library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Migrain 1.1. Definisi Migrain adalah suatu penyakit yang ditandai dengan episode nyeri kepala berulang, seringkali unilateral, namun dapat juga bilateral, dan dalam beberapa kasus disertai dengan gangguan visual atau sensorik yang dikenal sebagai aura. Aura seringkali timbul sebelum nyeri kepala muncul, namun dapat terjadi selama atau setelah nyeri kepala (Burstein, 2015). Menurut WHO Kata "migrain" berasal dari bahasa Yunani yaitu hemikrania, hemi berarti setengah, kranion yang berarti tengkorak, sehingga dapat disimpulkan bahwa migrain diartikan sebagai rasa sakit di satu sisi kepala. Migrain merupakan salah satu nyeri kepala primer yang ditandai dengan nyeri kepala berulang dengan intensitas nyeri sedang hingga parah. Biasanya, nyeri kepala mempengaruhi satu sisi kepala, nyerinya berdenyut, dan berlangsung dari dua sampai 72 jam. Rasa nyeri umumnya diperburuk dengan aktivitas fisik, sepertiga penderita migrain memiliki aura, suatu periode gangguan visual singkat yang menandakan bahwa nyeri kepala akan segera terjadi. Kadang-kadang, aura dapat terjadi dengan sedikit atau tanpa nyeri kepala setelahnya (WHO, 2016). 1.2. Prevalensi Migrain merupakan gangguan neurologis yang umum namun cukup memberatkan. Secara global, sekitar 15% orang terkena migrain (Vos et al., 2012). Di Amerika serikat, diperkirakan 18% dari populasi wanita dan 6% laki-laki mengalami migrain (Smitherman, 2013). Migrain dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migrain lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, 5 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun. Pada beberapa wanita serangan migrain menjadi lebih jarang setelah menopause. (NINDS, 2015). World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi migrain di seluruh dunia mencapai 10-14%. Prevalensi tertinggi migrain didapatkan pada daerah Amerika utara, diikuti dengan Amerika Tengah dan Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Sekitar 3000 serangan migrain terjadi pada setiap 1 juta orang di seluruh dunia setiap hari. Menurut WHO migrain merupakan penyebab ke-19 dari disabilitas kehidupan. 1.3. Etiologi Migrain diduga disebabkan oleh campuran faktor lingkungan dan genetik (Piane et al., 2007). Sekitar dua pertiga kasus migrain memiliki riwayat keluarga dengan migrain (Bartleson dan Cutrer, 2010). Perubahan kadar hormon juga berperan terhadap migrain dimana migrain sedikit lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan sebelum pubertas, namun setelah pubertas terjadi 2-3 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Resiko migrain biasanya menurun selama kehamilan (Lay dan Broner, 2009). Migrain dengan atau tanpa aura pada umumnya menunjukkan pola pewarisan yang bersifat multifaktorial, namun sifat spesifik dari pengaruh genetik belum sepenuhnya dipahami. Studi asosiasi genom terbaru menunjukkan terdapat 4 regio di mana polimorfisme nukleotida tunggal mempengaruhi risiko menderita migrain (Chasman et al., 2011; Antilla et al., 2010; Ligthart et al., 2011). Migrain memiliki peranan komponen genetik yang kuat. Sekitar 70% pasien migrain memiliki keluarga tingkat pertama yang juga memiliki riwayat migrain. Penelitian oleh Kors et al (1999) menyebutkan bahwa risiko migrain meningkat 4 kali lipat pada keluarga penderita migrain dengan aura. Berbagai faktor pencetus serangan migrain telah diidentifikasi,sebagai berikut: a. Perubahan hormonal, seperti menstruasi, kehamilan, dan ovulasi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 b. Stres c. Kurang tidur, atau tidur berlebih d. Obat-obatan (misalnya, vasodilator dan kontrasepsi oral) e. Merokok f. Paparan pencahayaan terang g. Bau kuat (misalnya parfum) h. Trauma kepala i. Perubahan cuaca j. Mabuk perjalanan k. Stimulus dingin l. Kurang olahraga m. Puasa atau melewatkan makanan n. Konsumsi anggur merah Beberapa bahan makanan dan bahan tambahan juga telah diduga menjadi pencetus migrain seperti : a. Kafein b. Pemanis buatan (misalnya aspartam, sakarin) c. Monosodium glutamat (MSG) d. Buah sitrus e. Makanan yang mengandung tyramine (misal, keju) f. Daging dengan nitrit Namun begitu, penelitian epidemiologi yang besar belum dapat membuktikan sebagian besar hal diatas sebagai pemicu sebenarnya, dan tidak ada diet yang terbukti membantu migrain. Kendati demikian pasien yang mengidentifikasi makanan tertentu sebagai pemicu sebaiknya menghindari makanan tersebut (Wober et al., 2007; Allais et al., 2009). 1.4. Klasifikasi Secara umum migrain dibagi menjadi dua : 1. Migrain dengan aura Migrain dengan aura disebut juga sebagai migrain klasik. Diawali dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 oleh nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit. 2. Migrain tanpa aura Migrain tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya hampir sama dengan migrain dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (Bertleson et al., 2010). 1.5. Patofisiologi 1.5.1 Teori vascular Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migrain dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian, vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala (Srivasta, 2010). Teori ini didasarkan pada 3 observasi berikut 1.) Pembuluh darah ekstrasranial membesar dan berdenyut saat terjadi serangan migrain. 2.) Stimulasi pembuluh darah intrakranial menyebabkan timbulnya nyeri kepala. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 3.) Vasokonstriktor (misalnya, ergot) dapat mengobati nyeri kepala, sedangkan vasodilator (misalnya nitrogliserin) memicu timbulnya serangan. Namun, teori ini tidak dapat menjelaskan sifat prodromal dari migrain, khasiat beberapa obat yang digunakan untuk mengobati migrain yang tidak berpengaruh pada pembuluh darah dan fakta bahwa kebanyakan penderita migrain tidak memiliki aura. Selain itu, dengan munculnya teknologi yang lebih baru, para peneliti menemukan bahwa pola aliran darah intrakranial tidak sesuai dengan teori vascular (Santos et al., 2014). 