Uploaded by Marata Septi Luvianty Sinaga

STANDARDISASI BIPA DI ERA MEA Contoh Mklh

advertisement
1
STANDARDISASI (UJI) KEMAHIRAN BIPA DALAM ERA MASYARAKAT
ASEAN: PELUANG DAN TANTANGAN1
Suharsono
Fakultas Ilmu Budaya UGM
hars@ugm.ac.id
1. Pendahuluan
Tahun 2015 merupakan tahun diberlakukannya Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN
yang dibentuk untuk mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi perkembangan
konstelasi politik internasional (Lemhannas RI, 2012: 89) memiliki tiga pilar, yaitu
terbentuknya Masyarakat Politik Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan
Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Tiga pilar pendukung tersebut menjadi paradigma baru
yang akan menggerakkan kerjasama ASEAN ke arah sebuah masyarakat dan identitas baru
yang lebih mengikat. (http://www.setneg.go.id/)
Salah satu bagian penting visi Masyarakat ASEAN adalah pembentukan pasar tunggal
yang kompetitif, terintegrasi secara global, dan basis produksi, yang dibangun atas dasar
prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang adil dan kemakmuran yang merata, melalui
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ILO & ADB, 2014: 1). Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015 bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang
stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dan secara ekonomi terintegrasi dengan regulasi efektif
untuk perdagangan dan investasi, yang dicirikan oleh arus bebas lalu lintas barang, jasa,
investasi, dan modal serta meningkatnya konektivitas dan difasilitasinya kebebasan
pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja (http://www.setneg.go.id/; ILO & ADB, 2014: 2).
Dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN dinyatakan bahwa terdapat 17
elemen inti dan 176 langkah prioritas yang didasarkan atas empat pilar, yaitu (i) pasar tunggal
yang berbasis produksi; (ii) kawasan ekonomi yang berkompetitif tinggi; (iii) kawasan
pengembangan ekonomi yang adil; dan (iv) kawasan yang benar-benar terintegrasi ke dalam
ekonomi global (ILO & ADB, 2014: 2). Bagi Indonesia, yang saat ini mengedepankan
pembangunan MEA, implementasi MEA 2015 berfokus pada 12 sektor prioritas, yang terdiri
atas tujuh sektor barang (industri pertanian, peralatan elektronik, otomotif, perikanan, industri
berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil) dan lima sektor jasa (transportasi udara,
1
Makalah disajikan pada Seminar Internasional “Tantangan Bahasa Indonesia pada Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN” yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, pada 1819 Agustus 2015.
2
pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, dan industri teknologi informasi atau e-ASEAN)
(http://www.setneg.go.id/).
ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi memiliki lima elemen utama, yaitu
(i) aliran bebas barang, (ii) aliran bebas jasa, (iii) aliran bebas investasi, (iv) aliran modal yang
lebih bebas, serta (v) aliran bebas tenaga kerja terampil (Deplu RI, 2009: 7). ASEAN juga
tengah mengupayakan harmonisasi dan standardisasi, untuk memfasilitasi pergerakan tenaga
kerja di kawasan. Salah satu butir tindakannya adalah mengembangkan kompetensi dasar dan
kualifikasi untuk pekerjaan dan keterampilan pelatihan yang dibutuhkan dalam berbagai
sektor jasa (Deplu RI, 2009: 20).
