MENJADI MUSLIM TIONGHOA: STUDI PROBLEMATIKA KEBERAGAMAAN MINORITAS MUSLIM DI JEMBER. PROPOSAL TESIS Diajukan Kepada Pasca Sarjana Institute Agama Islam Negeri Jember Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Agama (M.A). Oleh Muhammad Ali Harozim (0829220002) Dosen pembimbing: 1. Dr. M. Khusna Amal, M.Si 2. Dr. Pujiono, M.Ag PROGRAM STUDI STUDI ISLAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JAMBER 2021 PERSETUJUAN Proposal Tesis dengan Judul “Menjadi Muslim Tionghoa: Study problematika keberagamaan minoritas muslim jember” yang ditulis oleh , Muhammad Ali Harozim telah disetujui untuk diuji dalam Forum seminar proposal tesis Jember, 2021 Pembimbing I Dr. M. Khusna Amal, M.Si NIP. 197212081998031001 Pembimbing II Dr. Pujiono, M.Ag NIP. 197004012000031002 A. Latar Belakang Sejarah identitas muslim Tionghoa di Indonesia memiliki dinamika yang panjang. Di mulai dari budaya hibrid Tionghoa-Jawa Muslim pada abad ke-15 dan 16 hingga kemerosotannya selama periode kolonial Belanda, dari pengorganisiran perkumpulan- perkumpulan Tionghoa Muslim selama periode awal kemerdekaan hingga penghapusan segala sesuatu yang berbau Tionghoa dibawah rezim orde baru; dan yang paling belakangan, kemunculan ekspresi budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pasca-1999. Keberadaan muslim Tionghoa di nusantara sejatinya sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Hidup berdampingan ratusan tahun akulturasi kebudayaan tionghoa dengan budaya nusantara saling berdampingan sampai akhirnya Belanda datang. Salah satu dampak buruk dari kolonialisme belanda di Nusantara yang masih bisa dirasakan hingga hari ini adalah adanya persepsi pada sebagian besar masyarakat Tionghoa Indonesia bahwa Islam merupakan agama masyarakat pribumi. Pandangan ini bukan hanya lemah secara historis, melainkan juga secara empirik, karena sebelum kedatangan Belanda di Nusantara, pihak asing dahulu yang membangun koloni-koloninya di Nusantara adalah orang-orang Tionghoa Muslim, sekaligus kenyataan bahwa islam sendiri merupakan agama yang tidak asing lagi bagi masyarakat Tionghoa di negeri Tiongkok sana. Bahkan, kedatangan Islam dan terbentuknya komunitas Muslim yang stabil di Tiongkok telah berlangsung jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Itulah sebabnya muncul salah satu tesis yang mengatakan bahwa kedatangan Islam di Nusantara tidak hanya dibawa oleh orang-orang dari Arab dan Persia saja, melainkan juga disebarluaskan secara sistematis oleh orang-orang Tionghoa.1 Salah satu isu penting terkait dengan masalah Cina ( Tionghoa) adalah persoalan diskriminasi. Diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia masih 1 Sumanto Al qurtubi, arus china-islam-jawa ( 2003) menjadi persoalan serius hingaa hari ini. Pelecehan dan kekerasan terhadap mereka sudan menjadi suatu yang terlanjur dianggap wajar. Mereka pun seolah-olah tidak memiliki cara lain untuk menghadapi situasi tersebut, selain menerimanya dengan pasrah dan mengangapnya sebagai takdir sosial yang harus di tanggung oleh golongan minoritas asing. Meskipun kehadiran mereka di Nusantara sudah berabad-abad lamanya, tidak sedikit masyarakat pribumi yang memandang mereka sebagai orang asing yang belum mampu melakukan pembauran dalam kehidupan masyarakat pribumi.2 Menjadi seorang Muslim bagi orang Tionghoa bukanlah pilihan yang mudah untuk ditempuh. Banyak hambatan yang harus mereka hadapi, yang acap kali membuat mereka putus asa. Sepertinya sudah menjadi gejala umum di kalangan masyarakat Tionghoa Indonesia bahwa agama Islam dipandang sebagai suatu yang bertentanan dengan kebudayaan mereka, sebagai suatu yang asing, bahkan tidak jarang dianggap sebagai agama yang identik dengan kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan masyarakat pribumi Indonesia. apa bila seorang etnis Tionghoa ingin memeluk agama Islam tidak jarang mereka akan mendapat ancaman untuk di coret dari anggota keluarga.3 Menjadi muslim juga tidak menjadi jaminan bagi seorang Tionghoa untuk terlindungi dari dikriminasi dan perlakuan tidak enak lainnya yang berujung pada rasisme. Etnis Tionghoa sangat rentan menjadi sasaran persekusi jika situasi politik di negeri ini sedang tidak stabil. Problem tersebut masih ditambah ketika mereka memutuskan untuk memeluk agama Islam dan menjadi mualaf. Dilema dikucilkan keluarga hingga kerabat terasa menjadi ancaman nyata bagi mualaf Tionghoa. Muslim Tionghoa memiliki problem sosial yang cukup komplek dengan memiliki status minoritas ganda (double minority).4 Realitas tersebut memantik 2 komunitas ini untuk lebih cerdas dan bijak dalam Afthonul afif, identitas tionghoa muslim Indonesia(Depok: penerbit kepik, cetakan pertama 2012) hal.2-3 3 Ibid. hal 147-148 4 Hew Wai Weng, Berislam ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia (Bandung: Mizan, 2019), hlm. 367. mengeksepresikan keislamannya di ruang publik. Hal ini disebabkan agar keislaman yang mereka yakini tidak mengakibatkan keterasingan di dalam komunitas etnisnya, selain juga agar keberadaanya juga bisa diterima oleh kelompok muslim mayoritas. Hal ini terjadi hampir terjadi dikalangan Muslim Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Jember. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menjawab bagaimana muslim Tionghoa Jember yang tidak saja minoritas dalam konteks muslim Indonesia tapi juga minoritas dalam komunitas Tionghua sendiri. Adakah problematika sosial-agama yang mereka hadapi yang mereka hadapi dalam mengekspresikan keagamaan dalam dua komunitas tersebut. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai problem keberagamaan yang di hadapi muslim Tionghoa di Jember dengan mengankat judul “Menjadi Muslim Tionghoa: Study problematika keberagamaan minoritas muslim di Jember”. B. Fokus penelitian. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana posisi Muslim Tionghoa Jember dalam komunitas minoritas Tionghoa dan mayoritas Muslim Sunni di Jember? 2. Bagaimana Muslim Tionghoa Jember menampilkan identitas keagamaannya dalam kedua komunitas? 3. Bagaimana Muslim Tionghoa Jember menegoisasikan identitasnya dalam kedua komunitas? C. Tujuan Penelitian. Tujuan Penelitian ini adalah: 1. Untuk memahami posisi muslim Tionghoa Jember didalam etnis minoritas dan masyarakat muslim mayoritas. 2. Untuk memahami bagaimana muslim Tionghoa jember menampilkan identitas keadaannya dalam kedua komunitas. 