KONSEP TAWASSUL MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Oleh: FATIMAH BINTI ABDUL KHADAL NIM: 301170014 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019 Drs. H. Lahmuddin, M.Ag Nilyati, S.Ag., M.Fil.I Jambi, 04 Maret 2019 Alamat: Fak Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi Jl. Raya Jambi-Ma Bulian Simp. Sungai Duren Muaro Jambi. Kepada Yth. Bapak Dekan Fak. Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi diJAMBI NOTA DINAS Assalamu’alaikumWr. Wb Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan pensyaratan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudari Fatimah Binti Abdul Khadal yang berjudul “Konsep Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an” telah dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) Jurusan Ushuluddin dan Studi Agama dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi. Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa. Wassalam. ii iii iv MOTTO الر ْ م الرِحْي ِم َّ حْ ْن َّ ِبِ ْس ِم اهلل “[D]an Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. (QS Asy-Syura’: 26)1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 388. 1 v PERSEMBAHAN احلمد هلل رب العاملني Kupersembahkan skripsi ini Kepada insan-insan yang tersayang Keluarga Tercinta Ayahanda, Abdul Khadal dan ibunda, Hasima yang telah mendidik dan mengasuh anaknda dari kecil hingga dewasa bagai menatang minyak yang penuh. Kakek dan nenek, Muhamad dan Isah yang tidak jemu menjaga dan membesarkan cucunda dengan penuh kasih sayang. Tidak lupa juga kakanda Khatijah dan Azizah serta adinda Darwis Muhyiddin yang selalu memberi galakkan, semangat dan dorongan agar sentiasa tabah menghadapi ujian dan cabaran sebagai mahasiswa supaya kelak menjadi seorang manusia yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat menggapai cita-cita dan impian hidup. vi ABSTRAK Terlalu ramai umat Islam pada zaman ini yang ternyata salah dalam memahami hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang sholeh karena tawassul merupakan sunnah. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada kita mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, terdapat golongan yang menolak tawassul ini dengan hujah-hujah yang pada hakikatnya tidak mampu diterima akal dengan mengatakan bahwa tawassul ini sama seperti meminta kepada orang yang sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tidak bernyawa, akan tetapi permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT. Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah penelitian kepustkaan (library research) penelitian yang dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan kitab-kitab tafsir, bukubuku, dan literature-literatur tentang tawassul serta mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan. Penulis meneliti dan mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan pendekatan metode maudhui (tematik). Hasilnya penulis mendapati bahwa tawassul merupakan suatu pintu dari pintupintu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang dituju dan diminta asalnya dan hakikatnya hanya pada Allah SWT., manakala yang menjadi perantara itu adalah jalan semata-mata untuk menghampirkan diri kepada Allah SWT., karena kecintaan kepada perkara yang dijadikan wasilah itu dengan berkeyakinan yang utuh bahwa Allah SWT., juga mengasihi wasilah itu. Terdapat banyak dalil-dalil mengenai tawassul yang difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Nabi Saw. Amalan ini dibolehkan dan diharuskan menurut pendapat ulama. Bentuk-bentuk tawassul yang dapat dipahami dalam kajian penulis ini adalah bertawassul kepada Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang Maha Agung, bertawassul kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul utusan-Nya, bertawassul kepada Allah SWT., dengan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, bertawassul kepadaNya melalui perantara amal-amal saleh dan kebaikan serta bertawassul kepada Allah SWT., dengan orang-orang saleh atau selain Nabi Saw., sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an yang Mulia dan sunnah Nabi-Nya Muhammad Saw. Akhirnya penulis merekomendasikan kepada ummat Islam agar menetapkan niat dan menyempurnakan iman terlebih dahulu sebelum mengamalkan tawassul supaya tidak mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut. vii KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur tiada henti-hentinya kehadrat Allah SWT., yang telah menganugerahi penulis dengan sedikit ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam, yakni Nabi besar Muhammad Saw., seorang Nabi yang pernah memberi angin segar kepada ummatnya disaat ummatnya tenggelam dalam lautan kemusyrikan, hingga menjadi pantai yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Adapun maksud dan tujuan penulis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada yang terhormat. 1. Bapak Drs. H. Lahmuddin, M.Ag sebagai pembimbing I dan ibuk Nilyati, S.Ag., M.Fil.I sebagai pembimbing II yang telah sabar membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibuk Ermawati Hasan S,Ag., M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 3. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 4. Bapak Dr. Masiyan M. Syam S.Ag., M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc, M.A, serta Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan dan Keuangan, serta Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama Luar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 5. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN STS Jambi. 6. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi Asy’ari MA. Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Ag, dan Ibu Dr. Hj. Fadhlilah, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama. 7. Bapak Ibu Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang memberi ilmu pengetahuan kepada penulis. 8. Bapak dan Ibu karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 9. Bapak Pimpinan Perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta stafstafnya. 10. Teman-teman seperjuangan, Nor Farah Ain, Nor Farhana, Bintu Afiqah Aiman, Hanisah Zafirah, Muhammad Iqbal, Muhammad Izzuddin dan Muhammad viii Hambaly serta teman-teman lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi dan sahabat-sahabat dari jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang telah memberikan motivasi kepada penulis. 11. Serta semua pihak yang turut membantu, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT., membalasnya. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jambi, 04 Maret 2019 Penulis, Fatimah Binti Abdul Khadal IAT301170014 ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………...... i NOTA DINAS ........................................................................................................ ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................ iii PENGESAHAN ..................................................................................................... iv MOTTO .................................................................................................................. v PERSEMBAHAN ................................................................................................... vi ABSTRAK .............................................................................................................. vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. B. Permasalahan ............................................................................. C. Batasan Masalah ........................................................................ D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ F. Metode Penelitian ....................................................................... G. Sistematika Penulisan ................................................................. 1 5 6 6 7 11 13 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL A. Definisi Tawassul / Wasilah ........................................................ 14 B. Sejarah Tawassul ....................................................................... 19 C. Pemahaman Mengenai Konsep Tawassul .................................. 23 BAB III TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM A. Macam-Macam Tawassul ........................................................... 27 B. Bentuk-bentuk Amalan Tawassul ............................................... 30 C. Pengamalan Tawassul dalam Islam ............................................ 42 BAB IV AL-QUR’AN DAN TAWASSUL A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah ......... 45 B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil Wasilah ...................................................................................... 47 C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul ..................................... 49 D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul ......................................... 57 x BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 62 B. Saran .......................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA CURRICULUM VITAE xi PEDOMAN TRANSLITERASI A. Alfabet Arab Indonesia Arab Indonesia ا , ط ṭ ب b ظ ẓ ت t ع ʻ ث th غ gh ج j ف f ح h ق خ kh ك k د d ل l ذ dh م m ر r ن n ز z ه h س s و w ش sh ء , ص ṣ ي y ض ḍ xii q B. Vokal dan Harkat Ar ab Indone Ar sia Indone ab sia Ar ab Indone sia َا a ﺎ ā اِى ī َا u اى á او aw َِا i او ū اى ay C. Tā’ Marbūṭah Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam: 1. Tā’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, makan transliterainya adalah /h/. 2. Arab Indonesia صالة Ṣalāh مراة Mir’āh Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah, maka transliterasinya adalah /t/. 3. Arab Indonesia وزارةَالتربية Wizārat al-Tarbiyah مراةَالزمن Mir’āt al-zaman Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun. Arab Indonesia َفجئة َ Faji’tan xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dikala modernisasi menerpa umat Islam, pemikiran masyarakat juga semakin maju seiring dan bertepatan dengan peredaran zaman. Sehingga perkara-perkara yang asalnya merupakan amalan yang biasa dilakukan di mana terdapat dalil-dalil mengenainya, mula dipandang sebagai satu perbuatan yang sesat dan bertentangan dengan akidah Islam bahkan lebih payah dituduh sebagai bid’ah1 yang sesat. Mayoritas umat Islam pada jaman ini yang ternyata salah dalam memahami hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang saleh karena tawassul merupakan sunnah.2 Hakikat keperluan bertawassul ini adalah sebagai wasilah yaitu merupakan jalan bagi mendapatkan sesuatu yang diperlukan dengan memohon melalui perantaraan para Nabi, para malaikat, wali, ulama’ dan orang-orang saleh, baik mereka masih hidup maupun telah meninggal dunia. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada kita mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagi melakukan tawassul ini, yang menjadi perantara itu seharusnya mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT., sebagai syarat untuk dilaksanakan tawassul. Selain itu, orang yang bertawassul dengan wasilah ini perlu mempunyai keyakinan bahwa orang yang menjadi wasilah itu adalah orang saleh atau Bid’ah mengerjakan sesuatu yang baru yang ada pada masa Rasulullah Saw. Bi’dah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk). Asep Saifuddin Chalim, Membumikan ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012), 150-151. 2 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban: Koperasi As Sofa, 2014), 170. 1 1 2 wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Allah SWT., karena dianggap sebagai paling dekat dengan Allah SWT. Seiring dengan firman Allah SWT., dalam QS. Al-Ma’idah, ayat 35: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).3 Ahmad Sonhadji Mohamad menafsirkan perkataan wasilah atau jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT., dalam ayat tersebut ialah tiap-tiap perbuatan ketaatan yang mendekatkan kepada keredhaan Allah SWT., dan memudahkan mendapat pahala daripada-Nya di akhirat. Wasilah itu merupakan setinggi-tinggi gedung dalam surga.4 Sebagai contoh, apabila kita berpuasa pada bulan mulia Ramadan, maka dikatakan bahwa dengan berpuasa merupakan wasilah menuju pengampunan dosadosa dan solat di malam hari pada Lailatul Qadar juga adalah wasilah. Semuanya ini diharuskan atas dasar iman dan pengharapan kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT., dalam QS. Ali ‘Imran, ayat 185: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90. 4 Ahmad Sonhadji Mohamad, Tafsir Al-Qur’an di Radio (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Mizan, 1992), 153-155. 3 3 dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS Ali ‘Imran: 185).5 Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala amal saleh adalah wasilah. Tujuan perbuatan saleh tersebut adalah demi memperoleh redha Allah SWT., dan kemenangan di akhirat kelak. Dunia ini hanyalah tipu daya yang mengasyikkan semata-mata namun tidak pula memberi apa-apa manfaat terhadap manusia. Selain itu, tawassul kepada Allah SWT., juga boleh disebut sebagai suatu sarana demi termakbulnya doa. Apabila bertawassul melalui doa kepada Allah SWT., orang yang berdoa itu harus mengiringi doanya dengan sesuatu yang menjadi sebab diterimanya doa tersebut. Di samping itu, orang yang bertawassul haruslah mempunyai dalil yang mendasari bahwa sesungguhnya ia merupakan penyebab termakbulnya doa. Perkara tersebut tidaklah diketahui kecuali melalui pensyariatan Allah SWT., yaitu barangsiapa yang menjadikan suatu perkara sebagai wasilah untuknya agar doanya itu dikabulkan oleh Allah SWT., tanpa mempunyai dalil syariat sebagai sandaran, maka sesungguhnya ia adalah perkara yang tidak berasas dan tidak mempunyai ilmu.6 Oleh itu, wasilah merupakan suatu perkara yang diredhai Allah SWT., dan menjadi sebab termakbulnya doa karena doa itu sendiri adalah sebuah ibadah, yakni ibadah itu hanya berdasarkan dalil-dalil yang datangnya daripada syariat Allah SWT., sendiri yang merupakan panduan dan ikutan dalam melaksanakan perintah-Nya. Namun, terdapat golongan yang menolak tawassul ini dengan hujah-hujah yang pada hakikatnya tidak mampu diterima akal dengan mengatakan bahwa tawassul ini sama seperti meminta kepada orang yang sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tidak bernyawa, akan tetapi permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 74. 6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengkap Tawassul, Diterjemah oleh Muhammad Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2014), 12. 5 4 Justeru, kita memohon syafaat kepada Allah SWT., melalui mereka yang telah tiada yang diyakini mereka merupakan orang-orang yang saleh juga yang dikasihi Allah SWT., bukan kepada benda mati dan tidak mempunyai apa-apa manfaat daripadanya. Jika jasad tidak mampu mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukanlah bererti bahwa ruh suci mereka tidak boleh mendengar dan memahami permohonan kita. Imam Taqiyyuddin As Subki berkata: “Ketahuilah, bahwa boleh dan baik sekali bertawassul, beristighasah, dan memohon syafaat dengan Nabi Saw., untuk memohon kepada Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Agung. Diperbolehkannya tawassul dan dianggap bagus adalah karena termasuk hal-hal yang maklum bagi setiap orang yang beragama, amalan tawassul ini juga termasuk perbuatan para Nabi, Rasul, ulama salaf (generasi pertama dan terbaik dari ummat Islam, terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah SWT.)7, orang-orang saleh, para ulama dan kaum muslimin yang masih awam.8 Menurut padangan Muhammad al Maliki Al- Hasani, tawassul termasuk salah satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Jadi yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya dalam bertawassul adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawassulkan (al mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, orang yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah.9 7 Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, “Definisi Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”, diakses melalui alamat https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html, tanggal 06 September 2018. 