Uploaded by patahhati512

301170014 Fatimah Binti Abdul Khadal Ilmu Al-Qur an Dan Tafsir - emma afnan

advertisement
KONSEP TAWASSUL MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh:
FATIMAH BINTI ABDUL KHADAL
NIM: 301170014
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019
Drs. H. Lahmuddin, M.Ag
Nilyati, S.Ag., M.Fil.I
Jambi, 04 Maret 2019
Alamat: Fak Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi
Jl. Raya Jambi-Ma Bulian
Simp. Sungai Duren
Muaro Jambi.
Kepada Yth.
Bapak Dekan
Fak. Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi
diJAMBI
NOTA DINAS
Assalamu’alaikumWr. Wb
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan pensyaratan
yang berlaku di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami
berpendapat bahwa skripsi saudari Fatimah Binti Abdul Khadal yang berjudul “Konsep
Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an” telah dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) Jurusan
Ushuluddin dan Studi Agama dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga bermanfaat
bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Wassalam.
ii
iii
iv
MOTTO
‫الر ْ م‬
‫الرِحْي ِم‬
َّ ‫حْ ْن‬
َّ ِ‫بِ ْس ِم اهلل‬
          
  
“[D]an Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal
yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang
yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. (QS Asy-Syura’: 26)1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 388.
1
v
PERSEMBAHAN
‫احلمد هلل رب العاملني‬
Kupersembahkan skripsi ini
Kepada insan-insan yang tersayang
Keluarga Tercinta
Ayahanda, Abdul Khadal dan ibunda, Hasima yang telah mendidik dan mengasuh
anaknda dari kecil hingga dewasa bagai menatang minyak yang penuh. Kakek dan
nenek, Muhamad dan Isah yang tidak jemu menjaga dan membesarkan cucunda
dengan penuh kasih sayang. Tidak lupa juga kakanda Khatijah dan Azizah serta
adinda Darwis Muhyiddin yang selalu memberi galakkan, semangat dan dorongan
agar sentiasa tabah menghadapi ujian dan cabaran sebagai mahasiswa supaya kelak
menjadi seorang manusia yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi
Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat menggapai cita-cita dan impian hidup.
vi
ABSTRAK
Terlalu ramai umat Islam pada zaman ini yang ternyata salah dalam memahami
hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu
menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan
atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang sholeh karena tawassul
merupakan sunnah. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada kita
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, terdapat golongan yang menolak
tawassul ini dengan hujah-hujah yang pada hakikatnya tidak mampu diterima akal
dengan mengatakan bahwa tawassul ini sama seperti meminta kepada orang yang
sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah.
Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad
yang tidak bernyawa, akan tetapi permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah penelitian
kepustkaan (library research) penelitian yang dilakukan terhadap literatur-literatur
yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan kitab-kitab tafsir, bukubuku, dan literature-literatur tentang tawassul serta mengkaji sumber-sumber tertulis
yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan. Penulis meneliti dan
mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan
pendekatan metode maudhui (tematik).
Hasilnya penulis mendapati bahwa tawassul merupakan suatu pintu dari pintupintu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang dituju dan diminta asalnya dan
hakikatnya hanya pada Allah SWT., manakala yang menjadi perantara itu adalah jalan
semata-mata untuk menghampirkan diri kepada Allah SWT., karena kecintaan kepada
perkara yang dijadikan wasilah itu dengan berkeyakinan yang utuh bahwa Allah SWT.,
juga mengasihi wasilah itu. Terdapat banyak dalil-dalil mengenai tawassul yang
difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Nabi Saw.
Amalan ini dibolehkan dan diharuskan menurut pendapat ulama. Bentuk-bentuk
tawassul yang dapat dipahami dalam kajian penulis ini adalah bertawassul kepada
Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang Maha Agung, bertawassul
kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul utusan-Nya, bertawassul
kepada Allah SWT., dengan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, bertawassul kepadaNya melalui perantara amal-amal saleh dan kebaikan serta bertawassul kepada Allah
SWT., dengan orang-orang saleh atau selain Nabi Saw., sebagaimana yang telah
difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an yang Mulia dan sunnah Nabi-Nya
Muhammad Saw. Akhirnya penulis merekomendasikan kepada ummat Islam agar
menetapkan niat dan menyempurnakan iman terlebih dahulu sebelum mengamalkan
tawassul supaya tidak mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tiada henti-hentinya kehadrat Allah SWT., yang
telah menganugerahi penulis dengan sedikit ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Selawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam, yakni Nabi besar
Muhammad Saw., seorang Nabi yang pernah memberi angin segar kepada ummatnya
disaat ummatnya tenggelam dalam lautan kemusyrikan, hingga menjadi pantai yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun maksud dan tujuan penulis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada yang terhormat.
1.
Bapak Drs. H. Lahmuddin, M.Ag sebagai pembimbing I dan ibuk Nilyati, S.Ag.,
M.Fil.I sebagai pembimbing II yang telah sabar membantu dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibuk Ermawati Hasan S,Ag., M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan M. Syam S.Ag., M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc, M.A,
serta Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan dan Keuangan, serta
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama Luar Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN STS Jambi.
6. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi Asy’ari MA. Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Ag, dan
Ibu Dr. Hj. Fadhlilah, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Pengembangan Lembaga, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dan
Kerjasama.
7. Bapak Ibu Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis.
8. Bapak dan Ibu karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Bapak Pimpinan Perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta stafstafnya.
10. Teman-teman seperjuangan, Nor Farah Ain, Nor Farhana, Bintu Afiqah Aiman,
Hanisah Zafirah, Muhammad Iqbal, Muhammad Izzuddin dan Muhammad
viii
Hambaly serta teman-teman lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan
Pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi dan sahabat-sahabat dari jurusan Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
11. Serta semua pihak yang turut membantu, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
persatu.
Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT., membalasnya. Akhirnya
penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jambi, 04 Maret 2019
Penulis,
Fatimah Binti Abdul Khadal
IAT301170014
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………...... i
NOTA DINAS ........................................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................ iii
PENGESAHAN ..................................................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ................................................................................................... vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
B. Permasalahan .............................................................................
C. Batasan Masalah ........................................................................
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................
