Vol 2, No 3 Juni 2012 ISSN 2088-2130 PERBAIKAN PROTOKOL DYNAMIC MANET ON DEMAND BERDASARKAN BOBOT KEHANDALAN RUTE Kun Nursyaiful Priyo Pamungkas1), Supeno Djanali2) 1,2) Jurusan Teknik Informatika,Fakultas Teknologi Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Email: 1)kunpamungkas@yahoo.com ABSTRAK Mobile Ad Hoc Networks (MANET) merupakan sekumulan perangkat bergerak nirkabel yang memiliki kemampuan untuk saling berkomunikasi tanpa memerlukan infrastruktur atau kontrol terpusat. Pada MANET, setiap node tidak hanya mengirim dan/atau menerima paket data. Setiap node memiliki tanggung jawab untuk meneruskan paket data ke node tujuan. Sehingga, setiap node juga berperan sebagai router.Routing protocol pada MANET harus mampu mengatasi beberapa keterbatasan, yaitu : perubahan topologi jaringan yang dinamis, keterbatasan energi, interferensi sinyal, dan keterbatasn bandwidth. Dynamic MANET on Demand (DYMO) adalah routing protocol baru yang sedang dikembangkan sebagai penerus AODV. Algoritma routing pada DYMO didasarkan pada jumlah hop yang diperlukan untuk mencapai node tujuan. Hal ini bisa menyebabkan ketidakstabilan rute ketika node bergerak dengan cepat tinggi dan acak.Pada penelitian ini, protokol Weight of Route Reliablity – DYMO (WR-DYMO) diusulkan yang mempertimbangkan path lifetime dan jumlah hop untuk mendapatkan jalur yang handal. WR-DYMO mengkombinasikan bobot Path Expiration Time (PET) dan bobot jumlah hop. Nilai PET diperoleh dengan melakukan invers nilai Link Expiration Time (LET).Hasil penelitian menunjukkan bahwa WR-DYMO meningkatkan kinerja untuk parameter packet delivery ratio, overhead, dan throughput. Kata kunci: MANET, path lifetime, path expiration time, link expiration time,jumlah hop. ABSTRACT Mobile Ad Hoc Networks (MANET) is a collection of wireless mobile device that is forming temporary network without fixed infrastructure. In MANET, every node is not just sending and/or receiving data packet. Every node has responsibility to forward the data packet to proper destination node. Thus, each node is also a router. A routing protocol for MANET must be able to overcome some limitations in mobile ad hoc networks such as dynamic topology change, energy constraint, signal interference, and bandwidth limitation. Dynamic Manet on Demand (DYMO) is a new routing protocol that has been developed as the successor of AODV. Routing algorithm in DYMO is based on number of hops needed to reach destination node. This will lead unstable route if each node is moving in high speed and random. In this paper, Weight of Route Reliability-DYMO (WR-DYMO) protocol proposed that consider path lifetime and number of hops to obtain reliable route. WR-DYMO combines the weight of Path Expiration Time (PET) and the weight of number of hops. PET value obtained by invers Link Expiration Time (LET). Experiment’s results show that WR-DYMO improves performance in terms of packet delivery ratio, overhead, and throughput. Keywords: MANET, path lifetime, path expiration time, link expiration time, number of hop. 378 Vol 2, No 3 Juni 2012 PENDAHULUAN Mobile Ad Hoc Network merupakan alternatif baru pada komunikasi bergerak, yang mana sekumpulan perangkat bergerak atau yang juga disebut dengan mobile node membentuk jaringan secara spontan, dinamis dan desentralisasi. Proses pertukaran data antar mobile node terjadi melalui media transmisi wireless. Jika suatu mobile node mengirimkan paket data ke mobile node lain dalam satu jangkauan transmisi, maka mobile node sumber bisa langsung mengirimkan paket data ke mobile node lain tanpa melibatkan mobile node perantara. Tetapi bila mobile node tujuan berada di luar jangkauan transmisi mobile nodesumber, maka nodesumber akan melibatkan mobile node perantara untuk mengirimkan paket data ke node tujuan. Sehingga setiap mobile node dapat berperan sebagai bridge atau router. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengklasifikasikan algoritma routing protocol. Secara umum, algoritma routing protocol dapat diklasifikasikan ke dalam sebelas kategori, yaitu : proaktif, reaktif, multipath, geographical, flowaware, power-aware, multicasting, hierarchical, hybrid, geocast, dan wireless-mesh. Algoritma routing kategori proaktif dan reaktif termasuk algoritma routing pertama yang diadopsi pada awal perkembangan Mobile Ad Hoc Networks. Pada algoritma routing proaktif, setiap mobile node dapat membuat tabel routing berdasarkan pertukaran informasi di antara mobile node. Pertukaran informasi di antar node terjadi melalui pesan-pesan broadcast secara periodik. Algoritma routing yang termasuk kategori proaktif adalah Dynamic Destination-Sequenced Distance Vector (DSDV) dan Optimized Link State Routing (OLSR). Algoritma routing reaktif, informasi routing diperoleh ketika suatu mobile node perlu mengirimkan paket data ke mobile node tujuan. Sehingga proses route discoveryterjadi lebih sering pada MANET yang menggunakan routing protocol kategori reaktif daripada kategori proaktif. Tetapi routing protocol pada kategori reaktif menghasilkan overhead yang rendah.Routing protocol yang termasuk dalam kategori reaktif adalah Ad Hoc on Demand Distance Vector (AODV), Dynamic Source Routing (DSR), Temporally-Ordered Routing Algorithm (TORA), dan Dynamic Manet on Demand (DYMO)[1]. DYMO adalah protokol routingbaru yang sedang dikembangkan oleh Mobile Ad-hoc Jaringan Kelompok Kerja Internet Engineering Task Force (IETF) sebagai penerus AODV [2].DYMO menyediakan fitur yang disempurnakan baru seperti MANET-internet gateway dan akumulasi jalan. DYMO terdiri dari dua mekanisme dasar untuk menyebarkan informasi routing: route discovery dan route discovery. Route discoveryakan dilakukan jika sebuah simpul memiliki untuk mengirim paket data. Node sumber menciptakan pesan RREQ dan dikirim ke node tetangga dalam jangkauan transmisi. Setiap node perantara yang menerima pesan RREQ akan menyimpan rute node yang mengirimkan RREQ dan meneruskan kembali ke node tetangganya. Proses penyebaran pesan RREQ berlangsung hingga pesan RREQ mencapai node tujuan. Ketika node tujuan menerima pesan RREQ, node tujuan memeriksa nomor urut dan menghitung jumlah hop untuk menentukan informasi routing. Setelah itu, node tujuan membuat pesan RREP dan mengirimkannya ke node sumber hop by hop. Prose penyampaian pesan RREP tidak berbeda dengan pengiriman pesan RREQ. Setelah node sumber menerima pesan RREP, node sumber membangun koneksi dan mengirim paket data ke node tujuan. Berbagai penelitian tentang kinerja protokol DYMO dengan beragam kondisi dilakukan.Pada [3], penelitimenguji kinerja algoritma routing DSR, AODV, dan DYMO terhadap pause time. Parameter yang digunakan adalah throughput, packet delivery ratio, drop packet ratio, average jitter, dan average end-toend delay. Hasil penelitian menyebutkan bahwa protokol DYMO memiliki kinerja paling buruk untuk parameter throughput, packet delivery ratio, drop packet ratio dan average end-to-end delay. Studi perbandingan kinerja dua protocol, yaitu AODV dan DYMO terhadap jumlah node dan kecepatan dilakukan oleh [4]. Parameter untuk mengukur kinerja adalah throughput, relative routing overhead, dan average packet size of packet routing. Hasil penelitian menyebutkan bahwa DYMO memiliki kinerja yang buruk untuk parameter throughput ketika node bergerak dengan kecepatan tinggi.Peneliti pada [5] melakukan studi evaluasi terhadap kinerja routing protocol LANMAR, LAR1, DYMO dan ZRP menggunakan model random waypoint mobility.Evaluasi kinerja dilakukan dengan memvariasikan pause time.Average end379 Kun Nursyaiful dkk, Perbaikan Protokol... to-end delay, packet delivery ratio, throughput dan average jitter digunakan sebagai metrik parameter. Hasil uji coba menunjukkan bahwa kinerja routing protocol DYMO kurang baik untuk parameter average end-to-end delay, packet delivery ratio, dan throughput dan paling buruk untuk parameter average jitter ketika pause time semakin besar. Pada [6], peneliti melakukan analisa efek kecepatan terhadap kinerja routing protocol DYMO, AODV, dan DSR.Metrik parameter untuk menilai kinerja routing protocol terdiri atas throughput, packet delivery ratio, average end-to-end delay, dan average jitter.Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketika node bergerak dengan kecepatan tinggi, DYMO memiliki kinerja paling buruk untuk parameter throughput, packet delivery ratio, dan average jitter.Berdasarkan penelitianpenelitian tersebut routing protocol DYMO memiliki kinerja yang rendah ketika mobilitas node meningkat dan acak. Pada MANET, pergerakan node yang tinggi dan acak menyebabkan perubahan topologi yang dinamis [7]. Perubahan topologi ini berdampak pula pada kinerja jaringan seperti packet delivery ratio yang rendah, overhead yang tinggi, dan konektivitas antar node yang rentan putus.Untuk mengurangi dampak perubahan topologi, metode routing protocol yang handal merupakan isu pokok pada MANET. Ada tiga kategori utama routing berbasis kestabilan, yaitu : kestabilan topologi, kestabilan komunikasi, dan kestabilan energi. Routing protocol berbasis kestabilan topologi dapat diklasifikasikan ke dalam routing stabil jalur tunggal dan backup routing[8].Penelitian ini fokus pada routing stabil jalur tunggal. Routing stabil jalur tunggal menentukan rute berdasarkan jangka waktu kedua node tetap terhubung[9]. Metode untuk memprediksi jangka waktu kedua node untuk tetap saling terhubung diusulkan oleh [10], dengan namaLink Expiration Time (LET). Untuk menerapkan metode LET, setiap node perlu dilengkapi dengan perangkat Global Positioning System (GPS) agar dapat mengetahui informasi posisi, arah pergerakan, dan kecepatan node. Metode LET ini juga diadopsi pada FlowOriented Routing Protocol (FORP) oleh [10].Heading Angel Direction Routing Protocol (HARP) diusulkan oleh [9] dengan mengadopsi LET berdasarkan zona untuk menentukan ketetanggaan. Adapun ukuran setiap zona adalah 45°, jika dalam zona tersebut sebuah node tidak memiliki tetangga, maka node akan mencari ke zona berikutnya. Meskipun LET dapat menentukan rute yang stabil, penelitian lain menunjukkan bahwa metode LET menghasilkan jumlah hop yang besar [11].Selain mempertimbangkan konektifitas dua node, protokol Greedy Perimeter Stateless Routing (GPSR) diusulkan oleh [12], dengan menawarkan pendekatan bahwa kestabilan rute dapat ditentukan dari panjang rute.Bagaimanapun, protokol GPSR memiliki kelemahan ketika jarak antar node semakin jauh dan pergerakan node tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa untuk mendapatkan rute yang handal dipengaruhi oleh dua faktor secara bersamaan, yaitu jangka waktu konektifitas antar node dan panjang rute [13]. Pada penelitian ini, Weight of Route Reliability-Dynamic Manet On Demand (WRDYMO) protokol diusulkan untuk memperbaikai protokol DYMO berdasarkan bobot keandalan rute. Bobot keandalan rute merupakan kombinasi bobot PET dan bobot jumlah hop untuk menentukan rute handal. Nilai PET diperoleh dari nilai minimum invers LET. Perbaikan diharapkan untuk meningkatkan kinerja protokol DYMO meskipun topologi berubah dinamis di MANET. Penelitian Terkait Peneliti pada [14] mengusulkan pendekatan baru pada DYMO.Routing protocol ini bernama Delay Tolerance DYMO (DTDYMO).Mekanisme route discovery pada DTDYMO mirip dengan DYMO.Tetapi ketika node tujuan tidak ditemukan, node terdekat atau node yang sering terhubung ke node tujuan bertanggung jawab untuk menyimpan paket data terlebih dahulu sebelum node tujuan ditemukan.Prosedur pencarian node terdekat dengan node tujuan ini disebut dengan message carrier discovery. Sedangkan mekanisme penyimpanan paket data sementara di nodeterdekat disebut dengan store and forward routing. Untuk mendukung mekanisme tersebut, pesan routing RREQ dan RREP pada DTDYMO dimodifikasi. Parameter minDeliveryProb ditambahkan pada pesan RREQ. Pesan RREP juga dimodifikasi dengan menambahkan dua parameter, yaitu deliveryProb dan SearchedNode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DT-DYMO memiliki delivery ratio yang paling tinggi daripada DYMO dan PRoPHET meskipun densitas node meningkat. 380 Vol 2, No 3 Juni 2012 Pendekatan algoritma Ant Colony Metaheuristic (ACO) diusulkan oleh [15] untuk mencari jalur terpendek pada DYMO.Routing protocol ini dinamakan Ant-DYMO.Pencarian jalur terpendek ini mengadopsi perilaku koloni semut dalam mencari jalur terpendek antara sarang koloni semut dengan sumber makanan.Setiap jalur antara node sumber dengan node tujuan dihitung berdasarkan nilai pheromone.Sehingga pada Ant-DYMO, parameter hop count pada routing table digantikan dengan parameter pheromone.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ant-DYMO memiliki packet delivery ratio yang lebih baik daripada DYMO dan mampu mengirim data lebih cepat.Tetapi mekanisme route discovery pada Ant-DYMO menghasilkan overhead yang lebih tinggi daripada DYMO. Pada [3], peneliti mempelajari efek dari peningkatan pause time terhadap routing protocol DSR, AODV, dan DYMO. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan parameter total packet received, packet drop ratio, throughput, average jitter, dan average end-to-end delay. Pause time divariasikan dari 30 sampai 110 detik dengan jumlah node 30 dan ukuran jaringan 1500 meter x 1500 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja routing protocol DYMO paling rendah daripada DSR dan AODV pada parameter total packet received, packet drop ratio, throughput dan average end-to-end delay. Peneliti pada [5] melakukan penelitian mengenai efek peningkatan pause time terhadap kinerja routing protocol LANMAR, LAR1, DYMO dan ZRP.Parameter yang digunakan pada evaluasi adalah average jitter, packet delivery ratio, average end-to-end delay dan throughput.Pause time divariasikan mulai dari 15 detik sampai 75 detik. Hasil penelitian menunjukkan performa DYMO paling rendah pada parameter average jitter dan average endto-end delay. Pada [6], peneliti melakukan studi komparatif secara detil mengenai efek peningkatan kecepatan pada routing protocol DYMO, AODV, dan DSR. Evaluasi dilakukan berdasarkan empat parameter, yaitu throughput, packet delivery ratio, average end-to-end delay dan average jitter. Kecepatan divariasikan mulai dari 10 m/s sampai 40 m/s dengan jumlah node 50 dan ukuran jaringan 1500 meter x 1500 meter. Hasil penelitian menunjunkkan bahwa kinerja routing protocol DYMO paling rendah daripada AODV dan DSR untuk parameter throughput dan packet delivery ratio. METODE Algoritma Link Expiration Time (LET) Metode Link Expiration Time (LET) merupakan mekanisme untuk memprediksi berapa lama dua node saling terhubung. Berdasarkan nilai LET, node bisa menentukan kualitas link dengan node tetangganya. Rute yang handal dapat dicari berdasarkan himpunan nilai LET setiap node-node yang bertetangga. Asumsikan ada dua mobile node, yaitu i dan j dalam jangkauan sinyal transmisi r. Anggap koordinat mobile node dapat diketahui, yaitu (xi,yi) adalah koordinat mobile node i dan (xj,yj) adalah koordinat mobile node j. Masingmasing mobile node memiliki kecepatan υi dan υj dengan sudut pergerakan θi dan θj. Gambar 1 menunjukkan asumsi yang digunakan. Maka lama waktu dua mobile node tetap terkoneksi (LET) dapat diprediksi berdasarkan rumus : ( ) √( ) ( ) (1) dengan : (2) (3) (4) (5) Penentuan Stabilitas Modifikasi tidak mencakup keseluruhan routing protocol DYMO, melainkan pada prosedur route discovery. Pada routing protocol DYMO yang orisinil, keputusan routing ditentukan berdasarkan jarak tempuh node sumber ke node tujuan. Jarak tempuh ini dinyatakan dengan berapa banyak hop yang dilalui.Keputusan routing yang berdasarkan jumlah hop bisa menyebabkan link antar node mudah terputus jika mobilitas mobile node sangat tinggi.Untuk mendapatkan rute yang handal meskipun mobilitas node tinggi, keputusan routing juga ditentukan berdasarkan nilai bobot kehandalan rute. Tetapi ketika koneksi pada rute yang dipilih putus, maka prosedur route discovery dilakukan kembali 381 Kun Nursyaiful dkk, Perbaikan Protokol... karena penelitian ini fokus pada routing stabil jalur tunggal. Agar router WR-DYMO mampu menghitung PET, setiap router WR-DYMO juga mengetahui informasi posisi, posisi berikutnya, kecepatan, dan sudut pergerakan. Keempat informasi ini diperoleh dari perangkat GPS. tujuan, maka node tujuan akan menentukan rute yang paling handal. Pada mekanisme route discovery WRDYMO, setelah node tujuan menerima pesan RREQ yang berisi nilai iLET dari setiap node perantara, node tujuan akan memilih satu rute yang memiliki hasil penjumlahan bobot nilai Path Expiration Time (PET) dan bobot jumlah hop paling besar. PET merupakan nilai minimum dari himpunan nilai iLET pada setiap rute. PET dan fungsi pembobotan diformulasikan pada persamaan 7 dan 8 : ( ) [ Gambar 1.Ilustrasi Posisi dan Kecepatan Dua Mobile Node [ ( ) ( (7) )] ( )] (8) C1 dan C2 adalah faktor pembobotan yang mana penjumlahan | C1 + C2| = 1. Besaran nilai C1 dan C2 ditentukan secara manual. Pada penelitian ini nilai C1 adalah 0,6 sedangkan nilai C2 adalah 0,4. UJI COBA Berdasarkan informasi perangkat GPS tersebut, setiap node mampu menghitung LET dengan node tetangganya. Kemudian nilai LET ini diinverse dan disimpan ke dalam routing table. Agar nilai inverse LET (iLET) dapat disimpan, maka routing table dan routing message (RM) harus dimodifikasi dengan cara menambahkan kolom iLET. Prosedur route discovery di WR-DYMO