MAKALAH BERFIKIR KEFILSAFATAN Jika berbicara mengenai berfikir, banyak sekali diantara kita yang sering mengatakan bahkan bahkan kadangkala orang-orang pergi menyendiri hanya untuk berfikir yang dalam hal ini agar tak ada seorangpun yang mengganggu mereka. Tapi apakah sebenarnya berpikir? Bagaimana mungkin bahwa berpikir membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Bagaimana pengetahuan itu dibentuk dan jalan manakah yang ditempuh penelitian keilmuan? Dan akhirnya, sebuah pertanyaan yang paling penting: Apakah nilai semua kegiatan ini? Dapatkah kita mempercayainya? Dapatkah kita mempercayai apa yang dihasilkannya dan membiarkan dia memimpin kita lewat pengetahuan keilmuan? Di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat beberapa pertanyaan yang sangat mendalam ini. Pertama, apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya kepada saya, “Apakah yang sedang kamu pikirkan?” mungkin saya menjawab. “Saya sedang memikirkan keluarga saya.” Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan ikut-mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea konsep. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, di mana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah. Namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu, dalam hal ini, adalah pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau berpikir sungguh-sungguh adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan. Akan tetapi bagaimana pemikiran seperti itu akan membuahkan pengetahuan bagi kita? Seseorang mungkin berpikir bahwa obyek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu (given), jadi di sini tak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanyalah sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap obyek tersebut. Kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum tertentu (non-given) maka kelihatannya berpikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya. Namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam kedua hal di atas, kalau kita mau menyimak pengalaman kita, berpikir ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangat menentukan. Umpamanya marilah kita lihat dalam contoh pertama, dimana obyek yang ingin diketahui sudah tertentu. Yang harus disadari adalah bahwa obyek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya obyek itu sangat rumut. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karakteristik dan sebagainya. Pikiran kita tak mungkin untuk mencakup semuanya dalam suatu ketika. dalam rangka untuk mengenal benar-benar obyek semacam itu. Seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya. Membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir. Contoh yang sangat sederhana dalam proses berpikir ini, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Yang kedua, setelah mencermati bunga mawar tersebut ternyata warnanya sangat unik sekali, misalnya, dan bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang biasanya. Hal tersebut akan menjadi karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan hanya akan bisa dijelaskan oleh ahli botani/tanaman. Contoh tersebut diatas mungkin hanyalah satu dari berbagai kerumitan objek yang ada di dunia ini seperti halnya “maaf” atau “bakat” yang memerlukan usaha besar dalam berpikir sehingga kita mampu menguraikan permasalahan-permasalahannya. Dalam sejarah, cara berpikir seperti ini selalu dilakukan oleh para ahli filsafah. Salah satu ahli filsafah yang terbesar adalah Aristoteles. Pada permulaan abad ini, seorang pemuka falsafah bangsa Jerman bernama Edmund Husserl, menguraikan dengan jelas dan tajam metode ini. Dia menyebutkan fenomenologi-paling tidak dalam tulisan Husserl yang mula-mula adalah metode yang mengusahakan untuk memahami esensi dari objek yang tertentu dengan analisis yang kurang lebih sama seperti apa yang telah kita kemukakan di atas. Edmund Husserl ini merupakan seorang filsafah (ahli filsafah) yang sangat terkemuka, sehingga sebelum membahas / berbicara mengenai fenomenologinya, perlu dikaji secara mendalam apa sebenarnya filsafat. Secara bahasa, filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia yang diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Philos (philia : cinta) dan (sophia : kearifan).[1] Istilah filsafat ini, pertama kali digunakan oleh Pythagoras dan seorang filsuf merupakan orang-orang yang mencintai dan mencari kebijaksanaan. Orang yang pertama kali menggunakan istilah filsafat ini adalah Pythagoras, dimana pada saat itu pengertian filsafat sendiri belum diketahui secara jelas seperti sekarang ini. Kemudian setelah Pythagoras muncullah Sphist yang dipelopori oleh Secrates dan akhirnya pengertian filsafat dapat dijelaskan secara mendalam dan dipakai hingga sekarang. Pengertian filsafat secara terminologi sangat berguna sehingga para filsuf mencoba merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan perspektif pemikiran kefilsafatan yang dimiliknya. Para filsuf telah merumuskan pengertian filsafat sebagai berikut : Plato (427-347 SM) Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Aristoteles (384-322 SM) Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan) Al Farabi (Wafat 950 M) Filsafat ilmu adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya. Rene Descartes Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Immanuel Kant (1724-1804) Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat diketahui? Masalah etika yang menjawab persoalan apa yang harus kita kerjakan? Masalah ke Tuhanan (keagamaan) yang menjawab persoalan harapan kita dan masalah manusia. Langeveld Filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan, Tuhan keabadian dan kebebasan. Hasbullah Bakry Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[2] MARCUS TULLIUS CICERO (106-43 seb. Masehi), politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan filsafat itu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai yang tersebut. HAROLD H. TITUS mengemukakan empat pengertian tentang filsafat : 1. Philosophy is an attitude toward life and the universe. (Filsafat ialah satu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta); 2. Phisophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry. (Filsafat ini satu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah); 3. Philosophy is a group of problems. (Filsafat ialah satu perangkat masalah); 4. Philosophy is a group of system of thought. (Filsafat ialah satu perangkat teori atau sistem pikiran).