Kritik Retorika Epideiktik Walikota Bandung dalam mereprsentasikan Heritage Tourism di Kota Bandung Abstrak Teori Public Relations merujuk pada strategi proses, termasuk strategi retorika yang memungkinkan pemahaman kritis bagaimana masyarakat berkembang, mengajarkan, dan menggunakan teks dalam kasus ini, wilayah dan heritage tourism, untuk membuat narasi berkelanjutan berdasarkan penilaian moral. Bahwa alasan paradigma yang ada dalam narasi dapat diberlakukan kontinu yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan untuk memandu wacana dan tindakan terkoordinasi secara kultural. Bagaimana wilayah dan bangunan heritage menjadi penting untuk keputusan bersama yang bisa ditunjukan dalam praktik Public Relations di Jawa Barat: saat penjajahan hingga saat ini. Untuk mengembangkan hal tersebut dalam jurnal ini dipaparkan bagaimana wilayah dan bangunan bersejarah sebagai sumber tekstual yang mengikat waktu dan moralisasi perilaku melalui narasi yang disajikan oleh para Walikota di Bandung periode setelah kemerdekaan (1998-2021). Sebagai sesuatu yang bersimpangan dengan teori naratif, retorika epideiktik menghukum tindakan kewarganegaraan yang mencerminkan dan menegaskan prilaku moral. Retorika demikian menggunakan standar moral untuk menilai prilaku, dan mendorong prilaku sebagai sesuatu yang layak dipuji seperti memberikan contoh standar moral. Jika standar berubah, tindakan yang dahulunya disanjung bisa menjadi kutukan dan tidak layak untuk dipuji. Menggunakan persimpangan narasi epideiktik, dua era akan diperiksa untuk menunjukan isu persimpangan terkait wilayah dan baguan heritage yang ada di kota Bandung : 1) Periode Kolonialisme dan 2) Pasca Kemerdekaan untuk mencari akar sejarah dan upaya pelestarian Heritage Tourism di kota Bandung. Keyword: retorika epideiktik, heritage tourism, kolonialisme, public relations, pasca kolonialisme Pendahuluan Narasi berkelanjutan sangatlah bermanfaat untuk mengembangkan heritage tourism di Kota Bandung (Dela Santa & Tiatco, 2019). Hal ini dikarenakan sejak era kolonialisme Belanda, Bandung akan dijadikan ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia (Yasmira, 2019). Alasan lainnya adalah Bandung memiliki suasana yang sejuk dan indah serta memiliki beberapa infrastruktur yang lengkap. Di tahun 1920, Bandung memiliki stasiun kereta api dan Bandara Andir (Bandara Husein Sastranegara) dan kedua mode transportasi dapat membawa penumpangnya bepergian ke Batavia dalam waktu 30 hingga 45 menit. Dengan munculnya wacana pemindahan ibukota maka Bandung dibangun dengan perencanaan yang begitu terukur oleh pemerintah Kolonial Belanda (Yasmira, 2019). Blue print pembangunan ini dibuat oleh Thomas Karsten yang menghasilkan rancangan bernama Plan Karsten. Lalu, beberapa pembangunan gedung-gedung artistic dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui seorang arsitek ternama Schoemacher. Ia setidaknya sudah merancang 20 bangunan artistic di kota Bandung. Semua bangunan artistic dibangun di wilayah Bandung Utara dan perbatasannya dengan Bandung Selatan. Hingga kini bangunan tsb masih berdiri tegak di Kota Bandung dan sangat penting bagi para pemimpin kota Bandung untuk melestarikan gedung peninggalana kolonial Belanda sebagai Heritage Tourism. Megahnya heritage tourism di Kota Bandung dan kota-kota lainnya tidak lepas dari jasa Thomas Kartsen. Ia adalah ahli planologi untuk pemerintah Kolonial Belanda yang membuat blue print untuk pembangunan tata kota di berbagai wilayah di Indonesian seperti Batavia, Bandung, Bogor, Malang, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan, dan Banjarmasin. Dalam membangun suatu kota, ahli planologi dan arsitektuk melakukan kerja tim dan diantara tim tsb adalah Schoemaker, Henricus Maclaine Pont, Lauwrens Ghijsels, W. Lemei serta insinyur lainnya yang merupakan arsitek berkebangsaan Belanda. Bandung merupakan salah satu kota dengan rancangan terbaik dan memiliki gedung-gedung bersejarah yang harus dilestarikan. Salah satu bangunan penting di kota Bandung yang masih terpelihara dengan baik adalah ITB dimana gedung dibangun oleh salah satu rekan kerja Kartsen, Henri Maclaine Pont. Bangunan ITB dikenal dengan gaya indish atau perpaduan gaya barat dan Indonesia. Gaya indish ini menjadi inspirasi utama Karsten dalam membangun bangunan peninggalan kolonial Belanda terutama di Bandung (Cobban, 1992). Dalam pembentukan narasi berkelanjutan, Bandung di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang saling terhubung. Narasi berkelanjutan sangat terkait erat dengan norma sosial, kultural, dan moral dan beberapa tempat ada di Bandung memiliki sejarah atau asal usul yang memuat ketiga norma tsb atau salah satunya (Park, 2010). Membuka salah satu kawasan wisata agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Bandung perlu peran public relations agar paham bahwa dibukanya suatu tempat wisata bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok atau sekelompok orang yang hanya berorientasi pada keuntungan. Proses ini pun tidak akan berlangsung dengan baik tanpa adanya peran penting public relations. Dengan demikian, fungsi utama public relations adalah sebagai pemberi edukasi khususnya kepada masyarakat Bandung. Public relations Kota Bandung menyimpan banyak informasi penting di websitenya terutama informasi yang berkaitan dengan sejarah Kota Bandung. Informasi ini bisa digunakan untuk tour seperti halnya museum tour atau pun tempat-tempat bersejarah lainnya. Saat ini membuat virtual tour menjadi popular dikarenakan pandemic covid 19 dimana para wisatawan tidak bisa berkunjung secara langsung. Di beberapa negara di Eropa sudah menerapkan virtual tour sebagai alternatif dari city tour dan hal ini pun bisa diterapkan di Indonesia terutama di Kota Bandung. Hanya saja pemkot Bandung memerlukan persiapan yang matang dan juga pendanaan. Mengingat suatu heritage tourism tidak hanya dijelajahi secara historis namun harus memperhatikan tampilan bagaimana video atau virtual tour tsb dibuat semenarik mungkin. Dengan dibuatnya storytelling mengenai tempat-tempat unik dan bersejarah di Bandung diharapkan tidak hanya warga Bandung saja yang berkunjung ke sana tetapi juga warga di luar kota Bandung. Storytelling saja bisa membuat suatu barang yang bahkan tidak bernilai sama sekali menjadi bernilai berkali-kali lipat setelah disatukan dengan sebuah cerita. Ini pun sesuatu hal yang bisa terjadi dengan promosi tempat wisata yang disertai dengan storytelling. Bisa dilihat bagaimana London sebagai kota wisata terbaik di dunia dan sector wisata nya menjadi gerbang utama dan berdampak positif terutama dalam hal perekonomian (Maxim, 2019). Salah satu cara promosi adalah dengan penggunaan storytelling terutama untuk mempromosikan heritage tourism. Walikota London, Sadiq Khan, mengeluarkan beberapa booklet pariwisata yang bisa diunduh secara online. Sang walikota bercerita mengenai sebuah proyek baru yaitu kawasan budaya dan pendidikan di Queen Elizabeth Olympic Park. Warga London harus mengunjungi objek wisata yang baru dibangun ini. Ia juga bernarasi mengenai rencana besar nya yaitu London Plan Set. Meskipun London dipimpin oleh walikota muslim namun ia harus membuat aturan yang juga memelihara dan melestarikan wisata kehidupan malam di London atau yang lebih dikenal dengan night czar (Seijas & Gelders, 2021). Pemkot Bandung bisa mempertimbangkan apa yang dilakukan oleh Shadiq Khan tentunya demografi harus diperhatikan dan jangan sampai sebuah kebijakan dikeluarkan lalu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat Bandung. Selain menyebarkan informasi ke situs travel atau travel blog local, publikasi berupa booklet bisa ditiru oleh Pemkot Bandung. Tempat-tempat menarik dan bersejarah dikelola dengan baik oleh Pemkot Bandung melalui Public Relation nya (Patta et al., 2018). Public relations Pemkot Bandung cukup gencar mempromosikan heritage tourism hingga banyak vlog dan para travel blogger mengakses informasi ini. Informasi yang dikelola dengan baik akan sangat penting mengingat wisatawan dari luar kota Bandung akan menghabiskan uangnya untuk bisa datang ke tempat-tempat menarik dan juga berbelanja berbagai macam barang yang tidak ada di kotanya (Retnasary et al., 2019). Seperti halnya yang dijelaskan oleh Chatamallah (2008)agar tidak terjadi tumpang tindih mengenai informasi wisata maka Dinas Pariwisata harus melakukan suatu strategi yang bernama marketing public relations. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan seluruh objek wisata kepada seluruh lapisan masyarakat. Lalu Chatamallah pun menyatakan bahwa strategi ini sangat terkait erat dengan fungsi public relations salah satu strateginya adalah kemampuan untuk mengajak dan menggiring opini public yang menguntungkan bagi pemerintah serta mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat. Narasi berkelanjutan yang dibuat oleh public relations dapat menghubungkan antara lokasi wisata sejarah yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah kota Bandung. Sebelum era kemerdekaan, pemerintah Kolonial Belanda membuat banyak peninggalan yang begitu jelas dan mencolok. Pembagian Bandung Utara dan Selatan adalah buktinya. Kawasan Bandung Utara yang dahulunya menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda serta menjadi tempat bermukin bagi orangorang Eropa saat itu. Bahkan Muhammad Natsir dan Presiden Sukarno pernah menetap di kawasan Bandung Selatan karena status mereka sebagai warga pribumi. Meskipun demikian, kedua tokoh berpengaruh masih bisa mengenyam pendidikan di ITB yang merupakan bagian dari kawasan Bandung Utara. Kawasan Alun-alun adalah kawasan perbatasan antara Bandung Utara dan Bandung Selatan. Beberapa peninggalan seperti Pendopo, Masjid Agung, Bioskop dan gedung-gedung lainnya dibuat di daerah tsb untuk menandai batas antara kekuasaan Belanda dan tempat tinggal pribumi. Menurut Falah, Yuniadi, Adyawardhina (2019) Alun-alun pun disebut sebagai perbatasan daerah sakral (pendopo) dan wilayah profane (perkampungan). Kemudian, berkaitan dengan heritage tourism yang ada di Bandung, di era setelah kemerdekaan terutama saat Ridwan Kamil menjabat sebagai Walikota Bandung (2013-2018). Situs bersejarah yang sudah ada seperti Gedung Merdeka tidak mengalami perubahan hanya saja gedung ini digunakan untuk Konferensi Asia Afrika dari awal mula hingga terakhir di tahun 2015. Para wisatawan bisa masuk ke dalamnya serta penjelasan mengenai situs ini dijelaskan oleh tour guide. Namun, jumlah tour guide yang terbatas menjadikan para wisatawan tidak begitu memahami informasi sejarah. Selain itu, banyak terjadi perubahan terutama taman-taman yang ada di kota Bandung juga situs legendaris lainnya seperti kolam renang The Centrum, kawasan Braga, serta kawasan Alun-alun. Dalam narasi berkelanjutan, public Relations yang merupakan suatu sistem yang menghubungkan wisatawan dan pemilik wisata. Selain itu, public Relations menguasai ilmu retorika yang berasal dari para pakar retorika Yunani Kuno seperti Aristoteles dan Isokrates. Dengan