1 Materi 13 Kondas IPS SOCIAL STUDIES ALA INDONESIA : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Cirebon, 15 Mei 2019 A. KONSEP PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah adan penelitian yang relevan di bidang itu. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS. PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa 2 pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Sistem pendidikan di Indonesia terdapat 3 jenis program pendidikan sosial yaitu ilmu-ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) dan Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS). IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan sosial dan humaniora murni, PIPS merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah sedangkan PDIPS merupakan program pendidikan guru IPS yang dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS (Sosial). Tujuan utama dari program ini adalah untuk menghasilkan guru IPS dan PPKN yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu sosial dan materi disiplin ilmu lainnya dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna. Oleh karena itu, dalam program pendidikan ini dituntut untuk mempelajari 3 kelompok program kurikuler yaitu kelompok mata keilmuan sosial dalam rangka pembelajaran IPS, teknologi pembelajarna IPS dan kurikulum serta pembelajaran IPS persekolahan. Konten dari ketiga kelompok mata kuliah ini perlu dilihat secara konseptual sebagai suatu sistem pengetahuan terpadu dalam rangka perkembangan kemampuan kepribadian, dan kewenangan guru IPS dan PPKN. B. KOMPARASI IPS DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN Mata pelajaran IPS SMP di Indonesia dan Australia pada dasarnya memiliki tujuan sama, yakni membentuk warga negara yang baik, membantu peserta didik memecahkan masalah, dan menumbuhkan kebanggaan akan budaya bangsa. Di New South Wales Australia, nama mata pelajaran IPS di pendidikan dasar adalah HSIE (Human Society and Its Environments) yang menekankan pada pengembangan nilai-nilai dan tingkah laku peserta didik. Demikian ditegaskan guru IPS dari sekolah private New South Wales Yusdi Maksum M, Ed. dalam Seminar Nasional Hima Pendidikan IPS FISE UNY kemarin (30/12) di Ruang Ki Hajar Dewantara FISE UNY. Menurut Yusdi, yang pernah mengajar di sekolah Indonesia yang membedakan dalam pembelajaran IPS terutama adalah dalam implementasi pembelajaran di kelas. “Pembelajaran IPS di NSW tidak terlalu banyak materi, tetapi lebih mengedepankan strategi pemecahan masalah. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang terlalu sarat materi” tegas alumni UNY yang telah menetap di Australia ini. Pernyataan tersebut dibenarkan pembicara lain Saliman M, Pd. Menurut Saliman kurikulum pendidikan IPS di Indonesia masih sarat dengan muatan materi, akibatnya guru kurang mampu mengembangkan pembelajaran IPS yang variatif. Hal ini ditambah jumlah jam mengajar guru tidak sebanding dengan materi yang harus dibelajarkan. Selain perbedaan strategi pembelajaran, pembelajaran IPS di Indonesia dan Australia juga berbeda dari teknik penilaian yang digunakan. Di Indonesia penilaian masih mengacu pada angkaangka sebagai simbol keberhasilan belajar peserta didik, sementara di Australia, penilaian laporan kemajuan peserta didik lebih menekankan pada proses yang telah dilakukan peserta didik dalam mencapai kompetensi “Di Indonesia lebih menekankan hasil, di Australia menekankan pada proses. Filosofi yang digunakan Australia adalah bahwa setiap peserta didik yang belajar pasti mengalami kemajuan” tegas Yusdi. Senada dengan Yusdi, Saliman juga menilai bahwa salah satu kegagalan pendidikan IPS di Indonesia adalah penilaian pembelajaran masih mengedepankan angka dan paper and pencil terst. “Idealnya kalau pendidikan IPS dicanangkan sebagai pendidikan karakter, hendaknya penilaian lebih menekankan pada sikap peserta didik” tegas Ketua Prodi Pendidikan IPS ini. Menyikapi tentang penilaian IPS, kedua pembicara sepakat menolak wacana Pendidikan IPS di Ujian Nasional-kan. “Kalau IPS di-UAN-kan kita semakin khawatir bahwa IPS hanya pelajaran hapalan.”tegas Saliman. Sebagai perbandingan, konsep UAN di Indonesia dan Australia berbeda, “Di Australi Ujian Nasional memang ada untuk mata pelajaran Matematika dan bahasa. Tetapi bukan sebagai penentu kelulusan, hanya untuk mengukur peringkat sekolah saja”tegas Yusdi. Salah satu rekomendasi Seminar Nasional adalah agar Pemerintah tidak menjadikan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan peserta didik. 3 Perbedaan lain pendidikan IPS di Indonesia dan Australia adalah proses rekruitmen guru. NSW telah memiliki 7 standar guru profesional yang benar-benar dilaksanakan secara ketat. “Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia, apalagi proses sertifikasi guru saat ini yang lebih mengedepankan persyaratan administratif daripada kompetensi. C. