Presentasi kasus SCHIZOPHRENIA COMORBID WITH NEUROPSYCHIATRIC SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS dr. Luther Theng Supervisor dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ NEUROLOGY DEPARTMENT FACULTY OF MEDICINE SRIWIJAYA UNIVERSITY DR. MOH. HOESIN GENERAL HOSPITAL PALEMBANG 2017 i DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................... i DAFTAR ISI..................................................................................... ii BAB I. PENDAHULUAN............................................................... 1 BAB II. ILUSTRASI KASUS......................................................... 3 BAB III. TINJAUAN PUSTAKA................................................... 19 Systemic Lupus Erythematous........................................... 19 Skizofrenia............................................................................ 45 BAB IV. ANALISIS KASUS........................................................... 55 BAB V.KESIMPULAN................................................................... . 63 DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 65 ii BAB I PENDAHULUAN Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi klinis yang bervariasi.1 Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi, ginjal, komponen hematologik, sistem saraf pusat, sistem retikuloendotelial, sistem pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun). Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20-40% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis, meningitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. 1,2 Angka kejadian dan prevalensi keterlibatan susunan saraf pusat pada SLE tidak jelas karena beberapa hasil penelitian sangat bervariasi. Sebuah studi prospektif di Universty Athens Yunani tahun 2013 selama 3 tahun dengan sample 375 pasien didapatkan 4,3% pasien dengan total 23 pasien dengan keterlibatan susunan saraf pusat (lupus serebral), termasuk kejang (35%), stroke (26%), mielopati (22%), neuritis optik (8,7%), meningitis aseptik (4,3%) dan psikosis akut (4,3%). Insiden adalah 7,8/100 orang tahun. Di perawatan rawat inap untuk penderita SLE sebanyak 13% disebabkan oleh manifestasi SSP. Kejang epilepsi dikaitkan dengan aktivitas penyakit tinggi, sementara mielopati berkorelasi dengan rendahnya aktivitas antibodi Neuromyelitis Optica (NMO-IgG). Insiden stroke berkorelasi dengan koeksistensi Anti Phospolipid Syndrome (APS).3 Studi lain menyebutkan bahwa lupus serebral terjadi pada 24% -50% dari semua pasien SLE di Amerika Serikat pada beberapa waktu selama perjalanan 1 penyakit. Ini merupakan salah satu manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral.3,4 Keterlibatan neuropsikiatrik yang diakibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Selanjutnya kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Penatalaksanaan kelainan neuropsikiatrik akibat SLE cukup kompleks. Dimana beberapa antipsikosis dapat menginduksi terjadinya kejang, sedangkan kejang merupakan salah satu gejala klinis utama yang sering terjadi pada penderita neuropsikiatri. Disisi lain, salah satu terapi SLE yaitu penggunaan steroid, namun penelitian menunjukkan kelainan psikiatrik yang timbul pada SLE diduga juga dapat dipicu oleh terapi steroid yang digunakan.5 Hal ini yang membuat tatalaksana pada neuropsikiatri menjadi rumit dan kompleks. Pada laporan kasus kali ini akan dibahas seorang wanita, 22 tahun, dengan SLE yang mengalami manifestasi otak (lupus serebral atau NPSLE) dimana penderita mengalami nyeri kepala, epilepsi dan gangguan psikiatri berupa skizofrenia paranoid. Kasus ini diangkat agar dapat menambah pengetahuan dan pembelajaran dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kematian dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Yang menarik pada kasus ini adalah dua probable diagnosis yaitu NPSLE dengan skizofrenia atau dua diagnosis skizofrenia dan NPSLE. 2 BAB. II ILUSTRASI KASUS II.1 Identifikasi Pasien Nama : Nn. MA Perempuan Tanggal lahir/umur : 17 Agustus 1995 Tempat lahir : Palembang 22 tahun Status perkawinan : Belum Menikah Warga Negara : Indonesia Agama : Islam Suku Bangsa : Jawa Tingkat pendidikan : SLTA Pekerjaan : Pelajar Alamat : Komplek Puri Sejahtera V Blok F HP : 0823-0664-6691 no. 2 RT. 51 / RW. 08 Kel. Karya Baru Kec. Alang-alang lebar Kota Palembang II.2 Anamnesis (Alloanamnesis/Autoanamnesis) II.2.1 Alloanamnesis Pasien datang ke poliklinik RS Ernaldi Bahar, Palembang dibawa oleh ibu nya pada tanggal 31 Agustus 2017 pukul 09.50 WIB. Diperoleh dari Ny. Samsul Bahri Jenis Kelamin Perempuan Usia 47 tahun 3 Agama Islam a. Sebab Keluarga membawa pasien untuk berobat utama b. Keluhan oleh karena gelisah Gelisah utama c. Keluhan Kadang-kadang suka marah, emosi labil, tambahan mendengar bisikan dan sakit kepala. d. Riwayat Informasi didapatkan dari Ibu penderita perjalanan penyakit Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering gelisah. Gelisah seperti ada sesuatu yang tidak enak pada dirinya. Pasien sering mengamuk tanpa sebab yang jelas. Pasien juga merasakan ada yang berjalan-jalan seperti menggerogoti tubuhnya. Selain itu pasien mendengar suara-suara bisikan pada telinganya yang tidak jelas darimana asalnya. Pasien sempat berobat dan dirawat di rumah sakit jiwa dan diberikan 3 macam obat. ± 9 bulan yang lalu pasien datang berobat ke poli saraf mengalami sakit kepala. Sakit kepala berupa berat terutama sisi sebelah kanan. Frekuensi dan durasi tidak tentu waktu. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pandangan kabur tidak ada, silau tidak ada. Demam tidak ada. Pasien juga mengalami kejang berupa tangan kanan yang bergerakgerak sendiri tanpa disadari. Frekuensi 1x. penurunan kesadaran tidak ada, selama dan sesudah kejang pasien tetap sadar . Mata mendelik ke atas ada, keluar busa tidak ada, lidah tergigit tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada, gangguan sensibilitas berupa baal dan kesemutan tidak ada. Bicara pelo tidak ada, komunikasi masih baik secara lisan tulisan maupun isyarat. Sehari-hari penderita menggunakan tangan kanan untuk beraktivitas. 4 Sekarang, penderita masih gelisah dan emosi labil. Menurut keluarga pasien, pasien tampak gelisah, selama seharian dirumah pasien lebih sering tidur, tidak mau bekerja dan malas beraktivitas, nafsu makan agak menurun, dan sulit berkonsentrasi. Tidak ada ide bunuh diri pada pasien, atau pun membahayakan orang disekitarnya. Perilaku mencuri barang-barang atau mengambil uang tanpa izin orang tua tidak ada. Pasien masih suka mendengar ada yang berbisik-bisik yang tidak jelas darimana suaranya. Pasien merasa ada yang jalan-jalan di tangan dan seluruh badannya. Pasien juga mengeluh kadang-kadang sakit kepala, berupa berat di seluruh kepala. Frekuensi dan durasi tidak tentu waku. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pandangan kabur tidak ada, silau tidak ada. Demam tidak ada. Pasien juga masih mengalami kejang berupa tangan kanan yang bergerak-gerak sendiri tanpa disadari, dalam 1 bulan tidak tentu frekuensinya, penurunan kesadaran tidak ada, selama dan sesudah kejang pasien tetap sadar . Mata mendelik ke atas ada, keluar busa tidak ada, lidah tergigit tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada, gangguan sensibilitas berupa baal dan kesemutan tidak ada. Bicara pelo tidak ada, komunikasi masih baik secara lisan tulisan maupun isyarat. Sehari-hari penderita menggunakan tangan kanan untuk beraktivitas. Demam lebih dari 2 minggu tidak ada, rambut rontok ada, sariawan yang tidak sembuh-sembuh tidak ada. Nyeri pada sendi-sendi ada, lebam-lebam pada tubuh tidak ada. e. Riwayat Penyakit Riwayat didiagnosis SLE sejak tahun Dahulu 2014 penderita tidak rutin kontrol sampai akhir desember 2016 Riwayat kejang sejak 9 bulan yang lalu 5 Riwayat demam: tidak ada Riwayat sakit kepala lama : tidak ada Riwayat kejang demam : tidak ada Riwayat darah tinggi : tidak sda Riwayat kencing manis : tidak ada Riwayat asma : tidak ada Riwayat jantung berdebar-debar disertai sesak nafas : Tidak ada Riwayat cedera kepala : Tidak ada. f. Riwayat Pengobatan Penderita pernah diberi obat: - Antipilepsi yaitu Asam Valproat (Depakote ER 1x500mg) (PO) sejak 9 bulan yang lalu. - Methylprednisolon 1x16 mg (PO) - Sandimmun (siklosporin) 1x25 mg (PO) g. Riwayat Premorbid Lahir : Prematur, lambat menangis Bayi : Sehat. Anak-anak : Aktif dan ceria. Remaja : Interaksi sosial baik, ,aktif, 6 prestasi baik. Sekarang : Aktifitas berkurang, sulit tidur, gelisah, malam untuk aktivitas dan bekerja. h. Riwayat penggunaan Riwayat konsumsi alkohol dan obat- alkohol dan obat-obatan obatan terlarang : Tidak ada. terlarang i. Riwayat pendidikan Pasien tamat SMA j. Riwayat pekerjaan belum bekerja k. Riwayat perkawinan Belum menikah l. Keadaan sosial Kondisi ekonomi sedang. ekonomi m. Riwayat keluarga Tidak ada keluarga mengalami keluhan yang sama. Pohon Keluarga (Pedigree) 7 II.2.2 Autoanamne sis dan Observasi Wawancara dan observasi dilakukan pada hari Senin, 31 Agustus 2017 pukul 11.30 WIB di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Palembang. Penampilan pasien rapi dan bersih. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan, wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemeriksa Pasien Interpretasi (Psikopatologi) „Selamat siang „Selamat siang dokter‟ Mega‟ (Pemeriksa memperkenalkan diri, tersenyum dan Compos mentis Kooperatif, atensi ada Verbalisasi jelas Cara bicara normal Kontak mata ada Koheren Orientasi orang, tempat sambil menatap mata pasien). „Saya dokter residen „Ya dokter‟ yang bertugas hari ini, ingin bertanya dan ngobrol dengan Mega Umurnya Mega „22 tahun‟. berapa? Siapa dan waktu baik. yang 8 Mega ibu. menemani berobat? Sekarang ini Mega berada dimana? Apakah pagi, Di rumah sakit. sekarang siang atau siang. malam? Mood dysthimic Afek datar. Sejak kapan Mega Iya, sejak sekitar 4 bulan yang Afek datar Mega datang untuk Sulit tidur dan gelisah dokter berobat, keluhannya apa? sulit tidur gelisah? dan lalu. Sudah berobat ke rumah Sudah sakit berobat? dan ada perubahan membaik Apakah Mega suka Iya sedikit Afek datar. marah atau emosi ? Apakah Mega ada Iya, bisikan di telinga yang Halusinasi auditorik mendengar bisikan- tidak jelas asalnya darimana bisikan Apakah Mega suka iya dokter menyendiri atau jarang bergaul dengan tetangga 9 sekitar? Apa yang sering Saya suka merasa diri saya Mega rasakan? Halusinasi taktil aneh, ada yang bergerak-gerak di tangan saya menjalar ke seluruh tubuh dan kepala Apakah Mega sudah Tidak dok, malas pingin di bekerja ? I.3 Anhedonism. rumah saja, tidak konsetrasi Status Present Tanggal 31 Agustus 2017 II.3.1 Status Internus Keadaan Umum Baik Sensorium : Compos mentis Suhu : 370C Nadi : 82 kali/menit Pernafasan : 20 kali/menit Tekanan darah : 160/100 mmHg Turgor : Baik Sistem Kardiovaskular Normal Sistem Respirasi Normal Sistem Gastrointestinal Normal Sistem Urogenital Normal Kelainan khusus Tidak ada Berat Badan : 70 Kg Status Gizi : Baik 10 II.3.2 Status Neurologis N.Kranialis Tidak ada kelainan Gejala peningkatan tekanan Tidak ada intrakranial Mata Gerakan : Normal Persepsi mata : Normal Pupil : Bulat, isokor, ukuran 3/3 mm Refleks cahaya : +/+ Reflex kornea : + Funsi motorik Normal Fungsi Sensoris Normal Fungsi vegetatif Normal Fungsi luhur Normal Gerakan abnormal Tidak ada Gait dan keseimbangan Normal Gejala rangsang meningeal Tidak ada 11 II.3.3 Status Psikiatrik Keadaan umum a. Sensorium Compos mentis b. Perhatian Inadekuat c. Sikap Kooperatif d. Inisiatif Kurang e. Tingkah laku Hipoaktif motorik f. Ekspresi fasial Sedih g. Verbalisasi Lancar h. Cara berbicara Baik i. Kontak psikis Kontak fisik : tidak ada Kontak mata : ada, adekuat Kontak verbal : minimal Keadaan khusus (spesifik) a. Keadaan afektif Afek : sesuai (appropriate) Mood : depresi b. Hidup emosi Stabilitas : stabil Dalam-dangkal : dangkal 12 Pengendalian impuls : terkendali Echt-Unecht : echt Adekuat-inadekuat : adekuat Skala differensiasi : normal Arus emosi : lambat c. Keadaan dan Daya ingat : baik fungsi intelektual Daya konsentrasi : kurang Orientasi orang/waktu/tempat : baik Luas pengetahuan umum : sesuai pendidikan Discriminative judgement : terganggu Dugaan taraf intelegensia : sesuai pendidikan Depersonalisasi dan derealisasi : tidak ada d. Kelainan sensasi Ilusi : tidak ada dan persepsi Halusinasi : akustik dan taktil e. Keadaan proses berfikir Psikomotilitas Lambat Mutu Baik Arus fikiran Flight of idea : tidak ada Inkoherensi : tidak ada 13 Sirkumstansial : tidak ada Tangensial : tidak ada Terhalang (blocking) : tidak ada Terhambat (inhibition) : ada Perseverasi : tidak ada Verbigerasi : tidak ada Isi fikiran Waham : tidak ada Pola sentral : tidak ada Fobia : tidak ada Konfabulasi : tidak ada Perasaan inferior : ada Kecurigaan : ada Permusuhan/dendam : tidak ada Perasaan berdosa/salah : tidak ada Hipokondria : ada Ide bunuh diri : tidak ada Ide melukai diri : tidak ada Lain-lain : tidak ada Pemilikan pikiran Obsesi : ada 14 Aliensi : tidak ada Bentuk pikiran Autistik : tidak ada Simbolik : tidak ada Dereistik : tidak ada Simetrik : tidak ada Paralogik : tidak ada Konkritisasi : tidak ada Overinklusi : tidak ada f. Keadaan dorongan Hipobulia : tidak ada instinctual perbuatan dan Vagabondage : tidak ada Stupor : tidak ada Pyromania : tidak ada Impulsive : tidak ada Mannerism : tidak ada Kegaduhan umum : tidak ada Autism : tidak ada Deviasi seksual : tidak ada Logore : tidak ada Ekopraksi : tidak ada 15 Mutisme : tidak ada Ekolalia : tidak ada g. Kecemasan Tidak ada h. Dekorum Kebersihan : baik Cara berpakaian : baik Sopan santun : cukup i.Reality testing Gangguan sedang ability II.4 Pemeriksaan Lain yang diperlukan Darah rutin : sudah diperiksa Hb : 11 g/dl Ht : 34% PLT : 308.000 mm3 WBC : 6.300 RDW : 4.250.000 mm3 Diff count : 0/3/55/36/6 % PT : 12,4 detik INR : 0,90 BSS : 93 mg/dl Kolest Total : 149 mg/dl Trigliserida : 61 Ureum : 20 mg/dl Kreatinin : 0,69 mg/dl Calcium : 9,4 mg/dl Natrium : 143 mEq/L Kalium : 4,4 mEq/L ANA Test : 1/320 Positif Kuat Anti ds-DNA : 975 Positif Kuat Kesan : Anemia SLE Rencana pemeriksaan : 1. Anti phospolipid 2. Komplemen C3,C4 3. Lumbal punksi 16 Urine rutin Dalam batas normal Tinja rutin Tidak diperiksa Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) Normal EEG Foto Thorax PA Cor dan Pulmo dalam batas normal MRI Kepala + Kontras Normal MRI Kepala II.5 Diagnosis Multiaksial Aksis I F20.0 Skizofrenia Paranoid Aksis II Z 03.2 Tidak ditemukan ciri kepribadian yang khas Aksis III G00 – G 99 Penyakit susunan saraf Aksis IV Masalah berkaitan pekerjaan (tidak bekerja) Aksis V GAF scale 70-61 II.6 Diagnosis banding Skizoafektif tipe depresif Gangguan mental organik (GMO) II.7 Terapi Asam Valproat Dosis 1x500 mg Asam valproat merupakan antikonvulsi, mencegah migrain dan dapat mengobati berbagai gangguan psikiatri. Mekanisme kerjanya dengan meningkatkan 17 konsentrasi GABA (gamma amynobutiric acid) dalam otak Triheksilpenidil 2x2 mg Triheksilpenidil adalah senyawa piperadin, dengan daya antikolinergik dan efek sentralnya mirip atropin namun lebih lemah. Obat ini spesifik untuk reseptor muskarinik (menghambat reseptor asetilkolin muskarinik) menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik. Dosis 1x2 mg Lorazepam Lorazepam merupakan obat golongan benzodiazepin digunakan utnuk mengobata anxiety, gangguan tidur, kejang dan lain-lain bekerja afinitas tinggi pada reseptor GABA Risperidon Dosis 2x2 mg Risperidone adalah obat yang digunakan untuk menangani skizofrenia dan gangguan psikosis lain, serta perilaku agresif dan disruptif yang membahayakan pasien maupun orang lain. Antipsikotik ini bekerja dengan menstabilkan senyawa alami otak yang mengendalikan pola pikir, perasaan, dan perilaku. II.8 Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad malam 18 BAB III TINJAUAN PUSTAKA Systemic Lupus Erythematous 3.1 Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe Lupus erytematosus (LE) yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. 1,3 Sistemik lupus eritematous (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan beberapa target organ, misalnya pada jantung, paru, ginjal, darah, otak dan susunan saraf pusat. 