demikian, retorika yang dibuat oleh public relations mempengaruhi wisatawan dan mereka pun akan ketergantungan dengan berbagai informasi yang disampaikan. Pekerjaan ini bukanlah hal mudah mengingat public relations harus menggunakan segala ilmu komunikasi yang dimiliknya agar bisa mewujudkan kepentingan lembaga yang membawahinya. Tiga bentuk retorika yaitu deliberatif, forensik, dan epideiktik dapat digunakan oleh Public Relations untuk membentuk citra positif wilayah wisata kota Bandung. Alberico dan Loisa (2019) menjelaskan tiga bentuk retorika. Pertama, retorika deliberatif adalah audience dipengaruhi oleh wacana yang dibuat oleh pembicara agar melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Kedua, retorika forensik adalah perasaan bersalah atau tidak yang muncul dari hati para audience akibat dari dorongan si pembicara. Terakhir, retorika epideiktik adalah pujian atau tuduhan yang terkandung dalam suatu wacana. Dari ketiga jenis retorika yang dipakai oleh public relations Pemkot Bandung adalah retorika epideiktik karena di salah satu sumber informasi seperti website dan sosial media menampilkan hal-hal baik berupa manfaat atau pujian terhadap promosi heritage tourism di Kota Bandung. Dalam penelitian ini daimbil periode 1998-2021 dengan pertimbangan masa berakhirnya pemilihan walikota yang dilakukan dengan voting oleh ketua dan anggota DPRD menjadi pemilihan langsung. Kajian Pustaka Peran PR sebagai pembuat retorika dalam narasi berkelanjutan Public relations memiliki peran vital dalam membangun citra positif sebuah institusi. Berhubungan dengan perkembangan dan perubahan situs bersejarah dan situs-situs menarik lainnya, peran public relations harus menjadi yang terdepan. Berkaitan dengan wacana ini, pemerintah kota Bandung memiliki program “Smart City” yang identik dengan perubahan dan perkembangan teknologi yang semakin canggih (Mayangsari & Novani, 2015). Bisa dikatakan bahwa semua informasi berputar di internet dan media sosial. Meskipun sudah ada teknologi canggih, public relations tetap menjadi ujung tombak dalam membangun narasi berkelanjutan. Pembaharuan seperti dibangun nya taman-taman di era Ridwan Kamil (2013-2018), tidak mengalami resistensi dari warga Bandung, justru warga Bandung sangat antusias dengan perubahan ini dan mereka pun secara tidak langsung mempromosikan tempat wisata kota Bandung di beberapa platform media sosial yang terkenal sehingga membuat wisatawan luar Bandung tertarik untuk berkunjung. Dengan keadaan demikian, public relation tidak dibebani tugas berat untuk membuat sebuah narasi yang menggiring warga Bandung agar pro dengan keputusan pemerintah kota. Kasus di Amerika Serikat mengenai penempatan patung dan monument di beberapa negara bagiannya menimbulkan banyak kontroversi. Selain karena jumlahnya yang mencapai ribuan dan perubahan nilai-nilai di masyarakat AS pun berubah dari abad ke abad sehingga public relations harus berusaha keras menggiring masyarakat AS agar setuju dengan keputusan pemerintahnya. Bila dibandingkan dengan kota Bandung, contohnya pembangunan Wisata Edukasi seperti Taman Sejarah yang dibangun di dekat pelataran kantor Walikota Bandung tidak mengalami penolakan dari warga Bandung. Walaupun pembangunan taman ini menghabiskan dana sekitar 3,5 miliar namun tidak ada warga Bandung yang menggugat apa yang dilakukan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil (2013-2018). Begitupun dengan pembangunan Musium Inohong atau Hall of Fame dan di dalam museum itu pun memperkenalkan para tokoh berpengaruh di Kota Bandung dan saat Musium ini diumumkan di koran online dan media sosial, warga Bandung pun antusias ingin menyaksikan pembukaannya dan melihat serta berfoto di dalam museum tsb. Seperti yang dikatakan oleh Firmansyah dkk (2018) pembangunan ruang terbuka hijau seperti taman bukan hanya satu tempat saja tetapi di beberapa tempat dan tidak ada penolakan dan kerja public relation tidak seberat yang dilakukan public relation di AS. Namun jika dilhat kembali pada sejarah kota Bandung saat diduduki oleh Belanda, mereka sangat rasis dan bahkan mengeluarkan sebuah kebijakan dimana Jalan Raya Pos atau jalan disekitar Alun-alun kota Bandung dilarang dilewati oleh kaum pribumi. Hal ini juga memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Amerika di abad ke 18 M hingga 19 M dimana ras kulit putih merasa lebih unggul dan ras kulit hitam adalah masyarakat kelas bawah. Bahkan rasisme di zaman penjajahan Belanda terjadi di tempat hiburan seperti sebuah bioskop terdapat poster yang bertuliskan “pribumi dan anjing dilarang masuk”(Karima, 2017). Selain itu, di Bandung terdapat dua pemerintahan, bagian kota mengatur segala urusan orang Belanda dan Eropa kemudian kabupaten yang dipimpin oleh Bupati hanya mengurusi masalah kaum pribumi (Prasetyo, 2020). Pemerintah Kolonial Belanda yang tentunya memiliki public relation berhasil untuk menegakan aturan yang hanya dikhususkan oleh orang Belanda dan Eropa. Selain itu juga terhadap pencitraan wilayah Utara dan Selatan dimana wilayah Selatan sangat identik dengan kemiskinan, kotor, kumuh, jorok dan itu merupakan stereotype orang-orang pribumi. Citra dan pembagian kelas sosial seperti ini diterapkan pemerintah Kolonial Belanda selama berkuasa di kota Bandung. Semua hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda saat itu tidak lepas dari peran public relation serta narasi dan retorikannya. Dalam menyusun suatu narasi atau retorika bisa dibuat kedalam dua jenis yaitu secara monolog dan dialog. Melihat kembali bagaimana Kota Bandung berkembang terutama di masa pendudukan Belanda. Hampir semua kebijakan yang dibuat disampaikan secara monolog dikarenakan pada masa itu pribumi tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan banyak yang buta huruf hanya segelintir orang saja yang mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini berarti bahwa kebijakan apa pun yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda diterima begitu saja oleh warga Bandung saat itu tanpa perlawanan. Ini pun dibuktikan dengan eksistensi beberapa instansi penting seperti sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, pusat perbelanjaan dan hiburan dan lainnya yang semuanya terletak di Bandung Utara. Warga pribumi Bandung seolah tidak pernah protes dengan semua ketimpangan tsb. Meskipun terdapat beberapa pribumi yang saat itu berdomisili di wilayah Bandung Utara namun nasib mereka tidak jauh berbeda dengan pribumi di Bandung Selatan. Mereka hanya dijadikan warga kelas bawah. Berbeda di zaman sekarang ini dimana segala sesuatu dibuat dengan format digital dan begitu pula dengan public relations di kota Bandung. Dapat dianalisis retorika yang terjadi antara public relations dan masyarakat bisa berupa monolog dan dialog. Bentuk secara monolog yaitu dengan berupa akses informasi berupa website dan blog. Public relations Kota Bandung memiliki web tersendiri untuk mempromosikan objek wisata kota Bandung dan setiap artikel yang diposting oleh public relations Kota Bandung dapat dibagikan ke media sosial. Di kanal Youtube public relations Bandung direkam bagaimana Walikota Bandung saat ini, Oded M Danial, membenahi kota Bandung agar semakin nyaman seperti penataan PKL Cicadas, pembangunan kolam-kolam untuk mencegah banjir, program kebersihan Kang Pisman dan Bank Sampah, dan lainnya. Setiap walikota punya program tersendiri dan walikota saat ini tidak terlalu fokus dengan pemberdayaan situs-situs bersejarah. Masyarakat Bandung maupun luar Bandung bisa memberikan komentarnya di media sosial public relations Kota Bandung ataupun di sosial media milik Walikota Bandung saat ini (Budiana, H. R., Sjoraida, D. F., Mariana, D., & Priyatna, 2016). Bisa terjadi interaksi antara pemerintah dan masyarakat tanpa harus membuat surat pembaca atau surat resmi lainnya. Kehadiran website dan sosial media milik public relations Kota Bandung menjadi sumber referensi pendukung bagi para travel blogger atau pun vlogger. Pemkot punya otoritas tertinggi atas kehumasan yang terkait dengan Kota Bandung oleh karena itu persebaran informasi merata di semua media. Pada praktiknya retorika itu akan disampaikan oleh para petinggi seperti Walikota atau Ketua Dinas namun untuk proses penyusunan narasi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari public relations. Seperti kebanyakan acara pada umumnya setiap objek wisata yang baru saja dibuka di kota Bandung pastinya akan ada acara seremonial atau peresmian yang biasanya dilakukan oleh Walikota. Salah satu bentuk retotika epideiktik yang dilakukan dalam seremonial ini adalah door stop atau pernyataan yang dibuat saat seorang pejabat usai meresmikan sebuah program. Dalam proses door stop biasanya para wartawan yang datang ke acara tsb akan mewawancarai Walikota atau pejabat terkait. Retorika epidektik ini terutama door stop menjadi sesuatu yang lumrah bagi pejabat di Kota Bandung untuk meresmikan suatu tempat atau program. Bagi warga Bandung hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat hiburan dan menyenangkan tidak perlu membuat retorika yang rumit. Kawasan PKL Cicadas adalah fokus pemerintah saat ini dimana sebelum ada pengaturan jongko baru bagi para PKL, kawasan ini terlihat sangat kumuh. Walikota Bandung, Oded M Danial, melakukan penataan atau renovasi kawasan ini (Kustiwan et al., 2015). Dari beberapa periode kepemimpinan Walikota Bandung, baru dikepemimpinan Oded M Danial kawasan ini direnovasi. Cukup sulit untuk mengarahkan para PKL untuk pindah ke tempat lain. Selain kawasan yang kumuh, para PKL ini juga sudah menutup jalan toko-toko disekitarnya dan juga sulit dilalui oleh pejalan kaki (Journal & Ramadhan, 2015). Dalam melakukan renovasi ini, tentunya pihak pemkot Bandung butuh narasi yang bisa meyakinkan para PKL di Cicadas. Dalam retorika Isokrates, perlunya membangun suatu narasi berkelanjutan yang menggabungkan analisis persepsi, prilaku, dan kepentingan pemerintah. Hal ini baru setengah jalan dilaksanakan oleh Oded M Danial dan ia berusaha agar tempat tsb dikosongkan karena menurut hukum PKL Cicadas tetaplah illegal keberadaanya. Tentunya, Oded, perlu bantuan public relations nya untuk membuat narasi agar para pedagang ini menjadi tertib dan menempati tempat baru yang lebih layak. Berkaitan dengan penataan PKL Cicadas yang jika ditelusuri keberadaanya, para PKL ini sudah ada sejak Pemerintah Kolonial Belanda. Daerah Cicadas ini dahulunya ingin dibuat seperti Kawasan Braga agar Kawasan Braga tidak mencolok dan ekstrim. Namun rencana itu tidak berjalan dengan baik, saat transportasi umum dibuka untuk mengakses kawasan ini yang terjadi hanyalah penumpukan pedagang yang akhirnya menjadi PKL Cicadas. Saat ini, pada dasarnya warga Bandung terutama yang tinggal tidak jauh dari Cicadas ingin pemerintah menata kawasan tsb. Di beberapa periode Walikota pun sudah dibuat wacana untuk penataan dan baru terlaksana di era kepemimpinan Oded M Danial. Untuk mencapai tujuan tsb, pemerintah harus turun tangan meraih simpatik ketua paguyuban