Notes from Jogja Sekedar Hentakan Sumbang Keyboard Seorang Anak Manusia Jumat, 27 Januari 2017 Resume Buku “Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam” Resume Buku “Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam” Karya: Prof. Dr. Abdul Karim, M.A., M.A. BAB I Rancang bangun sejarah, Peradaban dan Pemikiran. Dalam membaca fakta sejarah, para peneliti dihadapakna pada banyak perspektif terkait pembacaan tersebu, utamanya dalam sejarah peradaban umat islam. Perbedaan pespektif terebut tidak terjadi tanpa sebab, namun dikarenakan akan kayanya khazanah pengetahuan tenang sejarah yang berbeda. Adanya keragaman cara baca terhadap fakta sejarah ini, utamanya dalam sejarah peradaban islam, hendaknya tidak menjadi cikal bakal terjadinya konflik-konflik yang tidak penting. Karena sejarah pada prinsipnya merupakan fakta “tunggal” yang rela diinterpretasikan atau ditafsirkan oleh siapa pun, tentunya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan akademik sehingga obyektifitasnya tetap terjada dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan malah menjadi tafsir subyektif dari golongan tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu. A. Sejarah Dalam kerangka ilmu pengetahuan, perlu diketahui bahwa Ilmu Sejarah termasuk golongan ilmu pengetahuan sosial (social sciences), yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari hal-hal yang menyangkut tentang manusia dan kemanusiaan karena sejarah adalah salah satu ilmu yang mempelajari tentang manusia dan kemanusiaan. Dan pula ilmu sejarah tidak termasuk di dalam golongan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) yaitu ilmu yang mempelajar benda-benda yang memilii sifat umum dan tetap dengan mempergunakan sarana matematika (ilmu hitung) dan metode eksperimental. Banyak perbedaan akan definisi sejarah meurut para sejarawan dan ilmuwan, namun mereka pada umumnya sepakat bahwa sejarah adalah peristiwa masa lalu yang tidak hanya sekedar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa, tetapi juga memberikan interpretasi dan penafsiran atas peristiwa tersebt dengan melihat pda hukum kausalita. Hal dikarenakan dengan perspektif historis, diaharapkan manusia tidak hanya mengamati berbagai peristiwa0-peristiwa seperti dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang dituangkan ke dalam kesadaran individual. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran historis sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran dari pengalaman masa lalau untuk melihat masa kni dan beberapa faktor pendukung historisnya. Mempelajari sejarah, tidak terlepas dari kebudayaan dan peradaban, yang mana keduanya amat erat berhubungan dengan manusia. Terlepas dari berbagai teori asal mula manusia, baik teori evolusi Darwin maupun jawaban al-Qur’an akan asal mula mansia dari tanah, harus dipahami bahwa ini semua sematamata merupakan reaksi manusia atas pertanyaan asal mula manusia. Kebudayaan secara harfiah (budaya) berarti pikiran, akal, budi atau mengenai kebudyaan yang sudah berkebang (beradab, maju) dan arti kata kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan bain, manusia (seprti kepercayaan, kesenian dsb). Dapat pula diartikan sebagai kegiatan (usaha) bain untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Pendek kata, menurut Prof. M. M. Djojodigoeno dalam bukunya, bahwa kebudayaan atau budaya adalah dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Pertama, cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, lahir maupun batin. Kedua, karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangkan paran. Dan ketiga, rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan. B. Peradaban Berasal dari bahasa Jawa Kawi, berati kesopanan, hormat-menghormati, budi bahasa, etiket dan lainlain. Lawan dari kata berdab adalah biadab, tidak tahu adat dan sopan santun. Jika kebudayaan merupakan suatu sikap batin, sifat dari jiwa manusia, maka peradaban adalah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun dab sebagainya. Dalam khazanah pemikiran Islam, yang dianggap sebaga sumber-sumber pemikiran dan peradaban adalah Kitab Suci alQur’an dan Hadits. C. Pemikiran Perkembangan pemikiran dalam Islam dimulai pada zaman ini, zaman munculnya Islam. Karena semasa Nabi Muhammad SAW apapun permasalahan yang timbul diselesaikan dengan turunnya wahyu atau dengan kebijakan nabi kecuali pada beberapa hal. Para pemikir dan cendekiawan membagi pemikiran ke dalam dua golongan besar, pemikiran secara Esoteris dan pemikiran secara Isoteris. Yang pertama berupa pemikirna yang mengarah ke dunia luar, mendalam, bebas, teliti dan disebut juga pemikiran rasional. Bertumpu pada filasafat Yunani di dunia Barat. Adapun yang kedua, berupa pemikiran yang ditujukan ke dalam dirinya dengan tujuan untuk mengetahui hakekat dari asal mula kehadiran serta esensi kejadian dirinya dan disebut juga pemikiran kontemplatif. Berkembang di dunia Timur (Persia, India, dan China) dan berfokus pada etika, estetika dan moral. Pemikiran Islam hadir di antara dua kebudayaan yang mengembangkan dua pola pemikiran berbeda, Yunani dan Persia karena Islam lahir di Hijaz, yangs secara geografis terletak di antara keduanya. Maka Nabi Muhammad SAW, dalam prakteknya di satu pihak cenderung menggunakan metode pemikiran rasional Yahudi dan di pihak lain menggunakan metode pemikiran kontemplatif Kristen. Inilah salah satu alasan Allah menyebut Umat Muhammad SAW sebagai Umat Pertengahan/berimbang (ummatan Wasathan). Dalam sejarah, pemikiran Islam berkembang melalui periode-periode yaitu: 1) Pemikiran Arab Murni, 2) Pemikiran Islam setelah bersentuhan dengan Pemikiran Yunani, Persia dan India, 3) Pemikiran Islam setelah bersentuhan dengan Renaissance dan, 4) Pemikiran Islam setelah bersentuhan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Kajian mengenai Peradaban dan Pemikiran Islam diberikan dengan beberapa maksud, di antaranya adalah: Pertama, mengetahui periode-periode perkembangan sejara islam. Kedua, mengetahui latar belakang sosiologis dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Ketiga, mengetahui