Quasi Experimental Design Desain kuasi-eksperimental adalah desain studi yang bertujuan untuk mengevaluasi intervensi tanpa melakukan randomisasi (Harris et al., 2006). Seperti desain eksperimental lainnya, desain kuasi-eksperimental merupakan uji hipotesis kausal. Dalam desain ini, suatu pengobatan, program, atau kebijakan dipandang sebagai intervensi, di mana intervensi tersebut diuji keberhasilannya dalam mencapai tujuan, yang diukur dengan serangkaian indikator yang telah ditentukan sebelumnya (White and Sabarwal, 2014). Studi kuasi-eksperimental dapat menggunakan pengukuran pra-intervensi dan pasca-intervensi serta kelompok perbandingan yang dipilih secara tidak acak (Harris et al., 2006). Dalam desain kuasi-eksperimental, peneliti tidak dapat mengelompokkan peserta secara acak karena pengelompokkan telah terjadi sebelum penelitian dimulai atau kelompok tersebut ditetapkan oleh orang lain selain peneliti untuk tujuan selain penelitian (Salkind, 2010). Namun, peneliti masih dapat memanipulasi nilai variabel independen. Penggunaan Desain Kuasi-Eksperimental Meskipun desain eksperimental true memiliki tingkat kredibilitas tertinggi sehubungan dengan penilaian kausalitas, terdapat beberapa alasan bagi peneliti untuk tidak melakukan pengacakan, di antaranya pertimbangan etis dan jumlah sampel yang sedikit (Harris et al., 2006). Desain kuasi-eksperimental dapat dilakukan ketika intervensi subjek secara acak tidak memungkinkan secara etis. Pertimbangan etis biasanya tidak mengizinkan penahanan acak atas intervensi dengan keberhasilan yang telah diketahui untuk keperluan penelitian (Harris et al., 2006). Jika kemanjuran suatu intervensi belum ditetapkan, randomized controlled trial dapat dilakukan untuk menentukan kemanjuran. Namun, jika intervensi yang diteliti telah diterima secara luas atau jika intervensi memiliki kemanjuran atau keamanan yang dipertanyakan berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, hal tersebut dapat menimbulkan masalah etika dari randomisasi. Selain itu, seringkali terdapat tekanan untuk menerapkan intervensi dengan cepat karena keberhasilannya yang telah diyakini, sehingga peneliti tidak memiliki banyak waktu untuk merencanakan penelitian secara acak (Harris et al., 2006). Dalam situasi di mana hanya terdapat sejumlah kecil sampel yang tersedia untuk menguji keberhasilan suatu intervensi, desain studi yang melibatkan randomisasi juga mungkin tidak dapat dilakukan (Harris et al., 2006). Randomisasi bermanfaat karena cenderung mendistribusikan secara merata variabel perancu yang diketahui dan tidak diketahui antara kelompok intervensi dan kelompok pembanding. Namun, jika ukuran sampel kecil, randomisasi mungkin tidak dapat mencapai keseimbangan antara kedua kelompok tersebut (Harris et al., 2006). Dengan demikian, desain alternatif dan metode analisis sering digunakan sebagai pengganti pengacakan ketika hanya tersedia ukuran sampel yang kecil. Contoh desain studi kuasi-eksperimental dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Walsh et al. (2011). Mulanya, Pendidikan gizi di Harvard Medical School (HMS) diisi oleh kursus Preventive Medicine and Nutrition (PMN). Hasil ujian mahasiswa kedokteran tahun kedua yang mengambil PMN menunjukkan peningkatan kepercayaan dalam kemampuan menilai dan menasihati pasien tentang diet dan olahraga (Walsh et al., 2011). Namun, selanjutnya terjadi revisi kurikulum untuk angkatan 2010, dimana PMN digantikan oleh kursus Introduction to Clinical Nutrition (ICN). Kedua kursus memperkenalkan materi tematik serupa termasuk nutrisi makro dan mikronutrien, obesitas, penilaian dan konseling diet, di antara topik lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan kurikulum ini terhadap sikap dan pengetahuan siswa HMS tentang gizi. Dihipotesiskan bahwa, karena materi gizi yang disajikan di luar mata kuliah khusus sering tidak diidentifikasi demikian, mahasiswa dengan kursus ICN akan kurang puas dengan pendidikan gizi mereka daripada mahasiswa PMN. Karena studi sebelumnya menunjukkan bahwa kepuasan yang lebih rendah dengan pendidikan gizi terkait dengan skor pengetahuan yang lebih rendah dan penilaian kecakapan gizi yang lebih rendah, lebih lanjut ukuran hipotesis bahwa siswa ICN akan menilai lebih rendah daripada siswa PMN pada skala sikap terhadap gizi klinis dan pengetahuan gizi. Penelitian ini merupakan survei