berbeda dengan DYMO. Pada WR-DYMO, setiap node tetangga yang menerima pesan RREQ dari node sumber akan menghitung nilai LET dan inverse LET kedua node. Nilai iLET ditujukan pada persamaan (6) : ( ) ( ) (6) Setelah itu, node tetangga akan memeriksa apakah memiliki informasi routing ke node tujuan dan node sumber. Jika node penerima pesan RREQ belum memiliki informasi routingnode sumber, maka node penerima akan menyimpannya ke routing table beserta nilai iLET dan selanjutnya meneruskan pesan RREQ ke tetangga berikutnya. Setiap pesan RREQ melewati node-node perantara, nilai iLET akan dimasukkan ke dalam routing table. Jika pesan RREQ diterima oleh node Pada penelitian ini, diasumsikan bahwa semua node terdistribusi secara acak pada ruang dua dimensi. Setiap node memiliki jarak jangkau transmisi yang sama dan satu kanal. Perangkat GPS terpasang di semua node, agar setiap node dapat mengetahui posisi, kecepatan, dan arah pergerakan. Skenario Uji Coba Untuk membuktikan kebenaran metode dan mengetahui kinerja metode pada routing protocol DYMO yang telah dimodifikasi, yaitu WR-DYMO dilakukan beberapa skenario uji coba. Adapun skenario uji coba adalah sebagai berikut : a. Uji Coba 1: bertujuan untuk menguji kinerja dan skalabilitas WR-DYMO terhadap tingkat kepadatan node. Jumlah node akan divariasikan mulai lima puluh hingga dua ratus node. Node-node terus bergerak tanpa berhenti dengan kecepatan maksimum 10 m/s. b. Uji Coba 2: bertujuan untuk menguji kemampuan adaptasi WR-DYMO terhadap tingkat perubahan topologi. Node-node akan terus bergerak tanpa henti dengan variasi kecepatan maksimum mulai 5 m/s hingga 40 m/s. c. Uji Coba 3 : bertujuan untuk menguji kemampuan WR-DYMO terhadap 382 Vol 2, No 3 Juni 2012 perubahan pause time node. Node-node bergerak kemudian berhenti dalam rentang waktu tertentu dan bergerak kembali dengan kecepatan maksimum 10 ms/s. Pada percobaan ini waktu berhenti (pause time) adalah 0 detik, 50 detik, 100 detik, 150 detik, dan 200 detik. Simulasi Percobaan Percobaan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Network Simulator 2 versi 2.34 (NS-2.34) [16], yang diinstall pada sistem operasi GNU/Linux Ubuntu 12.10. Model DYMO yang digunakan adalah DYMO-UM [17].Model DYMOUM bisa diimplementasikan pada sistem operasi GNU/Linux dan lingkungan simulator NS-2. Pada ns-2, ketiga skenario uji coba ini diimplementasikan dengan antarmuka TCL. Agar uji coba mendekati kondisi nyata, simulasi dijalankan dalam wilayah yang luas. Ukuran jaringan simulasi pada penelitian ini adalah 1500 meter x 1500 meter. Pemilihan dimensi wilayah simulasi yang luas dan berbentuk segi empat dapat menghindari kongesti jaringan, meskipun pergerakan node lebih bebas dan rute yang ditempuh bisa lebih panjang. Protokol lapisan MAC yang digunakan adalah IEEE 802.11b Distributed Coordination Function (DCF). DCF didesain dengan menggunakan mekanisme CSMA/CA dan algoritma binary exponential backoff untuk mengurangi kemungkinan terjadinya collision. Selain itu, DCF juga menerapkan skema positive acknowledge, yang mana jika sebuah frame telah diterima dengan benar oleh node tujuan, node tujuan harus mengirimkan frame ACK kepada node sumber. Model propagasi radio adalah Two Ray Ground. Model ini mempertimbangkan dua aspek, yaitu lintasan lurus antara transmitter node dengan receiver node dan pantulan permukaan bumi. Lintasan antara transmitter node dengan receiver node diasumsikan memenuhi kondisi line of sight. Model Two Ray Ground menggunakan model rumus redaman 4 daya sinyal sebagai 1 d dengan d adalah jarak antara transmitter node dengan receiver node. Sehingga sesuai untuk simulasi yang memerlukan jangkauan transmitter yang jauh. Pada penelitian ini jangkauan transmisi adalah 250 meter, tinggi antena adalah 1.5 meter yang ditempatkan sedemikian rupa tepat di tengah mobile node. Untuk melakukan uji stressing terhadap kemampuan routing protocol ketika melakukan prosedur route discovery dan route maintenancetanpa menimbulkan kongesti yang berlebihan, Constant Bit Rate (CBR) dipilih sebagai model komunikasi antar node yang uniform. CBR merupakan aplikasi yang berjalan di atas transport UDP. Node sumber akan mengirim trafik CBR dalam paket-paket data sebesar 512 bytes dengan kecepatan 4 paket per detik. Selama simulasi berlangsung, maksimum jumlah koneksi setiap node adalah sepuluh. Model