NASKAH DRAMA: BADAI SEPANJANG MALAM Karya MAX ARIFIN Para Pelaku: 1.Jamil, seorang guru SD di Klaulan,Lombok Selatan,berumur 24 tahun 2.Saenah,istri Jamil berusia 23 tahun 3.Kepala Desa,suara pada flashback Setting : Ruangan depan sebuah rumah desa pada malam hari.Di dinding ada lampu minyak menyala.Ada sebuah meja tulis tua. Diatasnya ada beberapa buku besar.Kursi tamu dari rotan sudah agak tua.Dekat dinding ada balai balai .Sebuah radio transistor juga nampak di atas meja. Suara : Suara jangkerik.suara burung malam.gonggongan anjing di kejauhan.Suara Adzan subuh. Musik: Sayup sayup terdengar lagu Asmaradahana,lewat suara sendu seruling Note: Kedua suami istri memperlihatkan pola kehidupan kota.dengan kata lain,mereka berdua memang berasal dari kota.tampak pada cara dan bahan pakaian yang mereka kenakan pada malam hari itu.mereka juga memperlihatkan sebagai orang yang baik baik.hanya idelisme yang menyala nyala yang menyebabkan mereka berada di desa terpencil itu. 01.Begitu layar tersingkap, nampak jamil sedang asyik membaca.Kaki nya ditelusurkan ke atas kursi di depannya.Sekali sekali ia memijit mijit keningnya dan membaca lagi.Kemudian ia mengangkat mukanya,memandang jauh ke depan,merenung dan kembali lagi pada bacaannya.Di kejauhan terdengar salak anjing melengking sedih.Jangkerik juga menghiasi suasana malam itu. Di kejauhan terdengar seruling pilu membawakan Asmaradahana. Jamil menyambar rokok di atas meja dan menyulutnya.Asap berekepul ke atas.Pada saat itu istrinya muncul dari balik pintu kamar. 02.Saenah : Kau belum tidur juga?kukira sudah larut malam.Beristirahatlah,besok kan hari kerja? 03.Jamil: Sebentar,Saenah.Seluruh tubuhku memang sudah lelah,tapi pikiranku masih saja mengambang ke sana kemari.Biasa, kan aku begini malam malam. 04.saenah: Baiklah.tapi apa boleh akuketahui apa yang kaupikirkan malam ini? 05.jamil: Semuanya,semua apa yang kupikirkan selama ini sudah kurekam dalam buku harianku,Saenah.Perjalanan hidup seorang guru muda-yang ditempatkan di suatu desa terpencil-seperti Klulan ini kini merupakan lembaran lembaran terbuka bagi semua orang. 06.Saenah: Kenapa kini baru kau beritahukan hal itu padaku?Kau seakan akan menyimpan suatu rahasia.Atau memang rahasia? 07.Jamil: Sama sekali bukan rahasia ,sayangku! Malam malam di tempat terpencil seakan memanggil aku untuk diajak merenungkan sesuatu.Dan jika aku tak bisa memenuhi ajakannya aku akan mengalami semacam frustasi.Memang pernah sekali,suatu malam yang mencekam,ketika aku sudah tidur dengan nyenyak,aku tiba pada suatu persimpangan jalan di mana aku tidak boleh memilih.Pasrah saja.Apa yang bisa kaulakukan di tempat yang sesunyi ini?[Dia menyambar buku hariannya yang terletak di atas meja dan membalik balikkannya] Coba kaubaca catatanku tertanggal…[sambil masih membolak balik]..ini tanggal 2 oktober 1977. 08.Saenah: [Membaca] “Sudah setahun aku bertugas di Klaulan.Suatu tempat yang terpacak tegak seperti karang di tengah lautan,sejak desa ini tertera dalam peta bumi.Dari jauh dia angker,tidak bersahabat:panas dan debu melecut tubuh.Ia kering kerontang,gersang.Apakah aku akan menjadi bagian dari alam yang tidak bersahabat ini?Menjadi penonton yang diombangkan ambingkan oleh…barang tontonannya.Setahun telah lewat dan selama itu manusia ditelan oleh alam”.[Pause dan Saenah mengeluh;memandang sesaat pada Jamil sebelum membaca lagi].”Aku belum menemukan kejantanan di sini.Orang orang seperti sulit berbicara tentang hubungan dirinya dengan alam.Sampai di mana kebisuan ini bisa diderita?Dan apakah akan diteruskan oleh generasi generasi yang setiap pagi kuhadapai?Apakah di sini tidak dapat dikatakan adanya kekejaman.”[Saenah berhenti membaca dan langsung menatap pada Jamil] 09.Jamil: Kenapa kau berhenti?jangan tatap aku seperti itu,Saenah. 10.Saenah: Apakah tulisan ini tidak keterlaluan?Bisakah ditemukan kejujuran di dalamnya? 11.Jamil: Kejujuran kupertaruhkan di dalamnya,Saenah.Aku bisa mengatakan,kita kadangkadang dihinggapi oleh sikap sikap munafik dalam suatu pergaulan hidup.Ada ikatan ikatan yang mengharuskan kita berkata “Ya!” terhadap apa pun,sekalipun dalam hati kecil kita berkata”Tidak”.Kejujuranku mendorong aku berkata,”Tidak”,karena aku melatih diri menjadi orang yang setia kepada nuraninya.Aku juga tahu, masa kini yang dicari adalah orang orang yang mau berkata”Ya”.Yang berkata “Tidak” akan disisihkan.[Pause] Memang sulit,Saenah.Tapi itulah hidup yang sebenarnya terjadi.Kecuali kalau kita mau melihat hidup ini indah di luar,bobrok di dalam.Itulah masalahnya.[Pause.Suasana itu menjadi hening sekali.Di kejauhan terdengar salak anjing berkepanjangan] 12.Saenah: Aku tidak berpikir sampai ke sana. Pikiranku sederhana saja.kau masih ingat tentunya,ketika kita pertama kali tiba di sini,ya setahun yang lalu.Tekadmu untuk berdiri di depan kelas,mengajar generasi muda itu agar menjadi pandai.Idealismemu menyala nyala.Waktu itu kita disambut oleh Kepala Desa dengan pidato selamat datangnya.[S aenah lari masuk.Jamil terkejut.tetapi sekejap mata Saenah muncul sambil membawa tape recorder!] Ini putarlah tape ini.Kaurekam peristiwa itu.[Saenah memutar tape itu,kemudian terdengarlah suara Kepala Desa]’…Kami ucapkan selamat datang kepada Saudara Jamil dan istri.Inilah tempat kami.Kami harap saudara betah menjadi guru di sini.Untuk tempat saudara berlindung dari panas dan angin,kami telah menyediakan pondok yang barangkali tidak terlalu baik bagi saudara.Dan apabila Anda memandang bangunan SD yang cuma tiga kelas itu.Dindingnya telah robek,daun pintunya telah copot,lemari lemari sudah reyot,lonceng sekolah bekas pacul tua yang telah tak terpakai lagi.Semunya,semuanya menjadi tantangan bagi kita bersama.Selain itu,kami perkenalkan dua orang guru lainnya yang sudah lima tahun bekerja di sini.Yang ini adalah Saudara Sahli,sedang yang berkaca mata itu adalah Saudara Hasan.Kedatangan Saudara ini akan memperkuat tekad kami untuk membina generasi muda di sini.Harapan seperti ini menjadi harapan Saudara Sahli dan Saudara Hasan tentunya.”[Saenah mematikan tape.Pause,agak lama.Jamil menunduk,sedang Saenah memandang pada Jamil.Pelan pelan Jamil mengangkat mukanya.Mereka berpandangan] 13.Saenah: Semua bicara baik-baik saja waktu itu dan semuanya berjalan wajar. 14.Jamil: Apakah ada yang tidak wajar pada diriku sekarang ini ? 15.Saenah: Kini aku yang bertanya:jujurkah pada nuranimu sendiri?Penilaian terakhir ada pada hatimu.dan mampukah kau membuat semacam pengadilan yang tidak memihak kepada nuranimu sendiri?Karena bukan mustahil sikap keras kepala yang berdiri di belakang semuanya itu.Terus terang dari hari ke hari kita seperti terdesak dalam masyarakat yang kecil ini. 16.Jamil: Apakah masih harus kukatakan bahwa aku telah berusaha berbuat jujur dalam semua tindakanku?Kau menyalahkan aku karena aku terlalu banyak bilang”Tidak” dalam setiap dialog dengan sekitarku.Tapi itulah hatiku yang ikhlas untuk ikut gerak langkah masyarakatku.Tidak,Saenah.Mental masyarakat seperti katamu itu tidak terbatas di desa saja, tapi juga berada di kota 17.Saenah: Kau tidak memahami masyarakatmu. 