1.5.2 Teori Neurovaskular dan Neurokimia Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migrain terjadi, nervus trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid. Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia. CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2 (Srivasta, 2010). Pada prinsipnya, penderita migrain yang sedang tidak mengalami serangan mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 stimulasi magnetik transkranial. Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migrain menjadi rentan mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migrain, sering terjadi alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat episode migrain. Mekanisme migrain berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut (Antonaci et al., 2011). 1.5.3 Teori Cortical Spreading Depression (CSD) Patofisiologi migrain dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD adalah pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi (Ayata, 2015). CSD pada episode aura akan menstimulasi nervus trigeminalis nukleus kaudatus, memulai terjadinya migrain. Pada migrain tanpa aura, kejadian kecil di neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis kemudian menginisiasi migrain. Nervus trigeminalis yang teraktivasi akan menstimulasi pembuluh kranial untuk dilatasi. Hasilnya, senyawasenyawa neurokimia seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi plasma. Kejadian ini akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat, kemudian akan terjadi inflamasi steril neurogenik pada kompleks trigeminovaskular. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 Selain CSD, migrain juga terjadi akibat beberapa mekanisme lain, di antaranya aktivasi batang otak bagian rostral, stimulasi dopaminergik, dan defisiensi magnesium di otak. Mekanisme ini bermanifestasi pelepasan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang bersifat vasokonstriktor. Pemberian antagonis dopamin, misalnya Proklorperazin, dan antagonis 5HT, misalnya Sumatriptan dapat menghilangkan migrain dengan efektif (Srivasta, 2010; Antonaci, 2011; Ayata, 2015). 1.5.4 Zat vasoaktif dan Neurotransmitter Aktivitas saraf perivaskular menyebabkan pelepasan berbagai macam zat vasoaktif seperti substance P, neurokinin A, peptida terkait gen kalsitonin, dan nitrit oksida (NO), yang berinteraksi dengan dinding pembuluh darah menyebabkan dilatasi, ekstravasasi protein, dan inflamasi steril. Keadaan inflamasi steril yang dihasilkan disertai dengan lebih lanjut, vasodilatasi menghasilkan rasa nyeri. Informasi tersebut kemudian diteruskan ke talamus dan korteks sehingga timbul rasa nyeri. Keterlibatan sentral lainnya dapat menjelaskan gejala otonom yang terkait. Ekspansi plasma neurogenik berperan dalam ekspresi rasa nyeri pada migrain. Namun begitu, ekspansi plasma saja mungkin tidak dengan sendirinya menyebabkan rasa nyeri, diduga terdapat stimulator lain yang dapat memperkuat rasa nyeri yang timbul (Reiffurth, 2015). 1.6. Diagnosis 1.6.1 Migrain tanpa aura Kriteria diagnostik : A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil diobati). C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut: 1. Lokasi unilateral library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 2. Kualitas berdenyut 3. Intensitas nyeri sedang atau berat 4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga). D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini: 1. Mual dan/atau muntah 2. Fotofobia dan fonofobia E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain (Bartleson, 2010) 1.6.2 Migrain dengan aura Kriteria diagnostik: A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi kriteria B-D. B. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi tidak dijumpai kelemahan motorik: 1. Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya yang berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif (hilangnya penglihatan). 2. Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins and needles), dan/atau negatif (hilang rasa/baal). 3. Gangguan bicara disfasia yang reversibel C. Paling sedikit dua dari dibawah ini: 1. Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral 2. Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan /atau jenis aura yang lainnya > 5 menit. 3. Masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit. D. Nyeri kepala memenuhi keriteria B-D E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain (Bartleson, 2010). Gejala diatas ini tidak boleh disebabkan oleh kelainan struktural, metabolik atau gangguan lainnya. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 Gambar 1: Kriteria diagnosis migrain oleh International Headache Society 1.7 Penatalaksanaan Tatalaksana migrain melibatkan terapi akut (abortif) dan pencegahan (profilaksis). Penatalaksanaan farmakologis untuk migrain dengan pengobatan anti nyeri sederhana seperti ibuprofen dan parasetamol (asetaminofen) untuk nyeri kepala, obat anti mual, dan penghindaran pemicu migrain (Armstrong, 2013). Obat-obatan spesifik seperti triptans atau ergotamin dapat digunakan ketika obat anti nyeri sederhana tidak efektif (NINDS, 2015). Sejumlah obat juga digunakan untuk mencegah serangan seperti metoprolol, valproat, dan topiramat (Armstrong, 2013). Pasien juga harus menghindari faktor-faktor yang memicu serangan migrain (misalnya kurang tidur, kelelahan, stres, makanan tertentu, penggunaan vasodilator). Pasien dianjurkan untuk menggunakan buku harian untuk mendokumentasikan kejadian nyeri kepala, hal tersebut merupakan metode yang efektif dan murah untuk mengikuti jalannya penyakit (NINDS, 2015). 