BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini akan membahas mengenai teori-teori pendukung yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya kemampuan berpikir kritis matematis, kemandirian belajar siswa, model pembelajaran penemuan terbimbing, model pembelajaran ekspositori, teori belajar yang mendukung model pembelajaran penemuan terbimbing, budaya Nias, dan penelitian yang relevan, serta hal-hal yang dianggap perlu pada sub-sub bab ini. Adapun maksud dari teori ini dipaparkan agar mempermudah pembahasan penelitian sesuai dengan indikator variabel yang sudah ditentukan. 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berpikir merupakan hal yang penting bagi manusia sebagai upaya menjadi manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan Hassoubah (2004) “Sebagai manusia kita telah dikaruniai potensi untuk berpikir dengan baik. Melalui pembinaan yang tepat, pendidikan, pembelajaran dan pengamatan kita dapat berkembang dan berpikir dengan baik”. Sehingga dengan cara yang tepat kemampuan berpikir manusia dapat ditingkatkan sehingga dapat menyelesaikan masalah yang ditemui dalam kehidupan. Presseisen (dalam Hasibuan, 2013) membedakan kemampuan berpikir menjadi dua bagian yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tinggi. Kemampuan berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional dan esensial, meliputi menentukan hubungan sebab akibat, melakukan tranformasi, menemukan hubungan, memberikan kualifikasi, dan membuat klasifikasi. Sedangkan yang termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kreatif, dan berpikir kritis. Jadi, berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sesesorang yang mampu berpikir kritis, tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan alasan yang masuk akal 18 19 atas solusi yang ia berikan, karena pada dasarnya berpikir merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Sejalan dengan yang dikemukakan Suryabrata (2010) yaitu berpikir pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu: (1) pembentukan pengertian; (2) pembentukan pendapat; dan (3) penarikan kesimpulan. Ini berarti berpikir merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai kesimpulan berdasarkan pada pertimbangan yang seksama. Dewey (dalam Fisher, 2009) mendefinisikan berpikir kritis sebagai “Pertimbangan yang aktif, persistent (terus menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya”. Berpikir kritis merupakan sebuah proses aktif yang tidak menerima begitu saja informasi dan gagasan dari orang lain, tetapi proses dimana kita memikirkan sendiri, menganalisis, dan melakukan berbagai hal secara teliti, kemudian mengajukan berbagai pertanyaan tentang yang kita pikirkan dan menemukan informasi yang relevan tentang apa yang dipikirkan. Sehingga pengambilan keputusan merupakan hasil pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Selanjutnya Hasratuddin (2013) menyatakan: Berpikir kritis adalah mencari pernyataan yang jelas dari suatu pertanyaan, mencari alasan, memakai sumber yang memiliki kredibilitas, memperhatikan situasi dan kondisi secara menyeluruh, berusaha tetap relevan dengan ide utama dan mendasar, mencari alternatif, bersikap dan berpikir terbuka, mencari alasan-alasan yang logis dan peka terhadap ilmu lain. Hasratuddin mendefinisikan berpikir kritis dari semua sisi. Beliau mensyaratkan pemilihan sumber yang dapat dipercaya dalam pemberian alasan dan mencari jawaban dari suatu permasalahan. Selain itu harus mempertimbangkan unsur logika, keterbukaan akan alternatif penyelesaian tanpa melupakan relevansi dengan ide utama serta peka terhadap ilmu lain. Selanjutnya berpikir kritis menurut Lau (1968) adalah “Thinking clearly and rationally. It involves thinking precisely and systematically, and following the rules of logic and scientific reasoning, among other things”. Maknanya adalah berpikir jernih dan rasional, yang melibatkan berpikir tepat dan sistematis, dan 20 mengikuti aturan logika dan penalaran ilmiah. Fisher (2009) juga menyatakan bahwa berpikir kritis adalah sejenis berpikir evaluatif yang mencakup baik itu kritik maupun berpikir kreatif dan yang lebih khusus berhubungan dengan kualitas pemikiran atau argumen yang disajikan untuk mendukung suatu keyakinan atau rentetan tindakan. Glaser (dalam Fisher, 2009), salah seorang dari penulis Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal mengartikan berpikir kritis sebagai: (1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalahmasalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diungkapkan beberapa hal penting tentang berpikir kritis. Pertama, kegiatan berpikir kritis adalah kegiatan berpikir dalam memahami masalah secara aktif, mengumpulkan informasi, bernalar, membuat keputusan yang melibatkan berpikir tepat dan sistematis, dan mengikuti aturan logika dan penalaran ilmiah dan berargumentasi tentang keputusan tersebut. Sesesorang yang mampu berpikir kritis, tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan alasan yang masuk akal atas jawaban atau solusi yang ia berikan. Kedua, kegiatan berpikir kritis merupakan sejenis berpikir evaluatif yang bertujuan untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi berdasarkan bukti-bukti pendukungnya yang pada akhirnya memungkinkan untuk membuat keputusan. Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menganalisis dan merefleksikan hasil pemikirannya. Disamping itu matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif, maka harus ada alasan yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Selanjutnya, penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah dari alasan-alasan ke kesimpulan adalah masuk akal dan logis (Hasratuddin, 2009). Maka kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menganalisis, merefleksikan hasil pemikirannya dan penarikan kesimpulan yang berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal dan logis. 21 Menurut Palinnusa (2013) “Critical thinking indicators include identifying, connecting, analyzing and solving mathematical problems”, artinya indikator kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan dalam mengidentifikasi masalah, menghubungkan, menganalisis dan memecahkan masalah matematika. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Yuniarti (2009) yaitu untuk bisa dinamakan pemikir kritis, siswa harus dilatih atau dihadapkan dengan masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan kompleks dalam aktivitas mental seperti pemecahan masalah, menganalisis, dan mengevaluasi. Sedangkan menurut Gokhale (dalam Sumarmo, 2013) mendefinisikan soal berpikir kritis adalah soal yang melibatkan analisis, sintesis, dan evaluasi dari suatu konsep. Menurut Trilling dan Fadel (2009) “Critical thinking skills the ability to analyze, interprete, evaluate, summarize, and synthesize all this information”, kemampuan berpikir kritis terdiri dari kemampuan menganalisis, menafsirkan, mengevaluasi, meringkas, dan mensintesis semua informasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir tinggi yang karakteristik berpikirnya adalah menganalisis, mensintesis, mengenal dan memecahkan masalah, serta menyimpulkan yang dijabarkan (Harahap, 2012) sebagai berikut: 1. Menganalisis Menganalisis adalah kemampuan memisahkan informasi ke dalam bagianbagian yang lebih kecil atau terperinci, mencari hubungan antara bagianbagian dan mampu melihat komponen-komponen itu berhubungan serta melihat pengorganisasian komponen-komponen tersebut. 2. Mensintesis Mensintesis adalah kemampuan bekerja dengan bagian-bagiannya, unsurunsurnya, dan mampu menyusun menjadi suatu pola baru dan terstruktur. Kemampuan mensintesis menuntut siswa untuk menyatukan semua informasi yang diperolehnya sehingga menciptakan ide baru. 3. Mengenal dan Memecahkan Masalah Dalam mengenal dan memecahkan masalah, siswa dituntut untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga mampu menangkap pikiran pokok bacaan, dan mampu membuat pola dari sebuah konsep. 22 4. Menyimpulkan Menyimpulkan menuntut siswa agar mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai pada sebuah kesimpulan. Kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis membutuhkan pemecahan masalah dan pencarian solusi. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dengan cara melatih siswa mengatasi masalah-masalah sederhana yang konkret yang ada di sekitarnya. Kemampuan berpikir kritis dapat terjadi pada saat siswa mencoba memahami penjelasan dari orang lain, ketika mereka bertanya, dan ketika mereka menjelaskan atau menyelidiki kebenaran ide mereka sendiri. Lau (1968) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis adalah seseorang yang melakukan hal-hal berikut: (1) Understand the logical connections between ideas; (2) formulate ideas succinctly and precisely; (3) identify, construct, and evaluate arguments; (4) evaluate the pros and cons of a decision; (5) evaluate the evidence for and against a hypothesis; (6) detect inconsistencies and common mistakes in reasoning; (7) analyze problems systematically; (8) identify the relevance and importance of ideas: (9) justify one's beliefs and values; (10) reflect and evaluate one's thinking skills. Maknanya adalah (1) memahami hubungan logis antara ide-ide; (2) merumuskan ide ringkas dan tepat; (3) mengidentifikasi, membangun, dan mengevaluasi argumen; mengevaluasi pro dan kontra dari keputusan; (4) mengevaluasi bukti dan terhadap hipotesis; (5) mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan umum dalam penalaran; (6) menganalisis masalah secara sistematis. (7) mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide; (8) membenarkan keyakinan dan nilai-nilai seseorang; dan (9) mencerminkan dan mengevaluasi kemampuan seseorang berpikir. 23 Berdasarkan pendapat para ahli mengenai kemampuan berpikir kritis yang diungkapkan di atas, maka kemampuan berpikir kritis matematis pada penelitian ini adalah adalah kesanggupan atau kecakapan berpikir matematis yang masuk akal dan reflektif pada seseorang untuk mengambil suatu keputusan yang diyakini dan dipercayai kebenarannya yang meliputi kemampuan: (1) analisis; (2) sintesis; (3) mengenal dan memecahkan masalah; dan (4) menyimpulkan. 