Uploaded by Fitri Rizki Amalia

Jurnal Epideiktik

advertisement
Kritik Retorika Epideiktik Walikota Bandung dalam mereprsentasikan Heritage Tourism di
Kota Bandung
Abstrak
Teori Public Relations merujuk pada strategi proses, termasuk strategi retorika yang memungkinkan
pemahaman kritis bagaimana masyarakat berkembang, mengajarkan, dan menggunakan teks dalam
kasus ini, wilayah dan heritage tourism, untuk membuat narasi berkelanjutan berdasarkan penilaian
moral. Bahwa alasan paradigma yang ada dalam narasi dapat diberlakukan kontinu yang mengikat masa
lalu, masa kini, dan masa depan untuk memandu wacana dan tindakan terkoordinasi secara kultural.
Bagaimana wilayah dan bangunan heritage menjadi penting untuk keputusan bersama yang bisa
ditunjukan dalam praktik Public Relations di Jawa Barat: saat penjajahan hingga saat ini. Untuk
mengembangkan hal tersebut dalam jurnal ini dipaparkan bagaimana wilayah dan bangunan bersejarah
sebagai sumber tekstual yang mengikat waktu dan moralisasi perilaku melalui narasi yang disajikan oleh
para Walikota di Bandung periode setelah kemerdekaan (1998-2021). Sebagai sesuatu yang
bersimpangan dengan teori naratif, retorika epideiktik menghukum tindakan kewarganegaraan yang
mencerminkan dan menegaskan prilaku moral. Retorika demikian menggunakan standar moral untuk
menilai prilaku, dan mendorong prilaku sebagai sesuatu yang layak dipuji seperti memberikan contoh
standar moral. Jika standar berubah, tindakan yang dahulunya disanjung bisa menjadi kutukan dan tidak
layak untuk dipuji. Menggunakan persimpangan narasi epideiktik, dua era akan diperiksa untuk
menunjukan isu persimpangan terkait wilayah dan baguan heritage yang ada di kota Bandung : 1) Periode
Kolonialisme dan 2) Pasca Kemerdekaan untuk mencari akar sejarah dan upaya pelestarian Heritage
Tourism di kota Bandung.
Keyword: retorika epideiktik, heritage tourism, kolonialisme, public relations, pasca kolonialisme
Pendahuluan
Narasi berkelanjutan sangatlah bermanfaat untuk mengembangkan heritage tourism di Kota
Bandung (Dela Santa & Tiatco, 2019). Hal ini dikarenakan sejak era kolonialisme Belanda, Bandung akan
dijadikan ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia (Yasmira, 2019). Alasan lainnya adalah Bandung
memiliki suasana yang sejuk dan indah serta memiliki beberapa infrastruktur yang lengkap. Di tahun 1920,
Bandung memiliki stasiun kereta api dan Bandara Andir (Bandara Husein Sastranegara) dan kedua mode
transportasi dapat membawa penumpangnya bepergian ke Batavia dalam waktu 30 hingga 45 menit.
Dengan munculnya wacana pemindahan ibukota maka Bandung dibangun dengan perencanaan yang
begitu terukur oleh pemerintah Kolonial Belanda (Yasmira, 2019). Blue print pembangunan ini dibuat oleh
Thomas Karsten yang menghasilkan rancangan bernama Plan Karsten. Lalu, beberapa pembangunan
gedung-gedung artistic dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui seorang arsitek ternama
Schoemacher. Ia setidaknya sudah merancang 20 bangunan artistic di kota Bandung. Semua bangunan
artistic dibangun di wilayah Bandung Utara dan perbatasannya dengan Bandung Selatan. Hingga kini
bangunan tsb masih berdiri tegak di Kota Bandung dan sangat penting bagi para pemimpin kota Bandung
untuk melestarikan gedung peninggalana kolonial Belanda sebagai Heritage Tourism.
Megahnya heritage tourism di Kota Bandung dan kota-kota lainnya tidak lepas dari jasa Thomas
Kartsen. Ia adalah ahli planologi untuk pemerintah Kolonial Belanda yang membuat blue print untuk
pembangunan tata kota di berbagai wilayah di Indonesian seperti Batavia, Bandung, Bogor, Malang,
Purwokerto, Palembang, Padang, Medan, dan Banjarmasin. Dalam membangun suatu kota, ahli planologi
dan arsitektuk melakukan kerja tim dan diantara tim tsb adalah Schoemaker, Henricus Maclaine Pont,
Lauwrens Ghijsels, W. Lemei serta insinyur lainnya yang merupakan arsitek berkebangsaan Belanda.
Bandung merupakan salah satu kota dengan rancangan terbaik dan memiliki gedung-gedung bersejarah
yang harus dilestarikan. Salah satu bangunan penting di kota Bandung yang masih terpelihara dengan baik
adalah ITB dimana gedung dibangun oleh salah satu rekan kerja Kartsen, Henri Maclaine Pont. Bangunan
ITB dikenal dengan gaya indish atau perpaduan gaya barat dan Indonesia. Gaya indish ini menjadi inspirasi
utama Karsten dalam membangun bangunan peninggalan kolonial Belanda terutama di Bandung
(Cobban, 1992).
Dalam pembentukan narasi berkelanjutan, Bandung di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang saling terhubung. Narasi berkelanjutan sangat terkait erat dengan norma sosial, kultural, dan
moral dan beberapa tempat ada di Bandung memiliki sejarah atau asal usul yang memuat ketiga norma
tsb atau salah satunya (Park, 2010). Membuka salah satu kawasan wisata agar dapat diterima dengan baik
oleh masyarakat Bandung perlu peran public relations agar paham bahwa dibukanya suatu tempat wisata
bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok atau sekelompok orang yang hanya berorientasi
pada keuntungan. Proses ini pun tidak akan berlangsung dengan baik tanpa adanya peran penting public
relations. Dengan demikian, fungsi utama public relations adalah sebagai pemberi edukasi khususnya
kepada masyarakat Bandung.
Public relations Kota Bandung menyimpan banyak informasi penting di websitenya terutama
informasi yang berkaitan dengan sejarah Kota Bandung. Informasi ini bisa digunakan untuk tour seperti
halnya museum tour atau pun tempat-tempat bersejarah lainnya. Saat ini membuat virtual tour menjadi
popular dikarenakan pandemic covid 19 dimana para wisatawan tidak bisa berkunjung secara langsung.
Di beberapa negara di Eropa sudah menerapkan virtual tour sebagai alternatif dari city tour dan hal ini
pun bisa diterapkan di Indonesia terutama di Kota Bandung. Hanya saja pemkot Bandung memerlukan
persiapan yang matang dan juga pendanaan. Mengingat suatu heritage tourism tidak hanya dijelajahi
secara historis namun harus memperhatikan tampilan bagaimana video atau virtual tour tsb dibuat
semenarik mungkin.
Dengan dibuatnya storytelling mengenai tempat-tempat unik dan bersejarah di Bandung
diharapkan tidak hanya warga Bandung saja yang berkunjung ke sana tetapi juga warga di luar kota
Bandung. Storytelling saja bisa membuat suatu barang yang bahkan tidak bernilai sama sekali menjadi
bernilai berkali-kali lipat setelah disatukan dengan sebuah cerita. Ini pun sesuatu hal yang bisa terjadi
dengan promosi tempat wisata yang disertai dengan storytelling. Bisa dilihat bagaimana London sebagai
kota wisata terbaik di dunia dan sector wisata nya menjadi gerbang utama dan berdampak positif
terutama dalam hal perekonomian (Maxim, 2019). Salah satu cara promosi adalah dengan penggunaan
storytelling terutama untuk mempromosikan heritage tourism. Walikota London, Sadiq Khan,
mengeluarkan beberapa booklet pariwisata yang bisa diunduh secara online. Sang walikota bercerita
mengenai sebuah proyek baru yaitu kawasan budaya dan pendidikan di Queen Elizabeth Olympic Park.
Warga London harus mengunjungi objek wisata yang baru dibangun ini. Ia juga bernarasi mengenai
rencana besar nya yaitu London Plan Set. Meskipun London dipimpin oleh walikota muslim namun ia harus
membuat aturan yang juga memelihara dan melestarikan wisata kehidupan malam di London atau yang
lebih dikenal dengan night czar (Seijas & Gelders, 2021). Pemkot Bandung bisa mempertimbangkan apa
yang dilakukan oleh Shadiq Khan tentunya demografi harus diperhatikan dan jangan sampai sebuah
kebijakan dikeluarkan lalu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat Bandung. Selain menyebarkan
informasi ke situs travel atau travel blog local, publikasi berupa booklet bisa ditiru oleh Pemkot Bandung.
Tempat-tempat menarik dan bersejarah dikelola dengan baik oleh Pemkot Bandung melalui
Public Relation nya (Patta et al., 2018). Public relations Pemkot Bandung cukup gencar mempromosikan
heritage tourism hingga banyak vlog dan para travel blogger mengakses informasi ini. Informasi yang
dikelola dengan baik akan sangat penting mengingat wisatawan dari luar kota Bandung akan
menghabiskan uangnya untuk bisa datang ke tempat-tempat menarik dan juga berbelanja berbagai
macam barang yang tidak ada di kotanya (Retnasary et al., 2019). Seperti halnya yang dijelaskan oleh
Chatamallah (2008)agar tidak terjadi tumpang tindih mengenai informasi wisata maka Dinas Pariwisata
harus melakukan suatu strategi yang bernama marketing public relations. Hal ini dilakukan untuk
mempromosikan seluruh objek wisata kepada seluruh lapisan masyarakat. Lalu Chatamallah pun
menyatakan bahwa strategi ini sangat terkait erat dengan fungsi public relations salah satu strateginya
adalah kemampuan untuk mengajak dan menggiring opini public yang menguntungkan bagi pemerintah
serta mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat.
Narasi berkelanjutan yang dibuat oleh public relations dapat menghubungkan antara lokasi wisata
sejarah yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah kota Bandung. Sebelum era
kemerdekaan, pemerintah Kolonial Belanda membuat banyak peninggalan yang begitu jelas dan
mencolok. Pembagian Bandung Utara dan Selatan adalah buktinya. Kawasan Bandung Utara yang
dahulunya menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda serta menjadi tempat bermukin bagi orangorang Eropa saat itu. Bahkan Muhammad Natsir dan Presiden Sukarno pernah menetap di kawasan
Bandung Selatan karena status mereka sebagai warga pribumi. Meskipun demikian, kedua tokoh
berpengaruh masih bisa mengenyam pendidikan di ITB yang merupakan bagian dari kawasan Bandung
Utara. Kawasan Alun-alun adalah kawasan perbatasan antara Bandung Utara dan Bandung Selatan.
Beberapa peninggalan seperti Pendopo, Masjid Agung, Bioskop dan gedung-gedung lainnya dibuat di
daerah tsb untuk menandai batas antara kekuasaan Belanda dan tempat tinggal pribumi. Menurut Falah,
Yuniadi, Adyawardhina (2019) Alun-alun pun disebut sebagai perbatasan daerah sakral (pendopo) dan
wilayah profane (perkampungan).
Kemudian, berkaitan dengan heritage tourism yang ada di Bandung, di era setelah kemerdekaan
terutama saat Ridwan Kamil menjabat sebagai Walikota Bandung (2013-2018). Situs bersejarah yang
sudah ada seperti Gedung Merdeka tidak mengalami perubahan hanya saja gedung ini digunakan untuk
Konferensi Asia Afrika dari awal mula hingga terakhir di tahun 2015. Para wisatawan bisa masuk ke
dalamnya serta penjelasan mengenai situs ini dijelaskan oleh tour guide. Namun, jumlah tour guide yang
terbatas menjadikan para wisatawan tidak begitu memahami informasi sejarah. Selain itu, banyak terjadi
perubahan terutama taman-taman yang ada di kota Bandung juga situs legendaris lainnya seperti kolam
renang The Centrum, kawasan Braga, serta kawasan Alun-alun.
Dalam narasi berkelanjutan, public Relations yang merupakan suatu sistem yang menghubungkan
wisatawan dan pemilik wisata. Selain itu, public Relations menguasai ilmu retorika yang berasal dari para
pakar retorika Yunani Kuno seperti Aristoteles dan Isokrates. Dengan demikian, retorika yang dibuat oleh
public relations mempengaruhi wisatawan dan mereka pun akan ketergantungan dengan berbagai
informasi yang disampaikan. Pekerjaan ini bukanlah hal mudah mengingat public relations harus
menggunakan segala ilmu komunikasi yang dimiliknya agar bisa mewujudkan kepentingan lembaga yang
membawahinya.
