Uploaded by muhammadaliharozim6

rev. menjadi muslim tionghoa study problematika keberagamaan minoritas muslim di jember 3.

advertisement
MENJADI MUSLIM TIONGHOA: STUDI PROBLEMATIKA
KEBERAGAMAAN MINORITAS MUSLIM DI JEMBER.
PROPOSAL TESIS
Diajukan Kepada Pasca Sarjana Institute Agama Islam Negeri Jember
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Magister Agama (M.A).
Oleh
Muhammad Ali Harozim
(0829220002)
Dosen pembimbing:
1. Dr. M. Khusna Amal, M.Si
2. Dr. Pujiono, M.Ag
PROGRAM STUDI STUDI ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JAMBER
2021
PERSETUJUAN
Proposal
Tesis
dengan
Judul
“Menjadi Muslim Tionghoa: Study
problematika keberagamaan minoritas muslim jember” yang ditulis oleh ,
Muhammad Ali Harozim telah disetujui untuk diuji dalam Forum seminar
proposal tesis
Jember,
2021
Pembimbing I
Dr. M. Khusna Amal, M.Si
NIP. 197212081998031001
Pembimbing II
Dr. Pujiono, M.Ag
NIP. 197004012000031002
A.
Latar Belakang
Sejarah identitas muslim Tionghoa di Indonesia memiliki dinamika
yang panjang. Di mulai dari budaya hibrid Tionghoa-Jawa Muslim pada
abad ke-15 dan 16 hingga kemerosotannya selama periode kolonial Belanda,
dari pengorganisiran perkumpulan- perkumpulan Tionghoa Muslim selama
periode awal kemerdekaan hingga penghapusan segala sesuatu yang berbau
Tionghoa dibawah rezim orde baru; dan yang paling belakangan,
kemunculan ekspresi budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pasca-1999.
Keberadaan muslim Tionghoa di nusantara sejatinya sudah berlangsung
sejak berabad-abad yang lalu. Hidup berdampingan ratusan tahun akulturasi
kebudayaan tionghoa dengan budaya nusantara saling berdampingan sampai
akhirnya Belanda datang.
Salah satu dampak buruk dari kolonialisme belanda di Nusantara yang
masih bisa dirasakan hingga hari ini adalah adanya persepsi pada sebagian
besar masyarakat Tionghoa Indonesia bahwa Islam merupakan agama
masyarakat pribumi. Pandangan ini bukan hanya lemah secara historis,
melainkan juga secara empirik, karena sebelum kedatangan Belanda di
Nusantara, pihak asing dahulu yang membangun koloni-koloninya di
Nusantara adalah orang-orang Tionghoa Muslim, sekaligus kenyataan
bahwa islam sendiri merupakan agama yang tidak asing lagi bagi
masyarakat Tionghoa di negeri Tiongkok sana. Bahkan, kedatangan Islam
dan terbentuknya komunitas Muslim yang stabil di Tiongkok telah
berlangsung jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Itulah sebabnya
muncul salah satu tesis yang mengatakan bahwa kedatangan Islam di
Nusantara tidak hanya dibawa oleh orang-orang dari Arab dan Persia saja,
melainkan juga disebarluaskan secara sistematis oleh orang-orang
Tionghoa.1
Salah satu isu penting terkait dengan masalah Cina ( Tionghoa) adalah
persoalan diskriminasi. Diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia masih
1
Sumanto Al qurtubi, arus china-islam-jawa ( 2003)
menjadi persoalan serius hingaa hari ini. Pelecehan dan kekerasan terhadap
mereka sudan menjadi suatu yang terlanjur dianggap wajar. Mereka pun
seolah-olah tidak memiliki cara lain untuk menghadapi situasi tersebut,
selain menerimanya dengan pasrah dan mengangapnya sebagai takdir sosial
yang harus di tanggung oleh golongan minoritas asing. Meskipun kehadiran
mereka di Nusantara sudah berabad-abad lamanya, tidak sedikit masyarakat
pribumi yang memandang mereka sebagai orang asing yang belum mampu
melakukan pembauran dalam kehidupan masyarakat pribumi.2
Menjadi seorang Muslim bagi orang Tionghoa bukanlah pilihan yang
mudah untuk ditempuh. Banyak hambatan yang harus mereka hadapi, yang
acap kali membuat mereka putus asa. Sepertinya sudah menjadi gejala
umum di kalangan masyarakat Tionghoa Indonesia bahwa agama Islam
dipandang sebagai suatu yang bertentanan dengan kebudayaan mereka,
sebagai suatu yang asing, bahkan tidak jarang dianggap sebagai agama yang
identik dengan kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan masyarakat
pribumi Indonesia. apa bila seorang etnis Tionghoa ingin memeluk agama
Islam tidak jarang mereka akan mendapat ancaman untuk di coret dari
anggota keluarga.3 Menjadi muslim juga tidak menjadi jaminan bagi
seorang Tionghoa untuk terlindungi dari dikriminasi dan perlakuan tidak
enak lainnya yang berujung pada rasisme. Etnis Tionghoa sangat rentan
menjadi sasaran persekusi jika situasi politik di negeri ini sedang tidak
stabil. Problem tersebut masih ditambah ketika mereka memutuskan untuk
memeluk agama Islam dan menjadi mualaf. Dilema dikucilkan keluarga
hingga kerabat terasa menjadi ancaman nyata bagi mualaf Tionghoa.
Muslim Tionghoa memiliki problem sosial yang cukup komplek dengan
memiliki status minoritas ganda (double minority).4 Realitas tersebut
memantik
2
komunitas
ini
untuk
lebih
cerdas
dan
bijak
dalam
Afthonul afif, identitas tionghoa muslim Indonesia(Depok: penerbit kepik, cetakan pertama
2012) hal.2-3
3
Ibid. hal 147-148
4
Hew Wai Weng, Berislam ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia
(Bandung: Mizan, 2019), hlm. 367.
mengeksepresikan keislamannya di ruang publik. Hal ini disebabkan agar
keislaman yang mereka yakini tidak mengakibatkan keterasingan di dalam
komunitas etnisnya, selain juga agar keberadaanya juga bisa diterima oleh
kelompok muslim mayoritas. Hal ini terjadi hampir terjadi dikalangan
Muslim Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Jember.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menjawab
bagaimana muslim Tionghoa Jember yang tidak saja minoritas dalam
konteks muslim Indonesia tapi juga minoritas dalam komunitas Tionghua
sendiri. Adakah problematika sosial-agama yang mereka hadapi yang
mereka hadapi dalam mengekspresikan keagamaan dalam dua komunitas
tersebut. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
problem keberagamaan yang di hadapi muslim Tionghoa di Jember dengan
mengankat judul “Menjadi Muslim Tionghoa: Study problematika
keberagamaan minoritas muslim di Jember”.
B.
Fokus penelitian.
Adapun fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana posisi Muslim Tionghoa Jember dalam komunitas minoritas
Tionghoa dan mayoritas Muslim Sunni di Jember?
2.
Bagaimana
Muslim
Tionghoa
Jember
menampilkan
identitas
keagamaannya dalam kedua komunitas?
3.
Bagaimana Muslim Tionghoa Jember menegoisasikan identitasnya
dalam kedua komunitas?
C.
Tujuan Penelitian.
Tujuan Penelitian ini adalah:
1.
Untuk memahami posisi muslim Tionghoa Jember didalam etnis
minoritas dan masyarakat muslim mayoritas.
2.
