LAPORAN ANALISIS GRAVITY WILAYAH TIMOR LESTE Disusun sebagai syarat Ujian Tengah Semester mata kuliah Praktikum Geofisika Eksplorasi 1 Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Disusun oleh: DINDA PUTRI KHAMISAH 072002000020 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2021 KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang sudah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan Praktikum Geofisika Eksplorasi 1 yang berjudul Analisis Gravity Wilayah Timor Leste ini. Penyusunan laporan ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester mata kuliah Praktikum Geofisika Eksplorasi 1 yang diampu oleh Bapak Wildan Tri Koesmawardani, S.T. M.T. Saya juga berterima kasih kepada Kak Naily Salsabila Setiawan, Kak Rizsa Rindira Sekar Ayu Heriadi, dan Kak Deska Sulyana yang telah membimbing saya hingga laporan ini selesai. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah membantu saya di kelas ini. Penulisan laporan ini juga tidak luput dari kesalahan dan saya menyadari adanya kekurangan dalam penulisan maupun penataan laporan ini. Maka dari itu, saya harap adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga laporan ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Terima kasih. Serang, 29 Oktober 2021 Dinda Putri Khamisah 2 DAFTAR ISI JUDUL ..................................................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 4 1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 4 1.2 Tinjauan Daerah Penelitian .............................................................................................. 5 1.2.1 Geologi Regional ..................................................................................................... 5 1.2.2 Stratigrafi Regional .................................................................................................. 7 1.3 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 10 1.4 Tujuan Praktikum ............................................................................................................ 11 BAB II TEORI DASAR ....................................................................................................... 12 2.1 Gravity ............................................................................................................................. 12 BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................................... 18 3.1 Alat dan Bahan ................................................................................................................ 18 3.2 Prosedur Praktikum ......................................................................................................... 18 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................. 119 4.1 Complete Bouguer Anomaly Map (Peta CBA) ............................................................ 119 4.2 Peta Anomali Regional .................................................................................................. 122 4.3 Peta Anomali Residual .................................................................................................. 124 4.4 Second Vertical Derivative Map (Peta SVD) ............................................................. 127 BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 130 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 130 5.2 Saran .............................................................................................................................. 130 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 131 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerak bumi terdiri dari kerak benua dan kerak samudera. Kedua kerak ini memiliki kerapatan massa (densitas) yang berbeda. Densitas yang berbeda ini berpengaruh terhadap medan gravitasi dan menghasilkan variasi nilai percepatan gravitasi (anomali gravitasi). Percepatan gravitasi merupakan medan yang terjadi antara dua massa yang saling berinteraksi. Interaksi tersebut berupa gaya tarik-menarik dan menyebabkan kedua terjadinya percepatan yang arahnya berlawanan. Metode gravity adalah salah satu metode geofisika yang mengukur variasi densitas akibat gaya gravitasi bumi yang digunakan untuk mempelajari struktur geologi, batuan, intrusi, cekungan sedimen, hingga mencari keberadaan minyak, gas bumi, dan hidrokarbon (resevoar). Metode gravity ini mengukur variasi medan gravitasi bumi berdasarkan perbedaan densitas batuan. Metode ini didasari dari Hukum Newton. Setiap batuan memiliki densitas yang berbeda dan mempengaruhi variasi medan gravitasi bumi, sehingga terjadi anomali gravitasi. Metode gravity sangat baik dilakukan dalam eksplorasi mineral dan untuk mencari patahan, dimana mineral tersebut banyak terendapkan akibat aktivitas hidrotermal. Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, metode ini juga banyak digunakan sebagai survei pendahuluan untuk mencari batuan dasar. Dalam eksplorasi panas bumi, metode ini digunakan untuk menentukan zona reservoir panas bumi dan menentukan letak batuan intrusi sebagai sumber panas. Pemrosesan data gravity ini berawal dari pembacaan alat lapangan sampai diperoleh pembacaan nilai gravity dan berbagai koreksi. Dalam pengolahannya, kita dapat menentukan nilai anomali gravity dari setiap titik data yang diukur. Nilai anomali gravity tersebut disebabkan oleh perbedaan densitas batuan di bawah permukaan bumi. 4 1.2 Tinjauan Daerah Penelitian 1.2.1 Geologi Regional Gambar 1.1 Geologi Regional Timor Leste (Sani, dkk., 1995) Pulau Timor dapat dibagi menjadi 2 kawasan, yaitu Timor Barat dan Timor Timur (Timor Leste). Timor Barat merupakan kawasan daerah penelitian yang secara administratif termasuk wilayah Indonesia. Timor Barat secara umum disusun oleh barisan perbukitan bergelombang, dataran tinggi, dan dataran rendah. Menurut Sani (1995), kawasan Timor Barat dapat dibagi menjadi 3 zona fisiografi, yaitu: 1) Barisan Perbukitan Utara (Northern Range) Zona ini dicirikan oleh barisan perbukitan dengan topografi yang rapat dan keras. Litologi penyusun zona ini adalah batuan dari kompleks melange dan batuan dari tepi kontinen Australia yang berumur Paleozoikum hingga Mesozoikum. 2) Cekungan Tengah (Central Basin) Zona ini dicirikan oleh dataran rendah dengan kemiringan landai. Zona ini disusun oleh endapan synorogenik klastik dan karbonat yang berumur Neogen Akhir. 