembagian kanalis adalah cacat yang paling sering ditemukan.(3)
Gambar 3. Septum Atrium dalam Berbagai Tahap Perkembangan
PEMBENTUKAN SEPTUM VENTRIKEL
Septum interventrikulare terdiri dari pars muskularis yang tebal dan pars
membranesea yang tipit yang dibentuk oleh bantalan atrioventrikel endokardium
inferior, penebalan konus kanan, dan penebalan konus kiri. Pada banyak kasus,
ketiga komponen ini gagal menyatu, menyebabkan terbuakanya foramen
interventrikulare. Meskipun mengkin berdiri sendiri, kelainan ini biasanya disertai
dengan cacat kompensatorik lainnya.(3)
Bulbus dibagi menjadi trunkus (trunkus pulmonalis dan aorta), konus (saluran
aliran keluar aorta dan trunkus pulmonalis), dan bagian bertrabekula dari ventrikel
kanan. Regio trunkus dibagi oleh septum atriokopulmonale berbentuk spiral menjadi
dua arteri utama. Penebalan konus membagi saluran aliran keluar pembuluh
pulmonal dan aorta dan dengan jaringan dari bantalan endokardium inferior yang
menutup foramen interventrikulare. Banyak kelainan vaskular, misalnya transposisi
pembuluh darah besar dan atresia katup pulmonal, terjadi akibat kelainan pembagian
regio konotrunkal; kelainan tersebut mungkin melibatkan sel krista neuralis yang
ikut membentuk septum di regio konotrunkal.(3)
Gambar 4. Pembentukan Bubungan Konotrunkal
SIRKULASI SEBELUM DAN SETELAH LAHIR
Sebelum lahir, darah dari plasenta yang jenuh oksigen sekitar 80% kembali ke
janin melalui vena umbilikalis. Saat mendekati hati, sebagian besar dari darah ini
mengalir melalui duktus venosus langsung ke vena kava inferior, mlintasi hati.
Sejumlah kecil darah masuk ke sinusoid hati dan bercampur dengan darah dari
sirkulasi porta. Mekanisme sfingter di duktus venosus yang menutup pintu masuk
vena umbilikalis, mengatur aliran darah tali pusat melalui sinusoid hati. Sfingter ini
menutup saat kontraksi uterus menyebabkan aliran balik vena terlalu deras sehingga
dapat mencegah pembebanan berlebihan mendadak pada jantung.(3)
Darah plasenta, setelah berjalan singkat di vena kava inferior tempat darah ini
bercampur dengan darah terdeoksigenisasi yang kembali dari ekstremitas bawah,
masuk ke atrium kanan. Di sini darah diarahkan ke foramen ovale oleh katup vena
kava inferior, dan sebagian besar darah berjalan langsung ke dalam atrium kiri.
Sejumlah kecil darah tidak dapat mengikuti jalan tersebut karena terhambat oleh tepi
bawah septum sekundum, krista dividens, dan tetap berada di atrium kanan. Di sini,
darah tersebut bercampur dengan darah terdesaturasi yang kembali dari kepala dan
lengan melalui vena kava superior.(3)
Dari atrium kiri, tempatnya bercampur dengan sedikit darah terdesaturasi yang
kembali dari paru, darah masuk ke ventrikel kiri dan aorta asenden. Karena arteri
koronaria dan arteri karotis adalah cabang-cabang pertama dari aorta asenden, otot
jantung dan otak mendapat darah yang banyak mengandung oksigen. Darah
terdesaturasi dari vena kava superior mengalir melalui ventrikel kanan ke trunkus
pulmonalis. Sewaktu kehidupan janin, resistensi pembuluh darah paru tinggi
sehingga sebagian besar darah mengalir langsung melalui duktus arteriosus ke aorta
desenden, tempat darah ini bercampur dengan darah dari aorta proksimal. Setelah
berjalan melalui aorta desenden, darah mengalir ke plasenta melalui dua arteri
umbilikalis. Saturasi oksigen di arteri umbilikalis adalah sekitar 58%.(3)
Selama perjalanannya dari plasenta ke organ-organ janin, darah di vena
umbilikalis secara bertahap kehilangan kendungan oksigennya yang tinggi karena
bercampur dengan darah terdesaturasi. Secara teoritis, pencampuran dapat terjadi di
hati (bercampur dengan sejumlah kecil darah yang kembali dari sistem porta), vena
kava inferior (yang menyalurkan darah terdeoksigenisasi yang kembali dari
ekstremitas bawah, panggul, dan ginjal), atrium kanan (bercampur dengan darah
yang kembali dari kepala dan ekstremitas), atrium kiri (bercampur dengan darah
yang kembali dari paru, dan muara duktus arteriosus ke dalam aorta desenden.(3)
Perubahan sistem vaskular saat lahir disebabkan oleh terhentinya aliran darah
plasenta dan dimulainya pernapasan. Karena duktus arteriosus menutup akibat
kontraksi otot di dindingnya, jumlah darah yang mengalir melalui pembuluh darah
paru meningkat pesat. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan tekanan di atrium kiri.
Secara bersamaan, tekanan di atrium kanan menurun akibat terhentinya aliran darah
plasenta. Septum primum kemudian melekat ke septum sekundum, dengan demikian
foramen ovale menutup secara fungsional.(3)
Penutupan arteri umbilikalis akibat kontraksi otot polos di dindingnya mungkin
disebabkan oleh rangsangan suhu dan mekanis serta perubahan tegangan oksigen.
Secara fungsional, kedua arteri menutup beberapa menit setelah lahir, meskipun
obliterasi lumen sesungguhnya oleh proliferasi fibrosa yang mungkin memerlukan
waktu 2-3 bulan. Bagian distal arteri umbilikalis membentuk ligamentum umbilikale
medianum dan di bagian proksimal tetap terbuka sebagai arteri vesikalis superior.(3)
Penutupan vena umbilikalis dan duktus venosus terjadi segera setelah penutupan
arteri umbilikalis. Karena itu, darah dari plasenta masih dapat masuk ke tubuh bayi
selama beberapa saat setelah lahir. Setelah obliterasi, vena umbilikalis membentuk
ligamentum teres hepatis di batas bawah ligamentum falsiforme. Duktus venosus
yang berjalan dari ligamentum teres hepatis ke vena kava inferior juga mengalami
obliterasi dan membentuk ligamentum venosum.(3)
Penutupan duktus arteriosus oleh kontraksi otot di dindingnya terjadi hampir
sesaat setelah lahir. Penutupan ini diperantarai oleh bradikinin, suatu zat yang
dibebaskan dari paru selama
masa permulaan pengembangan paru. Obliterasi
anatomis sempurna akibat proliferasi tunika intima diduga memerlukan waktu 1-3
bulan. Pada orang dewasa, duktus arteriosus yang mengalami obliterasi ini
membentuk ligamentum arteriosum.(3)
Penutupan foramen ovale disebabkan oleh peningkatan tekanan di atrium kiri,
disertai penurunan tekanan di sisi kanan. Tarikan napas pertama menekan septum
primum ke septum sekundum. Namun setelah beberapa hari pertama kehidupan,
penutupan ini bersifat reversibel. Tangisan bayi menciptakan pirau dari kanan ke
kiri, yang menjadi penyebab serangan-serangan sianosis pada bayi baru lahir.
Penempelan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kedua septum
menyatu sekitar 1 tahun. Namun pada 20% orang, foramen tersebut tidak pernah
tertutup sempurna secara anatomis (patent foramen ovale).(3)
2.2.
