1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Secara umum, supremasi hukum merupakan sebuah prinsip inti demokrasi liberal yang mewujudkan ide-ide, seperti konstitusionalisme dan pemerintah dengan kekuasaan terbatas (Heywood, 2018). Menurut Mochtar (2013)1, supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menepatkan hukum pada posisi tertinggi. Supremasi hukum memungkinkan hukum untuk melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun termasuk penyelenggara negara. Dalam suatu negara, penegakkan supremasi hukum dapat berjalan dengan dua prinsip, yaitu prinsip negara hukum dan prinsip konstitusi. Dalam prinsip negara hukum, tidak ada penyelewengan yang dilakukan oleh penegak hukum sehingga masyarakat memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sementara itu, prinsip konstitusi menjadikan konstitusi sebagai landasan dalam bermasyarakat, sehingga hak setiap warga negara terjamin (Qamar, 2017). Pada saat ini, dunia sedang beranjak dari era industri 4.0 menuju society 5.0. Menurut Suhartoyo (2021) , society 5.0 berfokus pada pembangunan masyarakat dengan nilai lebih pada sisi humanis dan kesejahteraan yang didukung oleh Internet of Things (IoT). Paradigma ini dikembangkan untuk menjawab semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi, menipisnya sumber daya alam, terorisme, kehidupan pandemi dengan ketidakpastian, hingga kompleksitas pada hampir seluruh tingkat kehidupan. Kerja sama yang baik dari beragam pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, dan teknologi digitalisasi diperlukan untuk mewujudkan society 5.0. Penegakan hukum yang lebih berorientasi pada human centric bertujuan memberikan kehormatan yang tinggi pada hukum yang hidup di masyarakat (living law), dan tidak semata terbatas pada norma perundangundangan semata. 1 Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H, M.H., adalah ketua Mahkamah Konstitusi masa jabatan tahun 2013. 2 1.2 Latar Belakang Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya (Stever, 1972). Globalisasi merupakan proses yang sudah ada sejak masa silam, semata-mata karena adanya predisposisi umat manusia untuk hidup bersamasama dalam suatu wilayah dan karena itu dikondisikan untuk berhubungan dan mengakui hubungan satu sama lain. Globalisasi menjadi sebuah proses yang mengalami suatu akselerasi sejak beberapa dekade terakhir ini. Satjipto Rahardjo (1996) mengemukakan perkembangan yang terjadi di dunia memengaruhi perkembangan dalam hukum nasional bangsabangsa yang muncul dalam bagaimana bidang hukum makin mengalami internasionalisasi, bagaimana bahan transnasional bagi praktik hukum diciptakan, dan bagaimana kekuatan dari logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan internasional juga berdampak pada bidang hukum, sehingga logika bidang hukum membentuk sebuah mikrokosmos dari suatu fenomena sosial yang lebih besar. Walaupun demikian, pengaruh tersebut tidak boleh menyimpang dari sifat supremasi hukum itu sendiri yang memiliki fungsi primer, yaitu fungsi perlindungan, keadilan, dan pembangunan (Setiadi, 2002). Pengelolaan hukum dengan memanfaatkan teknologi informasi diharapkan dapat memaksimalkan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perlu dicermati bahwa internet sebagai suatu sistem elektronik global adalah perwujudan konkret dari konvergensi teknologi telekomunikasi, media, dan informatika. Internet merupakan perwujudan dari kepentingan kapitalisme global. Dengan keberadaan internet sebagai jalan raya informasi, struktur kapitalisme telah berubah menjadi bentuk digital. Demikian pula halnya dengan sistem hukum yang berupa law hierarchy juga seakan berubah menjadi suatu jaringan kerja network yang 3 terdistribusi dalam bentuk informasi dan dokumentasi hukum yang bernilai ekonomis. Untuk merespons globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, maka pembangunan sumber daya hukum perlu diarahkan pada pengembangan individu dalam pengusahaan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang berpijak pada realitas sosial, dan budaya yang sangat beragam (multicultural). 