Uploaded by ekanurbenny

4. BAB II

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab
ini
akan
membahas
mengenai
teori-teori
pendukung
yang
berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya kemampuan
berpikir kritis matematis, kemandirian belajar siswa, model pembelajaran
penemuan terbimbing, model pembelajaran ekspositori, teori belajar yang
mendukung model pembelajaran penemuan terbimbing, budaya Nias, dan
penelitian yang relevan, serta hal-hal yang dianggap perlu pada sub-sub bab ini.
Adapun maksud dari teori ini dipaparkan agar mempermudah pembahasan
penelitian sesuai dengan indikator variabel yang sudah ditentukan.
2.1.
Kerangka Teoritis
2.1.1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Berpikir merupakan hal yang penting bagi manusia sebagai upaya menjadi
manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan Hassoubah (2004) “Sebagai manusia
kita telah dikaruniai potensi untuk berpikir dengan baik. Melalui pembinaan yang
tepat, pendidikan, pembelajaran dan pengamatan kita dapat berkembang dan
berpikir dengan baik”. Sehingga dengan cara yang tepat kemampuan berpikir
manusia dapat ditingkatkan sehingga dapat menyelesaikan masalah yang ditemui
dalam kehidupan.
Presseisen (dalam Hasibuan, 2013) membedakan kemampuan berpikir
menjadi dua bagian yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir
tinggi. Kemampuan berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir
rasional dan esensial, meliputi menentukan hubungan sebab akibat, melakukan
tranformasi, menemukan hubungan, memberikan kualifikasi, dan membuat
klasifikasi. Sedangkan yang termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat
tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir
kreatif, dan berpikir kritis.
Jadi, berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat
tinggi.
Sesesorang
yang
mampu
berpikir
kritis,
tidak
hanya
sekedar
menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan alasan yang masuk akal
18
19
atas solusi yang ia berikan, karena pada dasarnya berpikir merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Sejalan dengan yang
dikemukakan Suryabrata (2010) yaitu berpikir pada pokoknya ada tiga langkah,
yaitu: (1) pembentukan pengertian; (2) pembentukan pendapat; dan (3) penarikan
kesimpulan. Ini berarti berpikir merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai
kesimpulan berdasarkan pada pertimbangan yang seksama.
Dewey (dalam Fisher, 2009) mendefinisikan berpikir kritis sebagai
“Pertimbangan yang aktif, persistent (terus menerus), dan teliti mengenai sebuah
keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari
sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan
yang menjadi kecenderungannya”. Berpikir kritis merupakan sebuah proses aktif
yang tidak menerima begitu saja informasi dan gagasan dari orang lain, tetapi
proses dimana kita memikirkan sendiri, menganalisis, dan melakukan berbagai hal
secara teliti, kemudian mengajukan berbagai pertanyaan tentang yang kita
pikirkan dan menemukan informasi yang relevan tentang apa yang dipikirkan.
Sehingga pengambilan keputusan merupakan hasil pertimbangan dan pemikiran
yang mendalam.
Selanjutnya Hasratuddin (2013) menyatakan:
Berpikir kritis adalah mencari pernyataan yang jelas dari suatu
pertanyaan, mencari alasan, memakai sumber yang memiliki
kredibilitas, memperhatikan situasi dan kondisi secara menyeluruh,
berusaha tetap relevan dengan ide utama dan mendasar, mencari
alternatif, bersikap dan berpikir terbuka, mencari alasan-alasan yang
logis dan peka terhadap ilmu lain.
Hasratuddin mendefinisikan berpikir kritis dari semua sisi. Beliau
mensyaratkan pemilihan sumber yang dapat dipercaya dalam pemberian alasan
dan
mencari
jawaban
dari
suatu
permasalahan.
Selain
itu
harus
mempertimbangkan unsur logika, keterbukaan akan alternatif penyelesaian tanpa
melupakan relevansi dengan ide utama serta peka terhadap ilmu lain.
Selanjutnya berpikir kritis menurut Lau (1968) adalah “Thinking clearly
and rationally. It involves thinking precisely and systematically, and following the
rules of logic and scientific reasoning, among other things”. Maknanya adalah
berpikir jernih dan rasional, yang melibatkan berpikir tepat dan sistematis, dan
20
mengikuti aturan logika dan penalaran ilmiah. Fisher (2009) juga menyatakan
bahwa berpikir kritis adalah sejenis berpikir evaluatif yang mencakup baik itu
kritik maupun berpikir kreatif dan yang lebih khusus berhubungan dengan kualitas
pemikiran atau argumen yang disajikan untuk mendukung suatu keyakinan atau
rentetan tindakan. Glaser (dalam Fisher, 2009), salah seorang dari penulis
Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal mengartikan berpikir kritis sebagai:
(1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalahmasalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman
seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan
penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk
menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya
keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif
berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan
lanjutan yang diakibatkannya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diungkapkan beberapa hal
penting tentang berpikir kritis. Pertama, kegiatan berpikir kritis adalah kegiatan
berpikir dalam memahami masalah secara aktif, mengumpulkan informasi,
bernalar, membuat keputusan yang melibatkan berpikir tepat dan sistematis, dan
mengikuti aturan logika dan penalaran ilmiah dan berargumentasi tentang
keputusan tersebut. Sesesorang yang mampu berpikir kritis, tidak hanya sekedar
menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan alasan yang masuk akal
atas jawaban atau solusi yang ia berikan. Kedua, kegiatan berpikir kritis
merupakan sejenis berpikir evaluatif yang bertujuan untuk mempertimbangkan
dan mengevaluasi informasi berdasarkan bukti-bukti pendukungnya yang pada
akhirnya memungkinkan untuk membuat keputusan.
Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang
untuk menganalisis dan merefleksikan hasil pemikirannya. Disamping itu
matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif, maka harus ada alasan yang
tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Selanjutnya, penarikan
kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah dari alasan-alasan
ke kesimpulan adalah masuk akal dan logis (Hasratuddin, 2009). Maka
kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
menganalisis, merefleksikan hasil pemikirannya dan penarikan kesimpulan yang
berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal dan logis.
21
Menurut
Palinnusa
(2013)
“Critical
thinking
indicators
include
identifying, connecting, analyzing and solving mathematical problems”, artinya
indikator kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan dalam mengidentifikasi
masalah, menghubungkan, menganalisis dan memecahkan masalah matematika.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Yuniarti (2009) yaitu untuk bisa dinamakan
pemikir kritis, siswa harus dilatih atau dihadapkan dengan masalah-masalah atau
pertanyaan-pertanyaan kompleks dalam aktivitas mental seperti pemecahan
masalah, menganalisis, dan mengevaluasi.
Sedangkan menurut Gokhale (dalam Sumarmo, 2013) mendefinisikan soal
berpikir kritis adalah soal yang melibatkan analisis, sintesis, dan evaluasi dari
suatu konsep. Menurut Trilling dan Fadel (2009) “Critical thinking skills the
ability to analyze, interprete, evaluate, summarize, and synthesize all this
information”, kemampuan berpikir kritis terdiri dari kemampuan menganalisis,
menafsirkan, mengevaluasi, meringkas, dan mensintesis semua informasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan berpikir tinggi yang karakteristik berpikirnya adalah
menganalisis,
mensintesis,
mengenal
dan
memecahkan
masalah,
serta
menyimpulkan yang dijabarkan (Harahap, 2012) sebagai berikut:
1.
Menganalisis
Menganalisis adalah kemampuan memisahkan informasi ke dalam bagianbagian yang lebih kecil atau terperinci, mencari hubungan antara bagianbagian dan mampu melihat komponen-komponen itu berhubungan serta
melihat pengorganisasian komponen-komponen tersebut.
2.
Mensintesis
Mensintesis adalah kemampuan bekerja dengan bagian-bagiannya, unsurunsurnya, dan mampu menyusun menjadi suatu pola baru dan terstruktur.
Kemampuan mensintesis menuntut siswa untuk menyatukan semua informasi
yang diperolehnya sehingga menciptakan ide baru.
3.
Mengenal dan Memecahkan Masalah
Dalam mengenal dan memecahkan masalah, siswa dituntut untuk memahami
bacaan dengan kritis sehingga mampu menangkap pikiran pokok bacaan, dan
mampu membuat pola dari sebuah konsep.
22
4.
Menyimpulkan
Menyimpulkan menuntut siswa agar mampu menguraikan dan memahami
berbagai aspek secara bertahap agar sampai pada sebuah kesimpulan.
Kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan
pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau
pengetahuan yang baru.
Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam
berpikir dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang
lainnya dengan lebih akurat. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis
membutuhkan pemecahan masalah dan pencarian solusi. Kemampuan berpikir
kritis dapat dikembangkan dengan cara melatih siswa mengatasi masalah-masalah
sederhana yang konkret yang ada di sekitarnya. Kemampuan berpikir kritis dapat
terjadi pada saat siswa mencoba memahami penjelasan dari orang lain, ketika
mereka bertanya, dan ketika mereka menjelaskan atau menyelidiki kebenaran ide
mereka sendiri.
Lau (1968) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis
adalah seseorang yang melakukan hal-hal berikut:
(1) Understand the logical connections between ideas; (2) formulate
ideas succinctly and precisely; (3) identify, construct, and evaluate
arguments; (4) evaluate the pros and cons of a decision; (5) evaluate
the evidence for and against a hypothesis; (6) detect inconsistencies
and common mistakes in reasoning; (7) analyze problems
systematically; (8) identify the relevance and importance of ideas:
(9) justify one's beliefs and values; (10) reflect and evaluate one's
thinking skills.
Maknanya adalah (1) memahami hubungan logis antara ide-ide; (2)
merumuskan ide ringkas dan tepat; (3) mengidentifikasi, membangun, dan
mengevaluasi argumen; mengevaluasi pro dan kontra dari keputusan; (4)
mengevaluasi bukti dan terhadap hipotesis; (5) mendeteksi inkonsistensi dan
kesalahan umum dalam penalaran; (6) menganalisis masalah secara sistematis. (7)
mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide; (8) membenarkan keyakinan dan
nilai-nilai seseorang; dan (9) mencerminkan dan mengevaluasi kemampuan
seseorang berpikir.
23
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai kemampuan berpikir kritis yang
diungkapkan di atas, maka kemampuan berpikir kritis matematis pada penelitian
ini adalah adalah kesanggupan atau kecakapan berpikir matematis yang masuk
akal dan reflektif pada seseorang untuk mengambil suatu keputusan yang diyakini
dan dipercayai kebenarannya yang meliputi kemampuan: (1) analisis; (2) sintesis;
(3) mengenal dan memecahkan masalah; dan (4) menyimpulkan.