Penyakit Jantung Bawaan
2.2.1. Definisi
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital dapat
didefinisikan sebagai sekelompok kelainan struktural dan fungsional jantung
yang muncul selama masa embriogenesis jantung.(4) Atau dapat juga
didefinisikan sebagai penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau
fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya
gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin.(1)
2.2.2. Epidemiologi
PJB pada bayi dan anak cukup banyak ditemukan di Indonesia. Laporan
dari berbagai penelitian di luar negri menunjukkan 6-10 dari 1000 bayi lahir
hidup menyandang PJB.(2) Menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia), penyakit jantung bawaan menempati peringkat
pertama diantara penyakit-penyakit lain yang menyerang bayi. Angka kejadian
PJB di indonesia cukup tinggi, namun penanganannya amat kurang. Dalam
The 2nd Internasional Pediatric Cardiology Meeting di Cairo, Egypt, 2008
dr.Sukman Tulus Putra lebih lanjut mengungkapkan 45.000 bayi Indonesia
terlahir dengan PJB tiap tahun. Dari 220 juta penduduk indonesia,
diperhitungkan bayi yang lahir mencapai 6.600.000 dan 48.800 diantaranya
adalah penyandang PJB.(5)
Secara garis besar PJB dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) PJB
asianotik dan (2) PJB sianotik. PJB asianotik merupakan kelompok penyakit
terbayak, yakni sekitar 75% dari semua PJB. Sisanya merupakan kelompok
PJB sianotik (25%).(2). Walaupun lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB asianotik.(5)
2.2.3. Etiologi
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat
sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga
kelainan pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan.(6) Pada
sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Pelbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab
eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit infeksi virus seperti rubeladan
toksoplasma yang diderita ibu pada awal kehamilan juga dapat menyebabkan
PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen yang
berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai jenis penyakit genetik dan
sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti kelainan
kromosom trisomi 13 (sindrom Patau), trisomi 18 (sindrom Edwards), dan
trisomi 21 (sindrom Down).(7, 8)
 Faktor Genetik
· Mutasi gen tunggal (sutosom dominan atau resesif yang berkaitan
dengan kormosom x biasanya menyebabkan PJB sebagai bagian dari kompleks
abnormalitas. Abnormalitas yang paling sering ditemukan yaitu sindrom
Noonan, dengan stenosis pulmonal dan kardiomiopati hipertrofik sebagai
kelainan jantung terseringnya, sindrom lain dengan kelainan jantungnya
antaralain sindrom Apert (defek septum ventrikel, koartasio aorta), sindrom
Holt-Oram (defek septum atrium dan ventrikel), dan sindrom Ellis-van
Creveld (atrium tunggal).(9)
· Abnormalitas kromosom juga menyebabkan PJB sebagai bagian dari
suatu kompleks abnormalitas. Beberapa sindrom ini memiliki insidensi tinggi
terhadap terjadinya PJB, antara lain sindrom cri-du-chat (20%), sindrom XO
(Turner ) (50%), sindrom trisomi 21 (Down) (50%), sindrom trisomi 13
(90%), dan trisomi 18 (99%). Defek septum ventrikel merupakan kelainan
jantung tersering yang ditemukan pada sindrom-sindrom ini kecuali pada
sindrom Turner, dimana dominannya terjadi valvula aorta bikuspid dan
koartasio aorta.(9)
· Faktor gen multifaktorial juga dipercaya sebagai dasar terjadinya
duktus arteriosus paten. Hal ini juga dianggap sebagai dasar terjadinya PJB
lainnya, teteapi beberapa bukti sampai sekarang juga menemukan faktor-faktor
lain yang ikut berperan, seperti defek gen tunggal yang disebabkan oleh
peristiwa yang tidak diketahui.(9)
 Faktor Lingkungan
Lingkungan janin
Ibu yang mengkonsumsi garam litium selama kehamilan memiliki resiko
melahirkan anak dengan PJB, dengan insidensi yang paling sering yaitu lesi
pada valvula mitral dan trikuspid, terutama sindrom Ebstein. Ibu diabetes yang
menkonsumsi progesteron selama kehamilan juga memiliki resiko tinggi
melanhirkan anak dengan PJB. Sekitar setengah populasi anak dari ibu
alkoholik mengalami PJB (biasanya berupa pirau dari kiri ke kanan). Asam
retinoid yang digunakan untuk mengobati jerawat dapat juga menyebabkan
beberapa tipe PJB.(9)
·
Infeksi virus
Embriopati rubella sering berkaitan dengan stenosis pulmonal dan duktus
arteriosus paten. Virus lain, misalnya virus coxsackie juga diduga meneyabkan
tejadinya PJB karena adanya titer serum virus ini ditemukan pada ibu yang
melahirkan anak dengan PJB.(9)
2.2.4. Klasifikasi
Ada dua golongan besar PJB seperti yang sempat dipaparkan sebelumnya,
yaitu PJB asianotik dan PJB sianotik, masing-masing memberikan gejala dan
tanda klinis yang berbeda serta memerlukan tatalaksana yang berbeda pula.(8)
PJB asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang tidak
ditandai dengan sianosis. Yang temasuk dalam kelompok PJB asianotik
adalah: (8)
 Defek dengan pirau dari kiri ke kanan, antara lain:
·
Defek septum atrium (atrial septal defect; ASD)
·
Defek septum ventrikel (ventricular septal defect; VSD)
·
Duktur arteriosus paten (patent ductus arteriosus; PDA)
·
Defek septum atrium dan ventrikel (atrioventricular septal defect;
AVSD)
 Kelainan pada katup atrioventrikular, antara lain:
·
Stenosis mitral (mitral stenosis; MS)
·
Regurgitasi trikuspid (tricuspid regurgitation; TR)
 Obstruksi pada alur keluar ventrikel, antara lain:
·
Stenosis pulmoner (pulmonary stenosis; PS)
·
Koartasio aorta (coarctacio aorta; AO)
Sedangkan penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya
sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri.(7) Pada PJB biru didapatkan
kelainan struktur dan fungsi jantung yang sedemikian rupa sehingga sebagian
atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung rendah oksigen
kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Bisa juga kelainan struktur yang
memungkinkan aliran pirau dari kanan ke kiri atau adanya pencampuran darah
balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Secara garis besar terdapat dua
golongan PJB sianotik, yaitu: (8)
 Dengan gejala aliran ke paru yang berkurang, antara lain:
·
Tetralogi Fallot (ToF)
·
Atresia pulmoner (pulmonary atresia; PA)
·
Double outlet right ventricle (DORV) dengan VSD dan PS
 Dengan gejala aliran ke paru yang bertambah, antara lain:
·
Transposisi arteri besar (transposition of the great arteries; TGA)
·
Common mixing (misal: total anomalous pulmonary venous
drainage, truncus arteriosus, aorto-pulmonary window, DORV
dengan VSD dan univentrikular heart)
2.2.5. Diagnosis
Evaluasi awal untuk menegakkan diagnosis PJB meliputi 4 tahap, yaitu: (2)
1. Evaluasi klinis yang meliputi riwayat penyakit atau anamnesis dan
pemeriksaan fisik;
2. Pemeriksaan penunjang sederhana termasuk EKG dan foto thorax;
3. Ekokardiografi yang terdiri dari M mode, 2 dimensi, dan Doppler atau
color flow mapping;
4. Kateterisasi jantung yang meliputi penghitungan hemodinamik dan
angiografi. Tetapi, saat ini dengan makin berkembangnya teknologi,
kateterisasi hanya dilakukan apabila dengan ekokardiografi kelainan
anatomis masih belum pasti.
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Evaluasi Klinis
 Riwayat penyakit / anamnesis
 Pemeriksaan fisik
Investigasi dengan pemeriksaan sederhana
 Darah tepi
 EKG
 Foto thorax
Ekokardiografi
 2 dimensi (cross sectional)
 M mode
 Doppler
 Color flow mapping
Kateterisasi jantung
 Penghitungan hemodinamik
 Kardioangiografi
Tabel 1. Tahapan Diagnosis PJB
2.3. Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect; ASD)
2.3.1. Definisi
ASD merupakan kelainan dimana terdapat defek atau lubang pada septum
atrium selain dari foramen ovale yang menyebabkan terjadinya pirau antar
kedua atrium.(8, 10)
2.3.2. Epidemiologi
ASD mencakup lebih kurang 5-10% penyakit jantung bawaan. ASD tipe
sekundum merupakan bentuk kelainan terbanyak (50-70%) dari seluruh ASD
dan 5-10% dari seluruh PJB, pada 10% kasus disertai dengan anomali drainase
vena pulmonalis (anomaly pulmonary veins drainage; APVD). Kemudian
diikuti tipe primum sebanyak 15%, tetapi apabila AVSD diikutsertakan bisa
mencapai 30% dari seluruh ASD. Dan yang terakhir adalah tipe sinus venosus
(10%).(8, 11)
2.3.3. Klasifikasi
Secara anatomis, terdapat tiga tipe ASD, yaitu defek sekundum, defek
primum, dan defek tipe sinus venosus.(11) Klasifikasi ini berhubungan dengan
fossa ovslis. Bila defek tersebut berada di area fosa ovalis, maka disebut
dengan defek sekundum, bila berada di anterior dan inferior disebut dengan
defek primum, dan bila berada di superior dan posterior disebut defek sinus
venosus. Sedangkan pada foramen ovale paten (patent foramen ovale; PFO)
lazimnya tidak menimbulkan aliran pirau intrakardiak.(8)
Gambar 5. Tipe-Tipe ASD
Selain itu ASD sapat juga diklasifikasikan berdasarkan ukuran defek yang
ada. Defek kecil berukuran > 3 mm sampai < 6 mm, defek sedang berukuran ≥
6 mm sampai < 12 mm, dan defek besar berukuran ≥ 12 mm.(12)
2.3.4. Patofisiologi
Derajat pirau kiri ke kanan tergantung pada ukuran defek, pemenuhan
relatif ventrikel kiri dan kanan, dan resistensi vaskular relatif pada sirkulasi