1.3 Tujuan Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengulas bagaimana globalisasi berdampak pada bidang hukum di Indonesia dan bagaimana hukum Indonesia dapat mempertahankan supremasinya di bawah pengaruh globalisasi yang kuat. Makalah ini juga disusun sebagai syarat untuk mendapatkan penilaian tugas individu pada mata kuliah “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”. 4 BAB II PERMASALAHAN 2.1 Rumusan Masalah Topik bahasan makalah ini adalah “Implementasi Supremasi Hukum Indonesia di Era Digital dan Global”, yang akan membicarakan bagaimana sifat supremasi hukum dapat terus ditegakkan ditengah-tengah pengaruh globalisasi yang terjadi di dalam bidang hukum di Indonesia. 5 BAB III PEMBAHASAN Tidak dapat dipungkiri, globalisasi membawa banyak kemajuan di negara ini. Salah satu kemajuan itu terasa di bidang teknologi. Pemanfaatan kemajuan teknologi dalam pembangunan struktur hukum merupakan hal yang sangat penting di era digital ini. Pemanfaatan itu bisa berupa e-government, e-procurement, ebusiness, dan cyber law. Pemanfaatan teknologi dalam birokrasi akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Selain itu, pemanfaatan teknologi juga akan membantu penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang lebih baik. Pada prinsipnya, sasaran pembangunan di era industri 4.0 adalah pemberdayaan sumber daya teknologi informasi. Tanpa adanya sistem informasi dan hukum yang baik, maka substansi hukum akan sulit diakses publik dan dikritisi kebenarannya dan tidak akan mendorong terbentuknya struktur hukum yang baik. Pengelolaan hukum dengan memanfaatkan teknologi informasi diharapkan dapat memaksimalkan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perlu dicermati bahwa internet sebagai suatu sistem elektronik global adalah perwujudan konkret dari konvergensi teknologi telekomunikasi, media, dan informatika. Internet merupakan perwujudan dari kepentingan kapitalisme global. Dengan keberadaan internet sebagai jalan raya informasi, struktur kapitalisme telah berubah menjadi bentuk digital. Demikian pula halnya dengan sistem hukum yang berupa law hierarchy juga seakan berubah menjadi suatu jaringan kerja network yang terdistribusi dalam bentuk informasi dan dokumentasi hukum yang bernilai ekonomis. Seiring dengan konvergensi teknologi, pada faktanya sistem hukum yang berlaku sekarang ini juga tengah mengalami proses konvergensi yang terjadi akibat pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Secara tidak langsung, sistem hukum yang berlaku sekarang ini juga merupakan wujud dari sistem komunikasi antar manusia dan antar bangsa. 6 Pada saat ini, dunia sedang beranjak dari era industri 4.0 menuju society 5.0. Menurut Suhartoyo (2021)2, society 5.0 berfokus pada pembangunan masyarakat dengan nilai lebih pada sisi humanis dan kesejahteraan yang didukung oleh Internet of Things (IoT). Paradigma ini dikembangkan untuk menjawab semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi, menipisnya sumber daya alam, terorisme, kehidupan pandemi dengan ketidakpastian, hingga kompleksitas pada hampir seluruh tingkat kehidupan. Kerja sama yang baik dari beragam pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, dan teknologi digitalisasi diperlukan untuk mewujudkan society 5.0. Penegakan hukum yang lebih berorientasi pada human centric bertujuan memberikan kehormatan yang tinggi pada hukum yang hidup di masyarakat (living law), dan tidak semata terbatas pada norma perundangundangan semata. Hal ini selaras dengan pandangan Lawrence Friedman tentang tiga sub sistem yang harus dipenuhi dalam proses penegakan hukum, yaitu: legal substance, legal structure, dan legal culture. Penegakan hukum pada era society 5.0 perlu melihat penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan, independensi, imparsialitas, dan kebebasan lembaga penegak hukum dalam memutus perkara, profesionalisme aparat penegakan hukum, dan melibatkan partisipasi publik. Perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan masyarakat akibat globalisasi dan perubahan sosial dapat menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial. Sering kali hukum dikatakan ketinggalan zaman dan tidak sanggup memberi keadilan. Hal ini diperburuk dengan aparat penegak hukum yang sering kali dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Berdasarkan asumsi yang dijabarkan, penegakan hukum di Indonesia jauh dari kata ideal. Hukum cenderung digunakan untuk melindungi mereka yang berkuasa sementara pelanggaran HAM akan terus berlanjut. Di sinilah masalah kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua yakni aman dan tenteram, yang semuanya dapat dicakup dalam tujuan hukum, yaitu kedamaian. Untuk itulah diperlukan supremasi hukum, hukum pada puncak tertinggi pelaksanaan demokrasi di Indonesia dimana orang paling berkuasa di negara ini 2 Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., adalah hakim Mahkamah Konstitusi. 7 pun tidak sanggup mengganggu penegakan hukum di negara ini. Supremasi hukum sering dipahami sebagai salah satu esensi demokrasi. Karena supremasi hukum mengimplikasikan dua hal, yaitu mencegah terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, supremasi hukum memiliki implikasi menjaga masyarakat agar dalam menjalankan hak-haknya tidak terjerumus dalam tindakan di luar batas hukum yang acapkali berujung anarkis. Empat elemen penting dalam negara hukum yang menjadi ciri tegaknya supremasi hukum, yaitu: 1. Jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu dilaksanakan di atas dasar hukum dan peraturan perundang-undangan. 2. Jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar. 3. Pembagian kekuasaan negara yang jelas, adil, dan konsisten. 4. Perlindungan hukum dari badan-badan peradilan terhadap tindak pemerintahan. Supremasi hukum akan tercapai apabila terjadi pembagian kekuasaan di antara lembaga pemerintahan yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, hal ini dikemukakan pula oleh Solly Lubis bahwa ketiga kekuasaan itu harus dibagi sedemikian rupa sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. Konsep pemisahan seperti ini oleh Montesque dikenal dengan nama trias politica. Miriam Budiardjo mengungkapkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut trias politica, tetapi oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 menyelami jiwa demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan. Di tengah arus globalisasi yang tengah terjadi dibangsa ini, penegak hukum diharapkan mampu memiliki kecerdasan spiritual untuk menangani kejahatankejahatan transnasional. Hal ini disebabkan pada umumnya, perilaku kejahatan transnasional tampak tidak melanggar suatu ketentuan perundangan atau sebagai suatu perbuatan legal. Hanya penegak hukum yang memiliki kecerdasan spiritual yang mampu membaca perilaku jahat yang sebenarnya terkandung dalam perilaku tersebut. Ketidakprofesionalan aparat penegak hukum yang masih terjadi seperti yang telah dijabarkan merupakan suatu contoh belum membudayanya kecerdasan 8 spiritual para penegak hukum. Hal ini akan menghambat perjalanan negara ini menuju society 5.0 yang berarti negara ini akan menjadi negara yang tertinggal apabila insan-insan Indonesia tidak menyadari betapa pentingnya supremasi hukum di era digital dan global ini dalam membawa negara ini kepada kemajuan, karena bila tidak adanya supremasi hukum, ketidakadilan akan terus terjadi. Dalam sejarah dunia, ketidakadilan terbukti menjadi pembunuh negara-negara