3) Barisan Perbukitan Selatan (Southern Range) Zona ini dicirikan oleh barisan perbukitan yang merupakan rangkaian lembar sesar naik. Zona ini disusun oleh batuan yang berumur Trias hingga Miosen 5 yang termasuk ke dalam Sekuen Kekneno dan Sekuen Kolbano. Zona ini disebut juga Perbukitan Kolbano. Menurut Barber (1981), Pulau Timor merupakan pulau terbesar dan pulau paling selatan di antara pulau-pulau lain, seperti Pulau Tanimbar, Pulau Kai, dan Pulau Seram yang membentuk Busur Banda. Busur Banda terpisah dari paparan benua Australia oleh Terusan Timor dengan kedalaman 3 km. Menurut Hamilton (1979), kemunculan Pulau Timor berkaitan dengan Busur Banda yang merupakan busur kepulauan ganda yang berbentuk tapal kuda yang merupakan pertemuan 3 lempeng utama, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. - Secara umum, Busur Banda dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: Busur Banda bagian dalam, yaitu busur vulkanik yang terdiri dari batuan vulkanik kalk-alkali yang dominan, endapan volkaniklastik, dan karbonat. Busur Banda bagian luar, yang terdiri dari batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf dengan struktur geologi yang kompleks. Pulau Timor termasuk ke dalam Busur Banda bagian luar. Menurut Harris (1991), geologi Timor yang kompleks merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia bagian barat laut dengan Busur Banda, sehingga kerak benua Australia menunjam di bawah busur kepulauan dengan arah kecondongan ke utara. Awalnya, tumbukan terjadi pada bagian tengah Timor. Kemudian, berpindah ke arah barat daya. Diperkirakan peristiwa tumbukan tersebut terjadi pada umur Miosen Akhir. Setelah proses tumbukan tersebut, terjadi obduksi dari Lempeng Busur Banda ke atas batas pasif Lempeng Australia. Hal ini menyebabkan endapan Banda Allochthon muncul di kerak muka busur, sehingga menutupi endapan benua Australia yang berumur Permian hingga Trias. Peristiwa tumbukan tersebut masih berlangsung sampai sekarang, sehingga batuan yang berumur PraPleistosen terlipat dan tersesarkan. Kegiatan tektonik yang berlangsung sampai sekarang dicirikan oleh adanya kegempaan aktif, terobosan diapir lempung, pengangkatan, dan penurunan tegak. 6 1.2.2 Stratigrafi Regional Gambar 1.2 Stratigrafi Regional Timor Leste (Sawyer, dkk., 1993) Secara umum, litostratigrafi Pulau Timor dapat dibagi menjadi 3 sekuen yang berumur Permian hingga Pleistosen. Menurut Sawyer, dkk. (1993), litostratigrafi regional Pulau Timor disusun oleh: 1) Batuan Dasar (Basement) Keberadaan batuan dasar di Timor agak sulit dimengerti. Batuan dasar berupa sekis, filit, amfibolit, dan serpentinit pada Kompleks Mutis/Lolotoi menunjukkan 2 kisaran umur, yaitu Pra-Permian atau Jura Akhir hingga Kapur Awal. Batuan dasar kemungkinan besar berumur Pra-Permian karena memiliki komposisi yang sama dengan Kompleks Mutis/Lolotoi. 2) Sekuen Kekneno Sekuen ini berumur Permian Awal hingga Jura Tengah. Sekuen ini terdiri dari beberapa formasi, yaitu: a) Formasi Maubisse Formasi ini berumur Permian Awal hingga Permian Akhir. Litologi penyusunnya adalah biokalkarenit merah-ungu, packstone, dan boundstone yang kaya akan rombakan cangkang koral, krinoida, byrozoida, brachiopoda, cephalopoda, fusilinida, dan batuan beku esktrusif yang merupakan batuan tertua di Timor. 7 b) Formasi Atahoc Berdasarkan umur fosil ammonoid, formasi ini berumur Permian Awal. Litologi penyusunnya adalah batu pasir halus arkose yang terpilah sedang, terdiri atas kuarsa monokristalin, feldspar, plagioklas, dan terdapat fragmen filit yang berasosiasi dengan batuan dari Kompleks Mutis/Lolotoi. c) Formasi Cribas Formasi ini berumur Permian Awal. Formasi ini dapat dibagi menjadi beberapa fasies batuan yang kontinu secara lateral, yaitu lapisan batu pasir multiwarna, batu lanau, batu lempung hitam, dan batu gamping bioklastik. Terdapat struktur sedimen ripple dan sole marks yang menunjukkan bahwa arus turbidit berperan dalam pengendapan formasi ini. d) Formasi Niof Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Tengah. Formasi ini dicirikan oleh kontak lapisan yang tajam dan menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi penyusunnya adalah batu lempung berlapis tipis, batu serpih warna merah-hitam-cokelat, batu pasir greywake, batu napal, dan batu gamping masif. Proses pengendapan formasi ini melalui mekanisme arus turbidit. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dangkal hingga laut dalam. e) Formasi Aitutu Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Akhir. Litologi penyusunnya adalah batu gamping putih-merah muda dengan perselingan batu lempung karbonatan berwarna abu-abu hitam. Tebal lapisannya konsisten, yaitu 45-60 cm. Pada bidang perlapisan, dapat ditemukan makrofauna, seperti halobia, daonella, monotis, ammonit, dan fragmen fosil lainnya. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut terbuka, yaitu sekitar paparan luar. f) Formasi Babulu Litologi penyusunnya adalah perselingan batu lempung-batu lanau dan batu pasir masif. Pada permukaan bidang perlapisannya, banyak ditemukan brachiopoda, ammonit, fragmen tumbuhan, sole marks, dan fosil jejak. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah area tepi paparan. 8 g) Formasi Wailuli Formasi ini berumur Jura Awal hingga Jura Tengah. Litologi penyusunnya adalah batu lempung gelap dengan perselingan batu gamping organik, kalsilutit, batu lanau, dan batu pasir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah dari paparan dalam hingga paparan tengah. 3) Sekuen Kolbano Sekuen ini berumur Jura Akhir hingga Pliosen Awal, dimana terdapat 4 periode hiatus, yaitu pada Kapur Tengah, Paleosen Awal, Oligosen-Miosen Awal dan Miosen Akhir-Pliosen Awal. Sekuen ini terdiri dari beberapa formasi, yaitu: a) Formasi Oebaat Formasi ini berumur Jura Akhir. Formasi ini dibagi menjadi 2 anggota formasi, yaitu: - Batu pasir masif, yang memiliki ciri-ciri jarang memiliki kedudukan perlapisan, tapi terdiri atas perlapisan batu lanau dan batu pasir saat diamati. Bagian bawahnya terdiri dari batu lanau cokelat-hitam dan batu lempung bernodul limonit-lanau. Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah laut. - Batu pasir glaukonit berlapis, yang memiliki ciri-ciri ketebalan lapisan 40-50 cm. Pada unit ini, banyak ditemukan fosil ammonit dan belemnit. Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah paparan dangkal. b) Formasi Nakfunu Formasi ini berumur Kapur Awal hingga Kapur Akhir. Litologi penyusunnya adalah radiolarite, batu lempung, kalsilutit, batu lanau, perlapisan batu lempung, kalkarenit, wackestone, dan packstone. Ciri khusus dari formasi ini adalah tebal lapisannya konsisten, yaitu 3-30 cm. Pada formasi ini, kehadiran fosil radiolaria sangat melimpah. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dalam. c) Formasi Menu Formasi ini berumur Kapur. Litologi penyusunnya adalah batu gamping, dimana terdapat lapisan tipis/nodul rijang merah dan menunjukkan adanya belahan yang intensif. Formasi ini memiliki litologi yang sama dengan Formasi Ofu. Kemiripan ini mengindikasikan adanya kontak stratigrafi. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dalam dengan mekanisme turbidit. 9 d) Formasi Ofu Formasi ini diendapkan setelah terjadi hiatus pada umur Paleosen Awal hingga Miosen Akhir. Litologi penyusunnya adalah batu gamping masif berwarna putih-merah muda dengan kenampakan rekahan konkoidal-sub konkoidal. Pada singkapan, umumnya dijumpai banyak laminasi tipis, urat kalsit, stilolit, kekar, dan rekahan. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dalam dengan mekanisme turbidit. 4) Sekuen Viqueque Sekuen ini terdiri dari endapan sedimen synorogenik berumur PliosenPleistosen tipe molasse. Sekuen ini terdiri dari beberapa formasi, yaitu: a) Formasi Viqueque Formasi ini berumur Miosen Akhir hingga Pleistosen. Litologi penyusunnya adalah batuan dengan pola suksesi mengkasar ke atas dari kalsilutit menjadi batu pasir hingga ditutupi aluvial dan batu gamping terumbu Kuarter. Formasi ini dibagi menjadi 2 anggota formasi, yaitu: - Anggota Batu Putih, terdiri dari kalsilutit putih masif dan napal abuabu dengan rombakan tumbuhan. Pada unit ini, fosil Globigerina sangat melimpah. Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah laut dalam yang dicirikan oleh arus tenang. - Anggota Noele, terdiri dari napal, napal tufaan, kalsilutit tufaan, biokalkarenit, batu gamping pasiran, batu lanau, dan batu pasir. b) Melange Secara umum, terdapat 2 jenis unit melange yang dapat diidentifikasi di Timor, yaitu: - Batu lempung bersisik Bobonaro, yaitu endapan melange sedimentary (olisostrom) dan diapir yang terbentuk akibat kontak Formasi Viqueque dengan batu lempung abu-abu dan blok ukuran kerikilbongkah di Diapir Oeleu, Pulau Semau, Oekusi, dan Halilukiuk. - Melange Sonnebait, yaitu endapan melange akibat proses tektonik. Unit ini dicirikan oleh batu lempung yang mengalami rekristalisasi dan banyak blok batuan yang menunjukkan gerusan. 1.3 Rumusan Masalah 1.3.1 Bagaimana pola sebaran CBA (Complete Bouguer Anomaly) di daerah Timor Leste? 1.3.2 Bagaimana pola sebaran anomali regional dan anomali residual di daerah Timor Leste? 1.3.3 Bagaimana persebaran struktur geologi pada daerah di Timor Leste? 1.3.4 Jenis struktur patahan (sesar) apakah yang terdapat pada daerah Timor Leste berdasarkan teknik filtering Second Vertical Derivative (SVD)? 10 1.4 Tujuan Praktikum 1.4.1 Mengetahui bagaimana pola sebaran CBA (Complete Bouguer Anomaly) di daerah Timor Leste. 1.4.2 Mengetahui bagaimana pola sebaran anomali regional dan anomali residual di daerah Timor Leste. 1.4.3 Mengetahui bagaimana persebaran struktur geologi pada daerah di Timor Leste. 1.4.4 Mengetahui jenis struktur patahan (sesar) yang terdapat pada daerah Timor Leste berdasarkan teknik filtering Second Vertical Derivative (SVD). 11 BAB II TEORI DASAR 2.1 Gravity Rumus hukum gravitasi Newton menjadi salah satu rumus yang ditemukan oleh Sir Isaac Newton. Gaya gravitasi bumi sendiri adalah gaya tarik bumi pada benda di atas permukaan ke arah pusat bumi. Teori ini dikembangkan lebih jauh lagi bahwa setiap benda angkasa bisa saling tarik menarik. Teori ini bisa menjelaskan peristiwa mengapa bumi berputar mengelilingi matahari. Setiap massa menarik massa yang lain dengan gaya segaris yang menghubungkan kedua inti massa. Besar gaya tarik yang terjadi berbanding lurus dengan perkalian dari kedua Massa. Berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua titik massa tersebut. Rumus Hukum Gravitasi Newton adalah sebagai berikut: πΉ=πΊπ₯ π1 π₯ π2 π2 Dimana: F = gaya tarik yang terjadi antara 2 benda G = konstanta gravitasi umum (6,72 x 1011 N.m2.kg-2) m1 dan m2 = massa masing-masing benda r = jarak kedua benda Newton berhasil menemukan teori gaya gravitasi Newton. Dimana didalamnya berisi penjelasan mengapa semua benda yang dilempar ke atas akan kembali jatuh ke tanah. Ini dikarenakan adanya gaya gravitasi yang terdapat di dalam bumi. Hukum Newton kedua dapat dinyatakan dalam persamaan: πΉ =ππ₯π Dimana: F = gaya yang menyebabkan benda bergerak m = massa benda a = percepatan 12 Pada metode gaya berat, percepatan merupakan percepatan gravitasi (g), sehingga menjadi: πΉ =ππ₯π Persamaan di atas dapat digunakan untuk mendapatkan percepatan benda dengan massa m2 yang disebabkan oleh keberadaan massa m1. Percepatan benda yang terjadi dapat dinyatakan dalam persamaan: πΉ=πΊπ₯ π1 π₯ π2 = π2 π₯ π π2 π=πΊπ₯ π1 π2 Berdasarakan pengukuran oleh geodesi dan satelit, bumi diketahui memiliki bentuk yang hampir bulat sempurna (spheroidal). Bumi yang melakukan rotasi menyebabkan bentuk bumi tidak bulat sempurna, sehingga terjadi pemipihan pada kutub dan pembesaran pada ekuator. Spheroid referensi adalah suatu elipsoid dengan pemipihan pada kutub yang merupakan perkiraan permukaan laut rata-rata dan efek massa di daratan telah dihilangkan (Telford et al, 1990). Spheroid referensi berlaku jika dianggap tidak terjadi undulasi di permukaan (Rosid, 2005). Pada kenyataannya, elevasi daratan sekitar 500 m dan elevasi maksimum daratan dengan depresi samudera sekitar 9000 m berdasarkan permukaan laut. Oleh karena itu, digunakan geoid sebagai muka laut rata-rata. Geoid dan spheroid referensi tidak pernah berada dalam satu garis yang sama. Perbedaan posisi ini disebabkan karena efek tarikan massa batuan. Di benua, posisi geoid lebih tinggi daripada spheroid referensi karena efek tarikan massa batuan di atasnya. Sementara di samudera, posisi geoid lebih rendah daripada spheroid referensi karena hilangnya efek tarikan massa batuan di atasnya akibat densitas air yang rendah (Telford et al, 1990). Faktor yang mempengaruhi nilai gravitasi yaitu lintang, elevasi, topografi daerah sekitar pengukuran, pasang surut bumi, dan variasi densitas di bawah permukaan (Telford et al, 1990). Eksplorasi gravitasi lebih menekankan pada perubahan besar nilai gravitasi karena variasi densitas di bawah permukaan. Sementara, nilai gravitasi yang terukur pada alat gravimeter tidak hanya berasal dari nilai gravitasi yang disebabkan oleh variasi densitas di bawah permukaan, tetapi juga dari keempat faktor lainnya. Koreksi dalam metode gravitasi diperlukan untuk menghilangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar nilai gravitasi, sehingga didapatkan nilai gravitasi yang hanya disebabkan oleh pengaruh variasi densitas di bawah permukaan. Berikut adalah koreksikoreksi yang dilakukan kepada data gravitasi lapangan (gread). 13 1) Koreksi Pasang Surut (Tidal Correction) Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan efek benda-benda di luar bumi, seperti matahari dan bulan yang dapat mempengaruhi nilai gravitasi di bumi. Posisi matahari dan bulan akan menghasilkan tarikan terhadap bumi sehingga menyebabkan terjadinya pasang surut air laut. Pasang surut air laut tersebut akan mempengaruhi pembacaan gravitasi di lapangan. Persamaan potensial koreksi pasang surut bumi: π 1 1 ππ = πΊ(π) ( )3 [3 ( − π ππ2 πΏ) [ − π ππ2 π] − π ππ 2 π sin πΏ cos π‘ + πππ 2 π πππ 2 πΏ cos 2π‘ π 3 3 Dimana: Φ = lintang α΅Ή = deklinasi t = sudut waktu bulan c = jarak rata-rata ke bulan Koreksi dilakukan dengan cara mengurangi nilai gravitasi lapangan (gread) terhadap besar nilai koreksi pasang surut bumi. 2) Drift Correction Merupakan koreksi sebagai akibat perbedaan pembacaan nilai gravitasi di stasiun yang sama pada waktu yang berbeda oleh alat gravimeter. Perbedaan tersebut disebabkan karena terjadi guncangan pegas dan perubahan suhu pada alat gravimeter selama proses perjalanan dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Untuk menghilangkan efek ini, proses akusisi data atau pengukuran dirancang dalam suatu lintasan tertutup sehingga besar penyimpangan tersebut dapat diketahui. Persamaan koreksi drift: π·π = πππβππ − ππ (π‘ − π‘π ) π‘ππβππ − π‘π π Dimana: Dn = koreksi drift pada titik n gakhir = pembacaan gravimeter pada akhir looping go = pembacaan gravimeter pada awal looping 14 takhir = waktu pembacaan pada akhir looping to = waktu pembacaan pada awal looping tn = waktu pembacaan pada stasiun n Koreksi dilakukan dengan cara mengurangi nilai gravitasi lapangan (gread) terhadap besar nilai koreksi drift. 3) Koreksi Lintang (Latitude Correction) Koreksi lintang pada data gravitasi diperlukan sebagai akibat dari rotasi bumi. Rotasi bumi tersebut akan menyebabkan (Rosid, 2005): - Bentuk bumi yang berubah pada ekuator dan kutub, sehingga jari-jari di ekuator lebih besar daripada jari-jari di kutub. Akumulasi massa (fluida) pada ekuator. Terjadinya percepatan sentrifugal, yang maksimal terjadi di ekuator dan minimal terjadi di kutub. Hasil dari rotasi bumi tersebut akan menyebabkan perbedaan nilai percepatan gravitasi di seluruh permukaan bumi, yaitu bervariasi dari ekuator ke kutub atau bervariasi terhadap lintang. Untuk menghilangkan efek rotasi bumi yang mempengaruhi nilai gravitasi, dapat dinyatakan dalam persamaan Geodetic Reference System 1967 (GRS67), yaitu: π(π) = 978031.846 (1 + 0.005278895 π ππ2 π + 0.000023462 π ππ4 π) Dimana: Φ = sudut lintang dalam radian Koreksi dilakukan dengan cara mengurangi nilai gravitasi lapangan (gobs) yang telah diubah menjadi gravitasi absolut (gabs) terhadap besar nilai koreksi lintang. 