pulmoner dan sistemik. Pada defek yang besar, terjadi aliran pirau darah yang
mengandung oksigen dari atrium kiri ke atrium kanan. Darah ini ditambahkan
ke aliran darah balik vena ke atrium kanan yang kemudian dipompa oleh
ventrikel kanan ke paru-paru. Pada defek yang besar biasanya rasio antara
aliran darah pulmoner berbanding sistemik (Qp : Qs) antara 2:1 sampai 4:1.(13)
Kurangnya gejala pada bayi dengan ASD berhubungan dengan struktur
ventrikel kanan pada awal kehidupan ketika dinding otot jantung tebal dan
kurang elastis, sehingga membatasi pirau dari kiri ke kanan. Seiring dengan
bertambahanya usia dan berkurangan resistensi vaskular paru-paru, dinding
ventrikel kanan menjadi lebih tipis dan pirau dari kiri ke kanan juga
meningkat. Aliran darah yang besar, yang melalui bagian kanan jantung
menyebabkan beban volum pada jantung kanan yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran atrium dan ventrikel kanan. Anulus katup trikuspid dan
arteri pulmoner beserta anulus katupnya akan melebar sehingga menyebabkan
regurgitasi trikuspid dan pulmonal. Pembesaran ventrikel kanan ini dapat
menyebabkan septum ventikel terdorong ke arah ventrikel kiri sehingga
fungsinya terganggu. Deformitas ventrikel kiri ini juga dapat menyebabkan
prolaps katup mitral yang kadang disertai regurgitasi. Atrium kiri dapat ikut
membesar, sedangkan ventrikel kiri dan aorta tetap dalam ukuran normal.(8, 13)
Gambar 6. Pirau ASD
Mesikupun terjadi aliran darah pulmoner yang besar, biasanya tekanan
arteri pulmoner normal karena tidak adanya hubungan tekanan tinggi antara
sirkulasi pulmoner dan sistemik. Tekanan pulmoner tetap rendah pada mas
anak-anak dan dapat mulai meningkat ketika mulai remaja sehingga akhiran
menyebabkan pirau balik dari kanan ke kiri yang menyebabkan terjadinya
sianosis.(13) Kelebihan volume yang berlangsung lama ke sirkulasi puulmoner
ini akan mengakibatkan dilatasi jaringan vaskular pulmoner. Secara
mikroskopik terlihat penebalan pada bagian medial muskular dari arteri dan
vena pulmoner, terjadi juga muskularisasi dari arteriuol. Pada beberapa pasien,
hali ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner berat dan penyakit
vaskular pulmoner yang ireversibel.(8)
2.3.5. Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita ASD asimtomatis, terutama pada mas bayi dan
anak-anak. Bila pirau cukup besar maka pasien akan mengalami sesak nafas
dan sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung pada masa bayi pernah
dilaporkan, namun sangat jarang. Tumbuh kembang biasanya normal, tetapi
jika pirau besar, maka berat badan anak sedikit berkurang. Hanya kurang dari
10% kasus yang memperlihatkan gejala aliran darah pulmoner berlebih seperti
kesulitan menyusu, sering batuk panas, dan pertumbuhan badan kurang pada
usia bayi.(2, 8)
Pada pemeriksaan fisik jantung umumnya normal datau hanya sedikit
membesar dengan pulsasi ventrikel kanan teraba.komponen aorta dan
pulmonal BJ II terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah pada saat
inspirasi maupun ekspirasi (fixed split). Split yang lebar ini disebabkan oleh
beban volume di ventrikel kanan sehingga waktu ejeksi ventrikel kanan
bertambah lama, sedangkan spilt yang tidak bervariasi dengan pernafasan
terjadi karena pirau kiri ke kanan bervariasi sesuai dengan berubahnya aliran
balik ke atrium kanan.(2) Biasanya, durasi ejeksi ventrikel kanan bervariasi saat
respirasi, inspirasi akan meningkatkan volume ventrikel kanan dan menunda
penutupan katup pulmonal. Pada ASD, volume diastolik ventrikel kanan terus
meningkat dan waktu ejeksi berkepanjangan di semua fase respirasi.(13)
Selain itu dapat pula terdengar bising sistolik tipe ejeksi derajat 2-3/6 di
batas sternum kiri atas (akibat besarnya aliran darah dari ventrikel kanan
menuju ke arteri pulmonalis; stenosis pulmonal relatif atau fungsional) dan
bising diastolik rumble (tricuspid diastolic flow murmur) di batas sternum kiri
bawah (akibat peningkatan volume aliran darah yang melalui katup trikuspid
pada fase pengisian cepat ventrikel kanan), terdengar pada pirau kiri ke kanan
yang besar (Qp : Qs minimal 2:1).(2, 8, 13)
Gambar 7. Bising Sistolik pada ASD
2.3.6. Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran AKG yang tipikal untuk ASD adalah deviasi sumbu QRS ke kana
(right axis deviation) +90o hingga +180o dan hipertrofi ventrikel kanan atau
right bundle branch block (RBBB) dengan gambaran rsR’ di V1. Pada
sekitar 50% kasus defek sinus venosus mempunyai gelombang P axis
<30o.(8)
 Rontgen thorax
Rontgen thorax standar sangat membantu diagnosis ASD, rontgen thorax
AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol dengan konus pulmonalis
yang juga menonjol. Pada rontgen AP biasanya tampak jantung yang hanya
sedikit membesar dan vaskularisasi paru yang bertambah (plethora) sesuai
dengan besarnya pirau.(2)
Gambar 8. Gambaran Thorax pada ASD
 Ekokardiografi
Ekokardiografi
merupakan
sarana
diagnostik
utama,
karena
dapat
memperlihatkan letak dan ukuran lubang ASD, serta tanda tak langsung
besarnya pirau kiri ke kanan, yaitu dilatasi ventrikel kanan dan atrium
kanan, serta arteri pulmoner.(2)
Pemeriksaan pulsed doppler memperlihatkan gambaran aliran yang khas dari
atrium kiri ke atrium kanan, dengan aliran maksimal terjadi pada fase
diastolik. Dengan color flow mapping gambar aliran akan lebih nyata.(2)
M mode echo untuk mengukur dimensi ventrikel kanan dan mendeteksi gerak
paradoks septum interventrikuler akibat kelebihan bebn volume pada
ventrikel kanan. Banyak pasien ASD yang kini diintervensi hanya
pemeriksaan echo saja.(2)
 Kateterisasi jantung
Pemeriksaan kateterisasi untuk ASD biasanya tidak diperlukan kecuali
untuk menentukan reaktifitas vaskuler pulmoner pada ASD dengan
hipertensi pulmoner, kateterisasi ini digunakan untuk tindakan intervensi
penutupan ASD dengan device.(2)
2.3.7. Tatalaksana
Pada ASD dengan ukuran kurang dari 3 mm yang didiagnosis pada usia
dibawah 3 bulan, ternyata semua menutup spontan pada usia 1,5 tahun.
Sedangkan yang ukurannya 3-8 mm, 80% menutup spntan sebelum usia 1,5
tahun. Tetapi bila ukurannya lebih dari 8 mm, jarang ada yang bisa menutup
spontan. Penutupan spontan ASD sampai usia kurang dari 4 tahun sebesar
17=33%. Oleh karena itu disarankan menutup AS di atas usia 4 tahun. Pada
beberapa penelitian, ASD sekundum di atas 4,5 tahun, sekitar 45% justru
mengalami pelebaran.(8)
Tatalaksana ASD dapat berupa terapi medikamentosa dan juga penutupan
defek baik tanpa ataupun dengan pembedahan.
MEDIKAMENTOSA
Terapi medikamentosa diberikan pada kasus ASD yang sudah disertai
dengan gagal jantung,
Tatalaksana
medikamentosa
untuk
gagal
jantung
ialah
untuk
meningkatkan curah jantung/ cardiac output, memperbaiki perfusi jaringan,
serta meminimalkan kerja jantung. Yang dimaksud dengan meminimalkan
kerja jantung ialah dengan cara menurunkan preload jantung serta afterload
jantung atau dengan inhibisi dari sistem saraf simpatis. Dengan menurunkan
afterload jantung dapat mengurangi tenaga yang dibutuhkan oleh jantung
untuk mengejeksi darah, sedangkan dengan menurunkan preload jantung dapat
mencegah pengisian berlebihan dari jantung yang melebihi volume darah
seharusnya.(14)
1.
Menurunkan afterload jantung: Untuk menurunkan afterload jantung
digunakan obat-obatan yang dapat menurunkan resistensi pembuluh darah
sistemik. Obat-obat yang dapat digunakan ialah ACE inhibitor (kaptopril),
inhibitor fosfodiesterase tipe 4 (milrinone), nitrat (nitroprusside), ARB
(losartan). Penggunaan obat ARB dapat menghambat terjadinya fibrosis
otot jantung.
Tabel 2. Dosis Inhibitor Fosfodiesterase
Tabel 3. Dosis Obat Penurun Afterload Jantung
2.
Menekan aktivitas saraf simpatis: Dapat digunakan obat golongan betablocker (propanolol) untuk menekan aktivitas saraf simpatis. Pada dewasa
beta-blocker merupakan cornerstone daripada terapi gagal jantung, namun
pada anak dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan anak yang
mendapatkan terapi beta-blocker tidak menunjukan perbaikan yang
signifikan dibandingkan anak yang mendapat terapi placebo. Pada
kelompok anak-anak obat yang sering digunakan ialah digoksin. Digoksin
merupakan agen inotropik oral yang dapat mengahambat aktivitas sistem
saraf simpatis, menurunkan denyut jantung, serta meningkatkan waktu
pengisian jantung. Selain efek inotropik, digoksin juga memiliki efek
kronotropik yaitu menurunkan konduksi jantung. Karena mengalami
ekskresi melalui ginjal, pemberian digoksin perlu dipantai secara ketat
terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Tabel 4. Dosis Digoksin
3.
Menurunkan preload jantung: Untuk menurunkan preload jantung dapat
digunakkan diuretik. Preload jantung diturunkan untuk mencegah
terjadinya edema paru. Diuretik yang dapat digunakan antara lain loop
diuretik
(furosemid),
thiazide,
dan
inhibitor
mineralokortikoid
(spironolakton). Diuretik juga menghambat sistem renin-aldosteronangiotensin sehingga dapat mencegah remodeling maladaptif serta fibrosis
interstitial.
Tabel 5. Dosis Diuretik
Seringkali digoksin, furosemid, dan kaptopril diberikan secara bersamaan
peroral. Pada penderita yang tidak dapat diberikan obat peroral, maka
dopamin/dobutamin dan furosemid secara intravena dapat menjadi alternatif.