kuasi eksperimental dengan dua kelompok. Anggota dari kedua kelompok direkrut karena pendaftaran di kursus nutrisi yang dibutuhkan selama tahun kedua mereka di HMS. Kriteria inklusi untuk kelompok pertama adalah pendaftaran mata kuliah PMN tahun ajaran 2006 2007. Kriteria untuk kelompok kedua adalah pendaftaran di ICN tahun 2007-2008, tahun pertama di mana ini menggantikan PMN sebagai mata pelajaran gizi yang dibutuhkan. Tidak ada kriteria eksklusi. Penelitian ini juga menggunakan survey yang dibagi menjadi tiga bagian: sikap, pengetahuan, dan demografi dan seluruh survey berisi total 60 pertanyaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa transisi ke kurikulum terintegrasi tidak selalu memiliki efek merugikan pada sikap dan pengetahuan tentang gizi, meskipun siswa mungkin mencari materi tambahan untuk melengkapi apa yang mereka anggap sebagai paparan kelas yang tidak memadai (Walsh et al., 2011). Kelebihan dan Kekurangan Keuntungan terbesar dari studi kuasi-eksperimental adalah biaya pelaksanaannya yang lebih murah dan memerlukan lebih sedikit sumber daya dibandingkan dengan randomized controlled trial (RCT) atau cluster randomized trial (Schweizer, Braun and Milstone, 2016). Beberapa intervensi hanya dapat dilaksanakan pada tingkat administrasi yang lebih tinggi dari tingkat individu. Secara teoritis, randomisasi dapat terjadi di tingkat yang lebih tinggi dari individu, seperti tingkat kantor atau kabupaten. Namun, sejumlah besar unit harus ditetapkan secara acak. Sehingga hal ini menjadi tidak mungkin dilakukan, terutama jika penerapan intervensi di setiap unit membutuhkan biaya yang tinggi (Hamilton and Rossi, 2002). Sebagian besar biaya yang lebih tinggi datang dari komitmen yang lebih besar untuk tindak lanjut (follow up) jangka panjang dan pengukuran yang cermat atas berbagai hasil (Hamilton and Rossi, 2002). Studi kuasieksperimental juga sering dilakukan pada tingkat populasi bukan pada tingkat individu, sehingga dapat mencakup pasien yang seringkali tidak dimasukkan pada RCT, seperti individu yang terlalu sakit untuk memberikan persetujuan yang diinformasikan atau pasien operasi yang mendesak (Schweizer, Braun and Milstone, 2016). Banyak studi yang menyimpulkan bahwa sampel RCT memiliki profil risiko penyakit yang lebih rendah dibandingkan populasi pada keadaan sebenarnya, hal ini disebabkan karena pasien usia lanjut dan pasien dengan komorbiditas sering tidak diikutsertakan sebagai sampel studi (Kennedy-Martin et al., 2015). Mayoritas penelitian pun secara eksplisit menyimpulkan bahwa sampel RCT tidak mewakili pasien di dunia nyata secara luas dan hal ini dapat membatasi validitas eksternal RCT (Kennedy-Martin et al., 2015). Oleh karena itu, desain kuasi-eksperimental dapat dikatakan bersifat pragmatis karena mengevaluasi keefektifan dari intervensi yang dilaksanakan dalam kondisi yang sebenarnya atau tidak dalam kondisi penelitian. Studi kuasi-eksperimental juga lebih dapat digeneralisasikan dan memiliki validitas eksternal yang lebih baik dibandingkan dengan RCT (Schweizer, Braun and Milstone, 2016). Namun, di samping memiliki kelebihan, desain kuasi-eksperimental juga memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan terbesar dari studi eksperimental quasi adalah terbatasnya kemampuan studi untuk menyimpulkan hubungan sebab akibat antara intervensi dan hasil karena tidak dilakukan randomisasi (Schweizer, Braun and Milstone, 2016). Untuk menyimpulkan hubungan antara sebab dan akibat, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain: 1. Penyebab harus mendahului akibat; 2. Sebab harus berhubungan dengan akibat; dan 3. Selain penyebabnya, tidak ada sebab alternatif yang masuk akal untuk akibat (Salkind, 2010). Eksperimen acak dan kuasi-eksperimental tidak berbeda dalam hal dua persyaratan pertama (Salkind, 2010). Namun, dalam hal persyaratan ketiga, eksperimen acak memiliki keunggulan dibandingkan desain kuasi-eksperimental. Karena unit studi dikelompokkan secara acak, kemungkinan adanya penjelasan alternatif, seperti variabel perancu, adalah sama dalam seluruh kelompok dan dapat dikesampingkan. Hal ini dikarenakan randomisasi cenderung mendistribusikan secara merata variabel perancu yang diketahui dan tidak diketahui antara kelompok intervensi dan kontrol (Harris et al., 2006). Suatu variabel disebut sebagai variabel perancu jika berkaitan