3. Untuk memahami Bagaimana muslim Tionghoa menegoisasikan identitas dalam kedua komunitasnya. Jember D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : a. Bagi peneliti, mengetahui problematika muslim Tionghoa sebagai minoritas muslim di kabupaten Jember. b. Bagi para pengamat sosial, dapat digunakan sebagai bahan acuan pemikiran dan perbandingan yang berkaitan dengan kondisi sosial keberagamaan dari tatanan muslim Tionghoa yang berada di Kabupaten Jember. E. Ruang Lingkup penelitian Supaya terdapat pembahasan yang fokus terhadap penelitian yang dimaksud, maka perlu adanya pembatasan ruang lingkup tempat (scope spatial) dan ruang lingkup waktu (lingkup temporal). Scope spatial adalah hal-hal yang berkaitan dengan pembatasan suatu daerah atau kawasan tertentu dimana suatu peristiwa sejarah itu terjadi. Dalam penelitian ini scope spatial yang dimaksud adalah etnis muslim Tionghoa yang berada di Kabupaten Jember. Scope spatial berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa sejarah yaitu dimulai dengan berkembangnya muslim Tionghoa di daerah Jember. F. Definisi Istilah. Definisi istilah berisi tentang pengertian istilah-istilah penting yang menjadi titik perhatian peneliti di dalam judul penelitian. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap makna istilah sebagaimana dimaksud oleh peneliti.5 Adapun istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Keberagamaan Keberagamaan, yaitu suatu kata yang berasal dari kata dasar agama yang kemudian dibentuk menjadi beragama, lalu diberi imbuhan ke-dan– 5 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasarjana (Jember: IAIN Jember Press, 2018), 21. an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mendapat imbuhan ke-dan-an mengandung makna, antara lain, sifat atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaran (keadaan membesar), kerajinan, kepekaan, kejujuran dan lain-lain. Keberagamaan berarti keadaan atau sifat orang-orang beragama, yang meliputi keadaan dan sifat atau corak pemahaman, semangat dan tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, dan keadaan prilaku hidupnya sehari-hari setelah ia menjadi penganut suatu agama.6 2. Problematika Problematika secara etimologi berasal dari kata “problem” yang berarti “persoalan atau permasalahan”.7 Maka problematika berarti hal-hal yang menimbulkan permasalahan yang belum bisa terpecahkan.8 Dalam kamus ilmiah populer, problema memiliki arti soal, masalah, perkara sulit dan persoalan.9 Problematika yang dimaksud dalam penelitian ini adala persoalan maupun permasalahan yang di hadapai oleh muslim Tionghoa sebagai minoritas muslim di kabupaten Jember. 3. Minoritas. Ali Kettani mendefinisikan minoritas sebagai sekelompok orang yang karena satu dan lain hal menjadi korban pertama despotisme negara atau komunitas yang membentuk mayoritas. Mereka adalah orang yang sejarahnya tetap, tidak tertulis, kondisi keberadaannya tidak dikenal, citacita dan aspirasinya tidak diapresiasi. Mereka adalah orang-orang alMustadh’afin fi alardl (kaum tertindas di muka bumi).10 Mengikuti definisi Kettani, secara sederhana, seseorang atau sekelompok kaum muslim bisa dikategorikan sebagai minoritas sebagai berikut; pertama, soal jumlah kecil. Seseorang atau sekelompok orang dikatakan sebagai 6 Munawwir Haris, Agama dan Keberagamaan; sebuah klarifikasi untuk empati (Tasamuh: Jurnal Studi Islam, volume 9, nomor 2, September 2017) hal.529. 7 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka: 1993), 38 8 Ibid, 701 9 Pius. A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 626 10 M.Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, terj. Zarkowie soejoeti, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. xvii minoritas apabila “kalah jauh dalam hal jumlah” dalam posisi dibandingkan dengan kelompok pemeluk agama lain yang jumlahnya jauh lebih besar. Kettani mengelompokkan minoritas muslim dalam konteks wadah negara-bangsa (nation state), bukan dalam wadah lain yang alami dalam masyarakat, misalnya etnisitas, kesukuan (kabilah), kebangsaan (sya’ab) dan kelompok (tha’ifah). Dengan jumlah yang minoritas mereka kemudian mengalami berbagai masalah yang sesungguhnya tidak mereka harapkan, seperti termarginalisasi secara politik, kesulitan berintegrasi dalam negarabangsa, secara sosio-kultural tersegresi, terhimpit kesulitan ekonomi. Akhirnya, kaum minoritas muslim membangun dan memelihara konsep, identitas dan jati diri mereka sendiri.11 4. Relasi Sosial Pengertian Relasi Sosial, Hubungan antar sesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan sosial yang merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Hubungan dalam relasi sosial merupakan hubungan yang sifatnya timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi.12 5. Identitas Dalam setiap kelompok atau individu memiliki sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah usaha untuk dikenal oleh pihak lain, dan pengenalan tersebut terjadi dengan berbagai cara atau usaha, sampai kemudian dikatakan sebagai identitas kelompok atau identitas individu. Jadi, identitas adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan 11 Bandingkan dengan M. Arnold Rose and B. Carroline Rose, Minoritas Problems, New York: Herper and Row, 1972 12 Hidayati, D.S. 2014. “Peningkatan Relasi Sosial melalui Social Skill Therapy pada Penderita Schizophrenia Katatonik”. Jurnal Online Psikologi, 2 (1): 17-28. tersebut.13 Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu, suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.14 G. Kajian Pustaka 1. Penelitian terdahulu a. Siti Nur Alfiana Wulandari, Dakwah Persuasif pada Muallaf Etnis Tionghoaa (studi pada persatuan Islam Tionghoa Indonesia Surabaya).15 Pada tesis tersebut penulis memberikan fokusnya pada dakwah persuasif yang dilakukan oleh da’i di lembaga Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya, dan sikap muallaf etnis Tionghoa dalam mengamalkan dakwah persuasif yang disampaikan oleh da’i. Dalam melakukan penelitiannya, penulis mmenggunakan metode kualitatif deskriptif. Kemudian data tersebut akan di analisis dengan dua teori, yang pertama, teori penetrasi sosial oleh Altman dan Taylor kedua teori AIDDA oleh Wilbur Schramm. Penelitian tersebut mempunyai unsur kesamaan dari penelitian penulis, yaitu terletak pada objek kajian ialah etnis tionghoa muslim. Tetapi mempunyai perbedaan yaitu, pada posisi dari etnis Tionghoa sendiri, karena penulis akan meneliti etnis Tionghoa pada persaudaraannya sesama etnis dan lintas etnis. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan masih berada dalam koridor orisinalitasnya. 13 Tajfel, H. and Turner, J.C. (1986) The Social Identity Theory of Intergroup Behavior. Psychology of Intergroup Relations, 5, 7-24. 14 Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), 174. 