Untuk memahami bagaimana muslim Tionghoa jember menampilkan
identitas keadaannya dalam kedua komunitas.
3.
Untuk
memahami
Bagaimana
muslim
Tionghoa
menegoisasikan identitas dalam kedua komunitasnya.
Jember
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
a. Bagi peneliti, mengetahui problematika muslim Tionghoa sebagai
minoritas muslim di kabupaten Jember.
b. Bagi para pengamat sosial, dapat digunakan sebagai bahan acuan
pemikiran dan perbandingan yang berkaitan dengan kondisi sosial
keberagamaan dari tatanan muslim Tionghoa yang berada di
Kabupaten Jember.
E.
Ruang Lingkup penelitian
Supaya terdapat pembahasan yang fokus terhadap penelitian yang
dimaksud, maka perlu adanya pembatasan ruang lingkup tempat (scope
spatial) dan ruang lingkup waktu (lingkup temporal). Scope spatial adalah
hal-hal yang berkaitan dengan pembatasan suatu daerah atau kawasan
tertentu dimana suatu peristiwa sejarah itu terjadi. Dalam penelitian ini
scope spatial yang dimaksud adalah etnis muslim Tionghoa yang berada di
Kabupaten Jember.
Scope spatial berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa sejarah
yaitu dimulai dengan berkembangnya muslim Tionghoa di daerah Jember.
F.
Definisi Istilah.
Definisi istilah berisi tentang pengertian istilah-istilah penting yang
menjadi titik perhatian peneliti di dalam judul penelitian. Tujuannya agar
tidak terjadi kesalahpahaman terhadap makna istilah sebagaimana
dimaksud oleh peneliti.5
Adapun istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Keberagamaan
Keberagamaan, yaitu suatu kata yang berasal dari kata dasar agama
yang kemudian dibentuk menjadi beragama, lalu diberi imbuhan ke-dan–
5
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasarjana (Jember: IAIN Jember Press,
2018), 21.
an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata
yang mendapat imbuhan ke-dan-an mengandung makna, antara lain, sifat
atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaran (keadaan
membesar), kerajinan, kepekaan, kejujuran dan lain-lain. Keberagamaan
berarti keadaan atau sifat orang-orang beragama, yang meliputi keadaan
dan sifat atau corak pemahaman, semangat dan tingkat kepatuhannya
untuk melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, dan keadaan prilaku
hidupnya sehari-hari setelah ia menjadi penganut suatu agama.6
2. Problematika
Problematika secara etimologi berasal dari kata “problem” yang
berarti “persoalan atau permasalahan”.7 Maka problematika berarti hal-hal
yang menimbulkan permasalahan yang belum bisa terpecahkan.8 Dalam
kamus ilmiah populer, problema memiliki arti soal, masalah, perkara sulit
dan persoalan.9 Problematika yang dimaksud dalam penelitian ini adala
persoalan maupun permasalahan yang di hadapai oleh muslim Tionghoa
sebagai minoritas muslim di kabupaten Jember.
3. Minoritas.
Ali Kettani mendefinisikan minoritas sebagai sekelompok orang
yang karena satu dan lain hal menjadi korban pertama despotisme negara
atau komunitas yang membentuk mayoritas. Mereka adalah orang yang
sejarahnya tetap, tidak tertulis, kondisi keberadaannya tidak dikenal, citacita dan aspirasinya tidak diapresiasi. Mereka adalah orang-orang alMustadh’afin fi alardl (kaum tertindas di muka bumi).10 Mengikuti
definisi Kettani, secara sederhana, seseorang atau sekelompok kaum
muslim bisa dikategorikan sebagai minoritas sebagai berikut; pertama,
soal jumlah kecil. Seseorang atau sekelompok orang dikatakan sebagai
6
Munawwir Haris, Agama dan Keberagamaan; sebuah klarifikasi untuk empati (Tasamuh: Jurnal
Studi Islam, volume 9, nomor 2, September 2017) hal.529.
7
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka: 1993), 38
8
Ibid, 701
9
Pius. A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 626
10
M.Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, terj. Zarkowie soejoeti, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. xvii
minoritas apabila “kalah jauh dalam hal jumlah” dalam posisi
dibandingkan dengan kelompok pemeluk agama lain yang jumlahnya jauh
lebih besar. Kettani mengelompokkan minoritas muslim dalam konteks
wadah negara-bangsa (nation state), bukan dalam wadah lain yang alami
dalam masyarakat, misalnya etnisitas, kesukuan (kabilah), kebangsaan
(sya’ab) dan kelompok (tha’ifah). Dengan jumlah yang minoritas mereka
kemudian mengalami berbagai masalah yang sesungguhnya tidak mereka
harapkan, seperti termarginalisasi secara politik, kesulitan berintegrasi
dalam negarabangsa, secara sosio-kultural tersegresi, terhimpit kesulitan
ekonomi. Akhirnya, kaum minoritas muslim membangun dan memelihara
konsep, identitas dan jati diri mereka sendiri.11
4. Relasi Sosial
Pengertian Relasi Sosial, Hubungan antar sesama dalam istilah
sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan
sosial yang merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang
sistematik antara dua orang atau lebih. Hubungan dalam relasi sosial
merupakan hubungan yang sifatnya timbal balik antar individu yang satu
dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi.12
5. Identitas
Dalam setiap kelompok atau individu memiliki sesuatu yang tidak
dapat dilepaskan dari sebuah usaha untuk dikenal oleh pihak lain, dan
pengenalan tersebut terjadi dengan berbagai cara atau usaha, sampai
kemudian dikatakan sebagai identitas kelompok atau identitas individu.
Jadi, identitas adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari
pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial
bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan
11
Bandingkan dengan M. Arnold Rose and B. Carroline Rose, Minoritas Problems, New York:
Herper and Row, 1972
12
Hidayati, D.S. 2014. “Peningkatan Relasi Sosial melalui Social Skill Therapy pada Penderita
Schizophrenia Katatonik”. Jurnal Online Psikologi, 2 (1): 17-28.
tersebut.13 Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan
juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu, suatu
esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap
dan gaya hidup.14
G.
Kajian Pustaka
1. Penelitian terdahulu
a. Siti Nur Alfiana Wulandari, Dakwah Persuasif pada Muallaf Etnis
Tionghoaa
(studi
pada
persatuan
Islam
Tionghoa
Indonesia
Surabaya).15
Pada tesis tersebut penulis memberikan fokusnya pada dakwah
persuasif yang dilakukan oleh da’i di lembaga Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya, dan sikap muallaf etnis Tionghoa
dalam mengamalkan dakwah persuasif yang disampaikan oleh da’i.
Dalam melakukan penelitiannya, penulis mmenggunakan metode
kualitatif deskriptif. Kemudian data tersebut akan di analisis dengan
dua teori, yang pertama, teori penetrasi sosial oleh Altman dan Taylor
kedua teori AIDDA oleh Wilbur Schramm.
Penelitian tersebut mempunyai unsur kesamaan dari penelitian
penulis, yaitu terletak pada objek kajian ialah etnis tionghoa muslim.
Tetapi mempunyai perbedaan yaitu, pada posisi dari etnis Tionghoa
sendiri,
karena
penulis
akan
meneliti
etnis
Tionghoa
pada
persaudaraannya sesama etnis dan lintas etnis. Oleh karena itu penulis
menyimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan masih berada
dalam koridor orisinalitasnya.
13
Tajfel, H. and Turner, J.C. (1986) The Social Identity Theory of Intergroup Behavior. Psychology
of Intergroup Relations, 5, 7-24.
