REFERAT PERTUSIS Oleh: Chasan Arfisa 21904101068 Dosen Pembimbing dr. Indah Sulistyani, Sp. A LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK KEPANITRAAN KLINIK MADYA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2020 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, yaitu dr. Indah Sulistyani, Sp. A yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus ini dapat terselesaikan. Makalah ini membahas terkait definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan manajemen penatalaksanaan, prognosis, KIE. Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya. Demikian pengantar kami, semoga makalahini dapat bermanfaat bagi semua. Amin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bangkalan, 12 Juni 2020 Penyusun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis (Sarah, 2000). Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi (Sarah, 2000). Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemis karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertussis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan (Cherry, 2005). Dengan mendiagnosa secaara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, manifestasi klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan$epat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis pada penyakit pertussis ? 1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis pertussis. 1.4 Manfaat Penulisan Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai penyakit pertussis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pertusis ialah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi (Rampengan, 1993). Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat. Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertussis. Serangan batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paruparu terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertussis telah kekurangan udara sehingga bernapas cepat, suara pernafasan berbunyi seperti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertussis biasanya sangat parah hingga muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk. 2.2 Etiologi Pertusis biasanya disebabkan diantaranya Bordetalla pertussis (Hemophilis pertussis) yang berbentuk batang gram negative, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 500 C tetapi bertahan pada suhu 00 – 100 C. bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernafasan. (Cahyono dkk, 2010) 2.3 Patofiologi Peradangan terjadi pada lapisan mukosa saluran nafas. Dan organisme hanya akan berkembang biak jika terdapat kongesti dan infiltrasi mukosa berhubungan dengan epitel bersilia dan menghasilkan toksin seperti endotoksin, pertusinogen, toxin heat labile, dan kapsul antifagositik, oleh limfosit dan leukosit untuk polimorfonuklir serta penimbunan debrit peradangan di dalam lumen bronkus. Pada awal penyakit terjadi hyperplasia limfoid penbronklas yang disusun dengan nekrosis yang mengenai lapisan tengah bronkus, tetapi bronkopnemonia disertai nekrosis dan pengelupasan epitel permukaan bronkus. Obstruksi brokiolus dan atelectasis terjadi akibat dari penimbunan mucus. Akhirnya terjadi brokiektasis yang bersifat menetap. (Sarah, 2000) Cara penularan penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk, dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertussis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai. (Todar, 2011) 2.4 Pathway 2.5 Diagnosa 2.5.1 Anamnesis Kontak dengan penderita pertussis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat. Inkubasi 6-20 hari Tanda dan gejala klinis tergantung stadium : a. Stadium kataral (1-2 minggu) : demam, rinorea, anoreksia, frekuensi batuk bertambah -> sangat menular pada stadium ini. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin berat, secret pun banyak dan menjadi kental dan lengket. b. Stadium paroksisma : batuk pertussis paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori Panjang (inspiratory whooping) batuk pada ekspirasi dan diakhiri muntah. Whooping ini disebabkan karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas setelah 5-10x batuk. Pada batuk seperti ini disebabkan karena sulitnya membuang mucus dan secret tebal. Pada bayi kecil tidak khas, sering sudah ditemukan dalam kondisi apnea. Dapat ditemui : muka merah, sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher, apatis, penurunan BB. c. Stadium konvalesens: batuk akan menghilang secara bertahap. Nafsu makan membaikm dapat terjadi ptekia, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackle difus. 