Uploaded by Herlina Only

PPT IMPLEMENTASI HAM

advertisement
MODUL PELATIHAN
DASAR-DASAR HAM METODE E-LEARNING
IMPLEMENTASI HAK
ASASI MANUSIA
Penulis:
Dr. Agus Anwar,S.H., M.H. Ratih
Ekarini Savitri, S.H., C.N., M.Si.
Widi Krisnowahadi, S.H.,M.H.
Editor:
Siti Fathiyah, S.H.
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI.
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM
PUSAT PENGEMBANGAN DIKLAT FUNGSIONAL DAN HAM DEPOK, 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi.
Hakikat HAM sendiri merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Negara Republik Indonesia telah berkomitmen untuk menghormati, memenuhi, melindungi, menegakan,
dan memajukan hak asasi manusia sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat internasional yang telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, dan berbagai perjanjian internasional lainnya di bidang Hak Asasi Manusia.
Pembelajaran mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia yang berisi konsep dasar HAM mengenai
Implementasi HAM berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, berdasarkan Konvensi
Ratifikasi Internasional dan bagi pejabat fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia merupakan salah satu materi penting dalam Pelatihan Dasar-dasar Hak Asasi Manusia Metode
E-learning di lingkungan
Implementasi Hak Asasi Manusia
1
Kementerian Hukum dan HAM. Pelatihan ini disusun untuk meningkatkan kompetensi Hak Asasi
Manusia bagi Para Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Sehingga setelah mengikuti seluruh rangkaian pelatihan Dasar-dasar HAM ini peserta
diharapkan mampu menjelaskan Implementasi HAM berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia, Konvensi Ratifikasi Internasional serta bagi pejabat
Kementerian Hukum dan HAM.
fungsional di Lingkungan
B.Deskripsi Singkat
Modul ini membahas tentang Implementasi Hak Asasi Manusia yang mencakup Implementasi Hak
Asasi Manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang meliputi sejarah
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Keanggotaan Rencana Aksi Nasioanal Hak Asasi
Manusia serta Aksi Hak Asasi Manusia. Selanjutnya yang dibahas dalam modul ini adalah
mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Konvensi Ratifikasi Internasional, dan
cakupan selanjutnya mengenai Implementasi Hak Asasi Manusia bagi Pejabat Fungsional di
Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
C.Manfaat Modul
Modul ini membekali peserta pelatihan dasar-dasar hak asasi
manusia metode e-learning
kemampuan konsepsional tentang implementasi hak asasi manusia.
2
Implementasi Hak Asasi Manusia
D. Tujuan Pembelajaran
1. Hasil Belajar
Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu menjelaskan implementasi hak asasi manusia.
2. Indikator Hasil Belajar
Setelah mempelajari modul ini peserta dapat:
a. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia berdasarkan Rencana Aksi Hak
Asasi Manusia (RANHAM).
b. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia berdasarkan konvensi ratifikasi
internasional.
c. Menjelaskan mengenai implementasi hak asasi manusia
bagi Pejabat Fungsional di
Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Materi Pokok dan Sub Materi Pokok yang disajikan dalam modul ini terdiri dari:
1. Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia;
a. Sejarah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia;
b. Keanggotaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia;
c. Aksi Hak Asasi Manusia
2. Implementasi Hak Asasi Manusia berdasarkan Konvensi Ratifikasi Internasional;
Implementasi Hak Asasi Manusia
3
3. Implementasi Hak Asasi Manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
F. Jam Pelajaran
Total jam pembelajaran untuk materi ini adalah 5 JP (3 JP online dan 2 JP belajar mandiri).
G. Petunjuk Pembelajaran
Pembelajaran Materi Dasar-dasar HAM ini dilakukan dengan metode e-learning dengan rincian
kegiatan antara lain:
1. Modul Implementasi Hak Asasi Manusia dipelajari setelah peserta Pelatihan Dasar-dasar HAM
metode e-learning mempelajari modul Konsep Dasar HAM, Badan-Badan HAM, Instrumen
HAM serta Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara.
2. Peserta Pelatihan harus mempelajari bab mengenai
Implementasi Hak Asasi Manusia
berdasarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Konvensi Ratifikasi Internasional dan
bagi pejabat fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. Pahami setiap penjelasan dan kerjakan latihan yang ada dalam modul, apabila belum mengerti
maka dapat dikonsultasikan kepada instruktur.
4
Implementasi Hak Asasi Manusia
BAB II
IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA
BERDASARKAN RENCANA AKSI NASIONAL
HAK ASASI MANUSIA (RANHAM)
A. Sejarah Rencana Aksi Nasional HAM
Membicarakan HAM bukanlah hal baru1, sejarah perkembangannya meliputi sejumlah abad, hingga
abad ke-13 di Benua Inggris, yang terkenal dengan Piagamnya Magna Charta (1215), Petition of
Rights (1689). HAM merupakan nilai universal2, sehingga bangsa dan negara Indonesia, sebagai
warga masyarakat dunia tidak dapat bersikap apatis. Implementasi nilai- nilai HAM dalam negara
hukum Indonesia haruslah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas
serta cara bagaimana menjalankan dan mempertahankannya. Ditinjau secara obyektif, HAM
merupakan kewenangan3 yang melekat pada
Ketua MPRS RI, Jendral A.H. Nasution menyatakan : “hakikat HAM sesungguhnya sama tuanya dengan adanya manusia di dunia ini. Tetapi agaknya telah menjadi hukum sejarah, bahwa persoalan HAM
timbul pada saat hak asasi tersebut ditindas atau diabaikan oleh suatu kekuasaan “. Mahadi, Pandangan Umum tentang HAM, dalam OK. Saidin, Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi Pemikiran
3
Prof. Mahadi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016,
hlm. 321.
Menurut Gunawan Setiardja, dalam bukunya yang berjudul Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.74. Menyatakan “barang siapa beranggapan bahwa HAM itu
hanya berlaku dengan syarat-syarat tertentu, hanya dalam lingkungan kebudayaan tertentu, dengan premis-premis metafisika Barat atau berangkat dari teologi Kristen, atau hak-hak warga negara demokrasi
yang berorientasi Barat”.
Terdapat perbedaan antara “hak” dan “kewenangan”. Adapun “hak” adalah kekuasaan (dalam arti sempit) yang dialokasikan oleh hokum kepada seseorang untuk bertindak guna melindungi kepentingannya
terhadap orang lain yang menjadi pemegang kewajiban. Sedangkan “kewenangan” adalah berupa hak yang tidak mempunyai pasangan yang berupa kewajiban (pada orang lain) yang diberikan kepada
seseorang untuk, mellaui jalur hokum, mewujudkan kemauannya guna mengubah hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban atau lain-lain hubungan hokum, baik dari dirinya sendiri maupun orang
lain. Vide Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum,PT. Citra Adit Bakti, Bandung, hlm. 53-58.
Implementasi Hak Asasi Manusia
5
manusia sebagai manusia, yang harus diakui dan dihormati oleh pemerintah.
Salah satu wacana yang paling hangat ketika membicarakan penerapan HAM pada skala nasional,
yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Universalisme
menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif”yang pada akhirnya berkembang untuk
kedian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya barat. Relativisme budaya, di sisi
lain, menyatakan sebaliknya, bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.4
Hak Asasi Manusia bukan hanya berupa tulisan atau aturan yang dapat kita lihat dan baca, akan
tetapi Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri setiap
manusia, bersifat universal, dan nondiskriminatif, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi,
dipenuhi, ditegakkan, dan dimajukan. Penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan
pemajuan HAM tersebut haruslah ada implementasi nyata
sehingga dapat menciptakan
kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Sebagai langkah konkret Pemerintah dalam melaksanakan
penghormatan, pelindungan,
pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka disusunlah Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia
Rhona K. M. Smith, dkk., dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak
Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Cet. Kedua,
2010, hlm. 18.
6
Implementasi Hak Asasi Manusia
atau yang disingkat RANHAM. Pelaksanaan RANHAM saat ini telah melewati 5 (lima) generasi yaitu :
-generasi pertama (periode 1999-2003);
-generasi kedua (periode 2OO4-2OO9);
-generasi ketiga (periode 2011-2014);
-generasi keempat (periode 2015-2019); dan
-generasi kelima (periode 2021-2025).