F. Metode Penelitian .......................................................................
G. Sistematika Penulisan .................................................................
1
5
6
6
7
11
13
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL
A. Definisi Tawassul / Wasilah ........................................................ 14
B. Sejarah Tawassul ....................................................................... 19
C. Pemahaman Mengenai Konsep Tawassul .................................. 23
BAB III
TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM
A. Macam-Macam Tawassul ........................................................... 27
B. Bentuk-bentuk Amalan Tawassul ............................................... 30
C. Pengamalan Tawassul dalam Islam ............................................ 42
BAB IV
AL-QUR’AN DAN TAWASSUL
A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah ......... 45
B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil
Wasilah ...................................................................................... 47
C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul ..................................... 49
D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul ......................................... 57
x
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 62
B. Saran .......................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
‫ا‬
,
‫ط‬
ṭ
‫ب‬
b
‫ظ‬
ẓ
‫ت‬
t
‫ع‬
ʻ
‫ث‬
th
‫غ‬
gh
‫ج‬
j
‫ف‬
f
‫ح‬
h
‫ق‬
‫خ‬
kh
‫ك‬
k
‫د‬
d
‫ل‬
l
‫ذ‬
dh
‫م‬
m
‫ر‬
r
‫ن‬
n
‫ز‬
z
‫ه‬
h
‫س‬
s
‫و‬
w
‫ش‬
sh
‫ء‬
,
‫ص‬
ṣ
‫ي‬
y
‫ض‬
ḍ
xii
q
B. Vokal dan Harkat
Ar
ab
Indone
Ar
sia
Indone
ab
sia
Ar
ab
Indone
sia
َ‫ا‬
a
‫ﺎ‬
ā
‫اِى‬
ī
َ‫ا‬
u
‫اى‬
á
‫او‬
aw
ِ‫َا‬
i
‫او‬
ū
‫اى‬
ay
C. Tā’ Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:
1.
Tā’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, makan transliterainya
adalah /h/.
2.
Arab
Indonesia
‫صالة‬
Ṣalāh
‫مراة‬
Mir’āh
Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah,
maka transliterasinya adalah /t/.
3.
Arab
Indonesia
‫وزارةَالتربية‬
Wizārat al-Tarbiyah
‫مراةَالزمن‬
Mir’āt al-zaman
Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun.
Arab
Indonesia
َ‫فجئة‬
َ
Faji’tan
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dikala modernisasi menerpa umat Islam, pemikiran masyarakat juga semakin
maju seiring dan bertepatan dengan peredaran zaman. Sehingga perkara-perkara yang
asalnya merupakan amalan yang biasa dilakukan di mana terdapat dalil-dalil
mengenainya, mula dipandang sebagai satu perbuatan yang sesat dan bertentangan
dengan akidah Islam bahkan lebih payah dituduh sebagai bid’ah1 yang sesat.
Mayoritas umat Islam pada jaman ini yang ternyata salah dalam memahami
hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu
menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan
atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang saleh karena tawassul
merupakan sunnah.2
Hakikat keperluan bertawassul ini adalah sebagai wasilah yaitu merupakan
jalan bagi mendapatkan sesuatu yang diperlukan dengan memohon melalui perantaraan
para Nabi, para malaikat, wali, ulama’ dan orang-orang saleh, baik mereka masih hidup
maupun telah meninggal dunia. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada
kita mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bagi melakukan tawassul ini, yang menjadi perantara itu seharusnya
mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT., sebagai syarat untuk
dilaksanakan tawassul. Selain itu, orang yang bertawassul dengan wasilah ini perlu
mempunyai keyakinan bahwa orang yang menjadi wasilah itu adalah orang saleh atau
Bid’ah mengerjakan sesuatu yang baru yang ada pada masa Rasulullah Saw. Bi’dah terbagi
menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk). Asep Saifuddin Chalim, Membumikan
ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012), 150-151.
2
Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:
Koperasi As Sofa, 2014), 170.
1
1
2
wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Allah SWT.,
karena dianggap sebagai paling dekat dengan Allah SWT.
Seiring dengan firman Allah SWT., dalam QS. Al-Ma’idah, ayat 35:
          
  
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).3
Ahmad Sonhadji Mohamad menafsirkan perkataan wasilah atau jalan
mendekatkan diri kepada Allah SWT., dalam ayat tersebut ialah tiap-tiap perbuatan
ketaatan yang mendekatkan kepada keredhaan Allah SWT., dan memudahkan
mendapat pahala daripada-Nya di akhirat. Wasilah itu merupakan setinggi-tinggi
gedung dalam surga.4
Sebagai contoh, apabila kita berpuasa pada bulan mulia Ramadan, maka
dikatakan bahwa dengan berpuasa merupakan wasilah menuju pengampunan dosadosa dan solat di malam hari pada Lailatul Qadar juga adalah wasilah. Semuanya ini
diharuskan atas dasar iman dan pengharapan kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT., dalam QS. Ali ‘Imran, ayat 185:
             
            
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90.
4
Ahmad Sonhadji Mohamad, Tafsir Al-Qur’an di Radio (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Mizan,
1992), 153-155.
3
3
dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS Ali ‘Imran: 185).5
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala amal saleh adalah
wasilah. Tujuan perbuatan saleh tersebut adalah demi memperoleh redha Allah SWT.,
dan kemenangan di akhirat kelak. Dunia ini hanyalah tipu daya yang mengasyikkan
semata-mata namun tidak pula memberi apa-apa manfaat terhadap manusia.
Selain itu, tawassul kepada Allah SWT., juga boleh disebut sebagai suatu
sarana demi termakbulnya doa. Apabila bertawassul melalui doa kepada Allah SWT.,
orang yang berdoa itu harus mengiringi doanya dengan sesuatu yang menjadi sebab
diterimanya doa tersebut. Di samping itu, orang yang bertawassul haruslah mempunyai
dalil yang mendasari bahwa sesungguhnya ia merupakan penyebab termakbulnya doa.
Perkara tersebut tidaklah diketahui kecuali melalui pensyariatan Allah SWT., yaitu
barangsiapa yang menjadikan suatu perkara sebagai wasilah untuknya agar doanya itu
dikabulkan oleh Allah SWT., tanpa mempunyai dalil syariat sebagai sandaran, maka
sesungguhnya ia adalah perkara yang tidak berasas dan tidak mempunyai ilmu.6
Oleh itu, wasilah merupakan suatu perkara yang diredhai Allah SWT., dan
menjadi sebab termakbulnya doa karena doa itu sendiri adalah sebuah ibadah, yakni
ibadah itu hanya berdasarkan dalil-dalil yang datangnya daripada syariat Allah SWT.,
sendiri yang merupakan panduan dan ikutan dalam melaksanakan perintah-Nya.
Namun, terdapat golongan yang menolak tawassul ini dengan hujah-hujah yang
pada hakikatnya tidak mampu diterima akal dengan mengatakan bahwa tawassul ini
sama seperti meminta kepada orang yang sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan
yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak
menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tidak bernyawa, akan tetapi
permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 74.
6
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengkap Tawassul, Diterjemah oleh Muhammad
Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2014), 12.