14
Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2013), 174.
15
Siti Alfiana Wulandari, 2020, Dakwah Persuasif pada Muallaf Etnis Tionghoaa (studi pada
persatuan Islam Tionghoa Indonesia Surabaya) Tesis, progra komunikasi dan penyiaran islam
Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
b. Ramli, Dakwah terhadap Muslim Etnis Tionghoa di Kota Makasar
(perspektif sosio-antropologis)16.
Penelitian ini memberikan fokus pada dakwah terhadap etnis
Tionghoa di kota Makasar ditinjau dari segi keragaman agama dan
budaya, dan aktifitas dikalangan muslim Tionghoa dikota Makasar
dengan
menggunakan
penelitiannya
suapaya
perspektif
mendapatkan
sosio-antropologis.
data
yang
Dalam
valid
maka
digunakanlah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan mengambil
lokasi dan objek penelitian pada kegiatan dakwah bagi etnis muslim
Tionghoa di kota Makasar.
Persamaan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
terletak pada objek penelitian yaitu, etnis muslim Tionghoa. Melainkan
terdapat perbedaan, ialah pada aspek yang terdapat pada etnis
Tiionghoa muslim itu sendiri, jika penelitian tersebut menjadikan etnis
Tionghoa sebagai objek dakwah yang diteliti, maka dalam penelitian
ini penulis mmeneliti kepada persaudaraan islamnya.
c. M. Ainun Najib, Internalisasi Nilai Agama Islam pada Masyarakat
muslim Tionghoa Banyumas17.
Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
implementasi dan internalisasi nilai agama Islam dalam masyarakat
muslim etnis Tionghoa di Banyumas. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang
hendak penulis lakukan., yaitu terletak pada objek kajian yang hendak
dituju. Tetapi dalam penelitian tersebut terdapat perbedaan pada objek
yang dimaksud karena terlalu bersifat umum. Sedangkan penulis hanya
membatasi penelitian pada persaudaraan saja. Metode yang dgunakan
16
Ramli, 2015, Dakwah terhadap Muslim Etnis Tionghoa di Kota Makasar (perspektif sosioantropologis) Disertasi, program doktor (S3) pasca sarjana UIN Alauddin Makasar.
17
M.Ainun Najib, 2020, Internalisasi Nilai Agama Islam pada Masyarakat muslim Tionghoa
Banyumas, Tesis Program Studi Pendidikan Agama Islam Pasca Sarjana IAIN Purwokerto.
adalah kualitatif dengan memperoleh data dari dua sumber yaitu
pustaka dan lapangan.
d. Bambang Permadi, Islam dan Etnis Tionghoa: studi kasus kounitas
banteng di Tanggerang18.
Penelitian ini ingin mmengungkap persoalan etnis Tionghoa dan
Islam yang terdapat di komunitas Banteng Tangggerang. Untuk
menguak data yang dibutuhkan dengan mmenyesuaikan terhadap fokus
kajian, maka ditempuh jalan penelitian secara historis. Selain itu ihwal
yang ingin di kuak pula adalah persoalan relasiorang Cina Banteng
dengan Islam sebagai agama dan sebagai budaya.
Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dari penelitian penulis
pada sisi objek kajian, yaitu etnis Tionghoa. Perbedaan terdapat pada
peletakan etnis Tionghoa itu sendiri sebagai objek kajian. Jika pada
penelitian tersebut etnis Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang
non-muslim dan bagaimana relasinya dengan agama islam, maka
penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Tionghoa muslim dan
relasinya dengan sesamanya dan yang berbeda etnis.
e. Winarto Eka Wahyudi, 2020, social pedagogy pada muslim etnis
minoritas (konstruksi muslim Tionghoa dalam praksis pendidikan
islam di Surabaya)19.
Penelitian yang dilakukan oleh Winarto Eka Wahyudi ini
mmenggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi. Unntuk dapat mengakses data yang dibutuhkan yang
berkaitan dengan fokus dari kajian, diantaranya: pelaksanaan
pendidikan islam multikultural pada komunitas muslim Tionghoa,
perkebangan kompetensi sosial muslim Tionghoa melalui pendidikan
Islam multikultural, menginterpretasikan model sosial pedagogi
18
Bambang Permadi, 2017, Islam dan Etnis Tionghoa: studi kasus komunitas banteng di
Tanggerang, Tesis Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.
19
Winarto Eka Wahyudi, social pedagogy pada muslimm etnis minoritas
(konstruksi muslim Tionghoa dalam praksis pendidikan islam di Surabaya), 2020,
Disertasi Program Doktor PAI Multikultural Pasca Sarjana Universitas Malang.
sebagai pendekatan muslim Tionghoa dalam praksis Pendidikan
Agama Islam Multikultural.
Penelitian tersebut mempunyai kesamaan pada objek penelitian
yang berkaitan dengan muslim etnis Tionghoa, tetapi menemukan
perbedaannya ketika beranjak pada pemahaman tentang aspek atau
sangkutan dari apa yang hendak dipahami pada etnis muslimm
Tionghoa tersebut. Penelitian tersebut meneliti pada kaitannya praksis
pendidikan Islam, sedangkan penulis hendak memaparkan persoalan
relasi atau persaudaraan sesama etnis dan lintas etnis beserta arkeologi
pemikiran tentang masjid Chengho.
f. Claudia Anridho, Diskursus pendidikan Tinggi pada Keluarga Etnis
Tionghoa dan Etnis Madura di Kota Surabaya20.
Penelitian ini mencoba untuk menguak tentang diskursus
pendidikan tinggi dan bentuk praktik diskursus pendidikan tinggi pada
keluarga etnis Tionghoa dan etnis Madura di kota Surabaya. Untuk
mmendapatkan data-data yang dibutuhkan secara valid, maka
penelitian ini menggunakan fasilitas untuk menganalisis suatu
diskursus dengan bantuan Michel Foucault dimana dilakukan secara
kualitatif.
Terdapat kesamaan antara penelitian tersebut dengan apa yang
akan dilakukan oleh penulis dalam melakukan suatu penelitian. Yaitu
terletak pada objek formal yang digunakan, dimana sama-sama
menggunakan fasilitas dari Michel Foucault. Sedangkan perbedaannya
terletak pada cara dalam melihat objek material. Jika dalam penelitian
tersebut ingin meneliti tentang diskursus pendidikan tinggi, maka
penulis mencoba untuk meneliti sistem pemikiran yang berorientasi
pada relasi kehidupan sosial dalam bingkai persaudaraan sesama
ummat islam.
2. Kajian teori
20
Claudia Anridho, Diskursus pendidikan Tinggi pada Keluarga Etnis Tionghoa
dan Etnis Madura di Kota Surabaya
a.
Teori identitas sosial.
