MODUL PELATIHAN DASAR-DASAR HAM METODE E-LEARNING IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA Penulis: Dr. Agus Anwar,S.H., M.H. Ratih Ekarini Savitri, S.H., C.N., M.Si. Widi Krisnowahadi, S.H.,M.H. Editor: Siti Fathiyah, S.H. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI. BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM PUSAT PENGEMBANGAN DIKLAT FUNGSIONAL DAN HAM DEPOK, 2021 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi. Hakikat HAM sendiri merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Negara Republik Indonesia telah berkomitmen untuk menghormati, memenuhi, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat internasional yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dan berbagai perjanjian internasional lainnya di bidang Hak Asasi Manusia. Pembelajaran mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia yang berisi konsep dasar HAM mengenai Implementasi HAM berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, berdasarkan Konvensi Ratifikasi Internasional dan bagi pejabat fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu materi penting dalam Pelatihan Dasar-dasar Hak Asasi Manusia Metode E-learning di lingkungan Implementasi Hak Asasi Manusia 1 Kementerian Hukum dan HAM. Pelatihan ini disusun untuk meningkatkan kompetensi Hak Asasi Manusia bagi Para Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sehingga setelah mengikuti seluruh rangkaian pelatihan Dasar-dasar HAM ini peserta diharapkan mampu menjelaskan Implementasi HAM berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Konvensi Ratifikasi Internasional serta bagi pejabat Kementerian Hukum dan HAM. fungsional di Lingkungan B.Deskripsi Singkat Modul ini membahas tentang Implementasi Hak Asasi Manusia yang mencakup Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang meliputi sejarah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Keanggotaan Rencana Aksi Nasioanal Hak Asasi Manusia serta Aksi Hak Asasi Manusia. Selanjutnya yang dibahas dalam modul ini adalah mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Konvensi Ratifikasi Internasional, dan cakupan selanjutnya mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. C.Manfaat Modul Modul ini membekali peserta pelatihan dasar-dasar hak asasi manusia metode e-learning kemampuan konsepsional tentang implementasi hak asasi manusia. 2 Implementasi Hak Asasi Manusia D. Tujuan Pembelajaran 1. Hasil Belajar Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu menjelaskan implementasi hak asasi manusia. 2. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari modul ini peserta dapat: a. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia berdasarkan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM). b. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia berdasarkan konvensi ratifikasi internasional. c. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok Materi Pokok dan Sub Materi Pokok yang disajikan dalam modul ini terdiri dari: 1. Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia; a. Sejarah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia; b. Keanggotaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia; c. Aksi Hak Asasi Manusia 2. Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Konvensi Ratifikasi Internasional; Implementasi Hak Asasi Manusia 3 3. Implementasi Hak Asasi Manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. F. Jam Pelajaran Total jam pembelajaran untuk materi ini adalah 5 JP (3 JP online dan 2 JP belajar mandiri). G. Petunjuk Pembelajaran Pembelajaran Materi Dasar-dasar HAM ini dilakukan dengan metode e-learning dengan rincian kegiatan antara lain: 1. Modul Implementasi Hak Asasi Manusia dipelajari setelah peserta Pelatihan Dasar-dasar HAM metode e-learning mempelajari modul Konsep Dasar HAM, Badan-Badan HAM, Instrumen HAM serta Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara. 2. Peserta Pelatihan harus mempelajari bab mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Konvensi Ratifikasi Internasional dan bagi pejabat fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3. Pahami setiap penjelasan dan kerjakan latihan yang ada dalam modul, apabila belum mengerti maka dapat dikonsultasikan kepada instruktur. 4 Implementasi Hak Asasi Manusia BAB II IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (RANHAM) A. Sejarah Rencana Aksi Nasional HAM Membicarakan HAM bukanlah hal baru1, sejarah perkembangannya meliputi sejumlah abad, hingga abad ke-13 di Benua Inggris, yang terkenal dengan Piagamnya Magna Charta (1215), Petition of Rights (1689). HAM merupakan nilai universal2, sehingga bangsa dan negara Indonesia, sebagai warga masyarakat dunia tidak dapat bersikap apatis. Implementasi nilai- nilai HAM dalam negara hukum Indonesia haruslah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas serta cara bagaimana menjalankan dan mempertahankannya. Ditinjau secara obyektif, HAM merupakan kewenangan3 yang melekat pada Ketua MPRS RI, Jendral A.H. Nasution menyatakan : “hakikat HAM sesungguhnya sama tuanya dengan adanya manusia di dunia ini. Tetapi agaknya telah menjadi hukum sejarah, bahwa persoalan HAM timbul pada saat hak asasi tersebut ditindas atau diabaikan oleh suatu kekuasaan “. Mahadi, Pandangan Umum tentang HAM, dalam OK. Saidin, Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi Pemikiran 3 Prof. Mahadi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 321. Menurut Gunawan Setiardja, dalam bukunya yang berjudul Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.74. Menyatakan “barang siapa beranggapan bahwa HAM itu hanya berlaku dengan syarat-syarat tertentu, hanya dalam lingkungan kebudayaan tertentu, dengan premis-premis metafisika Barat atau berangkat dari teologi Kristen, atau hak-hak warga negara demokrasi yang berorientasi Barat”. Terdapat perbedaan antara “hak” dan “kewenangan”. Adapun “hak” adalah kekuasaan (dalam arti sempit) yang dialokasikan oleh hokum kepada seseorang untuk bertindak guna melindungi kepentingannya terhadap orang lain yang menjadi pemegang kewajiban. Sedangkan “kewenangan” adalah berupa hak yang tidak mempunyai pasangan yang berupa kewajiban (pada orang lain) yang diberikan kepada seseorang untuk, mellaui jalur hokum, mewujudkan kemauannya guna mengubah hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban atau lain-lain hubungan hokum, baik dari dirinya sendiri maupun orang lain. Vide Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum,PT. Citra Adit Bakti, Bandung, hlm. 53-58. Implementasi Hak Asasi Manusia 5 manusia sebagai manusia, yang harus diakui dan dihormati oleh pemerintah. Salah satu wacana yang paling hangat ketika membicarakan penerapan HAM pada skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif”yang pada akhirnya berkembang untuk kedian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.4 Hak Asasi Manusia bukan hanya berupa tulisan atau aturan yang dapat kita lihat dan baca, akan tetapi Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri setiap manusia, bersifat universal, dan nondiskriminatif, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi, dipenuhi, ditegakkan, dan dimajukan. Penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM tersebut haruslah ada implementasi nyata sehingga dapat menciptakan kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Sebagai langkah konkret Pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka disusunlah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Rhona K. M. Smith, dkk., dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Cet. Kedua, 2010, hlm. 18. 