PKL Cicadas serta melakukan suatu narasi yang membuat para stakeholder PKL Cicadas setuju dengan keputusan Pemkot. Hingga rampungnya program ini, setidaknya pekerjaan Humas Kota Bandung setengahnya berkurang dan mereka harus memikirkan narasi berkelanjutan untuk relokasi para PKL. Penataan PKL Cicadas sebelum diwujudkan dan dilaksanakan oleh Walikota Oded M Danial, wacana ini sempat mengemuka di era Walikota AA Tarmana. Namun, AA Tarmana hanya membuat retorika deliberatif agar dirinya bisa kembali menjabat sebagai Walikota Bandung. Disaat kampanye, banyak banner yang terpasang untuk mendukung kembali pencalonan AA Tarmana sebagai Walikota Bandung. Namun ternyata masyarakat disaat itu melihat kinerja AA Tarmana kurang bagus dan warga Cicadas pun merasa tidak memberikan dukungan atas pencalonannya. Cukup terlihat bagaimana pemerintah saat itu melakukan retorika deliberatif yang dilakukan oleh Walikota Petahana. Di kala itu, AA Tarmana tidak berhasil dan jabatan Walikota Bandung diduduki oleh Dada Rosada. Walikota ini pun juga melakukan retorika deliberatif saat berencana membangun PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang dianggap sebagai pembangkit listrik bertenaga pembakaran sampah yang lebih murah dan efisien. Proyek tsb digembar-gemborkan di media cetak namun hingga Dada Rosada tidak lagi menjabat sebagai Walikota Bandung proyek tsb sama sekali tidak terlaksana. Retorika deliberatif tidak hanya dilakukan oleh Walikota Bandung sebelumnya tetapi juga dipakai oleh Ridwan Kamil dengan segudang rencana pembangunan kota Bandung yang tersebar di berbagai platform sosial media. Ridwan Kamil dengan segala rencana dan janjinya mampu mewujudkan dan melaksakannya hingga ia dipercaya tidak hanya oleh warga Bandung tetapi juga warga Jawa Barat dan naiklah ia menjadi Gubernur Jawa Barat. Dalam sejarahnya orang Yunani Kuno sudah mengenal pencitraan atau retorika epideiktik agar keputusan bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Mereka pun mengetahui bagaimana menggabungkan nilai-nilai yang ada di masyarakat dengan tokoh penting yang dianggap suci oleh masyarakat serta menjadikannya sebagai suatu retorika epideiktik. Hal demikian terjadi di salah satu kota yang merupakan bagian dari Jawa Barat yaitu Purwakarta. Dengan dipimpin oleh Bupati yang memiliki latar belakang Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan, Dedi Mulyadi, membuat beberapa patung yang dianggap merepresentasikan Sunda Wiwitan (Pribadi, 2018). Contonya pembangunan patung Sri Baduga, Gatot Kaca dan Kresna dan patung-patung tsb dianggap merepresentasikan sejarah Sunda. Seperti hal nya kota Bandung, kota Purwakarta pun dikenal sebagai kota yang agamis. Apa yang terjadi di Purwakarta mirip dengan pendirian patung dan monument di beberapa Negara Bagian Amerika Serikat. Banyak menimbulkan kontroversi. Dedi Mulyadi sudah mengerahkan public relations Purwakarta untuk membujuk warganya atas pembangunan patung-patung di wilayah Purwakarta (Astuti, 2018). Akan tetapi warga Purwakarta menolak dengan keras. Bahkan patung Gatot Kaca, Kresna, dan patung Selamat Datang pun diruntuhkan oleh warga dan organisasi yang berbasis agama. Dengan kejadian ini sang Bupati tidak bisa berbuat banyak dan ia hanya menyerahkan urusan ini kepada pihak kepolisian. Dengan membandingkan kota yang penuh patung seperti Purwakarta, bisa dilihat komposisi masyarakat Bandung dan Purwakarta. Keduanya mirip, banyak memiliki warga yang agamis meskipun tidak sedikit juga warga yang sekuler. Namun, di kota Bandung, pemerintah seolah sangat memperhatikan demografi ini sehingga di Bandung hampir tidak ada patung yang super besar seperti di Purwakarta dan tidak ada ikon atau patung yang menjadikan itu perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat muslim. Walikota Bandung seperti Ridwan Kamil dan wakilnya saat itu Oded M Danial setidaknya memberikan warna bagi kota Bandung dengan membuat slogan “Bandung kota agamis”. Terlebih lagi saat Oded M Danial menjadi Walikota Bandung, beliau membuat kebijakan sholat wajib tidak boleh ditinggalkan oleh para petinggi dan bawahannya di berbagai Instansi penting di Kota Bandung. Reprisentasi patung atau sesuatu yang dipakai untuk memperingati seseorang yang berjasa tidak ditunjukan secara simbolik di kota Bandung seperti membuat patung atau monumen. Reprisentasi ini lebih ditonjolkan kepada pemuka-pemuka agama di Kota Bandung khususnya agama Islam dimana masyarakat Bandung memberikan loyalitasnya kepada mereka. Ustadz bisa dianggap sebagai reprisentasi ini. Oleh karena itu, bila dilihat dari penelusuran isu di sosial media dan media online, para ustadz ini mengalami berbagai macam hantaman baik dari internal umat muslim sendiri ataupun dari luar. Hanya dengan hantaman itulah, kontroversi muncul di tengah masyarakat Bandung. Meskipun tidak riuh dengan kasus patung, namun berbagai masalah dan perdebatan selalu bermunculan. Dalam setiap era kepemimpinan Walikota Bandung, masyarakat Bandung yang ciri khasnya agamis selalu melihat bagaimana walikota tsb memberangus kaum sempalan dan membela umat Islam. Hal ini bisa ditunjukan dari berbagai narasi yang muncul dan ditanggapi oleh beberapa organisasi Islam. Beberapa orang akan menilai bahwa era Kempemimpinan Ridwan Kamil tertalu memberi banyak angin segar kepada kaum-kaum yang ingin membuat aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Mungkin wacana seperti ini tidak akan terdengar di pusat perbelanjaan ataupun pusat hiburan, tetapi di banyak masjid, kampus, dan forum diskusi sangat ramai diperbincangkan. Bandung bukanlah kota dimana masyarakatnya mencurahkan segala rasa hormat nya dan kebanggannya kepada patung atau pun monumen. Forum-forum diskusi terasa begitu dinamis dengan berbagai isu yang bermunculan. Hal ini berhasil membuat warga Bandung terkotak-kotak dan membanggakan kelompoknya sendiri. Di Amerika Serikat, seorang pemahat patung haruslah memiliki kemampuan yang handal dan jeli dalam membuat patung yang merepresentasikan salah seorang tokoh atau pun kelompok yang dianggap berjasa. Namun di Bandung, masjid dianggap sebuah representasi dimana tokoh agama yang mereka hormati akan memberikan petuah-petuah hidup yang berharga disana. Contohnya, Masjid Kota Baru Parahiyangan merupakan masjid dengan arsitektur unik yang dibuat oleh mantan Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Masjid tsb selain menjadi objek wisata tetapi juga menjadi tempat dimana nasihat dan dialog agama berlangsung. Ini pun berlaku bagi Masjid Agung Alun-alun dan tidak kalah pamornya dari masjid-masjid lain di Kota Bandung. Oded M Danial pernah mengusulkan untuk membuat Bandung sebagai wisata agamis atau wisata syariah. Dengan banyaknya masjid legendaris dan forum-forum diskusi membuat Bandung berpotensi untuk wisata agamis. Akan tetapi, program ini belum bisa terlaksana di Kota Bandung. Tidak semua masjid di kota Bandung mempunyai asal usul yang relijius dan bahkan mengandung cerita seram. Seperti hal nya Masjid Al Ukhuwah di dekat kantor Walikota Bandung. Di zaman dahulu, sebelum era kemerdekaan, gedung tsb dipakai sebagai tempat perkumpulan anggota teosofi atau aliran kebatinan orang Yahudi. Namun semenjak memasuki era kemerdekaan, Presiden Sukarno melarang segala bentuk aktivitas organisasi kaum Yahudi terutama teosofi dan freemansonry. Saat itu, gedungnya terlihat sangat sepi dan menyeramkan bahkan warga sekitar pun menyebutnya dengan Gedung Setan. Perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat sebuah gedung yang beralih alih fungsi tentunya tidak akan lepas dari kebijakan pemerintah dan peran public relations. Di setiap periode pergantian pemerintahan pasti akan selalu ada narasi baru yang dibuat sehingga menghasilkan citra tertentu dari tempat tsb. Meskipun dahulunya Gedung yang kini menjadi Masjid Al Ukhuwah pernah identik dengan cerita seram dan klenik, namun dengan narasi baru membuat image yang baru pula dan dengan image itu Masjid Al Ukhuwah menjadi tempat ikonik dan banyak dikunjungi warga Bandung. Peran public relations yang sangat penting untuk menyatukan persepsi warga Bandung agar positif dalam menanggapi semua pembangunan yang ada di Bandung. Tempat ikonik lainnya di kota Bandung adalah overpass Jembatan Pelangi Antapani dan overpass Jalan Supratman. Kedua jembatan tsb setelah rampung dibangun disambut baik oleh warga Bandung dan dapat terlihat bagiamana kendaraan dengan lancar melewati kedua overpass ini. Namun, dibalik pembangunan kedua overpass banyak keluhan yang muncul dari warga Bandung dan para pakar yang melihat sisi lain dari pembangunan overpass ini. Saat overpass Jalan Supratman dibangun, tidak ada sekat-sekat pembatas yang dipasang di sekitar pembangunan overpass. Salah satu warga Bandung yang merupakan pakar pembangungan infrastruktur mengatakan bahwa proyek besar ini begitu serampangan dilaksanakan karena tidak ada batas antara lahan proyek dan badan jalan yang biasa dilalui kendaraan. Selain itu juga, saat rangka besi selesai dipasang dibiarkan begitu saja tanpa ditutupi. Bahaya yang ditimbulkan saat pembangunan overpass Supratman cukup banyak dan warga pun resah karena merasa bahaya dan kemacetan di daerah tsb luar biasa dan lebih macet dari kondisi sebelum jembatan dibangun. Persepsi negative bermunculan saat pembangunan overpass Supratman dan Antapani akan tetapi seiring dengan selesainnya pembangunan, Humas Kota Bandung mampu mengembalikan citra positif dari kedua overpass tsb dengan membuat narasi yang terpublikasi di situs resmi Humas Kota Bandung dan di media sosial ataupun media online lainnya. Di kota Bandung terdapat pusat perbelanjaan yang dahulunya merupakan tempat yang begitu ramai namun sekarang ditinggalkan bahkan bangunannya sudah diratakan dengan tanah. Pada era tahun 80 an, warga Bandung merasakan kejayaan dari Plaza Palaguna dan kawasan sekitar Alun-alun, dahulunya merupakan pusat hiburan, perbelanjaan, kuliner, dan aksesoris (Lim & Padawangi, 2008). Di zaman dahulu, Gedung Palaguna merupakan tempat yang serba lengkap dan Palaguna merupakan pusat perbelanjaan paling modern disaat itu. Hal ini menunjukan bahwa apa yang dianggap modern saat itu belum tentu memiliki persepsi yang sama dengan generasi sekarang. Kemunculan pusat perbelanjaan dan hiburan lain menggeser posisi Gedung Palaguna sebagai tempat terlengkap untuk berekreasi hingga akhirnya warga Bandung pun sudah bosan dan bermuncula mall-mall besar, modern, dan menarik membuat nasib Gedung Palaguna semakin hari semakin ditinggalkan hingga akhirnya dirobohkan (Widyaevan, 2015). Lokasi Gedung Palaguna tidak jauh dari Alun-Alun kota Bandung dimana terdapat Bis Bandros dan tentunya sejarah dan pergeseran Gedung Palaguna sebagai pusat perbelanjaan di zaman dahulu kala bisa menjadi suatu cerita menarik bagi para wisatan atau bahkan dengan mengaitkan lokasinya yang berada di dekat bioskop yang dibangun pada era Kolonial Belanda akan meningkatkan daya tarik wisata kota Bandung. Pengkajian situs-situs bersejarah atau pun bangunan bersejarah di kota Bandung dibagi dalam dua babak penting yaitu periode Pemerintah Kolonial Belanda dan periode Walikota Bandung setelah era kemerdekaan Indonesia (1998-2021). Tempat tersebut penting untuk dieksplor dan akan menjadi nilai tambah untuk menjadikan kota Bandung lebih menarik. Selain itu, pentingnya peran public relations dalam mensosialisasikan dan membuat citra positif bagi setiap bangunan atau kawasan. Interaksi public relations dan warga Bandung menunjukan bagaimana setiap situs memelukan narasi atau retorika tertentu agar masyarakat Bandung bisa menerima program dan keputusan terutama dari Walikota Bandung dan juga membandingkan kondisi dari dalam negri atau pun luar negri sebagai referensi tambahan penggunaan retorika yang dibuat oleh Aristoteles dan Isokrates. Dengan perbandingan maka bisa dipilih hal positif maupun negatif. Pertanyaan Penelitian: 1. Bagaimana peran walikota Bandung 1998 -2021 dalam menarasikan Wilayah dan bangunan heritage sebagai peran dari PR dalam mempersuasi publik? a. Retorika Epideiktik apa yang dipakai oleh walikota Bandung dan program apa yang direncakan terutama yang mendukung heritage tourism? b. Apa saja kendala walikota Bandung dalam melestarikan Heritage tourism? Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode ini diambil untuk mendalami bagaimana peran walikokat dalam mempromosikan objek-objek wisata di Kota Bandung melalui narasi epideiktik dalam mempersuasi publik. Informasi mengenai bagaimana public relations Kota Bandung berperan dalam promosi ini melalui pengecekan artikel yang diterbitkan oleh public relations Kota Bandung di situs dan sosial media resmi nya. Setiap kebijakan yang dibuat oleh Walikota Bandung tentunya akan sangat berhubungan dengan peran public relations. Bangunan-bangunan bersejarah dari masa Kolonial Belanda hingga saat ini dianalisis bagaimana bangunan tsb berubah fungsi dan bagaimana masyarakat Bandung terbentuk opininya akan fungsi dari bangungan tsb. Beberapa bangunan yang telah ditelusuri asal usulnya serta bagaimana pemerintah memfungsikannya akan menjadi analisis yang memperkaya informasi terutama informasi yang harus ada di situs public relations Bandung. Bandung memang tidak memiliki patung atau monument sebanyak di Amerika Serikat yang berjumlah sekitar 4000 buah. Bandung hanya memiliki beberapa patung dan patung-patung tsb dianggap sebagai reprisentasi apa yang dibanggakan dimasa lalu. Hal ini terjadi sejak pemerintah Kolonial Belanda hingga saat ini. Kebanyakan dalam bentuk bangunan seperti bangunan Hotel Savoy Homan, Hotel Preanger, Masjid Agung Alun-Alun, bioskop, Pendopo dan lainnya (Soemardi & Radjawali, 2004) . Belum dapat ditarik suatu asumsi mengapa pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan momen sejarah dalam bentuk Bangunan bukan dalam bentuk patung atau monument. Dan sebagai asumsi awal dari waktu terkini sesudah selesai kolonialisme, demografi umat muslim yang banyak di kota Bandung membuat pemerintah kota tidak ingin mencari keributan dengan warganya dengan memajang patung-patung di setiap sudut kota. Narasi atau retorika adalah suatu alat yang digunakan untuk menyatukan persepsi masyarakat atau pun untuk membuat masyarakat percaya bahwa pemerintah telah mengambil keputusan dan langkah terbaik terutama terkait dengan pemberdayaan objek-objek wisata di kota Bandung. Berbagai publikasi yang dilakukan public relations Kota Bandung baik dalam situs resminya atau pun di beberapa media cetak dan online menunjukan bahwa public relations Kota Bandung melakukan perannya. Meskipun pada akhirnya yang sangat menonjol dari promosi objek pariwisata lebih di dominasi oleh blog, vlog, atau pun website milik agen perjalanan atau pun para pelancong yang membuat deskripsi menarik dari tempat-tempat yang pernah dikunjungi di Bandung. Baik dalam masa kolonial atau pun masa kini nampaknya warga Bandung tidak banyak melakukan penolakan kepada setiap narasi yang dibuat oleh pemerintah kota Bandung. Hanya beberapa saran dan kritik untuk membuat Bandung lebih baik dan bukanlah penolakan besar-besaran yang sampai mengarahkan massa. Peran public relations dalam menyatukan persepsi warga Kota Bandung dapat dijadikan suatu analisis. Sesuai dengan pembahasan mengenai promosi objek-objek wisata di Kota Bandung. Melalui penelusuran literature seperti dari sosial media, media online, dan jurnal dapat dianalisis bagaimana heritage tourism dilestarikan dan dipromosikan. Selain itu juga, penelusuran historis dapat membuktikan bagaimana suatu gedung itu berubah-ubah fungsinya dan masyarakat pun memiliki persepsi yang sama akan keberadaan gedung tsb. Narasi dan retorika memiliki peranan penting dalam perubahan fungsi suatu gedung dari masa ke masa. Hasil dan Temuan 1. Bagaimana peran walikota Bandung 1998 -2021 dalam menarasikan Wilayah dan bangunan heritage sebagai peran dari PR dalam mempersuasi public? a. Aa Tarmana Sebelum era Walikota AA Tarmana, Bandung sudah menjalin kerjasama atau sister city dengan kota Braunschweig sejak tahun 1960. Kemudian, AA Tarmana melanjutkan program sister city dengan menandatangani MoU pada tahun 2000 di Braunschweig, Jerman. Narasi kerjasama dalam melestarikan heritage tourism terdapat dalam beberapa media online dan penelitian mengenai perkembangan Kota Bandung terutama di tahun 1998-2003. Bandung memiliki beberapa persamaan dengan Braunschweig yaitu sebagai pusat pariwisata terutama wisata sejarah dan wisata budaya. Braunschweig merupakan kota wisata terbaik dan memiliki wisata sejarah yang luar biasa seperti peninggalan dari awal abad ke 19 M. karena hal ini lah Bandung menjadi sister city untuk Braunschweig. Program sister city memiliki beberapa macam program dan diantaranya yang terpenting adalah penataan kota dan infrastruktur. Sungai Cikapundung menjadi program utama dalam penataan kota karena merupakan bagian dari pusaka atau heritage Kota Bandung dan pernah menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda dan pernah dilakukan revitalisasi dimasa itu. Sebelumnya Sungai Cikapundung adalah kawasan tidak terawar, kumuh, kotor, dan menjadi tempat pembuangan sampah dan melalui program kerjasama ini Sungai Cikapundung menjadi lebih rapi dan bersih. Selain revitalisasi Sungai Cikapundung, AA Tarmana memiliki program kontroversial terkait dengan heritage di Kota Bandung yaitu pembangunan kawasan Babakan Siliwangi. Pada saat itu, AA Tarmana berencana mengubah Babakan Siliwangi, yang dikenal sejak zaman Kolonial Belanda sebagai sabuk hijau, menjadi kawasan hunian dan belanja. Masyarakat Bandung baheula pun menganggap kawasan ini adalah paru-paru dunia. Hal ini pun didukung oleh para arsitek Kolonial Belanda dengan menjadikan kawasan heritage ini rimbun dengan flora khas Indonesia. AA Tarmana sempat berencana untuk membangun kondominium, shopping center, food court, restoran dan kawasan entertainment lainnya. Selain itu juga, AA Tarmana telah menunjuk salah satu perusahaan developer swasta untuk melancarkan rencananya namun terjadi kontroversi ditengah masyarakat Kota Bandung. Dua heritage lainnya yang dibangun oleh AA Tarmana melalui kerjasama sister city dengan Braunschweig adalah pembangunan Gelanggang Generasi Muda (GGM) dan Gedung Asia Afrika. GGM dibangun pada tahun 1970 kemudian diperbaharui kembali dengan kerjasama serupa. GGM adalah tempat untuk belajar berbagai macam olah raga dengan instruktur yang kompeten. Secara fisik bangunan, di era AA Tarmana, tidak banyak perubahan atau inovasi untuk membuat gedung GGM menarik. Namun, AA Tarmana lebih memfokuskan pada program pertukaran pelajar dan kebudayaan termasuk olah raga di dalamnya. Di era Ridwan Kamil barulah terjadi inovasi hingga gedung GGM memiliki bangunan yang khas. Kemudian, Gedung Asia Afrika juga dibangun untuk mengembalikan fungsinya karena gedung ini memiliki nilai historis yang tinggi hingga bisa dipakai untuk konferensi KAA selanjutnya. a. Dada Rosada Heritage yang dibangun dan ditata pada masa kepemimpinan Dada Rosada sebagai walikota Bandung adalah flyover Pasupati, flyover Kiaracondong, SOR Gedebage, dan PLTSa. Flyover Pasupati merupakan salah satu heritage di Kota Bandung. Saat pertama kali flyover ini dioprasikan, banyak warga Bandung yang berhenti dipinggir jembatan dan berfoto. Pada tahun 2004, flyover Pasupati mulai dibangun dan selesai sebelum hari Konferensi Asia Afrika pada bulan September 2005. Flyover Pasupati membentang sejauh 2,5 km dan memanfaatkan teknologi anti gempa yang dikembangkan di Perancis. Flyover ini sendiri terdiri dari 663 segmen dan dihubungkan dengan puluhan kabel baja serta ditopang dengan 46 tiang. Proyek flyover ini menghabiskan dana hingga 50 miliar. Nama Pasupati itu sendiri diambil dari singkatan “Jalan Pasteur dan Jalan Surapati”. Sebenarnya, proyek ini sudah direncakan oleh pemerintah Kolonial Belanda dan dasar-dasar perancangan flyover ini dibuat oleh Arsitek Belanda Thomas Karsten. Flyover kedua yang dibangun pada masa pemerintahan Dada Rosada adalah flyover Kiaracondong. Dibangun dengan waktu yang hampir bersamaan dengan flyover Pasupati. Flyover ini merupakan solusi dari rasa frustasi warga Bandung yang melewati kawasan Kiaracondong yang macet karena dipadati PKL, aktivitas Pasar Kiaracondong, dan rel kereta api dengan jumlah lintasan yang banyak. Alasan lainnya dibangun flyover Kiaracondong karena merupakan jalur utama menuju By pass Soekarno Hatta atau jalur yang biasa digunakan untuk transportasi angkutan barang. Flyover ini membentang sepanjang 850 meter dan menghabiskan dana 43 miliar. Sumber pendanaan murni dari APBN. Sama seperti pembangunan flyover Pasupati, flyover Kiaracondong pun harus selesai sebelum dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika pada bulan September 2005. Pembangunan yang masih dalam tahap rencana di masa pemerintahan Dada Rosada adalah pembangunan SOR Gedebage dan PLTSa. Dari kedua proyek tsb, SOR Gedebage yang telah rampung dibangun dan SOR Gedebage baru selesai dibangun pada era Walikota Ridwan Kamil. SOR Gedebage ini juga menjadi salah satu heritage yang popular di Kota Bandung. Proses pembangunan SOR Gedebage tidaklah lancar karena proyek tsb direncanakan dalam waktu yang bersamaan. Warga disekitar proyek terlibat adu mulut dengan petugas dan teknisi yang mengerjakan proyek. Perencanaan pembangunan SOR Gedebage dan PLTSa yang kurang jelas membuat warga sekitar resah akan terjadi banjir di daerah mereka. Selain itu, warga begitu takut jika PLTSa dibangun akan menimbulkan polusi yang parah. Seharusnya pemerintah saat itu mengerahkan public relations untuk membangun retorika deliberatif dan epideiktik. Setidaknya jika public relations berperan, warga akan mengetahui rencana pembangunans SOR Gedebage dan manfaat serta masa depan fasilitas olah raga tsb. Public relations akan mengedukasi warga dan melakukan pencitraan terhadap proyek tsb. Tetapi apa yang terjadi, hanyalah dialog tak berujung dan tidak mendapat solusi hingga akhirnya di masa kepemimpinan Ridwan Kamil terwujudlah fisik SOR Gedebage dengan