Penerapan pasar tunggal ASEAN yang bercirikan aliran bebas investasi dan aliran
bebas tenaga kerja terampil akan berimplikasi bagi masuknya pelaku usaha asing dan tenaga
kerja asing ke Indonesia secara lebih bebas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Indonesia sebagai salah satu negara pencetus dan anggota ASEAN jelas tidak dapat menolak
kemungkinan ini. Penekanan Pemerintah Indonesia pada sektor industri pertanian, industri
berbasis karet dan kayu, peralatan elektronik, serta sektor jasa transportasi udara,
sebagaimana disebutkan di atas, dimungkinkan juga akan mendorong makin kuatnya tenaga
kerja asing masuk ke dalam negeri. Masuknya pelaku usaha dan tenaga kerja asing ke
Indonesia bukan hanya menimbulkan dampak (positif maupun negatif) bagi sektor
ketenagakerjaan domestik melainkan juga memunculkan dampak terhadap aspek kebahasaan,
khususnya Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Dampak tersebut berupa tantangan
dan sekaligus peluang bagi pengembangan program BIPA. Bagaimana peluang dan tantangan
tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Selain
itu, juga akan dibicarakan seberapa penting standardisasi kemahiran BIPA bagi tenaga kerja
asing dan langkah-langkah strategis apa yang dapat (segera) dilakukan dalam upaya
mendorong kesiapan Pemerintah Indonesia dalam menyambut masuknya pelaku usaha dan
tenaga kerja asing ke Indonesia. Pembahasan makalah ini berawal dari asumsi bahwa tuntutan
kemampuan atau kemahiran berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing hendaknya dilandasi
oleh tersedianya standar kemahiran BIPA yang kredibel dan tepercaya, yang menjadi dasar
bagi uji kemahiran BIPA; dan bahwa implementasi MEA 2015 tidak akan berjalan dengan
baik manakala tidak diikuti dengan kesiapan perangkat pendukungnya, termasuk salah
satunya adalah perangkat uji kemahiran BIPA bagi tenaga kerja asing.
3
2. Peluang
a. Keadaan Alam dan Seni Budaya
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan dan keindahan alam
serta keanekaragaman hayati. Gunung-gunung, bukit atau lembah, sungai, danau, dan laut
dengan pantainya yang beraneka ragam merupakan kekayaan alam yang menjadi daya tarik
warga asing datang ke Indonesia. Begitu juga kekayaan hayati flora dan faunanya.
Keanekaragaman etnik beserta peninggalan budayanya (candi, kraton/istana, dan situs budaya
lainna), adat istiadat, bahasa, dan seni kreatif (tari, ukir, pahat, tenun, dsb.) juga merupakan
bentuk daya tarik lainnya. Semua kekayaan alam dan seni budaya tersebut telah lama disadari
sebagai daya tarik yang mampu mendatangkan warga asing ke Indonesia, baik sebagai
wisatawan, pelaku usaha, maupun pelaku/tenaga kerja. Masuknya warga asing ke Indonesia
sekaligus dapat menggerakkan pula jasa transportasi (darat, laut, udara), salah satu sektor jasa
yang menjadi prioritas Indonesia dalam implementasi MEA 2015.
Kedatangan warga asing ini bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi, melainkan
juga berdampak pada masalah ke-BIPA-an. Telah lama disadari bahwa antara pembelajaran
BIPA dan kekayaan alam dan seni budaya memiliki hubungan erat yang saling mendukung
karena orang asing belajar bahasa Indonesia sering didasari oleh ketertarikannya dengan
kekayaan alam dan budaya Indonesia. Selain itu, semakin banyak pelaku usaha dan tenaga
kerja asing yang datang ke Indonesia akan semakin banyak pula peluang kebutuhan orang
untuk belajar BIPA.
b. Sumber Daya Alam
Peluang kedua adalah sumber daya alam. Sumber daya alam yang variatif, baik yang berupa
pertambangan (minyak, batubara, besi, dsb.), laut (perikanan) maupun pertanian, menjadi
salah satu pendorong warga asing datang ke Indonesia, baik sebagai pelaku usaha (investasi)
maupun tenaga kerja terampil atau tenaga ahli. Kedatangan tenaga kerja asing ini akan
berdampak pada kebutuhan penyediaan pembelajaran BIPA dan/atau uji kemahiran BIPA
karena, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 24/2009 dan Permenakertrans Nomor
12/2013, tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia harus memenuhi persyaratan
mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
c. Demografi
Peluang ketiga adalah faktor demografi. Penduduk Indonesia yang jumlahnya paling besar di
antara negara anggota ASEAN lainnya, yaitu 230 juta lebih, merupakan ”bonus demografi”
4
tersendiri (http://www.setneg.go.id: hlm. 3) karena jumlah tersebut merupakan sepertiga
lebih dari jumlah penduduk ASEAN yang mencapai 600 juta (ILO & ADB, 2014: 7).