Diuretik jangan digunakan sebagai obat tunggal.(11)
Profilaksis terhadap endokarditis bakterial tidak terindikasi untuk ASD,
kecuali pada 6 bulan pertama setelah koreksi dengan pemasangan alat
protesis.(11)
PENUTUPAN ASD
Penutupan ASD dianjurkan apabila: (8)
 Terdapat aliran pirau yang bermakna, yaitu terlihat tanda-tanda
pembebanan ventrikel kanan (Qp : Qs ≥ 1,5 atau ter;ihat dilatasi
ventrikel kanan).
 Indeks resistensi pulmoner (pulmonary vascular resisteance index;
PARI) ≤ 10 unit/m2 atau ≤ 7 unit/m2 dengan tes oksigen atau
vasodilator.
Penutupan ASD ini meliputi intervensi kardiologi non-bedah dan
intervensi bedah (operasi penutupan defek). Penutupan ASD dengan bedah
ataupun tanpa bedah (transkateter) disarankan untuk semua pasien yang
bergejala dan juga untuk pasien tanpa gejala dengan rasio Qp : Qs minimal
2:1. Waktu untuk penutupan yang efektif biasanya setelah usia 1 tahun dan
sebelum masuk sekolah.
penutupan
ASD,
(13)
kntrol
Berdasarkan penelitian terkini, satu bulan setelah
autonom
jantung
lebih
memburuk
setelah
dilakukannya pembedahan dibandingkan dengan intervensi non-bedah.(15)
Penutupan ASD tanpa bedah hanya dimungkinakan pada ASD sekundum
dengan ukuran 5-32 mm dengan rim yang adekuat. Alat untuk mengoklusi
defek seprtum atrium ini dimasukkan melaluivena dengan kateterisasi jantung.
Penutupan dengan cara ini tidak meninggalkan jaringan parut dan pasien
hanya memerlukan perawatan selama semalam saja. Dengan perangkat
occluder tarbaru, kejadian komplikasi serius seperti erosi perangkat adalah
0,1% dan bisa dikurangi dengan mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi
seperti mereka yang memiliki defisiensi rim septum di sekitar perangkat.(8, 13)
Pasien perlu meminum aspirin 80 mg/hari sampai 6 bulan paska prosedur
ini. Besarnya sheath yang dipakai membatasi penggunaannya pada bayi.
Ekokardiografi diperlukan paska tindakan untuk mengevaluasi adanya pirau
residual, obstruksi vena-vena pulmoner, sinus koroner, vena cava, serta fungsi
katup-katup mitral dan trikupsid.(8)
Penutupan katup yang dilakukan melalui operasi jantung terbuka
berkaitan dengan tingkat mortalitas <1%. Resiko kematian meningkat apabila
pembedahan dilakukan pada bayi dan ASD disertai dengan resistensi vaskular
pulmonar yang tinggi. Penutupan disarankan dilakukan selama masa anakanak karena tingkat mortalitas serta morbiditas operasi lebih tinggi pada masa
remaja; resiko aritimia jangka panjang juga meningkat setelah dilakukannya
koreksi ASD pada masa dewasa. Pembedahan biasanya dilakukan saat usia 2-4
tahun, mengingat adanya kemungkinan penutupan spontan, dan pasien
umumnya stabil. Tetapi bila gagal jantung kongestif tidak teratasi dengan obatobatan, operasi dapat dilakukan lebih dini.(8, 13)
2.3.8. Prognosis
ASD yang terdeteksi pada bayi cukup bulan pada umumnya menutup
secara spontan. Selain itu penutupan secara spontan juda biasanya sering
ditemukan pada anak dengan defek kurang dari 4 mm. Pasien biasanya
mentolerir ASD dengan baik selama dua dekade awal kehidupan dan defek ini
seringkali tidak disadari sampai pada pertengahan atau akhir masa remaja. Dan
pada ASD sekundum dapat ditoleransi dengan baik selama tiga dekade awal
masa kehidupan. Hipertensi pulmoner dan pirai balik dari kanan ke kiri
merupakan komplikasi jangka lama. Endokarditis infektif jarang ditemukan
dan tidak dianjurkan pemberian profilaksis antibiotik. Profilaksis endokarditis
hanya diberikan pada pasien yang menjalani penutupan defek dan diberikan
selama enam bulan sampai perangkat ditutupi oleh endotelium. Toleransi
aktifitas dan konsumsi oksigen pada anak yang dilakukan penutupan ASD
dengan intervensi bedah pada umumnya normal, dan restriksi aktifitas fisik
tidak diperlukan.ada resiko kekambuhan kecil pada anak-anak yang memiliki
riwayat PJB di keluarganya.(10, 16)
Hasil akhir penutupan defek baik secara non-bedah maupun bedah pada
anak dengan pirau sedang sampai besar memberikan hasil yang memuaskan.
Gejala berkurang secara cepat dan pertumbuhan secara bertahap meningkat.
Ukuran jantung kembali ke normal, dan elektrokardiogram menunjukkan
penurunan usaha ventrikel kanan. Tetapi dari penelitian terbaru menyebutkan
bahwa koreksi defek secara non-bedah transkateter memberikan hasil yang
lebih memuaskan dibandingnya dengan operasi. Komplikasi yang ditimbulkan
lebih sedikit, hospitalisasi lebih singkat, menurunkan kebutuhan produk darah,
ketidaknyamanan pasien lebih minim, dan tidak ada jaringan parut bekas
insisi. Walaupun hasil awal dan jangka menengah dengan intervensi nonbedah sangat baik, efek jangka panjang belum diketahui.(13, 15)
Resiko gagal jantung kanan dan aritimia lebih kecil pada pasien yang
mendapatkan perbaikan bedah lebih awal dan menjadi lebih tinggi pada pasien
yang menjalani operasi setelah usia 20 tahun.(13)
2.4.
Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect; VSD)
2.4.1. Definisi
VSD merupakan PJB berupa defek atau lubang yang berada pada setiap
bagian septum ventrikel.(8)
2.4.2. Epidemiologi
VSD merupakan salah satu jenis PJB yang paling seringditemukan, yakni
sekitar 20-30% dari seluruh PJB.(2, 10, 13) defek dapat terjadi di setiap bagian
septum ventrikel, tetapi yang tersering adalah VSD pada bagian membranosa
septum ventrikel yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut.(13)
Di RSCM Jakarta, selama 10 tahun ditemukan PJB sebanyak 33% dari
semua PJB.(2) VSD sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan dubandingkan
laki-laki, yaitu 5:4.(8)
2.4.3. Klasifikasi
VSD diklasifikasikan secara anatomis berdasarkan letak anatomisnya.
Septum ventrikel terdiri atas bagian membranosa yang hanya merupakan
bagian kecil saja dan bagian muskular yang luas yang terbagi atas inlet,
trabekular, dan outlet (infundibular). VSD dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (8)
 Tipe perimembran, membranous dengan sedikit muskular di sekitarnya
(mencapai 70% dari seluruh VSD), terbagi atas:
·
Perimembran outlet
·
Perimembran trabekular
·
Perimembran inlet
 Tipe subarterial doubly committed atau tipe oriental (mencapai 5-7%
dari seluruh VSD pada populasi Kaukasia, tetapi mecapai 30% pada
populasi Cina, Jepang, dan Melayu). Pada VSD ini sebgaian tepinya
dibentuk oleh annulus aorta dan pulmonal. Daun katup aorta dapat
mengalami prolaps masuk ke lubang VSD, sehingga terjadi regurgitasi
aorta.
 Tiper muskular
(mencapai 5-20% dari seluruh VSD), seringkali
lubangnya terdapat beberapa buah (multipel, disebut dengan Swiss
cheese) dan harus ditutup dengan pembedahan.
Gambar 9. Tipe VSD Berdasarkan Lokasi Defek
Selain itu, VSD dapat juga diklasifikasikan berdasarkan fisiologinya
menjadi: (2)
 VSD defek kecil dengan resistensi vaskular paru normal
VS dengan diameter kecil (<3 mm) saat lahir dan akan menutup secara
spontan. Pada umumnya defek di sptum interventrikular bagian
muskular akan menutup lebih cepat dibandingkan pada bagian
membranosa. Pada sebagian besar kasus, VSD kecil tidak memerlukan
penanganan bedah. Lima puluh persen VSD kecil akan menutup pada
usia 2 tahun dan 90% pada usia 6 tahun, sisanya 10% akan menutup
selama usia sekolah. Orang tua harus diedukasi saat diagnosis dan
konfirmasi ekokardiografi bahwa semua VSD kecil pada akhirnya akan
menutup spontan.(10)
 VSD defek sedang dengan resistensi vaskular paru bervariasi
Pasien asimtomatik dengan VSD sedang dengan diameter 3-5 mm terjadi
pada 3-5% kasus VSD. Pada umumnya anak dengan tipe VSD ini tidak
memiliki indikasi untuk dilakukan penutupan dengan pembedahan.
