Uploaded by Aziz Lutvi

Privatisasi Air INFID

advertisement
INFID Annual Lobby 2003
PRIVATISASI AIR INDONESIA
oleh
Nadia Hadad
============================
PENGANTAR
Kemarau 2003 ini negara kita sedang dilanda krisis air yang gawat. Terutama pulau Jawa,
pulau yang potensi air tawarnya hanya 4,5% tapi harus menopang 65% jumlah penduduk
Indonesia1, saat ini kondisinya sudah sangat kritis dan tidak berkelanjutan. Setiap tahun Pulau
Jawa mengalami defisit air sekitar 13 miliar meter kubik (Kompas, 26 Agustus 2003).
Dampaknya, ada 485 desa di Jawa yang mengalami krisis air yang parah. Akibatnya,
pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelamatan bagi jutaan penduduk dan petani
yang terkena dampak kekeringan, seperti bantuan beras gratis, proyek reboisasi, merancang
system pertanian yang tidak membutuhkan air banyak seperti sawah bagi para petani, dan
membuka lahan-lahan sawah baru diluar Jawa.
Tapi ironisnya, sementara pemerintah kita sibuk melakukan upaya penyelamatan bagi
masyarakat dan petani dari krisis air, dilain pihak pemerintah dan DPR kita juga meluncurkan
dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan membuat sumberdaya air Indonesia
terprivatisasi. Saat ini, sebuah RUU mengenai Sumber Daya Air di Indonesia (RUU-SDA)
sedang dibahas oleh DPR untuk segera disahkan2. RUU-SDA ini, jika dilihat secara
keseluruhan, mengarah pada privatisasi Sumber Daya Air, dimana air dianggap sebagai
barang ekonomi yang dapat diperdagangkan.
Nah, disinilah pokok persoalannya dimana mengundang pertentangan dari beberapa kalangan
yang sadar.3 Alasannya, air yang merupakan hak asasi manusia dan kebutuhan dasar untuk
kelangsungan hidup, tidak boleh diprivatisasi. Mereka beranggapan, bahwa implikasinya
akan sangat membahayakan, baik bagi rakyat – terutama mereka yang miskin – maupun
lingkungan. Apalagi, RUU-SDA tersebut menganut konsep “hak guna air” yang berpotensi
memicu terjadinya komersialisasi air, seperti halnya yang terjadi dengan hak guna hutan dan
sertifikat tanah. Hak guna air ini merupakan perwujudan dari konsep yang diperkenalkan oleh
World Bank, yang disebut dengan tradable water rights.
Dari hasil sensus BPS tahun 2000, Jumlah penduduk seluruh Indonesia adalah 206.264.595 jiwa, dan dari
jumlah itu, pulau Jawa sendiri berpenduduk 121.352.608 jiwa.
2 RUU-SDA yang diajukan oleh pemerintah sejak bulan Oktober 2002, sampai saat tulisan ini dibuat masih
dalam tahap pembahasan oleh Panja di DPR.
3 Adalah mereka yang sadar atau beranggapan bahwa RUU-SDA mengarah pada privatisasi, dan
berpendapat bahwa implikasinya akan sangat membahayakan bagi rakyat, terutama mereka yang miskin. Tapi masih
sedikit sekali orang yang sadar mengenai hal ini. Kebanyakan adalah para aktivis dan kalangan NGO yang sangat
menentang ide privatisasi terhadap air/sumberdaya air.
1
Background paper INFID tentang privatisasi air
1
INFID Annual Lobby 2003
Di banyak negara, kendati bumi ini mengalami krisis pasokan air bersih, tapi air bersih juga
dibuka untuk diprivatisasi, komodifikasi, expor dan perdagangan. Ini disebabkan oleh karena
air, dipandang sebagai barang/komoditi (economic goods) yang dapat diperjualbelikan dan
bukan sebagai barang sosial (social goods). Padahal, air merupakan kebutuhan esensial bagi
seluruh mahluk hidup di dunia ini. Negara harus menjamin akses rakyatnya terhadap air
bersih dan air harus dipandang sebagai barang publik. Karenanya selama ini di kebanyakan
negara, pengelolaan SDA dan pelayanan air bersih biasanya ditangani oleh perusahaan
publik, seperti kalau di Indonesia dikelola oleh PDAM.
Tetapi, di tahun-tahun belakangan ini, seiring dengan berkembangnya industri air global, air
cenderung tidak lagi dipandang sebagai barang publik. Korporasi-korporasi transnasional
(Transnational Corporations – TNCs) mulai menguasai sumber-sumber air, baik dalam
pengelolaannya maupun dalam pelayanannya, demi keuntungan perusahaannya sendiri. Dan
pemerintah di berbagai negarapun, mulai mengalihkan tanggung jawab mereka untuk
memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya kepada korporasi-korporasi raksasa tersebut.
Maka, trend yang berkembang sekarang adalah PRIVATISASI air. Karena, pemerintah atau
perusahaan publik dianggap kurang mampu, dan jikapun mampu, dianggap kurang efisien
dalam melayani kebutuhan air bersih rakyatnya.
Apakah benar pemerintah atau perusahaan publik tidak mampu dan tidak efisien? Kalaupun
iya, apakah kemudian solusinya segampang itu: diserahkan pada swasta? Karena
kenyataannya, pengelolaan SDA oleh swasta juga menimbulkan berbagai persoalan sendiri.
Karena perusahaan swasta yang menganut sistim full-cost recovery, menginginkan
uang/biaya yang sudah mereka keluarkan, dapat balik dan bisa menghasilkan keuntungan,
tanpa terlalu memikirkan kemampuan masyarakat, terutama mereka yang miskin. Contoh
konkritnya adalah kasus privatisasi di Jakarta, ketika PAM-Jaya sudah diambil alih oleh
Thames Water Overseas Ltd (yang kemudian mendirikan PT Thames PAM Jaya) dan Suez
(yang mendirikan PT PAM Lyonnaise Jaya), bukannya menyelesaikan masalah, malah
menimbulkan persoalan-persoalan baru. Efisiensi dan kualitas pelayanan juga tidak
meningkat/membaik.
Semua ini dapat terjadi, sebagai akibat dari Globalisasi ekonomi yang tidak terlepas dari
campur tangan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional seperti World Bank, IMF dan juga
WTO, yang perannya sangat besar dalam membukakan jalan bagi perusahaan-perusahaan
transnasional tersebut untuk menguasai bisnis air di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Caranya, adalah melalui kebijakan-kebijakan yang mereka ciptakan dan syarat-syarat
(conditionalities) yang menyertai utang yang dipinjami. Di Indonesia, syarat-syarat tersebut
ada dalam paket pinjaman program dari Bank Duniauntuk merestruturisasi sektor air di
Indonesia, yaitu WATSAL (Water Resources Sektor Structural Adjustment Loan). Dari
WATSAL inilah maka restruturisasi sumberdaya air di Indonesia mengarah pada privatisasi.
RUU-SDA yang segera akan disahkan tadi juga merupakan salah satu syarat terpenting yang
harus dipenuhi oleh pemerintah guna mendapat pencairan pinjaman.
Paper ini akan mencoba untuk mengangkat berbagai isu dan pendapat diatas. Mengulas
berbagai fenomena menyangkut persoalan air yang terjadi, seperti globalisasi, privatisasi dan
komodifikasi air. Menjelaskan mengenai trend privatisasi sumber daya air secara global, juga
kebijakan-kebijakan pendukungnya. Kemudian masuk ke konteks Indonesia, dimana
Background paper INFID tentang privatisasi air
2
INFID Annual Lobby 2003
kebijakan-kebijakan MDBs terutama Bank Duniamendorong terjadinya privatisasi sumber
daya air di Indonesia, dimulai dengan WATSAL, dimana prinsip-prinsipnya lalu diadopsi
oleh pemerintah Indonesia, dan usaha-usaha pengimplementasiannya. Paper ini juga mencoba
untuk menganalisa dampak yang akan terjadi akibat perubahan paradigma pengelolaan
sumber daya air yang menuju privatisasi, dan memberikan rekomendasi unutk meminimalisir
dampak negatifnya.
A. MASALAH SUMBER DAYA AIR: MASALAH RUMIT
Fenomena diatas tidak terjadi hanya di Indonesia saja, tapi juga terjadi di seluruh dunia. Saat
ini, bumi kita sudah mengalami krisis pasokan air bersih. Sumberdaya air yang ada dipolusi,
cemari, dan eksploitasi. Menurut PBB, 1,3 milyar orang di dunia ini kurang memiliki akses
terhadap air bersih dan 2,5 milyar orang tidak mendapatkan sistim pembuangan dan sanitasi
yang layak. Ada 31 negara di dunia ini yang dinyatakan berada dalam wilayah kekurangan
air. Kebutuhan akan air bersih bertambah dua kali lipat dalam 20 tahun (dua kalinya angka
pertumbuhan populasi dunia) dimana sementara itu tingkat polusi dan pencemaran meningkat
dan sumber-sumber daya air makin dikuras dan diexploitasi oleh perusahaan-perusahaan
besar demi kepentingan mereka sendiri.
Keadaan sudah sedemikian parahnya sehingga PBB merasa perlu untuk mencurahkan
perhatinannya kepada kondisi air bersih dunia dan mengerahkan 23 lembaga dibawahnya,
dikepalai oleh UNESCO, dan sekretariat-sekretariat konvensi internasional untuk membuat
sebuah laporan komprehensif mengenai kondisi dan data air bersih dunia yang paling up-todate. Laporan yang berjudul “World Water Development Report – Water for People, Water
for Life” ini diluncurkan dan dipresentasikan pada World Water Forum ketiga di Kyoto,
Jepang, tanggal 16-23 Maret 2003. Kemudian tahun 2003 inipun dinyatakan sebagai
“International Year of Fresh Water”. Pesan dan kampanye yang disampaikan, adalah agar air
dapat digunakan sebagai agen perdamaian. PBB berharap, akan dapt dicari solusi dan
kesepakatan global untuk mencapai “water peace” dan bukan “water wars”.
Menurut Dirjen UNESCO, Koichiro Matsuura, walaupun selama ini sudah banyak sekali
konferensi-konferensi internasional yang membahas mengenai kelangkaan air, tapi kurang
ada komitmen politik yang dapat membantu untuk mengatasi hal ini. Bahkan, sudah banyak
target yang secara internasional dibuat dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumber daya
air, namun menurut laporan tersebut “hampir tidak ada yang terpenuhi”.
Banyak negara dan wilayah di dunia yang sudah mencapai titik kritis. Dari 180 negara yang
diberi ranking/peringkat dalam laporan tersebut menurut ketersediaan sumberdaya air yang
dapat diperbaharui (renewable water resources) pernegara perkapita, negara/wilayah yang
paling parah ketersediaan airnya (berada pada peringkat terbawah, 176-180) adalah Kuwait,
Jalur Gaza, Emirat Arab, Bahamas, dan Qatar. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat
58, dimana tersedia 13.381 m3 air pertahunnya, perkapita penduduk Indonesia
Tetapi, meskipun Indonesia berada pada peringkat yang “lumayan” dalam hal ketersediaan
airnya, dibandingkan dengan Kuwait (hanya 10m3) atau Emirat Arab (58m3) misalnya,
namun jika dilihat dari kualitas airnya, ternyata Indonesia berada pada peringkat yang cukup
Background paper INFID tentang privatisasi air
3
INFID Annual Lobby 2003
mengkhawatirkan, yaitu urutan ke 110 dari 122 negara yang terdata. Berarti, tingkat polusi,
sistim pembuangan dan sanitasi berada pada tingkat yang cukup parah sehingga jaminan agar
rakyat bisa mendapatkan air bersih yang layak, kecil sekali.
Memang, permasalahan air di Indonesia sendiri cukup kritis. Untuk menjamin ketersediaan
air yang berkesinambungan diperlukan usaha-usaha pengelolaan sumber daya air yang baik,
terpadu dan handal. Adapun permasalahan pokok mengenai sumber daya air yang sering
dihadapi di Indonesia adalah, antara lain:
(1) Adanya kelangkaan lokal (local scarcity) dalam alokasi air untuk berbagai sektor akibat
dari bertambahnya penduduk dan bertambahnya kebutuhan air bersih, khususnya di
daerah perkotaan (urban areas). Karena walaupun ketersediaan air tawar di Indonesia
dalam skala global melimpah, yaitu sekitar 13.000 m3 tadi, tapi kelimpahan tersebut tidak
merata di tiap wilayah. Contohnya di Pulau Jawa yang hanya mempunyai 4,5% potensi
air tawar nasional, tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia yang
seluruhnya berjumlah kurang lebih 210 juta orang.4 Akibatnya Pulau Jawa mengalami
krisis air pada musim-musim kemarau. Padahal, permintaan akan air bersih, terutama di
Jawa, tiap tahunnya makin meningkat. Menurut proyeksi Kimpraswil, pertambahan
permintaan air bersih ini dari tahun 1990 sampai 2020 mencapai 220%.