Perbandingan jumlah penduduk produktif Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain
adalah 38:100, yang artinya bahwa setiap 100 penduduk ASEAN, 38 adalah warga negara
Indonesia. Bonus ini diperkirakan masih bisa dinikmati setidaknya sampai dengan 2035
(http://www.setneg.go.id: hlm. 3).
Tambahan lagi bahwa penduduk ASEAN yang berjumlah sekitar 600 juta merupakan
8.6 persen dari total penduduk dunia. Jumlah ini ekuivalen dengan jumlah penduduk
Amerika Latin dan Karibea (606 juta), dan lebih besar daripada jumlah penduduk Uni Eropa
(506 juta) dan dua kali dari penduduk Amerika Serikat yang berjumlah 312 juta (ILO &
ADB, 2014: 7). Keadaan demografi Indonesia dan ASEAN tersebut merupakan peluang dan
“pangsa pasar” tersendiri bagi program BIPA.
d. Jumlah Penutur Bahasa Indonesia dan Alumni BIPA
Peluang keempat adalah jumlah penutur bahasa Indonesia. Berdasarkan data Kementerian
Luar Negeri pada 2012, bahasa Indonesia memiliki penutur asli terbesar kelima di dunia,
yaitu sebanyak 4.463.950 orang yang tersebar di luar negeri (Kompas.com, 23 Oktober 2013).
Dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN dan jumlah penutur asli terbesar kelima di
dunia, hal itu akan terus mendorong naiknya jumlah penutur bahasa Indonesia. Tambahan
lagi, alumni pemelajar BIPA, baik yang berasal dari program reguler, intensif/MoU
antaruniversitas, kursus singkat, maupun program darmasiswa RI (nondegree) dan Kemitraan
Negara Berkembang atau KNB (S2), akan menambah jumlah penutur bahasa Indonesia.
Begitu juga alumni BIPA yang dihasilkan dari program tahunan Scheme for Academic
Mobility and Exchange (SAME) Dikti di beberapa perguruan tinggi di luar negeri (termasuk
ASEAN). Pada tahun 2009 bahasa Indonesia secara resmi ditempatkan sebagai bahasa asing
kedua oleh pemerintah daerah Ho Chi Minh City, Vietnam. Semua itu merupakan faktor
pendorong bagi kemungkinan makin bertambahnya jumlah penutur BIPA di luar negeri
(termasuk ASEAN).
e. Regulasi Kebahasaan dan Ketenagakerjaan
Selanjutnya, peluang kelima adalah peraturan yang terkait dengan kebahasaan dan
ketenagakerjaan. Untuk mengantisipasi masuknya tenaga kerja asing, Pemerintah telah
memiliki Undang-Undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan
Lagu Kebangsaan dan Permenakertrans Nomor 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan
5
Tenaga Kerja Asing. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 24/2009 menyatakan bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan
swasta. Ketentuan ini tentu berlaku juga bagi tenaga kerja asing yang bekerja di lingkungan
pemerintah dan sawasta. Dinyatakan pula bahwa pegawai atau pekerja yang belum mampu
berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih
kemampuan berbahasa Indonesia (baca BIPA). Sementara itu, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 12/2013 secara eksplisit menyatakan
bahwa tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia harus memenuhi pesyaratan
minimal, yaitu mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Adanya payung hukum
tersebut, menjamin pemerintah atau pengambil kebijakan dapat “menuntut” kemahiran
berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing sesuai dengan bidang kerjanya. Hal ini
sebetulnya merupakan sesuatu yang wajar karena secara sosiolinguistis seseorang tidak dapat
melakukan pekerjaan dengan baik manakala dia tidak menguasai bahasa lokal di lingkungan
tempat kerjanya, tempat dia berinteraksi dengan pekerja domestik yang menggunakan bahasa
lokal tersebut (bahasa Indonesia). Di beberapa negara telah ditetapkan aturan secara konsisten
bahwa tenaga kerja asing harus mampu berkomunikasi dalam bahasa setempat atau negara
tujuan, misalnya Jepang, Korea, Hong Kong, Taiwan, Australia, dan negara-negara Timur
Tengah (lihat Aloewie, 2010: 1); bahkan di negara Jerman (Maryanto, 2013) warga negara
asing wajib menguasai bahasa Jerman sekurang-kurangnya dalam kualifikasi A1 skala
Common European Framework of Reference for Languages/CEFR (setara Tingkat Pemula
BIPA) jika akan memasuki wilayah Jerman dan tinggal menetap bersuami atau beristri
dengan warga asli Jerman.
f. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi AIPA
Peluang berikutnya adalah kemungkinan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
AIPA (ASEAN Inter-Parliament Assembly). Kemungkinan ini berawal dari usulan delegasi
Indonesia dalam sidang AIPA. Usulan itu dilaporkan telah disepakati pada pertemuan AIPA
di Hanoi, Vietnam, pada tahun 2010 dan kesepekatan ini akan segera dimasukkan ke dalam
statuta AIPA (Maryanto, 2013: 3). Bila upaya ini berhasil, maka hal itu menjadi salah satu
butir penting bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanat UU 24/2009, khususnya
pasal 44, tentang upaya meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional
secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Disepakatinya bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi AIPA tersebut merupakan peluang positif bagi program BIPA karena akan
mendorong peningkatan kebutuhan warga asing untuk belajar bahasa Indonesia.
6
3. Beberapa Tantangan dan Persoalan ke-BIPA-an
Selain peluang sebagaimana diuraikan di atas, ada beberapa tantangan yang dihadapi
program BIPA dan perlu segera dipecahkan. Beberapa tantangan tersebut diuraikan di bawah
ini.
a. Standardisasi Kemahiran BIPA
Tantangan pertama adalah masalah standardisasi kemahiran BIPA. Standardisasi ini dirasa
penting mengingat masuknya tenaga kerja asing, sebagai dampak dari diterapkannya pasar
tunggal ASEAN, akan menuntut standardisasi kompetensi kerja, termasuk salah satunya
adalah kompetensi berbahasa Indonesia. Meski pengajaran BIPA di dalam negeri telah
berlangsung lebih dari 30 tahun, namun Indonesia belum memiliki dokumen resmi yang dapat
dijadikan rujukan bagi semua pemangku kepentingan yang berhubungan dengan masalah
BIPA.
Bukan
berarti
bahwa
selama
ini
para
penyelenggara
pengajaran
BIPA
menyelenggarakan pembelajarannya secara serampangan tanpa mendasarkan pada patokan
standar pembelajaran BIPA tertentu dan bukan berarti pula bahwa para ahli dan pemangku
kepentingan tidak melakukan tindakan apa pun selama ini. Lokakarya terakhir tentang
penyusunan kurikulum BIPA yang dilaksanakan 2014 di Yogyakarta oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (selanjutnya disebut Badan Bahasa) dan menghasilkan
rumusan standar kemahiran BIPA merupakan akumulasi dari kepedulian, komitmen, dan
usaha bersama Badan Bahasa, lembaga penyelenggara BIPA, pakar BIPA, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam rangka mewujudkan keinginan adanya standardisasi kemahiran
BIPA. Tentu saja hasil lokakarya tersebut patut diberi apresiasi yang tinggi. Namun demikian,
bukan berarti tugas bersama untuk mewujudkan dokumen resmi tentang standardisasi
kemahiran BIPA telah selesai. Pada hemat penulis, rumusan lokakarya tersebut masih
merupakan bahan dasar yang masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut untuk menjadi
dokumen resmi yang layak menjadi rujukan bagi pemangku kepentingan yang berkaitan
dengan masalah BIPA, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hasil lokakarya tersebut
setidak-tidaknya memerlukan penyempurnaan pada aspek-aspek berikut ini.
(1) Uraian umum tentang standar pemeringkatan (landasar teoretis, istilah yang
digunakan, misalnya Pemula 1, Pemula 2, Madya 1, dst.) dan pencapaian kompetensi
kemahiran BIPA
(2) Deksriptor kemahiran setiap peringkat (sudah ada, yaitu hasil lokakarya 2014, tetapi
perlu pencermatan dan penyempurnaan lagi agar mampu menggambarkan seluruh
aspek kemahiran secara komprehensif tanpa tumpang tindih)
7
(3) Penjelasan mengenai aspek-aspek yang terkait dengan kosakata, empat keterampilan
berbahasa, linguistik, sosiolinguistik, semantik-pragmatik, dan budaya dikaitkan
dengan deskriptor kemahiran setiap peringkat
(4) Pedoman umum tentang penggunaan atau penerapan standar kemahiran tersebut
dalam pembelajaran, pengujian, dan untuk keperluan tujuan khusus yang bersifat
vokasional.