fenomena agama. Keempat, mengkaji agama dengan pendekatan yang sesuai dengan masalahnya dan kelima, menemukan segala macam kategori tipe keagamaan. BAB II Periode Rasulullah SAW (610-632 M) Sebelum membahas Arab pada periode Muhammad SAW, perlu diketahui sedikit tentang Arab Pra-Islam atau Arab Jahiliyyah, yang oleh sejarawan dibagi ke dalam 3 kategori: al-Ba idah (Arab Kuno), al’Arabiyyah (Arab Pribumi) dan al-Mustaribah (Arab Pendatang). Jahiliyyah sendiri berarti Kebodohan atau kegelapan. Dan di masa tersebut, mereka tidak mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, hanya bergantung pada sektor pertanian dan perdagangan sebagai mata pencaharian mereka, namun mereka tidak dapat dipisahkan dengan berbagai kegiatan budaya. Dimana sastra Arab sangat maju dan memiliki arti penting dalam kehidupan bangsa Arab. Mereka menganut berbagai macam agama, yaitu paganisme, Kristen, Yahudi, Majusi dan pula agama Tauhid ajaran Nabi Ibrahim As. Nabi Muhammad SAW lahir pada 12 Rabiul Awwal tahun Gajah atau sekitar 570-571 M. Dan beliau mendapatkan Wahyu yang pertama pada umurnya yang ke 40 tahun berupa Surat al-Alaq ayat 15. Beliau mengajak keluarga terdekatnya untuk memeluk Islam secara diam-diam (sirr). Setelah 3 tahun berdakwah diam-diam, Beliau memulai berdakwah secara terang-terangan (jahr) pada kaumnya, Quraisy. Periode Kenabian Muhammad SAW dibagi ke dalam 2 Periode, periode Mekkah (13 tahun) dan periode Madinah (10 tahun). Setelah 13 tahun lamanya Muhammad SAW berdakwah di Mekkah, beliau hijrah ke Madinah (dahulu Yatsrib). Hijrah ini bukan semata-mata dikarenakan siksaan Kaum Quraisy yang tiada henti, namun lebih kepada memenuhi undangan Masyarakat Yatsrib untuk datang ke sana sebagai Pendamai. Di Kota inilah peradaban Islam yang sesungguhnya bermula. Beliau mengubah Yatsrib menjadi Madinah al-Munawwarah, mendirikan Masjid sebagai tempat beribadah kepada Allah, juga sebagai tempat untuk mengadili perkara, jual beli dan sebagainya, mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Mekkah dengan Kaum Anshar dari Madinah, membuat perjanjian antara Muslim dan Non-muslim, serta memperluas penyebaran Islam ke luar Madinah setelah kokohnya masyarakat Islam Madinah. Puncaknya adalah Fathu Makkah (pembebasan Mekkah), dimana kota Mekkah berhasil direbut dan puluhan ribu kaum Quraisy berbondong-bondong memeluk Islam. Pemerintahan Muhammad SAW di Madinah bercorak Teokrasi yang dikepalai oleh seorang Rasul, disamping sebagai Pemimpin Agama, namun kedaulatan sepenuhnya ada di tangan Allah SWT. Negara tersebut bercorak monarki tapi republik dan memberi kebebasan individu, kebebasan beragama, hak sebagai warga sosial dan negara dan juga kedaulatan di tangan Allah SWT. BAB III Periode al-Khulafa al-Rasyidun (632-661) Al-Khulafa al-Rasyidun merupakan para pemimpin Islam dari kalangan sahabat, pasca nabi Muhammad SAW wafat pada 632 M. Islam tumbuh sebagai ajaran dan pula sebagai institusi negara yang mulai berkembang pada masa itu. Seperti pada zaman Nabi, kedaultana tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki fasilitas “ekstra” dalam ajaran Islam unutk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka merupakan pelaksana hukum. Walaupun mereka merupakan kepala pemerintahan dan memiliki hak penuh dalam urusan dunia, namun mereka harus tunduk pada Majelis Syura, tanpa persetujuan mereka, para khalifah tidak dapat mengeluarkan kebijakan apapun. Cara pemilihan khalifah ada dua, yaitu secara musyawarah oleh beberapa sahabat Nabi, atau berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya. A. Abu Bakar ash-Shidiq Beliau dipilih hasil musyawarah dan ijtihad para sahabat dikarenakan ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau tidak menentukan siapa Khalifah sepeninggal beliau. Maka setelah musyawarah antara sahabat, terpilhlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama karena faktor senioritas dan berasal dari kalangan Quraisy. Dalam kurun waktu kepemimpinan yang relatif singkat 9632-634 M), beliau mampu mengamankan negara baru Islam dari perpecahan dan kehancuran, seperti melakukan ekspedisi ke luar negeri, mengahadapi para pembangkang pajak dan zakat, dan penumpasan nabi-nabi palsu. Salah satu hasil usaha Abu Bakar yang sangat berarti adalah berhasil membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf, sebab setelah banyaknya penghafal al-Qur’an yang gugur sebagai syuhada dalam beberapa perang. Dengan demikian, tidak salah bila para sejarawan memberi gelar Abu Bakar sebagai “The savior of Islam after the Prophet Muhammad”. Dan sebelum beliau wafat, beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifah sepeninggal beliau. B. Umar ibn Khattab Beliau menjabat khalifah atas perintah Abu Bakar sebelum wafatnya untuk menghindari munculnya problem terkait siapa khalifah penggantinya seperti yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah SAW. Setelah memangku jabatan Khalifah, Umar melebarkan sayap Islam ke Persia, Syam, Iraq bahkan Mesir. Diantara kebijakannya adalah membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi. Setiap provinsi dikepalai oelh Wali. Dan juga ia mengeluarkan dekrit, bahwa para tentara Islam yang ikut berperang dilarang melakukan transaksi jual beli tanah di daerah taklukan Islam di luar Arab, dan sebagai gantinya Khalifah memberikan gaji tetap dan dana pensiun bagi seluruh sahabat dan tentara perang Islam. Beliau menjabat sebagai Khalifah selama kurang lebih 10 tahun, dan meninggal pada 644 M karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (orang Persia) seorang suruhan Mughirah ibn Syu’ba. Sebelum meninggal, beliau tidak dapat menunjuk satu orang sebagai penggantinya, namun beliau menunjuk 6 orang sahabat yang dipandang layak menjadi Khalifah, yaitu Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Utsman ibn Affan, Ali bin Abi Thalib dan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Setelah melakukan voting, terpilihlah Utsman bin Affan sebagai Khalifah pengganti Umar. C. Utsman Ibn Affan Berasal dari Bani Umayyah, Utsman masuk Islam pada awal munculnya Islam ketika pada waktu yang sama, kebanyakan