Uploaded by hulya hirayana

MY STORY IN MALAYSIA

advertisement
Minggu, 11 Februari 2018
Baru satu hari aku menginjakkan kaki di negeri Jiran ini setelah baru kemarin sabtu
tiba. Keramaian bandar internasional KLIA2 menyambutku dengan sejuta masalah.
Ya, baru tiba di bandari aku dan dua temanku sudah dibuat kebingungan. Sangan
berbeda dari bandara saat keberangkatan. Di sini sangat luas dan ramai. Tak ayal,
aku pun mencoba bertanya pada salah seorang petugas dengan bahasa inggris
yang sangat gagu. Jawaban singkat dengan bahasa Melayu. Aku cukup paham dan
mulai mengikuti intruksinya. Aku dihadapkan dengan antrian panjang yang
membuatku bertanya-tanya, benar tidak ya. Ku beranikan diri mengikuti antrian itu
setelah seorang temanku meyakinkanku. Di belakang rombongan, ada seorang
bapak tua yang cukup ramah. Dia menegur Faiz, teman laki-laki dari rombongan
transfer kreditku. Beruntungnya bapak itu juga seorang WNI yang berkunjung ke
Malaysia untuk sekedar menengok cucu. Benar saja, ternyata aku berada di antrian
yang tepat setelah Faiz berbincang dengan bapak itu. Antrian tersebut merupakan
antrian imigrasi bagi internatiol foreigner. Aku mengamati dari kejauhan apa saja
yang dilakukan dalam antrian itu. Cukup membuatku nerveous sebab kisah-kisah
pengalaman yang diceritakan kawan Indonesia. Tak lama, temanku Nur mendapat
gilirannya. Harus menyiapkan paspor dan eVal untuk diserahkan ke petugas
imigrasi. Nampaknya biasa saja, lantaran Nur terlihat santai dan terus menorehkan
senyuman. Tiba giliranku. Aku hanya diam menunggu intruksi dari petugas wanita
yang senyum sepertinya larangan baginya. Sedikit garang, dia memintaku
menunjukkan dokumen-dokumen. Aku terkejut dan ikuti saja perintahnya tanpa
bertanya apa pun. Yang aku herankan kenapa menggunakan bahasa Melayu,
sedang itu berada di bagian international. Yaa, terima sajalah. Seketika aku teringat
masa-masa di gabut di rumah. Biasanya aku mengisinya dengan menonton TV.
Acara tv yang tak berfaedah membuatku beralih ke kartun animasi. Yups, upin ipin.
Seketika aku bersyukur berkat kartun TvM itu setidaknya aku paham apa yang orang
Melayu katakan. Suara petugas garang membuyarkan lamunanku dengan
menyuruhku cek sidik jari. Bingung? Ya, aku tak tau bagian mana untuk meletakkan
jari-jariku. Asal saja tetapi benar. Satu kali sentuh langsung kuangkat lagi kedua
telunjukku. Petugas menyuruh lagi karena ternyata belum terdeteksi. Sampai 3 kali
baru petugas mengembalikan dokumen yang sudah ada cap imigrasi. Okayy, sudah
sedikit lega. Aku menuju ke pintu keluar untuk mengambil bagasi. Dan lagi, aku
dibuat kebingungan karena banyak sekali spot-spot pengambilan bagasi. Aku
mengikuti bapak tua tadi berharap dapat menemukan koper haji pamanku yang ku
pinjam dan tas hitam yang baru semalamnya aku beli di Pasar Bantul dekat rumah.
Ternyata di sopt tersebut tidak ada. Aku mulai panik. Aku berlari ke spot lain untuk
mencari bagasiku. Nur berhasil menemukan spot bagasi kami, aku pun
menghampirinya untuk mencari bagasiku. Semua sudah lengkap, aku segera ke
pintu ke luar bandara. Aku bertanya-tanya, apakah akan ada penjemputan dari pihak
kampus tempat ku akan melanjutkan kuliah semester 4. Hanya sebentar aku
berjalan, aku sudah menemukan dua wanita membawa tulisan nama universitas
kami. Aku langsung menghampiri untuk sekedar memastikan
. Tak banyak yang berbeda dari kota kelahiranku, Bantul, Yogyakarta.
Download