Identitas merupakan hal yang fundamental pada setiap interaksi
sosial dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan21
mengatakan
bahwa
setiap
individu
memerlukan
identitas
untuk
memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut Jeffrey
Weeks22 ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa identitas
perlu dan pantas mendapat perhatian besar. Pertama, dalam hidup seharihari orang tidak pernah lupa baik secara langsung maupun tidak langsung
menanyakan “anda siapa?” (who are you?) kepada seseorang yang baru
dikenalnya. Ini merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam setiap
interaksi sosial. Dengan pertanyaan demikian ia tidak sekedar ingin tahu
tentang nama, alamat dan pekerjaan, tapi bertanya tentang identitas orang
itu. Kalau orang yang ditanya itu gagal menjawab pertanyaan itu, berarti ia
gagal dalam menampilkan identitasnya, sekaligus gagal menghadirkan diri
sebagai subyek. Subyektivitas merupakan landasan pertama dalam setiap
interaksi sosial.23 Kedua, identitas adalah tentang sense of belonging,
tentang persamaan dengan sejumlah orang dan tentang apa yang
membedakan kamu dengan lainnya. Sebagai sesuatu yang paling
mendasar, identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang
stabil bagi individualitas kamu. Dalam bidang sosiologi, konsep identitas
mengacu kepada struktur keanggotaan kelompok, seperti peranan sosial,
kategori dan ciri yang dapat menunjukkan seorang individu dalam suatu
kelompok tertentu. Seseorang yang beridentitas sama mempunyai
persamaan kebudayaan, institusi-institusi dasar seperti agama, bahasa,
organisasi sosial dan politik. Diantara mereka tumbuh kesadaran dan
perasaan “kekitaan” (espirit de corps). Secara umum, konsep identitas
mengacu kepada the self, yaitu menerangkan apa dan siapa seseorang itu.
21
Lan, T, J. 2000. ”Susahnya Jadi Orang Tionghoa. Ke-Tionghoa-an Sebagai Konstruksi Sosial”.
Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Tionghoa di
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Tionghoa.
22
Weeks, Jeffrey. 1990. “The Value of Difference”. Dalam Jonathan Rutherford (ed). Identity,
Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.
23
Ibid, hal: 88
Hal ini sebagaimana yang didefinisikan oleh Hogg dan Abrams , dan
Jenkins : 24
“Identity is people's concepts of who they are, of what sort of
people they are, and how they relate to others" (Hogg and Abrams
1988:2). Identity refers to the ways in which individuals and collectivities
are distinguished in their social relations with other individuals and
collectivities"
Taylor dan Moghaddam10 menjelaskan, identitas individu yang
tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu
bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu
sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana di dalamnya mencakup
nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu
sebagai anggotanya.25
Teori identitas sosial menekankan bahwa perilaku individu
mencerminkan unit masyarakat si individu yang lebih besar. Ini berarti
bahwa struktur-struktur masyarakat yang „rumit‟ seperti kelompok,
organisasi, budaya dan, yang paling penting, identifikasi individu dengan
unit-unit kolektif ini memandu struktur dan proses internal. Kompetensi
budaya berada pada inti teori ini karena keanggotaan kelompok kolektif
mempengaruhi dan menentukan pemikiran serta perilaku individu .26
Teori identitas sosial menyatakan bahwa orang berfikir, merasakan,
dan bertindak sebagai anggota kelompok kolektif, institusi, dan budaya.
Pendekatan identitas sosial menekankan pemikiran bahwa kognisi sosial
individu ditafsirkan secara sosial tergantung pada kerangka acuan kolektif
atau kelompok mereka. Sebagai contoh, para imigran yang menganggap
diri mereka terstigmatisasi secara negatif dikarenakan warna kulit yang
gelap atau aksen bahasa, mungkin enggan untuk berakulturasi karena
24
Jenkins, Richard. 1996. Social Identity. London: Routledge
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M. 1994. Theories of Intergroup Relations. London:
26
Markus, H. R., Kitayama, S.,&Heiman, R. J. 1996. ”Culture and “basic” psychological principles”.
In E. T. Higgins & A. W. Kruglanski (Eds.), Social Psychology: Handbook of Basic Principles (pp.
857- 913). New York: Guilford.
25
meyakini bahwa pandangan negatif seperti itu tidak akan hilang meskipun
mereka kompeten secara kultural dalam budaya dominan. Teori identitas
sosial mencoba menjelaskan hubungan antar kelompok secara umum dan
konflik sosial secara khusus. Teori ini meliputi tiga point utama: 1) Orang
termotivasi untuk mempertahankan konsep diri yang positif, 2) Konsep
diri tersebut sebagian besar berasal dari identifikasi kelompok, dan 3)
Orang membangun identitas sosial yang positif dengan membandingkan
kelompok dalam dan kelompok luar mereka.27 Dengan demikian, teori
identitas sosial mengasumsikan bahwa proses-proses perbandingan sosial
internal mendorong konflik antar kelompok, meskipun tidak terdapat
persaingan atau kompetisieksplisit di antara kelompok. Variabelvariabel
struktural seperti kekuasaan, hirarki, kelangkaan sumber daya cenderung
menyebabkan pandangan yang lebih mendukung kelompok dalam
dibanding kelompok luar. Dalam pandangan teori identitas sosial,
keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai
motor psikologik penting di balik tindakan-tindakan individu dalam setiap
interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison
yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas
sosialnya.28
Proses
social
comparison
merupakan
serangkaian
pembandingan dengan orang atau kelompok lain yang secara subyektif
membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya
dibanding identitas sosial yang lain.29
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial
yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang
terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam
konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai
identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan
27
Operario, D.,& Fiske, S.T. 1999. “Integrating Social Identity and Social Cognition: Aframework
for Bridging Diverse Perspectives”. In D. Abrams & M. A. Hogg (Eds.), Social identity and social
cognition (pp. 26-54). Cambridge, MA: Blackwell.
28
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M. 1994. Op cit.
29
Hogg, Michael and Dominic Abrams. 1988. Op cit.
sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan individu dari kelompok yang
lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya
mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun
demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok
bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok.
Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas.
Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha
yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok
agar kesannya tidak terlalu jelek.30
b. Teori representasi Stuart Hall
Teori Representasi (Theory of Representation) yang dikemukakan
oleh Stuart Hall menjadi teori utama yang melandasi penelitian ini.
Pemahaman utama dari teori representasi adalah penggunaan bahasa
(language) untuk menyampaikan sesuatu yang berarti (meaningful)
kepada orang lain. Representasi adalah bagian terpenting dari proses
dimana arti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota
kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi adalah
mengartikan konsep (concept) yang ada di pikiran kita dengan
menggunakan bahasa. Stuart Hall secara tegas mengartikan representasi
sebagai proses produksi arti dengan menggunakan bahasa.31
Sementara the Shorter Oxford English Dictionarymembuat dua
pengertian yang relevan yaitu9 :
Pertama, Merepresentasikan sesuatu adalah mendeskripsikannya,
memunculkan gambaran atau imajinasi dalam benak kita, menempatkan
kemiripan
dari
Merepresentasikan
obyek
sesuatu
dalam
adalah
pikiran/
indera
menyimbolkan,
kita.
Kedua,
mencontohkan,
menempatkan sesuatu, penggantikan sesuatu, seperti dalam kalimat ini;
bagi umat Kristen, Salib merepresentasikan penderitaan dan penyalipan
30
Hogg, Michael and Dominic Abrams. 1988. Op cit.; Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial:
Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
31
Hall, S. (1995). Representation:Cultural Representation and Signifying Practices. London:SAGE,
p. 13
Yesus. Teori representasi sendiri dibagi dalam tiga teori atau pendekatan
yaitu (1) reflective approach yang menjelaskan bahwa bahasa berfungsi
seperti cermin yang merefleksikan arti yang sebenarnya.Di abad ke4 SM,
bangsa Yunani mengistilahkannya sebagai mimetic. Misalnya, mawar ya
berarti mawar, tidak ada arti lain. (2) Intentional approach, dimana
bahasa digunakan mengekspresikan arti personal dari seseorang penulis,
pelukis, dll. Pendekatan ini memiliki kelemahan, karena menganggap
bahasa sebagai permainan privat (private games) sementara disisi lain
menyebutkan bahwa esensi bahasa alah berkomunikasi didasarkan pada
kode-kode yang telah menjadi konvensi di masyarakat bukan kode
pribadi.