Tiga bentuk retorika yaitu deliberatif, forensik, dan epideiktik dapat digunakan oleh Public
Relations untuk membentuk citra positif wilayah wisata kota Bandung. Alberico dan Loisa (2019)
menjelaskan tiga bentuk retorika. Pertama, retorika deliberatif adalah audience dipengaruhi oleh wacana
yang dibuat oleh pembicara agar melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Kedua, retorika forensik
adalah perasaan bersalah atau tidak yang muncul dari hati para audience akibat dari dorongan si
pembicara. Terakhir, retorika epideiktik adalah pujian atau tuduhan yang terkandung dalam suatu
wacana. Dari ketiga jenis retorika yang dipakai oleh public relations Pemkot Bandung adalah retorika
epideiktik karena di salah satu sumber informasi seperti website dan sosial media menampilkan hal-hal
baik berupa manfaat atau pujian terhadap promosi heritage tourism di Kota Bandung. Dalam penelitian
ini daimbil periode 1998-2021 dengan pertimbangan masa berakhirnya pemilihan walikota yang dilakukan
dengan voting oleh ketua dan anggota DPRD menjadi pemilihan langsung.
Kajian Pustaka
Peran PR sebagai pembuat retorika dalam narasi berkelanjutan
Public relations memiliki peran vital dalam membangun citra positif sebuah institusi.
Berhubungan dengan perkembangan dan perubahan situs bersejarah dan situs-situs menarik lainnya,
peran public relations harus menjadi yang terdepan. Berkaitan dengan wacana ini, pemerintah kota
Bandung memiliki program “Smart City” yang identik dengan perubahan dan perkembangan teknologi
yang semakin canggih (Mayangsari & Novani, 2015). Bisa dikatakan bahwa semua informasi berputar di
internet dan media sosial. Meskipun sudah ada teknologi canggih, public relations tetap menjadi ujung
tombak dalam membangun narasi berkelanjutan. Pembaharuan seperti dibangun nya taman-taman di era
Ridwan Kamil (2013-2018), tidak mengalami resistensi dari warga Bandung, justru warga Bandung sangat
antusias dengan perubahan ini dan mereka pun secara tidak langsung mempromosikan tempat wisata
kota Bandung di beberapa platform media sosial yang terkenal sehingga membuat wisatawan luar
Bandung tertarik untuk berkunjung. Dengan keadaan demikian, public relation tidak dibebani tugas berat
untuk membuat sebuah narasi yang menggiring warga Bandung agar pro dengan keputusan pemerintah
kota.
Kasus di Amerika Serikat mengenai penempatan patung dan monument di beberapa negara
bagiannya menimbulkan banyak kontroversi. Selain karena jumlahnya yang mencapai ribuan dan
perubahan nilai-nilai di masyarakat AS pun berubah dari abad ke abad sehingga public relations harus
berusaha keras menggiring masyarakat AS agar setuju dengan keputusan pemerintahnya. Bila
dibandingkan dengan kota Bandung, contohnya pembangunan Wisata Edukasi seperti Taman Sejarah
yang dibangun di dekat pelataran kantor Walikota Bandung tidak mengalami penolakan dari warga
Bandung. Walaupun pembangunan taman ini menghabiskan dana sekitar 3,5 miliar namun tidak ada
warga Bandung yang menggugat apa yang dilakukan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil (2013-2018).
Begitupun dengan pembangunan Musium Inohong atau Hall of Fame dan di dalam museum itu pun
memperkenalkan para tokoh berpengaruh di Kota Bandung dan saat Musium ini diumumkan di koran
online dan media sosial, warga Bandung pun antusias ingin menyaksikan pembukaannya dan melihat serta
berfoto di dalam museum tsb. Seperti yang dikatakan oleh Firmansyah dkk (2018) pembangunan ruang
terbuka hijau seperti taman bukan hanya satu tempat saja tetapi di beberapa tempat dan tidak ada
penolakan dan kerja public relation tidak seberat yang dilakukan public relation di AS.
Namun jika dilhat kembali pada sejarah kota Bandung saat diduduki oleh Belanda, mereka sangat
rasis dan bahkan mengeluarkan sebuah kebijakan dimana Jalan Raya Pos atau jalan disekitar Alun-alun
kota Bandung dilarang dilewati oleh kaum pribumi. Hal ini juga memiliki kesamaan dengan apa yang
terjadi di Amerika di abad ke 18 M hingga 19 M dimana ras kulit putih merasa lebih unggul dan ras kulit
hitam adalah masyarakat kelas bawah. Bahkan rasisme di zaman penjajahan Belanda terjadi di tempat
hiburan seperti sebuah bioskop terdapat poster yang bertuliskan “pribumi dan anjing dilarang
masuk”(Karima, 2017). Selain itu, di Bandung terdapat dua pemerintahan, bagian kota mengatur segala
urusan orang Belanda dan Eropa kemudian kabupaten yang dipimpin oleh Bupati hanya mengurusi
masalah kaum pribumi (Prasetyo, 2020). Pemerintah Kolonial Belanda yang tentunya memiliki public
relation berhasil untuk menegakan aturan yang hanya dikhususkan oleh orang Belanda dan Eropa. Selain
itu juga terhadap pencitraan wilayah Utara dan Selatan dimana wilayah Selatan sangat identik dengan
kemiskinan, kotor, kumuh, jorok dan itu merupakan stereotype orang-orang pribumi. Citra dan
pembagian kelas sosial seperti ini diterapkan pemerintah Kolonial Belanda selama berkuasa di kota
Bandung. Semua hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda saat itu tidak lepas
dari peran public relation serta narasi dan retorikannya.
Dalam menyusun suatu narasi atau retorika bisa dibuat kedalam dua jenis yaitu secara monolog
dan dialog. Melihat kembali bagaimana Kota Bandung berkembang terutama di masa pendudukan
Belanda. Hampir semua kebijakan yang dibuat disampaikan secara monolog dikarenakan pada masa itu
pribumi tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan banyak yang buta huruf hanya segelintir orang
saja yang mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini berarti bahwa kebijakan apa pun yang dibuat oleh
Pemerintah Kolonial Belanda diterima begitu saja oleh warga Bandung saat itu tanpa perlawanan. Ini pun
dibuktikan dengan eksistensi beberapa instansi penting seperti sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi,
pusat perbelanjaan dan hiburan dan lainnya yang semuanya terletak di Bandung Utara. Warga pribumi
Bandung seolah tidak pernah protes dengan semua ketimpangan tsb. Meskipun terdapat beberapa
pribumi yang saat itu berdomisili di wilayah Bandung Utara namun nasib mereka tidak jauh berbeda
dengan pribumi di Bandung Selatan. Mereka hanya dijadikan warga kelas bawah.
Berbeda di zaman sekarang ini dimana segala sesuatu dibuat dengan format digital dan begitu
pula dengan public relations di kota Bandung. Dapat dianalisis retorika yang terjadi antara public relations
dan masyarakat bisa berupa monolog dan dialog. Bentuk secara monolog yaitu dengan berupa akses
informasi berupa website dan blog. Public relations Kota Bandung memiliki web tersendiri untuk
mempromosikan objek wisata kota Bandung dan setiap artikel yang diposting oleh public relations Kota
Bandung dapat dibagikan ke media sosial. Di kanal Youtube public relations Bandung direkam bagaimana
Walikota Bandung saat ini, Oded M Danial, membenahi kota Bandung agar semakin nyaman seperti
penataan PKL Cicadas, pembangunan kolam-kolam untuk mencegah banjir, program kebersihan Kang
Pisman dan Bank Sampah, dan lainnya. Setiap walikota punya program tersendiri dan walikota saat ini
tidak terlalu fokus dengan pemberdayaan situs-situs bersejarah. Masyarakat Bandung maupun luar
Bandung bisa memberikan komentarnya di media sosial public relations Kota Bandung ataupun di sosial
media milik Walikota Bandung saat ini (Budiana, H. R., Sjoraida, D. F., Mariana, D., & Priyatna, 2016). Bisa
terjadi interaksi antara pemerintah dan masyarakat tanpa harus membuat surat pembaca atau surat resmi
lainnya. Kehadiran website dan sosial media milik public relations Kota Bandung menjadi sumber referensi
pendukung bagi para travel blogger atau pun vlogger. Pemkot punya otoritas tertinggi atas kehumasan
yang terkait dengan Kota Bandung oleh karena itu persebaran informasi merata di semua media.
Pada praktiknya retorika itu akan disampaikan oleh para petinggi seperti Walikota atau Ketua
Dinas namun untuk proses penyusunan narasi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari public relations.
Seperti kebanyakan acara pada umumnya setiap objek wisata yang baru saja dibuka di kota Bandung
pastinya akan ada acara seremonial atau peresmian yang biasanya dilakukan oleh Walikota. Salah satu
bentuk retotika epideiktik yang dilakukan dalam seremonial ini adalah door stop atau pernyataan yang
dibuat saat seorang pejabat usai meresmikan sebuah program. Dalam proses door stop biasanya para
wartawan yang datang ke acara tsb akan mewawancarai Walikota atau pejabat terkait. Retorika epidektik
ini terutama door stop menjadi sesuatu yang lumrah bagi pejabat di Kota Bandung untuk meresmikan
suatu tempat atau program. Bagi warga Bandung hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat hiburan
dan menyenangkan tidak perlu membuat retorika yang rumit.
Kawasan PKL Cicadas adalah fokus pemerintah saat ini dimana sebelum ada pengaturan jongko
baru bagi para PKL, kawasan ini terlihat sangat kumuh. Walikota Bandung, Oded M Danial, melakukan
penataan atau renovasi kawasan ini (Kustiwan et al., 2015). Dari beberapa periode kepemimpinan
Walikota Bandung, baru dikepemimpinan Oded M Danial kawasan ini direnovasi. Cukup sulit untuk
mengarahkan para PKL untuk pindah ke tempat lain. Selain kawasan yang kumuh, para PKL ini juga sudah
menutup jalan toko-toko disekitarnya dan juga sulit dilalui oleh pejalan kaki (Journal & Ramadhan, 2015).
Dalam melakukan renovasi ini, tentunya pihak pemkot Bandung butuh narasi yang bisa meyakinkan para
PKL di Cicadas. Dalam retorika Isokrates, perlunya membangun suatu narasi berkelanjutan yang
menggabungkan analisis persepsi, prilaku, dan kepentingan pemerintah. Hal ini baru setengah jalan
dilaksanakan oleh Oded M Danial dan ia berusaha agar tempat tsb dikosongkan karena menurut hukum
PKL Cicadas tetaplah illegal keberadaanya. Tentunya, Oded, perlu bantuan public relations nya untuk
membuat narasi agar para pedagang ini menjadi tertib dan menempati tempat baru yang lebih layak.
Berkaitan dengan penataan PKL Cicadas yang jika ditelusuri keberadaanya, para PKL ini sudah ada
sejak Pemerintah Kolonial Belanda. Daerah Cicadas ini dahulunya ingin dibuat seperti Kawasan Braga agar
Kawasan Braga tidak mencolok dan ekstrim. Namun rencana itu tidak berjalan dengan baik, saat
transportasi umum dibuka untuk mengakses kawasan ini yang terjadi hanyalah penumpukan pedagang
yang akhirnya menjadi PKL Cicadas. Saat ini, pada dasarnya warga Bandung terutama yang tinggal tidak
jauh dari Cicadas ingin pemerintah menata kawasan tsb. Di beberapa periode Walikota pun sudah dibuat
wacana untuk penataan dan baru terlaksana di era kepemimpinan Oded M Danial. Untuk mencapai tujuan
tsb, pemerintah harus turun tangan meraih simpatik ketua paguyuban PKL Cicadas serta melakukan suatu
narasi yang membuat para stakeholder PKL Cicadas setuju dengan keputusan Pemkot. Hingga
rampungnya program ini, setidaknya pekerjaan Humas Kota Bandung setengahnya berkurang dan mereka
harus memikirkan narasi berkelanjutan untuk relokasi para PKL.