2.5.2 Pemeriksaan Penunjang ➢ Darah lengkap : leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut ➢ IgG terhadap toksin pertussis: paling sensitive dan spesifik ➢ CXR: infiltrate perihilar atau edema, atelectasis atau empyema ➢ Diagnosis pasti : ditemukan mikroorganisme pada hapusan nasofaring (media: Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transport Regan Lowe pemeriksaan PCR, imunoflouresens. 2.6 Diagnosis Banding a. Bayi: infeksi virus RSV, parainfluenza, Klebsiella pneumonia b. Remaja: infeksi M. pneumonia yang menyebabkan bronchitis kronis 2.7 Tatalaksana ➢ Suportif umum : hindari factor pencetus serangan batuk, pemberian cairan, oksigen, dan nutrisi adekuat. Bayi <6bulan MRS karena sering apnea, sianosis atau kejang ➢ Pasien diisolasi selama 4 minggu ➢ Pemberian antibiotic tidak memperpendek stadium paroksismal. Antiobiotik mengeliminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Usia Yang direkomendasikan < 1 bulan Alternatif TMP-SMK Eritromisin Klaritomisin Azitromisin 40-50 Tidak 10 mg/kgbb/hari dosis Kontraindikasi untuk mg/kgbb/ direkomendasikan tunggal selama 5 hari usia <2 bulan 15 mg/kgbb/hari s.d.a Usia > 2 bulan. TMP 8 hari terbagi 4 dosis 1 s.d. 5 s.d.a bulan terbagi 2 dosis mg/kgbb/hari. SMK 40 selama 7 hari mg/kgbb/hari terbagi 2 dosis selama 14 hari >6 bulan s.d.a (maks s.d.a 2g/ hari) 10 mg/kgbb/dosis s.d.a tunggal pada hari ke-1 (maks 500 mg) kemudian 5 mg/kgbb/hari dosis tunggal pada hari ke-2 s.d 5 (maks 250mg/hari) Remaja 2g/hari 2g/ hari terbagi 2 500 mg dosis tunggal TMP 100 mg/hari. terbagi 4 dosis selama 7 pada hari ke-1 SMK 1.600 mg/hari dosis selama hari kemudian 250 mg dosis terbagi 2 dosis selama tunggal pada hari ke-2 14 hari 14 hari s.d. 5 Oksigen • Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. • Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. • Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi • Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman. Tatalaksana jalan napas • Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret. • Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. • Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen. Perawatan penunjang • Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT • Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. • Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. • Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT. Pemantauan Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi. 2.8 Prognosis Prognosis bergantung usia, anak lebih tua prognosis lebih baik. Pada bayi resiko enchelopati BAB III 3.1 Kesimpulan Pertusis adalah infeksi akut pada saluran pernafasan yang ditandai dengan gejala batuk spasmodic disertai muntah. Pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis. Pertussis terbagi dalam 3 stadium dimana pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis dan limfositosis absolut. Terapi pada pertussis menggunakan antiobiotik dan pencegahan nya bisa diberikan imunisasi DPT. 3.2 Saran Diagnose yang cepat untuk menentukan penyakit pertussis sangat dibutuhkan, karena lama nya pemberian terapi bisa menyebabkan komplikasi sampai dengan kematian. DAFTAR PUSTAKA Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Nelson Textbook of Pediatric Edisi 20 (2016) halaman 1377 Cahyono, J B. 2010, Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: KANISIUS Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatric: 115:1422-1427. Cherry, JD, Heininger, U. Pertussis and other Bordetella infections. Dalam: Feigin RD (penyunting) 1. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. 2009. WB Saunders Co, Philadelphia: h. 1683-1706Pedoman Pelayanan Medis (PPM). Edisi 2 IDAI (2011) halaman 224 Long SS. Pertussis (Bordetella pertussis and B. parapertussis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, 2. Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. 2008. Saunders, Philadelphia, h. 908-12. Long, SS, Edwards KM. 3. Bordetella pertussis (pertussis) and other Bordetella species. Parapertussis). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. 2008. Churcill Livingstone, Philadelphia, h. 8858-66. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta: EGC. 181:960-965. Todar, Kenneth. 2011. Bordetella Pertusis and Whooping Cough. Tozzi AE, Celentano LP, Ciofidegli Atti ML, Salmaso S. Diagnosis and management of pertussis. CMAJ. 4. 2005;172(4):509-15. WHO. Pertussis vaccine. WHO Weekly Epidemiological Record. 2010; 40:385–400.5