ANALISIS FILSAFAT HUKUM GEORGE SOROS Oleh: Abstrak Ideologi Masyarakat Terbuka (Open Society) yang disampaikan oleh George Soros sangat sayang untuk dilewatkan. Paling tidak karena dua alasan: Pertama, fondasi pemikiran Open Society Soros yang dibangun di atas kritiknya terhadap kapitalisme global berkontradiksi langsung dengan profesinya sebagai pialang saham sekaligus statusnya sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Kedua, kekuatan finansial yang dimiliki Soros memberikannya keuntungan lebih untuk menyebarkan ideologinya dengan lebih leluasa dan mendukung gerakan-gerakan yang sejalan dengan pemikirannya. Jika ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai ajang pertarungan pemikiran, Soros dapat dikatakan memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan “sekedar” akademisi. Tulisan ini mencoba untuk memetakan pemikiran George Soros sekaligus mengkritisi relevansinya dengan situasi politik global kontemporer. Meski kekuatan Soros tidak dapat diremehkan, konsep Open Society yang ditawarkan Soros tetap saja mengandung celah. Terutama tentang bagaimana ia menaruh kepercayaan total terahadap demokrasi liberal yang justru mengandung kontradiksi tersendiri terhadap gagasan open society yang ditawarkannya. Pendahuluan Studi tentang globalisasi merupakan studi yang sarat dengan pertarungan wacana. Bagi pengkritiknya, globalisasi menyebabkan kegagalan finansial, melebarnya kesenjangan, kekacauan, dan ketidakadilan sistem perdagangan. Sedangkan, bagi para pendukungnya, globalisasi justru merupakan solusi dari semua persoalan itu.1 Masing-masing kubu saling mengklaim kebenarannya. Mereka beradu argumentasi dengan menyajikan data dan fakta yang sama-sama meyakinkan. Salah satu perdebatan yang paling hangat adalah tentang bagaimana peran institusi nasional, yaitu negara bangsa, dalam menghadapi globalisasi. Ada yang menganggap bahwa peran negara telah tergeser bahkan hilang seiring dengan kemunculan kapitalisme global. Namun Untuk pengantar perdebatan globalisasi, lihat M. Naim, ‘Globalization,’ Foreign Policy, No. 171, Maret/April 2009, pp. 28-30, 32, 34. 1 ada pula yang kukuh mengatakan bahwa sampai saat ini negara masih menjadi entitas yang kuat di tengah kehadiran aktor-aktor transnasional lainnya, seperti perusahaan multinasional dan organisasi masyarakat internasional. Pemikiran George Soros hadir untuk mengisi perdebatan tersebut. Sebagai individu dengan kekuatan finansial yang sangat besar, pemikirannya menjadi sangat penting untuk dibicarakan. Sebab dengan kekuatan tersebut ia cenderung lebih leluasa dalam menyebarkan gagasannya kepada publik secara lebih luas. Manuver-manuver yang dilakukannya dalam skala lokal maupun internasional menunjukkan kecenderungan tersebut. Alih-alih sebagai intelektual yang sekedar berusaha untuk memberikan perspektif terhadap wacana tertentu, Soros telah bergerak selangkah lebih di depan dengan menyusun agenda-agenda guna mewujudkan gagasan-gagasan yang dipercayainya. Tulisan ini pertama-tama berusaha untuk memposisikan pemikiran Soros dalam perkembangan wacana tentang globalisasi dan bagaimana usaha-usaha yang dilakukannya untuk mensosialisasikan wacananya tersebut. Argumen dari tulisan ini adalah bahwa kritik Soros terhadap kapitalisme global dan pandangannya tentang open society mengandung semangat globalisme. Sehingga pemikiran Soros mengandung dua kontradiksi yang tidak termaafkan, pertama terkait dengan posisinya sebagai orang yang mengkritik sekaligus menikmati kebobrokan dari sistem kapitalisme. Kedua, menyoal kepercayaannya yang berlebihan terhadap demokrasi liberal yang justru justru bertolak belakang dengan gagasan open society yang dikembangkannya. Perang Wacana dalam Studi Globalisasi Setelah keruntuhan rezim komunis Uni Soviet, Francis Fukuyama merayakannya dengan menulis sebuah artikel yang berjudul The End of History.2 Pada intinya, Fukuyama berpendapat bahwa kehancuran Uni Soviet dari dalam telah menobatkan demokrasi liberal dan kapitalisme liberal sebagai pemenang perang ideologi sekaligus menandai akhir sejarah evolusi ideologi dunia. 