Uploaded by dr.luther.theng

Skizofrenia Komorbid Lupus Eritematosus Sistemik: Presentasi Kasus

advertisement
Presentasi kasus
SCHIZOPHRENIA COMORBID WITH
NEUROPSYCHIATRIC
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS
dr. Luther Theng
Supervisor
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ
NEUROLOGY DEPARTMENT
FACULTY OF MEDICINE SRIWIJAYA UNIVERSITY
DR. MOH. HOESIN GENERAL HOSPITAL PALEMBANG
2017
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................
i
DAFTAR ISI.....................................................................................
ii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................
1
BAB II. ILUSTRASI KASUS.........................................................
3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA...................................................
19
Systemic Lupus Erythematous...........................................
19
Skizofrenia............................................................................
45
BAB IV. ANALISIS KASUS...........................................................
55
BAB V.KESIMPULAN................................................................... .
63
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
65
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang
dapat mengenai hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi klinis yang
bervariasi.1 Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi,
ginjal, komponen hematologik, sistem saraf pusat, sistem retikuloendotelial, sistem
pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis
kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun). Timbulnya
manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20-40% pasien SLE
dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung.
Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis, meningitis dan dapat
memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. 1,2
Angka kejadian dan prevalensi keterlibatan susunan saraf pusat pada SLE
tidak jelas karena beberapa hasil penelitian sangat bervariasi. Sebuah studi prospektif
di Universty Athens Yunani tahun 2013 selama 3 tahun dengan sample 375 pasien
didapatkan 4,3% pasien dengan total 23 pasien dengan keterlibatan susunan saraf
pusat (lupus serebral), termasuk kejang (35%), stroke (26%), mielopati (22%),
neuritis optik (8,7%), meningitis aseptik (4,3%) dan psikosis akut (4,3%). Insiden
adalah 7,8/100 orang tahun. Di perawatan rawat inap untuk penderita SLE sebanyak
13% disebabkan oleh manifestasi SSP. Kejang epilepsi dikaitkan dengan aktivitas
penyakit tinggi, sementara mielopati berkorelasi dengan rendahnya aktivitas antibodi
Neuromyelitis Optica (NMO-IgG). Insiden stroke berkorelasi dengan koeksistensi
Anti Phospolipid Syndrome (APS).3
Studi lain menyebutkan bahwa lupus serebral terjadi pada 24% -50% dari
semua pasien SLE di Amerika Serikat pada beberapa waktu selama perjalanan
1
penyakit. Ini merupakan salah satu manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa
sebagai lupus serebral.3,4
Keterlibatan neuropsikiatrik yang diakibat SLE sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Selanjutnya kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada
temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan
hipertensi berat. Penatalaksanaan kelainan neuropsikiatrik akibat SLE cukup
kompleks. Dimana beberapa antipsikosis dapat menginduksi terjadinya kejang,
sedangkan kejang merupakan salah satu gejala klinis utama yang sering terjadi pada
penderita neuropsikiatri. Disisi lain, salah satu terapi SLE yaitu penggunaan steroid,
namun penelitian menunjukkan kelainan psikiatrik yang timbul pada SLE diduga juga
dapat dipicu oleh terapi steroid yang digunakan.5 Hal ini yang membuat tatalaksana
pada neuropsikiatri menjadi rumit dan kompleks.
Pada laporan kasus kali ini akan dibahas seorang wanita, 22 tahun, dengan
SLE yang mengalami manifestasi otak (lupus serebral atau NPSLE) dimana penderita
mengalami nyeri kepala, epilepsi dan gangguan psikiatri berupa skizofrenia paranoid.
Kasus ini diangkat agar dapat menambah pengetahuan dan pembelajaran dalam hal
diagnosis dan penatalaksanaan, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka
kematian dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Yang menarik pada kasus ini
adalah dua probable diagnosis yaitu NPSLE dengan skizofrenia atau dua diagnosis
skizofrenia dan NPSLE.
2
BAB. II
ILUSTRASI KASUS
II.1
Identifikasi Pasien
Nama : Nn. MA
Perempuan
Tanggal lahir/umur : 17 Agustus 1995
Tempat lahir : Palembang
22 tahun
Status perkawinan : Belum Menikah
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tingkat pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Komplek Puri Sejahtera V Blok F HP : 0823-0664-6691
no. 2 RT. 51 / RW. 08 Kel. Karya Baru Kec.
Alang-alang lebar Kota Palembang
II.2
Anamnesis (Alloanamnesis/Autoanamnesis)
II.2.1
Alloanamnesis
Pasien datang ke poliklinik RS Ernaldi Bahar, Palembang
dibawa oleh ibu nya pada tanggal 31 Agustus 2017 pukul 09.50
WIB.
Diperoleh dari
Ny. Samsul Bahri
Jenis Kelamin
Perempuan
Usia
47 tahun
3
Agama
Islam
a. Sebab
Keluarga membawa pasien untuk berobat
utama
b. Keluhan
oleh karena gelisah
Gelisah
utama
c. Keluhan
Kadang-kadang suka marah, emosi labil,
tambahan
mendengar bisikan dan sakit kepala.
d. Riwayat
Informasi didapatkan dari Ibu penderita
perjalanan
penyakit
Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering gelisah. Gelisah seperti ada sesuatu yang tidak
enak pada dirinya. Pasien sering mengamuk tanpa sebab yang jelas. Pasien juga
merasakan ada yang berjalan-jalan seperti menggerogoti tubuhnya. Selain itu pasien
mendengar suara-suara bisikan pada telinganya yang tidak jelas darimana asalnya.
Pasien sempat berobat dan dirawat di rumah sakit jiwa dan diberikan 3 macam obat.
± 9 bulan yang lalu pasien datang berobat ke poli saraf mengalami sakit kepala. Sakit
kepala berupa berat terutama sisi sebelah kanan. Frekuensi dan durasi tidak tentu
waktu. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pandangan kabur tidak ada, silau tidak ada.
Demam tidak ada. Pasien juga mengalami kejang berupa tangan kanan yang bergerakgerak sendiri tanpa disadari. Frekuensi 1x. penurunan kesadaran tidak ada, selama dan
sesudah kejang pasien tetap sadar . Mata mendelik ke atas ada, keluar busa tidak
ada, lidah tergigit tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada, gangguan sensibilitas
berupa baal dan kesemutan tidak ada. Bicara pelo tidak ada, komunikasi masih baik
secara lisan tulisan maupun isyarat. Sehari-hari penderita menggunakan tangan kanan
untuk beraktivitas.
4
Sekarang, penderita masih gelisah dan emosi labil. Menurut keluarga pasien,
pasien tampak gelisah, selama seharian dirumah pasien lebih sering tidur, tidak mau
bekerja dan malas beraktivitas, nafsu makan agak menurun, dan sulit berkonsentrasi.
Tidak ada ide bunuh diri pada pasien, atau pun membahayakan orang disekitarnya.
Perilaku mencuri barang-barang atau mengambil uang tanpa izin orang tua tidak ada.
Pasien masih suka mendengar ada yang berbisik-bisik yang tidak jelas darimana
suaranya. Pasien merasa ada yang jalan-jalan di tangan dan seluruh badannya.
Pasien juga mengeluh kadang-kadang sakit kepala, berupa berat di seluruh
kepala. Frekuensi dan durasi tidak tentu waku. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas.
Pandangan kabur tidak ada, silau tidak ada. Demam tidak ada. Pasien juga masih
mengalami kejang berupa tangan kanan yang bergerak-gerak sendiri tanpa disadari,
dalam 1 bulan tidak tentu frekuensinya, penurunan kesadaran tidak ada, selama dan
sesudah kejang pasien tetap sadar . Mata
mendelik ke atas ada, keluar busa tidak
ada, lidah tergigit tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada, gangguan sensibilitas
berupa baal dan kesemutan tidak ada. Bicara pelo tidak ada, komunikasi masih baik
secara lisan tulisan maupun isyarat. Sehari-hari penderita menggunakan tangan kanan
untuk beraktivitas.
Demam lebih dari 2 minggu tidak ada, rambut rontok ada, sariawan yang tidak
sembuh-sembuh tidak ada. Nyeri pada sendi-sendi ada, lebam-lebam pada tubuh tidak
ada.
e. Riwayat Penyakit
Riwayat didiagnosis SLE sejak tahun
Dahulu
2014 penderita tidak rutin kontrol
sampai akhir desember 2016
Riwayat kejang sejak 9 bulan yang lalu
5
Riwayat demam: tidak ada
Riwayat sakit kepala lama : tidak ada
Riwayat kejang demam : tidak ada
Riwayat darah tinggi : tidak sda
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat
jantung
berdebar-debar
disertai sesak nafas : Tidak ada
Riwayat cedera kepala : Tidak ada.
f. Riwayat Pengobatan
Penderita pernah diberi obat:
- Antipilepsi yaitu Asam Valproat
(Depakote ER 1x500mg) (PO) sejak 9
bulan yang lalu.
- Methylprednisolon 1x16 mg (PO)
- Sandimmun (siklosporin) 1x25 mg
(PO)
g. Riwayat Premorbid
Lahir : Prematur, lambat menangis
Bayi : Sehat.
Anak-anak : Aktif dan ceria.
Remaja : Interaksi sosial baik, ,aktif,
6
prestasi baik.
Sekarang : Aktifitas berkurang, sulit
tidur, gelisah, malam untuk aktivitas
dan bekerja.
h. Riwayat penggunaan
Riwayat konsumsi alkohol dan obat-
alkohol dan obat-obatan
obatan terlarang : Tidak ada.
terlarang
i. Riwayat pendidikan
Pasien tamat SMA
j. Riwayat pekerjaan
belum bekerja
k. Riwayat perkawinan
Belum menikah
l. Keadaan sosial
Kondisi ekonomi sedang.
ekonomi
m. Riwayat keluarga
Tidak
ada
keluarga
mengalami
keluhan yang sama.
Pohon Keluarga (Pedigree)
7
II.2.2
Autoanamne
sis dan
Observasi
Wawancara dan observasi dilakukan pada hari Senin, 31 Agustus
2017 pukul 11.30 WIB di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Jiwa
Ernaldi Bahar Palembang. Penampilan pasien rapi dan bersih.
Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan, wawancara
dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Pemeriksa
Pasien
Interpretasi
(Psikopatologi)
„Selamat
siang „Selamat siang dokter‟
Mega‟
(Pemeriksa
memperkenalkan
diri, tersenyum dan
Compos mentis