4) Koreksi Udara Bebas (Free-Air Correction) Merupakan koreksi yang disebabkan oleh pengaruh variasi ketinggian terhadap medan gravitasi bumi. Koreksi ini dilakukan untuk menarik bidang pengukuran (P) ke bidang datum, yaitu bidang geoid (P0). Rumus koreksi udara bebas yaitu: πΉπ΄πΆ = −0.3086 β Dimana: h = ketinggian 15 Koreksi udara bebas tidak memperhitungkan massa batuan yang terdapat di antara stasiun pengukuran dengan bidang geoid. Koreksi dilakukan dengan cara menambahkan/mengurangi nilai gravitasi terhadap besar nilai koreksi udara bebas, tergantung kepada posisi stasiun pengukuran terhadap posisi bidang geoid. 5) Koreksi Bouguer Koreksi ini memperhitungkan massa batuan yang terdapat di antara stasiun pengukuran dengan bidang geoid. Koreksi ini dilakukan dengan menghitung tarikan gravitasi yang disebabkan oleh batuan berupa slab dengan ketebalan dan densitas rata-rata. Rumus koreksi bouguer yaitu: π΅πΆ = 0.04185 π β Dimana: ρ = densitas h = ketinggian Densitas pada koreksi bouguer dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu (Rosid, 2005): - Mengasumsikan densitas batuan sebesar ρ = 2.67 mg/m3 atau 2.67 g/cm3 - Melihat literatur yang dapat dipercaya. - Mengukur langsung dari sampel tangan (hand sample), cutting, atau inti batu (core) - Menggunakan gamma density log - Mengekstrak nilai densitas dari kecepatan seismik - Menggunakan borehole gravity - Menggunakan metode Nettleton dan Parasnis - Menghitung porositas batuan di lapangan Koreksi dilakukan dengan cara mengurangi/menambahkan nilai gravitasi terhadap besar nilai koreksi bouguer, tergantung kepada tanda positif atau negatif (±) pada koreksi udara bebas. Tanda positif-negatif (±) pada koreksi Bouguer berbanding terbalik dengan tanda positif-negatif (±) pada koreksi udara bebas. 6) Koreksi Medan (Terrain Correction) Koreksi medan diperlukan karena setiap stasiun pengukuran gravitasi memiliki bentuk permukaan yang tidak datar atau memiliki undulasi. Jika stasiun pengukuran berada dekat dengan gunung, maka akan terdapat gaya ke atas yang menarik pegas pada gravimeter, sehingga akan mengurangi nilai pembacaan gravitasi. Sementara, jika stasiun pengukuran berada dekat dengan lembah, maka akan ada gaya ke bawah yang hilang sehingga pegas pada gravimeter tertarik ke atas. Hal ini akan mengurangi nilai pembacaan gravitasi. Dengan demikian, pada 16 kedua kondisi tersebut, koreksi medan ditambahkan kepada nilai gravitasi. Sehingga, besar nilai koreksi medan pada setiap stasiun pengukuran gaya berat adalah total dari koreksi medan (TC) sektor-sektor dalam satu stasiun pengukuran tersebut. Setelah melakukan proses koreksi diatas, akan didapatkan nilai yang disebut anomali Bouguer (Bouguer Anomaly). Anomali Bouguer adalah anomali yang disebabkan oleh variasi densitas secara lateral pada batuan di kerak bumi yang telah berada pada bidang referensi yaitu bidang geoid. Persamaan untuk mendapatkan nilai anomali Bouguer (gAB) adalah: ππππ = πππππ − ππ‘ππππ − ππππππ‘ ππ΄π΅ = ππππ − π∅ + ππΉπ΄ − ππ΅ + ππΆ Dimana: gread = nilai pembacaan gravitasi di lapangan gtidal = koreksi pasang surut gdrift = koreksi drift gØ = koreksi lintang gFA = koreksi udara bebas gB = koreksi bouguer TC = koreksi medan Nilai anomali Bouguer di atas sering disebut sebagai Complete Bouguer Anomaly (CBA). Sedangkan, anomali Bouguer yang didapatkan tanpa memasukkan koreksi medan ke dalam perhitungan disebut Simple Bouguer Anomaly (SBA). Sementara, nilai lain yang biasa digunakan untuk survei daerah laut adalah Free-Air Anomaly (FAA). FAA adalah nilai anomali Bouguer yang tidak memperhitungkan efek massa batuan sehingga tidak memasukkan koreksi Bouguer ke dalam perhitungan. 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan - Seperangkat laptop - Mouse (disarankan) - Software Oasis Montaj - Softwate Microsoft Excel - Software Notepad - Software Paint 3D 3.2 Prosedur Praktikum Langkah-langkah pengolahan data gravity adalah sebagai berikut: 1. Buka software Oasis Montaj. Jika muncul seperti ini, pilih “Create new project”. 18 2. Pilih folder dimana kalian ingin menyimpan project tersebut. Masukkan nama filenya. Klik “Save”. 3. Software Oasis Montaj akan terbuka dengan tampilan awal seperti berikut. 19 4. Siapkan data gravity daerah penelitian pada software Microsoft Excel. Disini, saya memakai data gravity daerah Timor Leste. 5. Terdapat data yang berupa angka desimal pada kolom X, Y, dan CBA. Pastikan angka-angka tersebut itu desimalnya memakai titik, bukan koma. 20 6. Kembali lagi ke software Oasis Montaj, pilih menu “Database”, selanjutnya pillih “New Database”. 7. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “New database name”, ketik ‘Peta CBA’. Lalu, klik OK. 21 8. Akan muncul tabel seperti berikut. 9. Buka data gravity Timor Leste pada Microsoft Excel tadi. Copy semua data “Coodinate X”. 22 10. Buka kembali software Oasis Montaj. Pada tabel, pada kolom kedua, ketik “X”. Kemudian, paste data coordinate X tadi pada kolom X tersebut. 11. Buka data gravity Timor Leste pada Microsoft Excel tadi. Copy semua data “Coodinate Y”. 23 12. Buka kembali software Oasis Montaj. Pada tabel, pada kolom ketiga, ketik “Y”. Kemudian, paste data coordinate Y tadi pada kolom Y tersebut. 13. Buka data gravity Timor Leste pada Microsoft Excel tadi. Pada praktikum kali ini, saya menggunakan data CBA 2.47. Jadi, copy semua data “CBA 2.47”. 24 14. Buka kembali software Oasis Montaj. Pada tabel, pada kolom keempat, ketik “CBA”. Kemudian, paste data CBA 2.47 tadi pada kolom CBA tersebut. 15. Pilih menu “Grid and Image”. Kemudian, pilih “Gridding”. Lalu, pilih “Direct Gridding”. 25 16. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Channel to grid”, klik tanda panah dan input “CBA”. Pada kolom “Output grid”, klik tanda titik dan input “Peta CBA”. Pada kolom “Grid cell size”, klik tanda kalkulator. Akan muncul angka 0.55. Selanjutnya, klik “Cancel” karena kita hanya ingin cek angkanya saja. 17. Pilih menu “Grid and Image”. Kemudian, pilih “Gridding”. Lalu, pilih “Minimum Curvature”. 26 18. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Channel to grid”, klik tanda panah dan input “CBA”. Pada kolom “Output grid”, klik tanda titik. 19. Pilih folder dimana kalian ingin menyimpan project tersebut. Masukkan file name ‘Peta CBA’. Klik “Save”. 27 20. Pada kolom “Grid cell size”, masukkan angka ‘0.55’ yang didapatkan dari step 16. Lalu, klik OK. 21. Akan didapatkan Peta CBA dengan tampilan seperti berikut. 28 22. Pilih menu “Database”. Kemudian, pilih “New Database”. 23. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “New database name”, ketik ‘Analisis Spektral’. Lalu, klik “OK”. 29 24. Akan muncul tabel seperti berikut. 25. Pilih menu “Grid and Image”. Kemudian, pilih “Utilities”. Lalu, pilih “Grid Profile”. 30 26. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Grid1”, klik tanda panah dan input “Peta CBA.grd”. Pada kolom “New line name”, ketik angka ‘1’. Pada kolom “Sample interval”, ketik angka ‘0.1’. Lalu, klik OK. 27. Disini, kita akan membuat grid 10x10 pada Peta CBA. Kita harus memperkirakan dimana posisi garis grid yang akan kita buat sehingga dapat membagi peta 10x10. Kita perkirakan terlebih dahulu garis pertama. Kita tarik garis tersebut dengan klik ujung kiri garis. Terus, arahkan kursor ke kanan. Kemudian, klik kiri lagi. Lalu, klik kanan, pencet “Done”. 31 28. Didapat tabel Analisis Spektral S1. 29. Pada kolom “G_Peta_CBA”, cek apakah data pada kolom tersebut terdapat *. 32 30. Jika ada, baris yang terdapat * tersebut harus dihapus. Caranya, drag kolom kiri pada baris yang terdapat *. Klik kanan, kemudian klik “Delete Marked Rows/Fids”. Baris yang terdapat * tersebut akan terhapus. 31. Copy semua angka pada kolom “G_Peta_CBA”. 33 32. Buat excel baru yang berjudul ‘Analisis Spektral.’ 33. Copy data CBA tadi ke cell A1. 34 34. Klik menu “File” pada excel. Kemudian, pilih “Options”. 35. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pilih “Add-Ins”. Kemudian, klik “Analysis ToolPak”. Pastikan kolom “Manage” bertuliskan ‘Excel Add-Ins’. Lalu, klik “Go”. 35 36. Akan muncul tampilan seperti berikut. Centang “Analysis Toolpak”. Kemudian, klik OK. 37. Pada data CBA tadi, cek ada berapa data. Kita membutuhkan data hasil dari 2n. Dari data CBA pada garis pertama, didapat 165 data. 165 bukan merupakan hasil dari 2n. Hasil 2n sebelum 165 adalah 128, yaitu hasil dari 27. 36 38. Karena data yang dipakai ada 128 data, hapus data 129-165. 39. Pilih menu “Data”. Kemudian, pilih “Data Analysis”. 37 40. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pilih “Fourier Analysis”. Kemudian, klik OK. 41. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Input Range”, masukkan formula ‘$A$1:$A$128’, karena datanya berada pada cell A1–A128. Simbol $ tersebut digunakan untuk mengunci formula. Pada kolom “Output Range”, ketik ‘B1’, yang berarti, data selanjutnya akan dimasukkan pada cell B1. 38 42. Akan didapatkan data baru pada kolom B. 43. Pada cell C1, masukkan formula ‘=IMABS(B1)’. Kemudian, klik enter. 39 44. Didapat hasil dari formula IMABS tadi. Klik kiri bawah pada cell C1, kemudian drag sampai cell C128. 45. Didapat semua hasil formula IMABS pada kolom C. 40 46. Agar angka di belakang koma pada kolom C tidak terlalu banyak, klik tanda panah di samping “General”, terus ubah ke “Number”. 47. Angka tersebut sudah dibulatkan. Angka di belakang koma menjadi lebih sedikit sehingga terlihat lebih rapi. 41 48. Pada cell D1, masukkan angka ‘1’. Pada cell D2, masukkan angka ‘2’. Pada cell D3, masukkan angka ‘3’. 49. Klik kiri bawah pada cell D1, kemudian drag sampai cell D128. 42 50. Didapat angka 1–128 pada cell D1–D128. 51. Pada cell E1, ketik ‘dt’. Kemudian, pada cell E2, masukkan formula ‘=0.1*128+0.1’. Kemudian, klik enter. 43 52. Didapat hasil 12.9 dari formula tadi. 53. Pada cell F1, ketik ‘f’. Kemudian, pada cell F2, masukkan formula ‘=((D1/2)/$E$2)’. Kemudian, klik enter. 44 54. Didapat hasil dari formula tadi. 55. Klik kiri bawah pada cell F2, kemudian drag sampai cell F128. 45 56. Didapat semua hasil formula pada kolom F2–F128. 57. Pada cell G1, ketik ‘k’. Kemudian, pada cell G2, masukkan formula ‘=2*PI()*F2’. Kemudian, klik enter. 46 58. Didapat hasil dari formula tadi. 59. Klik kiri bawah pada cell G2, kemudian drag sampai cell G128. 47 60. Didapat semua hasil formula pada kolom G2–G128. 61. Pada cell H1, ketik ‘Ln’. Kemudian, pada cell H2, masukkan formula ‘=LN(C1)’. Kemudian, klik enter. 48 62. Didapat hasil dari formula tadi. 63. Klik kiri bawah pada cell H2, kemudian drag sampai cell H128. 49 64. Didapat semua hasil formula pada kolom H2–H128. 65. Drag data k dan Ln untuk dibuat grafik scatter untuk analisis spektralnya. 50 66. Untuk analisis spektral, kita hanya membutuhkan setengah data dari total data. Berarti, kita membutuhkan 64 data. 67. Pilih menu “Insert”, kemudian pilih “Scatter”, kemudian pilih grafik yang pertama yang paling sederhana. 51 68. Didapat tampilan scatter analisis spektral seperti berikut. 69. Kita lebarkan scatternya. Pada analisis spektral tersebut, terlihat sebaran data yang relatif horizontal dan data yang naik/miring. Data yang naik/miring tersebut merupakan anomali regional yang menunjukkan wilayah yang memiliki perbedaan ketinggian yang ekstrem. Sedangkan, data yang relatif horizontal tersebut merupakan anomali residual yang menunjukkan wilayah yang memiliki perbedaan ketinggian yang tidak terlalu jauh. Kita hitung ada berapa anomali regional dan ada berapa anomali residual. 52 70. Pilih menu “Design”, kemudian pilih “Select Data”. 71. Akan muncul tampilan seperti berikut. Kemudian, remove series “Ln” tersebut. 53 72. Klik “Add” untuk menambahkan series. 73. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Series name”, ketik ‘Regional’. Pada kolom “Series X values”, klik simbol tabel pada bagian kanan kolom. Kemudian, drag data pada cell k yang termasuk anomali regional. 54 74. Pada kolom “Series Y values”, klik simbol tabel pada bagian kanan kolom. Kemudian, drag data pada cell Ln yang termasuk anomali regional. Lalu, klik OK. 75. Didapat persebaran anomali regionalnya. 55 76. Kembali ke “Select Data”. Kemudian, klik “Add” untuk menambahkan series. 77. Pada kolom “Series name”, ketik ‘Residual’. Pada kolom “Series X values”, klik simbol tabel pada bagian kanan kolom. Kemudian, drag data pada cell k yang termasuk anomali residual. 56 78. Pada kolom “Series Y values”, klik simbol tabel pada bagian kanan kolom. Kemudian, drag data pada cell Ln yang termasuk anomali residual. Lalu, klik OK. 79. Didapat persebaran anomali residualnya berwarna merah yang relatif horizontal. Sedangkan, anomali regional berwarna biru yang relatif naik/miring. 57 80. Selanjutnya, kita harus menampilkan persamaan dari kedua anomali tersebut. Caranya, pilih menu “Layout”. Kemudian, pilih “Trendline”. Pilih “Linear Trendline”. 81. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pilih “Regional”, kemudian klik OK. 58 82. Akan didapat trendline pada persebaran anomali regionalnya. 83. Klik kanan pada garis tersebut. Pilih “Format Trendline”. 59 84. Akan didapat tampilan seperti berikut. Centang “Display Equation on chart”. Kemudian, klik “Close”. 85. Didapat persamaan dari trendline anomali regional. 60 86. Pilih menu “Layout”. Kemudian, pilih “Trendline”. Pilih “Linear Trendline”. 87. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pilih “Residual”, kemudian klik OK. 61 88. Akan didapat trendline pada persebaran anomali residualnya. 89. Klik kanan pada garis tersebut. Pilih “Format Trendline”. 62 90. Akan didapat tampilan seperti berikut. Centang “Display Equation on chart”. Kemudian, klik “Close”. 91. Didapat persamaan dari trendline anomali residual. 63 92. Kembali lagi ke software Oasis Montaj. Untuk melihat garis yang sudah kita buat tadi, pilih menu “Map Tools”. Kemudian, pilih “Line Path”. 93. Akan muncul tampilan seperti ini. Disini, kita bisa mengatur ketebalan garis pada kolom “line thickness”. Setelah itu, klik OK. 64 94. Dapat terlihat garis yang sudah kita tarik tadi beserta namanya, S1. 95. Ulangi step 25–33 dan 37–91 hingga garis ke-20. Sehingga didapat garis 10x10, dimana terdapat garis 10 horizontal dan 10 vertikal, dengan nama dari S1–S20. Dan didapat persamaan dari anomali regional dan anomali residualnya. 65 96. Buat excel baru yang berjudul ‘Rata-Rata Kedalaman’. 97. Pada cell A1, ketik ‘No’. Pada cell A2, ketik ‘1’. Dan seterusnya sampai 20. Karena kita memiliki 20 garis. 