6 Implementasi Hak Asasi Manusia atau yang disingkat RANHAM. Pelaksanaan RANHAM saat ini telah melewati 5 (lima) generasi yaitu : -generasi pertama (periode 1999-2003); -generasi kedua (periode 2OO4-2OO9); -generasi ketiga (periode 2011-2014); -generasi keempat (periode 2015-2019); dan -generasi kelima (periode 2021-2025). RANHAM disusun dimaksudkan sebagai : a.pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM; dan b.kegiatan percepatan yang dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang dituangkan dalam bentuk kegiatan khusus di luar kegiatan rutin. Implementasi Hak Asasi Manusia 7 Tujuan dari penyusunan RANHAM adalah: 1.Menyinergikan upaya penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; 2.Mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan yang sesuai prinsip-prinsip HAM; dan 3.Mengoptimalkan pencapaian pemenuhan hak kepada kelompok sasaran dalam RANHAM. RANHAM secara khusus mempunyai sasaran yang harus diperhatikan dala pelaksanaannya, yaitu: 1.Meningkatnya pemahaman HAM bagi aparatur negara dan masyarakat; 2.Terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah; 3.Percepatan penyelesaian hambatan-hambatan pemenuhan HAM pada 4 fokus kelompok sasaran (hak perempuan, anak, masyarakat hukum adat dan penyandang disabilitas sesuai Perpres Nomor 75 Tahun 2015 junto Perpres No. 33 Tahun 2018); 4.Meningkatnya partisipasi Indonesia dalam forum kerja sama penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM; 5.Meningkatnya penanganan pelanggaran HAM; dan 6.Meningkatnya aksesbilitas penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya. 8 Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam perkembangannnya, penyusunan dan implementasi RANHAM tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, tetapi melibatkan peran Pemerintah Daerah. Pada masing-masing tingkatan, implementasi RANHAM dibentuk ikatan kerjasama lintas instansi dalam wadah Sekretariat Bersama RANHAM untuk memonitor dan mengevaluasi implementasi Aksi HAM RI. Sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993/Vienna Declaration and Program of Action on Human Rights (VDPA), Pemerintah telah mengesahkan dan mengimplementasikan empat Rencana Aksi Nasional HAM dengan penyebutan 5 generasi RANHAM , yaitu: (RANHAM), yang kemudian identik 1.RANHAM 1998 - 2003 dengan diterbitkan Kepres No.129 Tahun 1998; 2.RANHAM 2004 - 2009 dengan diterbitkan Kepres No. 40 Tahun 2004; 3.RANHAM 2011 - 2014 dengan diterbitkan Perpres No. 23 Tahun 2011; 4.RANHAM 2015 - 2019 dengan diterbitkan Perpres No. 75 Tahun 2015 jo Perpres No. 33 Tahun 2018; dan 5.RANHAM 2021 - 2025 dengan diterbitkan Perpres No. 53 Tahun 2021. Pada RANHAM terbaru (generasi 5), RANHAM memuat sasaran penghormatan, pelindungan, strategis yang mengarah pada pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap 4 (empat) kelompok sasaran yaitu : Implementasi Hak Asasi Manusia 9 1. perempuan; Kelompok Sasaran Perempuan Kelompok perempuan menjadi fokus sasaran kelompok RANHAM karena belum maksimalnya pelindungan dan pemenuhan hak terhadap perempuan di berbagai bidang pembangunan. 2. anak; Anak menjadi salah satu kelompok sasaran RANHAM dengan dasar pemikiran bahwa masih terdapat anak-anak dalam situasi khusus tidak mendapatkan hak-hak dasar dan pelayanan publik, terutama untuk bidang administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, anakanak juga masih sangat rentan mendapatkan tindakan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk di bidang ketenagakerjaan. secara rinci, jaminan perlindungan anak di datam RANHAM didasarkan pada tantangan dan diarahkan pada sasaran strategis. 3. penyandang disabilitas; Penyandang disabilitas menjadi kelompok sasaran RANHAM, karena meskipun telah ada UndangUndang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pelaksanaan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak-hak kelompok tersebut masih belum efektif dan optimal. 4. Kelompok Masyarakat Adat. Kelompok Masyarakat Adat menjadi sasaran kelompok RANHAM dengan dasar pemikiran bahwa hingga saat ini belum tersedia kerangka perlindungan hukum yang memadai bagi Kelompok Masyarakat Adat dan pelanggaran hak atas lahan Kelompok Masyarakat Adat masih sering terjadi. 10 Implementasi Hak Asasi Manusia Secara umum, perkembangan capaian Aksi HAM menunjukkan kemajuan, meskipun dengan sejumlah catatan yang perlu diperhatikan untuk lebih meningkatkan kinerja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM. Beberapa capaian di antaranya, yaitu: 1.Diterbitkannya peraturan dan kebijakan yang menjamin hak- hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat; 2.Meningkatnya pemahaman aparat pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM; 3.Terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah; 4.Meningkatnya aksesibilitas penyandang disabilitas dan berpartisipasi di bidang sipil, politik, ekonomi, dan budaya; dan 5.Adanya upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM untuk kelompok rentan lainnya untuk perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat. Dari sisi pelaksanaan RANHAM hampir sebagian besar aksi telah mencapai target yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga berhasil menjawab permasalahan HAM yang teridentifikasi sebelumnya. Namun, dari pencapaian HAM tersebut masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan, antara lain dapat diidentifikasi pada dua aspek berikut ini: Implementasi Hak Asasi Manusia 11 1. Aspek implementasi, meliputi: a. Ruang lingkup Aksi HAM generasi sebelumnya masih sangat luas dan belum fokus, sehingga sulit untuk dipantau dan dievaluasi; b. RANHAM 5 (lima) tahunan menyulitkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota dalam menanggapi isu HAM yang perlu diakomodasi secepatnya; c. Aksi HAM masih merupakan program rutin kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota; d. Belum optimalnya sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan Aksi HAM yang masih sebatas prosedural administrasi; dan e. Pelaporan RANHAM belum optimal digunakan untuk pelaporan Indonesia pada Dewan HAM PBB, Badan Traktat pBB, dan forum HAM internasional lainnya. 2. Aspek substansi berupa belum optimalnya kebijakan, regulasi, dan program yang terkait dengan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat. Berdasarkan catatan di atas, diperlukan penyempurnaan terhadap implementasi dan substansi RANHAM sebagai upaya percepatan dan sinergi antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, yang meliputi: 1. Penyusunan Aksi HAM berfokus pada 4 (empat) kelompok sasaran yaitu: a. Perempuan; 12 Implementasi Hak Asasi Manusia b. Anak; c. penyandang disabilitas; dan d. Kelompok Masyarakat Adat; 2. Perumusan Aksi HAM merupakan kegiatan khusus di luar kegiatan rutin kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, untuk mencapai sasaran strategis RANHAM; 3. Penyusunan mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang lebih sistematis dan komprehensif sehingga pencapaian Aksi HAM dapat diukur dengan sasaran yang hendak dicapai; dan 4. Optimalisasi laporan RANHAM untuk pelaporan Indonesia pada Dewan HAM PBB, Badan Traktat PBB, dan forum HAM internasional lainnya. B. Keanggotaan RANHAM Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021- 2025 adalah dokumen yang memuat sasaran strategis yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia. Sedangkan Aksi HAM adalah penjabaran lebih lanjut dari RANHAM untuk dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Implementasi Hak Asasi Manusia 13 Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2021 dimaksud menjadi kebijakan generasi kelima RANHAM sejak pertama kali dibentuk pada 1998. Dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi Nasional Hak Nasional RANHAM yang terdiri atas : Asasi Manusia dibentuk Panitia a.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; b.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial; c.menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri; d.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional; dan e.