3 Lupus serebral adalah merupakan salah satu target organ atau manifestasi ke otak dan susunan saraf pusat dari sistemic lupus eritematosus (SLE). Gambaran klinis dapat berupa kejang, epilepsi, depresi sampai menjadi psikosis, mielitis, CVD dan meningitis.2,3 3.2 Epidemiologi Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000400/100.000.1 Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak 19 mempengaruhi distribusi penyakit. SLE dapat ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).2 Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada SLE yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. 6 Lupus serebral terjadi pada 24% -50% dari semua pasien SLE di Amerika Serikat pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit. Ini merupakan salah satu manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral. Kemajuan dalam pencitraan dan analisis laboratorium telah memberika kontribusi untuk diagnosis awal dan lebih spesifik bagi lupus serebral. Meskipun peningkatan dalam kemampuan untuk mengobati lupus, pengelolaannya tetap tidak memuaskan. Lebih dari 50%dari semua pasien SLE di Amerika serikat menderita karena adanya keterlibatan neurologis pada penelitian lain menyebutkan bahwa sekitar 25 % -75 % pasien SLE memiliki manifestasi neuropsikiatri pada beberapa tahap penyakit mereka.1,2 3.3 Etiologi dan Predisposisi Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:3,6 1. Faktor Genetik Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki 20 saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. 2. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu 21 limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan. 3. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. 4. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. d. Obat-obatan 22 Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, fenitoin, dan isoniazid. 3.4 Gambaran klinis SLE 3. 4.1 Manifestasi ke otak dan susunan saraf pusat ( Lupus serebral ) Manifestasi ke otak dan susunan saraf dapat berupa gangguan neuropsikiatri, kejang, epilepsi,mielitis, CVD dan meningitis.1,2 a. Neuropsikiatrik Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. 8 Manifestasi neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan. 8 Patofisiologi manifestasi gangguan neurologi dan psikiatri pada SLE8,11,12 Meskipun mekanisme pasti masih belum diketahui hingga saat ini, secara umum penyebab gangguan sistem saraf dan psikiatri pada SLE yaitu terdapat antibodi 23 atau komplek imun yang menyerang struktur neuron. Penelitian menunjukkan adanya inflamasi yang proresif pada SLE akan mengakibatkan kerusakan dan disfungsi yang progresif pula pada berbagai sistem. Antibodi antityroglobulin, antibodi antimikrosomal, antibodi antikardiolipin, antibodi B2 glikoprotein, antibodi antinuklear, dana antibodi lainnya yang timbul pada SLE secara bersama-sama dapat menjadi mediator pada kerusakan imun susunan saraf pusat. Dominansi atau rasio jenis antibodi yang berbeda-beda pada jaringan dapat menjelaskan apakah kerusakan neuron yang terlibat hanya pada saraf perifer atau mencapai susunan saraf pusat. Beberapa penelitian lanjut menemukan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya manifestasi kelainan neurospikiatri pada SLE melibatkan berbagai mekanisme. Iskemia yang dimediasi antifosfolipid, vaskulopati noninflammasi dan mikrotrombosis, produksi sitokin yang meningkat di suatu jaringan yang selanjutnya bersifat sitotoksik terhadap neuron dan interaksi langsung autoantibodi-antigen pada membran sel neuron dapat menyebabkan gangguan neurotransmiter, hilangnya plastisitas neuronal serta kematian sel neuron. Mekanisme immunopathogenesis terjadinya NPSLE dapat dirangkum pada tabel dibawah ini7 24 Psikosis biasa terjadi NPSLE, dan steroid terlibat pada timbulnya gejala klinis gangguan psikiatri. Sangat sulit untuk membedakan encefalopati yang terjadi akibat penggunaan kortikosteroid dengan gejala psikiatri pada SLE. Karena gejala-gejala gangguan psikiatri terjadi pada SLE dengan berbagai kondisi, adanya gejala psikiatri yang disertai keterlibatan multiorgan pada SLE dapat membantu penegakan diagnosis NPSLE. Patofisiologi depresi, ansietas maupun gejala psikosis pada SLE belum diketahui hingga saat ini. Diduga, mekanisme timbulnya gangguan psikatri tadi serupa dengan gangguan SSP pada SLE yaitu terdapat inflamasi kronis yang dimediasi oleh antibodi-antibodi pada SLE yang mengakibatkan gangguan keseimbangan neurotransmiter otak. b. Kejang dan Epilepsi Definisi Kejang dan Epilepsi Bangkitan kejang didefinisikan sebagai gejala atau tanda manifestasi klinis yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom maupun psikik. 7,9 Suatu kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikososial, dan sosial didefinisikan debagai epilepsi. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi; hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang-kadang prognosis.7,9 Insiden kejang pada SLE mencapai 25%. Kejang dapat timbul sebagai manifestasi klinis utama Neuropsychiatric Systemic Lupus Eritematosus (NPSLE). Kejang fokal dapat terjadi akibat adanya mikroinfark yang menyebabkan kerusakan korteks. Gangguan sistemik dan gangguan metabolik serta obat-obatan tertentu dapat 25 menimbulkan kejang umum. Kejang pada pasien SLE terjadi karena terdapat kerusakan korteks akibat adanya vaskulitis pada pembuluh darah otak, kardioemboli atau lesi lainnya yang melibatkan otak. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemberian terapi steroid dosis tinggi yang diberikan pada pasien SLE dapat menimbulkan status epileptikus dengan mekanisme yang belum diketahui. 8 Epilepsi juga memiliki definisi operasional atau definisi praktis, yaitu suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/ gejala berikut: 7,9,10 1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. 2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks (misalnya bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah terjadinya stroke, bangkitan pertama apa anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform discharges). 3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. Menurut etiologi, epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok utama, yaitu:7 1. Idiopatik: Didalam kelompok ini tidak dijumpai penyebab yang jelas, tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. Lebih kurang 60% kasus epilepsi bersifat idiopatik 2. Kriptogenik: Didalam kelompok ini, dicurigai ada faktor penyebab tetapi biasanya tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan spesifik. Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus. 3. Simptomatik: Didalam kelompok ini faktor penyebab bangkitan epilepsi dapat diidentifikasi, misalnya oleh cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi 26 desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif. Patofisiologi Kejang7 Sampai saat ini belum terungkap dengan baik dan rinci mekanisme yang memulai atau yang mencetuskan sel neuron untuk berlepas muatan secara sinkron dan berlebihan. Namun, beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, yaitu: 1. Gangguan pada membran sel neuron Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tingi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel dalam keadaan normal. Potensial membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya perubahan kosentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan genetik. Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan ion natrium dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi, apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meingkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel. 2. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakson yang kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid, glisin) mengakibatkan depolarisasi; zat transmiter inhibisi (GABA atau Gama amino butyric 27 acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimaannya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps. Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melaui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang saling berhubungan dengan saling mempengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan kejang. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis GABA, definisi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja dengan melalui pencegahan pemecahan GABA. Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi anatomik dari sistem saraf mempunyai peranan, tetapi juga variasi atara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan ambang kejang, dengan demikian mempengaruhi perubahan tinggi-rendahnya ambang kejang. Demikian pula, jaringan saraf dapat menjadi hipereksibel oleh perubahan homeostatis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia, hipolsemia, hipogsia, hiposemia, hipoglikemia, hidrasi-lebih dan perubahan keseimbangan asambasa. Faktor eksternal dapat pula meningkatkan hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan, penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosislebih berbagai macam obat dan berbagai toksin. 3. Sel glia Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra-selular di sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada glisis atau keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraselular dibanding intraselular dapat mendepolarisasi membran neuron. 28 Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut terserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini merupakan jawaban yang khas bagi astroliga terhadap meningkatnya ion kalium ektraselular, baik yang disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal, maupun akibat iskemia serebral. Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan, maka didapatkan 3 kemungkinan: 1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti. 2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak, kemudian menjumpai tahanan dan berhenti. 3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan kemudian berhenti. Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan kejang fokal (parsial), sedang pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis kejang bergantung kepada letak serta fungsi sel neuron yang berlepas-muatan listrik berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Bermacam ragam gangguan sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlihat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan talamus. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan kejang, walaupun ia berlepas muatan listrik yang berlebihan. Sel neuron di serebelum, di bagian bawah batang otak dan di medula spinals tidak mampu mencetuskan kejang. Fenomena Tood lebih sering dijumpai pada pasien dengan fokus oleh lesi struktural.Sesekali didapatkan cacat akibat bangkitan kejang yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat yang menetap. 29 C. Mielitis, CVD dan meningitis Manifestasi SLE ke otak berupa CVD sangat erat hubunganya dengan Anti fosfolipid sindrome (APS) dimana rheologi darah menjadi kental dan padat. Selain itu dapat terjadi peradangan pembuluh darah atau vasculitis yang dapat memicu terjdinya proses infeksi pada mielin dan meningen. 3.4.2. Manifestasi Konstitusional Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional SLE sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil. 3.4.3. Manifestasi Kulit 11,12 Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud‟s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir. 30 3.4.4 Manifestasi Muskuloskeletal 11,12 Lebih dari 90% penderita SLE mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada SLE tidak meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid. 3.4.5. Manifestasi Paru 11,12 Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan plasmafaresis atau pemberian sitostatika. 3.4.6. Manifestasi Kardiovaskular 11,12 Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. 31 Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% SLE disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%. 3.4.7. Manifestasi Ginjal 11,12 Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal. 3.4.8. Manifestasi Gastrointestinal 11,12 Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit SLE atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan 32 motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. 3.4.9. Manifestasi Hemopoetik 11,12 Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. 3.5 Diagnosa Sistemik Lupus Eritematosus 14,15 Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain. Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi. Tabel 3. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 19973 Kriteria 1. Butterfly Rash Definisi Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung 33 tidak mengenai lipatan nasolabial. 2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul. 3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B 4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak nyeri jika sudah kronis. 5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan 6. Serositis Radang pada pleura atau pada pericardiu 7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop. 8. Kelainan Saraf a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit). Atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit) 9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x 10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau lebih pemeriksaan. 10. Kelainan Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer Imunitas abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum yang abnormal dan uji positif antikoagulan 34 lupus menggunakan uji standar. 11. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat. Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang. Pemeriksaan penunjang pada Lupus serebral1,4 Pemeriksaan imaging pada penderita lupus serebral dapat dilakukan CT scan kepala. Seringkali lesi kecil tidak dapat terlihat sehingga dibutuhkan pemeriksaan MRI kepala. Sebuah penelitian prospektif di Amerika selama periode 10 tahun dengan 200 sample penderita NPSLE dilakukan MRI untuk menentukan perkiraan lokasi lesi pada individu. Ditemukan small focal white matter lesions (100%), atrofi korteks (64%), dilatasi ventrikel (57%), edema serebral (50%), general white matter lesions (43%), atrofi fokal (36%), infark serebral (29%), leukoencephalopathy akut (25%), perdarahan intrakranial (21%), dan kalsifikasi (7%). Temuan mikroskopik pada NPSLE fatal meliputi perubahan iskemik global (57%), edema parenkim (50%), mikroorganisme (43%), hiperplasia glial (43%), kerusakan neuronal/aksonal difus (36%), infark serebral terselesaikan (33% ), microthomboemboli (29%), remodeling pembuluh darah (29%), infark serebral akut (14%), makrohemorrembisi akut (14%), perdarahan intrakranial yang mulai penyerapan(7%). 35 3.6 Tatalaksana Lupus serebral1,2,4,9,14,20,21 Pendekatan logis untuk pengobatan lupus serebral adalah membangun strategi pengobatan berdasarkan patogenesis yang mungkin terjadi: (1) iskemia akibat trombosis sekunder akibat sindrom antifosfolipid, (2) pembuluh darah kecil yang mengalami proliferasi vasculopati noninflammatory karena mekanisme imun yang dimediasi oleh sel, dan (3) kerusakan yang dimediasi oleh antibodi pada sumsum tulang belakang dan saraf optic mirip dengan penyakit Devic. Temuan seropositif untuk antibodi neuromielitis optica (NMO) immunoglobulin G (IgG) yang terjadi dengan SS/SLE (sindrom Sjogren/SLE overlap) atau antibodi spesifik organ tubuh yang mendukung sindroma NMO (Devin) yang timbul bersamaan dengan proses vaskulitis. Perlakuan standar untuk sindrom nonthrombotic yang terkait dengan sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah imunosupresi, pertama dengan kortikosteroid dan dengan siklofosfamid. Sebuah penelitian control trial yang membandingkan 2 perawatan dengan menggunakan siklofosfamid dan sebagai kontrol 1 perawatan tidak menggunakan siklofosfamid. Dengan kesimpulan bahwa tidak ada bukti keuntungan dalam pengobatan siklofosfamid. Terapi lupus serebral sekali lagi harus disesuaikan dengan patogenesis dan gejala yang timbul pada penderita lupus serebral. 