mobilitas menggambarkan bagaimana node-node bergerak pada area simulasi. Model mobilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah random waypoint. Model mobilitas random waypoint dipilih karena mayoritas simulasi menggunakan model ini. Pada model random waypoint, posisi awal setiap mobile node dipilih secara acak pada area simulasi. Kecepatan mobile node dipilih secara acak di antara Vmin dan Vmax. Vmin diberi nilai 1 m/s agar kecepatan mobile node dapat mencapai kondisi stabil dan konvergen dengan cepat [18]. Parameter Kinerja Parameter kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja dan skalabilitas DYMO yang dimodifikasi adalah sebagai berikut : a. Packet delivery ratio Packet delivery ratio (PDR) dapat didefinisikan sebagai perbandingan jumlah paket data yang diterima node tujuan dengan jumlah paket data yang dikirim oleh node sumber. b. Overhead Overhead diformulasikan sebagai rasio total jumlah paket routing (termasuk Hello message) yang dikirim dengan total jumlah paket data yang diterima. c. Throughput Throughput didefinisikan sebagai jumlah paket data yang berhasil diterima oleh node penerima per detik melalui sistem atau media komunikasi. Throughput dinyatakan dalam satuan bits per second (bps). d. Average end-to-end delay Waktu tunda rata-rata yang diperlukan oleh paket data ketika masih dalam router buffer hingga paket data mencapai node tujuan. Faktor yang turut diperhitungkan adalah 383 Kun Nursyaiful dkk, Perbaikan Protokol... tunda ketika prosedure route discovery, dalam antrian, dan transmisi ulang. Lost packets tidak diperhitungkan.Average end to end delay dinyatakan dalam satuan mili detik. HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Peningkatan Jumlah Node Pada skenario uji coba 1, jumlah node divariasikan mulai 50 sampai 200 node yang menggambarkan tingkat kepadatan node Kecepatan maksimum node Vmax adalah 10 m/s dan jarak transmisi adalah 250 meter. Gambar 2 menunjukkan bahwa WRDYMO memiliki kecenderungan mengalami penurunan PDR secara perlahan seiring peningkatan jumlah node. Berbeda dengan DYMO yang cenderung mengalami peningkatan nilai PDR tetapi kemudian mulai turun ketika jumlah node lebih dari 1500. Dengan luas wilayah yang tetap, peningkatan jumlah node memungkinkan sebuah node memiliki banyak tetangga dan jarak tetangga yang dekat. Hal ini menguntungkan untuk routing protocol yang hanya memperhitungkan jumlah hop untuk memutuskan jalur terbaik. Tetapi dengan jarak antar tetangga yang dekat, interferensi juga meningkat sehingga menyebabkan kongesti. Kongesti inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan PDR. Gambar 3 menunjukkan adanya kecenderungan DYMO dan WR-DYMO mengalami peningkatan overhead seiring dengan meningkatnya jumlah node. Peningkatan jumlah node ini memicu peningkatan Hello messages dan paket-paket RREQ yang disebar ke banyak node. Untuk jumlah node yang sama, WR-DYMO memiliki overhead yang relatif lebih rendah daripada DYMO karena WRDYMO memiliki prosentase PDR yang lebih tinggi sehingga melakukan prosedur route discovery lebih sedikit dibandingkan DYMO. Gambar 4 memperlihatkan adanya kecenderungan routing protocol DYMO mengalami penurunan throughput secara perlahan ketika jumlah node lebih dari 100. Sedangkan routing protocol WR-DYMO mengalami penurunan secara perlahan ketika jumlah node lebih dari 50, tetapi WR-DYMO masih lebih baik daripada DYMO. Penurunan throughput ini dipengaruhi oleh interferensi dan kongesti yang terjadi ketika jumlah node semakin bertambah. Gambar 5 menggambarkan adanya peningkatan average end-to-end delay pada kedua routing protocol, yaitu WR-DYMO dan DYMO. Pada routing protocol DYMO, average end-to-end delay terendah adalah pada jumlah node 50. Kenaikan terjadi secara perlahan ketika jumlah node berkisar dari 50 hingga 150. Kenaikan tajam terjadi jika jumlah node lebih dari 150. Sedangkan pada WR-DYMO, average end-to-end delay mengalami kenaikan yang tinggi seiring kenaikan jumlah node. Tetapi WRDYMO masih memiliki nilai average end-to-end delay yang lebih rendah daripada DYMO pada jumlah node 200. Gambar 2 Grafik Variasi Jumlah Node terhadap PDR Gambar 3 Grafik Variasi Jumlah Node terhadap Overhead 384 Vol 2, No 3 Juni 2012 Gambar 4. Grafik Variasi Jumlah Node terhadap Throughput Gambar 5. Grafik Variasi Jumlah Node terhadap Average End-to-End