18.Jamil: Masyarakat itulah yang tidak memahami aku. 19.saenah: siapa yang salah dalam hal ini. 20.Jamil: Masyarakat. 21.Saenah: Yang menang ? 22.Jamil: Aku 23.Saenah: Lalu ? 24.Jamil: Aku mau pindah dari sini.[Pause. Lama sekali mereka berpandangan.]. 25.Saenah: [Dengan suara rendah]Aku kira itu bukan suatu penyelesaian. 26.Jamil: [Keras] Sementara memang itulah penyelesaiannya. 27.Saenah: [Keras]Tidak! Mesti ada sesuatu yang hilang antara kau dengan masyarakatmu.Selama ini kau membanggakan dirimu sebagai seorang idealis.Idealis sejati,malah.Apalah arti kata itu bila kau sendiri tidak bisa dan tidak mampu bergaul akrab dengan masyarakatmu.[Pause] [Lemah diucapkan]Aku terkenang masa itu,ketika kau membujuk aku agar aku mu datang kemari[Flashback dengan mengubah warn cahaya pelan pelan.Memakai potentiometer.Bisa hijau muda atau warna lainnya yang agak kontras dengan warna semula.Musik sendu mengalun] 28.Jamil: Aku mau hidup jauh dari kebisingan,Saenah.Aku tertarik dengan kehidupan sunyi di desa,dengan penduduknya yang polos dan sederhana.Di sana aku ingin melihat manusia seutuhnya.Manusia yang belum dipoles sikap sikap munafik dan pulasan belaka.Aku harap kau menyambut keinginanku ini dengan gembira,dan kita bersama sama kesana.Di sana tenagaku lebih diperlukan dari pada di kota.Dan tentu banyak yang dapat aku lakukan. 29.Saenah: Sudah kaupikirkan baik baik? Perjuangan di sana berarti di luar jangkauan perhatian. 30.Jamil: Aku bukan orang yang membutuhkan perhatian dan publikasi.Kepergianku ke sana bukan dengan harapan untuk menjadi guru teladan.Coba bayangkan,siapa pejabat yang bisa memikirkan kesulitan seorang guru yang bertugas di Sembalun,umpamanya?Betul mereka menerima gaji tiap bulan.Tapi dari hari ke hari dicekam kesunyian,dengan senyum secercah terbayang di bibirnya bila menghadapi anak bangsanya.dengan alat alat serba kurang mungkin kehabisan kapur,namun hatinya tetap di sana.Aku bukan orang yang membutuhkan publikasi,tapi ukuran ukuran dan nilai nilai seorang guru di desa perlu direnungkan kembali.Ini bukan ilusi atau igauan di malam sepi,Saenah.Sedang teman teman di kota mempunyai kesempatan untuk hal hal yang sebaliknya dari kita ini.Itulah yang mendorong aku,mendorong hatiku untuk melamar bertugas di desa ini. 31.Saenah: Baiklah, Sayang.Ketika aku melangkahkan kaki memasuki gerbang perkawinan kita,aku sudah tahu macam suami yang kupilih itu.Aku bersedia mendampingimu.Aku tahu,apa tugas utamaku disamping sebagai seorang ibu rumah tangga.Yaitu menghayati tugas suami dan menjadi pendorong utama karirnya.Aku bersedia meninggalkan kota yang ramai dan aku sudah siap mental menghadapi kesunyian dan kesepian macam apa pun.Kau tak perlu sangsi.[Pause senbentar.Pelan pelan lampu kembali pada cahaya semula] 32.Saenah: Kini aku menjadi sangsi terhadap dirimu.Mana idealisme yang dulu itu? Tengoklah ke kanan.apakah jejeran buku-buku itu belum bisa memberikan jawaban pada keadaan yang kauhadapi sekarang?Di sana ada jawaban yang diberikan oleh Leon Iris,Erich Fromm,Emerson atau Alvin Toffler.Ya,malam malam aku sering melihat kau membuka-buka buku-buku Erich Fromm yang berjudul The Sane Society atau Future Shock nya Alvin Toffler itu. 33.Jamil: Apa yang kau kauketahui tentang Eric Fromm dengan bukunya itu? Atau Toffler? 34.Saenah: Tidak banyak.Tapi yang kuketahui ada orang-orang yang mencari kekuatan pada buku-bukunya.Dan dia tidak akan mundur walau kehidupan pahit macam apa pun dosodorkan kepadanya.karena ia mempunyaai integritas diri lebih tinggi dri orangorang yng menyebabkan kepahitan hidupnya.apakah kau menyerah dalam hal ini?Ketika kau melangkahkan kakimu memasuki desa ini terlalu bnyak yang akan kausumbngkan padanya,ini harsus kauakui.Tapi kini-akuilah-kau menganggap desa ini terlalu banyak meminta dirimu.Inilah resiko hidup di desa.Seluruh aspek kehidupan kita disorot.Smpai sampai soal pribadi kita dijadikan ukuran mampu tidaknya kita bertugas.Dan aku tahu hal itu.Karena aku kenal kau.[Suasana menjadi hening sekali.Pause] Aku sama sekali tak menyalahkan kau.malah dim diam menghargai kau, dan hal itu sudah sepantasnya.Aku tidak ingin kau tenggelam begitu saja dalam suatu msyarakat atau dalam suatu sistem yang jelek namun telah membudaya dalam masyarakat itu.Di mana pun kau berda.juga sekiranya kau bekerja di kantor.Kau pernah dengan penuh semangat menceritakan bagaimana novel karya Leon Uris yang berjudul QB VII.Di sana Uris menulis,katamu bahwa seorang manusia harus sadar kemanusiaannya dan berdiri tegak antara batas kegilaan lingkungannya dan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pendukungnya.Betapapun kecil kekuatan itu.Di sanalah manusia itu diuji.Ini bukan kuliah.Aku tak menyetujui bila kau bicara soal kalah menang dalam hal ini.Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.Dialog yang masih kurang. 34.Jamil: Aku mungkin mulai menyadari apa benda yang hilang yang kaukatakan tadi.generasi sekarang mengalami kesulitan dalam masalah hubungan.Hubungan antar sesama manusia.Mereka mengalami apa yang disebut kegaguan intelektual.kita makin cemas,kita seakan akan mengalami kemiskinan artikulasi.Disementara sekolah di banyak sekolah malah,mengarang pun bukanlah menjadi pelajaran utama lagi,sementara makin banyak gagasan yang harus diberitahukan ke segala sudut.Pertukaran pikiran makin dibutuhkan. 35.Saenah: Ya,seperti pertukaran pikiran malam ini.Kita harus yakin akan manfaat pertukaran .Ada gejala dalam masyarakat di mana orang kuat dan berkuasa segan bertukar pikiran.Untuk apa ,kata mereka.Kan aku berkuasa. 36.Jamil; Padahal nasib suatu masyarakat tergantung pada hal-hal itu.Dan kita jangan melupakan kenyataan bahwa masyarakat itu bukan saja berada dalam konflik dengan orang-orang yang mempunyai sikap yang tidak sosial tetapi sering pula konflik dengan sifat sifat manusia yang paling dibutuhkan,yang justru ditekan oleh masyarakat itu sendiri. 37.Saenah: Itu kan Erich Fromm yang bilang. 38.Jamil: Memang aku mengutip dia.[Dari kejauhan terdengar suara bedug subuh kemudian adzan] 39.Saenah: Aduh,kiranya sudah subuh.Pagi ini anak-anak menunggumu,generasi muda yang sangat membutuhkan kau. 40.Jamil: Aku akan tetap berada di desa ini,sayangku. 41.Saenah: Aku akan tetap bersamamu.Yakinlah.