2.1.2. Kemandirian Belajar
Reformasi pembelajaran di sekolah banyak diperbincangkan di dunia
pendidikan, yang sebelumnya hanya berpusat pada guru berubah menjadi berpusat
pada siswa. Artinya belajar bukan hanya menjadi tanggung jawab guru semata,
tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan siswa. Hal ini tentunya
menuntut siswa untuk menjadi siswa yang mandiri. Dengan siswa menjadi
mandiri maka siswa banyak memperoleh sikap-sikap positif yang mengiringinya.
Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan dapat berdiri
sendiri tidak bergantung pada orang lain, atau menggunakan kemampuannya
sendiri. Kemandirian belajar berkaitan dengan bagaimana siswa menjadi
pemimpin dari proses belajar mereka sendiri. Seorang siswa yang mandiri adalah
seseorang yang memiliki kemauan yang kuat sehingga dapat terlibat aktif dalam
memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya untuk menguasai suatu
kompetensi guna mengatasi suatu masalah, serta dapat dibangun dengan bekal
pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki.
Menurut Mudjiman (2011) kemandirian belajar anak adalah kegiatan
belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu
kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal
pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Zimmerman (2008) menjelaskan
kemandirian belajar merupakan tingkatan aspek metakognisi, motivasi dan
tingkah laku siswa ketika aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran mereka
sendiri. Siswa tersebut dengan sendirinya memulai usaha belajar mereka secara
langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang mereka inginkan,
tanpa tergantung pada guru, orang tua atau orang lain. Chamot (dalam Ellianawati
dan Wahyuni, 2010) menyatakan bahwa kemandirian belajar adalah sebuah situasi
24
belajar dimana siswa memiliki kontrol terhadap proses pembelajaran tersebut
melalui pengetahuan dan penerapan strategi yang sesuai, pemahaman terhadap
tugas-tugasnya, penguatan dalam pengambilan keputusan dan motivasi belajar.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat ada dua ciri khusus untuk
memahami kemandirian belajar, yaitu: 1) siswa diasumsikan memiliki kesadaran
diri atas potensial yang dimiliki dan dapat menggunakan secara baik dalam proses
pengaturan diri atas potensi yang dimiliki dan dapat menggunakan secara baik
dalam proses pengaturan diri untuk mencapai hasil belajar yang optimal; 2) siswa
memiliki orientasi diri terhadap siklus umpan balik selama proses belajar
berlangsung. Dalam siklus umpan balik tersebut memonitor derajat efektivitas
metode belajar atau strategi belajar dan respon-respon yang dilakukan untuk
mencapai hasil melalui berbagai cara yang senantiasa diperbaiki.
Kemandirian belajar memiliki manfaat yang banyak terhadap kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa (Yamin, 2013), yaitu: (1) mengasah
multiple intelligences; (2) mempertajam analisis; (3) memupuk tanggung jawab;
(4) mengembangkan daya tahan mental; (5) meningkatkan keterampilan; (6)
memecahkan masalah; (7) mengambil keputusan; (8) berpikir kreatif; (9) berpikir
kritis; (10) percaya diri yang kuat; dan (11) menjadi guru bagi dirinya sendiri.
Siswa yang memiliki kemandirian belajar yang kuat dan positif mampu
menentukan sendiri tujuan belajarnya, mampu menunjukkan rasa kemampuan diri
untuk meraih target yang hendak dicapai, penataan lingkungan untuk menopang
pencapain target, menentukan sendiri bagaimana mendapatkan social support,
melakukan evaluasi diri, dan memonitor kegiatan belajarnya. Menurut
Zimmerman (2008), siklus kemandirian belajar terdiri dari tiga fase yaitu:
(1) Fase pemikirian awal (Forethought Phase)
Fase ini meliputi hal-hal yang mempengaruhi proses kemandirian belajar
dan keyakinan siswa, serta menetapkan tujuan belajar. Fase ini terdiri dari:
a. Penetapan tujuan (goal setting)
Siswa harus menentukan tujuan/target belajar mereka sendiri sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
b. Perencanaan strategi (strategic planning)
25
Siswa memiliki strategi-strategi atau metode belajar agar tercapai tujuan
belajar yang telah dirumuskan sebelumnya.
c. Kepercayaan diri (self efficacy)
Siswa memiliki keyakinan akan kemampuan untuk melaksanakan proses
belajar atau mengerjakan tugas pada tingkatan yang ditetapkan.
d. Orientasi tujuan (goal orientation)
Keyakinan mengenai tujuan belajar siswa yang memiliki learning goal
orientation cenderung untuk fokus pada kemajuan belajar mereka daripada
persaingan yang ada dan mereka cenderung untuk belajar lebih efektif dari
siswa yang memiliki performance goal orientation.
e. Ketertarikan instrinsik (instrinsic interest)
Siswa yang memiliki ketertarikan terhadap tugas sekolahnya akan terus
berusaha untuk belajar walaupun tidak diberi reward.
(2) Fase Performasi (Performance Phase)
Fase ini meliputi proses yang terjadi selama belajar dan hal apa saja yang
mempengaruhi perhatian siswa terhadap tugas serta tindakan yang dilakukan pada
saat belajar atau mengerjakan tugas. Fase ini terdiri dari:
a. Memfokuskan perhatian (attention focusing)
Menekankan pada kebutuhan siswa untuk tetap fokus dari hal-hal yang
dapat mengganggu proses belajar serta dari persaingan yang ada.
b. Instruksi diri (self instruction)
Siswa
memberitahukan
pada
dirinya
sendiri
bagaimana
cara
menyelesaikan tugas dengan menggunakan strategi yang sudah ditetapkan.
c. Memperhatikan diri (self monitoring)
Siswa dengan sengaja terus-menerus memberikan perhatian terhadap
perkembangan belajar mereka.
(3) Fase Refleksi Diri (Self Reflection Phase)
Fase ini terjadi setelah siswa menampilkan tugas yang dikerjakannya dan
siswa memberikan evaluasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan. Fase ini
terdiri dari:
a. Evaluasi diri (self evaluation)
26
Siswa mengevaluasi apakah hal-hal yang mereka pelajari sudah mencapai
tujuan yang mereka rumuskan sebelumnya.
b. Atribusi (attribution)
Proses ini sangat penting dalam self reflection karena kesalahan atribusi
terhadap kemampuan siswa bereaksi negatif dan akhirnya menyerah.
Atribusi ini dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan seperti goal
orientation, kondisi tugas, dan seberapa bagus orang lain mengenakan
tugas yang ditentukan. Self regulated learning cenderung mengganggap
penyebab satu kegagalan karena kesalahan dalam pemeriksaan sedangkan
penyebab dari kesuksesan karena kompetensi dari yang dimiliki.
c. Reaksi diri (self reaction)
Siswa membuat respon evaluatif terhadap pertunjukan diri mereka sendiri
(seperti baik atau buruk).
d. Kemampuan beradaptasi (adaptiving)
Siswa mampu menyesuaikan strategi yang sudah digunakan dengan tugas
berikutnya. Jika strategi yang digunakan sebelumnya tidak sesuai maka
siswa mampu mencari inisiatif sendiri untuk menentukan strategi lain yang
sesuai. Proses adaptasi ini membutuhkan latihan yang berulang-ulang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian
belajar adalah sebuah situasi belajar dimana siswa mampu untuk mengatur
kegiatan belajarnya sendiri, memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya
untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah.
Menurut Sumarmo (2004) indikator kemandirian belajar meliputi: (1)
inisiatif belajar, (2) mendiagnosis kebutuhan belajar, (3) mengatur dan
mengontrol kemajuan belajar, (4) menetapkan target dan tujuan belajar, (5)
memandang kesulitan sebagai tantangan, (6) mencari dan memanfaatkan sumber
belajar yang relevan, (7) memilih dan menerapkan strategi belajar, (8)
mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan (9) memiliki konsep diri. Kesembilan
indikator kemandirian belajar ini merupakan indikator kemandirian belajar yang
digunakan pada penelitian ini.
27
2.1.3. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Model pembelajaran penemuan terbimbing merupakan suatu model
pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang
pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih
dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara
konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa, sedangkan peranan
guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip untuk diri
mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan
kelas. Menurut Suryosubroto (dalam Padiyadi, 2008), discovery merupakan
bagian dari inquiry, inquiry merupakan perluasan proses discovery yang
digunakan lebih mendalam.
Penemuan yang dimaksudkan disini bukanlah suatu model pembelajaran
yang dilakukan untuk menemukan sesuatu hal yang benar-benar baru, tetapi
dalam model ini siswa diharapkan menemukan pengetahuannya secara aktif
seperti dengan melakukan terkaan, perkiraan, dan coba-coba sehingga siswa dapat
menemukan
konsep,
rumus
dan
sejenisnya.
Suherman
(2003)
juga
mengemukakan bahwa model penemuan merupakan model yang dilakukan oleh
siswa dalam menemukan hal-hal yang baru, menemukan disini tidak berarti halhal yang ditemukan benar-benar baru. Hal-hal baru bagi siswa yang diharapkan
ditemukan yaitu dapat berupa konsep, teorema, rumus, pola, aturan dan
sejenisnya. Untuk dapat menemukan, mereka harus melakukan terkaan, dugaan,
perkiraan, dan coba-coba sesuai dengan pengalamannya. Pembelajaran dengan
model penemuan berharap agar siswa benar-benar aktif belajar menemukan
sendiri bahan yang dipelajarinya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ruseffendi (2006) model
pembelajaran penemuan adalah model pembelajaran yang diatur sedemikian rupa
sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya yang belum
diketahuinya tidak melalui pemberitahuan atau seluruhnya ditemukan sendiri,
penemuan disini bukanlah penemuan yang sungguh-sungguh, tetapi menemukan
lagi bukan menemukan yang sama sekali baru.
Penemuan yang dimaksud yaitu siswa menemukan konsep melalui
bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian besar siswa
28
masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Model
pembelajaran ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika dan sesuai
dengan karakteristik matematika. Guru membimbing siswa dengan memberi
arahan (guided) dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat
menemukan prinsip umum berdasarkan arahan atau pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada
kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.
Menurut
pendapat
Slavin
(dalam
Hosnan,
2014)
dalam
proses
pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar
melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsipprinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan
percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri
mereka sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses
mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur,
menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa
konsep atau prinsip. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan
(conjecture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan
menggunakan proses induktif atau proses deduktif, melakukan observasi, dan
membuat eksptrapolasi. Oleh karena itu, peran siswa cukup besar karena
pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa.
Dalam proses pembelajaran dengan penemuan terbimbing, guru memulai
kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan
siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah,
investigasi atau aktivitas lainnya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Ruseffendi (2006) model penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang
diatur sedemikian rupa dimana guru membimbing siswa dalam penemuannya
yang dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan, dengan memberikan
informasi secara singkat, diluruskan agar siswa sampai kepada konsep yang
ditemukannya.