Kooperatif, atensi ada

Verbalisasi jelas

Cara bicara normal

Kontak mata ada

Koheren

Orientasi orang, tempat
sambil menatap mata
pasien).
„Saya dokter residen „Ya dokter‟
yang bertugas hari
ini, ingin bertanya
dan ngobrol dengan
Mega
Umurnya
Mega „22 tahun‟.
berapa?
Siapa
dan waktu baik.
yang
8
Mega ibu.
menemani
berobat?
Sekarang ini Mega
berada dimana?
Apakah
pagi,
Di rumah sakit.
sekarang
siang
atau siang.
malam?

Mood dysthimic

Afek datar.
Sejak kapan Mega Iya, sejak sekitar 4 bulan yang 
Afek datar
Mega datang untuk Sulit tidur dan gelisah dokter
berobat, keluhannya
apa?
sulit
tidur
gelisah?
dan lalu. Sudah berobat ke rumah
Sudah sakit
berobat?
dan ada perubahan
membaik
Apakah Mega suka Iya sedikit

Afek datar.
marah atau emosi ?
Apakah Mega ada Iya, bisikan di telinga yang Halusinasi auditorik
mendengar bisikan- tidak jelas asalnya darimana
bisikan
Apakah Mega suka iya dokter
menyendiri
atau
jarang
bergaul
dengan
tetangga
9
sekitar?
Apa
yang
sering Saya suka merasa diri saya 
Mega rasakan?
Halusinasi taktil
aneh, ada yang bergerak-gerak
di tangan saya menjalar ke
seluruh tubuh dan kepala
Apakah Mega sudah Tidak dok, malas pingin di 
bekerja ?
I.3
Anhedonism.
rumah saja, tidak konsetrasi
Status Present
Tanggal
31 Agustus 2017
II.3.1 Status Internus
Keadaan Umum
Baik
Sensorium : Compos mentis
Suhu : 370C
Nadi : 82 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Turgor : Baik
Sistem Kardiovaskular
Normal
Sistem Respirasi
Normal
Sistem Gastrointestinal
Normal
Sistem Urogenital
Normal
Kelainan khusus
Tidak ada
Berat Badan : 70 Kg
Status Gizi : Baik
10
II.3.2 Status Neurologis
N.Kranialis
Tidak ada kelainan
Gejala peningkatan tekanan Tidak ada
intrakranial
Mata
Gerakan : Normal
Persepsi mata : Normal
Pupil : Bulat, isokor, ukuran 3/3 mm
Refleks cahaya : +/+
Reflex kornea : +
Funsi motorik
Normal
Fungsi Sensoris
Normal
Fungsi vegetatif
Normal
Fungsi luhur
Normal
Gerakan abnormal
Tidak ada
Gait dan keseimbangan
Normal
Gejala rangsang meningeal
Tidak ada
11
II.3.3 Status Psikiatrik
Keadaan umum
a. Sensorium
Compos mentis
b. Perhatian
Inadekuat
c. Sikap
Kooperatif
d. Inisiatif
Kurang
e. Tingkah laku
Hipoaktif
motorik
f. Ekspresi fasial
Sedih
g. Verbalisasi
Lancar
h. Cara berbicara
Baik
i. Kontak psikis
Kontak fisik : tidak ada
Kontak mata : ada, adekuat
Kontak verbal : minimal
Keadaan khusus (spesifik)
a. Keadaan afektif
Afek : sesuai (appropriate)
Mood : depresi
b. Hidup emosi
Stabilitas : stabil
Dalam-dangkal : dangkal
12
Pengendalian impuls : terkendali
Echt-Unecht : echt
Adekuat-inadekuat : adekuat
Skala differensiasi : normal
Arus emosi : lambat
c.
Keadaan
dan Daya ingat : baik
fungsi intelektual
Daya konsentrasi : kurang
Orientasi orang/waktu/tempat : baik
Luas pengetahuan umum : sesuai pendidikan
Discriminative judgement : terganggu
Dugaan taraf intelegensia : sesuai pendidikan
Depersonalisasi dan derealisasi : tidak ada
d. Kelainan sensasi Ilusi : tidak ada
dan persepsi
Halusinasi : akustik dan taktil
e. Keadaan proses berfikir
Psikomotilitas
Lambat
Mutu
Baik
Arus fikiran
Flight of idea : tidak ada
Inkoherensi : tidak ada
13
Sirkumstansial : tidak ada
Tangensial : tidak ada
Terhalang (blocking) : tidak ada
Terhambat (inhibition) : ada
Perseverasi : tidak ada
Verbigerasi : tidak ada
Isi fikiran
Waham : tidak ada
Pola sentral : tidak ada
Fobia : tidak ada
Konfabulasi : tidak ada
Perasaan inferior : ada
Kecurigaan : ada
Permusuhan/dendam : tidak ada
Perasaan berdosa/salah : tidak ada
Hipokondria : ada
Ide bunuh diri : tidak ada
Ide melukai diri : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
Pemilikan pikiran
Obsesi : ada
14
Aliensi : tidak ada
Bentuk pikiran
Autistik : tidak ada
Simbolik : tidak ada
Dereistik : tidak ada
Simetrik : tidak ada
Paralogik : tidak ada
Konkritisasi : tidak ada
Overinklusi : tidak ada
f. Keadaan dorongan Hipobulia : tidak ada
instinctual
perbuatan
dan
Vagabondage : tidak ada
Stupor : tidak ada
Pyromania : tidak ada
Impulsive : tidak ada
Mannerism : tidak ada
Kegaduhan umum : tidak ada
Autism : tidak ada
Deviasi seksual : tidak ada
Logore : tidak ada
Ekopraksi : tidak ada
15
Mutisme : tidak ada
Ekolalia : tidak ada
g. Kecemasan
Tidak ada
h. Dekorum
Kebersihan : baik
Cara berpakaian : baik
Sopan santun : cukup
i.Reality
testing Gangguan sedang
ability
II.4 Pemeriksaan Lain yang diperlukan
Darah rutin : sudah diperiksa
Hb
: 11 g/dl
Ht
: 34%
PLT
: 308.000 mm3
WBC
: 6.300
RDW
: 4.250.000 mm3
Diff count : 0/3/55/36/6 %
PT
: 12,4 detik
INR
: 0,90
BSS
: 93 mg/dl
Kolest Total : 149 mg/dl
Trigliserida : 61
Ureum
: 20 mg/dl
Kreatinin
: 0,69 mg/dl
Calcium
: 9,4 mg/dl
Natrium
: 143 mEq/L
Kalium
: 4,4 mEq/L
ANA Test : 1/320 Positif Kuat
Anti ds-DNA : 975 Positif Kuat
Kesan : Anemia
SLE
Rencana pemeriksaan :
1. Anti phospolipid
2. Komplemen C3,C4
3. Lumbal punksi
16
Urine rutin
Dalam batas normal
Tinja rutin
Tidak diperiksa
Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Normal EEG
Foto Thorax PA
Cor dan Pulmo dalam batas normal
MRI Kepala + Kontras
Normal MRI Kepala
II.5 Diagnosis Multiaksial
Aksis I
F20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II
Z 03.2 Tidak ditemukan ciri kepribadian yang khas
Aksis III
G00 – G 99 Penyakit susunan saraf
Aksis IV
Masalah berkaitan pekerjaan (tidak bekerja)
Aksis V
GAF scale 70-61
II.6 Diagnosis banding