Penataan PKL Cicadas sebelum diwujudkan dan dilaksanakan oleh Walikota Oded M Danial,
wacana ini sempat mengemuka di era Walikota AA Tarmana. Namun, AA Tarmana hanya membuat
retorika deliberatif agar dirinya bisa kembali menjabat sebagai Walikota Bandung. Disaat kampanye,
banyak banner yang terpasang untuk mendukung kembali pencalonan AA Tarmana sebagai Walikota
Bandung. Namun ternyata masyarakat disaat itu melihat kinerja AA Tarmana kurang bagus dan warga
Cicadas pun merasa tidak memberikan dukungan atas pencalonannya. Cukup terlihat bagaimana
pemerintah saat itu melakukan retorika deliberatif yang dilakukan oleh Walikota Petahana. Di kala itu, AA
Tarmana tidak berhasil dan jabatan Walikota Bandung diduduki oleh Dada Rosada. Walikota ini pun juga
melakukan retorika deliberatif saat berencana membangun PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
yang dianggap sebagai pembangkit listrik bertenaga pembakaran sampah yang lebih murah dan efisien.
Proyek tsb digembar-gemborkan di media cetak namun hingga Dada Rosada tidak lagi menjabat sebagai
Walikota Bandung proyek tsb sama sekali tidak terlaksana. Retorika deliberatif tidak hanya dilakukan oleh
Walikota Bandung sebelumnya tetapi juga dipakai oleh Ridwan Kamil dengan segudang rencana
pembangunan kota Bandung yang tersebar di berbagai platform sosial media. Ridwan Kamil dengan
segala rencana dan janjinya mampu mewujudkan dan melaksakannya hingga ia dipercaya tidak hanya
oleh warga Bandung tetapi juga warga Jawa Barat dan naiklah ia menjadi Gubernur Jawa Barat.
Dalam sejarahnya orang Yunani Kuno sudah mengenal pencitraan atau retorika epideiktik agar
keputusan bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Mereka pun mengetahui bagaimana
menggabungkan nilai-nilai yang ada di masyarakat dengan tokoh penting yang dianggap suci oleh
masyarakat serta menjadikannya sebagai suatu retorika epideiktik. Hal demikian terjadi di salah satu kota
yang merupakan bagian dari Jawa Barat yaitu Purwakarta. Dengan dipimpin oleh Bupati yang memiliki
latar belakang Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan, Dedi Mulyadi, membuat beberapa patung yang
dianggap merepresentasikan Sunda Wiwitan (Pribadi, 2018). Contonya pembangunan patung Sri Baduga,
Gatot Kaca dan Kresna dan patung-patung tsb dianggap merepresentasikan sejarah Sunda. Seperti hal nya
kota Bandung, kota Purwakarta pun dikenal sebagai kota yang agamis. Apa yang terjadi di Purwakarta
mirip dengan pendirian patung dan monument di beberapa Negara Bagian Amerika Serikat. Banyak
menimbulkan kontroversi. Dedi Mulyadi sudah mengerahkan public relations Purwakarta untuk
membujuk warganya atas pembangunan patung-patung di wilayah Purwakarta (Astuti, 2018). Akan tetapi
warga Purwakarta menolak dengan keras. Bahkan patung Gatot Kaca, Kresna, dan patung Selamat Datang
pun diruntuhkan oleh warga dan organisasi yang berbasis agama. Dengan kejadian ini sang Bupati tidak
bisa berbuat banyak dan ia hanya menyerahkan urusan ini kepada pihak kepolisian.
Dengan membandingkan kota yang penuh patung seperti Purwakarta, bisa dilihat komposisi
masyarakat Bandung dan Purwakarta. Keduanya mirip, banyak memiliki warga yang agamis meskipun
tidak sedikit juga warga yang sekuler. Namun, di kota Bandung, pemerintah seolah sangat memperhatikan
demografi ini sehingga di Bandung hampir tidak ada patung yang super besar seperti di Purwakarta dan
tidak ada ikon atau patung yang menjadikan itu perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat muslim.
Walikota Bandung seperti Ridwan Kamil dan wakilnya saat itu Oded M Danial setidaknya memberikan
warna bagi kota Bandung dengan membuat slogan “Bandung kota agamis”. Terlebih lagi saat Oded M
Danial menjadi Walikota Bandung, beliau membuat kebijakan sholat wajib tidak boleh ditinggalkan oleh
para petinggi dan bawahannya di berbagai Instansi penting di Kota Bandung.
Reprisentasi patung atau sesuatu yang dipakai untuk memperingati seseorang yang berjasa tidak
ditunjukan secara simbolik di kota Bandung seperti membuat patung atau monumen. Reprisentasi ini
lebih ditonjolkan kepada pemuka-pemuka agama di Kota Bandung khususnya agama Islam dimana
masyarakat Bandung memberikan loyalitasnya kepada mereka. Ustadz bisa dianggap sebagai reprisentasi
ini. Oleh karena itu, bila dilihat dari penelusuran isu di sosial media dan media online, para ustadz ini
mengalami berbagai macam hantaman baik dari internal umat muslim sendiri ataupun dari luar. Hanya
dengan hantaman itulah, kontroversi muncul di tengah masyarakat Bandung. Meskipun tidak riuh dengan
kasus patung, namun berbagai masalah dan perdebatan selalu bermunculan.
Dalam setiap era kepemimpinan Walikota Bandung, masyarakat Bandung yang ciri khasnya
agamis selalu melihat bagaimana walikota tsb memberangus kaum sempalan dan membela umat Islam.
Hal ini bisa ditunjukan dari berbagai narasi yang muncul dan ditanggapi oleh beberapa organisasi Islam.
Beberapa orang akan menilai bahwa era Kempemimpinan Ridwan Kamil tertalu memberi banyak angin
segar kepada kaum-kaum yang ingin membuat aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Mungkin
wacana seperti ini tidak akan terdengar di pusat perbelanjaan ataupun pusat hiburan, tetapi di banyak
masjid, kampus, dan forum diskusi sangat ramai diperbincangkan. Bandung bukanlah kota dimana
masyarakatnya mencurahkan segala rasa hormat nya dan kebanggannya kepada patung atau pun
monumen. Forum-forum diskusi terasa begitu dinamis dengan berbagai isu yang bermunculan. Hal ini
berhasil membuat warga Bandung terkotak-kotak dan membanggakan kelompoknya sendiri.
Di Amerika Serikat, seorang pemahat patung haruslah memiliki kemampuan yang handal dan jeli
dalam membuat patung yang merepresentasikan salah seorang tokoh atau pun kelompok yang dianggap
berjasa. Namun di Bandung, masjid dianggap sebuah representasi dimana tokoh agama yang mereka
hormati akan memberikan petuah-petuah hidup yang berharga disana. Contohnya, Masjid Kota Baru
Parahiyangan merupakan masjid dengan arsitektur unik yang dibuat oleh mantan Walikota Bandung,
Ridwan Kamil. Masjid tsb selain menjadi objek wisata tetapi juga menjadi tempat dimana nasihat dan
dialog agama berlangsung. Ini pun berlaku bagi Masjid Agung Alun-alun dan tidak kalah pamornya dari
masjid-masjid lain di Kota Bandung. Oded M Danial pernah mengusulkan untuk membuat Bandung
sebagai wisata agamis atau wisata syariah. Dengan banyaknya masjid legendaris dan forum-forum diskusi
membuat Bandung berpotensi untuk wisata agamis. Akan tetapi, program ini belum bisa terlaksana di
Kota Bandung.
Tidak semua masjid di kota Bandung mempunyai asal usul yang relijius dan bahkan mengandung
cerita seram. Seperti hal nya Masjid Al Ukhuwah di dekat kantor Walikota Bandung. Di zaman dahulu,
sebelum era kemerdekaan, gedung tsb dipakai sebagai tempat perkumpulan anggota teosofi atau aliran
kebatinan orang Yahudi. Namun semenjak memasuki era kemerdekaan, Presiden Sukarno melarang
segala bentuk aktivitas organisasi kaum Yahudi terutama teosofi dan freemansonry. Saat itu, gedungnya
terlihat sangat sepi dan menyeramkan bahkan warga sekitar pun menyebutnya dengan Gedung Setan.
Perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat sebuah gedung yang beralih alih fungsi tentunya tidak
akan lepas dari kebijakan pemerintah dan peran public relations. Di setiap periode pergantian
pemerintahan pasti akan selalu ada narasi baru yang dibuat sehingga menghasilkan citra tertentu dari
tempat tsb. Meskipun dahulunya Gedung yang kini menjadi Masjid Al Ukhuwah pernah identik dengan
cerita seram dan klenik, namun dengan narasi baru membuat image yang baru pula dan dengan image itu
Masjid Al Ukhuwah menjadi tempat ikonik dan banyak dikunjungi warga Bandung.
Peran public relations yang sangat penting untuk menyatukan persepsi warga Bandung agar
positif dalam menanggapi semua pembangunan yang ada di Bandung. Tempat ikonik lainnya di kota
Bandung adalah overpass Jembatan Pelangi Antapani dan overpass Jalan Supratman. Kedua jembatan tsb
setelah rampung dibangun disambut baik oleh warga Bandung dan dapat terlihat bagiamana kendaraan
dengan lancar melewati kedua overpass ini. Namun, dibalik pembangunan kedua overpass banyak
keluhan yang muncul dari warga Bandung dan para pakar yang melihat sisi lain dari pembangunan
overpass ini. Saat overpass Jalan Supratman dibangun, tidak ada sekat-sekat pembatas yang dipasang di
sekitar pembangunan overpass. Salah satu warga Bandung yang merupakan pakar pembangungan
infrastruktur mengatakan bahwa proyek besar ini begitu serampangan dilaksanakan karena tidak ada
batas antara lahan proyek dan badan jalan yang biasa dilalui kendaraan. Selain itu juga, saat rangka besi
selesai dipasang dibiarkan begitu saja tanpa ditutupi. Bahaya yang ditimbulkan saat pembangunan
overpass Supratman cukup banyak dan warga pun resah karena merasa bahaya dan kemacetan di daerah
tsb luar biasa dan lebih macet dari kondisi sebelum jembatan dibangun. Persepsi negative bermunculan
saat pembangunan overpass Supratman dan Antapani akan tetapi seiring dengan selesainnya
pembangunan, Humas Kota Bandung mampu mengembalikan citra positif dari kedua overpass tsb dengan
membuat narasi yang terpublikasi di situs resmi Humas Kota Bandung dan di media sosial ataupun media
online lainnya.
Di kota Bandung terdapat pusat perbelanjaan yang dahulunya merupakan tempat yang begitu
ramai namun sekarang ditinggalkan bahkan bangunannya sudah diratakan dengan tanah. Pada era tahun
80 an, warga Bandung merasakan kejayaan dari Plaza Palaguna dan kawasan sekitar Alun-alun, dahulunya
merupakan pusat hiburan, perbelanjaan, kuliner, dan aksesoris (Lim & Padawangi, 2008). Di zaman
dahulu, Gedung Palaguna merupakan tempat yang serba lengkap dan Palaguna merupakan pusat
perbelanjaan paling modern disaat itu. Hal ini menunjukan bahwa apa yang dianggap modern saat itu
belum tentu memiliki persepsi yang sama dengan generasi sekarang. Kemunculan pusat perbelanjaan dan
hiburan lain menggeser posisi Gedung Palaguna sebagai tempat terlengkap untuk berekreasi hingga
akhirnya warga Bandung pun sudah bosan dan bermuncula mall-mall besar, modern, dan menarik
membuat nasib Gedung Palaguna semakin hari semakin ditinggalkan hingga akhirnya dirobohkan
(Widyaevan, 2015). Lokasi Gedung Palaguna tidak jauh dari Alun-Alun kota Bandung dimana terdapat Bis
Bandros dan tentunya sejarah dan pergeseran Gedung Palaguna sebagai pusat perbelanjaan di zaman
dahulu kala bisa menjadi suatu cerita menarik bagi para wisatan atau bahkan dengan mengaitkan
lokasinya yang berada di dekat bioskop yang dibangun pada era Kolonial Belanda akan meningkatkan daya
tarik wisata kota Bandung.