Pada hemat penulis, dalam konteks MEA 2015, upaya mewujudkan dokumen
standardisasi kemahiran BIPA tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi. Dokumen tersebut lebih baik diterbitkan oleh Badan Bahasa, sebagaimana
dokumen CEFR yang diinisiasi dan diterbitkan oleh Dewan (Bahasa) Eropa. Dengan adanya
dokumen tertulis yang representatif, memudahkan bagi semua pihak untuk melakukan
pengukuran atau pengujian dan penentuan kemampuan BIPA untuk berbagai kepentingan.
Dalam konteks MEA, dengan adanya dokumen standar kemahiran tersebut, kantor atau
perusahaan akan dimudahkan karena memiliki rujukan yang dapat dipakai untuk menentukan
standar minimal kemahiran BIPA pada peringkat apa yang sesuai dengan bidang pekerjaan
bagi tenaga kerja asing. Apabila dokumen standardisasi kemahiran BIPA tersebut tidak segera
terwujud, Pemerintah Indonesia akan mengalami kendala dalam mengimplementasikan aturan
keharusan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing, padahal negara lain telah siap untuk
mengirimkan pelaku bisnis dan tenaga kerja asing ke Indonesia seperti antara lain terlihat dari
upaya lembaga pelatihan pariwisata di Thailand dan Filipina yang mengajarkan materi Bahasa
Indonesia kepada peserta kursus (Merdeka.com, 3 April 2014).
b. Uji Kemahiran BIPA untuk Tenaga Kerja Asing
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa dalam Permenakertrans
Nomor 12/2013 dinyatakankan bahwa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia harus
memenuhi persyaratan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Persyaratan tersebut
mau tidak mau menuntut dirumuskannya standar kompetensi berbahasa Indonesia bagi tenaga
kerja asing (baca standar kemahiran BIPA) beserta perangkat uji kemahirannya. Sayangnya,
Pemerintah belum memiliki instrumen uji kemahiran BIPA yang terstandarkan dan
mendapatkan legitimasi dari seluruh pemangku kepentingan. Ini adalah tantangan kedua.
Sejauh ini instrumen uji kemahiran BIPA ini masih terus dalam pengembangan,
khususnya oleh Badan Bahasa. Memang ada sebagian lembaga penyelenggara program BIPA
yang telah melaksanakan uji kemahiran BIPA bagi warga asing yang memerlukan sertifikat
kemahiran BIPA (UGM, UI). Akan tetapi, sifatnya cenderung internal dan temporal, meski
8
kualitas hasilnya diakui oleh lembaga pemerintah dan swasta. Belum ada badan atau asosiasi
profesi yang mendapatkan legitimasi atau dipercaya (sekaligus mendapat dukungan finansial)
secara khusus dan berkesinambungan mengembangkan dan menyelenggarakan uji kemahiran
BIPA. Sinergi antarlembaga (Badan Bahasa, universitas, lembaga penyelenggara BIPA,
Badan Nasional Sertifikasi Profesi) dan niat sungguh-sungguh dari Pemerintah (dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
menjadi prasyarat terwujudnya instrumen uji kemahiran BIPA yang kredibel dan tepercaya.
Dengan adanya instrumen uji kemahiran BIPA yang kredibel dan tepercaya, akan
memudahkan bagi Pemerintah dan pelaku usaha untuk melaksanakan ketentuan persyaratan
minimal kemahiran BIPA bagi tenaga kerja asing.
c. Pemberlakuan Persyaratan Kemampuan Berbahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing
Persoalan ketiga adalah belum diberlakukannya secara taat asas peraturan tentang keharusan
penguasaan bahasa Indonesia oleh tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam
Permenakertrans Nomor 12/2013. Sikap tidak asas ini dapat menimbulkan rasa ketidakadilan
bagi pelaku usaha dan tenaga kerja asing. Dampak ikutannya adalah rasa kepercayaan
terhadap pemerintah menurun dan dapat melemahkan daya saing Indonesia di masyarakat
ASEAN. Untuk itu, tersedianya instrumen uji kemahiran BIPA dan diberlakukannya aturan
Permenakertrans 12/2013 secara taat asas merupakan langkah yang seharusnya dilaksanakan.