2.1.2. Kemandirian Belajar Reformasi pembelajaran di sekolah banyak diperbincangkan di dunia pendidikan, yang sebelumnya hanya berpusat pada guru berubah menjadi berpusat pada siswa. Artinya belajar bukan hanya menjadi tanggung jawab guru semata, tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan siswa. Hal ini tentunya menuntut siswa untuk menjadi siswa yang mandiri. Dengan siswa menjadi mandiri maka siswa banyak memperoleh sikap-sikap positif yang mengiringinya. Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan dapat berdiri sendiri tidak bergantung pada orang lain, atau menggunakan kemampuannya sendiri. Kemandirian belajar berkaitan dengan bagaimana siswa menjadi pemimpin dari proses belajar mereka sendiri. Seorang siswa yang mandiri adalah seseorang yang memiliki kemauan yang kuat sehingga dapat terlibat aktif dalam memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, serta dapat dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki. Menurut Mudjiman (2011) kemandirian belajar anak adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Zimmerman (2008) menjelaskan kemandirian belajar merupakan tingkatan aspek metakognisi, motivasi dan tingkah laku siswa ketika aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran mereka sendiri. Siswa tersebut dengan sendirinya memulai usaha belajar mereka secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang mereka inginkan, tanpa tergantung pada guru, orang tua atau orang lain. Chamot (dalam Ellianawati dan Wahyuni, 2010) menyatakan bahwa kemandirian belajar adalah sebuah situasi 24 belajar dimana siswa memiliki kontrol terhadap proses pembelajaran tersebut melalui pengetahuan dan penerapan strategi yang sesuai, pemahaman terhadap tugas-tugasnya, penguatan dalam pengambilan keputusan dan motivasi belajar. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat ada dua ciri khusus untuk memahami kemandirian belajar, yaitu: 1) siswa diasumsikan memiliki kesadaran diri atas potensial yang dimiliki dan dapat menggunakan secara baik dalam proses pengaturan diri atas potensi yang dimiliki dan dapat menggunakan secara baik dalam proses pengaturan diri untuk mencapai hasil belajar yang optimal; 2) siswa memiliki orientasi diri terhadap siklus umpan balik selama proses belajar berlangsung. Dalam siklus umpan balik tersebut memonitor derajat efektivitas metode belajar atau strategi belajar dan respon-respon yang dilakukan untuk mencapai hasil melalui berbagai cara yang senantiasa diperbaiki. Kemandirian belajar memiliki manfaat yang banyak terhadap kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa (Yamin, 2013), yaitu: (1) mengasah multiple intelligences; (2) mempertajam analisis; (3) memupuk tanggung jawab; (4) mengembangkan daya tahan mental; (5) meningkatkan keterampilan; (6) memecahkan masalah; (7) mengambil keputusan; (8) berpikir kreatif; (9) berpikir kritis; (10) percaya diri yang kuat; dan (11) menjadi guru bagi dirinya sendiri. Siswa yang memiliki kemandirian belajar yang kuat dan positif mampu menentukan sendiri tujuan belajarnya, mampu menunjukkan rasa kemampuan diri untuk meraih target yang hendak dicapai, penataan lingkungan untuk menopang pencapain target, menentukan sendiri bagaimana mendapatkan social support, melakukan evaluasi diri, dan memonitor kegiatan belajarnya. Menurut Zimmerman (2008), siklus kemandirian belajar terdiri dari tiga fase yaitu: (1) Fase pemikirian awal (Forethought Phase) Fase ini meliputi hal-hal yang mempengaruhi proses kemandirian belajar dan keyakinan siswa, serta menetapkan tujuan belajar. Fase ini terdiri dari: a. Penetapan tujuan (goal setting) Siswa harus menentukan tujuan/target belajar mereka sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. b. Perencanaan strategi (strategic planning) 25 Siswa memiliki strategi-strategi atau metode belajar agar tercapai tujuan belajar yang telah dirumuskan sebelumnya. c. Kepercayaan diri (self efficacy) Siswa memiliki keyakinan akan kemampuan untuk melaksanakan proses belajar atau mengerjakan tugas pada tingkatan yang ditetapkan. d. Orientasi tujuan (goal orientation) Keyakinan mengenai tujuan belajar siswa yang memiliki learning goal orientation cenderung untuk fokus pada kemajuan belajar mereka daripada persaingan yang ada dan mereka cenderung untuk belajar lebih efektif dari siswa yang memiliki performance goal orientation. e. Ketertarikan instrinsik (instrinsic interest) Siswa yang memiliki ketertarikan terhadap tugas sekolahnya akan terus berusaha untuk belajar walaupun tidak diberi reward. (2) Fase Performasi (Performance Phase) Fase ini meliputi proses yang terjadi selama belajar dan hal apa saja yang mempengaruhi perhatian siswa terhadap tugas serta tindakan yang dilakukan pada saat belajar atau mengerjakan tugas. Fase ini terdiri dari: a. Memfokuskan perhatian (attention focusing) Menekankan pada kebutuhan siswa untuk tetap fokus dari hal-hal yang dapat mengganggu proses belajar serta dari persaingan yang ada. b. Instruksi diri (self instruction) Siswa memberitahukan pada dirinya sendiri bagaimana cara menyelesaikan tugas dengan menggunakan strategi yang sudah ditetapkan. c. Memperhatikan diri (self monitoring) Siswa dengan sengaja terus-menerus memberikan perhatian terhadap perkembangan belajar mereka. (3) Fase Refleksi Diri (Self Reflection Phase) Fase ini terjadi setelah siswa menampilkan tugas yang dikerjakannya dan siswa memberikan evaluasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan. Fase ini terdiri dari: a. Evaluasi diri (self evaluation) 26 Siswa mengevaluasi apakah hal-hal yang mereka pelajari sudah mencapai tujuan yang mereka rumuskan sebelumnya. b. Atribusi (attribution) Proses ini sangat penting dalam self reflection karena kesalahan atribusi terhadap kemampuan siswa bereaksi negatif dan akhirnya menyerah. Atribusi ini dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan seperti goal orientation, kondisi tugas, dan seberapa bagus orang lain mengenakan tugas yang ditentukan. Self regulated learning cenderung mengganggap penyebab satu kegagalan karena kesalahan dalam pemeriksaan sedangkan penyebab dari kesuksesan karena kompetensi dari yang dimiliki. c. Reaksi diri (self reaction) Siswa membuat respon evaluatif terhadap pertunjukan diri mereka sendiri (seperti baik atau buruk). d. Kemampuan beradaptasi (adaptiving) Siswa mampu menyesuaikan strategi yang sudah digunakan dengan tugas berikutnya. Jika strategi yang digunakan sebelumnya tidak sesuai maka siswa mampu mencari inisiatif sendiri untuk menentukan strategi lain yang sesuai. Proses adaptasi ini membutuhkan latihan yang berulang-ulang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah sebuah situasi belajar dimana siswa mampu untuk mengatur kegiatan belajarnya sendiri, memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah. Menurut Sumarmo (2004) indikator kemandirian belajar meliputi: (1) inisiatif belajar, (2) mendiagnosis kebutuhan belajar, (3) mengatur dan mengontrol kemajuan belajar, (4) menetapkan target dan tujuan belajar, (5) memandang kesulitan sebagai tantangan, (6) mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, (7) memilih dan menerapkan strategi belajar, (8) mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan (9) memiliki konsep diri. Kesembilan indikator kemandirian belajar ini merupakan indikator kemandirian belajar yang digunakan pada penelitian ini. 27 2.1.3. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Model pembelajaran penemuan terbimbing merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa, sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Menurut Suryosubroto (dalam Padiyadi, 2008), discovery merupakan bagian dari inquiry, inquiry merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Penemuan yang dimaksudkan disini bukanlah suatu model pembelajaran yang dilakukan untuk menemukan sesuatu hal yang benar-benar baru, tetapi dalam model ini siswa diharapkan menemukan pengetahuannya secara aktif seperti dengan melakukan terkaan, perkiraan, dan coba-coba sehingga siswa dapat menemukan konsep, rumus dan sejenisnya. Suherman (2003) juga mengemukakan bahwa model penemuan merupakan model yang dilakukan oleh siswa dalam menemukan hal-hal yang baru, menemukan disini tidak berarti halhal yang ditemukan benar-benar baru. Hal-hal baru bagi siswa yang diharapkan ditemukan yaitu dapat berupa konsep, teorema, rumus, pola, aturan dan sejenisnya. Untuk dapat menemukan, mereka harus melakukan terkaan, dugaan, perkiraan, dan coba-coba sesuai dengan pengalamannya. Pembelajaran dengan model penemuan berharap agar siswa benar-benar aktif belajar menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ruseffendi (2006) model pembelajaran penemuan adalah model pembelajaran yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya yang belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan atau seluruhnya ditemukan sendiri, penemuan disini bukanlah penemuan yang sungguh-sungguh, tetapi menemukan lagi bukan menemukan yang sama sekali baru. Penemuan yang dimaksud yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian besar siswa 28 masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Model pembelajaran ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika dan sesuai dengan karakteristik matematika. Guru membimbing siswa dengan memberi arahan (guided) dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan arahan atau pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Menurut pendapat Slavin (dalam Hosnan, 2014) dalam proses pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsipprinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjecture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan proses induktif atau proses deduktif, melakukan observasi, dan membuat eksptrapolasi. Oleh karena itu, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Dalam proses pembelajaran dengan penemuan terbimbing, guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ruseffendi (2006) model penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang diatur sedemikian rupa dimana guru membimbing siswa dalam penemuannya yang dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan, dengan memberikan informasi secara singkat, diluruskan agar siswa sampai kepada konsep yang ditemukannya. Selanjutnya, menurut Sugiyono (2014) model penemuan terbimbing adalah salah satu pembelajaran yang menggunakan penemuan, dimana siswa mendapatkan pegetahuan yang akan dipahami dengan bimbingan dari guru, 29 seperti melalui pertanyaan-pertanyaan, peragaan-peragaan