[Jamil menuntun istrinya ke kamar tidur.Musik melengking keras lalu pelan pelan,sendu dan akhirnya berhenti]. Catatan: Naskah ini pernah dimuat dalam buku Kumpulan Drama Remaja, editor A.Rumadi.Penerbit PT Gramedia Jakarta,1988,halaman 25-33 Beruang Penagih Hutang (The Bear/The Boor) Karya Anton Pavlovich Chekhov Terjemahan Landung Simatupang NYONYA YULINA SANGAT MURUNG MEMANDANGI POTRET NIKO SUAMINYA, KAUL, PELAYAN TUA YANG SETIA, BERSAMANYA KAUL Nyonya, sudah . sudah. Jangan begitu-begitu terus. Ini namanya bunuh diri pelanpelan, relakan kepergiannya. Nyonya, semua orang bersenang-senang dipagi yang cerah dan segar ini. Bahkan kucing pun tahu cara menghibur diri. Jalan melenggak-lenggok ditaman lalu melompat sembunyi, kemudian tiba-tiba melompat lagi menakuti burung-burung. Tapi nyonya yulina setiap hari mengurung diri, dengan muka yang selalu kusut, muram. Hitunghitung, Sudah satu tahun penuh lho Nyonya tidak pernah lagi keluar-keluar. YULI Dan aku tidak akan keluar-keluar lagi. kaul, Kehidupanku sudah berakhir, Suamiku meninggal, terbaring dalam kuburnya, dan aku mengubur diri sendiri dirumah ini, kami berdua sama-sama sudah mati kaul, Mati !.. KAUL Naah….Nyonya kan, mulai lagi ! Saya jadi sedih mendengarnya. Memang, tuan meninggal, Tapi mau bagaimana lagi kalau dia memang harus meninggal ? Itu kehendak Tuhan, nyonya. Dan jadilah kehendak NYA di surga dan di bumi ! Nyonya sudah berkabung waktu tuan meninggal dulu, sekarang duka citanya sudah cukup nyonya, masa nyonya mau nangis terus, murung terus seumur hidup ?? Saya juga pernah kehilangan istri Nya, Yah.. apa boleh buat, saya menangis dan berkabung selama kurang lebih satu bulan, itu sudah cukup. Kalau saya terus meraung-raung sepanjang hari, itu kan berlebihan namanya. Apalagi istri saya itu mukanya sudah cukup tua dan cukup jelek…. Nyonya telah melupakan para tetangga begitu saja, tidak pernah lagi mengunjungi mereka. Kalau mereka datang, nyonya menolak, tidak mau menemui. Nyonya kan masih muda, cantik, sehat dan segar. Nyonya hanya perlu lebih merawat diri lagi, dandan yang bagus, lalu keluarlah berjalan-jalan. Di luar sana banyak Nya pria tampan dan terhormat yang pasti terpikat begitu mata mereka melihat nyonya, sungguh, saya jamin. Tapi ya…jangan tunggu sampai sepuluh tahun lagi. Anugerah yang bernama kecantikan dan kemudaan itu bukan sesuatu yang abadi. Nanti kalau pipi sudah menggantung-gantung kebawah, atau melesak kedalam, wah sudah telat ! YULI Diam kaul…Kau tidak boleh bicara seperti itu, kau khan tahu bahwa sejak Niko suamiku meninggal, kehidupan tidak lagi ada artinya buatku. Aku sudah bersumpah untuk tidak akan berhenti berkabung, tidak akan lagi menikmati cuaca terang seumur hidupku. Dengar ?! Semoga arwahnya tahu dan melihat betapa besar cintaku padanya. Aku tahu bukan rahasia lagi bagimu bahwa Niko sering kejam kepadaku, Kasar, dan bahkan….Serong. Tetapi aku kaul, kesetiaanku kepadanya akan kubawa sampai alam kubur. Biarlah Niko menyaksikan besarnya kemampuanku untuk mencintainya dari alam seberang, dia akan melihatku tetap sama seperti sebelum ia meninggal. KAUL Wah..Wah, dari pada bicara yang serem-serem begitu, nyonya lebih baik jalan-jalan saja di kebun belakang yang luas itu, bercanda dengan si Beo, si Mencol, Menengok si Merak…. YULI Oh…Oh…..Uhuk..Uhuk MENANGIS KAUL Nyonya…! Nyonya…! Ada apa? mengapa jadi menangis begini ! Nyonya, Pandanglah saya nyonya… YULI Niko sayang sekali pada si Merak, setiap kali dia memandang Merak itu, wajahnya bercahaya, matanya berkilau jernih bagaikan mata bocah. kaul…Lipat duakan jatah makannya hari ini. KAUL Baik Nyonya. SUARA BELL PINTU, KERAS SEKALI DAN JELEK BUNYINYA YULI (Kaget) Siapa itu ? katakan, Aku tidak terima tamu, siapa pun. KAUL Iya nyonya ( Keluar) YULI (Sendiri Memandangi Potret) Lihatlah Niko, Lihatlah betapa aku bisa mencintai dan memaafkanmu….cintaku hanya akan berakhir ketika hidupku di bumi ini berakhir. (Tertawa, Setengah Menagis) Apa kau tidak malu dengan dirimu sendiri ? Aku wanita baik-baik, Istri yang begini setia, Aku mengurung diri dirumah dan setia sampai mati…… Sedangkan engkau, Hai tua gendut ! Kau mengibuli aku, ada main di sana sini, sementara aku kau tinggalkan dirumah berminggu-minggu ! KAUL (Masuk, Gugup), Nyonya…ada orang mencari nyonya, dia mau ketemu dengan nyonya…. YULI Kan sudah kubilang tadi, kau katakan padanya aku tidak terima tamu siapapun setelah suamiku meninggal KAUL Sudah nyonya. Saya sudah bilang begitu. Tapi dia tidak mau tahu. Persoalannya penting sekali katanya YULI Aku tidak akan menemui tamu. Siapapun. KAUL Itu sudah saya bilang padanya berkali-kali. Tapi memang ……kaya setan dia itu Nya. Dia malah maki-maki dan menggasak saya, lalu masuk. Sekarang dia sudah disitu nyonya. YULI Kurang ajar ! (Tersinggung) suruh dia kesini. (Kaul Keluar) Sukarnya bergaul dengan orang-orang macam itu. Apa yang mereka inginkan ? mengapa selalu saja mengganggu ketenangan batinku !, makin lama orang-orang menjadi makin kasar saja. Kehilangan perasaan ! (Merenung Sebentar) barangkali aku memang harus tinggal di biara. TAMU (Sambil Masuk, Memaki-Maki Kaul) Manusia goblok ! Banyak cerewet ! Kerbau ! Kunyuk tua ! (Ketika Melihat Yuli, Berubah Sikap Menjadi Santun) Ah, nyonya. Perkenankan saya memperkenalkan diri kepada nyonya yang terhormat. Nama saya andri dan saya pernah jadi tentara (Sambil Mengulurkan Tangannya) saya terpaksa sedikit mengganggu nyonya karena ada suatu urusan yang sangat penting… YULI (Tidak Mengulurkan Tangan) Ada apa ? TAMU Semasa hidupnya, suami nyonya – yang merupakan kenalan baik saya – mempunyai hutang 250.000. karena besok pagi saya harus membayar dua angsuran sekaligus, dengan sangat terpaksa saya mohon nyonya melunasi pinjaman itu hari ini. YULI 250.000 ? untuk apa suami saya meminjam uang sebanyak itu dari saudara ?. TAMU Ya, macam-macam, yang jelas dia sering membeli gandum dan beras dengan cara Berhutang. Jadi 250.000 itu adalah jumlah hutangnya kepada saya. YULI Kalau Niko meminjam dari saudara, tentu saja saya akan mengembalikannya. Hanya saja saya meminta maaf karena saat ini saya sedang tidak ada uang. Besok lusa, baru saya punya uang dari penjualan hasil bumi. Selain itu, ini persis tujuh bulan sejak suami saya meninggal, sekarang ini suasana hati saya tidak mengijinkan saya untuk mengurus soal keuangan. TAMU Tapi nyonya, suasana kantong saya membuat saya harus memperoleh uang untuk membayar angsuran besok pagi. Kalau tidak, saya bangkrut. YULI Saudara akan menerima uang saudara lusa. TAMU Saya memerlukannya hari ini. Bukan lusa ! YULI Maaf sebesar-besarnya. Hari ini saya tidak bisa. TAMU Maaf sebesar-besarnya, saya tidak bisa tunggu sampai lusa. YULI Tapi bagaimana lagi kalau saya tidak punya uang ! _ TAMU Jadi maksud nyonya. Nyonya tidak bisa bayar ? YULI Saya tidak bisa. TAMU Itu jawaban nyonya yang terakhir ? YULI Ya ! itulah. TAMU Betul ? YULI Betul. TAMU Pasti ? YULI Pasti TAMU Bagus ! hebat ! terima kasih. (Jeda) bagaimana bisa saya tidak marah-marah! Dalam perjalanan kesini Aku jumpa seorang kenalan… dia bilang, mengapa kau ini selalu kelihatan marah, uringan uringan terus sepanjang waktu. Bagaimana saya akan tersenyum damai menghadapi orang-orang yang seenak perutnya sendiri macam ini ! saya sedang sangat membutuhkan duit, pagi-pagi kemarin, pagi-pagi buta, saya meninggalkan rumah, berkeliling menagih hutang. Tapi, astaga ! tidak seekorpun yang mau bayar. Coba ! apa pantas itu ? ketika akhirnya saya sampai kemari, 37 kilometer dari rumah, dan berharap mendapatkan uang saya kembali, saya disambut dengan ”suasana hati yang tidak mengijinkan menyelesaikan soal-oal keuangan”. Bagaimana saya tidak akan marah-marah !!! YULI Saya rasa saya telah menjelaskan keadannya. Lusa setelah saya mendapatkan uang hasil penjualan cengkeh dan tembakau, uang saudara akan saya kembalikan. TAMU Persetan ! saya tidak ada urusan dengan cengkeh dan tembakau nyonya ! YULI Maaf, saudara. Saya tidak terbiasa dengan kata-kata kasar, atau nada-nada bicara yang semacam itu! Saya tidak mau mendengarnya lagi KELUAR