5
4
Justeru, kita memohon syafaat kepada Allah SWT., melalui mereka yang telah
tiada yang diyakini mereka merupakan orang-orang yang saleh juga yang dikasihi
Allah SWT., bukan kepada benda mati dan tidak mempunyai apa-apa manfaat
daripadanya. Jika jasad tidak mampu mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukanlah
bererti bahwa ruh suci mereka tidak boleh mendengar dan memahami permohonan
kita.
Imam Taqiyyuddin As Subki berkata: “Ketahuilah, bahwa boleh dan baik sekali
bertawassul, beristighasah, dan memohon syafaat dengan Nabi Saw., untuk memohon
kepada Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Agung. Diperbolehkannya tawassul dan
dianggap bagus adalah karena termasuk hal-hal yang maklum bagi setiap orang yang
beragama, amalan tawassul ini juga termasuk perbuatan para Nabi, Rasul, ulama salaf
(generasi pertama dan terbaik dari ummat Islam, terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah SWT.)7, orang-orang saleh, para ulama dan kaum
muslimin yang masih awam.8
Menurut padangan Muhammad al Maliki Al- Hasani, tawassul termasuk salah
satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Jadi yang menjadi
sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya dalam bertawassul adalah Allah SWT.
Sedangkan yang ditawassulkan (al mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah
dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan
demikian, orang yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan
Allah.9
7
Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, “Definisi Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”, diakses
melalui
alamat
https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html,
tanggal 06 September 2018.
8
M. Abror Rosyidin, “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW”,
diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullahsaw/, tanggal 06 September 2018.
9
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 101.
5
Sementara, Syed Ahmad Zaini Bin Syed Zaini Dahlan (Mufti Makkah) ada
mengatakan bahwa tawassul adalah sah terbitnya daripada Nabi Saw, para sahabat dan
salafussaleh dulu dan kemudian.10
Mendekatkan diri kepada Allah SWT., mempunyai banyak cara dan kaedah
yang boleh digunakan, namun kesemuanya haruslah dengan cara yang dibenarkan
oleh-Nya dan bermula dari perasaan kebutuhan serta kecintaan terhadap Allah SWT.,
sendiri. Jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, maka ia pasti berusaha
untuk menempuh segala liku dan dugaan bagi meraih ridha, perhatian dan
menyenangkan siapa yang ia butuhkan itu. Demikian juga sikap manusia yang
senatiasa membutuhkan Allah SWT., dalam hidup mereka.11
Bertitik tolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan
mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) dengan
judul “Konsep Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an”.
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, pokok masalah
yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep tawassul yang
terkandung dalam Al-Qur’an? Maka, untuk lebih menajamkan penelitian ini, pokok
masalah ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana
berikut:
1. Bagaimana hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an?
2. Bagaimana bentuk-bentuk amalan tawassul?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang konsep tawassul?
10
Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 2
11
Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), 23
6
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang ingin dibahas, maka perlu dilihat sebuah
batasan masalah agar lebih terarah dan tidak melenceng dalam pembahasan ini.
Sehubungan dengan itu, penulis hanya mengkaji tentang konsep tawassul, dalil-dalil
berkaitan dengan konsep tawassul dan penafsirannya serta mengetengahkan pendapatpendapat ulama berkaitan dengan konsep tawassul ini.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini, secara umum diupayakan untuk mengetahui hakikat sebenar
konsep bertawassul. Secara khusus, penelitian ini ditujukan:
a. Untuk mengetahui hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk amalan tawassul.
c. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang konsep tawassul.
2. Kegunaan Penelitian
Lebih jauh, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang
bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu:
a. Sebagai salah satu sumber daya pemikiran dan kematangan iman masyarakat pada
masa kini dalam konsep ibadah kepada Allah SWT.
b. Melalui penelitian yang dilakukan masyarakat dapat menjadikan ia sebagai salah
satu rujukan ilmiah yang bermanfaat untuk memperkasakan lagi ilmu pengetahuan.
c. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah
mengembangkan paradigm keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk
Universitas Islam.
7
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kaedah tinjauan pustaka di mana
penulis mencari dan meneliti beberapa buku, kajian ilmiah dan bahan literatur yang
berkait dengan perbahasan dan penelusuran penulis dalam penelitian ini. Penulis
melakukan tinjauan pustaka terhadap kitab-kitab tafsir, buku-buku, kajian ilmiah dan
karya akademik yang terkait dengan permasalahan penelitian yang penulis rangkakan.
Penulis menemukan banyak para ulama yang sudah memberikan pengetahuan tentang
masalah amalan tawassul ini. Antaranya buku ilmiah yang merupakan karya tulis
popular seperti Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir,
Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim oleh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani. Beliau
menyatakan bahwa amalan bertawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu
pintu untuk menghadap Allah SWT. Maka yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang
sebenar dalam bertawassul adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawassuli (almutawassal bih) hanya sekadar perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT12 Selain itu, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani dalam karyanya,
Agamamu dalam Bahaya menerangkan bahwa sesungguhnya tawassul adalah
bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah dalam doa dengan
kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seorang hamba yang saleh karena
tawassul merupakan sunnah.13 Buku ini telah menerangkan mengenai konsep-konsep
tawassul yang menjadi persoalan dan titik perbahasan dalam kalangan masyarakat pada
masa hari ini.
Selanjutnya, penulis telah melakukan kajian ilmiah di perpustakaan bagi
dijadikan bahan tinjauan pustaka bagi penelitian penulis. Penulis menemukan sebuah
jurnal yang berkaitan tawassul karya Udah Mohsin berjudul Tawassul: Antara yang
disyariatkan dan yang dipertikaikan. Dalam jurnal ini diterangkan bahwa makna
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 101.
13
Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 170.
12
8
tawassul kepada Allah SWT., melalui sesuatu adalah menghampiri dan menyampaikan
sesuatu kepada Allah SWT., melalui sesuatu perkara dan juga berarti kedudukan dan
taraf qurbah (pendekatan) yang khusus. Tawassul yang disyariatkan mempunyai dalildalil yang jelas daripada Al-Qura’n atau Al-Sunnah atau kedua-duanya sekali.14
Penelitian yang dikaji dalam karya di atas merupakan pembahasan secara umum
mengenai hakikat tawassul sedangkan penulis melakukan pengkajian khusus tentang
konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
Selain itu, penulis juga menemukan jurnal dalam Google yang berjudul “The
Islamic Rulling On Tawassul” yang ditulis oleh Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql. Jurnal
ini mengupas tentang penyebaran banyak inovasi, mitos, dan amalan musyrik telah
meningkat pada zaman kita disebabkan ketidaktahuan orang ramai akibat dari
meninggalkan perintah-perintah Allah SWT. Salah satu amalan yang tersebar secara
meluas adalah memuliakan orang yang disebut Wali (orang yang shaleh) dan memohon
kepada mereka daripada memohon kepada Allah SWT. Banyak orang memegang
keyakinan bahwa mereka boleh mendatangkan bahaya atau manfaat kepada orang lain,
maka mereka memuliakan golongan shaleh itu dan mengelilingi makam mereka.