dengan intervensi dan hasil; variabel perancu mengarah pada situasi di mana hubungan sebab akibat antara paparan yang diberikan dan hasil dipengaruhi oleh variabel perancu (Harris et al., 2006). Namun, karena desain kuasi-eksperimental tidak mengelompokkan peserta secara acak, penjelasan alternatif seperti variabel perancu sulit untuk dikesampingkan. Kekurangan lainnya dari desain kuasi-eksperimental adalah kemungkinan terjadinya bias yang dapat menyebabkan hilangnya validitas internal, terutama bias seleksi dimana kelompok intervensi berbeda dari kelompok dasar (Schweizer, Braun and Milstone, 2016). Kurangnya kontrol penuh dan intervensi subjek yang bersifat nonrandom pada desain kuasi-eksperimental mengurangi validitas internal desain kuasi-eksperimental. Pencocokan atau matching dapat dilakukan untuk mengontrol kurangnya pengacakan dalam desain ini (Salkind, 2010). Dalam pencocokan, peneliti memilih kelompok yang memiliki kemiripan dalam semua variabel penting yang dianggap dapat memengaruhi hasil penelitian. Pretest juga direkomendasikan sebagai kontrol. Skor yang sama pada hasil pretest yang diberikan kepada semua anggota kelompok menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki kemiripan karakteristik. Ukuran Asosiasi Ukuran asosiasi yang dapat digunakan dalam interpretasi studi kuasi-eksperimental antara lain standardized mean difference dan odds ratio. a. Standardized Mean Difference t c X̄ i − X̄ i di = si dimana: t X̄ i c = mean kelompok perlakuan dalam studi ke-i X̄ i = mean kelompok perbandingan dalam studi ke-i si = standar deviasi dari kedua kelompok yang dibandingkan Sebagai contoh, suatu penyuluhan gizi untuk ibu hamil menghasilkan mean skor posttest sebesar 103,97 untuk pengetahuan gizi, sementara mean posttest kelompok pembanding adalah sebesar 97,13. Jika standar deviasi diketahui sebesar 22,06, maka d = 0,31. Hal ini berarti bahwa kelompok perlakuan mengerjakan posttest 0,31 kali standar deviasi lebih baik dibandingkan dengan kelompok pembanding (Shadish, Cook and Campbell, 2002). b. Odds Ratio Terkadang, hasil studi diukur secara dikotomi. Sebagai contoh, setiap peserta penelitian dinilai memiliki pengetahuan gizi baik dan pengetahuan gizi kurang setelah memperoleh penyuluhan gizi. Hasil studi tersebut dapat disajikan sebagai tabel 2x2 dengan perlakuankontrol sebagai satu faktor dan dua tingkat hasil dikotomi sebagai faktor lainnya (Shadish, Cook and Campbell, 2002). Dalam hal ini, standardized mean difference dan koefisien korelasi dapat menghasilkan effect size yang bermasalah. Oleh karena itu, indeks effect size yang dianggap sesuai umumnya adalah odds ratio. oi = AD BC dimana A, B, C, dan D adalah frekuensi sel seperti yang terdapat dalam tabel di bawah ini. Penyebab Ada Tidak ada Hasil Tidak ada A C Ada B D Sebagai contoh, kelompok perlakuan menerima vaksin eksperimental penyakit tertentu, sementara kelompok pembanding tidak. Hasil yang diperoleh dapat berupa jumlah individu yang terkena penyakit dari kedua kelompok. Misal A = 265 peserta penelitian yang memperoleh vaksin dan tidak terkena penyakit, B = 32 peserta yang memperoleh vaksin dan terkena penyakit, C = 204 peserta yang tidak memperoleh vaksin dan tidak terkena penyakit, dan D = 75 peserta yang tidak memperoleh vaksin dan terkena penyakit. Peluang untuk tidak terkena penyakit apabila mendapat vaksinasi adalah A/B = 265/32 = 8,28; sehingga individu yang memperoleh vaksinasi delapan kali lebih kebal terhadap paparan penyakit (Shadish, Cook and Campbell, 2002). Pada kelompok pembanding, peluang yang sama adalah sebesar C/D = 204/75. Rasio dari kedua peluang adalah oi = 3,04, sehingga dapat disimpulkan bahwa peluang individu yang memperoleh vaksinasi untuk kebal terhadap penyakit sekitar tiga kali lebih besar dibandingkan peluang individu yang tidak memperoleh vaksinasi (Shadish, Cook and Campbell, 2002). Buat teks presentasi Studi Kesehatan Oregon adalah contoh yang bagus. Tidak etis memberikan asuransi kesehatan kepada beberapa orang secara acak, tetapi dengan sengaja mencegah orang lain menerimanya hanya untuk tujuan penelitian. Namun, karena pemerintah Oregon menghadapi kendala keuangan dan memutuskan untuk memberikan asuransi kesehatan melalui undian, mempelajari acara ini setelah fakta merupakan pendekatan yang jauh lebih etis untuk mempelajari masalah yang sama. Beberapa intervensi