Pengkajian situs-situs bersejarah atau pun bangunan bersejarah di kota Bandung dibagi dalam
dua babak penting yaitu periode Pemerintah Kolonial Belanda dan periode Walikota Bandung setelah era
kemerdekaan Indonesia (1998-2021). Tempat tersebut penting untuk dieksplor dan akan menjadi nilai
tambah untuk menjadikan kota Bandung lebih menarik. Selain itu, pentingnya peran public relations
dalam mensosialisasikan dan membuat citra positif bagi setiap bangunan atau kawasan. Interaksi public
relations dan warga Bandung menunjukan bagaimana setiap situs memelukan narasi atau retorika
tertentu agar masyarakat Bandung bisa menerima program dan keputusan terutama dari Walikota
Bandung dan juga membandingkan kondisi dari dalam negri atau pun luar negri sebagai referensi
tambahan penggunaan retorika yang dibuat oleh Aristoteles dan Isokrates. Dengan perbandingan maka
bisa dipilih hal positif maupun negatif.
Pertanyaan Penelitian:
1. Bagaimana peran walikota Bandung 1998 -2021 dalam menarasikan Wilayah dan bangunan
heritage sebagai peran dari PR dalam mempersuasi publik?
a. Retorika Epideiktik apa yang dipakai oleh walikota Bandung dan program apa yang
direncakan terutama yang mendukung heritage tourism?
b. Apa saja kendala walikota Bandung dalam melestarikan Heritage tourism?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode ini diambil untuk mendalami
bagaimana peran walikokat dalam mempromosikan objek-objek wisata di Kota Bandung melalui narasi
epideiktik dalam mempersuasi publik. Informasi mengenai bagaimana public relations Kota Bandung
berperan dalam promosi ini melalui pengecekan artikel yang diterbitkan oleh public relations Kota
Bandung di situs dan sosial media resmi nya. Setiap kebijakan yang dibuat oleh Walikota Bandung
tentunya akan sangat berhubungan dengan peran public relations. Bangunan-bangunan bersejarah dari
masa Kolonial Belanda hingga saat ini dianalisis bagaimana bangunan tsb berubah fungsi dan bagaimana
masyarakat Bandung terbentuk opininya akan fungsi dari bangungan tsb. Beberapa bangunan yang telah
ditelusuri asal usulnya serta bagaimana pemerintah memfungsikannya akan menjadi analisis yang
memperkaya informasi terutama informasi yang harus ada di situs public relations Bandung. Bandung
memang tidak memiliki patung atau monument sebanyak di Amerika Serikat yang berjumlah sekitar 4000
buah. Bandung hanya memiliki beberapa patung dan patung-patung tsb dianggap sebagai reprisentasi
apa yang dibanggakan dimasa lalu. Hal ini terjadi sejak pemerintah Kolonial Belanda hingga saat ini.
Kebanyakan dalam bentuk bangunan seperti bangunan Hotel Savoy Homan, Hotel Preanger, Masjid Agung
Alun-Alun, bioskop, Pendopo dan lainnya (Soemardi & Radjawali, 2004) . Belum dapat ditarik suatu asumsi
mengapa pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan momen sejarah dalam bentuk Bangunan bukan
dalam bentuk patung atau monument. Dan sebagai asumsi awal dari waktu terkini sesudah selesai
kolonialisme, demografi umat muslim yang banyak di kota Bandung membuat pemerintah kota tidak ingin
mencari keributan dengan warganya dengan memajang patung-patung di setiap sudut kota.
Narasi atau retorika adalah suatu alat yang digunakan untuk menyatukan persepsi masyarakat
atau pun untuk membuat masyarakat percaya bahwa pemerintah telah mengambil keputusan dan
langkah terbaik terutama terkait dengan pemberdayaan objek-objek wisata di kota Bandung. Berbagai
publikasi yang dilakukan public relations Kota Bandung baik dalam situs resminya atau pun di beberapa
media cetak dan online menunjukan bahwa public relations Kota Bandung melakukan perannya.
Meskipun pada akhirnya yang sangat menonjol dari promosi objek pariwisata lebih di dominasi oleh blog,
vlog, atau pun website milik agen perjalanan atau pun para pelancong yang membuat deskripsi menarik
dari tempat-tempat yang pernah dikunjungi di Bandung. Baik dalam masa kolonial atau pun masa kini
nampaknya warga Bandung tidak banyak melakukan penolakan kepada setiap narasi yang dibuat oleh
pemerintah kota Bandung. Hanya beberapa saran dan kritik untuk membuat Bandung lebih baik dan
bukanlah penolakan besar-besaran yang sampai mengarahkan massa.
Peran public relations dalam menyatukan persepsi warga Kota Bandung dapat dijadikan suatu
analisis. Sesuai dengan pembahasan mengenai promosi objek-objek wisata di Kota Bandung. Melalui
penelusuran literature seperti dari sosial media, media online, dan jurnal dapat dianalisis bagaimana
heritage tourism dilestarikan dan dipromosikan. Selain itu juga, penelusuran historis dapat membuktikan
bagaimana suatu gedung itu berubah-ubah fungsinya dan masyarakat pun memiliki persepsi yang sama
akan keberadaan gedung tsb. Narasi dan retorika memiliki peranan penting dalam perubahan fungsi suatu
gedung dari masa ke masa.
Hasil dan Temuan
1. Bagaimana peran walikota Bandung 1998 -2021 dalam menarasikan Wilayah dan bangunan
heritage sebagai peran dari PR dalam mempersuasi public?
a. Aa Tarmana
Sebelum era Walikota AA Tarmana, Bandung sudah menjalin kerjasama atau sister city dengan kota
Braunschweig sejak tahun 1960. Kemudian, AA Tarmana melanjutkan program sister city dengan
menandatangani MoU pada tahun 2000 di Braunschweig, Jerman. Narasi kerjasama dalam melestarikan
heritage tourism terdapat dalam beberapa media online dan penelitian mengenai perkembangan Kota
Bandung terutama di tahun 1998-2003. Bandung memiliki beberapa persamaan dengan Braunschweig
yaitu sebagai pusat pariwisata terutama wisata sejarah dan wisata budaya. Braunschweig merupakan kota
wisata terbaik dan memiliki wisata sejarah yang luar biasa seperti peninggalan dari awal abad ke 19 M.
karena hal ini lah Bandung menjadi sister city untuk Braunschweig. Program sister city memiliki beberapa
macam program dan diantaranya yang terpenting adalah penataan kota dan infrastruktur. Sungai
Cikapundung menjadi program utama dalam penataan kota karena merupakan bagian dari pusaka atau
heritage Kota Bandung dan pernah menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda dan pernah dilakukan
revitalisasi dimasa itu. Sebelumnya Sungai Cikapundung adalah kawasan tidak terawar, kumuh, kotor, dan
menjadi tempat pembuangan sampah dan melalui program kerjasama ini Sungai Cikapundung menjadi
lebih rapi dan bersih.
Selain revitalisasi Sungai Cikapundung, AA Tarmana memiliki program kontroversial terkait
dengan heritage di Kota Bandung yaitu pembangunan kawasan Babakan Siliwangi. Pada saat itu, AA
Tarmana berencana mengubah Babakan Siliwangi, yang dikenal sejak zaman Kolonial Belanda sebagai
sabuk hijau, menjadi kawasan hunian dan belanja. Masyarakat Bandung baheula pun menganggap
kawasan ini adalah paru-paru dunia. Hal ini pun didukung oleh para arsitek Kolonial Belanda dengan
menjadikan kawasan heritage ini rimbun dengan flora khas Indonesia. AA Tarmana sempat berencana
untuk membangun kondominium, shopping center, food court, restoran dan kawasan entertainment
lainnya. Selain itu juga, AA Tarmana telah menunjuk salah satu perusahaan developer swasta untuk
melancarkan rencananya namun terjadi kontroversi ditengah masyarakat Kota Bandung.
Dua heritage lainnya yang dibangun oleh AA Tarmana melalui kerjasama sister city dengan
Braunschweig adalah pembangunan Gelanggang Generasi Muda (GGM) dan Gedung Asia Afrika. GGM
dibangun pada tahun 1970 kemudian diperbaharui kembali dengan kerjasama serupa. GGM adalah
tempat untuk belajar berbagai macam olah raga dengan instruktur yang kompeten. Secara fisik bangunan,
di era AA Tarmana, tidak banyak perubahan atau inovasi untuk membuat gedung GGM menarik. Namun,
AA Tarmana lebih memfokuskan pada program pertukaran pelajar dan kebudayaan termasuk olah raga di
dalamnya. Di era Ridwan Kamil barulah terjadi inovasi hingga gedung GGM memiliki bangunan yang khas.
Kemudian, Gedung Asia Afrika juga dibangun untuk mengembalikan fungsinya karena gedung ini memiliki
nilai historis yang tinggi hingga bisa dipakai untuk konferensi KAA selanjutnya.
a. Dada Rosada
Heritage yang dibangun dan ditata pada masa kepemimpinan Dada Rosada sebagai walikota Bandung
adalah flyover Pasupati, flyover Kiaracondong, SOR Gedebage, dan PLTSa. Flyover Pasupati merupakan
salah satu heritage di Kota Bandung. Saat pertama kali flyover ini dioprasikan, banyak warga Bandung
yang berhenti dipinggir jembatan dan berfoto. Pada tahun 2004, flyover Pasupati mulai dibangun dan
selesai sebelum hari Konferensi Asia Afrika pada bulan September 2005. Flyover Pasupati membentang
sejauh 2,5 km dan memanfaatkan teknologi anti gempa yang dikembangkan di Perancis. Flyover ini sendiri
terdiri dari 663 segmen dan dihubungkan dengan puluhan kabel baja serta ditopang dengan 46 tiang.
Proyek flyover ini menghabiskan dana hingga 50 miliar. Nama Pasupati itu sendiri diambil dari singkatan
“Jalan Pasteur dan Jalan Surapati”. Sebenarnya, proyek ini sudah direncakan oleh pemerintah Kolonial
Belanda dan dasar-dasar perancangan flyover ini dibuat oleh Arsitek Belanda Thomas Karsten.
Flyover kedua yang dibangun pada masa pemerintahan Dada Rosada adalah flyover
Kiaracondong. Dibangun dengan waktu yang hampir bersamaan dengan flyover Pasupati. Flyover ini
merupakan solusi dari rasa frustasi warga Bandung yang melewati kawasan Kiaracondong yang macet
karena dipadati PKL, aktivitas Pasar Kiaracondong, dan rel kereta api dengan jumlah lintasan yang banyak.
Alasan lainnya dibangun flyover Kiaracondong karena merupakan jalur utama menuju By pass Soekarno
Hatta atau jalur yang biasa digunakan untuk transportasi angkutan barang. Flyover ini membentang
sepanjang 850 meter dan menghabiskan dana 43 miliar. Sumber pendanaan murni dari APBN. Sama
seperti pembangunan flyover Pasupati, flyover Kiaracondong pun harus selesai sebelum dilaksanakannya
Konferensi Asia Afrika pada bulan September 2005.
Pembangunan yang masih dalam tahap rencana di masa pemerintahan Dada Rosada adalah
pembangunan SOR Gedebage dan PLTSa. Dari kedua proyek tsb, SOR Gedebage yang telah rampung
dibangun dan SOR Gedebage baru selesai dibangun pada era Walikota Ridwan Kamil. SOR Gedebage ini
juga menjadi salah satu heritage yang popular di Kota Bandung. Proses pembangunan SOR Gedebage
tidaklah lancar karena proyek tsb direncanakan dalam waktu yang bersamaan. Warga disekitar proyek
terlibat adu mulut dengan petugas dan teknisi yang mengerjakan proyek. Perencanaan pembangunan
SOR Gedebage dan PLTSa yang kurang jelas membuat warga sekitar resah akan terjadi banjir di daerah
mereka. Selain itu, warga begitu takut jika PLTSa dibangun akan menimbulkan polusi yang parah.
Seharusnya pemerintah saat itu mengerahkan public relations untuk membangun retorika deliberatif dan
epideiktik. Setidaknya jika public relations berperan, warga akan mengetahui rencana pembangunans SOR
Gedebage dan manfaat serta masa depan fasilitas olah raga tsb. Public relations akan mengedukasi warga
dan melakukan pencitraan terhadap proyek tsb. Tetapi apa yang terjadi, hanyalah dialog tak berujung dan
tidak mendapat solusi hingga akhirnya di masa kepemimpinan Ridwan Kamil terwujudlah fisik SOR
Gedebage dengan arsitektur yang luar biasa.
b. Ridwan Kamil
c. Oded M Danial
Secara umum, tugas public relations Kota Bandung adalah untuk mendukung program dan
kebijakan pemkot serta mempublikasikan kegiatan terkait dengan Pemkot. Namun, dalam program
pelestarian Gedung Kolonial Belanda perlu melibatkan public relations dari dinas yang lain seperti Dinas
Pariwisata. Public relations Dinas Pariwisata mempunyai program-program spesifik serta promosi yang
lebih detail dan mengena serta mereka pun mengetahui institusi atau lembaga apa sajakah yang bisa
mendukung program ini. Selain itu, packaging dari promosi gedung-gedung tsb secara lebih menarik.