Selanjutnya, menurut Sugiyono (2014) model penemuan terbimbing
adalah salah satu pembelajaran yang menggunakan penemuan, dimana siswa
mendapatkan pegetahuan yang akan dipahami dengan bimbingan dari guru,
29
seperti melalui pertanyaan-pertanyaan, peragaan-peragaan atau media lainnya.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hamalik (2009), model penemuan
terbimbing merupakan sistem dua arah yaitu melibatkan siswa dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dalam sistem ini, guru perlu
memiliki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis kesulitan
siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi siswa.
Dalam model penemuan terbimbing proses berpikir itu sendiri biasanya
dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa yang dilakukan secara
tertulis, yaitu berupa panduan urutan-urutan pertanyaan untuk membantu siswa
mencari dan menemukan jawaban dari masalah yang dipertanyakan. Melalui
model pembelajaran penemuan terbimbing guru membimbing siswa ketika
menemukan konsep. Siswa dalam hal ini dituntut lebih banyak berpikir eksploratif
dan kreatif daripada sekedar berpikir mekanis dan prosedural (Sunismi dan
Nu’man, 2012). Selain itu, juga diharapkan terjadi interaksi antarsiswa dan siswa
dengan guru. Hal ini bertujuan agar adanya interaksi antarsiswa sehingga akan
berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika dan juga dapat
meningkatkan social skills siswa.
Pembelajaran melalui model penemuan terbimbing adalah pembelajaran
yang berpusat pada siswa yang memiliki enam prinsip (Kuhlthau, 2007) yaitu:
(a) children learn by being actively engaged in and reflecting on an
experience; (b) children learn by building on what they already
know; (c) children develop higher-order thinking through guidance
at critical points in the learning process; (d) children have different
ways and modes of learning; (e) children learn through social
interaction with others; and (f) children learn through instruction
and experience in accord with their cognitive development.
Keenam prinsip di atas, artinya adalah (a) peserta didik terlibat dalam
pembelajarannya dan dapat merefleksikan pengalamannya; (b) peserta didik
belajar dengan membangun apa yang mereka sudah tahu; (c) peserta didik
mengembangkan berpikir tingkat tinggi melalui bimbingan pada titik-titik kritis
dalam proses pembelajaran; (d) peserta didik memiliki cara yang berbeda dalam
pembelajaran; (e) peserta belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain; dan (f)
peserta didik belajar melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan
perkembangan kognitif mereka.
30
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penemuan
terbimbing adalah suatu model yang terlebih dahulu menghadirkan suatu
permasalahan atau pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan secara tertulis, sehingga
dari permasalahan tersebut siswa dapat berpikir, mengamati, mencerna, mengerti,
membuat dugaan, menjelaskan, dan menganalisis untuk menemukan suatu
pengetahuan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaanpertanyaan yang mengarahkan. Dengan demikian, diharapkan proses pembelajaran
yang dialami siswa menjadi lebih bermakna dan pengetahuan yang diperoleh
bertahan lama dalam ingatan siswa.
2.1.3.1.Komponen Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
a) Sintakmatik Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Sintakmatik merupakan tahapan kegiatan atau langkah-langkah yang
dilakukan dari suatu model pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan akan
berjalan dengan baik dan efektif apabila mengikuti langkah-langkah yang telah
disusun dan dirancang oleh guru dengan baik, sehingga tercapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan dan memperoleh hasil yang diinginkan.
Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus direncanakan dalam
pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan terbimbing sebagai mana
yang disampaikan Eggen dan Kauchak (2012), yaitu mengidentifikasi topik
pembelajaran, menentukan tujuan pembelajaran, dan menyiapkan contoh dan
bukan contoh. Berkaitan dengan hal itu, agar pembelajaran melalui model
penemuan terbimbing berjalan efektif, Massialas (dalam Matthew, 2013)
menyimpulkan langkah demi langkah pembelajaran penemuan terbimbing dimulai
dari mendefinisikan hipotesis rumusan masalah, mengumpulkan data, verifikasi
hasil, dan menggeneralisasi untuk memperoleh kesimpulan. Selanjutnya Mulyasa
(dalam Hamzah dan Muhlisrarini, 2014) menyimpulkan langkah-langkah
penemuan terbimbing sebagai berikut:
1.
Guru memberikan penjelasan, instruksi atau pertanyaan terhadap materi
pembelajaran.
2.
Memberikan tugas kepada peserta didik berupa pertanyaan yang jawabannya
dapat diperoleh pada proses pembelajaran.
31
3.
Guru memberikan penjelasan tentang hal yang membingungkan siswa.
4.
Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang dipelajari sebelumnya.
5.
Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya dari pernyataan Markaban (dalam Hosnan, 2014) dapat
disimpulkan beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika agar
pelaksanaan model penemuan terbimbing berjalan dengan efektif adalah sebagai
berikut:
a.
Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data
secukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang
menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak
salah.
b.
Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses,
mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini,
bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja.
Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah
yang hendak dituju melalui pertanyaan-pertanyaan pada Lembar
Aktivitas Siswa.
c.
Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang
dilakukannya.
d.
Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut
diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan
kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak
dicapai.
e.
Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut,
maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa
untuk menyusunnya. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa induksi
tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f.
Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru
menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah
hasil penemuan itu benar.
32
Berdasarkan pendapat ahli di atas, yang menjadi langkah-langkah
pendekatan penemuan terbimbing dalam penelitian ini yaitu:
1.
Mengajukan suatu situasi atau masalah dalam bentuk pertanyaan mengenai
topik pembelajaran yang akan dipelajari.
2.
Melakukan pengumpulan data dengan melakukan berbagai kegiatan baik
pengamatan ataupun pengukuran dan menganalisis data yang diperoleh.
3.
Membuat konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukan siswa.
4.
Memeriksa kebenaran perkiraan dengan mempresentasikan hasil diskusi
kelompok.
5.
Membuat kesimpulan atas apa yang telah ditemukan siswa melalui verbalisasi
konjektur.
6.
Mengevaluasi dengan pemberian tindak lanjut berupa soal untuk menguji
penguasaan siswa mengenai topik yang dipelajari.
Diharapkan dengan menerapkan keenam langkah pembelajaran penemuan
terbimbing di atas, kemampuan siswa, khususnya kemampuan berpikir kritis
matematis dan kemandirian belajar, dapat ditingkatkan dan menjadi lebih baik.
b) Sistem Sosial Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Sistem sosial merupakan situasi atau suasana dan norma yang berlaku
dalam masyarakat pebelajar (siswa). Model pembelajaran penemuan dalam
penelitian ini disajikan dalam bentuk cukup sederhana, fleksibel, dan tidak hanya
bergantung pada arahan guru. Struktur peristiwa belajar bersifat terbuka.
Kemungkinan lain siswa diberi kesempatan bebas untuk mencari sesuatu sampai
menemukan hasil belajar melalui proses-proses, dan disini guru hanya bertugas
memberikan bimbingan guna memecahkan persoalan yang dihadapi para siswa.
c) Prinsip Reaksi Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana
seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa. Dalam penelitian ini, prinsip
reaksi yang terjadi pada model pembelajaran ini yaitu peran penting guru ketika
kegiatan proses pembelajaran agar tercipta kelas yang nyaman, efektif, dan
kondusif. Guru berperan dalam membimbing dan mengarahkan siswa selama
kegiatan pengamatan. Guru berperan sebagai fasilitator langsung terlibat dalam
proses kelompok (membantu siswa dalam merumuskan rencana, bertindak, dan
33
mengatur kelompok) serta beberapa kebutuhan dalam sebuah penelitian
(pengetahuan tentang metode yang digunakan). Sedangkan siswa diharapkan
mampu terlibat aktif dalam pembelajaran; mengamati, mencerna, mengerti,
membuat dugaan, menjelaskan, dan membuat kesimpulan dari apa yang telah
diperoleh.
d) Sistem Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Sistem pendukung merupakan segala sarana, bahan, dan alat yang
diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran. Dalam model pembelajaran
ini, sistem pendukung mencakup RPP, LAS, perlengkapan alat, bahan dalam
pengamatan, ruang kelas, dan materi pada perangkat pembelajaran yaitu
Lingkaran.
e) Dampak Instruksional Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung
dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Pembelajaran
penemuan terbimbing memberikan dampak instruksional seperti keterampilan
dalam proses ilmiah, keterampilan berpikir dalam menyelesaikan persoalan,
kemandirian belajar, dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Sedangkan
dampak pengiring atau hasil belajar lainnya yang dihasilkan selama proses
pembelajaran tanpa pengaruh langsung oleh guru adalah siswa akan mampu
belajar mengorganisasi dan menghadapi masalah dengan sikap terbuka, siswa
akan mencapai kepuasan karena telah menemukan pemecahan masalah sendiri
sehingga siswa akan mampu meningkatkan keterampilan berpikirnya.
2.1.3.2.Keunggulan
dan
Kelemahan
Model
Pembelajaran
Penemuan
Terbimbing
Beberapa keuntungan pembelajaran penemuan terbimbing, yaitu siswa
belajar bagaimana belajar (learn how to learn), belajar menghargai diri sendiri,
memotivasi diri untuk lebih mudah mentransfer, memperkecil atau menghindari,
menghafal pelajaran dan siswa bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri
(Kuhlthau, 2007), sedangkan manfaat pembelajaran penemuan terbimbing bagi
siswa menurut Kuhlthau (2007) yaitu: (1) mengembangkan kecakapan sosial,
bahasa, dan kemampuan membaca, (2) mengkonstruksi pemahaman sendiri, (3)
meningkatkan kemandirian dalam meneliti dan belajar, (4) mempunyai motivasi
34
yang tinggi pada waktu bekerja, dan (5) belajar strategi dan keterampilan dapat
dioperkan ke proyek penemuan lain. Sedangkan manfaat untuk guru yaitu (1)
berbagi tanggung jawab dalam tim pembelajaran, (2) berbagi keahlian dalam
anggota tim, (3) keterampilan mengajar isi dan informasi secara bersamaan, (4)
gagasan perencanaan yang lebih kreatif, dan (5) meningkatkan pengalaman
terhadap isi kurikulum.
Menurut Kuhlthau (2007), beberapa keunggulan model pembelajaran
penemuan terbimbing adalah memungkinkan siswa untuk lebih memahami isi dan
konsep literasi informasi. Pada saat yang sama siswa mengembangkan kompetensi
dalam membaca, menulis, dan berbicara, dan pada gilirannya memperoleh
keterampilan sosial melalui berinteraksi, berdiskusi, dan bekerja sama dengan
siswa lain. Selain itu, mereka belajar bagaimana untuk belajar dalam lingkungan
yang kaya informasi. Siswa terlibat dalam lima elemen pembelajaran yaitu isi
kurikulum, literasi informasi, proses pembelajaran, kompetensi literasi, dan
kemampuan sosial.