1. Kortikosteroid1,3 Regimen kortikosteroid dosis tinggi intravena (IV) terdiri dari metilprednisolon 1-2 g sehari dalam dosis terbagi 3-6 x, diikuti prednison oral 60 mg setiap hari, kemudian di tappering off sesuai dengan pemulihan klinis. Flare-up yang kurang mengancam jiwa dapat diobati dengan dosis 100 mg atau sedikitnya 10 mg prednison secara oral (PO) setiap hari (atau preparat lain dalam dosis setara), sekali lagi dilakukan tappring off atau diturunkan secara bertahap sesuai gejala klinis. Dosis dapat dinaikkan lagi 10-20% selama tappering jika gejala klinis 36 memberat lagi. Pada dosis tinggi akut, steroid dapat menyebabkan status epileptikus, psikosis, hipokalemia, hiperglikemia, atau hipertensi dan bukti klinis dari setiap infeksi kambuhan dapat dikurangi. Dengan penggunaan kronis, steroid menyebabkan efek samping yang umum terjadi termasuk penambahan berat badan, diabetes melitus, katarak, imunokompromi, dan osteoporosis. Suplementasi kalsium (1 g per hari untuk pria atau wanita pramenopause, 1,5 g per hari untuk wanita pascamenopause) 2. Anti epilepsi 19-21 Kejang merupakan gejala umum dari lupus eritematosus sistemik (SLE) dan dapat terjadi akibat penyakit akut atau kronis, gangguan elektrolit akut, respons terhadap steroid dosis tinggi, atau gangguan akut lainnya mungkin hanya memerlukan pengobatan antikonvulsan sementara, dapat digunakan golongan benzodizepin ( diazepam iv ). Kemudian dilakukan observasi sampai terbukti baik secara klinis dan pemeriksaan penunjang (EEG), apakah penderita termasuk dalam indikasi untuk mendapatkan terapi obat anti epilepsi (OAE) secara rutin. Pada epileptogenik yang lebih kronis mungkin memerlukan profilaksis seumur hidup. Antikonvulsan dapat digunakan dengan cara konvensional, obat yang paling efektif untuk menekan onset fokal atau kejang sekunder. Phenytoin dan agen lain yang terkait dengan drug-induced lupus tidak mungkin benar-benar meningkatkan aktivitas penyakit di SLE, namun dengan penggunaan kronis dapat menyebabkan kebingungan diagnostik bagi klinisi. Obat anti epilepsi (OAE) pada kejang diberikan jika diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun, penyandang dan/atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE, dan kejang terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari (misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll). Prinsip pemberian OAE yaitu terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi. 37 Pemberian OAE dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE harus tetap diberikan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respon dengan OAE kedua, tetapi respon tetap sub optimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal. OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila 1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG 2. Pada pemeriksaan CT-scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, pada pemeriksaan enurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak, 3. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung, 4. Riwayat bangkitan simptomatis, 5. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti Juvenile Myoclonic Epilepsy, 6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP, 7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus. Pemilihan OAE didasarkan pada jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. 38 Tabel 4. Pemilihan OAE berdasar mekanisme kerja dan bentuk bangkitan. 15,16 OAE Mekanisme kerja Fenitoin Bangkit an fokal Menghambat Bangkit Bangkit an umum an tonik sekunder klonik Bangkit an lena Bangkit an mioklonik + (A) + (A) + (C) - - + (A) + (A) + (C) - - + (B) + (B) + (C) + (A) + (D) + (C) + (C) + (C) 0 ?+ + (C) + (C) ? + (D) 0 ?- + (C) + (C) + (C) + (A) +- + (C) + (C) + (C) ? ? + (D) + (A) + (A) ?+ ?+ ?+ + (A) + (A) ? + (D) ?+ ?+ + (C) + (C) + (C) - - + (D) - - - - kanal sodium Karbamazep in As. Valproat Menghambat kanal sodium Mekanisme bervariasi Fenobarbital Bersifat GABAergik (memperpanjang terbukanya kanan klorida) Gabapentin Menghambat kanal kalsium Lamotrigin Menghambat kanal sodium Topiramat Mekanisme bervariasi Zonisamid Mekanisme bervariasi Levetiraceta m Berikatan dengan reseptor SV2A Okskarbazep in Klonazepam Menghambat kanal sodium Bersifat GABAergik (membuka kanal klorida) Level of confidence: A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif terapi monoterapi. 39 3. Terapi Devic Syndrome. Pengobatan sindrom Devic (neuromyelitis optica) dihubungkan dengan sindrom antifosfolipid (APLS) atau lupus memerlukan penelitian lebih lanjut. Meskipun patogenesis hampir sama dengan multiple sclerosis klasik, perawatan seperti interferon-beta tidak dapat dibenarkan. Tidak ada bukti kuat untuk mendukung penggunaan antikoagulan dengan tidak adanya bukti adanya iskemia progresif. Oleh karena itu, terapi umumnya ditujukan untuk patogenik antibodi yaitu dengan steroid dan siklofosfamid. Plasma exchange telah terbukti efektif dalam penyakit Devic non lupus. Karena analogi Devic dengan penyakit non lupus Devic. Plasma exchange juga merupakan alternatif yang dapat digunakan pada lupus eritematosus sistemik (SLE) -Devic disease. 4. Terapi nyeri neurogenik, Myopathy / Polyneuropathy. Umumnya, miopati ringan atau polineuropati dapat diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan obat simtomatik lainnya (misalnya, antikonvulsan, trisiklik (TCA), obat lain yang digunakan untuk nyeri neurogenik atau muskuloskeletal). Gejala mungkin disebabkan oleh obat-obatan (mis : Steroid, antimalaria) atau etiologi lainnya selain lupus eritematosus sistemik (SLE). Prednison dosis rendah sampai sedang dapat digunakan. Dalam jangka panjang dapat dirubah ke terapi antimalaria. 5. Terapi APS Pengobatan sindrom antifosfolipid (APLS) tetap kontroversial, dengan terapi yang didominasi terutama pada pengalaman anekdot. Meskipun banyak pihak berwenang merekomendasikan antikoagulan dengan warfarin (Coumadin) Tapi banyak pihak berwenang lainnya mendukung terapi antiplatelet, dengan tindakan yang lebih kuat yang diberikan untuk mencegah stroke berulang dan mielopati progresif. Terapi APS bertujuan untuk rasio normalisasi internasional (INR) 2,03,0 sama baiknya mengurangi risiko kejadian lebih lanjut karena antikoagulan 40 lebih intensif. Hal ini dapat dilakukan kemungkinan bersamaan dengan terapi imunosupresan untuk menekan produksi antibodi. 6. Gangguan prilaku / Neuropsikiatri ( delirium, psikosis ). 15,22 Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik golongan butyrophenone. Tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal dapat terentang antara 2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari dosis parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mungkin terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa semua obat-obat antipsikotik berpotensi menginduksi kejang, dan kejadiaan kejang ditemukan lebih tinggi pada penggunaan antipsikotik tipikal dibandingkan antipsikotik atipikal. Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :1,9,12 A. Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan 41 penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis. B. Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. C. Terapi Medikasi Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID (Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami. 1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs) NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat: aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung. 2. Kortikosteroid Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan sebagai pilhan terapi. Walaupun demikian, 42 pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE, seperti arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari. Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali. Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. 3. Antimalaria Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan 43 ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. 4. Immunosupresan Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab. 3.7 Prognosa Prognosis lupus sangat tergantung pada organ yang terlibat, bila organ yang vital yang terlibat maka mortalitasnya sangat tinggi. Tetapi dengan kemajuan pengobatan lupus, mortalitas ini jauh lebih baik di banding pada 2-3 dekade yang lalu. 7 44 Skizofrenia a) Definisi Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi 23 Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang diikuti munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan adanya perilaku yang katatonik serta adanya gejala negatif.23 Skozofrenia paranoid adalah salah satu sub tipe skizofrenia, dimana dalam DSM IV disebutkan bahwa tipe ini ditandai oleh preokupasi (keasyikan) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada prilaku lain yang mengarahkan kepada terdisorganisasi ataupun katatonik. 