dari Bani Umayyah memusuhi Nabi dan agama Islam. Periode pemerintahan Utsman dibagi dalam dua periode, yaitu Periode kemajuan dan Periode Kemunduran. Pada Periode I, Islam mengalami kemajuan yang luar biasa hingga dapat mengibarkan panjinya sampai wilayah Pakistan (timur) dan Aleppo (utara) dan berhasil membentuk armada laut yang tangguh dan kokoh dalam menghalau serangan-serangan dari Byzantium. Adapun Periode II identik dengan huru-hara dan kekacauan yang -- oleh sebagian sejarawan -- diakibatkan oleh nepotisme yang dilakukan khalifah karena mengangkat sanak familinya dalam jabatan-jabatan yang strategis hingga melahirkan berbagai kecemburuan dan ketidakpuasan yang memuncak membentuk huru-hara yang berujung wafatnya sang Khalifah pada 656 M. Itulah salah satu catatan hitam yang mewarnai masa kepemimpinan Khalifah yang terkenal sangat dermawan dan penyabar ini. Namun, bila ditelisik lebih jauh, sesungguhnya tidak semua gubernur yang diangkat adalah famili Utsman, dan ia pun tega memberhentikan serta menghukum Walid ibn Uqbah (yang merupakan familinya) ketika terbukti bersalah, dan keseluruhan pejabat yang berasal dari familinya terpilih lebih karena faktor profesionalitas dan reputasi akan kemampuan mereka yang mumpuni. Sehingga salah satu faktor penyebab huru-hara ini di samping Khalifah sudah berusia lanjut (82 tahun) juga karena persoalan ekonomi yang mana orang Arab mulai membangkang dari Dekrit yang dikeluarkan pada zaman Umar. Demikianlah huru-hara yang berujung pembunuhan Utsman mengakhiri masa jabatan Sang Khalifah selama 12 tahun. D. Ali ibn Abi Thalib Ali bin Abi Thalib menjabat Khalifah setelah beberapa sahabat mendesaknya untuk menjadi pengganti Khalfah Utsman. Namun, pengangkatan Ali ini menimbulkan ketidakpuasan bagi beberapa sahabat, seperti Thalhah dan Zubair. Sehingga mereka, bersama Aisyah ra mengobarkan perang yang disebut” Perang Unta”. Lalu setelah meraih kemenangan di perang tersebut, Ali mulai memecat gubernurgubernur yang sewenang-wenang dari zaman Utsman, termasuk di antaranya Muawiyah di Syam. Inilah salah satu cikal bakal terjadinya berbagai perang saudara seperti Siffin dan Nahrwan. Akhirnya, Ali memindahkan ibukota dari Madinah ke Kufah. Dalam perang Siffin, Ali menghadapi Gubernurnya, Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia menghentikan peperangan yang sudah hampir dimenangkan oleh kelompok Ali karena Muawiyah menawarkan dialog perdamaian (tahkim) antara kedua kubu yang bertikai. Mereka yang tidak puas akan keputusan Ali tersebut dan memilih keluar dari barisan Ali membentuk golongan “Khawarij”. Adapun mereka yang bersikukuh mendukung Ali membentuk golongan “Syi’ah”. Pada akhirnya, tahkim pun gagal karena kelicikan dan pengkhianatan Amr ibn Ash, sehingga makin banyak pendukung Ali yang membelot ke golongan Muawiyah dan Khawarij. Puncaknya, seorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Sang Khalifah pada saat sedang memasuki masjid untuk Sholat Shubuh pada 24 Januari 661 M. Sepeninggalnya, Hasan bin Ali menggantikannya untuk beberapa saat hingga Muawiyah menyerangnya dan mendesak untuk segera menyerahkan Jabatan Khalifah kepada Muawiyah. Hasan pun setuju demi menghindari perang saudara antar umat Islam. Maka dengan ini, berakhirlah masa al-Khulafa al-Rasyidun dan dimulailah Dinasti Bani Umayyah. BAB IV Dinasti Bani Umayah (661-750) A. Berdirinya Dinasti Umayah Nama dinasti ini diambil dari nama keturunan dari Umayah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf, salah seorang pemuka Quraisy yang merupakan rival terberat Bani Hasyim. Dinasti ini berdiri selama kurang lebih 90 tahun lamanya, dan dipimpin oleh 14 orang khalifah yang keseluruhan berasal dari keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Marwan bin al-Hakam. Bentuk pemerintahan pun berubah dari corak republik menjadi monarki, dengan adanya pengangkatan putra mahkota sebagai khalifah berikutnya. Dan Muawiyah lah yang pertama membuat jurang pembeda antara Arab dan Mawali dan memindahkan ibukota pemerintahan yang sebelumnya berada di Madinah pada zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan di Kufah pada zaman Ali ke Damaskus. B. Perkembangan Dinasti Umayah Muawiyah pada awal pemerintahannya membagi atas dua kelompok ewan syura yaitu, Syura Khas (pusat) dan Majlis Syura yang sementara (ad hoc) yang memiliki jumlah lebih banyak terdiri dari berbagai provinsi dan kota. Satu sisi ia cukup membuka ruang untuk demokrasi, namun di sisi lain ia juga mengampanyekan brntuk pemerintahan monarki dengan mengangkat Yazid sebagai putra mahkota untuk menjadi khalifah sepeninggalnya. Para penguasa di Dinasti Umayah masih menggunakan gelar “Khalifah”, ada dewan syura and sebagau penguasa yang legitimet. Setelah meletakkan pondasi-pondasi pemerintahan, Muawiyah digantikan oleh Yazid, anaknya. Kepemimpinan Yazid terkenal dengan peristiwa Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husein bin Ali dan pula peristiwa penyerangan kota Madinah dan pembakaran Ka’bah. Setelah wafat, Yazid digantikan oleh Muawiyah II, anaknya, yang hanya memangku jabatan beberapa bulan. Maka naiklah Marwan, sekaligus mengakhiri kekuasaan dari keluarga Abu Sufyan. Marwan berhasil memadamkan huru-hara yang mencoba menggoyahkan pemerintahan Bani Umayah. Periode keemasan dinasti ini dimulai ketika anak Marwan, Abd al-Malik menjabat khalifah sepeninggalnya. Ia lah yang pertama menggunakan secara resmi bahasa Arab sebagai bahasa negara. Ia pun mencetak mata uang Arab yaitu, Dinar, Dirham dan Fals.Khalifah ini pun memberlakukan dekrit di Zaman Umar I untuk melarang orang Arab melakukan transaksi atas tanah-tanah mawali. Berbagai bangunan dan masjid pun banyak dibangun di zamannya. Ia mewasiatkan kepada 4 orang putranya menjadi putera mahkota secara berturut: al-Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam. al-Walid pun mengikuti jejak sang ayah dalam mendirikan berbagai madrasah, panti jompo dan orang sakit, masjid dan berbagai tempat kajian-kajian Islam. Setalahnya, Sulaiman pun menjadi khalifah sesuai wasiat sang ayah. Namun, satu hal yang patut dicatat, bahwa