Mereka yang menjalani kateterisasi biasanya memiliki rasio Qp : Qs <
2:1 dan kateterisasi kardiak serial menunjukkan aliran pirau semakin
mengecil. Apabila tidak ada gagal jantung maupun hipertensi
pulmoner, defek ini dapat dibiarkan sampai menutup secara spontan.(10)
 VSD defek besar dengan peningkatan resistensi vaskular paru ringan
sampai sedang
Defek ini biasanya berukuran 6-10 mm. Terkecuali apabila defek ini
semakin mengecil selamam beberapa bulan setelah ;ahir, defek ini
memerlukan tindakan pembedahan. Waktu dilakukannya pembedahan
tergantung situasi klinis. Pada sebagian besar kasus dengan VSD besar
dan resistensi vaskular pulmoner normal dapat berkembang menjadi
gagal jantung dan gagal tumbuh (failure to thrive) pada usia 3-6 bulan
dan memerlukan koreksi pada saat itu juga. Di semua kasus,
pembedahan sebelum usia 2 tahun diperlukan untuk mengurangi resiko
terjadinya penyakit vaskular pulmoner.(10)
 VSD defek besar dengan resistensi vaskular paru yang tinggi
Arah aliran yang melintasi ASD ditentukan oleh tekanan di tiap ruang
jantung dan menjelaskan mengapa aliran pirau yang terjadi dari kiri ke
kanan. Pada VSD besar, rekanan ventrikel sama dan menyebabkan
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Selain itu, tegangan yang
disebabkan
oleh
peningkatan
volume
dalam
aliran
pulmoner
menyebabkan resistensi meningkat dari waktu ke waktu. Sebagian
besar pasien dengan hipertensi pulmoner berkembang menjadi kondisi
yang progresif. Data gabungan dari pusat Studi Nasional Sejarah
mengindikasikan bahwa sebgaian besar kasus hipertensi pulmoner
ireversibel dapat dicegah dengan tindakan bedah untuk memperbaiki
VSD sebelum usia 2 tahun.(10)
2.4.4. Patofisiologi
Ukuran defek pada VSD bukan merupakan satusatunya determinan
besarnya pirau dari kiri ke kanan. Besarnya resistensi pulmoner yang
berhubungan dengan reistensi perifer juga ikut menentukan besarnya pirau ini.
Pada VSD kecil (< 0,5 cm2), VSD disebut dengan VSD tipe restriktif dan
tekanan ventrikel kanan normal. Tekanan yang lebih tinggi pada ventrikel kiri
menyebabkan terjadinya pirau dari kiri ke kanan, tetapi ukuran defek yang
kecil membatasi besarnya pirau. Sedangkan pada VSD nonrestriktif dengan
defek yang besar (> 1,0 cm2), tekanan ventrikel kiri dan kanan sama besar,
sehingga arah dari pirau ditentukan oleh rasio resistensi pulmoner terhhadap
perifer.(13)
Setelah lahir, pasien dengan VSD yang besar, resistensi vaskular paru
dapat tetap lebih tinggi dari normal, oleh karena itu besarnya pirau dari kiri ke
kanan pada awalnya terbatas. Seiring dengan berkurangnya resistensi vaskular
pulmoner selama satu minggu awal setelah kelahiran karena adanya involusi
normal dari arteriol kecil pulmoner, pirau dari kiri ke kanan bertambah besar.
Pada akhirnya menyebabkan pirau dari kiri ke kanan yang besar dan gejala
klinis mulai tampak.(13)
Gambar 10. Aliran Pirau pada VSD
Pada sebagian besar kasus, pada awal masa bayi, resistensi vaskular
pulmoner hanya meningkat sedikit dan yang memberikan kontribusi besar
terjadinya hipertensi pulmonal adalah aliran darah pulmoner yang sangat
besar.(13)
Bila VSD yang ada besar, makan akan menyebabkan peningkatan beban
volume jantung kiri, sehingga terjadi dilatasi atrium kiri dan ventrikel kiri.
Anullus katup mitral akan melebar sehingga menyebabkan regurgitasi
mitral.(13)
Kelebihan beban volume yang berlangsung lama ke sirkulasi pulmoner
akan berakibat dilatasi dari jaringan vaskular pulmoner. Secara mikroskopik
akan terlihat penebalan pada bagian medial muskular dari arteri dan vena
pulmonalis, terjadi juga muskularisasi dari arteriol.(8) Pada beberapa bayi
dengan VSD besar, penebalan arteriol pulmoner bagian medial ini tidak akan
pernah berkurang. Dengan terus berlangsungnya paparan pembuluh darah paru
terhadap tingginya tekanan sistolik dan aliran darah yang banyak, dapat terjadi
penyakit obstruktif vaskular paru yang ireversibel.(13)
Besarnya pirau intrakardiak dideskripsikan oleh rasio Qp : Qs. Apabila
pirau yang terjadi kecil (Qp : Qs < 1,75:1), ruang jantung tidak membesar dan
vaskular pulmoner biasanya normal. Apabila pirau yang terjadi besar (Qp : Qs
> 2:1), akan terjadi kelebihan beban volume pada atrium dan ventrikel kiri,
yang diikuti dengan ventrikel kanan dan hipertensi arteri pulmoner. Akhirnya
terjadi pembesaran arteri pulmoner, atrium kiri, dan ventrikel kiri. Ketika rasio
pulmoner berbanding perifer mendekati 1:1, aliran pirau menjadi dua arah dan
gejala gagal jantung mulai tampak, dan pasien menjadi sianotik.(13)
2.4.5. Manifestasi Klinis
Pada VSD kecil anak tampak sehat dan pada pemeriksaan fisik didapatkan
bising holosistolik derajat 3-4/6 akibat turbulensi aliran darah yang melalui
VSD dan bila intensitasnya ≥4/6 maka dapat teraba thrill di sepanjang sternum
kiri bawah dan dapat meluas sepanjang tepi kiri sternum. Semakin kecil defek
yang ada, maka semakin besar bising yang terdengar.(2, 8, 11, 17)
Pada penderita VSD sedang terdapat gangguan pertumbuhan yaitu berat
badan kurang. Pada pemeriksaan fisik terdengar bunji jantung 3 yang disertai
dengan rumble mid diastolik yang terdengan di apex sebagai akibat dari
stenosis mitral relatif (terdengar pada pirau kiri ke kanan yang besar).(2, 8, 11)
Pada VSD besar dengan peningkatan resistensi vaskular pulmoner, pasien
tampak takipnea dengan retraksi otot-otot pernapasan. Bunyi jantung II pada
komponen pulmonal terdengar mengeras dan tampak dada mombonjol akibat
hiperaktifitas prekordial. Pada pasien yang disertai dengan peningkatan
resistensi vaskular paru dengan tekanan antara ventrikel kiri dan kanan yang
sama, penderita tidak menunjukkan gejala gagal jantung, tetapi apabila
keadaan ini terus berlanjut sehingga tekanan ventriken kanan melebihi
ventrikel kiri, maka pasien akan tampak sianosis akibat adanya aliran pirau
balik (kanan ke kiri). Pada keadaan ini bising dapat tidak terdengar atau jika
terdengar, akan terdengar sangat pendek. Dapat juga ditemukan bising
holosistolik dari katu trikuspid akibat insufisiensi trikuspid. Gagal jantung
dapat terjadi sebelum usia 2-3 bulan.(2, 8, 11)
2.4.6. Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi
Pada VSD kecil, EKG normal. Pada VSD sedang kemungkinan disertai
hipertrofi ventrikel kiri akibat pirau kiri ke kanan yang menyebabkan
beban tekanan pada ventrikel kiri. Pada VSD besar tampak hipertrofi
biventrikular dengan atau tanpa hipertrofi atrium kiri. Gambaran hipertrofi
ventrikel kanan terlihat semakin menonjol bila sudah terjadi hipertensi
pulmonal dan penyakit vaskular pulmoner obstruktif.(2, 8)

Rontgen thorax
Tampak kardiomegali
akibat dilatasi atrium dan ventrikel kiri, kadang
disertai dilatasi ventrikel kanan, segmen pulmonal yang menonjol, disertai
gambaran vaskularisasi paru yang meningkat (plethora). Bila terjadi
penyakit vaskuler pulmoner obstruktif, cabang utama arteri pulmoner dan
cabang-cabangnya di hilus melebar, tetapi bagian perifer paru sepi
(prunning).(8)
Gambar 11. Rontgen Thorax pada VSD

Ekokardiografi
Ekokardiografi 2 dimensi dan Doppler merupakan sarana diagnostik utama
karena dapat memperlihatkan letak,ukuran, dan jumlah lubang VSD, serta
mengestimasi tekanan arteri pulmoner. Kombinasi pendangan parasternal
sumbu panjang dan sumbu pendek setinggi katup aorta sering dipakai
untuk keperluan tersebut. Selain itu, ekokardiografi juga digunakan untuk
menyingkirkan defek lain yang mungkin menyertai VSD.(8)

Kateterisasi
Saat ini kateterisiasi jantung pada penderita VSD tidak selalu diperlukan
karena teknik akokardiogram yang semakin baik. Kateterisasi digunakan
pada:
· Penderita VSD besar atau disertai gagal jantung atau hipertensi
pulmonal
· VSD kecil yang diduga disertai peningkatan resistensi vaskular
pulmoner.
Tujuan kateterisasi jantung adalah untuk mengetahui jumlah defek, evaluasi
besarnya pirau, evaluasi tahanan vaskular pulmoner, evaluasi tekanan
ventrikel kiri dan kanan, mengetahui defek lain selain VSD, dan
mengetahui letak defek dengan jelas untuk keperluan bedah.(2)
Gambar 12. Ekokardiografi dengan Doppler pada VSD
2.4.8. Tatalaksana
Perjalanan alamiah dari VSD bergantung dari besanya defek yang ada.