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai mata pelajaran di tingkat sekolah dasar pada hakikatnya merupakan suatu integrasi utuh dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk tujuan pendidikan. Artinya, berbagai tradisi dalam ilmu sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, dikemas secara psikologis, pedagogis, dan sosial-budaya untuk kepentingan pendidikan. Terdapat beberapa definisi lain tentang IPS. Richard E. Gross dalam Masruri (2008) menyatakan bahwa IPS adalah dasar pendidikan sosial, dalam mempersiapkan fungsi warga negara dengan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memungkinkan masing-masing warga negara tersebut dapat tumbuh secara personal antara yang satu dengan yang lainnya secara baik, dan dalam berkontribusi pada kebudayaan yang akan datang. Muriel Crosby dalam Soemantri (2001) menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang memecahkan masalah- masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan pertama bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan individu baik sebagai warga negara maupun masyarakat. Individu yang diharapkan dalam IPS adalah individu yang saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi yang diharapkan adalah interaksi yang bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Sebab secara sosiologis dan politis, apabila individu-individu tersebut memiliki yang baik, secara otomatis menunjukkan sebagai warga negara yang baik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. D. TUJUAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA Berdasarkan pada falsafah negara telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu: membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945. Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitan dengan hal tersebut, kurikulum 2010 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial, bertujuan untuk: 1. Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis. 2. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial. 3. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. 4. Meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global. Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut (Asmawi. 1994) adalah “membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, 4 dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara” Sedangkan Oemar Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu : a. Pengetahuan dan pemahaman b. Sikap hidup belajar c. Nilai-nilai sosial dan sikap d. Keterampilan E. PERBEDAAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN IPS INDONESIA DENGAN AMERIKA, INGGRIS DAN AUSTRALIA Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa. Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics. Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Sedangkan di Australia latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah karena adanya kesadaran yang semakin meningkat di kalangan penduduk Australia terhadap masalah-masalah ekonomi, poltik, lingkungan, sosial dan masalah-masalah pribadi yang memerlukan adanya kemampuan untuk mengatasinya. Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain: 1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar. 5 2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan. 3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. 4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana. 5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional. F. UPAYA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA a. Pembaharuan kurikulum Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam sistem pendidikan di Indonesia baru dikenal sejak lahirnya Kurikulum tahun 1975. Sebelumnya, pembelajaran ilmu-ilmu sosial untuk tingkat persekolahan mneggunakan istilah yang berubah-ubah sesuai dengan situasi politik pada masa itu. Pembaharuan kurikulum IPS di Indonesia diantaranya : Kurikulum 1964 menggunakan istilah Pendidikan Kemasyarakatan. Ada dua kelompok mata pelajaran, ialah kelompok dasar yang terdirir atas Sejarah Indonesia dan Geografi Indonesia, Bahasa Indonesia dan Civics dan kelompok cipta yang terdiri atas Sejarah Dunia dan Geografi Dunia. Dan kemudian digabungkan selanjutnya berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara yang merupakan korelasi dari ilmu bumi, sejarah dan pengetahuan kewargaan negara. Pada tahun 1968 terjadi perubahan pengelompokkan mata pelajaran sebagai akibat perubahan orientasi pendidikan. Mata pelajaran di sekolah dibedakan menjadi pendidikan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar dan pembinaan kecakapan khusus. Pada tahun 1975, lahirlah Kurikulum 1975 yang mengelompokkan tiga jenis pendidikan, yakni pendidikan umum, pendidikan akademis dan pendidikan keahlian khusus. Dalam Kurikulum 1975 dikemukakan secara eksplisit istilah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang merupakan fusi (perpaduan) dari mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi. Selain mata pelajaran IPS, pendidikan kewarganegaraan dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri ialah Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam Kurikulum 1975, IPS termasuk kelompok pendidikan akademis sedangkan PMP termasuk kelompok pendidikan umum. Namun IPS sebagai pendidikan akademis mempunyai misi menyampaikan nilai-nilai berdasarkan filsafat Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian mata pelajaran IPS pun berfungsi dan mendukung tercapainya tujuan PMP. Menjelang adanya perbaikan Kurikulum 1975, tahun 1980 muncul bidang studi PSPB, gagasan dari Mendikbud mata pelajaran ini hampir sejenis dengan IPS Sejarah dan PMP. Upaya perbaikan Kurikulum IPS 1975 (KYD) baru terwujud pada tahun 1984. Kurikulum IPS 1984 pada hakikatnya menyempurnakan atau memperbaiki kelemahan-kelmahan Kurikulum 1975. Ditinjau dari segi pendekatan (metodologi) pembelajaran, Kurikulum IPS 1975 dan 1984 menggunakan pendekatan integrative dan structural untuk IPS SMP