2 F. Fukuyama, ‘Akhir Sejarah?’, dalam Huntington, Amerika dan Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, pp. 1 – 34. Tesis Fukuyama tidak semerta-merta diterima. Bahkan, kompatriotnya buru-buru menepis anggapan Fukuyama yang menurutnya telah overreacted. Pada tahun yang sama, Huntington menulis sebuah artikel yang diberi judul Kegagalan Endisme.3 Huntington mengkritik apa yang disebutnya sebagai paham “endisme” dalam pemikiran Fukuyama. Dengan kepercayaan yang berlebihan terhadap demokrasi liberalis, Huntington mengatakan bahwa Fukuyama telah mengabaikan adanya ideologi-ideologi alternatif seperti misalnya demokrasi sosial yang cukup populer di Eropa.4 Bagi Huntington sejarah belum berakhir. Rentetan peristiwa setelah itu menunjukkan bahwa tesis Fukuyama tentang akhir perang ideologi manusia memang sangat rapuh. Masyarakat dunia mulai mempertanyakan kembali tentang keberadaan sistem kapitalisme liberal. Sejarah telah mencatat bagaimana protes terhadap sistem tersebut kembali didengungkan. “Pada tahun 1999, media massa di seluruh dunia ramai-ramai membicarakan fenomena baru: gerakan “antikapitalisme” internasional... sepuluh tahun setelah kaum penguasa kapitalis berjaya saat rezim-rezim Eropa Timur ambruk, sebuah peristiwa yang didengungkan sebagai kemenangan mutlak pasar bebas, media massa borjuis harus mengakui bahwa semakin banyak manusia menolak sistem mereka.”5 Tentu saja, kutipan di atas hanyalah merupakan salah satu dari sekian banyak gerakan masa yang menentang kapitalisme liberal pasca runtuhnya komunisme di Uni Soviet. Satu contoh aksi protes terbesar di abad ke 21 yang perlu juga disampaikan disini adalah gerakan Occupy Wall Street. Gerakan ini seolah-olah memberikan tekanan-tekanan baru terhadap sistem ekonomi kapitalisme. Lihat saja semangat yang dibawa oleh gerakan tersebut: “menentang 1% kelompok terkaya yang telah membuat pengaturan ekonomi global yang tidak adil.”6 Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ketimpangan tidak hanya terjadi dalam lingkup internasional 3 S.P. Huntington, ‘Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-Kesalahan endisme,’ dalam buku Huntington, Amerika dan Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005. 4 5 Huntington, p. 38. C. Harman, Anti Kapitalisme, Teplok Press, Jakarta, 2003, p. 1. 6 Occupy Wall Street merupakan gerakan yang menentang keserakahan korporasi dan ketimpangan sosial. Dimulai di Distrik Manhattan, New York, Amerika Serikat pada 17 September 2011, gerakan tersebut telah menyebar ke berbagai kota di dunia. Kompas.com menyebutkan bahwa dalam sebulan, 900 kota di dunia, termasuk Asia, mengikuti gerakan ini. Lihat Kompas.com Protes yang Mengglobal (daring), 21 Oktober 2011, <www.kompas .com Protes yang Mengglobal http://internasional.kompas.com/read/2011/10/21/02165296/Protes.yang.Mengglobal>, diakses 10 Nov 2022 namun juga dalam lingkup perekonomian domestik, bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, tempat gerakan okupasi Wall Street berlangsung. Neoliberalisme dan Pendalaman Kapitalisme Global Saat ini, perekonomian dunia dikatakan tengah berada di bawah kontrol penganut paham neoliberalis. Dalam sebuah buku berjudul Neoliberalisme, I. Wibowo menjelaskan tiga faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme, yakni kemunculan perusahaan multinasional (multinational corpotation - MNC), terbentuknya rezim-rezim internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia), dan perkembangan teknologi transportasi dan telekomunikasi.7 Namun beberapa penulis seperti Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel juga mengaitkan kebangkitan neoliberalisme dengan peristiwa besar yang terjadi di dunia. Misalnya krisis negara berkembang yang terjadi pada tahun1980an. Krisis tersebut menurut mereka telah menyebabkan pengambil kebijakan di negara-negara berkembang segera merangkul kapitalisme pasar bebas, tanpa berpikir panjang.8 Neoliberalisme itu sendiri biasanya sering dikaitkan dengan lembaga internasional atau institusi global seperti IMF dan World Bank. John Williamson menyandingkan keduanya dengan Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai institusi yang berpengaruh dalam sistem ekonomi global, dan menamakannya dengan istilah washington consensus. Washington Consensus pada mulanya adalah rekomendasi-rekomendasi yang dibentuk dalam upaya menanggulangi krisis yang melanda negara-negara Amerika Latin. Namun seiring dengan perkembangannya, Neoliberalisme cenderung bermanuver secara agresif dan bersifat memaksa, sehingga rekomendasi-rekomendasi tersebut dianggap tidak hanya sekedar rekomendasi belaka. Melainkan memuat kepentingan negara-negara yang mengontrol lembaga ekonomi politik internasional tersebut. Washington Consensus setidaknya menyangkut 10 hal yang mengatur tentang perdagangan bebas, liberalisasi pasar modal, nilai tukar mengambang, angka bunga ditentukan pasar, deregulasi pasar, transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta, fokus ketat dalam 7 8 I. Wibowo dalam I. Wibowo & Francis Wahono (ed.). Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Cerdas, Yogyakarta, 2003, pp. 3-4 H.J.Chang & Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib. Insist Press, Yogyakarta, 2008, p. 6 pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial, anggaran berimbang, reformasi pajak, perlindungan atas hak milik dan hak cipta.9 Senada dengan Williamson, Gills lebih menekankan pada kecendrungan homogenisasi kebijakan dan bentuk negara untuk memaksa negara-negara tersebut secara instrumental untuk melindungi modal dan proses atas akumulasi kapital melalui ideologi pasar atas peran institusi internasional.10 Neoliberalisme bertekad untuk mengembalikan perekonomian kepada mekanisme pasar. Negara disarankan untuk sebisa mungkin membatasi diri terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi. Bahkan sikap bermusuhan terhadap pemerintah yang merupakan ciri pertama dan utama dari pandangan-pandangan neoliberal muncul dari beberapa sumber. Seperti misalnya Edmund Burke, seorang pelopor konservatisme di inggris, yang berpendapat jika negara tidak berperan terlalu jauh ia akan menjadi kebebasan dan kemandirian.11 Pandangan Burke sangat erat hubungannya dengan paham ekonomi klasik.12 Kebebasan dan kemandirian menurut Burke dapat disejajarkan dengan nilai individualistis ekonomi klasik yang berdasarkan pada persaingan bebas dalam kegiatan ekonomi. Terlebih lagi, Tatcherisme juga dikatakan tidak mempedulikan atau secara aktif mendukung ketidaksetaraan. Menurutnya, gagasan bahwa ketidaksamaan sosial secara inheren salah atau merugikan adalah naif dan tak masuk akal. Namun ada perbedaan yang mencolok antara ekonomi liberal klasik Smith dengan neoliberalisme seperti yang disampaikan oleh David Balaam dan Michael Veseth dalam salah satu bukunya: “a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market 9 Lihat J. Williamson, ‘A Short History of Washington Consensus,’ Institute of International Education (daring), 24 September 2004, <www.iie.com/publications/papers/williamson0904-2.pdf> Gills. ‘Introduction: Globalization and Politics of Resistance’ dalam I. f. Justice, Jurnal Free Trade Watch, vol.1, p. 34. Anthony Giddens, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, p. 14. 12 Ekonomi klasik merupakan paham ekonomi pasar bebas yang dibawa oleh Adam Smith. Pada tahun 1776, Smith memperkenalkan istiah The Invisible Hand (tangan tak terlihat) dalam bukunya yang paling terkenal: The Wealth of Nations. Kapitalisme klasik percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan efektif jika sistem tersebut diserahkan pada mekanisme pasar yang berprinsip pada paham laissez-faire. Bagi kapitalisme klasik peran negara harus dibatasi dan kebebasan individu dalam melakukan kegiatan ekonomi harus selalu dikedepankan. Lihat Winardi, Kapitalisme versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, Penerbit Remadja Karya CV, Bandung, 1986, p. 35. 10 11 deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective.”13 Balaam dan Veseth berpendapat bahwa, alih-alih sebagai perspektif ekonomi politik, neoliberalisme lebih merupakan sebuah agenda kebijakan ekonomi. Sebagian kalangan bahkan menilai neoliberalisme sebagai agenda paksaan, misalnya terkait dengan kehadiran lembaga internasional seperti IMFdan Bank Dunia. Gelombang privatisasi di negara-negara berkembang, misalnya, dicurigai sebagai hasil dari desakan internasional. Privatisasi di negara-negara berkembang dilakukan untuk memenuhi syarat utama restrukturasi ekonomi yang dimandatkan oleh kedua lembaga itu.14 Dalam suatu pengantar pada sebuah buku berjudul 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia, Anuradha Mittal seorang Direktur Food First/Institute for Food and Development Policy mengatakan bahwa WTO, IMF, dan Bank Dunia berperan besar dalam menyebarkan gagasan neoliberalisme.15 Menurutnya ketika, IMF mengembangkan berbagai aliran kapital global yang lebih bebas, Bank Dunia melakukan pengawasan transformasi negara-negara sedang berkembang agar mereka tetap berada di sepanjang rel pasar bebas dan mengelola integrasi mereka ke dalam dunia. Itu lah agenda kebijakan ekonomi yang dimaksud. Sebagai sebuah gagasan, semangat neoliberalisme dapat dilacak dari akar pemikiran ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Gagasan ekonom yang sering disebut juga sebagai konservatisme tersebut kemudian dikembangkan oleh Milton Friedman dan Friedrich Hayek pada tahun 1960-an. Yang pada akhirnya sangat mempengaruhi kebijakankebijakan Margareth Tatcher dan Ronald Reagen di masa jabatannya masing-masing sebagai kepala negara Inggris dan Amerika Serikat. 13 D. Balaam & Michael Veseth, Introduction to International Political Economy 3rd edition, New Jersey, Pearson Education Inc. S. Hadi et. al. Potret Privatisasi Globa dalam Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Marjin Kiri, Serpong, 2007. 15 A. Mittal. ‘Bangkitnya Gerakan Perlawanan Menentang Perang Ekonomi,’ dalam 10 Alasan Bubarkan IMF & Bank Dunia, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, Januari 2005. 