Sulaiman berani membatalkan wasiat sang ayah dan mengangkat Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah penggantinya. Umar ibn Abdul Aziz adalah khalifah yang paling sederhana dan menjauhi hidup dalam kemewahan duniawi. Ia sangat takut akan kedholiman dalam mengambil yang bukan haknya seperti banyak kisah-kisah yang sering didengungkan orang. Ia pun menata administrasi pemerintahan, mempersatukan hak Arab dan Mawali, saleh dan jujur dalam penegakan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Bahkan tidak berlebihan bila ia disebut Sufinya Bani Umayah. Sepeninggalnya, Bani Umayah kembali ke kebiasaan lamanya yang korup dan menyengsarakan rakyatnya. Itulah awal penyebab keruntuhan Bani Umayah. Seluruh khalifah penerusnya (Yazid bin Abd Malik sampai Marwan II) banyak terdapat perang saudara dan kekacauan interen istana. Dan pula para Khawarij dan Bani Abbasiyah mulai menyusun kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Bani Umayyah. Puncaknya adalah terbunuhnya Marwan II pada 750 M yang menandai lahirnya era baru, Dinasti Bani Abbasiyah dengan Abu al-Abbas Saffah sebagai Khalifah pertamanya. Tidak dapat dipungkiri ada banyak faktor penyebab runtuhnya Dinasti ini. Di antaranya adalah banyaknya kebijakan Khalifah yang bertolak belakang dengan kebijakan Rasulullah SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidun yang menyengsarakan rakyat. BAB V Kekhalifahan Abbasiah (750-1258) A. Berdirinya Dinasti Abbasiah Nama dinasti ini diambil dari nama salah satu paman Nabi, al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Sebagaimana disebutkan di bab sebelumnya, bahwa Abbasiah merupakan rival Bani Umayah dari zaman jahiliyyah. Begitu pula dengan urusan khilafah, mereka mengklaim bahwa mereka lebih berhak dari bani Umayah yang merebut tahta dari Hasan bin Ali dengan jalan yang tidak jujur. Dinasti ini berkuasa cukup lama, sekitar 500 tahun. Dimulai dengan Saffah, lalu dilanjutkan oleh al-Mansur yang memindahkan ibukota ke Baghdad. Selain Saffah, semua khalifah Abbasiah menganggap kekuasaannya berasal dari Allah (divine origin) dan menjadi penuntun sebenarnya bagi kaum muslim. Sehingga dalam diri seorang Khalifah terdapat dua jabatan, yaitu Khalifah sebagai jabatan sakral dalam agama dan sebagai seorang Raja, kepala pemerintahan. Masa keemasan dinasti ini hadir pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid dan Khalifah alMa’mun yang sanagt concern pada perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu dan kemajuannya. Masa alMa’mun juga dikenal dengan kegiatan ilmiah yang sangat dipengaruhi oleh Persia, sehingga muncul statement “Dalam baju Arab pengaruh Persia lah yang paling menghiasi Abbasiah yang mewakili Bangsa Arab”. Dan pula berbeda dengan pendahulunya Bani Umayah, pada zaman ini pengaruh bangsa Arab bahkan kalah dari bangsa Persia. Khalifah penggantinya, al-Mu’tashim setelah melihat perbuatan sewenang-wenang dari tentara Persia dan pengaruh buruk yang diberikan kepada yang lainnya, ia pun mengundang tentara bayaran Turki untuk menumpas mereka. Sekilas metode ini berhasil, namun di kemudian hari inilah penyebab lain kejatuhan Dinasti Abbasiah. Panglima-panglima Turki yang diangkat oleh al-Mu’tashim ternyata mulai berbuat onar dan menyerbu untuk mendapatkan kekuasaan yang penuh pada zaman Watsiq, Mutawakkil dan puncaknya pada zaman Muntashir, mereka berkuasa penuh atas khalifah. Namun, sungguh pun mereka berkuasa penuh, mereka tetap membiarkan jabatan khalifah dipegang oleh Bani Abbas karena kedudukan khalifah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat. Dan daerah-daerah yang terletak jauh mulai membebaskan diri dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Secara berturut-turut, kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwayhah dan Dinasti Saljuq. Selain sebab diatas, Perang Salib pun turut berperan dalam pelemahan kekuatan Islam umumnya, khususnya Abbasiah. B. Keruntuhan Faktor penyebab keruntuhan Abbasiah terbagi ke faktor internal dan eksternal. Diantara faktor internal adalah eksploitasi dan kebijakan yang memberatkan rakyat, kebijakan yang berubah-ubah, faktor ekonomi dan agama. Dan diantara faktor eksternal adalah besarnya pengaruh Persia dan Turki dalam pemerintahan. Namun di sisi lain, para sejarawan tidak menafikan betapa besar kontribusi yang diberikan Abbasiah dalam bidang administrasi (terbentuknya berbagai macam diwan-diwan, dan masuknya non-arab dalam jabatan strategis), sosial (meningkatnya peran dan kedudukan wanita, pergeseran aristokrasi arab ke hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa), kegiatan ilmiah (berubahnya Baghdad menjadi pusat kelimuan dunia, berdirinya Bait al-Hikmah, banyaknya buku-buku yang diterjemahkan ke bahasa arab), peran pemerintah (dalam gerakan penerjemahan dan penulisan buku-buku). Dengan ini semua semakin membuktikan, bahwa corak pemerintahan Abbasiah adalah corak pemerintahan non-arab. BAB VI Islam di Afrika A. Masuknya Islam ke Afrika Bangsa Afrika disebut juga Berber, berasal dari beberapa dataran Eropa dan Asia tengah, mengembara hingga Afrika karena tidak mampu menembus wilayah Eropa, mereka bermukim di Afrika Utara. Awal kontak dengan Afrika adalah ketika beberapa sahabat hijrah ke negeri Habasyah (sekarang Ethiopia) bertemu dengan Raja Najassyi, lalu penaklukan Mesir pada zaman Khalifah Umar oleh Panglima Amr ibn Ash. Sejak saat itulah wilayah Mesir dan sekitarnya masuk ke kekuasaan Islam. Terlebih pada masa Urbah ibnNafi’ menjadi gubernur di Afrika dengan ibukota Fustat. Semenjak zaman itu mulai banyak penduduk Afrika yang memeluk Islam, atau disebut mawali. B. Dinasti-dinasti di Afrika Banyak dinasti-dinasti kecil yang pernah berkuasa di Afrika, yaitu Dinasti Idrisiah di Maroko, Dinasti Aghlabiah di Tunisia, Dinasti Ibn Toulun, Dinasti Ikhshid dan Dinasti Fathimiah. Dinasti yang disebut terakhir merupakan dinasti yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah peradaban Islam di Afrika. C. Awal Berdiri Fathimiah Dinasti Fathimiah mulai muncul ketika kekuatan Dinasti Abbasiah mulai melemah. Mereka menguasai Mesir setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti ini merupakan manifestasi dari keinginan orang Syi’ah untuk mendirikan negara sendiri, setelah Syi’ah tidak mendapatkan tempat di dinasti Umayah maupun Abbasiah. Mereka membangun kekuatan jauh dari Damaskus maupun Baghdad, di daerah al-Maghrib. Namun, sejarah Dinasti ini sangat sukar ditemukan dalam literatur-literatur sejarah yang ada karena sifatnya yang underground dan rahasia. Dinasti ini mencapai puncak kejayaan pada masa Mu’iz yang setara dengan keberhasilan Abdurrahman III di Andalusia, yang mana Mu’iz berhasil membangun pusat peemerintahan Mesir yang diberi nama Kairo (al-Qahira) sebagai ganti dari Fustat. Setelah beberapa generasi, dinasti ini mengalami kemunduran dan puncaknya ketika Khalifah XIV al-Adid ditaklukkan oleh Salah al-Din Ayyubi pada 1171 M yang menandai berakhirnya dinasti ini. D. Kemajuan Dinasti ini bernadakan Teokrasi dan bersifat Monarki bahkan bisa saja dikatakan Monarki Absolut. Secara keseluruhan tata administrasi kekahalifahan pada zaman ini berkiblat pada Umayah dan Abbasiyah dan mereka sudah mengenal tata politik, ketatanegaraan, tata keuangan, tata kemiliteran dan tata peradilan. Adapun kebudayaan di Mesir merupakan asimilasi dari berbagai budaya-budaya yang dibawa para pendatang, baik dari Romawi maupun Hellenisme. Namun yang perlu diperhatikan, Dinasti ini tetap menjaga keaslian ajarannya dengan mengangkat para pejabat dan hakim yang tidak berdarah Fathimiah tapi harus memutuskan perkara dengan cara-cara yang dianut khalifah. Sumber hukum di dalamnya berasal dari al-Qur’an dan Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka. Salah satu karya monumental dinasti Fathimiah adalah perubahan masjid al-Azhar menjadi universitas yang masih terus berdiri hingga saat ini sebagai salah satu perguruan tinggi Islam terkenal di dunia yang dibangun pada masa al-Aziz (976-996). Juga pembangunan pusat ilmu pengetahuan yang diberi nama Dar al-Hikmah, juga kelimuan lainnya yang melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ali ibn Yunus, Abu Ali al-Hsan ibn al-Hashim dan lainnya. E. Kemunduran dan Kehancuran Seperti dinasti-dinasti lainnya, Fathimiah pun mulai mengalami kemunduran yang berakibat pada kehancuran dinasti tersebut. Indikasi kemunduran sudah terlihat sejak Bani Saljuk bersama pasukannya datang ke Baghdad dan mengusir keluarga Buwaihi. Sebab lainnya adalah doktrin keagamaan Isma’iliyyah tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat yang notabene Sunni. Sebab lainnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan militer dari Mawali Berber dan tentara dari budak berkulit hitam yang tidak mau tunduk dengan khalifah dan mencoba merebut kekuasaan. Dan pula, setelah Khalifah Hakim, khalifah-khalifah Fathimiah tidak lebih dari boneka yang menjadi permainan para wazir dan jenderal. Inilah beberapa faktor yang ikut mendorong kemunduran dinasti Fathimiah di samping faktorfaktor lainnya. F. Islam di Afrika Sub-Sahara Sub-Sahara (bilad as-Sudan) merupakan wilayah di selatan Mesir. Seperti diketahui, Afrika merupakan benua terbesar kedua di dunia dengan 800 juta penduduk di 54 negara. Yang merupakan sepertujuh populasi dunia. Ada 3 hal yang menjadi ciri geografis Afrika, pertama, daerah pegunungan yang tinggi dengan hutannya yang lebat. Kedua, daerah gurun pasir yang luas. Ketiga, daerah dataran tinggi yang luas. Dan Afrika juga menghasilkan ¼ hasil bumi dunia. Penduduknya terdiri dari Bangsa Berber di Utara dan Bangsa Negro di Selatan. Bangsa Negro mencakup 70% dari seluruh penduduk Afrika, yan terpecah ke dalam ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa yang berbeda. Dengan 40% pemeluk Islam, 40% pemeluk Kristen dan 20% pemeluk Paganisme. Meskipun Afrika menghasilkan ¼ kekayaan bumi di dunia, namun wilayah Sub-Sahara adalah wilayah termiskin di dunia dikarenakan selain kondisi alam yang tidak bresahabat juga warisan kolonialisme ,neokolonialisme, konflik antar etnis dan perselisihan politik. Dengan pertania sebagai mata pencahariannya. Berdasarkan penelitian Arnold Toynbee, dari sekitar 21 kebudayaan maju di dunia, tidak satu pun yang menyebutkan kebudayaan Negro. Dengan kata lain, kebudayaan Negro tidak maju dan bahkan terkenal akan kepercayaan akan takhayu dan magis. Namun di samping itu, berdasarkan hasil test intelegensia, tidak terdapat bukti bahwa substansi orang Negro memiliki intelegensia lebih rendah dari orang Barat. Namun kelemahan mereka dalam bidang berpikir terletak pada emosi yang terlalu dominan dan enerji mereka yang intervalnya tidak beraturan. Untuk penyebaran Islam di Afrika sendiri, seperti yang telah disebutkan, dimulai pada kepemimpinan Uqbah bin Nafi’ saat Bani Umayah berkuasa di Damaskus. Dan masuknya Islam secara formal dan besarbesaran terjadi pada masa Dinasti al-Murabithun dan al-Muwahhidun, dimana sebelumnya wilayah tersebut dibawah jajahan Byzantium selama lebih dari 500 tahun lamanya. Sedikit demi sedikit pengaruh Islam akhirnya mengubah hampir seluruh Sub-Sahara menjadi muslim dan membentuk negara-negara Muslim sebelum abad ke 18 M. BAB VII Islam di Andalusia (711-1492 M) A. Masa Bani Umayah Sejarah awal Islam di Andalusia, tidak terlepas dari jasa Gubernur Jenderal al-Maghrib , Musa ibn Nushair dan panglimanya yang gagah berani, Thariq ibn Ziyad yang berhasil menaklukan Andalusia sekaligus membuka jalan menuju penyebaran Islam di Benua Biru pada 19 Juli 711 M. Kondisi masyarakat Andalusia (sekitar 93% wilayah Spanyol kini dan sisanya Portugal) sangat memprihatinkan sebelum penaklukan oleh Thariq ibn Ziyad. Mereka terpecah menjadi masyarakat kelas 1, 2 dan 3, sekilas mirip dengan sistem kasta di India. Sehingga ketika Islam datang kesana, masyarakat kelas 2 dan 3 menyambut dengan penuh antusiasme dan suka cita, dengan harapan perbaikan taraf hidup mereka. Masuknya Islam ke tanah Andalusia seakan memberikan angin segar dan cahaya terang ketika peradaban Eropa tenggelam dalam kegelapan, kehancuran dan kegersangan intelektual dan budaya. Sinar Islam menyinari bangsa Vandhal, Goth dan Berber, serta memberikan kemerdekaan kepada rakyat