15 Siti Alfiana Wulandari, 2020, Dakwah Persuasif pada Muallaf Etnis Tionghoaa (studi pada persatuan Islam Tionghoa Indonesia Surabaya) Tesis, progra komunikasi dan penyiaran islam Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. b. Ramli, Dakwah terhadap Muslim Etnis Tionghoa di Kota Makasar (perspektif sosio-antropologis)16. Penelitian ini memberikan fokus pada dakwah terhadap etnis Tionghoa di kota Makasar ditinjau dari segi keragaman agama dan budaya, dan aktifitas dikalangan muslim Tionghoa dikota Makasar dengan menggunakan penelitiannya suapaya perspektif mendapatkan sosio-antropologis. data yang Dalam valid maka digunakanlah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan mengambil lokasi dan objek penelitian pada kegiatan dakwah bagi etnis muslim Tionghoa di kota Makasar. Persamaan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis terletak pada objek penelitian yaitu, etnis muslim Tionghoa. Melainkan terdapat perbedaan, ialah pada aspek yang terdapat pada etnis Tiionghoa muslim itu sendiri, jika penelitian tersebut menjadikan etnis Tionghoa sebagai objek dakwah yang diteliti, maka dalam penelitian ini penulis mmeneliti kepada persaudaraan islamnya. c. M. Ainun Najib, Internalisasi Nilai Agama Islam pada Masyarakat muslim Tionghoa Banyumas17. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi dan internalisasi nilai agama Islam dalam masyarakat muslim etnis Tionghoa di Banyumas. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang hendak penulis lakukan., yaitu terletak pada objek kajian yang hendak dituju. Tetapi dalam penelitian tersebut terdapat perbedaan pada objek yang dimaksud karena terlalu bersifat umum. Sedangkan penulis hanya membatasi penelitian pada persaudaraan saja. Metode yang dgunakan 16 Ramli, 2015, Dakwah terhadap Muslim Etnis Tionghoa di Kota Makasar (perspektif sosioantropologis) Disertasi, program doktor (S3) pasca sarjana UIN Alauddin Makasar. 17 M.Ainun Najib, 2020, Internalisasi Nilai Agama Islam pada Masyarakat muslim Tionghoa Banyumas, Tesis Program Studi Pendidikan Agama Islam Pasca Sarjana IAIN Purwokerto. adalah kualitatif dengan memperoleh data dari dua sumber yaitu pustaka dan lapangan. d. Bambang Permadi, Islam dan Etnis Tionghoa: studi kasus kounitas banteng di Tanggerang18. Penelitian ini ingin mmengungkap persoalan etnis Tionghoa dan Islam yang terdapat di komunitas Banteng Tangggerang. Untuk menguak data yang dibutuhkan dengan mmenyesuaikan terhadap fokus kajian, maka ditempuh jalan penelitian secara historis. Selain itu ihwal yang ingin di kuak pula adalah persoalan relasiorang Cina Banteng dengan Islam sebagai agama dan sebagai budaya. Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dari penelitian penulis pada sisi objek kajian, yaitu etnis Tionghoa. Perbedaan terdapat pada peletakan etnis Tionghoa itu sendiri sebagai objek kajian. Jika pada penelitian tersebut etnis Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang non-muslim dan bagaimana relasinya dengan agama islam, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Tionghoa muslim dan relasinya dengan sesamanya dan yang berbeda etnis. e. Winarto Eka Wahyudi, 2020, social pedagogy pada muslim etnis minoritas (konstruksi muslim Tionghoa dalam praksis pendidikan islam di Surabaya)19. Penelitian yang dilakukan oleh Winarto Eka Wahyudi ini mmenggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Unntuk dapat mengakses data yang dibutuhkan yang berkaitan dengan fokus dari kajian, diantaranya: pelaksanaan pendidikan islam multikultural pada komunitas muslim Tionghoa, perkebangan kompetensi sosial muslim Tionghoa melalui pendidikan Islam multikultural, menginterpretasikan model sosial pedagogi 18 Bambang Permadi, 2017, Islam dan Etnis Tionghoa: studi kasus komunitas banteng di Tanggerang, Tesis Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. 19 Winarto Eka Wahyudi, social pedagogy pada muslimm etnis minoritas (konstruksi muslim Tionghoa dalam praksis pendidikan islam di Surabaya), 2020, Disertasi Program Doktor PAI Multikultural Pasca Sarjana Universitas Malang. sebagai pendekatan muslim Tionghoa dalam praksis Pendidikan Agama Islam Multikultural. Penelitian tersebut mempunyai kesamaan pada objek penelitian yang berkaitan dengan muslim etnis Tionghoa, tetapi menemukan perbedaannya ketika beranjak pada pemahaman tentang aspek atau sangkutan dari apa yang hendak dipahami pada etnis muslimm Tionghoa tersebut. Penelitian tersebut meneliti pada kaitannya praksis pendidikan Islam, sedangkan penulis hendak memaparkan persoalan relasi atau persaudaraan sesama etnis dan lintas etnis beserta arkeologi pemikiran tentang masjid Chengho. f. Claudia Anridho, Diskursus pendidikan Tinggi pada Keluarga Etnis Tionghoa dan Etnis Madura di Kota Surabaya20. Penelitian ini mencoba untuk menguak tentang diskursus pendidikan tinggi dan bentuk praktik diskursus pendidikan tinggi pada keluarga etnis Tionghoa dan etnis Madura di kota Surabaya. Untuk mmendapatkan data-data yang dibutuhkan secara valid, maka penelitian ini menggunakan fasilitas untuk menganalisis suatu diskursus dengan bantuan Michel Foucault dimana dilakukan secara kualitatif. Terdapat kesamaan antara penelitian tersebut dengan apa yang akan dilakukan oleh penulis dalam melakukan suatu penelitian. Yaitu terletak pada objek formal yang digunakan, dimana sama-sama menggunakan fasilitas dari Michel Foucault. Sedangkan perbedaannya terletak pada cara dalam melihat objek material. Jika dalam penelitian tersebut ingin meneliti tentang diskursus pendidikan tinggi, maka penulis mencoba untuk meneliti sistem pemikiran yang berorientasi pada relasi kehidupan sosial dalam bingkai persaudaraan sesama ummat islam. 2. Kajian teori 20 Claudia Anridho, Diskursus pendidikan Tinggi pada Keluarga Etnis Tionghoa dan Etnis Madura di Kota Surabaya a. Teori identitas sosial. Identitas merupakan hal yang fundamental pada setiap interaksi sosial dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan21 mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut Jeffrey Weeks22 ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa identitas perlu dan pantas mendapat perhatian besar. Pertama, dalam hidup seharihari orang tidak pernah lupa baik secara langsung maupun tidak langsung menanyakan “anda siapa?” (who are you?) kepada seseorang yang baru dikenalnya. Ini merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam setiap interaksi sosial. Dengan pertanyaan demikian ia tidak sekedar ingin tahu tentang nama, alamat dan pekerjaan, tapi bertanya tentang identitas orang itu. Kalau orang yang ditanya itu gagal menjawab pertanyaan itu, berarti ia gagal dalam menampilkan identitasnya, sekaligus gagal menghadirkan diri sebagai subyek. Subyektivitas merupakan landasan pertama dalam setiap interaksi sosial.23 Kedua, identitas adalah tentang sense of belonging, tentang persamaan dengan sejumlah orang dan tentang apa yang membedakan kamu dengan lainnya. Sebagai sesuatu yang paling mendasar, identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi individualitas kamu. Dalam bidang sosiologi, konsep identitas mengacu kepada struktur keanggotaan kelompok, seperti peranan sosial, kategori dan ciri yang dapat menunjukkan seorang individu dalam suatu kelompok tertentu. Seseorang yang beridentitas sama mempunyai persamaan kebudayaan, institusi-institusi dasar seperti agama, bahasa, organisasi sosial dan politik. Diantara mereka tumbuh kesadaran dan perasaan “kekitaan” (espirit de corps). Secara umum, konsep identitas mengacu kepada the self, yaitu menerangkan apa dan siapa seseorang itu. 21 Lan, T, J. 2000. ”Susahnya Jadi Orang Tionghoa. Ke-Tionghoa-an Sebagai Konstruksi Sosial”. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Tionghoa. 22 Weeks, Jeffrey. 1990. “The Value of Difference”. Dalam Jonathan Rutherford (ed). Identity, Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart. 23 Ibid, hal: 88 Hal ini sebagaimana yang didefinisikan oleh Hogg dan Abrams , dan Jenkins : 24 “Identity is people's concepts of who they are, of what sort of people they are, and how they relate to others" (Hogg and Abrams 1988:2). Identity refers to the ways in which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with other individuals and collectivities" Taylor dan Moghaddam10 menjelaskan, identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.25 Teori identitas sosial menekankan bahwa perilaku individu mencerminkan unit masyarakat si individu yang lebih besar. Ini berarti bahwa struktur-struktur masyarakat yang „rumit‟ seperti kelompok, organisasi, budaya dan, yang paling penting, identifikasi individu dengan unit-unit kolektif ini memandu struktur dan proses internal. Kompetensi budaya berada pada inti teori ini karena keanggotaan kelompok kolektif mempengaruhi dan menentukan pemikiran serta perilaku individu .26 Teori identitas sosial menyatakan bahwa orang berfikir, merasakan, dan bertindak sebagai anggota kelompok kolektif, institusi, dan budaya. Pendekatan identitas sosial menekankan pemikiran bahwa kognisi sosial individu ditafsirkan secara sosial tergantung pada kerangka acuan kolektif atau kelompok mereka. Sebagai contoh, para imigran yang menganggap diri mereka terstigmatisasi secara negatif dikarenakan warna kulit yang gelap atau aksen bahasa, mungkin enggan untuk berakulturasi karena 24 Jenkins, Richard. 1996. Social Identity. London: Routledge Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M. 1994. Theories of Intergroup Relations. London: 26 Markus, H. R., Kitayama, S.,&Heiman, R. J. 1996. ”Culture and “basic” psychological principles”. In E. T. Higgins & A. W. Kruglanski (Eds.), Social Psychology: Handbook of Basic Principles (pp. 857- 913). New York: Guilford. 25 meyakini bahwa pandangan negatif seperti itu tidak akan hilang meskipun mereka kompeten secara kultural dalam budaya dominan. Teori identitas sosial mencoba menjelaskan hubungan antar kelompok secara umum dan konflik sosial secara khusus. Teori ini meliputi tiga point utama: 1) Orang termotivasi untuk mempertahankan konsep diri yang positif, 2) Konsep diri tersebut sebagian besar berasal dari identifikasi kelompok, dan 3) Orang membangun identitas sosial yang positif dengan membandingkan kelompok dalam dan kelompok luar mereka.27 Dengan demikian, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa proses-proses perbandingan sosial internal mendorong konflik antar kelompok, meskipun tidak terdapat persaingan atau kompetisieksplisit di antara kelompok. Variabelvariabel struktural seperti kekuasaan, hirarki, kelangkaan sumber daya cenderung menyebabkan pandangan yang lebih mendukung kelompok dalam dibanding kelompok luar. Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting di balik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya.28 Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang atau kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain.29 Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan 27 Operario, D.,& Fiske, S.T. 1999. “Integrating Social Identity and Social Cognition: Aframework for Bridging Diverse Perspectives”. In D. Abrams & M. A. Hogg (Eds.), Social identity and social cognition (pp. 26-54). Cambridge, MA: Blackwell. 28 Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M. 1994. Op cit. 29 Hogg, Michael and Dominic Abrams. 1988. Op cit. sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan individu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek.30 b. Teori representasi Stuart Hall Teori Representasi (Theory of Representation) yang dikemukakan oleh Stuart Hall menjadi teori utama yang melandasi penelitian ini. Pemahaman utama dari teori representasi adalah penggunaan bahasa (language) untuk menyampaikan sesuatu yang berarti (meaningful) kepada orang lain. Representasi adalah bagian terpenting dari proses dimana arti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi adalah mengartikan konsep (concept) yang ada di pikiran kita dengan menggunakan bahasa. Stuart Hall secara tegas mengartikan representasi sebagai proses produksi arti dengan menggunakan bahasa.31 Sementara the Shorter Oxford English Dictionarymembuat dua pengertian yang relevan yaitu9 : Pertama, Merepresentasikan sesuatu adalah mendeskripsikannya, memunculkan gambaran atau imajinasi dalam benak kita, menempatkan kemiripan dari Merepresentasikan obyek sesuatu dalam adalah pikiran/ indera menyimbolkan, kita. Kedua, mencontohkan, menempatkan sesuatu, penggantikan sesuatu, seperti dalam kalimat ini; bagi umat Kristen, Salib merepresentasikan penderitaan dan penyalipan 30 Hogg, Michael and Dominic Abrams. 1988. Op cit.; Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. 31 Hall, S. (1995). Representation:Cultural Representation and Signifying Practices. London:SAGE, p. 13 Yesus. Teori representasi sendiri dibagi dalam tiga teori atau pendekatan yaitu (1) reflective approach yang menjelaskan bahwa bahasa berfungsi seperti cermin yang merefleksikan arti yang sebenarnya.Di abad ke4 SM, bangsa Yunani mengistilahkannya sebagai mimetic. Misalnya, mawar ya berarti mawar, tidak ada arti lain. (2) Intentional approach, dimana bahasa digunakan mengekspresikan arti personal dari seseorang penulis, pelukis, dll. Pendekatan ini memiliki kelemahan, karena menganggap bahasa sebagai permainan privat (private games) sementara disisi lain menyebutkan bahwa esensi bahasa alah berkomunikasi didasarkan pada kode-kode yang telah menjadi konvensi di masyarakat bukan kode pribadi. (3) Constructionist approach yaitu pendekatan yang menggunakan sistem bahasa (language) atau sistem apapun untuk merepresentasikan konsep kita (concept). Pendekatan ini tidak berarti bahwa kita mengkonstruksi arti (meaning) dengan menggunakan sistem representasi (concept dan signs), namun lebih pada pendekatan yang bertujuan mengartikan suatu bahasa (language). Contoh model ketiga ini adalah Semiotic approach yang dipengaruhi oleh ahli bahasa dari Swiss, Ferdinand de Saussure dan Discursive approach oleh filosof Perancis bernama Micheal Foucault. Meskipun pendekatan constructionist approach menjadi dasar pemikiran penelitian ini, namun pendekatan semiotic dan discursive tidak digunakan dalam penelitian ini karena metode yang digunakan adalah framing. Relevansi utama dari teori konstruktionis terhadap penelitian adalah tentang penjelasan bahwa bahasa (language) yang terdapat dalam berita berupa kumpulan dari signs (artikel, foto, video, kalimat) memiliki arti (meaning) yang merepresentasikan budaya (culture) yang ada di masyarakat kita, termasuk media.Untuk lebih memperjelas tentang teori representasi, maka perlu diperjelas tentang berbagai komponen terkait seperti bahasa (language), arti (meaning), konsep (concept), tanda-tanda (signs), dan lain-lain. Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang atau kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari obyek, orang, benda dan kejadian.Yang tidak nyata (fictional).Berbagai istilah itu muncul dalam bahasan selanjutnya yaitu sistem representasi (sistem of representation). Terdapat dua proses dalam sistem representasi yaitu; pertama, representasi mental (mental representation) dimana semua obyek, orang dan kejadian dikorelasikan dengan seperangkat konsep yang dibawa kemana-mana di dalam kepala kita. Tanpa konsep, kita sama sekali tidak bisa mengartikan apapun di dunia ini. Disini, bisa dikatakan bahwa arti (meaning) tergantung pada semua sistem konsep (the conceptual map) yang terbentuk dalam benak milik kita, yang bisa kita gunakan untuk merepresentasikan dunia dan memungkinka kita untuk bisa mengartikan benda baik dalam benak maupun di luar benak kita. Kedua, bahasa (language) yang melibatkan semua proses dari konstruksi arti (meaning).32 Konsep yang ada di benak kita harus diterjemahkan dalam bahasa universal, sehingga kita bisa menghungkan kensep dan ide kita dengan bahasa tertulis, bahasa tubuh, bahasa oral maupun foto maupun visual (signs).Tanda-tanda (Signs) itulah yang merepresentasikan konsep yang kita bawa kemana-mana di kepala kita dan secara bersama-sama membentuk sistem arti (meaning sistem) dalam kebudayaan (culture) kita. c. Rekognisi Axel Honneth Untuk melihat relasi minoritas Tionghoa-Muslim dengan Tionghoa-Kristen dan Tionghoa-Muslim dengan etnis jawa dan lainnya yang berada di kabupaten Jember, untuk itu kami menggunakan teori kritis dari seorang generasi ketiga Mazhab Frankfurt, yaitu Axel Honneth. 32 Ibid, p.18 Didalam bukunya yang berjudul The Struggle for Recognition: Moral Grammar of Social Conflicts. Honneth menggunakan konsep pengakuan (recognition) dalam arti yang digunakan oleh Hegel. Honneth juga banyak menggunakan teori yang dikembangkan oleh George Herbert Mead, seorang psikolog sosial. Pengaruh teori komunikasi yang dikembangkan Habermas juga sangat terasa di dalam karya-karya Honneth. Dari ketiga orang tersebut, Axel Honneth merumuskan teorinya yang dikenal dengan recognition. Dimana ketika melihat sebuah relasi sosial, tiada lain menurutnya merupakan suatu perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Konflik yang terjadi di papua, feminis, ras kulit hitam dan etnis tionghoa yanng terpinggirkan, sebenarnya merupakan upaya untuk mendapatkan identitas-identitas partikularnya agar diakui oleh mereka yag telah mayoritas, Untuk memahami konsep pengakuan secara tepat, maka yang diperlukan pertama-tama adalah analisis fenomenologis terhadap semua bentuk pelanggaran moral yang terjadi. Kaitan antara moralitas dan pengakuan baru sungguh-sungguh tampak, jika pengalaman negatif, seperti ketidakadilan, dijadikan sebagai titik tolak refleksi. Di dalam pengalaman negatif ada suatu unsur di dalam diri manusia tidak lagi diakui. Inilah yang disebut sebagai luka moral (moral injury). Dari sudut pandang ini suatu luka fisik menjadi luka moral, jika korban yang mengalaminya sebagai “suatu tindakan yang secara sengaja hendak menyangkal aspek-aspek utama dari keutuhan kepribadiannya.” Luka moral timbul jika seseorang merasa dirinya tidak lagi diterima dan dikenali seutuhnya sebagai pribadi yang singular. Honneth mengkategorikan adanya tiga tipe penghinaan (disrespect). Yang pertama adalah tipe penghinaan fisik. Tindakan ini hanya menempatkan manusia sebagai daging dan darah, sekaligus merendahkan status otonominya sebagai manusia. Untuk menanggapi ini manusia perlu membangun sebuah relasi yang memungkinkan ia meraih kembali kehormatan dan harga dirinya. Relasi inilah yang disebut Hegel sebagai cinta, di mana individu mampu mendapatkan kenyamanan eksistensial dan emosionalnya melalui hubungan positif dengan orang lain. Dengan demikian relasi untuk mencapai pengakuan yang sepenuhnya dapat ditemukan dalam relasi dengan “yang lain” yang juga memberikan dirinya di dalam relasi yang spesifik. Untuk mencapai relasi semacam ini individu haruslah memiliki keutamaan mendasar, yakni kepercayaan pada dirinya sendiri. Inilah keutamaan mendasar yang memungkinkan orang bisa menghargai dirinya sendiri (self-respect). Keutamaan ini bisa bertumbuh jika orang terlibat langsung dengan orang lain, terutama di dalam lingkaran relasi yang paling intim, yakni keluarga, persahabatan, dan kekasih. Tipe penghinaan kedua adalah apa yang disebut Honneth sebagai “penyangkalan hak-hak dan eksklusi sosial, di mana manusia merasa terlanggar martabatnya dengan tidak diberikan hak-hak moral dan tanggung jawab legal penuh di dalam komunitasnya.” Untuk menanggapi masalah ini dibutuhkan proses pengakuan timbal balik, di mana setiap individu dapat dianggap sebagai subyek yang memiliki hak dihadapan individu lainnya. Pengakuan politis semacam itu juga mendorong semakin besarnya kemungkinan individu memandang dirinya sebagai orang yang bermakna, yang bermartabat. Individu juga bisa melihat dirinya sebagai orang yang memiliki harga diri, dan kompeten secara legal maupun moral. Berbeda dengan pengakuan pada level intim, yakni di dalam level keluarga, persahabatan, maupun relasi antar kekasih, pengakuan di level legal politis pada dasarnya selalu sudah mengandung dimensi historis yang bersifat universal sekaligus dinamis. Penghinaan ketiga, semua tindakan yang tidak mengakui nilai-nilai partikular kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya subyek tidak lagi mampu menentukan jalan dan cara hidupnya sendiri, melainkan harus menyesuiakan diri sepenuhnya dengan mayoritas. Untuk menanggapi ini politik pengakuan haruslah mengambil bentuk penciptaan relasi-relasi positif, sehingga individu bisa diterima di dalam lingkaran solidaritas sosial, dan dihargai sepenuhnya dalam konteks keunikan cara hidup maupun kemampuannya. Di dalam lingkup masyarakat semacam itu individu akan dapat menemukan penerimaan dan penghargaan atas individualitas mereka. “Karena subyek”, demikian tulis Honneth tentang hal ini, “di dalam pemahaman diri praktis mereka, haruslah memastikan status mereka, baik sebagai entitas