Skizoafektif tipe depresif

Gangguan mental organik (GMO)
II.7 Terapi
Asam Valproat
Dosis 1x500 mg
Asam valproat merupakan antikonvulsi, mencegah migrain dan dapat mengobati
berbagai gangguan psikiatri. Mekanisme kerjanya dengan meningkatkan
17
konsentrasi GABA (gamma amynobutiric acid) dalam otak
Triheksilpenidil
2x2 mg
Triheksilpenidil adalah senyawa piperadin, dengan daya antikolinergik dan efek
sentralnya mirip atropin namun lebih lemah. Obat ini spesifik untuk reseptor
muskarinik (menghambat reseptor asetilkolin muskarinik) menimbulkan suatu efek
agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik.
Dosis 1x2 mg
Lorazepam
Lorazepam merupakan obat golongan benzodiazepin digunakan utnuk mengobata
anxiety, gangguan tidur, kejang dan lain-lain bekerja afinitas tinggi pada reseptor
GABA
Risperidon
Dosis 2x2 mg
Risperidone adalah obat yang digunakan untuk menangani skizofrenia dan
gangguan psikosis lain, serta perilaku agresif dan disruptif yang membahayakan
pasien maupun orang lain. Antipsikotik ini bekerja dengan menstabilkan senyawa
alami otak yang mengendalikan pola pikir, perasaan, dan perilaku.
II.8 Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Systemic Lupus Erythematous
3.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan
suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing
hutan. Lupus erythematosus terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe Lupus erytematosus (LE)
yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. 1,3
Sistemik lupus eritematous (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan beberapa target organ, misalnya
pada jantung, paru, ginjal, darah, otak dan susunan saraf pusat. 3
Lupus serebral adalah merupakan salah satu target organ atau manifestasi ke
otak dan susunan saraf pusat dari sistemic lupus eritematosus (SLE). Gambaran klinis
dapat berupa kejang, epilepsi, depresi sampai menjadi psikosis, mielitis, CVD dan
meningitis.2,3
3.2 Epidemiologi
Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000400/100.000.1 Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit
reumatik utama di dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak
19
mempengaruhi distribusi penyakit. SLE dapat ditemukan pada semua usia, namun
paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).2 Frekuensi pada wanita
dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada SLE yang disebabkan obat,
rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. 6
Lupus serebral terjadi pada 24% -50% dari semua pasien SLE di Amerika
Serikat pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit. Ini merupakan salah satu
manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral. Kemajuan
dalam pencitraan dan analisis laboratorium telah memberika kontribusi untuk
diagnosis awal dan lebih spesifik bagi lupus serebral. Meskipun peningkatan dalam
kemampuan untuk mengobati lupus, pengelolaannya tetap tidak memuaskan. Lebih
dari 50%dari semua pasien SLE di Amerika serikat menderita karena adanya
keterlibatan neurologis pada penelitian lain menyebutkan bahwa sekitar 25 % -75 %
pasien SLE memiliki manifestasi
neuropsikiatri pada beberapa tahap penyakit
mereka.1,2
3.3
Etiologi dan Predisposisi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:3,6
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
20
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
21
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal
ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE
pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE
pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
22
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan
DILE
diantaranya
kloropromazin,
metildopa,
hidralasin,
prokainamid, fenitoin, dan isoniazid.
3.4 Gambaran klinis SLE
3. 4.1
Manifestasi ke otak dan susunan saraf pusat ( Lupus serebral )
Manifestasi ke otak dan susunan saraf dapat berupa gangguan neuropsikiatri,
kejang, epilepsi,mielitis, CVD dan meningitis.1,2
a.
Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran
klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik
dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. 8
Manifestasi neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi
anti-fosfolipid
dapat
merupakan
penyebab
terbanyak
kelainan
serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada
10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan. 8
Patofisiologi manifestasi gangguan neurologi dan psikiatri pada SLE8,11,12
Meskipun mekanisme pasti masih belum diketahui hingga saat ini, secara
umum penyebab gangguan sistem saraf dan psikiatri pada SLE yaitu terdapat antibodi
23
atau komplek imun yang menyerang struktur neuron. Penelitian menunjukkan adanya
inflamasi yang proresif pada SLE akan mengakibatkan kerusakan dan disfungsi yang
progresif
pula
pada
berbagai
sistem.
Antibodi
antityroglobulin,
antibodi
antimikrosomal, antibodi antikardiolipin, antibodi B2 glikoprotein, antibodi
antinuklear, dana antibodi lainnya yang timbul pada SLE secara bersama-sama dapat
menjadi mediator pada kerusakan imun susunan saraf pusat. Dominansi atau rasio
jenis antibodi yang berbeda-beda pada jaringan dapat menjelaskan apakah kerusakan
neuron yang terlibat hanya pada saraf perifer atau mencapai susunan saraf pusat.
Beberapa penelitian lanjut menemukan bahwa mekanisme yang mendasari
terjadinya manifestasi kelainan neurospikiatri pada SLE
melibatkan berbagai
mekanisme. Iskemia yang dimediasi antifosfolipid, vaskulopati noninflammasi dan
mikrotrombosis, produksi sitokin yang meningkat di suatu jaringan yang selanjutnya
bersifat sitotoksik terhadap neuron dan interaksi langsung autoantibodi-antigen pada
membran sel neuron dapat menyebabkan gangguan neurotransmiter, hilangnya
plastisitas neuronal serta kematian sel neuron.
Mekanisme immunopathogenesis terjadinya NPSLE dapat dirangkum pada
tabel dibawah ini7
24
Psikosis biasa terjadi NPSLE, dan steroid terlibat pada timbulnya gejala klinis
gangguan psikiatri. Sangat sulit untuk membedakan encefalopati yang terjadi akibat
penggunaan kortikosteroid dengan gejala psikiatri pada SLE. Karena gejala-gejala
gangguan psikiatri terjadi pada SLE dengan berbagai kondisi, adanya gejala psikiatri
yang disertai keterlibatan multiorgan pada SLE dapat membantu penegakan diagnosis
NPSLE. Patofisiologi depresi, ansietas maupun gejala psikosis pada SLE belum
diketahui hingga saat ini. Diduga, mekanisme timbulnya gangguan psikatri tadi
serupa dengan gangguan SSP pada SLE yaitu terdapat inflamasi kronis yang
dimediasi oleh antibodi-antibodi pada SLE yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan neurotransmiter otak.
b. Kejang dan Epilepsi
Definisi Kejang dan Epilepsi
Bangkitan kejang didefinisikan sebagai gejala atau tanda manifestasi klinis
yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan
perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, otonom maupun psikik. 7,9
Suatu kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikososial, dan sosial didefinisikan debagai epilepsi. Sindrom epilepsi merupakan
kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi; hal ini mencakup
lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor
presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan
kadang-kadang prognosis.7,9
Insiden kejang pada SLE mencapai 25%. Kejang dapat timbul sebagai
manifestasi klinis utama Neuropsychiatric Systemic Lupus Eritematosus (NPSLE).
Kejang fokal dapat terjadi akibat adanya mikroinfark yang menyebabkan kerusakan
korteks. Gangguan sistemik dan gangguan metabolik serta obat-obatan tertentu dapat
25
menimbulkan kejang umum. Kejang pada pasien SLE terjadi karena terdapat
kerusakan korteks akibat adanya vaskulitis pada pembuluh darah otak, kardioemboli
atau lesi lainnya yang melibatkan otak. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa
pemberian terapi steroid dosis tinggi yang diberikan pada pasien SLE dapat
menimbulkan status epileptikus dengan mekanisme yang belum diketahui. 8
Epilepsi juga memiliki definisi operasional atau definisi praktis, yaitu suatu
penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/ gejala berikut: 7,9,10
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks (misalnya
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah terjadinya stroke, bangkitan
pertama apa anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform discharges).
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Menurut etiologi, epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok utama,
yaitu:7
1. Idiopatik: Didalam kelompok ini tidak dijumpai penyebab yang jelas, tidak
terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai
predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. Lebih kurang 60%
kasus epilepsi bersifat idiopatik
2. Kriptogenik: Didalam kelompok ini, dicurigai ada faktor penyebab tetapi biasanya
tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan spesifik. Termasuk disini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simptomatik: Didalam kelompok ini faktor penyebab bangkitan epilepsi dapat
diidentifikasi, misalnya oleh cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi
26
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif.
Patofisiologi Kejang7
Sampai saat ini belum terungkap dengan baik dan rinci mekanisme yang
memulai atau yang mencetuskan sel neuron untuk berlepas muatan secara sinkron
dan berlebihan. Namun, beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, yaitu:
1. Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion
kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi
ion kalium yang tingi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel dalam
keadaan normal.
Potensial membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal,
misalnya perubahan kosentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau kimiawi,
perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan genetik.
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan ion
natrium dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di
permukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya
dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada
bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi, apapun
pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meingkatnya
konsentrasi ion natrium di dalam sel.
2. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial
aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakson yang kemudian
membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid, glisin)
mengakibatkan depolarisasi; zat transmiter inhibisi (GABA atau Gama amino butyric
27
acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimaannya. Jadi satu impuls
dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya
melaui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri
dari sel neuron yang saling berhubungan dengan saling mempengaruhi aktivitasnya.
Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.
Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan
kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan
mekanisme inhibisi mengakibatkan kejang. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis
GABA, definisi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada
bayi. Antikonvulsan valproat bekerja dengan melalui pencegahan pemecahan GABA.
Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi anatomik
dari sistem saraf mempunyai peranan, tetapi juga variasi atara keseimbangan sistem
inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan ambang
kejang, dengan demikian mempengaruhi perubahan tinggi-rendahnya ambang kejang.
Demikian pula, jaringan saraf dapat menjadi hipereksibel oleh perubahan homeostatis
tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia, hipolsemia,
hipogsia, hiposemia, hipoglikemia, hidrasi-lebih dan perubahan keseimbangan asambasa. Faktor eksternal dapat pula meningkatkan hipereksitabilitas, misalnya obat
konvulsan, penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosislebih berbagai macam obat dan berbagai toksin.
3. Sel glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra-selular di sekitar
neuron dan terminal presinaps. Pada glisis atau keadaan cedera, fungsi glia yang
mengatur konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan
meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar
ion kalium ekstraselular dibanding intraselular dapat mendepolarisasi membran
neuron.
28
Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium
yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang
kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang
mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut terserap
dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini merupakan jawaban yang
khas bagi astroliga terhadap meningkatnya ion kalium ektraselular, baik yang
disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal, maupun akibat iskemia serebral.
Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan, maka
didapatkan 3 kemungkinan:
1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terokalisasi pada kelompok
neuron tersebut, kemudian berhenti.
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak,
kemudian menjumpai tahanan dan berhenti.
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan kemudian berhenti.
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan kejang fokal (parsial), sedang pada keadaan
3 didapatkan kejang umum. Jenis kejang bergantung kepada letak serta fungsi sel
neuron yang berlepas-muatan listrik berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot
somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis.
Bermacam ragam gangguan sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan
oksipitalis terlihat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak
dan talamus. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan
kejang, walaupun ia berlepas muatan listrik yang berlebihan. Sel neuron di
serebelum, di bagian bawah batang otak dan di medula spinals tidak mampu
mencetuskan kejang. Fenomena Tood lebih sering dijumpai pada pasien dengan
fokus oleh lesi struktural.Sesekali didapatkan cacat akibat bangkitan kejang yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat yang menetap.
29
C. Mielitis, CVD dan meningitis
Manifestasi SLE ke otak berupa CVD sangat erat hubunganya dengan Anti
fosfolipid sindrome (APS) dimana rheologi darah menjadi kental dan padat. Selain itu
dapat terjadi peradangan pembuluh darah atau vasculitis yang dapat memicu terjdinya
proses infeksi pada mielin dan meningen.
3.4.2. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita SLE
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional SLE sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain
seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
3.4.3. Manifestasi Kulit 11,12
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia.
Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud‟s atau vaskulitis atau bercak yang
menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
30
3.4.4 Manifestasi Muskuloskeletal 11,12
Lebih dari 90% penderita SLE mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan
dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai
manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Namun pada umumnya pada SLE tidak meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan
terapi steroid. Miositis timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis
sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid.
3.4.5. Manifestasi Paru 11,12
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,
emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila
merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan
tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan plasmafaresis atau pemberian
sitostatika.
3.4.6. Manifestasi Kardiovaskular 11,12
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
31
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% SLE disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.
Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini
meningkat sampai 50%.
3.4.7. Manifestasi Ginjal 11,12
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah
10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau
sindroma nefrotik.
Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
3.4.8. Manifestasi Gastrointestinal 11,12
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit SLE atau sebagai
akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun
tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan
32
motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita SLE, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu
dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali
merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
3.4.9. Manifestasi Hemopoetik 11,12
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
3.5
Diagnosa Sistemik Lupus Eritematosus 14,15
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat
sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul
berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar
limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital
lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk
diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria
yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada
tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.
Tabel 3. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 19973
Kriteria
1. Butterfly Rash
Definisi
Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung
33
tidak mengenai lipatan nasolabial.
2. Discoid Rash
Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan
sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang
sudah lama timbul.
3. Fotosensitivitas
Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan
B
4. Ulser Mulut
Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya
tidak nyeri jika sudah kronis.
5. Arthtritis
Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih
persendian
perifer
dengan
rasa
sakit
disertai
pembengkakan
6. Serositis
Radang pada pleura atau pada pericardiu
7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan
tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan
mikroskop.
8. Kelainan Saraf
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x
10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau
lebih pemeriksaan.
10. Kelainan
Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer
Imunitas
abnormal
;
atau
antibody
antifosfolipid
positif
berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau
IgM serum yang abnormal dan uji positif antikoagulan
34
lupus menggunakan uji standar.
11. Tes ANA
Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak
adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang
diinduksi obat.
Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE
mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan
tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini
memerlukan observasi jangka panjang.
Pemeriksaan penunjang pada Lupus serebral1,4
Pemeriksaan imaging pada penderita lupus serebral dapat dilakukan CT
scan kepala. Seringkali lesi kecil tidak dapat terlihat
sehingga dibutuhkan
pemeriksaan MRI kepala.
Sebuah penelitian prospektif di Amerika selama periode 10 tahun dengan
200 sample penderita NPSLE dilakukan MRI untuk menentukan perkiraan lokasi
lesi pada individu. Ditemukan small focal white matter lesions (100%), atrofi korteks
(64%), dilatasi ventrikel (57%), edema serebral (50%), general white matter lesions
(43%), atrofi fokal (36%), infark serebral (29%), leukoencephalopathy akut (25%),
perdarahan intrakranial (21%), dan kalsifikasi (7%). Temuan mikroskopik pada
NPSLE fatal meliputi perubahan iskemik global (57%), edema parenkim (50%),
mikroorganisme (43%), hiperplasia glial (43%), kerusakan neuronal/aksonal difus
(36%), infark serebral terselesaikan (33% ), microthomboemboli (29%), remodeling
pembuluh darah (29%), infark serebral akut (14%), makrohemorrembisi akut (14%),
perdarahan intrakranial yang mulai penyerapan(7%).
35
3.6
Tatalaksana Lupus serebral1,2,4,9,14,20,21
Pendekatan logis untuk pengobatan lupus serebral adalah membangun strategi
pengobatan berdasarkan patogenesis yang mungkin terjadi: (1) iskemia akibat
trombosis sekunder akibat sindrom antifosfolipid, (2) pembuluh darah kecil yang
mengalami proliferasi vasculopati noninflammatory karena mekanisme imun yang
dimediasi oleh sel, dan (3) kerusakan yang dimediasi oleh antibodi pada sumsum
tulang belakang dan saraf optic mirip dengan penyakit Devic. Temuan seropositif
untuk antibodi neuromielitis optica (NMO) immunoglobulin G (IgG) yang terjadi
dengan SS/SLE (sindrom Sjogren/SLE overlap) atau antibodi spesifik organ tubuh
yang mendukung sindroma NMO (Devin) yang timbul bersamaan dengan proses
vaskulitis.
Perlakuan standar untuk sindrom nonthrombotic yang terkait dengan sistemik
lupus eritematosus (SLE) adalah imunosupresi, pertama dengan kortikosteroid dan
dengan siklofosfamid. Sebuah penelitian control trial yang membandingkan 2
perawatan dengan menggunakan siklofosfamid dan sebagai kontrol 1 perawatan tidak
menggunakan siklofosfamid. Dengan kesimpulan bahwa tidak ada bukti keuntungan
dalam pengobatan siklofosfamid. Terapi lupus serebral sekali lagi harus disesuaikan
dengan patogenesis dan gejala yang timbul pada penderita lupus serebral.
1.
Kortikosteroid1,3
Regimen kortikosteroid dosis tinggi intravena (IV) terdiri dari metilprednisolon
1-2 g sehari dalam dosis terbagi 3-6 x, diikuti prednison oral 60 mg setiap hari,
kemudian di tappering off sesuai dengan pemulihan klinis. Flare-up yang kurang
mengancam jiwa dapat diobati dengan dosis 100 mg atau sedikitnya 10 mg
prednison secara oral (PO) setiap hari (atau preparat lain dalam dosis setara),
sekali lagi dilakukan tappring off atau diturunkan secara bertahap sesuai gejala
klinis. Dosis dapat dinaikkan lagi 10-20% selama tappering jika gejala klinis
36
memberat lagi. Pada dosis tinggi akut, steroid dapat menyebabkan status
epileptikus, psikosis, hipokalemia, hiperglikemia, atau hipertensi dan bukti klinis
dari setiap infeksi kambuhan dapat dikurangi. Dengan penggunaan kronis,
steroid menyebabkan efek samping yang umum terjadi termasuk penambahan
berat badan, diabetes melitus, katarak, imunokompromi, dan osteoporosis.
Suplementasi kalsium (1 g per hari untuk pria atau wanita pramenopause, 1,5 g
per hari untuk wanita pascamenopause)
2.
Anti epilepsi 19-21
Kejang merupakan gejala umum dari lupus eritematosus sistemik (SLE) dan
dapat terjadi akibat penyakit akut atau kronis, gangguan elektrolit akut, respons
terhadap steroid dosis tinggi, atau gangguan akut lainnya mungkin hanya
memerlukan pengobatan antikonvulsan sementara, dapat digunakan golongan
benzodizepin ( diazepam iv ). Kemudian dilakukan observasi sampai terbukti
baik secara klinis dan pemeriksaan penunjang (EEG), apakah penderita termasuk
dalam indikasi untuk mendapatkan terapi obat anti epilepsi (OAE) secara rutin.
Pada epileptogenik yang lebih kronis mungkin memerlukan profilaksis seumur
hidup. Antikonvulsan dapat digunakan dengan cara konvensional, obat yang
paling efektif untuk menekan onset fokal atau kejang sekunder. Phenytoin dan
agen lain yang terkait dengan drug-induced lupus tidak mungkin benar-benar
meningkatkan aktivitas penyakit di SLE, namun dengan penggunaan kronis dapat
menyebabkan kebingungan diagnostik bagi klinisi.
Obat anti epilepsi (OAE) pada kejang diberikan jika diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun, penyandang
dan/atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang
timbul dari OAE, dan kejang terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll).
Prinsip
pemberian
OAE
yaitu
terapi
dimulai
dengan
monoterapi,
menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
37
Pemberian OAE dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila penggunaan OAE pertama
dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE
kedua. Caranya bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka
kedua OAE harus tetap diberikan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila
terdapat respon dengan OAE kedua, tetapi respon tetap sub optimal walaupun
penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal. OAE kedua harus memiliki
mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama.
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai
terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila
1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
2. Pada pemeriksaan CT-scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan, pada pemeriksaan enurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak,
3. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung,
4. Riwayat bangkitan simptomatis,
5. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti Juvenile
Myoclonic Epilepsy,
6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP,
7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
Pemilihan OAE didasarkan pada jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom
epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologis dan interaksi antara
OAE.
38
Tabel 4. Pemilihan OAE berdasar mekanisme kerja dan bentuk bangkitan. 15,16
OAE
Mekanisme
kerja
Fenitoin
Bangkit
an fokal
Menghambat
Bangkit
Bangkit
an umum
an
tonik
sekunder
klonik
Bangkit
an lena
Bangkit
an
mioklonik