RANHAM disusun dimaksudkan sebagai :
a.pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam
menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM; dan
b.kegiatan percepatan yang dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/ kota yang dituangkan dalam bentuk kegiatan khusus di luar kegiatan rutin.
Implementasi Hak Asasi Manusia
7
Tujuan dari penyusunan RANHAM adalah:
1.Menyinergikan upaya penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM
yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota;
2.Mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan yang sesuai prinsip-prinsip HAM; dan
3.Mengoptimalkan pencapaian pemenuhan hak kepada kelompok sasaran dalam RANHAM.
RANHAM secara khusus mempunyai sasaran yang harus diperhatikan dala pelaksanaannya, yaitu:
1.Meningkatnya pemahaman HAM bagi aparatur negara dan masyarakat;
2.Terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah;
3.Percepatan penyelesaian hambatan-hambatan pemenuhan HAM pada 4 fokus kelompok sasaran
(hak perempuan, anak, masyarakat hukum adat dan penyandang disabilitas sesuai Perpres Nomor 75
Tahun 2015 junto Perpres No. 33 Tahun 2018);
4.Meningkatnya partisipasi Indonesia dalam forum kerja sama
penghormatan, perlindungan,
pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM;
5.Meningkatnya penanganan pelanggaran HAM; dan
6.Meningkatnya aksesbilitas penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
8
Implementasi Hak Asasi Manusia
Dalam perkembangannnya, penyusunan dan implementasi RANHAM tidak hanya menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat,
tetapi melibatkan peran Pemerintah Daerah. Pada masing-masing
tingkatan, implementasi RANHAM dibentuk ikatan kerjasama lintas instansi dalam wadah Sekretariat
Bersama RANHAM untuk memonitor dan mengevaluasi implementasi Aksi HAM RI.
Sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993/Vienna Declaration
and Program of Action on
Human Rights (VDPA), Pemerintah telah mengesahkan dan
mengimplementasikan empat Rencana Aksi Nasional HAM
dengan penyebutan 5 generasi RANHAM , yaitu:
(RANHAM), yang kemudian identik
1.RANHAM 1998 - 2003 dengan diterbitkan Kepres No.129 Tahun 1998;
2.RANHAM 2004 - 2009 dengan diterbitkan Kepres No. 40 Tahun 2004;
3.RANHAM 2011 - 2014 dengan diterbitkan Perpres No. 23 Tahun 2011;
4.RANHAM 2015 - 2019 dengan diterbitkan Perpres No. 75 Tahun 2015 jo Perpres No. 33 Tahun
2018; dan
5.RANHAM 2021 - 2025 dengan diterbitkan Perpres No. 53 Tahun 2021.
Pada RANHAM terbaru (generasi 5), RANHAM memuat sasaran
penghormatan, pelindungan,
strategis yang mengarah pada
pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap 4 (empat)
kelompok sasaran yaitu :
Implementasi Hak Asasi Manusia
9
1. perempuan;
Kelompok Sasaran Perempuan Kelompok perempuan menjadi fokus sasaran kelompok RANHAM
karena belum maksimalnya pelindungan dan pemenuhan hak terhadap perempuan di berbagai
bidang pembangunan.
2. anak;
Anak menjadi salah satu kelompok sasaran RANHAM dengan dasar pemikiran bahwa masih terdapat
anak-anak dalam situasi khusus tidak mendapatkan hak-hak dasar dan pelayanan publik,
terutama untuk bidang administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, anakanak juga masih sangat rentan mendapatkan tindakan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi,
termasuk di bidang ketenagakerjaan. secara rinci, jaminan perlindungan anak di datam RANHAM
didasarkan pada tantangan dan diarahkan pada sasaran strategis.
3. penyandang disabilitas;
Penyandang disabilitas menjadi kelompok sasaran RANHAM, karena meskipun telah ada UndangUndang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pelaksanaan penghormatan,
pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak-hak kelompok tersebut masih belum
efektif dan optimal.
4. Kelompok Masyarakat Adat.
Kelompok Masyarakat Adat menjadi sasaran kelompok RANHAM dengan dasar pemikiran bahwa
hingga saat ini belum tersedia kerangka perlindungan hukum yang memadai bagi Kelompok
Masyarakat Adat dan pelanggaran hak atas lahan Kelompok Masyarakat Adat masih sering terjadi.
10
Implementasi Hak Asasi Manusia
Secara umum, perkembangan capaian Aksi HAM menunjukkan
kemajuan, meskipun dengan
sejumlah catatan yang perlu diperhatikan untuk lebih meningkatkan kinerja kementerian, lembaga,
dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka penghormatan, pelindungan,
pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM. Beberapa capaian di antaranya, yaitu:
1.Diterbitkannya peraturan dan kebijakan yang menjamin hak- hak perempuan, anak, penyandang
disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat;
2.Meningkatnya pemahaman aparat pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan,
penegakan, dan pemajuan HAM;
3.Terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
4.Meningkatnya aksesibilitas penyandang disabilitas dan
berpartisipasi di bidang sipil, politik, ekonomi, dan budaya; dan
5.Adanya upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM untuk
kelompok rentan lainnya untuk
perempuan, anak, penyandang
disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat.
Dari sisi pelaksanaan RANHAM hampir sebagian besar aksi telah mencapai target yang ditetapkan
dan dilaksanakan oleh sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota, sehingga berhasil menjawab permasalahan HAM yang teridentifikasi sebelumnya.
Namun, dari pencapaian HAM tersebut masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan, antara
lain dapat diidentifikasi pada dua aspek berikut ini:
Implementasi Hak Asasi Manusia
11
1. Aspek implementasi, meliputi:
a. Ruang lingkup Aksi HAM generasi sebelumnya masih sangat luas dan belum fokus, sehingga
sulit untuk dipantau dan dievaluasi;
b. RANHAM 5 (lima) tahunan menyulitkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi
dan kabupaten/ kota dalam menanggapi isu HAM yang perlu diakomodasi secepatnya;
c. Aksi HAM masih merupakan program rutin kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/ kota;
d. Belum optimalnya sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan Aksi HAM yang masih sebatas
prosedural administrasi; dan
e. Pelaporan RANHAM belum optimal digunakan untuk pelaporan Indonesia pada Dewan HAM
PBB, Badan Traktat pBB, dan forum HAM internasional lainnya.
2. Aspek substansi berupa belum optimalnya kebijakan, regulasi, dan program yang terkait dengan
penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak perempuan, anak,
penyandang disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat.
Berdasarkan catatan di atas, diperlukan penyempurnaan terhadap implementasi dan substansi
RANHAM sebagai upaya percepatan dan sinergi antar kementerian, lembaga, dan pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota, yang meliputi:
1. Penyusunan Aksi HAM berfokus pada 4 (empat) kelompok sasaran yaitu:
a. Perempuan;
12
Implementasi Hak Asasi Manusia
b. Anak;
c. penyandang disabilitas; dan
d. Kelompok Masyarakat Adat;
2. Perumusan Aksi HAM merupakan kegiatan khusus di luar kegiatan rutin kementerian,
lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, untuk mencapai sasaran
strategis RANHAM;
3. Penyusunan mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang lebih sistematis dan
komprehensif sehingga pencapaian Aksi HAM dapat diukur dengan sasaran yang hendak
dicapai; dan
4. Optimalisasi laporan RANHAM untuk pelaporan Indonesia pada Dewan HAM PBB, Badan
Traktat PBB, dan forum HAM internasional lainnya.
B. Keanggotaan RANHAM
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tertuang dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun
2021- 2025 adalah dokumen yang memuat sasaran strategis yang digunakan sebagai
acuan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam
rangka melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan
HAM di Indonesia. Sedangkan Aksi HAM adalah penjabaran lebih lanjut dari RANHAM untuk
dilaksanakan oleh
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
Implementasi Hak Asasi Manusia
13
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
nomor 53 Tahun 2021 dimaksud menjadi kebijakan generasi kelima RANHAM sejak pertama kali
dibentuk pada 1998.
Dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi Nasional Hak
Nasional RANHAM yang terdiri atas :
Asasi Manusia dibentuk Panitia
a.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
b.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial;
c.menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
d.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan
nasional; dan
e.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
Panitia Nasional RANHAM tersebut dipimpin oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Panitia Nasional RANHAM bertugas:
a.merencanakan, mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan RANHAM di
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota;
b.menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM di kementerian, lembaga, dan pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota kepada Presiden; dan
c.mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM.
14
Implementasi Hak Asasi Manusia
Untuk mendukung kelancaran tugasnya, Panitia Nasional RANHAM dibantu oleh sekretariat yang
berkedudukan di kementerian hukum dan hak asasi manusia. Ketentuan mengenai tata cara
koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta sekretariat Panitia Nasional RANHAM
diatur dengan Peraturan Menteri hukum dan hak asasi manusia.
Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota menyampaikan laporan capaian
pelaksanaan RANHAM kepada Panitia Nasional RANHAM setiap 4 (empat) bulan sekali. Panitia
Nasional RANHAM menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM kepada Presiden
setiap 12 (dua belas) bulan sekali dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Laporan capaian
pelaksanaan RANHAM dilaksanakan sebagai wujud akuntabilitas publik.
C. Aksi Hak Asasi Manusia
RANHAM merupakan komitmen Negara Republik Indonesia sebagai wujud dari tanggung jawab
Negara atas penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersumber
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dilakukan secara konsisten dan terukur.
RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana pelaksanaan Aksi HAM tersebut dilaksanakan
oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan
dengan mengikutsertakan masyarakat.
Implementasi Hak Asasi Manusia
15
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden Republik
Indonesia nomor 53 Tahun 2021.Dalam pelaksanaan RANHAM ini mencakup laporan aksi ham baik
kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, dimana setiap kementerian dan lembaga serta
pemerintah daerah akan melakukan pelaporan aksi HAM di bulan keempat (B.04), bulan kedelapan
(B.08), dan bulan kedua belas (B.12). Setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah
telah mempunyai aksinya masing-masing.
Adapun alur pelaporan aksi HAM, yaitu:
1.Menyusun dan melakukan penajaman aksi HAM;
2.Melakukan menginputan matrik ke dalam sistem pemantauan
(serambi.ksp.go.id);
3.Kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah melakukan penginputan pelaporan aksi ham
melalui sispan (serambi.ksp.go.id) sesuai dengan waktu yang diberikan;
4.Setelah kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah menginput pelaporan aksi hamnya
selanjutnya tim verifikasi melakukan verifikasi terhadap data-data pelaporan yang telah diinput oleh
kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, setelah verifikasi selesai, tim merekap hasil
verifikasi tersebut;
5.Hasil verifikasi yang sudah direkap tadi kemudian dijadikan bahan untuk melakukan pemantauan
aksi ham masing- masing daerah;
6.Pemantauan aksi HAM ini selanjutnya akan dijadikan bahan
laporan evaluasi terhadap
pelaksanaan aksi HAM.
16
Implementasi Hak Asasi Manusia
Dalam pelaksanaan RANHAM ini mencakup laporan aksi ham baik kementerian dan lembaga serta
pemerintah daerah, dimana setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah akan
melakukan pelaporan aksi HAM di bulan keempat (B.04), bulan kedelapan (B.08), dan bulan kedua
belas (B.12). Setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah telah mempunyai aksinya
masing-masing.
Alur Pelaksanaan Laporan Aksi HAM
Pelaporan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan
akurat kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pengambilan keputusan sesuai dengan
kondisi yang terjadi serta penentuan kebijakan yang relevan. Dalam konteks implementasi
pemenuhan HAM, maka Pelaporan implementasi pemenuhan HAM merupakan realisasi kewajiban
dan tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat tentang
pelaksanaan atau implementasi pemenuhan HAM di kementerian atau lembaga maupun pemerintah
daerah
Implementasi Hak Asasi Manusia
17
Dalam laporan disampaikan capaian yang dihasilkan. Dilanjutkan penjelasan tentang faktor-faktor yang
menghambat program/ pelaksanaan implementasi pemenuhan HAM belum tercapai sesuai dengan
yang diinginkan/diprogramkan, kemudian dijelaskan pula langkah-langkah antisipasi yang dilakukan
oleh K/L/P dalam mengatasi faktor penghambat disertai dengan analisis. Umumnya, disertai dengan
berbagai rekomendasi yang perlu dijalankan para pihak.
Sebelum dipublikasikan atau diterbitkan, sebaiknya dilakukan proses pengujian terhadap laporan
tersebut yaitu, meminta tanggapan akhir dari semua yang terlibat. Kemudian tanggapan dari pihak lain
yang independen dan ahli dan jika perlu tanggapan publik terbatas. pengujian itu dimaksudkan sematamata untuk menjamin kredibilitas laporan tersebut. Pada posisi ini maka penting kemampuan pengelola
laporan HAM untuk dapat bekerja sama lintas instansi dan pemerintah.
Pelaporan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal HAM wajib menyampaikan laporan tahunan
kepada Presiden.
b.Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi wajib menyampaikan laporan kepada Menteri Hukum
dan HAM c.q Direktur Jenderal HAM.
c.Satuan Kerja Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
Kepala Kantor Wilayah Kemkumham Provinsi.
Pengorganisasian data sebagai bagian dari evaluasi
dilaksanakan melalui metode sebagai berikut:
18
wajib menyampaikan laporan kepada
implementasi pemenuhan HAM, dapat
Implementasi Hak Asasi Manusia
1. Menyandingkan data.
Data yang disandingkan adalah:
a. Data tahun sebelumnya (misalnya data 2018) disandingkan dengan data tahun berjalan
(misalnya data 2019); (Evaluasi progres tahunan).
b. Data semester awal (Ganjil) tahun berjalan (misal tahun 2019) disandingkan dengan data
semester akhir tahun berjalan (Genap); (Evaluasi progres semesteran);
c. Data target program kegiatan tahun berjalan disandingkan capaian/realisasi program tahun
berjalan. (Evaluasi target)
Alur Pelaporan Implementasi Pemenuhan HAM
Presiden RI
Publikasi:
‐cetak
‐elektronik
Menteri Hukum
dan HAM RI
Ditjen HAM
(verifikasi
Setiap
Caturwulan (4)
Setiap
Caturwulan (4)
Provinsi
K ab/K ota
Implementasi Hak Asasi Manusia
Setiap
Caturwulan (4
Kantor Staf
Presiden (KSP)
serambi.ksp.go.id
Kementerian
/ Lembaga
19
2. Dari data yang telah disandingkan, dapat diketahui seberapa
pemenuhan HAM di
besar program implementasi
kementerian/lembaga maupun pemerintahan daerah
berjalan, atau
apakah target telah tercapai, jika program tidak berjalan atau tercapai maka dijelaskan
penyebab program tidak berjalan, apa faktor penyebab, atau kenapa target tidak tercapai, dan
langkah-langkah apa yang telah dilakukan dalam mengantisipasi faktor penyebab.
3. Setelah capaian program dan kendala dari program
implementasi pemenuhan tersebut
diketahui maka diambil
kesimpulan pelaksanaan implementasi pemenuhan HAM di
kementerian/ lembaga maupun pemerintahan daerah apakah sudah berjalan dengan baik apa
tidak, kemudian dari hal tersebut akan dibuat suatu rekomendasi yang diperlukan untuk
perbaikan dan atau peningkatan tahun berikutnya kepada stakeholder (kementerian/lembaga
maupun pemerintah daerah). Setelah adanya data-data dan sumber informasi pemantauan
telah didapatkan, maka perlu dilanjutkan dengan membuat hasil analisis menjadi sebuah
laporan naratif yang mudah dibaca dan difahami. Oleh karena itu perlu difahami komponenkomponen utama suatu laporan.
20
Implementasi Hak Asasi Manusia
Komponen Laporan HAM
Komponen Laporan
Latar Belakang
Jenis Informasi
Kerangka pemantauan dan proses pelaksanaannya
Catatan Peristiwa Penting
Menyusun seluruh rangkaian peristiwa berdasarkan urutan
kronolis waktu
Bukti atau fakta pelanggaran atau permasalahan HAM yang
ditemukan di Lapangan
Fakta-Fakta Lapangan
Analisis Fakta
- Hasil analisis tentang tindak pelanggaran
HAM, korban dominan, dan pelaku berdasarkan bukti-bukti
lapangan
- Alasan-alasan pembenar dari para pelaku terhadap tindakan
pelanggaran yang ia perbuat
- Respon dan tindakan penanganan dari Negara
Kesimpulan dan Rekomendasi
Ringkasan bagian catatan peristiwa pnting; kumpulan kasus
pelangaran, analisa fakta, dan rekomendasi untuk tindak lanjut.