(3)
Constructionist
approach
yaitu
pendekatan
yang
menggunakan sistem bahasa (language) atau sistem apapun untuk
merepresentasikan konsep kita (concept). Pendekatan ini tidak berarti
bahwa kita mengkonstruksi arti (meaning) dengan menggunakan sistem
representasi (concept dan signs), namun lebih pada pendekatan yang
bertujuan mengartikan suatu bahasa (language). Contoh model ketiga ini
adalah Semiotic approach yang dipengaruhi oleh ahli bahasa dari Swiss,
Ferdinand de Saussure dan Discursive approach oleh filosof Perancis
bernama Micheal Foucault. Meskipun pendekatan constructionist
approach menjadi dasar pemikiran penelitian ini, namun pendekatan
semiotic dan discursive tidak digunakan dalam penelitian ini karena
metode yang digunakan adalah framing. Relevansi utama dari teori
konstruktionis terhadap penelitian adalah tentang penjelasan bahwa
bahasa (language) yang terdapat dalam berita berupa kumpulan dari
signs (artikel, foto, video, kalimat) memiliki arti (meaning) yang
merepresentasikan budaya (culture) yang ada di masyarakat kita,
termasuk media.Untuk lebih memperjelas tentang teori representasi,
maka perlu diperjelas tentang berbagai komponen terkait seperti bahasa
(language), arti (meaning), konsep (concept), tanda-tanda (signs), dan
lain-lain.
Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam
benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk
mengartikan benda, orang atau kejadian yang nyata (real), dan dunia
imajinasi dari obyek, orang, benda dan kejadian.Yang tidak nyata
(fictional).Berbagai istilah itu muncul dalam bahasan selanjutnya yaitu
sistem representasi (sistem of representation). Terdapat dua proses dalam
sistem representasi
yaitu; pertama, representasi mental (mental
representation) dimana semua obyek, orang dan kejadian dikorelasikan
dengan seperangkat konsep yang dibawa kemana-mana di dalam kepala
kita. Tanpa konsep, kita sama sekali tidak bisa mengartikan apapun di
dunia ini. Disini, bisa dikatakan bahwa arti (meaning) tergantung pada
semua sistem konsep (the conceptual map) yang terbentuk dalam benak
milik kita, yang bisa kita gunakan untuk merepresentasikan dunia dan
memungkinka kita untuk bisa mengartikan benda baik dalam benak
maupun di luar benak kita. Kedua, bahasa (language) yang melibatkan
semua proses dari konstruksi arti (meaning).32
Konsep yang ada di benak kita harus diterjemahkan dalam bahasa
universal, sehingga kita bisa menghungkan kensep dan ide kita dengan
bahasa tertulis, bahasa tubuh, bahasa oral maupun foto maupun visual
(signs).Tanda-tanda (Signs) itulah yang merepresentasikan konsep yang
kita bawa kemana-mana di kepala kita dan secara bersama-sama
membentuk sistem arti (meaning sistem) dalam kebudayaan (culture)
kita.
c.
Rekognisi Axel Honneth
Untuk
melihat
relasi
minoritas
Tionghoa-Muslim
dengan
Tionghoa-Kristen dan Tionghoa-Muslim dengan etnis jawa dan lainnya
yang berada di kabupaten Jember, untuk itu kami menggunakan teori
kritis dari seorang generasi ketiga Mazhab Frankfurt, yaitu Axel
Honneth.
32
Ibid, p.18
Didalam bukunya yang berjudul The Struggle for Recognition:
Moral Grammar of Social Conflicts. Honneth menggunakan konsep
pengakuan (recognition) dalam arti yang digunakan oleh Hegel. Honneth
juga banyak menggunakan teori yang dikembangkan oleh George
Herbert Mead, seorang psikolog sosial. Pengaruh teori komunikasi yang
dikembangkan Habermas juga sangat terasa di dalam karya-karya
Honneth.
Dari ketiga orang tersebut, Axel Honneth merumuskan teorinya
yang dikenal dengan recognition. Dimana ketika melihat sebuah relasi
sosial, tiada lain menurutnya merupakan suatu perjuangan untuk
memperoleh pengakuan. Konflik yang terjadi di papua, feminis, ras kulit
hitam dan etnis tionghoa yanng terpinggirkan, sebenarnya merupakan
upaya untuk mendapatkan identitas-identitas partikularnya agar diakui
oleh mereka yag telah mayoritas,
Untuk memahami konsep pengakuan secara tepat, maka yang
diperlukan pertama-tama adalah analisis fenomenologis terhadap semua
bentuk pelanggaran moral yang terjadi. Kaitan antara moralitas dan
pengakuan baru sungguh-sungguh tampak, jika pengalaman negatif,
seperti ketidakadilan, dijadikan sebagai titik tolak refleksi. Di dalam
pengalaman negatif ada suatu unsur di dalam diri manusia tidak lagi
diakui. Inilah yang disebut sebagai luka moral (moral injury).
Dari sudut pandang ini suatu luka fisik menjadi luka moral, jika
korban yang mengalaminya sebagai “suatu tindakan yang secara sengaja
hendak menyangkal aspek-aspek utama dari keutuhan kepribadiannya.”
Luka moral timbul jika seseorang merasa dirinya tidak lagi diterima dan
dikenali seutuhnya sebagai pribadi yang singular.
Honneth
mengkategorikan
adanya
tiga
tipe
penghinaan
(disrespect). Yang pertama adalah tipe penghinaan fisik. Tindakan ini
hanya menempatkan manusia sebagai daging dan darah, sekaligus
merendahkan status otonominya sebagai manusia. Untuk menanggapi ini
manusia perlu membangun sebuah relasi yang memungkinkan ia meraih
kembali kehormatan dan harga dirinya. Relasi inilah yang disebut Hegel
sebagai cinta, di mana individu mampu mendapatkan kenyamanan
eksistensial dan emosionalnya melalui hubungan positif dengan orang
lain.
Dengan demikian relasi untuk mencapai pengakuan yang
sepenuhnya dapat ditemukan dalam relasi dengan “yang lain” yang juga
memberikan dirinya di dalam relasi yang spesifik. Untuk mencapai relasi
semacam ini individu haruslah memiliki keutamaan mendasar, yakni
kepercayaan pada dirinya sendiri. Inilah keutamaan mendasar yang
memungkinkan orang bisa menghargai dirinya sendiri (self-respect).
Keutamaan ini bisa bertumbuh jika orang terlibat langsung dengan orang
lain, terutama di dalam lingkaran relasi yang paling intim, yakni
keluarga, persahabatan, dan kekasih.
Tipe penghinaan kedua adalah apa yang disebut Honneth sebagai
“penyangkalan hak-hak dan eksklusi sosial, di mana manusia merasa
terlanggar martabatnya dengan tidak diberikan hak-hak moral dan
tanggung jawab legal penuh di dalam komunitasnya.” Untuk menanggapi
masalah ini dibutuhkan proses pengakuan timbal balik, di mana setiap
individu dapat dianggap sebagai subyek yang memiliki hak dihadapan
individu lainnya.