23 b) Etiologi Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu 23,24 a. Diatesis-Stres Model Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis. b. Faktor Biologis 45 Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamat dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia. c. Genetika Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12% . d. Faktor Psikososial Pada faktor ini menandakan adanya tekanan psikososial yang terjadi pada orang tertentu yang bisa memicu terjadinya skizofrenia, seperti permasalahan keluarga, hubungan intrapersonal, konflik dan frustasi dalam lingkungan. c) Klasifikasi Beberapa subtype Skizofrenia yang diidentifkasi berdasarkan variable klinik: 23-26 Skizofrenia Paranoid Skizofrenia hebefrenik Skizofrenia katatonik Skizofrenia tak terinci Skizofrenia residual 46 Skizofrenia simplek Depresi pasca Skizofrenia d) Perjalanan Skizofrenia Perjalanan berkembangnya skizofrenia sangatlah beragam pada setiap kasus. Namun, secara umum melewati tiga fase utama, yaitu23,27: a. Fase Prodromal Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi kehidupan, sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua gejala dari kriteria A pada criteria diagnosis skizofrenia. Awal munculnya skizofrenia dapat terjadi setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang individu mulai menarik diri secara sosial dari lingkungannya. Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk menegakkan diagnosis skizorenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat, perkembangan gejala gangguannya lebih jelas terlihat daripada individu yang mengalami fase prodromal panjang. b. Fase Aktif Gejala Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia secara jelas. Sebagian besar penderita gangguan skizofrenia memiliki kelainan pada kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin besar antara individu dengan lingkungan sosialnya. c. Fase Residual Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat mentap dan tidak 47 disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekambuhan. e) Diagnosa PEDOMAN DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA MENURUT PPDGJ III 26 a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) : “Thought echo“ Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isi sama, namun kualitasnya berbeda; atau “Thought insertion or withdrawal” Isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “Thought broadcasting” Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; “Delusion of control” Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “Delusion of influence” Waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “Delusion of passivity” 48 Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus) “Delusional perception” Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat; Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau Jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh Waham–waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). b. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas : Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan (over loaded ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi setiap hari selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus menerus; Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme; 49 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor; Gejala–gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. c. Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal); d. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial. f) Diagnosis Skizofrenia Paranoid a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia b. Sebagai tambahan : Halusinasi dan/atau waham harus menonjol; Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain – lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; 50 Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (deusion of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar – kejar beraneka ragam, adalah yang paling khas; Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol. 26 g) Diagnosa Banding Gangguan waham menetap Gangguan akibat pemakaian zat psikoadiktif Gangguan mood Gangguan kepribadian h) Penatalaksanaan Skizofrenia diyakini merupakan interaksi dari tiga factor (biogenikpsikogenik-sosiogenik) maka pengobatan gangguan skizofrenia juga diarahkan pada ketiga faktor tersebut yaitu somatoterapi, psikoterapi, dan sosioterapi. Dengan kata lain, tidak ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan secara komprehensif.25 a. Somatoterapi Sasaran utama somatoterapi adalah tubuh manusia dengan harapan pasien akan sembuh melalui reaksi holistik. Somatoterapi yang umum dilakukan adalah psikofarmaka dan ECT (Electroconvulsive Therapy). Psikofarmaka atau disebut obat neuroleptika/antipsikotika dibedakan menjadi dua golongan tipikal (konvensional) dan golongan atipikal (generasi kedua). Dasar pemilihan suatu jenis psikofarmaka 51 adalah atas pertimbangan manfaat dan resiko secara individual yang mencakup farmakokinetik dan farmakodinamik. Semua antipsikotik yang saat ini tersedia (tipikal maupun atipikal) adalah bersifat antagonis reseptor dopamni D2 dalam mesokortikal. Blokader reseptor D2 ini cenderung menyebabkan symptom ekstrapiramidal walaupun secara umum golongan atipikal mempunyai resiko efek samping neurologik yang lebih rendah (dibandingkan antipsikotik tipikal). 3 b. Antipsikotik Antipsikotik golongan atipikal dengan efek samping neuromotorik relatif sedikit tersebut merupakan suatu kemauan terapi terhadap skizofrenia. Meskipun demikian tetap harus dipertimbangkan bahwa efek samping lain yang tidak diinginkan dari golongan atipikal tersebut yaitu peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia, hiperglikemia, dan dislipidemia. Akibat kurang baik lainnya seperti dislipidemia, ketoasidosis diabetika, diabetes melitus, dan perubahan elektrokardiografi (EKG) serta resiko kanker payudara akibat hiperprolaktinemia juga telah dicatat pada penggunaan antipsikotik atipikal. Antipsikotik dibedakan atas: 27 Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama) - Klorpromazin - Flufenazin - Tioridazin - Haloperidol Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) - Klozapin - Olanzapin - Risperidon - Quetapin 52 - Aripiprazol Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi simtom negatif dan kemunduran kognitif. Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal: Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis. Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik, misalnya pertambahan berat badan, diabetes mellitus, atau sindroma metabolik. Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak sekitar. Individu terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs, dan pemeriksaan laboratorium dasar, sebelum memperoleh antipsikotik. 25 Jenis intervensi somatogenik selain psikofarmaka adalah ECT. Bagaimana sebenarnya cara kerja ECT sehingga dapat menyembuhkan penderita gangguan jiwa sampai sekarang belum diketahui pasti walaupun beberapa teori telah diajukan dimana ada yang berorientasi secara organik tetapi ada juga yang tidak berorientasi organik. c. Psikoterapi Terapi psikososial dimaksudkan agar pasien skizofrenia mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mandiri, serta tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat). Termasuk dalam terapi psikososial adalah terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individual. 