Uploaded by utarinunik18

Meningitis TB

advertisement
Giok , Roezwir, Ety dan Paulus | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosis
1
Giok Pemula, 2Roezwir Azhary, 1Ety Apriliana, 2Paulus Dwi Mahdi
1
2
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Bagian Syaraf, Rumah Sakit Abdoel Moeloek Lampung
Abstrak
Meningitis tuberkulosis (MTB) merupakan salah satu bentuk tuberkulosis ekstrapulmoner yang paling mengancam jiwa.
Penyakit ini memiliki prevalensi hingga mencapai 70-80% dari seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dengan angka
kematian hingga 50%. Manifestasi klinis meningitis tuberkulosis sama seperti tanda dan gejala meningitis lainnya, seperti
nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Dalam laporan kasus ini, seorang
wanita berusia 27 tahun datang dengan penurunan kesadaran mendadak, dan didapatkan riwayat nyeri kepala
sebelumnya, batuk lama, keringat malam dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran atau Glasgow Coma
Scale (GCS) 10 (E3V2M5), ronkhi pada kedua lapang paru, kaku kuduk (+), refleks babinsky (+/+), refleks fisiologis meningkat.
Rontgen toraks menunjukkan adanya tuberkulosis lesi luas. Karena risiko mortalitas yang tinggi, meningitis tuberkulosis
membutuhkan penanganan cepat dan tepat, yaitu dengan pemberian obat anti tuberkulosa dan kortikosteroid. Manfaat
pemberian kortikosteroid adalah untuk mengurangi tingkat komplikasi dan angka kematian melalui penekanan respon
inflamasi dalam ruang subaraknoid.
Kata kunci: meningitis tuberkulosis, penurunan kesadaran, tuberkulosis ekstrapulmoner
Prompt Treatment of Tuberculosis Meningitis
Abstract
Tuberculosis meningitis (TBM) is the most threatening form of extrapulmonary tuberculosis. The prevalence of this disease
is up to 70-80% of all cases of extrapulmonary tuberculosis with a mortality rate up to 50%. Clinical manifestations of
tuberculosis meningitis as same as signs and symptoms of other type meningitis, such as headache, fever and stiff neck,
with or without other neurological disorders. In this case report, a 27 years old woman came to a sudden loss of
consciousness, and obtained a history of previous headaches, prolong cough, night sweats and fever. On physical
examination obtained or Glasgow Coma Scale (GCS) 10 (E3V2M5), rhonchi in both lung fields, stiff neck (+), Babinsky reflex
(+/+), increased physiological reflex. Chest X-ray showed extensive tuberculosis lesions. Due to the high risk of mortality,
tuberculosis meningitis require prompt treatment, i.e. antituberculose drugs and corticosteroid. Benefit of cortiocosteroid
giving is decrease complication and mortality rate by suppress inflammation rensponse in subarachnoid space.
Keywords: extrapulmonary tuberculosis, loss of consciousness, tuberculosis meningitis
Korespondensi: Giok Pemula, alamat Soekarno Hatta No.3 Tanjung Senang, Bandar Lampung, HP 082182074434, e-mail
giokpemulaas@yahoo.com
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi
global dengan prevalensi tinggi yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Sepertiga dari populasi dunia
terinfeksi dengan tuberkulosis laten, dengan
risiko 10% mengalami bentuk aktif dari
tuberkulosis
sepanjang
hidupnya.1
Diperkirakan 9,6 juta kasus tuberkulosis terjadi
di seluruh dunia sepanjang tahun 2014,
dengan angka kematian mencapai 1,5 juta
jiwa. Indonesia merupakan negara dengan
jumlah kasus tuberkulosis tertinggi kedua
setelah India dengan jumlah kasus 10% dari
total kasus di seluruh dunia.2
Data dari World Health Organization
(WHO)
menunjukkan
angka
insidensi
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|50
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 10% kasus
merupakan infeksi oportunistik dari infeksi
HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini
sekitar 40 dari 100.000 jiwa.2
Meningitis adalah suatu inflamasi pada
membran araknoid, piamater, dan cairan
serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan
menyebar melalui ruangan subaraknoid di
sekeliling otak dan medula spinalis serta
ventrikel.3 Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan
adanya kelainan neurologis yang mencapai 7080% dari seluruh kasus tuberkulosis
neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis
ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus
Giok dan Ety | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi
yang adekuat, penyakit ini masih memiliki
tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai
50%, bahkan di negara maju seperti Amerika
Serikat sekalipun. Umumnya meningitis
tuberkulosis berhubungan erat dengan koinfeksi HIV.4-6
Pasien dengan meningitis tuberkulosis
akan mengalami tanda dan gejala meningitis
yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan
kaku kuduk, walaupun tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada
tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum
ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari
beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun
pada
beberapa
kondisi,
meningitis
tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit
yang berat, dengan penurunan kesadaran,
palsi nervus kranial, parese dan kejang.4
Beratnya gejala dan risiko kematian
yang tinggi akibat meningitis tuberkulosis
mendorong perlunya pengetahuan mengenai
tatalaksana yang adekuat. Oleh karena itu,
dalam artikel ini kami akan memaparkan
penanganan meningitis tuberkulosis yang
tepat.