Organisasi data dan pelaporan merupakan bagian yang melekat dalam proses evaluasi. Dalam
konteks implementasi pemenuhan HAM, maka evaluasi merupakan rangkaian membandingkan
program, dengan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) dari program
yang ditetapkan. Tujuan utama dari evaluasi atau penilaian HAM adalah mengukur upaya yang
dilakukan oleh pengemban tugas dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya baik dalam hal
pemajuan atau perlindungan HAM.
Implementasi Hak Asasi Manusia
21
Masa Pelaporan RANHAM Generasi Keempat (2015-2019)
1.
B.03
Pelaporan tahun 2015-2019
Tanggal
28 April s/d 11 Mei Tahun berjalan
2.
B.06
28 Juni s/d 11 Juli Tahun berjalan
3.
B.09
28 September s/d 11 Oktober
Tahun berjalan
4.
B.12
28 Desember s/d 11 Januari
Tahun berikutnya
Jadwal Pelaporan
NO
Verifikasi
12 Mei s/d 17 Mei Tahun
berjalan
12 Juli s/d 17 Juli Tahun
berjalan
12 Oktober s/d 17 Oktober
Tahun berjalan
12 Januari s/d 17 Januari Tahun
berikutnya
Masa Pelaporan RANHAM Generasi Kelima (2020-2024)
NO
1.
2.
3.
Pelaporan tahun 2020-2024
Tanggal
Jadwal
Pelaporan
B.04
28 Mei s/d 5 Juni Tahun berjalan
Verifikasi
12 Juni s/d 17 Juni Tahun berjalan
B.08 28 Agustus s/d 5 September Tahun
berjalan
28 November s/d 5 Desember
B.12
Tahun berjalan
12 September s/d 17 September
Tahun berjalan
12 Desember s/d 17 Desember
Tahun berjalan
Capaian RANHAM Generasi Keempat (2015-2019)
Capaian Aksi HAM Yang Memenuhi Target (Dalam %)
No.
1
2
3
Pelaksana RANHAM
2015
88
19,60
6,13
37,91
K/L
Provinsi
Kab/Kota
CAPAIAN (rata2)
22
2016
98,44
72,06
37,81
69,44
2017
92,21
70,59
52,59
71,80
2018
73,24
85,88
63,57
74,23
Implementasi Hak Asasi Manusia
2019
100
88,82
72,23
87,02
Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM (KKP HAM)
Wujud kepedulian Negara terhadap penghormatan, pemajuan,
pemenuhan, penegakan dan
perlindungan HAM (P-5 HAM) salah satunya adalah dengan dikeluarkannya revisi Peraturan Menteri
Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Penilaian Kabupaten Kota Peduli HAM yaitu
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Penilaian Kabupaten Kota
Peduli HAM , dimana dalam Permenkumham tersebut terdapat 10 kriteria hak dasar yang terbagi
menjadi 2 yaitu hak sipil politik dan hak ekonomi sosial dan budaya.5
Tabel Jumlah Kabupaten/Kota Peduli HAM
No
1
2
3
4
5
6
Tahun
2020
2019
2018
2017
2016
2015
Peduli
259
272
271
232
228
132
Cukup
Peduli
79
96
75
83
0
0
Mulai Peduli
Penerima
Penghargaan
259
343
343
315
228
132
0
0
0
0
0
0
Sumber: http://ham.go.id/data-kabupaten-kota-peduli-ham/
Peduli HAM adalah upaya pemerintah daerah kabupaten/kota
untuk meningkatkan peran dan
tanggung jawabnya dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak
asasi manusia. Berbagai isu HAM secara substansi melekat dalam urusan pemerintahan daerah
(pemda) yang bersifat wajib. Norma dan standar peran negara terhadap HAM juga dibuat untuk
mencerminkan bahwa kewajiban negara terhadap
Sumber: http://ham.go.id/data-kabupaten-kota-peduli-ham/
Implementasi Hak Asasi Manusia
23
HAM akan terlaksana dan menguat jika daerah turut berperan. Pemerintah pusat telah beberapa
periode menjalankan RANHAM yang dikuatkan kembali dengan adanya penilaian Kab/Kota Peduli
HAM. Penilaian KKP HAM dilaksanakan setiap tahun dan hasilnya ditetapkan tiap bulan Desember
oleh Direktorat Jenderal HAM melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Permenkumham Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM,
memberikan motivasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan mengembangkan sinergitas
satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan,
pemenuhan, perlindungan, penegakkan, dan pemajuan HAM di wilayahnya. Langkah kerja bersama
itu berguna untuk mengetahui hasil kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam mewujudkan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Mekanisme Pelaksanaan Pelaporan KKP HAM
24
Implementasi Hak Asasi Manusia
Peduli HAM adalah upaya pemerintah daerah kabupaten/kota
untuk meningkatkan peran dan
tanggung jawabnya dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia. Berbagai isu HAM secara substansi melekat dalam urusan pemerintahan
daerah (pemda) yang bersifat wajib. Norma dan standar peran negara terhadap HAM juga dibuat
untuk mencerminkan bahwa kewajiban negara terhadap HAM akan terlaksana dan menguat jika
daerah turut berperan. Pemerintah pusat telah beberapa periode menjalankan RANHAM yang
dikuatkan kembali dengan adanya penilaian Kab/Kota
peduli HAM. Penilaian KKP HAM
dilaksanakan setiap tahun dan hasilnya ditetapkan tiap bulan Desember oleh Direktorat Jenderal
HAM melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Permenkumham Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah
Kabupaten/Kota Peduli HAM,
memberikan motivasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan mengembangkan sinergitas
satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan,
pemenuhan, perlindungan, penegakkan, dan pemajuan HAM di wilayahnya. Langkah kerja
bersama itu berguna untuk mengetahui hasil kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Implementasi Hak Asasi Manusia
25
26
Implementasi Hak Asasi Manusia
D. Latihan
Untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang implemetansi HAM sebagaimana diuraikan diatas,
cobalah jawab latihan dibawah ini:
1.Sebutkan tujuan dari penyusunan RANHAM !
2.Sebutkan sasaran kelompok RANHAM generasi kelima !
3.Sebutkan siapa yang termasuk dalam Panitia Nasional RANHAM !
4.Siapa yang mengimplementasikan pelaksanaan Aksi HAM ?
5.Sebutkan dasar hukum Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM dan apa tujuan pemberikan
Kabupaten/Kota Peduli HAM !
E.
Rangkuman
Penghormatan, pelindungan,
pemenuhan,
penegakan,
dan
pemajuan
HAM harus dapat
diimplementasi dengan nyata agar tercipta kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, dan keadilan
bagi seluruh masyarakat. Langkah konkret yang dilakukan Pemerintah adalah menyusun Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disingkat RANHAM berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan RANHAM telah melewati 5
(lima) generasi yaitu, generasi pertama (periode 1999-2003), generasi kedua (periode 2004-2009),
generasi ketiga (periode 2011-2014), generasi keempat (periode 2015-2019), dan generasi kelima
(periode 2021-2025).
Implementasi Hak Asasi Manusia
27
Dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia dibentuk Panitia
Nasional RANHAM yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia. RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana
pelaksanaan Aksi HAM tersebut dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53
Tahun 2021.
F.
Evaluasi
Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan
diskusikanlah implemetasi HAM pada
kelompok sasaran RANHAM generasi 5.