jelata yang tertindas. Sikap toleransi kaum muslim adalah perjanjian damai dengan pihak penguasa yang ditaklukkannya. Pada masa Khalifah Sulaiman, Musa – Thariq diganti dan meninggalkan Andalusia. Sejak saat itu ada Periode Pemerintahan Dependen (711-756 M) dan Periode Independen (756-1031 M). Periode Independen terkenal dengan munculnya seorang keturunan Umayyah yang berhasil melarikan diri dari kejaran Bani Abbasiah, Abdurrahman ibn Muawiyah ibn Hisham, atau Abdurrahman Ad-Dakhil. Ia muncul di saat keadaan Andalusia pasca ditinggal Musa-Thariq kacau balau. Namun, dengan kecakapan dan kepiawaiannya, ia berhasil mengembalikan masa kejayaan Andalusia selama 32 tahun ia berkuasa. Lalu berturut-turut putra dan keturunan Abdurrahman ad-Dakhil menjabat sabagai Khalifah sampai puncaknya pada 1031 M dimana kekhalifahan di Andalusia tenggelam total. Semenjak saat itu, mulai berdiri dinasti-dinasti kecil (al-Mulk ath-Thawaif) lalu al-Murabithun dan alMuwahhidun dari Afrika Utara yang juga mulai merambah Andalusia, dan Dinasti Nasar di Granada pasca runtuhnya dinasti-dinasti yang terdahulu. Setelah melihat kekosongan pemerintahan di Andalusia, kaum Nasrani mulai melirik untuk menguasai daerah tersebut. Dan puncaknya pada 609 H/1212 M, mereka mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan mengatasnamakan perang Suci di Eropa, di bawah pimpinan Raja Alfonso VIII, Raja Castille. Serangan ke Andalusia semakin gencar setelah Ferdinand, Raja Aragon menikah dengan Isabella, Raja Castille pada 1469 M. Unifikasi dua kerajaan Nasrani tersebut semakin mempersempit wilayah Islam yang hanya tersisa di Granada di bawah naungan Dinasti Nasr. Dan tak pelak, karena kekuatan Nasrani semakin kuat dan kekuatan Islam tidak mendapatkan bala bantuan, pada 2 Januari 1492 M seluruh Spanyol jatuh ke tangan kaum Nasrani. Dengan demikian “Salib telah menyingkirkan bulan sabit”. BAB VIII Islam di Anak Benua India A. Awal masuknya Islam di India. Islam mulai merambah wilayah Asia Selatan sejak zaman Nabi Muhammad SAW secara penetration pacifique melalui hubungan perdagangan di kota-kota pesisir Pantai Barat dan Selatan. Pada tahuntahun selanjutnya, hubungan politik antara India – Arab sedang rapuh dikarenakan konflik internal dan perebutan kekuasaan antar raja di India dan masalah penindasan kasta. Melihat kondisi yang demikian, Khalifah al-Walid I mengirimkan pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad Ibn Qasim untuk datang memberikan harapan bagi kaum India yang tertindas. Islam di India dapat dibagi ke dalam 4 periode besar, yaitu awal masuknya Islam sejak zaman Nabi SAW sampai Dinasti Ghuri, Islam pada masa Kesultanan Delhi, Islam pada masa Dinasti Mughal dan Penjajah dan pergolakan Islam sampai lahirnya Pakistan dan Bangladesh. Salah satu tokoh yang paling berjasa dalam penyebaran Islam di India adalah Muhammad ibn Qasim. Beliau dikirim ke India oleh Gubernur Hajjaj Ibn Yusuf untuk melawan Raja Dahir yang menolak mengembalikan para pembangkang. Dalam perjalanannya ke India, Ibn Qasim mengajak ribuan rakyat yang tertindas dari suku Jat dan Med, di Sind, Shehwand dan sekitarnya untuk bergabung dan memberikan 3 pilihan: masuk Islam, membayar Jizyah atau berperang. Ia hanya butuh sekitar 4 tahun untuk menguasai India bagian barat laut (Sind dan Punjab). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada abad pertama Hijriah (sekitar awal abad 8 M) Islam sudah masuk dan berkembang ke India. Setelah bergonta-ganti penguasa, muncullah Dinasti Ghazni memimpin India pada 977-1186 M, dengan tokohnya Sultan Mahmud (998-1030 M) yang melakukan invasi sebanyak 17 kali ke India guna membiayai pembangunan Dinasti Ghazni. Tak lama berselang, dinasti Ghazni mampu ditaklukkan oleh dinasti Ghuri pada 1173 M. B. Kesultanan Delhi (1206-1526 M) Kesultanan Delhi dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu Awal kekuasaan Turki di India (1206-1290), Dinasti Khalji (1290-1320), Dinasti Tughlaq (1320-1414), Dinasti Sayyed (1414-1451) dan Dinasti Lodi (1451-1526). Dinasti Awal kekuasaan Turki di India ditandai dengan berkuasanya Qutb al-Din Aybek sebagai sultan dikarenakan Ghuri wafat tanpa meninggalkan anak laki-laki. Setelah Aybek, muncullah Iltutmish sebagai sultan penggantinya. Ia terkenal karena mampu menghalau serangan Mongol ke wilayah India. Setelah itu, berturuu-turut terjadi penggantian sultan hingga akhirnya pada masa Sultan Kaimus, yang baru berumur 3 tahun menjadi sultan. Inilah akhir dari dinasti ini dan munculnya Dinasti Khalji. Dinasti Khalji ditandai dengan berkuasanya Malik Firuz dengan nama Sultan Jalaudin Firuz (1290-1296) yang berkuasa ketika berusia 75 tahun. Dikarenakan umur yang sudah senja dan perangainya yang lemah lembut, Sultan ini dibunuh oleh menantunya sendiri, Alauddin Khalji, sebagai orang yang terkenal dan kuat. Ia merupakan penguasa yang ambisius seperti Gengkhis Khan dan Alexander II yang hendak menguasai dunia. Namun keinginannya diredam setelah para penasehatnya mendesak untuk fokus membenahi negara. Sepeninggalnya, Qutubuddin Mubarak Khalji, putera beliau maju sebagai Sultan. Tetapi perangainya yang buruk dan ganas membuat rakyat resah dan puncaknya ia disingkirkan oleh Gubernurnya Khusru, seorang Hindu dari golongan Paria. Ternyata penggantinya pun tidak lebih baik dalam hal perangai dan kesewenangan, sehingga para kaum ningrat mendesak Ghazi Malik, panglima Sultan yang mempertahankan wilayah utara untuk menjadi sultan sekaligus memulai periode baru, Dinasti Tughlaq. Ghazi Malik memimpin dengan bijak, saleh dan suka menolong, serta amat membenci pejabat-pejabat yang korup. Sayangnya sultan ini meninggal dikarenakan kecelakaan yang tidak disengaja. Para penggantinya yang terkenal ada Muhammad Ibn Tughlaq, seorang pemimpin yang tidak konsisten dalam memutuskan dekrit sehingga banyak rakyat, baik Islam maupun Hindu tidak tahan lagi dengan gaya kepemimpinannya. Setelah wafatnya, ia digantinkan oleh Firuz Shah, yang memerintah selama 42 tahun. Selepas wafatnya, mulailah kerajaan yang rapuh itu terpecah belah hingga akhirnya Khizr Khan dari Dinasti Sayyed mengalahkan