Tabel 1
Status Sumber Daya Air di Indonesia tahun 1999 Menurut Pulau
Demand/Permintaan
Pulau
Area
(1000
Km2)
Air Permukaan
Potensial (m3/s)
Air Tanah
Potensial
(m3/s)
Low
Flow
Available
Jawa/Bali
Nusa Tenggara
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Irian Jaya
130
81
470
535
187
78
414
6199
1777
23660
32279
2488
3373
28061
95
21
N/A
N/A
44
9
N/A
786
90
4704
6956
561
391
4140
Irigasi
950
70
271
19
120
5
2
DMI
124
3
26
7
6
1
1
Total
1074
73
297
26
126
6
1
17628
1437
1168
1603
Total
1904
97837
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Keterangan:
N/A: Not Available
DMI: Domestic, Municipal and Industry
(2) Akses supply air bersih dari institusi pengelola tidak memadai, sementara itu prasarana
penyedia air bersih perkotaan tidak mampu melayani perkembangan permintaan yang
pesat. Dalam dokumen WATSAL disebutkan, bahwa pada daerah perkotaan, hanya
sebesar 40% dari seluruh penduduk perkotaan yang mendapatkan akses terhadap air
bersih (piped water). Akibatnya, air tanahlah yang diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakan sehari-hari dan kebutuhan industri. Diperkirakan, 80% kebutuhan
4 Sarwoko, A dan Anshori, I. 2003 Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pendayagunaan yang
Berkelanjutan .Direktorat Jendral sumberdaya Air, Dep. Kimpraswil. Maret 2003
Background paper INFID tentang privatisasi air
4
INFID Annual Lobby 2003
air bersih masyarakat perkotaan dan pedesaan masih mengandalkan air tanah, sedangkan
untuk industri hampir mencapai 90% yang mengandalkan air tanah.5
(3) Adanya tekanan terhadap linkungan, yang disebabkan oleh perencanaan yang tidak
memperhatikan pelestarian lingkungan dan factor budaya setempat. Dengan adanya
Industrialisasi dan urbanisasi, menambah tekanan ini.
Karena masalah air yang kompleks diatas maka perlu diatasi dengan kebijakan pengelolaan
yang komprehensif, mencakup lintas sektor yang terpadu, peningkatan kemampuan
kelembagaan dan penerapan program-program pembangunan yang ramah lingkungan.
Berbagai institusi publik, terutama yang bertanggung-jawab untuk penyediaan air bersih
perlu direformasi agar secara efisien dapat melayani masyarakat. Namun yang perlu
diperhatikan adalah, segala bentuk reformasi yang dilakukan dan Undang-Undang yang baru
harus ditujukan untuk menjamin proteksi bagi hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih.
Disinilah dimana perdebatan terjadi. Betul bahwa kita memerlukan regulasi baru dalam hal
pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Namun, celakanya undang-undang tersebut bukan
semata-mata dibuat, murni karena kesadaran kita sendiri, tapi sangat terkait dengan kebijakan
dan prasyarat yang dibuat oleh Bank Duniadan IMF, seperti yang juga terjadi di banyak
negara lain di seluruh dunia, dimana pemecahannya adalah dengan mengoptimalkan peran
swasta dalam pengelolaan sumberdaya air.
B. LATAR BELAKANG DAN DEFINISI
Oleh karena banyak istilah yang penting digunakan dalam paper ini seperti globalisasi,
privatisasi, komodifikasi, air sebagai barang sosial, air sebagai barang ekonomi menjadi
bagian penting untuk pembahasan dalam paper ini, maka penulis akan mencoba membuat
definisinya sesuai dengan konteks pengelolaan sumberdaya air.
1. Globalisasi
Sebuah istilah yang sering kali muncul akhir-akhir ini. Sebagai definisi, artinya adalah sebuah
proses mengintegrasikan dan membuka pasar/perdagangan antar negara. Namun keseluruhan
proses dari globalisasi ini adlah sangat kontroversial dan mengundang kekuatiran dan
perdebatan mengenai national sovereignty, tanggung jawab perusahaan, keadilan dan equity
bagi kaum miskin di dunia, dan perlindungan terhadap lingkungan. Perdebatan ini meluas
dengan adanya eksploitasi dan perdagangan air bersih yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan air minum dalam kemasan (bottled water) secara besar-besaran. Instrumen yang
paling berperan disini adalah perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services)
dalam WTO (Lembaga Perdagangan Dunia).
5 Ir. Yousana OP Siagian.2003. Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan. Direktorat Tata Lingkungan
Geologi dan Kawasan Pertambangan. Maret 2003
Background paper INFID tentang privatisasi air
5
INFID Annual Lobby 2003
2. Privatisasi
Privatisasi dalam sektor air, adalah mengalihkan sebagian atau seluruh aset/pengelolaan dari
perusahaan-perusahaan publik yang mengelola sumberdaya air (misalnya PDAM) ke tangan
pihak swasta. Ada banyak bentuk privatisasi sumberdaya air. Mulai dari hanya mengalihkan
tanggung jawab pemerintah ke pihak swasta dalam mengelola sistem pelayanan air bersih,
atau dialihkan secara lebih menyeluruh bukan hanya dalam pengelolaannya, tapi juga dalam
hal kepemilikannya. Atau, yang lebih gawat lagi, penjualan sebuah sumberdaya air yang
menjadi hak masyarakat lokal (hak masyarakat adat, hak ulayat) ke tangan pihak swasta. Saat
ini, usaha tawaran dan usaha untuk memprivatisasi air/sumberdaya air makin meningkat.
Datangnya, dari perusahaan-perusahaan raksasa trans-nasional (TNCs). Instrumennya,
melalui kebijakan-kebijakan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional.
3. Komodifikasi
Komodifikasi artinya adalah sebuah proses merubah suatu barang/jasa yang tadinya adalah
bagian/subyek dari aturan sosial non-pasar, menjadi subyek aturan pasar6. Dalam proses
globalisasi dan privatisasi cenderung menjadikan air (dan pelayanan air) sebagai komoditi
atau sebagai subyek aturan pasar tanpa mengindahkan aturan budaya tradisional. Contohnya,
adalah air minum dalam kemasan dalam berbagai bentuk (mineral water, flavored water,
glacier water, dll). Dan belakangan ini, penjualan air minum dalam kemasan ini makin
meningkat. Akibatnya, makin banyak pengusaha yang tertarik untuk berbisnis ini dan
mengekspor air untuk tujuan komersial.
4. Air Sebagai Barang Sosial (Social Good)
Adapun yang dimaksud dengan barang sosial (social good), biasanya adalah suatu benda
yang berguna bagi tidak hanya individu, tapi juga penting bagi kehidupan masyarakat.
Tersedianya air bersih secara luas dan terjangkau adalah vital bagi kelangsungan hidup
seluruh mahluk hidup di muka bumi. Karenanya, air adalah barang sosial.
Oleh sebab itu, saluran air merupakan bentuk infrastruktur yang pada zaman dahulu pertama
kali dibuat sebagai bentuk pelayanan masyarakat, bahkan sebelum adanya listrik, sanitasi,
atau bentuk-bentuk pelayanan publik lainnya. Karena akses terhadap air bersih adalah
fundamental bagi kelangsungan hidup, termasuk sebagai sarana untuk mengurangi berbagai
penyakit (UN 1997), maka akses ini harus dijamin oleh negara dan pengelolaannya haruslah
ditangan publik/pemerintah. Sebab, banyak aspek yang harus diperhatikan dan dijaga dalam
pengelolaan sumberdaya air dan pelayanan air bersih, seperti kesehatan masyarakat,
keberlanjutan, menjaga dari kerusakan lingkungan, dll.
Sedangkan jika tanggung jawab ini diserahkan ke swasta, belum tentu aspek-aspek penting
tersebut akan diperhatikan, karena tidak akan menghasilkan keuntungan bagi mereka.
6 Gleick, P.H., G. Wolff, E. L. Chalecki, R. Reyes. 2002. The New Economy of Water: The Risk and
Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water. Pacific Institute. February 2002
Background paper INFID tentang privatisasi air
6
INFID Annual Lobby 2003
5. Air Sebagai Barang Ekonomi
Air didefinisikan sebagai barang ekonomi (economic good) bermula dari adanya kelangkaan
air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Jadi pada awal tahun 1990-an,
berkembang pemikiran bahwa perlu dibuat kebijakan-kebijakan baru untuk mengatasi hal ini,
dengan menggunakan model-model ekonomi neo-liberal. Hasilnya, pada saat berlangsungnya
International Conference on Water and Environment di Dublin, Irlandia pada bulan Januari
1992, dikeluarkanlah empat butir prinsip yang kemudian dikenal sebagai “Dublin
Principles”, yang salah satunya berbunyi: “Water has an economic value in all its competing
uses and should be recognized as an economic good” (“Air mempunyai nilai ekonomi dalam
seluruh kegunaannya dalam berkompetisi sehingga haruslah dikenal sebagai barang
ekonomi”)7
Dari keempat butir prisip yang dikeluarkan, butir inilah yang paling banyak menimbulkan
perdebatan dan penolakan. Alasannya, tentu saja karena air adalah esensial untuk kehidupan.
Memperlakukan air sebagai komoditi yang harus tunduk pada aturan-aturan pasar dapat
menyebabkan mereka yang tidak mampu membayar atau kaum miskin tidak bisa
mendapatkan air bersih.
Lalu, apa artinya bahwa air harus dikenal sebagai barang ekonomi? Artinya, bahwa air
mempunyai nilai untuk diperdagangkan/berkompetisi. Mengelola air sebagai barang
ekonomi, dapat diartikan bahwa air akan dialokasikan untuk keperluan berkompetisi dengan
cara memaksimalkan keuntungan yang bisa didapat dari sejumlah air.8
C. PRIVATISASI AIR: PERAN WORLD BANK, IMF DAN WTO
1. Kenapa Privatisasi?
a. Perubahan Paradigma dari Publik ke Privat
Seperti yang sudah disinggung diatas, keseluruhan fenomena terjadinya privatisasi diseluruh
dunia, tidak terlepas dari adanya peran yang besar dari IMF, World Bank, dan juga untuk
wilayah Asia termasuk Indonesia, peran ADB. Melalui kebijakan-kebijakan yang mengacu
pada prinsip-prinsip Washington Consensus9, seperti pengurangan subsidi, liberalisasi pasar,
privatisasi dan deregulasi, menyebabkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, air dan listrik menjadi berkurang.
7 International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The Dublin Principles. Bisa
dilihat di http://www.wmo.ch/web/homs/icwedece.html
8 Briscoe, J. 1996. “Water as an Economic Good: The idea and what it means in practice.” Sebuah paper
yang dipresentasikan di World Congress of the International Commission on Irrigation and Drainage, Kairo, Mesir,
September 1996. Terdapat di http://www-esd.worldbank.org
9Sebuah istilah yang diluncurkan oleh ekonom Amerika John Williamson pada tahun 1989 yang menganut
model ekonomi yang berakar pada pemikiran bahwa sistim ekonomi pasar liberal merupakan satu-satunya model
ekonomi yang paling pantas di dunia ini. Ada 10 butir ajaran yg dikeluarkan oleh Washington Consensus (dikenal
dengan istilah 10 commandments) yang pada prinsipnya adalah privatisasi perusahaan-perusahaan publik/BUMN,
mengurangi defisit negara dan pajak
Background paper INFID tentang privatisasi air
7
INFID Annual Lobby 2003
Tapi trend privatisasi atau mendukung sektor swasta yang dipromosikan oleh lembagalembaga keuangan internasional tersebut, baru membahana di awal-awal tahun 1990-an.
Sebelumnya, jika kita melihat ke belakang, antara tahun 1960-an sampai 1980-an proyekproyek pinjaman Bank Duniadi sektor air ke negara-negara berkembang adalah untuk
pembangunan dan pengembangan perusahaan-perusahaan publik. Pada masa itu, fokus
pinjamannnya adalah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar, karena pada masa
itu, para pakar ekonomi dunia masih menganut faham ekonomi yang percaya bahwa investasi
di perusahaan-perusahaan publik (BUMN seperti PDAM) dan proyek-proyek infrastruktur
dapat memacu pembangunan. Teorinya, BUMN/Perusahaan publik merupakan bentuk
monopoli natural yang jika dibarengi dengan stabilitas fiskal dan investasi, merupakan jurus
jitu untuk memacu pembangunan.
Namun kemudian paradigma ini berubah pada awal 1990-an. Kenapa? Karena, pertama,
perusahaan publik dianggap tidak dapat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan air bersih. Dalam salah satu working paper-nya, Bank Duniamenyatakan bahwa
monopoli sektor publik dalam pelayanan publik hasilnya mengecewakan. Perusahaan publik
dianggap cenderung gagal dalam mengembangkan jasa pelayanannya seiring dengan adanya
pertambahan permintaan (public demand) yang pesat.
Kedua, perusahaan-perusahaan raksasa dunia (TNCs) melihat bahwa prospek untuk berbisnis
air sangat menguntungkan sehingga mereka meningkatkan upaya mereka untuk dapat
menguasai bisnis air di seluruh dunia.
Dengan keluarnya empat prinsip dasar dalam Dublin Principles pada tahun 1992, termasuk
konsep air sebagai barang ekonomi, sejak itu, konsep tersebut dipakai untuk meninggalkan
cara-cara lama dimana pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pelayanan
air/sumberdaya air dan membuat berbagai upaya dan kebijakan supaya peran tersebut
dialihkan ke swasta.