28
Implementasi Hak Asasi Manusia
BAB III
IMPLEMENTASI HAM BERDASARKAN KONVENSI
RATIFIKASI INTERNASIONAL
Mengaitkan HAM sebagai konsepsi universal dengan ideologi bangsa sangatlah relevan, karena
sekalipun HAM merupakan sesuatu
yang melekat pada manusia secara kodrati, namun
operasionalisasinya harus disesuaikan dengan aspek sosial budaya setiap bangsa. Pembatasan
(limitation) ini secara implisit juga diakui
di dalam dokumen-dokumen internasional (the
International Bill of Human Rights), asal didasarkan atas perundang-undangan yang berlaku (the
limitations must be determined by law). Alasan yang dikemukakan adalah “for the purpose of
securing due recognition of the rights of others and meeting the just requirements of morality,
public order and the general welfare in a democratic society”.6
Negara dapat memasukkan norma-norma HAM internasional ke dalam hukum domestiknya
sesuai dengan sistem dan mekanisme hukum masing-masing. Standar HAM yang tercermin dalam
hukum
kebiasaan internasional juga dapat dimasukkan ke dalam hukum
kurangnya dengan menghilangkan perundang-
nasional (sekurang-
undangan yang bertentangan atau melalui
praktek/kebijakan pemerintah) sebagai bagian dari “hukum negara”.7
Internasionalisasi gagasan HAM yang disepakati sebagai “tolok ukur kesepakatan bersama bagi
semua rakyat bagi semua bangsa” (a commond standard of achievement for all peoples and all
nations)
Muladi dalam Kata Pengantar buku Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 12 Knut D.
Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Op. Cit., hlm. 67.
Implementasi Hak Asasi Manusia
29
ditandai dengan diterimanya suatu rezim hukum HAM internasional yang disiapkan oleh PBB yakni
International Bill of Human Rights, yang terdiri atas empat dokumen, yaitu:
1.Universal Declaration of Human Rights 19488;
2.International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966;
3.International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966;
4.Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 1966.
Pengklasifikasian Hak Asasi Manusia dibagi ke dalam 2 (dua) klasifikasi, yaitu : (1) Derogable Rights
dan (2) Non-Derogable Rights.9 Derogable Rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk ke dalam jenis ini adalah:
a. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mencari,
menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas
(baik melalui lisan maupun tulisan);10
b. hak atas kebebasan berkumpul secara damai;11
c. hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh.12
Declaration of Human Right 1948 diinspirasi oleh gagasan Franklin D Roosevelt, pada permulaan
abad ke-20 yang memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang dikenal dengan “the four
freedoms” yaitu : Freedom of Speech (kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat), Freedom
of Religion (kebebasan beragama), Freedom from Fear (kebebasan dari rasa ketakutan), dan
Freedom from Want (kebebasan dari kemelaratan). (Kaelan, Op. Cit., hlm. 250).
Pengklasifikasian Derogable Rights dan Non-Derogable Rights adalah sesuai dengan ICCPR. ICCPR
ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Pasal 19 ICCPR.
Pasal 21 ICCPR.
Pasal 22 ICCPR.
30
Implementasi Hak Asasi Manusia
Berbeda dengan derogable rights, terhadap hak-hak dalam kategori nonderogable rights, hanya
dapat disimpangi jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif,
yaitu demi (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas
umum dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Di Indonesia non-derogable rights dirumuskan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang
berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.13
Di dalam ICCPR, hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi karena sangat mendasar14,
yaitu: hak atas hidup (Pasal 6); hak bebas dari penyiksaan (Pasal 7); hak bebas dari perbudakan
(Pasal 8); hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian [utang](Pasal 11); hak
bebas dari pemidanaan yang berlaku surut (Pasal 15); hak sebagai subyek hukum (Pasal 16); dan
hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama (Pasal 18).15
13
14
15
Sebelum dirumuskan dalam UUD NRI 1945, ketentuan sudah ditegaskan pula dalam Tap MPR No.
XVII/ MPR/ 1998 tentang HAM dan juga di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 4,
dengan narasi yang sama yang tercantum dalam UUD NRI 1945.
Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan
mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of
human rights), lihat Miftakhul Huda, “Kamus Hukum Non- Derogable Rights “, Majalah Konstitusi No.
43, Agustus 2010, hlm. 101.
Sesuai dengan norma ICCPR, The European Convention of Human Rights dan American Convention
on Human Rights membagi empat macam hak non-derogable yakni : hak untuk hidup, hak untuk bebas
dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak
untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan, dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif
hukum pidana. Hak-hak ini dikenal sebagai norma hukum internasional yang harus ditaati (jus cogens
norms).
Implementasi Hak Asasi Manusia
31
Konvensi merupakan perjanjian mulitilateral yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan
hukum internasional untuk membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan. Konvensi digunakan
untuk perjanjian secara spesifik seperti Konvensi Hak Anak. Secara kasar, konvensi mempunyai arti
yang sama dengan perjanjian, kovenan, pakta atau kesepahaman yang kesemuanya merujuk pada
instrumen hukum internasional.16
Kovenan yaitu sebuah perjanjian mulitilateral yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan
hukum internasional untuk membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan. Konvensi digunakan
untuk perjanjian seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik. Kovenan adalah perjanjian multilateral dan
ditujukan untuk norma dan pelaksanaan HAM. Negara yang meratifikasi, menandatangani, atau
menerima terikat secara hukum pada perjanjian ini.17
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan
dasar, dan yang dimaksudkan sebagai
acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan
bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara
universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara- negara anggota PBB sendiri maupun di
kalangan rakyat di wilayah- wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.
Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang
dinyatakan oleh DUHAM ke dalam
16
17
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/konvensi/ diakses pada Selasa, 01 Juni 2021
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/kovenan/ diakses pada Selasa, 01 Juni 2021
32
Implementasi Hak Asasi Manusia
instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada
tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya
telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM
beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada
tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi
HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak
sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin
ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua
rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun
1953 dan 1954.
Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan
untuk mempublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya
secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya
secara bebas. Untuk tujuan
tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan itu
pasal demi pasal mulai tahun 1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal,
naskah kedua Kovenan itu baru dapat
Implementasi Hak Asasi Manusia
33
diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A
(XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan
tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan
Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM.
Sikap Indonesia tersebut dapat
dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut
antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama
Pembukaan); hak atas
kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum
dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2));
hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2));
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami
perubahan susunan negara dari negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai
dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (Konstitusi RIS), memuat
34
Implementasi Hak Asasi Manusia
sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk
melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).
Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus 1950 terus melanjutkan
komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5
Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok HAM yang
tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan
Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang bersangkutan
yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS
RI Tahun 1950, Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan
perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap
memberlakukan beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan
oleh International Labour
Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan
dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada beberapa
konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan
mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the Political Rights
of Women 1952 (Konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor
68 Tahun 1958.
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan
dan perlindungan HAM telah
mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa
lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa
Implementasi Hak Asasi Manusia
35
kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan
perlindungan HAM akan selalu
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak
memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk
jangka panjang. Gerakan reformasi
yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah
membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan
praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan
Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003
yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi International Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil keputusan
yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, yaitu dengan
36
Implementasi Hak Asasi Manusia
mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat “Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka I) dan “Piagam Hak Asasi
Manusia” (Lampiran angka II). Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut
menyatakan, antara lain, “bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak
asasi manusia dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (huruf b) dan “bahwa
bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang
termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” (huruf c).
Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia” (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa
DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM
dan yang lazim disebut sebagai “International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional
tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan
instrumen-instrumen internasional inti mengenai
HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah
Undang Dasar 1945. Perubahan
Implementasi Hak Asasi Manusia
mengesahkan perubahan Undang-
37
pertama disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2001; dan perubahan keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002.
Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya
pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari
instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang
Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UndangUndang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional untuk memajukan dan
melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan
instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM.
HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen UUD 1945.
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung
jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan
Deklarasi Universal HAM/ Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948 serta berbagai
instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia.
38
Implementasi Hak Asasi Manusia
Terdapat 8 (delapan) diantara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional yang telah
diratifikasi Indonesia18, yaitu:
A.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984);
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
mengeluarkan Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita
berdasarkan persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya
untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat
maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi
tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita.
Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam
Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada
tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut.
Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18
Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan
18
https://kemlu.go.id/portal/id/read/40/halaman_list_lainnya/indonesia-dan-hak-asasi- manusia, diakses
pada Selasa, 01 Juni 2021
Implementasi Hak Asasi Manusia
39
pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. Dalam pemungutan
suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk
berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita karena isi Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan.
Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai
perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi
serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedang dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam
Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,
adat istiadat serta normanorma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh
masyarakat Indonesia.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum
nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan
dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia. Indonesia mengadakan pensyaratan
terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi, hingga dengan demikian Indonesia menyatakan dirinya tidak
terikat oleh pasal tersebut dengan pertimbangan bahwa konvensi memuat ketentuan tentang cara
untuk menyelesaikan setiap perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau
penerapan
40
Implementasi Hak Asasi Manusia
ketentuan Konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri pada ketentuan
pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan
perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut, kepada Mahkamah Internasional.
B.1. Convention on the Rights of the Child (Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990)
Indonesia adalah Negara yang telah meratifikasi dan mengadopsi prinsip-prinsip dalam Konvensi
hak-hak anak (Convention on the Right of the Child), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang
Hak-Hak Anak).
Dalam konvensi ini diatur mengenai beberapa prinsip dasar anak yakni prinsip non diskriminasi,
prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest for children), prinsip atas hak hidup,
keberlangsungan dan perkembangan serta prinsip atas penghargaan terhadap pendapat anak.
Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan
dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi
pembangunan bangsa dan negara. Pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian
kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung
jawab orang tua, keluarga,
bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama
internasional, di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of the Child (Konvensi
Implementasi Hak Asasi Manusia
41
tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang
diterima pada tanggal 20 Nopember 1989) sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/ HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang
Pembuatan Perjanjian dengan Negara lain, dipandang perlu mengesahkan konvensi tersebut
dengan Keputusan Presiden.
B.2. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of
Children in Armed Conflict (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012)
Keberadaan anak dalam konflik bersenjata dapat menimbulkan
dampak yang serius serta
konsekuensi dalam jangka panjang bagi anak. Peperangan dan konflik bersenjata saat ini telah
melibatkan berbagai pihak, termasuk anak-anak. Anak-anak sering dijadikan sasaran penyiksaan
dan pembunuhan sebagai bagian dari strategi perang. Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang sangat merugikan anak,
masyarakat internasional bersepakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
melindungi anak sebagaimana tercantum dalam Optional Protocol to the Convention on the Rights
of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak
Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata). Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional harus turut serta secara aktif untuk mencegah perekrutan, pelatihan
militer, serta mempersenjatai anak dalam konflik bersenjata. Setiap
apapun wajib dilindungi dan dipenuhi
42
Implementasi Hak Asasi Manusia
anak tanpa diskriminasi
hak-haknya dalam suatu lingkungan yang menghormati
kepentingan terbaik anak, menghargai
pandangan anak, dan mendukung kelangsungan hidup anak.
Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in
Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata) pada tanggal 24 September 2001 yang merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dari Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai
hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa yang diterima pada tanggal 20 November
1989.
Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap anak yang terlibat
dalam konflik bersenjata, Indonesia perlu mengesahkan Optional Protocol to the Convention on the
Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hakhak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata) dengan UU no. 9/2012.
Implementasi Hak Asasi Manusia
43
B.3. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children,
Child Prostitution and Child Pornography (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012)
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan Pemerintah
Negara Indonesia tersebut yaitu
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana tercantum dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2). Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa anak mempunyai hak
untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan merusak
kesehatan perkembangan sosial termasuk pemberian atau mengganggu pendidikan anak, fisik,
mental, spiritual, moral dan
anak. Pembinaan kesejahteraan anak
kesempatan untuk
mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua,
keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional.
Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya
mencegah, memberantas,
menghukum pelaku tindak
44
Implementasi Hak Asasi Manusia
dan
pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Pemerintah Republik Indonesia telah
menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of
Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak
mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September
2001. Penandatanganan tersebut merupakan salah satu komitmen bangsa Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional untuk mengimplementasikan Convention on the Rights of
the Child (Konvensi tentang Hak- hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1989.
C. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or
Punishment (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998)
Degrading Treatment or
Pada tanggal 9 Desember 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerima
Deklarasi tentang Perlindungan
Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Deklarasi
tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan
atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
menyatakan perlunya langkah-langkah
martabat manusia, dan
yang efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi
tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi
setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orangorang yang dirampas kemerdekaannya. Adapun pengertian
Implementasi Hak Asasi Manusia
45
penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana, menurut
Namun, karena deklarasi itu
ketentuan dalam hukum pidana.
bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut
pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni
1987.
Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985.
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota
PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di
bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan Sesuai dengan isi
Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM.
Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat
internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Karena didorong oleh rasa
tanggungjawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di
Indonesia, DPR-RI
memutuskan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan
Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi
46
Implementasi Hak Asasi Manusia
Rancangan
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah
satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting.
Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 105 negara. Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan
ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu
pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam
melaksanakan kewajiban- kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi, kedaulatan nasional dan
keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration)
ini tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali
tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi
Konvensi. Sesuai dengan
ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan
(Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa
mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International
Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui
juridiksi yang mengikat secara otomatis (Compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional.
Persyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku.
Implementasi Hak Asasi Manusia
47
D. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965
(Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999)
Diskriminasi rasial pada dasarnya merupakan suatu penolakan terhadap hak asasi manusia (HAM)
dan kebebasan mendasar. Tidak jarang diskriminasi rasial terjadi karena dukungan Pemerintah
melalui berbagai kebijakan diskriminasi rasial dalam bentuk apartheid, pemisahan dan pengucilan
atau dukungan sebagian masyarakat dalam bentuk penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras,
warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis.
Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh baik bagi
masyarakat luas maupun masyarakat
internasional maka harus dihapuskan dari peradaban umat manusia. Keinginan masyarakat
internasional untuk menghapuskan diskriminasi rasial tersebut dijabarkan dalam United Nations
Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Deklarasi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) yang diproklamasikan
dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1963,
melalui Resolusi 1904 (XVIII). Deklarasi tersebut memuat penolakan terhadap diskriminasi rasial,
penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah dan sebagian
masyarakat, penghentian propaganda supremasi ras atau warna kulit tertentu dan langkah-langkah
yang harus diambil oleh negara-negara dalam penghapusan diskriminasi rasial.
Namun demikian, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, maka Komisi Hak Asasi
Manusia Perserikatan
48
Implementasi Hak Asasi Manusia
Bangsa Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial yang selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa untuk disahkan. Pada tanggal 21 Desember 1965 Majelis Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa memberikan kekuatan hukum yang mengikat semangat penghapusan diskriminasi rasial
dengan menerima Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk secepatnya mengesahkan perangkatperangkat internasional
yang sangat penting di bidang HAM. Termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia
telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang berisi
kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan dalam rangka memajukan dan melindungi HAM.
Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat
internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan didorong oleh rasa tanggung jawab untuk
memajukan dan menegakkan HAM dan pembangunan hukum di
Indonesia, Pemerintah
memutuskan untuk mengajukan
Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang telah diterima oleh
masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat
penting.
Implementasi Hak Asasi Manusia
49
Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 151 (seratus lima puluh satu)
ketentuan Konvensi, Indonesia
negara. Sesuai dengan
menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 22
Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan
Konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara
lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional yang
mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction). Pensyaratan tersebut bersifat prosedural
sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
E.
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan
budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri
dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Pembukaan Kovenan ini mengingatkan
negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,
mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan
HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya,
dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, citacita umat manusia untuk menikmati kebebasan
sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila
telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
serta hak-hak sipil dan politiknya.
50
Implementasi Hak Asasi Manusia
F. International Covenant on Civil and Political Rights (Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005)
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM
sehingga menjadi
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan
penjabarannya
mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal
yang mencakup 6 bab dan 53 pasal.
Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara- negara akan kewajibannya, menurut
Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung
jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini
dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan
DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari
rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang
untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan
budayanya.
G. Convention on the Rights of Persons With Disabilities
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011)
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak
asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia,
sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi
Implementasi Hak Asasi Manusia
51
manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Pada
tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah mengeluarkan
Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
tentang Hak-Hak Penyandang
Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang
disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York.
Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati,
melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya
diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Pada waktu menandatangani Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia
menandatangani Konvensi tanpa reservasi. Akan tetapi, tidak menandatangani Optional Protocol
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sebagai negara penandatangan konvensi, Indonesia
memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini. Dalam upaya melindungi, menghormati,
memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas, Pemerintah Indonesia telah
membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap
penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang- undangan tersebut, antara lain: 1. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia; 4. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5. Undang-
52
Implementasi Hak Asasi Manusia
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional; 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional; 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; 10. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 11. UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; 12. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 13.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 14. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan; dan 16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan
Fakir Miskin.
H. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families (Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2012)
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik
Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, termasuk hak-hak seluruh
pekerja migran dan anggota keluarganya perlu ditingkatkan.
Pada tanggal 18 Desember 1990 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan
Resolusi Nomor A/RES/45/ 158 mengenai International Convention on the Protection of the
Implementasi Hak Asasi Manusia
53
Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Resolusi tersebut
memuat seluruh hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya dan menyatakan akan mengambil
langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan Konvensi ini.
Pada tanggal 22 September 2004 di New York, Pemerintah Indonesia telah menandatangani
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their
Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya) tanpa reservasi. Penandatanganan tersebut menunjukkan kesungguhan
Negara Indonesia untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh
pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi
kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Sebagai salah satu negara yang telah
menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran dan Anggota Keluarganya), Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini.
Ratifikasi Konvensi ini diharapkan dapat mendorong terciptanya ratifikasi universal dan penerapan
prinsip serta norma standar internasional bagi perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan
anggota keluarganya secara global. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan dan
memenuhi hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, Pemerintah Indonesia telah membentuk
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap tenaga kerja,
antara lain: 1. Undang-
54
Implementasi Hak Asasi Manusia
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak; 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 5. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 6. Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; 7.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 8. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; 9. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 10. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 11. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang
Kesehatan; 12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Indonesia juga telah memiliki National Human Rights Institution (NHRI) yang independen dan sejalan
dengan Paris Principles yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI) yang
dibentuk pada tahun 1999 berdasarkan UU no.39 Tahun 1999 tentang HAM. Komnas HAM RI secara
berkala menjalani review The Global Alliance Of National Human Rights Institutions (GANHRI) dan
telah mendapat akreditasi A dari sejak tahun 2000 sampai saat ini.
Sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993/Vienna Declaration
and Program of Action on Human Rights (VD PA), Pemerintah Indonesia telah mengesahkan dan
mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM). Dalam hubungan bilateral, Indonesia
telah memiliki forum dialog bilateral HAM reguler dengan sejumlah negara. Dalam tingkatan
Implementasi Hak Asasi Manusia
55
regional, Indonesia turut membentuk badan khusus HAM dalam kerangka kerjasama ASEAN dan
OKI. Sedang dalam tataran global, Indonesia aktif dalam pembahasan berbagai isu HAM baik di
dalam mekanisme HAM PBB maupun di luar mekanisme HAM PBB.
I.Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan Konvensi ?
2. Sebutkan instrumen pokok HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia
J.Rangkuman
Indonesia juga telah meratifikasi 8 (delapan) dari 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional,
yaitu konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita; konvensi hakhak anak mengenai Keterlibatan Anak dalam konflik bersenjata dan penjualan anak, prostitusi
anak, dan pornografi anak; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia; konvensi tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvenan dibidang ekonomi, sosial dan budaya;
konvenan di bidang sipil dan politik; konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas; dan
konvenan mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya.
K.Evaluasi
Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan diskusikanlah 1 (satu) konvensi yang telah
diratifikasi dikaitkan dengan hak anak.
56
Implementasi Hak Asasi Manusia
BAB IV
IMPLEMENTASI HAM BAGI PEJABAT
FUNGSIONAL DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
Dalam rangka penerapan hak asasi bagi masyarakat, maka pemerintah sudah seharusnya menganut
paradigma customer driven (berorientasi kepentingan masyarakat) dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat luas, mempersiapkan seluruh perangkat untuk memenuhi paradigma tersebut
secara sistemik, sehingga terwujud pelayanan publik yang berkualitas (yang sedapat mungkin
tangible, reliabel, responsif, aman dan penuh empati dalam pelaksanaannya)19.
Untuk itu diperlukan aturan main yang tegas, lugas, dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan
lingkungan, yang cirinya selalu berubah dengan cepat dan kadang penuh ketidakpastian. Disinilah
letak seni dan ilmu pelayanan yang harus dikembangkan pemerintah bersama seluruh lapisan
masyarakat sebagai pengewajantahan hak asasi masyarakat dalam partisipasi publik. Dalam bahasa
administrasi publik, harus ada integrasi dalam hal melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas
antara seluruh stakeholders pembangunan, yakni antara stakeholder internal, dalam hal ini sektor
publik/sektor
pemerintahan, dan stakeholders eksternal, dalam hal ini sektor swasta
masyarakat luas
lainnya20.
J.V Denhardt and R.B Denhardt, The New Public Service: Serving Not Steering (New York:
M.E Sharpe Publisher, 2004).
Hardiyansyah, Kualitas Pelayanan Publik, Edisi Revi. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2018).
Implementasi Hak Asasi Manusia
57
dan sektor
A. Implementasi HAM Bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM
Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan Aparatur
Sipil Negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan
mampu
menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi tugas untuk
melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu.
Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif
yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan
dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum
pemerintahan yang meliputi
pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka
pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and
political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social
development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh
masyarakat.
58
Implementasi Hak Asasi Manusia
Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan
tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem
Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan
dengan
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam
rekrutmen,
pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan
kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam upaya menjaga netralitas
ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN,
serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN
dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Pegawai ASN memiliki peran penting dalam menciptakan
masyarakat yang taat hukum,
berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi. Undang-Undang No. 5 Tahun
2014 atau UU ASN merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan perubahan mendasar dalam
manajemen SDM Pegawai ASN. UU ASN mengubah pendekatan manajemen ASN yang dulunya
pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan dan pengelolaan data
pegawai menjadi human resource management (HRM) yang menganggap pegawai sebagai
sumber daya manusia dan aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan
baik. UU ASN juga mengubah sistem pengembangan karir yang awalnya closed career system
yang sangat berorientasi pada senioritas dan kepangkatan kepada open career system yang
mengedepankan kompetensi ASN dalam promosi dan pengisian jabatan.
Implementasi Hak Asasi Manusia
59
Open career system yang diusung melalui UU ASN dapat mendukung kepatuhan pada kode etik dan
kode perilaku. Salah satu aspek krusial yang berubah adalah proses rekrutmen, pemilihan individuindividu yang akan direkrut harus memiliki kualifikasi yang relevan untuk mengisi posisi dalam suatu
organisasi. Melalui rekrutmen yang baik, instansi pemerintah dapat memastikan pegawai ASN yang
bergabung dalam organisasi adalah pegawai yang dapat memegang teguh kode etik serta
melaksanakannya dalam perilaku sehari-hari. Kode etik merupakan bentuk aturan tertulis yang
dibuat dengan kesepakatan bersama berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan berfungsi
sebagai alat untuk menangani berbagai macam tindakan yang dinilai menyimpang.21 Kode etik
biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau kelompok sebagai suatu tindakan dan pandangan
secara umum sesuai dengan budaya organisasi jika terjadi hal-hal di luar keadaan normal atau di
luar bidang pekerjaan.
Kritik utama terhadap kode etik adalah bahwa kode etik terlalu
abstrak sehingga sulit untuk
ditegakkan. Meskipun terdapat beberapa pembenaran untuk kritik ini, namun biasanya masalah
terletak pada pelembagaan dan kemampuan untuk menegakkan perilaku pegawai. Pada intinya,
meskipun sebuah institusi telah memiliki kode etik namun tanpa implementasi kelembagaan yang
efektif maka hal itu tidak akan memberikan dampak apapun.22 Kode perilaku adalah aturan yang
mengatur perilaku mana yang
Englin Siso, Joorie Ruru, Verry Londa “Pengaruh Etika Jabatan Terhadap Kinerja Aparatur Sipil
Negara di Sekertariat Kota Manado” hal. 2
2 Gilman, Stuart. C. “Ethics Codes And Codes Of Conduct As Tools For Promoting An Ethical And
Professional Public Service: Comparative Successes And Lessons”hal. 15
60
Implementasi Hak Asasi Manusia
Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka
kewajiban hukum dan sanksi yang
hukum yang memberikan
sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang
menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi.25 Selain itu, kode etik dan
kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan
kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku
pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010
dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta
ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan
fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak Asasi
Manusia.