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri. Panitia Nasional RANHAM tersebut dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Panitia Nasional RANHAM bertugas: a.merencanakan, mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan RANHAM di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota; b.menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota kepada Presiden; dan c.mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM. 14 Implementasi Hak Asasi Manusia Untuk mendukung kelancaran tugasnya, Panitia Nasional RANHAM dibantu oleh sekretariat yang berkedudukan di kementerian hukum dan hak asasi manusia. Ketentuan mengenai tata cara koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta sekretariat Panitia Nasional RANHAM diatur dengan Peraturan Menteri hukum dan hak asasi manusia. Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM kepada Panitia Nasional RANHAM setiap 4 (empat) bulan sekali. Panitia Nasional RANHAM menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM kepada Presiden setiap 12 (dua belas) bulan sekali dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Laporan capaian pelaksanaan RANHAM dilaksanakan sebagai wujud akuntabilitas publik. C. Aksi Hak Asasi Manusia RANHAM merupakan komitmen Negara Republik Indonesia sebagai wujud dari tanggung jawab Negara atas penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan secara konsisten dan terukur. RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana pelaksanaan Aksi HAM tersebut dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. Implementasi Hak Asasi Manusia 15 Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2021.Dalam pelaksanaan RANHAM ini mencakup laporan aksi ham baik kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, dimana setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah akan melakukan pelaporan aksi HAM di bulan keempat (B.04), bulan kedelapan (B.08), dan bulan kedua belas (B.12). Setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah telah mempunyai aksinya masing-masing. Adapun alur pelaporan aksi HAM, yaitu: 1.Menyusun dan melakukan penajaman aksi HAM; 2.Melakukan menginputan matrik ke dalam sistem pemantauan (serambi.ksp.go.id); 3.Kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah melakukan penginputan pelaporan aksi ham melalui sispan (serambi.ksp.go.id) sesuai dengan waktu yang diberikan; 4.Setelah kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah menginput pelaporan aksi hamnya selanjutnya tim verifikasi melakukan verifikasi terhadap data-data pelaporan yang telah diinput oleh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, setelah verifikasi selesai, tim merekap hasil verifikasi tersebut; 5.Hasil verifikasi yang sudah direkap tadi kemudian dijadikan bahan untuk melakukan pemantauan aksi ham masing- masing daerah; 6.Pemantauan aksi HAM ini selanjutnya akan dijadikan bahan laporan evaluasi terhadap pelaksanaan aksi HAM. 16 Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam pelaksanaan RANHAM ini mencakup laporan aksi ham baik kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, dimana setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah akan melakukan pelaporan aksi HAM di bulan keempat (B.04), bulan kedelapan (B.08), dan bulan kedua belas (B.12). Setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah telah mempunyai aksinya masing-masing. Alur Pelaksanaan Laporan Aksi HAM Pelaporan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi yang terjadi serta penentuan kebijakan yang relevan. Dalam konteks implementasi pemenuhan HAM, maka Pelaporan implementasi pemenuhan HAM merupakan realisasi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat tentang pelaksanaan atau implementasi pemenuhan HAM di kementerian atau lembaga maupun pemerintah daerah Implementasi Hak Asasi Manusia 17 Dalam laporan disampaikan capaian yang dihasilkan. Dilanjutkan penjelasan tentang faktor-faktor yang menghambat program/ pelaksanaan implementasi pemenuhan HAM belum tercapai sesuai dengan yang diinginkan/diprogramkan, kemudian dijelaskan pula langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh K/L/P dalam mengatasi faktor penghambat disertai dengan analisis. Umumnya, disertai dengan berbagai rekomendasi yang perlu dijalankan para pihak. Sebelum dipublikasikan atau diterbitkan, sebaiknya dilakukan proses pengujian terhadap laporan tersebut yaitu, meminta tanggapan akhir dari semua yang terlibat. Kemudian tanggapan dari pihak lain yang independen dan ahli dan jika perlu tanggapan publik terbatas. pengujian itu dimaksudkan sematamata untuk menjamin kredibilitas laporan tersebut. Pada posisi ini maka penting kemampuan pengelola laporan HAM untuk dapat bekerja sama lintas instansi dan pemerintah. Pelaporan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a.Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal HAM wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Presiden. b.Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi wajib menyampaikan laporan kepada Menteri Hukum dan HAM c.q Direktur Jenderal HAM. c.Satuan Kerja Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Kepala Kantor Wilayah Kemkumham Provinsi. Pengorganisasian data sebagai bagian dari evaluasi dilaksanakan melalui metode sebagai berikut: 18 wajib menyampaikan laporan kepada implementasi pemenuhan HAM, dapat Implementasi Hak Asasi Manusia 1. Menyandingkan data. Data yang disandingkan adalah: a. Data tahun sebelumnya (misalnya data 2018) disandingkan dengan data tahun berjalan (misalnya data 2019); (Evaluasi progres tahunan). b. Data semester awal (Ganjil) tahun berjalan (misal tahun 2019) disandingkan dengan data semester akhir tahun berjalan (Genap); (Evaluasi progres semesteran); c. Data target program kegiatan tahun berjalan disandingkan capaian/realisasi program tahun berjalan. (Evaluasi target) Alur Pelaporan Implementasi Pemenuhan HAM Presiden RI Publikasi: ‐cetak ‐elektronik Menteri Hukum dan HAM RI Ditjen HAM (verifikasi Setiap Caturwulan (4) Setiap Caturwulan (4) Provinsi K ab/K ota Implementasi Hak Asasi Manusia Setiap Caturwulan (4 Kantor Staf Presiden (KSP) serambi.ksp.go.id Kementerian / Lembaga 19 2. Dari data yang telah disandingkan, dapat diketahui seberapa pemenuhan HAM di besar program implementasi kementerian/lembaga maupun pemerintahan daerah berjalan, atau apakah target telah tercapai, jika program tidak berjalan atau tercapai maka dijelaskan penyebab program tidak berjalan, apa faktor penyebab, atau kenapa target tidak tercapai, dan langkah-langkah apa yang telah dilakukan dalam mengantisipasi faktor penyebab. 3. Setelah capaian program dan kendala dari program implementasi pemenuhan tersebut diketahui maka diambil kesimpulan pelaksanaan implementasi pemenuhan HAM di kementerian/ lembaga maupun pemerintahan daerah apakah sudah berjalan dengan baik apa tidak, kemudian dari hal tersebut akan dibuat suatu rekomendasi yang diperlukan untuk perbaikan dan atau peningkatan tahun berikutnya kepada stakeholder (kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah). Setelah adanya data-data dan sumber informasi pemantauan telah didapatkan, maka perlu dilanjutkan dengan membuat hasil analisis menjadi sebuah laporan naratif yang mudah dibaca dan difahami. Oleh karena itu perlu difahami komponenkomponen utama suatu laporan. 