TAMU Hebat ! sungguh hebat dalih yang dia ajukan ”suasana hati”….. suaminya mati kan sudah tujuh bulan yang lalu !. Sedih ya sedih. Orang boleh saja sedih. Tapi bagaimana dengan kepentinganku ? aku harus membayar angsuran. Besok dua orang akan datang menagih. (Berteriak Ke Bagian Dalam Rumah) Nyonya, saya tau suami nyonya meninggal, nyonya sedang berduka cita dan tembakau nyonya belum dibayar…. Tetapi coba katakan lantas saya mesti bagaimana ? apa saya harus lari terbirit-birit kalau kedua orang penagih itu datang ? Aku managih herman istrinya bilang dia sedang pergi. Aku pindah menagih yaros, ia sembunyi. Lusio malah mengajakku bertengkar sampai hampir-hampir kulemparkan dia dari jendela. Blasius bilang sudah sebulan sakit perut, dan yang satu ini… sedang terserang “suasana hati”. Gila ! tidak satupun yang mau membayar (Jeda) Aku tau sebabnya,.. Aku terlalu baik, terlalu lembut hati, serba maklum, serba memaafkan, itulah sebabnya… Tapi mulai sekarang, lihat saja! Aku tidak lagi bisa dipermainkan. ! Aku akan tetap disini sampai dia membayar. Marah betul Aku hari ini ! Sampai sengal napasku !….aakhh ! ya tuhan, mataku sampai berkunang-kunang (Berteriak) hei kamu, sini ! (Kaul DATANG) KAUL Ada apa, tuan? TAMU Ambilkan minum (Kaul Pergi) Coba, dimana logikanya ? Aku sangat kepepet, butuh uang dengan segera, tetapi dia tidak mau membayar gara-gara suasana hati yang tidak mengijinkannya mengurus soalsoal yang berhubungan dengan uang ! Dasar logika perempuan ! Cupet !! Itulah mengapa Aku tidak suka berembuk dengan perempuan. Aduh… sekujur tubuhku gemetaran, begitu Aku melihat mahluk puitis semacam itu, meski dari jauh, aku begitu menggelegak sampai kakiku kejang KAUL (Datang Membawa Segelas Air) Nyonya sedang tidak enak badan dan sedang tidak terima Tamu. TAMU Keluar! (Kaul Pergi) tidak enak badan dan tidak terima Tamu! Baiklah ! kau tidak usah menemuiku ! Aku akan terus duduk-duduk disini sampai hutang-hutang dilunasi. Kalau kau tidak enak badan seminggu, Aku duduk disini seminggu, kalau kau sulit satu tahun, Aku duduk disini satu tahun !…… pokoknya aku harus mendapatkan uangku kembali, nyonya yang terhormat! saya tidak akan bisa kau kelabuhi dengan kesedihanmu atau lesung pipimu, kedip matamu! Nah !! (Pergi Ke Jendela) memuakkan! Panasnya keparat, tidak ada yang mau bayar, semalaman Aku tidak bisa tidur, dan yang paling menjengkelkan adalah perempuan murung dengan segala tetek bengek suasana hatinya ini! Aduh ! Pusing kepalaku! Nyeri ! Baiknya minum saja lagi ? ya. (Teriak) hei kamu ! Sini !! KAUL (Datang) Ada apa ? TAMU Minum ! (Kaul Pergi) Aduh! (Memandang-Mandang Diri Sendiri Sambil Duduk) Penampilanku memang tidak karuan. Penuh debu, sepatuku kotor, rambutku acakacakan. Tentunya nyonya itu menganggapku orang gelandangan saja. (MENGUAP) memang tidak sopan masuk kerumah ini dalam penampilanku yang begini … ah ! peduli amat ! Aku kan bukan Tamu yang mau mengapeli dia ! Aku disini sebagai penagih hutang. Dan tidak ada aturan berpakaian bagi penagih hutang. KAUL (Menyajikan Segelas Minukman) Makin lama tuan makin seenak tuan sendiri ! TAMU (Marah) Apa kamu ! KAUL (Keder) ee..Tidak…tidak apa-apa tuan. cuma… TAMU Tidak tahu ya, siapa yang kau ajak bicara ini ! Tutup mulut busukmu itu ! KAUL (Kesamping) Wah ini betul-betul binatang buas, celaka ! padahal sekarang cuma aku dan nyonya yang dirumah. PERGI TAMU Betul-betul marah aku! (Menderum) rasanya ingin meremas seisi dunia sampai hancur, kulumat jadi serbuk. Bangsat ! Sampai nanar mataku (Tiba-Tiba Teriak) hei kunyuk jelek ! YULI (Datang Dengan Pandangan Luruh) Tuan, saya sungguh tidak terbiasa selama beberapa waktu ini, mendengar suara manusia. sayaingin hidup menyepi. Dan saya tidak tahan mendengar teriakan. Saya mohon dengan hormat dan sangat, janganlah tuan mengganggu ketenteraman saya. TAMU Bayar utang nyonya, dan saya segera pergi. YULI Sudah saya katakan kepada tuan dengan bahasa yang jelas dan lugas saat ini saya tidak pegang uang, tunggulah sampai lusa. TAMU Dan dengan rasa hormat yang sebesar-besarnya telah saya katakan dengan bahasa yang jelas dan lugas pula saya butuh uang hari ini, bukan lusa. YULI Tapi apa yang bisa saya lakukan kalau saya tidak punya uang untuk melunasi tuan? TAMU Jadi nyonya tidak mau membayar sekarang juga ? YULI Saya tidak bisa. TAMU Kalau begitu, ya saya akan terus tinggal disini. saya akan terus duduk disini sampai uang saya dikembalikan. (Duduk), jadi.. nyonya mau bayar lusa. Baik, saya akan duduk begini ini sampai lusa (Terlonjak Tiba-Tiba) hei! Tapi dengarlah saya kan harus membayar angsuran besok pagi ? Ya tidak ?!! Apa nyonya pikir saya cuma melucu, bikin-bikin ?! YULI Saudara saya mohon tidak berteriak-teriak, ini bukan kandang kuda ! TAMU Saya tidak hanya soal kandang kuda, tapi besok saya kan harus bayar angsuran dua macam ! ya apa tidak ! YULI Saudara ini tidak tahu bagaimana seharusnya berbicara dihadapan seorang wanita. TAMU Tahu ! aku tahu benar bagaimana harus berperilaku di hadapan wanita YULI Sama sekali tidak ! saudara kasar dan tidak tahu sopan santun sama sekali, pria baik-baik tidak bicara dengan bahasa semacam itu dengan wanita. TAMU Oo..ini baru kejutan ! Nyonya ingin saya bicara dengan bahasa yang bagaimana dengan nyonya? Bahasa prancis mungkin ? Baik (Dengan Lagak Yang Sangat Diformal-Formalkan) madame, je vous prie ..(madam, sye vu pri) saya begitu bahagia bahwa nyonya tidak akan membayar saya… aaah, maafkan saya yang telah mengganggu nyonya ! alangkah cerah udara pada hari ini ! Pakaian berkabung yang nyonya kenakan itu sangat cocok dan pantas untuk nyonya ! (MEMBUNGKUKKAN BADAN, MENGHENTAKKAN TUMIT KE LANTAI) YULI Itu kasar, tolol, sama sekali tidak lucu. ! TAMU (Menirukan) itu kasar tolol, sama sekali tidak lucu. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi wanita, katanya, dengar ! Aku banyak sekali mengenal wanita dengan segala lekuk liku mereka. Banyak sekali. Lebih banyak dari burung gereja yang nyonya lihat sepanjang hidup. Sudah tiga kali Aku berduel senjata gara-gara perempuan, dua belas wanita aku tolak cintanya, dan cuma sembilan orang yang menampik saya. Aku pernah tolol dan konyol, sentimentil menghadapi wanita. merayu-rayu, melimpahkan sanjungan, membungkuk-bungkuk, merangkak-rangkak, melata-lata, Aku pernah tulus bercinta, menderita duka lara, berkeluh kesah pada rembulan, Aku pernah bercinta dengan penuh gairah asmara, dengan cinta birahi yang menggila. Aku pernah juga berkicau seperti kutilang, berbusa-busa ngomong tentang emansipasi wanita. Dan separuh hartaku kuhabiskan untuk memanjakan emosiemosi kemesraanku. Tapi sekarang ? Ohoo ! Terima kasih !! Jangan harap nyonya bisa menjerat saya. Pengalaman pahit sudah cukup. Bola mata yang hitam berbinar, mata yang sayu memendam birahi, bibir merah membasah, lesung pipit di pipi, cahaya purnama, bisik-bisik mesra, helaan nafas yang memberat…alaah..! sialan ! dengar nyonya, seratus perak pun tidak saya kasih untuk membayar semua itu !!! (Mencegah Yulina Yang Tampak Hendak Memotong Pembicaraannya) Nanti dulu. Jangan salah tangkap. Yang Aku maksudkan bukanlah wanita yang ada dimukaku ini, tetapi