Pengakuan politis semacam itu juga mendorong semakin besarnya
kemungkinan individu memandang dirinya sebagai orang yang
bermakna, yang bermartabat. Individu juga bisa melihat dirinya sebagai
orang yang memiliki harga diri, dan kompeten secara legal maupun
moral. Berbeda dengan pengakuan pada level intim, yakni di dalam level
keluarga, persahabatan, maupun relasi antar kekasih, pengakuan di level
legal politis pada dasarnya selalu sudah mengandung dimensi historis
yang bersifat universal sekaligus dinamis.
Penghinaan ketiga, semua tindakan yang tidak mengakui nilai-nilai
partikular kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya subyek tidak
lagi mampu menentukan jalan dan cara hidupnya sendiri, melainkan
harus menyesuiakan diri sepenuhnya dengan mayoritas. Untuk
menanggapi
ini
politik
pengakuan
haruslah
mengambil
bentuk
penciptaan relasi-relasi positif, sehingga individu bisa diterima di dalam
lingkaran solidaritas sosial, dan dihargai sepenuhnya dalam konteks
keunikan cara hidup maupun kemampuannya.
Di dalam lingkup masyarakat semacam itu individu akan dapat
menemukan penerimaan dan penghargaan atas individualitas mereka.
“Karena subyek”, demikian tulis Honneth tentang hal ini, “di dalam
pemahaman diri praktis mereka, haruslah memastikan status mereka,
baik sebagai entitas otonom sekaligus individual, mereka haruslah, lebih
jauh, mengambil perspektif dari yang lain yang umum.” Dengan begitu
setiap individu akan dikenali sebagai individu yang unik. Idealitas
semacam ini hanya dapat terjadi, jika relasi di dalam masyarakat adalah
relasi kesalingpengakuanan antara individu-individu yang berasal dari
latar belakang yang sama maupun yang berbeda. Inilah yang disebut
Honneth sebagai dimensi afektif yang terwujud di dalam solidaritas
sosial.
Dampak positif dari penerapan politik pengakuan di atas adalah,
bahwa setiap orang di dalam komunitas tertentu menemukan dirinya
dihargai seturut dengan keunikan dan karakter spesifik mereka. Kondisi
semacam itu memungkinan pengembangan diri yang paling maksimal
dari setiap orang. Untuk alasan ini relasi politik pengakuan yang
dikaitkan dengan solidaritas akan menciptakan perbedaan-perbedaan
yang bersifat setara. Artinya suatu komunitas memang terdiri dari
beragam individu dengan latar belakang, penghayatan nilai, bakat-bakat,
maupun keunikan-keunikan tertentu, tetapi semua perbedaan tersebut
memiliki status yang setara, yakni dihargai dan dikenali sebagai bagian
integral dari seluruh komunitas.
Inilah tiga pola di dalam politik pengakuan yang ingin diajukan
oleh Honneth sebagai argumen utamanya, yakni cinta (love), tatanan
hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity). Jika dibahasakan secara
Kantian tiga pola inilah yang menjadi kondisi kemungkinan dari
terciptanya interaksi sosial yang memungkinkan setiap orang dijamin
integritas sekaligus martabatnya sebagai manusia. Dengan integritas
Honneth memaksudkannya sebagai suatu kondisi, di mana subyek dapat
melestarikan keunikan
dan karakter-karakter spesifiknya dengan
dukungan dari komunitas tempat ia tinggal. Dengan begitu setiap orang
bisa memiliki kepercayaan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri.
Konsep keadilan pun perlu mempertimbangkan aspek-aspek ini, sehingga
keadilan bisa sungguh bermakna, dan tidak hanya sekedar berada di level
distribusi kekayaan belaka.
Politik pengakuan
yang ideal
juga haruslah menciptakan
masyarakat yang bebas paksaan. Yang dimaksud dengan bebas paksaan
disini tidak hanya absennya tekanan eksternal dalam bentuk represi
ataupun pemaksaan, tetapi juga absennya tekanan internal dalam bentuk
tekanan psikologis dan kecemasan, jika individu hendak menampilkan
identitas ataupun keunikannya. Arti kedua ini memungkinkan individu
memperoleh kenyamanan di dalam menerapkan keahlian-keahilan
khususnya, sekaligus menuntut hak-hak dasarnya. Semuanya ini hanya
dapat dimungkinkan jika politik pengakuan sungguh-sungguh sudah
diterapkan secara konsisten. Dalam arti ini pula maksimalisasi kapasitas
individu tidak lagi hanya tergantung pada individu itu sendiri, tetapi juga
dari kerja sama dengan individu lainnya. Politik pengakuan semacam ini
mengandaikan adanya pengenalan yang bersifat intersubyektif, suatu
syarat yang harus dipenuhi jika kita ingin menciptakan masyarakat yang
mendukung sepenuhnya perkembangan setiap orang.
Inilah tiga pola di dalam politik pengakuan yang ingin diajukan
oleh Honneth sebagai argumen utamanya, yakni cinta (love), tatanan
hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity).
d.
Kognisi Sosial Van Dijk
Untuk melihat suatu entitas didalam masyarakat, maka diperlukan
sebuah alat yang mampu memperlihatkan dimana posisinya berada. Hal
tersebut dimungkinkan dengan cara membedah wacana yang diprosuksi
dan dikembangkan dalam percakapan, komunikasi, dan interaksi sosial
sehari-hari.
Dalam hal ini, Van Dijk menawarkan seuatu tool of analysis yang
ia sebut dengan kognisi sosial. Langkah penelitiannya membutuhkan
pemahaman yang benar terhadap kesadaran mental yang digunakan
untuk memproduksi wacana. Hal ini diperlukan karena suatu posisi akan
dimengerti setelah komunikasi intersubjektif berlangsung. Dari masingmasing subjek akan membentuk suatu kesepakatan atas sebuah
penempatan dari golongan tertentu. Sehingga bagaimana kesadaran
mental subjek lah yang nantinya akan menentukan sebuah konsensi
pemahaman.
Menurut pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak hanya dibatasi
pada struktur teks, karena sangat dimungkinkan dalam satu teks
mengandung beberapa makna. Oleh karena itu, untuk membongkar suatu
makna membutuhkan sebuah strategi berupa analisis kognisi dan konteks
sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak
mempunyai makna, tetapi makna itu diambil dari pemakai bahasa, lebih
tepatnya kesadaran mental pemakai bahasa. Pada intinya setiap teks
dihasilkan lewat
kesadaran, pengetahuan,
prasangka
atas suatu
peristiwa.33 Perlu dipahami bahwa teks disini tidak sekedar susunan
abjad yang tertulis, tetapi dikembalikan pada makna asalnya, yaitu
anyaman makna. Jadi, apapun yang bermakna tidak hanya pemberitaan di
kora-koran saja bisa disebut sebagai teks.
Sedangkan
bagaimana
peristiwa
dipahami
dan
dimengerti
didadasarkan pada skema. Van Dijk menyebut skema ini sebagai model.
Skema dikonseptualisasikan sebagai strukstur mental di mana tercakup di
dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial dan
peristiwa. Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi.
Sebagai sebuah struktur mental, skema menolong kita menjelaskan
33
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2015), 260.
realitas dunia yang kompleks. Skema bekerja secara aktif untuk
mengkonstruksi realitas, membantu apa yang harus dipahami, maknai
dan ingat tentang sesuatu. Van Dijk membagi skema ke dalam tiga
kategori, sebagaimana berikut:
1. Skema person, yaitu penggambaran seseorang terhadap orang lain.
Semisal etnis jawa islam mempunyai cara tersendiri ketika memandang
etnis tionghoa kristen dan tionghoa islam.