Sejumlah besar (30-50%) defek kecil menutup secara spontan, paling sering
terjadi penutupan spontan udalam tahun-tahun pertama-kedua kehidupan.
VSD kecil tipe muskular lebih sering (80%)
ditemukan menutup secara
spontan dibandingkan tipe membranous (35%). Sebagian besar defek ini
menutup secara spontan sebelum usia 4 tahun, walaupun penutupan pada masa
dewasa juga terkadang masih dilaporkan. Sebagian besar anak dengan defek
kecil tetap asimtomatik tanpa ditemukannya pembesaran jantung
dan
peningkatan tekanan maupun resistensi arteri pulmoner. Resiko jangka
panjang berupa endokarditis infektif.(13)
Pada annak dengan VSD biasanya asimtomatik dan tidak memerlukan
pengobatan ataupuntindakan pembedahan pada saat awal. Sedangkan pada
anak asimtomatik, tindakan pembutupan dengan pembedahan dapat dilakukan
pada usia 2-4 tahun.(11)
Nutrisi tambahan seperti formula tinggi kalori, perlu diberikan sejak awal
jika terdapat pirau yang besar, karena kebutuhan metabolisme meningkat.
Kebutuhan kalori hingga 150-200 kkal.kgBB/hari mungkin diperlukan untuk
pertumbuhan yang adekuat.(11)
MEDIKAMENTOSA
Apabila anak dengan VSD sedang atau besar mengalami gagal jantung
simtomatik, perlu diberikan obat anti gagal jantung seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya pada sub bab ASD. Jika pengobatan medis gagal,
maka perlu dilakukan tindakan penutupan VSD pada usia berapapun. Bayi
yang berespons terhadap terapi medis dapat dioperasi pada usia 12-18
bulan.(11)
Pada bayi dengan VSD besar, manajemen medis memiliki dua tujuan,
yaitu: (1) untuk mengontrol gagal jantung; dan (2) mencegah perkembangan
penyakit vaskular pulmoner. Tindakan terapi ditujukan untuk mengendalikan
gagal jantung dan tetap mengontrol agar pertumbuhan anak tetap normal.
Apabila pengobatan dini berhasil, pirau berkurang dengan perbaikan spontan,
terutama pada tahun pertama kehidupan. Karena penutupan secara bedah
beresiko rendah apabila dilakukan pada waktu bayi, maka apabila tidak terjadi
perbaikan dengan pengobatan dini, maka harus segera dilakukan pembedahan.
Penyakit vaskular pulmoner dapat dicegah apabila operasi dilakukan pada
tahun pertama.(13)
PENUTUPAN VSD
Sama seperti pada ASD, penutupan VSD dapat dilakukan melalui
tindakan pembedahan maupun tindakan non-bedah. Pada sebagian studi jangka
panjang, orang dewasa dengan VSD kecil tanpa operasi menunjukkan
peningkatan insidensi terjadinya aritimia, stenosis subaortik, dan intoleransi
aktivitas.
Konsil
Penyakit
Kardiovaskular
pada
Asosiasi
Jantung
Amerikamenyatakan bahwa VSD yang tiak signifikan bukan merupakan
indikasi utnuk dilakukannya pembedahan. Untuk menurunkan resiko
pembedahan jantung terbuka, disarankan VSD ditutup secara elektif pada
pertengahan masa anak-anak.(13)
Indikasi untuk dilakukannya penutupan dengan pembedahan pada VSD
adalah: (11, 13)
 Pasien usia berapapun dengan VSD besar dengan gejala klinis serta
adanya gagal tumbuh yang tidak dapat dikontrol secara medis
 Gagal jantung yang tidak terkontrol
 Infeksi saluran napas berulang
 Bayi usia 6-12 bulan dengan defek besar yang berhubungan dengan
hipertensi pulmoner, walaupun gejalanya dapat dikontrol dengan
medikasi
 Pasien berusia > 24 bulan dengan Qp : Qs > 2:1.
Pasien denganVSD
suprakrista juga biasanya disarankan untuk
dilakukannya pembedahan karena beresiko tinggi terjadi regurgitasi aorta.
Penyakit vaskular pulmoner yang berat merupakan kontraindikasi untuk
dilakukannya penutupan VSD.(13)
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada hampir semua jenis VSD.
Tanpa pembedahan, yang paling banyak digunakan belakangan adalah AMVO
(Amplatzer VSD Occluder), biasanya digunakan pada VSD jenis muskular dan
perimembranous. Pada vSD yang lokasinya dekan dengan katup AV
(atrioventrikular) suit dilakukan, sebaliknya pada VSD tipe muskular kecul
yang letaknya jauh di apex, tindakan ini menjadi pilihan yang baik
dibandingkan dengan pembedahan.(11)
Gambar 13. Algoritma Manajemen VSD
2.4.9. Prognosis
Penutupan spontan terjadi pada 30-40% kasus VSD, paling sering pada
tipe VSD muskular kecil dan lebih sering pada defek kecil dibandingkan defek
besar; pada tahun pertama kehidupan dibandingkan setelahnya. VSD tipe inlet,
infundibular, dan subarterial doubly commited tidak dapat mengecil ataupun
menutup spontan.(11)
Hasil perbaikan bedah primer sangat memuaskan dan komplikasi yang
menyebabkan masalah jangka panjang (pirau ventrikel residual yang
membutuhkan operasi ulang atau blok jantung yang memerlukan alat pacu
jantung) juga jarang terjadi.(13)
Resiko operasi lebih tinggi terjadi pada defek yang terjadi di septum
bagian muskular, terutama defek di apikal dan multipel (Swiss cheese). Setelah
dilakukannyatindakan bedah untuk menghentikan pirau kiri ke kanan, keadaan
hiperdinamik jantung mrnjadi lebih tenang, ukuran jantung mengarah ke
normal, thrill dan bising menghilang, sertea hipertensi arteri pulmonalis juga
berkurang. Status klinis pasien membaik secara nyata. Sebagian besar bayi
mulai berkembang dan obat-obatan jantung tidak diperlukan. Perbaikan
pertumbuhan ke arah normal terjadi pada sebagian besar pasien dalam 1-2
tahun selanjutnya. Pada beberapa kasus, setelah operasi berhasil, bising ejeksi
sistolik dapat bertahaun selama berbulan-bulan. Prognosis jangka panjang
setelah operasi sangat baik. Pasien dengan VSD kecil dan orang-orang yang
telah mengalami penutupan bedarh tanpa residu dianggap beresiko standar
untuk asuransi kesehaan dan kehidupan.(13)
2.5.
Duktus Arteriosus Paten (Patent Ductus Arteriosus; PDA)
2.5.1. Definisi
PDA adalah persistensi duktu arteriosus, yaitu pembuluh darah normal
pada kehidupan janin, yang menghubungkan arteri pulmoner kiri dengan aorta
desenden tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri, bila arkus aorta di kanan,
duktus menghubungkan arteri pulmoner kanan dengan aorta desenden tepat di
sebelah distal dari arteri subklavia kanan, jarang terjadi duktus arteriosus
bilateral.(8)
Gambar 14. Patent Ductus Arteriosus
Pada umumnya duktus arteriosus menghilang dengan adanya kontraksi
otot halus pada dinding duktus, penutupan terjadi dalam 10-15 jam setelah
bayi dilahirkan. Duktus arteriosus menutupbsecara strukturan dalam jangka
waktu 1- 3 hari awa l kehidupan. Tetapi, penutupan ini dapat lebih lambat dan
inkomplit sampai usia 3 minggu postnatal. Bila defek ini tidak menutup
sampai usal > 12 maka dianggap abnormal. Karena resistensi vaskular
pulmoner berkurang seiring dengan berkembangnya paru, pada 10-15 jam
awal ketika duktus masih terbuka, pirau dari kiri ke kanan yang melalui duktus
dapat terjadi, dan bising dapat terdengar.(9)
2.5.2. Etiologi
Sekitar 30-40% kasus PDA terjadi pada bayi prematur dengan berat lahir
< 1750 gram. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap terjadinya PDA
pada bayi yang imatur tidak mampu berespon terhadap peningkatan tekanan
oksigen dan perubahan konsentrasi prostaglandin. Insidensi PDA pada bayi
cukup bulan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan di daerah laut, mungkin
disebabkan oleh tekanan atmosfer oksigen yang lebih rendah.(9)
PDA persisten pada bayi cukup bulan dan kurang bulan pada ketinggian
rendah secara umum berkaitan dengan abnormalitas struktural dari duktus
srteriosus. Hal ini belum terbukti sepenuhnya pada sebagian besar pasien,
tetapi dasar genetik terlibat karena lesi yang ditemukan cocok dengan turunan
poligenik. Rubella maternal pada trimester pertama kehamilan juga berkaitan
dengan insidensi tinggi terjadinya PDA persisten dan virus rubella telah
dikultur dari jaringan duktus arteriosus.(9)
2.5.3. Epidemiologi
PDA ditemukan kira-kira 5-10% dari seluruh PJB, dengan rasio
perempuan lebih banyak dari laki-laki (3:1).(2,
11)
Insidensi terjadinya PDA
semakin bertambah dengan berkurangnya masa gestasi.(11) Secara klinis
terlihat pada 49% bayi yang berat badan lahirnya amat sangat rendah
(BBLASR) dengan berat 501-750 gram dan 38% pada bayi dengan berat 7511000 gram.(18)
Kelainan ini sering dijumpai pada bayi prematur dengan insidens 8 per
1000 kelahiran sedangkan insidens pada bayi aterm lebih kecil yaitu 1 per
2000 kelahiran.3 Deselina B dkk4 pada tahun 2004 melaporkan insidens PDA
pada bayi prematur di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) 14%.(19)
2.5.4. Patofisiologi
Kegagalan penutupan duktus pada bayi cukup bulan terjadi akibat
kelainan struktur ototo polos duktus, sedangkan pada bayi prematur akibat
menurunnya responsivitas duktus terhadap oksigen dan peran relaksasi aktif
dari prostaglandin E2 (PGE2) serta prostasiklin (PGI2).(11)
Sebagai akibat dari peningkatan tekanan aorta, aliran pirau terjadi dari kiri
ke kanan melalui duktus, dari aorta ke arteri pulmoner. Besarnya aliran pirau
bergantung dari besarnya ukuran duktus dan rasio resistensi pulmoner terhadap
resistensi perifer. Pada kasus yang ekstrim, 70% aliran darah dari ventrikel kiri
dapat mengalir keluar melalui duktus ke sirkulasi pulmoner. Apabila PDA
berukuran kecil, tekanan pada arteri pulomner, ventrikel kanan, an atrium
kanan normal. Tetapi, apabila PDA berukuran besar, tekanan arteri pulmoner
dapat meningkat seperti tekanan sistemik baik selama sistol maupun diastol.