Sebetulnya merupakan hal yang wajar dan masuk akal apabila Indonesia menerapkan
secara taat asas aturan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing karena aturan
semacam ini juga berlaku bagi negara lain seperti Jepang, Korea, Hong Kong, dan Taiwan.
Bila negara lain saja memberlakukan aturan yang sama terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI)
di luar negeri, mengapa Indonesia tidak? Selain itu, dalam kenyataan dunia kerja, penguasaan
kompetensi teknis saja tidaklah cukup untuk melakukan pekerjaan, tetapi penguasaan
berbahasa Indonesia (dalam konteks bekerja di Indonesia) juga sangat penting dalam
mendukung tercapainya kompetensi secara menyeluruh (Aloewie, 2010: 5).
Dalam konteks ketenagakerjaan, standardisasi kompetensi kerja terdiri atas beberapa
aspek dan salah satunya adalah kemampuan untuk berkomunikasi dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesi. Salah satu kerangka pikir yang digunakan dalam kompetensi kerja
adalah employability skills. Employability skills adalah kemampuan dasar yang diperlukan
untuk menerima, melanjutkan, dan melakukan pekerjaan dengan baik. Employability skills
terdiri dari (a) keterampilan akademik dasar, (b) keterampilan berpikir pada tataran yang lebih
tinggi, dan (c) kualitas personal. Dalam “keterampilan akademik dasar” tercakup sejumlah
9
kemampuan yang terdiri dari membaca, menulis, ilmu alam/sains, matematika, komunikasi
lisan, dan menyimak. Pada pihak lain, menurut Badan Nasional Sertifikasi Profesi,
kemampuan berkomunikasi dipandang sebagai kemampuan generik yang mencakup
mengumpulkan, mengorganisasi dan menganalisis informasi, dan mengomunikasikan ide-ide
dan informasi. Selain itu, tenaga kerja dituntut memiliki kompetensi umum yang berjudul
“Berkomunikasi di Tempat Kerja dan Bekerja Sama dengan Rekan Sejawat” (Aloewie, 2010:
4).
Dari uraian di atas tampak bahwa bahasa memegang peran penting dalam mendukung
terlaksananya pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, persyaratan kemampuan minimal
berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing hendaknya diterapkan secara taat asas karena
memiliki alasan teoretis dan yuridis. Meski demikian, pemerintah juga tidak boleh menutup
mata terhadap kendala yang muncul di lapangan. Misalnya apakah tuntutan persyaratan
berbahasa Indonesia tersebut diberlakukan ketika tenaga kerja asing masuk ke Indonesia
ataukah diperbolehkan masuk dulu ke Indonesia baru mengikuti pembelajaran BIPA? Bila
tuntutan pertama yang digunakan, apakah di setiap negara (minimal negara anggota ASEAN)
tersedia kursus-kursus BIPA beserta standar uji kemahirannya serta aksesnya mudah seperti
halnya dalam bahasa Inggris? Jika tuntutan kedua yang digunakan, apakah setiap kota besar di
Indonesia tersedia kursus atau pembelajaran BIPA yang memadai dan berkualitas serta
aksesnya mudah? Selain itu, skala kemahiran BIPA mana yang dipandang mewadahi
kompetensi seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu, sebagaimana
dinyatakan dalam “keterampilan akademik dasar” (salah satu aspek dalam employability
skills) dan “Berkomunikasi di Tempat Kerja dan Bekerja Sama dengan Rekan Sejawat”?