Dengan adanya digital public relations seperti memanfaatkan akun sosial media Humas Kota Bandung
atau pun Humas Dinas Pariwisata akan dengan mudah untuk mempromosikan tempat-tempat bersejarah
tsb. Hal seperti ini pun lumrah dilakukan saat pendudukan Belanda di Kota Bandung namun mereka hanya
memanfaatkan media cetak seperti koran. Media dianggap jalan terbaik agar masyarakat paham dengan
pembangunan, revitalisasi, dan konservasi gedung-gedung penting.
Walaupun Belanda sempat menduduki Kota Bandung, membangun pemerintahan, dan
melakukan banyak pembangunan dengan sangat rapi dan terencana namun bukan berarti tidak
memunculkan friksi diantaranya. Di era kemerdekaan Indonesia, Bandung menjadi tempat penting
perlawanan pasukan Inggris dan Belanda. Peristiwa Bandung Lautan Api menjadi tanda kemenangan
warga Bandung dalam melawan Belanda. Sebelumnya petinggi yang terntunya bumiputra menerima
ultimatum untuk mengosongkan kota Bandung. Beberapa kaum muda atau pejuang muda seperti
Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan ikut serta untuk membakar kota Bandung. Dalam waktu
beberapa jam, warga pribumi Bandung meninggalkan rumah-rumah mereka dan membakarnya. Kejadian
ini membuat Inggris dan Belanda kocar-kacir hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia yang
diproklamirkan pada tahun 1945 dan mendapatkan tekanan dari Belanda pada tahun 1946 bisa kembali
diraih. Untuk memperingati peristiwa bersejarah ini, pemkot Bandung membangung Tugu BLA (Bandung
Lautan Api). Tugu tsb merupakan rancangan salah satu seniman yang merupakan mantan dosen FSRD ITB.
Selain itu untuk mengenang dan menghormati jasa Muhammad Toha dibangunlah Tugu Muhammad Toha
di daerah Dayeuhkolot, Bandung. Daerah Dayeuhkolot jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia berarti
“Kota Tua” dan dulunya merupakan pusat pemerintahan Belanda (Rusnandar, 2010). Kemudian nama
kedua pahlawan tsb diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bandung yakni Jalan Moch. Toha dan Jalan
Moch. Ramdan.
Dalam peristiwa Bandung Lautan Api, warga Bandung memperoleh kemenangan dan
mengabadikannya dalam sebuah monument yakni Monumen BLA. Selain diabadikan dalam bentuk
monument, bentuk-bentuk karya seni lain juga mengabadikan momen ini. Diantaranya berupa lagu, puisi,
dan lukisan. Karya-karya ini mungkin bisa dieksplor public relations Kota Bandung karena karya-karya ini
berkaitan dengan peristiwa penting. Penulis lagu ternama, Ismail Marzuki mendapat inspirasi untuk
membuat lagu “Halo-Halo Bandung” dari peristiwa BLA (Erikha et al., 2017). Namun, menurut L. Manik
lagu ini memiliki melodi yang sama dengan lagu “When It’s Springtime in the Rockies”. Hal itu tentunya
membuat lagi tsb menjadi kontroversi. Kemudian karya lainnya yaitu karya Usmar Ismail dengan film
berjudul “Toha Pahlawan Bandung Selatan”. Dalam film tsb dikisahkan bagaimana Muhammad Toha
berjuang mengancurkan gudang mesiu Belanda. Ia sempat tertembak namun tak mengentikan
semangatnya hingga ia gugur dengan fisik yang tidak lagi utuh. Demikian pula dengan karya seni seperti
lukisan, namun beberapa sumber tidak begitu memberikan keterangan yang jelas. Karya terakhir adalah
puisi yang ditulis oleh WS Rendra dengan judul “Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api”. Karyakarya yang terinspirasi dari peristiwa BLA seharusnya menjadi perhatian public relations Pemkot Bandung
karena karya tsb akan memperkaya nilai sejarah peristiwa BLA.
Meskipun warga Bandung dan pemkot tidak membuat banyak sekali patung dan monument
terkait peristiwa penting ini, namun beberapa karya terinspirasi dari peristiwa ini dan sudah dijelaskan di
bagian sebelumnya. Selain karya, terdapat juga 10 stilasi BLA yang dibuat oleh seniman terkenal bernama
Sunaryo dan stilasi ini diserahkan kepada pemkot Bandung di tahun 1997. Stilasi disini adalah semacam
membuat patok yang ditempatkan di beberapa daerah atau jalan di kota Bandung yang dianggap mewakili
tempat perjuangan BLA. Stilasi pertama berada di Jalan Ir. H. Djuanda-Jalan Sultan Agung dimana
dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lalu, stilasi kedua berada di Jalan Braga dan gedung
yang saat ini ditempati Bank Jabar merupakan Gedung Denis dimana terjadi perobekan bendera Belanda.
Stilasi ketiga berada di Jalan Asia Afrika-Jalan Banceuy dimana rapat penting militer Indonesia pada tahun
1945. Stilasi ke empat berada di Jalan Ciguriang dan disini merupakan tempat dirumuskannya strategi
membakar kota Bandung. Kemudian, stilasi ke lima di Jalan Otto Iskandardinata namun pada stilasi ini
tidak begitu banyak keterangannya. Setelah itu, stilasi ke enam di Jalan Dewi Sartika dan disini terdapat
markas militer yang dipimpin oleh Jendral AH Nasution. Selain itu, stilasi ke tujuh berada di Jalan Lengkong
Dalam disini dahulunya merupakan bangunan bergaya arsitektur Belanda dan merupakan tempat
kediaman warga Belanda dan beberapa pribumi. Stilasi ke 8 berada di Jalan Jembatan baru dimana
pertempuran Lengkong terjadi. Di Stilasi ke 9 berada di Jalan Asmi dan di tempat ini merupakan markas
tempat berkumpulnya pemuda Bandung sebelum peristiwa BLA. Stilasi terakhir di Jalan Muhammad Toha
dimana terdapat pemancar radio yang menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh wilayah
Indonesia bahkan juga ke mancanegara.
Di Amerika Serikat di beberapa negara bagiannya merupakan bekas medan perang dan beralih
fungsi menjadi taman kota dan hal serupa pun terjadi di Indonesia terutama Bandung. Meskipun daerah
yang dahulunya menjadi medan perang namun daerah tsb tidak dijadikan taman kota mengingat cukup
besarnya daerah tsb. Salah satunya adalah Cicadas yang terletak di daerah Bandung Timur. Kawasan ini
dahulunya tepatnya di bulan Desember 1945 adalah tempat dimana sekutu menjatuhkan bom-bom besar
yang memakan banyak korban jiwa. Warga Cicadas tempo dulu merasakan bagaimana ketakutan saat
peswat-pesawat canggih melintasi daerah mereka dan mereka hanya bisa tiarap di tempat yang cukup
tersembunyi agar tidak ditembak atau dijatuhi bom. Saat mereka merasa aman, mereka hanya bisa
memunguti jenazah tetangga atau saudara mereka yang mati akibat serangan bom. Selain itu daerah
Cicadas juga merupakan markas TKR Cicadas dan Komite Nasional Indonesia serta merupakan basis
pergerakan dan perjuangan Islam, Hizbullah. Di kawasan Cicadas sendiri tidak terdapat patung,
monument atau taman yang dibuat untuk memperingati peristiwa tsb. Cicadas kini hanyalah tempat
dimana dua pasar besar berada dan kawasan PKL bahkan warga Cicadas saat ini tidak banyak yang
mengetahui peristiwa bersejarah ini. Berkaitan dengan hal ini, Bis Bandros memiliki rute yang melewati
kawasan Cicadas dan tidak banyak yang bisa dieksplor dari wilayah ini mengingat sejarahnya yang sudah
terlupakan. Hal ini bisa dijadikan sebuah kajian dan dijadikan sebuah narasi untuk mempromosikan
Cicadas yang merupakan kawasan potensial dan bersejarah.
Di Bandung sendiri tidak hanya Cicadas yang menjadi kawasan bekas medan perang tetapi daerah
lain seperti Sukajadi, Pasirkaliki, Lengkong Besar, Dayeuhkolot, Ciroyom, Tegalega dan daerah lainnya.
Tempat-tempat tsb umumnya dikenal saat peristiwa Bandung Lautan Api karena di daerah-daerah itu
terjadi aksi pembakaran. Hanya dibeberapa daerah saja seperti Lengkong Besar dan Dayeuhkolot yang
dibuatkan patung untuk memperingati peristiwa tsb dan nampaknya otoritas Bandung sangat berbeda
dengan otoritas Amerika Serikat dimana mereka membuat sejumlah narasi berkelanjutan untuk
mengopinikan patung dan monument agar diterima oleh masyarakatnya. Ketiadaan dana dan perang yang
terjadi secara terus menerus membuat Pemkot Bandung tidak bisa membuat banyak tugu, patung atau
pun monumen.
Era Walikota Bandung setelah kemerdekaan Indonesia: Akar sejarah gedung Kolonial Belanda dan
upaya pelestariannya oleh Public Relations dan Pemkot Bandung.
Peran vital Public Relations Kota Bandung dalam mempublikasikan program dan rencana
Pemerintah Kota Bandung terutama dalam konsevasi cagar budaya berupa gedung-gedung peninggalan
Kolonial Belanda. Berikut ini adalah beberapa program dan narasi yang dibuat oleh Walikota dan public
relations Kota Bandung.
Ridwan Kamil (2013-2018)
Dalam pembentukan narasi berkelanjutan, Bandung di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang saling terhubung. Narasi berkelanjutan sangat terkait erat dengan norma sosial, kultural, dan
moral dan beberapa tempat ada di Bandung memiliki sejarah atau asal usul yang memuat ketiga norma
tsb atau salah satunya (Yu Park, 2010). Membuka salah satu kawasan wisata agar dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat perlu peran public relations agar paham bahwa dibukanya suatu tempat wisata
bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok atau sekelompok orang yang hanya berorientasi
pada keuntungan. Contohnya dengan Masjid Agung Alun-alun yang berulang kali dipugar hingga akhirnya
pada masa pemerintahan Ridwan Kamil di tahun 2014, Masjid Agung tertata dengan sangat rapi dan bisa
gunakan bukan hanya untuk beribadah tetapi juga sebagai tempat untuk berkumpul bersama keluarga,
kerabat, dan teman (Maryani dan Logayah, 2014).
Yana Mulyana (2018-2023), melakukan kerjasama dengan beberapa instansi penting demi
mewujudkan program ini. Sinergi antara pemkot dan tim ahli diharapkan bangunan cagar budaya tetap
berdiri kokoh. Tim Ahli menyatakan bahwa pemetaan gedung heritage di Bandung untuk mengetahui
jumlah total gedung-gedung tsb. Selain itu, Pemkot Bandung telah membuat perda mengenai Pelestarian
Cagar Budaya. Untuk mensosialisasikan perda ini merupakan tugas utama Humas Kota Bandung. Salah
satu petinggi Dinas Kota Bandung menyatakan bahwa selain membuat perencanaan dan melibatkan
Humas, perlu ada program untuk mengedukasi masyarakat Bandung dengan mengadakan konsultasi dan
arahan.