2. Skema diri, yaitu berkaitan dengan cara bagiaman seseorang dipandang,
dipahami dan digambarkan oleh seseorang.
3. Skema peran, yaitu bagiamana seseorang memandang dan memahami
peran dari orang lain ditengah masyarakat.
4. Skema peristiwa, yaitu suatu cara pandang yang melibatkan terhadap
terjadinya sebuah peristiwa tertentu. Skema ini lah yang paling banyak
dipakai, karena hampir tiap hari selalu terbentuk sebuah peristiwa.34
Sesuatu yang penting dalam kognisi sosial selain model atau skema adalah
memori. Lewat memori bisa digunakan untuk berpikir tentang sesuatu dan mempunyai
pengetahuan tentang sesuatu. Didalam memori terkandung pesan atau pengetahuan, baik
saat ini maupun dahulu yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu realitas.
Secara umum memori dibagi menjadi dua, pertama memori jangka pendek, yakni memori
yang digunakan untuk mengingat peristiwa atau kejadian yang terjadi beberapa waktu
lalu. Kedua, memori jangka panjang, yakni memori yang digunkan untuk mengingat
sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu. Karena jangka waktunya yang panjang,
seringkali terjadi perbedaan antara relaitas dan memori jangka panjang tersebut.
Kognisi sosial mendapatkan relevansinya pada memori jangka panjang yang
terbagi ke dalam dua kutub bagian. Pertama memori episodik, yakni ingatan yang
berhubungan dengan diri sendiri, dalam memori ini menyediakan sarana layakna
otobiografi. Kedua memori semantik, yakni ingatan yang digunakan untuk
menampilkan dunia atau relaitas. Kadang-kadang antara memori episodik dan
memori semantik saling berkaitan, semisal penjarahan toko-toko China pada
34
Ibid, 263.
tahun 1998 termasuk memori semantik, sedangkan pada waktu itu saya ikut
menjarah maka termasuk ke dalam memori episodik35.
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian.
Metode penelitian menjelaskan semua langkah yang dikerjakan
penulis sejak awal hingga akhir. Pada bagian ini dapat dimuat hal-hal
yang berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar atau fakta-fakta yang
dipandang benar tanpa adanya verifikasi dan keterbatasan, yaitu aspekaspek tertentu yang dijadikan kerangka berpikir. Penulis dalam penelitian
ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor
penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
sumber yang bisa diamati.36
Penelitian bersifat kualitatif sebab menyangkut pada pengertian,
konsep, nilai serta ciri yang melekat pada objek penelitian lain nya serta
menghasilkan data deskriptif37. Agar dapat mencapai kepada tujuan yang
dimaksud dari penelitian dan memperoleh data yang benar-benar absah,
maka penulis dalam penelitian ini, menjalankan dua tahap model
penelitian. Pertama, data akan diperoleh melalui penelitian lapangan
dengan melakukan interview dan dokumentasi kepada responden terkait.
Kedua, data akan diperoleh melalui penelitian pustaka. Oleh karenanya
penulis akan menyajikan dua metode penelitian.
A. Penelitian Lapangan.
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive
Sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data
35
36
Ibid, 266.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014),
4.
37
Kaelani, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), 5.
dengan pertimbangan tertentu.38 Pertimbangan tertentu ini misalnya orang yang
dijadikan informan adalah orang yang dianggap paling tahu tentang informasi
yang
peneliti
butuhkan
atau
informan
merupakan
penguasa
sehingga
memudahkan peneliti mencari dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dan
memudahkan peneliti menjelajahi objek serta situasi yang diteliti.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh ketetapan data dan keakuratan informasi yang
mendukung dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui:
a. Observasi
observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
lazim dalam metode penelitian kualitatif.39 Observasi adalah
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang
dialami pada objek penelitian.40
Secara garis besar observasi dibedakan menjadi dua observasi
partisipan dan observasi nonpartisipan:
1) Observasi partisipan yaitu, peneliti merupakan bagian dari
kelompok yang ditelitinya, dalam artian peneliti terlibat langsung
dengan objek yang sedang ditelitinya.
2) Observasi nonpartisipan yaitu, peneliti hanya sebagai pengamat
objek yang akan diteliti, tanpa terlibat secara langsung.
Dalam hal ini, metode observasi yang peneliti gunakan,
yaitu observasi non partisipan. Karena peneliti tidak terlibat langsung
dengan persaudaraan muslim tionghua dan fenomena masjid Cheng
ho.
b. Interview
Interview sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner
lisan adalah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan
38
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta), 292.
Suheri, Teknik-Teknik Menulis PTK, Skripsi, dan Tesis (Surabaya: Imtiyaz, 2017), 45.
40
S. Masgono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 10.
39
informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan
atau subyek penelitian.41 Wawancara merupakan pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat
dikonstruksikan dalam suatu topik tertentu.42
Sikap pada waktu datang, sikap duduk, kecerahan wajah, tutur
kata, keramahan, kesabaran serta keseluruhan penampilan akan sangat
berpengaruh terhadap isi jawaban responden yang diterima oleh
peneliti.43 Secara garis besar, ada dua macam pedoman wawancara:
1) Wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang
hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Tentu saja
kreativitas
pewawancara
sangat
diperlukan,
bahkan
hasil
wawancara dengan jenis pedoman ini lebih banyak tergantung
dari pewawancara. Pewawancaralah sebagai pengemudi jawaban
responden.44
2) Wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun
secara terperinci sehingga meyerupai check-list. Pewawancara
hanya perlu membubuhkan tanda v (check) pada nomor yang
sesuai.45
Pedoman wawancara yang banyak digunakan adalah bentuk
semi struktur sebagaimana yang penulis terapkan dalam penelitian ini.
Mula-mula interview menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah
terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam guna mengorek
keterangan lebih lanjut. Dengan demikian jawaban yang diperoleh
bisa meliputi semua variabel dengan keterangan yang lengkap dan
mendalam.46
41
Suheri, Teknik-Teknik Menulis PTK, Skripsi, dan Tesis, 43.
Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 231.
43
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), 270.
44
Ibid.,270.
45
Ibid.,270.
46
Ibid.,270.
42
c. Dokumentasi
Tidak kalah penting dari metode lain adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasati, notulen,
rapat, lengger, agenda dan sebagainya.47 Dokumentasi merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.48
Di bandingkan dengan metode lain, metode ini tidak begitu
sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber, datanya masih tetap
belum berubah. Dengan metode dokumentasi, yang diamati bukan
benda hidup tetapi benda mati.49
3. Keabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber, berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda
dengan teknik yang sama.50 Triangulasi sumber untuk menguji
kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh melalui beberapa sumber.51
4. Tahap-tahap Penelitian
Bagian ini menguraikan rencana pelaksanaan penelitian yang akan
dilakukan
oleh
peneliti,
mulai
dari
penelitian
pendahuluan,
pengembangan desain, penelitian sebenarnya, dan sampai pada penulisan
laporan.52 Adapun tahap-tahap penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Tahap pra lapangan
a. Menyusun rancangan penelitian
b. Memilih lapangan penelitian
c. Observasi awal lokasi penelitian
d. Mengurus ijin penelitian
47
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 274.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, 240.
49
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 274.
50
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, 327.
51
Ibid.,274.
52
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasarjana, 25.
