Uploaded by Teguh Lestiono

11. islam&masyarakat

advertisement
ISLAM DAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Unit terkecil dari suatu masyarakat adalah keluarga, sedikitnya terdiri dari suami, istri, dan
anak-anak banyak keluarga membentuk masyarakat islam mendambakan keluarga dan masyarakat
yang harmonis, saling menyayangi, saling mengasihi, serta saling bekerja sama dalam kerangka
masyarakat madani Islam mengawali pengaturan dengan disyari’atkan munakahat (hukum
perkawinan).
B. Dasar Pembentukan Keluarga
Pernikahan sebagai salah satu proses pembentukan suatu keluarga, merupakan perjanjian
sakral (imitsaqanghalidhaI) antara suami dan istri. Mereka satu sama lain terikat oleh komitmen
bersama dan memiliki hak yang sama dalam menentukan arah dan kebijakan yang akan ditempuh
didalamnya. Sesuatu bisa dianggap sebagai keluarga apabila terdapat bapak, ibu, dan anak-anak
yang tinggal didalam rumah. Kata “keluarga” menurut makna sosiologi (famili-inggris) berarti
kesatuan kemasyarkatan (sosial) berdasarkan hubungan perkawinan atau pertalian darah.
Menurut Abu Zahra bahwa institusi keluarga mencankup suami, istri, anak-anak dan
keturunan mereka, kakek, nenek, saudara-saudar kandung dan anak-anak mereka, dan mencangkup
pula saudara kakek, nenek, paman, bibi serta anak mereka (sepupu). Menurut psikologi, keluarga
bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar
cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin.
C. Mawaris
Mawaris sendiri adalah sebuah ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
Secara etimologis, kata mawaris berasal dari Al-mirats, yang berarti berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum ke kaum lain. Sementara bila ditinjau dari segi
istilah, al-mirats adalah berpindahnya kepemilikan hak orang yang sudah meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup. Hak kepemilikan ini bisa berupa apa saja, seperti harta, tanah, dan
hak lainnya yang secara sah.
Dari pengertian tadi, disimpulkan bahwa mawaris adalah disiplin ilmu yang membahas
terkait pembagian harta seseorang yang telah meninggal kepada pewaris (ahli waris) yang masih
hidup sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits. Tak hanya itu, ilmu ini juga membahas
siapa saja yang berhak menerima warisan serta bagian-bagian yang akan diterimanya.
Landasan Hukum Mawaris
Peralihan harta (warisan) kepada ahli warisnya sudah diatur sedemikian rupa dalam ilmu
mawaris. Di bawah ini adalah landasan yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam ilmu mawaris.
Surat An-Nisa: ayat 7 dan syarat pembagian di ayat 11
Dalam surat ini, Allah SWT telah mengatur siapa saja yang berhak mendapatkan warisan, serta
bagian yang didapatkan oleh setiap ahli waris. Berikut kutipan Surat An-Nisa ayat 11. Yang
artinya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan, jika
anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Dan, untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, bila dia (yang meninggal) memiliki anak.
bila dia (yang meninggal) tidak memiliki anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga harta warisan. Bila dia (yang meninggal) memiliki beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam harta warisan. Pembagian-pembagian di atas akan
dipenuhi setelah wasiat yang dibuatnya (setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Seseorang Berhak Menerima Harta Warisan
1. Adanya hubungan perkawinan
Penyebab seseorang berhak menerima harta warisan yang pertama adalah adanya hubungan
pernikahan yang sah. Meskipun belum terjadi persetubuhan di antara keduanya, namun ikatan
pernikahan yang sah membuat suami-istri saling mewarisi satu sama lain. Artinya, bila suami
meninggal,
istri
berhak
mewarisi
harta
yang
ditinggalkannya,
begitu
pun
sebaliknya.Sementara, pernikahan yang dilakukan tidak dalam keadaan rusak (fasid), seperti
tidak adanya wali atau saksi, maka keduanya tidak berhak menerima warisan.
2. Adanya hubungan kekerabatan
Sebab berikutnya seseorang berhak menerima warisan adalah adanya hubungan kekerabatan
(nasab). Seorang yang mendapatkan warisan dengan hubungan kekerabatan ini adalah kedua
orang tua dan orang-orang yang termasuk turunan dari keduanya, seperti saudara laki-laki,
saudara perempuan, serta anak-anak dari para saudaranya tadi.
3. Wala
Wala adalah sebab yang membuat seseorang berhak atas warisan yang dimiliki hamba sahaya
yang sudah dimerdekakan. Jadi, bila bekas hamba sahaya yang sudah dimerdekakan
meninggal dunia, maka harta warisannya menjadi hak dari orang yang sudah
memerdekakannya itu. Sebaliknya, seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan tak bisa
mendapatkan hak waris dari tuan yang sudah memerdekakannya.
4. Hubungan Islam
Sebab terakhir yang membuat seseorang berhak memperoleh warisan adalah hubungan Islam.
Itu artinya, seorang muslim yang meninggal dunia, tapi tidak memiliki Al-Waris (ahli waris)
maka harta yang ditinggalkannya akan diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi
kesejahteraan umat.
Golongan yang Berhak Menerima Hak Waris
1. ZawilFurudh
Zawil furudh adalah kelompok pewaris yang sudah ditentukan bagiannya. Bagiannya sendiri
sudah ditentukan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist, yaitu
2. Ashabah
Ashabah adalah kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya. Artinya, hak waris
yang diterima kelompok ini merupakan sisa dari zawil furudh.
3. Zawil arham
Bisa dikatakan, kelompok ini tidak termasuk dalam urutan penerima hak waris. Meski begitu,
zawil arham memiliki kedekatan dengan kedua kelompok sebelumnya. Jadi, bila tidak ada
kelompok zawil furudh dan ashabah dalam urutan penerima hak waris, maka zawil arham
berkah memperolehnya.
D. Pembentukan Masyarakat Islam
Proses terbentuknya masyarakat Islam di zaman Rasulullah menunjukkan beliau memang
berjuang untuk membentuk masyarakat Islam. Beliau peduli bukan hanya pada pembentukan
pribadi yang shalih melainkan juga siap bekerja sama, berinteraksi, dan bahu membahu dengan
anggota masyarakat lain.
Hampir semua ahli tarikh sepakat bahwa tonggak sejarah terbentuknya masyarakat Islam
adalah saat Rasulullah saw hijrah dengan para sahabatnya ke Yatsrib. Kota itu lalu
disebutMadinatur-Rasul (kota Rasul) yang kemudian populer denganAl-Madinah AlMunawwarah.
Akan tetapi hijrahnya Rasulullah dan para sahabatnya itu bukanlah awal perjuangan dalam
pembentukan masyarakat Islam—dan kelak pemerintahan Islam. Awal perjuangannya adalah saat
Rasulullah mendapat perintah untuk menyampaikan pesan Ilahi kepada manusia, “Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.“ (QS Al-Hijr [15]:94)
Sejak itulah Rasulullah bekerja, membina (tarbiyah) untuk membentuk sosok-sosok yang
akan mengisi pos-pos kehidupan masyarakat dan menyiapkan manusia-manusia yang menjadi
komponen masyarakat itu.
Dasar-dasar Pembentukan Masyarakat Islam
1. Memebebaskan Masyarakat dari Penghambaan Kepada selain Allah
2. Mengordinasi Masyarakat untuk Menghilangkan Kejahiliyahaan
3. Menjadikan Islam sebagai Landasan Peilaku Individu dan Hubungan Antara Sesama dalam
Masyarakat.
Download