Trend yang mengarah pada privatisasi ini, sangat jelas terlihat pada negara-negara
berkembang, dimana mereka harus tunduk pada kebijakan, program restrukturisasi
(Adjustment Program) dan syarat-syarat yang diberikan oleh Bank Duniadan IMF. Sebuah
penelitian secara random terhadap program bantuan IMF di 40 negara pada tahun 2000
menunjukkan bahwa dalam perjanjian pinjaman (LoI) IMF dengan negara-negara tersebut,
ada 12 negara yang salah satu loan conditionalities-nya adalah privatisasi sumber daya air
dan cost recovery (Grosky, 2001).
b. Adanya Regim Perdagangan Bebas
Di era globalisasi ini, privatisasi sudah menjadi ‘resep’ perbaikan pengelolaan sumber daya
air yang didorong oleh IMF dan Bank Duniamelalui syarat-syarat pinjaman structural.
Belakangan ini, juga sudah menjadi agenda bersama antara IMF, Bank Duniadan WTO
dalam men-mainstream-kan liberalisasi perdagangan ke dalam pembangunan. Contohnya,
antara tahun 1997-2001 paling tidak ada 36 negara yang setuju untuk tunduk pada WTO atau
berkomitmen untuk mempercepat pengimplementasian aturan-aturan WTO, baik secara
Background paper INFID tentang privatisasi air
8
INFID Annual Lobby 2003
tertulis dalam Program Pengentasan Kemiskinan IMF (PRSP) atau sebagai syarat dalam
perjanjian dengan IMF.10
Namun, aturan-aturan mengenai perdagangan internasional yang dibuat oleh Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) serba kompleks dan kadang malah bertentangan. Banyak pula
yang kemudian menjadi isu yang kontroversial karena berimplikasi pada kerusakan
lingkungan, masyarakat sipil, dan ekonomi lokal. Salah satunya yang sangat berimplikasi
terhadap sektor air adalah GATS (General Agreement on Trade in Services).
Dalam GATS, negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, terikat dalam komitmen
program “Liberalisasi progresif dalam semua jasa pelayanan” termasuk pelayanan dasar
seperti air. Walaupun sebenarnya aturan GATS tidak secara spesifik mengharuskan
anggotanya untuk memprivatisasi pelayanan publik, tapi di dalamnya terdapat aturan-aturan
yang menciptakan kondisi untuk terjadinya deregulasi dan privatisasi.
Contohnya, salah satu aturan GATS dalam ‘regulasi domestik’ memperbolehkan sebuah
negara untuk menantang hukum, kebijakan dan program suatu negara lainnya jika dianggap
menghambat penjualan jasa pelayanan. Akibatnya, hukum/aturan yang memproteksi sistem
pelayanan publik di negaranya dapat digugat sebagai hambatan perdagangan jasa pelayanan
(trade in services) antar wilayah. Peraturan ini berlaku untuk semua level pemerintahan, baik
di tingkat nasional, regional, maupun daerah.
2. Bentuk-bentuk Privatisasi
Privatisasi bentuknya bisa bermacam-macam, dari yang sifatnya hanya sebagian dialihkan ke
swasta, sampai pada bentuk privatisasi dimana peran, tanggung jawab, bahkan kepemilikan
pemerintah sama sekali dihilangkan. Cara memilah-milahnyanya pun bemacam-macam,
tergantung pada bagaimana pengaturannya, bentuk kontrak dan modelnya.
Perlu
ditekankan
disini,
bahwa
bagaimanapun
bentuknya,
bahkan
jika
kepemilikan/ownership-nya masih ditangan pemerintah dan swasta hanya mengelola saja,
semuanya adalah bentuk PRIVATISASI.11 Umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan
karena orang mengasosiasikannya dengan kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau
penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi. Padahal, walaupun
aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanyalah tugas-tugasnya/
pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi.
Namun, banyak pihak seperti Bank Duniayang kemudian lebih suka untuk menggunakan
istilah lain jika suatu aset/perusahaan status kepemilikannya masih milik negara. Istilah yang
kemudian dipopulerkan adalah Private Sektor Participation (PSP – Partisipasi Sektor
10 Mehta, Lyla dan Birgit La Cour Madsen, 2003. Is the WTO After your Water?: The General Agreement
on Trade and Services (GATS) and the Basic Right to Water. Intitute of Development Studies, University of Sussex,
August 2003.
11 Ini perlu ditekankan karena banyak sekali terjadi kesalahan pengertian dan informasi mengenai bentuk
apa yang disebut dengan privatisasi. Bahkan dikalangan DPR dan pemerintah kitapun masih banyak yang salah
mengerti. Pengertian dan definisi dari privatisasi ini adalah berdasarkan beberapa referensi. Diantaranya Gleick et al.
2002, Grusky. 2002
Background paper INFID tentang privatisasi air
9
INFID Annual Lobby 2003
Swasta) atau Public Private Partnership (PPP – Kemitraan Publik dan Swasta). Juga, karena
masalah mengenai privatisasi pelayanan dasar seperti air menimbulkan banyak perdebatan
dan pertentangan dimana-mana, apalagi jika sampai sebuah sumberdaya air kepemilikannya
ada di tangan swasta (private ownership), maka model yang dipromosikan saat ini adalah
PSP dan PPP.
Dari hasil kajian yang dikeluarkan oleh Pacific Institute – AS, berikut adalah fungsi-fungsi
sistem jasa air yang dapat diprivatisasi:
1. Perencanaan pengembangan modal dan penganggaran (termasuk konservasi air dan
isu-isu reklamasi sistim pembuangan air)
2. Pendanaan pengembangan modal
3. Disain dari pengembangan modal
4. Konstruksi dari pengembangan modal
5. Pengoperasian dan fasilitas
6. Pemeliharaan fasilitas
7. Keputusan mengenai harga (pricing)
8. Manajemen tagihan (billing) dan pengumpulan pendapatan
9. Manajemen pembayaran terhadap pekerja atau kontraktor
10. Manajemen finansial dan resiko
11. Establishment, monitoring and enforcement dari kualitas air dan standar-standar
pelayanan lainnya
Model-model privatisasi/PSP/PPP yang ada, tercipta dari hasil kombinasi fungsi-fungsi
diatas. Model yang biasanya tercipta adalah:
a. Kontrak Pelayanan dan Leasing/Kontrak Sewa
Pada model ini, perusahaan publik pengelola air bersih (kalau di Indonesia PDAM)
memberikan tanggung jawab kepada swasta untuk kegiatan-kegiatan pengoperasian dan
pemeliharaan, kontrak pelayanan umum, atau manajemen fasilitas yg di kontrak-sewakan.
Biasanya kontrak-sewa seperti ini berjangka waktu 10-15 tahun atau lebih dan perusahaan
swasta tersebut memperoleh bagian dari pengumpulan pendapatan yang berasal dari
tagihan pembayaran (Panos, 1998).
b. Model Konsesi
Model konsesi ada bermacam-macam. Pada model full-konsesi, tanggung jawab
pengoperasian dan manajemen pada seluruh system pengelolaan air dialihkan ke swasta.
Di dalam kontraknya, termasuk disebutkan mengenai perincian untuk risk allocation dan
keperluan investasi. Kontrak konsesi biasanya berjangka waktu cukup lama, dari 25-50
tahun.
Variasi dari konsesi adalah Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Operate-TrainTransfer (BOTT), Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), Rehabilitate-Operate Transfer
(ROT), dan Build-Operate-Own (BOO). Pengaturan seperti ini, kadang dinggap sebagai
“konsesi sebagian” (partial concession) karena tanggung jawab yang diserahkan pada
Background paper INFID tentang privatisasi air
10
INFID Annual Lobby 2003
perusahaan swasta, hanya pada porsi tertentu. Kepemilikan terhadap fasilitas modal akan
diserahkan kembali ke pemerintah setelah masa kontrak habis.
Gambar 1
Tipe-tipe Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Publik dan/atau Swasta
swastaMix
Manajemen Aset
Public
Water PLC
Joint
Venture
Konsesi
BOT, BOOT, dsb
Lease Contract
Kontrak manajemen
Corporatized
Utility
Kontrak servis
publik
Kecamatan
Kabupaten
Tipe-tipe
Asosiasi
Pengguna
Air
WUA
Tipe manajemen
publik
Publik
Private
Manajemen
Water PLC
swasta
Mix
Public-Private
Partnership
Swasta
Kepemilikan Aset
Sumber: Gleick, et al. (2002)
c. Bisnis swasta penuh dan Pengusaha kecil
Pada model ini, dimana sebuah perusahaan swasta - kecil maupun besar – memegang penuh
bisnis manajemen dan supply air bersih, segala macam regulasi untuk memproteksi “barang
publik” seperti hak atas air dan pemeliharaan lingkungan dapat terabaikan sama sekali. Bisnis
swasta seperti ini biasanya ditemukan jika perusahaan penyedia jasa air yang ada (sebut saja
PAM/PDAM) kualitasnya jelek atau tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Airnya
mereka ambil langsung dari PAM, atau secara tidak langsung dari pelanggan PAM, atau dari
sumber-sumber air yang sudah mereka kuasai/privatisasi.
Celakanya, bisnis swasta seperti ini biasanya beroperasi pada daerah pinggiran atau daerah
miskin dimana akses terhadap air susah. Ada banyak studi yang menunjukkan bahwa banyak
rakyat miskin di dunia ini yang seringkali harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan
air bersih dari supplier swasta seperti ini (biasanya disebut private vendors) ketimbang jika
mereka punya akses ke sarana PAM yang layak.
Namun, model atau bentuk manapun yang digunakan, perlu diingat bahwa pengalaman di
seluruh dunia menunjukkan bahwa bisnis swasta, bagaimanapun mereka mencoba untuk
Background paper INFID tentang privatisasi air
11
INFID Annual Lobby 2003
bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka, tidak didisain untuk menyediakan
pelayanan publik atas dasar persamaan dan keadilan.
2. Pemain-pemain Korporasi
Di tingkat internasional, terdapat industri global yang berspesialisasi di bisnis air. Ada dua
perusahaan raksasa yang mendominasi disini, dua-duanya milik Perancis, yaitu Vivendi
Universal dan ONDEO-Suez (dulu bernama Suez Lyonnaise des Eaux, yang sekarang
menguasai setengah pelayanan air bersih di Jakarta). Kedua perusahaan ini memiliki bisnis
air di 120 negara, dimana masing-masing menyatakan bahwa mereka melayani kebutuhan air
bersih kepada kira-kira 100 juta orang.12
Korporasi-korporasi besar lainnya yang menguasai industri air dunia diantaranya adalah
Thames Water dari Inggris yang telah dibeli oleh RWE - Jerman, United Utilities - Inggris,
Bechtel - AS, dll (lihat Table 2). Dan ternyata, banyak dari korporasi-korporasi besar ini yang
saling berhubungan. Seperti misalnya, pada tahun 1999, Vivendi membeli US Filter
Corporation, United Utilities dari Inggris mempunyai joint ventures dengan Bechtel, dan
United Water Resources dari AS sebagian sahamnya dimiliki oleh Suez.
Tabel 2
Daftar Korporasi Paling atas Dalam Industri Air
Korporasi
Anak Perusahaan
Negara
Vivendi
Vivendi Water
Perancis
Universal
Suez
ONDEO
Perancis
RWE
Thames
Jerman
Bouyguez
SAUR
Perancis
United
United
Utilities Inggris
Utilities
Water
Severn Trent
Inggris
AWG plc
Anglian Water
Inggris
Kelda
Yorkshire Water
Inggris
Bechtel
International Water AS/Inggris
Sumber: Polaris Institute, Global Water Grab
Laba
2001
(milyar dolar)
Pendapatan
dari Air 2001
(milyar dolar)
-1.02
11.90
37.2
55.5
17.9
2.7
1.80
1.11
0.301
0.467
8.84
2.8
2.18
1.35
2.6
2.6
1.1
15.1
0.307
0.195
0.231
1.28
1.03
0.8
Pendapatan
2001
(milyar
dolar)
51.7
Jakarta, adalah termasuk kota yang berhasil dikuasai oleh dua dari korporasi-korporasi
penguasa air tersebut, yaitu oleh ONDEO-Suez dan Thames Water. Melalui cara-cara yang
sarat dengan KKN (baca box 1) , keduanya berhasil mendapatkan kontrak konsesi masingmasing selama 25 tahun untuk pelayanan air bersih kota Jakarta. Batam merupakan satu lagi
kota di Indonesia yang telah berhasil diprivatisasi. Yaitu oleh Biwater dari Inggris yang juga
mendapatkan konsesi selama 25 tahun.13 Selain itu ada Cascal BV di Pakanbaru dan DWB di
Manado.
12 Barlow, M. 1999. Blue Gold: The Global Water Crisis and the Commodification of the World’s Water
Supply. International Forum on Globalization
13 Ardhianie, Nila. 2003. Membeli Air pada Swasta Asing. INFOG
Background paper INFID tentang privatisasi air
12
INFID Annual Lobby 2003
Box 1
Privatisasi PAM JAYA yang sarat KKN
Jakarta, sebagai ibukota negara Indonesia adalah kota yang paling padat penduduknya yang terletak di
pulau yang juga paling padat yaitu pulau Jawa. Dari tahun-ke tahun, penduduk Jakarta makin
bertambah saja. Tapi pertambahan penduduk Jakarta, tidak dibarengi dengan penambahan sarana
infrastruktur kota. Salah satu yang terpenting, dari hasil survey yang dilakukan pada tahun 1994,
ternyata hanya ada 42,6% rumahtangga di Jakarta yang mempunyai akses ke air bersih / pipa.