Kasus
Seorang pasien wanita berusia 27 tahun
dibawa keluarganya datang ke IGD RS dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini
terjadi pertama kali pada pagi hari saat pasien
bangun tidur, pasien terlihat lemas dan tidak
ada respon saat diajak berkomunikasi.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit
kepala, demam, mual muntah, lemas dan tidak
nafsu makan sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan hilang timbul
tetapi tidak disertai dengan kejang. Nyeri
kepala dirasakan menetap sepanjang hari di
seluruh bagian kepala. Pasien juga mengeluh
sering mengalami batuk berdahak sejak 1
tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien
selama ini mengeluhkan adanya keringat di
malam hari dan penurunan berat badan. Tidak
ada riwayat trauma dan riwayat kontak
tuberkulosis di keluarga. Pasien pernah
mengonsumsi obat anti tuberkulosis namun
hanya 2 bulan dan tidak dilanjutkan karena
merasa batuk telah berkurang. Pasien
mengatakan tidak memiliki riwayat hipertensi
dan diabetes melitus.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran
somnolen dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
E3V2M5= 10. Tanda-tanda vital: tekanan darah
100/80 mmHg, nadi 84 x/menit, laju
pernapasan 20 x/menit, suhu 38,9 oC. Berat
badan 40 kg. Status generalis: kepala:
konjungtiva anemis, toraks: ronkhi pada kedua
lapang paru, abdomen dan ekstremitas: tidak
ditemukan kelainan. Status neurologis: kaku
kuduk (+), refleks babinsky (+/+), refleks
fisiologis meningkat, pemeriksaan sistem
motorik dan sensorik sulit dinilai.
Hasil
pemeriksaan
laboratorium
didapatkan kadar Hemoglobin 7,5 g/dL,
Hematokrit 23%, leukosit 19.100/uL, hitung
jenis 0/0/0/91/5/4 dan trombosit 199.000/ul.
Kadar ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL,
natrium 134 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L,
kalsium 8,1 mg/dL, klorida 100 mmol/L.
Rontgen toraks menunjukkan adanya kavitas
pada lobus superior pulmo sinistra dan infiltrat
pada lobus inferior pulmo dekstra sehingga
disimpulkan sebagai tuberkulosis paru lesi
luas.
Pasien dalam kasus ini didiagnosis
sebagai meningitis tuberkulosa. Terapi yang
diberikan berupa terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Pemberian terapi farmakologis
meliputi cairan intravena Ringer Laktat,
kortikosteroid deksametason intravena 5mg /
8 jam, obat anti tuberkulosis (OAT) berupa
rifampisin 450 mg, isoniazid 200 mg,
pirazinamid 1000 mg, etambutol 750 mg,
streptomisin injeksi 750 mg, dan parasetamol
3x500 mg per Naso Gastric Tube (NGT). Terapi
non farmakologis meliputi observasi tandatanda vital dan tirah baring serta diet cair per
NGT. Prognosis pada pasien ini adalah dubia
ad malam.