14 Globalisme: Memahami Globalisasi sebagai Sebuah Agenda Manfred B. Steger dalam bukunya yang berjudul Globalisme, berpendapat bahwa “analisis globalisasi tidak akan pernah memadai jika ia hanya dipahami sebagai hasil dari proses-proses material objektif yang berada di luar sana.”16 Dengan kata lain, globalisasi juga harus dipahami sebagai proyek ideologis. Menurutnya, perdebatan tentang globalisasi selama ini terjadi cenderung berfokus terhadap dimensi analitis. Misalnya tentang bagaimana globalisasi telah memberikan dampak, baik positif maupun negatif, terhadap kelompok/kelas tertentu. Serentetan aksi masa, seperti yang disampaikan di atas, menunjukkan bahwa globalisasi bukan proses yang given. Ia bisa dikendalikan dan disetir seusai dengan kemauan kelompok yang memiliki kuasa. Bukankah pemimpin tangan besi Margareth Tatcher dalam mengeluarkan kebijakan neoliberalnya banyak dipengaruhi oleh masukan dari Friedrich von Hayek, peletak batu pertama fondasi neoliberalisme? Mengikuti logika yang ditawarkan oleh Steger, tulisan ini berniat untuk meneruskan tradisi penelitian terkait fenomena globalisasi dalam dimensi ideologis. Dalam pandangan Steger narasi tentang globalisasi saat ini cenderung dikuasai oleh kaum globalis dengan cara memilintir realitas untuk mempertahankan struktur sosial tertentu. Meminjam istilah Antonio Gramsci, neoliberalisme telah berhasil menjadi common sence atau cara berpikir yang diyakini umum. Sebelum lebih jauh membahas tentang gagasan open society dan kritik Soros terhadap kapitalisme global. Penulis ingin memaparkan signifikansi pemikiran Soros sehingga layak untuk dijadikan sebagai objek penelitian yang berdiri sendiri. Peran dan Kuasa Soros Soros memang lebih dikenal dengan profesinya sebagai pialang saham, atau sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Soros bahkan saat ini menduduki posisi 27 miliarder terkaya di 16 M. B. Steger. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2006 dunia dengan total kekayaan mencapai 23 triliun dolar Amerika.17 Namun minat intelektual Soros tidak dapat disepelekan. Ia benar-benar serius dalam menyebarkan gagasan open society. Semangatnya dapat dilihat dari pengakuannya dalam suatu wawancara: “Minat saya sesungguhnya murni analitis. Ini lah teori yang saya pedulikan. Kesuksesan saya di pasar sekadar memberi saya landasan agar orang menganggap saya dengan serius. Saya tidak berminat mendapatkan klien baru.”18 Keseriusannya terlihat ketika ia mendirikan Open Society Foundation pada tahun 1984. Niat awal dari pendirian yayasan ini adalah “untuk membantu negara-negara bertransisi dari sistem komunisme.”19 Sampai saat ini, melalui yayasannya itu ia telah menggelontorkan dana sebesar 10 triliun dolar Amerika.20 Dalam ranah akademis, Soros juga aktif menulis buku. Sejak tahun 1990, ia mulai aktif menulis buku-buku dengan tema politik. Buku pertamanya tentang politik sudah mulai bercerita tentang konsep masyrakat terbuka. Pada tahun tersebut, seiring dengan jatuhnya rezim Uni Soviet, Soros menulis buku yang berjudul Opening the Soviet System. Dalam buku ini Soros membandingkan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup, menunjukkan keunggulan masyarakat terbuka, dan tawarannya tentang bagaimana Kekaisaran Soviet yang telah terpisah dapat menyesuaikan diri dengan sistem yang bebas. Jika suatu masyarakat bukan merupakan masyarakat terbuka maka tidak ada alternatif lain selain masyarakat tertutup.21 Masyarakat tertutup merupakan tempat setiap orang dipaksa mempercayai hal yang sama. Sedangkan masyarakat terbuka, anggotanya bebas dari perang kesukuan dan nasionalisme yang ditemukan begitu mengganggu. Dalam masyaraka terbuka inilah, keyakinan yang saling bertikai harus ditampung, tidak peduli pengaruhnya yang menekan pada masyarakat. Buku Soros selanjutnya masih berkaitan dengan negara bekas Uni Soviet. Berjudul Underwriting Democracy, buku ini bercerita tentang pengalamannya dalam membantu Forbes, The World’s Billionaires (daring), <http://www.forbes.com/profile/george-soros/> diakses 10 Nov 20122 R. Slater, Soros Investor Terbesar Dunia, Kehidupan, Masa Hidup & Rahasia Dagang Dunia, diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto, Profesional Books, 1997, p. 50. 