66 98. Pada cell B1, ketik ‘Kedalaman Regional’. Pada cell C1, ketik ‘Kedalaman Residual’. Pada cell D1, ketik ‘C1’. Pada cell E1, ketik ‘C2’. Pada cell F1, ketik ‘k (Cut-Off)’. Pada cell G1, ketik ‘λ’ (lamda). Pada cell H1, ketik ‘Width’. 99. Persamaan yang didapat dari trendline anomali regional dan residual tersebut yaitu: π¦ = ππ₯ + π Dimana m merupakan kedalaman di bawah permukaan, dan c merupakan konstanta. 100. Kedalaman regional didapat dari kedalaman (m) yang ada pada persamaan anomali regional. Angka tersebut dicopy. 67 101. Kemudian, dipaste ke excel pada cell B2. 102. Ulangi step 100–101 hingga anomali ke-20. 68 103. Kedalaman residual didapat dari kedalaman (m) yang ada pada persamaan anomali residual. Angka tersebut dicopy. 104. Kemudian, dipaste ke excel pada cell C2. 69 105. Ulangi step 103–104 hingga anomali ke-20. 106. C1 didapat dari konstanta (c) yang ada pada persamaan anomali regional. Angka tersebut dicopy. 70 107. Kemudian, dipaste ke excel pada cell D2. 108. Ulangi step 106–107 hingga anomali ke-20. 71 109. C2 didapat dari konstanta (c) yang ada pada persamaan anomali residual. Angka tersebut dicopy. 110. Kemudian, dipaste ke excel pada cell E2. 72 111. Ulangi step 109–110 hingga anomali ke-20. 112. Untuk nilai k, masukkan formula ‘=(E2-D2)/(B2-C2)’ pada cell F2. Lalu, klik enter. 73 113. Didapat hasil k-nya. Klik kiri bawah pada cell F2, kemudian drag sampai cell F21. 114. Didapat semua hasil formula pada kolom F2–F21. 74 115. Untuk nilai λ, masukkan formula ‘=2*PI()/F2’ pada cell G2. Lalu, klik enter. 116. Didapat hasil λ-nya. Klik kiri bawah pada cell G2, kemudian drag sampai cell G21. 75 117. Didapat semua hasil formula pada kolom G2–G21. 118. Untuk nilai width, masukkan formula ‘=G2/0.1’ pada cell H2. Lalu, klik enter. 76 119. Didapat hasil widthnya. Klik kiri bawah pada cell H2, kemudian drag sampai cell H21. 120. Pada cell H22, masukkan formula ‘=AVERAGE(H21:H2)’ untuk menghitung ratarata kedalamannya. Kemudian, klik enter. 77 121. Didapat rata-rata kedalaman sebesar -78.79625072 m. Nilai tersebut dibulatkan ke ganjil atas. Jadi, rata-ratanya sebesar 79 m. 122. Buka “Local Disk (C:)” pada laptop. Kemudian, pilih “Program Files (x86)”. Lalu, pilih “Geosoft”. Setelah itu, pilih “resourcefiles”. 78 123. Pada bagian search di pojok kanan atas, ketik ‘savitzkygolay’. Lalu, klik enter. 124. Pilih file “SavitzkyGolay.5x5”. Kemudian, buka dengan software Notepad. 79 125. Ganti judulnya menjadi ‘MOVING AVERAGE’. Ganti angka-angka di bawah “The actual 5x5 filter...” menjadi 1 semua, sehingga menghasilkan matriks 5x5 yang semuanya bernilai 1. Ganti angka-angka di bawah “MOVING AVERAGE” menjadi ‘0.01, 0.1, 0.01, 0.01, 0.01, 0.1’. Kemudian, save notepad tersebut. 126. Kembali ke software Oasis Montaj. Pilih menu “Grid and Image”. Kemudian, pilih “Filters”. Lalu, pilih “5x5 Symmetric Convolution”. 80 127. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Input Grid File”, klik tanda panah dan input “Peta CBA.grd”. Kemudian, pada kolom “New resultant Grid”, klik tanda titik. 128. Ketik file name ‘Peta Regional’. Kemudian, klik “Save”. 81 129. Pada kolom “Number of Passes to Apply”, ketik angka ‘79’ yang didapatkan dari rata-rata kedalaman tadi. Kemudian, klik OK. 130. Didapat peta regional dengan tampilan seperti berikut. 82 131. Pilih menu “Grid and Image”. Kemudian, pilih “Grid Math”. 132. Akan muncul tampilan seperti berikut. 83 133. Pada kolom “Expression”, ketik ‘d-k’. 134. Pada kolom “G0”, ketik ‘Peta Residual’. 84 135. Pada kolom “d”, klik tanda panah di sebelah kanan kolom, kemudian input “Peta CBA.grd”. 136. Pada kolom “k”, klik tanda panah di sebelah kanan kolom, kemudian input “Peta Regional.grd”. 85 137. Didapat peta residual dengan tampilan seperti berikut. 138. Pilih menu “Database”. Kemudian, pilih “New Database.” 86 139. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “New database name”, ketik ‘SVD’. Lalu, klik OK. 140. Akan muncul tabel seperti berikut. 87 141. Pilih menu “GX”. Kemudian, pilih “Load Menu”. 142. Cari file bernama “magmap.omn”. Kemudian, klik “Open”. 88 143. Akan bertambah menu “MAGMAP” di atas. 144. Pada menu “MAGMAP”, pilih “Step-By-Step Filtering”. Kemudian, pilih “Prepare Grid”. 89 145. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Name of Input (Original) Grid File”, tekan tanda panah di samping kolom, input “Peta CBA.grd”. 146. Pada kolom “Name of Output (Pre-processed) Grid File”, ketik ‘Pre-Processed’. Kemudian, klik “Start”. 90 147. Didapat peta pre-processed dengan tampilan seperti berikut. 148. Pada menu “MAGMAP”, pilih “Step-By-Step Filtering”. Kemudian, pilih “Forward FFT”. 91 149. Akan muncul tampilan seperti berikut. Tekan tanda panah di samping kolom, kemudian input “Pre-Processed.grd”. Lalu, klik OK. 150. Pada menu “MAGMAP”, pilih “Step-By-Step Filtering”. Kemudian, pilih “Define Filters”. 92 151. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Control file name”, ketik ‘SVD’. 152. Pada kolom “Filter 1”, tekan tanda panah di samping kolom, kemudian pilih “Derivative”. 93 153. Pada kolom “Direction”, pilih “Z”. Pada kolom “Order of differentiation”, ketik angka ‘2’. 154. Pada menu “MAGMAP”, pilih “Step-By-Step Filtering”. Kemudian, pilih “Apply Filter”. 94 155. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Name of Output Grid File”, ketik ‘SVD’. Kemudian, klik OK. 156. Akan muncul tabel seperti berikut. 95 157. Pada menu “Grid and Image”, pilih “Utilities”, kemudian pilih “Grid Profile”. 158. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Grid1”, tekan tanda panah di bagian kanan kolom, kemudian pilih “SVD.grd”. Pada kolom “New line name”, ketik ‘S1’ untuk memberi nama tabel. Namanya boleh apa saja. 96 159. Disini, kita akan membuat penampang sesar. Warna pink merupakan titik tertinggi dan warna biru tua merupakan titik tertua. Jika warna pink dan biru tua tersebut, atau warna lain yang memiliki perbedaan ketinggian yang ekstrem, bersebelahan, kita dapat mengindikasikan bahwa disitu terdapat sesar. Kita tarik garis dari titik tertinggi ke titik terendah. Kita tarik garis tersebut dengan klik ujung kiri garis. Terus, arahkan kursor ke kanan. Kemudian, klik kiri lagi. Lalu, klik kanan, pencet “Done” 160. Akan didapat tabel SVD S1. 97 161. Buat excel baru yang bernama ‘Analisis Sesar’. 162. Copy semua data yang terdapat pada kolom “G_SVD”. Jika terdapat *, dihapus terlebih dahulu. 98 163. Copy data tersebut ke cell B1. Pada cell A, tulis angka 1 sampai ada berapa data tersebut. Pilih menu “Insert”. Kemudian, pilih “Scatter” dan pilih grafik pertama yang paling sederhana. 164. Akan didapat grafik seperti berikut. Ini merupakan penampang sesar pertama. 99 165. Pada cell C1, ketik ‘MIN’. Pada cell D1, ketik ‘MAX’ 166. Untuk mengetahui nilai ketinggian terendah, ketik ‘=MIN(B1:B22)’. Kemudian, klik enter. 100 167. Didapat nilai ketinggian terendah. 168. Untuk mengetahui nilai ketinggian tertinggi, ketik ‘=MAX(B1:B22)’. Kemudian, klik enter. 101 169. Didapat nilai ketinggian tertinggi. 170. Pada cell E2, ketik ‘=D2+C2’ untuk mengetahui selisih nilai ketinggian tertinggi dan terendah. Kemudian, klik enter. 102 171. Didapat selisih nilai ketinggian. Jika |MIN| > |MAX|, atau selisihnya bernilai negatif, berarti terdapat sesar naik. Jika |MIN| = |MAX|, atau selisihnya bernilai 0, berarti terdapat sesar mendatar. Jika |MIN| < |MAX|, atau selisihnya bernilai positif, berarti terdapat sesar turun. 