Sehingga, 53% penduduk harus menggunakan air tanah (groundwater) untuk minum, dan 70%
menggunakan airtanah untuk cuci dan mandi (karena kualitas airtanah di beberapa area Jakarta tidak
memungkinkan untuk diminum).
Karena keadaan diatas, pada tahun 1991 Bank Duniamenawarkan pinjaman sebesar 92 juta USD
kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastrukturnya. Tujuannya, agar PAM Jaya menjadi lebih
menarik bagi investor dan layak untuk diprivatisasi. Pinjaman ini dibarengi dengan pinjaman dari
Pemerintah Jepang melalui OECF untuk membangun water purification plant di Pulogadung, Jakarta
Timur.
Begitu pinjaman diberikan, langsung saja dua perusahaan air raksasa, yaitu Thames Water Overseas
Ltd. dan perusahaan Perancis Suez berebut untuk menguasai sistim air Jakarta. Pada tahun 1993,
Thames beraliansi dengan Sigit Harjojudanto, anak dari Presiden Soeharto. Sedangkan Suez, langsung
mendekati Anthony Salim, seorang konglomerat yang merupakan kroni Soeharto. Akhirnya
pelayanan air Jakarta dibagi dua dan masing-masing perusahaan mendapatkan porsi yang sama.
Kemudian, atas permintaan Thames dan Suez, pada tahun 1995, Presiden Soeharto memberikan
perintah kepada menteri pekerjaan umum waktu itu untuk memprivatisasi PAM Jaya. Pada tahun
1997, PAM Jaya dan kedua perusahaan tersebut menandatangani sebuah kontrak konsesi berjangka
waktu 25 tahun. Baik Suez maupun mendirikan perusahaan lokal dengan partner Indonesia mereka,
dengan Thames memegang 80% saham atas perusahaannya dengan Sigit, dan Salim Group
memberikan 40% sahamnya kepada Suez.. Dalam kontrak tersebut, seluruh sistim pelayanan air
Jakarta diberikan kepada kedua perusahaan tersebut, yaitu supply air bersih, treatment plants, system
distribusi, pencatatan dan penagihan, juga bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya. Imbalannya,
kedua perusahaan swasta tersebut setuju untuk membayar utang PAM Jaya sebesar 231 juta USD.
Tapi kemudian, dengan terjadinya demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan jatuhnya kepemimpinan
Soeharto, pemerintah Indonesia mencoba untuk membatalkan kontrak tersebut. Namun gagal karena
diancam tuntutan hokum oleh Thames dan Suez. Akhirnya kontrak direnegosiasi dan berakhir dengan
Thames dan Suez masing-masing memegang 95% saham dan mereka mendirikan dua perusahaan
baru yaitu PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya.
4. Kebijakan Air Bank Dunia
Seperti yang tadi sudah dikatakan, Bank Duniamempunyai peran yang sangat besar dalam
sektor sumberdaya air. Dan bukan hanya peran, tapi juga kekuasaan. Peran dan kekuasaan
tesebut diperoleh melalui kebijakan-kebijakan dan persyaratan-persyaratan yang menyertai
pinjaman yang mereka berikan, yang sayangnya, sangat mendorong terjadinya privatisasi air
di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Melalui program PSP dan PPP, dan dengan
alasan untuk mengurangi kemiskinan dan agar dapat mencapai target Milenium Development
Background paper INFID tentang privatisasi air
13
INFID Annual Lobby 2003
Goals (MDGs) tahun 2015, Bank Duniadengan giatnya mendorong agar pemerintah negaranegara bekembang untuk mengecilkan peran mereka dalam hal pelayanan publik dan
mengalihkannya ke pihak swasta. Usaha untuk memperbesar peran swasta ini nampak jika
kita melihat urut-urutan kebijakan Bank Duniayang menyangkut sektor sumberdaya air.
Nah, sebenarnya, keterlibatan Bank Duniadalam sektor air sudah mulai sejak awal-awal
IBRD didirikan, jika dilihat dari banyaknya jumlah proyek-proyek World untuk mendanai
sektor air sejak dulu yang sudah berjumlah 1044 proyek. Namun, kebijakan mereka untuk
sektor air baru keluar pada tahun 1993 yang dinamakan “Water Resource Management
Policy” yang penyusunannya membutuhkan waktu tiga tahun. Kebijakan dalam Manajemen
Sumber Daya Air ini, menurut World Bank, merefleksikan kesepakatan-kesepakatan dalam
Rio Earth Summit/ KTT Bumi di Rio tahun 1992, dan juga Dublin Principles.
Fungsi dari kebijakan ini adalah, satu, untuk mendorong reformasi dalam hal kebijakan,
perencanaan, dan manajemen institusi pengelola sumberdaya air di negara-negara peminjam.
Dua, sebagai panduan bagi Bank Dunia sendiri untuk membantu negara-negara peminjamnya
dalam hal menciptakan upaya-upaya reformasi tersebut dan alat-alat untuk mengimplementasikannya.
Kebijakan tersebut berfokus pada tiga tema sentral, yaitu: 1) kerangka kerja dengan
menggunakan analisa yang komprehensif untuk dapat mengidentifikasikan prioritas apa yang
diperlukan (perencanaan holistik); 2) sistem institusional dan sistem peraturan/perundangundangan yang didukung oleh legislatif yang dapat menunjang terjadinya perubahan (dengan
penekanan pada desentralisasi dan partisipasi); dan 3) masalah financial cost dan opportunity
costs dari air dan kegunaannya dalam berkompetisi (sebagai barang ekonomi). Sebuah
matriks rekomendasi dari kebijakan tersebut, yang disebut dengan Water Policy Matrix of
Recommended Reforms, dapat dilihat dalam Annex 1.
Sejak berlakunya kebijakan tersebut, pinjaman-pinjaman Bank Dunia di sektor air meningkat.
Saat ini outstanding commitments Bank Duniauntuk proyek-proyek air adalah sebanyak US$
17 milyar. Dari tahun 1993 sampai 2001, sekitar 17 persen dari pinjaman Bank Dunia adalah
untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumberdaya air, seperti proyek water supply
dan sanitasi, irigasi dana sistem pembuangan, pembangkit tenaga air dan komponen
manajemen sumberdaya air.14
Namun, pada kebijakan tahun 1993 itu, ternyata kemudian, pada tahun 1998, kebijakan
manajemen sektor air tersebut dievaluasi untuk melihat ke-efektifannya setelah lima tahun
diimplementasikan. (cari report dari evaluasi ini di akhir 1999 atau awal 2000)
Kini, sepuluh tahun sudah Bank Dunia mengimplementasikan dublin principles dalam
kebijakan sektor airnya. Tahun 2003 ini, Bank Duniakemudian mengeluarkan strateginya
untuk sektor sumberdaya air (Water Resources Sektor Strategy). Karena walaupun prinsipprinsip Dublin tersebut menurut Bank Dunia tetap kuat, sesuai dan relevan sampai sekarang,
namun dari hasil review negara-negara industrialisasi (OECD) menunjukkan bahwa
perkembangan pengimple-mentasiannya masih sulit dan lamban. Juga, review Operation and
14
Lihat di www.worldbank.org/water. Updated April 2003
Background paper INFID tentang privatisasi air
14
INFID Annual Lobby 2003
Evaluation Department (OED) menyimpulkan bahwa tantangan terhadap penerapan
kebijakan air tahun 1993 adalah dalam mengembangkan pendekatan untuk spesifik konteks,
prioritas, urutan, yang realistis dan “sabar” dalam pengimplementasiannya.15
Inti pesan yang ingin disampaikan oleh Water Resource Strategy ini adalah:
Pertama, manajemen dan pembangunan sumber daya air adalah salah satu kunci dari
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Kedua, negara-negara berkembang
harus aktif dalam hal pengelolaan dan pembangunan infrastruktur sumber daya air. Ketiga,
tantangan dalam hal pengelolaan sumber daya air bukanlah pada visi pengelolaan
sumberdaya air yang terintegrasi tapi pada pendekatan yang “pragmatis tapi berprinsip”.
Maksudnya, adalah pendekatan yang tetap menghargai prinsip-prinsip efisiensi, keadilan dan
keberlajutan, tapi sekaligus menyadari bahwa pengelolaan sumber daya air merupakan upaya
politis sejalan dengan upaya reformasi ekonomi politik di negara-negara berkembang16.
Kemudian pesan yang keempat adalah, Bank Dunia perlu membantu negara-negara
berkembang untuk membangun infrastruktur hidrolik (bendungan, kanal, tanggul, pipa air)
dan dalam hal pemeliharaannya supaya dalam kondisi tetap baik, dengan cara mengusahakan
public-private financing, sekaligus memenuhi standar-standar sosial dan lingkungan.
Kelima, agar dapat menjadi mitra yang lebih efektif, Bank Dunia akan memperbaharui
kontrak-kontrak infrastuktur hidrolik yang beresiko tinggi, dengan menggunakan model
bisnis yang lebih efektif, dengan mengikutsertakan IFC.17
Pesan keenam, banyak yang merasa bahwa peran Bank Dunia di sektor air menghasilkan
keuntungan komparatif, sehingga, makin banyak permintaan dari berbagai pihak, akan
keterlibatan Bank Dunia di sektor sumber daya air. Artinya, jika Bank Dunia ingin tetap di
anggap sebagai sebuah institusi yang kredibel, maka Bank Dunia harus menjadi mitra yang
melayani secara penuh, baik dalam hal investasi maupun pengetahuan. Dan disini, Bank
Dunia, termasuk didalamnya ‘perpanjangan tangan korporasi’ Bank Dunia untuk sektor
bisnis dan pemberi jaminan asuransi yaitu IFC dan MIGA, memainkan peran penting dalam
menarik investor swasta.
Dan pesan yang terakhir, yang ketujuh adalah, bantuan Bank Dunika di setor air harus
disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara juga konsisten dengan CAS (Country
Assistance Strategy) dan PRSP (Poverty Reduction Startegy Paper) negara tersebut.
World Bank. 2003. Water Resource Sektor Strategy: Startegic Directions for Bank DuniaEngangement.
February 2003
16 Usaha Bank Duniauntuk mereformasi sektor sumber daya air di negara-negara berkembang seperti di
Indonesia, yang diimplementasikan melalui WATSAL, adalah bagian dari usaha Bank Duniauntuk mendorong
terjadinya reformasi ekonomi, perubahan fiscal dan reformasi politik menuju liberalisasi.
17 Perbaharuan kontrak pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur hidrolik ini didasari pertimbangan
yang berasal dari pengalaman Bank Duniadimasa lalu. Yang selama ini terjadi, bagi negara-negara berkembang yang
menginginkan investasi proyek-proyek infrastruktur besar, kadang terdapat keengganan dari Bank Duniauntuk
membatu karena resikonya tinggi (resiko politik, ekonomi). Karena itu, Bank Duniakemudian mengembangkan
model bisnis baru, yang lebih menguntungkan, dengan mengikutsertakan cabang bisnis dari World Bank, yaitu
International Finance Corporation (IFC)
15
Background paper INFID tentang privatisasi air
15
INFID Annual Lobby 2003
Agenda bersama Bank Dunia dan IMF (TNCs?)
Seperti yang sudah disebutkan diatas, Bank Duniadan IMF mempunyai peran penting dalam
mendorong kebijakan privatisasi sumberdaya air ke negara-negara peminjamnya. Melalui
program PSP dan PPP, Bank Duniadengan giatnya mendorong agar pemerintah negaranegara bekembang untuk mengecilkan peran mereka dalam hal pelayanan publik dan
mengalihkannya ke pihak swasta. Jika menilik Kebijakan Bank Dunia tahun 1993 untuk
sumber daya air dan strateginya yang baru mengenai pengelolaan sumber daya air, usaha
pengalihan ke swasta tersebut jelas sekali terlihat. Dan negara-negara peminjam,
dikondisikan untuk menerima kebijakan dan strategi tersebut.
Contohnya, pendekatan “pragmatis tapi berprinsip” dalam strategi Bank Duniayang harus
sejalan dengan upaya reformasi ekonomi di negara-negara berkembang. Reformasi ekonomi
itu kita tahu, didorong ke arah kebijakan ekonomi ala Washington Consensus melalui syaratsyarat pinjaman IMF dan Bank Dunia. Dan keduanya merupakan institusi yang sangat kuat
kekuasaannya.
Seperti yang terjadi dengan Indonesia semenjak takluk dibawah kekuasaan program IMF
pada saat kita terpuruk dalam krisis ekonomi 1997. Program reformasi ekonomi makro IMF
mengharuskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan kerangka kerja kebijakan makro
ekonomi yang didisain IMF. Jika pemerintah tidak melaksanakannya maka tidak hanya akan
mempengaruhi pinjaman dari IMF saja, tapi juga dapat menghambat pinjaman dan bantuan
dari lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya dan pinjaman bilateral. Apalagi forum
kreditor bagi Indonesia yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) juga
mengacu pada program makro ekonomi IMF dan bergantung pada analisa dan rekomendasi
Bank Dunia dalam memberikan bantuannya.