Delay Efek Peningkatan Kecepatan Node Pada skenario uji coba 2, kecepatan maksimum node divariasikan mulai dari 5 m/s hingga 40 m/s dengan jumlah node sebesar 50, jarak antara transmitter dengan receiver adalah 250 meter. Gambar 6 menunjukkan bahwa, WR-DYMO mengalami penurunan PDR secara perlahan tetapi nilainya masih lebih tinggi daripada DYMO. Sedangkan pada DYMO, nilai PDR berubah secara fluktuatif dan mengalami penurunan yang tajam pada saat kecepatan maksimum node adalah 20 m/s. Hal ini menunjukkan bahwa DYMO tidak mampu beradaptasi ketika node bergerak dengan cepat, berbeda dengan WR-DYMO yang cenderung stabil. Gambar 7 menampilkan overhead pada kedua routing protocol, yaitu DYMO dan WR-DYMO. Hasilnya menunjukkan bahwa WR-DYMO memiliki overhead yang lebih rendah daripada DYMO. Pada WR-DYMO, overhead naik secara perlahan seiring kenaikan kecepatan maksimum node. Sedangkan pada DYMO, overhead naik secara fluktuatif dan lebih tinggi daripada WR-DYMO. Hal ini disebabkan DYMO tidak bisa menghadapi peningkatan kecepatan node. Ketika node bergerak semakin cepat, konektifitas antar node menjadi mudah putus, sehingga harus dilakukan prosedur route discovery kembali. Prosedur route discovery yang berulang kali akan meningkatkan paket RREQ. Gambar 8 menunjukkan adanya penurunan throughput pada kedua routing protocol, yaitu DYMO dan WRDYMO. Penurunan yang fluktuatif tejadi pada DYMO, sedangkan pada WR-DYMO penurunan terjadi secara perlahan tetapi masih lebih tinggi daripada DYMO. Ini menunjukkan bahwa WR-DYMO masih stabil meskipun node-node bergerak dengan cepat. Gambar 9 menunjukkan adanya peningkatan average end-to-end delay secara signifikan pada routing protocol WR-DYMO. Keputusan routing pada WR-DYMO lebih didasarkan pada tingkat kehandalan rute. Sehingga rute yang dilalui untuk mengirim paket data bisa lebih panjang. Sedangkan DYMO hanya mempertimbangkan jumlah hop, yaitu jalur mana yang jumlah hop-nya lebih sedikit. Sehingga average end to end delay pada DYMO cenderung lebih rendah. Gambar 6. Grafik Variasi Kecepatan Node terhadap PDR 385 Kun Nursyaiful dkk, Perbaikan Protokol... Gambar 7. Grafik Variasi Kecepatan Node terhadap Overhead Gambar 8. Grafik Variasi Kecepatan Node terhadap Throughput Gambar 9. Grafik Variasi Kecepatan Node terhadap Average End-to-End Delay Efek Peningkatan Pause Time Untuk mengetahui efek pause time terhadap kinerja DYMO dan WRDYMO, pause time divariasikan mulai dari 0 detik hingga 200 detik dengan jumlah node 50, kecepatan maksimum node 10 m/s, dan waktu simulasi 250 detik. Gambar 10 menunjukkan bahwa kinerja terbaik kedua routing protocol, yaitu WR-DYMO dan DYMO WRDYMO untuk parameter PDR adalah pada pause time 0 detik. WR-DYMO mengalami penurunan nilai PDR secara perlahan seiring peningkatan pause time. Sedangkan pada DYMO , nilai PDR mengalami penurunan secara fluktuatif dan mencapai nilai terendah ketika pause time 200 detik. Ini menunjukkan bahwa WR-DYMO masih handal ketika node berhenti dalam waktu yang lama kemudian harus bergerak kembali dalam waktu yang cepat. Penurunan nilai PDR pada pause time 200 detik karena node memerlukan waktu yang lama untuk mencapai kecepatan yang stabil setelah node berhenti dalam waktu 200 detik. Gambar 11 menunjukkan bahwa routing protocol DYMO mengalami kenaikan overhead secara fluktuatif dan naik dengan tajam pada pause time 200 detik. Sedangkan routing protocol WRDYMO justru turun secara perlahan seiring kenaikan pause time. Ini berarti node yang menggunakan DYMO sebagai routing protocol melakukan route discovery seiring peningkatan pause time. Hal yang berbeda terjadi ketika node mengimplementasikan WRDYMO sebagai routing protocol. Gambar 12 menunjukkan DYMO mengalami perubahan secara fluktuatif dan turun dengan tajam pada pause time 200 detik. Sedangkan WRDYMO, nilai throughput turun secara perlahan. Ini menunjukkan WR-DYMO cenderung stabil meskipun pause time naik. Gambar 13 menunjukkan nilai average end-to-end delay untuk WRDYMO naik secara tajam pada pause time 150 detik dan turun tajam pada pause time 200 detik. Nilai average endto-end delay pada DYMO cenderung lebih rendah karena jumlah hop yang dilalui lebih sedikit. Gambar 10. Grafik Variasi Pause Time terhadap PDR 386 Vol 2, No 3 Juni 2012 b. Gambar 11. Grafik Variasi Pause Time terhadap Overhead c. Gambar 12. Grafik Variasi Pause Time