+ (A)
+ (A)
+ (C)
-
-
+ (A)
+ (A)
+ (C)
-
-
+ (B)
+ (B)
+ (C)
+ (A)
+ (D)
+ (C)
+ (C)
+ (C)
0
?+
+ (C)
+ (C)
? + (D)
0
?-
+ (C)
+ (C)
+ (C)
+ (A)
+-
+ (C)
+ (C)
+ (C)
?
? + (D)
+ (A)
+ (A)
?+
?+
?+
+ (A)
+ (A)
? + (D)
?+
?+
+ (C)
+ (C)
+ (C)
-
-
+ (D)
-
-
-
-
kanal sodium
Karbamazep
in
As. Valproat
Menghambat
kanal sodium
Mekanisme
bervariasi
Fenobarbital
Bersifat GABAergik
(memperpanjang
terbukanya kanan
klorida)
Gabapentin
Menghambat
kanal kalsium
Lamotrigin
Menghambat
kanal sodium
Topiramat
Mekanisme
bervariasi
Zonisamid
Mekanisme
bervariasi
Levetiraceta
m
Berikatan
dengan
reseptor
SV2A
Okskarbazep
in
Klonazepam
Menghambat
kanal sodium
Bersifat GABAergik
(membuka
kanal klorida)
Level of confidence: A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C:
mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif terapi monoterapi.
39
3.
Terapi Devic Syndrome.
Pengobatan sindrom Devic (neuromyelitis optica) dihubungkan dengan sindrom
antifosfolipid (APLS) atau lupus memerlukan penelitian lebih lanjut. Meskipun
patogenesis hampir sama dengan multiple sclerosis klasik, perawatan seperti
interferon-beta tidak dapat dibenarkan. Tidak ada bukti kuat untuk mendukung
penggunaan antikoagulan dengan tidak adanya bukti adanya iskemia progresif.
Oleh karena itu, terapi umumnya ditujukan untuk patogenik antibodi yaitu
dengan steroid dan siklofosfamid. Plasma exchange telah terbukti efektif dalam
penyakit Devic non lupus. Karena analogi Devic dengan penyakit non lupus
Devic. Plasma exchange juga merupakan alternatif yang dapat digunakan pada
lupus eritematosus sistemik (SLE) -Devic disease.
4.
Terapi nyeri neurogenik, Myopathy / Polyneuropathy.
Umumnya, miopati ringan atau polineuropati dapat diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan obat simtomatik lainnya (misalnya,
antikonvulsan, trisiklik (TCA), obat lain yang digunakan untuk nyeri neurogenik
atau muskuloskeletal). Gejala mungkin disebabkan oleh obat-obatan (mis :
Steroid, antimalaria) atau etiologi lainnya selain lupus eritematosus sistemik
(SLE). Prednison dosis rendah sampai sedang dapat digunakan. Dalam jangka
panjang dapat dirubah ke terapi antimalaria.
5.
Terapi APS
Pengobatan sindrom antifosfolipid (APLS) tetap kontroversial, dengan terapi
yang didominasi terutama pada pengalaman anekdot. Meskipun banyak pihak
berwenang merekomendasikan antikoagulan dengan warfarin (Coumadin) Tapi
banyak pihak berwenang lainnya mendukung terapi antiplatelet, dengan tindakan
yang lebih kuat yang diberikan untuk mencegah stroke berulang dan mielopati
progresif. Terapi APS bertujuan untuk rasio normalisasi internasional (INR) 2,03,0 sama baiknya mengurangi risiko kejadian lebih lanjut karena antikoagulan
40
lebih intensif. Hal ini dapat dilakukan kemungkinan bersamaan dengan terapi
imunosupresan untuk menekan produksi antibodi.
6.
Gangguan prilaku / Neuropsikiatri ( delirium, psikosis ). 15,22
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis
adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik golongan butyrophenone. Tergantung
pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal dapat terentang antara
2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi.
Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua dosis oral harian
harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk
mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih
tinggi dari dosis parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mungkin
terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Golongan
phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diobati
dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan
hydroxyzine 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh
panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan
sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa semua obat-obat antipsikotik berpotensi menginduksi
kejang, dan kejadiaan kejang ditemukan lebih tinggi pada penggunaan
antipsikotik tipikal dibandingkan antipsikotik atipikal.
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar
tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :1,9,12
A. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
41
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau
terjadinya osteoporosis.
B. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh
pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi
dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
C. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID (Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain. Contoh obat: aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
2. Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa,
misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis
pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,
trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati,
neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis
glukokortikoid yang akan diberikan sebagai pilhan terapi. Walaupun demikian,
42
pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya
dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur
dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal
pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE, seperti arthritis, serositis dan gejala
konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada
manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari
dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian
dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu
yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi
selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap,
dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis
prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu,
dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis
efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi
tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
3. Antimalaria
Antimalaria
yang
dapat
digunakan untuk
terapi
SLE
terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk
mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
43
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem
imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien
SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
3.7 Prognosa
Prognosis lupus sangat tergantung pada organ yang terlibat, bila organ yang
vital yang terlibat maka mortalitasnya sangat tinggi. Tetapi dengan kemajuan
pengobatan lupus, mortalitas ini jauh lebih baik di banding pada 2-3 dekade yang
lalu. 7
44
Skizofrenia
a) Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh
ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku
pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala
fundamental (atau primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan
gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya
adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya
adalah waham dan halusinasi 23
Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam
durasi paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih)
yang diikuti munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan
adanya perilaku yang katatonik serta adanya gejala negatif.23
Skozofrenia paranoid adalah salah satu sub tipe skizofrenia, dimana dalam
DSM IV disebutkan bahwa tipe ini ditandai oleh preokupasi (keasyikan) pada satu
atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada prilaku lain yang
mengarahkan kepada terdisorganisasi ataupun katatonik. 23
b) Etiologi
Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu 23,24
a. Diatesis-Stres Model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan
yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan
berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh
secara dinamis.
b. Faktor Biologis
45
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan
oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian
kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru
juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin,
glutamat dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak seperti pelebaran
lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada
penderita kronis skizofrenia.
c. Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat
umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 12%
apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan
dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar
monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12% .
d. Faktor Psikososial
Pada faktor ini menandakan adanya tekanan psikososial yang terjadi pada
orang tertentu yang bisa memicu terjadinya skizofrenia, seperti permasalahan
keluarga, hubungan intrapersonal, konflik dan frustasi dalam lingkungan.
c) Klasifikasi
Beberapa subtype Skizofrenia yang diidentifkasi berdasarkan variable klinik: 23-26
 Skizofrenia Paranoid
 Skizofrenia hebefrenik
 Skizofrenia katatonik
 Skizofrenia tak terinci
 Skizofrenia residual
46
 Skizofrenia simplek
 Depresi pasca Skizofrenia
d) Perjalanan Skizofrenia
Perjalanan berkembangnya skizofrenia sangatlah beragam pada setiap kasus. Namun,
secara umum melewati tiga fase utama, yaitu23,27:
a. Fase Prodromal
Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi
kehidupan, sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan
afek atau akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua gejala
dari kriteria A pada criteria diagnosis skizofrenia. Awal munculnya skizofrenia dapat
terjadi setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang
individu mulai menarik diri secara sosial dari lingkungannya.
Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa
minggu hingga bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk
menegakkan diagnosis skizorenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat,
perkembangan gejala gangguannya lebih jelas terlihat daripada individu yang
mengalami fase prodromal panjang.
b. Fase Aktif Gejala
Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia secara
jelas. Sebagian besar penderita gangguan skizofrenia memiliki kelainan pada
kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai
akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin
besar antara individu dengan lingkungan sosialnya.
c. Fase Residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala
dari kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat mentap dan tidak
47
disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan
gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari
lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
e) Diagnosa
PEDOMAN DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA MENURUT PPDGJ III 26
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
 “Thought echo“
Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isi sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal”
Isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal);
dan
“Thought broadcasting”
Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
 “Delusion of control”
Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari
luar; atau
“Delusion of influence”
Waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar;
atau
“Delusion of passivity”
48
Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan
khusus)
“Delusional perception”
Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna, sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
 Halusinasi auditorik:
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh
 Waham–waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
b. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
 Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan
(over loaded ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi setiap hari
selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus menerus;
 Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme;
49
 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme
dan stupor;
 Gejala–gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
c. Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodormal);
d. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.
f) Diagnosis Skizofrenia Paranoid
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
b. Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
 Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
 Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain – lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
50
 Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (deusion of influence), atau
“passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar – kejar
beraneka ragam, adalah yang paling khas;
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol. 26
g) Diagnosa Banding