2. Migrain dan Cemas Beberapa tinjauan pustaka menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara gangguan migrain dan psikiatri. Adanya komorbiditas gangguan jiwa dapat mempersulit diagnosis, mempengaruhi kualitas hidup, mempengaruhi kepatuhan pengobatan, dan mengubah perjalanan penyakit migrain (Baskin dan Smitherman, 2009). Komorbiditas gangguan jiwa juga library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 terkait dengan meningkatnya biaya pengobatan, berkurangnya kepuasan pengobatan, prognosis yang buruk, dan peningkatan kecacatan (Seng, 2016). Gangguan cemas memiliki banyak gambaran klinis yang serupa dengan migrain. Sebagai contoh, migrain bersifat episodik dan ditandai dengan serangan nyeri kepala berulang disertai dengan gejala yang terkait, termasuk hipersensitivitas neuronal menyeluruh (Burstein et al., 2015). Demikian pula, gangguan panik merupakan kelainan episodik yang ditandai dengan serangan disregulasi otonom berulang yang dikaitkan dengan hipersensitifitas terhadap perubahan lingkungan internal. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hubungan ini dapat terjadi melalui adanya komorbiditas gangguan jiwa (Tietjen et al., 2015). Hubungan antara migrain dan gangguan cemas diduga bersifat dua arah, dimana satu gangguan meningkatkan risiko terjadinya gangguan lainnya, begitu pula sebaliknya, yang memunculkan dugaan bahwa terdapat etiologi yang sama diantara kedua gangguan tersebut (Seng, 2016). Terdapat beberapa kemungkinan mekanisme komorbiditas migrain dan gangguan psikiatri: (1) asosiasi dua gangguan tersebut bisa jadi merupakan suatu kebetulan (coincidental model), (2) satu kelainan dapat menyebabkan kelainan lain dimana hubungannya bersifat kausal satu arah (seperti diabetes yang menyebabkan neuropati diabetik) (unidirectional causality model), (3) salah satu kelainan menyebabkan kelainan lainnya begitu pula sebaliknya sehingga hubungan kausalitasnya bersifat dua arah (bidirectional causality model) (4) terdapat faktor risiko lingkungan dan genetik yang dapat mendasari kedua kelainan tersebut (seperti trauma kepala yang menyebabkan nyeri kepala pasca trauma dan kejang pasca trauma) (shared environmental or genetic risk factor model) dan (5) faktor risiko genetik atau lingkungan yang dapat menghasilkan kondisi otak laten tertentu yang menyebabkan kedua kondisi tersebut (latent brain state model) (Antonaci, 2011). Model kausal menunjukkan bahwa penyakit utama dapat mempercepat dan menyebabkan gangguan komorbidnya. Hubungan antara penyakit utama dan komorbidnya mungkin searah atau dua arah. Bukti epidemiologis yang library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 ada hingga saat ini mengesampingkan model yang menyatakan bahwa hubungan antara migrain dan gangguan jiwa bersifat insidental. Model kausal searah juga dianggap terlalu sederhana sehingga model kausal dua arah diduga lebih diterima (Buse et al., 2013). Terdapat banyak bukti yang mendukung model latent brain state model sebagai penjelasan komorbiditas gangguan migrain dan psikiatri. Diduga bahwa faktor resiko lingkungan atau genetik dapat menyebabkan kondisi otak tertentu yang selanjutnya berkaitan peningkatan kejadian migrain dan gangguan jiwa. Burstein et al, mengusulkan bahwa terdapat beberapa daerah otak, termasuk daerah hipotalamus, sistem limbik, dan korteks, yang teraktivasi ketika terjadi serangan migrain. Sinyal nyeri migrain disalurkan melalui proyeksi trigeminovaskular ke daerah otak tersebut selanjutnya berperan dalam menghasilkan gejala migrain serta gejala gangguan jiwa. Konsisten dengan hipotesis tersebut, disebutkan bahwa disfungsi serotonergik dan dopaminergik mendasari komorbiditas psikiatri dan migrain dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya jelas (Buse et al., 2013). Dugaan lain menyebutkan bahwa hubungan migrain dengan komorbiditas gangguan jiwa berkaitan dengan kadar hormon ovarium. Hormon ovarium memodulasi banyak neurotransmitter pada wanita. Kondisi migrain dan gangguan afektif sangat dipengaruhi oleh fluktuasi bulanan dan dari hormon tersebut. Migrain dan gangguan afektif 2-3 kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, dan perbedaan ini nampak paling jelas setelah pubertas. Wanita penderita migrain sering mengalami serangan ketika terjadi penurunan kadar estrogen yaitu pada masa menstruasi. Banyak wanita juga menunjukkan gangguan mood bertepatan dengan masa menstruasi, masa postpartum, dan periode perimenopause. Fase luteal akhir siklus haid tampaknya merupakan waktu yang sangat rentan untuk timbulnya serangan migrain dan gangguan afektif, karena tingkat estrogen menurun secara drastis dan terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis serta penurunan aktivitas sistem serotonergik dan GABA (Baskin dan Smitherman, 2009). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 3. Kualitas Hidup 3.1 Definisi Menurut World Health Organozation Quality of Life (WHOQOL) merupakan sebagai persepsi individu mengenai posisi dalam hidup dalam konteks budaya dan system nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang (Nimas, 2012). Sedangkan menurut Chipper mengemukakan kualitas hidup sebagai kemampuan fungsional akibat penyakit dan pengobatan yang diberikan menurut pandangan atau perasaan pasien (Mabsusah, 2016). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan, dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain. 3.2 Kualitas Hidup pada Migrain Migrain merupakan gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan serangan berulang dan kembali ke kondisi awal antara serangan, yang mempengaruhi 11% orang dewasa di seluruh dunia. Penderita migrain menanggung rasa ketakutan akan gangguan kemampuan kerja mereka, kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab keluarga atau sosial, dan tekanan psikososial lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka (QOL) dan produktivitas kerja (Sulmaz et al., 2014). Migrain memiliki pengaruh negatif pada kualitas hidup, termasuk aspek fisik, emosional dan sosial kehidupan sehari-hari seperti keluarga, pekerjaan dan hubungan sosial. Lingkungan keluarga dan aspek psikologis pasien merupakan yang paling terpengaruh menurut pasien dan keluarga. Para profesional kesehatan menekankan bahwa pasien migrain jika tidak diobati maka akan mengakibatkan gangguan fungsi pekerjaan berupa fokus terhadap pekerjaannya (Ruiz, 2003). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Dalam sebuah penelitian 162 pasien wanita berpartisipasi dalam penelitian dengan diagnosis migrain yang kronis dari 36 kantor, yang berusia antara 18 dan 63 tahun. 