8 M. Abror Rosyidin, “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW”, diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullahsaw/, tanggal 06 September 2018. 9 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 101. 5 Sementara, Syed Ahmad Zaini Bin Syed Zaini Dahlan (Mufti Makkah) ada mengatakan bahwa tawassul adalah sah terbitnya daripada Nabi Saw, para sahabat dan salafussaleh dulu dan kemudian.10 Mendekatkan diri kepada Allah SWT., mempunyai banyak cara dan kaedah yang boleh digunakan, namun kesemuanya haruslah dengan cara yang dibenarkan oleh-Nya dan bermula dari perasaan kebutuhan serta kecintaan terhadap Allah SWT., sendiri. Jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, maka ia pasti berusaha untuk menempuh segala liku dan dugaan bagi meraih ridha, perhatian dan menyenangkan siapa yang ia butuhkan itu. Demikian juga sikap manusia yang senatiasa membutuhkan Allah SWT., dalam hidup mereka.11 Bertitik tolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) dengan judul “Konsep Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an”. B. Permasalahan Dari latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, pokok masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep tawassul yang terkandung dalam Al-Qur’an? Maka, untuk lebih menajamkan penelitian ini, pokok masalah ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana berikut: 1. Bagaimana hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an? 2. Bagaimana bentuk-bentuk amalan tawassul? 3. Bagaimana pendapat ulama tentang konsep tawassul? 10 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 2 11 Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), 23 6 C. Batasan Masalah Mengingat luasnya permasalahan yang ingin dibahas, maka perlu dilihat sebuah batasan masalah agar lebih terarah dan tidak melenceng dalam pembahasan ini. Sehubungan dengan itu, penulis hanya mengkaji tentang konsep tawassul, dalil-dalil berkaitan dengan konsep tawassul dan penafsirannya serta mengetengahkan pendapatpendapat ulama berkaitan dengan konsep tawassul ini. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum diupayakan untuk mengetahui hakikat sebenar konsep bertawassul. Secara khusus, penelitian ini ditujukan: a. Untuk mengetahui hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an. b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk amalan tawassul. c. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang konsep tawassul. 2. Kegunaan Penelitian Lebih jauh, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu: a. Sebagai salah satu sumber daya pemikiran dan kematangan iman masyarakat pada masa kini dalam konsep ibadah kepada Allah SWT. b. Melalui penelitian yang dilakukan masyarakat dapat menjadikan ia sebagai salah satu rujukan ilmiah yang bermanfaat untuk memperkasakan lagi ilmu pengetahuan. c. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah mengembangkan paradigm keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk Universitas Islam. 7 E. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kaedah tinjauan pustaka di mana penulis mencari dan meneliti beberapa buku, kajian ilmiah dan bahan literatur yang berkait dengan perbahasan dan penelusuran penulis dalam penelitian ini. Penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap kitab-kitab tafsir, buku-buku, kajian ilmiah dan karya akademik yang terkait dengan permasalahan penelitian yang penulis rangkakan. Penulis menemukan banyak para ulama yang sudah memberikan pengetahuan tentang masalah amalan tawassul ini. Antaranya buku ilmiah yang merupakan karya tulis popular seperti Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim oleh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani. Beliau menyatakan bahwa amalan bertawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Maka yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenar dalam bertawassul adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawassuli (almutawassal bih) hanya sekadar perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT12 Selain itu, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani dalam karyanya, Agamamu dalam Bahaya menerangkan bahwa sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah dalam doa dengan kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seorang hamba yang saleh karena tawassul merupakan sunnah.13 Buku ini telah menerangkan mengenai konsep-konsep tawassul yang menjadi persoalan dan titik perbahasan dalam kalangan masyarakat pada masa hari ini. Selanjutnya, penulis telah melakukan kajian ilmiah di perpustakaan bagi dijadikan bahan tinjauan pustaka bagi penelitian penulis. Penulis menemukan sebuah jurnal yang berkaitan tawassul karya Udah Mohsin berjudul Tawassul: Antara yang disyariatkan dan yang dipertikaikan. Dalam jurnal ini diterangkan bahwa makna Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 101. 13 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 170. 12 8 tawassul kepada Allah SWT., melalui sesuatu adalah menghampiri dan menyampaikan sesuatu kepada Allah SWT., melalui sesuatu perkara dan juga berarti kedudukan dan taraf qurbah (pendekatan) yang khusus. Tawassul yang disyariatkan mempunyai dalildalil yang jelas daripada Al-Qura’n atau Al-Sunnah atau kedua-duanya sekali.14 Penelitian yang dikaji dalam karya di atas merupakan pembahasan secara umum mengenai hakikat tawassul sedangkan penulis melakukan pengkajian khusus tentang konsep tawassul menurut Al-Qur’an. Selain itu, penulis juga menemukan jurnal dalam Google yang berjudul “The Islamic Rulling On Tawassul” yang ditulis oleh Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql. Jurnal ini mengupas tentang penyebaran banyak inovasi, mitos, dan amalan musyrik telah meningkat pada zaman kita disebabkan ketidaktahuan orang ramai akibat dari meninggalkan perintah-perintah Allah SWT. Salah satu amalan yang tersebar secara meluas adalah memuliakan orang yang disebut Wali (orang yang shaleh) dan memohon kepada mereka daripada memohon kepada Allah SWT. Banyak orang memegang keyakinan bahwa mereka boleh mendatangkan bahaya atau manfaat kepada orang lain, maka mereka memuliakan golongan shaleh itu dan mengelilingi makam mereka. Orang-orang itu mendakwa memohon kepada Wali sebagai kaedah untuk memenuhi keperluan mereka dan melepaskan penderitaan mereka semasa kesukaran, tetapi jika orang-orang jahil ini merujuk kepada Al-Qur'an dan sunnah dan memahami apa yang ada di dalamnya mengenai doa, mereka akan mempunyai memahami makna sebenar tawassul yang diperkenankan (mendekatkan diri kepada Allah). Tawassul yang dibenarkan adalah sesuatu yang dilakukan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan melakukan perbuatan yang benar dan menahan larangan-larangan, serta berdoa kepada Allah SWT. berdasarkan nama-Nya Yang Indah dan Yang Mulia. Ini adalah cara untuk mencapai kesenangan dan rahmat Allah SWT. 15 Jurnal ini mengupas Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 35-36. 15 Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql, “The Islamic Rulling on Tawassul”, Artikel (Daar Al-Watan Publishing House: 12 Disember 2004), 2-3, https://en.islamway.net/book/177/islamic-ruling-ontawassul, Diunduh tanggal 08 Oktober 2018. 14 9 tentang kesalahan dalam amalan tawassul yang dilakukan oleh ummat Islam pada masa kini manakala penulis hanya mengkaji konsep tawassul secara umum melalui perspektif Al-Qur’an dan pendapat ulama’ tentang amalan ini. Sementara itu, di dalam jurnal penulisan 'Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi berjudul Tawassul16, kupasan beliau menyimpulkan bahwa kontroversi tentang isu tawassul bukanlah perpecahan antara ummat Islam, namun ia merupakan sebuah percanggahan pendapat antara pengikut aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aliran Salafiyyah. Tawassul melalui doa dengan penuh penghayatan kepada Nabi Muhammad Saw., dan orang-orang saleh ini menjadi perbahasan dan perdebatan yang tiada sudahnya setelah kemunculan Ibnu Taimiyyah. Polemik ini semakin meruncing dengan kemunculan kumpulan yang menyebarkan fahaman dan pemikiran Ibnu Taimiyyah tersebut dengan lebih esktrem dan syadid sehingga menjadi ikutan manusia serta terkenal diserata dunia iaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat puisi tawassul di dalam karya imam-imam yang terkemuka dan terkenal dalam kalangan ahli sufi dan falsafah seperti Syeikh Sa’di, Khalid Naqshabandi dan Shaikh Muhyi al-Din Ibn al'Arabi . Golongan Salfiyyah ini mahu mendapatkan penerangan hanya dengan berpandukan Al-Qur’an dan hadis secara zahir tanpa bijak dalam mendalami dan mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perihal kepentingan bertawassul ini. Kupasan dalam jurnal ini merupakan perbedaan pemahaman amalan tawassul dalam kalangan Ahluss Sunnah Wal Jamaah dan Salafiyyah sementara kajian penulis adalah tentang konsep tawassul menurut Al-Qur’an. Penulis juga telah menemukan skripsi yang berjudul “Ayat-Ayat Tawassul dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab” karya Lailatul Badriyah, Fakultas Ushuluddin, Institus Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.17 Beliau membahas tentang padangan Muhammad Bin Abdul Wahhab bahwa tawassul yang disyariatkan adalah tawassul kepada Allah SWT. Menurutnya, orang yang bertawassul kepada ‘Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi, “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4 (2000), 25. Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009). 16 17 10 orang saleh maupun kepada para kekasih Allah SWT., dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah SWT. Menurutnya lagi, Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepada Nya. Jika Allah Maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah. Skripsi ini hanya mengemukan pendapat Muhammad Bin Abdul Wahhad dalam penelitiannya terhadap masalah pengamalan tawassul. Manakala penulis pula lebih kepada merungkai pendapat-pendapat ulama dan tokoh Islam terhadap pengamalan tawassul dalam kehidupan. Skripsi kedua yang penulis temukan adalah “Hadis-Hadis Tentang Tawassul” yang karang oleh Muchammad Chaidar, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.18 Beliau membuat kesimpulan, redaksi hadis- hadis tawassul yang ditelitinya bisa dipahami secara kontekstual, bahwa Nabi membolehkan bertawassul dengan kemuliaan al-muqarrabin dengan kecintaannya. Hadis-hadis tentang tawassul tersebut tidak boleh dimaknai sempit, yaitu hanya bisa bertawassul di hadapan muqarrabin yang masih hidup saja, namun bisa juga dimaknai secara luas, yakni bisa bertawassul pada yang telah wafat. Sebab pada prinsipnya, hakikat wasilah dari tawassul kepada muqarrabin bukanlah keberadaan sosoknya, melainkan kemuliaan dan amal saleh beliau. Maka dapatlah di fahami bahwa penelitian tersebut lebih terarah kepada kajian hadis-hadis namun dalam kajian penulis, penulis melakukan penelitian dan kajian tentang konsep tawassul menurut persepektif AlQur’an. Sebagaimana terlihat dari studi pustaka ini, penulis belum menemukan kajiankajian yang membahas tentang konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an. Dalam arti lainnya, karya penulis ini tidaklah sama dengan karya-karya di atas, penulis menyoroti konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an, penulis juga menggunakan kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di untuk dijadikan Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010) 18 11 sebagai dokongan yang kuat dalam penelitian ini. Selain itu, penulis mengemukan pendapat-pendapat ulama mengenai pandangan mereka terhadap konsep pengamalan tawassul. Dengan demikian, penelitian penulis adalah berbeda dan dapat ditindaklanjuti lebih jauh sebagai bahan kajian yang menarik. Penulis meneliti dan mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan pendekatan metode tahlily (analisis). F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Yang dimaksudkan dengan metodologi penelitian adalah suatu kaedah atau jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan. 2. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam penelitian ini adalah data-data sumber tulisan dari buku ilmiah, jurnal atau berbagai artikel yang berkaitan dengan pembahasan yang terkaitan dengan judul ini. a. Data Primer yakni merupakan data literature yang secara langsung memiliki keterkaitan dan behubungan secara langsung dengan topik perbahasan penelitian. Maka sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-Qur’an. b. Data sekunder adalah data yang mendukung dan memperkuat data primer. Data ini bersumber dari literatur-literatur yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas. Diantaranya kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli khususnya ahli tafsir 12 seperti Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti serta Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. Antara buku-buku yang dijadikan bahan rujukan kajian penulis adalah Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf, Tawasul, dan Ta’zhim yang ditulis oleh Muhammad AlMaliki Al-Hasani, Agamamu dalam Bahaya karya Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Khilafiah Persoalan & Penjelasan oleh Muhadir Bin Haji Joll, Hakikat Tawassul dan Wasilah yang ditulis oleh Musa Muhammad Ali dan bukubuku lain yang berkaitan dengan judul penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode tahlily (analisis). Metode ini menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassir mencakup pengertian umum kosa kata ayat dan makna global ayat yang ditafsirkan. 19 4. Analisis Data Data-data yang diperoleh dianalisi melalui metode tahlily. Metode tahlily ini digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang tawassul dan yang berkaitan dengannya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna ayat global, hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidang aneka pendapat ulama mazhab dan menambahkan uraian tentang aneka Qira’at , I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya.20 19 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2015), 5. 20 Ibid, 377. 