172. Dari data sesar pertama, selisihnya bernilai negatif. Berarti, pada garis sesar yang kita tarik, terdapat sesar naik. 103 173. Ulangi step 157–160 dan 162–172 hingga garis ke-10. Sehingga didapat garis penanda terdapat sesar pada daerah penelitian. Pilih menu “Map”, kemudian “Export”. Disini, kita akan menyimpan file tersebut dengan format .jpg. Pilih berapa pixel yang diinginkan. 174. Buka software Paintd 3D. Disini kita akan membuat lambang sesar. 104 175. Buat lambang sesar naik. 176. Buat lambang sesar turun. 105 177. Buka foto analisis sesar tadi. 178. Masukkan lambang sesar tergantung sesar apa yang terdapat pada peta. 106 179. Buat hingga semua lambang sesar sudah terplot. 180. Kembali ke software Oasis Montaj. Pilih menu “Map Tools’, kemudian pilih “New Map”. Lalu, pilih “New Map from X,Y”. 107 181. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pilih “scan grid”. 182. Pada kolom “Grid name”, tekan tanda panah di samping kolom, kemudian pilih peta apa yang akan diinput duluan. Disini, saya akan menginput peta CBA terlebih dahulu. Lalu, klik OK. 108 183. Pilih “Next”. 184. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Map Name”, ketik peta apa yang sudah kita input tadi. 109 185. Didapat basenya. 186. Pada menu “Map Tools”, pilih “Base Map”. Kemudian, pilih “Draw Base Map.” 110 187. Pilih “Next” terus. 188. Akan muncul tampilan seperti berikut. Pada kolom “Title”, ketik judul sesuai peta yang kita input tadi. Pada kolom “Sub-Title” yang pertama, ketik nama. Pada kolom “Sub-Title” yang kedua, ketik NIM. 111 189. Didapat tampilan seperti berikut. 190. Pada menu “Grid and Image”, pilih “Display”. Kemudian, pilih “Grid”. 112 191. Akan didapat tampilan seperti berikut. Pada kolom “Grid name”, tekan tanda panah di bagian kanan kolom, pilih peta apa yang tadi diinput. Kemudian, klik “Current map”. 192. Didapat tampilan peta seperti berikut. 113 193. Pada menu “Map Tools”, pilih “Symbols”. Kemudian, pilih “Colour Legend Bar”. 194. Akan didapat tampilan seperti berikut. Pilih “Locate”. Kemudian, klik mana saja pada peta. Lalu, klik OK. 114 195. Akan didapat colour legend bar seperti berikut. Rapikan petanya. 196. Pada menu “Map”, pilih “Export”. 115 197. Akan didapat tampilan seperti berikut. Pada “Output Format”, pilih “JPEG (*.jpg)”. Pada kolom “Pixel Width”, pilih angka pixel berapa yang kita inginkan. Lalu, klik OK. 198. Pilih folder dimana kita ingin menyimpan foto tersebut. Ketik file namenya, kemudian, pilih “Save”. 116 199. Didapat peta tadi dalam bentuk .jpg. 200. Ulangi step 180–199 untuk peta regional, peta residual, dan peta SVD. Sehingga, didapatlah 4 peta untuk hasil penelitian. 117 118 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Complete Bouguer Anomaly Map (Peta CBA) Gambar 4.1 Peta CBA Peta di atas merupakan peta Complete Bouguer Anomaly (CBA). Peta CBA adalah peta distribusi anomali gaya berat (gravity) suatu wilayah yang telah dilakukan berbagai koreksi. Peta ini merupakan gabungan dari anomali regional dan anomali residual. Dari peta CBA, ditarik 10 garis horizontal dan 10 garis vertikal. Sehingga, dari masing-masing garis, didapat 128 titik data. Peta CBA tersebut memiliki rentang anomali 34.5 mGal hingga 132.5 mGal. 119 Gambar 4.2 Anomali rendah pada peta CBA Pada peta CBA, anomali rendah diperlihatkan dengan indeks warna biru tua hingga hijau yang tersebar pada bagian barat, timur laut, tenggara dan selatan peta. Pada anomali rendah, berarti rapat massa (densitas) bawah permukaannya rendah. Anomali gravitynya masih positif walaupun terbilang masih rendah, yaitu dari rentang 34.5 mGal hingga 92.7 mGal. Maka, dapat diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah cekungan. Gambar 4.3 Anomali sedang pada peta CBA 120 Pada peta CBA, anomali sedang diperlihatkan dengan indeks warna hijau hingga oranye yang tersebar pada bagian barat dan tengah peta. Anomali gravitynya yaitu dari rentang 94.4 mGal hingga 111.9 mGal. . Gambar 4.4 Anomali tinggi pada peta CBA Pada peta CBA, anomali tinggi diperlihatkan dengan indeks warna merah hingga merah muda yang tersebar pada bagian utara dan selatan peta. Pada anomali yang tinggi, berarti rapat massa (densitas) bawah permukaannya tinggi. Anomali gravitynya positif, yaitu dari rentang 113.8 mGal hingga 132.5 mGal. Maka, dapat diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah perbukitan. Perubahan-perubahan anomali pada peta tersebut terlihat pada bagian barat laut ke tenggara pada peta, yaitu perubahan dari anomali tinggi ke anomali rendah yang sangat signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan nilai yang signifikan pada densitas batuan yang terdapat pada daerah penelitian. 121 4.2 Peta Anomali Regional Gambar 4.5 Peta regional Anomali regional merupakan anomali yang terdapat pada wilayah yang memiliki perbedaan ketinggian ekstrem. Peta anomali regional menunjukkan perbedaan (variasi) rapat massa (densitas) batuan di dalam permukaan. Peta ini didapat dari hasil Moving Average yang terdapat pada step 25. Peta regional ini memiliki rentang anomali 58.5 mGal hingga 123.9 mGal. Peta anomali regional memperlihatkan respon anomali di daerah penelitian yang tersebar relatif dari bagian timur laut hingga barat daya pada peta. 122 Gambar 4.6 Anomali rendah pada peta regional Pada peta regional, anomali rendah diperlihatkan dengan indeks warna biru tua hingga hijau yang tersebar pada bagian barat daya, timur, timur laut, dan tenggara peta. Anomali gravitynya yaitu dari rentang 58.5 mGal hingga 91.5 mGal. Hal ini menunjukkan keberadaan batuan sedimen dari densitas batuannya yang rendah. Gambar 4.7 Anomali sedang pada peta regional Pada peta regional, anomali sedang diperlihatkan dengan indeks warna kuning hingga oranye yang tersebar pada bagian tengah peta. Anomali gravitynya yaitu dari rentang 92.3 mGal hingga 107.7 mGal. 123 Gambar 4.8 Anomali tinggi pada peta regional Pada peta regional, anomali tinggi diperlihatkan dengan indeks warna merah hingga merah muda yang tersebar pada bagian barat daya, tengah dan selatan peta. Anomali gravitynya yaitu dari rentang 108.5 mGal hingga 123.9 mGal. Hal ini menunjukkan keberadaan batuan beku dari densitas batuannya yang tinggi. 4.3 Peta Anomali Residual Gambar 4.9 Peta residual 124 Anomali residual merupakan anomali yang menunjukkan wilayah yang memiliki perbedaan ketinggian yang tidak terlalu jauh. Peta anomali residual adalah peta yang menunjukkan nilai kedalaman rata-rata. Peta ini dapat menunjukkan nilai kedalaman rata-rata karena lebih detail. Kedalaman rataratanya daerah penelitian yang didapatkan dari Analisis Spektral yaitu bernilai 79 mGal. Peta ini didapatkan dari pengurangan CBA dengan anomali residual. Peta ini juga merupakan gabungan interpretasi dari peta CBA dan peta anomali regional. Anomali gravitynya yaitu dari rentang -36 mGal hingga 29.1 mGal. Gambar 4.10 Anomali rendah pada peta residual Anomali rendah pada peta residual ini direpresentasikan oleh cekungan dengan litologi batuan sedimen karena memiliki densitas yang rendah. Anomali gravitynya yaitu dari rentang -36 mGal hingga -0.6 mGal yang tersebar pada bagian barat, barat daya, tenggara, dan tengah hingga tenggara. Dari geologi regional daerah penelitian, kawasan Timor Barat dapat dibagi menjadi 3 zona, yang salah satunya adalah Cekungan Tengah (Central Basin). Zona ini dicirikan oleh dataran rendah dengan kemiringan landai. Dari stratigrafi regional daerah penelitian, terdapat 3 sekuen yang terdiri dari formasi-formasi yang dominan tersusun dari batuan sedimen. 