19 Open Society Foundation, About (daring), <http://www.opensocietyfoundations.org/about> diakses 10 Nov 2022 20 Open Society Foundation, About (daring), <http://www.opensocietyfoundations.org/about> diakses 10 Nov 2022 21 B. Irawanto, Meniti Buih Perubahan: Menuju Etika Masyarakat Terbuka, Majalah Unisia: Jurnal ilmu-ilmu sosial, Maret 1997, p. 77 17 18 membangun demokrasi di Eropa Timur. Terkait dengan demokrasi, tahun 1993 atau dua tahun setelah diterbitkannya Underwriting Democracy. Soros mendirikan Open Society Institute (OSI) yang didedikasikan untuk mendorong semangat dan toleransi demokrasi dengan pemerintahan yang akuntabil bagi warganya. OSI menjadi payung organisasi untuk jaringan internasional yayasan masyarakat terbuka, yang dikenal dengan Open SocietyFoundations (OSF). Pembentukan OSI oleh Soros sejatinya telah memberikan gambaran jelas tentang obsesinya dalam mewujudkan nilai-nilai masyarakat terbuka dalam kehidupan masyarakat dunia. Sampai saat ini, yayasan Soros telah bergerak setidaknya di 70 negara yang tersebar di seluruh benua. Hal ini telah menjadi bukti keseriusan Soros dalam menyebarkan gagasan masyarakat terbuka. Pada tahun 1995 Soros kembali menulis buku. Kali ini berjudul Soros on Soros: Staying Ahead on Curve yang isinya mencakup hampir keseluruhan aspek ide dan pengalamannya, seperti keuangan, investasi, politik dan filantropi. Namun bukunya yang paling fenomenal terbit pada tahun 1998. Buku tersebut berjudul The Crisis of Global Capitalism: Open Society Endangered. Buku ini dikatakan fenomenal karena berisikan kritik terhadap sistem kapitalisme, sistem ekonomi yang melambungkan namanya itu. Buku ini paling tidak beredar di pasar selama 2 tahun, karena pada tahun 2000 Soros menerbitkan edisi revisinya yang berjudul Open Society:Reforming Global Capitalism. Open Society: Reforming Global Capitalism berisikan kritik-kritiknya terhadap sistem kapitalisme global seperti yang tertulis pada buku sebelumnya, dan ditambahkan dengan pandangannya yang lebih kompleks tentang kedaulatan negara dan bagaimana kehadiran negara saat ini justru turut memperburuk krisis yang telah disebabkan oleh kapitalisme global. Buku ini juga menyajikan secara utuh pandangan filosofis Soros yang mampu menjelaskan bagaimana akhirnya ia beranggapan bahwa sistem kapitalisme global dan eksistensi negara saat ini tengah berada dalam kondisi krisis. Dalam buku Open Society: Reforming Global Capitalism dapat dijumpai pula beberapa konsep yang juga dikembangkan Soros sebagai pendukung dari konsep utama yang diambilnya dari Karl Popper, open society. Misalnya tentang konsep refleksivits, falibilitas dan fundamentalisme pasar. Dalam buku ini juga tersaji pandangan Soros tentang arsitektur keuangan global dan politik global, tentu saja didasarkan pada gagasan masyarakat terbuka. Untuk memahami konsep masyarakat terbuka secara lebih mendalam. Setelah Open Society: Reforming Global Capitalism, berbagai buku diterbitkan oleh Public Affairs atas nama George Soros secara rutin, paling tidak dua tahun sekali. Hal ini juga menunjukkan betapa Soros konsisten dalam menekuni profesinya sebagai pemikir. Pada tahun 2002 Soros menulis buku George Soros on Globalization. Dalam buku ini Soros memberikan penjelasan bagaimana menjadikan globalisasi lebih stabil dan adil. Dua tahun berikutnya Soros menulis buku yang berisi kritiknya terhadap politik luar negeri Amerika Serikat, khususnya tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh George Bush. Buku yang berjudul The Bubble of American Supremacy menilai rezim Bush sebagai neokonservatisme. Pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2010, berturut-turut Soros menulis buku berjudul The Age of Falibility: Consequences of the War on Terror, The New Paradigm for Financial Markets: the Credit Crisis of 2008 and What Means, The Crash of 2008 and What it Means, dan The Soros Lectures at the Central European University. Sebagai upayanya dalam menapakkan kekuasaannya di bidang akademis, Soros aktif menyuntikkan dana di kampus-kampus ternama seperti Columbia University, Indiana University, Oxford University, dan Harvard University. Dana yang dimiliki Soros juga berperan besar atas pendirian Central European University di Budapest. Di kampus tersebut, Soros pernah memberikan kuliah terkait dengan gagasannya tentang open society.22 Statusnya sebagai salah satu pemilik modal terbesar di dunia juga memberikannya advantage dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Meski dalam bidang akademis namanya belum sekaliber pemikir-pemikir lain, dana tersebut tentu sangat membantu Soros agar pemikirannya dapat didengar secara lebih luas. Soros tentu tentu saja tidak sebanding dengan ilmuwan-ilmuwan yang -walaupun mempunyai argumentasi intelektual luar biasa- “sekedar” menyampaikan gagasannya di jurnal-jurnal atau koran-koran lokal. Kerangka Pemikiran Soros Untuk mengetathui sepak terjang Soros dalam dunia politik dan akademis, lihat laporan D. Gainor dan Iris Somberg, ‘Special Report - George Soros: the Godfather of the Left,’ Media Research Center (daring), 6 April 2012, < http://www.mrc.org/specialreports/special-report-george-soros-godfather-left>, diakses 10 Nov 2022. 