dan pendekatan disiplin terpisah (separated disciplinary approach) untuk SMA. Sedangkan pendekatan untuk IPS Sekolah Dasar (SD) lebih mirip menggunakan integrative (integrated approach). Pada tahun 1994, terjadi lagi perubahan kurikulum IPS. Dalam Kurikulum 1994 dinyatakan bahwa IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah. Untuk IPS SD, bahan kajian pokok dibedakan atas dua bagian, ialah pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial meliputi lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah mencakup perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lampau hingga kini. Ada perbedaan yang cukup menonjol dalam Kurikulum IPS Sekolah Dasar 1994 dibandingkan dengan Kurikulum IPS sebelumnya, yakni dalam metode dan penilaian. Kurikulum IPS 1994 hanya memberikan anjuran umum bahwa pelaksanaan proses belajar mengajar hendaknya para guru menerapkan prinsip belajar aktif. Dari bunyi rambu-rambu yang terakhir ini, menunjukkkan bahwa Kurikulum IPS 1994 memberikan keleluasaan atau kekuasaan otonom yang cukup besar terhadap guru. Memasuki Abad 21 yang ditandai oleh perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan khususnya perubahan dalam bidang politik, hukum, dan kondisi ekonomi telah menimbulkan 6 perubahan ekonomi yang sangat signifikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 disahkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undangundang tersebut telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan sistem kurikulum di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat Ketentuan tentang implikasi dari peraturan perundangan tersebut adalah dikeluarkannya kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) beserta pedomannya dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dengan panduan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. b. Pembaharuan KBM IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dnegan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang. Ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya: 1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan keIPS-an juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung. 2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang diterima. 7 3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu: a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah. b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi. c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar. Supardi (2008) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu: a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah. b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam topiktopik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa. c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif. d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi. e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari. f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran. G. HAMBATAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu: 1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar siswa. 2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS. 3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses. 4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya. IPS yang juga dikenal dengan nama social studies adalah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat. IPS mengkaji bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya di lingkungan sendiri, dengan tetangga yang dekat sampai jauh. IPS juga mengkaji bagaimana manusia bergerak dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, IPS mengkaji tentang keseluruhan kegiatan manusia. Kompleksitas kehidupan yang akan dihadapi siswa nantinya bukan hanya akibat tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi saja, melainkan juga kompleksitas kemajemukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, IPS mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan manusia dan juga tindakan-tindakan empatik yang melahirkan pengetahuan tersebut. Sebutan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan 8 menengah di negara kita, secara historis muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1975. IPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-diciplinar (Numan Somantri dalam http://staff.uny.ac.id). Karakteristik ini terlihat dari perkembangan IPS sebagai mata pelajaran di sekolah yang cakupan materinya semakin meluas. Dinamika cakupan semacam itu dapat dipahami mengingat semakin kompleks dan rumitnya permasalahan sosial yang memerlukan kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, ilmu pengetahuan alam, teknologi, humaniora, lingkungan, bahkan sistem kepercayaan. Dengan cara demikian pula diharapkan pendidikan IPS terhindar dari sifat ketinggalan zaman, di samping keberadaannya yang diharapkan tetap koheren dengan perkembangan sosial yang terjadi. Berkaitan dengan pengertian IPS, Barth mengemukakan sebagai berikut. Social studies was assigned the mission of citizenship education, that mission included the study of personal/social problems in an interdiciplinary integrated school curriculum that would emphasize the practice of decision making. Maksudnya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial membawa misi pendidikan kewarganegaraan termasuk didalamnya pemahaman mengenai individu atau masalah sosial yang terpadu secara interdisipliner dalam kurikulum