53 pasien wanita memenuhi kriteria untuk migrain dengan aura dan 109 untuk migrain tanpa aura. Dampak dari serangan migrain, sebanyak 64,20% pasien perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, 48,15% sangat berpengaruh di tempat kerja, 8,64% tidak mampu mengambil bagian dalam acara sosial dan hanya 1 pasien wanita yang tidak dapat melakukan kegiatan olahraga. Para pasien perempuan tidak masuk kerja secara kolektif 149 hari kerja dalam setahun terakhir, rata-rata 6,09 hari untuk setiap pasien wanita karena migrain. 94,4% pasien wanita menganggap kemampuan kerja mereka sangat berkurang karena nyeri kepala yang mereka alami (Mihaela, 2008). Mengenai pengaruh pada kesehatan fisik serta keterbatasan fungsional yang ditimbulkan migrain pada penderita yang dikeluhkan mereka berfokus terutama pada intensitas rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh dengungan dan cahaya selama serangan akut. Mereka kebanyakan menggambarkan bagaimana rasa nyeri dan ketidaknyamanan tersebut membuat mereka tidak bisa tidur, nyeri diseluruh tubuh, lemas, berkeringat, dan kurangnya ingatan. Berkaitan dengan aspek sosial, tiga aspek yang dianggap berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien: (i) bekerja dan belajar; (ii) hubungan keluarga dan / atau dengan pasangan; dan (iii) hubungan sosial di luar keluarga dan lingkungan kerja, termasuk kegiatan memanfaatkan waktu luang. Salah satu aspek yang paling sering disebutkan adalah aktivitas di tempat kerja dan belajar. Aspek ini mengacu pada kesulitan dalam melaksanakan tugas seseorang di tempat kerja atau untuk melakukan suatu hal dalam kondisi yang kurang menguntungkan, berkaitan dengan aspek fisik dan motivasi serta kemampuan pribadi. Kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan migrain pada hubungan keluarga merupakan salah satu aspek penting yang dibahas di semua kelompok pasien, dan terutama di keluarga. Fakta ini memiliki efek library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 psikologis pada pasien, karena mempengaruhi citra mereka sebagai ibu / ayah, pasangan, dll. Dampak migrain terhadap tingkat emosional sangat relevan. Mereka menggambarkan efek pada keadaan emosional sebagai masalah besar pada kehidupan mereka di semua bidang. Penting bagi kita untuk memahami apa yang mereka gambarkan, bagaimana migrain mempengaruhi mereka secara emosional. Mereka mengatakan tentang perubahan suasana hati, ketidakbahagiaan dan keputusasaan, kondisi krisis, serta peningkatan agresivitas mereka dan kurangnya kontrol emosi yang lebih besar (Ruiz, 2003). 4. Neurofeedback Neurofeedback (juga disebut neurobiofeedback atau EEG biofeedback) mengacu pada biofeedback berbasis frekuensi yang menggunakan EEG untuk memberi informasi kepada pasien mengenai gelombang otak mereka dan secara bertahap mengajarkan pasien bagaimana cara mengubah aktivitas gelombang otak mereka. Sensor dilekatkan pada kulit kepala dan sinyal EEG diperkuat, spektrum frekuensi diekstraksi melalui transformasi Fourier dan komponen frekuensi terpilih ditampilkan melalui user interface seperti permainan video (Stokes dan Lappin, 2010). Ketika neuron di otak beraktivitas, maka akan menghasilkan pulsasi elektrik. Dengan menempatkan elektroda pada kulit kepala, aktivitas listrik otak, yang dikenal dengan EEG, dapat direkam. EEG dihasilkan oleh aktivitas spesifik dari neuron yang dikenal sebagai neuron piramidal. Pola aktivitas listrik yang berbeda, yang dikenal sebagai gelombang otak, dapat dikenali dengan amplitudo dan frekuensi yang berbeda-beda. Frekuensi menunjukkan ukuran keseluruhan spektrum atau seberapa cepat gelombang berosilasi yang diukur dengan jumlah gelombang dominan per detik, sedangkan amplitudo mewakili ukuran kekuatan sinyal pada rentang frekuensi gelombang tertentu yang diukur dengan mikrovolt (μV) (Dempster, 2012). Selama prosedur, sensor dilekatkan pada kulit kepala, sinyal EEG diperkuat dan dilakukan perekaman EEG, selanjutnya, berbagai komponen spektrum frekuensi EEG tersebut diekstraksi dan ditampilkan kembali ke library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 pasien secara online dan real-time dalam bentuk audio, video atau kombinasi keduanya yang dapat dimengerti oleh pasien. Sebagai contoh, kekuatan sinyal pada suatu pita frekuensi dapat ditunjukkan dengan grafik batang yang bervariasi. Selama prosedur ini, pasien menjadi sadar akan perubahan yang terjadi selama menjalani latihan tersebut dan akan dapat menilai kemajuannya untuk mencapai kinerja optimal. Misalnya pasien mencoba memperbaiki pola otak berdasarkan perubahan yang terjadi pada suara atau film (Dempster, 2012). Kelainan pada aktivitas elektrofisiologis biasanya ditemukan pada otak penderita migrain, sehingga sangat masuk akal bahwa intervensi yang melibatkan EEG mungkin dapat memberi manfaat. Pada anak-anak penderita migrain, baik dengan maupun tanpa aura, didapatkan peningkatan frekuensi gelombang theta dibandingkan dengan kontrol normal. Siniatchkin et al, menunjukkan penurunan serangan migrain yang signifikan pada migrain pada 10 penderita migrain muda setelah 10 sesi neurofeedback di area frontal dan central midline yang mengajarkan pasien untuk mengendalikan aktivitas potensial kortikal yang lambat yang mewakili sensitivitas dan reaktivitas kortikal (Pistoia et al., 2013). 4.1 Tipe Neurofeedback 4.1.1 Tipe-tipe Neurofeedback Terdapat beberapa tipe Neurofeedback yang dapat digunakan untuk pengobatan berbagai gangguan diantaranya: a. Neurofeedback yang paling sering digunakan adalah frequency / power neurofeedback. Teknik ini biasanya mencakup penggunaan 2 sampai 4 elektroda permukaan, sehingga kadang disebut "surface neurofeedback". Ini digunakan untuk mengubah amplitudo atau kecepatan gelombang otak spesifik di lokasi otak tertentu untuk mengobati ADHD, kegelisahan, dan insomnia. b. Slow cortical potential neurofeedback (SCP-NF) memperbaiki arah potensial kortikal lambat untuk mengobati ADHD, epilepsi, dan migrain (Christiansen et al., 2014). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 c. Low-energy neurofeedback system (LENS) memberikan sinyal elektromagnetik lemah untuk mengubah gelombang otak pasien sementara pasien diposisikan tidak bergerak dengan mata tertutup (Zandi Mehran et al., 2014). Jenis neurofeedback ini telah digunakan untuk mengobati cedera otak traumatis, ADHD, insomnia, fibromyalgia, sindrom kaki gelisah, kecemasan, depresi, dan kemarahan. d. Hemoencephalographic neurofeedback (HEG) memberikan umpan balik pada aliran darah serebral untuk mengobati migrain (Dias et al., 2012). e. Live Z-score neurofeedback digunakan untuk mengobati insomnia. Neurofeedback ini membandingkan variabel aktivitas listrik otak ke data base sistematis secara kontinyu untuk memberikan umpan balik yang berkesinambungan (Collura et al., 2010). f. Low-resolution electromagnetic tomography (LORETA) melibatkan penggunaan 19 elektroda untuk memantau fase, kekuatan, dan koherensi (Pascual-Marqui et al., 1994). Teknik neurofeedback ini digunakan untuk mengobati adiksi, depresi, dan gangguan obsesifkompulsif. g. Quantitative EEG (qEEG) merupakan pendekatan dengan pemetaan seluruh otak. Beberapa pendekatan qEEG berusaha mendekatkan individu ke qEEG yang sehat (Thornton, 2000). Pendekatan lain menggunakan qEEG untuk mengidentifikasi daerah target yang hipoaktif atau hiperaktif untuk dilatih (Logemann et al., 2010). h. Infralow frequency neurofeedback menargetkan frekuensi serendah 0,01 Hz (Legarda et al., 2011). Beberapa bukti menunjukkan bahwa protokol ini dapat digunakan untuk PTSD atau kelainan lainnya di masa depan (Legarda et al., 2011; Othmer et al., 2011) i. Functional magnetic resonance imaging (fMRI) adalah tipe neurofeedback terbaru untuk mengatur aktivitas otak berdasarkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 umpan balik aktivitas dari area subkortikal dalam (Hurt et al., 2014; Lévesque et al., 2006). 4.2 Penggunaan Neurofeedback sebagai Terapi Migrain Biasanya, pasien tidak dapat mempengaruhi pola gelombang otak mereka karena mereka tidak menyadarinya. Namun, ketika mereka dapat melihat interpretasi gelombang otak mereka di layar komputer secara langsung, hal tersebut mengajarkan kepada mereka kemampuan untuk mempengaruhi pola gelombang otak dan secara bertahap mengubahnya. Neurofeedback melakukan rekondisi gelombang otak dan melatihnya kembali. Awalnya, perubahan yang dihasilkan tidak begitu menetap, namun perubahannya berangsur-angsur menjadi lebih permanen. Dengan umpan balik dan pelatihan yang berkelanjutan, pola gelombang otak yang lebih sehat biasanya dapat dilatih ulang pada sebagian orang. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa perbaikan yang signifikan terjadi 75 pada 80% dari peserta penelitian. Prosesnya hampir serupa seperti berolahraga atau melakukan terapi fisik namun dilakukan dengan otak, meningkatkan fleksibilitas dan kontrol kognitif (Hammond, 2011). Perubahan disabilitas akibat migrain dinilai dengan kuesioner Headache Impact Test (HIT-6) dan Migraine Disability Assessment (MIDAS) selama 3 kali yaitu sebelum menerima terapi (baseline), minggu ke 6 terapi (midtreatment) dan pada akhir sesi terapi (posttreatment). Semua peserta penelitian memiliki skor HIT-6 ≥ 56 yang berarti migrain yang dideritanya memberikan dampak disabilitas yang sedang hingga berat. Sesi terapi dilakukan dengan menonton film yang dipilih oleh peserta melalui sebuah laptop. Peserta dianjurkan memilih film yang dapat memberi muatan emosinal dan menarik peserta ke dalam cerita/plot serta menghindari film yang dapat menimbulkan kejutan atau ketakutan. Film diputar dengan software dan diatur untuk terus berjalan selama 5 menit. Setelah 5 menit berjalan, pengaturan dirubah sehingga peserta harus mempertahankan keadaan mental yang tenang dan fokus agar film tidak library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 berhenti. Pengaturan tersebut dipertahankan selama 10-25 menit. Sesi pelatihan akan diberhentikan ketika: (a) peserta mengalami nyeri kepala, (b) peserta lelah, (c) peserta mengalami ketidaknyamanan fisik atau emosional, (d) diamati adanya fluktuasi cepat pada sinyal pIR, atau (e) sinyal pIR turun di bawah ambang batas lima kali. Penghentian sesi latihan terjadi rata-rata dua kali pada tiap peserta. Hasilnya, didapatkan penurunan skor HIT-6 yang sangat signifikan antara penilaian midtreatment dan baseline (p < 0,001), dan antara penilaian posttreatment dan baseline (p < 0,001). Namun begitu tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara skor antara midtreatment dan posttreatment. Didapatkan juga penurunan skor MIDAS yang sangat signifikan antara penilaian postreatment dan baseline (p < 0,001). Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara skor baseline dan midtreatment, atau antara midtreatment dan posttreatment. Tidak ditemukan adanya perbedaan skor MIDAS subskala A yang menilai frekuensi serangan migrain, namun pada skor MIDAS subskala B yang menilai intensitas nyeri dari serangan migrain, didapatkan adanya penurunan yang signifikan antara penilaian midtreatment dan baseline (p < 0,001), dan antara penilaian posttreatment dan baseline (p < 0,001). Namun lagi-lagi untuk skor antara midtreatment dan posttreatment tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan (Walker dan Lyle, 2016). 