13 G. Sistematika Penulisan Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk menyatakan keseluruhan isi skripsi dengan sepintas, kemudian dirinci ke dalam sub bab yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua merupakan landasan teori dan tinjauan umum dari penelitian ini, dalam bab ini penulis menguraikan tentang definisi, sejarah dan pemahaman tentang amalan tawassul. Bab ketiga pula penulis melakukan pembahasan mengenai tawassul dalam keilmuan Islam yakni mengupas tentang macam-macam tawassul, bentuk-bentuk amalan tawassul serta pengamalan tawassul dalam Islam. Bab keempat merupakan analisis tentang Al-Qur’an dan tawassul yang dilakukan untuk mengetahui pemaknaan, pemahaman dan interpretasi tentang hujah dan dalil-dalil berkaitan tawassul. Bab ini merupakan hasil dan bahasan inti daripada penelitian ini dengan mengeluarkan ayat-ayat tawassul dalam Al-Qur’an yang berkait tentang tawassul, penafsiran kitab tafsir terhadap ayat-ayat tersebut pendapat ulama terhadap konsep tawassul itu. Bab kelima yaitu penutup dalam penelitian, berisikan bahasan tentang kesimpulan akhir yang menjawab matlamat penelitian, saran-saran serta harapan yang sebaiknya dilakukan untuk lebih mengembangkan penelitian mengenai tema ini. BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL Tawassul adalah satu amalan yang berasal dari kata wasilah (suatu jalan) yang mana ia merupakan isu hangat yang menjadi perbincangan dan perbahasan dalam kalangan ilmuan agama maupun masyarakat awam yang merangkumi bidang ilmu akidah yakni kepercayaan ummat Islam. Sesungguhnya pujian hanya milik Allah SWT., kita memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan memohon keampunan dari-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., niscaya tidak ada yang sesat, dan barangsiapa yang tersesat niscaya tidak ada yang memberi petunjuk kepadanya selain Allah SWT. ِ َ تَرْكت فِي ُكم أَمري ِن لَن ت:b ِول اهلل ِ َِعن مال َّ أ،ُ أَنَّهُ بَلَغَه،ك :ضل ْوا َما ََ ََّّكُُْ ْم ِِِ ََا َ َن َر ُس ْ َْ ْ ْ ْ ُ َ َْ ِ .اب اهللِ َو ُسنَّةَ نَبِيِّ ِه َ َُك “Dari Malik, sesungguhnya hadis tersebut sampai padanya, sesungguhnya Rasulullah Saw., bersabda: Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, iaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”. (Riwayat Yahya Bin Yahya alLaitsi)1 Oleh itu, sebagai ummat Islam yang berpaksikan kehidupan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, haruslah kita mengetahui hakikat dan kaidah dalam membezakan tawassul yang disyariatkan dengan tawassul yang menjadi pertikaian para ulama’. Tawassul yang disyariatkan akan menjadi pegangan dan prinsip kita manakala tawassul yang dipertikaikan itu perlu dijadikan renungan bahwa boleh melakukan dan menerimanya atau menolak dan meninggalkannya. A. Definisi Tawassul / Wasilah Dalam memahami makna kepada perkataan tawassul yang banyak disalahartikan, kita seharusnya memahami apa itu tawassul terlebih dahulu. Bahwasanya 1 Abu Abdillah Malik Bin Anas, Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi, Bab Jami’, No 1619 (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984), 502. 14 15 tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdoa dan merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu menghadap Allah SWT. Orang-orang yang bertawassul dengan perantara adalah karena ada rasa cinta kepada perkara yang dijadikan sebagai perantara tersebut dan juga yakin bahwa Allah SWT., juga mencintai perkara itu. Selain itu, setiap orang yang berkeyakinan bahwa perantara itu dapat mendatangkan manfaat atau mudarat persis seperti Allah SWT. atau tanpa kemauan Allah SWT., maka sesungguhnya ia telah pun berbuat musyrik. Tawassul bukanlah suatu keharusan atau perkara yang sangat perlu malah terkabulnya doa adalah tidak sepenuhnya bergantung pada perkara yang menjadi perantara tetapi prinsip berdoa itu sendiri yakni berdoa secara mutlak hanya kepada Allah SWT.2 1. Tinjauan Etimologi Tawassul arti bahasa adalah al-qurbah atau al-taqarrub, yaitu mendekatkan diri dengan suatu perataraan (wasilah). Wasilah bermaksud mendekatkan diri dan mengharapkan. Dan dari kata itu terbentuk suatu pemahaman yakni sesuatu yang bisa mendekatkan diri pada hal yang lain. Maka dari kata wasilah itulah masyarakat kita lebih mengenal dengan kata tawassul. Jadi tawassul adalah mendekatkan diri dengan suatu perantaraan (wasilah) atau menjadikan sesuatu yang menurut Allah SWT., mempunyai nilai, derajat dan kedudukan yang tinggi, untuk dijadikan sebagai perantaraan (wasilah) agar doa dapat dikabulkan. Sedangkan untuk orang yang melakukan tawassul disebut dengan mutawassil. Dari kata-kata itulah kemudian praktek tentang wasilah biasa pula dikenal dengan istilah tawassul. Jadi, jika kata tawassul disebutkan, maka ia jelas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kata wasilah,3 Selain itu, terdapat beberapa tokoh yang mengklasifikasikan makna tawassul itu kepada beberapa bentuk. Bagi Al-Fairuz, َو َّس َل إِلَْي ِه تَ َع َاَل تَ ْو ِسْي ًل: “Berperantara kepada-Nya dengan suatu perantara, yaitu melakukan suatu 2 Siti Asifah, “Tawassul Menurut Al Qur’an”, Skripsi (Surabaya: Program Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1998), 22-23. 3 Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”, Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 18. 16 perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebagai satu tawassul.” Menurut pendapat Ar-Raghib Al-Ashfahani pula: “Hakikat dari al-wasilah kepada Allah SWT., adalah melalui jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah, serta menjejaki kemuliaan syariat seperti taqarrub. Dalam pandangan Al-Fayumi, beliau mengatakan بَِو ِسْي لَة َوتَ َو َّس َل إِ ََل َربِِّه: “Bertawassul kepada-Nya dengan sesuatu wasilah iaitu mendekati-Nya dengan suatu amal.4 Secara lughawi (bahasa), dan penunjukan (dalalah)nya yang asli, kata tawassul berasal dari bahasa Arab asli, disebutkan di dalam Al-Qur’an, hadits, pembicaraan orang Arab, syair dan natsr (prosa), yang artinya mendekat (taqorrub) kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan keras. Tawassul berasal dari kata الوسيلةyaitu suatu sebab yang dapat mengantarkan pada tercapainya tujuan. Wasilah juga mempunyai makna yang lain, yaitu kedudukan di sisi raja, atau derajat dan kedekatan.5 Maka dapatlah disimpulkan bahawa makna tawassul itu diambil daripada kata al-wasilah atau al-washilah, lalu الُوسلdengan الُوصلmemiliki makna yang berhampiran , kerana huruf sin ( )سdan sod ( )صsaling mewakili antara satu sama lain dan kerana itulah kita boleh membaca firman Allah SWT. الصَرا َط ِّ اِ ْه ِدنَا ِ ِ ِ ِ ت َعلَْي ِه ْم ِّ ا ْه ِدنَا َ َْ َنع َ صَرا َط الَّذيْ َن أ، املُ ََُّْ ْقي َمatau dibaca seperti سَرا َط،الََّرا َط املُ ََُّْ ْقي َم ِ ت َعلَْي ِه ْم َ َْ َنع َ الَّذيْ َن أdengan huruf sin dan kedua-dua bacaan ini merupakan salah satu daripada tujuh jenis bacaan al-Quran (الَّبعة )القراءة. Oleh itu, الُوسلdan 4 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014), 7-8. 5 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13. 17 الُوصل memiliki makna yang sangat berdekatan sekali dan wasilah menjadi penyebab yang menyampaikan kepada tujuan dan hakikat sesuatu yang diinginkan.6 Selain itu, tawassul ialah memohon atau berdoa kepada Allah SWT., dengan perantaraan seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan.7 Tawassul juga merupakan jalan menuju kepada Allah SWT., atau jalan yang paling cepat untuk mendekati Allah SWT. Sesetengah ahli bahasa mengatakan tawassul ialah jalan untuk mencapai suatu tujuan atau suatu maksud. Tawassul dan wasilah ialah mendekat diri kepada Allah SWT., dengan melakukan sesuatu amalan baik yang diredhai-Nya seperti mentaati-Nya, melakukan amar maaruf dan meninggalkan munkar dan seumpamanya.8 2. Tinjaun Epistomologi Makna kepada perkataan tawassul adalah salah satu daripada cara berdoa dan pintu untuk bertawajjuh (menghadapkan sesuatu permintaan) kepada Allah SWT., kerana tujuan asal tawassul yang sebenar ialah Allah SWT. Manakala orang yang dijadikan sebagai perkara bertawassul hanyalah sebagai perantara dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul tidaklah bertawassul dengan wasilah ini melainkan kerana perasaan kasihnya terhadap wasilah tersebut dan kepercayaannya bahawa Allah SWT., mengasihi wasilah tersebut.9 Tawassul ialah berdoa kepada Allah SWT., dengan wasilah yaitu memperingati sesuatu yang dikasihi Allah SWT. Sekiranya dicontohkan kepada situasi keduniaan, umpamanya kita akan meminta pekerjaan kepada sesuatu jawatan, tetapi kita tidak begitu dikenali oleh ketua pejabat itu, maka kita lalu mencari jalan, yaitu menghubungi sahabat kita yang bekerja pada pejabat itu dan 6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 8. Muhadir Haji Joll, “Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu AlBanjari Al-Makki” (Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012), 40. 8 Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 3. 9 Dede Ridwanullah, “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang Tawassul”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012), 3 7 18 dengan pertolongannya permintaan kita untuk bekerja menjadi terkabul. Ini merupakan contoh permohonan dengan wasilah.10 Hakikatnya, tawassul adalah “mengambil atau menggunakan sebab-sebab yang dengan sebab itu akan menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT. Sebabsebab itu pula barangkali sesuatu yang dharuri (mustahak) seperti makan dan minum dan barangkali ghari dharuri (tidak mustahak) seperti bergantung atau bersandar kepada kekasih-kekasih Allah SWT., dari kalangan orang-orang saleh. Allah SWT., menggelarkan mereka sebagai muqarrabin (sentiasa beribadah dan mencari ridha-Nya) yang dikurniakan nikmat bagi sesiapa yang duduk bersama mereka.11 Defisini tawassul yang lainnya adalah berdoa meminta sesuatu hajat kepada Allah SWT., disertai dengan mengingatkan sesuatu yang dikasihi dan diredhai Allah SWT. Jika bertawassul dengan Rasulullah Saw., motif utamanya ialah untuk mendapat syafaat Rasulullah Saw., manakala jika bertawassul dengan orang alim dengan motif semoga Allah SWT., memberikan keberkatan mereka pada urusannya. Maka dengan syafaat dan keberkatan itu terlahir sebuah pengharapan bahwa doanya akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT., atas kemuliaan orang yang dijadikan perantara doa itu.12 Menurut Yusuf Al-Qaradhawi tawassul adalah mengambil perantara bagi mencapai sesuatu tujuan. Sesuatu tujuan itu tidak dapat dicapai melainkan dengan perantaraan yang betul. Tawassul kepada Allah SWT., adalah bertawassul bagi mendapat keridhaan dan ganjaran yang baik. Keridhaan ini diperoleh oleh semua orang yang beriman kepada Allah SWT., yaitu dengan mengambil semua cara dan sebab yang dapat mencapai ke arah keridhaan itu. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT., dalam Al-Qur’an surah al-Mai’dah ayat 35. Perantara atau wasilah yang dinyatakan dalam ayat tersebut adalah kaedah bagi mendekatkan diri kepada Allah 10 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7 11 Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan Al Hasani, Fitnah Wahabi (Ampang: Sofa Production, 2009), 18-19. 12 Jahid Sidek, “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam, Bil. 481, Tahun 37, Februari 2014, 18. 19 SWT., melalui cara yang disukai dan diridhai-Nya, yakni melalui percakapan, perbuatan, dan niat yang betul.13 Maka dapatlah dipahami bahwa tawassul boleh diartikan dengan maksud ibadah yang dengannya dimaksudkan tercapainya rihda Allah SWT., dan surga. Ini bermakna bahwa tawassul adalah pendekatan diri kepada Allah SWT., dengan suatu amal. Karena itulah seluruh ibadah adalah wasilah menuju keselamatan dari api neraka dan kebahagiaan masuk surga.14 Kata wasilah juga disinggung dalam hadis Rasulullah Saw., sebagaimana sabda beliau: “Mohonlah untukku wasilah kepada Allah SWT., sesungguhnya ia (wasilah) adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak diberikan kecuali kepada salah seorang hamba Allah SWT. Dan aku menggharap akulah hamba itu. Maka barangsiapa memohonkan wasilah untukku dari Allah SWT., maka ia akan mendapatkan syafa’atKu di hari kiamat”. Tawassul melalui Nabi Saw., menurut para sahabat adalah bertawassul dengan doa dan syafa’at beliau. Sedangkan wasilah menurut ulama mutaakhirin adalah bersumpah dan memohon dengan nama Nabi Saw., seperti yang mereka terdahulu bersumpah dengan nama Nabi-nabi, para salehin dan orang-orang yang dianggap baik .15 B. Sejarah Tawassul Istilah atau perbuatan tawassul ini bukan sesuatu yang baru atau rekaan semata-mata, namun istilah dan perbuatan tawassul ini telah wujud dari dahulu lagi. Berikut beberapa hadis Rasulullah Saw., dan atsar (peninggalan) sahabat yang memperjelas cakupan umum tentang amalan tawassul. Dengan perhatian penuh terhadap hadis-hadis dan atsar, akan terlihat bahwa telah terjadi tawassul kepada Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw., sebelum wujud kelahirannya, ketika hidup di dunia, juga sesudah wafatnya di alam barzakh, Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul dalam Perspektif Hadis Nabi Saw”, Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 23 14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014), 8-9. 15 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13-14. 13 20 demikian pula ketika manusia telah dibangkitkan sebelum diputuskan segala urusannya di hari kiamat. 1. Bertawassul dengan Perantara Nabi Muhammad Saw., Sebelum Kelahiranya Terdapat hadis yang menceritakan tentang Nabi Adam a.s., bertawassul kepada Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw.: ِ ُ قَ َال رس: قَ َال، اب ر ِضي اللَّه عْنه صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َوآلِِه َو َسلَّ َم ْ َع ْن عُ َََر بْ ِن ُ َ ُ َ َ ِ َّاْلَط َ ول اللَّه َُ ِ ِ ِ َ ُب أَسأَل : ُت َِل فَ َق َال اهلل َ لَ ََا افْ َُ َر: َ ف َ ك ِبَ ِّق ُُمَ ََّد ل ََا َغ َف ْر ْ ِّ يَا َر: آد ُم اْلَطيئَةَ قَ َال َّك لَ ََّا َخلَ ْقَُِِ بَيَ ِد َك ِّ يَا َر: ت ُُمَ ََّ ًدا َوََلْ أَ ْخلَ ْقهُ؟ فَ َق َال َ ب ! ِلَن َ آد ُم َوَكْي َ يَا َ ْف َعَرف ِ ِ ك رفَع ِ ِ ونَ َفخ الع ْر ِش َم ْكُُوبًا آ إِلَهَ إََِّّل اهللَ ُُمَ ََّ ٌد ُ ْت َراْسي فَ َراَي ُ ْ َ ت م ْن ُرْوح َ ْ َ َ ت َعلَى قَ َوائ ِم ِ ِ ِ ُ رس ِْ ف إِ ََل ِ َُّك ََل ت ِ َ اْس ت َّ َح ْ ض َ ب اْلَْل ِق ألَْي َ ْص َدق ُ َْ ول اهلل فَ َعل ْ َ ت أَن َ : ُ فَ َق َال اهلل، ك َ ك إََّّل أ َُ ِ ِ ب .ك َّ آد ُم إِنَّهُ ِلَ َح َ ُُك َولَو ََّل َُمَ ََّ ٌد َما َخلَ ْق َ َت ل َ يَا ُ فَ َق ْد َغ َف ْر، أ ُْدعُ ِِ َِبَقِّه، اْللق َعلَ َّى “Daripada Saidina Umar bin al-Khattab r.a., bhawa beliau berkata: Rasulullah Saw., telah bersabda: “Ketika Adam a.s., melakukan kesalahan lalu baginda berkata: “Wahai Tuhan, saya memohon dengan hak Muhammad, tidakkah kamu sudi mengampuniku?” Allah SWT., lalu berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu kenal Muhammad sedangkan aku belum menciptakannya lagi?” Beliau menjawab: “Wahai Tuhan. Ia karena, ketika Engkau menciptakanku dengan yadd (kekuasaan)-Mu, lalu Engkau tiupkan padaku daripada roh-Mu, lalu aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat di atas tiang-tiang Arasy telah tertulis “La ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Maka, aku ketahui bahawa Engkau tidak akan menggandingkan sesuatu kepada nama-Mu melainkan seseorang yang kamu paling sayang dalam kalangan makhluk-Mu di sisi-Mu.” Lalu Allah SWT., berfirman: “Benar wahai Adam, sesungguhnya Baginda adalah makhluk yang paling disayangi pada sisi-Ku. Berdoalah kepada-Ku dengan hak Baginda. Maka sesungguhnya, Aku telah ampunkan kamu. Jika bukan kerana Muhammad, nescaya Aku tidak menciptakan kamu.” Meninjau dari periwayatan hadis ini, ramai ulama dan terdahulu dan mutaakhir yang membenarkan dan meriwayatkan hadis ini. Antara ulama terdahulu adalah seperti Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan hadis ini telah dishohihkan olehnya [Jilid 2 halaman 615] dan Al Hafiz al Suyuti dalam kitab 21 beliau al Khasois al Nabawiyyah dan telah dishohihkannya [Jilid 1 halaman 27]. Al Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dalam karyanya Dalailun Nubuwwah [Jilid 5 halaman 489] dan beliau tidak meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah kitabnya dan juga dishahihkan oleh al Qastalani dalam kitab penulisannya al Mawahib al Laduniyyah [Jilid 1 halaman 82]. Manakala ulama mutaakhir pula adalah Syeikhul Islam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam al Durrar al Saniah [halaman 33-35] dan juga Al Muhaddith Al Mufassir al Allamah Syeikh Yusuf al Dijwi, salah seorang Anggota Ulama Besar al Azhar menerusi majalah An Nur terbitan Syawal 1350 Hijrah dalam makalah berjudul “Kalimaat Lil Wahhabiah”.16 Hadis di atas didukung oleh ayat Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 37: “Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat (kata-kata untuk bertaubat) daripada Tuhan-Nya, maka Allah menerima tobatnya. Sungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat, lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah: 37).17 As-Syed Abdullah As-Siddiq Al-Hasani Al-Ghimari, salah seorang ulama hadis yang terkenal dalam kitabnya Ittahaful Azkia’ Bi Jawazi At-Tawassul Bil Anbiya’ Wa Auliya’ mengatakan bahwa Ibn Munzir telah meriwayatkan bahwa malaikat Jibril a.s., telah mengajarkan Nabi Adam a.s., bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw. Maka jelas dalam hadis ini bahwa Nabi Adam a.s., berdoa kepada Allah SWT., dengan bertawassulkan Nabi Muhammad Saw., yang belum dilahirkan lagi pada ketika itu. Perbuatan Nabi Adam a.s., dan cara berdoanya beliau diterangkan oleh Rasulullah Saw., dalam haditsnya karena doa semacam ini dikabulkan oleh Allah SWT.18 16 Muhammad Fuad Kamaludin, Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu??? (Selangor: Abnak Production, 2002), 9-11. 