atau media lainnya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hamalik (2009), model penemuan terbimbing merupakan sistem dua arah yaitu melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dalam sistem ini, guru perlu memiliki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis kesulitan siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Dalam model penemuan terbimbing proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa yang dilakukan secara tertulis, yaitu berupa panduan urutan-urutan pertanyaan untuk membantu siswa mencari dan menemukan jawaban dari masalah yang dipertanyakan. Melalui model pembelajaran penemuan terbimbing guru membimbing siswa ketika menemukan konsep. Siswa dalam hal ini dituntut lebih banyak berpikir eksploratif dan kreatif daripada sekedar berpikir mekanis dan prosedural (Sunismi dan Nu’man, 2012). Selain itu, juga diharapkan terjadi interaksi antarsiswa dan siswa dengan guru. Hal ini bertujuan agar adanya interaksi antarsiswa sehingga akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika dan juga dapat meningkatkan social skills siswa. Pembelajaran melalui model penemuan terbimbing adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa yang memiliki enam prinsip (Kuhlthau, 2007) yaitu: (a) children learn by being actively engaged in and reflecting on an experience; (b) children learn by building on what they already know; (c) children develop higher-order thinking through guidance at critical points in the learning process; (d) children have different ways and modes of learning; (e) children learn through social interaction with others; and (f) children learn through instruction and experience in accord with their cognitive development. Keenam prinsip di atas, artinya adalah (a) peserta didik terlibat dalam pembelajarannya dan dapat merefleksikan pengalamannya; (b) peserta didik belajar dengan membangun apa yang mereka sudah tahu; (c) peserta didik mengembangkan berpikir tingkat tinggi melalui bimbingan pada titik-titik kritis dalam proses pembelajaran; (d) peserta didik memiliki cara yang berbeda dalam pembelajaran; (e) peserta belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain; dan (f) peserta didik belajar melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan perkembangan kognitif mereka. 30 Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penemuan terbimbing adalah suatu model yang terlebih dahulu menghadirkan suatu permasalahan atau pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan secara tertulis, sehingga dari permasalahan tersebut siswa dapat berpikir, mengamati, mencerna, mengerti, membuat dugaan, menjelaskan, dan menganalisis untuk menemukan suatu pengetahuan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaanpertanyaan yang mengarahkan. Dengan demikian, diharapkan proses pembelajaran yang dialami siswa menjadi lebih bermakna dan pengetahuan yang diperoleh bertahan lama dalam ingatan siswa. 2.1.3.1.Komponen Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing a) Sintakmatik Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sintakmatik merupakan tahapan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dari suatu model pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan akan berjalan dengan baik dan efektif apabila mengikuti langkah-langkah yang telah disusun dan dirancang oleh guru dengan baik, sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dan memperoleh hasil yang diinginkan. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus direncanakan dalam pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan terbimbing sebagai mana yang disampaikan Eggen dan Kauchak (2012), yaitu mengidentifikasi topik pembelajaran, menentukan tujuan pembelajaran, dan menyiapkan contoh dan bukan contoh. Berkaitan dengan hal itu, agar pembelajaran melalui model penemuan terbimbing berjalan efektif, Massialas (dalam Matthew, 2013) menyimpulkan langkah demi langkah pembelajaran penemuan terbimbing dimulai dari mendefinisikan hipotesis rumusan masalah, mengumpulkan data, verifikasi hasil, dan menggeneralisasi untuk memperoleh kesimpulan. Selanjutnya Mulyasa (dalam Hamzah dan Muhlisrarini, 2014) menyimpulkan langkah-langkah penemuan terbimbing sebagai berikut: 1. Guru memberikan penjelasan, instruksi atau pertanyaan terhadap materi pembelajaran. 2. Memberikan tugas kepada peserta didik berupa pertanyaan yang jawabannya dapat diperoleh pada proses pembelajaran. 31 3. Guru memberikan penjelasan tentang hal yang membingungkan siswa. 4. Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang dipelajari sebelumnya. 5. Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya dari pernyataan Markaban (dalam Hosnan, 2014) dapat disimpulkan beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika agar pelaksanaan model penemuan terbimbing berjalan dengan efektif adalah sebagai berikut: a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah. b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju melalui pertanyaan-pertanyaan pada Lembar Aktivitas Siswa. c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya. d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur. f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar. 32 Berdasarkan pendapat ahli di atas, yang menjadi langkah-langkah pendekatan penemuan terbimbing dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengajukan suatu situasi atau masalah dalam bentuk pertanyaan mengenai topik pembelajaran yang akan dipelajari. 2. Melakukan pengumpulan data dengan melakukan berbagai kegiatan baik pengamatan ataupun pengukuran dan menganalisis data yang diperoleh. 3. Membuat konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukan siswa. 4. Memeriksa kebenaran perkiraan dengan mempresentasikan hasil diskusi kelompok. 5. Membuat kesimpulan atas apa yang telah ditemukan siswa melalui verbalisasi konjektur. 6. Mengevaluasi dengan pemberian tindak lanjut berupa soal untuk menguji penguasaan siswa mengenai topik yang dipelajari. Diharapkan dengan menerapkan keenam langkah pembelajaran penemuan terbimbing di atas, kemampuan siswa, khususnya kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar, dapat ditingkatkan dan menjadi lebih baik. b) Sistem Sosial Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sistem sosial merupakan situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam masyarakat pebelajar (siswa). Model pembelajaran penemuan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk cukup sederhana, fleksibel, dan tidak hanya bergantung pada arahan guru. Struktur peristiwa belajar bersifat terbuka. Kemungkinan lain siswa diberi kesempatan bebas untuk mencari sesuatu sampai menemukan hasil belajar melalui proses-proses, dan disini guru hanya bertugas memberikan bimbingan guna memecahkan persoalan yang dihadapi para siswa. c) Prinsip Reaksi Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa. Dalam penelitian ini, prinsip reaksi yang terjadi pada model pembelajaran ini yaitu peran penting guru ketika kegiatan proses pembelajaran agar tercipta kelas yang nyaman, efektif, dan kondusif. Guru berperan dalam membimbing dan mengarahkan siswa selama kegiatan pengamatan. Guru berperan sebagai fasilitator langsung terlibat dalam proses kelompok (membantu siswa dalam merumuskan rencana, bertindak, dan 33 mengatur kelompok) serta beberapa kebutuhan dalam sebuah penelitian (pengetahuan tentang metode yang digunakan). Sedangkan siswa diharapkan mampu terlibat aktif dalam pembelajaran; mengamati, mencerna, mengerti, membuat dugaan, menjelaskan, dan membuat kesimpulan dari apa yang telah diperoleh. d) Sistem Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sistem pendukung merupakan segala sarana, bahan, dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran. Dalam model pembelajaran ini, sistem pendukung mencakup RPP, LAS, perlengkapan alat, bahan dalam pengamatan, ruang kelas, dan materi pada perangkat pembelajaran yaitu Lingkaran. e) Dampak Instruksional Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Pembelajaran penemuan terbimbing memberikan dampak instruksional seperti keterampilan dalam proses ilmiah, keterampilan berpikir dalam menyelesaikan persoalan, kemandirian belajar, dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Sedangkan dampak pengiring atau hasil belajar lainnya yang dihasilkan selama proses pembelajaran tanpa pengaruh langsung oleh guru adalah siswa akan mampu belajar mengorganisasi dan menghadapi masalah dengan sikap terbuka, siswa akan mencapai kepuasan karena telah menemukan pemecahan masalah sendiri sehingga siswa akan mampu meningkatkan keterampilan berpikirnya. 2.1.3.2.Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Beberapa keuntungan pembelajaran penemuan terbimbing, yaitu siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn), belajar menghargai diri sendiri, memotivasi diri untuk lebih mudah mentransfer, memperkecil atau menghindari, menghafal pelajaran dan siswa bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri (Kuhlthau, 2007), sedangkan manfaat pembelajaran penemuan terbimbing bagi siswa menurut Kuhlthau (2007) yaitu: (1) mengembangkan kecakapan sosial, bahasa, dan kemampuan membaca, (2) mengkonstruksi pemahaman sendiri, (3) meningkatkan kemandirian dalam meneliti dan belajar, (4) mempunyai motivasi 34 yang tinggi pada waktu bekerja, dan (5) belajar strategi dan keterampilan dapat dioperkan ke proyek penemuan lain. Sedangkan manfaat untuk guru yaitu (1) berbagi tanggung jawab dalam tim pembelajaran, (2) berbagi keahlian dalam anggota tim, (3) keterampilan mengajar isi dan informasi secara bersamaan, (4) gagasan perencanaan yang lebih kreatif, dan (5) meningkatkan pengalaman terhadap isi kurikulum. Menurut Kuhlthau (2007), beberapa keunggulan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah memungkinkan siswa untuk lebih memahami isi dan konsep literasi informasi. Pada saat yang sama siswa mengembangkan kompetensi dalam membaca, menulis, dan berbicara, dan pada gilirannya memperoleh keterampilan sosial melalui berinteraksi, berdiskusi, dan bekerja sama dengan siswa lain. Selain itu, mereka belajar bagaimana untuk belajar dalam lingkungan yang kaya informasi. Siswa terlibat dalam lima elemen pembelajaran yaitu isi kurikulum, literasi informasi, proses pembelajaran, kompetensi literasi, dan kemampuan sosial. Selanjutnya Eggen dan Kauchak (2012) mengkritisi model pembelajaran penemuan terbimbing dengan menyatakan bahwa “Menggunakan model temuan terbimbing menuntut keahlian guru yang cukup tinggi”. Kebanyakan guru dapat mengajar dengan metode ceramah namun kesulitan jika harus membimbing siswa menemukan pemahaman sendiri. Akan tetapi, jika siswa sudah menemukan sendiri konsep-konsep materi melalui model penemuan terbimbing, maka biasanya konsep itu lebih dipahami secara mendalam. Guru dapat menggunakan model ini untuk mendorong pemahaman mendalam tentang materi tertentu dan pada saat yang sama menjadi mekanisme efektif untuk mendorong berpikir kritis. Selain itu kelemahan utama dari model ini adalah proses penerapannya yang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan menuntut kemampuan guru yang tinggi. Hal ini wajar terjadi sebab dalam menerapkan model baru tentunya akan terbentur dengan kebiasaaan lama dalam proses pembelajaran di sekolah, namun dengan perencanaan yang benar, kemauan yang kuat serta latihan yang kontinu, kelemahan ini bukanlah menjadi penghalang. 