Pasien dengan PDA yang besar sangat beresiko tinggi
terjadi penyakit
vaskular pulmoner apabila tidak dioperasi. Tekanan nadi besar karena
tidakadanya aliran darah ke arteri pulmoner selama diastol.(13)
2.5.5. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik PDA tampak peningkatan aktifitas prekordium,
tekanan nadi melebar dengan tekanan diastolik yang rendah dan bounding
pada pulsasi perifer. Bunyi jantung pada umumnya normal, kadang-kadang
komponen pulmonal dan bunyi jantung II terdengar agak mengeras. Pada
PDA besar dapat terdengar bunyi jantu III akibat pengisian cepat ventrikel
pada saat diastolik dan dapat terdengar di daerah apex.(2)
Pada bayi prematur terdengar bising sistolik pada tepi kiri sternum sela iga
2-3, dapat terdengar pada usia 24-72 jam. Bising kontinyu yang biasanya
terdengar pada anak biasanya tidak terdengar.(2)
Pada bayi aterm yang baru lahir dengan PDA biasanya tidak terdengar
bising. Kemudian timbul bising sistolik yang secara progresif berubah menjadi
bising kontinyu yang khas yaitu aksentuasi pada akhir sistolik dan kontinyu
melewati bunyi jantung II menuju fase diastolik. Bising terdengar segera
setelah bunyi jantung I mencapai puncak pada saat bunyi jantung II berakhir
pada akhir bunyi jantung III pada fase diastolik.(2)
Pada bayi-bayi prematur yang menderita PDA terjadi gangguan distribusi
aliran darah sistemik sehingga terjadi penurunan aliran darah sistemik,
akibatnya organ-organ tubuh lain juga mengalami penurunan aliran darah,
seperti aliran darah ke otak atau perubahan cerebral blood flow velocity yang
akan menimbulkan perdarahan intraventrikular. Penurunan aliran darah ke
salurn cerna dapat menimbulkan necrotizing enterocolitis.(2)
2.5.6. Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardigrafi
Apabila pirau dari kiri ke kanan kecil, elektrokardiogram normal, tetapi
apabila ukuran duktus besar, maka dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri maupun biventrikular. Diagnosis PDA nonkomplikata mudah
ditegakkan bila ditemukan hipertrofi ventrikel kanan.(13)

Rontgen thorax
Studi radiografi pada pasien dengan PDA besar menunjukkan arteri pulmoner
yang prominen dengan peningkatan icorakan bronkovaskular. Ukuran
jantung tergantung
derajat pirau kiri ke kanan, dapat normel atau
membesar dalam derataj sedang. Ruang jantung yang terlibat antara lain
atrium dan ventrikel kiri.(13)

Ekokardiografi
Ukuran ruang jantung normal apabila duktus yang ada berukuran kecil.
Dengan aliran pirau yang besar, atrium dan ventrikel kiri eningkat.
Ukuran atrium kiri biasanya dinalai bersdasarkan ukuran akar aorta,
dikenal sebagai rasio LA : Ao. Penilaian dari arah suprasternal
memberikan visualisasi langsung ke duktus. Pemeriksaan menggunakan
Doppler menunjukkan turbulensi retrograd pada arteri pulmoner selama
fase sistolik dan disatolik, sedangkan pada aorta selama fase diastolik.(10,
13)
Gambar 15. Ekokardiografi PDA
2.5.8. Tatalaksana
MEDIKAMENTOSA
PDA pada bayi prematur amat responsif terhadap pemberian indometasin
(yang bersifat anti-prostaglandin), sedangkan respons pada bayi cukup bulan
buruk. Berbeda halnya dengan bayi prematur, penutupan spontan PDA pada
bayi cukup bulan relatif jarang terjadi. Telah diketahui bahwa patensi duktus
arteriosus selama masa fetus dipertahankan oleh beberapa faktor antara lain
prostaglandin dan tekanan oksigen (pO2) yang rendah sehingga penggunaan
penghambat prostaglandin memiliki tempat pada tata laksana kelainan ini.
Senyawa penghambat siklooksigenase (cox inhibitor) merupakan sediaan yang
dipakai untuk tujuan ini melalui efeknya dalam menghambat konversi asam
arakidonat menjadi bermacam prostaglandin. Di dalam tubuh terdapat 3
macam isoenzim yaitu cox 1, cox 2 dan cox 3. Indometasin merupakan salah
satu penghambat cox yang telah dipakai sebagai terapi standar yang efektif
untuk memicu penutupan duktus pada bayi prematur dengan PDA.(19)
Pada neonatus prematu diberikan indometasin atau ibuprofen oral atau IV
dengan dosis dan cara pemberian sebagai berikut: (11)
 Cara pertama adalah dengan pemberian indometasin secara oral atau
IV 0,2 mg/kgBB sebagai dosis awal. Pada bayi <48 jam diberikan dosis
kedua dan ketiga sebesar 0,10 mg/kgBB dengan interval 24 jam. Pada
bayi berusia 2-7 hari dosis kedua dan ketiga adalah 0,2 mg/kgBB,
sedangkan pada bayi >7 hari dosis kedua dan ketiga adalah 0,25
mg/kgBB.
 Cara lain adalah dengan pemberian indometasin 0,1 mg/kgBB sehari
sekali ampai 5-7 hari. Pemberian 5-7 hari dianjurkan untuk mencegah
pembukaan kembali duktus menutup.
Efek maksimal dapat diharapkan bila pemberian dilakukan sebelum bayi
berusia 10 hari. Pada bayi cukup bulan efek indometasin minimal. Belakangan
ini banyak digunakan ibuprofen 10 mg/kgBB, hari kedua dan ketiga masingmasing 5 mg/kg/hari dosis tunggal. Indometasin atau ibuprofen tidak efektif
pada
bayi aterm dengan PDA, sehingga perlu tindakan medis seperti
intervensi atau ligasi.(11)
Pada PDA sedang atau besar yang disertai gagal jantung diberikan
digitalis atau inotropik yang sesua, dan diuretik seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya pada sub bab ASD. Pada PDA yang belum dikoreksi, profilaksis
terhadap endokarditis bakterial subakut diberikan bila ada indikasi. Prosedurprosedur yang memerlukan tindakan profilaksis adalah: (11)
 Prosedur pengobatan gigi (termasuk manipulasi jaringan gusi)
 Insisi atau biopsi mukosa saluran napa, contohnya tonsilektomi.
 Prosedur gastrointestinal atau traktus urinarius jika terdapat infeksi
pada saluran tersebut. Profilaksis tidak diperlukan untuk prosedur
gastroesofagoduodenoskopi atau kolonoskopi
 Prosedur yang melibatkan kulit, struktur kulit, atau jaringan
muskuloskeletal yang terinfeksi.
Untuk profilaksis, sebelum tindakan tersebut diberikan antibiotik 30-60
menit sebelumnya. Obat yang dianjurkan adalah amoksisilin 50mg/kgBB oral
dosis tunggal atau ampisilin/cefazolin/ceftriakson 50 mg/kgBB IV/IM jika
pasien tidak dapat minum obat oral. Pasien yang alergi terhadap penisilin
dapat diberikan sefaleksin 50 mg/kgBB, klindamisin 20 mg/kgBB,
azithromisin/klaritromisin 15mg/kgBB oral atau sefazolin, klindamisin,
seftriakson IM/IV.(11)
PENUTUPAN PDA
Bila duktus tidak tertutup dengan terapi medikamentosa (pada bayi
prematur) atau pada bayi aterm setelah usia 3 bulan, penutupan dapat
dilakukan dengan pemasangan device (coil atau Amplatzer Ductal Occluder)
secara transkateter. Anjuran saat ini adalah PDA kecil (<3 mm) ditutup dengan
Gianturco stainless coil, sedangkan untuk PDA sedang dan besar (4-10 mm)
ditutup dengan Amplatzer Ductal Occluder (ADO). Biasanya ADO dilakukan
jika BB >6 mg, sedangkan coil dapat dilakukan jika BB >4 kg.(11)
Pada pasien PDA kecil, alasan penutupan adalah pencegahan enarteritis
bakterial atau komplikasi lainnya. Pada pasien PDA sedang sampai besar,
penutupan ini dilakukan untuk mengatasi gagal jantung atau mencegah
perkembangan penyakit baskular pulmoner, atau keduanya, stelah diagnosis
PDA sedang sampai besar dibuat, pengobatan tidak boleh ditunda setelah
terapi medis yang memadai untuk gagal jantung telah diberikan.(13)
Penutupan PDA secara transkateter secara rutin dilakukan di laboratorium
kateterisasi jantung. PDA kecil umumnya ditutup dengan coil intravaskular.