B.Latihan
1. Sebutkan manfaat dari pemahaman HAM dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saudara
sebagai PNS !
2. Bagaimana kaitan antara HAM dan kode etik perilaku pegawai negeri ?
Bruce Maxwell & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A
narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371
62
Implementasi Hak Asasi Manusia
Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka
kewajiban hukum dan sanksi yang
hukum yang memberikan
sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang
menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi.25 Selain itu, kode etik dan
kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan
kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku
pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010
dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta
ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan
fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak Asasi
Manusia.
B.Latihan
1. Sebutkan manfaat dari pemahaman HAM dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saudara
sebagai PNS !
2. Bagaimana kaitan antara HAM dan kode etik perilaku pegawai negeri ?
Bruce Maxwell & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A
narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371
62
Implementasi Hak Asasi Manusia
C. Rangkuman
Kode etik dan perilaku adalah instrumen yang diadopsi oleh organisasi untuk mengatur fungsi inti
internal dan eksternal terhadap pelanggaran pelayanan publik. Kode etik dan kode perilaku pada
dasarnya adalah prinsip-prinsip panduan yang dirancang untuk mempertahankan nilai-nilai yang
mendasari
kepercayaan, kebenaran dan integritas dalam pelaksanaan
Perubahan realistis dalam pencapaian
pelayanan publik.
integritas dan profesional pegawai negeri sipil dapat
dicapai dengan menerapkan kode etik dan kode perilaku.
Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dari kerangka
kewajiban hukum dan sanksi yang
hukum yang memberikan
sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang
menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi. Selain itu, kode etik dan
kode perilaku menyoroti nilai- nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan
kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan
kode perilaku, serta ketentuan- ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan
pada tugas dan fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum
mengimplementasikan Hak Asasi Manusia.
dan HAM telah
D. Evaluasi
Buatlah kelompok yang terdiri dari 5 (lima ) orang dan diskusikanlah implemetasi HAM dengan tugas
pokok saudara sebagai PNS.
Implementasi Hak Asasi Manusia
63
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Bahwa sebagai langkah konkret Pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan,
pemenuhan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka disusunlah Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disingkat RANHAM.
2. Bahwa Pelaksanaan RANHAM saat ini telah melewati 5 (lima) generasi yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Generasi
Generasi
Generasi
Generasi
Generasi
pertama (periode 1999-2003);
kedua (periode 2004-2009);
ketiga (periode 2011-2014);
keempat (periode 2015-2019); dan
kelima (periode 2021-2025).
3. Bahwa RANHAM disusun dengan maksud sebagai:
a. pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM; dan
b. kegiatan percepatan yang dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
provinsi
Implementasi Hak Asasi Manusia
65
dan kabupaten/kota yang dituangkan dalam bentuk kegiatan khusus di luar kegiatan rutin.
4.Bahwa tujuan dari penyusunan RANHAM adalah:
a. menyinergikan upaya penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan
HAM yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota;
b. mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan yang sesuai prinsip-prinsip HAM; dan
c. mengoptimalkan pencapaian pemenuhan hak kepada kelompok sasaran dalam RANHAM.
a.
b.
c.
d.
e.
5.Bahwa dalam rangka menyelenggarakan Rencana Aksi
Panitia Nasional RANHAM yang terdiri atas:
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
(Ketua Panitia Nasional RANHAM);
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang
pemerintahan dalam negeri;
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
nasional; dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang luar negeri.
Nasional Hak Asasi Manusia dibentuk
bidang hukum dan hak asasi manusia
bidang sosial;
bidang perencanaan pembangunan
6.Bahwa RANHAM dilaksanakan melalui Aksi HAM, dimana pelaksanaan Aksi HAM tersebut
dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
dilakukan dengan mengikutsertakan
66
Implementasi Hak Asasi Manusia
masyarakat. Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dapat kita lihat dalam Lampiran II Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2021.
7.Bahwa HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen
UUD 1945. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk
tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan
pelaksanaan Deklarasi Universal HAM/Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948
serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia. Terdapat 8
(delapan) diantara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional yang telah diratifikasi
Indonesia, yaitu:
a. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (UU No. 7/1984);
b. Convention on the Rights of the Child (Keppres No. 36/ 1990);
- Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children
in Armed Conflict (UU No. 9/2012);
- Optional Protocol to the Convention on the Rights of
the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (UU No. 10 Tahun
2012);
c.Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment
(UU No. 5/1998);
d.International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 (UU No.
29/1999);
Implementasi Hak Asasi Manusia
67
e. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (UU No. 11/2005);
f. International Covenant on Civil and Political Rights (UU No. 12/2005);
g. Convention on the Rights of Persons With Disabilities (UU No.19/2011);
h. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
of Their Families (UU No. 6/2012).
8. Bahwa Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi
dari kerangka hukum yang
memberikan kewajiban hukum dan sanksi yang sesuai, juga merupakan kerangka kerja etis yang
menggambarkan nilai-nilai inti yang harus dicita-citakan oleh organisasi. Selain itu, kode etik dan
kode perilaku menyoroti nilai-nilai wajib yang diharapkan dari pegawai negeri dan menjelaskan
kewajiban hukum pegawai negeri tersebut. Dasar hukum penerapan kode etik dan kode perilaku
pegawai ASN ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; PP 53 Tahun 2010
dan PP 42 Tahun 2004. Dengan menerapkan serta mematuhi kode etik dan kode perilaku, serta
ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan pada tugas dan
fungsinya, maka ASN pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengimplementasikan Hak
Asasi Manusia.
68
Implementasi Hak Asasi Manusia
B. Tindak Lanjut
Setelah mempelajari dan memahami modul terkait Implementasi
mampu menjelaskan bagaimana
Hak Asasi Manusia, peserta
implementasi hak asasi manusia berdasarkan Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia dan Konvenan Ratifikasi Internasional serta implementasi hak asasi
manusia bagi Pejabat Fungsional di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dalam menjalankan
tugas dan fungsi sehari-hari selaku aparatur sipil negara umumnya dan selaku pejabat fungsional
tertentu khususnya.
Implementasi Hak Asasi Manusia
69
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS
Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun
2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019
Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Daerah
Kabupaten/Kota Peduli HAM
BUKU
Mahadi. 2016. Pandangan Umum tentang HAM, Mencari dan
Pemikiran Prof. Mahadi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi
Setiardja, Gunawan. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan
Kanisius.
Ideologi Pancasila. Yogyakarta:
Rahardjo, Vide Sajtipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Adit Bakti.
70
Implementasi Hak Asasi Manusia
M. Smith , Rhona K., dkk. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia.
Huda, Miftakhul. 2010. “Kamus Hukum Non-Derogable Rights”.
Majalah Konstitusi No. 43.
Siso, Englin, dkk. “Pengaruh Etika Jabatan Terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekertariat
Kota Manado.
Hardiyansyah. 2018. Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Denhardt, J.V and R.B Denhardt. 2004. The New Public Service: Serving Not Steering New York: M.E
Sharpe Publisher.
Gilman, Stuart. C. “Ethics Codes And Codes Of Conduct As Tools For Promoting An Ethical And
Professional Public Service: Comparative Successes And Lessons.
Yusuph, Mashala. L. 2017. Code of Ethics and Conducts in Public Service: The Litmus Test for Public
Administrators Ethical Decision Making in Resolving Ethical Dilemmas. A Comparative Study of
Tanzania and South Africa.
Maxwell, Bruce & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A
narrative review of the scholarly writings.
Referensi ELSAM. 2021. (https://referensi.elsam.or.id/2014/09/ konvensi/, diakses: 01 Juni 2021).
Indonesia dan HAM. 2021.(https://kemlu.go.id/portal/id/read/40/ halaman list_lainnya/ Indonesia-danhak-asasi-manusia, diakses : 01 Juni 2021)
Implementasi Hak Asasi Manusia
71
Maxwell, Bruce & Marina Schwimmer. 2016. Professional ethics education for future teachers: A
narrative review of the scholarly writings. Hal 354-371.
Denhardt, J.V and R.B Denhardt. 2004. The New Public Service: Serving Not Steering. New York:
M.E Sharpe Publisher
72
Implementasi Hak Asasi Manusia
TERIMA KASIH
Download