hanya dapat dilaksanakan pada tingkat administrasi yang lebih tinggi dari tingkat individu. Secara teoritis, randomisasi dapat terjadi di tingkat yang lebih tinggi dari individu, seperti tingkat kantor atau kabupaten. Namun, sejumlah besar unit harus ditetapkan secara acak. Sehingga hal ini menjadi tidak mungkin dilakukan, terutama jika penerapan intervensi di setiap unit membutuhkan biaya yang tinggi (Hamilton and Rossi, 2002). Sebagian besar biaya yang lebih tinggi datang dari komitmen yang lebih besar untuk tindak lanjut (follow up) jangka panjang dan pengukuran yang cermat atas berbagai hasil (Hamilton and Rossi, 2002) Desain kuasi-eksperimental juga memungkinkan peneliti untuk memanfaatkan data yang sebelumnya telah dibayar atau dikumpulkan oleh pihak lain, misalnya peneliti lain atau pemerintah. Penggunaan Studi Kuasi Eksperimental (Salkind, 2010) Desain eksperimental quasi dapat dilakukan ketika intervensi subjek secara acak tidak memungkinkan. Banyak penelitian lapangan di bidang pendidikan dan psikologi dilakukan dengan kelompok yang utuh. Dalam kasus tersebut, peneliti menetapkan intervensi secara acak pada subjek yang dipilih secara tidak acak. (Harris et al., 2006) Desain eksperimental quasi adalah desain studi yang bertujuan untuk mengevaluasi intervensi tanpa randomisasi atau pengacakan. Desain studi ini bertujuan untuk menunjukkan kausalitas antara intervensi dan hasil. Studi eksperimen quasi dapat menggunakan pengukuran praintervensi dan pasca-intervensi serta kelompok kontrol yang dipilih secara tidak acak. Meskipun desain eksperimental true memiliki tingkat kredibilitas tertinggi sehubungan dengan penilaian kausalitas, terdapat beberapa alasan bagi peneliti untuk tidak melakukan pengacakan, antara lain: Tidak adanya pengacakan adalah kelemahan utama dari desain eksperimental quasi. Hubungan yang dapat diidentifikasi dalam desain studi ini memenuhi satu persyaratan penting kausalitas karena intervensi mendahului pengukuran hasil. Selain itu, hasil dapat dibuktikan bervariasi secara statistik dengan intervensi. Sayangnya, hubungan statistik tidak menjelaskan kausalitas, terutama jika penelitian dirancang dengan buruk.Desain eksperimental quasi sering meninggalkan pertanyaan mengenai ada atau tidaknya penjelasan alternatif untuk hubungan kausal yang tampak. Jika terdapat penjelasan alternatif yang kredibel, maka bukti kausalitas dari desain studi ini menjadi kurang meyakinkan. Adapun penjelasan alternatif muncul dari prinsip desain studi epidemiologi. Validitas internal didefinisikan sebagai sejauh mana perubahan hasil yang diamati dapat disimpulkan benar-benar terjadi karena adanya paparan atau intervensi. Dalam situasi di mana hanya terdapat sejumlah kecil sampel yang tersedia untuk menguji keberhasilan suatu intervensi, desain studi yang melibatkan randomisasi mungkin tidak dapat dilakukan. Randomisasi bermanfaat karena cenderung mendistribusikan secara merata variabel perancu yang diketahui dan tidak diketahui antara kelompok intervensi dan kontrol. Namun, jika ukuran sampel kecil, randomisasi mungkin tidak dapat mencapai keseimbangan ini. Dengan demikian, desain alternatif dan metode analisis sering digunakan sebagai pengganti pengacakan ketika hanya tersedia ukuran sampel yang kecil. (White and Sabarwal, 2014) Desain penelitian kuasi eksperimental, seperti desain eksperimental lainnya, merupakan uji hipotesis kausal. Dalam desain eksperimental dan kuasi-eksperimental, program atau kebijakan dipandang sebagai intervensi, di mana suatu perlakuan–yang terdiri dari elemen-elemen program/kebijakan yang dievaluasi–diuji keberhasilannya dalam mencapai tujuan, yang diukur dengan serangkaian indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian intervensi dalam desain studi ini tidak dilakukan secara acak. Metode kuasi-eksperimental yang melibatkan pembentukan kelompok pembanding paling sering digunakan ketika tidak memungkinkan untuk mengacak individu atau kelompok ke dalam kelompok perlakuan dan kontrol. Pencocokan atau matching yang sempurna mengharuskan setiap individu dalam kelompok perlakuan untuk dipasangkan dengan individu dalam kelompok pembanding yang identik dalam semua karakteristik yang dapat diamati dan relevan, seperti usia, pendidikan, agama, pekerjaan, kekayaan, sikap terhadap risiko, dan sebagainya. Namun, hal ini dianggap tidak mungkin