125 Gambar 4.11 Anomali sedang pada peta residual Anomali sedang pada peta residual ini direpresentasikan oleh dataran dengan litologi batuan sedimen. Anomali gravitynya yaitu dari rentang -0.2 mGal hingga 3.7 mGal yang tersebar pada bagian tenggara dan tengah peta. Gambar 4.12 Anomali tinggi pada peta residual 126 Anomali tinggi pada peta residual ini direpresentasikan oleh perbukitan dengan litologi batuan beku karena memiliki densitas yang tinggi. Anomali gravitynya yaitu dari rentang 4 mGal hingga 29.1 mGal yang tersebar pada bagian utara hingga selatan peta. Dari geologi regional daerah penelitian, kawasan Timor Barat dapat dibagi menjadi 3 zona, yang salah satunya adalah Barisan Perbukitan Utara (Northern Range) dan Barisan Perbukitan Selatan (Southern Range). Zona ini dicirikan oleh perbukitan dengan topografi yang cenderung rapat. Daerah penelitian juga merupakan bagian dari Busur Banda yang terdiri dari batuan vulkanik. Dari stratigrafi regional daerah penelitian, litostratigrafi regional Pulau Timor disusun oleh salah satunya batuan dasar (basement). Dicirikan oleh anomali yang tinggi dengan densitas yang tinggi pula. 4.4 Second Vertical Derivative (Peta SVD) Gambar 4.13 Peta SVD Peta Second Vertical Derivative (SVD) merupakan peta yang digunakan untuk menentukan keberadaan struktur geologi, seperti patahan (sesar). Nilai dari SVD didapat dari penarikan garis pada peta yang diduga disana terdapat sesar. Kemudian, akan didapat data yang kira cari nilai minimum dan nilai maksimumnya. Jika nilai mutlak SVD maksimum lebih besar dari nilai mutlak SVD minimum, berarti dapat diindikasikan bahwa itu merupakan sesar normal atau sesar turun. Jika nilai mutlak SVD maksimum sama dengan nilai mutlak SVD minimum, 127 berarti dapat diindikasikan bahwa itu merupakan sesar mendatar. Jika nilai mutlak SVD maksimum lebih kecil dari nilai mutlak SVD minimum, berarti dapat diindikasikan bahwa itu merupakan sesar naik. Tabel 4.1 Perhitungan SVD untuk analisis sesar Penampang ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nilai SVD maksimum 233.6 62.1 32.4 82.6 320.1 11.6 7.2 274.2 293.8 3.3 Nilai SVD minimum -319.4 -154.5 -6.1 -36 -259.5 -112 -11.7 -398.3 -270.1 -24.7 Jenis Sesar Naik Naik Turun Turun Turun Naik Naik Naik Turun Naik Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 6 buah sesar naik dan 4 buah sesar turun Gambar 4.14 Sesar turun pada peta SVD 128 Pada peta di atas, terdapat sesar naik yang tersebar pada bagian utara, barat, dan tenggara peta. Sesar naik tersebut didapat dari hasil akhir analisa SVD dan penampang. Kemudian, didapat nilai mutlak SVD minimum yang lebih besar dari nilai mutlak SVD maksimum yang mengindikasikan sesar naik. Sesar-sesar tersebut dicirikan oleh perbedaan ketinggian yang signifikan dan perubahan anomali secara tiba-tiba. Pada geologi daerah penelitian, kawasan daerah penelitian ini dibagi menjadi 3 zona fisiografi, yang salah satunya adalah Barisan Perbukitan Selatan (Southern Range). Zona ini dicirikan oleh barisan perbukitan yang merupakan rangkaian lembar sesar naik. Gambar 4.15 Sesar naik pada peta SVD Pada peta di atas, terdapat sesar turun yang tersebar pada bagian timur, barat laut, dan selatan peta. Sesar turun tersebut didapat dari hasil akhir analisa SVD dan penampang. Kemudian, didapat nilai mutlak SVD minimum yang lebih kecil dari nilai mutlak SVD maksimum yang mengindikasikan sesar turun. Sesar-sesar tersebut dicirikan oleh perbedaan ketinggian yang signifikan dan perubahan anomali secara tiba-tiba. 129 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Pada peta CBA, terdapat rentang anomali yang berkisar antara 34.5 mGal hingga 132.5 mGal. Perubahan anomali tinggi ke anomali rendah yang signifikan terlihat dari barat laut ke tenggara peta. Hal itu disebabkan oleh perubahan nilai yang signifikan pada densitas batuan pada daerah penelitian. 2. Pada peta anomali regional, terdapat rentang anomali yang berkisar antara 58.5 mGal hingga 123.9 mGal. Dapat dilihat pada barat laut ke selatan peta, terdapat anomali yang tinggi dan densitas yang tinggi, sehingga pada daerah tersebut terdapat batuan beku. Dapat dilihat juga pada timur laut ke tenggara peta, terdapat anomali yang rendah dan densitas yang rendah, sehingga pada daerah tersebut terdapat batuan sedimen. 3. Pada peta anomali residual, terdapat rentang anomali yang berkisar antara -36 mGal hingga 29.1 mGal. Dapat dilihat pada utara ke selatan peta, terdapat anomali yang tinggi dan densitas yang tinggi, sehingga pada daerah tersebut memiliki morfologi perbukitan dan terdapat batuan beku. Dapat dilihat juga pada barat laut ke tenggara peta, terdapat anomali yang rendah dan densitas yang rendah, sehingga pada daerah tersebut memiliki morfologi cekungan dan terdapat batuan sedimen. 4. Pada peta SVD, didapat 10 penampang sesar yang terdiri dari 6 sesar naik yang terdapat pada utara ke tenggara peta, dan 4 sesar turun yang terdapat pada timur ke barat peta. Sesar tersebut dicirikan oleh perbedaan ketinggian yang signifikan dan perubahan anomali secara tiba-tiba. 5.2 Saran Diperlukan ketelitian dalam mengolah data agar data yang didapat tidak salah. Penarikan garis penampang sebaiknya dibuat benar-benar lurus agar data yang didapat semakin akurat. Dan sangat disarankan untuk menggunakan mouse selama pembuatan peta karena jauh lebih mudah dan cepat. Jangan lupa istirahat! 130 DAFTAR PUSTAKA • Bachri, Syaiful, dan Asep Kurnia Permana. (2015). Tektonostratigrafi Cekungan Timor di Bagian Barat Pulau Timor. JGSM Vol. 16 No. 2 Mei 2015 hal. 79-91. • Torkis, Rahman. (2012). Analisa dan Pemodelan Struktur Bawah Permukaan Berdasarkan Metode Gaya Berat di Daerah Prospek Panas Bumi Gunung Lawu. Skripsi Program Studi Fisika, Universitas Indonesia. lib.ui.ac.id/file?file=digital/20309136S43190-Analisa%20dan.pdf • Akbar, Hendra Hidayat, dkk. Analisis Struktur Dan Identifikasi Sistem Panas Bumi Daerah Nage, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) Berdasarkan Data Gaya Berat. repo.itera.ac.id/assets/file_upload/SB1909180001/PEG0078_11_103725.pdf • Chumairoh, Diah Ayu, dkk.. Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Berdasarkan Data Gaya Berat di Daerah Koto Tangah, Kota Patang, Sumatera Barat. medianeliti.com/media/publications/160161-ID-identifikasi-struktur-bawah-permukaanbe.pdf • Geologi Regional Timor Leste. https://fdokumen.com/document/geologi-regional-timorlestepdf.html • Hukum Gaya https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Gravitas%20BPSMG/materi1.html • Rahmanda, Virgian. (2014). Pengolahan Data dan Analisa Spektrum Gravity untuk Permodelan Menggunakan Surfer dan GRAV2DC. Laboratorium Geofisika, Universitas Lampung. • Weddy, Oktya. (2014). Laporan Prakikum Geofisika Metode Gravity. Laboratorium Geofisika, Universitas Padjadjaran. https://pdfslide.net/documents/laporan-metodegravity.html • Jaenudin. (2012). Laporan Akhir Praktikum Geofisika Metode Gravity. Laboratorium Geofisika, Universitas Padjadjaran. https://www.academia.edu/8095270 • http://jos.unsoed.ac.id/index.php/tf/article/download/1127/917#:~:text=Peta%20kontur% 20Second%20Vertical%20Derivative,diduga%20disanalah%20letak%20patahan%20ber ada. Gravitasi. 131