Selanjutnya Eggen dan Kauchak (2012) mengkritisi model pembelajaran
penemuan terbimbing dengan menyatakan bahwa “Menggunakan model temuan
terbimbing menuntut keahlian guru yang cukup tinggi”. Kebanyakan guru dapat
mengajar dengan metode ceramah namun kesulitan jika harus membimbing siswa
menemukan pemahaman sendiri. Akan tetapi, jika siswa sudah menemukan
sendiri konsep-konsep materi melalui model penemuan terbimbing, maka
biasanya konsep itu lebih dipahami secara mendalam. Guru dapat menggunakan
model ini untuk mendorong pemahaman mendalam tentang materi tertentu dan
pada saat yang sama menjadi mekanisme efektif untuk mendorong berpikir kritis.
Selain itu kelemahan utama dari model ini adalah proses penerapannya
yang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan menuntut kemampuan guru
yang tinggi. Hal ini wajar terjadi sebab dalam menerapkan model baru tentunya
akan terbentur dengan kebiasaaan lama dalam proses pembelajaran di sekolah,
namun dengan perencanaan yang benar, kemauan yang kuat serta latihan yang
kontinu, kelemahan ini bukanlah menjadi penghalang.
35
2.1.4. Pengertian Budaya dan Budaya Nias
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki
keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah.
Menurut
Poespowardojo, secara etimologis pengertian budaya (culture) berasal dari kata
latin colere, yang berarti membajak tanah, mengolah, memelihara ladang.
Selanjutnya secara terminologis pengertian budaya menurut Montago dan Dawson
merupakan way of life yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas
tertentu pula dari suatu bangsa (dalam Daryanto, 2015). Lebih lanjut
Koentjaraningrat (2009) mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
Kebudayaan secara keseluruhan adalah hasil usaha manusia untuk
mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Menurut Geertz (dalam Yunus, 2013),
kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin
secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis,
suatu sistem mengenai konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik
yang
dengan
cara
tersebut
manusia
berkomunikasi,
melestarikan
dan
mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.
Joesoef (dalam Wahyuni, Tias, dan Sani, 2013) menyatakan bahwa budaya
merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu
lingkungan hidup tertentu dan di suatu kurun tertentu. Kebudayaan diartikan sebagai
semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam hal ini, tinjauan budaya dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan dengan nilainilai universal yang berlaku dimana saja yang berkembang sejalan dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua,
budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara
nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masyarakat setempat.
Koentjaraningrat (2009), membagi kebudayaan dalam tiga wujud, yaitu:
1.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan dan sebagainya;
2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat; dan
3.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
36
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan
perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau
social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial
ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan
bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke
tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut
kebudayaan fisik berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya
manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Koentjaraningrat (2009) menambahkan bahwa ketiga wujud dari
kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah
satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah
kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya
manusia,
menghasilkan
benda-benda
kebudayaan
fisiknya.
Sebaliknya,
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula
pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai budaya di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa budaya adalah pikiran, adat istiadat, karya seni dan keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menciptakan dan
mendorong terwujdnya kelakuan. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk
membantu umat manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam penelitian ini, konteks budaya yang digunakan dalam pembelajaran
dibatasi pada wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau
kebudayaan fisik yang merupakan ciri khas Budaya Nias. Namun, di setiap
pembelajaran juga akan diawali dengan cerita atau adat istiadat Budaya Nias agar
37
nilai-nilai dan kebiasaan positif masyarakat Budaya Nias juga tertanam dalam diri
siswa.
Budaya Nias
Nias adalah salah satu suku yang berada di Provinsi Sumatera Utara yang
penduduknya tinggal di Pulau Nias dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Populasi
suku Nias diperkirakan lebih dari 1 juta orang. Daerah ini memiliki objek wisata
penting seperti selancar, rumah tradisional, penyelaman, dan hombo batu (lompat
batu). Pada masa sekarang, masyarakat Nias menganut agama yang cukup
beragam seperti Kristen, Katolik, Islam dan Budha. Ditengah keberagaman
tersebut, masyarakat Nias selalu hidup rukun dengan menjunjung tinggi toleransi
antar umat beragama.
Gambar 2.1. Hombo Batu
(Sumber: https://museum-nias.org/istiadat-nias/)
Salah satu tradisi dalam masyarakat budaya Nias adalah tradisi Lompat
Batu. Awalnya upacara lompat batu adalah sebagian dari ritual inisiasi pria muda
untuk diterima sebagai orang dewasa dan prajurit. Ketinggian piramida batu
lompat itu adalah di antara 1,8 meter sampai 2,2 meter. Lompat ini dilakukan
tanpa alas kaki dan latihan berulang-ulang diperlukan sebelum mencoba lompat
ini. Keterampilan untuk melompat benda yang tinggi dikembangkan sebagai
teknik pertempuran. Dalam serangan mendadak, prajurit bisa melompati tembok
38
pertahanan di desa musuh. Namun, dewasa ini tradisi lompat batu menjadi sebuah
pertunjukkan seperti pada upacara adat dan atau menyambut tamu-tamu penting.
2.1.5. Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis Konteks Budaya Nias
Menurut Bishop (dalam Tandililing, 2013), matematika merupakan suatu
bentuk budaya yang sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat dimanapun berada. Budaya akan mempengaruhi perilaku
individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan individual,
termasuk pembelajaran matematika.
Pembelajaran berbasis budaya (ethnomathematics) merupakan salah satu
alternatif yang dapat menjembatani matematika dengan budaya. Pannen (dalam
Mulyaningsih, Lasmawan, dan Sutama, 2013) mengatakan bahwa pembelajaran
berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian
dari proses pembelajaran. Hal serupa juga diungkapkan oleh D’Ambrosio (2006)
yaitu Ethnomathematics, which is the study of mathematics within its diverse
cultural contexts, is used to express relationships between culture and
mathematics, artinya bahwa etnomatematika merupakan pembelajaran matematika
dalam konteks budaya yang beragam, digunakan untuk mengekspresikan
hubungan antara budaya dan matematika.
Pembelajaran matematika berbasis budaya lokal dirancang untuk berfokus
pada materi yang dikaitkan dengan budaya daerah tempat siswa berasal. Menurut
Sofa (dalam Rohaeti, 2011) mengatakan bahwa pembelajaran matematika berbasis
budaya lokal merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat menjadikan
pembelajaran bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas
budaya dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya dengan
komunitas dimana peserta didik berasal.
Pemakaian budaya lokal dalam pembelajaran berbasis budaya sangat
bermanfaat bagi pemaknaan proses dan hasil belajar, karena peserta didik
mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual dan bahan apersepsi untuk
memahami konsep ilmu pengetahuan dalam budaya lokal (etnis) yang dimiliki.
Akibatnya
pembelajaran
menjadi
menarik
dan
menyenangkan
karena
39
memungkinkan terjadinya penciptaaan makna secara kontekstual berdasarkan
pengalaman awal peserta didik sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya.
Tentunya hal ini membantu guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran untuk
dapat memfasilitasi siswa secara baik dalam memahami suatu materi.
Keadaan-keadaan nyata yang dialami atau sering dilihat siswa dapat
diangkat menjadi permasalahan awal yang akan diselesaikan siswa selama proses
pembelajaran. Pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan siswa
pada pemecahan masalah tersebut. Pengalaman siswa yang diperoleh dari
lingkungannya seperti budaya lokal akan menjadikannya bahan dan materi guna
membantu dalam proses pembelajaran sehingga memberikan tujuan belajar yang
lebih bermakna bagi siswa.
Kebudayaan Nias memiliki beragam peralatan dan benda-benda khas
budaya seperti garamba, göndra, faritia, tamburu, doli-doli, lagia, dan halu (alat
penumbuk padi).
Keterkaitan antara konsep matematika dengan konteks budaya Nias dapat
dilihat pada perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya “garamba”
yang terdiri dari tiga tingkat berbentuk lingkaran yang sering digunakan pada
tradisi pernikahan.
Gambar 2.3. Garamba, Benda Khas Budaya Nias
(Sumber: http://kabarnias.com/wp-content/uploads/2015/07/aramba.jpg)
Bentuk garamba yang terdiri dari tiga tingkat berbentuk lingkaran yang
memiliki ukuran berbeda dapat diterapkan dalam pembelajaran Matematika,
misalnya pada penemuan nilai phi dan rumus keliling lingkaran. Siswa diminta
untuk menemukan nilai phi dan rumus keliling lingkaran dengan menghitung
40
diameter dan keliling masing-masing lingkaran yang ada pada “aramba” dengan
menggunakan benang. Hasil pengukuran siswa dimasukkan dalam Tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1. Hasil Pengukuran Siswa
Garis
Keliling (K)
Tengah (d)
(cm)
………
…….
𝑲
𝒅
…
No.
Lingkaran
1
Lingkaran 1
2
Lingkaran 2
………
…….
…
3
Lingkaran 3
………
…….
…
Setelah melakukan pengukuran dan menuliskan hasilnya pada tabel di atas,
siswa diminta untuk menemukan nilai phi dan rumus keliling lingkaran melalui
pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan, seperti:
1.
Dari lima lingkaran yang diukur, mendekati angka berapakah nilai pada
𝑲
kolom 𝒅 ?
2.
Apabila diubah ke bentuk pecahan, maka nilai pada kolom
bentuk
22
𝐾
7
𝑑
. Nilai
𝐾
𝑑
mendekati
disebut juga dengan nilai 𝜋 atau disebut nilai phi. Dari
pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumus untuk mencari keliling
lingkaran atau 𝐾 adalah ...
Contoh lain misalnya mengenai pembuatan “tamburu” yang terbuat dari
kulit kerbau, kambing, atau lembu. Dalam hal ini, pemanfaatan perhitungan luas
daerah yang dibatasi oleh lingkaran dapat dimanfaatkan.
Gambar 2.4. Tamburu
(Sumber: https://i1.wp.com/www.museum-nias.org/wpcontent/uploads/2016/12/Tamburu-300x262.jpg)
41
Siswa dapat menggunakan rumus menghitung luas daerah yang dibatasi
lingkaran untuk menghitung luas kulit kerbau yang diperlukan untuk membuat
beberapa “tamburu” dengan ukuran diameter 20 cm sebanyak dua buah agar tidak
banyak kulit yang terbuang jika kulit kerbau yang tersedia terbatas. Selain itu
siswa juga dapat menggunakan rumus keliling lingkaran untuk menghitung
panjang rotan yang digunakan sebagai pengikat “tamburu”.