arsitektur yang luar biasa. b. Ridwan Kamil c. Oded M Danial Secara umum, tugas public relations Kota Bandung adalah untuk mendukung program dan kebijakan pemkot serta mempublikasikan kegiatan terkait dengan Pemkot. Namun, dalam program pelestarian Gedung Kolonial Belanda perlu melibatkan public relations dari dinas yang lain seperti Dinas Pariwisata. Public relations Dinas Pariwisata mempunyai program-program spesifik serta promosi yang lebih detail dan mengena serta mereka pun mengetahui institusi atau lembaga apa sajakah yang bisa mendukung program ini. Selain itu, packaging dari promosi gedung-gedung tsb secara lebih menarik. Dengan adanya digital public relations seperti memanfaatkan akun sosial media Humas Kota Bandung atau pun Humas Dinas Pariwisata akan dengan mudah untuk mempromosikan tempat-tempat bersejarah tsb. Hal seperti ini pun lumrah dilakukan saat pendudukan Belanda di Kota Bandung namun mereka hanya memanfaatkan media cetak seperti koran. Media dianggap jalan terbaik agar masyarakat paham dengan pembangunan, revitalisasi, dan konservasi gedung-gedung penting. Walaupun Belanda sempat menduduki Kota Bandung, membangun pemerintahan, dan melakukan banyak pembangunan dengan sangat rapi dan terencana namun bukan berarti tidak memunculkan friksi diantaranya. Di era kemerdekaan Indonesia, Bandung menjadi tempat penting perlawanan pasukan Inggris dan Belanda. Peristiwa Bandung Lautan Api menjadi tanda kemenangan warga Bandung dalam melawan Belanda. Sebelumnya petinggi yang terntunya bumiputra menerima ultimatum untuk mengosongkan kota Bandung. Beberapa kaum muda atau pejuang muda seperti Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan ikut serta untuk membakar kota Bandung. Dalam waktu beberapa jam, warga pribumi Bandung meninggalkan rumah-rumah mereka dan membakarnya. Kejadian ini membuat Inggris dan Belanda kocar-kacir hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945 dan mendapatkan tekanan dari Belanda pada tahun 1946 bisa kembali diraih. Untuk memperingati peristiwa bersejarah ini, pemkot Bandung membangung Tugu BLA (Bandung Lautan Api). Tugu tsb merupakan rancangan salah satu seniman yang merupakan mantan dosen FSRD ITB. Selain itu untuk mengenang dan menghormati jasa Muhammad Toha dibangunlah Tugu Muhammad Toha di daerah Dayeuhkolot, Bandung. Daerah Dayeuhkolot jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia berarti “Kota Tua” dan dulunya merupakan pusat pemerintahan Belanda (Rusnandar, 2010). Kemudian nama kedua pahlawan tsb diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bandung yakni Jalan Moch. Toha dan Jalan Moch. Ramdan. Dalam peristiwa Bandung Lautan Api, warga Bandung memperoleh kemenangan dan mengabadikannya dalam sebuah monument yakni Monumen BLA. Selain diabadikan dalam bentuk monument, bentuk-bentuk karya seni lain juga mengabadikan momen ini. Diantaranya berupa lagu, puisi, dan lukisan. Karya-karya ini mungkin bisa dieksplor public relations Kota Bandung karena karya-karya ini berkaitan dengan peristiwa penting. Penulis lagu ternama, Ismail Marzuki mendapat inspirasi untuk membuat lagu “Halo-Halo Bandung” dari peristiwa BLA (Erikha et al., 2017). Namun, menurut L. Manik lagu ini memiliki melodi yang sama dengan lagu “When It’s Springtime in the Rockies”. Hal itu tentunya membuat lagi tsb menjadi kontroversi. Kemudian karya lainnya yaitu karya Usmar Ismail dengan film berjudul “Toha Pahlawan Bandung Selatan”. Dalam film tsb dikisahkan bagaimana Muhammad Toha berjuang mengancurkan gudang mesiu Belanda. Ia sempat tertembak namun tak mengentikan semangatnya hingga ia gugur dengan fisik yang tidak lagi utuh. Demikian pula dengan karya seni seperti lukisan, namun beberapa sumber tidak begitu memberikan keterangan yang jelas. Karya terakhir adalah puisi yang ditulis oleh WS Rendra dengan judul “Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api”. Karyakarya yang terinspirasi dari peristiwa BLA seharusnya menjadi perhatian public relations Pemkot Bandung karena karya tsb akan memperkaya nilai sejarah peristiwa BLA. Meskipun warga Bandung dan pemkot tidak membuat banyak sekali patung dan monument terkait peristiwa penting ini, namun beberapa karya terinspirasi dari peristiwa ini dan sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Selain karya, terdapat juga 10 stilasi BLA yang dibuat oleh seniman terkenal bernama Sunaryo dan stilasi ini diserahkan kepada pemkot Bandung di tahun 1997. Stilasi disini adalah semacam membuat patok yang ditempatkan di beberapa daerah atau jalan di kota Bandung yang dianggap mewakili tempat perjuangan BLA. Stilasi pertama berada di Jalan Ir. H. Djuanda-Jalan Sultan Agung dimana dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lalu, stilasi kedua berada di Jalan Braga dan gedung yang saat ini ditempati Bank Jabar merupakan Gedung Denis dimana terjadi perobekan bendera Belanda. Stilasi ketiga berada di Jalan Asia Afrika-Jalan Banceuy dimana rapat penting militer Indonesia pada tahun 1945. Stilasi ke empat berada di Jalan Ciguriang dan disini merupakan tempat dirumuskannya strategi membakar kota Bandung. Kemudian, stilasi ke lima di Jalan Otto Iskandardinata namun pada stilasi ini tidak begitu banyak keterangannya. Setelah itu, stilasi ke enam di Jalan Dewi Sartika dan disini terdapat markas militer yang dipimpin oleh Jendral AH Nasution. Selain itu, stilasi ke tujuh berada di Jalan Lengkong Dalam disini dahulunya merupakan bangunan bergaya arsitektur Belanda dan merupakan tempat kediaman warga Belanda dan beberapa pribumi. Stilasi ke 8 berada di Jalan Jembatan baru dimana pertempuran Lengkong terjadi. Di Stilasi ke 9 berada di Jalan Asmi dan di tempat ini merupakan markas tempat berkumpulnya pemuda Bandung sebelum peristiwa BLA. Stilasi terakhir di Jalan Muhammad Toha dimana terdapat pemancar radio yang menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh wilayah Indonesia bahkan juga ke mancanegara. Di Amerika Serikat di beberapa negara bagiannya merupakan bekas medan perang dan beralih fungsi menjadi taman kota dan hal serupa pun terjadi di Indonesia terutama Bandung. Meskipun daerah yang dahulunya menjadi medan perang namun daerah tsb tidak dijadikan taman kota mengingat cukup besarnya daerah tsb. Salah satunya adalah Cicadas yang terletak di daerah Bandung Timur. Kawasan ini dahulunya tepatnya di bulan Desember 1945 adalah tempat dimana sekutu menjatuhkan bom-bom besar yang memakan banyak korban jiwa. Warga Cicadas tempo dulu merasakan bagaimana ketakutan saat peswat-pesawat canggih melintasi daerah mereka dan mereka hanya bisa tiarap di tempat yang cukup tersembunyi agar tidak ditembak atau dijatuhi bom. Saat mereka merasa aman, mereka hanya bisa memunguti jenazah tetangga atau saudara mereka yang mati akibat serangan bom. Selain itu daerah Cicadas juga merupakan markas TKR Cicadas dan Komite Nasional Indonesia serta merupakan basis pergerakan dan perjuangan Islam, Hizbullah. Di kawasan Cicadas sendiri tidak terdapat patung, monument atau taman yang dibuat untuk memperingati peristiwa tsb. Cicadas kini hanyalah tempat dimana dua pasar besar berada dan kawasan PKL bahkan warga Cicadas saat ini tidak banyak yang mengetahui peristiwa bersejarah ini. Berkaitan dengan hal ini, Bis Bandros memiliki rute yang melewati kawasan Cicadas dan tidak banyak yang bisa dieksplor dari wilayah ini mengingat sejarahnya yang sudah terlupakan. Hal ini bisa dijadikan sebuah kajian dan dijadikan sebuah narasi untuk mempromosikan Cicadas yang merupakan kawasan potensial dan bersejarah. Di Bandung sendiri tidak hanya Cicadas yang menjadi kawasan bekas medan perang tetapi daerah lain seperti Sukajadi, Pasirkaliki, Lengkong Besar, Dayeuhkolot, Ciroyom, Tegalega dan daerah lainnya. Tempat-tempat tsb umumnya dikenal saat peristiwa Bandung Lautan Api karena di daerah-daerah itu terjadi aksi pembakaran. Hanya dibeberapa daerah saja seperti Lengkong Besar dan Dayeuhkolot yang dibuatkan patung untuk memperingati peristiwa tsb dan nampaknya otoritas Bandung sangat berbeda dengan otoritas Amerika Serikat dimana mereka membuat sejumlah narasi berkelanjutan untuk mengopinikan patung dan monument agar diterima oleh masyarakatnya. Ketiadaan dana dan perang yang terjadi secara terus menerus membuat Pemkot Bandung tidak bisa membuat banyak tugu, patung atau pun monumen. Era Walikota Bandung setelah kemerdekaan Indonesia: Akar sejarah gedung Kolonial Belanda dan upaya pelestariannya oleh Public Relations dan Pemkot Bandung. Peran vital Public Relations Kota Bandung dalam mempublikasikan program dan rencana Pemerintah Kota Bandung terutama dalam konsevasi cagar budaya berupa gedung-gedung peninggalan Kolonial Belanda. Berikut ini adalah beberapa program dan narasi yang dibuat oleh Walikota dan public relations Kota Bandung. Ridwan Kamil (2013-2018) Dalam pembentukan narasi berkelanjutan, Bandung di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang saling terhubung. Narasi berkelanjutan sangat terkait erat dengan norma sosial, kultural, dan moral dan beberapa tempat ada di Bandung memiliki sejarah atau asal usul yang memuat ketiga norma tsb atau salah satunya (Yu Park, 2010). Membuka salah satu kawasan wisata agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat perlu peran public relations agar paham bahwa dibukanya suatu tempat wisata bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok atau sekelompok orang yang hanya berorientasi pada keuntungan. Contohnya dengan Masjid Agung Alun-alun yang berulang kali dipugar hingga akhirnya pada masa pemerintahan Ridwan Kamil di tahun 2014, Masjid Agung tertata dengan sangat rapi dan bisa gunakan bukan hanya untuk beribadah tetapi juga sebagai tempat untuk berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan teman (Maryani dan Logayah, 2014). Yana Mulyana (2018-2023), melakukan kerjasama dengan beberapa instansi penting demi mewujudkan program ini. Sinergi antara pemkot dan tim ahli diharapkan bangunan cagar budaya tetap berdiri kokoh. Tim Ahli menyatakan bahwa pemetaan gedung heritage di Bandung untuk mengetahui jumlah total gedung-gedung tsb. Selain itu, Pemkot Bandung telah membuat perda mengenai Pelestarian Cagar Budaya. Untuk mensosialisasikan perda ini merupakan tugas utama Humas Kota Bandung. Salah satu petinggi Dinas Kota Bandung menyatakan bahwa selain membuat perencanaan dan melibatkan Humas, perlu ada program untuk mengedukasi masyarakat Bandung dengan mengadakan konsultasi dan arahan. Peristiwa Bandung Lautan Api selain menjadi peristiwa heroik dan bersejarah tetapi juga merupakan peristiwa yang begitu menyedihkan bagi warga Bandung. Pasalnya warga Bandung harus membakar rumah, asset, dan harta benda. Saat itu, warga Bandung hanya membawa sedikit perbekalan dan mereka harus hidup seadanya. Setelah peristiwa tsb usai, masyarakat Bandung kembali ke kediaman mereka dengan rumah yang hancur dan tidak sedikit orang yang menjarah harta benda. Beberapa rumah diantaranya di tempati orang lain seperti warga etnis Tionghoa. Hal ini terjadi dikarenakan warga