ISLAM DAN MASYARAKAT A. Pendahuluan Unit terkecil dari suatu masyarakat adalah keluarga, sedikitnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak banyak keluarga membentuk masyarakat islam mendambakan keluarga dan masyarakat yang harmonis, saling menyayangi, saling mengasihi, serta saling bekerja sama dalam kerangka masyarakat madani Islam mengawali pengaturan dengan disyari’atkan munakahat (hukum perkawinan). B. Dasar Pembentukan Keluarga Pernikahan sebagai salah satu proses pembentukan suatu keluarga, merupakan perjanjian sakral (imitsaqanghalidhaI) antara suami dan istri. Mereka satu sama lain terikat oleh komitmen bersama dan memiliki hak yang sama dalam menentukan arah dan kebijakan yang akan ditempuh didalamnya. Sesuatu bisa dianggap sebagai keluarga apabila terdapat bapak, ibu, dan anak-anak yang tinggal didalam rumah. Kata “keluarga” menurut makna sosiologi (famili-inggris) berarti kesatuan kemasyarkatan (sosial) berdasarkan hubungan perkawinan atau pertalian darah. Menurut Abu Zahra bahwa institusi keluarga mencankup suami, istri, anak-anak dan keturunan mereka, kakek, nenek, saudara-saudar kandung dan anak-anak mereka, dan mencangkup pula saudara kakek, nenek, paman, bibi serta anak mereka (sepupu). Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin. C. Mawaris Mawaris sendiri adalah sebuah ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. Secara etimologis, kata mawaris berasal dari Al-mirats, yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum ke kaum lain. Sementara bila ditinjau dari segi istilah, al-mirats adalah berpindahnya kepemilikan hak orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Hak kepemilikan ini bisa berupa apa saja, seperti harta, tanah, dan hak lainnya yang secara sah. Dari pengertian tadi, disimpulkan bahwa mawaris adalah disiplin ilmu yang membahas terkait pembagian harta seseorang yang telah meninggal kepada pewaris (ahli waris) yang masih hidup sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits. Tak hanya itu, ilmu ini juga membahas siapa saja yang berhak menerima warisan serta bagian-bagian yang akan diterimanya. Landasan Hukum Mawaris Peralihan harta (warisan) kepada ahli warisnya sudah diatur sedemikian rupa dalam ilmu mawaris. Di bawah ini adalah landasan yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam ilmu mawaris. Surat An-Nisa: ayat 7 dan syarat pembagian di ayat 11 Dalam surat ini, Allah SWT telah mengatur siapa saja yang berhak mendapatkan warisan, serta bagian yang didapatkan oleh setiap ahli waris. Berikut kutipan Surat An-Nisa ayat 11. Yang artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan, jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan, untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila dia (yang meninggal) memiliki anak. bila dia (yang meninggal) tidak memiliki anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga harta warisan. Bila dia (yang meninggal) memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam harta warisan. Pembagian-pembagian di atas akan dipenuhi setelah wasiat yang dibuatnya (setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Seseorang Berhak Menerima Harta Warisan 1. Adanya hubungan perkawinan Penyebab seseorang berhak menerima harta warisan yang pertama adalah adanya hubungan pernikahan yang sah. Meskipun belum terjadi persetubuhan di antara keduanya, namun ikatan pernikahan yang sah membuat suami-istri saling mewarisi satu sama lain. Artinya, bila suami meninggal, istri berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya, begitu pun sebaliknya.Sementara, pernikahan yang dilakukan tidak dalam keadaan rusak (fasid), seperti tidak adanya wali atau saksi, maka keduanya tidak berhak menerima warisan. 2. Adanya hubungan kekerabatan Sebab berikutnya seseorang berhak menerima warisan adalah adanya hubungan kekerabatan (nasab). Seorang yang mendapatkan warisan dengan hubungan kekerabatan ini adalah kedua orang tua dan orang-orang yang termasuk turunan dari keduanya, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, serta anak-anak dari para saudaranya tadi. 3. Wala Wala adalah sebab yang membuat seseorang berhak atas warisan yang dimiliki hamba sahaya yang sudah dimerdekakan. Jadi, bila bekas hamba sahaya yang sudah dimerdekakan meninggal dunia, maka harta warisannya menjadi hak dari orang yang sudah memerdekakannya itu. Sebaliknya, seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan tak bisa mendapatkan hak waris dari tuan yang sudah memerdekakannya. 4. Hubungan Islam Sebab terakhir yang membuat seseorang berhak memperoleh warisan adalah hubungan Islam. Itu artinya, seorang muslim yang meninggal dunia, tapi tidak memiliki Al-Waris (ahli waris) maka harta yang ditinggalkannya akan diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi kesejahteraan umat. Golongan yang Berhak Menerima Hak Waris 1. ZawilFurudh Zawil furudh adalah kelompok pewaris yang sudah ditentukan bagiannya. Bagiannya sendiri sudah ditentukan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist, yaitu 2. Ashabah Ashabah adalah kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya. Artinya, hak waris yang diterima kelompok ini merupakan sisa dari zawil furudh. 3. Zawil arham Bisa dikatakan, kelompok ini tidak termasuk dalam urutan penerima hak waris. Meski begitu, zawil arham memiliki kedekatan dengan kedua kelompok sebelumnya. Jadi, bila tidak ada kelompok zawil furudh dan ashabah dalam urutan penerima hak waris, maka zawil arham berkah memperolehnya. D. Pembentukan Masyarakat Islam Proses terbentuknya masyarakat Islam di zaman Rasulullah menunjukkan beliau memang berjuang untuk membentuk masyarakat Islam. Beliau peduli bukan hanya pada pembentukan pribadi yang shalih melainkan juga siap bekerja sama, berinteraksi, dan bahu membahu dengan anggota masyarakat lain. Hampir semua ahli tarikh sepakat bahwa tonggak sejarah terbentuknya masyarakat Islam adalah saat Rasulullah saw hijrah dengan para sahabatnya ke Yatsrib. Kota itu lalu disebutMadinatur-Rasul (kota Rasul) yang kemudian populer denganAl-Madinah AlMunawwarah. Akan tetapi hijrahnya Rasulullah dan para sahabatnya itu bukanlah awal perjuangan dalam pembentukan masyarakat Islam—dan kelak pemerintahan Islam. Awal perjuangannya adalah saat Rasulullah mendapat perintah untuk menyampaikan pesan Ilahi kepada manusia, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.“ (QS Al-Hijr [15]:94) Sejak itulah Rasulullah bekerja, membina (tarbiyah) untuk membentuk sosok-sosok yang akan mengisi pos-pos kehidupan masyarakat dan menyiapkan manusia-manusia yang menjadi komponen masyarakat itu. Dasar-dasar Pembentukan Masyarakat Islam 1. Memebebaskan Masyarakat dari Penghambaan Kepada selain Allah 2. Mengordinasi Masyarakat untuk Menghilangkan Kejahiliyahaan 3. Menjadikan Islam sebagai Landasan Peilaku Individu dan Hubungan Antara Sesama dalam Masyarakat.