Peristiwa Bandung Lautan Api selain menjadi peristiwa heroik dan bersejarah tetapi juga
merupakan peristiwa yang begitu menyedihkan bagi warga Bandung. Pasalnya warga Bandung harus
membakar rumah, asset, dan harta benda. Saat itu, warga Bandung hanya membawa sedikit perbekalan
dan mereka harus hidup seadanya. Setelah peristiwa tsb usai, masyarakat Bandung kembali ke kediaman
mereka dengan rumah yang hancur dan tidak sedikit orang yang menjarah harta benda. Beberapa rumah
diantaranya di tempati orang lain seperti warga etnis Tionghoa. Hal ini terjadi dikarenakan warga
Tionghoa yang lebih dahulu menempati tempat tinggal warga Bandung. Peristiwa BLA bukanlah
perjuangan akhir dari warga Bandung tetapi masih ada peristiwa-peristiwa lain dalam upaya menjegal
Indonesia untuk merdeka dan diataranya dengan berbagai perundingan dan tidak sedikit dari
perundingan tsb memberikan kerugian bagi warga Bandung dan salah satunya adalah pembentukan
negara Pasundan oleh Belanda. Publikasi mengenai peristiwa BLA banyak tersedian di media online
termasuk di website Humas Kota Bandung yang menjadikan Prof Nina Lubis, dosen jurusan Sejarah,
UNPAD, sebagai narasumber penulisan pentingnya peristiwa BLA. Akan tetapi hal ini perlu dijadikan narasi
berkelanjutan untuk mengedukasi warga Bandung saat ini dan juga wisatawan luar Bandung.
Selama peristiwa Bandung Lautan Api dan sesudahnya (agresi militer Belanda) memakan korban
hingga sekitan 4000 jiwa dan korban-korban di makamkan di pemakan Ereveld, Pandu. Ereveld berarti
taman makam kehormatan. Makam ini merupakan makam yang berada dibawah naungan Yayasan
Makam Kehormatan Belanda. Ereveld di Indonesia sendiri kurang lebih teradapat 7 Ereveld. Di makam
tsb, dikurburkan orang Belanda dan Indonesia. Makam ini pun sangat unik karena memiliki bentuk-bentuk
makam seperti di Eropa. Beberapa media mempublikasikan pemakaman ini dan tidak sedikit warga
Bandung yang memanfaatkan makam ini untuk jalan-jalan dan berfoto. Ketua yayasan makam ini pun
melakukan prosesi peringatan peristiwa tsb dan momen ini dijadikan momen persahabatan dan
perdamaian antara Indonesia dan Belanda. Di tempat ini pun dimakamkan, Schoemaker, guru besar
Arsitektur dan Rektor ke 7 ITB dimasa pemerintahan Kolonial Belanda yang juga merupakan dosen
Presiden Sukarno. Pemkot Bandung perlu memasukan pemakaman ini sebagai objek wisata karena unsur
historis, budaya, dan sosial. Narasi mengenai keberadaan Ereveld terutama yang terdapat di Kota
Bandung pun bisa dijumpal dengan mudah terutama di media online. Namun, Humas Kota Bandung perlu
bekerja sama dengan Dinas Pariwisata untuk membuat tour ke pemakaman ini dengan kemasan yang
menarik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di makam Ereveld terdapat makam sang Arsitektur Kota
Bandung keturunan Belanda bernama Schoemaker. Dibalik megahnya gedung-gedung yang ada di
Bandung sepeti Villa Isola, Gereja Saint Peters, Gereja Bethel, Masjid Cipaganti, Gedung Merdeka, Hotel
Preanger, dan lainnya adalah mahakarya dari Schoemaker (Anwar & Hapsoro, 2019). Gedung tsb menjadi
warisan budaya yang berharga bagi Kota Bandung. Sejarah Schoemaker dan gedung-gedung
peninggalannya bisa dijadikan refernsi bagi public relations Kota Bandung untuk mempublikasikannya di
sosial media. Dari hasil analisis, untuk memperingati suatu peristiwa penting di Bandung cenderung di
reprisentasikan oleh hadirnya gedung-gedung. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga
Pemkot Bandung saat ini.
Dalam perjalanannya membangun kota Bandung di zaman kolonial, Schoemaker sempat
memeluk 3 agama yakni Katolik, Islam, dan Protestan. Pembangunan gedung seperti Gereja Saint Peters,
Gereja Bethel, dan Masjid Cipaganti adalah representasi dari agama yang dipeluk oleh Schoemaker. Hal
yang paling kontroversial dikalangan orang Belanda, keputusan Schoemaker memeluk agama Islam.
Namun, orang Belanda memiliki pemikiran lain dengan melihat apa yang dilakukan oleh Christiaan Snouck
Hurgronje atau orientalis Belanda yang masuk Islam dan menetap di Aceh. Keputusan pindah agama
dianggap sebagai jalan untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Hal serupa pun dilakukan oleh
Schoemaker. Ia memeluk agama Katolik semenjak ia lahir dan setelah keberadaanya di Bandung ia pun
masuk Islam. Dengan identitas barunya sebagai muslim, ia aktif dalam organisasi Islam di Bandung bahkan
ia pun mendedikasikan dirinya untuk memberi arahan dalam rancangan bangunan masjid di Indonesia.
Sumber lainnya pun mengabarkan bahwa Schoemaker pernah tergabung dalam organisasi
Muhammadiyah. Selain itu, ia pun pernah berhaji dan menulis buku bersama M. Natsir. Hal kontroversial
lainnya yand dinyatakan Schoemaker adalah sebaiknya Indonesia menjadi negara kesultanan yang
berlandaskan Islam. Schoemaker punya 5 orang anak dan ia seringkali menitipkan anaknya kepada
seorang Tionghoa yang tinggal di Ujung Berung. Jika dianalisis keputusan Schoemaker menjadi muslim
adalah untuk berlindung dan melindungi keluarga terutama anak-anaknya. Akan tetapi di akhir hayatnya,
ia dimakamkan sebagai penganut Protestan. Makam nya di Ereveld bukanlah makam yang dihiasi dengan
ornamen indah seperti karya-karya nya namun ia dikuburkan diatas nisan yang sederhana.
Peran Public Relations dan Hubungan Sejarah di masa kolonial Belanda
Belanda saat ini sudah tidak lagi menjajah kota Bandung dan bangunan peninggalan Belanda pun
ada yang dilestarikan dan tidak. Padahal gedung tsb dibuat dengan perancangan yang baik dan gedunggedung yang terbengkalai seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah agar objek wisata di Bandung
semakin banyak dan menarik (Tamimi et al., 2020). Diantara banyaknya gedung, salah satunya adalah
Maison Bogerijen kemudian berubah menjadi Braga Permai. Kondisi bangunan dibiarkan seperti aslinya
namun beberapa bagian di dalamnya mengalami perubahan agar terlihat sentuhan modernnya. Demikian
pula dengan Gedung DENIS yang mirip dengan Hotel Savoy Homan dan gedung ini digunakan oleh Bank
Jabar. Pengaturan gedung-gedung ini merupakan tanggung jawab dari Tim Cagar Budaya Pemkot
Bandung. Gedung peninggalan kolonial Belanda dikatagorisasikan menjadi A, B, C, dan D. A merupakan
katagori yang cukup tegas mengingat bangunan tsb menjadi asset nasional dan tidak boleh melakukan
banyak perubahan. Kemudian B, C, dan D bisa dilakukan pemugaran tetapi tidak banyak. Mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk perawatan gedung bernilai sejarah mengakibatkan pemerintah enggan
menganggarkan biaya dan hal ini tidak hanya di Bandung tetapi di seluruh Indonesia.
Dago, salah satu daerah di Bandung Utara, merupakan daerah yang pernah diduduki oleh
Belanda. Belanda datang dan menetap di daerah Dago serta membangun perumahan elit dan jalan raya.
Selain perumahan, pemerintah kolonial Belanda juga membangun universitas, sekolah, café,
supermarket, butik, dan rumah sakit seperti ITB, SMAK Dago, RS Borromeus, Superindo, Dago Tea House.
Bangunan-bangunan tua di dalam kampus ITB masih tetap dipertahankan begitu pula dengan rumahrumah di sekitar ITB. Di era kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil, tejadi beberapa perubahan di daerah
Dago. Ridwan Kamil memepercantik trotoar di sepanjang jalan Dago untuk kembali mengingatkan warga
Bandung agar berjalan kaki. Selain itu dibangun juga jalur khusus untuk pengguna sepeda. Tahura di
kawasan Dago pun tidak luput dari perhatian pemerintah Kolonial Belanda saat itu, cagar alam ini pun
dirawat karena memiliki spesies tanaman dan hewan langka. Selain itu, Tahura merupakan salah satu
Urban Forest atau taman kota. Karena faktor ekonomi, pembangunan kawasan Dago saat ini sudah sangat
berlebihan, banyak daerah resapan dijadikan restoran, hotel, dan vila. Dampak lainnya yaitu sulit
mendapatkan air bersih dan bangunan yang didirikan di kawasan Dago banyak melanggar amdal dan pihak
berwenang seolah tutup mata dengan kejadian ini (Narulita et al., 2016).
Kota Bandung memang tidak membuat banyak patung dan monument melaikan melestarikan
tempat atau gedung peninggalan Belanda. Tidak banyak narasi bermuatan politis yang diopinikan kepada
masyarakat Bandung. Semua hal positif mengenai renovasi atau pun restorasi gedung bersejarah berjalan
dengan baik. Public relations tidak perlu berpikir keras akan penolakan warga Bandung. Salah satu
peninggalan Belanda yang kini akan direncanakan untuk di bangun menjadi ruang public adalah Kawasan
Mata Air Cibadak. Bangunan ini terletak di Jalan Setiabudi atau daerah Ledeng. Bangunan ini mampu
menyedot cadangan air bersih secara besar dan bahkan bisa dimanfaatkan menjadi sumber air bersih bagi
warga Bandung. Pemkot Bandung berencana untuk bekerjasama dengan PDAM terkait pengolah air dan
pemanfaatannya. Narasi mengenai restorasi peninggalan Belanda ini cukup baik, Humas mampu
mendistribusikan narasi kepada media cetak dan online. Selain itu, Gedung de Vries di seberang Gedung
Merdeka menjadi ruang public dan saat ini ditempati oleh Bank OCBC. Di dalam bank tsb semua bagian
gedung tidak ada yang dirubah dan tetap seperti aslinya. Meski di bawahnya terdapat lorong yang
menghubungkan antara Gedung de Vries dengan Gedung Merdeka namun pihak pemerintah resmi
menutup lorong tsb.
Awal mula pembangunan kota Bandung adalah di tahun 1864 dimana saat itu Bandung menjadi
pusat pemerintahan Karesidenan Priangan (Widodo, n.d.). Perubahan tsb tentunya tidak secara langsung
mengubah wajah kota Bandung. Selain itu Bandung merupakan tempat pengumpulan hasil pertanian
seperti kina, teh, kopi, dan karet sehingga mulailah dibangun sarana untuk mengakomodir hasil-hasil
perkebunan (Pratama, 2015). Setelah itu perubahan kota Bandung lainnya terjadi ketika Bandung menjadi
gemeente atau yang berarti kotamadya dan Bandung mulai digunakan sebagai kota peristirahatan orangorang Eropa (Tarigan et al., 2016). Banyak fasilitas dibangun layaknya kota modern. Sejak saat itu,
Bandung mengalami percepatan pembangunan hingga tahun 1970.
Perubahan yang terjadi di tahun berikutnya adalah pembangunan kantor pusat pemerintahan.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda menggunakan sebuah bangunan bekas toko buku Sumur Bandung
yang terletak di Jalan Asia Afrika dan kantor pemerintahan berada di lantai 2. Setelah beberapa lama,
kantor pusat kotamadya pindah ke kantor walikota saat ini. Wilayah kantor ini dianggap strategis. Dengan
memiliki gedung pusat pemerintahan yang cukup strategis dan bisa mewakili kemudian dilakukanlah
perencanaan untuk membangun berbagai fasilitas di Kota Bandung. Terlebih lagi saat salah satu Gubernur
Jendral Kolonial Belanda mewacanakan untuk memindahkan ibukota pemerintah kolonial Belanda dari
Batavia ke Bandung. Agar pembangunan kota Bandung berjalan dengan baik maka dibentuklah institusi
untuk menangani hal tsb dan terdiri dari dua pihak penting yaitu militer dan ahli pembangunan. Keduanya
terhimpun dalam Zeni, Departemen Pekerjaan Umum, dan Dinas Teknik Kotapraja.