[3] Filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkaya S.Y. berpendapat bahwa : Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dari sikap praktis.[4] Walaupun tentunya masih banyak lagi pengertian-pengertian dan rumusan-rumusan yang dikemukakan oleh para ahli. Namun pengertian-pengertian diatas cukuplah memberi gambaran tentang apakah sebenarnya filsafat itu. Dan dengan itu seorang ahli yang bernama H. Endang Saifuddin Anshari, MA. menyimpulkan bahwa : 1. Filsaft ialah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di luar atau di atas jangkauan pengetahuan biasa. 2. Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral serta sitematik hakikat sarwa yang ada : a. Hakikat Tuhan; b. Hakikat alam semesta; dan c. Hakikat manusia Serta sikap manusia termaksud sebagai konsekuensi daripada faham (pemahaman)-nya tersebut. Ada berbagai macam alasan mengapa manusia mau berfilsafat, padahal hasilnya tidak kongkret seperti ilmu alam, ekonomi maupun yang lainnya seperti apa yang dikatakan oleh Abbas Hamami dan akan dapat secara langsung mempersembahkan programprogram kebijakan yang buah manfaatnya dinikmati secara kongkrit-seketika sebagimana halnya ilmu ekonomi, ilmu hukum, teknologi dan ilmu-ilmu terapan lainnya. Akan tetapi, spekulasinya yang ilmiah di dalam melihat persoalan semesta oleh ilmu pengetahuan khusus dapat ditarik ke dalam titik perhatian filsafat. Ini terbukti, betapa setiap kurun waktu dalam serangkaian episode sejarah kebudayaan, pemikiran radikal para filsuf mampu memberikan warna khas bagi jamannya. Demikian misalnya pada Copernicus, dengan revolusi kosmologinya, Marx dan Engles dengan ideologinya, William James dengan etos Pragmatismenya, dan masih banyak lagi yang bisa disebut.[5] Jadi sebenarnya secara tidak sadar untuk menemukan suatu ilmu pengetahuan, hal itu dimulai dari berfilsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan dikalangan filsuf terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu : kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, kesadaran akan keterbatasan. Pada umumnya seorang filsuf mulai berfilsafat karena adanya rasa kagum atau adanya rasa heran dalam pikiran filsafat itu sendiri. Dalam hal ini dialami oleh Plato (filsuf Yunani) yang mengatakan : “Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidik. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.” Augustinus dan Rene Descartes memulai berfilsafat bukan dari kekaguman atau keheranan akan tetapi mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber utama berfilsafat.[6] Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancaindranya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini disebut berfilsafat. Berfilsafat dapat pula bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama di dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seorang merasa, bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki. Dengan alasan-alasan tersebut diataslah yang mendorong para filsuf untuk berfilsafat, akan tetapi selain dorongan-dorongan tersebut ada juga beberapa hal yang juga perlu dipikirkan oleh seorang filsuf yaitu : a. Persoalan tentang “Ada” (being) yang kemudian menghasilkan cabang filsafat metafisika. b. Persoalan tentang pengetahuan (knowledge) yang kemudian menghasilkan cabang filsafat epistemologi. c. Persoalan tentang metode (method) yang kemudian menghasilkan cabang filsafat metologi. d. Persoalan tentang penyimpulan yang kemudian menghasilkan cabang filsafat logika. e. Persoalan tentang moralitas (morality) yang kemudian menghasilkan cabang filsafat etika (ethis). f. Persoalan tentang keindahan yang kemudian menghasilkan cabang filsafat estetika (aesthetics). Dari keenam persoalan-persoalan tersebut benar-benar memerlukan jawaban secara radikal dan telah disebutkan bahwa dari setiap persoalan akan menjadi cabang filsafat.[7] Untuk mengenal filsafat secara mendalam ataupun berfikir kefilsafatan, maka perlu dipahami juga bahwa kajian kefilsafatan berkisar pada hal-hal yang fundamental. Oleh karena itu, maka filsafat memiliki beberapa karakteristik yang dalam hal ini sebenarnya banyak perbedaan diantara para filsuf akan tetapi sebenarnya memiliki pemahaman yang sama. Karakteristik pemikiran kefilsafatan tersebut dari : integralistik (menyeluruh); mendasar (fundamental); dan spekulatif. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandangan. Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas pemikiran kefilsafatan juga memikirkan hubungan ilmu dengan moral, seni dan pandangan hidup. Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala). Hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan (sciense). Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiranpemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan (objek) yang baru pula. Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang meskipun demikian bukan berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu di luar filsafat. Jadi, berfilsafat merupakan serangkaian kegiatan berfikir yang sangat fundamental yang walaupun tidak menghasilkan sesuatu hal yang konkret, tapi kiranya salah satu dari fungsi filsafat yang terpenting adalah mempertahankan pemikiran yang benar terhadap fantasi dan kesalahan.[8]