Dari contoh penerapan benda khas budaya Nias di atas, siswa menjadi
lebih termotivasi untuk melakukan percobaan-percobaan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru guna menjawab permasalahan yang
ada yang berkaitan dengan materi pelajaran. Secara sadar ataupun tidak sadar,
kemampuan berpikir matematis dan kemandirian belajar siswa menjadi lebih baik
dari sebelumnya.
Pengimplementasian tradisi dan benda-benda khas budaya Nias, dapat
diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran, guru tidak lagi menjadi pusat
(teacher centered). Seorang guru perlu menjadi seorang peneliti (dalam hal ini
meneliti bagaimana kebudayaan yang ada di sekitar peserta didiknya), dan
menjadi seorang siswa. Dengan menjadi seorang peneliti, guru matematika akan
menginvestigasi unsur-unsur matematika apa saja yang terdapat dalam aktivitas
budaya yang pada gilirannya nanti akan berperan dalam pewarisan kebudayaan
tersebut. Dengan menjadi seorang pebelajar, guru matematika akan lebih
memahami ide (konsep) matematis dengan mudah apabila ide tersebut telah
terlihat keterhubungannya dengan ragam aktivitas budaya yang ada di sekitar
mereka. Sedangkan siswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat
pembelajaran ini siswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi
yang melibatkan unsur budaya Nias sehingga dapat bertindak sebagai seorang
ilmuwan atau orang dewasa. Pembelajaran ini berfokus pada keaktifan siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Dengan hal ini diharapkan siswa dapat
mengembangkan pengetahuan mereka secara mandiri.
Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud dengan pembelajaran
penemuan terbimbing berbasis budaya Nias dalam penelitian ini adalah
mengembangkan
proses
pembelajaran
matematika
dengan
pembelajaran
penemuan terbimbing melalui bentuk bahan atau materi yang diintegrasikan nilai-
42
nilai kearifan dan keberagaman budaya yang disusun secara sistematis untuk
membudayakan
sikap,
pengetahuan,
keterampilan,
tradisi,
serta
untuk
mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik
siswa.
2.1.6. Teori Belajar Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Dalam pembelajaran dengan model penemuan terbimbing, siswa tidaklah
menerima pengetahuan begitu saja dari guru, akan tetapi secara aktif menemukan
dan membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
konstruktivisme. Penemuan merupakan model instruksional kognitif dari Jerome
Bruner. Menurut Dahar (2011) “Bruner menganggap bahwa belajar penemuan
sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan
sendirinya memberikan hasil yang paling baik”. Dalam belajar penemuan tujuan
belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi ada interaksi
siswa secara aktif dengan konsep dan prinsip serta melakukan ekperimen yang
memungkinkan siswa menemukan prinsip itu sendiri.
Selanjutnya dari pernyataan Bruner (dalam Dahar, 2011) disimpulkan
bahwa hampir semua orang dewasa menggunakan tiga cara penyajian untuk
menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga cara itu adalah
enaktif, ikonik dan simbolik. Selanjutnya, cara penyajian enaktif ialah melalui
tindakan yang bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu
aspek kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata sebab telah memiliki
pengalaman pada kejadian di masa lampu yang terkait dengan respon-respon
motorik. Dengan cara ini dilakukan satu kegiatan untuk mencapai hasil tertentu.
Selanjutnya cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal. Pengetahuan
disajikan oleh gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak
mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Penyajian ikonik lebih dikendalikan oleh
pola pandang dan penginderaaan seseorang. Sedangkan cara penyajian simbolik
didasarkan pada sistem berpikir abstrak (memikirkan sesuatu tanpa hadirnya
objek sesuatu itu secara nyata), arbitrer (bersifat memilih sesuai kesukaan), dan
lebih fleksibel (mudah disesuaikan). Penyajian simbolik dibuktikan dengan
kemampuan seseorang untuk lebih memperhatikan pernyataan daripada objek,
43
membuat
struktur
yang
berjenjang
serta
memperhatikan
kemungkinan-
kemungkinan alternatif dan kombinasinya dalam memahami sesuatu.
Selain Bruner, John Dewey juga memberikan pondasi bagi penemuan
terbimbing. Dewey (dalam Kuhlthau, 2007) menyatakan:
Education is not an affair of telling and being told but an active and
constructive process. The accumulation and acquisition of
information for purposes of reproduction in recitation and
examination is made too much of. Knowledge in the sense of
information means working capital, the indispensable recourses of
further inquiry of finding out or learning more things.
Pernyataan Dewey di atas menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya
menyampaikan dan disampaikan, tetapi proses aktif dan konstruktif. Akumulasi
dari diperolehnya informasi lebih sering ditujukan untuk tujuan pemahaman,
hafalan, dan ujian. Pengetahuan berarti bekerja berusaha, mencari tahu, dan
belajar lebih banyak hal dari berbagai sumber. Pendapat Dewey menggambarkan
bahwa belajar sebagai proses kreatif dari penemuan terbimbing, dimulai dengan
dugaan yang disebabkan informasi yang menimbulkan pertanyaan atau masalah.
Melalui refleksi, ide yang terarah terbentuk yang membawa kepada pertanyaanpertanyaan untuk pemahaman. Dewey menjelaskan bahwa fakta-fakta, data, dan
informasi memunculkan ide-ide yang membuat siswa mampu membuat
kesimpulan dari apa yang telah ia tahu yang membawa kepada pemahaman lebih
dalam. Dewey memandang pembelajaran sejati lebih kepada penjelajahan yang
terbimbing daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pendidikan memberikan
pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan
membuat keputusan bagi kehidupan. Dalam pembelajaran yang berpusat pada
siswa, fungsi guru berubah dari pengajar menjadi mitra pembelajaran
Teori lain yang mendasari model pembelajaran penemuan terbimbing
adalah konstruktivisme. Dari pernyataan Piaget (dalam Dahar, 2011) disimpulkan
ide utama konstruktivisme adalah:
1) Pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa
membentuk pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya,
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan
44
informasi baru ke dalam pikiran. Akomodasi adalah penyusunan kembali
(modifikasi) struktur kognitif karena adanya informasi baru.
2) Agar pengetahuan diperoleh, siswa harus beradaptasi dengan lingkungannya.
Adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Andaikan dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan. Akibatnya
terjadilah akomodasi dan struktur yang ada mengalami perubahan atau timbul
struktur baru.
3) Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan
kesetimbangan dan ketidaksetimbangan. Tetapi bila terjadi kembali
kesetimbangan, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih
tinggi daripada sebelumnya
Selanjutnya, enam prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing
(Kuhlthau, 2007) pada subbab terdahulu, didukung oleh teori-teori belajar. Prinsip
pertama yaitu siswa belajar dengan terlibat aktif dan merefleksikan pengalaman.
Prinsip ini didukung oleh Bruner (dalam Dahar, 2011) yang menyarankan agar
pembelajaran dimulai dari membuat siswa berpartisipasi secara aktif yaitu dengan
cara penyajian enaktif. Cara penyajian ini memanfaatkan pengalaman siswa
sebagai bagian refleksi untuk memudahkan siswa dalam memahami konsepkonsep dan prinsip-prinsip agar memperoleh pengetahuan yang baru. Dengan
mengaitkan pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen akan membuat
siswa lebih mudah menemukan prinsip-prinsip dalam pembelajaran.
Prinsip kedua yaitu siswa belajar dengan membangun pengetahuan
berdasarkan apa yang telah mereka ketahui. Prinsip ini didukung oleh Ausubel
(dalam Dahar, 2011) yang menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan suatu
proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui
mekanisme biologi memori dalam otak, namun kita mengetahui bahwa informasi
disimpan pada bagian tertentu dalam otak. Hal ini terlihat dari dengan
berlangsungnya belajar dihasilkan perubahan-perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari partisipasi dalam proses belajar tersebut.
45
Prinsip ketiga yaitu siswa mengembangkan berpikir tingkat tinggi melalui
bimbingan pada titik-titik penting dalam proses belajar. Prinsip ini sejalan dengan
Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikemukakan Vigotsky (dalam
Kuhlthau, 2007) dimana Zona perkembangan Proksimal (ZPD) adalah selisih
antara apa yang bisa dilakukan siswa secara independen dengan apa yang bisa
dicapai siswa jika ia mendapat bantuan seseorang yang lebih kompeten. Dalam
penemuan terbimbing, zona intervensi yang dimaksud adalah daerah dimana
siswa dapat melakukan sesuatu hal dengan bantuan dan saran-saran, yang tidak
dapat dilakukannya sendiri. Intervensi dalam zona ini membuat siswa mampu
mengalami kemajuan dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Prinsip keempat yaitu siswa mempunyai banyak cara dalam belajar. Model
pembelajaran
penemuan
terbimbing
menawarkan
banyak
cara
untuk
mengkonstruksi pemahaman yang mendalam. Hal ini sesuai dengan konsep
multiple intellegences yang dikembangkan Gardener (dalam Kuhlthau, 2007)
dimana teorinya mencakup kemampuan linguistik, musikal, logika-matematika,
spasial, kinestetik, personal, dan kemampuan sosial. Luasnya jangkauan dari
multiple intellegences dalam susunan maupun bentuk-bentuknya menghadirkan
serangkaian aktivitas yang bervariasi yang menawarkan siswa banyak sekali
kesempatan untuk belajar. Membaca, mendengar, menggambarkan dan observasi
dipadu dengan menulis, berbicara, menampilkan dan menghasilkan pengalaman
yang menyeluruh dari belajar.
Prinsip kelima yaitu siswa belajar melalui interaksi sosial dengan yang
lain. Prinsip ini sesuai dengan pernyataan Vygotsky (dalam Kuhlthau, 2007) “A
specific social nature and process by which children grow into the intellectual life
of those around them. Vygotsky berpendapat bahwa lingkungan sosial secara
khusus menjadi proses siswa tumbuh dalam kehidupan intelektual di sekitarnya.
Sehingga dapat dikatakan interaksi sosial dan tingkat intelektual di sekitar anak
mempengaruhi tingkat intelektual anak itu sendiri.
Prinsip keenam yaitu siswa belajar melalui petunjuk dan pengalaman yang
sesuai dengan perkembangan kognitif mereka. Prinsip ini sejalan dengan teori
Piaget (dalam Dahar, 2011) yang menganggap bahwa setiap individu mengalami
tingkat perkembangan intelektual yaitu (1) sensori-motor (0 – 2 tahun); (2) pra-
46
operasional (2 – 7 tahun); (3) operasional konkrit (7 – 11 tahun); (4) operasional
formal (> 11 tahun). Karenanya dalam belajar penemuan ada kebutuhan untuk
mengakomodasikan
tugas-tugas
penemuan
terbimbing
sesuai
tingkat
perkembangan kognitif anak.