Kendala-kendala tersebut perlu diantisipasi dan dicarikan jalan keluar agar penerapan aturan
tetap berjalan tanpa menimbulkan kesulitan bagi warga asing untuk mematuhinya.
d. Sinergi Antarlembaga
Tantangan terakhir adalah sinergi antarlembaga dalam mewujudkan standardisasi kemahiran
BIPA dan uji kemahiran BIPA. Sinergi antarlembaga memang merupakan suatu hal yang
tidak mudah diwujudkan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti tidak dapat dilakukan. Semuanya
sangat bergantung pada niat baik, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan dari pemerintah dan
para pemimpin lembaga yang bersangkutan. Sekurang-kurangnya ada empat lembaga penting
yang harus bersinergi untuk mewujudkan dokumen standar kemahiran BIPA beserta
instrumen uji kemahirannya, yaitu Badan Bahasa, SEAMEO Qitep in Language, universitas,
lembaga penyelenggara BIPA di luar universitas. Badan Bahasa berperan sebagai koordinator,
10
fasilitator, penyandang dana, administrator (dokumen ke-BIPA-an secara nasional),
SEAMEO Qitep in Language dapat berperan sebagai fasilitator dan penyandang dana,
fakultas atau universitas dapat berperan sebagai fasilitator (menyediakan pakar BIPA,
penelitian atau kajian ke-BIPA-an, uji coba penerapan standar dan uji kemahiran BIPA), dan
penunjang dana. Sementara itu, lembaga penyelenggara BIPA di luar universitas dapat
berperan sebagai fasilitator (memberikan masukan substansi dan uji coba kemahiran BIPA).
Bila masing-masing lembaga mampu menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dan
sungguh-sungguh, harapan di atas bukan tidak mungkin terwujud.
4. Beberapa Langkah Strategis
Berdasarkan peluang dan tantangan tersebut, beberapa langkah strategis berikut ini perlu
dilakukan.
a. Percepatan terwujudnya dokumen resmi standar kemahiran BIPA dalam skala nasional dan
internasional
Upaya ini sebaiknya dilakukan atau dikoordinasi oleh Badan Bahasa karena secara
kelembagaan Badan Bahasa paling memungkinkan untuk mewujudkannya. Dari segi
legalitas, tupoksi, dan dukungan finasial (anggaran), Badan Bahasa adalah lembaga yang
memiliki kewenangan untuk itu.
b. Percepatan terwujudnya sistem uji kemahiran BIPA yang terstandar, kredibel, dan akurat
Untuk memberikan perlakuan yang memenuhi aspek rasa keadilan baik pada saat TKI akan
bekerja ke luar negeri dan pada saat tenaga kerja asing bekerja di Indonesia, maka harus
ada sistem pengukuran kompetensi tenaga kerja yang kredibel, yang mampu secara adil
(fair) dalam menilai apakah seseorang dapat dikatakan kompeten atau belum kompeten
untuk melakukan pekerjaan tertentu (Aloewie, 2010: 2). Hal ini selaras dengan paradigma
baru peningkatan kualitas tenaga kerja yang bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu standar
kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi, dan sertifikasi kompetensi oleh lembaga
yang independen (PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional). Untuk
mewujudkan sistem uji kemahiran BIPA tersebut, perlu terlebih dulu dilakukan analisis
tingkat kebutuhan jenjang kemahiran BIPA yang sesuai dengan pekerjaan dan jenjang
kualifikasi di industri atau lapangan kerja. Dengan begitu dapat dirumuskan standar
kemampuan minimal BIPA yang dipersyaratkan di ranah tertentu dan bidang pekerjaan
tertentu di Indonesia. Bila rumusan ini terwujud, akan menjadi masukan yang sangat baik
bagi BNSP mengenai persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia dalam standar
kompetensi kerja (lihat Aloewie, 2010: 7).
11
Selanjutnya, uji kemahiran itu harus disertai dengan sertifikat kemahiran BIPA atau
“paspor bahasa” yang dikeluarkan oleh lembaga yang berkompeten. Ke depan uji
kemahiran ini kalau bisa dikembangkan bukan hanya paper-based test, melainkan juga
computer-based test. Perlu juga dipertimbangkan faktor kemudahan akses bagi orang asing
untuk mengikuti (i) tes atau uji kemahiran BIPA (tempat penyelenggaraan tes, standar
biaya, dan pusat informasi tentang uji kemahiran tersebut) dan (ii) kursus BIPA (bagi
tenaga kerja asing yang belum mencapai kompetensi minimal).
c. Pengintensifan sinergi antarlembaga untuk mewujudkan dokumen standar kemahiran dan
uji kemahiran BIPA
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, sinergi antarlembaga pemangku kepentingan
perlu dilanjutkan dan terus diupayakan makin intensif demi terwujudnya dokumen
standardisasi kemahiran BIPA yang kredibel dan akurat, yang menjadi acuan semua pihak
yang berkepentingan terhadap BIPA, baik untuk pembelajaran maupun uji kemahiran.