17 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 7. 18 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur, 13-18. 22 2. Bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW ketika Masih Hidup dan Sesudah Wafatnya Hadith Rasulullah Saw., daripada Uthman bin Hunaif r.a., bahwa seorang laki-laki buta telah datang kepada Nabi Saw.,: فَ َق َال:َو َسلَّ َم َّ َع ْن عُثْ ََا َن بْ ِن َحنِْيف أ صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َ َن َر ُج ًل َّ ِص ِر أَتَى الن َ َِّب َ َض ِر َير الْب .عع اهللَ أَ ْن يُ َعافُيَِِن ُ ْاد “Dari Usman Bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang buta matanya telah datang menemui Nabi Saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah saw, doakan pada Allah agar menyembuhkan aku.19 Maka Rasulullah Saw., bersabda kepadanya dan dia menjawab: “Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun, ini berat bagiku”. Nabi Saw., bersabda kembali: ِ ِ ِ ِت ذَل .ت َّ ت أ َ َك فَ ُه َو َخْي ٌر ل َ ت َد َع ْو ُ َخ ْر َ َوإِ ْن شْئ، ك َ صِِبُ ؟ إِ ْن شْئ ْ َأَََّل ت “Mengapa engkau tidak bersabar? Bila kamu berkenan, maka aku menunda hal itu dan itu lebih baik bagimu, namun bila kamu berkenan, maka aku berdoa (untuk kesembuhanmu)”.20 Dan kemudian laki-laki itu menyuruh Rasulullah saw., berdoa. Maka sabda Rasulullah saw., : “Pergilah berwudhu’ dengan baik dan solatlah dua rakaat. Kemudian bacalah doa ini: ِ َّ ك ُُم ََّد نَِِب ك إِ ََل َ ِت ب َ ك َوأَتَ َو َّجهُ إِلَْي َ َُسأَل َ َ ِّك بِنَبِي ِّ ُ الر ْْحَة يَا ُُمَ ََّد إِ ِِّّن تَ َو َّج ْه ْ اللَّ ُه َّم إِ ِِّّن أ ِ َ اج ِِت َه ِذهِ لُُِ ْق . ِف َّ ِ ُِّعه ْ اللَّ ُه َّم فَ َشف،ِل َ َرِِّّب ِِف َح َ ضى “Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan (kemualiaan) Nabiku, Muhammad saw: Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad! Sesungguhnya aku memohon syafa’at denganmu ke atas Tuhanku 19 Ibid. Syaikh Muhammad Bin Ahmad, Rahsia & Mukjizat Tawassul (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol, 2017), 6. 20 23 agar penglihatan mataku dikembalikan. Maka syafa’atkanlah diriku dan syafa’atkanlah Nabiku dalam mengembalikan penglihatanku”. 21 Rasulullah Saw., bersabda: ِ ك َ اجةٌ فَافْ َع ْل ِمثْ َل َذل َ َت ل ْ ََوإِ ْن َكان َ ك َح “Sekiranya kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti itu”.22 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di mana beliau mengatakan hadis ini adalah hadis hasan yang sahih dan juga diriwayatkan oleh al-Nasaii dan al-Hakim. Manakala, Ibnu Abi Khaithamah r.a juga meriwayatkannya dalam kitab hadis beliau berjudul Tarikh. Bahkan Imam al-Tabarani dan ulama lain meriwayatkan bahwa Uthman bin Hunaif ra mengajar seorang laki-laki supaya berdoa dengan doa ini selepas kewafatan Rasulullah saw tatkala mempunyai sesuatu hajat, maka hajat laki-laki tersebut tertunai. Imam Al-Tabrani telah mensahihkan kisah ini dan diperakui oleh al-Munziri dalam al-Targhib wa al Tarhib. Demikian juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-Haithami di dalam Majma’ alZawaid.23 Ini membuktikan bahwa doa juga merupakan sebahgian daripada cara bertawassul dan doa yang diajarkan Rasulullah Saw., ini, menunjukkan keharusan bertawassul dengan Baginda Saw., ketika hayat Baginda Saw., maupun selepas kewafatan Baginda Saw., khususnya melalui perkataan Baginda Saw.,: “Sekiranya kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti ini”. C. Kepahaman Mengenai Tawassul Terdapat sebahgian golongan yang menafsirkan ayat-ayat tawassul hanya didasari akal fikiran dan hawa nafsu semata-mata. Sehingga munculah pelbagai golongan yang mengklasifikasikan tawassul sebagai sebuah amalan berupa 21 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban: Koperasi As Sofa, 2014), 171. 22 Ibid. 23 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 171. 24 kesyirikkan yang besar. Ini disebabakan karena mereka tidak memahami makna tawassul dari sisi bahasa maupun istilahnya. Sehingga mengakibatkan kesalahan dalam memahami jalan menempuh ridha Allah SWT. Mereka menyamakan amalan tawassul ini seperti dengan golongan plytheist24 yang mana mereka menyembah tuhan-tuhan selain Allah SWT. Golongan tersebut menyatakan bahwa mereka mencipta tuhan-tuhan mereka sebagai tempat meminta syafaat dan menyembahnya bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., seperti firman Allah SWT., pada QS Yunus ayat 18: “Dan mereka menyembah selain daripada Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)”. (QS Yunus: 18).25 “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya 24 Gelaran bagi golongan musyrikin. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 167. 25 25 Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (QS AzZumar: 3).26 Menurut ayat-ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat disimpulkan bahwa golongan yang mengatakan tawassul merupakan syirik adalah disebabkan mereka menyamakan orang yang bertawassul itu sama seperti kaum musyrikin karena apabila seseorang itu mempercayai penunaian hajat secara bertawassul, maka ia adalah sama seperti memohon kepada patung-patung yang tidak bernyawa. Mereka menyamakan orang-orang saleh yang telah meninggal dunia ibarat patung-patung berhala yang tiada fungsi dan tidak mampu melakukan apa-apa kerana tidak bernyawa.27 Ini adalah pendapat yang tidak berasas dan satu bentuk pengadilan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Ini karena ayat di atas jelas menzahirkan kutukan Allah SWT., ke atas puak musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala sebagai tuhan selain Allah SWT., dan melakukan syirik dengan mendakwa bahwa penyembahan terhadap berhala bertujuan menghampirkan diri kepada Allah SWT. Mereka percaya bahwa patung berhala wujud sifat ketuhanan yang mampu memberi manfaat dan menolak mudarat. Sekalipun mereka tidak menganggap patung berhala boleh mencipta, memberi rezeki dan mentadbir urusan-urusan besar tetapi mereka beranggapan dengan meyakini bahwa syafaat yang dipohon terhadap berhala itu akan ditunaikan Allah SWT., karena kedudukan berhala sebagai sekutu dengan Allah SWT.28 Jika amalan tawassul ini merupakan syirik sebagaimana yang dikatakan oleh sebahgian golongan itu, maka tidaklah wujud doa tawassul yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., kepada para sahabatnya dan menyuruh mereka mengamalkannya: ِِ َّ اَللَّه َّم إِ ِِّّن أَسأَلُك ِِب ِّق ك َ ْي إِلَْي َ ْ الَّائل َ َ ْ ُ Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 336. 27 Adika Mianoki, Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik, diakses melalui alamat https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html, tanggal 01 Januari 2019. 28 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014), 175-177. 26 26 “Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang memohon kepada-Mu”.29 Maka, amalan tawassul dengan perantara termasuk dalam perantara iman dan masyru’ (dibolehkan). Antara perantara kategori ini adalah para Rasul, para Nabi, para Malaikat dan setiap yang kita merujuk sebagai wasilah dan bertawassulkannya kepada Allah SWT., adalah dengan cara kasih dan bukan sembah. Termasuk dalam kategori ini adalah amalan tawassul yang mengEsakan Allah SWT dengan menjadikan para Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara kepada Allah SWT untuk memperoleh suatu hajat dan mendapat syafaat. 30 Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT., dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.31 Mereka tidak melakukan semua itu dengan niat menyembah pengantara itu, tidak juga dengan menganggap wasilah itu sebagai Tuhan atau ada orang lain yang mampu menunaikan atau menghalang sesuatu. Namun, mereka hanya menganggap wasilah hanya sebagai jalan untuk memohon doa dan syafaat dari Allah SWT. Mereka ini hanya menyembah Allah SWT dan menyakini bahwa Allah SWT sahaja yang mampu mendatangkan kemudaratan dan manfaat.32 29 Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, 24-25. Al-Syayid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah, 177-178. 31 Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina ASWAJA, 2010), 63. 32 Ibid. 30 BAB III TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM A. Macam-Macam Tawassul Dalam keilmuan Islam, ulama sepakat membagikan tawassul kepada beberapa jenis yang utama. Ada sebagian ulama yang mengharuskan tawassul. Disamping itu, ada ulama lain yang juga berselisih dalam pengalaman tawassul ini. Oleh itu, tawassul dapat dibagi kepada dua jenis yaitu tawassul yang disepakati dan tawassul yang dipertikaikan. 1. Tawassul yang disepakati Ibn Taimiyah dan pengikutnya hanya membenarkan tawassul pada tiga keadaan sahaja. Tiga keadaan atau bahagian itu merupakan yang ditunjukkan oleh nas-nas AlQur’an, As-Sunnah, amalan salafussoleh dan ijmak muslimin yakni yang pertama adalah tawassul dengan salah satu daripada nama-nama Allah SWT., atau salah satu dari sifat Allah SWT. Keduanya pula ialah tawassul dengan amal saleh yang dikerjakan oleh orang yang meminta dan yang terakhir adalah tawassul dengan doa orang-orang saleh.1 Menurut Noriza Salleh2 dalam penulisannya pula, tawassul yang disepakati oleh ulama-ulama Islam bermakna tawassul dengan cara yang tidak menyalahi atau bertentangan dengan syarak dan mempunyai dalil-dalil yang jelas dan nyata daripada Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kedua-duanya sekali. Ia juga dikenali sebagai wasilah al-syar’iyyah. Pada lazimnya, tawassul ini hanya bertujuan untuk mencapai sesuatu maksud dengan cara yang tidak membawa syirik kepada Allah SWT. Maka, kaedahkaedah tawassul tersebut ialah melalui keimanan kepada Allah dan Rasul serta taat pada-Nya, menggunakan namanama atau sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan 1 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7-8. 2 Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3 (2013), 36. 27 28 Agung, amal-amal soleh dan memohon pertolongan kepada orang-orang soleh untuk mendoakannya. Seterusnya, tawassul yang katogerikan sebagai tawassul yang disyariatkan adalah tawassul yang mempunyai dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah atau kedua-duanya sekali di mana ulama tidak mempertikaikan kebenaran amalan tawassul ini. Ianya merangkumi amalan tawassul seperti tawassul kepada Allah SWT., dengan beriman kepada Nabi Muhammad Saw., dan taat kepadanya, tawassul kepada Allah SWT., melalui nama dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, tawassul kepada Allah SWT., melalui doa dan syafaat Rasulullah Saw., tawassul kepada Allah SWT., melalui amal-amal saleh dan tawassul kepada Allah SWT., melalui doa daripada orang saleh.3 2. Tawassul yang dipertikaikan Tawassul yang dipertikaikan adalah tawassul yang menjadi perselsihan dalam kalangan ulama yang mana ada yang mengharuskannya tetapi ada juga yang melarangnya. Tawassul ini adalah tawassul dengan makhluk, atau dengan makna lain bertawassul dengan Rasulullah Saw., para anbiya’ atau orang saleh. Imam Ahmad mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., sahaja tidak yang lain. Manakala Imam al-Shawkani mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., dan para anbiya’ yang lain seterusnya orang saleh yang lain.4 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa adapun yang dipertentangkan di antara ummat Islam adalah masalah bertawassul kepada Allah SWT lewat perantara berbentuk benda dengan perantaraan manusia. Misalnya dikatakan: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan kesalehan Abu Bakar Shiddiq r.a., atau dengan Umar bin Khattab r.a., atau dengan perantaraan Usman r.a., atau dengan perantaraan kemuliaan Ali r.a.” Namun sebetulnya tawassul seperti ini merupakan tawassul yang disepakati karena orang yang bertawassul kepada Allah Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 36. 4 Ibid, 38. 3 29 SWT., dengan perantara seseorang itu dikarenakan ia mencintai orang tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh, yakin bahwa perantara itu mencintai Allah SWT., dan berjihad di jalan-Nya dan Allah SWT., juga mencintai orang tersebut.5 Namun, sebenarnya bertawassul sesama manusia itu tiada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan hadis bahwa tawassul kepada Allah SWT., melalui orang-orang yang dekat dengan Allah SWT., umpama bertawassul kepada para Nabi, para Rasul, para sahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, para syuhada, dan para ulama salehin. Ini disebabkan oleh karena walaupun kita bertawassul kepada orang-orang yang hampir dengan Allah SWT., namun pastinya kita memohon kepada Allah SWT., karena Allah SWT., sahajalah tempat kita meminta. 6 Jika dilihat dari sudut golongan yang menghukum amalan ini tidak benar, maka semua manusia telah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah SWT. Nabi Muhammad Saw., mengambil Al-Qur’an melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. Maka malaikat Jibril a.s., adalah pengantara bagi Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw., pula ialah pengantara tersebar bagi para sahabat pada ketika itu. Dalam setiap kesulitan yang menimpa, para sahabat sentiasa mengadu kepada Rasulullah Saw., mereka bertawassul dengan Baginda Saw., kepada Allah SWT., dan memohon doa daripada Nabi Saw . Tidak pula Rasulullah Saw., berkata bahawa para sahabat telah jatuh kufur atau syirik kerana mengadu dan memohon kepada Rasulullah Saw. Sebaliknya Rasulullah Saw., hanya berdoa dan memohon kepada Allah Saw., untuk sahabat Rasulullah Saw., padahal mereka benar-benar yakin bahawa yang memberi dan menghalang sesuatu, yang menurunkan dan meluaskan rezeki pada hakikatnya hanyalah Allah SWT., sahaja. Rasulullah Saw., mampu memberi tetapi melalui Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 103-104. 6 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd., 2015), 234-235. 