Satu hari setelah dirawat, terdapat
perbaikan klinis pasien yaitu GCS meningkat
menjadi 12 (E4V2M6). GCS pasien dua hari
setelah dirawat adalah 14 (E4V4M6). Pada hari
ketiga setelah dirawat, GCS pasien 15.
Kemudian, selama tiga hari setelahnya pasien
dirawat untuk observasi keadaan pasien dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pembahasan
Infeksi
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis pada sistem saraf pusat meliputi
meningitis
tuberkulosis,
tuberkuloma
intrakranial, araknoiditis tuberkular spinal dan
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|51
Giok , Roezwir, Ety dan Paulus | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
ensefalopati
tuberkulosis.
Meningitis
tuberkulosis merupakan bentuk paling berat
dan paling sering dari tuberkulosis neurologis.7
Manifestasi klinis meningitis tuberkulosis sama
dengan meningitis subakut lainnya. Apabila
gejala kelainan neurologis berat telah
ditemukan
(misalnya,
koma,
kejang,
peningkatan
tekanan intrakranial dan
hemiparese), maka diagnosis dapat ditegakkan
dan prognosisnya buruk.8
Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan
menjadi tiga derajat oleh British Medical
Research Council. Meningitis tuberkulosis
derajat 1 ditandai dengan GCS 15 tanpa
kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai
dengan GCS 15 dengan defisit neurologis
fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai
dengan GCS ≤10. Sistem klasifikasi ini
digunakan untuk memisahkan pasien dan juga
untuk menentukan prognosis.8
Patogenesis penyakit ini diduga terjadi
dalam dua tahap. Pada tahap awal,
bakteremia membawa basil tuberkulosis ke
sirkulasi
serebral
dan
menyebabkan
terbentuknya lesi primer tuberkulosis di otak
yang dapat mengalami dorman dalam waktu
lama. Pada tahap kedua, meningitis
tuberkulosis terjadi akibat pelepasan basil
Mycobacterium tuberculosis ke dalam ruang
meningen dari lesi subependimal atau subpial
(terutama di fisura Sylvii).8,9 Proses patologi
yang menyebabkan defisit neurologis pada
meningitis tuberkulosis adalah (1) eksudat
dapat menyebabkan obstruksi aliran CSS
sehingga terjadi hidrosefalus, (2) granuloma
dapat bergabung membentuk tuberkuloma
atau abses sehingga terjadi defisit neurologis
fokal, dan (3) vaskulitis obliteratif yang dapat
menyebabkan infark dan sindrom stroke.8
Berdasarkan anamnesis, terdapat defisit
neurologis berupa penurunan kesadaran
mendadak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala
dan demam. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran somnolen dengan GCS
10 (E3V2M5) dan temperatur tubuh 38,9 oC,
serta ditemukan kaku kuduk, refleks patologis
(Babinsky) di kedua tungkai dan peningkatan
refleks fisiologis. Data dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik di atas telah memenuhi trias
meningitis, yaitu nyeri kepala, demam dan
kaku kuduk.10
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|52
Selain itu, pasien memiliki riwayat batuk
1 tahun, demam, penurunan berat badan dan
keringat malam. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan ronkhi pada kedua lapang paru.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
tersebut, diduga pasien ini juga menderita
tuberkulosis paru. Suspek tuberkulosis atau
presumtif tuberkulosis adalah orang dengan
gejala atau tanda sugestif tuberkulosis, yaitu
batuk produktif lebih dari dua minggu yang
disertai gejala pernapasan seperti sesak napas,
nyeri dada, batuk darah dan/atau gejala
tambahan seperti menurunnya nafsu makan,
menurun berat badan, keringat malam dan
mudah lelah.11-13
Sebagian besar pasien meningitis
tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala
dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu
sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal.
Gejala nonspesifik ini meliputi malaise,
anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan
sakit kepala. Pada dewasa biasanya terdapat
gejala klasik meningitis, yaitu demam, sakit
kepala dan kaku kuduk yang disertai defisit
neurologis fokal, perubahan perilaku dan
penurunan kesadaran. Riwayat tuberkulosis
hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien.