Kemudian mengenai dua ‘perpanjangan tangan korporasi” Bank Duniayaitu International
Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) yang
menyediakan pinjaman, garansi dan bantuan tehnis bagi korporasi-korporasi besar. IFC
memberikan pinjaman dan garansi bagi perusahaan swasta yang berinvestasi pada
pembangunan dan pengembangan prasarana dan infrastruktur yang mayoritas untuk bidang
telekomunikasi dan sektor listrik. Baru-baru ini saja kemudian diberikan untuk infrastruktur
air. Sebab, investasi di sektor air memerlukan reformasi kebijakan, relgulasi dan struktur
institusional. Sehingga, kelompok Bank Dunia kemudian mendorong usaha reformasi
tersebut, tidak hanya melalui syarat pinjaman seperti WATSAL, tapi juga melalui Private
Sektor Advisory Services (PSAS) dan Foreign Investment Advisory Service (FIAS) yang
memberikan jasa konsultansi bagi perusahaan swasta dan pemerintah dalam hal kebijakan,
pengimplementasian transaksi, privatisasi, dan iklim investasi (Grusky, 2002).
Sedangkan MIGA memberikan jaminan asuransi politik bagi investasi swasta. Belakangan
ini, MIGA banyak membantu perusahaan air swasta dalam pencarian solusi untuk faktorfaktor resiko yang dapat menghambat pertumbuhan investasi mereka di sektor air. Nah,
dalam starteginya unutk sektor air yang baru, Bank Dunia akan lebih meningkatkan
keterlibatan IFC dan MIGA ini agar dapat menciptakan iklim yang lebih aman bagi investor.
Background paper INFID tentang privatisasi air
16
INFID Annual Lobby 2003
Lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut menyatakan bahwa misi mereka adalah
untuk mengurangi kemiskinan dan mengatasi permasalahan sumberdaya air di seluruh dunia.
Sedangkan para kritisi menyatakan bahwa kebijakan mereka hanyalah menguntungkan bagi
korporasi-korporasi transnasional dan justru mengakibatkan jumlah kemiskinan bertambah
dan sumberdaya air makin tercemar dan tereksploitasi. Tapi memang, jika kita melihat secara
keseluruhan kebijakan ekonomi global yang sepenuhnya dimotori oleh lembaga-lembaga
keuangan tersebut, kita bisa melihat benang merah dimana kebijakan liberalisasi, deregulasi
dan privatisasi terkait dengan kepentingan TNCs.18
D. PRIVATISASI AIR DI INDONESIA
1. WATSAL
Sampai saat ini, sektor sumber daya air Indonesia diatur oleh UU No.11/1974 tentang
Pengairan. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan adanya perubahan-perubahan
yang cepat dalam tata kehidupan masyarakat, globalisasi, perubahan kebijakan ekonomi dan
politik, dan desentralisasi, maka undang-undang 1974 tersebut sudah tidak memadai. Juga,
terdapat aturan-aturan terkait lainnya yang juga menyangkut sumber daya air dan
pengelolaannya, tapi tidak integratif dan koordinatif19. Maka, perlu ada kebijakan baru yang
akomodatif terhadap perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi, juga terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Implikasinya, seluruh sektor sumber daya air di Indonesia harus direformasi/restrukturisasi.
Dan hal inilah yang kemudian yang mendasari Bank Dunia untuk memberikan pinjaman
restrukturisasi sektor sumber daya air (WATSAL). Melalui WATSAL, reformasi yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentunya harus mencerminkan pandangan dan kebijakan
Bank Dunia untuk sektor sumber daya air, seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya.
Sehingga hasilnya, reformasi sumber daya air Indonesia yang dirancang oleh pemerintah kita
(bisa dilihat di website Kimpraswil, www.kimpraswil.) , didasari oleh paradigma baru
sebagai berikut:
• Berwawasan Lingkungan: untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan
• Perubahan Peran Pemerintah: dari yang tadinya berperan sebagai penyedia (provider)
berubah fungsi sebagai yang memungkinkan tersedianya air dan sumber air (enabler),
atau lebih sebagai fasilitaor
• Desentralisasi Kewenangan: Pengelolaan SDA harus memperhatikan kewenangan
daerah kabupaten, kota dan propinsi
• Hak Asasi Manusia: selama ini terjadi ketidak adilan distribusi air, dan setiap individu
sebenarnya mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses terhadap air dan
sumber air
18 Grusky, S.2002. The IMF, the Bank Duniaand the Global Water Companies: A shared Agenda.
International Water Working Group dan Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment Program. 2002.
Profit Streams: The Bank Dunia& Greedy Global Water Companies. Water for All. September 2002.
19 Misalnya UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.
4/1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 22/1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan
Background paper INFID tentang privatisasi air
17
INFID Annual Lobby 2003
•
•
Demokratisasi: berubah dari pola pendekatan pembangunan top-down menjadi ompola-pola pendekatan yang proporsional antara top-down dan bottom-up sehingga
lebih efektif
Globalisasi: paradigma baru yang mewarnai reformasi kebijakan sektor sumber daya
air yang didukung oleh WATSAL untuk membuat UU baru mengenai SDA,
menetapkan kebijakan air nasional dan pembentukan Dewan Air Nasional dan
Daerah. Upaya reformasi ini selaras dengan isu-isu global mengenai Sumber Daya
Air.
Dengan melihat paradigma diatas, jelas sekali bahwa reformasi ini sangat kental diwarnai
oleh kebijakan dan syarat-syarat yang diberikan Bank Dunia melalui WATSAL. Dan
kebijakan baru dengan dasar paradigma globalisasi tersebut, merupakan awal dari sebuah
usaha untuk meliberalisasi dan memprivatisasi sektor sumber daya air Indonesia melalui
konsep PPP dan PSP.
2. Latar Belakang Lahirnya WATSAL
Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997 berdampak pada kolaps-nya kondisi
makro ekonomi Indonesia dan defisit Neraca pembayaran. Kondisi ini, menyebabkan
pemerintah Indonesia berserah diri pada program IMF dan melaksanakan kerangka kerja dan
kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI) yang pertama kali ditandatangani pada
tanggal 31 Oktober 1997 antara pemerintah kita kepada IMF. Pemerintah kita juga harus
melakukan agenda reformasi kebijakan dan institusional berdasarkan: a) manajemen makro
ekonomi; b) restrukturisasi finansial dan corporate sektor ; c) proteksi terhadap kaum miskin;
dan d) reformasi institusi-institusi ekonomi.
Strategi dan program untuk melaksanakan agenda diatas kemudian dimatangkan sepanjang
tahun 1998 bekerjasama dengan Bank Dunia, ADB dan kreditor bilateral. Bank Dunia pun
mengeluarkan pinjaman “Policy Reform Support Loan” (PRSL) sebesar US$ 1 milyar pada
bulan Juni 1998, yang kemudian disusul dengan PRSL II sebesar US$ 500 juta, dimana
terdapat rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia20, seperti yang
tertera dalam Matrix of Policy Actions di PRSL II tersebut.
Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul, oleh karena pada akhir
tahun 1997, terdapat sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa Bank
Dunia tidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut bagi sektor sumber daya air dan irigasi
Indonesia, jika tidak ada perombakan/reformasi secara besar-besaran pada sektor tersebut.
Perlunya perombakan ini, sebelumnya juga sudah diidentifikasi oleh Bank Duniadan ADB
pada saat terjadi dialog sektoral antar departemen yang diadakan oleh BAPPENAS dalam
rangka penyusunan Repelita VII.
Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air (Improve water resource management) yang terdapat dalam Matrix of
Policy Reform – PRSL II, direncanakan implementasinya setelah Juni 1999, yang rencananya dibagi dalam dua
bagian yaitu, satu, memformulasikan kebijakan sumber daya air nasional dan rencana implementasinya; dan kedua,
mendirikan sebuah badan nasional yang akan menyusun kebijakan tersebut, berikut penuntun dan perencanaan
startegisnya.
20
Background paper INFID tentang privatisasi air
18
INFID Annual Lobby 2003
Karena itu, dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, Bank
Duniamenawarkan pada pemerintah Indonesia, sebuah pinjaman program untuk
merestrukturisasi sektor sumber daya air Indonesia, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini,
menjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan makro ekonomi
Indonesia yang sifatnya “quick disburse” supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran,
seperti juga yang tertera dalam dokumen Country Assistance Strategy (CAS) Progress
Report21 untuk Indonesia, bulan Juni 1999.
Penawaran ini diterima oleh pemerintah Indonesia, dan Bappenas pun kemudian dengan
segera membentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari orang-orang pemerintah dan NGO
untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama-sama dengan staf Bank Dunia. Tim ini,
melalui Keputusan Menteri tanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional
Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources
Sektor Policy), dibawah Bappenas dan Kimpraswil.
Tim ini, yang lebih dikenal sebagai WATSAL Task Force/Kelompok Kerja WATSAL,
kemudian bersama-sama dengan Dirjen-dirjen terkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim
Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air22, menandatangani Letter of Sektor Policy yang
didalamnya terdapat Matriks kebijakan yang disusun oleh kelompok kerja WATSAL. Selain
itu, kelompok kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang
berisi tahapan-tahapan proses dan time-frame dari masing-masing rencana restrukturisasi
dalam Matriks Kebijakan. Rencana ini diserahkan ke Bank Dunia pada tanggal 29 Maret
1999, sebagai panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.
Akhirnya, Loan Agreement sebesar US$ 300 juta akhirnya ditandatangani pada tanggal 28
Mei 1999, dengan jangka waktu pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun.
Pencairan pinjaman dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei
1999 sebesar US$ 50 juta. Tahap kedua sebesar US$ 100 juta, yang semula direncanakan
untuk dicairkan pada akhir 1999, ternyata baru bisa cair pada bulan Desember 2001, karena
pada masa itu terjadi pergolakan politik dan pergantian pemerintahan Indonesia. Sedangkan
agenda WATSAL tahap ketiga sebagian besar saat ini masih dalam proses, termasuk
diantaranya agar Indonesia segera mensahkan RUU Sumber Daya Air yang baru.
Prinsip-prinsip yang ada dalam WATSAL yang harus diadopsi oleh pemerintah Indonesia
dalam Undang-undang baru mengenai sumber daya air dan kerangka kerja implementasinya
adalah23:
21 Dokumen CAS Progress Report ini merupakan hasil revisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan pada
bulan Juni 1997, karena situasi politik dan ekonomi Indonesia akibat krisis ekonomi 1997.
22 Tim koordinasi ini dibentuk atas dasar pertimbangan bahwa perlu ada koordinasi antar departemen
untuk pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan untuk persetujuan WATSAL. Karena itu dibentuklah Tim
Koordinasi terdiri dari sepuluh kementerian untuk “Kebijakan untuk Pemanfaatan Sungai dan DAS yang Efisien dan
Berkelanjutan” berdasarkan Keppres No.9/Januari 1999. Tim Koordinasi ini diketuai oleh Menko Perekonomian,
wakil ketua adalah Meneg PPN/Kepala Bappenas, dan Ketua Hariannya adalah Menteri Kimpraswil. Sebagai
anggota adalah Mendagri, Mentan, Menhut, Menhub, MenESDM, MenKP, Menkes, Memperindag, Menkeu,
MenLH.
23 Document of the World Bank, 1999. Report and Recommendation of the President of the International
Bank for Reconstruction and Development to the Executive Directors on a Proposed Water Resources Sektor
Adjustment Loan in the Amount of US$300 Million to the Republic of Indonesia, April 23, 1999
Background paper INFID tentang privatisasi air
19
INFID Annual Lobby 2003
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Memperkenalkan konsep hak guna air untuk alokasi air permukaan dan tanah dan
untuk penggunaan air yang kondusif
Menigkatkan efisisensi terhadap penggunaan air, terutama untuk irigasi
Memfasilitasi hubungan antara alokasi dan penggunaan air permukaan dan tanah
melalui mekanisme sertifikat yang seragam
Mengusahakan pencapaian kualitas air permukaan dan tanah yang kondusif dengan
pembangunan sosial-ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, juga kompatibel dengan
hak guna tanah dan perencanaan DAS (Daerah Aliran Sungai)
Membangun institusi-institusi pengelolaan DAS yang partisipatif dan transparan
Menguatkan mekanisme-mekanisme penunjang pengelolaan dan pendanaan berbasis
masyarakat untuk jaringan irigasi, pelayanan air di tingkat kecamatan/kotamadya,
sanitasi dan sistim pembuangan air.
Membentuk sistim perencanaan, programming dan anggaran untuk keperluan
investasi dan manajemen pembangunan sumber daya air yang terdesentralisasi
Membangun struktur regulator untuk pengelolaan tingkat daerah untuk menunjang
pengimplementasian pengelolaan DAS yang terintegrasi melalui unit DAS propinsi,
dan jika feasible, usaha corpotarized self-financing dibawah Pemda.
Mendorong prinsip kontribusi yang saling menguntungkan terhadap biaya pelayanan
publik air bersih dan irigasi dan prinsip “Poluter Pays” atau “yang membuat polusi
harus membayar” untuk biaya yang ditimbulkan karena terjadi polusi air
Memperbaiki peraturan-peraturan dan kerangka kerja untuk partisipasi swasta (PPP)
dalam sektor sumber daya air dan pengelolaan kualitas air, termasuk manajemen
irigasi melalui konsesi investasi, pengoperasian dan pemeliharaan.