5 30 keizinan dan kurnia dari Allah Saw., sendiri dan Rasulullah Saw., pernah bersabda bahawa Rasulullah Saw., hanyalah pembahagi dan pemberi adalah Allah SWT.7 Perselisihan ini hanya pada zahir dan bukan pada hakikatnya kerana perkara yang menjadi perselisihan dalam kalangan ulama’ hanyalah mengenai keharusan bertawassul semasa hayat seseorang wasilah dan selepas kewafatan wasilah tersebut. Amalan bertawassul adalah dengan memohon dan mendekatkan diri kepada Allah SWT., bukan kepada wasilah. Wasilah tersebut hanya sebagai kaedah dan perantara bagi menyampaikan kita kepada Allah SWT. Maka sebagai umat Islam, seharusnya kita menyakini bahawa yang diharuskan bertawassul adalah melalui amalan soleh orang yang dijadikan wasilah di mana wasilah tersebut merupakan seseorang yang mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT.8 B. Bentuk-Bentuk Amalan Tawassul 1. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Nama dan Sifat-Sifat-Nya Tawassul dalam bentuk ini merupakan firman daripada Allah SWT., dalam QS Al-A’raf ayat 180: “Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)9 7 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014), 178. Fatimah Binti Abdul Khadal, “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”, Skripsi (Ampang: Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016), 59-60. 9 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 138. 8 31 Ayat ini Allah SWT., memberi peransang kepada setiap orang Islam supaya selalu berdoa kepada Allah SWT., dengan perantara Nama-nama-Nya Yang Husna, dengan harapan supaya doa itu dimakbulkan oleh Allah SWT. Mihjan Ibnu Adra’ r.a., menceritakan bahwa Rasulullah Saw., masuk ke dalam masjid, ketika itu Rasulullah Saw., mendapati seorang laki-laki hampir menyelesaikan solatnya, yaitu sedang dalam tasyahhud akhir, laki-laki itu membaca doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, Ya Allah, Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Tunggal, Yang dapat memenuhi hajat segala hamba-Nya, Yang tidak beranak dan tidak dilahirkan dan tiada bagi-Nya suatu apa pun yang dapat dijadikan perbandingan, Aku memohon ampunan dari segala dosa-dosaku, sesungguhnya hanya Engkau Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Maka Rasululllah Saw., pun bersabda10: . ُ قَ ْد غُ ِفَر لَه، ُ قَ ْد غُ ِفَر لَه، ُقَ ْد غُ ِفَر لَه “Sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni”. (HR Abi Daud: 985)11 Imam Abu Hanifah mengatakan tidak patut bagi seorang Muslim berdoa dengan tidak menggunakan Nama Allah SWT. Imam Abu Yusuf ada memetik pendapat Imam Abu Hanifah yang berkata: Tidak sayugia (tidak sepatutnya) bagi seorang Muslim berdoa kepada Allah SWT., melainkan dengan melalui perantaraan Nama-Nama Allah SWT., itu sendiri. Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Nabi Allah Ibrahim juga bertawassul dengan menggunakan Nama-Nama Allah SWT., dan sifat-sifat-Nya Yang Mulia. Sebelum baginda mengemukakan doa dan permohonan, terlebih dahulu baginda bertawassul dengan beberapa sifat Allah SWT., yaitu yang pertama dengan Ilmu Allah SWT., yang meliputi segala perkara dan tidak bersembunyi sesuatu jua pun sama ada di langit atau di bumi. Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 45. Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Maktabah AlMa’arif, 2007), 171. 10 11 32 Keduanya bertawassul dengan sifat Wahhab yakni Allah SWT., memberi kepadanya dua orang anak: Ismail dan Ishak walaupun baginda telah lanjut usianya. Dan ketiganya pula dengan sifat Sama’ yang dapat mendengar segala permohonan doa hambahamban-Nya. Selepas menyebut sifat-sifat tersebut barulah Nabi Ibrahim memohon doa kepada Allah SWT.,12 seperti firman Allah SWT., dalam QS Ibrahim ayat 38-41: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui akan apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah mengurniakan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan solat, ya kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan ami, beri ampunlah aku dan bagi kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (QS Ibrahim: 38-41).13 2. Tawassul kepada Allah SWT., dengan Beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Bertawassul kepada Allah SWT., dengan beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya ِ apabila kita menyatakan "ك َ َُسأَل َ ك وبِرسول َ ِ "اَللَ ُه َّم بِِإْْيَ ِاِن بyang bermaksud: “Ya Allah, ْكأ ََُ 12 ْ Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 18-19. 13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 207-208. 33 dengan keimananku kepada-MU dan kepada Rasul-Mu saya memohon kepadaMu…”14 Firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 193: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15 Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Al-Mu’minun ayat 109: “Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)16 Makna bertawassul dalam dalil-dalil di atas adalah yang pertamanya, karena sebab keimanan kepada Rasul-Mu maka mereka memohon diampunkan. Maka dijadikan keimanan kepada Rasul sebagai wasilah untuk mendapatkan ampunan. Selain itu, ayat dia atas menunjukkan tawassul dengan keimanan kepada Allah SWT., dan keimanan kepada Rasul-Nyamdan bertawassul dengan kecintaan kepada Allah SWT., dan kecintaan kepada Rasul-Nya, adalah boleh hukumnya karena keimanan dan 14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014), 15 Ibid, 60. Ibid, 278. 23. 16 34 kecintaan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya adalah sebab yang menyampaikan kepada ampunan. Karena itu bertawassul kepada Allah SWT., dengan hal tersebut adalah benar.17 Perkara ini merupakan asas Iman dan Islam, tanpanya seseorang itu tidak akan dinamakan sebagai seorang Mukmin. Maka mereka meminta kepada Allah SWT., keampunan dosa-dosa mereka, penghapusan segala kesalahan mereka dan mati bersama-sama dengan orang baik, melalui keimanan mereka kepada Nabi Muhammad Saw.18 Tawassul kepada Allah SWT., boleh juga dilakukan dengan beristighfar memohon kemapunan atas dosa yang dilakukan. Sayyidul istighfar ialah bahawa seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada yang disembah selain Engkau. Engkau telah menjadikan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku tetap di atas perjanjian kepadaMu (untuk tidak mengabdikan diri selain kepadaMu) seboleh yang terdaya olehku. Aku berlindung kepadaMu daripada kejahatan yang aku buat sendiri. Aku mengakui segala kenikmatan yang Engkau telah berikan kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku”.19 3. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Rasulullah Saw. Tawassul kepada Allah SWT., juga adalah dengan melalui Rasulullah Saw., yang juga pemberi syafaat kepada ummat Islam. Firman Allah SWT dalam QS AnNisa’ ayat 64: 17 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 24. Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal Islamiyyat, 36. 19 Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, 37. 18 35 “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (dengan berbuat dosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang.” (QS An- Nisa’: 64)20 Dapat diartikan di sini bahwa setiap orang apabila ia berdoa kepada Tuhannya di hadapan Nabi Saw., dan Nabi Saw., pula meminta ampun untuk orang tersebut niscaya permohonannya dikabulkan oleh Allah SWT. Namun tawassul ini boleh dilakukan juga apabila Nabi Saw., sudah wafat karena beliau masih dapat mendoakan kita. Namun terdapat segelintir orang yang mempersoalkan mengapa tidak berdoa sendiri kepada Allah SWT., dan tidakkah Allah SWT., akan memakbulkan doa kita? Disinilah terdapat makna yang dapat disimpulkan dari QS An-Nisa’ ayat 64 karena ayat tersebut mempunyai hikmah yang tinggi, supaya orang berduyun-duyun ummat ke Madinah mendatangi Rasulullah Saw., agar mereka lebih mencintai beliau, mereka tambah gigih mengikuti perjuangan Nabi Saw., dan supaya mereka bertauhid sedalamdalamnya sebagaimana tauhid Nabi kita Muhammad Saw.21 Daripada Imam Al-Utbi, dia berkata: “Suatu ketika aku duduk di samping kubur Nabi Saw., datang seorang ‘Arabi (orang keturunan Arab dusun) mengucapkan salam kepada Nabi Saw., dengan berkata ‘Salam sejahtera ke atasmu, Wahai Rasulullah Saw. dan membaca potongan ayat Al-Qur’an yang mana apabila seseorang itu melakukan dosa, dan datang kepada Nabi Saw., bagi memohon keampunan dari Allah SWT., maka Nabi Saw., juga memohon ampun bagi mereka itu dan tentulah Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 70. 21 Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., 1978), 273. 20 36 mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima Tobat dan Maha Mengasihani. Kemudian laki-laki ‘Arabi tersebut menyambung: ‘Dan aku mendatangimu dalam keadaan memohon keampunan daripada segala dosaku dan mengharapkan syafaatmu kepada Tuhanku. Lalu dia melantunkan beberapa bait syair”. Al-Utbi menyambung ceritanya dengan mengatakan: “Kemudian dia berpaling meninggalkan maqam Nabi Saw., tiba-tiba mataku mengantuk, lalu aku bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw., dalam tidurku dan Nabi Saw., berkata padaku: ‘Wahai Ubti, segera pergi berjumpa ‘Arabi itu dan khabarkan berita gembira kepadanya bahwa Allah SWT., telah mengampuninya”. Berikut merupakan bait-bait syair yang dibacakan laki-laki itu:22 ِ ْ َيَا َخْي َر َم ْن ُدفن ُت بِالْ َق ِاع أ َْعظُ ُمه اب ِم ْن ِطْيبِ ِه َّن الْ َقاعُ َو ْاْلَكِ ُم َ َفَط ِ ِ ِ َ نَ ْفسي الْف َداءَ ل َق ٍْْب أ َُنت َسا ُكنُه ود َوالْ َكَرُم ْ اف َوفِْي ِه ُ فِْي ِه الْ َع َف ُ ُاْل Wahai manusia terbaik bersemadi dalam bumi jasadnya Maka harumlah lembah dan bukit dengan keharumannya Jiwaku jadi tebusan kubur yang engkau penghuninya Dalamnya ada (peribadi) yang suci, pemurah lagi mulia. Menurut Imam Taqiuddin As-Subki r.a., sesungguhnya tawassul dengan Nabi Muhammad Saw., adalah perlu dalam setiap hal, sebelum atau selepas kejadiannya, pada masa hidup di dunia dan selepas wafatnya, dalam alam barzakh dan selepas bangkit di hari qiamat dan dalam surga karena bertawassul kepada Nabi Saw., adalah dengan makna orang yang mempunyai hajat memohon kepada Allah SWT., dengan bertawassul kepada Nabi Saw., atau dengan kemuliaan dan berkatnya. Berdoa dengan bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., adalah bermakna meminta hajat kepada 22 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 240-241. 37 Nabi Saw., sesuatu perkara dan Nabi Saw., berdoa kepada Allah SWT., dengan syafaat Nabi Saw.23 4. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Amal Saleh Amalan tawassul seperti ini adalah apabila seorang Muslim berkata: “Ya Alllah, berkat imanku kepada Engkau, atau cintaku kepada Engkau, atau karena aku mematuhi Rasul-Mu, ampunilah dosaku”. Atau seperti ungkapan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, dengan cintaku kepada Nabi Muhammad Saw., dan imanku kepadanya bebaskanlah aku dari kesusahan”. Termasuk tawassul macam ini adalah dengan berdoa menyebut amal saleh yang pernah dilakukan, yang mana pada amalannya itu dia takut kepada Allah SWT., takwa kepada-Nya, lebih mengutamakan Allah SWT., dari segalanya, taat kepada Allah Yang Maha Mulia, kemudian bertawassul dengan amal itu dalam doanya, agar lebih terbuka peluang untuk diterima dan dikabulkan.24 Antara dalil bertawassul bentuk ini adalah seperti firman Allah SWT., dalam QS Ali ’Imran ayat 16: “Yaitu orang-orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS Ali ‘Imran: 16).25 Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 53: 23 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur, 13. 24 Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, 46. 25 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 40. 38 “Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikut Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orangorang yang menjadi saksi (tentang keEsaan Allah)”. (QS Ali ‘Imran: 53).26 Ada sebuah hadis yang menceritakan tentang tiga orang pemuda yang tersesat dalam gua, yang masing-masing menyatakan dan mengemukakan amal saleh yang mereka lakukan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., hanya demi mencari ridha Allah SWT. Masing-masing mereka bertawassul menyatakan amal saleh mereka, maka Allah SWT., perkenankan doa mereka. Kisah tiga orang ini diceritakan oleh Rasulullah Saw. Mereka itu adalah tiga orang dari Bani Israil yang terpaksa menginap pada sebuah gua, lalu mereka masuk ke dalam gua, dan Allah SWT., menghendaki dengan segala hikmah-Nya untuk menutup pintu gua tersebut dengan batu yang besar sebagai suatu ujian dan cobaan serta pelajaran bagi hamba-hamba-Nya. Akhirnya batu besar itu jatuh dan menutupi pintu gua. Mereka berusaha mendorongnya namun mereka tidak mampu, serta merta salah seorang di antara mereka berkata kepada lainnya bahwa tidaklah ada yang mampu menyelamatkan kalian dari batu tersebut melainkan kalian bertawassul kepada Allah SWT., dengan amal saleh mereka. ِوَ اهلل ِ ِ ِ َّاْلَط الر َ م ْ حَ ِن َعْب ِد اهللِ بْ ِن عُ َمَر بْ ِن َ ت َر ُس َّ َو َع ْن أَِِب َعْب ِد ُ اب َرض َى اهللُ َعْن ُه َما قَ َاَ ََ ْع ِ وَ انْطَلَق ثَََلثَة ن ف ٍر ََمَّن َكا َن قَب لَ ُكم ح َّّت واهم الب ي ُ يَ ُق ٌص ْخَرة ََ ُ َ ْ ت ا َىَل َغاٍ فَ َد َخلُوُُ فَ ْاَْ َد َر ُ َْ َ ُ َ ْ ْ َ م َ ت ْ ِم َن َّ َُِّت َعلَْي ِه ُم الغَا ِر فَ َقالُوا اِنَّهُ َْل يُْن ِجي ُك ْم ِم ْن َه ِذ ْ اْلَبَ ِل فَ َسد َالص ْحَرةِ اَّْل أَ ْن تَ ْدعُوا اهلل ِ ِ ِاىَل ب ِ ِ ِ ِ ت َْل أَ ْغبِ ُق ُ لله َّم َكا َن ِىَل اَبَ َوان َشْي َخان َكبِْي َران َوُكْن ُ َ ا:صال ِح أ َْع َمال ُك ْم قَ َاَ َر ُج ٌل مْن ُه ْم َ تَ َع َ م ت ََُما ُ َّج ِر يَ ْواما فَلَ ْم أ َُر ْح َعلَْي َها َح َّ مّت نَ َاما فَ َحلَْب َ ب الش ُ َقَ ْب لَ ُه َما أ َْه اَل َوَْل َم ااْل فَنَأَى ِ ِْب طَل ِ ِ ْ َغبُوقَ ُهما فَو َج ْدتُ ُهما نَائِم ت ُ ْت أَ ْن أُوقظَ ُه َما َوأَ ْن أَ ْغبِ َق قَ ْب لَ ُه َما أ َْه اَل أ َْو َمااْل فَلَبِث ُ ْي فَ َك ِرْه َ َ َ َ Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 44. 26 39 ِ ِ ضا َغ ْو َن عِْن َد قَ َد َم َّي استِْي َقاظَ ُه َما َح َّ مّت بََر َق ال َف ْج ُرَ .وا ِّ لصْب يَةُ يَتَ َ َوالْ َق َد ُح َعلَ مى يَد ْي اَنْتَظ ُر ْ فَاستِي َقاظَهما فَش ِربا َغبوقَهماٍ اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْل ِ َّاما َْْ ُن ك ابْتِغَاءَ َو ْج ِه َ ت مذل َ ُ َ ُ ْ ْ َُ َ َ ْ َُ ُ ك فَ َفِّر ْج َعن َ ِ وج ِمْنهُ ،قَ َاَ ْ م ت فِْي ِه ِم ْن َه ِذُِ َّ اْل َخ ُر اللَّ ُه َّم إِنَّهُ َكانَ ْ الص ْخَرةِ فَانْ َفَر َج ْ ت َشْيئاا َْليَ ْستَطْي عُو َن اْلُُر َ َش ِّد م ُِ َل ،وِِف ِرواي ٍة ُكْن ِ ب الن ِ ب الِّر َج ُ اُي ُّ َح َّ ِىَل ابْنَةُ َع ٍّم َكانَ ْ َّاس إِ ََّ َ َ َ ُ ت أُحبُّ َها َكأ َ َ تأَ ِّساءَ اَ الن َ فَاَرْدتُها علَى نَ ْف ِسها فَامتَ عنَت ِم ِِّّن ح َّّت أَلَ َّمت ِِبا سنَةٌ ِمن ا ِّ ِ ْي فَ َجاءَتِِْن فَأ َْعطَْيتُ َها َ َْ ْ َم َ َ َ لسن ْ َ ْ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ت َعلَْي َهاَ ،وِِف ْي نَ ْفس َها فَ َف َعلَ ْ ت َح َّ مّت إِ َذا قَ َد ْر ُ ع ْش ِريْ َن َومائَةَ ديْنَا ٍر َعلَى أَ ْن ُُتَلِّ َي بَْي ِِن َوبَ ْ َ ِ ِ ٍ ت َعْن َها َوِه َي ت ات َِّق اهللَ َوَْل تَ ُف َّ ْي ِر ْجلَْي َها قَالَ ْ ت بَ ْ َ ِرَوايَة فَلَ َّما قَ َع ْد ُ انصَرفْ ُ ض اْلَ َاَتَ إَِّْل ِبَقِّه فَ َ الذهب الَّ ِذي أَعطَيت ها ،اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْل ِ ب الن ِ ك َح ُّ ك ابْتِغَاءَ َو ْج ِه َ ت مذل َ َّاس إِلَ َّ ُ َ ُ س َوتَ َرْك ُ ت َّ َ َ ْ ْ ُْ َ ُ أَ الصخرةُ َغي ر أَنَّهم َْليست ِطي عو َن اْلروج ِمْن ها ،و َ ِ فَافْ رج عنَّا م َْ ِ ِ ِ ث قاَ الثَّال ُ ُْ َ َ اْ ُن فْيه فَانْ َفَر َجت َّ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ُُ ْ َ َ َ َّ ِ ٍِ ت ب فَثَ َّم ْر ُ استَأْ َج ْر ُ ُجَراءَ َواَ ْعطَْيتُ ُه ْم أ ْ اللَّ ُه َّم ْ تأَ َجَرُه ْم َغْي َر َر ُج ٍل َواحد تَ َرَك الذ ْي لَهُ َو َذ َه َ ت ِمْنهُ األ َْمو ُاَ فَ َجاءِِن بَ ْع َد ِح ْ ٍ ت ُك ُّل اعْب َد اهللِ أ َِّد إِ ََّ َجَرُُ َح َّ مّت َكثَُر ْ ْي فَ َق َاَ يَ َ َج ِر ْي فَ ُق ْل ُ َل أ ْ أْ َ َ ِ ماتَ مرى ِمن أ ِ ت َْل اعْب َد اهللِ َْل تَ ْستَ ْه ِز ُ َج ِرَك م َن ا ِإلبِ ِل َوالبَ َق ِر َوالغَنَ ِم َوالَّقْي ِق فَ َق َاَ يَ َ ئ ِِب فَ ُق ْل ُ ْ ْ َ ك فَأَخ َذُ َكلَّه فَاستَاقَه فَلَم ي ْت رْك ِمْنه َشيئاا ،اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْلت مذلِ َ ِ َستَ ْه ِز ُ ُ َ ُ ئ بِ َ َ ُ ُ ْ ُ ْ َ ُ ُ ْ أْ ُ ك ابْتغَاءَ ِ 27 ِ اْن فِي ِه فَانْ َفرج ِ الص ْخَرةُ فَ َخَر ُجوا ْيَْ ُش ْو َنُ ،متَّ َف ٌق َعلَْيه. ت َّ َوج ِه َ ك فَافْ ُر ْج َعنَّا َم َْ ُ ْ ََ Salah seorang di antara mereka berkata: “Ya Allah, saya memiliki dua orang tua yang telah renga, dan tidaklah mendahulukan seorang pun sebelum mereka untuk minum susu, baik istri maupun anakku dan tidak pula budak maupun hamba sahaya. Suatu hari saya pergi menggembala pada tempat yang jauh hingga tengah malam. Namun ketika saya pulang saya mendapati mereka berdua telah tertidur lena, kemudian saya menunggu kedua orang tua saya bangun dengan susu gelas di tangan saya sehingga fajar menyising. ” Kata dia lagi: “Ya Allah, sesungguhya Engkau mengetahui bahawa perbuatan saya itu hanyalah mengharapkan pandanganMu, maka berikanlah 27 Abi Zakaria Muhyiddin Yahya An-Nawawi, Riyadhu As-Salihin (Indonesia: Al-Haramain, 2005), 11-12. 