Setelah terbentuknya tiga institusi yang menangani pembangunan kota Bandung sebagai ibukota
Hindia Belanda supaya rencana yang telah dipersiapkan sesuai maka awal abad ke 20 atau di tahun 1921
dibentuklah suatu badan yaitu Komisi Rencana Perluasan Wilayah Kotamadya Bandung. Tugas utamanya
adalah membuat ruang-ruang hijau berupa taman dan semuanya dibuat dengan perencanaan sehingga
bisa dianggap layak untuk menggantikan ibukota Batavia (Abendroth et al., 2012; Anwar & Hapsoro, 2019;
Permana & Wijaya, 2017; Tarigan et al., 2016). Pembentukan komisi ini dianggap sebagai langkah yang
sangat terencana dalam membangun kota Bandung. Salah satu pemimpin perencanaan kota Bandung
adalah Thomas Karsten dan ia memberi nama city planning dengan nama Plan Karsten (Abendroth et al.,
2012; Handinoto, 2000)
Salah satu Taman Makam Pahlawan di Indonesia adalah Taman Makam Pahlawan Cikutra dan
dibangun pada tahun 1958. Tujuan dari pembangunan taman makam ini adalah agar jasad para pejuang
tidak ‘tercecer’ di berbagai pemakaman. Dari permulaan hingga memasuki era kemerdekaan sudah
dimakamkan sekitan 4500 jasad pahlawan. Kemudian di tahun 2002 bertambah menhadi 4.657 makam.
Pencatatan hingga tahun 2018 terdapat 5.802 jasad para pahlawan yang dikubur disini. Kompleks
pemakaman ini memiliki 18 blok. Pemisahan ini diklasifikasikan berdasarkan keyakinan para pahlawan.
Mayoritas pahlawan yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra adalah muslim dan jumlahnya
mencapai 5.305 dan 475 pahlawan non-muslim. Terdapat tiga pahlawan nasional yang terkenal yaitu Dr.
Danudirja Setiabudi, Abdul Muis dan Prof. Dr. Moestopo. Selain dengan adanya pemakaman Ereveld yang
dikelola oleh Belanda, taman makam pahlawan juga di buat oleh pemerintah local tentunya untuk para
pahlawan yang merupakan pribumi. Meskipun tidak seindah makam Ereveld namun Taman Makam
Pahlawan Cikutra bisa menjadi sarana edukasi dan wisata untuk mempelajari perjuangan Indonesia
terutama perjuangan kaum pribumi melawan penjajah.
Bandung memiliki banyak pahlawan dan salah satunya adalah Husein Sastranegara dan untuk
menghormati jasanya dibuatlah dua buah patung yang berlokasi di gerbang masuk Bandara Husein
Sastranegara dan yang satunya di tempat lain yang tidak jauh dari lokasi tsb. Meskipun Husein
Sastranegara tidak lahir di Bandung namun ia memiliki kontribusi besar terhadap Indonesia. Dibalik
patungnya tersimpan pesan perjuangan untuk membuat basis Angkata Udara pertama di Indonesia.
Husein Sastranegara menempuh pendidikan dasar hingga menengah di luar Bandung namun ia
melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bandung yaitu di ITB. Berbagai macam promosi yang dilakukan
Belanda terhadap pengembangan kekuatan militer membuat Husein Sastranegara memutuskan untuk
berhenti melanjutkan studi nya di ITB dan ia memilih masuk ke sekolah angkatan udara. Karena sulitnya
sekolah tersebut hanya Husein Sastranegara dan kelima temannya yang lulus dari akademi angkatan
udara dan dari situlah Husein mendapatkan brevet atau lisensi sebagai penerbang dengan pesawat
bermesin tunggal. Itulah awal mula ia berkarir dan membangung institusi TNI Angkatan Udara khususnya
di pulau Jawa. Patung Husein Sastranegara merupakan suatu simbol perlawanan terhadap penjajah dan
satu langkah maju untuk tidak kalah dari teknologi yang dimiliki Belanda. Husein Sastranegara meninggal
dunia saat menerbangkan pesawat peninggalan Jepang. Ia terbang dari Bandung ke Yogyakarta dan jatuh
di Yogyakarta. Apa yang dilakukan Husein Sastranegara untuk memajukan penerbangan Indonesia dengan
mengorbankan dirinya untuk menerbangkan pesawat yang pernah dimiliki penjajah.
Narasi pascakolonialisme muncul setelah Belanda hengkang dari kota Bandung dan narasi ini
merupakan teori yang secara kritis mengungkap dampak negatif dari kolonialisme Belanda. Dampak buruk
berupa degradasi mental dengan berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda tidak menghapuskan
dampak negatif ini. Bahkan degradasi mental belum berakhir hingga era setelah kemerdekaan. Narasi
pascakolonialisme menjadi penting karena narasi ini menguliti sesuatu yang tersirat di dalam masalah.
Narasi pascakolonialisme membuat masyarakat sadar bahwa imperialism bukan hanya secara konkrit atau
fisik namun secara mental atau psikologis. Perlawanan terhadap penjajahan asing seperti melawan
orientalisme, rasialisme, liberalism dan bentuk penjajahan lainnya adalah tujuan utama dari narasi ini.
Terdapat beberapa konsep pascakolonialisme seperti hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Berangkat dari
narasi pascakolonialisme munculah berbagai pergerakan untuk menghapus dampak-dampak negative
dari zaman kolonialisme Belanda. Pergerakan yang berkembang pesat berasal dari pergerakan yang
bersifat agama terutama Islam. Beberapa pergerakan seperti Muhammadiyah, NU, Persis yang melawan
degradasi mental setelah penjajahan. Hal ini bisa dilihat dari insitusi-institusi pendidikan yang bersifat
keagamaan yang dibentuk oleh ketiga organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Dibalik megahnya gedung-gedung kolonialisme Belanda dimana pribumi tidak bisa memasuki
gedung-gedung tsb pada zaman itu karena orang Belanda sangat rasis. Hal ini pun bisa dibuktikan dengan
adanya aturan “pribumi dan anjing dilarang masuk”. Rasisme itu sendiri merupakan suatu alat dimana
suatu wilayah dikuasai dan memaksa serta menjajah pribumi agar tunduk kepada penajajah. Dalam salah
satu karya sastra ternama “Bumi Manusia” menunjukan bagaimana orang Belanda memperlakukan
pribumi (Ridwan dan Sofianto, 2019). Budaya Indis atau budaya dimana para lelaki Belanda yang sudah
atau pun belum memiliki istri datang ke Indonesia dan menikah dengan perempuan pribumi (Gultom,
2020). Istri yang dinikahi bukanlah dianggap sebagai istri sah melainkan istri simpanan, istri siri, atau yang
popular disebut dengan gundik. Dari perkawinan tsb lahir lah keturunan indo-Belanda dan ini pun
menghasilkan kasta baru. Dari berbagai peristiwa yang terjadi di Bandung dan daerah Priangan lainnya
menunjukan berbagai tindakan rasisme seperti memperbudak, mengeruk kekayaan alam, menyiksa,
menjajah. Sebagai pribumi tidak bisa menjadi tuan di tanah sendiri. Meskipun mengalami rasisme yang
berujung pada penderitaan dalam jangka panjang namun di Bandung ataupun di Indonesia tidak terdapat
suatu patung atau monument yang khusus memperingati rasisme terutama di era Kolonialisme.
Di Bandung terdapat berbagai monument besar layaknya monument di Amerika Serikat dan
diantaranya adalah Taman Maluku, Tugu Simpang Lima, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen
Perjuangan, Monumen Solidaritas Asia Afrika. Dari kelima monument tsb, tiga diantaranya dibangun oleh
Pemerintah Kota Bandung sedangkan dua lagi yaitu Taman Maluku dan Tugu Simpang Lima dibangun oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Taman Maluku adalah monument tertua diantara kelima monument.
Taman ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1919 sebagai ruang terbuka hijau dan
sebagai bagian dari pembangunan Kota Bandung dalam skala besar. Berikutnya Tugu Simpang Lima
dibangun pada tahun 1933 sejalan dengan dibangunnya simpang lima. Kemudian, Monumen Bandung
Lautan Api Monumen BLA dibangun pada tahun 1985 untuk memperingati peristiwa bersejarah BLA yang
terjadi ditahun 1946. Monumen BLA dirancang oleh Sunaryo yang merupakan mantan dosen Seni Rupa
ITB. Monumen terakhir yang dibangun di tahun 2015 yaitu Monumen Solidaritas Asia Afrika.
Pembangunan monument tidak selalu berjalan dengan mulus. Pemerintah Kota Bandung sempat
mengalami resesi akibat perang yang tidak ada habisnya dan bahkan saat itu pun pemerintah tidak
memiliki dana sama sekali untuk membangun patung dan monument. Perencanaan tata Kota Bandung
dan Gedung-gedung cantic disekitarnya merupakan pendanaan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pemkot
Bandung baru bisa mendanai pembangunan beberapa monument setelah tahun 1970an.
Jendral AH Nasution menjadi tokoh penting dalam peristiwa Bandung Lautan Api dan ia pun
yang mencetuskan ide untuk membakar Kota Bandung pada 24 Maret 1946. Teknik ini adalah suatu
teknik geriliya dan ia sempat berdiskusi dengan Jendral Sudirman hingga keduanya pun bahu membahu
dengan rencana BLA. Pada saat itu, militer Indonesia mendapat ultimatum untuk mengosongkan Kota
Bandung. Salah satu pesawat sekutu terbang diatas langit Kota Bandung dan menyebarkan pamflet berisi
peringatan. Tidak ada yang bisa diperbuat oleh Perdana Mentri Indonesia saat itu. Keinginannya
berlawanan dengan militer sehingga ia membiarkan militer untuk membakar Kota Bandung. Jendral AH
Nasution meminta bawahannya untuk mengakomodir warga Bandung untuk segera pergi dan ia pun
sudah mengatur beberapa titik di Kota Bandung yang akan dibakar. Warga Bandung pun membantu
militer dengan membakar rumah mereka dan hal ini membuat sekutu kewalahan. Bandung Lautan Api
kemudian menjadi peristiwa yang mengilhami banyak seniman Indonesia. Walaupun Jendral AH Nasution
berjasa bagi Kota Bandung tetapi tidak terdapat patung, monument atau bangunan khusus untuk
memperingati jasanya. Tetapi salah satu jalan di Kota Bandung mengabadikan namannya, Jalan AH
Nasution yang membentang sepanjang 8,5 km di daerah Bandung Timur dan diresmikan setelah
meninggalnya sang jendral di tahun 2003.
Narasi mengenai pelestarian gedung-gedung bersejarah yang ada di Kota Bandung sudah lama
ada dan dibicarakan oleh para pakar. Keberadaan gedung-gedung bersejarah di Kota Bandung merupakan
aset berharga yang menyimpan banyak informasi. Selain itu juga, memiliki nilai budaya dan dapat
digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan memperkaya sejarah Kota Bandung. Dalam
pengelolaanya, Pemkot Bandung mengalami kesulitan contoh perubahan fungsi bangunan, perubahan
desain bangunan, tidak adanya kebijakan yang sesuai untuk mengaturnya. Narasi dibuat oleh para pakar
dari ITB dan mereka mengusung suatu teknik yaitu sistem informasi geografis dan teknik ini dipercaya
dapat membantu manajemen aset bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung.
Sejak awal abad ke 19, upaya pelestarian bangunan bersejarah sudah dimulai. Pada tahun 1972
dilaksanakan kongres “The European Architectural Heritage” oleh orang-orang Eropa khususnya mereka
yang pernah menduduki negara jajahan dan dari kongres dihasilkan “Deklarasi Amsterdam”. Di dalamnya
dinyatakan bahwa semua warga Eropa bersepakat warisan arsitektur Eropa adalah milik masyarakat Eropa
dan menjadi bagian warisan budaya dunia. Upaya yang dilakukan pemkot Bandung belum lah maksimal
jika dibandingkan dengan langkah yang telah disepakati oleh orang-orang Eropa. Bentuk pelestarian bisa
dilihat dari keterlibatan salah satu yayasan yang berasal dari Belanda dan dipimpin oleh orang Belanda.
Yayasan ini bekerjasama dengan Pemkot Bandung tetapi mereka yang lebih dominan merawat dan
mengelolanya. Ereveld Pandu adalah salah satu bentuk pengelolaan bangunan bersejarah dengan
kerjasama yayasan Belanda dan Pemkot Bandung.