sehingga pencocokan biasanya hanya dapat memastikan kemiripan variabel-variabel tersebut. Tentang Studi Kuasi Eksperimental (Harris et al., 2006) Desain kuasi-eksperimental adalah desain studi yang bertujuan untuk mengevaluasi intervensi tanpa melakukan randomisasi. Seperti randomized trials, desain kuasi-eksperimental bertujuan untuk menunjukkan kausalitas antara intervensi dan hasil. Studi kuasi-eksperimental dapat menggunakan pengukuran pra-intervensi dan pasca-intervensi serta kelompok perbandingan yang dipilih secara tidak acak. (Salkind, 2010) Dalam desain eksperimental, peserta secara acak dikelompokkan secara acak dan peneliti memanipulasi nilai variabel independen sehingga hubungan sebab akibat dapat dibentuk atau ditolak. Sementara itu, dalam desain kuasi-eksperimental, peneliti tidak dapat mengelompokkan peserta secara acak karena kelompok sudah ditetapkan sebelum penelitian dimulai atau kelompok tersebut ditetapkan oleh orang lain selain peneliti untuk tujuan selain percobaan. Namun, peneliti masih dapat memanipulasi nilai variabel independen. (White and Sabarwal, 2014) Metode kuasi-eksperimental paling sering digunakan ketika tidak memungkinkan untuk mengacak individu atau kelompok ke dalam kelompok perlakuan dan kontrol. Metode kuasi eksperimental dapat digunakan secara retrospektif, yaitu setelah intervensi dilakukan. Namun, perencanaan evaluasi sebaiknya dimulai sebelum intervensi dilakukan. Hal ini penting karena data peserta harus dimiliki sebelum peserta menerima intervensi. Dalam desain penelitian kuasi-eksperimental, kelompok pembanding adalah kelompok partisipan atau subjek penelitian yang untuk kepentingan pembanding tidak mendapatkan perlakuan atau intervensi yang diberikan kepada kelompok perlakuan. Subjek kelompok pembanding biasanya tidak secara acak ditentukan oleh kondisi mereka seperti subjek kelompok kontrol dalam studi desain eksperimental. Baseline study adalah suatu analisis yang menggambarkan situasi sebelum intervensi, dimana perbandingan antarkelompok dapat dibuat. (Maciejewski, 2020) Studi kuasi-eksperimental adalah studi prospektif atau retrospektif di mana subjek penelitian memilih sendiri (atau perawat dan fasilitas kesehatan memilih atas nama mereka) salah satu dari beberapa kelompok intervensi yang berbeda dengan tujuan membandingkan keefektifan dan keamanannya dunia nyata dari mereka. perawatan non-acak. Kuasi-eksperimen adalah studi observasional yang mirip dengan uji coba terkontrol secara acak (RCT) dalam banyak hal, dengan pengecualian utama adalah bahwa pasien memilih sendiri perawatan yang berbeda alihalih diacak. Desain kuasi-eksperimental yang paling umum digunakan adalah studi retrospektif dari kohort pengobatan tunggal dan kohort pembanding non-ekuivalen di mana pasien memilih sendiri (atau penyedia memilih atas nama pasien) pengobatan atau perawatan biasa ditentukan periode waktunya. Kelebihan dan Kekurangan Studi Kuasi Eksperimental (Salkind, 2010) Untuk menyimpulkan hubungan antara sebab dan akibat, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain penyebab harus mendahului akibat; sebab harus berhubungan dengan akibat; dan, selain penyebabnya, tidak ada sebab alternatif yang masuk akal untuk akibat. Eksperimen acak dan kuasi-eksperimental tidak berbeda dalam hal dua persyaratan pertama. Namun, dalam hal persyaratan ketiga, eksperimen acak memiliki keunggulan dibandingkan desain kuasi-eksperimental. Karena unit studi dikelompokkan secara acak, kemungkinan adanya penjelasan alternatif (misalnya, variabel perancu) sama dalam seluruh kelompok dan dapat dikesampingkan. Namun, karena desain kuasi-eksperimental tidak mengelompokkan pesera secara acak, penjelasan alternatif seperti variabel perancu sulit untuk dikesampingkan. Eksperimen acak memberikan kesimpulan yang kuat tentang hubungan kausal antara dua variabel. Namun, pengacakan seringkali tidak dapat dilakukan, baik karena alasan praktis atau etis, sehingga diperlukan desain kuasi-eksperimental. Meskipun dapat terjadi penurunan validitas internal dalam desain kuasi-eksperimental, para peneliti masih dapat menarik kesimpulan kausal yang valid jika sebelumnya ancaman terhadap validitas internal diidentifikasi dan dilakukan penyesuaian desain untuk mengurangi ancaman tersebut. Kurangnya kontrol penuh dan intervensi subjek yang bersifat nonrandom pada kelompok mengurangi