40 jalan keluar bagi kami dari keadaan ini.” Selepas itu, tiba-tiba batu itu bergeser sedikit, akan tetapi mereka masih tidak mampu untuk keluar dari gua tersebut.28 Kemudian berdoa pula orang kedua daripada mereka, “Ya Allah, saya memiliki sepupu perempuan yang sangat saya cintai seperti cintanya seorang lelaki terhadap wanita dan saya inginkan dirinya namun dia menolak. Kemudian terjadinya keadaan yang mendesak di mana dia mendatangi saya untuk meminta bantuan kewangan. Saya berkata kepadanya: “Aku akan berikannya apabila engkau merelakan diri kau untuk aku.” Akhirnya saya sepakat dengan wanita tersebut dengan imbuhan wang sebanyak seratus dua puluh dinar. Di saat saya hendak duduk di antara dua kakinya, dia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu melakukan hal tersebut kecuali dengan kebenaran.” Lalu di saat itu saya kembali berdiri dengan perasaan takut kepada Allah SWT., dan meninggalkan perbuatan juga keji tersebut.” Kemudian dia berkata: “Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahawa apa yang telah aku lakukan itu hanyalah demi mengharapkan redhaMu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari keadaan kami pada ketika ini.” Maka bergeraklah batu tersebut sedikit, namun mereka masih tidak juga dapat keluar dari gua tersebut.29 Lalu orang yang ketiga pula berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya saya memiliki para pekerja upahan, lalu aku memberikan upah kepada setiap dari mereka, kecuali seorang hamba yang pergi dengan meninggalkan upahnya. Lalu saya mengembangkan haknya iaitu dengan menukarkan jumlah upah tersebut menjadi sejumlah unta, keldai dan seorang hamba sahaya. Kemudian apabila kembali semula hamba tersebut untuk menuntut haknya, maka saya berkata padanya: “Semua yang anda lihat ini adalah hak anda.” Dia menjawab, “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah anda mengejek-ejek diriku.” Saya berkata kembali, “Saya tidak mengejek kamu, semua itu adalah hasil daripada upahmu.” Maka berkata lelaki ini: “Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahawa apa yang saya lakukan itu hanya kerana mengharap pandanganMu, maka 28 29 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 33-34. Ibid, 34. 41 berilah kami jalan keluar untuk kami bebaskan diri daripada keadaan yang menimpa kami pada saat ini.” Tiba-tiba bergeserlah batu-baru tersebut sehingga membolehkan mereka bertiga keluar dari gua itu.30 5. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Perantara Orang Saleh Tawassul dengan orang saleh, wali atau para anbiya’ adalah dibenarkan. Tidak diketahui ada orang yang menyalahi bolehnya ia dilakukan daripada kalangan Ahlul Haq (orang-orang yang berada di jalan kebenaran), yakini dari generasi salaf maupun khalaf. 31 Seperti seorang muslim tertimpa kesusahan yang hebat, atau musibah yang besar, dan ia sadar bahwa dirinya selama ini lalai mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka ia ingin mengambil perantara yang kuat menghubungkannya kepada Allah SWT., lantas ia pun pergi ke seseorang yang menurut keyakinannya saleh dan bertakwa, banyak kebaikannya, mengerti masalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu ia pun meminta kepada orang saleh tersebut untuk didoakan kepada Allah SWT., agar menghilangkan kesusahannya, dan mengakhiri kedukaannya.32 Bentuk bertawassul dengan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT., yakni orang-orang soleh atau ahli keluarga Rasulullah Saw., adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Saidina Umar Al-Khattab r.a., yang membawa nama Saidina Abbas r.a., saat terjadinya kemarau dan kering kontang33 lalu berdoa: ٍِ ِ ََّن عُمر بْن اْلَط ِ َّالعب ِ ََع ْن أَن اس بْ ِن َعْب ِد ْ اب َكا َن إِ َذا قَ َحطُوا َ ِاستَ ْس َقى ب َ َ َ َّ س بْنش َمالك أ ِ ِ ِاملطَّل ك َ َوإِنَّا نَتَ َو َّس َل إِلَْي،ك بِنَبِيِّنَا فَتَ ْسقْي نَا َ اللَّ ُه َّم إِنَّا ُكنَّا إِذَا قَ َحطْنَا نَتَ َو َّس ْلنَا إِلَْي:َب فَ َق َا ُ ِ ٍ ِ ِ َّ َّ فَيُ ْس َق ْو َن:َ قَ َا،اسقنَا ْ َصلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم ف َ بِ َع ِّم نَبيِّ نَا ُُمَ َّمد 30 Ibid, 35. Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 251. 32 Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, 48. 33 Ali Mohamed, Hakikat Tawassul Dan Wasilah (Selangor: Thinker’s Library, 2004), 69. 31 42 “Ya Allah, di dalam kemarau kami bertawassul melalui Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul dengan bapa saudara Nabi kami Muhammad, maka turunkanlah hujan. Dikatakan: “Maka hujan pun turun.” (Hadis Riwayat Bukhari: 1010).34 Juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Saidina Anas r.a., bahawa telah memohon dengannya pada suatu tahun yang kering. Permohonannya dikabulkan dan hujan pun turun. Tatkala Saidina Umar r.a, selesai dengan doanya yang bertawassul dengan bapa saudara Nabi Saw., iaitu Saidina Abbas r.a., maka Saidina Abbas r.a, pula berdoa: “Ya Allah, tidak akan turun hujan seksa dari langit kecuali disebabkan dosa, dan tidak akan terhapus dosa itu kecuali dengan tobat. Kaum ini menghadap-Mu dengan perantaraanku kerana kedudukanku dengan Nabi-Mu. Maka inilah tangantangan kami yang berlumuran dosa dihulur kepada-Mu dan jiwa-jiwa kami dengan bertobat.” Selesai sahaja beliau berdoa, langit pun sarat dipenuhi oleh awan dan turunlah hujan dengan lebat sekali.35 C. Pengamalan Tawassul Amalan tawassul ini telah wujud dan diamalankan sejak jaman dahulu lagi. Dalam perang Yamamah, ummat Islam bertawassul dengan perantaraan Nabi Muhammad Saw., sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir r.a., bahwa syiar (slogan) ummat islam pada peristiwa perang Yamamah adalah: “Ya Muhammadah (Wahai Nabi Muhammad, tolonglah!” Ibnu Katsir r.a., berkata: “Khalid Bin Walid membawa bendera dan menyerang sampai melewati musuh untuk mencari Musailamah Al-Kadzdzab (Sang Pembohong). Setelah berhasil membunuhnya, dia kembali dan berhenti berdekatan Shiffin seraya berkata: “Saya adalah putra Walid Al-Ud serta putra Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Jami’ Al-Shahih Al-Bukhari (Kairo: alMatba’ah al-Salafiyyah, 1976), 318. 35 Ibid, 70. 34 43 ‘Amir dan Zaid”. Kemudian dia berseru dengan slogan ummat Islam. Slogan mereka ketika itu adalah “Ya Muhammaadah (Wahai Muhammad, tolonglah!)”.36 Al-Qur’an juga menyebut tentang kisah kaum Yahudi yang bertawassul memohon pertolongan kepada Allah SWT., melalui perantaraan Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dalam firman Allah SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 89: “Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka (orang-orang Yahudi), padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapatkan kemenangan keatas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (QS Al-Baqarah: 89).37 Al-Hafizh Abu Nuaim al-Asbahani menyampaikan sebuah riwayat berkaitan dengan ayat tersebut, dari Abdullah bin Abbas r.a., ia berkata: Dahulu kala, orangorang Yahudi ketika akan melakukan penaklukan yakni peperangan terhadap suku Aus dan Khazraj, mereka memohon kepada Allah SWT., dengan perantara nama Rasulullah Saw., seraya mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan Muhammad, seorang Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis), yang Engkau janjikan kepada kami untuk dikeluarkan di akhir zaman kelask, untuk menjadikan kami pemenang menghadapi mereka.” Allah SWT., memberikan kemenangan kepada mereka ke atas kaum Aus dan Khazraj bahkan setiap kali mereka melakukan penaklukan mereka pasti berdoa dengan doa tersebut. Namun setelah Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 162. 37 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 12. 36 44 Rasulullah Saw., diutus, mereka seakan-akan tidak pernah mengenal beliau bahkan mengingkari keberadaan Nabi Saw.38 Berkata Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya bab tentang kaki terkena mati rasa. Dari al-Haitsam bin Hanasy, berkata: “Kami bersama Ibn Umar. Tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: ‘Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai!’. Lalu Ibn Umar berkata: ‘Ya Muhammad’. Maka seketika itu kaki beliau sembuh”.39 Abu Qasim at-Thobari, Abu As-Syeikh al-Asbahani dan Abu Bakar bin Muqri’ al-Asbahani menceritakan keadaan mereka yang kelaparan selama setahun. Mereka telah bertawassul dan beristighatsah setelah Ishak dengan mengunjungi makam Rasulullah Saw., dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami semua lapar, kami semua lapar. Aku pun pulang lalu Abu al-Qasim berkata kepadaku: duduklah, mungkin akan ada rezeki atau berlaku kematian. Abu Bakar berkata, lalu aku dan Abu As-Syeikh pun tidur sedangkan at-Thobari duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba seorang Alawi (keturunan Nabi Saw.,) datang di pintu dan mengetuknya. Maka kami membukannya dan melihat terdapat dua orang hamba yang masing-masing membawa talam yang penuh dengan makanan. Lalu kami pun duduk dan makan. Laki-laki Alawi itu berkata: Wahai kaum, apakah yang kamu mengadu kepada Rasulullah Saw.? Sesungguhnya aku bermimpi bertemu Rasulullah Saw., dalam tidur. Nabi Saw., menyuruhku membawa sesuatu kepada kamu”.40 38 Muhammad Idrus Ramli dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai Nu atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar? (Suarabaya: Bina ASWAJA, 2013), 24-25. 39 Asep Saifuddin Chalim, Membumikan ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012), 206. 40 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 237. BAB IV AL-QURA’N DAN TAWASSUL Dalam Al-Qur’an, ayat tentang tawassul yakni kata wasilah hanya terdapat pada dua ayat sahaja yakni QS Al-Mai’dah ayat 35 dan QS Al-Isra’ ayat 57. Namun terdapat juga ayat-ayat lain dalam konteks pembahasan perantaraan yang boleh dikaitkan dengan amalan tawassul. A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah 1. QS Al-Mai’dah ayat 35: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).1 {َالل ِ َّ ين َآمنُوا اتَّ ُقوا َ “ }يَا أَيُّ َها الذHai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah” maksudnya takutlah akan siksa-Nya dengan mentaati perintah-Nya. ِ الْو {“ }وابْ تَ غُواdan kejarlah” carilah {َسيلَة ِِ َ “ }إلَْيهjalan kepada-Nya” maksudnya sesuatu َ yang dapat mendekatkan dirimu kepada-Nya yaitu ketaatan kepada-Nya, {ِف ِ وج اه ُدوا ََ Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90. 1 45 46 “ } َسبِيلِ ِهdan berjihadlah di jalan-Nya” untuk menjunjung tinggi agama-Nya, {لَ َعلَّ ُك ْم “ }تُ ْفلِ ُحونagar kamu beruntung”, yakni memperoleh kemenangan.2 2. QS Al-Isra’ ayat 57: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)3 ِ َّ ِ“ }أُلَئOrang-orang yang mereka seru” sebagai tuhan itu { َ َ ين َ ك الذ {ن َ ي ْدعُو “ }يَْبتَ غُو َنmengharapkan”, maksudnya mencari {َ“ }إِ ََل َرهِّبِ ُم الْ َو ِسيلَةjalan kepada Tuhan mereka”, yakni kedekatan kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, { “ }اَيَّ ُه ْمsiapa di antara mereka” –ini merupakan badal (keterangan pengganti) dari tanda waw (kata ganti jamak) yang terdapat pada kata kerja (ن َ )ي ْبتَ غُو, maksudnya ( َ “ )يَْبتَغِ َيهاdia mencari jalan” yang mana dia {ب ُ “ }أَقْ َرlebih dekat” kepada-Nya. Lalu 2 Jalaluddin Muhamamad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir Jalalain” oleh Najib Junaidi (Surabaya: PT eLba Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015), 448. 3 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 229. 47 bagaimana dengan yang lainnya? {ُع َذابه َ َ } َويَ ْر ًجو َن َر ْْحَتَهُ َوََيَافُو َن “Dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan adzab-Nya” seperti orang-orang lainnya. َ إِ َّن َع َذ َ اب Jadi bagaimana mungkin kamu menjadikan mereka sebagai tuhan? { ك َ ربه “ } َكا َن ََْم ُذ ًوراSesungguhnya adzab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) dihindari.”4 Dalam penafsiran kata wasilah yang ditafsirkan oleh Tafsir Jalalain ini membawa makna bahwa wasilah merupakan suatu jalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT., yaitu melalui ketaatan kepada-Nya. B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil Wasilahh 1. QS Al-Mai’dah ayat 35: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).5 ِ الْو {َسيلَة ِِ َ “ } َوابْتَ غُواْ إلَْيهDan carilah jalan yang bisa mendekatkan diri kepada- Nya.” Artinya, kedekatan kepada-Nya, bagian pahala di sisi-Nya dan kecintaan padaNya, dan hal itu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya yang terkait dengan hati, seperti mencintai-Nya dan mencintai karena-Nya, rasa takut, berharap, kembali kepada-Nya, dan tawakal, juga dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya yang 4 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 2, 325. 5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 90. 48 terkait dengan badan, seperti zakat dan haji dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan keduanya seperti solat, macam-macam dzikir, bacaan, macam-macam perbuatan baik kepada makhluk dengan ilmu, harta, kedudukan, badan, dan nasihat kepada hamba-hamba Allah SWT.6 2. QS Al-Isra’ ayat 57: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)7 ِ َّ ِ“ }أُلَئOrang-orang yang mereka seru itu,” َ َ ين َ ك الذ Firman Allah SWT., {ن َ ي ْدعُو dari kalangan para Nabi, orang-orang saleh maupun para malaikat { يَْبتَ غُو َن إِ ََل َرهِّبِ ُم ِ ب ُ اَيَّ ُه ْم أَقْ َر،َ“ }الْ َوسيلَةmencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah),” maksudnya mereka berlomba-lomba dalam mendekatkan diri kepada Rabbnya. {ُع َذابه َ َ “ } َوََيَافُو َنdan takut akan adzab-Nya,” kemudian mereka menghindari penyebab datangnya adzab Allah SWT. {ذورا ُ ََْم ً ك َكا َن َ اب َربه َ }إِ َّن َع َذ “Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti,” maksudnya itulah yang harus betul-betul diwaspadai dan memelihara diri dari sebab-sebabnya. Sifat Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa’ – AlAn’am, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 329-330. 7 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 229. 