di masa yang lalu. 9 BAB IV KESIMPULAN Pemanfaatan kemajuan teknologi dalam pembangunan struktur hukum merupakan hal yang sangat penting di era digital ini. Pengelolaan hukum dengan memanfaatkan teknologi informasi diharapkan dapat memaksimalkan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada saat ini, dunia sedang beranjak dari era industri 4.0 menuju society 5.0. society 5.0 berfokus pada pembangunan masyarakat dengan nilai lebih pada sisi humanis dan kesejahteraan yang didukung oleh Internet of Things (IoT). Penegakan hukum lebih berorientasi pada human centric bertujuan memberikan kehormatan yang tinggi pada hukum yang hidup di masyarakat (living law), dan tidak semata terbatas pada norma perundang-undangan semata. Perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan masyarakat akibat globalisasi dan perubahan sosial dapat menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial. Sering kali hukum dikatakan ketinggalan zaman dan tidak sanggup memberi keadilan. Hal ini diperburuk dengan aparat penegak hukum yang sering kali dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Ketidakprofesionalan aparat penegak hukum ini merupakan suatu contoh belum membudayanya kecerdasan spiritual para penegak hukum. Di tengah arus globalisasi yang tengah terjadi dibangsa ini, penegak hukum diharapkan mampu memiliki kecerdasan spiritual untuk menangani kejahatankejahatan transnasional. Hal ini disebabkan pada umumnya, perilaku kejahatan transnasional tampak tidak melanggar suatu ketentuan perundangan atau sebagai suatu perbuatan legal. Hanya penegak hukum yang memiliki kecerdasan spiritual yang mampu membaca perilaku jahat yang sebenarnya terkandung dalam perilaku tersebut. Hal ini akan menghambat perjalanan negara ini menuju society 5.0 yang berarti negara ini akan menjadi negara yang tertinggal apabila insan-insan Indonesia tidak menyadari betapa pentingnya supremasi hukum di era digital dan global ini dalam membawa negara ini kepada kemajuan, karena bila tidak adanya supremasi hukum, ketidakadilan akan terus terjadi. Dalam sejarah dunia, 10 ketidakadilan terbukti menjadi pembunuh negara-negara di masa yang lalu. Hal ini perlu diantisipasi supaya negara kita tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama. 11 DAFTAR PUSTAKA Heywood, Andrew (2018). Pengantar Teori Politik Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 294. Husni, Ahmad., Sugiono, Bambang. (2000). "Supremasi Hukum dan Demokrasi". Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. 7 (14): Hal. 71 – 82. Nugroho, Hibnu (2008). "Paradigma Penegakkan Hukum Indonesia Dalam Era Global". Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 26, No. 4, Oktober 2008: Hal. 324. Qamar, Nurul (2017). "Supremasi Hukum dan Penegakan Hukum". Ishlah. Hal. 151 – 158. Rahardjo, Satjipto (1996). “Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam Konteks Global”. Makalah seminar pertemuan Dosen/Peminta Sosiologi Hukum se Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Agustus 1996. Riyanto, Benny (2020). "Pembangunan Hukum Nasional di Era 4.0". Jurnal Rechtsvinding. Vol 9, No. 2, Agustus 2020: Hal. 163, 165 – 166. Setiadi, Edi (1972). "Pengaruh Globalisasi Terhadap Substansi dan Penegakan Hukum". Mimbar. Vol XVIII, No. 4, Oktober – Desember 2002: Hal. 1 – 3, 452 – 453. Stever, H. Guyford (1972). "Science, Systems, and Society." Journal of Cybernetics, hal. 1 – 3. “Ketua MK: Supremasi Hukum Harus Disertai Kemampuan Menegakkan Kaidah Hukum”.https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=8923#:~:text =Supremasi%20hukum%20merupakan%20upaya%20menegakkan,manapun %2C%20termasuk%20oleh%20penyelenggara%20negara. Diakses tanggal 10 Juni 2022. “Penegakan Hukum dengan Dukungan Internet of Things”. https://www.uii.ac.id/penegakan-hukum-dengan-dukungan-internet-ofthings/. Diakses pada 10 Juni 2022.