otonom sekaligus individual, mereka haruslah, lebih jauh, mengambil perspektif dari yang lain yang umum.” Dengan begitu setiap individu akan dikenali sebagai individu yang unik. Idealitas semacam ini hanya dapat terjadi, jika relasi di dalam masyarakat adalah relasi kesalingpengakuanan antara individu-individu yang berasal dari latar belakang yang sama maupun yang berbeda. Inilah yang disebut Honneth sebagai dimensi afektif yang terwujud di dalam solidaritas sosial. Dampak positif dari penerapan politik pengakuan di atas adalah, bahwa setiap orang di dalam komunitas tertentu menemukan dirinya dihargai seturut dengan keunikan dan karakter spesifik mereka. Kondisi semacam itu memungkinan pengembangan diri yang paling maksimal dari setiap orang. Untuk alasan ini relasi politik pengakuan yang dikaitkan dengan solidaritas akan menciptakan perbedaan-perbedaan yang bersifat setara. Artinya suatu komunitas memang terdiri dari beragam individu dengan latar belakang, penghayatan nilai, bakat-bakat, maupun keunikan-keunikan tertentu, tetapi semua perbedaan tersebut memiliki status yang setara, yakni dihargai dan dikenali sebagai bagian integral dari seluruh komunitas. Inilah tiga pola di dalam politik pengakuan yang ingin diajukan oleh Honneth sebagai argumen utamanya, yakni cinta (love), tatanan hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity). Jika dibahasakan secara Kantian tiga pola inilah yang menjadi kondisi kemungkinan dari terciptanya interaksi sosial yang memungkinkan setiap orang dijamin integritas sekaligus martabatnya sebagai manusia. Dengan integritas Honneth memaksudkannya sebagai suatu kondisi, di mana subyek dapat melestarikan keunikan dan karakter-karakter spesifiknya dengan dukungan dari komunitas tempat ia tinggal. Dengan begitu setiap orang bisa memiliki kepercayaan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Konsep keadilan pun perlu mempertimbangkan aspek-aspek ini, sehingga keadilan bisa sungguh bermakna, dan tidak hanya sekedar berada di level distribusi kekayaan belaka. Politik pengakuan yang ideal juga haruslah menciptakan masyarakat yang bebas paksaan. Yang dimaksud dengan bebas paksaan disini tidak hanya absennya tekanan eksternal dalam bentuk represi ataupun pemaksaan, tetapi juga absennya tekanan internal dalam bentuk tekanan psikologis dan kecemasan, jika individu hendak menampilkan identitas ataupun keunikannya. Arti kedua ini memungkinkan individu memperoleh kenyamanan di dalam menerapkan keahlian-keahilan khususnya, sekaligus menuntut hak-hak dasarnya. Semuanya ini hanya dapat dimungkinkan jika politik pengakuan sungguh-sungguh sudah diterapkan secara konsisten. Dalam arti ini pula maksimalisasi kapasitas individu tidak lagi hanya tergantung pada individu itu sendiri, tetapi juga dari kerja sama dengan individu lainnya. Politik pengakuan semacam ini mengandaikan adanya pengenalan yang bersifat intersubyektif, suatu syarat yang harus dipenuhi jika kita ingin menciptakan masyarakat yang mendukung sepenuhnya perkembangan setiap orang. Inilah tiga pola di dalam politik pengakuan yang ingin diajukan oleh Honneth sebagai argumen utamanya, yakni cinta (love), tatanan hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity). d. Kognisi Sosial Van Dijk Untuk melihat suatu entitas didalam masyarakat, maka diperlukan sebuah alat yang mampu memperlihatkan dimana posisinya berada. Hal tersebut dimungkinkan dengan cara membedah wacana yang diprosuksi dan dikembangkan dalam percakapan, komunikasi, dan interaksi sosial sehari-hari. Dalam hal ini, Van Dijk menawarkan seuatu tool of analysis yang ia sebut dengan kognisi sosial. Langkah penelitiannya membutuhkan pemahaman yang benar terhadap kesadaran mental yang digunakan untuk memproduksi wacana. Hal ini diperlukan karena suatu posisi akan dimengerti setelah komunikasi intersubjektif berlangsung. Dari masingmasing subjek akan membentuk suatu kesepakatan atas sebuah penempatan dari golongan tertentu. Sehingga bagaimana kesadaran mental subjek lah yang nantinya akan menentukan sebuah konsensi pemahaman. Menurut pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak hanya dibatasi pada struktur teks, karena sangat dimungkinkan dalam satu teks mengandung beberapa makna. Oleh karena itu, untuk membongkar suatu makna membutuhkan sebuah strategi berupa analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diambil dari pemakai bahasa, lebih tepatnya kesadaran mental pemakai bahasa. Pada intinya setiap teks dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka atas suatu peristiwa.33 Perlu dipahami bahwa teks disini tidak sekedar susunan abjad yang tertulis, tetapi dikembalikan pada makna asalnya, yaitu anyaman makna. Jadi, apapun yang bermakna tidak hanya pemberitaan di kora-koran saja bisa disebut sebagai teks. Sedangkan bagaimana peristiwa dipahami dan dimengerti didadasarkan pada skema. Van Dijk menyebut skema ini sebagai model. Skema dikonseptualisasikan sebagai strukstur mental di mana tercakup di dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental, skema menolong kita menjelaskan 33 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2015), 260. realitas dunia yang kompleks. Skema bekerja secara aktif untuk mengkonstruksi realitas, membantu apa yang harus dipahami, maknai dan ingat tentang sesuatu. Van Dijk membagi skema ke dalam tiga kategori, sebagaimana berikut: 1. Skema person, yaitu penggambaran seseorang terhadap orang lain. Semisal etnis jawa islam mempunyai cara tersendiri ketika memandang etnis tionghoa kristen dan tionghoa islam. 2. Skema diri, yaitu berkaitan dengan cara bagiaman seseorang dipandang, dipahami dan digambarkan oleh seseorang. 3. Skema peran, yaitu bagiamana seseorang memandang dan memahami peran dari orang lain ditengah masyarakat. 4. Skema peristiwa, yaitu suatu cara pandang yang melibatkan terhadap terjadinya sebuah peristiwa tertentu. Skema ini lah yang paling banyak dipakai, karena hampir tiap hari selalu terbentuk sebuah peristiwa.34 Sesuatu yang penting dalam kognisi sosial selain model atau skema adalah memori. Lewat memori bisa digunakan untuk berpikir tentang sesuatu dan mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Didalam memori terkandung pesan atau pengetahuan, baik saat ini maupun dahulu yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu realitas. Secara umum memori dibagi menjadi dua, pertama memori jangka pendek, yakni memori yang digunakan untuk mengingat peristiwa atau kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Kedua, memori jangka panjang, yakni memori yang digunkan untuk mengingat sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu. Karena jangka waktunya yang panjang, seringkali terjadi perbedaan antara relaitas dan memori jangka panjang tersebut. Kognisi sosial mendapatkan relevansinya pada memori jangka