sultan terakhir Dinasti Tughlaq. Keseluruhan rakyat India bersuka cita di bawah kepemimpinan Khizr Khan karena ia seorang yang alim dan tidak pernah melanggar janji. Kemudian penggantinya, Mubarak Shah lalu Muhammad Shah yang berkuasa 12 tahun lamanya. Setelah itu, anaknya Alauddin Alam Shah secara sukarela menyerahkan tahtanya ke Bahlul Lodi, seorang bangsawan Afghan demi dapat hidup dengan damai sampai ajal menjemput. Sultan Lodi adalah satu-satunya raja Delhi yang berasal dari suku bangsa Pathan/Afghan. Adapun sultansultan yang lain berasal dari Turki, baik asli maupun campuran. Dinasti ini berakhir setelah keturunan Sultan Lodi, Ibrahim Lodi naik tahta, timbullah berbagai macam pemberontakan yang berujung dengan serangan penguasa Farghana ke India dan mendirikan Dinasti Mughal. C. Pengaruh Islam di India. Masa kepemimpinan Ibn Qasim, rakyat hidup tenteram, harmonis dan sejahtera. Ia membangun administrasi yang rapi dan melarang para tentara bertransaksi atas tanah jajahan. Sejak saat itu, banyak orang Arab yang menetap di sana dan berinteraksi dengan warga pribumi. Banyak bangunan-bangunan yang hancur dibangun kembali dengan biaya negara. Namun, walaupun tentara Arab superior, Ibn Qasim tetap menjunjung tinggi toleransi agama seperti melarang pemotongan hewan Qurban pada Ied al-Adha karena mayoritas penduduk pribumi non-muslim. Serta banyak terjadi pertukaran ilmiah dan konversi Islam pada masa Sultan Mahmud menginvasi India . Begitu pula melalaui jalur informal para pedagang, sufi, alim ulama dan cendekiawan muslim datang ke India dan menyumbangkan pemikiran dan peradaban Islam. Begitulah, penyebaran Islam di India tidak berdasarkan kekerasan, tetapi merupakan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Dan pula karena rasa persaudaraan yang kuat, solidaritas yang sejati dan keadilan yang ditegakkan. Hingga kini Islam masih bertahan di India meskipun menjadi minoritas (sensu 2001 menunjukkan jumlah muslim mencapai 180 juta jiwa). Dan salah satu warisan budaya yang mahal adalah lahirnya bahasa Urdu dan Bangla yang merupakan pengaruh Islam dan Persia ke dalam Bahasa Sansekerta. BAB IX Islam Pada Masa Transisi Periode Transisi adalah situasi Islam saat dan pasca hancurnya Baghdad di tangan Bangsa Mongol. Selama sekitar hampir 3 tahun tidak ada khalifah dalam pemerintahan Islam. Kevakuman ini yang mendorong munculnya dua dinasti penting dalam sejarah keislaman, Dinasti Mamluk di Mesir (12491517) dan Dinasti Mongol Islam di Asia Tengah (1227-1363). A. Dinasti Mamluk di Mesir Dalam sejarah Islam banyak terjadi ungkapan “budak hari ini, pemimpin esok hari”. Begitulah yang terjadi dalam sejarah dinasti Mamluk di Mesir. Setelah al-Ayyubi wafat, peradaban Islam mengalami kevakuman. Dan pula ilmu pengetahuan Islam mulai mundur dengan hancurnya Bahgdad, namun orang Mamluk justru memeliharanya. Sehingga muncullah para ilmuwan – ilmuwan muslim di zaman ini, seperti Ibn Khaldun, Abul Fida’, Nashiruddin al-Thusi dan lainnya. Begitu pula dengan bangunan dan arsitekturnya. Dinasti Mamluk ditaklukkan oleh Dinasti Utsmani pada awal abad ke-16. B. Dinasti Mongol Islam di Asia Tengah Perkembangan Islam yang begitu pesat ke berbagai belahan dunia, salah satu penyebabnya adalah Islam melakukan pembebasan bagi masyarakat lokal yang ditindas oleh kepentingan dua kekuatan besar dunia, Persia dan Romawi. Maka, Islam dianggap sebagai agama penolong dan pembebasan. Bahkan, salah satu contoh kebangkitan Islam adalah berhasil menanamkan anasir ajaran tauhid di kalangan Mongol. Dinasti Mongol Islam ditandai dengan berdirinya Dinasti Chaghtai (1227-1369) yang merupakan putra Chengis Khan yang berkuasa di Transoxiana, Asia Tengah. Dari dinasti inilah muncul pula penguasa Mongol yang terkenal Timur Lang, yang kekuasaannya meliputi Tembok China di timur sampai Asia Kecil di barat, Laut Ural di Utara dan Lembah Sungai Gangga dan Teluk Persia di selatan. Lalu dilanjutkan dengan Dinasti Golden Horde (1256-1502) yang merupakan dinasti yang paling lama berkuasa. Pada masa inilah banyak pemimpin Mongol yang berani secara terang-terangan masuk Islam, seperti Barke, penguasa Mongol pada abad ke – 13 M. Selanjutnya Dinasti Ilkhan (1256-1335) yang didirikan oleh Hulagu Khan. Dinasti ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Ghazan Khan yang berusaha keras menanggulangi pemberontakan dan intrik dari para pangeran dan bangsawan Mongol yang tidak suka pada perubahan agama padanya. Ia memimpin dengan tegas dan bijaksana, serta membangun kembali sekolah,masjid dan bangunan yang dihancurkan oleh tentara Mongol. Ia pula menerapkan hukum Syari’ah di seluruh negerinya dan di berbagai aspek kehidupan. Pada akhirnya, ia berhasil memberlakukan otonomi daerah sehingga terlepas dari Kerajaan Mongol di China dan membuat mata uang sendiri, serta mengatur perekonomian sendiri yang berdampak pada terciptanya keamanan dan kemakmuran dalam negeri. Usaha Ghazan Khan masih diteruskan oleh para penggantinya, hingga pada masa Abu Sa’id (1316-1330) yang menjadi sultan pada umur 12 tahun. Sepeninggalnya, dinasti terpecah-pecah dan kemudian sebagian dikuasi oleh Timur Lang dan lainnya berdiri Dinasti Safawiyah BAB X Tiga Kerajaan Besar Islam A. Kerajaan Safawiyah di Persia (1501-1736) Berdiri pada awal abad ke-16 (1501 M), kerajaan ini beraliran Syi’ah di bawah pimpinan Shekh Isma’il. Nama Safawiyah sendiri diambil dari nama seorang sufi dan ulama di kota Ardabil, Azerbaidjan bernama Sheikh Safiuddin Ishak, kakek Shekh Isma’il. Ia adalah khalifah pertama kali yang menerapkan Syi’ah Itsna Asyariyah sebagai ajaran resmi negara di Iran, sehingga ia dijuluki “raja orang-orang Syi’ah”. Dalam perjalanannya, Shekh Isma’il harus berhadapan dengan Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang sunni dan amat membenci syi’ah. Kerajaan ini berlangsung selama ratusan tahun setelah wafatnya sang pendiri, Shekh Isma’il pada 1524. Tapi pada akhir 1779, dengan terbaginya kerajaan Safawiyah ke tangan Turki Utsmani dan Rusia, muncullah Dinasti Qajar di Iran yang berada di bawah dominasi politik dan ekonomi dari dunia barat, khususnya Inggris