Tionghoa yang lebih dahulu menempati tempat tinggal warga Bandung. Peristiwa BLA bukanlah perjuangan akhir dari warga Bandung tetapi masih ada peristiwa-peristiwa lain dalam upaya menjegal Indonesia untuk merdeka dan diataranya dengan berbagai perundingan dan tidak sedikit dari perundingan tsb memberikan kerugian bagi warga Bandung dan salah satunya adalah pembentukan negara Pasundan oleh Belanda. Publikasi mengenai peristiwa BLA banyak tersedian di media online termasuk di website Humas Kota Bandung yang menjadikan Prof Nina Lubis, dosen jurusan Sejarah, UNPAD, sebagai narasumber penulisan pentingnya peristiwa BLA. Akan tetapi hal ini perlu dijadikan narasi berkelanjutan untuk mengedukasi warga Bandung saat ini dan juga wisatawan luar Bandung. Selama peristiwa Bandung Lautan Api dan sesudahnya (agresi militer Belanda) memakan korban hingga sekitan 4000 jiwa dan korban-korban di makamkan di pemakan Ereveld, Pandu. Ereveld berarti taman makam kehormatan. Makam ini merupakan makam yang berada dibawah naungan Yayasan Makam Kehormatan Belanda. Ereveld di Indonesia sendiri kurang lebih teradapat 7 Ereveld. Di makam tsb, dikurburkan orang Belanda dan Indonesia. Makam ini pun sangat unik karena memiliki bentuk-bentuk makam seperti di Eropa. Beberapa media mempublikasikan pemakaman ini dan tidak sedikit warga Bandung yang memanfaatkan makam ini untuk jalan-jalan dan berfoto. Ketua yayasan makam ini pun melakukan prosesi peringatan peristiwa tsb dan momen ini dijadikan momen persahabatan dan perdamaian antara Indonesia dan Belanda. Di tempat ini pun dimakamkan, Schoemaker, guru besar Arsitektur dan Rektor ke 7 ITB dimasa pemerintahan Kolonial Belanda yang juga merupakan dosen Presiden Sukarno. Pemkot Bandung perlu memasukan pemakaman ini sebagai objek wisata karena unsur historis, budaya, dan sosial. Narasi mengenai keberadaan Ereveld terutama yang terdapat di Kota Bandung pun bisa dijumpal dengan mudah terutama di media online. Namun, Humas Kota Bandung perlu bekerja sama dengan Dinas Pariwisata untuk membuat tour ke pemakaman ini dengan kemasan yang menarik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di makam Ereveld terdapat makam sang Arsitektur Kota Bandung keturunan Belanda bernama Schoemaker. Dibalik megahnya gedung-gedung yang ada di Bandung sepeti Villa Isola, Gereja Saint Peters, Gereja Bethel, Masjid Cipaganti, Gedung Merdeka, Hotel Preanger, dan lainnya adalah mahakarya dari Schoemaker (Anwar & Hapsoro, 2019). Gedung tsb menjadi warisan budaya yang berharga bagi Kota Bandung. Sejarah Schoemaker dan gedung-gedung peninggalannya bisa dijadikan refernsi bagi public relations Kota Bandung untuk mempublikasikannya di sosial media. Dari hasil analisis, untuk memperingati suatu peristiwa penting di Bandung cenderung di reprisentasikan oleh hadirnya gedung-gedung. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemkot Bandung saat ini. Dalam perjalanannya membangun kota Bandung di zaman kolonial, Schoemaker sempat memeluk 3 agama yakni Katolik, Islam, dan Protestan. Pembangunan gedung seperti Gereja Saint Peters, Gereja Bethel, dan Masjid Cipaganti adalah representasi dari agama yang dipeluk oleh Schoemaker. Hal yang paling kontroversial dikalangan orang Belanda, keputusan Schoemaker memeluk agama Islam. Namun, orang Belanda memiliki pemikiran lain dengan melihat apa yang dilakukan oleh Christiaan Snouck Hurgronje atau orientalis Belanda yang masuk Islam dan menetap di Aceh. Keputusan pindah agama dianggap sebagai jalan untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Hal serupa pun dilakukan oleh Schoemaker. Ia memeluk agama Katolik semenjak ia lahir dan setelah keberadaanya di Bandung ia pun masuk Islam. Dengan identitas barunya sebagai muslim, ia aktif dalam organisasi Islam di Bandung bahkan ia pun mendedikasikan dirinya untuk memberi arahan dalam rancangan bangunan masjid di Indonesia. Sumber lainnya pun mengabarkan bahwa Schoemaker pernah tergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Selain itu, ia pun pernah berhaji dan menulis buku bersama M. Natsir. Hal kontroversial lainnya yand dinyatakan Schoemaker adalah sebaiknya Indonesia menjadi negara kesultanan yang berlandaskan Islam. Schoemaker punya 5 orang anak dan ia seringkali menitipkan anaknya kepada seorang Tionghoa yang tinggal di Ujung Berung. Jika dianalisis keputusan Schoemaker menjadi muslim adalah untuk berlindung dan melindungi keluarga terutama anak-anaknya. Akan tetapi di akhir hayatnya, ia dimakamkan sebagai penganut Protestan. Makam nya di Ereveld bukanlah makam yang dihiasi dengan ornamen indah seperti karya-karya nya namun ia dikuburkan diatas nisan yang sederhana. Peran Public Relations dan Hubungan Sejarah di masa kolonial Belanda Belanda saat ini sudah tidak lagi menjajah kota Bandung dan bangunan peninggalan Belanda pun ada yang dilestarikan dan tidak. Padahal gedung tsb dibuat dengan perancangan yang baik dan gedunggedung yang terbengkalai seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah agar objek wisata di Bandung semakin banyak dan menarik (Tamimi et al., 2020). Diantara banyaknya gedung, salah satunya adalah Maison Bogerijen kemudian berubah menjadi Braga Permai. Kondisi bangunan dibiarkan seperti aslinya namun beberapa bagian di dalamnya mengalami perubahan agar terlihat sentuhan modernnya. Demikian pula dengan Gedung DENIS yang mirip dengan Hotel Savoy Homan dan gedung ini digunakan oleh Bank Jabar. Pengaturan gedung-gedung ini merupakan tanggung jawab dari Tim Cagar Budaya Pemkot Bandung. Gedung peninggalan kolonial Belanda dikatagorisasikan menjadi A, B, C, dan D. A merupakan katagori yang cukup tegas mengingat bangunan tsb menjadi asset nasional dan tidak boleh melakukan banyak perubahan. Kemudian B, C, dan D bisa dilakukan pemugaran tetapi tidak banyak. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan gedung bernilai sejarah mengakibatkan pemerintah enggan menganggarkan biaya dan hal ini tidak hanya di Bandung tetapi di seluruh Indonesia. Dago, salah satu daerah di Bandung Utara, merupakan daerah yang pernah diduduki oleh Belanda. Belanda datang dan menetap di daerah Dago serta membangun perumahan elit dan jalan raya. Selain perumahan, pemerintah kolonial Belanda juga membangun universitas, sekolah, café, supermarket, butik, dan rumah sakit seperti ITB, SMAK Dago, RS Borromeus, Superindo, Dago Tea House. Bangunan-bangunan tua di dalam kampus ITB masih tetap dipertahankan begitu pula dengan rumahrumah di sekitar ITB. Di era kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil, tejadi beberapa perubahan di daerah Dago. Ridwan Kamil memepercantik trotoar di sepanjang jalan Dago untuk kembali mengingatkan warga Bandung agar berjalan kaki. Selain itu dibangun juga jalur khusus untuk pengguna sepeda. Tahura di kawasan Dago pun tidak luput dari perhatian pemerintah Kolonial Belanda saat itu, cagar alam ini pun dirawat karena memiliki spesies tanaman dan hewan langka. Selain itu, Tahura merupakan salah satu Urban Forest atau taman kota. Karena faktor ekonomi, pembangunan kawasan Dago saat ini sudah sangat berlebihan, banyak daerah resapan dijadikan restoran, hotel, dan vila. Dampak lainnya yaitu sulit mendapatkan air bersih dan bangunan yang didirikan di kawasan Dago banyak melanggar amdal dan pihak berwenang seolah tutup mata dengan kejadian ini (Narulita et al., 2016). Kota Bandung memang tidak membuat banyak patung dan monument melaikan melestarikan tempat atau gedung peninggalan Belanda. Tidak banyak narasi bermuatan politis yang diopinikan kepada masyarakat Bandung. Semua hal positif mengenai renovasi atau pun restorasi gedung bersejarah berjalan dengan baik. Public relations tidak perlu berpikir keras akan penolakan warga Bandung. Salah satu peninggalan Belanda yang kini akan direncanakan untuk di bangun menjadi ruang public adalah Kawasan Mata Air Cibadak. Bangunan ini terletak di Jalan Setiabudi atau daerah Ledeng. Bangunan ini mampu menyedot cadangan air bersih secara besar dan bahkan bisa dimanfaatkan menjadi sumber air bersih bagi warga Bandung. Pemkot Bandung berencana untuk bekerjasama dengan PDAM terkait pengolah air dan pemanfaatannya. Narasi mengenai restorasi peninggalan Belanda ini cukup baik, Humas mampu mendistribusikan narasi kepada media cetak dan online. Selain itu, Gedung de Vries di seberang Gedung Merdeka menjadi ruang public dan saat ini ditempati oleh Bank OCBC. Di dalam bank tsb semua bagian gedung tidak ada yang dirubah dan tetap seperti aslinya. Meski di bawahnya terdapat lorong yang menghubungkan antara Gedung de Vries dengan Gedung Merdeka namun pihak pemerintah resmi menutup lorong tsb. Awal mula pembangunan kota Bandung adalah di tahun 1864 dimana saat itu Bandung menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Priangan (Widodo, n.d.). Perubahan tsb tentunya tidak secara langsung mengubah wajah kota Bandung. Selain itu Bandung merupakan tempat pengumpulan hasil pertanian seperti kina, teh, kopi, dan karet sehingga mulailah dibangun sarana untuk mengakomodir hasil-hasil perkebunan (Pratama, 2015). Setelah itu perubahan kota Bandung lainnya terjadi ketika Bandung menjadi gemeente atau yang berarti kotamadya dan Bandung mulai digunakan sebagai kota peristirahatan orangorang Eropa (Tarigan et al., 2016). Banyak fasilitas dibangun layaknya kota modern. Sejak saat itu, Bandung mengalami percepatan pembangunan hingga tahun 1970. Perubahan yang terjadi di tahun berikutnya adalah pembangunan kantor pusat pemerintahan. Awalnya pemerintah kolonial Belanda menggunakan sebuah bangunan bekas toko buku Sumur Bandung yang terletak di Jalan Asia Afrika dan kantor pemerintahan berada di lantai 2. Setelah beberapa lama, kantor pusat kotamadya pindah ke kantor walikota saat ini. Wilayah kantor ini dianggap strategis. Dengan memiliki gedung pusat pemerintahan yang cukup strategis dan bisa mewakili kemudian dilakukanlah perencanaan untuk membangun berbagai fasilitas di Kota Bandung. Terlebih lagi saat salah satu Gubernur Jendral Kolonial Belanda mewacanakan untuk memindahkan ibukota pemerintah kolonial Belanda dari Batavia ke Bandung. Agar pembangunan kota Bandung berjalan dengan baik maka dibentuklah institusi untuk menangani hal tsb dan terdiri dari dua pihak penting yaitu militer dan ahli pembangunan. Keduanya terhimpun dalam Zeni, Departemen Pekerjaan Umum, dan Dinas Teknik Kotapraja. Setelah terbentuknya tiga institusi yang menangani pembangunan kota Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda supaya rencana yang telah dipersiapkan sesuai maka awal abad ke 20 atau di tahun 1921 dibentuklah suatu badan yaitu Komisi Rencana Perluasan Wilayah Kotamadya Bandung. Tugas utamanya adalah membuat ruang-ruang hijau berupa taman dan semuanya dibuat dengan perencanaan sehingga bisa dianggap layak untuk menggantikan ibukota Batavia (Abendroth et al., 2012; Anwar & Hapsoro, 2019; Permana & Wijaya, 2017; Tarigan et al., 2016). Pembentukan komisi ini dianggap sebagai langkah yang sangat terencana dalam membangun kota Bandung. Salah satu