validitas internal dan eksternal desain kuasi-eksperimental. Pencocokan (matching) dapat dilakukan untuk mengontrol kurangnya pengacakan dalam desain ini. Dalam pencocokan, peneliti memilih kelompok yang memiliki kemiripan dalam semua variabel penting yang dianggap dapat memengaruhi hasil penelitian. Pretest juga direkomendasikan sebagai kontrol. Skor yang sama pada hasil pretest yang diberikan kepada semua anggota kelompok menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki kemiripan karakteristik. Desain eksperimental quasi lebih lemah dibandingkan dengan desain eksperimental true untuk membuat kesimpulan sebab-akibat; namun, informasi yang diperoleh dari desain eksperimen quasi umumnya lebih baik dibandingkan tidak adanya informasi sama sekali. (Kim and Steiner, 2016) Desain pencocokan satu-ke-satu mencocokkan setiap subjek perlakuan dengan subjek kontrol yang setara atau setidaknya sangat mirip dalam hal kovariat yang diamati. Untuk mengilustrasikan ide pencocokan, pertimbangkan seorang peserta kamp dengan nilai 80 pada pre-test sains, 6 pada tingkat kesukaan terhadap sains, dan 50 pada status sosial ekonomi. Kemudian strategi pencocokan multivariasi mencoba menemukan anak yang tidak menghadiri kamp dengan nilai pre-test yang persis sama atau setidaknya sangat mirip. Jika berhasil ditemukan kecocokan yang mendekati untuk semua peserta kamp, sampel peserta dan nonpeserta yang cocok akan memiliki distribusi kovariat yang hampir identik. (Harris et al., 2006) Desain kuasi eksperimental tidak dapat mengontrol variabel perancu yang penting, dimana hal ini disebabkan oleh tidak adanya randomisasi. Suatu variabel disebut sebagai variabel perancu jika berkaitan dengan intervensi dan hasil; variabel perancu mengarah pada situasi di mana hubungan sebab akibat antara paparan yang diberikan dan hasil dipengaruhi oleh variabel perancu. (Schweizer, Braun and Milstone, 2016) Keuntungan terbesar dari studi kuasi-eksperimental adalah studi ini lebih murah dan memerlukan lebih sedikit sumber daya dibandingkan dengan randomized controlled trial (RCT) atau cluster randomized trial. Studi kuasi-eksperimental sesuai ketika randomized controlled trial dianggap tidak etis (misalnya, efektivitas studi kebersihan tangan). Studi kuasi-eksperimental juga sering dilakukan pada tingkat populasi bukan pada tingkat individu, sehingga dapat mencakup pasien yang seringkali tidak dimasukkan pada RCT, seperti individu yang terlalu sakit untuk memberikan persetujuan yang diinformasikan atau pasien operasi yang mendesak, dengan persetujuan the Institutional Review Board (IRB). Studi kuasi-eksperimental juga bersifat pragmatis karena mengevaluasi keefektifan dari intervensi yang dilaksanakan dalam kondisi yang sebenarnya atau tidak dalam kondisi penelitian. Oleh karena itu, studi kuasi-eksperimental lebih dapat digeneralisasikan dan memiliki validitas eksternal yang lebih baik dibandingkan dengan RCT. Kekurangan terbesar dari studi eksperimental quasi adalah terbatasnya kemampuan studi untuk menyimpulkan hubungan sebab akibat antara intervensi dan hasil karena tidak dilakukan randomisasi. Kekurangan lainnya adalah kemungkinan terjadinya bias dalam studi eksperimental quasi yang dapat menyebabkan hilangnya validitas internal, terutama bias seleksi dimana kelompok intervensi berbeda dari kelompok dasar. Jenis bias seleksi yang dapat terjadi dalam studi eksperimental quasi antara lain maturation bias, regression to the mean bias, historical bias, instrumentation bias, dan efek Hawthorne. Terakhir, bias pelaporan juga lazim terjadi dalam studi eksperimental quasi retrospektif, di mana peneliti hanya menerbitkan studi dengan temuan positif dan tidak mempublikasikan temuan nol atau negatif. (Sastroasmoro and Ismael, 2011) Pada desain ini, tidak terdapat randomisasi, yakni alokasi subjek uji berdasarkan asas peluang untuk diberikan obat atau prosedur yang diuji atau diberikan obat atau prosedur standar. (Maciejewski, 2020) Desain kuasi-eksperimental yang didasarkan pada pasien dari beberapa lokasi atau sampel yang mewakili secara nasional dapat memiliki validitas eksternal yang lebih besar dibandingkan randomized controlled trial. Kelebihan - lebih murah dan memerlukan lebih sedikit sumber daya dibandingkan dengan randomized controlled trial (RCT) atau cluster randomized trial (Hamilton and Rossi, 2002) Beberapa