Orang-orang itu mendakwa memohon kepada Wali sebagai kaedah untuk memenuhi
keperluan mereka dan melepaskan penderitaan mereka semasa kesukaran, tetapi jika
orang-orang jahil ini merujuk kepada Al-Qur'an dan sunnah dan memahami apa yang
ada di dalamnya mengenai doa, mereka akan mempunyai memahami makna sebenar
tawassul yang diperkenankan (mendekatkan diri kepada Allah). Tawassul yang
dibenarkan adalah sesuatu yang dilakukan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dengan melakukan perbuatan yang benar dan menahan larangan-larangan, serta berdoa
kepada Allah SWT. berdasarkan nama-Nya Yang Indah dan Yang Mulia. Ini adalah
cara untuk mencapai kesenangan dan rahmat Allah SWT.
15
Jurnal ini mengupas
Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal
Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 35-36.
15
Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql, “The Islamic Rulling on Tawassul”, Artikel (Daar Al-Watan
Publishing House: 12 Disember 2004), 2-3, https://en.islamway.net/book/177/islamic-ruling-ontawassul, Diunduh tanggal 08 Oktober 2018.
14
9
tentang kesalahan dalam amalan tawassul yang dilakukan oleh ummat Islam pada masa
kini manakala penulis hanya mengkaji konsep tawassul secara umum melalui
perspektif Al-Qur’an dan pendapat ulama’ tentang amalan ini.
Sementara itu, di dalam jurnal penulisan 'Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi
berjudul Tawassul16, kupasan beliau menyimpulkan bahwa kontroversi tentang isu
tawassul bukanlah perpecahan antara ummat Islam, namun ia merupakan sebuah
percanggahan pendapat antara pengikut aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aliran
Salafiyyah. Tawassul melalui doa dengan penuh penghayatan kepada Nabi Muhammad
Saw., dan orang-orang saleh ini menjadi perbahasan dan perdebatan yang tiada
sudahnya setelah kemunculan Ibnu Taimiyyah. Polemik ini semakin meruncing dengan
kemunculan kumpulan yang menyebarkan fahaman dan pemikiran Ibnu Taimiyyah
tersebut dengan lebih esktrem dan syadid sehingga menjadi ikutan manusia serta
terkenal diserata dunia iaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat puisi tawassul di
dalam karya imam-imam yang terkemuka dan terkenal dalam kalangan ahli sufi dan
falsafah seperti Syeikh Sa’di, Khalid Naqshabandi dan Shaikh Muhyi al-Din Ibn al'Arabi . Golongan Salfiyyah ini mahu mendapatkan penerangan hanya dengan
berpandukan Al-Qur’an dan hadis secara zahir tanpa bijak dalam mendalami dan
mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perihal kepentingan bertawassul ini.
Kupasan dalam jurnal ini merupakan perbedaan pemahaman amalan tawassul dalam
kalangan Ahluss Sunnah Wal Jamaah dan Salafiyyah sementara kajian penulis adalah
tentang konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
Penulis juga telah menemukan skripsi yang berjudul “Ayat-Ayat Tawassul
dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab” karya Lailatul Badriyah, Fakultas
Ushuluddin, Institus Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.17 Beliau membahas
tentang padangan Muhammad Bin Abdul Wahhab bahwa tawassul yang disyariatkan
adalah tawassul kepada Allah SWT. Menurutnya, orang yang bertawassul kepada
‘Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi, “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4 (2000), 25.
Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”,
Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009).
16
17
10
orang saleh maupun kepada para kekasih Allah SWT., dianggap sama dengan sikap
orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada
Allah SWT. Menurutnya lagi, Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang
berdoa kepada Nya. Jika Allah Maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa
memerlukan sekat antara kita dan Allah. Skripsi ini hanya mengemukan pendapat
Muhammad Bin Abdul Wahhad dalam penelitiannya terhadap masalah pengamalan
tawassul. Manakala penulis pula lebih kepada merungkai pendapat-pendapat ulama
dan tokoh Islam terhadap pengamalan tawassul dalam kehidupan.
Skripsi kedua yang penulis temukan adalah “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”
yang karang oleh Muchammad Chaidar, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.18 Beliau membuat kesimpulan, redaksi hadis- hadis
tawassul yang ditelitinya bisa dipahami secara kontekstual, bahwa Nabi membolehkan
bertawassul dengan kemuliaan al-muqarrabin dengan kecintaannya. Hadis-hadis
tentang tawassul tersebut tidak boleh dimaknai sempit, yaitu hanya bisa bertawassul di
hadapan muqarrabin yang masih hidup saja, namun bisa juga dimaknai secara luas,
yakni bisa bertawassul pada yang telah wafat. Sebab pada prinsipnya, hakikat wasilah
dari tawassul kepada muqarrabin bukanlah keberadaan sosoknya, melainkan
kemuliaan dan amal saleh beliau. Maka dapatlah di fahami bahwa penelitian tersebut
lebih terarah kepada kajian hadis-hadis namun dalam kajian penulis, penulis
melakukan penelitian dan kajian tentang konsep tawassul menurut persepektif AlQur’an.
Sebagaimana terlihat dari studi pustaka ini, penulis belum menemukan kajiankajian yang membahas tentang konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an. Dalam
arti lainnya, karya penulis ini tidaklah sama dengan karya-karya di atas, penulis
menyoroti konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an, penulis juga menggunakan
kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di untuk dijadikan
Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)
18
11
sebagai dokongan yang kuat dalam penelitian ini. Selain itu, penulis mengemukan
pendapat-pendapat ulama mengenai pandangan mereka terhadap konsep pengamalan
tawassul. Dengan demikian, penelitian penulis adalah berbeda dan dapat
ditindaklanjuti lebih jauh sebagai bahan kajian yang menarik. Penulis meneliti dan
mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan
pendekatan metode tahlily (analisis).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Yang dimaksudkan dengan metodologi penelitian adalah suatu kaedah atau
jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam
suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang
dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan
dengan kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta
mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum
dipublikasikan.
2. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam
penelitian ini adalah data-data sumber tulisan dari buku ilmiah, jurnal atau berbagai
artikel yang berkaitan dengan pembahasan yang terkaitan dengan judul ini.
a. Data Primer yakni merupakan data literature yang secara langsung memiliki
keterkaitan dan behubungan secara langsung dengan topik perbahasan penelitian.