pemimpin perencanaan kota Bandung adalah Thomas Karsten dan ia memberi nama city planning dengan nama Plan Karsten (Abendroth et al., 2012; Handinoto, 2000) Salah satu Taman Makam Pahlawan di Indonesia adalah Taman Makam Pahlawan Cikutra dan dibangun pada tahun 1958. Tujuan dari pembangunan taman makam ini adalah agar jasad para pejuang tidak ‘tercecer’ di berbagai pemakaman. Dari permulaan hingga memasuki era kemerdekaan sudah dimakamkan sekitan 4500 jasad pahlawan. Kemudian di tahun 2002 bertambah menhadi 4.657 makam. Pencatatan hingga tahun 2018 terdapat 5.802 jasad para pahlawan yang dikubur disini. Kompleks pemakaman ini memiliki 18 blok. Pemisahan ini diklasifikasikan berdasarkan keyakinan para pahlawan. Mayoritas pahlawan yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra adalah muslim dan jumlahnya mencapai 5.305 dan 475 pahlawan non-muslim. Terdapat tiga pahlawan nasional yang terkenal yaitu Dr. Danudirja Setiabudi, Abdul Muis dan Prof. Dr. Moestopo. Selain dengan adanya pemakaman Ereveld yang dikelola oleh Belanda, taman makam pahlawan juga di buat oleh pemerintah local tentunya untuk para pahlawan yang merupakan pribumi. Meskipun tidak seindah makam Ereveld namun Taman Makam Pahlawan Cikutra bisa menjadi sarana edukasi dan wisata untuk mempelajari perjuangan Indonesia terutama perjuangan kaum pribumi melawan penjajah. Bandung memiliki banyak pahlawan dan salah satunya adalah Husein Sastranegara dan untuk menghormati jasanya dibuatlah dua buah patung yang berlokasi di gerbang masuk Bandara Husein Sastranegara dan yang satunya di tempat lain yang tidak jauh dari lokasi tsb. Meskipun Husein Sastranegara tidak lahir di Bandung namun ia memiliki kontribusi besar terhadap Indonesia. Dibalik patungnya tersimpan pesan perjuangan untuk membuat basis Angkata Udara pertama di Indonesia. Husein Sastranegara menempuh pendidikan dasar hingga menengah di luar Bandung namun ia melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bandung yaitu di ITB. Berbagai macam promosi yang dilakukan Belanda terhadap pengembangan kekuatan militer membuat Husein Sastranegara memutuskan untuk berhenti melanjutkan studi nya di ITB dan ia memilih masuk ke sekolah angkatan udara. Karena sulitnya sekolah tersebut hanya Husein Sastranegara dan kelima temannya yang lulus dari akademi angkatan udara dan dari situlah Husein mendapatkan brevet atau lisensi sebagai penerbang dengan pesawat bermesin tunggal. Itulah awal mula ia berkarir dan membangung institusi TNI Angkatan Udara khususnya di pulau Jawa. Patung Husein Sastranegara merupakan suatu simbol perlawanan terhadap penjajah dan satu langkah maju untuk tidak kalah dari teknologi yang dimiliki Belanda. Husein Sastranegara meninggal dunia saat menerbangkan pesawat peninggalan Jepang. Ia terbang dari Bandung ke Yogyakarta dan jatuh di Yogyakarta. Apa yang dilakukan Husein Sastranegara untuk memajukan penerbangan Indonesia dengan mengorbankan dirinya untuk menerbangkan pesawat yang pernah dimiliki penjajah. Narasi pascakolonialisme muncul setelah Belanda hengkang dari kota Bandung dan narasi ini merupakan teori yang secara kritis mengungkap dampak negatif dari kolonialisme Belanda. Dampak buruk berupa degradasi mental dengan berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda tidak menghapuskan dampak negatif ini. Bahkan degradasi mental belum berakhir hingga era setelah kemerdekaan. Narasi pascakolonialisme menjadi penting karena narasi ini menguliti sesuatu yang tersirat di dalam masalah. Narasi pascakolonialisme membuat masyarakat sadar bahwa imperialism bukan hanya secara konkrit atau fisik namun secara mental atau psikologis. Perlawanan terhadap penjajahan asing seperti melawan orientalisme, rasialisme, liberalism dan bentuk penjajahan lainnya adalah tujuan utama dari narasi ini. Terdapat beberapa konsep pascakolonialisme seperti hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Berangkat dari narasi pascakolonialisme munculah berbagai pergerakan untuk menghapus dampak-dampak negative dari zaman kolonialisme Belanda. Pergerakan yang berkembang pesat berasal dari pergerakan yang bersifat agama terutama Islam. Beberapa pergerakan seperti Muhammadiyah, NU, Persis yang melawan degradasi mental setelah penjajahan. Hal ini bisa dilihat dari insitusi-institusi pendidikan yang bersifat keagamaan yang dibentuk oleh ketiga organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dibalik megahnya gedung-gedung kolonialisme Belanda dimana pribumi tidak bisa memasuki gedung-gedung tsb pada zaman itu karena orang Belanda sangat rasis. Hal ini pun bisa dibuktikan dengan adanya aturan “pribumi dan anjing dilarang masuk”. Rasisme itu sendiri merupakan suatu alat dimana suatu wilayah dikuasai dan memaksa serta menjajah pribumi agar tunduk kepada penajajah. Dalam salah satu karya sastra ternama “Bumi Manusia” menunjukan bagaimana orang Belanda memperlakukan pribumi (Ridwan dan Sofianto, 2019). Budaya Indis atau budaya dimana para lelaki Belanda yang sudah atau pun belum memiliki istri datang ke Indonesia dan menikah dengan perempuan pribumi (Gultom, 2020). Istri yang dinikahi bukanlah dianggap sebagai istri sah melainkan istri simpanan, istri siri, atau yang popular disebut dengan gundik. Dari perkawinan tsb lahir lah keturunan indo-Belanda dan ini pun menghasilkan kasta baru. Dari berbagai peristiwa yang terjadi di Bandung dan daerah Priangan lainnya menunjukan berbagai tindakan rasisme seperti memperbudak, mengeruk kekayaan alam, menyiksa, menjajah. Sebagai pribumi tidak bisa menjadi tuan di tanah sendiri. Meskipun mengalami rasisme yang berujung pada penderitaan dalam jangka panjang namun di Bandung ataupun di Indonesia tidak terdapat suatu patung atau monument yang khusus memperingati rasisme terutama di era Kolonialisme. Di Bandung terdapat berbagai monument besar layaknya monument di Amerika Serikat dan diantaranya adalah Taman Maluku, Tugu Simpang Lima, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Perjuangan, Monumen Solidaritas Asia Afrika. Dari kelima monument tsb, tiga diantaranya dibangun oleh Pemerintah Kota Bandung sedangkan dua lagi yaitu Taman Maluku dan Tugu Simpang Lima dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Taman Maluku adalah monument tertua diantara kelima monument. Taman ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1919 sebagai ruang terbuka hijau dan sebagai bagian dari pembangunan Kota Bandung dalam skala besar. Berikutnya Tugu Simpang Lima dibangun pada tahun 1933 sejalan dengan dibangunnya simpang lima. Kemudian, Monumen Bandung Lautan Api Monumen BLA dibangun pada tahun 1985 untuk memperingati peristiwa bersejarah BLA yang terjadi ditahun 1946. Monumen BLA dirancang oleh Sunaryo yang merupakan mantan dosen Seni Rupa ITB. Monumen terakhir yang dibangun di tahun 2015 yaitu Monumen Solidaritas Asia Afrika. Pembangunan monument tidak selalu berjalan dengan mulus. Pemerintah Kota Bandung sempat mengalami resesi akibat perang yang tidak ada habisnya dan bahkan saat itu pun pemerintah tidak memiliki dana sama sekali untuk membangun patung dan monument. Perencanaan tata Kota Bandung dan Gedung-gedung cantic disekitarnya merupakan pendanaan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pemkot Bandung baru bisa mendanai pembangunan beberapa monument setelah tahun 1970an. Jendral AH Nasution menjadi tokoh penting dalam peristiwa Bandung Lautan Api dan ia pun yang mencetuskan ide untuk membakar Kota Bandung pada 24 Maret 1946. Teknik ini adalah suatu teknik geriliya dan ia sempat berdiskusi dengan Jendral Sudirman hingga keduanya pun bahu membahu dengan rencana BLA. Pada saat itu, militer Indonesia mendapat ultimatum untuk mengosongkan Kota Bandung. Salah satu pesawat sekutu terbang diatas langit Kota Bandung dan menyebarkan pamflet berisi peringatan. Tidak ada yang bisa diperbuat oleh Perdana Mentri Indonesia saat itu. Keinginannya berlawanan dengan militer sehingga ia membiarkan militer untuk membakar Kota Bandung. Jendral AH Nasution meminta bawahannya untuk mengakomodir warga Bandung untuk segera pergi dan ia pun sudah mengatur beberapa titik di Kota Bandung yang akan dibakar. Warga Bandung pun membantu militer dengan membakar rumah mereka dan hal ini membuat sekutu kewalahan. Bandung Lautan Api kemudian menjadi peristiwa yang mengilhami banyak seniman Indonesia. Walaupun Jendral AH Nasution berjasa bagi Kota Bandung tetapi tidak terdapat patung, monument atau bangunan khusus untuk memperingati jasanya. Tetapi salah satu jalan di Kota Bandung mengabadikan namannya, Jalan AH Nasution yang membentang sepanjang 8,5 km di daerah Bandung Timur dan diresmikan setelah meninggalnya sang jendral di tahun 2003. Narasi mengenai pelestarian gedung-gedung bersejarah yang ada di Kota Bandung sudah lama ada dan dibicarakan oleh para pakar. Keberadaan gedung-gedung bersejarah di Kota Bandung merupakan aset berharga yang menyimpan banyak informasi. Selain itu juga, memiliki nilai budaya dan dapat digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan memperkaya sejarah Kota Bandung. Dalam pengelolaanya, Pemkot Bandung mengalami kesulitan contoh perubahan fungsi bangunan, perubahan desain bangunan, tidak adanya kebijakan yang sesuai untuk mengaturnya. Narasi dibuat oleh para pakar dari ITB dan mereka mengusung suatu teknik yaitu sistem informasi geografis dan teknik ini dipercaya dapat membantu manajemen aset bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung. Sejak awal abad ke 19, upaya pelestarian bangunan bersejarah sudah dimulai. Pada tahun 1972 dilaksanakan kongres “The European Architectural Heritage” oleh orang-orang Eropa khususnya mereka yang pernah menduduki negara jajahan dan dari kongres dihasilkan “Deklarasi Amsterdam”. Di dalamnya dinyatakan bahwa semua warga Eropa bersepakat warisan arsitektur Eropa adalah milik masyarakat Eropa dan menjadi bagian warisan budaya dunia. Upaya yang dilakukan pemkot Bandung belum lah maksimal jika dibandingkan dengan langkah yang telah disepakati oleh orang-orang Eropa. Bentuk pelestarian bisa dilihat dari keterlibatan salah satu yayasan yang berasal dari Belanda dan dipimpin oleh orang Belanda. Yayasan ini bekerjasama dengan Pemkot Bandung tetapi mereka yang lebih dominan merawat dan mengelolanya. Ereveld Pandu adalah salah satu bentuk pengelolaan bangunan bersejarah dengan kerjasama yayasan Belanda dan Pemkot Bandung. Kesimpulan Pengkajian mengenai narasi berkelanjutan bisa membantu peran Public Relations dalam mempromosikan program Pemkot Bandung. Meskipun Pemkot Bandung tidak memiliki dana yang bisa mengakomodir semua pengelolaan objek wisata. Saat ini memang terdapat sarana untuk mendapatkan informasi secara cepat seperti internet dan sosial media. Namun, public relations haruslah lincah menyusun narasi dan memanggil awak media untuk menuliskan narasi tsb di koran-koran cetak ataupun elektronik. Kemudian, realitanya masyarakat Bandung hampir tidak pernah melakukan protes terhadap pembangungan Kota Bandung. Contoh pembangunan Taman Sejarah di pelataran