25 53 i) Prognosa Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu Prognosis positif: apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti: onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala gangguan mood, adanya gejala positif, sudah menikah, dan adanya sistem pendukung yang baik. Prognosis negatif: dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti berikut: onset gangguan lebih awal, factor pencetus tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia, munculnya gejala negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung yang baik. 25 54 BAB IV IKTHISAR PENEMUAN BERMAKNA Seorang wanita, umur 22 tahun kontrol ke poli jiwa dengan keluhan utama gelisah. Pasien juga memiliki emosi yang labil, suka marah-marah. Pasien sering mendengar bisikan-bisikan yang tidak jelas berasal darimana, merasa tubuhnya ada yang bergetar, menjalar dari tangan ke seluruh tubuh, Pasien malas beraktivitas dan tidak mau bekerja. Pasien juga sering mengalami sakit kepala dan kejang yang tidak disertai penurunan kesadaran. Riwayat penggunaan napza tidak ada. Riwayat didiagnosis Systemic Lupus Erythematous (SLE) sejak 3 tahun yang lalu tetapi tidak kontrol rutin. Riwayat penggunaan obat autoimun yaitu siklospoin, steroid golongan methylprednisolon dan obat kejang asam valproat hampir tahunan. Dari pemeriksaan status mental didapatkan kesadaran baik, mood dystimic, afek datar, emosi labil dan aktifitas psikomotor gelisah. Pembicaraan spontan dengan intonasi sedang, suara jelas dan lancar. Sikap terhadap pemeriksa kooperatif, taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan sesuai tingkat pendidikan. Daya konsentrasi cukup, orientasi(waktu, tempat dan orang) baik. Terdapat halusinasi auditorik yaitu pasien sering mendengar suara-suara yang tidak jelas berasal dari mana. Ditemukan juga halusinasi taktil yaitu pasien merasa ada sesuatu yang bergerak menjalar tubuhnya. Perilaku katatonik. Anhedonia perasaan kurang bergairah dan minat terhadap aktivitas sehari-hari. Kemampuan memahami sesungguhnya dari situasi tilikan derajat 4. DIAGNOSIS MULTI AKSIAL Aksis I. Berdasarkan Autoanamnesis dan Alloanamnesis didapatkan adanya gejala klinis yang bermakna dimana pasien datang dengan keluhan gelisah,sulit tidur, mengamuk (emosi labil). Hal ini menimbulkan penderitaan yang bermakna bagi 55 pasien dan keluarganya. Juga mengakibatkan hendaya dalam hubungan sosial, pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang, sehingga dikatakan gangguan jiwa. Ditemukan gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik (mendengar suara-suara yang tidak jelas berasal dari mana) sehingga digolongkan gangguan jiwa psikotik. Pemeriksaan fisis, status internis dan neurologis ditemukan penyakit SLE dan epilepsi sehingga digolongkan gangguan psikotik organik. Ditemukan juga gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik, taktil, perilaku katatonik dan perubahan yang konsisten bermakna mengakibatkan hilangnya minta pekerjaan dan penarikan diri secara sosial.. Gejala-gejala tersebut berlangsung > 1 bulan sehingga memenuhi kriteria umum dan didiagnosis Skizofrenia(F.20). Karena gejala klinis berupa halusinasi dan menonjol dari pasien ini maka pasien ini didiagnosis : Aksis I. Skizofrenia paranoid (F.20.0) Aksis II. Tidak ditemukan adanya ciri kepribadian yang khas (Z 03.2) Aksis III. Neuropychiatric Systemic Lupus Erythematous (G00-G99) Aksis IV. Masalah pekerjaan (tidak bekerja) Aksis V. GAF scale 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik DAFTAR PROBLEM - Organobiologik : Ditemukan penyakit systemic lupus erythematous (SLE) dan epilepsi, maka diperlukan farmakoterapi. - Psikologik : Ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita berupa halusinasi maka pasien memerlukan psikoterapi. 56 - Sosiologik : Ditemukan hendaya sosial, pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang sehingga memerlukan sosioterapi. PROGNOSIS 1. Faktor Penghambat : Penyakit yang mendasarinya yaitu Systemis Lupus Erythematous Stressor psikososial yang kurang jelas Ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan 2. Faktor Pendukung : Gejala positif menonjol berupa waham dan halusinasi Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama Keluarga terutama ibunya yang selalu mendukung pasien Karena itu prognosis pasien dubia DISKUSI PEMBAHASAN Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab perjalanan penyakit, serta sejumlah akibat tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan budaya. Skizofrenia pada umumnya ditandai dengan adanya penyimpangan fundamental dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Biasanya kesadaran tetap terpelihara dan kemampuan intelektual juga terpelihara walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Dalam diagnosis skizofrenia harus ditemukan minimal 1 dari kriteria berikut : 1. Though of echo, though of insertion, atau though withdrawl, atau thought broadcasting 2. Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusion of perception 3. Halusinasi auditorik 57 4. Waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil. Atau minimal 2 dari kriteria di bawah ini : 1. Halusinasi menetap dari panca indera apa saja 2. Arus pikiran terputus atau terganggu, yang berakibat irrelevant atau inkoheren atau neologisme 3. Perilaku katatonik 4. Gejala negatif ( seperti apatis, bicara sangat jarang, respon emosional yang tumpul dan tidak wajar ) Gejala khas harus berlangsung minimal 1 bulan dan harus ada perubahan konsisten dan bermakna dan mutu keseluruhan aspek perilaku pribadi dengan manifestasi hilangnya minat, hidup tak berguna, tidak berbuat sesuatu, self absorbed Pada skizofrenia paranoid: - Halusinasi dan/atau waham harus menonjol seperti : a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing) b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lainlain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau „passive‟ (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar, adalah yang paling khas. - Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol. TERAPI a. Psikofarmaka : Psikiatri Triheksilpenidil 2x2 mg (PO) 58 Lorazepam 1x2 mg (PO) Risperidon 2x2 mg (PO) Neurologi Asam Valporat (Depakote ER) 1x500 mg (PO) Penyakit Dalam Sandimmun 1x25 mg (PO) Methylprednisolon 1x16 mg (PO) b. Psikoterapi - Ventilasi : Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega. - Konseling : Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien agar memahami penyakitnya dan bagaimana cara menghadapinya. c. Sosioterapi : Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat menerima dan menciptakan suasana lingkungan yang membantu. ANALISIS KASUS Pada kasus ini dibahas seorang perempuan berusia 22 tahun yang didiagnosis dengan SLE dikonsulkan kebagian neurologi karena mengalami kejang. Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kejang hanya dibagian lengan kanan, lama kejang ±< 3 menit menit, frekuensi kejang 1x. Sebelum, selama dan sesudah kejang penderita tetap sadar. Kejang ini hampir terjadi setiap bulan dengan frekuensi dan durasi yang tak tentu waktu. Pasien juga mengalami perubahan perilaku berupa sering marah-marah tanpa sebab yang jelas dan gelisah (katatonik), halusinasi auditorik dan taktil. Selain itu penderita sering nyeri kepala berupa berat terutama kepala bagian kanan dengan intensitas ringan. Riwayat terdiagnosa SLE sejak 3 tahun yang lalu. Berdasarkan anamnesa kecurigaan pada penderita ini menderita lupus serebral dengan gangguan psikiatri, perilaku dan epilepsi. 59 Berdasarkan beberapa literatur kejang dapat terjadi pada 25% pasien SLE. Mekanisme terjadinya kejang yang utama yaitu terdapat gangguan pada membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps, serta gangguan pada sel glia yang menyebabkan gangguan keseimbangan inhibisi dan eksitasi muatan listrik pada sel neuron korteks otak. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pada penderita SLE timbulnya kejang terjadi akibat adanya mikroinfark yang menyebabkan kerusakan korteks. Timbulnya mikroinfark akibat adanya vaskulitis pada pembuluh darah otak, kardioemboli atau lesi lainnya yang melibatkan otak. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemberian terapi steroid dosis tinggi yang diberikan pada pasien SLE dapat menimbulkan status epileptikus dengan mekanisme yang belum diketahui. Pada literatur dikatakan juga prevalensi psikosis karena SLE sekitar 3-5%. Psikosis lupus biasanya terjadi selama awal dari penyakit dan berhubungan dengan SLE lainnya. Kebanyakan pasien dengan SLE didiagnosis dalam kurun waktu 1 tahun onset. Gejala psikosis biasnya respon terhadap obat-obatan imunosupresi dan remisi jangka panjang sering terjadi. Masalah yang terdapat pada pasien ini adalah pasien sudah terdiagnosis SLE sejak 3 tahun yang lalu tapi jarang kontrol. 