6 49 khauf (rasa takut), raja’ (pengharapan) dan mahabbah (cinta) Allah SWT., sematkan kepada orang-orang yang dekat kepada-Nya di mana ianya merupakan asal dan bahan dasar dari segala kebaikan. Barangsiapa yang memiliki tiga sifat ini dengan sempurna maka sempurnalah segala urusannya namun apabila hati kosong dari sifat-sifat ini maka kebaikan telah pergi darinya dan dipenuhi dengan berbagai keburukan.8 Jika dilihat dalam penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di ini, beliau menafsirkan kata wasilah dalam QS Al-Mai’dah ayat 35 dengan jalan yang boleh mendekatkan diri kepada Allah SWT., yaitu jalan yang membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan Allah SWT., dengan melaksanakan perkara-perkara yang wajib. Perkara ini terbagi kepada dua, pertamanya berkait dengan hati seperti perasaan takut, tawakkal dan berharap hanya pada Allah SWT., sahaja dan keduanya adalah hati dan amalan seperti solat, berzikir dan berbuat kebaikan kepada mahkluk dan hamba-Nya. Manakala dalam QS Al-Isra’ ayat 57 beliau menafsirkan kata wasilah ini dengan berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah SWT., dengan orang-orang yang lebih dekat dengan Allah SWT. Para Nabi atau orang saleh dapat membantu mendekatkan diri dengan lebih kepada Rabb dan sentiasa berlomba-lomba ke arah tersebut dengan segala kemampuan berupa amal- amal saleh. C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul 1. QS Ali-‘Imran ayat 16, 53, 193: “Yaitu orang-orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS Ali ‘Imran: 16).9 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (4) Surat Ar-Ra’d – AlHajj, 267-268. 9 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 40. 8 50 Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi menfasirkan ayat ini dengan maksud memohon keampunan atas dosa dan memohon pemeliharaan dari siksa neraka melalui keimanan mereka terhadap Allah SWT., sebagai hambanya. Ia bermaksud bahwa tawassul dalam ayat ini adalah melalui keimanan kepada Rabb.10 Sementara Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di membawa kepahaman dalam menafsirannya dengan menyatakan bahwa ulama atau orang yang bertakwa bertawassul kepada Allah SWT., melalui keimanan mereka. Hal ini adalah disebabkan keimanan merupakan sarana yang dicintai Allah SWT., karena Allah SWT., menyukai hamba yang bertawassul kepada Tuhannya dengan apa yang telah Dia karuniakan kepada hamba tersebut seperti keimanan dan amal-amal saleh hingga penyempurnaan kenikmatan atas dirinya yaitu dengan memperoleh pahala yang sempurna dan penghindaran dari siksaan.11 “Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikut Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orangorang yang menjadi saksi (tentang keEsaan Allah)”. (QS Ali ‘Imran: 53).12 Tafsir Jalalain menafsirkan ayat ini bahwa kaum Nabi Isa a.s., bertawassul dengan memohon doa kepada Allah SWT., dengan berkata bahwa mereka telah beriman kepada kitab Injil yang Allah SWT., turunkan kepada mereka dan mengukuti Rasul utusan-Nya yaitu Nabi Isa a.s.. Maka mereka berharap agar Allah SWT., memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi atas keEsaan dan kebenaran-Nya.13 10 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, 221. 11 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah – Ali’ Imran, 416. 12 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 44. 13 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, 241. 51 Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di mengenai ayat ini adalah bahwa Ini merupakan anugerah Allah SWT., atas mereka dan khususnya atas Nabi Isa a.s., di mana Allah SWT., telah menjadikan para hawariyyun tersebut beriman kepadaNya, tunduk dalam ketaatan kepada-Nya dan membela Rasul-Nya dan ia adalah suatu integritas yang sempurna dalam beriman kepada seluruh hal yang diturunkan oleh Allah SWT., dan dalam mentaati Rasul-Nya. Maka mereka memohon dimasukkan ke dalam golongan yang menjadi saksi dengan keEsaan Allah SWT., dan saksi bagi RasulNya dengan kerasulan serta bagi agama Allah SWT., dengan kebenaran dan kejujuran.14 “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15 Menerusi penafsiran dalam Tafsir Jalalain, ummat dahulu bermohon keampunan dari Allah SWT., dengan mengikut seruan yang mengajak manusia kepada keimanan yakni beriman kepadaAllah SWT., dan Nabi Muhammad Saw., serta AlQur’an. Maka mereka bertawassul melalui keimanan agar dosa-dosa mereka dibersihkan dan tidak dijatuhkan hukuman serta tergolong dalam kalangan para Nabi dan orang-orang saleh.16 Manakala penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di tentang ayat ini lebih terperinci. Beliau menafsirkan bahwa Nabi Muhammad Saw., menyeru manusia kepada iman, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah – Ali’ Imran, 443-444. 15 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 60. 16 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, 310. 14 52 menganjurkan mereka menempuhnya pada asas-asasnya maupun cabang-cabangnya dan mereka memenuhi seruan Nabi Muhammad Saw., dengan segera dan kami cepatcepat beriman kepadanya. Maka mereka berdoa agar diwafatkan bersama orang-orang yang berbakti pada agama Allah SWT. Doa ini mengandung taufik untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan, di mana dengan itulah seorang hamba termasuk ke dalam orang-orang yang berbakti, konsisten dan teguh terhadapnya hingga maut menjemput.17 Kesimpulan dari ayat-ayat di atas adalah keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya juga adalah sebagian dari konsep tawassul. Ini adalah karena dengan keimanan tersebut dapat meraih keampunan atas dosa-dosa dan pemeliharaan dari siksa neraka. Begitulah yang dimohon para hawariyyun apabila mereka memohon keampunan dari Allah SWT., setelah mereka beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya Nabi Isa a.s. Juga apabila ummat Islam beriman dengan menyahut seruan tentang keimanan terhadap Nabi Muhammad Saw., dan Al-Qur’an. Mereka memohon keampunan dari Allah SWT., dengan segera menyahut seruan iman tersebut. Ayat ini menerangkan kabar dari mereka tentang karunia Allah SWT., atas mereka, rasa bangga akan nikmat-Nya dan bertawassul dengannya kepada Allah SWT., agar Allah SWT., mengampuni dosa-dosa mereka dan menggugurkan keburukankeburukan mereka, karena kebaikan itu akan menghapus keburukan, dan orang-orang yang dikaruniai keimanan oleh Allah SWT., niscaya Allah SWT., akan mengaruniakan kepada mereka rasa aman yang sempurna. Seterusnya mereka berdoa agar Allah SWT., memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang melakukan kebaikan, amal saleh dan berkati kepada agama Islam. 2. QS An-Nisa’ ayat 64: Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah – Ali’ Imran, 561-562. 17 53 “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (dengan berbuat dosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang.” (QS An- Nisa’: 64)18 Dalam penafsiran Tafsir Jalalain, ayat ini menerangkan bahwa Rasul telah diutus atas perintah, keputusan dan izin dari Allah SWT., sendiri agar ditaati bukan untuk didurhakai atau ditentang. Apabila kaum tersebut menganiayai diri mereka sendiri dengan meminta sesuatu jawapan hukum kepada thagut dan kemudian mereka datang kepada Rasul utusan-Nya lalu bertaubat memohon ampun dari Allah SWT., maka Rasul juga memohon keampunan bagi mereka dari Allah SWT.19 Menerusi penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di pula, ayat ini mengandung penetapan akan keterpeliharan para Rasul dari kesalahan dalam apa yang mereka dakwahkan di jalan Allah SWT., karena Allah SWT., telah memerintahkan untuk taat kepada mereka secara mutlak, dan kata “dengan izin Allah SWT” maksudnya ketaatan seorang yang taat adalah bersumber dari qadha’ Allah SWT tentang qadar-Nya, dalam ayat ini menyimpan dalil pengukuhan akan qadha’ dan qadar. Terdapat juga anjuran untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT., dan penjelasan bahwa manusia tidaklah mampu melakukan ketaatan kepada Rasul apabila Allah SWT., tidak menolongnya.20 Dapatlah dipahami bahwa Allah SWT., mengabarkan tentang suatu berita di mana antaranya mengandung perintah dan anjuran untuk taat kepada Rasul dan tunduk Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 70. 19 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, 359. 20 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa ’Al-An’am, 801. 18 54 kepadanya, dan bahwa tujuan dari pengutusan para Rasul adalah agar mereka ditaati dan dipatuhi oleh manusia yang mana para Rasul tersebut diutus kepada mereka dalam perkara yang mereka diperintahkan kepadanya dan perkara yang mereka dilarang darinya, dan agar mereka dihormati dengan penghormatan seorang yang ditaati oleh orang yang mentaati. Ayat ini menggambarkan bahwa apabila kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT., maka Rasul juga memohon ampun untuk kita. Juga terdapat anjuran untuk memohon pertolongan dari Allah SWT., yakni berdoa agar mentaati Rasul karena hanya Allah SWT., sahaja yang mampu menolong hambahamba-Nya. Ini menunjukkan kaedah bertawassul dengan mentaati Rasul-Nya dan Rasul juga merupakan wasilah bagi kita mendekatkan diri kepada Allah SWT. 3. QS Al’A’raf ayat 180: “Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)21 Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi menerangkan ayat ini bahwa Allah SWT., mempunyai nama-nama yang Mulia dan terbaik yang jumlahnya mencapai 99 nama. Maka apabila berdoa, sebutlah nama Dia dengan menggunakan nama-nama tersebut dan abaikanlah orang-orang yang melenceng dari kebenaran dalam menggunakan nama-nama Allah SWT., karena mereka menggunakan nama-nama itu sebagai landasan untuk menentukan nama tuhan-tuhan mereka. Seperti “Laata” yang diambil dari “Allah”, “Uzaa” yang diambil dari “Al-Aziz” dan “Manaat” yang Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 138. 21 55 diambil dari “Al-Mannan. Mereka ini akan mendapat balasan di akhirat kelak akibat perbuatan mereka itu.22 Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula menerangkan ayat ini mencakupi doa ibadah dan doa meminta yakni dengan menggunakan nama-nama Allah SWT. Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) namanama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan yakni sebagai hukuman dan adzab atas penyimpangannya pada nama-nama Allah SWT. Hakikat penyimpangan yaitu membelokkannya dari apa yang ia dijadikan untuknya. Sebagai contoh ia digunakan sebagai nama untuk yang tidak berhak seperti orang-orang musyrikin yang memberi nama tuhan-tuhan mereka dengan nama-nama Allah SWT.23 Memohon sesuatu dengan menjadikan asmaul Husna sebagai perantara merupakan antara bentuk amalan tawassul. Ayat ini menghuraikan mengenai berdoa dan meminta kepada Allah SWT., dengan menyebutkan antara 99 nama-nama-Nya Yang Indah. Ini adalah karena Dia dipanggil dalam setiap keinginan yang sesuai dengan keinginan tersebut. Misalnya mengucapkan, “Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Terimalah taubatku, wahai yang Maha menerima taubat. Berikanlah rizki kepadaku wahai Dzat Yang Memberi Rizki. Berlemah lembutlah kepadaku wahai Dzat Yang Maha Lemah Lembut”. Selain itu, ayat ini menyuruh hamba-hamba-Nya dan tidak mengikuti orang-orang yang tidak menyimpang atau menyalahgunakan nama-nama Allah SWT., boleh jadi dengan menidakkan maknanya dan menyelewengkannya serta menafsirkannya dengan yang tidak diinginkan oleh Allah SWT., dan Rasul-Nya atau menyamakan selain-Nya dengan Allah SWT. 22 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, 668-669. 23 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (3) Surat Al-‘Araf – Yusuf, 141-142. 56 4. QS Al-Mu’minum ayat 109: “Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)24 Penafsiran Tafsir Jalalain dalam ayat ini adalah cara bertawassul dengan keimanan yaitu kaum Muhajirin (hijrah dari Makkah ke Madinah) yang berdoa dengan mengatakan bahwa mereka telah beriman maka memohon agar Allah SWT., mengampunkan mereka dan memberi mereka rahmat karena sifat Allah SWT., sebagai Pemberi Rahmat yang Terbaik.25 Manakala Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di menafsirkan bahwa orang-orang itu telah bertawassul dengan menggabungkan antara keimanan yang menuntut amalan-amalan baik dan pemanjatan doa kepada Rabb mereka untuk mendapat keampunan, rahmat dan perantaraan (tawassul) kepada-Nya melalui keyakinan terhadap keTuhanan Allah SWT., dan anugerah-Nya berupa iman serta pemberitahuan tentang luasnya rahmat dan curahan kebaikan dari-Nya.26 Menerusi ayat ini, Allah SWT., menceritakan kondisi yang menyeret mereka kepada siksa dan menghentikan curahan rahmat Allah SWT., terhadap mereka. Setelah itu mereka memohon kepada Allah SWT., dengan menyatakan keimanan yang menuntut amalan-amalan baik dan berdoa kepada Allah SWT., untuk mendapat keampunan serta memohon rahmat dari Allah SWT. Keimanan, rahmat dan perantaraan kepada-Nya dilakukan dengan keyakinan terhadap keTuhanan Allah SWT., dan anugerah-Nya yakni iman luasnya rahmat dan curahan kebaikan yang Allah Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 278. 25 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 2, 588-589 26 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (5) Surat AlMu’minun – Saba’, 72. 24 57 SWT., karuniakan adalah cara bertawassul. Ucapan mereka ini terkandung penjelasan yang menunjukkan ketundukan, kekhusyuan, ketidakberdayaan mereka dan rasa takut serta harapan mereka kepada Rabb mereka. D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul / Wasilah Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, wasilah dan tawassul merupakan suatu jalan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau berpendapat bahwa sebagai hamba Allah SWT., seharusnya sentiasa mencari jalan yang boleh mendekatkan diri dan taat kepada-Nya serta menjunjung tinggi agama Islam supaya kelak kita memperoleh kemenangan.27 Selain itu, Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula mengatakan bahwa wasilah atau tawassul adalah dengan jalan yang boleh mendekatkan diri kepada Allah SWT., yang mana membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan Allah SWT., dengan melaksanakan perkara-perkara yang wajib yang berkait dengan hati dan amalan kebaikan. Selain itu, wasilah dan tawassul juga boleh dilakukan dengan mendekati orang-orang yang lebih dekat dengan Allah SWT seperti Para Nabi atau orang saleh dapat membantu mendekatkan diri dengan lebih kepada Rabb dan sentiasa berlombalomba ke arah tersebut dengan segala kemampuan berupa amal- amal saleh.28 Menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Mufti di Makkah), adalah harus dan sah bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw., baik ketika hidap beliau, maupun sesudah beliau wafat. Begitu juga boleh bertawassul dengan orang-orang saleh. Namun kita beri’tiqad bahwa tidak seorang pun yang dapat mengadakan bekas, menjadikan, menidakkan, memberi manfaatnya, memberi mudarat, kecuali hanya Allah SWT yang Maha Esa saja, tidak ada yang bersekutu bagi-Nya. Maka tidak ada perbezaan dalam soal ini dan dalam soal tawassul melalui Nabi-nabi yang lain, Rasul-rasul, wali-wali dan orang-orang saleh, tidak ada perbezaannya hidup atau mati, karena mereka tidak 27 Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, 448 & Jilid 2, 325. 28 Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa’ – Al-An’am, 329-330 & (4) Surat Ar-Ra’d – Al-Hajj, 267-268. 