Foto toraks yang menunjukkan tuberkulosis
paru ditemukan pada 30-50% dari seluruh
pasien.13-15
Pemeriksaan rontgen juga mendukung
kecurigaan ini dengan kesan tuberkulosis paru
lesi luas. Oleh karena itu, pasien dalam kasus
ini
diduga
mengalami
tuberkulosis
ekstrapulmoner yaitu meningitis tuberkulosis
derajat 3 sebagai penyebaran dari tuberkulosis
paru primer (yang telah didiagnosis
berdasarkan klinis). Definisi kasus tuberkulosis
diagnosis klinis adalah kasus tuberkulosis yang
tidak dapat memenuhi kriteria konfirmasi
bakteriologis
walau
telah
diupayakan
maksimal
tetapi
ditegakkan
diagnosis
tuberkulosis
aktif
oleh
klinisi
yang
memutuskan untuk memberikan pengobatan
tuberkulosis
berdasarkan
foto
toraks
abnormal, histologi sugestif dan kasus
ekstraparu.11-13
Pemeriksaan radiologi berupa CT Scan
tidak selalu spesifik menggambarkan adanya
kelainan pada meningitis tuberkulosis.
Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh
eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai
Giok dan Ety | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
temuan yang paling umum ditemukan.
Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan
dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI dengan
kontras yang menunjukkan penebalan
leptomeningeal dan eksudat sisterna.
Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan
pada
gambaran
radiologi
meningitis
tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin
terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis, infark
dan neuropati kranial.16
Diagnosis pasti meningitis ditegakkan
melalui analisis, pewarnaan dan kultur cairan
serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur
pengambilan sampel cairan serebrospinal
melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan
pada setiap kecurigaan meningitis dan/atau
ensefalitis.10 Kelainan CSS klasik pada
meningitis tuberkulosis adalah sebagai
berikut: (1) peningkatan tekanan lumbal; (2)
peningkatan jumlah hitung leukosit antara 10500 sel/mm3 dengan dominan limfosit; (3)
peningkatan konsentrasi protein berkisar 100500 mg/dl; (4) penurunan konsentrasi glukosa
(konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 40
mg/dl); dan (5) kultur positif Mycobacterium
tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6
minggu biakan. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan dengan teknik
PCR dan diagnostik molekular lainnya.
Sensitivitas teknik PCR untuk deteksi DNA
Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar
54%, namun hasil positif-palsu juga dapat
terjadi sekitar 3-20% kasus.17
Pemberian terapi tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui
apusan atau kultur, baik dari sputum, darah
maupun CSS.13,17 Hal ini karena bahkan
pemeriksaan terbaik sekalipun mungkin tidak
dapat menemukan basil tuberkulosis pada
pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan
anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi
seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat
dimana dicurigai tuberkulosis, maka penilaian
klinis dapat digunakan untuk memulai
pemberian terapi empiris sembari menunggu
hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang
membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika
hasil pemeriksaan negatif.18
Tuberkulosis paru dan ekstraparu
ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis
yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase
intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4
bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat
anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan.12 WHO dan
PDPI
mengklasifikasikan
meningitis
tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus
berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis.
Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase
lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis
umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10
bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi
OAT awal berupa RHZES. Penambahan
streptomisin merupakan tatalaksana tepat
karena tuberkulosis dengan kondisi berat atau
mengancam
nyawa
dapat
diberikan
streptomisin.5,19
Pada dewasa, dosis obat harian OAT
adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB,
maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 25 (20–
30) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari;
etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum
1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB.
Dosis kortikosteroid antara lain deksametason
0,4
mg/kgBB
atau
prednison
2,5
4,12,20,21
mg/kgBB.
Pada anak, dosis obat harian OAT
adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB,
maksimum 300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20)
mg/kgBB,
maksimum
600
mg/hari;
pirazinamid 35 (30–40) mg/kgBB, maksimum
2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25)
mg/kgBB, maksimum 1.000 mg/hari. Dosis
kortikosteroid antara lain deksametason 0,6
mg/kgBB atau prednison 2-4 mg/kgBB.4,12,20,21
Pemberian deksametason intravena
(kortikosteroid) pada pasien ini terbukti
memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada
peningkatan kesadaran pasien setiap harinya.