Maka sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-Qur’an.
b. Data sekunder adalah data yang mendukung dan memperkuat data primer. Data ini
bersumber dari literatur-literatur yang ada relevansinya dengan masalah yang
dibahas. Diantaranya kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli khususnya ahli tafsir
12
seperti Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuti serta Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di karangan Syaikh
Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. Antara buku-buku yang dijadikan bahan
rujukan kajian penulis adalah Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah,
Syafa’at, Takfir, Tasawuf, Tawasul, dan Ta’zhim yang ditulis oleh Muhammad AlMaliki Al-Hasani, Agamamu dalam Bahaya karya Al Allamah Abu Abdullah
‘Alawi Al Yamani, Khilafiah Persoalan & Penjelasan oleh Muhadir Bin Haji Joll,
Hakikat Tawassul dan Wasilah yang ditulis oleh Musa Muhammad Ali dan bukubuku lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode tahlily (analisis).
Metode ini menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai
dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassir mencakup pengertian
umum kosa kata ayat dan makna global ayat yang ditafsirkan. 19
4. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisi melalui metode tahlily. Metode tahlily ini
digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
tawassul dan yang berkaitan dengannya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam metode ini mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan ayat
dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna ayat global, hukum yang
dapat ditarik, yang tidak jarang menghidang aneka pendapat ulama mazhab dan
menambahkan uraian tentang aneka Qira’at , I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta
keistimewaan susunan kata-katanya.20
19
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2015), 5.
20
Ibid, 377.
13
G. Sistematika Penulisan
Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok
bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan
mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk menyatakan
keseluruhan isi skripsi dengan sepintas, kemudian dirinci ke dalam sub bab yang terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian
kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan landasan teori dan tinjauan umum dari penelitian ini,
dalam bab ini penulis menguraikan tentang definisi, sejarah dan pemahaman tentang
amalan tawassul.
Bab ketiga pula penulis melakukan pembahasan mengenai tawassul dalam
keilmuan Islam yakni mengupas tentang macam-macam tawassul, bentuk-bentuk
amalan tawassul serta pengamalan tawassul dalam Islam.
Bab keempat merupakan analisis tentang Al-Qur’an dan tawassul yang
dilakukan untuk mengetahui pemaknaan, pemahaman dan interpretasi tentang hujah
dan dalil-dalil berkaitan tawassul. Bab ini merupakan hasil dan bahasan inti daripada
penelitian ini dengan mengeluarkan ayat-ayat tawassul dalam Al-Qur’an yang berkait
tentang tawassul, penafsiran kitab tafsir terhadap ayat-ayat tersebut pendapat ulama
terhadap konsep tawassul itu.
Bab kelima yaitu penutup dalam penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir yang menjawab matlamat penelitian, saran-saran serta harapan yang
sebaiknya dilakukan untuk lebih mengembangkan penelitian mengenai tema ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL
Tawassul adalah satu amalan yang berasal dari kata wasilah (suatu jalan)
yang mana ia merupakan isu hangat yang menjadi perbincangan dan perbahasan
dalam kalangan ilmuan agama maupun masyarakat awam yang merangkumi bidang
ilmu akidah yakni kepercayaan ummat Islam. Sesungguhnya pujian hanya milik
Allah SWT., kita memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan memohon
keampunan dari-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., niscaya
tidak ada yang sesat, dan barangsiapa yang tersesat niscaya tidak ada yang memberi
petunjuk kepadanya selain Allah SWT.
ِ َ‫ تَرْكت فِي ُكم أَمري ِن لَن ت‬:b ِ‫ول اهلل‬
ِ ِ‫َعن مال‬
َّ ‫ أ‬،ُ‫ أَنَّهُ بَلَغَه‬،‫ك‬
:‫ضل ْوا َما ََ ََّّكُُْ ْم ِِِ ََا‬
َ ‫َن َر ُس‬
ْ َْ ْ ْ ْ ُ َ
َْ
ِ
.‫اب اهللِ َو ُسنَّةَ نَبِيِّ ِه‬
َ َُ‫ك‬
“Dari Malik, sesungguhnya hadis tersebut sampai padanya, sesungguhnya
Rasulullah Saw., bersabda: Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, iaitu Kitab
Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”. (Riwayat Yahya Bin Yahya alLaitsi)1
Oleh itu, sebagai ummat Islam yang berpaksikan kehidupan berlandaskan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, haruslah kita mengetahui hakikat dan kaidah dalam
membezakan tawassul yang disyariatkan dengan tawassul yang menjadi pertikaian
para ulama’. Tawassul yang disyariatkan akan menjadi pegangan dan prinsip kita
manakala tawassul yang dipertikaikan itu perlu dijadikan renungan bahwa boleh
melakukan dan menerimanya atau menolak dan meninggalkannya.
A. Definisi Tawassul / Wasilah
Dalam memahami makna kepada perkataan tawassul yang banyak disalahartikan, kita seharusnya memahami apa itu tawassul terlebih dahulu. Bahwasanya
1
Abu Abdillah Malik Bin Anas, Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi, Bab
Jami’, No 1619 (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984), 502.
14
15
tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdoa dan merupakan salah satu
pintu dari pintu-pintu menghadap Allah SWT. Orang-orang yang bertawassul
dengan perantara adalah karena ada rasa cinta kepada perkara yang dijadikan
sebagai perantara tersebut dan juga yakin bahwa Allah SWT., juga mencintai
perkara itu. Selain itu, setiap orang yang berkeyakinan bahwa perantara itu dapat
mendatangkan manfaat atau mudarat persis seperti Allah SWT. atau tanpa kemauan
Allah SWT., maka sesungguhnya ia telah pun berbuat musyrik. Tawassul bukanlah
suatu keharusan atau perkara yang sangat perlu malah terkabulnya doa adalah tidak
sepenuhnya bergantung pada perkara yang menjadi perantara tetapi prinsip berdoa
itu sendiri yakni berdoa secara mutlak hanya kepada Allah SWT.2
1. Tinjauan Etimologi
Tawassul arti bahasa adalah al-qurbah atau al-taqarrub, yaitu mendekatkan
diri dengan suatu perataraan (wasilah). Wasilah bermaksud mendekatkan diri dan
mengharapkan. Dan dari kata itu terbentuk suatu pemahaman yakni sesuatu yang
bisa mendekatkan diri pada hal yang lain. Maka dari kata wasilah itulah masyarakat
kita lebih mengenal dengan kata tawassul. Jadi tawassul adalah mendekatkan diri
dengan suatu perantaraan (wasilah) atau menjadikan sesuatu yang menurut Allah
SWT., mempunyai nilai, derajat dan kedudukan yang tinggi, untuk dijadikan
sebagai perantaraan (wasilah) agar doa dapat dikabulkan. Sedangkan untuk orang
yang melakukan tawassul disebut dengan mutawassil. Dari kata-kata itulah
kemudian praktek tentang wasilah biasa pula dikenal dengan istilah tawassul. Jadi,
jika kata tawassul disebutkan, maka ia jelas memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kata wasilah,3
Selain itu, terdapat beberapa tokoh yang mengklasifikasikan makna
tawassul itu kepada beberapa bentuk. Bagi Al-Fairuz,
‫ َو َّس َل إِلَْي ِه تَ َع َاَل تَ ْو ِسْي ًل‬:
“Berperantara kepada-Nya dengan suatu perantara, yaitu melakukan suatu
2
Siti Asifah, “Tawassul Menurut Al Qur’an”, Skripsi (Surabaya: Program Sarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1998), 22-23.