semua wanita ! Semua ! Yang muda, yang tua, semua sama saja, semua licik, semua munafik, penipu paling tengik ! Walaupun, maaf, biasanya ininya (Menampar Dahinya Sendiri) payah. Tumpul, tidak bisa logis. Memang mereka mahluk puitis, melihat luarnya saja, laki-laki pasti terpana, gandrung, ngebet, aduuh alangkah haluus, muluus…kuduus bagaikan dewi suci. Tapi coba saja, intiplah pikiran dan hatinya. Apa yang kelihatan ? Ha ? Apa nyonya ? Buaya ! Buaya busuk itu juga ! (Yulina Yang Penasaran Mau Menyela Lagi) Nanti dulu! saya belum selesai, dan yang paling memuakkan, buaya ini merasa bahwa dialah mahluk yang memonopoli penghayatan akan cinta dan kemesraan. Aaassem !! Coba nyonya, nyonya boleh menggantung saya dengan kepala di bawah – nah, di paku itu – (Menunjuk Ke Dinding) kalau nyonya bisa tunjukkan perempuan yang betul-betul sanggup mencintai orang lain siapapun juga. Pada akhirnya, semua perempuan kan hanya inigin menguasai lakilaki, memperbudaknya. Ya tidak ? Ah..Nyonya sendiri perempuan, jadi nyonya pasti tau sifat perempuan berdasarkan sifat nyonya sendiri. Jawablah dengan jujur demi kehormatan nyonya sendiri. Pernahkah sepanjang hidup nyonya bertemu wanita yang betul betul tulus, setia, pantang goyah ? Tidak pernah ! cuma perempuan tua yang peot saja yang bisa setia ! YULI Maaf, jadi menurut tuan, siapa yang setia dan tidak goyah dalam hal cinta ? Tentunya bukan laki-laki, kan ? TAMU Ya laki-laki ! laki-laki tentu saja ! YULI Laki-laki (Ketawa Dengan Marahnya) Laki-laki bisa setia dan tidak goyah dalam hal cinta ! Ini sungguh-sungguh berita gempar. (Penuh Perasaan) Kau punya hak apa untuk berkata begitu ?? Laki-laki setia dan tidak goyah !! baik. karena pembicaraan sudah sampai disini, sekarang kau boleh tau. Di antara semua lelaki yang kukenal, suamiku adalah yang paling baik, Aku mencintai dia dengan seluruh diriku, kepadanya kuserahkan hidupku, usia mudaku, kebahagiaanku, nasib peruntunganku. Aku mengagumi dia, memuja dia sampai seperti menyembah berhala. Lalu,….kau tau apa yang terjadi tuan yang budiman ? Lelaki terbaik diantara semua lelaki ini menipu dan menghianati aku setiap kali ada kesempatan. Sesudah dia meninggal, kutemukan surat cinta satu laci penuh dari begitu banyak wanita lain. Sementara, ketika dia masih hidup, Aku sering dia tinggalkan sendirian, berminggu-minggu lamanya. Dia bercumbu dengan wanita lain didepan mataku, dan jelaslah bahwa dia tidak pernah mencoba setia kepadaku. Dia boros-boroskan uangku, dan mentertawakan perasaanku kepadanya. Meskipun dia begitu busuk, aku tetap mencintai dia. tetap setia kepadanya…. Bahkan lebih dari itu, Sampai sekarang, meskipun dia sudah meninggal, Aku tetap setia, tidak pernah menyeleweng. Kukuburkan diriku dirumah ini, diantara tembok-tembok itu buat selamanya. Dan aku tidak akan melepas pakaian berkabung ini sampai hari kematianku…… TAMU (Ketawa Mengejek) Pakaian berkabung ! Aduh-aduh… lucu betul! Jadi kau kira aku tidak tau mengapa kau mengenakan pakaianmu yang aneh itu dan tidak pernah keluar rumah ? astaga ! saya tau nyonya ! Betapa misterius ! Oh alangkah puitisnya. lalu nanti akan ada mahasiswamahasiswa, anak-anak muda tak berpengalaman yang melihatmu diambang jendela. Lalu mereka akan berkata, “eh dirumah ini ada seorang wanita misterius, yang mengurung diri dirumah demi cintanya pada suaminya”. Kau akan jadi terkenal. Dan makin lama para pemuda itu akan makin terangsang untuk mendekatimu. Alaah..Aku tau akal-akalan macam itu nyonya…. YULI (Meledak) Apa ? berani kau ngomong begitu ?! TAMU Nyonya mengurung diri dalam rumah, tetapi tidak pernah lupa merias wajah. (Menunjuk) itu ! Yang di wajah nyonya itu apa bukan bedak, dan yang itu gincu ? YULI Berani kau bicara seperti itu ? Dirumahku ??!! TAMU Sst..!! jangan teriak-teriak nyonya, Aku bukan bujangmu. Ijinkan Aku mengatakan hitam itu hitam, putih itu putih. Aku bukan perempuan, dan Aku terbiasa menyatakan pikiranku tanpa berputar-putar (Berteriak) jadi jangan berteriak ! YULI Bukan Aku yang berteriak. Tapi kamu, Aku minta, pergilah. Pergi. TAMU Kembalikan uangku. Aku akan pergi. YULI Aku tidak akan membayarmu. TAMU Kau harus. YULI Tidak bisa. Pergi. Tinggalkan rumah ini. TAMU Karena aku bukan tunanganmu, bukan pula buruhmu, kau tidak usah berlagak macammacam, nyonya (Duduk) Aku tidak suka kau berlagak begitu. YULI (Tersengal Saking Marahnya) kau….masih berani duduk ?? TAMU Berani, ada apa ? YULI Aku minta, saudara pergi ! TAMU Kembalikan uang saya (Ngomong Sendiri, Menyamping) Penasaran betul aku !… penasaran betul !! YULI Aku tidak mau bicara dengan orang tidak waras. Aku mohon, pergilah tuan! (Jeda) tidak mau pergi ? TAMU Tidak . YULI Tidak ? TAMU Tidak. YULI Baik. (Memanggil ) Kaul !…. (Kaul Datang ) Kaul, antarkan tuan ini keluar. KAUL (Mendekati Tamu) Tuan…. Sudilah tuan betul-betul pergi kalau sudah diminta pergi… Tuan jangan…. TAMU (Bangkit, Garang) Tutup mulutmu. Siapa yang kau ajak ngomong ini ? Aku betot lidahmu nanti! KAUL LARI TERBIRIT-BIRIT YULI Dimana kawan-kawanmu yang lain, Kaul ? KAUL (Dari Luar Panggung) Tidak ada nyonya. Semua sedang keluar. YULI Ayo tuan. Segera keluar dari rumahku ini ! TAMU Agaklah sopan sedikit ! YULI (Mengepalkan Tangannya) kamu ini memang bangsat, beruang biadab, hewan ! TAMU (Maju Mengarah Yuli) Heh darimana hakmu menghina aku ? YULI Ya. Aku menghina kamu. Lalu mau apa ? Kamu pikir aku takut ya ? TAMU Dan kau kira karena kau kebetulan mahluk puitis, lalu kau bisa menghina orang seenaknya tanpa mendapatkan hukuman ? Aku tantang kamu berduel ! Pistol !! YULI Cuma karena jarimu gemuk-gemuk, kepalamu besar, dan bisa meraung kaya’ kerbau di sembelih, lantas aku takut padamu, hei kerbau ! Beruang ?!! TAMU Setan ! tidak akan kubiarkan seorangpun menghina aku. Ayo, Aku tantang kamu ! Mentang-mentang kau mahluk lemah, lantas kau pikir Aku tidak tega ? YULI Kau menantang duel ? Boleh ! TAMU Sekarang juga ! YULI Sekarang juga ! almarhum suamiku punya koleksi beberapa pistol, aku ambil, jangan lari kamu ! TAMU Akan ku bidik dia seperti membidik ayam. Dikiranya Aku ini remaja yang sentimentil apa ! KAUL (Masuk) Oh tuan…tuan, (Berlutut Dihadapan Tamu) Jangan tuan. Kasihanilah saya, orang tua ini. Pergilah segera tuan. Tadi tuan membentak saya sampai jantung saya copot. Sekarang tuan malah mau berduel pistol. TAMU (Tidak Perduli) Ya duel, antara laki-laki dan wanita. Inilah yang namanya persamaan hak. Emansipasi. Demi prinsip. Aku harus menembak mati dia. Harus. ini prinsip. (Jeda) Tapi, bukan main hebatnya perempuan itu, wajahnya menyala-nyala, matanya berkilap-kilap. Dia meladeni tantanganku ! Gila !! belum pernah Aku kenal perempuan macam begini seumur hidup. KAUL Tuan, pergilah tuan, Aku mohon ! Aku akan mendoakan tuan, Aku janji ! TAMU Ini wanita sejati. Wanita idaman. Bukan modelnya perempuan-perempuan lemah, yang merengek-rengek, mendesah, dan melenguh-lenguh ! Sungguh sayang. Aku terpaksa membunuhnya. KAUL (Meratap) Oh tuan… pergilah .. pergi… TAMU Aku senang padanya, itu jelas. Perempuan penuh pesona… YULI MASUK DENGAN MEMBAWA DUA PISTOL KAUL Astaga ! Tuhan. Minta ampuun !!! Bagaimana ini ! aduh ngeri