Gangguan waham menetap

Gangguan akibat pemakaian zat psikoadiktif

Gangguan mood

Gangguan kepribadian
h) Penatalaksanaan
Skizofrenia diyakini merupakan interaksi dari tiga factor (biogenikpsikogenik-sosiogenik) maka pengobatan gangguan skizofrenia juga diarahkan pada
ketiga faktor tersebut yaitu somatoterapi, psikoterapi, dan sosioterapi. Dengan kata
lain, tidak ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala
dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan secara
komprehensif.25
a. Somatoterapi
Sasaran utama somatoterapi adalah tubuh manusia dengan harapan pasien
akan sembuh melalui reaksi holistik. Somatoterapi yang umum dilakukan adalah
psikofarmaka dan ECT (Electroconvulsive Therapy). Psikofarmaka atau disebut obat
neuroleptika/antipsikotika dibedakan menjadi dua golongan tipikal (konvensional)
dan golongan atipikal (generasi kedua). Dasar pemilihan suatu jenis psikofarmaka
51
adalah atas pertimbangan manfaat dan resiko secara individual yang mencakup
farmakokinetik dan farmakodinamik. Semua antipsikotik yang saat ini tersedia
(tipikal maupun atipikal) adalah bersifat antagonis reseptor dopamni D2 dalam
mesokortikal. Blokader reseptor D2 ini cenderung menyebabkan symptom
ekstrapiramidal walaupun secara umum golongan atipikal mempunyai resiko efek
samping neurologik yang lebih rendah (dibandingkan antipsikotik tipikal). 3
b. Antipsikotik
Antipsikotik golongan atipikal dengan efek samping neuromotorik relatif
sedikit tersebut merupakan suatu kemauan terapi terhadap skizofrenia. Meskipun
demikian tetap harus dipertimbangkan bahwa efek samping lain yang tidak
diinginkan dari golongan atipikal tersebut yaitu peningkatan berat badan,
hiperprolaktinemia, hiperglikemia, dan dislipidemia. Akibat kurang baik lainnya
seperti dislipidemia, ketoasidosis diabetika, diabetes melitus, dan perubahan
elektrokardiografi (EKG) serta resiko kanker payudara akibat hiperprolaktinemia juga
telah dicatat pada penggunaan antipsikotik atipikal.
Antipsikotik dibedakan atas: 27

Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama)
- Klorpromazin
- Flufenazin
- Tioridazin
- Haloperidol

Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua)
- Klozapin
- Olanzapin
- Risperidon
- Quetapin
52
- Aripiprazol
Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami
pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke
antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi simtom
negatif dan kemunduran kognitif. Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara
antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal:

Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis.

Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik,
misalnya pertambahan berat badan, diabetes mellitus, atau sindroma
metabolik.
Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila
memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres
emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak
sekitar. Individu terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs, dan
pemeriksaan laboratorium dasar, sebelum memperoleh antipsikotik. 25
Jenis intervensi somatogenik selain psikofarmaka adalah ECT. Bagaimana
sebenarnya cara kerja ECT sehingga dapat menyembuhkan penderita gangguan jiwa
sampai sekarang belum diketahui pasti walaupun beberapa teori telah diajukan
dimana ada yang berorientasi secara organik tetapi ada juga yang tidak berorientasi
organik.
c. Psikoterapi
Terapi psikososial dimaksudkan agar pasien skizofrenia mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mandiri, serta tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat). Termasuk
dalam terapi psikososial adalah terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga,
terapi kelompok, dan psikoterapi individual. 25
53
i) Prognosa
Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu

Prognosis positif: apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti:
onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya
kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial,
pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya
gejala gangguan mood, adanya gejala positif, sudah menikah, dan adanya
sistem pendukung yang baik.