intervensi hanya dapat dilaksanakan pada tingkat administrasi yang lebih tinggi dari tingkat individu. Meskipun secara teoritis intervensi acak dapat terjadi di tingkat yang lebih tinggi dari individu, seperti tingkat kantor atau kabupaten, sejumlah besar unit harus ditetapkan secara acak. Hal ini menjadi tidak mungkin dilakukan, terutama jika penerapan intervensi di setiap unit membutuhkan biaya yang tinggi. Sebagian besar biaya yang lebih tinggi datang dari komitmen yang lebih besar untuk tindak lanjut (follow up) jangka panjang dan pengukuran yang cermat atas berbagai hasil. - sesuai ketika randomized controlled trial dianggap tidak etis (misalnya, efektivitas studi kebersihan tangan (Resnik, 2008) Salah satu masalah terpenting yang terdapat dalam penggunaan RCT adalah ketidaketisan dalam hal menolak perawatan medis pada subjek penelitian untuk memenuhi tujuan ilmiah. Untuk meminimalkan bias, subjek dalam RCT ditetapkan secara acak ke kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam beberapa RCT, yang dikenal sebagai uji coba terkontrol plasebo, satu kelompok kontrol tidak menerima intervensi, sementara kelompok lainnya memperoleh intervensi yang sedang diuji. Studi ini bertujuan untuk menguji keefektifan intervensi. Meski secara metodologi dianggap lebih unggul, RCT dapat menimbulkan masalah etis karena subjek dalam kelompok plasebo mungkin ditolak untuk mendapatkan terapi yang efektif, dengan alasan penelitian. Banyak kode dan pedoman yang menyatakan bahwa tidak etis untuk menahan terapi yang telah terbukti efektif dari subjek penelitian dengan kondisi medis yang serius. - sering dilakukan pada tingkat populasi bukan pada tingkat individu, sehingga dapat mencakup pasien yang seringkali tidak dimasukkan pada RCT, seperti individu yang terlalu sakit untuk memberikan persetujuan yang diinformasikan atau pasien operasi yang mendesak, dengan persetujuan the Institutional Review Board (IRB). Oleh karena itu, desain studi kuasieksperimental bersifat pragmatis karena mengevaluasi keefektifan dari intervensi yang dilaksanakan dalam kondisi yang sebenarnya atau tidak dalam kondisi penelitian. Oleh karena itu, studi kuasi-eksperimental lebih dapat digeneralisasikan dan memiliki validitas eksternal yang lebih baik dibandingkan dengan RCT. (Kennedy-Martin et al., 2015) Banyak studi yang menyimpulkan bahwa sampel RCT memiliki profil risiko penyakit yang lebih rendah dibandingkan populasi pada keadaan sebenarnya, hal ini disebabkan karena pasien usia lanjut dan pasien dengan komorbiditas sering tidak diikutsertakan sebagai sampel studi. Mayoritas penelitian pun secara eksplisit menyimpulkan bahwa sampel RCT tidak mewakili pasien di dunia nyata secara luas dan hal ini dapat membatasi validitas eksternal RCT. Kekurangan - terbatasnya kemampuan studi untuk menyimpulkan hubungan sebab akibat antara intervensi dan hasil karena tidak dilakukan randomisasi. - kemungkinan terjadinya bias dalam studi eksperimental quasi yang dapat menyebabkan hilangnya validitas internal, terutama bias seleksi dimana kelompok intervensi berbeda dari kelompok dasar (Selection bias) - bias pelaporan juga lazim terjadi dalam studi eksperimental quasi retrospektif, di mana peneliti hanya menerbitkan studi dengan temuan positif dan tidak mempublikasikan temuan nol atau negatif. Keknya berguna https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1768356/ Nice to know Validitas internal dan eksternal Populasi pasien ditentukan dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, yang akan mencakup kriteria geografis (misalnya lokasi tunggal, banyak lokasi, sampel perwakilan nasional, seluruh populasi), serta kriteria yang terkait dengan karakteristik demografis dan klinis pasien itu sendiri. Kriteria inklusi dan eksklusi harus dipilih untuk memastikan bahwa pasien yang memilih sendiri perawatan biasa (atau pengobatan alternatif) semirip mungkin dengan pasien yang memilih sendiri perawatan yang diinginkan. Jika populasi secara sempit didefinisikan dalam karakteristik geografis dan pasien, dengan banyak kriteria eksklusi, validitas internal penelitian dapat ditingkatkan, dengan mengorbankan validitas eksternal (kemampuan generalisasi) penelitian. Jika populasi ditentukan secara luas, validitas eksternal uji coba akan ditingkatkan, tetapi validitas internal eksperimen semu mungkin terganggu. Validitas internal