Meningkatkan koordinasi antara kehutanan, pertanian, konservasi dan aktivitas sektor
publik dan swasta dalam sumber daya air
Membuat kebijakan-kebijakan spesifik mengenai konservasi lahan basah yang
berkelanjutan dan pembangunan daerah rawa.
3. Program Pemerintah Tindak Lanjut WATSAL
Sebagai tindak lanjut dari agenda WATSAL diatas, pemerintah Indonesia kemudian
menyusun agenda implementasi, yang direncanakan dan diimplementasikan oleh Tim
Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Agenda pemerintah tersebut adalah sebagai
berikut (Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA 2004):
• Pembentukan Badan Air Nasional atau Badan Koordinasi di tingkat Menteri
• Kebijakan Nasional mengenai Sumber Daya Air beserta instrumen-instrumen
penunjang lainnya yang diperlukan untuk implementasi kebijakan
• Mereformasi Perum Jatiluhur (Jasa Tirta II) dan mendirikan empat badan usaha baru
untuk pengelolaan DAS untuk sungai Bengawan Solo, Jeneberang, Jratunseluna dan
Serayu-Bogowonto
• Membentuk Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Dewan Sumber Daya Air
Propinsi dan Unit Hidrologi untuk wilayah sungai di delapan propinsi
• Adanya representasi stakeholders pada Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai dan
Dewan Sumber Daya Air Propinsi
Background paper INFID tentang privatisasi air
20
INFID Annual Lobby 2003
•
•
•
•
•
Perbaikan kerangka organisasi, keuangan dan pengelolaan untuk pengusahaan
pengelolaan wilayah sungai yang sesuai dengan peraturan otonomi daerah dan mampu
mandiri dalam pembiayaan
Pembentukan sistim hak guna air untuk alokasi air permukaan dan air tanah dan
perbaikan pengaturan badan usaha melalui iuran pelayanan air dan iuran pembuangan
air limbah dalam rangka manajemen kualitas air
Pembentukan kerangka untuk penyerahan kewenangan pengelolaan berdasarkan
Pembaharuan Kebijakan pengelolaan Irigasi (PKPI) yang menunjang kegiatan
Perkumpulan Petani Pemakai Air - P3A (Water User Association - WUA) dan
Gabungan P3A dan kewenangan pembiayaan dalam rangka pengelolaan jaringan
irigasi
Mereformasi administrasi lembaga pengelola irigasi di tingkat pusat, propinsi dan
kabupaten/kota dalam rangka penyerahan kewenangan pada P3A/GP3A, dan
mengubah kerangka pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi oleh
P3A/GP3A dengan hak penuh untuk mengumpulan iuran pengelolaan irigasi di
seluruh daerah irigasi
Membangun Sistim Informasi dan database Pengelolaan Sumber Daya Air Nasional
Poin-poin reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi yang tertera diatas, sudah
mencakup paradigma yang diinginkan WATSAL. Dan sudah membuka pintu masuk bagi
sektor swasta unutk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep Bank Duniauntuk PPP
dan PSP, dengan cara melihat air sebagai barang ekonomi. Poin-poin inilah yang dituangkan
ke dalam pasal-pasal RUU-SDA yang baru. Dan pasal-pasal RUU tersebut, selain
menjadikan air sebagai barang ekonomi yang dapat diperdagangkan dan memperbesar peran
swasta, juga berpotensi untuk memicu tejadinya konflik air yang seharusnya dicegah oleh UU
ini. Juga, menurut beberapa ahli, RUU ini belum menjamin akses rakyat terhadap air bersih
dan tidak memberikan perlindungan kepada rakyak kecil, belum menjamin keberlanjutan
sumber daya air, dan pelestarian lingkungan. Karena itulah RUU-SDA yang masih dalam
pembahasan DPR ini menjadi perdebatan berbagai kalangan.
4. Isu Krusial dan Resiko: Bisa dan Siapkah Kita?
a. Water Rights atau Hak Guna Air
Isu yang paling penting untuk diperhatikan dari poin-poin reformasi SDA diatas adalah
mengenai konsep hak guna air (water rights) untuk alokasi air permukaan dan air tanah yang
diperkenalkan Bank Dunia. Hak Guna Air dalam RUU dibagi menjadi dua, yaitu hak guna
pakai dan hak guna usaha. Hak Guna Pakai adalah untuk penggunaan keperluan sehari-hari.
Sedangkan Hak Guna Usaha adalah hak guna air untuk memenuhi tujuan komersial dan/atau
kebutuhan usaha.. Di Indonesia, konsep ini nantinya akan mirip dengan “land rights” atau
hak sertifikasi tanah, namun lebih kompleks.
Sebetulnya terdapat banyak konsep water rights. Seperti misalnya Riparian Rights yang tidak
dapat diperjual-belikan atau dipindah-tangankan (non transferable). Tapi yang diperkenalkan
oleh World Bank ini adalah konsep yang berkembang seiring dengan perkembangan era
globalisasi, dimana air cenderung diperlakukan sebagai komoditi (komodifikasi air).
Sehingga, konsep hak yang diperkenalkan adalah hak yang dapat diperjual-belikan atau yang
Background paper INFID tentang privatisasi air
21
INFID Annual Lobby 2003
disebut dengan “Tradable Water Rights”, yaitu sebuah pendekatan yang muncul dari konsep
hak sewa properti (property rights). Sedangkan air yang didapat menurut riparian rights,
tidak dianggap sebgai komoditi, karena tidak dapat diperjual belikan.
Menurut Bank Dunia, dalam sebuah working paper-nya yang dikeluarkan pada tahun 199624,
sistim tradable water rights ini, jika ditunjang dengan institusi yang efektif, maka akan dapat
mengatasi banyak masalah mengenai sumber daya air, yang tidak bisa diatasi oleh sistim
administrasi alokasi air biasa. Melalui konsep ini, air sebagai barang ekonomi yang dapat
diperdagangakan mendapat pengakuan yang sah. Menurut dokumen working paper ini,
disebutkan bahwa dengan konsep tradable water rights, harga air dapat mencerminkan nilai
kegunaannya sehingga dapat menciptakan insentif agar air dapat digunakan untuk hal-hal
yang paling produktif. Sebab, harga air yang dibebankan (water charge) harus sama dengan
biaya operasi dan pemeliharaan infrastrukturnya. Oleh sebab itu harga penjualan atau
kontraknya, otomatis mencerminkan opportunity cost25 dari air.
Hal ini sesuai dengan yang digariskan Bank Dunia dalam Water Resources Sektor Strategy
2003, yang menyebutkan bahwa prinsip ekonomi dasar yang digunakan untuk
memperlakukan air sebagai barang ekonomi adalah bahwa pengguna menyadari adanya
financial cost untuk jasa penyediaan air (water supply) dan adanya opportunity cost. Dengan
memasukkan opportunity cost ini kedalam harga air melalui sistim hak guna yang
berkekuatan hukum, diharapkan pengguna yang membutuhkan air lebih banyak seperti
perkotaan, dapat mencukupi kebutuhannya karena dapat membeli hak guna air dari low value
user (misal: petani, masyarakat pedesaan). Melalui sistem hak guna ini akan ada insentif yang
kuat dari low value user untuk secara sukarela memberikan hak guna mereka kepada high
value user.26 Contohnya, jika para petani dapat menjual hak guna mereka dengan harga yang
sesuai, maka kelebihan air di daerahnya dapat dijual ke daerah/kota tetangganya dimana
nilainya lebih tinggi (high value uses).
Ini berarti, melalui sistem hak guna usaha, mekanisme pasar dapat berjalan. Karena, menurut
teori dalam working paper Bank Duniauntuk tradable water rights, pasar air akan
meningkatkan nilai air. Dan biaya transaksi/penjualan dari pengalihan hak guna akan lebih
rendah dibandingkan dengan penjualan oleh otoritas publik. Sistim ini, juga akan
memperkuat organisasi pemakai air atau Water User Associations (P3A/GP3A) dan Dewan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai.
b. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau WUA
Karena ada Hak Guna Air inilah mengapa peran dari organisasi pemakai air seperti P3A
menjadi penting. Sebab, dengan kewenangan yang diberikan kepada P3A/GP3A untuk
mengelola dan memelihara jaringan irigasi pada suatu wilayah sungai, termasuk kewenangan
24 Holden,Paul and Marteen Thobani. Tradable Water Rights: A Property Rights Approach to Resolving
Water Shortages and Promoting Investment. Policy Research Working Paper. The World Bank, July 1996
25 Opportunity Cost adalah biaya yang ditimbulkan karena kesempatan yang hilang. Atau disebut juga biaya
alternatif. Artinya, bahwa setiap pengguna saat memanfaatkan air sebenarnya telah menghilangkan kesempatan
pengguna potensial lainnya untuk memanfaatkan air tersebut.
26 Ardhianie, Nila dan J. Wijanto Hadipuro. RUU Sumberdaya Air dan Konsep Tradable Water Rights.
Sebuah artikel untuk menyambut Rapat Panja RUU Sumber Daya Air DPR. September 2003
Background paper INFID tentang privatisasi air
22
INFID Annual Lobby 2003
penuh untuk pengumpulan iurannya, maka mekanisme pasar dan tujuan dari sistem alokasi
air melalui hak guna usaha, dapat tercapai. Karena P3A/GP3A mempunyai wewenang untuk
mengalokasikan air dari low value uses (nilai pakai yang kegunaannya bernilai rendah) ke
high value uses.
P3A ini merupakan sebuah organisasi yang sudah dikembangkan sejak lama, dan
pengembangannya juga berasal dari pinjaman proyek World Bank27. Konsep P3A/WUA ini
sendiri merupakan salah satu dari kebijakan World Bank yang juga diterapkan di negaranegara peminjamnya. Pengembangan ini akhirnya mencapai puncak dengan diserahkannya
kewenangan pengelolaan irigasi kepada P3A pada saat dimulainya program WATSAL,
melalui Inpres No.3/1999 tentang Reformasi Kebijakan Pengelolaan Irigasi. Inpres tersebut
kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.77/2001 tentang Irigasi, lalu Keputusan
Menteri Dalam Negeri No.50 tahun 2001tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan
Petani Pemakai Air, dan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529 tahun 2001 tentang
Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi kepada P3A.
Penyerahan kewenangan kepada petani sebetulnya merupakan suatu usaha yang mulia.
Namun sayangnya, petani yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam P3A/GP3A.
Bagaimana dengan petani yang tidak tergabung disitu? Konsep P3A yang dikembangkan
melalui pinjaman World Bank ini seakan tidak memperhatikan kondisi nyata di Indonesia
dimana banyak sekali petani, terutama di Jawa yang merupakan petani gurem dan tidak
punya lahan. Selain itu, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan uniformitas atau
penyeragaman kelembagaan dalam wadah tunggal pengelola air. Karena itu, P3A dapat
menghancurkan system tradisi lokal pengeloaan irigasi partisipatif berbasis rakyat yang sudah
bertahun-tahun digunakan oleh petani kita, seperti Subak di Bali, atau Sambong di Jawa, dan
Ulu-ulu, misalnya. Penyeragaman tersebut, sangat tidak sesuai dengan tradisi dan lingkungan
Indonesia yang sangat beragam ini.
Lebih lanjut, menyerahkan pengelolaan air pada P3A sehingga terjadi mekanisme pasar akan
berbahaya sekali. Sebab, air sebagai barang ekonomi (sebagaimana barang ekonomi lainnya)
sangat rentan terhadap kegagalan pasar. Juga, baik dalam working paper 1996 atau para
evaluator Bank Dunia sendiri menyatakan bahwa sistem hak guna usaha dan penyerahan
wewenang pada WUA memerlukan good governance, regulasi dan institusi yang baik dan
dapat dipercaya – suatu hal yang bahkan oleh Bank Dunia sendiri diakui sangat kurang di
negara-negara bekembang seperti Indonesia. Seperti yang terjadi jika menyerahkan
Perusahaan Air Minum (PAM) pada mekanisme pasar, resikonya akan besar sekali jika
kapasitas pemerintah kurang dalam mengatur, memberikan rambu-rambu dan mengintervensi
pihak-pihak yang dapat memanipulasi pasar tersebut. Juga organisasi seperti P3A, bisa sangat
rentan dan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang lebih kuat dan memiliki kepentingan besar.
Jadi resikonya akan sangat besar sekali bagi petani jika peraturan, rambu-rambu dan
27 Pinjaman tersebut antara lain: Irrigation Subsector Project 1 tahun 1987-1991 dan Irrigation Subsector
Project 2 tahun 1991-1995 yang bertujuan untuk menunjang program pengembangan pemerintah untuk subsektor
irigasi sesuai dengan program desentralisasi. Proyek ini antara lain mendorong: 1) pengalihan skema irigasi publik
sebesar 130.000 ha. kepada P3A dan pemungutan iuran irigasi untuk areal 700.000 ha.; 2) Penguatan institusional
dan penguatan organisasi P3A
Background paper INFID tentang privatisasi air
23
INFID Annual Lobby 2003
kemampuan untuk mengintervensi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan besar tersebut
kurang.
b. Private Sektor Participation dan Public-Private Partnership
Hal krusial lain yang harus diwaspadai dalam poin-poin WATSAL dan diadopsi RUU-SDA
adalah mengenai partisipasi swasta dan kemitraan dengan swasta dalam pengelolaan sumber
daya air. Dalam bab terdahulu sudah dijelaskan mengenai bentuk dan pola kemitraan dan
partisipasi swasta. Konsep yang dipopulerkan Bank Dunia ini, juga diadopsi kedalam RUUSDA dan didefinisikan sebagai bentuk pengusahaan sumber daya air yang diselenggarakan
secara bekerja sama antara pengelola sumber daya air dan pihak swasta dan/atau masyarakat.