35 2.1.4. Pengertian Budaya dan Budaya Nias Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Menurut Poespowardojo, secara etimologis pengertian budaya (culture) berasal dari kata latin colere, yang berarti membajak tanah, mengolah, memelihara ladang. Selanjutnya secara terminologis pengertian budaya menurut Montago dan Dawson merupakan way of life yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa (dalam Daryanto, 2015). Lebih lanjut Koentjaraningrat (2009) mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Kebudayaan secara keseluruhan adalah hasil usaha manusia untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Menurut Geertz (dalam Yunus, 2013), kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Joesoef (dalam Wahyuni, Tias, dan Sani, 2013) menyatakan bahwa budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu dan di suatu kurun tertentu. Kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam hal ini, tinjauan budaya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan dengan nilainilai universal yang berlaku dimana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masyarakat setempat. Koentjaraningrat (2009), membagi kebudayaan dalam tiga wujud, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 36 Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Koentjaraningrat (2009) menambahkan bahwa ketiga wujud dari kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai budaya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah pikiran, adat istiadat, karya seni dan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menciptakan dan mendorong terwujdnya kelakuan. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu umat manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dalam penelitian ini, konteks budaya yang digunakan dalam pembelajaran dibatasi pada wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau kebudayaan fisik yang merupakan ciri khas Budaya Nias. Namun, di setiap pembelajaran juga akan diawali dengan cerita atau adat istiadat Budaya Nias agar 37 nilai-nilai dan kebiasaan positif masyarakat Budaya Nias juga tertanam dalam diri siswa. Budaya Nias Nias adalah salah satu suku yang berada di Provinsi Sumatera Utara yang penduduknya tinggal di Pulau Nias dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Populasi suku Nias diperkirakan lebih dari 1 juta orang. Daerah ini memiliki objek wisata penting seperti selancar, rumah tradisional, penyelaman, dan hombo batu (lompat batu). Pada masa sekarang, masyarakat Nias menganut agama yang cukup beragam seperti Kristen, Katolik, Islam dan Budha. Ditengah keberagaman tersebut, masyarakat Nias selalu hidup rukun dengan menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Gambar 2.1. Hombo Batu (Sumber: https://museum-nias.org/istiadat-nias/) Salah satu tradisi dalam masyarakat budaya Nias adalah tradisi Lompat Batu. Awalnya upacara lompat batu adalah sebagian dari ritual inisiasi pria muda untuk diterima sebagai orang dewasa dan prajurit. Ketinggian piramida batu lompat itu adalah di antara 1,8 meter sampai 2,2 meter. Lompat ini dilakukan tanpa alas kaki dan latihan berulang-ulang diperlukan sebelum mencoba lompat ini. Keterampilan untuk melompat benda yang tinggi dikembangkan sebagai teknik pertempuran. Dalam serangan mendadak, prajurit bisa melompati tembok 38 pertahanan di desa musuh. Namun, dewasa ini tradisi lompat batu menjadi sebuah pertunjukkan seperti pada upacara adat dan atau menyambut tamu-tamu penting. 2.1.5. Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis Konteks Budaya Nias Menurut Bishop (dalam Tandililing, 2013), matematika merupakan suatu bentuk budaya yang sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Budaya akan mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan individual, termasuk pembelajaran matematika. Pembelajaran berbasis budaya (ethnomathematics) merupakan salah satu alternatif yang dapat menjembatani matematika dengan budaya. Pannen (dalam Mulyaningsih, Lasmawan, dan Sutama, 2013) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hal serupa juga diungkapkan oleh D’Ambrosio (2006) yaitu Ethnomathematics, which is the study of mathematics within its diverse cultural contexts, is used to express relationships between culture and mathematics, artinya bahwa etnomatematika merupakan pembelajaran matematika dalam konteks budaya yang beragam, digunakan untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Pembelajaran matematika berbasis budaya lokal dirancang untuk berfokus pada materi yang dikaitkan dengan budaya daerah tempat siswa berasal. Menurut Sofa (dalam Rohaeti, 2011) mengatakan bahwa pembelajaran matematika berbasis budaya lokal merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya dengan komunitas dimana peserta didik berasal. Pemakaian budaya lokal dalam pembelajaran berbasis budaya sangat bermanfaat bagi pemaknaan proses dan hasil belajar, karena peserta didik mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual dan bahan apersepsi untuk memahami konsep ilmu pengetahuan dalam budaya lokal (etnis) yang dimiliki. Akibatnya pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan karena 39 memungkinkan terjadinya penciptaaan makna secara kontekstual berdasarkan pengalaman awal peserta didik sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya. Tentunya hal ini membantu guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran untuk dapat memfasilitasi siswa secara baik dalam memahami suatu materi. Keadaan-keadaan nyata yang dialami atau sering dilihat siswa dapat diangkat menjadi permasalahan awal yang akan diselesaikan siswa selama proses pembelajaran. Pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan siswa pada pemecahan masalah tersebut. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungannya seperti budaya lokal akan menjadikannya bahan dan materi guna membantu dalam proses pembelajaran sehingga memberikan tujuan belajar yang lebih bermakna bagi siswa. Kebudayaan Nias memiliki beragam peralatan dan benda-benda khas budaya seperti garamba, göndra, faritia, tamburu, doli-doli, lagia, dan halu (alat penumbuk padi). Keterkaitan antara konsep matematika dengan konteks budaya Nias dapat dilihat pada perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya “garamba” yang terdiri dari tiga tingkat berbentuk lingkaran yang sering digunakan pada tradisi pernikahan. Gambar 2.3. Garamba, Benda Khas Budaya Nias (Sumber: http://kabarnias.com/wp-content/uploads/2015/07/aramba.jpg) Bentuk garamba yang terdiri dari tiga tingkat berbentuk lingkaran yang memiliki ukuran berbeda dapat diterapkan dalam pembelajaran Matematika, misalnya pada penemuan nilai phi dan rumus keliling lingkaran. Siswa diminta untuk menemukan nilai phi dan rumus keliling lingkaran dengan menghitung 40 diameter dan keliling masing-masing lingkaran yang ada pada “aramba” dengan menggunakan benang. Hasil pengukuran siswa dimasukkan dalam Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1. Hasil Pengukuran Siswa Garis Keliling (K) Tengah (d) (cm) ……… ……. 𝑲 𝒅 … No. Lingkaran 1 Lingkaran 1 2 Lingkaran 2 ……… ……. … 3 Lingkaran 3 ……… ……. … Setelah melakukan pengukuran dan menuliskan hasilnya pada tabel di atas, siswa diminta untuk menemukan nilai phi dan rumus keliling lingkaran melalui pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan, seperti: 1. Dari lima lingkaran yang diukur, mendekati angka berapakah nilai pada 𝑲 kolom 𝒅 ? 2. Apabila diubah ke bentuk pecahan, maka nilai pada kolom bentuk 22 𝐾 7 𝑑 . Nilai 𝐾 𝑑 mendekati disebut juga dengan nilai 𝜋 atau disebut nilai phi. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumus untuk mencari keliling lingkaran atau 𝐾 adalah ... Contoh lain misalnya mengenai pembuatan “tamburu” yang terbuat dari kulit kerbau, kambing, atau lembu. Dalam hal ini, pemanfaatan perhitungan luas daerah yang dibatasi oleh lingkaran dapat dimanfaatkan. Gambar 2.4. Tamburu (Sumber: https://i1.wp.com/www.museum-nias.org/wpcontent/uploads/2016/12/Tamburu-300x262.jpg) 41 Siswa dapat menggunakan rumus menghitung luas daerah yang dibatasi lingkaran untuk menghitung luas kulit kerbau yang diperlukan untuk membuat beberapa “tamburu” dengan ukuran diameter 20 cm sebanyak dua buah agar tidak banyak kulit yang terbuang jika kulit kerbau yang tersedia terbatas. Selain itu siswa juga dapat menggunakan rumus keliling lingkaran untuk menghitung panjang rotan yang digunakan sebagai pengikat “tamburu”. Dari contoh penerapan benda khas budaya Nias di atas, siswa menjadi lebih termotivasi untuk melakukan percobaan-percobaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru guna menjawab permasalahan yang ada yang berkaitan dengan materi pelajaran. Secara sadar ataupun tidak sadar, kemampuan berpikir matematis dan kemandirian belajar siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pengimplementasian tradisi dan benda-benda khas budaya Nias, dapat diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran, guru tidak lagi menjadi pusat (teacher centered). Seorang guru perlu menjadi seorang peneliti (dalam hal ini meneliti bagaimana kebudayaan yang ada di sekitar peserta didiknya), dan menjadi seorang siswa. Dengan menjadi seorang peneliti, guru matematika akan menginvestigasi unsur-unsur matematika apa saja yang terdapat dalam aktivitas budaya yang pada gilirannya nanti akan berperan dalam pewarisan kebudayaan tersebut. Dengan menjadi seorang pebelajar, guru matematika akan lebih memahami ide (konsep) matematis dengan mudah apabila ide tersebut telah terlihat keterhubungannya dengan ragam aktivitas budaya yang ada di sekitar mereka. Sedangkan siswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat pembelajaran ini siswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi yang melibatkan unsur budaya Nias sehingga dapat bertindak sebagai seorang ilmuwan atau orang dewasa. Pembelajaran ini berfokus pada keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan hal ini diharapkan siswa dapat mengembangkan pengetahuan mereka secara mandiri. Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud dengan pembelajaran penemuan terbimbing berbasis budaya Nias dalam penelitian ini adalah mengembangkan proses pembelajaran matematika dengan pembelajaran penemuan terbimbing melalui bentuk bahan atau materi yang diintegrasikan nilai- 42 nilai kearifan dan keberagaman budaya yang disusun secara sistematis untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan, tradisi, serta untuk mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa. 2.1.6. Teori Belajar Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Dalam pembelajaran dengan model penemuan terbimbing, siswa tidaklah menerima pengetahuan begitu saja dari guru, akan tetapi secara aktif menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip konstruktivisme. Penemuan merupakan model instruksional kognitif dari Jerome Bruner. Menurut Dahar (2011) “Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik”. Dalam belajar penemuan tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi ada interaksi siswa secara aktif dengan konsep dan prinsip serta melakukan ekperimen yang memungkinkan siswa menemukan prinsip itu sendiri. Selanjutnya dari pernyataan Bruner (dalam Dahar, 2011) disimpulkan bahwa hampir semua orang dewasa menggunakan tiga cara penyajian untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga cara itu adalah enaktif, ikonik dan simbolik. Selanjutnya, cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan yang bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata sebab telah memiliki pengalaman pada kejadian di masa lampu yang terkait dengan respon-respon motorik. Dengan cara ini dilakukan satu kegiatan untuk mencapai hasil tertentu. Selanjutnya cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Penyajian ikonik lebih dikendalikan oleh pola pandang dan penginderaaan seseorang. Sedangkan cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak (memikirkan sesuatu tanpa hadirnya objek sesuatu itu secara nyata), arbitrer (bersifat memilih sesuai kesukaan), dan lebih fleksibel (mudah disesuaikan). Penyajian simbolik dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk lebih memperhatikan pernyataan daripada objek, 43 membuat struktur yang berjenjang serta memperhatikan kemungkinan- kemungkinan alternatif dan kombinasinya dalam memahami sesuatu. Selain Bruner, John Dewey juga memberikan pondasi bagi penemuan terbimbing. Dewey (dalam Kuhlthau, 2007) menyatakan: Education is not an affair of telling and being told but an active and constructive process. The accumulation and acquisition of information for purposes of reproduction in recitation and examination is made too much of. Knowledge in the sense of information means working capital, the indispensable recourses of further inquiry of finding out or learning more things. Pernyataan Dewey di atas menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya menyampaikan dan disampaikan, tetapi proses aktif dan konstruktif. Akumulasi dari diperolehnya informasi lebih sering ditujukan untuk tujuan pemahaman, hafalan, dan ujian. Pengetahuan berarti bekerja berusaha, mencari tahu, dan belajar lebih banyak hal dari berbagai sumber. Pendapat Dewey menggambarkan bahwa belajar sebagai proses kreatif dari penemuan terbimbing, dimulai dengan dugaan yang disebabkan informasi yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Melalui refleksi, ide yang terarah terbentuk yang membawa kepada pertanyaanpertanyaan untuk pemahaman. Dewey menjelaskan bahwa fakta-fakta, data, dan informasi memunculkan ide-ide yang membuat siswa mampu membuat kesimpulan dari apa yang telah ia tahu yang membawa kepada pemahaman lebih dalam. Dewey memandang pembelajaran sejati lebih kepada penjelajahan yang terbimbing daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pendidikan memberikan pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan bagi kehidupan. Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, fungsi guru berubah dari pengajar menjadi mitra pembelajaran Teori lain yang mendasari model pembelajaran penemuan terbimbing adalah konstruktivisme. Dari pernyataan Piaget (dalam Dahar, 2011) disimpulkan ide utama konstruktivisme adalah: 1) Pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya, melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan 44 informasi baru ke dalam pikiran. Akomodasi adalah penyusunan kembali (modifikasi) struktur kognitif karena adanya informasi baru. 2) Agar pengetahuan diperoleh, siswa harus beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Andaikan dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan. Akibatnya terjadilah akomodasi dan struktur yang ada mengalami perubahan atau timbul struktur baru. 3) Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan kesetimbangan dan ketidaksetimbangan. Tetapi bila terjadi kembali kesetimbangan, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya Selanjutnya, enam prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing (Kuhlthau, 2007) pada subbab terdahulu, didukung oleh teori-teori belajar. Prinsip pertama yaitu siswa belajar dengan terlibat aktif dan merefleksikan pengalaman. Prinsip ini didukung oleh Bruner (dalam Dahar, 2011) yang menyarankan agar pembelajaran dimulai dari membuat siswa berpartisipasi secara aktif yaitu dengan cara penyajian enaktif. Cara penyajian ini memanfaatkan pengalaman siswa sebagai bagian refleksi untuk memudahkan siswa dalam memahami konsepkonsep dan prinsip-prinsip agar memperoleh pengetahuan yang baru. Dengan mengaitkan pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen akan membuat siswa lebih mudah menemukan prinsip-prinsip dalam pembelajaran. Prinsip kedua yaitu siswa belajar dengan membangun pengetahuan berdasarkan apa yang telah mereka ketahui. Prinsip ini didukung oleh Ausubel (dalam Dahar, 2011) yang menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi memori dalam otak, namun kita mengetahui bahwa informasi disimpan pada bagian tertentu dalam otak. Hal ini terlihat dari dengan berlangsungnya belajar dihasilkan perubahan-perubahan tingkah laku sebagai hasil dari partisipasi dalam proses belajar tersebut. 45 Prinsip ketiga yaitu siswa mengembangkan berpikir tingkat tinggi melalui bimbingan pada titik-titik penting dalam proses belajar. Prinsip ini sejalan dengan Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikemukakan Vigotsky (dalam Kuhlthau, 2007) dimana Zona perkembangan Proksimal (ZPD) adalah selisih antara apa yang bisa dilakukan siswa secara independen dengan apa yang bisa dicapai siswa jika ia mendapat bantuan seseorang yang lebih kompeten. Dalam penemuan terbimbing, zona intervensi yang dimaksud adalah daerah dimana siswa dapat melakukan sesuatu hal dengan bantuan dan saran-saran, yang tidak dapat dilakukannya sendiri. Intervensi dalam zona ini membuat siswa mampu mengalami kemajuan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Prinsip keempat yaitu siswa mempunyai banyak cara dalam belajar. Model pembelajaran penemuan terbimbing menawarkan banyak cara untuk mengkonstruksi pemahaman yang mendalam. Hal ini sesuai dengan konsep multiple intellegences yang dikembangkan Gardener (dalam Kuhlthau, 2007) dimana teorinya mencakup kemampuan linguistik, musikal, logika-matematika, spasial, kinestetik, personal, dan kemampuan sosial. Luasnya jangkauan dari multiple intellegences dalam susunan maupun bentuk-bentuknya menghadirkan serangkaian aktivitas yang bervariasi yang menawarkan siswa banyak sekali kesempatan untuk belajar. Membaca, mendengar, menggambarkan dan observasi dipadu dengan menulis, berbicara, menampilkan dan menghasilkan pengalaman yang menyeluruh dari belajar. Prinsip kelima yaitu siswa belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain. Prinsip ini sesuai dengan pernyataan Vygotsky (dalam Kuhlthau, 2007) “A specific social nature and process by which children grow into the intellectual life of those around them. Vygotsky berpendapat bahwa lingkungan sosial secara khusus menjadi proses siswa tumbuh dalam kehidupan intelektual di sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan interaksi sosial dan tingkat intelektual di sekitar anak mempengaruhi tingkat intelektual anak itu sendiri. Prinsip keenam yaitu siswa belajar melalui petunjuk dan pengalaman yang sesuai dengan perkembangan kognitif mereka. Prinsip ini sejalan dengan teori Piaget (dalam Dahar, 2011) yang menganggap bahwa setiap individu mengalami tingkat perkembangan intelektual yaitu (1) sensori-motor (0 – 2 tahun); (2) pra- 46 operasional (2 – 7 tahun); (3) operasional konkrit (7 – 11 tahun); (4) operasional formal (> 11 tahun). Karenanya dalam belajar penemuan ada kebutuhan untuk mengakomodasikan tugas-tugas penemuan terbimbing sesuai tingkat perkembangan kognitif anak. Keenam prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing yang telah diperkuat pendapat para ahli menjadikan model ini sebagai model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa. Didukung lagi dengan prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivis dimana dalam proses pembelajaran pengetahuan harus dibangun sendiri secara aktif oleh siswa atau bukan diterima sebagai produk jadi. 2.1.7. Model Pembelajaran Ekspositori Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang paling sering digunakan oleh guru pada umumnya. Biasanya proses dimulai dengan pemberian informasi dengan metode ceramah yang dilanjutkan dengan pemberian contohcontoh soal, kemudian pemberian soal-soal latihan. Pembelajaran seperti ini bersifat rutinitas dan berlangsung satu arah, dimana guru menjadi sumber informasi dan sebagai model baku dalam menyelesaikan masalah, sedangkan siswa bertindak sebagai penerima informasi dan pengikut setia guru yang selalu tidak berusaha menerapkan penalaran yang berbeda dengan guru. Seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya (2012) bahwa model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Pada model pembelajaran ekspositori, guru tampaknya lebih berperan sebagai sumber belajar. Sanjaya (2012) mengungkapkan bahwa: “Pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pembelajaran yang berorientasikan kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan. Melalui strategi ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik.” 47 Jadi, model pembelajaran ekspositori berorientasi kepada guru dengan mengutamakan proses mengajar, metode dan bahan pembelajaran matematika biasanya berbentuk ceramah, tugas tertulis serta media lain menurut pertimbangan guru. Penguatan biasanya diberikan setelah selesai ulangan. Selanjutnya Sanjaya (2012) mengungkapkan ada tiga karakteristik dari model pembelajaran ekspositori, yaitu: 1) Dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal; 2) Materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi; dan 3) Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. 