3
Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”,
Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 18.
16
perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebagai satu tawassul.”
Menurut pendapat Ar-Raghib Al-Ashfahani pula: “Hakikat dari al-wasilah kepada
Allah SWT., adalah melalui jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah, serta menjejaki
kemuliaan syariat seperti taqarrub. Dalam pandangan Al-Fayumi, beliau
mengatakan
‫بَِو ِسْي لَة‬
‫ َوتَ َو َّس َل إِ ََل َربِِّه‬:
“Bertawassul kepada-Nya dengan sesuatu
wasilah iaitu mendekati-Nya dengan suatu amal.4
Secara lughawi (bahasa), dan penunjukan (dalalah)nya yang asli, kata
tawassul berasal dari bahasa Arab asli, disebutkan di dalam Al-Qur’an, hadits,
pembicaraan orang Arab, syair dan natsr (prosa), yang artinya mendekat (taqorrub)
kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan keras. Tawassul berasal dari
kata
‫ الوسيلة‬yaitu suatu sebab yang dapat mengantarkan pada tercapainya tujuan.
Wasilah juga mempunyai makna yang lain, yaitu kedudukan di sisi raja, atau derajat
dan kedekatan.5
Maka dapatlah disimpulkan bahawa makna tawassul itu diambil daripada
kata al-wasilah atau al-washilah, lalu ‫ الُوسل‬dengan ‫ الُوصل‬memiliki makna yang
berhampiran , kerana huruf sin (‫ )س‬dan sod (‫ )ص‬saling mewakili antara satu sama
lain dan kerana itulah kita boleh membaca firman Allah SWT.
‫الصَرا َط‬
ِّ ‫اِ ْه ِدنَا‬
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ت َعلَْي ِه ْم‬
ِّ ‫ا ْه ِدنَا‬
َ َْ ‫َنع‬
َ ‫ صَرا َط الَّذيْ َن أ‬،‫ املُ ََُّْ ْقي َم‬atau dibaca seperti ‫ سَرا َط‬،‫الََّرا َط املُ ََُّْ ْقي َم‬
ِ
‫ت َعلَْي ِه ْم‬
َ َْ ‫َنع‬
َ ‫ الَّذيْ َن أ‬dengan huruf sin dan kedua-dua bacaan ini merupakan salah
satu daripada tujuh jenis bacaan al-Quran (‫الَّبعة‬
‫)القراءة‬. Oleh itu, ‫ الُوسل‬dan
4
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,
2014), 7-8.
5
Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul
Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13.
17
‫الُوصل‬
memiliki makna yang sangat berdekatan sekali dan wasilah menjadi
penyebab yang menyampaikan kepada tujuan dan hakikat sesuatu yang diinginkan.6
Selain itu, tawassul ialah memohon atau berdoa kepada Allah SWT., dengan
perantaraan seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan.7 Tawassul juga
merupakan jalan menuju kepada Allah SWT., atau jalan yang paling cepat untuk
mendekati Allah SWT. Sesetengah ahli bahasa mengatakan tawassul ialah jalan
untuk mencapai suatu tujuan atau suatu maksud. Tawassul dan wasilah ialah
mendekat diri kepada Allah SWT., dengan melakukan sesuatu amalan baik yang
diredhai-Nya seperti mentaati-Nya, melakukan amar maaruf dan meninggalkan
munkar dan seumpamanya.8
2. Tinjaun Epistomologi
Makna kepada perkataan tawassul adalah salah satu daripada cara berdoa
dan pintu untuk bertawajjuh (menghadapkan sesuatu permintaan) kepada Allah
SWT., kerana tujuan asal tawassul yang sebenar ialah Allah SWT. Manakala orang
yang dijadikan sebagai perkara bertawassul hanyalah sebagai perantara dan jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul tidaklah
bertawassul dengan wasilah ini melainkan kerana perasaan kasihnya terhadap
wasilah tersebut dan kepercayaannya bahawa Allah SWT., mengasihi wasilah
tersebut.9
Tawassul ialah berdoa kepada Allah SWT., dengan wasilah yaitu
memperingati sesuatu yang dikasihi Allah SWT. Sekiranya dicontohkan kepada
situasi keduniaan, umpamanya kita akan meminta pekerjaan kepada sesuatu
jawatan, tetapi kita tidak begitu dikenali oleh ketua pejabat itu, maka kita lalu
mencari jalan, yaitu menghubungi sahabat kita yang bekerja pada pejabat itu dan
6
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 8.
Muhadir Haji Joll, “Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu AlBanjari Al-Makki” (Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012), 40.
8
Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala
Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 3.
9
Dede Ridwanullah, “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang
Tawassul”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012), 3
7
18
dengan pertolongannya permintaan kita untuk bekerja menjadi terkabul. Ini
merupakan contoh permohonan dengan wasilah.10
Hakikatnya, tawassul adalah “mengambil atau menggunakan sebab-sebab
yang dengan sebab itu akan menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT. Sebabsebab itu pula barangkali sesuatu yang dharuri (mustahak) seperti makan dan
minum dan barangkali ghari dharuri (tidak mustahak) seperti bergantung atau
bersandar kepada kekasih-kekasih Allah SWT., dari kalangan orang-orang saleh.