Semua bentuk dan pola kemitraan (PPP) yang ada diperbolehkan. Baik dalam pembiayaan
investasi pembangunan prasarana sumber daya air, penyediaan jasa pelayanan dan/atau
pengoperasian prasarana sumber daya air, dengan cara BOT, konsesi, kontrak pelayanan,
kontrak manajemen, dlsb.
Namun, pengalaman dari banyak negara menunjukkan, bahwa perjanjian/kontrak kemitraan
seringkali gagal dalam melibatkan partisipasi publik, walaupun namanya Public-Private
Participation. Lebih banyak usaha yang diberikan untuk hal-hal seperti mengatasi hambatan
financial dan kekurangan pemerintah, dan untuk mendorong dan meningkatkan partisipasi
swasta dibanding dengan usaha untuk memberikan panduan mengenai akses publik,
monitoring publik dan memastikan adanya partisipasi publik dan transparansi. Kelemahan ini
dapat berakibat pada pelayanan yang kurang efektif, perlakuan diskriminasi terhadap kaum
yang lemah, dan pelanggaran akan kualitas air bersih.
c. Tanggung Jawab Negara
Sudah jelas, bahwa UUD ’45, Pasal 33 menyebutkan bahwa Bumi, air dan segala isinya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Sebab,
pemerintah di negara manapun mempunyai tanggung jawab fundamental untuk memberikan
dan melayani kebutuhan dasar rakyatnya. Dulu, Bank Duniadan LKI lainnya memfokuskan
upaya mereka untuk membantu negara/pemerintah dalam penyediaan pelayanan dasar ini.
Tapi sekarang, lembaga-lembaga tersebut beralih usaha, untuk lebih mendorong privatisasi.
Pengalihan peran dan tanggung jawab ini merupakan hal yang sangat patut dianggap
memprihatinkan sebab jaminan dan kontrol negara berkurang.
d. Masalah PDAM dan Supply Air
Tidak dapat disangkal, bahwa badan usaha milik negara Indonesia khususnya PDAM di
seluruh Indonesia sarat dengan masalah KKN, tidak mempunyai kinerja yang baik dan
mempunyai kondisi keuangan yang memprihatinkan. Terutama setelah terjadi krisis 1997,
PDAM Indonesia banyak yang hampir bangkrut. Padahal, sekitar 41% dari penduduk
Indonesia tinggal di daerah pekotaan dan sangat bergantung pada penyediaan air bersih oleh
PDAM. Dari jumlah itu hanya 51,7% atau 20% dari total populasi yang mendapatkan
pelayanan dari PDAM.
Background paper INFID tentang privatisasi air
24
INFID Annual Lobby 2003
Jumlah PDAM di Indonesia, menurut data PERPAMSI (Perkumpulan Perusahaan Air Minum
Seluruh Indonesia) saat ini ada 293 peusahaan (termasuk lima perusahaan yang sudah
menjalin kerjasama dengan pihak swasta asing). Dari jumlah tersebut, terdapat:
• 82% dari total jumlah PDAM yang memiliki keuntungan negative atau rugi
• 22% memiliki modal (equity) positif
• 44% pendapatannya lebih kecil dari biaya operasi dan pemeliharannya (O&M)
• dan hanya 10% PDAM yang memiliki kondisi keuangan yang sehat
• 119 PDAM memiliki hutang luar negeri dan 146 PDAM punya hutang dalam
negeri28
Penilaian terhadap kinerja PDAM seperti yang tercantum diatas, adalah berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.47 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja
PDAM. Dalam Kepmen tersebut ada tiga aspek yang dipergunakan unutk menilai kinerja
PDAM, yaitu aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek administrasi. Dari ketiga aspek
tersebut, aspek keuanganlah yang dianggap paling penting sebab bobot penilaiannya paling
besar. Sehingga, manajemen PDAM akan lebih mementingkan kinerja keuangannya
dibandingkan kinerja operasional dan administrasi. Padahal, aspek operasional mencakup
masalah-masalah penting seperti pelayanan, kualitas air distribusi, kontinuitas pasokan air
pada pelanggan, tingkat kehilangan air, dll.29
Buruknya kinerja dari PDAM tersebut kemudian menjadi alasan lagi bagi LKI untuk
memberikan pinjaman baru. Pada tahun 1998 Bank Dunia memberikan pinjaman program
penyelamatan PDAM (Water Utilities Rescue Program). Program ini dibiayai oleh Bank
Dunia dan juga Asian Development Bank (ADB). Semua PDAM bisa mendapatkan pinjaman
ini, dengan syarat-syarat yang ditentukan Bank Dunia. Salah satunya yang terpenting adalah
mereka harus membuat Financial Recovery Action Plan (FRAP) yang isinya adalah langkahlangkah konkret untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya pada umumnya.
Syarat lainnya, setoran keuntungan ke pemda harus dihentikan, harus dibentuk dewan
pengawas untuk mengawasi management PDAM, dan FRAP yang dibuat harus dengan
persetujuan Bupati/Walikota.30
Setelah itu, Bank Dunia memberikan pijaman proyek yang dinamai Urban Water Supply
Project. Proyek ini ditujukan untuk mengatasi masalah inefisiensi pengelolaan PDAM,
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan untuk penyesuaian tarif. Agar proyek ini
berhasil, keikutsertaan pihak swasta sangat ditekankan untuk ikut dalam tender perancangan,
pembangunan dan pengoperasian system pengelolaan air bersih. Bentuknya adalah PPP atau
PSP dengan skema kontrak Design-Build-Lease (DBL). Pihak swasta merancang,
membangun sarana layanan air, juga mengoperasikannya, lalu membayar sejumlah uang
sewa kepada PDAM/ Pemda.
28 Menurut artikel yang ditulis oleh Wijanto Hadipuro, utang dalam negeri ini bisa juga berasal dari hutang
luar negeri. Sebab, pinjaman pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berupa Subsidiary Loan Agreement atau
alokasi untuk daerah berupa Regional Development Account biasanya berasal dari hutang luar negeri
29 Hadipuro, Wijanto, 2003. PDAM: Antara Fakta dan Harapan. Artikel unutk Lokarkarya Bedah Hasil
Panja Komisi IV DPR mengenai RUU-SDA, 13 Oktober 2003
30 Lihat PDAM: Privatisasi Berkedok Reformasi, Water For Alll Factsheet, INFOG, October 2002.
Background paper INFID tentang privatisasi air
25
INFID Annual Lobby 2003
Tidak cukup sampai disitu, dalam laporan Kimpraswil unutk World Water Forum III
kemarin, dicantumkan bahwa untuk mencapai target Milennium Development Goals 2015
untuk mengurangi separuh dari jumlah masyarakat yang tidak terlayani air bersih dan
sanitasi, maka diperlukan total investasi sebesar Rp 66,43 milyar atau sebesar Rp 5,1 milyar
(US$ 573 juta) pertahunnya. Angka ini dicantumkan dengan sebagai proposal pemerintah kita
untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman baru untuk pembangunan sumber daya air.
Namun, pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumberdaya air Indonesia harus benarbenar dilakukan dengan hati-hati. Karena, walau bagaimanapun, perusahaan swasta tidak
mempunyai kewajiban sosial dan tidak mungkin menjalankan suatu usaha tanpa mencari
keuntungan. Hal ini dapat merugikan rakyat banyak, terutama mereka yang tidak mampu.
Apalagi jika penilaian kinerja PDAM seperti yang tertera diatas hanya mementingkan aspek
finansial, operasional dan administrasi saja. Padahal, ada aspek-aspek lain yang juga penting
seperti keberlanjutan lingkungan dan konservasi air, yang justru dapat menjamin akses dan
ketersedian air untuk masa yang akan datang, tidak menjadi hitungan. Sehingga, PDAM,
apalagi jika dikelola swasta yang tujuannya adalah untuk mendapatkan profit, tidak akan
mementingkan aspek-aspek tersebut.
Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah, mencari upaya-upaya penyehatan PDAM,
tanpa harus melibatkan pihak swasta. Kinerja dan kondisi keuangan PDAM yang buruk
memang tidak bisa lepas dari masalah tarif yang dikenakan ke pelanggan, tidak dapat
menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan (tidak cost recovery). Jika memang ini
masalah, memang tarif pelayanan air PDAM tersebut perlu dinaikkan sehingga dapat
menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, yang harus juga harus dibarengi dengan upaya
penyehatan lain seperti mengurangi tingkat kebocoran, menanggulangi korupsi dan
peningkatan efisiensi. Sehingga setiap warga dapat menikmati pelayanan air bersih dan
kualitas pelayanannya dapat ditingkatkan.
e. Harga/Tarif
Salah satu kekuatiran yang paling mendasar dengan adanya privatisasi atau pelibatan swasta
adalah pembebanan harga/tarif air yang mahal ke konsumen. Hal ini sebetulnya ironis
mengingat argumentasi yang sering digunakan oleh kelompok pro-privatisasi adalah
privatisasi dapat meningkatkan efisiensi sehingga tarif air menjadi murah.
Nah, pertanyaannya adalah, apakah tariff yang akan dibebankan oleh swasta akan sama saja
dengan tariff yang dibebankan oleh PDAM publik? Sebelumnya menjawab itu, ada beberapa
yang perlu dipertimbangkan. Yaitu, pertama, pelayanan air bersih merupakan bisnis yang
tidak murah. Lalu perbaikan dan pengembangan system dan pelayanan juga dapat
menyebabkan perlunya penambahan pendapatan dari tarif. Jika pengelola PDAM tersebut
adalah perusahaan swasta maka mereka perlu mendapatkan profit atau keuntungan. Biaya
yang harus dibayar perusahaan swasta kemungkinan juga lebih tinggi dibandingkan
perusahaan publik, ditambah mereka harus membayar biaya pajak. Nah, jika seluruh biaya
ini, oleh perusahaan swasta kemudian dibebankan ke konsumen berdasarkan prinsip full cost
recovery, maka sudah pasti harga air menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga PDAM
publik
Background paper INFID tentang privatisasi air
26
INFID Annual Lobby 2003
Jika memang kita sampai pada keadaan dimana kenaikan tarif harus dijalankan untuk
menutupi biaya-biaya yang ada, maka harus diperhatikan dengan benar mengenai sistim dan
disain tarif yang akan dibebankan ke berbagai kelompok mesyarakat. Misalnya melalui
kebijakan block tariff, yaitu kebijakan yang mengklasifikasikan konsumen menjadi empat
atau lima kelas melalui sistim tarif progresif. Dengan sistim ini, kelompok masyarakat yang
paling bawah, mendapatkan subsidi dari kelompok yang diatas. Malah kalau perlu kelompok
masyarakat yang paling bawah, tidak dibebani oleh tarif, atau tarifnya nol. Artinya kelompok
masyarakat paling bawah ini mendapatkan subsidi dari yang diatas, atau mendapat subsidi
dari pemerintah. Suatu hal yang tidak bisa diberlakukan jika PDAM tersebut dikelola oleh
swasta. Sebab, jatuhnya nanti pemerintah memberikan subsidi demi keuntungan perusahaan
swasta tersebut.
Mengenai tarif ini memang harus kita cermati baik-baik dan harus berhati-hati. Pengalaman
di banyak negara (a.l. Bolivia, Argentina, Puerto Rico, AS, dan Afrika Selatan)
menunjukkan, bahwa kenaikan tarif dapat memicu ketegangan antar stakeholders, bahkan
kerusuhan, apalagi bagi negara seperti Indonesia yang sejak krisis 1997 kemarin sampai
sekarang belum juga ada perbaikan ekonomi31. Sedangkan tarif air sebagian besar PDAM
yang berlaku di Indonesia sekarang masih menggunakan tarif yang lama, berdasarkan
kemampuan masyarakat untuk membayar dan bukan berdasarkan atas cost recovery. Tapi
dengan adanya restrukturisasi sumber daya air ini dan program-program penyelamatan
PDAM dimana nantinya akan banyak PDAM yang bermitra dengan swasta, maka sistim tarif
akan berdasarkan pada full cost recovery.