Prognosis negatif: dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti
berikut: onset gangguan lebih awal, factor pencetus tidak jelas, riwayat
kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi
cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan penarikan diri,
statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal, adanya riwayat
keluarga yang mengidap skizofrenia, munculnya gejala negatif, sering
kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung yang baik. 25
54
BAB IV
IKTHISAR PENEMUAN BERMAKNA
Seorang wanita, umur 22 tahun kontrol ke poli jiwa dengan keluhan utama
gelisah. Pasien juga memiliki emosi yang labil, suka marah-marah. Pasien sering
mendengar bisikan-bisikan yang tidak jelas berasal darimana, merasa tubuhnya ada
yang bergetar, menjalar dari tangan ke seluruh tubuh, Pasien malas beraktivitas dan
tidak mau bekerja. Pasien juga sering mengalami sakit kepala dan kejang yang tidak
disertai penurunan kesadaran. Riwayat penggunaan napza tidak ada. Riwayat
didiagnosis Systemic Lupus Erythematous (SLE) sejak 3 tahun yang lalu tetapi tidak
kontrol rutin. Riwayat penggunaan obat autoimun yaitu siklospoin, steroid golongan
methylprednisolon dan obat kejang asam valproat hampir tahunan.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan kesadaran baik, mood dystimic,
afek datar, emosi labil dan aktifitas psikomotor gelisah. Pembicaraan spontan dengan
intonasi sedang, suara jelas dan lancar. Sikap terhadap pemeriksa kooperatif, taraf
pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan sesuai tingkat pendidikan. Daya
konsentrasi cukup, orientasi(waktu, tempat dan orang) baik. Terdapat halusinasi
auditorik yaitu pasien sering mendengar suara-suara yang tidak jelas berasal dari
mana. Ditemukan juga halusinasi taktil yaitu pasien merasa ada sesuatu yang
bergerak menjalar tubuhnya. Perilaku katatonik. Anhedonia perasaan kurang
bergairah dan minat terhadap aktivitas sehari-hari. Kemampuan memahami
sesungguhnya dari situasi tilikan derajat 4.
DIAGNOSIS MULTI AKSIAL
Aksis I.
Berdasarkan Autoanamnesis dan Alloanamnesis didapatkan adanya gejala
klinis yang bermakna dimana pasien datang dengan keluhan gelisah,sulit tidur,
mengamuk (emosi labil). Hal ini menimbulkan penderitaan yang bermakna bagi
55
pasien dan keluarganya. Juga mengakibatkan hendaya dalam hubungan sosial,
pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang, sehingga dikatakan gangguan jiwa.
Ditemukan gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik (mendengar suara-suara
yang tidak jelas berasal dari mana) sehingga digolongkan gangguan jiwa psikotik.
Pemeriksaan fisis, status internis dan neurologis ditemukan penyakit SLE dan
epilepsi sehingga digolongkan gangguan psikotik organik. Ditemukan juga gangguan
persepsi berupa halusinasi auditorik, taktil, perilaku katatonik dan perubahan yang
konsisten bermakna mengakibatkan hilangnya minta pekerjaan dan penarikan diri
secara sosial.. Gejala-gejala tersebut berlangsung > 1 bulan sehingga memenuhi
kriteria umum dan didiagnosis Skizofrenia(F.20). Karena gejala klinis berupa
halusinasi dan menonjol dari pasien ini maka pasien ini didiagnosis :
Aksis I.
Skizofrenia paranoid (F.20.0)
Aksis II.
Tidak ditemukan adanya ciri kepribadian yang khas (Z 03.2)
Aksis III.
Neuropychiatric Systemic Lupus Erythematous (G00-G99)
Aksis IV.
Masalah pekerjaan (tidak bekerja)
Aksis V.
GAF scale 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan
dalam fungsi, secara umum masih baik
DAFTAR PROBLEM
- Organobiologik : Ditemukan penyakit systemic lupus erythematous (SLE)
dan epilepsi, maka diperlukan farmakoterapi.
- Psikologik : Ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita berupa
halusinasi maka pasien memerlukan psikoterapi.
56
- Sosiologik : Ditemukan hendaya sosial, pekerjaan, dan penggunaan waktu
senggang sehingga memerlukan sosioterapi.
PROGNOSIS
1. Faktor Penghambat :

Penyakit yang mendasarinya yaitu Systemis Lupus Erythematous

Stressor psikososial yang kurang jelas

Ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan
2. Faktor Pendukung :

Gejala positif menonjol berupa waham dan halusinasi

Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

Keluarga terutama ibunya yang selalu mendukung pasien
Karena itu prognosis pasien dubia
DISKUSI PEMBAHASAN
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia didefinisikan sebagai suatu sindrom
dengan variasi penyebab perjalanan penyakit, serta sejumlah akibat tergantung pada
pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan budaya.
Skizofrenia
pada
umumnya
ditandai
dengan adanya
penyimpangan
fundamental dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul.
Biasanya kesadaran tetap terpelihara dan kemampuan intelektual juga terpelihara
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Dalam diagnosis skizofrenia harus ditemukan minimal 1 dari kriteria berikut :
1. Though of echo, though of insertion, atau though withdrawl, atau thought
broadcasting
2. Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusion of
perception
3. Halusinasi auditorik
57
4. Waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil.
Atau minimal 2 dari kriteria di bawah ini :
1. Halusinasi menetap dari panca indera apa saja
2. Arus pikiran terputus atau terganggu, yang berakibat irrelevant atau inkoheren
atau neologisme
3. Perilaku katatonik
4. Gejala negatif ( seperti apatis, bicara sangat jarang, respon emosional yang
tumpul dan tidak wajar )
Gejala khas harus berlangsung minimal 1 bulan dan harus ada perubahan
konsisten dan bermakna dan mutu keseluruhan aspek perilaku pribadi dengan
manifestasi hilangnya minat, hidup tak berguna, tidak berbuat sesuatu, self absorbed
Pada skizofrenia paranoid:
-
Halusinasi dan/atau waham harus menonjol seperti :
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing)
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lainlain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau „passive‟
(delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar, adalah yang paling khas.
-
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol.
TERAPI
a. Psikofarmaka :
Psikiatri
 Triheksilpenidil 2x2 mg (PO)
58

Lorazepam 1x2 mg (PO)

Risperidon 2x2 mg (PO)
Neurologi

Asam Valporat (Depakote ER) 1x500 mg (PO)
Penyakit Dalam

Sandimmun 1x25 mg (PO)