2.1.7.1.Komponen Model Pembelajaran Ekspositori a) Sintakmatik Model Pembelajaran Ekspositori Pembelajaran yang dilaksanakan akan berjalan dengan baik dan efektif apabila mengikuti langkah-langkah yang telah disusun dan dirancang oleh guru dengan baik, sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dan memperoleh hasil yang diinginkan. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran pembelajaran ekspositori diungkapkan oleh Sanjaya (2012) ada lima langkah, yaitu persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan, dan penerapan. 1. Persiapan (Preparation) Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan adalah memberikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negatif dan memulai dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai. 2. Penyajian (Presentation) Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. 3. Menghubungkan (Correlation) Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal yang memungkinkan siswa dapat 48 menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. 4. Menyimpulkan (Generalization) Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah disajikan. Menyimpulkan memberikan keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. 5. Penerapan (Application) Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: Tabel 2.2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Ekspositori Langkah Aspek Perilaku Guru Membangkitkan motivasi dan minat siswa 1 Persiapan untuk belajar, merangsang dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Guru menyajikan materi kepada siswa dengan 2 Penyajian bahasa dan intonasi yang bagus agar tidak ada kebosanan serta memberikan contoh soal. 3 Menghubungkan 4 Menyimpulkan 5 Penerapan Guru memberikan latihan kepada siswa serta menghubungkan materi dengan contoh. Guru menyuruh siswa menyimpulkan materi yang diberikan. Guru memberikan soal-soal kepada siswa. Dalam pembelajaran ekspositori, guru cenderung aktif sebagai sumber informasi bagi siswa, dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran bentuk jadi. Artinya, guru lebih banyak berbicara dalam hal menerangan materi pelajaran dan contoh-contoh soal, serta menjawab semua permasalahan yang dialami siswa. Sedangkan siswa hanya menerima materi pelajaran dan mengahafalnya, serta banyak mengerjakan latihan soal. Jadi 49 dalam hal ini kebermaknaan belajar siswa rendah. Dengan pola seperti ini mengakibatkan tahap-tahap yang terdapat dalam model pembelajaran ekspositori berlawanan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing. Jadi, dalam penelitian ini, model pembelajaran ekspositori adalah model yang biasa diterapkan guru di sekolah yang diawali dengan tahap persiapan, penyajian materi, menghubungkan, menyimpulkan, dan penerapan yang berdampak pada keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. b) Sistem Sosial Model Pembelajaran Ekspositori Sistem sosial dalam model pembelajaran ekspositori ini benar-benar terstruktur, karena guru menuntun siswa melalui contoh dan langkah-langkah di dalamnya. Dalam pembelajaran siswa saling bekerja sama dalam memecahkan sebuah masalah yang dituntun guru. Guru memberikan informasi secara setahap demi setahap dan merancang kegiatan sedemikian rupa. Adanya kegiatan tanya jawab akan memperlancar pembelajaran. c) Prinsip Reaksi Model Pembelajaran Ekspositori Dalam model pembelajaran ekspositori, prinsip reaksi yang terjadi yaitu peran penting guru ketika kegiatan proses pembelajaran. Adapun peran guru adalah sebagai berikut: menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi dan memusatkan perhatian siswa, mendemonstrasikan dan menyajikan informasi setahap demi setahap, merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan awal, mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik dan memberikan umpan balik, memberikan latihan mandiri berupa pekerjaan rumah, menyediakan pengetahuan mengenai hasil-hasil, membantu siswa mengandalkan diri mereka sendiri, dan melakukan penguatan. d) Sistem Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sistem pendukung dalam model pembelajaran ini meliputi sarana yang dapat digunakan untuk penyampaian materi dapat diterima dengan mudah oleh siswa yaitu dengan penyajian materi yang diikuti dengan contoh dan penyelesaian dan buku paket matematika pendukung materi Lingkaran. e) Dampak Instruksional Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan siswa pada tujuan pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dasar dan 50 keterampilan akademik siswa dan diharapkan mampu membangun motivasi melalui aktivitas mengandalkan diri sendiri serta penguatan ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari. 2.1.7.2.Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Ekspositori Model pembelajaran ekspositori memiliki beberapa keunggulan, yaitu: 1. Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampikan. 2. Merupakan strategi pembelajaran yang sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu belajar yang dimiliki sangat terbatas. 3. Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Di samping memiliki kelebihan, model pembelajaran ekspositori juga memiliki kelemahan, di antaranya: 1. Hanya bisa digunakan untuk siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. 2. Tidak bisa melayani perbedaan individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat bakat serta perbedaan gaya belajar. 3. Sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis. 4. Keberhasilan strategi ini tergantung dengan guru. 5. Gaya komunikasi yang satu arah menyebabkan kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran terbatas dan juga bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa terbatas dengan apa yang diberikan olah guru. 2.1.8. Kemampuan Awal Matematis Kemampuan awal matematis merupakan kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa. Kemampuan awal matematis siswa merupakan tolak ukur seorang guru untuk menentukan langkah pembelajaran selanjutnya, kemampuan awal matematis juga sebagai prasyarat siswa untuk mampu mempelajari materi 51 selanjutnya, karena dalam belajar matematika ada hubungan yang hierarkis antara materi sebelum dan sesudahnya, sebab itu kemampuan awal matematis merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa dalam pembelajaran (Herawati, 2013). Hasil penelitian Akinsola dan Odeyemi (2014) juga turut menegaskan bahwa kemampuan awal matematis siswa dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Belajar matematika akan lebih memiliki makna jika siswa dapat mengaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan informasi-informasi baru yang dapat meningkatkan pengetahuan baru siswa, sebab jika siswa tidak dapat mengaikatkan pengetahuan awal yang mereka miliki siswa akan mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Kemampuan awal matematis siswa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, seperti yang ditegaskan oleh Lambertus, Bey, Anggo, Fahinu, Sudia dan Kadir (2014) yaitu: rendah, sedang, tinggi. Pengelompokan ini bertujuan untuk melihat kondisi kemampuan awal siswa yang telah dimiliki. Siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi akan lebih mudah mengikuti materi selanjutnya karena telah memiliki kesiapan yang lebih matang, sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan awal matematis rendah akan lebih sulit menghadapi materi selanjutnya karena kesiapan siswa ini tentunya masih belum matang sehingga sulit bagi siswa yang berada pada kelompok ini untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Kemampuan awal matematis siswa yang berada pada kelompok sedang bersifat stabil dalam mengikuti pelajaran selanjutnya, karena siswa yang berada pada kelompok ini memiliki kesiapan dalam menghadapi materi selanjutnya. Kecakapan matematika yang sudah dimiliki siswa untuk mempelajari materi selanjutnya disebut kemampuan awal matematis. Untuk mengetahui kemampuan awal matematis yang dimiliki oleh siswa guru dapat melaksanakan tes baik tertulis maupun lisan yang mencakup materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar mengajar adalah kemampuan awal siswa. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan awal matematis siswa adalah kecakapan matematika siswa berkenaan dengan kemampuan siswa untuk mempelajari materi selanjutnya, 52 dengan kata lain kemampuan awal matematis siswa adalah kemampuan matematika yang telah dimiliki siswa sebelumnya untuk melanjutkan mempelajari materi yang lebih luas dan tinggi lagi. 2.1.9. Interaksi Kerlinger (2006) menyatakan bahwa interaksi adalah kerja sama antar dua variabel bebas atau lebih dalam mempengaruhi variabel terikat, atau dapat juga dikatakan bahwa interaksi merupakan pengaruh dari suatu variabel bebas terhadap variabel terikat pada taraf atau tingkat variabel bebas lainnya. Misalnya interaksi antara dua pembelajaran dengan kemampuan awal matematis siswa (rendah, sedang, dan tinggi) terhadap hasil belajar siswa. Hal ini penting dianalisis untuk melihat apakah baiknya suatu variabel bebas atau variabel bebas lainnya (misalnya pembelajaran A dan B) berlaku secara general atau tidak untuk setiap tingkat dari suatu variabel bebas lain (misal kemampuan awal rendah, sedang, dan tinggi). Menurut Glass dan Hopkins (1996) “In many research studies, although an interaction in not expected, ancillary factors are often included so that generalizability of the study can be empirically assesed”. Pada umumnya studi penelitian tidak melihat ada tidaknya interaksi tetapi hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung dalam penelitian. Kerlinger (2006) menyatakan bahwa interaksi terjadi manakala suatu variabel bebas memiliki efek-efek berbeda terhadap suatu variabel terikat pada berbagai tingkat dari suatu variabel bebas lain. Pada penelitian ini, interaksi yang akan dianalisis adalah interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa. Hasil penelitian yang diharapkan adalah terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haeruman, Rahayu, dan Ambarwati (2017) yang menyatakan bahwa interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis peserta didik memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 53 Adanya interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Siregar, Deniyanti, dan Hakim (2018). Hasil pengujian dengan ANAVA Dua Jalur menghasilkan nilai signifikansi untuk KAM*Model kurang dari 0,05, yaitu 0,004 (0,004 < 0,05), yang berarti terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa yang berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis. Hal ini disebabkan oleh optimalisasi pemanfaatan kemampuan awal matematika pada kegiatam pembelajaran dapat membantu mempermudah dan mempercepat proses konstruksi dan asimilasi pengetahuan. 2.1.10. Penelitian yang Relevan Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Dari penelitian sebelumya tentunya bisa diambil gambaran tentang penggunaan model penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika. Hasil penelitian Matthew (2013) di Nigeria, menunjukkan bahwa prestasi kognitif siswa lebih baik dengan menggunakan metode mengajar penemuan terbimbing daripada menggunakan metode mengajar konvensional. Ia menambahkan bahwa penggunaan model penemuan terbimbing mampu membantu siswa dalam proses belajar sehingga memperoleh hasil yang sangat baik dan lebih efektif. Begitu juga dengan Vlassi dan Karaliota (2013) di Yunani menemukan bahwa perbandingan penerapan metode penemuan terbimbing dan metode tradisional menunjukkan hasil signifikan pada kemampuan kognitif siswa. Kedua hasil penelitian tersebut sama-sama menemukan bahwa penggunaan model pembelajaran penemuan terbimbing dapat meningkatkan aspek kemampuan kognitif siswa. Keduanya membandingkan pembelajaran penemuan terbimbing dengan pembelajaran konvensional. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Azizmalayeri, Jafari, Sharif, Asgari dan Omidi (2012) di Iran menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh signifikan antara metode mengajar penemuan terbimbing terhadap skor total kemampuan berpikir kritis siswa. Mereka menambahkan bahwa kolaborasi 54 diskusi kelompok dianggap sebagai suatu kondisi penting dalam pelaksanaan metode penemuan terbimbing. Aktivitas pada pembelajaran penemuan yang menuntut siswa untuk terlibat aktif dalam proses penyelesaian masalah juga turut mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hal ini disampaikan oleh Martaida, Bukit, dan Ginting (2017) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pembelajaran penemuan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa sekolah menengah. Mereka menyatakan bahwa masalah yang disajikan mampu dijawab oleh siswa melalui aktivitas-aktivitas penelitian atau melalui eksperimen yang dilakukan. Selain aktivitas, faktor lain yang juga dikemukakan oleh ketiganya adalah karena dengan pembelajaran penemuan siswa dilatih untuk berpikir secara logis dan sistematis yang merupakan bagian dari metode-metode ilmiah. Pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah melalui proses penemuan memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian Lee, Puspitasari, Kim, dan Jeong (2012) di Florida yang menyatakan bahwa proses siswa menanggapi pertanyaan-pertanyaan inkuiri merangsang siswa untuk menganalisis informasi dalam suatu konteks kompleks yang diberikan, dan kemudian berpikir lebih luas atau dalam untuk mengeluarkan idenya, membuktikan, dan merefleksikan pendapat mereka. Ini berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan inkuiri membantu siswa dengan baik untuk menguasai kemampuan berpikir kritis siswa yang di dalamnya termasuk proses analisis, pengajuan pendapat atau ide, pembuktian, dan refleksi. Selain berpengaruh positif terhadap kemampuan kognitif siswa, dalam hal ini adalah kemampuan berpikir kritis, model pembelajaran penemuan terbimbing juga memberikan konstribusi yang baik terhadap kemandirian belajar siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sen dan Yilmaz (2015) di Turki menyatakan hal demikian, Analisis Multivariat yang digunakan untuk melihat pengaruh model pembelajaran penemuan terbimbing berorientasi pada proses memberikan hasil bahwa model tersebut berhasil meningkatkan nilai tugas, kontrol kepercayaan pembelajaran, kepercayaan diri terhadap belajar dan hasil belajar, kemampuan berpikir kritis, belajar berpasangan, kemandirian belajar, pengendalian usaha, dan 55 manajemen waktu belajar siswa. Keduanya menyimpulkan bahwa pembelajaran penemuan terbimbing berorientasi pada proses tersebut baik, positif, dan bermanfaat dalam pengembangan kemandirian belajar siswa. Sun, Xie, dan Anderman (2018) juga meyakini bahwa kemandirian belajar siswa yang baik sangat diharapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini disebabkan karena kemandirian belajar siswa dalam matematika berkorelasi kuat dengan prestasi akademik siswa yang diharapkan baik dalam tujuan pembelajaran. Semakin baik kemandirian belajar siswa maka semakin baik pula prestasi akademiknya. Aktivitas atau kegiatan dalam pembelajaran penemuan terbimbing diyakini mampu memperbaiki kemandirian belajar siswa menjadi lebih baik dan sesuai dengan harapan pembelajaran. Hal ini senada dengan pernyataan Nasution, Surya, dan Syahputra (2015) bahwa kemandirian belajar siswa meningkat apabila pembelajaran yang diterapkan di kelas menuntut siswa untuk mencari tahu, menemukan sendiri, serta mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan menggunakan beberapa informasi yang diperoleh atau pengalaman belajar yang pernah diperoleh sebelumnya. Ini sesuai dengan pembelajaran penemuan terbimbing yang juga memaksimalkan aktivitas berpikir siswa, aktivitas diskusi siswa atau aktivitas kerja siswa dalam memecahkan masalah yang diajukan kepadanya. Pengintegrasian konteks dan nilai budaya dalam pembelajaran juga memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Keberhasilan proses pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marheni dan Suardana (2014) mengungkapkan bahwa baik guru maupun siswa menunjukan respon atau tanggapan yang positif terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis budaya lokal. Siswa berpendapat bahwa dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis budaya lokal dapat: memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengemukakan hasil penyelidikan melalui diskusi kelas, mendorong mereka bekerja sama dalam kelompoknya, memberikan mereka kesempatan melakukan percobaan untuk memecahkan masalah yang diberikan, berpartisipasi 56 secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung, membuat suasana belajar lebih menyenangkan, memudahkan mereka memahami materi yang diajarkan, dan membuat mereka mengetahui aplikasi konsep-konsep yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat siswa mengenai pembelajaran berbasis budaya lokal di atas diperkuat oleh Izmirli (2011) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa “Ethnomathematics can make learners do think mathematically and epistemology and it is our responsibility as educators to recognize and appreciate the modes of mathematical reasoning. It will conduct and facilitate students’ understanding of the cultural aspects of mathematics.” Ini menunjukkan bahwa Etnomatematika (pembelajaran matematika yang menggunakan budaya) dapat membuat peserta didik berpikir matematis dan epistemologi dan itu adalah tanggung jawab kita sebagai pendidik untuk mengenali dan menghargai beragam penalaran matematis peserta didik. Ini akan mendukung dan memfasilitasi pemahaman siswa dari aspek budaya matematika. Penelitian yang dilakukan oleh Arisetyawan, Suryadi, Herman, dan Rahmat (2014) juga membuktikan bahwa budaya yang dikaitkan dalam pembelajaran mampu meningkatkan kemampuan siswa. Hal ini terlihat pada kutipan dalam jurnalnya, yaitu “The model implementation of culture based learning ... must emphasize on the estabilishment of a positive character that reflect the cultural values of the nation besides improving the cognitive aspect student”, yang maknanya adalah bahwa penerapan pembelajaran berbasis budaya tidak hanya dapat memperbaiki kognitif siswa tetapi juga dapat membangun karakter yang positif bagi siswa. Oleh karena itu, pengintegrasian nilai budaya dalam pembelajaran dirasakan penting dan harus kembali mulai diterapkan di sekolah dasar dan menengah. Berdasarkan hasil penelitian yang relevan di atas disimpulkan bahwasanya dengan pembelajaran penemuan terbimbing memberikan kontribusi positif terhadap kemampuan kognitif dan afektif siswa. Dengan melihat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk dapat menindaklanjuti dan mengkombinasi penelitian-penelitian tersebut dengan harapan bahwa pembelajaran penemuan 57 terbimbing berbasis konteks budaya Nias memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa. 2.2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan sarana peneliti untuk menganalisa secara terstruktur dan berargumentasi tentang kecenderungan dugaan kemana penelitian akan berlangsung. Kerangka konseptual dalam penelitian ini didasarkan pada latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Adapun aspek yang akan dibahas dan dikaji adalah sebagai berikut. 