Kesimpulan
Pengkajian mengenai narasi berkelanjutan bisa membantu peran Public Relations dalam
mempromosikan program Pemkot Bandung. Meskipun Pemkot Bandung tidak memiliki dana yang bisa
mengakomodir semua pengelolaan objek wisata. Saat ini memang terdapat sarana untuk mendapatkan
informasi secara cepat seperti internet dan sosial media. Namun, public relations haruslah lincah
menyusun narasi dan memanggil awak media untuk menuliskan narasi tsb di koran-koran cetak ataupun
elektronik. Kemudian, realitanya masyarakat Bandung hampir tidak pernah melakukan protes terhadap
pembangungan Kota Bandung. Contoh pembangunan Taman Sejarah di pelataran kantor Walikota
Bandung dan proyek tersebut menelan biaya miliaran rupiah tetapi Taman Sejarah menjadi tujuan wisata
utama warga Bandung. Banyak keluarga yang membawa serta anak-anaknya untuk berekreasi di taman
ini. Tentunya realitas ini meringankan peran public relations Kota Bandung namun public relations
tetaplah ujung tombak dari semua program yang terkait dengan Pemkot Bandung.
Pembentukan retorika organisasi untuk mempromosikan wisata sejarah di Kota Bandung
ditentukan oleh public relations. Terdapat tiga bentuk retorika yaitu deliberatif, forensik, dan epideiktik.
Publik relations dapat menggunakan ketiganya atau memilih salah satunya saja dan biasanya untuk
mendukung promosi objek wisata sejarah digunakan retorika deiktik. Pada kenyataannya, para pejabat
lah yang akan mengeluarkan pernyataan terkait perkembangan atau pun pembukaan situs-situs
bersejarah di Kota Bandung akan tetapi public relations lah yang harus membuat kerangka retorika bagi
para pebajabat ini. Saat seorang pejabat Pemkot meresmikan suatu objek wisata, ia akan mengeluarkan
retorika epidektik. Walaupun bukan narasi yang panjang tetapi door stop yang dinyatakan oleh sang
pejabat kepada media akan sangat berpengaruh. Bentuk door stop yang sederhana membuat para
petinggi yang bukan ahli ilmu komunikasi mudah dalam memberikan pernyataan resmi dan door stop
menjadi begitu popular dikalangan petinggi pemerintahan.
Retorika epideiktik dan deliberatif digunakan untuk mengangkat, menurunkan, memindahkan
ataupun melindungi suatu patung dan monument. Mengambil contoh dari salah satu kota di Jawa Barat
yaitu Purwakarta dimana sang Bupati, Dedi Mulyadi, penganut Sunda Wiwitan, membangung patungpatung seperti Sri Baduga, Gatot Kaca, Kresna, dan juga tokoh seperti Muh. Hatta dan Sukarno.
Pembangunan patung tsb menimbulkan reaksi keras dari warga dan pemuka agama Islam di Purwakarta.
Dedi Mulyadi yang ingin membuat reprisentasi dari keyakinan Sunda Wiwitan nya dan ia pun
mengerahkan public relations untuk menggiring opini masyarakat Purwakarta. Jika dianalisa lebih jauh,
public relations berkerja keras karena Purwakarta adalah kota yang memiliki akar agama Islam yang kuat.
Dengan mengambil pelajaran ini, Pemkot Bandung lebih berhati-hati dalam membangun patung baru di
Kota Bandung. Sempat muncul salah satu patung, karya seniman Bali yang merupakan alumni FSRD ITB,
tetapi patung tsb diturunkan. Masyarakat Islam yang mendominasi Kota Bandung memiliki prinsip dan
keinginan yang sama seperti halnya muslim di Purwakarta. Agamis dan tidak ingin ada simbol-simbol yang
merusak kesucian agama.
Penelitian ini menunjukan bagaimana perjalanan Kota Bandung mulai menata kotanya hingga
menjaga aset-aset bersejarah dari masa Pemerintah Kolonial Belanda. Di zaman setelah kemerdekaan
Indonesia, Bandung pun tak luput dari sasaran perang dan perang yang terus menerus mengakibatkan
pemerintah Kota Bandung tidak memiliki dana untuk pembangunan patung atau pun monument.
Pembangunan awal kota Bandung di taun 1800an hingga 1920an berasal dari Pemerintah Kolonial
Belanda. Banyak gedung-gedung yang bernilai sejarah namun Pemkot Bandung pun masih memiliki
kendala untuk melestarikannya dikarenakan pelestarian gedung bersejarah menyedot dana yang cukup
besar. Dengan kondisi seperti ini, orang-orang Eropa yang dahulunya pernah tinggal di Bandung, mereka
berinisatif untuk melestarikan gedung-gedung yang pernah mereka singgahi melalui “Deklarasi
Amsterdam”. Dalam deklarasi Amsterdam dinyatakan bahwa orang Eropa turut berpartisipasi
melestarikan gedung peninggalan Eropa khusus nya di Kota Bandung. Peran Public Relations juga tak luput
dari penelitian ini, mengingat Public Relations yang memiliki power untuk mempromosikan situs-situs
bersejarah di Kota Bandung kepada awak media.
Daftar Pustaka
Abendroth, S., Kowarik, I., Müller, N., & Von der Lippe, M. (2012). The green colonial heritage: Woody
plants in parks of Bandung, Indonesia. Landscape and Urban Planning, 106(1), 12–22.
https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2011.12.006
Alberico, J., & Loisa, R. (2019). Retorika Deliberatif Selebgram dalam Memotivasi Audiens Melalui Media
Sosial (Konten “Level Up” di Akun Instagram Benakribo). Koneksi, 3(1), 236.
https://doi.org/10.24912/kn.v3i1.6215
Anwar, H., & Hapsoro, N. A. (2019). Facade Identification of colonial buildings in the city of Bandung.
2019(6), 1–4.
Astuti, D. R. (2018). The Image of Sundanese Culture City: The Phenomenological Study on Public
Relations of Local Government in Purwakarta District. 260(Icomacs), 267–270.
https://doi.org/10.2991/icomacs-18.2018.65
Budiana, H. R., Sjoraida, D. F., Mariana, D., & Priyatna, C. C. (2016). The Use of Social Media by Bandung
City Government in Increasing Public Participation. International Conference on Communication,
Culture and Media Studies (CCCMS, 1, 63–70.
http://jurnal.uii.ac.id/CCCMS/article/view/7123/6345
Chatamallah, M. (2008). Strategi “Public Relations” dalam Promosi Pariwisata: Studi Kasus dengan
Pendekatan “Marketing Public Relations” di Provinsi Banten. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(2),
393–402. https://doi.org/10.29313/mediator.v9i2.1120
Cobban, J. L. (1992). Exporting planning: The work of Thomas Karsten in colonial Indonesia. Planning
Perspectives, 7(3), 329–344. https://doi.org/10.1080/02665439208725753
Dela Santa, E., & Tiatco, S. A. (2019). Tourism, heritage and cultural performance: Developing a modality
of heritage tourism. Tourism Management Perspectives, 31(May), 301–309.
https://doi.org/10.1016/j.tmp.2019.06.001
Erikha, F., Shomami, A., & Ridmar, Z. O. W. (2017). Dari Sabang sampai Merauke: Pendokumentasian
toponimi di Indonesia melalui lagu- lagu populer. Prosiding Seminar Nasional Toponimi Toponimi
Dalam Perspektif Ilmu Budaya, October, 109–121. https://linguistik.fib.ui.ac.id/wpcontent/uploads/sites/46/2017/05/8.-Fajar-Erikha.pdf
Falah, M., Yuniadi, A., & Adyawardhina, R. (2019). Pergeseran Makna Filosofis Alun-Alun Kota Bandung
Pada Abad Xix – Abad Xxi. Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 11(2), 203.
https://doi.org/10.30959/patanjala.v11i2.507
Firmansyah, Soeriaatmadja, A. R., & Wulanningsih, R. (2018). A set of sustainable urban landscape
indicators and parameters to evaluate urban green open space in Bandung City. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science, 179(1). https://doi.org/10.1088/17551315/179/1/012016
Handinoto. (2000). Kebijakan Politik Dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda Yang Berpengaruh Pada
Morpologi ( Bentuk Dan Struktur) Beberapa Kota Di Jawa. Dimensi, 1825–1830.
Journal, U. L. A. W., & Ramadhan, A. (2015). Model Zonanisasi Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota
Bandung (Prespektif Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan Dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima). Unnes Law Journal, 4(1), 56–65.
https://doi.org/10.15294/ulj.v4i1.7271
Karima, E. M. (2017). Kehidupan Nyai Dan Pergundikan Di Jawa Barat Tahun 1900-1942. Diakronika,
17(1), 1. https://doi.org/10.24036/diakronika/vol17-iss1/12
Kustiwan, I., Ukrin, I., & Aulia, A. (2015). Identification of the Creative Capacity of Kampong’s Community
towards Sustainable Kampong (Case Studies: Cicadas and Pasundan Kampong, Bandung): A
Preliminary Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184(August 2014), 144–151.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.074
Lim, M., & Padawangi, R. (2008). Contesting alun-alun: Power relations, identities and the production of
urban space in Bandung, Indonesia. International Development Planning Review, 30(3), 307–326.
https://doi.org/10.3828/idpr.30.3.7
Maxim, C. (2019). Challenges faced by world tourism cities–London’s perspective. Current Issues in
Tourism, 22(9), 1006–1024. https://doi.org/10.1080/13683500.2017.1347609
Mayangsari, L., & Novani, S. (2015). Multi-stakeholder co-creation Analysis in Smart city Management:
An Experience from Bandung, Indonesia. Procedia Manufacturing, 4(Iess), 315–321.
https://doi.org/10.1016/j.promfg.2015.11.046
Narulita, S., Zain, A. F. M., & Prasetyo, L. B. (2016). Geographic Information System (GIS) Application on
Urban Forest Development in Bandung City. Procedia Environmental Sciences, 33, 279–289.
https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.079
Park, H. yu. (2010). HERITAGE TOURISM. Emotional Journeys into Nationhood. Annals of Tourism
Research, 37(1), 116–135. https://doi.org/10.1016/j.annals.2009.08.001
Patta, J., Hanifah, W., Planning, P., Development, P., & Planning, R. (2018). Bandung City Performance in
Different Eras : Did Urban Leadership Matter ? 1.
Permana, A. Y., & Wijaya, K. (2017). IOP Conference Series : Earth and Environmental Science Spatial
change transformation of educational areas in Bandung.
Prasetyo, F. A. (2020). Bandung dan Pemaknaan Dago dalam Sejarah: Masa Lalu, Masa Kini. Lembaran
Sejarah, 15(1), 64. https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.59525
Pratama, F. (2015). Dwi Fungsi Kota Bandung Sebagai Pusat Pemerintahan Sipil Dan Kemiliteran Hindia-.
1–13.
Pribadi, Y. (2018). Identity contested: Cultural resilience in the midst of Islamization of politics. AlJami’ah, 56(2), 255–280. https://doi.org/10.14421/ajis.2018.562.255-280
Retnasary, M., Setiawati, S. D., Fitriawati, D., & Anggara, R. (2019). Pengelolaan Media Sosial Sebagai
Strategi Digital Marketing Pariwisata. Jurnal Kajian Pariwisata, 1(1), 76–83.
Rusnandar, N. (2010). Sejarah Kota Bandung Dari ”Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung ”Heurin Ku
Tangtung” (Metropolitan). Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 2(2), 273.
https://doi.org/10.30959/patanjala.v2i2.219
Seijas, A., & Gelders, M. M. (2021). Governing the night-time city: The rise of night mayors as a new
form of urban governance after dark. Urban Studies, 58(2), 316–334.
https://doi.org/10.1177/0042098019895224
Soemardi, A. R., & Radjawali, I. (2004). Creative culture and Urban Planning : The Bandung experience.
May, 1–14.
Tamimi, N., Fatimah, I. S., & Hadi, A. A. (2020). Identification of Conditions and Distribution of Colonial
Buildings in Bandung City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 501(1), 0–9.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/501/1/012006
Tarigan, A. K. M., Sagala, S., Samsura, D. A. A., Fiisabiilillah, D. F., Simarmata, H. A., & Nababan, M.
(2016). Bandung City, Indonesia. Cities, 50, 100–110. https://doi.org/10.1016/j.cities.2015.09.005
Widodo, J. (n.d.). Conflicts, Contestations, and Dominations of the City-The Story of ColonizationDecolonization of Bandung (Indonesia).
Widyaevan, D. A. (2015). The Change of Public Perception towards Alun-Alun Bandung as a City Center.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184(August 2014), 135–143.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.072
Yasmira, A. (2019). Analisis Morfologi Ruang Kota Bandung Studi Kasus: Kawasan Perumahan CipagantiBandung Utara. Jurnal Arsitekno, 3(3), 11. https://doi.org/10.29103/arj.v3i3.1212
Download