22 Soros lahir di Budapest, Hungaria pada tanggal 13 Agustus 1930. Sebagai keturuan yahudi, Soros dan keluarganya mengalami masa-masa sulit selama berlangsungnya perang dunia II. Terutama, ketika Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler mengokupasi kampung halamannya pada Maret 1944. Pada masa itu, harta keluarga yahudi dirampas dan mereka diasingkan di tempat penampungan yang dikenal dengan istilah ghetto. Pengalaman selama masa perang pada akhirnya sangat mempengaruhi cara Soros memandang dunia. Selama berada dibawah penguasaan Jerman, Soros berhasil menyelamatkan diri dengan cara memalsukan identitasnya sebagai bangsa yahudi menjadi keturunan orang asli Hungaria. Setelah perang dunia berakhir, ia hijrah ke London dan kuliah di London School Economics. Pada saat itu, LSE merupakan tempat berkumpulnya pemikir-pemikir terkemuka, termasuk pemikir neoliberal seperti Friedrich von Hayek dan Karl Raimund Popper. Nama terakhir adalah sosok yang paling berpengaruh terhadap pemikiran Soros. Gagasan tentang masyarakat terbuka yang dikembangkan oleh Soros tidak dapat dipisahkan dengan konsep open society yang dicetuskan oleh Popper. Namun gagasan Soros tentang open society baru muncul setelah kesuksesannya sebagai pialang saham. Prestasinya yang paling fenomenal adalah ketika dinobatkan sebagai the man who broke the Bank of England. Semenjak itu, Soros semakin aktif menjalani kegiatan filantropis. Ia mendanai program-program sosial dan mendukung kegiatan-kegiatan intelektual di universitas-universitas di berbagai negara. Seperti yang sudah dikatakan di atas, gagasan open society Soros sangat dipengaruhi oleh guru filsafatnya, Karl Popper. Gagasan yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Prancis Henri Bergson dalam bukunya yang berjudul The Two Morality and Religion itu dikembangkan oleh Karl Popper dengan membandingkannya dengan Komunisme dan Naziisme yang merupakan kebalikan dari masyarakat terbuka.23 Dalam pandangan Popper, masyarakat terbuka merupakan insitusi yang dapat menjamin kebebasan manusia untuk memilih dan berbicara, sekaligus terhindar dari ideologi-ideologi yang 23 George Soros. Open Society: Reforming Global Capitalism, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. p. xviii. menindas, karena mengklaim sebagai pemilik kebenaran tertinggi-terakhir (ultimate truth).24 Jika Popper menganggap Komunisme dan Naziisme sebagai ancaman terhadap masyarakat terbuka, Soros justru beranggapan bahwa saat ini kapitalisme global lah yang menjadi musuh utama. Menurut Soros kapitalisme global yang saat ini dipengaruhi oleh fundamentalisme pasar tampil sebagai ideologi yang mengklaim dirinya sebagai pemegang ultimate truth. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa kepentingan umum paling terpenuhi bila orangorang dibiarkan mengejar kepentingannya sendiri.25 Kapitalisme global oleh sebab itu tidak bisa diandalkan karena hanya menekankan pada motif profit. Fundamentalisme pasar yang memuat nilai-nilai individualisme dan persaingan sempurna tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat dunia secara utuh, terutama kebutuhankebutuhan sosial mereka. Prinsip-prinsip universal seperti kebebasan, hak asasi manusia, dan supremasi hukum cederung terabaikan. Di saat yang bersamaan, negara yang seharusnya menjamin prinsip-prinsip tersebut semakin tidak efektif karena dibayang-bayangi oleh persaingan internasional dalam memperebutkan modal. Sehingga aspek-aspek sosial dan politik tertindas oleh kepentingan ekonomi. Disinilah open society dalam pandangan Soros dapat memainkan perannya. Soros menggunakan istilah kapitalisme global untuk merujuk pada keadaan masyarakat ekonomi global kontemperor yang bercirikan perdagangan bebas dalam barang, jasa, dan, terutama, modal. Lebih-lebih, pergerakan modal uang yang menurutnya lebih mobile lagi daripada bentuk-bentuk modal yang lain.26 Namun Soros sama sekali tidak menampik adanya fenomena kapitalisme (ekonomi) yang telah mengglobal itu atau berkehendak untuk menggantinya dengan sistem lain. Melainkan, yang menjadi perhatiannya adalah nilai yang dianut oleh kapitalisme itu sendiri. Menurutnya, kapitalisme global saat ini telah mampu memberikan kekayaan. Namun manusia tidak bisa bergantung kepadanya dalam hal pemenuhan atas kebebasan, demokrasi, dan kekuasaan hukum.27 Bagi Soros, ada pemahaman yang salah tentang kapitalisme saat ini. adanya keyakinan bahwa pasar akan menjaga semua kebutuhan manusia patut dipertanyakan jika melihat kondisi ketimpangan kesejahteraan yang 24 K. Popper, seperti dikutip dalam Soros, p. xix. Soros, p. xxxiii 26 Soros, p. xxi 27 Soros, p. xxxiii 25 nyata.Biasanya keyakinan yang seperti itu disebut laissez-faire dalam abad ke-19, tetapi Soros memberikan penamanan yang menurutnya lebih cocok, yaitu: fundamentalisme pasar. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa kepentingan umum paling terpenuhi bila orangorang dibiarkan mengejar kepentingannya sendiri. Masyarakat terbuka Soros sangat berkaitan dengan konsep lain yang juga dikembangkannya: falibility (falibitas). Falibilitas atau kemungkinan-salah mernurut Soros merupakan salah satu nilai yang harus dimiliki manusia untuk menciptakan masyarakat yang terbuka. Ketika manusia memiliki pemahaman akan falibilitas, disitulah manusia akan dapat menerima ketidaksempurnaan sehingga terbuka terhadap setiap upaya perbaikan. Menurut Soros –bukan untuk bersikap pesisimis- manusia harus puas dengan terbaik kedua. Menganggap diri sendiri sebagai pemegang kebenaran merupakan dan memaksakan kebenaran itu kepada orang lain merupakan penyimpangan terhadap nilai masyarakat terbuka.Soros melihat penyimpangan seperti itu ada pada sistem kapitalisme kontemporer. George Soros mengatakan bahwa tidak ada satu pun desain cetak biru dalam membentuk tatatan masyarakat terbuka sebab negara-negara mempunyai tradisi yang beraneka ragam serta tingkat kemajuan yang berbeda-beda.Ciri masyarakat terbuka adalah adanya kebebasa warganegaranya untuk menentukan bagaimana masyarakatnya harus dikelola. Namun, untuk menjamin kebebasa tersebut, ada beberapa prakondisi yang diperlukan, yaitu: “suatu konstitusi yang demokratis, tegaknya hukum, kebebasan berbicara dan kemerdekaan pers, suatu pengadilan yang mandiri, dan aspek-aspek penting lain dari kebebasan.”28 Soros menganjurkan agar “negara-negara demokratis di dunia membentuk sebuah aliansi dengan tujuan ganda untuk: pertama, mempromosikan dalam negara masing-masing tumbuhmekarnya masyarakat terbuka dan kedua, memperkokoh hukum internasional serta lembagalembaga yang dibutuhkan oleh masyarakat terbuka global.”29 Bias Open Society 28 29 Soros, p 375 Soros, p. xxxi Meski memiliki pengaruh yang signifikan, pemikiran Soros mengandung kontradiksi yang tidak sesuai dengan semangatnya dalam membentuk masyarakat terbuka. Kontradiksi tersebut dapat dilihat dari tiga hali: pertama adalah bagaimana Soros secara tegas sedari awal telah menolak kemungkinan tentang adanya struktur ekonomi selain ekonomi kapitalisme. Hal tersebut tentu akan bertentangan dengan nilai masyarakat terbuka yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada warga negara untuk memutuskan bagaimana sistem sosial masyarkatnya diatur. Soros memang melihat dan bahkan melihat secara langsung bagaimana sistem komunisme pernah dijalankan di beberapa negara, seperti Uni Soviet, China, dan negara asalnya, Hungaria. Namun, pemahaman Soros tentang komunisme sepertinya terdistorsi oleh pengalaman di negara-negara tersebut yang sering dikaitkan dengan totaliranisme dan kediktatoran. Padahal, sistem komunisme tidak selalu berujung pada masyarakat tertutup. Kedua, kritik George Soros terhadap kapitalisme global tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni pertentangan kelas. Dapat dikatakan tidak ada yang baru terhadap kritik Soros terhadap kapitalisme global, selain pandangannya tentang rapuhnya pasar finansial yang sudah menjadi “makanannya” sehari-hari. Beberapa pemikir seperti Immanuel Wallerstein dan Andre Gunder Frank, atau mereka yang dikenal sebagai penganut paham dependensia dalam proses pembangunan negara, juga membahas permasalahan mengenai ketimpangan yang terjadi antara negara maju dan negara miskin atau berkembang. Pemikiran Soros hanya menjadi lebih unik karena diletakkan pada konteks sistem ekonomi global kontemporer yang dipahaminya telah begitu berkembang dengan pesat seiring dengan hadirnya teknologi terkini, sehingga sulit untuk dihindari. Oleh sebab itu, kritik Soros bisa dikatakan belum cukup memadai untuk memberikan legitimasi bahwa tatanan kapitalisme global layak untuk dipertahankan. Alih-alih mereformasi kapitalisme global, Soros justru terlihat seperti sedang memberikan pembenaran terhadap sistem kapitalisme yang memiliki tendensi untuk menghisap negara-negara pinggiran (phery-phery). Reformasi yang ditawarkan Soros mengisyaratkan usaha-usahanya untuk dapat menyelamatkan kapitalisme global dari kehancuran. Dan jika menghubungkan dengan profesinya sebagai pialang saham, sebagai kelas borjuis yang berada di rantai paling atas struktur kapitalisme global, tentunya kecurigaan tersebut sangat berasalan. Sebuah kritik yang sangat menarik dilontarkan oleh David C. Korten: “At any given point in our lifetime we each make our choice as to whether we will devote our life to the practice of public citizenship or the pursuit of private greed. George Soros now faces such a choice. If he proceeds with his plan to use his money and influence to realign civil society behind the institutions of greed and his personal financial interests he has made one choice. He could yet, however, make