2.2.1. Pengaruh Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis Konteks Budaya Nias terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang disengaja atau direncanakan oleh pembelajaran dalam bentuk suatu aktivitas belajar tertentu. Aktivitas ini menunjukkan pada keaktifan siswa dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu, baik pada aspek-aspek jasmaniah maupun aspek mental yang memungkinkan terjadinya perubahan pada dirinya. Suatu kegiatan belajar dikatakan baik, bilamana intensitas keaktifan jasmaniah maupun mental siswa semakin tinggi. Sebaliknya meskipun siswa dikatakan belajar, namun bilamana keaktifan jasmaniah dan mental rendah berarti kegiatan belajar tersebut tidak dilakukan secara insentif. Dengan demikian, kita memahami bahwa peningkatan belajar siswa bertolak dari aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran, siswa dituntut untuk aktif dalam pembelajaran bukan hanya transfer ilmu dari guru, melainkan guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kemampuan matematika yang dianggap penting bagi siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar 58 yang mempunyai kemampuan memecahkan masalah pada dasarnya merupakan tujuan pendidikan, siswa dituntut untuk memecahkan masalah sehingga kemampuan berpikir kritis matematis siswa meningkat. Pengetahuan dan kemampuan guru mengenai pembelajaran dan melaksanakannya dalam kelas penting sebagai salah satu upaya pemberian pengalaman belajar dan pencapaian tujuan belajar siswa semaksimal mungkin. Belajar dengan model penemuan terbimbing akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hal ini dikarenakan siswa sendirilah yang menemukan konsepnya dan menguasai benar temuannya. Disamping itu, model pembelajaran penemuan terbimbing yang merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsipprinsip konstruktivis dengan kegiatan pembelajaran yang diawali dengan pengajuan pertanyaan tertulis tentang materi yang akan dipelajari, tentunya memberikan stimulus bagi siswa yang mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hal tersebut didukung juga dengan materi pembelajaran yang berkaitan dengan konteks budaya yang sudah familiar dengan lingkungan belajar siswa. Pengintegrasian konteks budaya dalam proses pembelajaran matematika memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir matematis siswa. Siswa merasa dekat dengan apa yang sedang dipelajari karena merasa dirinya merupakan bagian dari pembelajaran. Siswa akan termotivasi untuk belajar dan menyelesaikan masalah yang diberikan. Sedangkan belajar dengan pembelajaran ekspositori, guru berperan aktif sebagai informator dan fasilitator dalam pembelajaran. Hal ini menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa menerima penuh akan materi yang disampaikan guru dengan tanpa stimulus yang mampu merangsang respon berpikir kritis matematis siswa. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis matematis siswa tidak terhiraukan dengan maksimal dalam pembelajaran dengan pembelajaran ekspositori. Oleh karena itu, penerapan pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias dinilai mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 59 2.2.2. Pengaruh Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis Konteks Budaya Nias terhadap Kemandirian Belajar Siswa Upaya meningkatkan kemandirian belajar siswa, diantaranya dengan memberikan kebebasan dalam belajar kepada siswa dengan sedikit bantuan dari guru. Untuk menciptakan kebebasan dalam belajar kepada siswa diperlukan tindakan efektif dari guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang menunjang kemandirian belajar siswa. Pembelajaran penemuan terbimbing memberikan sumbangan positif kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. Dengan adanya prinsip dalam model pembelajaran penemuan terbimbing yang menyatakan bahwa peserta didik terlibat langsung dalam pembelajarannya dan dapat merefleksikan pengalamannya, peserta didik belajar dengan membangun apa yang mereka sudah tahu, peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui bimbingan pada titik-titik kritis dalam proses pembelajaran, peserta didik memiliki cara yang berbeda dalam pembelajaran, peserta didik belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain, dan peserta didik belajar melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan perkembangan kognitif mereka, hal tersebut secara keseluruhan tentunya dapat menjadikan siswa yang lebih mandiri dalam pembelajaran menyertai gaya belajar mereka masing-masing. Selain itu, kegiatan dalam proses pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya jelas dapat menunjang kemandirian siswa dalam belajar yaitu membangun kemampuan mental siswa dalam seluruh proses pembelajaran, efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi siswa disamping guru yang berperanserta membantu mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang topik-topik yang jelas, siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berpikir karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi, mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, objektif, dan terbuka, dan mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri. Dengan demikian, diyakini bahwa model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa. 60 2.2.3. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematis terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Model pembelajaran penemuan terbimbing merupakan model pembelajaran yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan atau seluruhnya ditemukan sendiri, penemuan disini bukanlah penemuan yang sungguh-sungguh, tetapi menemukan lagi bukan menemukan yang sama sekali baru. Bagian dari konsep model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias menuntut siswa yang berkecakapan sosial, bahasa, dan kemampuan membaca, serta mengkonstruksi pemahaman sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tentunya tidak sepenuhnya terpenuhi jika diterapkan pada siswa yang berkemampuan awal rendah, sedang, dan tinggi. Siswa yang berkemampuan awal rendah cenderung sulit untuk mengikuti pembelajaran yang bersifat menemukan walaupun dengan bimbingan dari guru. Bahkan yang sepenuhnya dibimbing dan diarahkan penuh oleh guru sekalipun belum sepenuhnya mampu diserap secara maksimal oleh siswa berkemampuan awal rendah. Berbeda dengan siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi, dimungkinkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang lebih maksimal dengan adanya pemberian pertanyaanpertanyaan disertai bimbingan guru dalam model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias. Disamping itu, model pembelajaran ekspositori yang memaksimalkan peran serta guru dalam pembelajaran akan memaksimalkan secara merata penyerapan materi pelajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Siswa dengan kemampuan awal yang rendah, sedang, dan tinggi senantiasa mendapat pembelajaran secara keseluruhan bersumber dari guru. Yang artinya informasi dalam materi pelajaran sudah lebih akurat karena disampaikan langsung oleh guru tanpa siswa harus menemukan atau menerka hasil dari permasalahan yang diajukan dalam pembelajaran. Perlakuan yang demikian memungkinkan siswa yang berkemampuan awal rendah sekalipun akan mendapat prioritas dan materi yang tersaji secara keseluruhan, sehingga kemampuan berpikir kritisnyapun dimungkinkan lebih tinggi dari siswa yang berkemampuan 61 awal rendah pada model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias. Berbanding terbalik dengan pernyataan tersebut, siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi senantiasa lebih cenderung untuk belajar secara mandiri disertai sedikit bimbingan oleh guru, bukan guru yang berperan penuh sebagai informator. Sehingga, kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi pada model pembelajaran ekspositori diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi pada model pembelajaran penemuan terbimbing. Berdasarkan penjelasan di atas, maka diduga terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 2.2.4. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematis terhadap Kemandirian Belajar Siswa Dalam proses pembelajaran dengan penemuan terbimbing, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip bekerja secara maksimal. Disamping itu, bagian dari prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing adalah peserta didik belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain, dan peserta didik belajar melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan perkembangan kognitif mereka. Penjelasan di atas dimungkinkan akan berjalan secara efektif pada siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi, sedangkan siswa yang berkemampuan awal rendah akan memiliki kemandirian belajar yang rendah pula. Hal ini dikarenakan kesulitan yang dialami siswa yang berkemampuan awal rendah dalam memecahkan masalah yang diajukan, sehingga meredupkan motivasi dan kemandirian belajar siswa tersebut. Berbeda dengan model pembelajaran penemuan terbimbing, pembelajaran dengan model ekspositori yang lebih dikendalikan oleh guru tentunya lebih baik 62 dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa yang berkemampuan awal rendah, yang juga berperan dalam meningkatkan kemandirian belajar siswa. Peran guru diprioritaskan secara maksimal dalam pembelajaran menjadikan siswa yang lebih terangsang untuk memberikan respon positif dalam kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi, pada siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi, model pembelajaran ekspositori diprediksi akan memiliki kemandirian belajar yang lebih rendah dibandingkan siswa yang berkemampuan awal yang sama pada model pembelajaran penemuan terbimbing. Hal tersebut disebabkan karena peran maksimal guru dan keterlibatan aktivitas siswa yang kurang maksimal pada model pembelajaran ekspositori yang mengakibatkan kemandirian belajar siswa yang rendah dalam pembelajaran tersebut. Dengan demikian, maka diperkirakan terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis terhadap kemandirian belajar siswa. 2.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka konseptual di atas, dapat dibentuk suatu hipotesis penelitian yang merupakan jawaban sementara terhadap penelitian yang akan dilakukan. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 2. Terdapat pengaruh model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks budaya Nias yang signifikan terhadap kemandirian belajar siswa. 3. Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 4. Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis terhadap kemandirian belajar siswa.