Contohnya seperti yang terjadi dengan Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya) yang
diprivatisasi oleh pemerintah Indonesia dan diserahkan ke Thames Water Overseas Ltd (yang
kemudian mendirikan PT Thames PAM Jaya) dan Suez (yang mendirikan PT PAM
Lyonnaise Jaya), otomatis, tarif air bersih di Jakarta naik drastis. Padahal, tarif yang
diberlakukan oleh pemda dan dibebankan kepada konsumen tersebut masih lebih kecil dari
tagihan biaya (water charge) yang ditagihkan oleh kedua perusahaan swasta tersebut
berdasarkan prinsip cost recovery. Jadi yang terjadi adalah, pemerintah bukannya mensubsidi
masyarakatnya yang tidak mampu, tapi malah memberi subsidi (membayar selisih water
charge) ke perusahaan swasta! Dan untuk selanjutnya masih banyak PDAM lainnya yang
dalam proses menyusun FRAP, termasuk didalamnya rencana kenaikan tarif. Dari data yang
dihimpun oleh INFOG (Indonesian Forum on Globalization, Solo) sedikitnya ada delapan
PDAM yang sudah memiliki rencana konkrit kenaikan tarif.32
31 Contohnya ketika Pemerintahan Soeharto yang mengambil kebijakan kenaikan harga-harga kebutuhan
pokok pada tahun 1998 malah membuatnya jadi turun tahta. Juga ketika Megawati pada awal tahun 2003 menaikkan
tariff Listrik, telepon dan BBM, diserbu dengan ribuan protes di seluruh negeri sehingga akhirnya pemerintah harus
membatalkan keputusan kenaikan harga untuk beberapa barang tersebut.
32 PDAM Bogor akan naik 39,5%; PT Adhya Tirta Batam 10-15%; PDAM Balikpapan 60%; PDAM
Sukohardjo 14-18%; PDAM Solo 16-45%; PDAM Purworejo 250%; PDAM Semarang 220-250%; dan PDAM
Jayapura 17%.
Background paper INFID tentang privatisasi air
27
INFID Annual Lobby 2003
E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Uraian dalam paper ini telah menunjukkan bahwa privatisasi atau pelibatan swasta dalam
pengelolaan sumber daya air merupakan sebuah opsi yang tidak disarankan, mengingat
banyak sekali kejadian, bukti-bukti dan analisa dampak privatisasi yang merugikan rakyat
dan keberlanjutan lingkungan. Menganggap air sebagai barang ekonomi dan memperlakukan
air sebagai komoditi juga menimbulkan banyak implikasi yang menyangkut fair pricing,
akuntabilitas publik, dampak lingkungan, efisiensi penggunaan air, marjinalisasi kaum miskin
dan petani, sampai pada dampak kultural terhadap pengalihan system pengeloaan air
tradional ke yang baru. Namun, melihat trend yang terjadi di seluruh dunia dan kenyataan
yang kita hadapi di Indonesia dimana privatisasi atau konsep PPP dan PSP ini sudah terjadi
dan kemungkinan besar akan bertambah dan terus terjadi, maka ada beberapa prinsip
mengenai pengelolaan sumber daya air yang harusnya tidak boleh dilanggar.
Pada prinsipnya, kami percaya bahwa tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya air
dan penyediaan air bersih harus tetap berada ditangan negara/publik, dan harus ada usahausaha untuk memperkuat kemampuan pemerintah dalam penyediaan kebutuhan dasar
rakyatnya akan air bersih.
2. Rekomendasi:
a. Mengenai Pengelolaan SDA secara garis besar
• Air harus tetap dianggap dan dikelola sebagai barang social/publik dengan
prinsip Hak Asasi Manusia. Barang yang sifat kepemilikannya adalah publik,
harus tunduk pada aturan-aturan publik, bukan aturan pasar.
• Rakyat harus mendapatkan jaminan bahwa kebutuhan dasarnya akan air dapat
terpenuhi. Jaminan ini tetap harus diberikan walaupun terjadi kontrak
pengelolaan sumber daya air dalam bentuk apapun dengan swasta. Dalam
kontrak, perlindungan agar kebutuhan pokok rakyat unutk air bersih harus
tercukupi dahulu (menurut standar-standar yang ada), baru kemudian
digunakan untuk kebutuhan lainnya.
• Jaminan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan harus dimasukkan dalam
bentuk pengelolaan sumber daya air dan pelayanan air bersih manapun. Baik
dalam Undang-undang dan turunan-turunannya, atau peraturan daerah.
Terutama dalam perjanjian kontrak pengelolaan dengan swasta, harus
dimasukkan klausul yang dapat melindungi ekosistem dan keberlanjutan
lingkungan.
b. Masalah pengelolaan PDAM
• Untuk PDAM yang bermasalah, harus diupayakan solusi-solusi penyehatan
dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan
kinerja PDAM.
• Sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan pelayanan PDAM, harus
juga didisain mekanisme partisipasi masyarakat dimana masyarakat atau
pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM tersebut.
Background paper INFID tentang privatisasi air
28
INFID Annual Lobby 2003
•
•
Dalam pola kemitraan publik-swasta, jika memang sudah terjadi atau harus
terjadi, harus juga dirumuskan mengenai konsep dan mekanisme partisipasi
publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari kemitraan tersebut,
supaya masyarakat tidak terlalu dirugikan.
Air dan pelayanan air harus diberikan pada harga yang adil, pantas dan
terjangkau. Pelayanan air bersih ini memang tidak boleh diberikan secara
gratis, namun harus ada sistem subsidi bagi kaum lemah. Pengaturan
mengenai sistim tarif diatur oleh regulasi pemerintah
c. Mengenai kebijakan dan program pemerintah (WATSAP)
• Badan Regulasi yang dibentuk harus melaui mekanisme partisipatif yang
seadil-adilnya bagi masyarakat dan melalui proses yang transparan. Badan ini
tidak boleh bertanggung jawab pada Menteri (tidak disebutkan menteri apa)
tapi kepada rakyat langsung.
• RUU-SDA harus melalui proses yang sah menurut hukum, partisipatif, dan
transparan sebelum disahkan.
• Sistim Hak Guna Air tidak boleh diterapkan dahulu sampai ada analisa
mendalam mengenai pengimplementasiannya dan dampaknya terhadap rakyat
dan tercipta mekanisme perlindungan terhadap hak-hak rakyat kecil.
• Pemberian wewenang kepada petani untuk mengelola sistim irigasi seharusnya
tidak mengacu pada kelembagaan P3A/GP3A, tapi mengacu pada pendekatan
partisipatif yang dapat memfasilitasi kemandirian petani dalam mengelola
irigasi, juga melindungi sistim sosial dan adat lokal yang sudah ada.
Background paper INFID tentang privatisasi air
29
INFID Annual Lobby 2003
Lampiran 1
Table
Comprehensive Analitic Framework
National/State Level
Regional/Basin Level
Infrastructure Projects
National water strategy should reflect
social, economic and environmental
objectives and be based on sound
assessment of water resources. The
strategy deal should spell out priorities
for providing water services, establish
policies on water rights, water pricing
and
cost
recovery,
demand
management,
public
investment,
private sektor participation; and
meeting environmental management
needs. Strategy formulation should be
transparent and participatory.
Investment, policies, and regulations in
one part of river basin potentially affect
our activities in the basin. The
framework should be formulated in the
context of broad national/state strategy,
be
sensitive
to
socio-economic
concerns related to water, and
incorporate environmental management
needs. This is an indicative and
dynamic planning process. Formulation
of framework should be transparent and
participatory, and based on accurate
information.
Project should be planned and assessed
in the context of broad river basin and
national water strategy. Projects
should
internalize
environmental
management needs (e.g., water quality,
in-stream flows). Socio economic
assessment should accompany all
projects. Project planning should be
transparent and participatory, and
based on accurate information. Project
should be reviewed by appropriate
management agencies.
Institutional and Regulatory Systems
Legal, Policy and Planning
Regulatory and Management
Water Service Provision
Institutional structures-and laws-at the
national and regional levels to
coordinate the formulation and
implementation
of
policies
for
improved water management, water
services delivery, public investment
program
and
environmental
management. Policy and planning
institutions at the river basin level may
also be appropriate. Stakeholders
actively influence policy decisions, and
policy-makers
are
ultimately
responsible to public.
Agencies for regulation of water
services and the management of water
resources. Water services to be
regulated with respect to pricing and
quality of service. Water management
responsibilities include inter-alia setting
standard, issuing permits, basin
operations, and the collection and
analysis of data. Regulatory and
management decision should take place
at the lowest appropriate level with
stakeholder participation.
Water service organization should be
financially
and
operationally
autonomous-within an appropriate
regulatory framework. Water services
should be decentralized to lowest
appropriate level. Water services
custormers
and
users
should
participate in the formulation of
management decision.
Economic and Social Issue
Financing and Subsidies
Water Service Charges
Poverty Alleviation
Pulic sektor financing should be
focuses on public goods. Water
services organization should be
partially self-financing and use private
capital markets; subsidies should be
transparent and justified; subsidy
program s should not create perverse
incentives.
Water service organization should be
financially autonomous and operate
under hard budget constraint with
explicit cost recovery targets. Service
charge mechanism should promote
incentives for performance by providers
and efficiency by users. Cross subsidies
between users and regions should be
minimized, but equity pursued.
Special effort should be directed to
meeting the water supply and
sanitation needs of the poor and
redressing the neglect of the rural
poor.
Policies
that
undermine
subsistence agricultural or fisheries
should be carefully evaluated and,
where necessary there should be
adjustment and compensation.
Background paper INFID tentang privatisasi air
30
INFID Annual Lobby 2003
DAFTAR PUSTAKA
A, Sarwoko dan Anshori, I. 2003 Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pendayagunaan yang
Berkelanjutan. Direktorat Jendral sumberdaya Air, Dep. Kimpraswil. Maret 2003
Ardhianie, Nila. 2003. Membeli Air pada Swasta Asing. INFOG
Ardhianie, Nila dan J. Wijanto Hadipuro. “RUU Sumberdaya Air dan Konsep Tradable Water Rights”. Artikel
untuk menyambut Rapat Panja RUU Sumber Daya Air DPR. September 2003.
Briscoe, J. 1996. “Water as an Economic Good: The idea and what it means in practice.” paper pada World
Congress of the International Commission on Irrigation and Drainage, Kairo, Mesir, September 1996.
Terdapat di http://www-esd.worldbank.org
Barlow, M. 1999. Blue Gold: The Global Water Crisis and the Commodification of the World’s Water
Supply. International Forum on Globalization
CNES.2002. “ Allocating Water Through Market Mechanism”. Tools for Advocacy: Water, September 8,
2002
Gleick, P.H., G. Wolff, E. L. Chalecki, and R. Reyes. 2002. The New Economy of Water: The Risk and
Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water. Pacific Institute. February 2002
Grusky, S. 2002. The IMF, the Bank Duniaand the Global Water Companies: A shared Agenda.
International Water Working Group dan Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment
Program
Public Citizen2002. Profit Streams: The World Bank and Greedy Global Water Companies. Water for All.
Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment Program, September 2002.
Holden, Paul and Marteen Thobani. Tradable Water Rights: A Property Rights Approach to Resolving
Water Shortages and Promoting Investment. Policy Research Working Paper. The World Bank,
July 1996.
INFOG. “PDAM: Privatisasi Berkedok Reformasi, Water For All”. Factsheet, October 2002.
International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The Dublin Principles. Bisa dilihat di
http://www.wmo.ch/web/homs/icwedece.html
Mehta, Lyla and Birgit La Cour Madsen. 2003. Is the WTO After your Water?: The General Agreement on
Trade and Services (GATS) and the Basic Right to Water. Intitute of Development Studies,
University of Sussex, August 2003.
Ministry of Settlements and Regional Infrastructure. 2003. Water Resources Management towards
Enhancement of Effective Water Governance in Indonesia. Country Report. For the 3rd World
Water Forum Kyoto – Japan, March 2003. Ministry of Settlements and Regional Infrastructure,
Directorate General of Water Resources Republic of Indonesia, 24 February 2003
Background paper INFID tentang privatisasi air
31
INFID Annual Lobby 2003
Polaris Institute, 2003. Global Water Grab. How corporations are planning to Take Control of Local
Water Services. GATS Attack pamphlet series. Polaris Institute, January 2003
Siagian, Yousana OP. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan. Direktorat Tata Lingkungan
Geologi dan Kawasan Pertambangan. Maret 2003
Silva, Gisele, N. Tynan and Y. Yilmaz. Private Participation in the Water and Sewerage Sector-Recent
Trends. Public Policy for the Private Sector. The World Bank Group, Finance, Private Sector and
Infrastructure Network. August 1998
Wijanto, Hadipuro. 2003. “PDAM: Antara Fakta dan Harapan”. Artikel untuk Lokarkarya Bedah Hasil Panja
Komisi IV DPR mengenai RUU-SDA, 13 Oktober 2003.
World Bank doc. www.worldbank.org/water. Updated April 2003
World Bank. 2003. Water Resource Sektor Strategy: Startegic Directions for World Bank’s
Engangement. February 2003
World Bank. 2002. Indonesia – Urban Water Supply Project. Project Information Document. World Bank,
July 2, 200, ada di
http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDS_IBank_Servlet?pcont=details&eid=000094946_0207110
4031595
World Bank. 2002. Private Sector Development Strategy. World Bank. April 2002
World Bank doc. 1999. “Report and Recommendation of the President of the International Bank for
Reconstruction and Development to the Executive Directors on a Proposed Water Resources Sector
Adjustment Loan in the Amount of US$300 Million to the Republic of Indonesia”. April 23, 1999
Peraturan
UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU No. 4/1992 tentang Penataan Ruang
UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 22/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
Keppres No.9/Januari 1999.
PP No.77/2001 tentang Irigasi
Kepmen Dagri No.50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air
Kepmen Kimpraswil No. 259/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenagan Pengelolaan irigasi kepada
Perkumpulan Petani Pemakai Air
Background paper INFID tentang privatisasi air
32
Download