1 tahun belakangan ini pasien baru kontrol agak teratur. Kemungkinan akan diagnosis psikosis (skizofrenia) yang disebabkan oleh NPSLE atau dua diagnosis yang berbeda yaitu skizofrenia dan NPSLE menjadi masalah yang menarik. Biasanya gejala psikosis muncul bersamaan dengan klinis NPSLE. Perubahan prilaku pada penderita ini dapat disebakan karena adanya gangguan neurotransmiter karena kejang. Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari 60 beberapa organ atau sistem tubuh. Pada SLE manifestasi neuropsikiatri sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Mekanisme timbulnya manifertasi neuropsikiati pada SLE masih belum diketahui hingga saat ini. Secara umum penyebab gangguan sistem saraf dan psikiatri pada SLE yaitu terdapat antibodi atau komplek imun yang menyerang struktur neuron. Penelitian menunjukkan adanya inflamasi yang progresif pada SLE akan mengakibatkan kerusakan dan disfungsi yang progresif pula pada berbagai sistem. Antibodi antityroglobulin, antibodi antimikrosomal, antibodi antikardiolipun, antibodi B2 Glikoprotein, antibodi antinuklear, dan antibodi lainnya yang timbul pada SLE secara bersama-sama dapat menjadi mediator pada kerusakan imun susunan saraf pusat. Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium yang mendukung ke arah SLE yaitu berupa anemia penyakit kronis, ANA Test >1/320 dan ds-DNA >200 mengindikasikan positif kuat. Dari rekaman otak (EEG) dalam batas normal dan MRI kepala dengan kontras tidak ditemukan kelainan saat ini. Hasil EEG dan MRI kepala yang normal tidak menyingkirkan diagnosis dari NPSLE atau Lupus serebral. Terapi untuk SLE pada penderita ini metilperdnisolon per oral. Metilprednisolon merupakan anti inflamasi golongan glukokortikoid. Terapi agresif pada SLE yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi diberikan bila timbul manifestasi SLE yang mengancam nyawa dengan beberapa target organ. OAE yang diberikan pada penderita yaitu asam valproat (Depakote ER 1 x 500 mg. Pemilihan asam valproat didasarkan pada efektifitas sebagai monoterapi yang cukup baik untuk mengontrol kejang fokal (level of confidence B), yang bekerja dalam berbagai macam mekanisme diduga efek terhadap GABA, selain itu valprotat diduga memiliki efek antipsikosis. Pada penderita ini lorazepam 1x 2 mg, risperidon 2x2 mg. Risperidon merupakan antipsikotik atipikal. Berdasarkan penelitian, obat-obat antipsikotik dapat menginduksi kejang. Sebuah studi penelitian menyebutkan bahwa 61 semua obat-obat antipsikotik berpotensi menginduksi kejang, dan kejadiaan kejang ditemukan lebih tinggi pada penggunaan antipsikotik tipikal dibandingkan antipsikotik atipikal. Prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena pasien respon dengan terapi dan tanda-tanda vital stabil. Quo ad functionam adalah bonam karena penderita berespon cukup dengan terapi antipsikosis. Pada saat kontrol ulang penderita rawat jalan penderita mulai kooperatif dan dapat berkomunikasi dengan baik walaupun gejala halusinasi dan katatonik masih ada. 62 BAB V KESIMPULAN Sistemik lupus eritematous (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Beberapa target organ pada sistemik lupus eritematosus adalah kulit, jantung, paru, ginjal, otak dan susunan saraf pusat ( lupus serebral) Lupus serebral merupakan salah satu manifestasi ke otak dan susunan saraf pusat dari sistemic lupus erithematous (SLE). Dengan gambaran klinis dapat berupa kejang, epilepsi, depresi sampai menjadi psikosis, dan mielitis. Lupus serebral dapat terjadi pada 24% -50% dari semua pasien di Amerika Serikat pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Ini merupakan salah satu manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral Insiden kejang pada SLE mencapai 25%. Kejang dapat timbul sebagai manifestasi klinis utama lupus serebral atau Neuropsychiatric Systemic Lupus Eritematosus (NPSLE). Kejang fokal dapat terjadi akibat adanya mikroinfark yang menyebabkan kerusakan korteks. Atau adanya vaskulitis pada pembuluh darah otak, kardioemboli atau lesi lainnya yang melibatkan otak Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Sedangkan tremor, asteriksis, nistagmus, inkordinasi, dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum. Terapi antipsikosis dapat digunakan golongan atipikal dan golongan tipikal. Beberapa literatur mengatakan bahwa golongan tipikal lebih memiliki resiko untuk terjadinya kejang dibandingkan golongan obat atipikal. Pada laporan kasus ini dibahas penderita wanita umur 22 tahun dengan lupus serebral berupa epilepsi dan gangguan psikiatrik yaitu psikosis berupa skizofrenia 63 paranoid dengan terapi antiepileptik, antipsikotik dan pengobatan autoimun diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien 64 DAFTAR PUSTAKA 1. Ramachandran T.S et all. CNS Lupus Treatment and Management. 2017 2. Kampilafka I et all. Incidence and Prevalence of Major Central Nervous System Involvement in Systemic Lupus Erythematosus: A 3-Year Prospective Study. 2013 3. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Erite matosus Sistemik. 2012. 4. L. Wilmer et all. Magnetic Resonance Imaging And Brain Histopathology In Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus. 2013 5. Boumpas D. PreS13-SPK-1283: Pathogenesis, Diagnosis and Management of Neuropsychiatric SLE. Pediatric Rheumatology. 2013; 11(2): 14. 6. Ainiala H. Neuropsychiatric Involvement in Systemic Lupus Erytematosus [PhD dissertation]. Tampere: University of Tampere; 2012 [cited 2011]. Available from: University of Tampere Libbary E-Reserve. 7. Kusumastuti K., Gunadharma S., Kustiowati E., editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. Ed 5. Surabaya: Airlangga University Press; 2014. 8. Ropper A.H., Brown R.H., Adams and Victors Principles of Neurology. 8 ed. New York: McGraw-Hill; 2005. 9. Henry R.T., Seizures and Epilepsy: Pathophysiology and Principles of Diagnosis. Journal of Epilepsy. 2012. 10. Anwar Z., Zehra N., Masood J., Ullah S., Khattak J. Z., Epilepsy: Neurological Disorder-a Review. Asian Journal of Medical Sciences. 2014. 11. Brust J.G., Current Diagnosis & Treatment Neurology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2012. 12. Simon R., Greenberg D. Aminoff M., Clinical Neurology. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.. 65 13. Lertxundi U, Hernandez R, Medrano J, Domingo S, Garcia M, Aguirre C. Antipsychotics and Seizures: Higher risk with atypicals? Seizure Journal. 2013; 22: 141-3. 14. Oster J. The Pathophysiology of Systemic Lupus Erythematosus and the Nervous System. in Almoalim H, editors. Systemic Lupus Erythematosus, China. In Tech. 2012. 15. American Psychiatric Association. Practice Guideline for the Treatment of Patients of Delirium. 1999. 16. Gleason O. Delirium. American Family Physician. 2013; 67(5): 1027-34. 17. Zandi M. Advanced and Challenges in Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus. ACNR. 2010; 10(2): 10-13. 18. Shankar S, Behera V, Advances in Management of Systemic Lupus Erythematosus. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences. 2014; 15: 27-36. 19. Guarnienri R, Hallak J, Walz R, Vellasco R, Junior V, et al. Pharmacological Treatment of Psychosis in Epilepsy. Rev Bras Psiquatr. 2008; 26(1): 56-60. 20. Reigosa J, Isenberg D. Psychosis due to Systemic Lupus Erythematosus: Characteristics and Long-term Outcome of This Rare Manifestation of the Disease. Rheumatology. 2007; 47: 1498-1502. 21. Bortoluzzi A, Padovan M, Farina I, Leonardis F, Govoni M. Therapeutic Strategies in Severe Neuropsychiatric Systemic Lupus Eritematosus: Experience from a referral Centre. Rheumatismo. 2012; 64(6): 350-9. 22. Malec M, Rudzinska M, Dudek D, Siwek M, Wnuk M, Szczundlik A. Psychotic Disorder in the Course of Systemic Lupus Erythematosus with Subcortical Cacifications – Case Report. Psychiatria Polska. 2014; 48(2): 299-306. 23. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Tangerang: Binapura Aksara Publisher. 2010. 66 24. Kaplan HI, Saddock BC, Roan WM. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Widya Medika, Jakarta. 1998: 407-412 25. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2001: 170-196 26. Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III. Jakarta: Nuh Jaya. 27. Maslim, Rusdi. 2002. Panduan Praktis Penggunaan Obat Klinis Psikotropik. Edisi III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 67