Allah SWT., menggelarkan mereka sebagai muqarrabin (sentiasa beribadah dan
mencari ridha-Nya) yang dikurniakan nikmat bagi sesiapa yang duduk bersama
mereka.11
Defisini tawassul yang lainnya adalah berdoa meminta sesuatu hajat kepada
Allah SWT., disertai dengan mengingatkan sesuatu yang dikasihi dan diredhai
Allah SWT. Jika bertawassul dengan Rasulullah Saw., motif utamanya ialah untuk
mendapat syafaat Rasulullah Saw., manakala jika bertawassul dengan orang alim
dengan motif semoga Allah SWT., memberikan keberkatan mereka pada
urusannya. Maka dengan syafaat dan keberkatan itu terlahir sebuah pengharapan
bahwa doanya akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT., atas kemuliaan
orang yang dijadikan perantara doa itu.12
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi tawassul adalah mengambil perantara bagi
mencapai sesuatu tujuan. Sesuatu tujuan itu tidak dapat dicapai melainkan dengan
perantaraan yang betul. Tawassul kepada Allah SWT., adalah bertawassul bagi
mendapat keridhaan dan ganjaran yang baik. Keridhaan ini diperoleh oleh semua
orang yang beriman kepada Allah SWT., yaitu dengan mengambil semua cara dan
sebab yang dapat mencapai ke arah keridhaan itu. Sebagaimana dijelaskan Allah
SWT., dalam Al-Qur’an surah al-Mai’dah ayat 35. Perantara atau wasilah yang
dinyatakan dalam ayat tersebut adalah kaedah bagi mendekatkan diri kepada Allah
10
Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7
11
Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan Al Hasani, Fitnah Wahabi (Ampang: Sofa Production,
2009), 18-19.
12
Jahid Sidek, “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam, Bil. 481,
Tahun 37, Februari 2014, 18.
19
SWT., melalui cara yang disukai dan diridhai-Nya, yakni melalui percakapan,
perbuatan, dan niat yang betul.13
Maka dapatlah dipahami bahwa tawassul boleh diartikan dengan maksud
ibadah yang dengannya dimaksudkan tercapainya rihda Allah SWT., dan surga. Ini
bermakna bahwa tawassul adalah pendekatan diri kepada Allah SWT., dengan
suatu amal. Karena itulah seluruh ibadah adalah wasilah menuju keselamatan dari
api neraka dan kebahagiaan masuk surga.14
Kata wasilah juga disinggung dalam hadis Rasulullah Saw., sebagaimana
sabda beliau: “Mohonlah untukku wasilah kepada Allah SWT., sesungguhnya ia
(wasilah) adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak diberikan kecuali kepada
salah seorang hamba Allah SWT. Dan aku menggharap akulah hamba itu. Maka
barangsiapa memohonkan wasilah untukku dari Allah SWT., maka ia akan
mendapatkan syafa’atKu di hari kiamat”. Tawassul melalui Nabi Saw., menurut
para sahabat adalah bertawassul dengan doa dan syafa’at beliau. Sedangkan wasilah
menurut ulama mutaakhirin adalah bersumpah dan memohon dengan nama Nabi
Saw., seperti yang mereka terdahulu bersumpah dengan nama Nabi-nabi, para
salehin dan orang-orang yang dianggap baik .15
B. Sejarah Tawassul
Istilah atau perbuatan tawassul ini bukan sesuatu yang baru atau rekaan
semata-mata, namun istilah dan perbuatan tawassul ini telah wujud dari dahulu lagi.
Berikut beberapa hadis Rasulullah Saw., dan atsar (peninggalan) sahabat yang
memperjelas cakupan umum tentang amalan tawassul. Dengan perhatian penuh
terhadap hadis-hadis dan atsar, akan terlihat bahwa telah terjadi tawassul kepada
Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw., sebelum
wujud kelahirannya, ketika hidup di dunia, juga sesudah wafatnya di alam barzakh,
Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul dalam Perspektif Hadis Nabi Saw”,
Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 23
14
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,
2014), 8-9.
15
Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul
Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13-14.
13
20
demikian pula ketika manusia telah dibangkitkan sebelum diputuskan segala
urusannya di hari kiamat.
1. Bertawassul dengan Perantara Nabi Muhammad Saw., Sebelum
Kelahiranya
Terdapat hadis yang menceritakan tentang Nabi Adam a.s., bertawassul
kepada Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw.:
ِ ُ ‫ قَ َال رس‬: ‫ قَ َال‬، ‫اب ر ِضي اللَّه عْنه‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َوآلِِه َو َسلَّ َم‬
ْ ‫َع ْن عُ َََر بْ ِن‬
ُ َ ُ َ َ ِ َّ‫اْلَط‬
َ ‫ول اللَّه‬
َُ
ِ
ِ
ِ َ ُ‫ب أَسأَل‬
: ُ‫ت َِل فَ َق َال اهلل‬
َ ‫ لَ ََا افْ َُ َر‬:
َ ‫ف‬
َ ‫ك ِبَ ِّق ُُمَ ََّد ل ََا َغ َف ْر‬
ْ ِّ ‫ يَا َر‬: ‫آد ُم اْلَطيئَةَ قَ َال‬
‫َّك لَ ََّا َخلَ ْقَُِِ بَيَ ِد َك‬
ِّ ‫ يَا َر‬: ‫ت ُُمَ ََّ ًدا َوََلْ أَ ْخلَ ْقهُ؟ فَ َق َال‬
َ ‫ب ! ِلَن‬
َ ‫آد ُم َوَكْي‬
َ ‫يَا‬
َ ْ‫ف َعَرف‬
ِ
ِ ‫ك رفَع‬
ِ ِ ‫ونَ َفخ‬
‫الع ْر ِش َم ْكُُوبًا آ إِلَهَ إََِّّل اهللَ ُُمَ ََّ ٌد‬
ُ ْ‫ت َراْسي فَ َراَي‬
ُ ْ َ ‫ت م ْن ُرْوح‬
َ ْ َ
َ ‫ت َعلَى قَ َوائ ِم‬
ِ
ِ ِ ُ ‫رس‬
ِْ ‫ف إِ ََل‬
ِ ُ‫َّك ََل ت‬
ِ َ ‫اْس‬
‫ت‬
َّ ‫َح‬
ْ ‫ض‬
َ ‫ب اْلَْل ِق ألَْي‬
َ ْ‫ص َدق‬
ُ َْ ‫ول اهلل فَ َعل‬
ْ َ ‫ت أَن‬
َ : ُ‫ فَ َق َال اهلل‬، ‫ك‬
َ ‫ك إََّّل أ‬
َُ
ِ
ِ ‫ب‬
.‫ك‬
َّ ‫آد ُم إِنَّهُ ِلَ َح‬
َ ُُ‫ك َولَو ََّل َُمَ ََّ ٌد َما َخلَ ْق‬
َ َ‫ت ل‬
َ ‫يَا‬
ُ ‫ فَ َق ْد َغ َف ْر‬، ‫ أ ُْدعُ ِِ َِبَقِّه‬، ‫اْللق َعلَ َّى‬
“Daripada Saidina Umar bin al-Khattab r.a., bhawa beliau berkata: Rasulullah
Saw., telah bersabda: “Ketika Adam a.s., melakukan kesalahan lalu baginda
berkata: “Wahai Tuhan, saya memohon dengan hak Muhammad, tidakkah
kamu sudi mengampuniku?” Allah SWT., lalu berfirman: “Wahai Adam,
bagaimana kamu kenal Muhammad sedangkan aku belum menciptakannya
lagi?” Beliau menjawab: “Wahai Tuhan. Ia karena, ketika Engkau
menciptakanku dengan yadd (kekuasaan)-Mu, lalu Engkau tiupkan padaku
daripada roh-Mu, lalu aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat di atas
tiang-tiang Arasy telah tertulis “La ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.