terhadap Throughput d. e. Gambar 13. Grafik Variasi Pause Time terhadap Average End-to-End Delay SIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan,maka dapat ditarik beberapa simpulan: a. Pada skenario uji coba 1, WRDYMO menunjukkan kinerja terbaik untuk parameter PDR, overhead, dan throughput pada kondisi jumlah node 50. Meskipun peningkatan jumlah node menurunkan kinerja WR-DYMO, tetapi kinerja WR-DYMO masih lebih baik daripada DYMO untuk ketiga parameter tersebut. Sedangkan untuk parameter average end-to-end delay, kinerja DYMO lebih baik daripada WRDYMO. Pada skenario uji coba 2, WRDYMO menunjukkan kinerja terbaik untuk parameter PDR, overhead dan throughput pada kondisi kecepatan maksimum 5 m/s. WR-DYMO juga memiliki toleransi yang lebih baik terhadap peningkatan kecepatan node daripada DYMO. Kinerja WRDYMO lebih rendah daripada DYMO untuk parameter average end-to-end delay. Pada skenario uji coba 3, WRDYMO menunjukkan kinerja terbaik untuk parameter PDR dan throughput pada pause time 0 detik. Sedangkan untuk parameter overhead, kinerja terbaik WRDYMO pada kondisi pause time 150 detik. Kinerja WR-DYMO lebih rendah daripada DYMO untuk parameter average end-toend delay. Kombinasi bobot invers LET dan bobot jumlah hop dapat meningkatkan kinerja routing protocol dalam mengirim data. WR-DYMO lebih sesuai untuk aplikasi data dengan toleransi tunda yang tinggi, sedangkan DYMO sesuai untuk aplikai data dengan toleransi tunda yang rendah. DAFTAR PUSTAKA [1] Alotaibi, E., Mukerjee,B., ”A Survey on Routing Algorithms for Wireless Ad-Hoc and Mesh Networks”, Computer Networks, 56:940-965, 2012. [2] Chakeres,I., Perkins, C., Dynamic MANET On-demand (DYMO) Routing. IETF Internet Draft, 2011. [3] Bisen,D., Suman, P., Sharma, S., Shukla,R., “Effect of Pause Time on DSR, AODV and DYMO Routing Protocols in MANET”, 387 Kun Nursyaiful dkk, Perbaikan Protokol... International Journal of IT & Knowledge Management, 3, 2010. [4] Kum, D.W., Park,J.S.,Cho, Y.Z.,Cheon, B.Y., "Performance Evaluation of AODV and DYMO Routing Protocols in MANET", In Proceeding of IEEE Consumer Communications and Networking Conference, 1-2, 2010. [5] Singh,D., Maurya, A.K., Sarje, A.K., “Comparative Performance Analysis of LANMAR, LAR1, DYMO and ZRP Routing Protocols in MANET using Random Waypoint Mobility Model”, Third International Conference on Electronics Computer Technology, 6: 62-66. 2011. [6] Sharma,D., Roberts, N., ”Effects of Velocity on Performance of DYMO, AODV and DSR Routing Protocols in Mobile Adhoc Networks”, Procedia Technology, 4:727-731, 2012. [7] Corson,J., Macker, J., "Routing Protocol Performance Issues and Evaluation Considerations", RFC 2501. 1999. [8] Yang,W., Yang, X., Yang, S.,Yang, D.,“A Greedy-Based Stable Multi-path Routing Protocol in Mobile Ad Hoc Networks”, Ad Hoc Networks, 9:662-674, 2011. [9] Al-Kaidi,M., Alchaita,M., “Link Stability and Mobility in Ad Hoc Wireless Networks”, IET Communication, 1:173-178, 2007. [10] Su,W., Lee, S.J., Gerla, M., “Mobility Prediction in Wireless Networks”, Proceeding of IEEE MILCOM, 1:1312-1321, 2000. [11] Meghanathan,N., “Exploring the Stability-Energy ConsumptionDelay-Network Lifetime Tradeoff of Mobile Ad Hoc Network Routing Protocols,” Journal of Networks, 3:17-28, 2008. [12] Karp,B., Kung, H.T.,“GPSR: Greedy perimeter stateless routing for wireless networks”, Proceedings of the 6th Annual International Conference on Mobile Computing and Networking,243–254, 2000. [13] La,R. J., Han, Y.,“Distribution of path durations in mobile ad hoc networks and path selection”, IEEE/ACM Transactions on Networking, 15:993-1006, 2007. [14] Kretschmer, C.,Ruhrup, S., Schindelhauer, C., "DT-DYMO: Delay-Tolerant Dynamic MANET On-demand Routing ", 29th IEEE International Conference on Distributed Computing Systems Workshops, 493-498, 2009. [15] Martins, J.A.P.,Correia,S.L.O.B., J´unior,J.C, "Ant-DYMO: A BioInspired Algorithm for MANETS",17th International Conference on Telcomunications, 748 – 754, 2010. [16] http://www.isi.edu/nsnam/ns/nsuild.html, diakses 12 Juli 2012. [17] Ros, J.F, DYMOUM, November 2011, URL: http://masimum.inf.um.es/fjrm/ ?page_id=126 diakses 12 Juli 2012. [18] Yoon, J., Liu, M., Noble, B., “Random Waypoint Considered Harmful”, Twenty-Second Annual Joint Conference of the IEEE Computer and Communications, 2:1312-1321, 2003. 388