58 menciptakan suatu juga, mereka tidak berkuasa sama sekali, hanya berkat mereka diambil karena mereka kekasih Allah SWT. Mencipta dan mengadakan hanya milik Allah SWT., tunggal dan tiada sekutu bagi-Nya.29 Menurut Al-Syaikh Muhammad Bin Ali Al-Syaukani, tawassul adalah membuat perantara atau jalan kepada menuju Allah SWT., dengan perantara seorang mahkluk-Nya mengenai permohonan yang diinginkan seorang hamba kepada Allah SWT. Selain itu, bertawassul kepada Allah SWT., dengan kemualiaan Rasulullah Saw., terjadi ketika beliau masih hidup dan setelah wafatnya, juga ketika ada (menyaksikan). Juga bertawassul kepada Allah SWT., dengan perantara atau kemuliaan orang-orang mulia, orang-orang yang afdhal dan berilmu karena hakikatnya adalah bertawassul dengan amal-amal mereka yang saleh dan dengan kelebihan dan keutamaan mereka sebab tiada seorang pun yang teristimewa kecuali dengan amal perbuatannya yang saleh. Hal ini disepakati berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat karena ketika berlaku tawassul yang dilakukan oleh Saidina Umar r.a. melalui perantaraan Rasulullah Saw., dan paman Nabi Saw., (selain kepada Nabi Saw.) tidak ada seorang pun para sahabat yang mengingkari perbuatan tersebut.30 Adi Hidayat pula berpendapat bahwa tawassul adalah boleh. Permohonan dengan wasilah disebutkan dengan tawassul dan berdoa kepada Allah SWT., dengan menggunakan perangkat sesuatu. Misalnya seperti tawassul dengan amal ibadah sebagaimana hadis tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua memohon bantuan dari Allah SWT., menggunakan amal saleh terbaik pernah melakukan. Amal saleh ini menghadirkan nikmat dalam ibadah dan menjadi solusi (membantu menyelesaikan) masalah kita. Maka apabila takwa kita kepada Allah SWT., meningkat, masalah kita akan hilang sebagaimana janji Allah SWT., dalam Al-Qur’an bahwa sesiapa yang meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT., akan diberi solusi. Walaupun harta dan Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., 1978), 283-284. 30 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 139-141. 29 59 kehidupan mewah namun hanya takwa kepada Allah SWT., yang akan menyelesaikan masalah dalam kehidupan seseorang. Tawassul adalah memohon doa sebagai perangkat yakni dengan bahasa yang mudah dan berdoa dengan penuh rasa rendah diri yaitu dilakukan dengan bahasa yang kita paham dan lakukan amal saleh dan berdoa karena walaupun kita bukan orang yang baik, tapi amal baik yang lakukan seperti ibadah solat akan membantu kita apabila ada masalah yang melanda dengan memanjatkan dia melalui amal saleh tersebut.31 Manakala Yahya Zainul Ma'arif (lebih dikenali dengan Buya Yahya) berkata, orang Quraisy menyembah berhala bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., tapi perkara ini tidak berlaku kepada orang Islam yang menyembah Allah SWT., lalu bertawassul membawa perantara misalnya orang-orang saleh. Sebagian orang menuduh bahwa bertawassul adalah seperti orang-orang kafir Quraisy yang menyembah Allah SWT., dengan tuhan-tuhan mereka. Ini merupakan keyakinan yang salah. Kita bertawassul bukan dengan menyembah maka tidak boleh disamakan orangorang Quraisy dengan tawassul melalui orang-orang saleh karena ianya sangat berbeda. Orang Muslimin bertawassul kepada Allah SWT., dengan membawa sesuatu yang dicintai Allah SWT., seperti amal saleh adalah boleh karena kita merupakan ciptaan Allah SWT dan amalan kita merupakan ciptaan Allah SWT. Apabila kita bertawassul membawa amal salah bukan berarti kita menyembah ciptaan Allah SWT. Tawassul dengan orang saleh adalah seperti: “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan membawa kemuliaan kekasih-Mu Nabi Muhammad Saw., dengan kemuliaan para wali-wali Allah.” Bermohon dengan orang saleh ini Allah SWT., akan kabulkan karena tidak ada yang memohon dengan Firaun atau Abu Jahl tetapi dengan orang saleh atas sebab kesalehannya. Tawassul adalah tetap memohon kepada Allah SWT., dengan membawa sesuatu yang dicintai oleh-Nya. Tawassul dengan doa adalah meminta orang lain mendoakan di mana Nabi Saw., sendiri mengajarkan perkara ini ketika sahabat Adi Hidayat, “Hukum Tawassul”, diakses melalui alamat https://www.youtube.com/ watch?v=C9bf2IzYZ14, tanggal 11 Januari 2019. 31 60 beliau, Saidina Umar r.a., naik haji, Nabi Saw., berpesan: “wahai Umar, jangan lupa mendoakan aku”. Meminta kepada Allah SWT., melalui orang lain adalah sangat dibolehkan karena bersangka baik bahwa orang tersebut baik, saleh dan salehah. Manakala doa dengan tawassul adalah memohon kepada Allah SWT., dengan membawa orang-orang yang dicintai oleh-Nya sama ada dengan Rasulullah Saw., atau selain beliau seperti hadis meminta hujan oleh Saidina Umar r.a., (telah dinyatakan sebelum ini oleh penulis) yang menghadap Allah SWT., dengan membawa orang yang Allah SWT., cintai. Mati atau hidupnya seseorang itu tidaklah menghilangkan kemuliaan yang diberikan oleh Rabb kepada mereka.32 As-Samhudi Asy-Syafie (seorang pakar sejarah dari kota Madinah) menyatakan bahwa kadang-kadang orang yang bertawassul kepadanya (Nabi Muhammad Saw.) dengan meminta pertolongan berkaitan dengan sesuatu perkara. Perkara itu memberi arti bahwa Rasulullah Saw., memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafaatnya dengan izin Allah SWT. Perkara ini kembali semula kepada permohonan doanya seperrti “Aku memohon kepadamu (wahai Rasulullah Saw.) untuk dapat menemanimu di surga”. Dalam permohonan seperti ini, tidak ada makna lain dalam permohonanmya ini melainkan bahwa Nabi Muhammad Saw., menjadi sebab dan pemberi syafaat kepada orang yang berdoa. Dan berkata Imam Asy-Syaukani bahwa bertawassullah kepada Allah SWT., melalui para Nabi dan orang saleh.33 Maka, dapatlah disimpulkan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berkaitan yang mana membahas tentang amalan tawassul dengan menggunakan perkataan wasilah dan juga bentuk-bentuk amalan yang berkait rapat dengan tawassul seperti dengan beristighfar memohon keampunan, dengan keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya serta dengan Asmaul Husna yakni nama-nama Allah SWT., Yahya Zainul Ma'arif, “Apa Itu Tawassul? – Buya Yahya Menjawab”, diakses melalui alamat https://www.youtube.com/watch?v=ln2v8YWy9lE, tanggal 11 Januari 2019. 33 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd., 2015), 237-238. 32 61 Yang Maha Mulia. Tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT., adalah dengan kesungguhan untuk melakukan apa saja bagi mendekatkan diri kepada-Nya, berlombalomba dengan ikhlas atas segala amalan hanya untuk Allah SWT., semata. Mereka mengerahkan segala kemampuan berupa amal-amal saleh yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan rahmat-Nya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tawassul berasal dari kata wasilah. Tawassul adalah mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT., dengan perantara atau sesuatu yang dikasihi Allah SWT., dan merupakan suatu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Bentuk-bentuk tawassul yang dapat dipahami dalam kajian ini adalah: a. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang Maha Agung b. Bertawassul kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul utusan-Nya c. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui Nabi Muhammad Saw. d. Bertawassul kepada-Nya melalui amal saleh e. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui perantara orang saleh 3. Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, wasilah dan tawassul merupakan suatu jalan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan taat kepada-Nya. Manakala, Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula mengatakan bahwa wasilah atau tawassul adalah dengan jalan yang boleh mendekatkan diri kepada Allah SWT., yang mana membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan Allah SWT., dengan melaksanakan perkara-perkara yang wajib yang berkait dengan hati dan amalan kebaikan. B. Saran Berdasarkan pembahasan dan kajian dalam skripsi ini, harus bagi seluruh ummat Islam agar sentiasa mendalami dan menggali ilmu yang berkaitan dengan AlQur’an dengan dirujuk kepada sunnah Nabi Muhammas Saw. Diharapkan dengan itu, 62 63 akan menghindarkan kita dari kesalahan pemahaman dalam menangkap pemaknaan dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Kita seharusnya menetapkan niat bahwa tawassul yang dilakukan tersebut hanya sebagai perantara terkabulnya doa, bukan yang mengkabulkan permohonan kita. Oleh itu, kita perlu menyempurnakan iman kita terlebih dahulu sebelum mengamalkan tawassul agar tidak akan mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro, 2005. Abbas, Sirajuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., 1978. Abu Luz, Abu Anas Ali bin Husain. Ulasan Lengkap Tawassul. Jakarta: Darul Haq, 2014. Ahmad, Syaikh Muhammad Bin. Rahsia & Mukjizat Tawassul. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol, 2017. Al Yamani, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi. Agamamu dalam Bahaya. Seremban: Koperasi As Sofa, 2014. Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail. Jami’ Al-Shahih Al-Bukhari. Kairo: al-Matba’ah al-Salafiyyah, 1976. Al-Mahalli, Jalaluddin Muhamamad dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain. Jilid 1 dan 2. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir Jalalain” oleh Najib Junaidi. Surabaya: PT eLba Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015. Al-Hasani, Muhammad Al-Maliki. Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Al-Qathani, Sa’id Bin Ali bin Wahf. Agar Doa Dikabulkan. Jakarta: Darul Haq, 2016. Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy. Sunan Abi Dawud. Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2007. Anas, Abu Abdillah Malik Bin. Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984. An-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin Yahya. Riyadhu As-Salihin. Indonesia: AlHaramain, 2005. As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat AlFatihah – Ali’ Imran. Jakarta: Darul Haq, 2016. As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat AnNisa ’- Al-An’am. Jakarta: Darul Haq, 2016. As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (3) Surat Al‘Araf – Yusuf. Jakarta: Darul Haq, 2016. As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (4) Surat ArRa’d – Al-Hajj. Jakarta: Darul Haq, 2016. As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (5) Surat AlMu’minun – Saba’. Jakarta: Darul Haq, 2016. ‘Alawi, Al-Sayyid Muhammad Bin. Dialah Allah. Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014. Chalim, Asep Saifuddin. Membumikan ASWAJA Pegangan Para Guru NU. Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012. Dahlan, Sayyid Ahmad Ibn Zaini. Fitnah Wahhabi. Ampang: Sofa Production, 2009. Daud, Zakaria @ Mahmod. Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam. Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995. Ghoffar, M. ‘Abdul .Tafsir Ibnu Katsir. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir” oleh Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2017. Joll, Muhadir Bin Haji. Khilafiah: Persoalan & Penjelasan. Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd., 2015. Joll, Muhadir Haji. Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu AlBanjari Al-Makki. Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012. Kamaludin, Muhammad Fuad. Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu???. Selangor: Abnak Production, 2002. Mohamad, Ahmad Sonhadji. Tafsir Al-Qur’an di Radio. Kuala Lumpur: Pustaka AlMizan, 1992. Mohamed, Ali. Hakikat Tawassul Dan Wasilah. Selangor: Thinker’s Library, 2004. Nizam, Abu. Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul, Istighasah dan Kubur. Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996. Ramli, Muhammad Idrus. Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi. Surabaya: Bina ASWAJA, 2010. Ramli, Muhammad Idrus dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai Nu atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?. Suarabaya: Bina ASWAJA, 2013. Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2015. B. Karya Ilmiah Asifah, Siti. “Tawassul Menurut Al Qur’an”. Skripsi. Surabaya: Program Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1998. Badriyah, Lailatul. “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”. Skripsi. Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009. Chaidar, Muchammad. “Studi Agama: Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi. Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. Khadal, Fatimah Binti Abdul. “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”. Skripsi. Ampang: Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016. Mohammad, Ahmad Faiz Ajyaad Bin. “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”. Skripsi. Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015. Mohsin, Udah. Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan. Jurnal Islamiyyat 18&19 (3) (1998). Ridwanullah, Dede. “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang Tawassul”. Skripsi. Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012. Salleh, Noriza. Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3 (2013). Shirazi, ‘Abd Al-Karim Bi-Azar. “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4 (2000). Sidek, Jahid. “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam (481) (2014). C. Website Al-‘Aql, Naasir ‘Abdul Kareem, “The Islamic Rulling on Tawassul”. Artikel. Daar AlWatan Publishing House, (12 Disember 2004). https://en.islamway. net/book/177/islamic-ruling-on-tawassul, (diunduh tanggal 08 Oktober 2018). Hidayat, Adi. “Hukum Tawassul”. Diakses melalui alamat https://www.youtube.com/ watch?v=C9bf2IzYZ14. Tanggal 11 Januari 2019. Jawas, Yazid Bin Abdul Qader. “Definis Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”. Diakses melalui alamat https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisiahlus-sunnah-wal-jamaah.html. Tanggal 06 September 2018. Ma'arif, Yahya Zainul. “Apa Itu Tawassul? – Buya Yahya Menjawab”. Diakses melalui alamat https://www.youtube.com/watch?v=ln2v8YWy9lE. Tanggal 11 Januari 2019. Mianoki, Adika. “Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik”. Diakses melalui alamat https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html. Tanggal 01 Januari 2019. Rosyidin, M. Abror. “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW”. Diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassulistighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/. Tanggal 06 September 2018. CURRICULUM VITAE Nama NIM Tempat / Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat Asli Alamat Sekarang Pekerjaan Pendidikan : Fatimah Binti Abdul Khadal : IAT 301170014 : Kuala Lumpur / 03 November 1994 : Perempuan : Islam : No. 101, Jalan TPP 2/1, Taman Pinggiran Pelangi, 48000 Rawang, Selangor Darul Ehsan, Malaysia : No. 02, Jl. Pakis 03, RT 27, RW 08, Kelurahan Simpang IV Sipin, Telanaipura, 36124, Jambi. : Mahasiswa :- JENIS PENDIDIKAN Sekolah Rendah Kebangsaan Sinaran Budi Rawang TEMPAT Rawang, Selangor TAHUN TAMAT 2006 2 Sekolah Menengah Kebangsaan Seri Garing Rawang Rawang, Selangor 2011 3 Kolej Universiti Islam Sultan Azlan Shah Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 1 Kolej Islam As Sofa Ampang Kuala Kangsar, Perak Jawa Timur, Indonesia Ampang, Selangor 2013 Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jambi, Indonesia 2019 NO 1 4 5 6 2014 2016 Jambi, 04 Maret 2019 Penulis, Fatimah Binti Abdul Khadal IAT 301170014