Keenam prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing yang telah
diperkuat pendapat para ahli menjadikan model ini sebagai model pembelajaran
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian
belajar siswa. Didukung lagi dengan prinsip model pembelajaran penemuan
terbimbing yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivis dimana dalam proses
pembelajaran pengetahuan harus dibangun sendiri secara aktif oleh siswa atau
bukan diterima sebagai produk jadi.
2.1.7. Model Pembelajaran Ekspositori
Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang paling sering
digunakan oleh guru pada umumnya. Biasanya proses dimulai dengan pemberian
informasi dengan metode ceramah yang dilanjutkan dengan pemberian contohcontoh soal, kemudian pemberian soal-soal latihan. Pembelajaran seperti ini
bersifat rutinitas dan berlangsung satu arah, dimana guru menjadi sumber
informasi dan sebagai model baku dalam menyelesaikan masalah, sedangkan
siswa bertindak sebagai penerima informasi dan pengikut setia guru yang selalu
tidak berusaha menerapkan penalaran yang berbeda dengan guru. Seperti yang
diungkapkan oleh Sanjaya (2012) bahwa model pembelajaran ekspositori adalah
model pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara
verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa
dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Pada model pembelajaran ekspositori, guru tampaknya lebih berperan
sebagai sumber belajar. Sanjaya (2012) mengungkapkan bahwa:
“Pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pembelajaran
yang berorientasikan kepada guru (teacher centered approach).
Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang
peran yang sangat dominan. Melalui strategi ini guru
menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan
harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa
dengan baik.”
47
Jadi, model pembelajaran ekspositori berorientasi kepada guru dengan
mengutamakan proses mengajar, metode dan bahan pembelajaran matematika
biasanya berbentuk ceramah, tugas tertulis serta media lain menurut pertimbangan
guru. Penguatan biasanya diberikan setelah selesai ulangan.
Selanjutnya Sanjaya (2012) mengungkapkan ada tiga karakteristik dari
model pembelajaran ekspositori, yaitu: 1) Dilakukan dengan cara menyampaikan
materi pelajaran secara verbal; 2) Materi pelajaran yang disampaikan adalah
materi pelajaran yang sudah jadi; dan 3) Tujuan utama pembelajaran adalah
penguasaan materi pelajaran itu sendiri.
2.1.7.1.Komponen Model Pembelajaran Ekspositori
a) Sintakmatik Model Pembelajaran Ekspositori
Pembelajaran yang dilaksanakan akan berjalan dengan baik dan efektif
apabila mengikuti langkah-langkah yang telah disusun dan dirancang oleh guru
dengan baik, sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dan
memperoleh hasil yang diinginkan.
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran pembelajaran ekspositori
diungkapkan oleh Sanjaya (2012) ada lima langkah, yaitu persiapan, penyajian,
menghubungkan, menyimpulkan, dan penerapan.
1.
Persiapan (Preparation)
Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima
pelajaran. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan adalah
memberikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negatif dan
memulai dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai.
2.
Penyajian (Presentation)
Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai
dengan persiapan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap
guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat
dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa.
3.
Menghubungkan (Correlation)
Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan
pengalaman siswa atau dengan hal-hal yang memungkinkan siswa dapat
48
menangkap
keterkaitannya
dalam
struktur
pengetahuan
yang
telah
dimilikinya.
4.
Menyimpulkan (Generalization)
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran
yang telah disajikan. Menyimpulkan memberikan keyakinan kepada siswa
tentang kebenaran suatu paparan.
5.
Penerapan (Application)
Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka
menyimak penjelasan guru. Melalui langkah ini guru akan dapat
mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi
pelajaran oleh siswa.
Secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tabel 2.2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Ekspositori
Langkah
Aspek
Perilaku Guru
Membangkitkan motivasi dan minat siswa
1
Persiapan
untuk belajar, merangsang dan menumbuhkan
rasa ingin tahu.
Guru menyajikan materi kepada siswa dengan
2
Penyajian
bahasa dan intonasi yang bagus agar tidak ada
kebosanan serta memberikan contoh soal.
3
Menghubungkan
4
Menyimpulkan
5
Penerapan
Guru memberikan latihan kepada siswa serta
menghubungkan materi dengan contoh.
Guru menyuruh siswa menyimpulkan materi
yang diberikan.
Guru memberikan soal-soal kepada siswa.
Dalam pembelajaran ekspositori, guru cenderung aktif sebagai sumber
informasi bagi siswa, dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Guru
menyajikan materi pelajaran bentuk jadi. Artinya, guru lebih banyak berbicara
dalam hal menerangan materi pelajaran dan contoh-contoh soal, serta menjawab
semua permasalahan yang dialami siswa. Sedangkan siswa hanya menerima
materi pelajaran dan mengahafalnya, serta banyak mengerjakan latihan soal. Jadi
49
dalam hal ini kebermaknaan belajar siswa rendah. Dengan pola seperti ini
mengakibatkan tahap-tahap yang terdapat dalam model pembelajaran ekspositori
berlawanan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing.
Jadi, dalam penelitian ini, model pembelajaran ekspositori adalah model
yang biasa diterapkan guru di sekolah yang diawali dengan tahap persiapan,
penyajian materi, menghubungkan, menyimpulkan, dan penerapan yang
berdampak pada keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
b) Sistem Sosial Model Pembelajaran Ekspositori
Sistem sosial dalam model pembelajaran ekspositori ini benar-benar
terstruktur, karena guru menuntun siswa melalui contoh dan langkah-langkah di
dalamnya. Dalam pembelajaran siswa saling bekerja sama dalam memecahkan
sebuah masalah yang dituntun guru. Guru memberikan informasi secara setahap
demi setahap dan merancang kegiatan sedemikian rupa. Adanya kegiatan tanya
jawab akan memperlancar pembelajaran.
c) Prinsip Reaksi Model Pembelajaran Ekspositori
Dalam model pembelajaran ekspositori, prinsip reaksi yang terjadi yaitu
peran penting guru ketika kegiatan proses pembelajaran. Adapun peran guru
adalah sebagai berikut: menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi dan
memusatkan perhatian siswa, mendemonstrasikan dan menyajikan informasi
setahap demi setahap, merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan awal,
mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik dan
memberikan umpan balik, memberikan latihan mandiri berupa pekerjaan rumah,
menyediakan pengetahuan mengenai hasil-hasil, membantu siswa mengandalkan
diri mereka sendiri, dan melakukan penguatan.
d) Sistem Pendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Sistem pendukung dalam model pembelajaran ini meliputi sarana yang
dapat digunakan untuk penyampaian materi dapat diterima dengan mudah oleh
siswa yaitu dengan penyajian materi yang diikuti dengan contoh dan penyelesaian
dan buku paket matematika pendukung materi Lingkaran.
e) Dampak Instruksional Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan siswa pada
tujuan pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dasar dan
50
keterampilan akademik siswa dan diharapkan mampu membangun motivasi
melalui aktivitas mengandalkan diri sendiri serta penguatan ingatan terhadap
materi-materi yang telah dipelajari.
2.1.7.2.Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Ekspositori
Model pembelajaran ekspositori memiliki beberapa keunggulan, yaitu:
1.
Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, dengan demikian
ia dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran
yang disampikan.
2.
Merupakan strategi pembelajaran yang sangat efektif apabila materi pelajaran
yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu belajar yang
dimiliki sangat terbatas.
3.
Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Di samping memiliki kelebihan, model pembelajaran ekspositori juga
memiliki kelemahan, di antaranya:
1. Hanya bisa digunakan untuk siswa yang memiliki kemampuan mendengar
dan menyimak secara baik.
2. Tidak bisa melayani perbedaan individu baik perbedaan kemampuan,
pengetahuan, minat bakat serta perbedaan gaya belajar.
3. Sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi,
hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.
4. Keberhasilan strategi ini tergantung dengan guru.
5. Gaya komunikasi yang satu arah menyebabkan kesempatan untuk mengontrol
pemahaman siswa akan materi pembelajaran terbatas dan juga bisa
mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa terbatas dengan apa yang
diberikan olah guru.
2.1.8. Kemampuan Awal Matematis
Kemampuan awal matematis merupakan kemampuan yang telah dimiliki
oleh siswa. Kemampuan awal matematis siswa merupakan tolak ukur seorang
guru untuk menentukan langkah pembelajaran selanjutnya, kemampuan awal
matematis juga sebagai prasyarat siswa untuk mampu mempelajari materi
51
selanjutnya, karena dalam belajar matematika ada hubungan yang hierarkis antara
materi sebelum dan sesudahnya, sebab itu kemampuan awal matematis
merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan belajar
siswa dalam pembelajaran (Herawati, 2013).
Hasil penelitian Akinsola dan Odeyemi (2014) juga turut menegaskan
bahwa kemampuan awal matematis siswa dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika. Belajar matematika akan lebih memiliki makna jika siswa dapat
mengaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan informasi-informasi
baru yang dapat meningkatkan pengetahuan baru siswa, sebab jika siswa tidak
dapat mengaikatkan pengetahuan awal yang mereka miliki siswa akan mengalami
kesulitan dalam pembelajaran.
Kemampuan awal matematis siswa dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok, seperti yang ditegaskan oleh Lambertus, Bey, Anggo, Fahinu, Sudia
dan Kadir (2014) yaitu: rendah, sedang, tinggi. Pengelompokan ini bertujuan
untuk melihat kondisi kemampuan awal siswa yang telah dimiliki. Siswa yang
memiliki kemampuan awal tinggi akan lebih mudah mengikuti materi selanjutnya
karena telah memiliki kesiapan yang lebih matang, sebaliknya siswa yang
memiliki kemampuan awal matematis rendah akan lebih sulit menghadapi materi
selanjutnya karena kesiapan siswa ini tentunya masih belum matang sehingga sulit
bagi siswa yang berada pada kelompok ini untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Kemampuan awal matematis siswa yang berada pada kelompok sedang bersifat
stabil dalam mengikuti pelajaran selanjutnya, karena siswa yang berada pada
kelompok ini memiliki kesiapan dalam menghadapi materi selanjutnya.
Kecakapan matematika yang sudah dimiliki siswa untuk mempelajari
materi selanjutnya disebut kemampuan awal matematis. Untuk mengetahui
kemampuan awal matematis yang dimiliki oleh siswa guru dapat melaksanakan
tes baik tertulis maupun lisan yang mencakup materi-materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang mempengaruhi
kegiatan belajar mengajar adalah kemampuan awal siswa.
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kemampuan awal matematis siswa adalah kecakapan matematika siswa
berkenaan dengan kemampuan siswa untuk mempelajari materi selanjutnya,
52
dengan kata lain kemampuan awal matematis siswa adalah kemampuan
matematika yang telah dimiliki siswa sebelumnya untuk melanjutkan mempelajari
materi yang lebih luas dan tinggi lagi.