4.3 Slow Cortical Potential Neurofeedback (SCP-NF) Neurofeedback memiliki beberapa jenis dan protokol dalam pelaksanaanya, sehingga aplikasi gelombang otak pada neurofeedback diharapkan dapat membantu menurunkan migrain. Hingga saat ini, penelitian neurofeedback sebagai terapi migrain memanfaatkan dua modalitas neurofeedback yaitu neurofeedback potensial kortikal lambat (Slow cortical potential neurofeedback Hemoencephalographic neurofeedback (HEG). [SCP-NF]) dan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 Dalam hal ini penulis akan menggunakan modalitas neurofeedback potensial kortikal lambat (SCP-NF). SCP-NF memperbaiki arah potensial kortikal lambat untuk mengobati migrain. Slow cortical potential neurofeedback (SCP-NF) adalah jenis neurofeedback yang memanfaatkan gelombang slow cortical potential, yaitu gelombang polarisasi positif atau negatif dalam rentang frekuensi yang sangat lambat dari 0,3 Hz hingga sekitar 1,5 Hz. Pada penderita migrain, sebelum serangan migrain, jaringan korteks bersifat lebih elektronegatif dibandingkan dengan orang normal (hipereksitabilitas). Kondisi tersebutlah yang diduga mendasari terjadinya migrain. SCP diduga dapat berperan membantu mengatur ambang batas preaktivasi dan eksitabilitas kortikal (Elbert, 1993), dimana SCP dapat dilatih untuk dimunculkan secara volunter karena SCP merupakan potensial otak yang dihasilkan akibat penyajian stimulus (Christiansen et al., 2014). Penelitian sebelumnya yang memanfaatkan pelatihan SCP untuk terapi migrain diantaranya dilakukan oleh Siniatchkin yang menyebutkan bahwa salah satu karakteristik pasien migrain adalah adanya kondisi hipersensitivitas dan hipereksitasi dari jaringan kortikal. Dalam penelitian tersebut, 10 anak penderita migrain tanpa aura mengikuti 10 sesi pelatihan SCP-NF, selanjutnya mereka dibandingkan dengan 10 anak yang sehat (kelompok kontrol negatif) dan 10 anak penderita migrain yang tidak mendapatkan terapi (kelompok kontrol positif). Pelatihan SCP-NF di area frontal dan central midline ditujukan untuk mengajarkan pasien mengendalikan aktivitas potensial kortikal lambat yang dimilikkinya. Pada penelitian tersebut, kelompok anak dengan migrain memiliki kemampuan kontrol aktivitas kortikal yang lebih buruk dibandingkan kelompok anak yang sehat, namun setelah menjalani 10 sesi pelatihan SCP-NF, tidak didapatkan adanya perbedaan kemampuan kontrol aktivitas kortikal antara kelompok anak yang sehat dan kelompok anak dengan migrain yang mendapatkan pelatihan SCP-NF. Hal tersebut diikuti juga dengan penurunan eksitabilitas kortikal serta penurunan jumlah hari migrain library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 dalam sebulan yang signifikan pada kelompok anak penderita migrain yang menjalani normalisasi pelatihan eksitabilitas SCP-NF. kortikal Siniatchkin yang akibat menduga pelatihan bahwa SCP-NF merupakan penyebab terjadinya perbaikan kondisi klinis (Siniatchkin et al., 2000). 4.4 Prinsip Mekanisme SCP-NF Sebagai Terapi Migrain Seperti yang telah dijelaskan, diduga pengaturan dan pengkondisian potensial kortikal lambat (SCP) secara volunter dapat membantu mengatur ambang batas preaktivasi dan eksitabilitas kortikal (Elbert, 1993). Untuk lebih memahami prinsip neurofeedback SCP, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang disebut SCP dan teori yang mendasari mekanisme kerja SCP. Pada penderita migrain diduga terjadi adanya gangguan pengaturan ambang batas preaktivasi kortikal, yang lebih rendah dibandingkan dengan orang normal (Schoenen, 1996) yang diikuti denganhipereksitabilitas neuron piramida kortikal (Welch dan Ramadan, 1995). Teori tersebut didukung oleh adanya temuan peningkatan konsentrasi asam amino eksitatorik pada pasien migrain, dan amplitudo event related potential (ERP) yang besar (Aurora et al., 1998). ERP adalah respons otak yang terukur yang merupakan akibat langsung dari kejadian sensorik, kognitif, atau motorik spesifik, atau secara lebih sederhana, ERP merupakan respons elektrofisiologis otak terhadap suatu stimulus. Salah satu metode untuk menilai ambang batas preaktivasi dan tingkat eksitabilitas kortikal adalah dengan melakukan perekaman contingent negative variation (CNV). CNV adalah ERP lambat yang terkait dengan respons yang mencerminkan alokasi sumber daya pengolahan untuk aktivitas mental seperti ekspektansi, perhatian, dan persiapan perilaku (Rockstroh et al., 1998). Seperti yang dijelaskan oleh Rohrbaugh et al (1986) proses tersebut meliputi antisipasi stimulus, persiapan respons, dan antisipasi terhadap keputusan. Penelitian CNV pada pasien migrain menunjukkan adanya beberapa perbedaandengan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 CNV pada kontrol diantaranya: (a) negativitas dan penurunan habituasi, (b) normalisasi CNV selama serangan, (c) periodisitas di antara serangan, (d) perubahan akibat pematangan serebral. Slow cortical potential (SCP) adalah ERP lambat dalam bentuk perubahan kekuatan amplitudo gelombang listrik yang berasal dari lapisan korteks superior. Hal ini berarti dapat terjadi perubahan aktivitas EEG berdasarkan respon terhadap suatu kejadian. Jika suatu gambar atau suara dipresentasikan kepada individu, penyajian stimulus tersebut akan menyebabkan perubahan potensial otak, sebagai reaksi terhadap rangsangan yang diberikan. Menariknya, perubahan potensial ini dapat bersifat eksogen (reaksi terhadap stimulus eksternal yang dipresentasikan) atau endogen (reaksi terhadap “harapan” akan stimulus). Sehingga otak dapat bereaksi terhadap suatu ekspektasi stimulus, tanpa diperlukan adanya stimulus yang asli, dengan demikian maka perubahan potensial tersebut dapat dihasilkan secara volunter sesuka hati. Apabila perubahan potensial tersebut dapat dihasilkan sesuka hati, maka SCP dapat dilatih/ dikendalikan. Dalam hal ini neurofeedback berupaya melatih pengendalian SCP secara langsung dan sukarela melalui pikiran, kognisi, dan citra sehingga tercapai normalisasi amplitudo CNV. Kontrol SCP volunter ini harus mengarah pada pemrosesan stimulus yang adekuat dan normalisasi dari fungsi habituasi (Lauritzen, 2001). Pengaturan SCP secara volunter didasarkan pada pentingnya aktivitas korteks lambat dalam patogenesis migrain. Perubahan oleh SCP menyebabkan penurunan negativitas yang mencerminkan berkurangnya depolarisasi neuron, yang disertai dengan peningkatkan ambang depolarisasi neuron (proses inhibisi sehingga neuron lebih sulit teraktivasi) dan penurunan eksitabilitas neuron (aktivitas neuronal lebih sedikit). Pengurangan amplitudo melalui SCP berkorelasi dengan perbaikan gejala klinis (penurunan frekuensi dan intensitas nyeri kepala). Diasumsikan juga bahwa kontrol amplitudo CNV melalui SCP secara volunter dapat memiliki efek preventif. Pengendalian SCP juga berkaitan dengan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 peningkatan habituasi selama perekaman CNV. Oleh karena itu kita juga berasumsi bahwa pengurangan amplitudo negatif secara volunter dapat memberikan kemampuan habituasi yang lebih baik (Carmen, 2002). Harus diakui bahwa kelebihan dari neurofeedback memberikan keuntungan dalam segi efektivitas dan efisiensi. Neurofeedback tidak menimbulkan rasa sakit sehingga pasien-pasien dengan gangguan cemas dapat merasa nyaman tanpa harus mengalami rasa takut akan nyeri. Neurofeedback membantu pasien agar dapat memantau kondisinya dengan detail, individu yang pada awalnya tidak menyadari dapat menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada status biologisnya dan mudah mengkontrolnya sehingga mampu menciptakan mekanisme pertahanan (coping) yang mature (Barbara, 2011). 