Peran kortikosteroid pada terapi
meningitis tuberkulosis telah dilaporkan
bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka
mortalitas menurun dengan pemberian
kortikosteroid intravena. Terapi dengan
deksametason atau prednisolon yang ditappering
off
selama
6-8
minggu
direkomendasikan pada pasien meningitis
tuberkulosis.
Kortikosteroid
sebaiknya
diberikan intravena pada awalnya dan
dilanjutkan dengan pemberian per oral sesuai
klinis pasien.20
Respon jaringan terhadap inflamasi
pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat
inflamasi mendorong struktur pada bagian
dasar otak, nervus dan pembuluh darah di
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|53
Giok , Roezwir, Ety dan Paulus | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus
Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang
kecil dari arteri serebri media menyebabkan
infark. Selanjutnya, eksudat di basal
menghambat aliran cairan serebrospinal
setinggi tentorium menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan hidrosefalus.21
Proses patofisiologi pada meningitis
tuberkulosis ini yang mendorong penggunaan
antiinflamasi
kortikosteroid
untuk
memodifikasi kerusakan jaringan yang terjadi.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan
respons inflamasi dalam ruang subaraknoid
sehingga mengurangi risiko edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial, gangguan
aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera
neuron. Selain itu, pemberian kortikosteroid
terbukti memperbaiki outcome dengan
penurunan tingkat mortalitas dan keparahan
dari komplikasi neurologis.5,22,23
Deksametason dengan dosis 0,6
mg/kg/hari (anak) dan 0,4 mg/kg/hari
(dewasa) ekuivalen dengan prednisolon dosis
2-4 mg/kg/hari (anak) dan 2,5 mg/kg/hari
(dewasa). Keduanya merupakan kortikosteroid
injeksi pilihan untuk diberikan pada kasus
meningitis tuberkulosis. Durasi pemberian
selama 4 minggu dengan tapering 2-4 minggu
setelahnya.21,24
Prognosis pada kasus ini adalah dubia
ad malam. Prognosis berdasarkan diagnosis
pasien saat ini yaitu meningitis tuberkulosis
derajat 3 dengan GCS 10 memiliki risiko
kematian yang tinggi. Mortalitas pada pasien
meningitis tuberkulosis terkait dengan
hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi,
lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran,
derajat 3 saat masuk rumah sakit dan infeksi
HIV.25,26
Pasien dengan meningitis tuberkulosis
yang bertahan hidup sebagian besar
mengalami sekuele neurologis. Defisit
neurologis pada 1 tahun follow up diketahui
berhubungan dengan defisit saat pasien
masuk rumah sakit. Stroke terjadi pada 3045% pasien meningitis tuberkulosis.26 Stroke
pada meningitis
dapat terjadi karena
short course in tuberculous meningitis:
Indian perspective. Annals of Indian
Academy Neurology. 2013; 16:82-4.
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|54
gangguan aliran darah akibat inflamasi pada
pembuluh
darah
yang
meninggalkan
meningen untuk masuk ke otak.27
Simpulan
Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstraparu neurologis
tersering yang mengancam jiwa. Penegakkan
diagnosis dapat dilakukan dengan adanya trias
meningitis dan kecurigaan tuberkulosis secara
klinis. Pemberian terapi harus segera dan
tepat untuk mengurangi tingkat mortalitas.
Terapi berupa obat anti tuberkulosis, dan
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi
dalam subaraknoid.
Daftar Pustaka
1. Zumla A, Raviglione M, Hafner R, von Reyn
CF. Current concepts: tuberculosis. N Engl
J Med. 2013; 368:745-55.
2. World Health Organization. Global
tuberculosis report 2016. USA: World
Health Organization; 2016 [disitasi tanggal
21 Oktober 2016].
Tersedia dari:
http://www.who.int/tb/publications/glob
al_report/en/index.html.