Sedangkan untuk PDA besar dapat ditutup dengan kantung indroduser kateter
dimana nantinya akan dilepaskan beberapa coil seperti bentuk payung.(13)
Pada neonatus (prematur atau cukup bulan) dengan gagal jantung,
penutupan PDA dengan pembedahan harus dilakukan secepatnya. Pada bayi
tanpa gagal jantung, intervensi dapat ditunda sampai mencapai BB ideal (>6
kg). Tindakan dapat dilakukan kapan saja, tetapi jika bayi mengalami gagal
jantung hipertensi pulmonal atau pneumonia berulang, operasi harus dilakukan
sesegera mungkin. Intervensi bedah perlu dilakukan apabila bentuk anatomis
PDA tidak memungkinkan untuk dilakukan pemasangan device.(11)
Penutupan PDA dengan pembedahan dapat dilakukan dengan torakotomi
benggunakan teknik torakoskopi. Karena tingkat kefatalan dengan intervensi
bedah <1% dan resiko bila tidak dilakukan pembedahan lebih besar, maka
penutupan duktus ini tetap dianjurkan pada pasien asimtomatik, terutama pada
pasien <1 tahun.(13)
Hipertensi pulmoner bukan merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya
pembedahan pada usia berapapun jika pada kateterisasi jantung aliran pirau
masih didominasi kiri ke kanan dan tidak terdapat penyakit vaskular pulmoner.
Setelah dilakukan penutupan PDA, gejala gagal jantung secara cepat
menghilang. Bayi yang gagal tumbuh biasanya mengalami perbaikan segera
dalam perkembangan fisiknya. Nadi dan tekanan darah kembali ke normal,
dan bising yang menyerupai bunyi mesin menghilang. Bising sistulik
fungsional di sekitar are pulmoner dapat tetap bertahan, hal tersebut
menunjukkan turbulensi menetap pada arteri pulmoner yang mengalami
dilatasi. Tanda radiografis dari pembesaran jantung dan sirkulasi pulmoner
yang berlebih menghilang dalam beberapa bulan dan elektrokardiogram
menjadi normal.(13)
Gambar 16. Algoritma Tatalaksana PDA
2.5.9. Prognosis
Pasien dengan PDA kecil dapat hidup dengan normal dengan gejala
kardiak minimal atau tidak ada sama sekali, tetapi manifestasi jangka panjang
masih dapat terjadi. Penutupan spontan PDA pada masa bayi sangat jarang
terjadi. Gagal jantung sering terjadi pada masa awal bayi apabila terdapat PDA
yang berukuran besar, tetapi dapat juga terjadi pada jangka waktu yang lama
bila Pda berukuran sedang. Beban jantung ventrikel kiri yang meningkat
secara kronis kurang dapat ditoleransi seiring bertambahnya usia.(13)
Endarteritis infektif dapat ditemukan pada usia berapapun. Emboli
sistemik maupun pulmoner dapat terjadi. Komlpikasi yang jarang ditemukan
antara lain dialatasi aneurisma pada arteri pulmoner atau pada duktus,
kalsisfikasi duktus, trombosis noninfektif pada duktus dengan embolisasi dan
emboli paradoksikal. Hipertensi pulmoner pada sindrom Eisenmenger
biasanya terjadi pada pasien dengan PDA besar yang tidak mendapatkan terapi
pembedahan.(13)
BAB III
PENUTUP
Penyakit jantung bawaan adalah sekelompok kelainan struktural dan fungsional jantung
yang muncul selama masa embriogenesis jantung. Secara garis besar dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sianotik dan asianotik berdasarkan data epidemiologi yang ada, PJB yang paling
sering terjadi adalah kelompok PJB asianotik (sebesar 75% dari seluruh angka kejadian PJB)
dan defek septum atrium merupakan PJB asianotik yang paling sering terjadi (20-30% dari
seluruh angka kejadian PJB), sedangkan defek septum ventrikel dan duktus arteriosus paten
menduduki angka yang sama, yaitu sekitar 5-10% dari seluruh angka kejadian PJB.
Pada umumnya PJB tidak berdiri sendiri, biasanya diikuti oleh sekelompok kelainan lain
yang disebabkan oleh mutasi genetika, misalnya sindrom Down, sindrom Trurner, sindrom
Edwards, dan lain sebagainya. Oleh karena itu penting untuk dilakukan konseling genetika
untuk mengurangi angka kejadian PJB.
Diagnosis PJB ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dapat berupa elektrokardiografi, rontgen thorax, dan ekokardiografi.
Sedangkan kateterisasi jantung akhir-akhir ini jarang dibutuhkan karena kemajuan tekhnologi
sehingga hanya dengan ekokardiografi umumnya dapat ditentukan diagnosis PJB.
Untuk penatalaksanaannya, ASD dan VSD tidak memerlukan terapi farmakologi, kecuali
apabila telah terjadi gagal jantung. Bergantung pada tipenya, ASD dan VSD dapat dibiarkan
menutup sendiri atau harus dilakukan penutupan defek baik secara bedah maupun nonbedah.
Sedangkan pada PDA, tergantung apakah terjadi padi bayi aterm ataukah prematur. Pada bayi
prematur umumnya diberikan terapi farmakologi yaitu indometasin atau ibuprofen untuk
menutup duktus arteriosus yang persisten. Dan pada bayi aterm biasanya dilakukan tindakan
penutupan PDA, baik dengan pembedahan ataupun dengan intervensi nonbedah. Selain itu,
penutupan ASD juga dapat dilakukan pada bayi prematur yang tidak berhasil dilakukan terapi
farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roebiono PS. Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawaan. Avaialable at:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/poppy.roebiono/material/diagnosisdantatalaksanapjb2.pdf . Accessed on 20th July, 2014
2. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung pada bayi dan
anak. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. p. 3-17
3. Embriologi langman Sadler TW. Sistem kardiovaskular. In: Novrianti A, Editor. Langman
embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 187-228
4. Fahed AC, Gelb BD, Seidman G, Seidman CE. Genetics of congenital heart diease: the
glass half empty. Circ Res. 2013; 112: 707-720
5. Kumala EEI, Soetadji A, Pramono D. Perbedaan status gizi pada anak dengan penyakit
jantung
bawaan
sianotik
dan
asianotik.
Available
http://eprints.undip.ac.id/37513/1/ELIZABETH_EDWINA_G2A008066_LAP_KTI.pdf
at:
.
Acessed on July 20th, 2014
6. Departemen kesehatan republik indonesia. Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan tanpa
bedah.
Available
at:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=272&It
emid=142 . Accessed on July 20th, 2014
7. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Saripediatri 2000; 2(3): 155162
8. Rilantono LI. Penyakit jantung bawaan. In: Rahajoe AU, Karo-Karo S, Editors. Lima
rahasia penyakir kardiovaskular. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013. p. 491-507,
522-43
9. Hoffman JIE. The circulatory system. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister
G, Siegel NJ, Apt L, et all, Editors. Rudolph’s pediatrics. 21st ed. USA: McGraw-Hill;
2003. p. 1781-6
10. Hay WW. Cardiovascular diseases. In: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding
RR. Current diagnosis & treatment. 9th ed. Stanford: McGraw-Hill; 2008.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Defek septum ventrikel, defek septum atrium, duktus
arteriosis persisten. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, Editors. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI; 2009. p. 36-40, 63-6
12. McMahon CJ, Feltes TF, Fraley JK, Bricker JT, Grifka RG, Tororiello TA, et all. Natural
history of growth of secundum atrial septal defects and implications for transcathether
closure. Heart 2002; 87: 256–259
13. Bernstein D. Acyanotic congenital heart disease. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, Editors. Nelson textboon of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007
14. Madriago E, Silberbach M. Heart failure in infants and children. Pediatrics in Review 2010;
31; 4.
15. Bialkowski J, Karwot B, Szkutnik M, Banaszak P, Kusa J, Skalski J. Closure of atrial septal
defect in children. Tex Heart Inst J 2004;31:220-3
16. McDaniel NL. Ventricular and atrial septal defects. Pediatrics in Review 2001;22;265
17. Minette MS, Sahn DJ. Ventricular septal defects. Circulation. 2006;114:2190-2197
18. Madan JC, Kendrick D, Hagadorn JI, Frantz ID. Patent ductus arteriosus therapy: impact on
neonatal and 18 month outcome. Pediatrics 2009;123;674
19. Gunawan H, Kaban RK. Terapi farmakologis duktus arteriosus persisten pada bayi
prematur: inometasin atau ibuprofen? Sari Pediatri 2010;11(6):401-8
Download