a choice for citizenship by heeding his own critique-which is consistent with that of civil society-and mobilize his foundations in support of civil society's self-defined mission to align the institutions and values of the economy with the interests of life.” Sejalan dengan kritik Korten, bias yang ditemui dalam individu Soros tidak jauh berbeda dengan bias yang terkandung dalam gagasannya tentang masyarakat terbuka. Barangkali krisis identitas tengah melanda Soros sehingga ia sendiripun bingung menentukan pilihan: apakah memihak kepada kepentingan publik secara luas atau kepada kepentingan korporat yang rakus. Kesimpulan Meskipun bernada kritik, gagasan open society Soros sejatinya bertujuan untuk menguatkan tatanan struktur kapitalisme global yang berada dalam cengkraman kaum neoliberal. Indikasi tersebut terlihat dari cara Soros memandang globalisasi sebagai fenomena yang tidak terelakkan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat global. Namun berbeda dengan pendapat pendukung globalisasi lainnya, Soros mengakui bahwa kapitalisme menimbulkan berbagai persoalan pada sistem ekonomi dan sosial masyarakat dunia. Terutama terkait dengan masalah kesenjangan. Jika pada umumnya kaum neoliberalis menyangkal bahwa globalisasi ekonomi memproduksi kesenjangan, bahkan menafikan keberadaan kesenjangan itu sendiri, Soros justru sebaliknya. Ia memandang bahwa kapitalisme global harus dibebaskan dari kaum fundamentalisme pasar yang selama ini telah mengabaikan kepentingan umum atas nama kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, globalisasi ala Soros dapat dikatakan sebagai globalisme sosial. Suatu usaha untuk membentuk globalisasi neoliberal dengan wajah manusiawi. Di suatu sisi, ia menerima globalisasi sebagai fenomena yang tak terhindarkan sekaligus menolak kemungkinan ideologi-ideologi lain, semisal komunisme. Namun di sisi lain, ia berjuang atas kepentingan umum dan menolak individualisme. Referensi Buku: Balaam D. & Michael Veseth, Introduction to International Political Economy 3rd edition, New Jersey, Pearson Education Inc. Chang H.J. & Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib. Insist Press, Yogyakarta, 2008 Giddens A., Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. Hadi S., et. al. Potret Privatisasi Global dalam Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Marjin Kiri, Serpong, 2007. Harman, C., Anti Kapitalisme, Teplok Press, Jakarta, 2003. M. B. Steger. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2006. Slater, R., Soros Investor Terbesar Dunia, Kehidupan, Masa Hidup & Rahasia Dagang Dunia, diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto, Profesional Books, 1997. Soros, G, Open Society: Reforming Global Capitalism, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. Wibowo I., dalam I. Wibowo & Francis Wahono (ed.). Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Cerdas, Yogyakarta, 2003. Winardi, Kapitalisme versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, Penerbit Remadja Karya CV, Bandung, 1986. Artikel Jurnal Gills. ‘Introduction: Globalization and Politics of Resistance’ dalam I. f. Justice, Jurnal Free Trade Watch, vol.1. Irawanto B.,, Meniti Buih Perubahan: Menuju Etika Masyarakat Terbuka, Majalah Unisia: Jurnal ilmu-ilmu sosial, Maret 1997, p. 77 Naim, M., ‘Globalization,’ Foreign Policy, No. 171, Maret/April 2009, pp. 28-30, 32, 34. Artikel Buku Fukuyama, F., ‘Akhir Sejarah?’, dalam Huntington, Amerika dan Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, pp. 1 – 34. Huntington S.P., ‘Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-Kesalahan endisme,’ dalam buku Huntington, Amerika dan Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005. Mittal A.,. ‘Bangkitnya Gerakan Perlawanan Menentang Perang Ekonomi,’ dalam 10 Alasan Bubarkan IMF & Bank Dunia, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, Januari 2005. Artikel Daring Forbes, The World’s Billionaires (daring), <http://www.forbes.com/profile/george-soros/> diakses 10 Nov 2022. Gainor D., & Iris Somberg, ‘Special Report - George Soros: the Godfather of the Left,’ Media Research Center (daring), 6 April 2012, < http://www.mrc.org/special-reports/special-reportgeorge-soros-godfather-left>, diakses 10 Nov 2022. Kompas.com Protes yang Mengglobal (daring), 21 Oktober 2011, <www.kompas .com Protes yang Mengglobal http://internasional.kompas.com/read/2011/10/21/02165296/Protes.yang.Mengglobal>, diakses 10 Nov 2022 Open Society Foundation, About (daring), <http://www.opensocietyfoundations.org/about> diakses 10 Nov 2022. Williamson, J., ‘A Short History of Washington Consensus,’ Institute of International Education (daring), 10 Nov 2022, <www.iie.com/publications/papers/williamson0904-2.pdf>