20 Implementasi Hak Asasi Manusia Komponen Laporan HAM Komponen Laporan Latar Belakang Jenis Informasi Kerangka pemantauan dan proses pelaksanaannya Catatan Peristiwa Penting Menyusun seluruh rangkaian peristiwa berdasarkan urutan kronolis waktu Bukti atau fakta pelanggaran atau permasalahan HAM yang ditemukan di Lapangan Fakta-Fakta Lapangan Analisis Fakta - Hasil analisis tentang tindak pelanggaran HAM, korban dominan, dan pelaku berdasarkan bukti-bukti lapangan - Alasan-alasan pembenar dari para pelaku terhadap tindakan pelanggaran yang ia perbuat - Respon dan tindakan penanganan dari Negara Kesimpulan dan Rekomendasi Ringkasan bagian catatan peristiwa pnting; kumpulan kasus pelangaran, analisa fakta, dan rekomendasi untuk tindak lanjut. Organisasi data dan pelaporan merupakan bagian yang melekat dalam proses evaluasi. Dalam konteks implementasi pemenuhan HAM, maka evaluasi merupakan rangkaian membandingkan program, dengan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) dari program yang ditetapkan. Tujuan utama dari evaluasi atau penilaian HAM adalah mengukur upaya yang dilakukan oleh pengemban tugas dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik dalam hal pemajuan atau perlindungan HAM. Implementasi Hak Asasi Manusia 21 Masa Pelaporan RANHAM Generasi Keempat (2015-2019) 1. B.03 Pelaporan tahun 2015-2019 Tanggal 28 April s/d 11 Mei Tahun berjalan 2. B.06 28 Juni s/d 11 Juli Tahun berjalan 3. B.09 28 September s/d 11 Oktober Tahun berjalan 4. B.12 28 Desember s/d 11 Januari Tahun berikutnya Jadwal Pelaporan NO Verifikasi 12 Mei s/d 17 Mei Tahun berjalan 12 Juli s/d 17 Juli Tahun berjalan 12 Oktober s/d 17 Oktober Tahun berjalan 12 Januari s/d 17 Januari Tahun berikutnya Masa Pelaporan RANHAM Generasi Kelima (2020-2024) NO 1. 2. 3. Pelaporan tahun 2020-2024 Tanggal Jadwal Pelaporan B.04 28 Mei s/d 5 Juni Tahun berjalan Verifikasi 12 Juni s/d 17 Juni Tahun berjalan B.08 28 Agustus s/d 5 September Tahun berjalan 28 November s/d 5 Desember B.12 Tahun berjalan 12 September s/d 17 September Tahun berjalan 12 Desember s/d 17 Desember Tahun berjalan Capaian RANHAM Generasi Keempat (2015-2019) Capaian Aksi HAM Yang Memenuhi Target (Dalam %) No. 1 2 3 Pelaksana RANHAM 2015 88 19,60 6,13 37,91 K/L Provinsi Kab/Kota CAPAIAN (rata2) 22 2016 98,44 72,06 37,81 69,44 2017 92,21 70,59 52,59 71,80 2018 73,24 85,88 63,57 74,23 Implementasi Hak Asasi Manusia 2019 100 88,82 72,23 87,02 Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM (KKP HAM) Wujud kepedulian Negara terhadap penghormatan, pemajuan, pemenuhan, penegakan dan perlindungan HAM (P-5 HAM) salah satunya adalah dengan dikeluarkannya revisi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Penilaian Kabupaten Kota Peduli HAM yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Penilaian Kabupaten Kota Peduli HAM , dimana dalam Permenkumham tersebut terdapat 10 kriteria hak dasar yang terbagi menjadi 2 yaitu hak sipil politik dan hak ekonomi sosial dan budaya.5 Tabel Jumlah Kabupaten/Kota Peduli HAM No 1 2 3 4 5 6 Tahun 2020 2019 2018 2017 2016 2015 Peduli 259 272 271 232 228 132 Cukup Peduli 79 96 75 83 0 0 Mulai Peduli Penerima Penghargaan 259 343 343 315 228 132 0 0 0 0 0 0 Sumber: http://ham.go.id/data-kabupaten-kota-peduli-ham/ Peduli HAM adalah upaya pemerintah daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Berbagai isu HAM secara substansi melekat dalam urusan pemerintahan daerah (pemda) yang bersifat wajib. Norma dan standar peran negara terhadap HAM juga dibuat untuk mencerminkan bahwa kewajiban negara terhadap Sumber: http://ham.go.id/data-kabupaten-kota-peduli-ham/ Implementasi Hak Asasi Manusia 23 HAM akan terlaksana dan menguat jika daerah turut berperan. Pemerintah pusat telah beberapa periode menjalankan RANHAM yang dikuatkan kembali dengan adanya penilaian Kab/Kota Peduli HAM. Penilaian KKP HAM dilaksanakan setiap tahun dan hasilnya ditetapkan tiap bulan Desember oleh Direktorat Jenderal HAM melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Permenkumham Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM, memberikan motivasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan mengembangkan sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan, pemenuhan, perlindungan, penegakkan, dan pemajuan HAM di wilayahnya. Langkah kerja bersama itu berguna untuk mengetahui hasil kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Mekanisme Pelaksanaan Pelaporan KKP HAM 24 Implementasi Hak Asasi Manusia Peduli HAM adalah upaya pemerintah daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Berbagai isu HAM secara substansi melekat dalam urusan pemerintahan daerah (pemda) yang bersifat wajib. Norma dan standar peran negara terhadap HAM juga dibuat untuk mencerminkan bahwa kewajiban negara terhadap HAM akan terlaksana dan menguat jika daerah turut berperan. Pemerintah pusat telah beberapa periode menjalankan RANHAM yang dikuatkan kembali dengan adanya penilaian Kab/Kota peduli HAM. Penilaian KKP HAM dilaksanakan setiap tahun dan hasilnya ditetapkan tiap bulan Desember oleh Direktorat Jenderal HAM melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Permenkumham Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM, memberikan motivasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan mengembangkan sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan, pemenuhan, perlindungan, penegakkan, dan pemajuan HAM di wilayahnya. Langkah kerja bersama itu berguna untuk mengetahui hasil kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Implementasi Hak Asasi Manusia 25 26 Implementasi Hak Asasi Manusia D. Latihan Untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang implemetansi HAM sebagaimana diuraikan diatas, cobalah jawab latihan dibawah ini: 1.Sebutkan tujuan dari penyusunan RANHAM ! 2.Sebutkan sasaran kelompok RANHAM generasi kelima ! 3.Sebutkan siapa yang termasuk dalam Panitia Nasional RANHAM ! 4.Siapa yang mengimplementasikan pelaksanaan Aksi HAM ? 5.Sebutkan dasar hukum Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM dan apa tujuan pemberikan Kabupaten/Kota Peduli HAM ! E. Rangkuman Penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM harus dapat diimplementasi dengan nyata agar tercipta kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Langkah konkret yang dilakukan Pemerintah adalah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disingkat RANHAM berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan RANHAM telah melewati 5 (lima) generasi yaitu, generasi pertama (periode 1999-2003), generasi kedua (periode 2004-2009), generasi ketiga (periode 2011-2014), generasi keempat (periode 2015-2019), dan generasi kelima (periode 2021-2025). Implementasi Hak Asasi Manusia 27 Dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dibentuk Panitia Nasional RANHAM yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana pelaksanaan Aksi HAM tersebut dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2021. F. Evaluasi Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan diskusikanlah implemetasi HAM pada kelompok sasaran RANHAM generasi 5. 28 Implementasi Hak Asasi Manusia BAB III IMPLEMENTASI HAM BERDASARKAN KONVENSI RATIFIKASI INTERNASIONAL Mengaitkan HAM sebagai konsepsi universal dengan ideologi bangsa sangatlah relevan, karena sekalipun HAM merupakan sesuatu yang melekat pada manusia secara kodrati, namun operasionalisasinya harus disesuaikan dengan aspek sosial budaya setiap bangsa. Pembatasan (limitation) ini secara implisit juga diakui di dalam dokumen-dokumen internasional (the International Bill of Human Rights), asal didasarkan atas perundang-undangan yang berlaku (the limitations must be determined by law). Alasan yang dikemukakan adalah “for the purpose of securing due recognition of the rights of others and meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”.6 Negara dapat memasukkan norma-norma HAM internasional ke dalam hukum domestiknya sesuai dengan sistem dan mekanisme hukum masing-masing. Standar HAM yang tercermin dalam hukum kebiasaan internasional juga dapat dimasukkan ke dalam hukum kurangnya dengan menghilangkan perundang- nasional (sekurang- undangan yang bertentangan atau melalui praktek/kebijakan pemerintah) sebagai bagian dari “hukum negara”.7 Internasionalisasi gagasan HAM yang disepakati sebagai “tolok ukur kesepakatan bersama bagi semua rakyat bagi semua bangsa” (a commond standard of achievement for all peoples and all nations) Muladi dalam Kata Pengantar buku Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 12 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Op. Cit., hlm. 67. Implementasi Hak Asasi Manusia 29 ditandai dengan diterimanya suatu rezim hukum HAM internasional yang disiapkan oleh PBB yakni International Bill of Human Rights, yang terdiri atas empat dokumen, yaitu: 1.Universal Declaration of Human Rights 19488; 2.International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966; 3.International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966; 4.Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 1966. Pengklasifikasian Hak Asasi Manusia dibagi ke dalam 2 (dua) klasifikasi, yaitu : (1) Derogable Rights dan (2) Non-Derogable Rights.9 Derogable Rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk ke dalam jenis ini adalah: a. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan);10 b. hak atas kebebasan berkumpul secara damai;11 c. hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh.12 Declaration of Human Right 1948 diinspirasi oleh gagasan Franklin D Roosevelt, pada permulaan abad ke-20 yang memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang dikenal dengan “the four freedoms” yaitu : Freedom of Speech (kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat), Freedom of Religion (kebebasan beragama), Freedom from Fear (kebebasan dari rasa ketakutan), dan Freedom from Want (kebebasan dari kemelaratan). (Kaelan, Op. Cit., hlm. 250). Pengklasifikasian Derogable Rights dan Non-Derogable Rights adalah sesuai dengan ICCPR. ICCPR ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 19 ICCPR. Pasal 21 ICCPR. Pasal 22 ICCPR. 30 Implementasi Hak Asasi Manusia Berbeda dengan derogable rights, terhadap hak-hak dalam kategori nonderogable rights, hanya dapat disimpangi jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Di Indonesia non-derogable rights dirumuskan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.13 Di dalam ICCPR, hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi karena sangat mendasar14, yaitu: hak atas hidup (Pasal 6); hak bebas dari penyiksaan (Pasal 7); hak bebas dari perbudakan (Pasal 8); hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian [utang](Pasal 11); hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut (Pasal 15); hak sebagai subyek hukum (Pasal 16); dan hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama (Pasal 18).15 13 14 15 Sebelum dirumuskan dalam UUD NRI 1945, ketentuan sudah ditegaskan pula dalam Tap MPR No. XVII/ MPR/ 1998 tentang HAM dan juga di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 4, dengan narasi yang sama yang tercantum dalam UUD NRI 1945. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights), lihat Miftakhul Huda, “Kamus Hukum Non- Derogable Rights “, Majalah Konstitusi No. 43, Agustus 2010, hlm. 101. Sesuai dengan norma ICCPR, The European Convention of Human Rights dan American Convention on Human Rights membagi empat macam hak non-derogable yakni : hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan, dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini dikenal sebagai norma hukum internasional yang harus ditaati (jus cogens norms). Implementasi Hak Asasi Manusia 31 Konvensi merupakan perjanjian mulitilateral yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan hukum internasional untuk membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan. Konvensi digunakan untuk perjanjian secara spesifik seperti Konvensi Hak Anak. Secara kasar, konvensi mempunyai arti yang sama dengan perjanjian, kovenan, pakta atau kesepahaman yang kesemuanya merujuk pada instrumen hukum internasional.16 Kovenan yaitu sebuah perjanjian mulitilateral yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan hukum internasional untuk membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan. Konvensi digunakan untuk perjanjian seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik. Kovenan adalah perjanjian multilateral dan ditujukan untuk norma dan pelaksanaan HAM. Negara yang meratifikasi, menandatangani, atau menerima terikat secara hukum pada perjanjian ini.17 Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara- negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah- wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka. Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam 16 17 https://referensi.elsam.or.id/2014/09/konvensi/ diakses pada Selasa, 01 Juni 2021 https://referensi.elsam.or.id/2014/09/kovenan/ diakses pada Selasa, 01 Juni 2021 32 Implementasi Hak Asasi Manusia instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk mempublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan itu pasal demi pasal mulai tahun 1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu baru dapat Implementasi Hak Asasi Manusia 33 diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976. Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)). Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat 34 Implementasi Hak Asasi Manusia sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33). Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus 1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa Implementasi Hak Asasi Manusia 35 kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang. Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial). Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, yaitu dengan 36 Implementasi Hak Asasi Manusia mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka I) dan “Piagam Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka II). Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan, antara lain, “bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (huruf b) dan “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang lazim disebut sebagai “International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah Undang Dasar 1945. Perubahan Implementasi Hak Asasi Manusia mengesahkan perubahan Undang- 37 pertama disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UndangUndang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM. HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen UUD 1945. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan Deklarasi Universal HAM/ Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948 serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia. 38 Implementasi Hak Asasi Manusia Terdapat 8 (delapan) diantara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia18, yaitu: A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984); Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan 18 https://kemlu.go.id/portal/id/read/40/halaman_list_lainnya/indonesia-dan-hak-asasi- manusia, diakses pada Selasa, 01 Juni 2021 Implementasi Hak Asasi Manusia 39 pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedang dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta normanorma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia. Indonesia mengadakan pensyaratan terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi, hingga dengan demikian Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut dengan pertimbangan bahwa konvensi memuat ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan setiap perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan 40 Implementasi Hak Asasi Manusia ketentuan Konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut, kepada Mahkamah Internasional. B.1. Convention on the Rights of the Child (Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990) Indonesia adalah Negara yang telah meratifikasi dan mengadopsi prinsip-prinsip dalam Konvensi hak-hak anak (Convention on the Right of the Child), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Dalam konvensi ini diatur mengenai beberapa prinsip dasar anak yakni prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest for children), prinsip atas hak hidup, keberlangsungan dan perkembangan serta prinsip atas penghargaan terhadap pendapat anak. Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional, di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of the Child (Konvensi Implementasi Hak Asasi Manusia 41 tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989) sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/ HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara lain, dipandang perlu mengesahkan konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden. B.2. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012) Keberadaan anak dalam konflik bersenjata dapat menimbulkan dampak yang serius serta konsekuensi dalam jangka panjang bagi anak. Peperangan dan konflik bersenjata saat ini telah melibatkan berbagai pihak, termasuk anak-anak. Anak-anak sering dijadikan sasaran penyiksaan dan pembunuhan sebagai bagian dari strategi perang. Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang sangat merugikan anak, masyarakat internasional bersepakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi anak sebagaimana tercantum dalam Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata). Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional harus turut serta secara aktif untuk mencegah perekrutan, pelatihan militer, serta mempersenjatai anak dalam konflik bersenjata. Setiap apapun wajib dilindungi dan dipenuhi 42 Implementasi Hak Asasi Manusia anak tanpa diskriminasi hak-haknya dalam suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai pandangan anak, dan mendukung kelangsungan hidup anak. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata) pada tanggal 24 September 2001 yang merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1989. Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam konflik bersenjata, Indonesia perlu mengesahkan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hakhak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata) dengan UU no. 9/2012. Implementasi Hak Asasi Manusia 43 B.3. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia tersebut yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2). Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan merusak kesehatan perkembangan sosial termasuk pemberian atau mengganggu pendidikan anak, fisik, mental, spiritual, moral dan anak. Pembinaan kesejahteraan anak kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional. Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya mencegah, memberantas, menghukum pelaku tindak 44 Implementasi Hak Asasi Manusia dan pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001. Penandatanganan tersebut merupakan salah satu komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk mengimplementasikan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak- hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1989. C. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Punishment (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998) Degrading Treatment or Pada tanggal 9 Desember 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan menyatakan perlunya langkah-langkah martabat manusia, dan yang efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orangorang yang dirampas kemerdekaannya. Adapun pengertian Implementasi Hak Asasi Manusia 45 penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana, menurut Namun, karena deklarasi itu ketentuan dalam hukum pidana. bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985. Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Karena didorong oleh rasa tanggungjawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi 46 Implementasi Hak Asasi Manusia Rancangan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 105 negara. Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi, kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui juridiksi yang mengikat secara otomatis (Compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Persyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Implementasi Hak Asasi Manusia 47 D. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999) Diskriminasi rasial pada dasarnya merupakan suatu penolakan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan mendasar. Tidak jarang diskriminasi rasial terjadi karena dukungan Pemerintah melalui berbagai kebijakan diskriminasi rasial dalam bentuk apartheid, pemisahan dan pengucilan atau dukungan sebagian masyarakat dalam bentuk penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis. Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh baik bagi masyarakat luas maupun masyarakat internasional maka harus dihapuskan dari peradaban umat manusia. Keinginan masyarakat internasional untuk menghapuskan diskriminasi rasial tersebut dijabarkan dalam United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) yang diproklamasikan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1963, melalui Resolusi 1904 (XVIII). Deklarasi tersebut memuat penolakan terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah dan sebagian masyarakat, penghentian propaganda supremasi ras atau warna kulit tertentu dan langkah-langkah yang harus diambil oleh negara-negara dalam penghapusan diskriminasi rasial. Namun demikian, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, maka Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan 48 Implementasi Hak Asasi Manusia Bangsa Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa untuk disahkan. Pada tanggal 21 Desember 1965 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa memberikan kekuatan hukum yang mengikat semangat penghapusan diskriminasi rasial dengan menerima Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa untuk secepatnya mengesahkan perangkatperangkat internasional yang sangat penting di bidang HAM. Termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan dalam rangka memajukan dan melindungi HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan HAM dan pembangunan hukum di Indonesia, Pemerintah memutuskan untuk mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Implementasi Hak Asasi Manusia 49 Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 151 (seratus lima puluh satu) ketentuan Konvensi, Indonesia negara. Sesuai dengan menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 22 Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction). Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. E. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005) Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, citacita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya. 50 Implementasi Hak Asasi Manusia F. International Covenant on Civil and Political Rights (Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005) Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal. Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara- negara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. G. Convention on the Rights of Persons With Disabilities (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011) Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi Implementasi Hak Asasi Manusia 51 manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu menandatangani Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia menandatangani Konvensi tanpa reservasi. Akan tetapi, tidak menandatangani Optional Protocol Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sebagai negara penandatangan konvensi, Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang- undangan tersebut, antara lain: 1. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5. Undang- 52 Implementasi Hak Asasi Manusia Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; 10. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 11. UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; 12. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 14. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan 16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. H. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2012) Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, termasuk hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya perlu ditingkatkan. Pada tanggal 18 Desember 1990 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/RES/45/ 158 mengenai International Convention on the Protection of the Implementasi Hak Asasi Manusia 53 Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Resolusi tersebut memuat seluruh hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya dan menyatakan akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan Konvensi ini. Pada tanggal 22 September 2004 di New York, Pemerintah Indonesia telah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) tanpa reservasi. Penandatanganan tersebut menunjukkan kesungguhan Negara Indonesia untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya), Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini. Ratifikasi Konvensi ini diharapkan dapat mendorong terciptanya ratifikasi universal dan penerapan prinsip serta norma standar internasional bagi perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya secara global. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap tenaga kerja, antara lain: 1. Undang- 54 Implementasi Hak Asasi Manusia Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 5. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; 7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; 9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 11. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Indonesia juga telah memiliki National Human Rights Institution (NHRI) yang independen dan sejalan dengan Paris Principles yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI) yang dibentuk pada tahun 1999 berdasarkan UU no.39 Tahun 1999 tentang HAM. Komnas HAM RI secara berkala menjalani review The Global Alliance Of National Human Rights Institutions (GANHRI) dan telah mendapat akreditasi A dari sejak tahun 2000 sampai saat ini. Sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993/Vienna Declaration and Program of Action on Human Rights (VD PA), Pemerintah Indonesia telah mengesahkan dan mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM). Dalam hubungan bilateral, Indonesia telah memiliki forum dialog bilateral HAM reguler dengan sejumlah negara. Dalam tingkatan Implementasi Hak Asasi Manusia 55 regional, Indonesia turut membentuk badan khusus HAM dalam kerangka kerjasama ASEAN dan OKI. Sedang dalam tataran global, Indonesia aktif dalam pembahasan berbagai isu HAM baik di dalam mekanisme HAM PBB maupun di luar mekanisme HAM PBB. I.Latihan 1. Apa yang dimaksud dengan Konvensi ? 2. Sebutkan instrumen pokok HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia J.Rangkuman Indonesia juga telah meratifikasi 8 (delapan) dari 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional, yaitu konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita; konvensi hakhak anak mengenai Keterlibatan Anak dalam konflik bersenjata dan penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia; konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvenan dibidang ekonomi, sosial dan budaya; konvenan di bidang sipil dan politik; konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas; dan konvenan mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. K.Evaluasi Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan diskusikanlah 1 (satu) konvensi yang telah diratifikasi dikaitkan dengan hak anak. 56 Implementasi Hak Asasi Manusia BAB IV IMPLEMENTASI HAM BAGI PEJABAT FUNGSIONAL DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM Dalam rangka penerapan hak asasi bagi masyarakat, maka pemerintah sudah seharusnya menganut paradigma customer driven (berorientasi kepentingan masyarakat) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, mempersiapkan seluruh perangkat untuk memenuhi paradigma tersebut secara sistemik, sehingga terwujud pelayanan publik yang berkualitas (yang sedapat mungkin tangible, reliabel, responsif, aman dan penuh empati dalam pelaksanaannya)19. Untuk itu diperlukan aturan main yang tegas, lugas, dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan lingkungan, yang cirinya selalu berubah dengan cepat dan kadang penuh ketidakpastian. Disinilah letak seni dan ilmu pelayanan yang harus dikembangkan pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat sebagai pengewajantahan hak asasi masyarakat dalam partisipasi publik. Dalam bahasa administrasi publik, harus ada integrasi dalam hal melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas antara seluruh stakeholders pembangunan, yakni antara stakeholder internal, dalam hal ini sektor publik/sektor pemerintahan, dan stakeholders eksternal, dalam hal ini sektor swasta masyarakat luas lainnya20. J.V Denhardt and R.B Denhardt, The New Public Service: Serving Not Steering (New York: M.E Sharpe Publisher, 2004). Hardiyansyah, Kualitas Pelayanan Publik, Edisi Revi. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2018). Implementasi Hak Asasi Manusia 57 dan sektor A. Implementasi HAM Bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan Aparatur Sipil Negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat. 58 Implementasi Hak Asasi Manusia Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai ASN memiliki peran penting dalam menciptakan masyarakat yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi. Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 atau UU ASN merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan perubahan mendasar dalam manajemen SDM Pegawai ASN. UU ASN mengubah pendekatan manajemen ASN yang dulunya pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan dan pengelolaan data pegawai menjadi human resource management (HRM) yang menganggap pegawai sebagai sumber daya manusia dan aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan baik. UU ASN juga mengubah sistem pengembangan karir yang awalnya closed career system yang sangat berorientasi pada senioritas dan kepangkatan kepada open career system yang mengedepankan kompetensi ASN dalam promosi dan pengisian jabatan. Implementasi Hak Asasi Manusia 59 Open career system yang diusung melalui UU ASN dapat mendukung kepatuhan pada kode etik dan kode perilaku. Salah satu aspek krusial yang berubah adalah proses rekrutmen, pemilihan individuindividu yang akan direkrut harus memiliki kualifikasi yang relevan untuk mengisi posisi dalam suatu organisasi. Melalui rekrutmen yang baik, instansi pemerintah dapat memastikan pegawai ASN yang bergabung dalam organisasi adalah pegawai yang dapat memegang teguh kode etik serta melaksanakannya dalam perilaku sehari-hari. Kode etik merupakan bentuk aturan tertulis yang dibuat dengan kesepakatan bersama berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan berfungsi sebagai alat untuk menangani berbagai macam tindakan yang dinilai menyimpang.21 Kode etik biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau kelompok sebagai suatu tindakan dan pandangan secara umum sesuai dengan budaya organisasi jika terjadi hal-hal di luar keadaan normal atau di luar bidang pekerjaan. Kritik utama terhadap kode etik adalah bahwa kode etik terlalu abstrak sehingga sulit untuk ditegakkan. Meskipun terdapat beberapa pembenaran untuk kritik ini, namun biasanya masalah terletak pada pelembagaan dan kemampuan untuk menegakkan perilaku pegawai. Pada intinya, meskipun sebuah institusi telah memiliki kode etik namun tanpa implementasi kelembagaan yang efektif maka hal itu tidak akan memberikan dampak apapun.22 Kode perilaku adalah aturan yang mengatur perilaku mana yang Englin Siso, Joorie Ruru, Verry Londa “Pengaruh Etika Jabatan Terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekertariat Kota Manado” hal. 2 2 Gilman, Stuart. C. “Ethics Codes And Codes Of Conduct As Tools For Promoting An Ethical And Professional Public Service: Comparative Successes And Lessons”hal. 15 60 Implementasi Hak Asasi Manusia Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka kewajiban hukum dan sanksi yang hukum yang memberikan sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi.25 Selain itu, kode etik dan kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010 dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak Asasi Manusia. B.Latihan 1. Sebutkan manfaat dari pemahaman HAM dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saudara sebagai PNS ! 