3. Swartz MN, Nath A. Meningitis: bacterial,
viral and other. Dalam: Goldman L, Schafer
AI, editor. Goldman’s-Cecil Medicine. Edisi
ke-25. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;
2016. hlm. 2480.
4. Chin
JH.
Tuberculous
Meningitis:
Diagnostic and theurapeutic challenges.
Neurol Clin Prac. 2014; 4(3):199-205.
5. Thamrin APY. Pria 31 tahun dengan suspek
meningitis tuberkulosis dan AIDS.
MEDULA. 2015; 4(1):1-7.
6. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TT,
Hammel JP, Torok ME, Van Wart SA, et al.
Randomized
pharmacokinetic
and
pharmacodynamic
comparison
of
fluoroquinolones
for
tuberculous
meningitis. Antimicrob Agents Chemother.
2011; 55(7):3244-53.
7. Sharma SR, Kyrshang GL, Nalina S,
Monaliza L. Directly observed treatment,
8. Török ME. Tuberculous meningitis:
advances in diagnosis and treatment.
British Medical Bulletin. 2015; 113:117-31.
9. Isabel BE, Rogelio HP. Pathogenesis and
immune
response
in
tuberculous
Giok dan Ety | Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
meningitis. Malays J Med Sci. 2014; 21(1):
4-10.
Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R.
Diagnosis dan tatalaksana meningitis
bakterialis. CDK. 2015; 42(1):15-9.
World Health Organization. Definition and
reporting framework for tuberculosis 2013
revision. Geneva: WHO Press; 2010.
World Health Organization. Treatment of
tuberculosis: guidelines. Edisi ke-4.
Geneva: WHO Press; 2010.
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran tata laksana tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
Brancusi F, Farrar J, Heemskerk D.
Tuberculous meningitis in adults: a review
of a decade of developments focusing on
prognostic factors for outcome. Future
Microbiol. 2012; 7(9):1101-16.
Cherian A, Thomas SV. Central nervous
system tuberculosis. Afr Health Sci. 2011;
11(1):116-27.
Taheri MS, Mohammad AK, Hamidreza H,
Ramin P, Mohammad S, Hosein Delavar K.
Central nervous system tuberculosis: an
imaging- focused review of a reemerging
disease. Radiology Research and Practice;
2015. hlm. 1-8.
Goetz CG. Textbook of clinical neurology.
Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2007.
TB CARE I Organizations. International
standards for tuberculosis care. Edisi ke-3.
TB CARE I, The Hague; 2014. hlm. 28.
Persatuan Dokter Paru Indonesia.
Pedoman diagnosis & penatalaksanaan
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI;
2006.
Nahid P, Dorman SE, Alipanah N, Barry
PM, et al. Official American Thoracic
Society/Centers for Disease Control and
Prevention/Infectious Diseases Society of
America Clinical Practice Guidelines:
treatment
of
drug-susceptible
tuberculosis. Clin Infect Dis; 2016. hlm. 14.
Donald PR, Van Toorn RV. Use of
corticosteroids in tuberculous meningitis.
Lancet. 2016; 387:2585-87.
Van De Beek D, Brouwer M, Thwaites G.
Advances in treatment of bacterial
meningitis. Lancet. 2012; 380:1693-702.
Thwaites GE, Bang ND, Dung NH et al.
Dexamethasone for the treatment of
tuberculous meningitis in adolescents and
adults. NEJM. 2004; 351(17):1741-5.
Thwaites GE, van Toorn R, Schoeman J.
Tuberculous meningitis: more questions,
still too few answers. Lancet Neurol. 2013;
12(10):999–1010.
George EL, Iype T, Cherian A et al.
Predictors of mortality in patients with
meningeal tuberculosis. Neurol India.
2012; 60:18-22.
Iype T, Ayyappan KP, AJITH c, Zinia TN,
Chithra P, Dalus D, Vijayakumar K. Major
outcomes of patients with tuberculous
meningitis on directly observed thrice a
week regime. Ann Indian Acad Neurol.
2014; 17:281-6.
Wilkinson I, Graham L. Essential
neurology. Edisi ke-4. Oxford: Blackwell
Publishing Ltd; 2005.
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|55
Download