48
e. Menyiapkan mental dan perlengkapan penelitian
f. Memahami etika penelitian
2) Tahap pelaksanaan lapangan
a. Memahami latar penelitian
b. Memasuki lapangan penelitian
c. Mengumpulkan data
B. Penelitian Pustaka.
Metode kedua yang dilakukan penulis adalah jenis penelitian
kepustakaan (library research), yang tidak hanya sekedar dipahami dengan
membaca dan mencatat buku-buku. Melainkan serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian53. Teknik ini dipilih dengan
pertimbangan berdasarkan dari objek yang ingin peneliti telaah yaitu
arkeologi pemikiran Islam kaitannya tentang relasi etnis muslim tionghoa
dan struktur bangungan masjid chengho, sebegai suatu analisis kesejarahan
untuk melacak sebuah sistem pemikiran yang tersembunyi dibalik artefakartefak historis.
Erat kaitan nya antara penelitian dengan objek penelitian, secara
metodologis objek dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua, yaitu:
pertama, objek material ialah objek yang merupakan fokus kajian dari suatu
ilmu pengetahuan tertentu. Dimana dalam penelitian ini adalah data-data
kesejarahan yang diperoleh dari dokumen, arsip dan buku-buku yang
berkaitan. Kedua, objek formal ialah objek yang menyangkut dari sudut
pandang apa objek material itu dibahas54. Maka dalam hal ini penulis akan
mengambil sudut pandang pembahasan dari aspek arkeologi pengetahuan
Michel Foucault. untuk memudahkan jalan nya penelitian, kepustakaan
tersebut dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
a. Sumber Data Primer.
53
54
Mestika Zeid, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), 3.
Ibid, 34.
Data primer adalah pustaka langsung yang bersentuhan dengan
objek material. Seperti yang telah diulas, maka data primer yang penulis
pergunakan adalah seluruh data yang berkaitan dengan fokus kajian penulis.
b. Sumber Data Skunder.
Data Skunder adalah seluruh pustaka yang tidak berkaitan langsung
dengan objek material dari penelitian sendiri. Secara fungsional adalah
menjadi penjelas atau pun sebagai sambung pemahaman terhadap maksud
penelitian. Untuk itu pustaka skunder yang penulis gunakan adalah beberapa
karya yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti. Bisa dalam
bentuk buku, artikel, dan jurnal
1. Jalan Penelitian.
Penelitian ini akan berlangsung melalui beberapa tahapan proses,
yang berfungsi untuk membuat gambaran jalan nya penelitian. Serta untuk
memudahkan dalam memahami data kepustakaan sehingga berjalan secara
sistematis. Penelitian ini akan berlangsung sebagaimana berikut ini:
a. Menginventarisasikan seluruh data-data berupa pustaka yang berkaitan
dengan objek penelitian.
b. Mengklasifikasikan, antara data primer dan data skunder.
c. Mengkaji data tersebut secara komphrensif, dalam hal ini adalah pustakapustaka kesejarahan terkait.
d. Selanjutnya mensintesiskan dan menggeneralisir data tersebut dengan
penalaran induktif.
e. Mendeskripsikan terhadap objek penelitian dengan menggunakan prinsipprinsip arkeologis Michel Foucault.
f. Mensistematisir hasil deskripsi tersebut dengan pola tertentu, untuk
mengklasifikasikan data hasil analisa.
3) Tahap analisis data
Pada tahap ini data yang terkumpul dapat dikatakan masih
campur aduk dan bersifat tumpeng tindih seperti hasil pengamatan,
wawancara, dokumen, gambar, foto dan sebagainya, maka dari itu
perlu diatur, diorganisir, dikelompokkan, dibuat kategorisasi sehingga
menjadi data yang mempunyai arti dan makna.55
Adapun tujuan analisa data secara umum seperti dijelaskan
oleh Kasiram, yaitu untuk meringkaskan data dalam bentuk yang
mudah dipahami dan mudah ditafsirkan, sehingga problem penelitian
dapat dipelajari dan diuji.56
Sebagaimana data yang telah didapat dari data pustaka berupa
data primer dan data skunder serta data yang berasal dari lapangan,
kemudian akan di analisa dengan menggunakan metode analisis isi
atau analisis dokumen terkadang pula disebut sebagai content
analysis. Ialah secara sederhana sebagai suatu metode yang teknik
penelitian
nya
dilakukan
dengan
membuat
inferensi
secara
kontekstual. Seperti yang dijelaskan oleh Zuhcdi secara konseptual
dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan, yaitu preskriptif, analitis,
metodologis57.
Sedangkan secara alur analisis meliputi terhadap menemukan
simbol, klasifikasi data, menganalisis data58. Analisis ini dipilih karena
supaya mampu menangkap kesimpulan dari data-data terkait secara
deduktif. Setelah itu data yang diperoleh akan diolah kembali dengan
penalaran secara induktif sehingga terbentuk kategori.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan
skripsi yang dimulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup. Format
penulisan sistematika pembahasan adalah dalam bentuk deskriptif naratif,
55
Djamal, Paradigma Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 59.
M. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 120.
57
Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), 81.
58
Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan tindakan, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2012), 224.
56
bukan seperti daftar isi.59 Adapun sistematika pembahasan dari penelitian ini
adalah:
BAB I: meliputi pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, fokus
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah dan
sistematika pembahasan.
BAB II: meliputi kajian pustaka yang berisi penelitian terdahulu, kajian teori.
BAB III: meliputi metode penelitian yang berisi pendekatan dan jenis
penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, keabsahan
data dan tahap-tahap penelitian.
BAB IV: berisi hasil penelitia meliputi objek penelitian, penyajian data,
analisis dan pembahasan temuan. Bab ini merupakan jawaban dari
permasalahan yang telah dirumuskan dalam fokus penelitian.
BAB V: meliputi penutup yang merupakan hasil akhir penelitian. Pada bagian
ini disampaikan kesimpulan dan saran yang bersifat konstruktif.
59
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasrjana, 25.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, 2002.Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamal,
2015.
Paradigma
Penelitian
Kualitatif
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fahmi Rafika Perdana, Integrasi Sosial Muslim-Tionghoa
Studi atas Partisipasi PITI DIY dalam Gerakan Pembauran.
Jurnal Ilmiah Sosiologi.
George Ritzer, 2011. Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern, Jakarta;Kencana.
Ibnu Khaldun, 1989. The Muqaddimah: An Introduction
to History, trans. Franz Rosenthal, Bollingen Series Princeton
University Press.
Jhon L. Esposito (ed), 2001.,Ensiklopedi Dunia Islam
Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan.
Koentjaraningrat
“Manusia
dan
Kebudayaan
Di
Indonesia”. (Jakarta: Djambatan.
Luwis Ma'luf, 1977. Al-Munjid fi al-Lughah .Bairut: Dar
al-Masyriq.
M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur'an dan Tafsir
Maudhu'i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Cet.
III.
M. Quraish Shihab, 1998. Membumikan Al-Qur‟an
Bandung: Mizan.
Muhammad Mahmud Rabie’, 1967. The Political Theory
of Ibnu Khaldun, Leiden: E. J. Brill.
Redaktur, 2003. Tionghoa di Indonesia, A Penerbit Buku
Kenangan Korwil PITI Jatim, Surabaya.
Sidi Gazalba, 1994. Masjid Pusat Ibadah Dan Kebudayaan
Islam. Cet VI Jakarta: Pustaka Al husna.
Sofyan Syafri Harahap, 1996. Manajemen Masjid,
Jogyakarta: Bhakti Prima Rasa.
Tim Penyusun, 2018. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pascasarjana. Jember: IAIN Jember Press.
Download