panjang yang terbagi ke dalam dua kutub bagian. Pertama memori episodik, yakni ingatan yang berhubungan dengan diri sendiri, dalam memori ini menyediakan sarana layakna otobiografi. Kedua memori semantik, yakni ingatan yang digunakan untuk menampilkan dunia atau relaitas. Kadang-kadang antara memori episodik dan memori semantik saling berkaitan, semisal penjarahan toko-toko China pada 34 Ibid, 263. tahun 1998 termasuk memori semantik, sedangkan pada waktu itu saya ikut menjarah maka termasuk ke dalam memori episodik35. H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian. Metode penelitian menjelaskan semua langkah yang dikerjakan penulis sejak awal hingga akhir. Pada bagian ini dapat dimuat hal-hal yang berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar atau fakta-fakta yang dipandang benar tanpa adanya verifikasi dan keterbatasan, yaitu aspekaspek tertentu yang dijadikan kerangka berpikir. Penulis dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari sumber yang bisa diamati.36 Penelitian bersifat kualitatif sebab menyangkut pada pengertian, konsep, nilai serta ciri yang melekat pada objek penelitian lain nya serta menghasilkan data deskriptif37. Agar dapat mencapai kepada tujuan yang dimaksud dari penelitian dan memperoleh data yang benar-benar absah, maka penulis dalam penelitian ini, menjalankan dua tahap model penelitian. Pertama, data akan diperoleh melalui penelitian lapangan dengan melakukan interview dan dokumentasi kepada responden terkait. Kedua, data akan diperoleh melalui penelitian pustaka. Oleh karenanya penulis akan menyajikan dua metode penelitian. A. Penelitian Lapangan. 1. Subyek Penelitian Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data 35 36 Ibid, 266. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 4. 37 Kaelani, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), 5. dengan pertimbangan tertentu.38 Pertimbangan tertentu ini misalnya orang yang dijadikan informan adalah orang yang dianggap paling tahu tentang informasi yang peneliti butuhkan atau informan merupakan penguasa sehingga memudahkan peneliti mencari dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dan memudahkan peneliti menjelajahi objek serta situasi yang diteliti. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh ketetapan data dan keakuratan informasi yang mendukung dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui: a. Observasi observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang lazim dalam metode penelitian kualitatif.39 Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang dialami pada objek penelitian.40 Secara garis besar observasi dibedakan menjadi dua observasi partisipan dan observasi nonpartisipan: 1) Observasi partisipan yaitu, peneliti merupakan bagian dari kelompok yang ditelitinya, dalam artian peneliti terlibat langsung dengan objek yang sedang ditelitinya. 2) Observasi nonpartisipan yaitu, peneliti hanya sebagai pengamat objek yang akan diteliti, tanpa terlibat secara langsung. Dalam hal ini, metode observasi yang peneliti gunakan, yaitu observasi non partisipan. Karena peneliti tidak terlibat langsung dengan persaudaraan muslim tionghua dan fenomena masjid Cheng ho. b. Interview Interview sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan adalah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan 38 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta), 292. Suheri, Teknik-Teknik Menulis PTK, Skripsi, dan Tesis (Surabaya: Imtiyaz, 2017), 45. 40 S. Masgono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 10. 39 informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subyek penelitian.41 Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan dalam suatu topik tertentu.42 Sikap pada waktu datang, sikap duduk, kecerahan wajah, tutur kata, keramahan, kesabaran serta keseluruhan penampilan akan sangat berpengaruh terhadap isi jawaban responden yang diterima oleh peneliti.43 Secara garis besar, ada dua macam pedoman wawancara: 1) Wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Tentu saja kreativitas pewawancara sangat diperlukan, bahkan hasil wawancara dengan jenis pedoman ini lebih banyak tergantung dari pewawancara. Pewawancaralah sebagai pengemudi jawaban responden.44 2) Wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga meyerupai check-list. Pewawancara hanya perlu membubuhkan tanda v (check) pada nomor yang sesuai.45 Pedoman wawancara yang banyak digunakan adalah bentuk semi struktur sebagaimana yang penulis terapkan dalam penelitian ini. Mula-mula interview menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam guna mengorek keterangan lebih lanjut. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel dengan keterangan yang lengkap dan mendalam.46 41 Suheri, Teknik-Teknik Menulis PTK, Skripsi, dan Tesis, 43. Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 231. 43 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 270. 44 Ibid.,270. 45 Ibid.,270. 46 Ibid.,270. 42 c. Dokumentasi Tidak kalah penting dari metode lain adalah metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasati, notulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya.47 Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.48 Di bandingkan dengan metode lain, metode ini tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber, datanya masih tetap belum berubah. Dengan metode dokumentasi, yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.49 3. Keabsahan Data Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.50 Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.51 4. Tahap-tahap Penelitian Bagian ini menguraikan rencana pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, mulai dari penelitian pendahuluan, pengembangan desain, penelitian sebenarnya, dan sampai pada penulisan laporan.52 Adapun tahap-tahap penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Tahap pra lapangan a. Menyusun rancangan penelitian b. Memilih lapangan penelitian c. Observasi awal lokasi penelitian d. Mengurus ijin penelitian 47 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 274. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, 240. 49 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 274. 50 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, 327. 51 Ibid.,274. 52 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasarjana, 25. 48 e. Menyiapkan mental dan perlengkapan penelitian f. Memahami etika penelitian 2) Tahap pelaksanaan lapangan a. Memahami latar penelitian b. Memasuki lapangan penelitian c. Mengumpulkan data B. Penelitian Pustaka. Metode kedua yang dilakukan penulis adalah jenis penelitian kepustakaan (library research), yang tidak hanya sekedar dipahami dengan membaca dan mencatat buku-buku. Melainkan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian53. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan berdasarkan dari objek yang ingin peneliti telaah yaitu arkeologi pemikiran Islam kaitannya tentang relasi etnis muslim tionghoa dan struktur bangungan masjid chengho, sebegai suatu analisis kesejarahan untuk melacak sebuah sistem pemikiran yang tersembunyi dibalik artefakartefak historis. Erat kaitan nya antara penelitian dengan objek penelitian, secara metodologis objek dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, objek material ialah objek yang merupakan fokus kajian dari suatu ilmu pengetahuan tertentu. Dimana dalam penelitian ini adalah data-data kesejarahan yang diperoleh dari dokumen, arsip dan buku-buku yang berkaitan. Kedua, objek formal ialah objek yang menyangkut dari sudut pandang apa objek material itu dibahas54. Maka dalam hal ini penulis akan mengambil sudut pandang pembahasan dari aspek arkeologi pengetahuan Michel Foucault. untuk memudahkan jalan nya penelitian, kepustakaan tersebut dibagi kedalam dua bagian, yaitu: a. Sumber Data Primer. 53 54 Mestika Zeid, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), 3. Ibid, 34. Data primer adalah pustaka langsung yang bersentuhan dengan objek material. Seperti yang telah diulas, maka data primer yang penulis pergunakan adalah seluruh data yang berkaitan dengan fokus kajian penulis. b. Sumber Data Skunder. Data Skunder adalah seluruh pustaka yang tidak berkaitan langsung dengan objek material dari penelitian sendiri. Secara fungsional adalah menjadi penjelas atau pun sebagai sambung pemahaman terhadap maksud penelitian. Untuk itu pustaka skunder yang penulis gunakan adalah beberapa karya yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti. Bisa dalam bentuk buku, artikel, dan jurnal 1. Jalan Penelitian. Penelitian ini akan berlangsung melalui beberapa tahapan proses, yang berfungsi untuk membuat gambaran jalan nya penelitian. Serta untuk memudahkan dalam memahami data kepustakaan sehingga berjalan secara sistematis. Penelitian ini akan berlangsung sebagaimana berikut ini: a. Menginventarisasikan seluruh data-data berupa pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. b. Mengklasifikasikan, antara data primer dan data skunder. c. Mengkaji data tersebut secara komphrensif, dalam hal ini adalah pustakapustaka kesejarahan terkait. d. Selanjutnya mensintesiskan dan menggeneralisir data tersebut dengan penalaran induktif. e. Mendeskripsikan terhadap objek penelitian dengan menggunakan prinsipprinsip arkeologis Michel Foucault. f. Mensistematisir hasil deskripsi tersebut dengan pola tertentu, untuk mengklasifikasikan data hasil analisa. 3) Tahap analisis data Pada tahap ini data yang terkumpul dapat dikatakan masih campur aduk dan bersifat tumpeng tindih seperti hasil pengamatan, wawancara, dokumen, gambar, foto dan sebagainya, maka dari itu perlu diatur, diorganisir, dikelompokkan, dibuat kategorisasi sehingga menjadi data yang mempunyai arti dan makna.55 Adapun tujuan analisa data secara umum seperti dijelaskan oleh Kasiram, yaitu untuk meringkaskan data dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah ditafsirkan, sehingga problem penelitian dapat dipelajari dan diuji.56 Sebagaimana data yang telah didapat dari data pustaka berupa data primer dan data skunder serta data yang berasal dari lapangan, kemudian akan di analisa dengan menggunakan metode analisis isi atau analisis dokumen terkadang pula disebut sebagai content analysis. Ialah secara sederhana sebagai suatu metode yang teknik penelitian nya dilakukan dengan membuat inferensi secara kontekstual. Seperti yang dijelaskan oleh Zuhcdi secara konseptual dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan, yaitu preskriptif, analitis, metodologis57. Sedangkan secara alur analisis meliputi terhadap menemukan simbol, klasifikasi data, menganalisis data58. Analisis ini dipilih karena supaya mampu menangkap kesimpulan dari data-data terkait secara deduktif. Setelah itu data yang diperoleh akan diolah kembali dengan penalaran secara induktif sehingga terbentuk kategori. I. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi yang dimulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup. Format penulisan sistematika pembahasan adalah dalam bentuk deskriptif naratif, 55 Djamal, Paradigma Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 59. M. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 120. 57 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), 81. 58 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan tindakan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 224. 56 bukan seperti daftar isi.59 Adapun sistematika pembahasan dari penelitian ini adalah: BAB I: meliputi pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan. BAB II: meliputi kajian pustaka yang berisi penelitian terdahulu, kajian teori. BAB III: meliputi metode penelitian yang berisi pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, keabsahan data dan tahap-tahap penelitian. BAB IV: berisi hasil penelitia meliputi objek penelitian, penyajian data, analisis dan pembahasan temuan. Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan dalam fokus penelitian. BAB V: meliputi penutup yang merupakan hasil akhir penelitian. Pada bagian ini disampaikan kesimpulan dan saran yang bersifat konstruktif. 59 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasrjana, 25. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional, 2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djamal, 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fahmi Rafika Perdana, Integrasi Sosial Muslim-Tionghoa Studi atas Partisipasi PITI DIY dalam Gerakan Pembauran. Jurnal Ilmiah Sosiologi. George Ritzer, 2011. Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta;Kencana. Ibnu Khaldun, 1989. The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal, Bollingen Series Princeton University Press. Jhon L. Esposito (ed), 2001.,Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan. Koentjaraningrat “Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia”. (Jakarta: Djambatan. Luwis Ma'luf, 1977. Al-Munjid fi al-Lughah .Bairut: Dar al-Masyriq. M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur'an dan Tafsir Maudhu'i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Cet. III. M. Quraish Shihab, 1998. Membumikan Al-Qur‟an Bandung: Mizan. Muhammad Mahmud Rabie’, 1967. The Political Theory of Ibnu Khaldun, Leiden: E. J. Brill. Redaktur, 2003. Tionghoa di Indonesia, A Penerbit Buku Kenangan Korwil PITI Jatim, Surabaya. Sidi Gazalba, 1994. Masjid Pusat Ibadah Dan Kebudayaan Islam. Cet VI Jakarta: Pustaka Al husna. Sofyan Syafri Harahap, 1996. Manajemen Masjid, Jogyakarta: Bhakti Prima Rasa. Tim Penyusun, 2018. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pascasarjana. Jember: IAIN Jember Press.