sekolah yang akan menekankan pada praktek pengambilan keputusan. Sementara itu, menurut National Council for Social Studies2) definisi IPS (social studies) adalah sebagai berikut.Social studies is the integrated study of social science and humanities to promote civic competence. Within the school pogram, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as well as appropriate content from humanities, mathematics and natural sciences. Artinya, IPS merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun dalam beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat ilmu-ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga memuat isi dari humaniora dan ilmu-ilmu alam. Senada dengan pendapat Barth di atas, Pusat Kurikulum mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya (Pusat Kurikulum, 2006: 5). Sementara itu, dalam Kurikulum 2006, mata pelajaran IPS disebutkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI sampai SMP/MTs. Mata pelajaran ini mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI, mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik disiapkan dan diarahkan agar mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Sejalan dengan pengertian umum tersebut, IPS sebagai mata pelajaran di tingkat sekolah dasar pada hakikatnya merupakan suatu integrasi utuh dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk merealisasikan tujuan pendidikan di tingkat persekolahan. Implikasinya, berbagai tradisi dalam ilmu sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode, maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, dikemas secara psikologis, pedagogis, dan sosial budaya untuk kepentingan pendidikan. Berdasarkan perspektif di atas, secara umum IPS dapat dimaknai sebagai seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila (Numan Somantri, 2001: 103). Pengertian umum ini mengimplikasikan adanya penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari berbagai disiplin akademis ilmu-ilmu sosial. Kaidah-kaidah akademis, pedagogis, dan psikologis tidak bisa ditinggalkan dalam upaya 9 pengorganisasian dan penyajian upaya tersebut. Dengan cara demikian, pendidikan IPS diharapkan tidak kehilangan berbagai fungsi yang diembannya, apalagi jika dikaitkan secara langsung dengan pencapaian tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. H. PARADIGMA PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS). Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota masih insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu. Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalahmasalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan 10 Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”. Sedangkan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS. Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus. Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butirbutir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila. Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS. Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan 11 hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978). Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD. Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi 12 pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat. Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS. PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan. I. PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA PADA MASA KINI IPS sebagai sebuah bidang keilmuwan yang dinamis, karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak bisa terlepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan mempelajarinya. Perkembangan IPS di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal: a. Pengalaman hidup masa lampau dengan situasi sosialnya yang labil, memerlukan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu bangsa yang bulat. b. Laju perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia memerlukan kebijakan pendidikan dan pengajaran yang seirama dengan laju perkembangan tersebut. c. Agar output pendidikan persekolahan benar-benar lebih relevan dengan tuntutan masyarakat yang ia akan menjadi bagiannya dan materi yang dimuat dalam kurikulum atau dipelajari peserta didik dapat bermanfaat. Segi lain yang menyebabkan dikembangkannya kurikulum IPS sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap anak didik adalah menyiapkan mereka kelak apabila terjun ke dalam kehidupan masyarakat. Sejak diberlakukan kurikulum tahun 1964 sampai kurikulum 1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan cara-cara (pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi 13 (ilmu bumi) dan ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli menyadari bahwa sebenarnya sistem tersebut telah usang dan tidak relevan. Terkait dengan pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli pendidikan, guru besar pada IKIP Malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut social studies yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola pengajaran social studies pada sekolah percobaan IKIP Malang yang dipimpinnya. Dalam penerapannya, guru-guru social studies di sekolah-sekolah tersebut di samping diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga didampingi oleh sebuah regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi. Dalam lingkup nasional, ide-ide untuk menerapkan pengajaran social