5. Operational Research A. Definisi Menurut Operation Research Society of America (ORSA), operation research berkaitan dengan pengambilan keputusan secara ilmiah dan bagaimana membuat suatu model yang baik dalam merancang dan menjalankan sistem yang melalui alokasi sumber daya yang terbatas. Intinya adalah bagaimana proses pengambilan keputusan yang optimal dengan menggunakan alat analisis yang ada dan adanya keterbatasan sumber daya. Sedangkan menurut Hamdi A. Taha, operational research adalah pendekatan dalam pengambilan keputusan yang ditandai dengan penggunaan pengetahuan ilmiah melalui usaha kelompok antar disiplin yang bertujuan menentukan penggunaan terbaik sumber daya yang terbatas (Zacoeb, 2014). Dalam penelitian ini diharapkan dapat mengetahui berbagai informasi tentang bagaimana pengaruh neurofeedback terhadap migrain, cemas, dan kualitas hidup pasien di RS UNS Surakarta. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Dalam menyelesaikan persoalan pada proses pengambilan keputusan harus diidentifikasi terlebih dahulu 2 komponen utamanya, yaitu : a. Tujuan Tujuan adalah hasil akhir yang ingin dicapai. Dalam bidang usaha biasanya tujuan akhir diartikan sebagai “memaksimumkan laba” atau “meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan”. Dalam bidang lain yang sifatnya non-profit, maka tujuan akhir diartikan sebagai “pemberian kualitas pelayanan kepada para pelanggan”. b. Variabel-variabel Setelah tujuan ditentukan, maka harus dilakukan pemilihan tindakan yang terbaik agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Kualitas dalam pemilihan tindakan yang terbaik sangat tergantung pada pengetahuan pengambil keputusan (manajer) terhadap seluruh alternatif tindakan yang mungkin. Untuk dapat menentukan tindakan yang mungkin dilakukan, maka manajer harus mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat dikendalikan oleh pengambil keputusan. Operational research memiliki ciri yang paling khas yaitu menggunakan teknik penelitian ilmiah dan pendekatan kelompok antar disiplin untuk mendapatkan solusi optimal. Operational research tidak memberikan jawaban sempurna terhadap suatu masalah, tetapi hanya memperbaiki kualitas solusi (Zacoeb, 2014; Rahayu, 2012). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 B. Pendekatan operational research Pendekatan riset operasi untuk memecahkan masalah dapat dilihat pada gambar berikut : Teknik manajemen sains Observasi Mengenali dan mempelajari masalahmasalah yang ada dalam suatu sistem Definisi Masalah Masalah yang ada dideskripsikan secara singkat dan jelas Konstruksi Model Solusi Pelaksanaan Penyajian data dapat berupa pemaparan secara deskriptif, tabel dan grafik Rancangan model dibuat untuk membantu membuat suatu keputusan dalam penyelesaian suatu masalah, dapat berupa informasi, anjuran/pedoman. Dalam pelaksanaannya, manajer tidak menerapkan solusi secara kaku tetapi dengan mempertimbangkan lebih lanjut (mis. Sumberdaya, lingkungan, dsb.) Gambar 2 Bagan pendekatan operational research untuk menyelesaikan suatu masalah (Zacoeb, 2014). Desain dan metode Operational Research berada pada kisaran dari kualitatif ke kuantitatif, dan desain penelitian dari non-eksperimental dengan percobaan yang benar. Tidak ada satu metode yang khusus atau library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 desain yang unik untuk Operational Resarch. Operational Research bukan merupakan gambaran khusus dari aplikasi dari metode atau penggunaan satu desain tertentu di atas metode yang lainnya. Hal ini yang membedakan Operational Research dari bentuk-bentuk penelitian lainnya yang bertujuan melakukan kajian efektifitas suatu metode dibandingkan dengan metode yang lain (Fisher et al., 2002). C. Tahapan Penelitian a) Tahap orientasi atau deskripsi : mendeskripsikan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, atau ditanyakan. b) Tahap reduksi/fokus : data yang telah diperoleh pada tahap 1 direduksi untuk memfokuskan pada masalah tertentu. Pada tahap ini, peneliti memilih mana data yang menarik, penting, berguna, dan baru. Data yang dirasa tidak berguna disingkirkan. c) Tahap seleksi : peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci D. Metode pengumpulan data Dalam pendekatan kualitatif, terdapat tiga cara yang umum digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu melalui wawancara, observasi, dan penelusuran-penelusuran dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan-tulisan. Metode dasar yang umumnya dipakai dalam penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi. Pada penelitian ini akan digunakan wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode penunjang (Sugiyono, 2005). a) Wawancara Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Menurut Susan Stainback (1988), wawancara dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 mana hal ini tidak dapat ditemukan dalam observasi. Wawancara dilakukan untuk mengetahui apa yang ada di pikiran individu dan memperoleh pemahaman terhadap perspektif individu. Pewawancara tidak membawa hal-hal atau asumsi tertentu yang sudah dimilikinya ke dalam pemikiran individu yang diwawancarai. Wawancara paling baik