kantor Walikota Bandung dan proyek tersebut menelan biaya miliaran rupiah tetapi Taman Sejarah menjadi tujuan wisata utama warga Bandung. Banyak keluarga yang membawa serta anak-anaknya untuk berekreasi di taman ini. Tentunya realitas ini meringankan peran public relations Kota Bandung namun public relations tetaplah ujung tombak dari semua program yang terkait dengan Pemkot Bandung. Pembentukan retorika organisasi untuk mempromosikan wisata sejarah di Kota Bandung ditentukan oleh public relations. Terdapat tiga bentuk retorika yaitu deliberatif, forensik, dan epideiktik. Publik relations dapat menggunakan ketiganya atau memilih salah satunya saja dan biasanya untuk mendukung promosi objek wisata sejarah digunakan retorika deiktik. Pada kenyataannya, para pejabat lah yang akan mengeluarkan pernyataan terkait perkembangan atau pun pembukaan situs-situs bersejarah di Kota Bandung akan tetapi public relations lah yang harus membuat kerangka retorika bagi para pebajabat ini. Saat seorang pejabat Pemkot meresmikan suatu objek wisata, ia akan mengeluarkan retorika epidektik. Walaupun bukan narasi yang panjang tetapi door stop yang dinyatakan oleh sang pejabat kepada media akan sangat berpengaruh. Bentuk door stop yang sederhana membuat para petinggi yang bukan ahli ilmu komunikasi mudah dalam memberikan pernyataan resmi dan door stop menjadi begitu popular dikalangan petinggi pemerintahan. Retorika epideiktik dan deliberatif digunakan untuk mengangkat, menurunkan, memindahkan ataupun melindungi suatu patung dan monument. Mengambil contoh dari salah satu kota di Jawa Barat yaitu Purwakarta dimana sang Bupati, Dedi Mulyadi, penganut Sunda Wiwitan, membangung patungpatung seperti Sri Baduga, Gatot Kaca, Kresna, dan juga tokoh seperti Muh. Hatta dan Sukarno. Pembangunan patung tsb menimbulkan reaksi keras dari warga dan pemuka agama Islam di Purwakarta. Dedi Mulyadi yang ingin membuat reprisentasi dari keyakinan Sunda Wiwitan nya dan ia pun mengerahkan public relations untuk menggiring opini masyarakat Purwakarta. Jika dianalisa lebih jauh, public relations berkerja keras karena Purwakarta adalah kota yang memiliki akar agama Islam yang kuat. Dengan mengambil pelajaran ini, Pemkot Bandung lebih berhati-hati dalam membangun patung baru di Kota Bandung. Sempat muncul salah satu patung, karya seniman Bali yang merupakan alumni FSRD ITB, tetapi patung tsb diturunkan. Masyarakat Islam yang mendominasi Kota Bandung memiliki prinsip dan keinginan yang sama seperti halnya muslim di Purwakarta. Agamis dan tidak ingin ada simbol-simbol yang merusak kesucian agama. Penelitian ini menunjukan bagaimana perjalanan Kota Bandung mulai menata kotanya hingga menjaga aset-aset bersejarah dari masa Pemerintah Kolonial Belanda. Di zaman setelah kemerdekaan Indonesia, Bandung pun tak luput dari sasaran perang dan perang yang terus menerus mengakibatkan pemerintah Kota Bandung tidak memiliki dana untuk pembangunan patung atau pun monument. Pembangunan awal kota Bandung di taun 1800an hingga 1920an berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda. Banyak gedung-gedung yang bernilai sejarah namun Pemkot Bandung pun masih memiliki kendala untuk melestarikannya dikarenakan pelestarian gedung bersejarah menyedot dana yang cukup besar. Dengan kondisi seperti ini, orang-orang Eropa yang dahulunya pernah tinggal di Bandung, mereka berinisatif untuk melestarikan gedung-gedung yang pernah mereka singgahi melalui “Deklarasi Amsterdam”. Dalam deklarasi Amsterdam dinyatakan bahwa orang Eropa turut berpartisipasi melestarikan gedung peninggalan Eropa khusus nya di Kota Bandung. Peran Public Relations juga tak luput dari penelitian ini, mengingat Public Relations yang memiliki power untuk mempromosikan situs-situs bersejarah di Kota Bandung kepada awak media. Daftar Pustaka Abendroth, S., Kowarik, I., Müller, N., & Von der Lippe, M. (2012). The green colonial heritage: Woody plants in parks of Bandung, Indonesia. Landscape and Urban Planning, 106(1), 12–22. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2011.12.006 Alberico, J., & Loisa, R. (2019). Retorika Deliberatif Selebgram dalam Memotivasi Audiens Melalui Media Sosial (Konten “Level Up” di Akun Instagram Benakribo). Koneksi, 3(1), 236. https://doi.org/10.24912/kn.v3i1.6215 Anwar, H., & Hapsoro, N. A. (2019). Facade Identification of colonial buildings in the city of Bandung. 2019(6), 1–4. Astuti, D. R. (2018). The Image of Sundanese Culture City: The Phenomenological Study on Public Relations of Local Government in Purwakarta District. 260(Icomacs), 267–270. https://doi.org/10.2991/icomacs-18.2018.65 Budiana, H. R., Sjoraida, D. F., Mariana, D., & Priyatna, C. C. (2016). The Use of Social Media by Bandung City Government in Increasing Public Participation. International Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS, 1, 63–70. http://jurnal.uii.ac.id/CCCMS/article/view/7123/6345 Chatamallah, M. (2008). Strategi “Public Relations” dalam Promosi Pariwisata: Studi Kasus dengan Pendekatan “Marketing Public Relations” di Provinsi Banten. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(2), 393–402. https://doi.org/10.29313/mediator.v9i2.1120 Cobban, J. L. (1992). Exporting planning: The work of Thomas Karsten in colonial Indonesia. Planning Perspectives, 7(3), 329–344. https://doi.org/10.1080/02665439208725753 Dela Santa, E., & Tiatco, S. A. (2019). Tourism, heritage and cultural performance: Developing a modality of heritage tourism. Tourism Management Perspectives, 31(May), 301–309. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2019.06.001 Erikha, F., Shomami, A., & Ridmar, Z. O. W. (2017). Dari Sabang sampai Merauke: Pendokumentasian toponimi di Indonesia melalui lagu- lagu populer. Prosiding Seminar Nasional Toponimi Toponimi Dalam Perspektif Ilmu Budaya, October, 109–121. https://linguistik.fib.ui.ac.id/wpcontent/uploads/sites/46/2017/05/8.-Fajar-Erikha.pdf Falah, M., Yuniadi, A., & Adyawardhina, R. (2019). Pergeseran Makna Filosofis Alun-Alun Kota Bandung Pada Abad Xix – Abad Xxi. Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 11(2), 203. https://doi.org/10.30959/patanjala.v11i2.507 Firmansyah, Soeriaatmadja, A. R., & Wulanningsih, R. (2018). A set of sustainable urban landscape indicators and parameters to evaluate urban green open space in Bandung City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 179(1). https://doi.org/10.1088/17551315/179/1/012016 Handinoto. (2000). Kebijakan Politik Dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda Yang Berpengaruh Pada Morpologi ( Bentuk Dan Struktur) Beberapa Kota Di Jawa. Dimensi, 1825–1830. Journal, U. L. A. W., & Ramadhan, A. (2015). Model Zonanisasi Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandung (Prespektif Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima). Unnes Law Journal, 4(1), 56–65. https://doi.org/10.15294/ulj.v4i1.7271 Karima, E. M. (2017). Kehidupan Nyai Dan Pergundikan Di Jawa Barat Tahun 1900-1942. Diakronika, 17(1), 1. https://doi.org/10.24036/diakronika/vol17-iss1/12 Kustiwan, I., Ukrin, I., & Aulia, A. (2015). Identification of the Creative Capacity of Kampong’s Community towards Sustainable Kampong (Case Studies: Cicadas and Pasundan Kampong, Bandung): A Preliminary Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184(August 2014), 144–151. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.074 Lim, M., & Padawangi, R. (2008). Contesting alun-alun: Power relations, identities and the production of urban space in Bandung, Indonesia. International Development Planning Review, 30(3), 307–326. https://doi.org/10.3828/idpr.30.3.7 Maxim, C. (2019). Challenges faced by world tourism cities–London’s perspective. Current Issues in Tourism, 22(9), 1006–1024. https://doi.org/10.1080/13683500.2017.1347609 Mayangsari, L., & Novani, S. (2015). Multi-stakeholder co-creation Analysis in Smart city Management: An Experience from Bandung, Indonesia. Procedia Manufacturing, 4(Iess), 315–321. https://doi.org/10.1016/j.promfg.2015.11.046 Narulita, S., Zain, A. F. M., & Prasetyo, L. B. (2016). Geographic Information System (GIS) Application on Urban Forest Development in Bandung City. Procedia Environmental Sciences, 33, 279–289. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.079 Park, H. yu. (2010). HERITAGE TOURISM. Emotional Journeys into Nationhood. Annals of Tourism Research, 37(1), 116–135. https://doi.org/10.1016/j.annals.2009.08.001 Patta, J., Hanifah, W., Planning, P., Development, P., & Planning, R. (2018). Bandung City Performance in Different Eras : Did Urban Leadership Matter ? 1. Permana, A. Y., & Wijaya, K. (2017). IOP Conference Series : Earth and Environmental Science Spatial change transformation of educational areas in Bandung. Prasetyo, F. A. (2020). Bandung dan Pemaknaan Dago dalam Sejarah: Masa Lalu, Masa Kini. Lembaran Sejarah, 15(1), 64. https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.59525 Pratama, F. (2015). Dwi Fungsi Kota Bandung Sebagai Pusat Pemerintahan Sipil Dan Kemiliteran Hindia-. 1–13. Pribadi, Y. (2018). Identity contested: Cultural resilience in the midst of Islamization of politics. AlJami’ah, 56(2), 255–280. https://doi.org/10.14421/ajis.2018.562.255-280 Retnasary, M., Setiawati, S. D., Fitriawati, D., & Anggara, R. (2019). Pengelolaan Media Sosial Sebagai Strategi Digital Marketing Pariwisata. Jurnal Kajian Pariwisata, 1(1), 76–83. Rusnandar, N. (2010). Sejarah Kota Bandung Dari ”Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung ”Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan). Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 2(2), 273. https://doi.org/10.30959/patanjala.v2i2.219 Seijas, A., & Gelders, M. M. (2021). Governing the night-time city: The rise of night mayors as a new form of urban governance after dark. Urban Studies, 58(2), 316–334. https://doi.org/10.1177/0042098019895224 Soemardi, A. R., & Radjawali, I. (2004). Creative culture and Urban Planning : The Bandung experience. May, 1–14. Tamimi, N., Fatimah, I. S., & Hadi, A. A. (2020). Identification of Conditions and Distribution of Colonial Buildings in Bandung City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 501(1), 0–9. https://doi.org/10.1088/1755-1315/501/1/012006 Tarigan, A. K. M., Sagala, S., Samsura, D. A. A., Fiisabiilillah, D. F., Simarmata, H. A., & Nababan, M. (2016). Bandung City, Indonesia. Cities, 50, 100–110. https://doi.org/10.1016/j.cities.2015.09.005 Widodo, J. (n.d.). Conflicts, Contestations, and Dominations of the City-The Story of ColonizationDecolonization of Bandung (Indonesia). Widyaevan, D. A. (2015). The Change of Public Perception towards Alun-Alun Bandung as a City Center. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184(August 2014), 135–143. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.072 Yasmira, A. (2019). Analisis Morfologi Ruang Kota Bandung Studi Kasus: Kawasan Perumahan CipagantiBandung Utara. Jurnal Arsitekno, 3(3), 11. https://doi.org/10.29103/arj.v3i3.1212