studies mulai ramai diperbincangkan sekitar tahun 1971/1972. Untuk menyongsong dilaksanakannya pengajaran social studies, telah dilaksanakan seminar-seminar sosial seperti “Seminar Sejarah” di Yogyakarta pada tahun 1971, “Seminar Geografi” di Semarang pada tahun 1972, dan “Seminar Kepebdudukan” di Bandung pada tahun 1973. Pada tahun 1972, oleh Badan Penilitian Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan/BP3K), di Jakarta diselenggarakan pertemuan para ahli pendidikan berbagai ilmu disiplin ilmu dari IKIP dan lembaga-lembaga lain untuk membahas masalah rencana pembaharuan kurikulum sekolah di Indonesia. Pertemuan tersebut menyepakati penerapan prinsip kerja kurikulum Broadfield untuk mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, yaitu sistem kurikulum yang mengelompokkan mata pelajaran sejenis yang menjadi satu bidang studi. Disepakati pula untuk mata pelajaran kemasyarakatan (ilmu sosial) seperti sejarah, geografi, ekonomi dan lain-lain dikelompokkan (dipadukan) dalam satu bidang studi dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pemaduan ilmu-ilmu sosial menjadi bidang studi IPS diterapkan pada Kurikulum 1974 untuk 8 buah proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP). Setahun kemudian nama bidang studi IPS resmi memperoleh status formal melalui pembakuan Kurikulum 1975 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. J. TANTANGAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak bisa terlepas dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan praksis pendidikannya. Yang dimaksud dengan interaksi fungsional di sini adalah bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh pengetahuan IPS, dan sebaliknya bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial dan warga negara yang cerdas dan baik, yang pada gilirannya dapat memberikan konstribusi yang bermakna terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Dalam mengkaji perubahan dalam masyarakat, perlu diawali dengan postulat yang telah diterima secara umum, bahwa dalam kehidupan ini perubahan merupakan suatu keniscayaan karena tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Saat ini masyarakat dunia ditengarai oleh berbagai gejala yang menunjukkan sedang terjadinya krisis yang menyeluruh. Keseluruhan krisis itu, seperti dicontohkan oleh Capra dalam Udin S. Winataputra3) berupa: “…angka inflasi yang tinggi dan pengangguran, krisis energy, krisis penanganan kesehatan, polusi, dan kerusakan lingkungan, maraknya kejahatan dan kriminalitas”, diteorikan sebagai sisi-sisi dari suatu krisis yang sama yakni “krisis persepsi”. Untuk memahami semua gejala krisis dalam konteks kehidupan global yang sistemik diperlukan cara pandang yang utuh dan menyeluruh yang oleh Capra dalam dalam Udin S. Winataputra3) disebut sebagai cara memandang situasi “…dalam konteks evolusi budaya manusia”. Dengan merujuk pada teori perubahan “tantangan dan tanggapan” (challenge and response) dari Toynbee, yang pada dasarnya meneorikan “Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dari suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu untuk memasuki proses peradaban, Capra dalam Udin S. Winataputra3) mengemukakan adanya “Irama berulang dalam pertumbuhan budaya”, yang pada dasarnya merupakan siklus interaktif antara dua kekuatan yang saling mempengaruhi yang ia ambil dari filsafat Cina, yaitu “yin” sebagai lambang dari “kepasifan” dan “yang” sebagai lambang dari “keaktifan”. Kondisi internal masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, seperti dianalisis oleh Soedijarto (1999) teridentifikasi adanya berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi kondisi kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 14 Agustus 1945 sampai dengan saat ini. Keterpurukan bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaannya selama lebih dari enam puluh tahun seperti yang dialami saat ini, antara lain disebabkan oleh tidak/belum difungsikannya “…kelembagaan sosial, ekonomi, politik dan IPTEK,.. untuk secara bertahap memasyarakatkan dan membudayakan berbagai nilai dan kaidah kehidupan negara Indonesia yang masih harus membangun peradaban modern di tengah masyarakat dunia yang sudah sepenuhnya dikuasai oleh berbagai tata nilai kehidupan modern yang bersumber pada peradaban Barat” (Soedijarto dalam Udin S Winataputra)3). Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota masih insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Buku-buku DAFTAR PUSTAKA Asmawi, Z. dan Nasution, N. 1994. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Hamalik.,Oemar. 1992. Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Mandar Maju. Muhammad Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya Oktaseiji. 2011. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia. Pakde Sofa. 2008. Paradigma Pendidikan IPS. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Soemantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Rosda Karya. Supardi. Permasalahan Kurikulum PIPS pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Susan L. Mody, Ed. D. 2009. National Council for the Social Studies (NCSS) Definition of Social Studies. Udin S. Winataputra. 2009. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka Indraparimarma. Internet http://husnil-ahfan.blogspot.com/2011/12/paradigma-pendidikan-ips-di-indonesia.html http://liliksuarti.blogspot.com/2012/01/tugas-pendidikan-ips.html