digunakan apabila data yang hendak diperoleh berdasarkan pada emosi, pengalaman, perasaan, pengetahuan, dan pendapat individu. Informasi mengenai hal-hal tersebut perlu dieksplorasi dan tidak cukup apabila hanya diungkapkan melalui beberapa patah kata saja. Selain itu, wawancara juga dapat digunakan apabila pertanyaan penelitian bersifat sensitif dan sangat personal. Melalui wawancara peneliti dapat melakukan persuasi agar subjek dapat jujur dan terbuka dalam mengungkapkan pengalamannya yang bersifat personal (Manuelet al., 2014). b) Observasi Observasi dilakukan sebagai metode penunjang pengumpulan data yang esensial dalam penelitian, terutama penelitian dengan metode pendekatan kualitatif. Metode observasi digunakan sebagai metode penunjang dengan dasar pemikiran bahwa melalui observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi (yang ada sebelum penelitian dilaksanakan) tentang topik yang diamati akan berkurang (Sugiyono, 2005). Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Dalam penelitian kualitatif umumnya dilakukan observasi terhadap setting tempat dan terhadap subjek penelitian. Pengamatan setting bertujuan untuk mengamati faktor-faktor di lingkungan yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku subjek serta library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 informasi yang akan disampaikannya. Pengamatan terhadap subjek yang diwawancarai bersifat memperjelas dari apa yang diungkapkan secara lisan dan menambah informasi mengenai subjek serta memperoleh hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara (Willig, 2001; Sugiyono, 2005). E. Teknik pengambilan subjek penelitian Teknik sampling yang digunakan dalam studi kualitatif biasanya adalah non-probabilistic sampling dengan macamnya adalah sebagai berikut: (1) convenience sampling, subjek yang mudah dan segera dapat diakses lebih mungkin untuk diikutkan dalam studi. Hasil studi biasanya tidak dapat digeneralisasikan; (2) purposive sampling, subjek dipilih berdasarkan tujuan studi dengan perkiraan bahwa masing-masing subjek mempunyai nilai unik dan banyak informasi yang sesuai. Populasi terjangkau tidak dapat ditukar dan ukuran sampel ditentukan oleh saturasi data, bukan oleh perhitungan statistik; (3) theoretical sampling, dilakukan untuk mengembangkan atau menjelaskan teori yang digunakan sebagai panduan dalam pencarian subjek. Subjek diambil dulu pada studi pendahuluan lalu dianalisis untuk kemudian dipilih yang paling sesuai dengan tujuan studi (Suen et al., 2014; Simkiss et al., 2015). F. Jumlah subjek penelitian Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasi. Sarantakos menyatakan bahwa pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar. Penetapan jumlahnya tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian. Hal ini berhubungan dengan konsep saturasi, yaitu peneliti yang melakukan pengambilan sampel teoritis akan terus library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 menambahkan unit-unit baru dalam penelitiannya dan akan berhenti pada titik di mana penambahan data dianggap tidak lagi memberikan informasi baru dalam analisis. Selain itu, jumlah sampel juga tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks (Poerwandari, 1998; Willig, 2001; Sugiyono, 2005). G. Uji keabsahan data kualitatif Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi credibility, transferability, dependability dan confirmability. Credibility (validitas internal) dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi, analisis kasus negatif, dan membercheck. Transferability (validitas eksternal) dilakukan dengan membuat laporan penelitian dalam uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya sehingga pembaca dapat mengerti dan memahami hasil penelitian. Dependability (reliabilitas) dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Confirmability (objektivitas) adalah menguji hasil penelitian, prosesnya mirip dengan uji dependability sehingga dapat dilakukan secara bersamaan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability (Faisal, 1998 cit. Sugiyono, 2005). Langkah penting dari studi kualitatif selanjutnya adalah validasi untuk menilai tingkat kepercayaan temuan. Validasi dilakukan dengan beberapa cara. Metode yang sering dipakai adalah triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan pencarian bukti dari berbagai sumber dan membandingkan hasil tersebut dari sumber yang berbeda. Cara lain untuk validasi adalah dengan pengecekan anggota atau member checking (Schutt, 2012). H. Prosedur analisis data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkannya ke library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2005). Analisis data bersifat induktif, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Jadi dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan untuk membangun suatu hipotesis. Analisis data dilakukan sejak peneliti menyusun proposal, melaksanakan pengumpulan data di lapangan, sampai peneliti mendapatkan semua data (Sugiyono, 2005). Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada : a) Sejak sebelum memasuki lapangan Analisis sebelum di lapangan dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. b) Selama dilapangan Menurut Miles dan Huberman (1984), tahapan dalam analisis data kualitatif selama di lapangan adalah : 1. Reduksi data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. 2. Penyajian data Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 Menurut Miles dan Huberman (1984), yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. 3. Penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 B. Kerangka Berpikir Migrain dengan gejala cemas Terapi >>Hipotalamus<< neurofeedback Stimulasi saraf simpatis Aktivasi adrenomedullary Sekresi norepinefrin Kewaspadaan meningkat Ketegangan otot Denyut jantung meningkat Tubuh dalam keadaan siaga Sensitivitas saraf simpatis - Tubuh dalam keadaan relaks Kekambuhan migrain berulang Kualitas hidup menurun - Perasaan tenang dan bahagia - Kekambuhan migrain berkurang Kualitas hidup meningkat