Methylprednisolon 1x16 mg (PO)
b. Psikoterapi
- Ventilasi : Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan
keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.
- Konseling : Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien agar
memahami penyakitnya dan bagaimana cara menghadapinya.
c. Sosioterapi : Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan
orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat menerima dan menciptakan
suasana lingkungan yang membantu.
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini dibahas seorang perempuan berusia 22 tahun yang didiagnosis
dengan SLE dikonsulkan kebagian neurologi karena mengalami kejang. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengalami kejang hanya dibagian lengan kanan, lama
kejang ±< 3 menit menit, frekuensi kejang 1x. Sebelum, selama dan sesudah kejang
penderita tetap sadar. Kejang ini hampir terjadi setiap bulan dengan frekuensi dan
durasi yang tak tentu waktu. Pasien juga mengalami perubahan perilaku berupa sering
marah-marah tanpa sebab yang jelas dan gelisah (katatonik), halusinasi auditorik dan
taktil. Selain itu penderita sering nyeri kepala berupa berat terutama kepala bagian
kanan dengan intensitas ringan. Riwayat terdiagnosa SLE sejak 3 tahun yang lalu.
Berdasarkan anamnesa kecurigaan pada penderita ini menderita lupus serebral
dengan gangguan psikiatri, perilaku dan epilepsi.
59
Berdasarkan beberapa literatur kejang dapat terjadi pada 25% pasien SLE.
Mekanisme terjadinya kejang yang utama yaitu terdapat gangguan pada membran sel
neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps, serta
gangguan pada sel glia yang menyebabkan gangguan keseimbangan inhibisi dan
eksitasi muatan listrik pada sel neuron korteks otak. Beberapa literatur menyebutkan
bahwa pada penderita SLE timbulnya kejang terjadi akibat adanya mikroinfark yang
menyebabkan kerusakan korteks. Timbulnya mikroinfark akibat adanya vaskulitis
pada pembuluh darah otak, kardioemboli atau lesi lainnya yang melibatkan otak.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemberian terapi steroid dosis tinggi
yang diberikan pada pasien SLE dapat menimbulkan status epileptikus dengan
mekanisme yang belum diketahui.
Pada literatur dikatakan juga prevalensi psikosis karena SLE sekitar 3-5%.
Psikosis lupus biasanya terjadi selama awal dari penyakit dan berhubungan dengan
SLE lainnya. Kebanyakan pasien dengan SLE didiagnosis dalam kurun waktu 1 tahun
onset. Gejala psikosis biasnya respon terhadap obat-obatan imunosupresi dan remisi
jangka panjang sering terjadi. Masalah yang terdapat pada pasien ini adalah pasien
sudah terdiagnosis SLE sejak 3 tahun yang lalu tapi jarang kontrol. 1 tahun
belakangan ini pasien baru kontrol agak teratur. Kemungkinan akan diagnosis
psikosis (skizofrenia) yang disebabkan oleh NPSLE atau dua diagnosis yang berbeda
yaitu skizofrenia dan NPSLE menjadi masalah yang menarik. Biasanya gejala
psikosis muncul bersamaan dengan klinis NPSLE.
Perubahan prilaku pada penderita ini dapat disebakan karena adanya
gangguan neurotransmiter karena kejang. Menurut PPDGJ III gangguan mental
organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab
yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang
berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan
ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada
gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari
60
beberapa organ atau sistem tubuh. Pada SLE manifestasi neuropsikiatri sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis.
Mekanisme timbulnya manifertasi neuropsikiati pada SLE masih belum diketahui
hingga saat ini. Secara umum penyebab gangguan sistem saraf dan psikiatri pada SLE
yaitu terdapat antibodi atau komplek imun yang menyerang struktur neuron.
Penelitian menunjukkan adanya inflamasi yang progresif pada SLE akan
mengakibatkan kerusakan dan disfungsi yang progresif pula pada berbagai sistem.
Antibodi antityroglobulin, antibodi antimikrosomal, antibodi antikardiolipun,
antibodi B2 Glikoprotein, antibodi antinuklear, dan antibodi lainnya yang timbul pada
SLE secara bersama-sama dapat menjadi mediator pada kerusakan imun susunan
saraf pusat.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium yang
mendukung ke arah SLE yaitu berupa anemia penyakit kronis, ANA Test >1/320 dan
ds-DNA >200 mengindikasikan positif kuat. Dari rekaman otak (EEG) dalam batas
normal dan MRI kepala dengan kontras tidak ditemukan kelainan saat ini. Hasil EEG
dan MRI kepala yang normal tidak menyingkirkan diagnosis dari NPSLE atau Lupus
serebral.
Terapi
untuk
SLE
pada
penderita
ini
metilperdnisolon
per
oral.
Metilprednisolon merupakan anti inflamasi golongan glukokortikoid. Terapi agresif
pada SLE yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi diberikan bila
timbul manifestasi SLE yang mengancam nyawa dengan beberapa target organ. OAE
yang diberikan pada penderita yaitu asam valproat (Depakote ER 1 x 500 mg.
Pemilihan asam valproat didasarkan pada efektifitas sebagai monoterapi yang cukup
baik untuk mengontrol kejang fokal (level of confidence B), yang bekerja dalam
berbagai macam mekanisme diduga efek terhadap GABA, selain itu valprotat diduga
memiliki efek antipsikosis. Pada penderita ini lorazepam 1x 2 mg, risperidon 2x2 mg.
Risperidon merupakan antipsikotik atipikal. Berdasarkan penelitian, obat-obat
antipsikotik dapat menginduksi kejang. Sebuah studi penelitian menyebutkan bahwa
61
semua obat-obat antipsikotik berpotensi menginduksi kejang, dan kejadiaan kejang
ditemukan lebih tinggi pada penggunaan antipsikotik tipikal dibandingkan
antipsikotik atipikal.
Prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena pasien respon dengan
terapi dan tanda-tanda vital stabil. Quo ad functionam adalah bonam karena penderita
berespon cukup dengan terapi antipsikosis. Pada saat kontrol ulang penderita rawat
jalan penderita mulai kooperatif dan dapat berkomunikasi dengan baik walaupun
gejala halusinasi dan katatonik masih ada.
62
BAB V
KESIMPULAN
Sistemik lupus eritematous (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Beberapa target organ pada sistemik
lupus eritematosus adalah kulit, jantung, paru, ginjal, otak dan susunan saraf pusat (
lupus serebral)
Lupus serebral merupakan salah satu manifestasi ke otak dan susunan saraf
pusat dari sistemic lupus erithematous (SLE). Dengan gambaran klinis dapat berupa
kejang, epilepsi, depresi sampai menjadi psikosis, dan mielitis. Lupus serebral dapat
terjadi pada 24% -50% dari semua pasien di Amerika Serikat pada beberapa waktu
selama perjalanan penyakit mereka. Ini merupakan salah satu manifestasi yang paling
sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral
Insiden kejang pada SLE mencapai 25%. Kejang dapat timbul sebagai
manifestasi klinis utama lupus serebral atau Neuropsychiatric Systemic Lupus
Eritematosus (NPSLE). Kejang fokal dapat terjadi akibat adanya mikroinfark yang
menyebabkan kerusakan korteks. Atau adanya vaskulitis pada pembuluh darah otak,
kardioemboli atau lesi lainnya yang melibatkan otak
Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum.
Sedangkan tremor, asteriksis, nistagmus, inkordinasi, dan inkontinensia urin
merupakan gejala neurologis yang umum.
Terapi antipsikosis dapat digunakan golongan atipikal dan golongan tipikal.
Beberapa literatur mengatakan bahwa golongan tipikal lebih memiliki resiko untuk
terjadinya kejang dibandingkan golongan obat atipikal.
Pada laporan kasus ini dibahas penderita wanita umur 22 tahun dengan lupus
serebral berupa epilepsi dan gangguan psikiatrik yaitu psikosis berupa skizofrenia
63
paranoid dengan terapi antiepileptik, antipsikotik dan pengobatan autoimun
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
64
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ramachandran T.S et all. CNS Lupus Treatment and Management. 2017
2.
Kampilafka I et all. Incidence and Prevalence of Major Central Nervous System
Involvement in Systemic Lupus Erythematosus: A 3-Year Prospective Study.
2013
3.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Erite matosus Sistemik. 2012.
4.
L. Wilmer et all. Magnetic Resonance Imaging And Brain Histopathology In
Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus. 2013
5.
Boumpas D. PreS13-SPK-1283: Pathogenesis, Diagnosis and Management of
Neuropsychiatric SLE. Pediatric Rheumatology. 2013; 11(2): 14.
6.
Ainiala H. Neuropsychiatric Involvement in Systemic Lupus Erytematosus [PhD
dissertation]. Tampere: University of Tampere; 2012 [cited 2011]. Available
from: University of Tampere Libbary E-Reserve.
7.
Kusumastuti K., Gunadharma S., Kustiowati E., editor. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. Ed 5. Surabaya: Airlangga
University Press; 2014.
8.
Ropper A.H., Brown R.H., Adams and Victors Principles of Neurology. 8 ed.
New York: McGraw-Hill; 2005.
9.
Henry R.T., Seizures and Epilepsy: Pathophysiology and Principles of Diagnosis.
Journal of Epilepsy. 2012.
10. Anwar Z., Zehra N., Masood J., Ullah S., Khattak J. Z., Epilepsy: Neurological
Disorder-a Review. Asian Journal of Medical Sciences. 2014.
11. Brust J.G., Current Diagnosis & Treatment Neurology. 2nd ed. New York:
McGraw-Hill; 2012.
12. Simon R., Greenberg D. Aminoff M., Clinical Neurology. 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2009..
65
13. Lertxundi U, Hernandez R, Medrano J, Domingo S, Garcia M, Aguirre C.
Antipsychotics and Seizures: Higher risk with atypicals? Seizure Journal. 2013;
22: 141-3.
14. Oster J. The Pathophysiology of Systemic Lupus Erythematosus and the Nervous
System. in Almoalim H, editors. Systemic Lupus Erythematosus, China. In Tech.
2012.
15. American Psychiatric Association. Practice Guideline for the Treatment of
Patients of Delirium. 1999.
16. Gleason O. Delirium. American Family Physician. 2013; 67(5): 1027-34.
17. Zandi M. Advanced and Challenges in Neuropsychiatric Systemic Lupus
Erythematosus. ACNR. 2010; 10(2): 10-13.
18. Shankar S, Behera V, Advances in Management of Systemic Lupus
Erythematosus. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences. 2014;
15: 27-36.
19. Guarnienri R, Hallak J, Walz R, Vellasco R, Junior V, et al. Pharmacological
Treatment of Psychosis in Epilepsy. Rev Bras Psiquatr. 2008; 26(1): 56-60.
20. Reigosa J, Isenberg D. Psychosis due to Systemic Lupus Erythematosus:
Characteristics and Long-term Outcome of This Rare Manifestation of the
Disease. Rheumatology. 2007; 47: 1498-1502.
21. Bortoluzzi A, Padovan M, Farina I, Leonardis F, Govoni M. Therapeutic
Strategies in Severe Neuropsychiatric Systemic Lupus Eritematosus: Experience
from a referral Centre. Rheumatismo. 2012; 64(6): 350-9.
22. Malec M, Rudzinska M, Dudek D, Siwek M, Wnuk M, Szczundlik A. Psychotic
Disorder in the Course of Systemic Lupus Erythematosus with Subcortical
Cacifications – Case Report. Psychiatria Polska. 2014; 48(2): 299-306.
23. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Tangerang: Binapura
Aksara Publisher. 2010.
66
24. Kaplan HI, Saddock BC, Roan WM. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Widya
Medika, Jakarta. 1998: 407-412
25. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2001: 170-196
26. Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ – III. Jakarta: Nuh Jaya.
27. Maslim, Rusdi. 2002. Panduan Praktis Penggunaan Obat Klinis Psikotropik.
Edisi III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
67
Download