aku. (KABUR SAMBIL MENUTUP TELINGA DENGAN TANGANNYA) YULI Nah. Ini pistolnya. Tapi sebelum kita mulai. Tolong jelaskan pada saya bagaimana cara menggunakannya ! Baru pertama kali ini Aku menyentuhnya. TAMU (Mengamati Pistol-Pistol Itu) Begini. Ada bermacam-macam pistol. Ada yang khusus dibikin untuk duel, misalnya yang bikinan mortimer. Kalau ini…. Ini sungguhsungguh pistol bagis, mahal ..hmmm begini cara menggenggamnya… (Bicara Sendiri Menyamping) aduh ! matanya ! Ya tuhan. Matanya ! YULI Begini ? TAMU Betul. Kemudian angkat bagian ini. Ya. Lalu mulailah membidik sasaran…. Ya begitu. Kepalamu ditegakkan sedikit. Itu lengan nyonya harus direngangkan penuh….naah.. begini. Lalu jari yang ini nyangkol dan menekan disini…. Hiyyak.! Tapi aturan yang terpenting adalah... jangan tegang, jangan terburu-buru. Nyonya harus menguasai seluruh tangan agar tidak gemetar... YULI Beres ! Kurang enak menenbak-nembak didalam rumah. Mari kehalaman belakang. TAMU Baiklah. Cuma… perlu kuingatkan bahwa aku nanti akan menembak keudara. YULI Lantas ? Mengapa begitu ? TAMU Sebab ….. sebab, ah ! Itu urusanku ! YULI Oo jadi tuan tidak tega ya ? apa tuan takut ? jangan ! Contohlah aku, aku tidak akan berkedip sampai peluruku melobangi jidatmu. Jidat yang sangat aku benci itu. Jadi kau takut ? TAMU Ya.. Aku takut. Kita batalkan saja. YULI Omong kosong ! Mengapa kau batalkan ? TAMU Sebab ….. sebab…. Aku…. Jatuh hati padamu. YULI (Ketawa Dengan Marah) Dia jatuh hati padaku ! berani-beraninya dia bilang begitu. (Menuding Ke Pintu) Pergi dari sini !!! TAMU (Meletakkan Pistol Dengan Membisu, Mengambil Topinya Dan Melang Kah Ke Pintu, Dekat Pintu Dia Berhenti. Selama Kira-Kira Setengah Menit, Keduanya Saling Pandang. Kemudian Tamu Itu Mendekati Yulina Dengan Langkah Berat) Dengar …. kau masih marah, nyonya ? …. Nama saya Grego… saya juga marah besar, tapi…. Bagaimana Aku menjelaskannya… soalnya adalah… ehem… terus terang saja… begini… (Berteriak) bagaimanapun juga, apakah saya salah mengatakan hal ini padamu ? Sialan ! Aku jatuh hati! Mengerti ? Malahan hampir jatuh cinta. YULI Jangan mendekat, benci Aku ! TAMU Ya tuhan.. hebatnya wanita ini, sepanjang hidup baru sekarang aku ketemu yang sedahsyat ini. Aku tenggelam . Aku tikus yang masuk perangkap. Tamatlah riwayatku ! YULI Jangan dekat ! Aku tembak nanti !! TAMU Tembak. Tembaklah. Tidak bisa kau bayangkan alangkah bahagianya mati di hadapan sepasang mata yang indah dan ajaib itu. Terbunuh oleh peluru dari senjata yang di genggam tangan halus dan gemulai itu….aah ! Aku jadi tidak bisa berfikir. Pertimbangkan dan putuskanlah sekarang. Nyonya, karena sekali aku melangkah meninggalkan rumah ini, kita tidak akan pernah berjumpa lagi. Kau harus membuat keputusan. Aku keturunan orang baikbaik, Aku lelaki jujur, dan penghasilanku lumayan….dan Aku bisa menembak sasaran uang logam yang engkau lemparkan keudara…. YULI (Ketus Mengacung-Acungkan Pistol) Ayolah duel. Aku tantang kau sekarang ! TAMU Pikiranku macet. Otakku mogok. (Teriak) hai. kunyuk tua ! Air !! YULI (Teriak) Ayo bertempur !!! TAMU Aku kalang kabut, jatuh cinta. Seperti mahasiswa semester pertama. (Tiba-Tiba Menangkap Dan Menggenggam Tangan Yulina. Yulina Memekik Kesakitan) Aku jatuh cinta padamu (Berlutut Di Hadapan Yulina) belum pernah aku mengalami cinta yang sedahsyat ini. Dua belas perempuan aku tolak, dan sembilan orang wanita menolakku, tapi belum pernah aku mencintai perempuan seperti aku mencintai nyonya sekarang ini. Aku menjadi lemah-lembut, lemah, lembek…..Sialan !!! ini memalukan !!! Sudah lima tahun aku berhasil tidak jatuh cinta. Aku pernah bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi, tapi sekarang… Mendadak aku tidak bisa berkutik. Nyonya, aku melamarmu. Jadilah istriku. Mau apa tidak ? tidak ? baiklah. Kalau tidak mau ya jangan BANGKIT DAN BERJALAN CEPAT KEARAH PINTU YULI Tunggu sebentar…. TAMU (Berhenti) Bagaimana ? YULI Tidak. tidak apa apa… Pergilah kalau mau pergi. Tapi sebentar… Tidak ! Pergi ! Pergi sana ! Aku benci melihatmu !! Tapi….Nanti dulu ! (Menggeletakkan Pistol Di Meja) Kau tidak tahu bagaimana marahnya Aku ! jari-jariku sampai kesemutan menggenggam barang jahanam itu ! (Menyeka Muka Dengan Sapu Tangan, Lalu Tiba Tiba Mengoyak Sapu Tangan Itu Dengan Garang) Mengapa Ngejublek di situ. Keluaar…! TAMU Selamat tinggal. YULI Ya Pergi. Pergi sana… (Teriak) Hai mau kemana itu ? tunggu dulu…. tapi tidak ! Pergilah. Oookh…. Alangkah marahnya Aku ! Jangan. Jangan dekat-dekat lagi ! awas ! TAMU (Mendekati Dengan Langkah Lamban Namun Tegas) Nyonya, betapa marahnya aku hari ini… Aku jatuh cinta seperti anak remaja, Aku berlutut, memohon-mohon padamu, Nyonya Aku mencintai kamu, dan ini satu hal yang paling tidak ku inginkan. Besok pagi aku harus membayar angsuran dua macam, dan sekarang kau membikin Aku jatuh cinta….. (Meraih Pinggang Yuli) Untuk ini Aku tidak bakalan pernah memaafkan diriku sendiri. YULI Eh….! Kurang Ajar ! Lepaskan Aku. Aku benci, Aku…..aku tantang kamu ! MEREKA BERPELUKAN. KAUL MASUK MEMBAWA KAPAK DI IRINGI BEBERAPA LELAKI LAIN MEMBAWA PENTUNGAN, SEKOP, PARANG KAUL (Melihat Pasangan Yang Sedang Bermesraan Itu) Ya ..Tuhan ! SELESAI Pinangan Drama Komedi Satu Babak Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun © 2006 Pinangan ( Komedi Satu Babak ) Karya Anton Chekov Saduran Jim Lim Suyatna Anirun Pemain Rukmana Kholil (60) Ratna Kholil (25) Agus Tubagus (30) ( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL) RUKMANA : Eee ... ada orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ... Sungguh diluar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ?? (MEREKA BERSALAMAN). AGUS : Baik, baik, terima kasih, bagaimana dengan Bapak? RUKMANA : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana? AGUS : Oh, tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik. RUKMANA : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja. AGUS : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas air! RUKMANA : (KESAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya. (KEPADA AGUS) Apa soalnya, Agus? AGUS : Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak. RUKMANA : Akh, Agus jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa? AGUS : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak. RUKMANA : (DENGAN GIRANG) Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya. AGUS : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ... RUKMANA : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginku. Aku selalu mencintaimu, Agus. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ... AGUS : Pak Rukmana Kholil yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya? RUKMANA : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR) AGUS : Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidupsemati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup. (MINUM) Chh ... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK) RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar Agus Tubagus? AGUS : Apa kabar Ratna Rukmana yang baik? RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah. (MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya menunggu. (MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, Agus? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa? AGUS : (GUGUP) Begini Ratna Rukmana yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM) RATNA : Ada apa? (HENING) AGUS : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Sari Gading”-ku yang dibatasi oleh pohonpohon ... RATNA : Maaf, saya memotong. Kau katakan Lapangan “Sari Gading“ apa benar itu milikmu? AGUS : Ya, itu milikku. RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Bukan milikmu. AGUS : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Rukmana yang manis. RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milikmu. AGUS : Tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Sari Gading” yang terbentang antara Anyer dan Jakarta. RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami. AGUS : Tidak, Ratna Rukmana yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami. RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Agus Tubagus ... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu? AGUS : Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami. RATNA : Mana bisa ... ? AGUS : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Rukmana Kholil. Lapangan “Sari Gading” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu miliku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Nenek-Bibiku mengijinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak Harto lengser ... RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakkekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai Rawa Pening. Jadi Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Agus Tubagus. AGUS : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Rukmana ... RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Agus Tubagus Jayasasmita. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh bahu dan harganya paling tinggi tiga ratus ribu rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak adilan. (AGUS BERAKSI INGIN BICARA) Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan ketidakadilan. AGUS : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani KakekAyahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Nenek-Bibiku. Dan karena Nenek-Bibiku ingin membalas kebaikan ini ... RATNA : Kakek-Nenek-Bibi, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami ! Itulah ! AGUS : Milikku ... ! ..., Milikku ... ! RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Sari Gading“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka! AGUS : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Rukmana. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah. RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Agus Tubagus. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan Nopember dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, Agus Tubagus. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebihlebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan. AGUS : Kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Chh, aku belum pernah merampas tanah orang lain, nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu. AGUS : Akan kulempar mereka semua keluar! RATNA : Awas kalau kau berani! AGUS : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Sari Gading” adalah miliku. RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi disini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat. AGUS : Kalau aku tidak sakit napas, nona. Kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini. (BERTERIAK) Lapangan “Sari Gading“ milikku. RATNA : Punya kami! AGUS : Punyaku! RATNA : Kami! AGUS : Punyaku! (RUKMANA KHOLIL MASUK) RUKMANA : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak? RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Sari Gading“. Dia atau kita? RUKMANA : Agus, Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. AGUS : Masya Allah, Rukmana ! Bagaimana bisa menjadi milikmu? Cobalah sedikit adil. Nenek-Bibi meminjamkan Lapangan “Sari Gading“ tersebut kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami. RUKMANA : Maaf, Agus. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Nenekmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gus. AGUS : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya! RUKMANA : Akan tidak bisa, Nak ... AGUS : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT) RUKMANA : Mengapa kau berteriak-teriak, Agus? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyakanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan kepunyakanku. Untuk apa? Kalau kau, Agus ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu. AGUS : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain? RUKMANA : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu: “Juragan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ... AGUS : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan mentertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana Kholil ... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat! RUKMANA : Apa katamu, Agus? Lintah darat? RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera. AGUS : Apa katamu, nona? RATNA : Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ... AGUS : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya. RUKMANA : Di depan pengadilan boleh saja, Juragan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik! Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... ! AGUS : Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Jayasasmita selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti pamanmu. (KEPADA RATNA) RUKMANA : Semua keturunan Jayasasmita keturunan gila ! RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... ! RUKMANA : Kakekmu seorang pengadu ayam, bibimu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH) AGUS : Dan bibimu seorang yang bongkok. (MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah ... Air ... RUKMANA : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!! RATNA : Dan tak ada lagi selain Bibimu yang mulutnya latah dan judes ... AGUS : Oooohh ... Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintuny?! Aku mau pulang ... !! RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!! RUKMANA : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau! AGUS : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR) RUKMANA : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini! RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (AGUS KELUAR MERABA PINTU) RUKMANA : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH) RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!! RUKMANA : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar. RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa? RUKMANA : Dia datang ke sini untuk melamarmu ... RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL) RUKMANA : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus! RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi. RUKMANA : Aduh, bawa dia kembali? RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ... RUKMANA : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR) RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ... RUKMANA : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau. RATNA : Tidak. Ayah yang salah! RUKMANA : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (AGUS MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (RUKMANA KELUAR) AGUS : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. RATNA : Kami minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, Agus Tubagus Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan “ Sari Gading “ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ... AGUS : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Sari Gading“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut. RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah. AGUS : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya. RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja. AGUS : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Rukmana. Nenek-Bibiku memberikan ijin kepada petani-petani ayahmu ... RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA AGUS) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari? AGUS : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Rukmana yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, anjingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ... RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ... AGUS : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, anjingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Soleh sebanyak dua ribu rupiah untuk si Belang? RATNA : Terlalu mahal, Agus Tubagus. AGUS : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia anjing yang lucu dan cerdas. RATNA : Ayah hanya membayar lima ratus rupiah untuk si Kliwon, dan si Kliwon jauh lebih cerdik daripada si Belang. AGUS : Si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? RATNA : Ya, tentu saja. Si Kliwon masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Raden Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya. AGUS : Maaf, Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si Kliwon berkumis pendek. Dan, ooo ... Anjing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit. RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu. AGUS : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya. RATNA : Sudah kau ukur? AGUS : Oh ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit. RATNA : Tetapi pada anjing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti kuda yang hampir mati. AGUS : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor anjing seperti si Kliwon. Dan si Kliwon itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh anjing, seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia. RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang anjingmu lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa anjing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada anjingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya? AGUS : Sekarang sudah jelas, Ratna Rukmana. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa anjingmu berkumis pendek. RATNA : Bohong ... ! AGUS : Betul ... ! RATNA : Bohoooooong ... ! AGUS : Mengapa menjerit-jerit? Mengapa kau berteriak-teriak? RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Kliwon. AGUS : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebardebar. RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu. AGUS : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah! RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Kliwon seratus kali lebih baik dari si Belang. AGUS : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Kliwon. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ... RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja. AGUS : Diam! Hatiku mau pecah! Oh. RATNA : Sekarang apa lagi? (RUKMANA MUNCUL) Ayah katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, anjing mana yang lebih baik, si Kliwon atau si Belang? AGUS : Pak Rukmana, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Kliwon berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak? RUKMANA : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apaapa? Tidak ada lagi anjing yang baik di seluruh daerah kita ini. AGUS : Tetapi anjing si Belang lebih baik dari si Kliwon, bukan? RUKMANA : Jangan terburu-buru, Agus. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang baik. Dia anjing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi anjing itu Agus, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ... AGUS : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Wak Mansyur, anjing Raden Martasuwanda dikalahkan si Belang, sedangkan anjing Bapak, si Kliwon, setengah kilo di belakang mereka. RUKMANA : Bohong, Agus. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat anjing orang lain. Misalkan saja kau menemukan bahwa anjing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Agus? AGUS : Kuingat juga ... RUKMANA : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat? AGUS : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ... RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikutikutan campur tangan anjing orang lain. Kau seharunya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ... RUKMANA : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak apalah, tapi kau Cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, Agus. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu! AGUS : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot! RUKMANA : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu! AGUS : Tukang komplot! RUKMANA : Pengecut! Anak liar! AGUS : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat! RUKMANA : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok! AGUS : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ... RUKMANA : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu. AGUS : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI) RUKMANA : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa. RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... ! RUKMANA : Siapa mati? (MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR AGUS) Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau! (AGUS BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ... AGUS : (BERKUNANG-KUNANG) Dimana aku? RUKMANA : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu. AGUS : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa? RUKMANA : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian. RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu. RUKMANA : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ... AGUS : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis. RATNA : Saya ... saya juga senang Agus Tubagus. RUKMANA : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku. RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Kliwon . AGUS : Dia lebih cerdik, Ratna. RATNA : Ia kurang cerdik! AGUS : Ia lebih cerdik. RATNA : Kurang! AGUS : Lebih! RATNA : Kurang! AGUS : Lebih! RUKMANA : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari kita berpesta!