2.1.9. Interaksi
Kerlinger (2006) menyatakan bahwa interaksi adalah kerja sama antar dua
variabel bebas atau lebih dalam mempengaruhi variabel terikat, atau dapat juga
dikatakan bahwa interaksi merupakan pengaruh dari suatu variabel bebas terhadap
variabel terikat pada taraf atau tingkat variabel bebas lainnya. Misalnya interaksi
antara dua pembelajaran dengan kemampuan awal matematis siswa (rendah,
sedang, dan tinggi) terhadap hasil belajar siswa.
Hal ini penting dianalisis untuk melihat apakah baiknya suatu variabel
bebas atau variabel bebas lainnya (misalnya pembelajaran A dan B) berlaku
secara general atau tidak untuk setiap tingkat dari suatu variabel bebas lain (misal
kemampuan awal rendah, sedang, dan tinggi). Menurut Glass dan Hopkins (1996)
“In many research studies, although an interaction in not expected, ancillary
factors are often included so that generalizability of the study can be empirically
assesed”. Pada umumnya studi penelitian tidak melihat ada tidaknya interaksi
tetapi hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung dalam penelitian. Kerlinger
(2006) menyatakan bahwa interaksi terjadi manakala suatu variabel bebas
memiliki efek-efek berbeda terhadap suatu variabel terikat pada berbagai tingkat
dari suatu variabel bebas lain.
Pada penelitian ini, interaksi yang akan dianalisis adalah interaksi antara
model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan
berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa. Hasil penelitian yang
diharapkan adalah terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran
dan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis dan kemandirian belajar siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Haeruman, Rahayu, dan Ambarwati (2017) yang menyatakan
bahwa interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis
peserta didik memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa.
53
Adanya interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematis siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis juga dibuktikan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Siregar, Deniyanti, dan Hakim (2018). Hasil
pengujian dengan ANAVA Dua Jalur menghasilkan nilai signifikansi untuk
KAM*Model kurang dari 0,05, yaitu 0,004 (0,004 < 0,05), yang berarti terdapat
interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis. Hal
ini disebabkan oleh optimalisasi pemanfaatan kemampuan awal matematika pada
kegiatam pembelajaran dapat membantu mempermudah dan mempercepat proses
konstruksi dan asimilasi pengetahuan.
2.1.10. Penelitian yang Relevan
Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan
penelitian ini. Dari penelitian sebelumya tentunya bisa diambil gambaran tentang
penggunaan model penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika. Hasil
penelitian Matthew (2013) di Nigeria, menunjukkan bahwa prestasi kognitif siswa
lebih baik dengan menggunakan metode mengajar penemuan terbimbing daripada
menggunakan metode
mengajar konvensional.
Ia menambahkan
bahwa
penggunaan model penemuan terbimbing mampu membantu siswa dalam proses
belajar sehingga memperoleh hasil yang sangat baik dan lebih efektif. Begitu juga
dengan Vlassi dan Karaliota (2013) di Yunani menemukan bahwa perbandingan
penerapan metode penemuan terbimbing dan metode tradisional menunjukkan
hasil signifikan pada kemampuan kognitif siswa. Kedua hasil penelitian tersebut
sama-sama menemukan bahwa penggunaan model pembelajaran penemuan
terbimbing dapat meningkatkan aspek kemampuan kognitif siswa. Keduanya
membandingkan pembelajaran penemuan terbimbing dengan pembelajaran
konvensional.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Azizmalayeri, Jafari, Sharif,
Asgari dan Omidi (2012) di Iran menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh
signifikan antara metode mengajar penemuan terbimbing terhadap skor total
kemampuan berpikir kritis siswa. Mereka menambahkan bahwa kolaborasi
54
diskusi kelompok dianggap sebagai suatu kondisi penting dalam pelaksanaan
metode penemuan terbimbing.
Aktivitas pada pembelajaran penemuan yang menuntut siswa untuk terlibat
aktif dalam proses penyelesaian masalah juga turut mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hal ini disampaikan oleh Martaida,
Bukit, dan Ginting (2017) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pembelajaran
penemuan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa sekolah menengah. Mereka
menyatakan bahwa masalah yang disajikan mampu dijawab oleh siswa melalui
aktivitas-aktivitas penelitian atau melalui eksperimen yang dilakukan. Selain
aktivitas, faktor lain yang juga dikemukakan oleh ketiganya adalah karena dengan
pembelajaran penemuan siswa dilatih untuk berpikir secara logis dan sistematis
yang merupakan bagian dari metode-metode ilmiah.
Pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa yang mengarahkan siswa
untuk menyelesaikan suatu masalah melalui proses penemuan memberikan
pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini senada dengan
hasil penelitian Lee, Puspitasari, Kim, dan Jeong (2012) di Florida yang
menyatakan bahwa proses siswa menanggapi pertanyaan-pertanyaan inkuiri
merangsang siswa untuk menganalisis informasi dalam suatu konteks kompleks
yang diberikan, dan kemudian berpikir lebih luas atau dalam untuk mengeluarkan
idenya, membuktikan, dan merefleksikan pendapat mereka. Ini berarti bahwa
pertanyaan-pertanyaan inkuiri membantu siswa dengan baik untuk menguasai
kemampuan berpikir kritis siswa yang di dalamnya termasuk proses analisis,
pengajuan pendapat atau ide, pembuktian, dan refleksi.
Selain berpengaruh positif terhadap kemampuan kognitif siswa, dalam hal
ini adalah kemampuan berpikir kritis, model pembelajaran penemuan terbimbing
juga memberikan konstribusi yang baik terhadap kemandirian belajar siswa. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sen dan Yilmaz (2015) di Turki menyatakan hal
demikian, Analisis Multivariat yang digunakan untuk melihat pengaruh model
pembelajaran penemuan terbimbing berorientasi pada proses memberikan hasil
bahwa model tersebut berhasil meningkatkan nilai tugas, kontrol kepercayaan
pembelajaran, kepercayaan diri terhadap belajar dan hasil belajar, kemampuan
berpikir kritis, belajar berpasangan, kemandirian belajar, pengendalian usaha, dan
55
manajemen waktu belajar siswa. Keduanya menyimpulkan bahwa pembelajaran
penemuan terbimbing berorientasi pada proses tersebut baik, positif, dan
bermanfaat dalam pengembangan kemandirian belajar siswa.
Sun, Xie, dan Anderman (2018) juga meyakini bahwa kemandirian belajar
siswa yang baik sangat diharapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Hal ini disebabkan karena kemandirian belajar siswa dalam matematika
berkorelasi kuat dengan prestasi akademik siswa yang diharapkan baik dalam
tujuan pembelajaran. Semakin baik kemandirian belajar siswa maka semakin baik
pula prestasi akademiknya.
Aktivitas atau kegiatan dalam pembelajaran penemuan terbimbing diyakini
mampu memperbaiki kemandirian belajar siswa menjadi lebih baik dan sesuai
dengan harapan pembelajaran. Hal ini senada dengan pernyataan Nasution, Surya,
dan Syahputra (2015) bahwa kemandirian belajar siswa meningkat apabila
pembelajaran yang diterapkan di kelas menuntut siswa untuk mencari tahu,
menemukan sendiri, serta mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan
menggunakan beberapa informasi yang diperoleh atau pengalaman belajar yang
pernah diperoleh sebelumnya. Ini sesuai dengan pembelajaran penemuan
terbimbing yang juga memaksimalkan aktivitas berpikir siswa, aktivitas diskusi
siswa atau aktivitas kerja siswa dalam memecahkan masalah yang diajukan
kepadanya.
Pengintegrasian konteks dan nilai budaya dalam pembelajaran juga
memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Keberhasilan proses
pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang
dimiliki oleh siswa atau masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Marheni dan Suardana (2014) mengungkapkan
bahwa baik guru maupun siswa menunjukan respon atau tanggapan yang positif
terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis budaya lokal.
Siswa berpendapat bahwa dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri
terbimbing berbasis budaya lokal dapat: memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengemukakan hasil penyelidikan melalui diskusi kelas, mendorong
mereka bekerja sama dalam kelompoknya, memberikan mereka kesempatan
melakukan percobaan untuk memecahkan masalah yang diberikan, berpartisipasi
56
secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung, membuat suasana belajar
lebih menyenangkan, memudahkan mereka memahami materi yang diajarkan, dan
membuat mereka mengetahui aplikasi konsep-konsep yang telah dipelajari dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendapat siswa mengenai pembelajaran berbasis budaya lokal di atas
diperkuat oleh Izmirli (2011) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa
“Ethnomathematics can make learners do think mathematically and epistemology
and it is our responsibility as educators to recognize and appreciate the modes of
mathematical reasoning. It will conduct and facilitate students’ understanding of
the cultural aspects of mathematics.” Ini menunjukkan bahwa Etnomatematika
(pembelajaran matematika yang menggunakan budaya) dapat membuat peserta
didik berpikir matematis dan epistemologi dan itu adalah tanggung jawab kita
sebagai pendidik untuk mengenali dan menghargai beragam penalaran matematis
peserta didik. Ini akan mendukung dan memfasilitasi pemahaman siswa dari
aspek budaya matematika.
Penelitian yang dilakukan oleh Arisetyawan, Suryadi, Herman, dan
Rahmat (2014) juga membuktikan bahwa budaya yang dikaitkan dalam
pembelajaran mampu meningkatkan kemampuan siswa. Hal ini terlihat pada
kutipan dalam jurnalnya, yaitu “The model implementation of culture based
learning ... must emphasize on the estabilishment of a positive character that
reflect the cultural values of the nation besides improving the cognitive aspect
student”, yang maknanya adalah bahwa penerapan pembelajaran berbasis budaya
tidak hanya dapat memperbaiki kognitif siswa tetapi juga dapat membangun
karakter yang positif bagi siswa. Oleh karena itu, pengintegrasian nilai budaya
dalam pembelajaran dirasakan penting dan harus kembali mulai diterapkan di
sekolah dasar dan menengah.
Berdasarkan hasil penelitian yang relevan di atas disimpulkan bahwasanya
dengan pembelajaran penemuan terbimbing memberikan kontribusi positif
terhadap kemampuan kognitif dan afektif siswa. Dengan melihat beberapa
penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, maka penelitian
ini dilaksanakan dengan tujuan untuk dapat menindaklanjuti dan mengkombinasi
penelitian-penelitian tersebut dengan harapan bahwa pembelajaran penemuan
57
terbimbing berbasis konteks budaya Nias memberikan pengaruh positif terhadap
kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa.
2.2.
Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan sarana peneliti untuk menganalisa secara
terstruktur dan berargumentasi tentang kecenderungan dugaan kemana penelitian
akan berlangsung. Kerangka konseptual dalam penelitian ini didasarkan pada latar
belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
manfaat penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Adapun aspek
yang akan dibahas dan dikaji adalah sebagai berikut.
2.2.1. Pengaruh Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis
Konteks Budaya Nias terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Siswa
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang disengaja atau direncanakan
oleh pembelajaran dalam bentuk suatu aktivitas belajar tertentu. Aktivitas ini
menunjukkan pada keaktifan siswa dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu,
baik pada aspek-aspek jasmaniah maupun aspek mental yang memungkinkan
terjadinya perubahan pada dirinya. Suatu kegiatan belajar dikatakan baik,
bilamana intensitas keaktifan jasmaniah maupun mental siswa semakin tinggi.
Sebaliknya meskipun siswa dikatakan belajar, namun bilamana keaktifan
jasmaniah dan mental rendah berarti kegiatan belajar tersebut tidak dilakukan
secara insentif. Dengan demikian, kita memahami bahwa peningkatan belajar
siswa bertolak dari aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran, siswa dituntut
untuk aktif dalam pembelajaran bukan hanya transfer ilmu dari guru, melainkan
guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan
dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan
masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kemampuan
matematika yang dianggap penting bagi siswa untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar
58
yang mempunyai kemampuan memecahkan masalah pada dasarnya merupakan
tujuan pendidikan, siswa dituntut untuk memecahkan masalah sehingga
kemampuan berpikir kritis matematis siswa meningkat.
Pengetahuan
dan
kemampuan
guru
mengenai
pembelajaran
dan
melaksanakannya dalam kelas penting sebagai salah satu upaya pemberian
pengalaman belajar dan pencapaian tujuan belajar siswa semaksimal mungkin.
Belajar dengan model penemuan terbimbing akan meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa. Hal ini dikarenakan siswa sendirilah yang
menemukan konsepnya dan menguasai benar temuannya. Disamping itu, model
pembelajaran penemuan terbimbing yang merupakan model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsipprinsip konstruktivis dengan kegiatan pembelajaran yang diawali dengan
pengajuan pertanyaan tertulis tentang materi yang akan dipelajari, tentunya
memberikan
stimulus
bagi
siswa
yang
mampu
menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hal tersebut didukung juga dengan
materi pembelajaran yang berkaitan dengan konteks budaya yang sudah familiar
dengan lingkungan belajar siswa.
Pengintegrasian konteks budaya dalam proses pembelajaran matematika
memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir matematis siswa.
Siswa merasa dekat dengan apa yang sedang dipelajari karena merasa dirinya
merupakan bagian dari pembelajaran. Siswa akan termotivasi untuk belajar dan
menyelesaikan masalah yang diberikan. Sedangkan belajar dengan pembelajaran
ekspositori, guru berperan aktif sebagai informator dan fasilitator dalam
pembelajaran. Hal ini menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber pembelajaran
dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa menerima penuh akan materi yang
disampaikan guru dengan tanpa stimulus yang mampu merangsang respon
berpikir kritis matematis siswa. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis
matematis siswa tidak terhiraukan dengan maksimal dalam pembelajaran dengan
pembelajaran ekspositori. Oleh karena itu, penerapan pembelajaran penemuan
terbimbing berbasis konteks budaya Nias dinilai mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
59
2.2.2. Pengaruh Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis
Konteks Budaya Nias terhadap Kemandirian Belajar Siswa
Upaya meningkatkan kemandirian belajar siswa, diantaranya dengan
memberikan kebebasan dalam belajar kepada siswa dengan sedikit bantuan dari
guru. Untuk menciptakan kebebasan dalam belajar kepada siswa diperlukan
tindakan efektif dari guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang
menunjang kemandirian belajar siswa. Pembelajaran penemuan terbimbing
memberikan sumbangan positif kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan
gaya belajar mereka.
Dengan adanya prinsip dalam model pembelajaran penemuan terbimbing
yang menyatakan bahwa peserta didik terlibat langsung dalam pembelajarannya
dan dapat merefleksikan pengalamannya, peserta didik belajar dengan
membangun apa yang mereka sudah tahu, peserta didik mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui bimbingan pada titik-titik kritis dalam
proses pembelajaran, peserta didik memiliki cara yang berbeda dalam
pembelajaran, peserta didik belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain, dan
peserta didik belajar melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan
perkembangan kognitif mereka, hal tersebut secara keseluruhan tentunya dapat
menjadikan siswa yang lebih mandiri dalam pembelajaran menyertai gaya belajar
mereka masing-masing.
Selain itu, kegiatan dalam proses pembelajaran penemuan terbimbing
berbasis konteks budaya jelas dapat menunjang kemandirian siswa dalam belajar
yaitu membangun kemampuan mental siswa dalam seluruh proses pembelajaran,
efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi siswa disamping guru yang
berperanserta membantu mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang
topik-topik yang jelas, siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan
keterampilan-keterampilan berpikir karena mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi, mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas
inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, objektif, dan terbuka, dan mendorong siswa
untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri. Dengan demikian,
diyakini bahwa model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks
budaya Nias dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa.
60
2.2.3. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal
Matematis terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Model
pembelajaran
penemuan
terbimbing
merupakan
model
pembelajaran yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh
pengetahuan yang belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan atau
seluruhnya ditemukan sendiri, penemuan disini bukanlah penemuan yang
sungguh-sungguh, tetapi menemukan lagi bukan menemukan yang sama sekali
baru.
Bagian dari konsep model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis
konteks budaya Nias menuntut siswa yang berkecakapan sosial, bahasa, dan
kemampuan membaca, serta mengkonstruksi pemahaman sendiri. Akan tetapi, hal
tersebut tentunya tidak sepenuhnya terpenuhi jika diterapkan pada siswa yang
berkemampuan awal rendah, sedang, dan tinggi. Siswa yang berkemampuan awal
rendah cenderung sulit untuk mengikuti pembelajaran yang bersifat menemukan
walaupun dengan bimbingan dari guru. Bahkan yang sepenuhnya dibimbing dan
diarahkan penuh oleh guru sekalipun belum sepenuhnya mampu diserap secara
maksimal oleh siswa berkemampuan awal rendah. Berbeda dengan siswa yang
berkemampuan awal sedang dan tinggi, dimungkinkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang lebih maksimal dengan adanya pemberian pertanyaanpertanyaan disertai bimbingan guru dalam model pembelajaran penemuan
terbimbing berbasis konteks budaya Nias.
Disamping itu, model pembelajaran ekspositori yang memaksimalkan
peran serta guru dalam pembelajaran akan memaksimalkan secara merata
penyerapan materi pelajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa. Siswa dengan kemampuan awal yang rendah, sedang, dan tinggi
senantiasa mendapat pembelajaran secara keseluruhan bersumber dari guru. Yang
artinya informasi dalam materi pelajaran sudah lebih akurat karena disampaikan
langsung oleh guru tanpa siswa harus menemukan atau menerka hasil dari
permasalahan yang diajukan dalam pembelajaran. Perlakuan yang demikian
memungkinkan siswa yang berkemampuan awal rendah sekalipun akan mendapat
prioritas dan materi yang tersaji secara keseluruhan, sehingga kemampuan
berpikir kritisnyapun dimungkinkan lebih tinggi dari siswa yang berkemampuan
61
awal rendah pada model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis konteks
budaya Nias. Berbanding terbalik dengan pernyataan tersebut, siswa yang
berkemampuan awal sedang dan tinggi senantiasa lebih cenderung untuk belajar
secara mandiri disertai sedikit bimbingan oleh guru, bukan guru yang berperan
penuh sebagai informator. Sehingga, kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang berkemampuan awal sedang dan tinggi pada model pembelajaran ekspositori
diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berkemampuan awal sedang dan
tinggi pada model pembelajaran penemuan terbimbing.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diduga terdapat interaksi antara
model pembelajaran dengan kemampuan awal matematis terhadap kemampuan
berpikir kritis matematis siswa.
2.2.4. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal
Matematis terhadap Kemandirian Belajar Siswa
Dalam proses pembelajaran dengan penemuan terbimbing, siswa didorong
untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila
siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat
dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip bekerja secara maksimal. Disamping
itu, bagian dari prinsip model pembelajaran penemuan terbimbing adalah peserta
didik belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain, dan peserta didik belajar
melalui instruksi dan pengalaman sesuai dengan perkembangan kognitif mereka.
Penjelasan di atas dimungkinkan akan berjalan secara efektif pada siswa
yang berkemampuan awal sedang dan tinggi, sedangkan siswa
yang
berkemampuan awal rendah akan memiliki kemandirian belajar yang rendah pula.
Hal ini dikarenakan kesulitan yang dialami siswa yang berkemampuan awal
rendah dalam memecahkan masalah yang diajukan, sehingga meredupkan
motivasi dan kemandirian belajar siswa tersebut.
Berbeda dengan model pembelajaran penemuan terbimbing, pembelajaran
dengan model ekspositori yang lebih dikendalikan oleh guru tentunya lebih baik
62
dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa yang berkemampuan awal rendah,
yang juga berperan dalam meningkatkan kemandirian belajar siswa. Peran guru
diprioritaskan secara maksimal dalam pembelajaran menjadikan siswa yang lebih
terangsang untuk memberikan respon positif dalam kegiatan belajar mengajar.
Akan tetapi, pada siswa yang berkemampuan awal sedang dan tinggi, model
pembelajaran ekspositori diprediksi akan memiliki kemandirian belajar yang lebih
rendah dibandingkan siswa yang berkemampuan awal yang sama pada model
pembelajaran penemuan terbimbing. Hal tersebut disebabkan karena peran
maksimal guru dan keterlibatan aktivitas siswa yang kurang maksimal pada model
pembelajaran ekspositori yang mengakibatkan kemandirian belajar siswa yang
rendah dalam pembelajaran tersebut.
Dengan demikian, maka diperkirakan terdapat interaksi antara model
pembelajaran dan kemampuan awal matematis terhadap kemandirian belajar
siswa.
2.3.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka konseptual di atas, dapat dibentuk
suatu hipotesis penelitian yang merupakan jawaban sementara terhadap penelitian
yang akan dilakukan. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Terdapat pengaruh model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis
konteks budaya Nias yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis siswa.
2.
Terdapat pengaruh model pembelajaran penemuan terbimbing berbasis
konteks budaya Nias yang signifikan terhadap kemandirian belajar siswa.
3.
Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan
kemampuan awal matematis terhadap kemampuan berpikir kritis matematis
siswa.
4.
Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan
kemampuan awal matematis terhadap kemandirian belajar siswa.
Download