2. Bagaimana kaitan antara HAM dan kode etik perilaku pegawai negeri ? Bruce Maxwell & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371 62 Implementasi Hak Asasi Manusia Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka kewajiban hukum dan sanksi yang hukum yang memberikan sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi.25 Selain itu, kode etik dan kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010 dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak Asasi Manusia. B.Latihan 1. Sebutkan manfaat dari pemahaman HAM dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saudara sebagai PNS ! 2. Bagaimana kaitan antara HAM dan kode etik perilaku pegawai negeri ? Bruce Maxwell & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371 62 Implementasi Hak Asasi Manusia C. Rangkuman Kode etik dan perilaku adalah instrumen yang diadopsi oleh organisasi untuk mengatur fungsi inti internal dan eksternal terhadap pelanggaran pelayanan publik. Kode etik dan kode perilaku pada dasarnya adalah prinsip-prinsip panduan yang dirancang untuk mempertahankan nilai-nilai yang mendasari kepercayaan, kebenaran dan integritas dalam pelaksanaan Perubahan realistis dalam pencapaian pelayanan publik. integritas dan profesional pegawai negeri sipil dapat dicapai dengan menerapkan kode etik dan kode perilaku. Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka kewajiban hukum dan sanksi yang hukum yang memberikan sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi. Selain itu, kode etik dan kode perilaku menyoroti nilai- nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta ketentuan- ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum mengimplementasikan Hak Asasi Manusia. dan HAM telah D. Evaluasi Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan diskusikanlah implemetasi HAM dengan tugas pokok saudara sebagai PNS. Implementasi Hak Asasi Manusia 63 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Bahwa sebagai langkah konkret Pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka disusunlah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disingkat RANHAM. 2. Bahwa Pelaksanaan RANHAM saat ini telah melewati 5 (lima) generasi yaitu: a. b. c. d. e. Generasi Generasi Generasi Generasi Generasi pertama (periode 1999-2003); kedua (periode 2004-2009); ketiga (periode 2011-2014); keempat (periode 2015-2019); dan kelima (periode 2021-2025). 3. Bahwa RANHAM disusun dengan maksud sebagai: a. pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM; dan b. kegiatan percepatan yang dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi Implementasi Hak Asasi Manusia 65 dan kabupaten/kota yang dituangkan dalam bentuk kegiatan khusus di luar kegiatan rutin. 4.Bahwa tujuan dari penyusunan RANHAM adalah: a. menyinergikan upaya penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; b. mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan yang sesuai prinsip-prinsip HAM; dan c. mengoptimalkan pencapaian pemenuhan hak kepada kelompok sasaran dalam RANHAM. a. b. c. d. e. 5.Bahwa dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi Panitia Nasional RANHAM yang terdiri atas: menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di (Ketua Panitia Nasional RANHAM); menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri; menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di nasional; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri. Nasional Hak Asasi Manusia dibentuk bidang hukum dan hak asasi manusia bidang sosial; bidang perencanaan pembangunan 6.Bahwa RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana pelaksanaan Aksi HAM tersebut dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengikutsertakan 66 Implementasi Hak Asasi Manusia masyarakat. Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2021. 7.Bahwa HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen UUD 1945. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan Deklarasi Universal HAM/Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948 serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia. Terdapat 8 (delapan) diantara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu: a. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (UU No. 7/1984); b. Convention on the Rights of the Child (Keppres No. 36/ 1990); - Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (UU No. 9/2012); - Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (UU No. 10 Tahun 2012); c.Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (UU No. 5/1998); d.International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 (UU No. 29/1999); Implementasi Hak Asasi Manusia 67 e. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (UU No. 11/2005); f. International Covenant on Civil and Political Rights (UU No. 12/2005); g. Convention on the Rights of Persons With Disabilities (UU No.19/2011); h. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (UU No. 6/2012). 8. Bahwa Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka hukum yang memberikan kewajiban hukum dan sanksi yang sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi. Selain itu, kode etik dan kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010 dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak Asasi Manusia. 68 Implementasi Hak Asasi Manusia B. Tindak Lanjut Setelah mempelajari dan memahami modul terkait Implementasi mampu menjelaskan bagaimana Hak Asasi Manusia, peserta implementasi hak asasi manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dan Konvenan Ratifikasi Internasional serta implementasi hak asasi manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsi sehari-hari selaku aparatur sipil negara umumnya dan selaku pejabat fungsional tertentu khususnya. Implementasi Hak Asasi Manusia 69 DAFTAR PUSTAKA PERATURAN Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM BUKU Mahadi. 2016. Pandangan Umum tentang HAM, Mencari dan Pemikiran Prof. Mahadi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi Setiardja, Gunawan. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Kanisius. Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Rahardjo, Vide Sajtipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Adit Bakti. 70 Implementasi Hak Asasi Manusia M. Smith , Rhona K., dkk. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Huda, Miftakhul. 2010. “Kamus Hukum Non-Derogable Rights”. Majalah Konstitusi No. 43. Siso, Englin, dkk. “Pengaruh Etika Jabatan Terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekertariat Kota Manado. Hardiyansyah. 2018. Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta : Penerbit Gava Media. Denhardt, J.V and R.B Denhardt. 2004. The New Public Service: Serving Not Steering New York: M.E Sharpe Publisher. Gilman, Stuart. C. “Ethics Codes And Codes Of Conduct As Tools For Promoting An Ethical And Professional Public Service: Comparative Successes And Lessons. Yusuph, Mashala. L. 2017. Code of Ethics and Conducts in Public Service: The Litmus Test for Public Administrators Ethical Decision Making in Resolving Ethical Dilemmas. A Comparative Study of Tanzania and South Africa. Maxwell, Bruce & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A narrative review of the scholarly writings. Referensi ELSAM. 2021. (https://referensi.elsam.or.id/2014/09/ konvensi/, diakses: 01 Juni 2021). Indonesia dan HAM. 2021.(https://kemlu.go.id/portal/id/read/40/ halaman list_lainnya/ Indonesia-danhak-asasi-manusia, diakses : 01 Juni 2021) Implementasi Hak Asasi Manusia 71 Maxwell, Bruce & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371. Denhardt, J.V and R.B Denhardt. 2004. The New Public Service: Serving Not Steering. New York: M.E Sharpe Publisher 72 Implementasi Hak Asasi Manusia TERIMA KASIH