dan Rusia. Begitu pula dengan munculnya Dinasti Pahlevi, hingga berujung pada Revolusi Iran oleh Ayatullah Khomeini pada 1979. B. Turki Utsmani Turki merupakan suku yang bertempat di barat gurun Gobi. Mereka terkenal tangguh, rajin, pintar berdiplomasi, dan ahli perang. Sehingga dalam beberapa waktu kemudian Turki Utsmani menjelma menjadi kekuatan Islam yang dahsyat. Adalah al-Thugril, salah seorang keturunan Turki yang membantu sultan Alauddin, Sultan Saljuk saat itu dalam menghadapi Mongol. Sebagai balasannya, dihadiahkan kepadanya daerah di sekitar Iski Shahr. Inilah cikal bakal perkembangan Turki Utsmani. Al-Tughril memiliki anak bernama Utsman, yang dari namanya lah kerajaan ini diberi nama. Sepeninggal Sultan Alauddin, Turki Utsmani mendeklarasikan diri terlepas dari kerajaan manapun dan menjadi kerajaan independen. Salah satu pemimpin Turki Utsmani yang terkenal adalah Muhammad II (al-Fatih) yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453. Namun setelah masa kejayaan Muhammad II, penggantinya masih mampu mempertahankan kebesaran nama Turki Utsmani hingga masa Sulaiman alQanuni. Setelah masa Sulaiman, Turki Utsmani semakin mengalami kemunduran. C. Kerajaan Mughal di India Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Muhammad yang dijuluki Babur (berarti singa) pada 1526. Setelah berjuang keras demi mendirikan kerajaan ini, Babur hanya dapat merasakan 5 tahun sebelum akhirnya ia wafat pada 1530 dan digantikan oleh putranya Humayun. Adapun Raja paling terkenal ari Kerajaan ini adalah Sultan Muhammad yang berjuluk Sultan Akbar Agung yang kekuasaannya hampir seluruh wilayah anak benua India. Diantara peninggalan Kerajaan ini yang terkenal adalah salah satu keajaiban dunia yang berada di India, Taj Mahal, yang dibangun oleh Shah Jahan. Ancaman terbesar datang bersama kehadiran para kolonial Inggris di tanah India pada 1770, yang pada puncaknya seluruh India jatuh ke tangan Inggris pada 1857 dengan gagalnya Indian Mutiny. Setelah runtuhnya kerajaan Mughal, bangsa India tetap berusaha mendapatkan kemerdekaannya dari tangan Inggris dengan bergabung dengan partai politik All Indian National Congress. Tokoh yang terkenal berjasa besar dalam kemerdekaan Pakistan, India dan Bangladesh adalah Muhammad Ali Jinnah. Puncaknya, kemerdekaan Pakistan diperoleh pada 14 Agustus 1947 dan India beberapa menit setelahnya pada 15 Agustus 1947, disusul oleh kemerdekaan Pakistan Timur menjadi Bangladesh pada 26 Maret 1971. BAB XI Perkembangan Islam di Indonesia Ada banyak teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Namun, teori yang paling terkenal adalah agama Islam masuk ke Indonesia dengan jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang Timur Tengah dan Pedagang dari anak benua India. Namun, yang menarik untuk dikaji adalah Islam sangat cepat beradaptasi dengan budaya lokal sehingga tidak menimbulkan benturan dengan tradisi yang sudah ada. Teori tersebut berpendapat bahwa penyebaran Islam melalui tingkah laku para pedagang atau muballigh yang merangkap menjadi pedagang yang mengajarkan kebaikan, saling tolong-menolong, hidup bermasyarakat dan lain sebagainya. Inilah yang membuat penduduk lokal yang beragama Hindu dan Budha tertarik terhadap ajaran Islam. Disamping itu, penyebaran Islam juga dibantu oleh para Wali yang dikenal dengan wali sanga. Dan pada puncaknya berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Gerakan-gerakan Modern Islam di Indonesia Setalah penyebaran Islam di Indonesia, ternyata banyak ajaran Islam yang terkontaminasi dengan ajaran animisme, dinamisme, Hindu ataupun Budha yang lebih dahulu dianut masyarakat sekitar. Sehingga perlu diadakan Gerakan Salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada dua sumbernya yang murni, al-Qur’an dan Sunnah. Tokoh-tokoh gerakan ini antara lain K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), H.O.S Cokroaminoto (ketua Sarekat Islam) dan lainnya. Dan pula berdirinya organisasi-organisasi modernis Islam seperti Muhammadiyah, NU, Sarekat Islam, al-Islah wa al-Irsyad, Persatuan Oemat Islam (POI) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang merupakan gagasan K.H. Hasyim Asy’ari (NU) dan K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah) pada 1937. BAB XII Islam Masa Modern: Abad XVII-XX M Islam di masa modern amat berkaitan dengan semangat kolonialisme negara-negara Barat ke berbagai belahan dunia dengan membawa tujuan gold, glory dan gospel. Pada masa inilah Islam mengalami kemunduran dengan mulai melemahnya kekuatan Turki Utsmani dan lainnya, Eropa mulai merambah dunia Islam. Sehingga pada permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam. Hal ini disebabkan kekauatan militer Eropa yang mutakhir disertai dengan metode industri, dan komunikasi yang modern, sehingga negara-negara Islam tertinggal jauh dan harus rela wilayah kekuasaannya diambil alih. Masa ini dimulai dengan ekspansi Prancis ke Mesir dan Aljazair. Sejak saat itu, mulai abad ke-19 hingga abad ke-20 M hampir seluruh dunia Islam berada dalam koloni Barat kecuali, Hijaz, Persia dan Afghanistan. Selain itu, negara bermayoritas Islam dijadikan sapi perahan untuk memakmurkan dunia Barat. Inilah yang memacu beberapa gerakan pembebasan atas kolonial Barat makin lantang disuarakan oleh Jamaluddin al-Afghani, salah seorang tokoh pembebasan Islam bersama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka menyuarakan untuk melakukan pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang menyebabkan kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Munculnya gerakan Nasionalisme yang diikuti berdirinya partai-partai politik menjadi modal utama umat Islam dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan dari tangan para kolonial. Maka mulailah negara-negara Islam meraih kemerdekaannya seperti Irak (1932), Syiria, Lebanon (1946), Maroko (1956), Indonesia (1945), Malaysia dan Singapura (1957) dan lain sebagainya. Inilah awal kebangkitan negara-negara Islam di masa Modern. Disarikan dari: Karim, M. Abdul. 2015. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. VI. Yogyakarta: Bagaskara