Lembaga yang dapat diharapkan menjadi penggerak utama adalah Badan Bahasa karena
secara kelembagaan fungsi dan peran yang diemban Badan Bahasa lebih memungkinkan
untuk menjalankan koordinasi bagi sinergi tersebut. Mengingat MEA sudah berlaku pada
tahun ini, maka semua langkah di atas harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan
dengan gerak cepat. Akan lebih baik bila Badan Bahasa membentuk tim khusus yang
bertugas untuk mewujudkan dokumen standar kemahiran BIPA yang lengkap sebagaimana
telah diuraikan pada bagian pasal 3 butir (a) makalah ini. Tim yang bekerja secara
berkesinambungan ini dapat terdiri dari staf/ahli Badan Bahasa dan pakar BIPA dari
perguruan tinggi.
5. Simpulan
Pemberlakuan pasar tunggal ASEAN pada MEA 2015 yang dicirikan oleh terbukanya aliran
investasi dan tenaga kerja terampil akan membawa konsekuensi meningkatnya pelaku usaha
dan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Masuknya tenaga kerja asing tersebut perlu
diimbangi oleh kesiapan Pemerintah Indonesia dalam menerimanya. Peraturan yuridis formal
sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Permenakertrans Nomor 12
Tahun 2013, tinggal Pemerintah perlu mewujudkan perangkat pendukungnya dan
melaksanakan peraturan tersebut secara taat asas. Salah satu perangkat pendukung tersebut
adalah dokumen standar kemahiran BIPA beserta instrumen uji kemahiran BIPA yang
terstandar, kredibel, dan tepercaya. Tersedianya kedua perangkat pendukung tersebut menjadi
12
landasan bagi pengimplementasian persyaratan minimal mampu berbahasa Indonesia bagi
tenaga kerja asing.
Kunci keberhasilan dalam mewujudkan standardisasi kemahiran BIPA beserta uji
kemahirannya terletak pada kuat dan intensifnya sinergi antarlembaga dan pemangku
kepentingan BIPA. Di antara empat lembaga yang diharapkan bersinergi secara intensif,
yaitu Badan Bahasa, SEAMEO Qitep in Language, universitas, lembaga penyelenggara BIPA
di luar universitas, Badan Bahasalah yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama karena
secara kelembagaan fungsi dan peran yang diemban Badan Bahasa lebih memungkinkan
untuk menjalankan koordinasi dan fasilitasi bagi sinergi tersebut.
Daftar Pustaka
Aloewie, Tjepy F. 2010. “Peluang dan Tantangan Ujian Bahasa Indonesia dalam Sistem
Sertifikasi Tenaga Kerja Profesi pada Era Pasar Bebas”. Makalah disajikan dalam
Semiloka Nasional Pengujian Bahasa, Pusat Bahasa, Kemdiknas, Jakarta, 20—22 Juli
2010. Naskah tidak diterbitkan.
Deplu RI, Ditjen Kerjasama ASEAN. 2009. “Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN”.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu RI. Naskah tidak diterbitkan.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7911 (diakses 14
Maret 2015)
ILO & ADB. 2014. ASEAN Community 2015: Managing Integration for Better Jobs and
Shared Prosperity. Bangkok: International Labour Organization and Asian
Development Bank.
Language Policy Division, Council of Europe. 2001. Common European Framework of
Reference for Languages. Cambridge: Cambridge University Press.
Lemhannas RI. 2012. “Peran Indonesia dalam Mewujudkan ASEAN Socio-Cultural
Community”, dalam Jurnal Kajian Lemhannas RI. Edisi 14, Desember 2012: hlm.
88—96.
Maryanto. 2013. “Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia dalam Pluralingualisme
Komunitas ASEAN: Validasi “Paspor Bahasa”. Makalah tidak diterbitkan.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan
Lagu Kebangsaan.
Download