sangat penting untuk memastikan dalam studi kuasi-eksperimental, terutama untuk pertanyaan penelitian yang tidak memiliki bukti eksperimental. Dalam pertanyaan semacam itu (misalnya efektivitas Organisasi Perawatan yang Bertanggung Jawab atau perbedaan hasil karena ras), eksperimen semu akan menjadi satu-satunya cara untuk mengembangkan basis bukti, sehingga validitas internal adalah yang terpenting. Untuk pertanyaan penelitian yang terdapat bukti eksperimental untuk dijadikan referensi, mungkin dapat diterima untuk menerima sedikit pengurangan validitas internal untuk peningkatan signifikan dalam validitas eksternal. Idealnya, peneliti dapat melakukan penelitian dengan validitas internal yang kuat dan validitas eksternal yang kuat karena kedua konstruk tersebut dapat menjadi pelengkap dalam penelitian kuasi eksperimental. Perbedaan Penelitian Eksperimental dan Korelasional Penelitian korelasional dan eksperimental adalah dua metode penting dalam penelitian ilmiah; akan tetapi, kedua jenis penelitian ini sering membingungkan satu sama lain. Penelitian korelasional adalah pengamatan terhadap dua variabel untuk melihat apakah ada hubungan di antara keduanya, positif atau negatif. Penelitian eksperimental adalah pengamatan antara variabel yang diperkenalkan - variabel independen - di bawah lingkungan terkendali dan faktor yang dihasilkannya - variabel dependen. Ada beberapa ciri pembeda yang membedakan antara kedua jenis penelitian ini. Satu perbedaan adalah ada manipulasi dalam desain eksperimental, dan dalam desain korelasional hanya ada observasi: tidak ada interferensi. Perbedaan lainnya adalah dalam studi korelasional, lingkungan tidak terkontrol atau terkadang tidak dapat dikendalikan. Alasan di balik ini adalah karena variabel perancu, yang berarti lebih dari satu variabel dapat berkontribusi pada hasil. Tidak seperti studi eksperimental, di mana hasil akhirnya sangat mungkin karena paparan variabel independen, studi korelasional memiliki banyak faktor yang berperan. Hasilnya, perbedaan terakhir antara kedua jenis penelitian tersebut adalah kesimpulan sebab akibat. Contoh Desain Kuasi-Eksperimental (Walsh et al., 2011) Mulanya, Pendidikan gizi di Harvard Medical School (HMS) diisi oleh kursus Preventive Medicine and Nutrition (PMN). Hasil ujian mahasiswa kedokteran tahun kedua yang mengambil PMN menunjukkan peningkatan kepercayaan dalam kemampuan menilai dan menasihati pasien tentang diet dan olahraga. Namun, selanjutnya terjadi revisi kurikulum untuk angkatan 2010, dimana PMN digantikan oleh kursus Introduction to Clinical Nutrition (ICN). Kedua kursus memperkenalkan materi tematik serupa termasuk nutrisi makro dan mikronutrien, obesitas, penilaian dan konseling diet, di antara topik lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan kurikulum ini terhadap sikap dan pengetahuan siswa HMS tentang gizi. Dihipotesiskan bahwa, karena materi gizi yang disajikan di luar mata kuliah khusus sering tidak diidentifikasi demikian, mahasiswa dengan kursus ICN akan kurang puas dengan pendidikan gizi mereka daripada mahasiswa PMN. Karena studi sebelumnya menunjukkan bahwa kepuasan yang lebih rendah dengan pendidikan gizi terkait dengan skor pengetahuan yang lebih rendah dan penilaian kecakapan gizi yang lebih rendah, lebih lanjut ukuran hipotesis bahwa siswa ICN akan menilai lebih rendah daripada siswa PMN pada skala sikap terhadap gizi klinis dan pengetahuan gizi. Penelitian ini merupakan survei kuasi eksperimental dengan dua kelompok. Anggota dari kedua kelompok direkrut karena pendaftaran di kursus nutrisi yang dibutuhkan selama tahun kedua mereka di HMS. Kriteria inklusi untuk kelompok pertama adalah pendaftaran mata kuliah PMN tahun ajaran 2006 2007. Kriteria untuk kelompok kedua adalah pendaftaran di ICN tahun 2007-2008, tahun pertama di mana ini menggantikan PMN sebagai mata pelajaran gizi yang dibutuhkan. Tidak ada kriteria eksklusi. Penelitian ini juga menggunakan survey yang dibagi menjadi tiga bagian: sikap, pengetahuan, dan demografi dan seluruh survey berisi total 60 pertanyaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa transisi ke kurikulum terintegrasi tidak selalu memiliki efek merugikan pada sikap dan pengetahuan tentang gizi, meskipun siswa mungkin mencari materi tambahan untuk melengkapi apa yang mereka anggap sebagai paparan kelas yang tidak memadai.