Maka, aku ketahui bahawa Engkau tidak akan menggandingkan sesuatu kepada
nama-Mu melainkan seseorang yang kamu paling sayang dalam kalangan
makhluk-Mu di sisi-Mu.” Lalu Allah SWT., berfirman: “Benar wahai Adam,
sesungguhnya Baginda adalah makhluk yang paling disayangi pada sisi-Ku.
Berdoalah kepada-Ku dengan hak Baginda. Maka sesungguhnya, Aku telah
ampunkan kamu. Jika bukan kerana Muhammad, nescaya Aku tidak
menciptakan kamu.”
Meninjau dari periwayatan hadis ini, ramai ulama dan terdahulu dan
mutaakhir yang membenarkan dan meriwayatkan hadis ini. Antara ulama terdahulu
adalah seperti Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan hadis ini telah
dishohihkan olehnya [Jilid 2 halaman 615] dan Al Hafiz al Suyuti dalam kitab
21
beliau al Khasois al Nabawiyyah dan telah dishohihkannya [Jilid 1 halaman 27]. Al
Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dalam karyanya Dalailun Nubuwwah [Jilid 5
halaman 489] dan beliau tidak meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ (palsu)
sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah kitabnya dan juga dishahihkan
oleh al Qastalani dalam kitab penulisannya al Mawahib al Laduniyyah [Jilid 1
halaman 82]. Manakala ulama mutaakhir pula adalah Syeikhul Islam Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan dalam al Durrar al Saniah [halaman 33-35] dan juga Al
Muhaddith Al Mufassir al Allamah Syeikh Yusuf al Dijwi, salah seorang Anggota
Ulama Besar al Azhar menerusi majalah An Nur terbitan Syawal 1350 Hijrah dalam
makalah berjudul “Kalimaat Lil Wahhabiah”.16
Hadis di atas didukung oleh ayat Al-Qur’an sebagaimana firman Allah
SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 37:
            
“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat (kata-kata untuk bertaubat)
daripada Tuhan-Nya, maka Allah menerima tobatnya. Sungguhnya, Allah
Maha Penerima Tobat, lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah: 37).17
As-Syed Abdullah As-Siddiq Al-Hasani Al-Ghimari, salah seorang ulama
hadis yang terkenal dalam kitabnya Ittahaful Azkia’ Bi Jawazi At-Tawassul Bil
Anbiya’ Wa Auliya’ mengatakan bahwa Ibn Munzir telah meriwayatkan bahwa
malaikat Jibril a.s., telah mengajarkan Nabi Adam a.s., bertawassul dengan Nabi
Muhammad Saw. Maka jelas dalam hadis ini bahwa Nabi Adam a.s., berdoa kepada
Allah SWT., dengan bertawassulkan Nabi Muhammad Saw., yang belum
dilahirkan lagi pada ketika itu. Perbuatan Nabi Adam a.s., dan cara berdoanya
beliau diterangkan oleh Rasulullah Saw., dalam haditsnya karena doa semacam ini
dikabulkan oleh Allah SWT.18
16
Muhammad Fuad Kamaludin, Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu???
(Selangor: Abnak Production, 2002), 9-11.
17
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 7.
18
Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur, 13-18.
22
2. Bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW ketika Masih Hidup dan
Sesudah Wafatnya
Hadith Rasulullah Saw., daripada Uthman bin Hunaif r.a., bahwa seorang
laki-laki buta telah datang kepada Nabi Saw.,:
‫ فَ َق َال‬:‫َو َسلَّ َم‬
َّ ‫َع ْن عُثْ ََا َن بْ ِن َحنِْيف أ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه‬
َ ‫َن َر ُج ًل‬
َّ ِ‫ص ِر أَتَى الن‬
َ ‫َِّب‬
َ َ‫ض ِر َير الْب‬
.‫عع اهللَ أَ ْن يُ َعافُيَِِن‬
ُ ‫ْاد‬
“Dari Usman Bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang buta matanya telah
datang menemui Nabi Saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah saw, doakan pada
Allah agar menyembuhkan aku.19
Maka Rasulullah Saw., bersabda kepadanya dan dia menjawab: “Ya
Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun, ini berat bagiku”. Nabi Saw., bersabda
kembali:
ِ
ِ
ِ ِ‫ت ذَل‬
.‫ت‬
َّ ‫ت أ‬
َ َ‫ك فَ ُه َو َخْي ٌر ل‬
َ ‫ت َد َع ْو‬
ُ ‫َخ ْر‬
َ ‫ َوإِ ْن شْئ‬، ‫ك‬
َ ‫صِِبُ ؟ إِ ْن شْئ‬
ْ َ‫أَََّل ت‬
“Mengapa engkau tidak bersabar? Bila kamu berkenan, maka aku menunda hal
itu dan itu lebih baik bagimu, namun bila kamu berkenan, maka aku berdoa
(untuk kesembuhanmu)”.20
Dan kemudian laki-laki itu menyuruh Rasulullah saw., berdoa. Maka sabda
Rasulullah saw., : “Pergilah berwudhu’ dengan baik dan solatlah dua rakaat.
Kemudian bacalah doa ini:
ِ َّ ‫ك ُُم ََّد نَِِب‬
‫ك إِ ََل‬
َ ِ‫ت ب‬
َ ‫ك َوأَتَ َو َّجهُ إِلَْي‬
َ ُ‫َسأَل‬
َ َ ِّ‫ك بِنَبِي‬
ِّ
ُ ‫الر ْْحَة يَا ُُمَ ََّد إِ ِِّّن تَ َو َّج ْه‬
ْ ‫اللَّ ُه َّم إِ ِِّّن أ‬
ِ َ ‫اج ِِت َه ِذهِ لُُِ ْق‬
. ‫ِف‬
َّ ِ ُ‫ِّعه‬
ْ ‫ اللَّ ُه َّم فَ َشف‬،‫ِل‬
َ ‫َرِِّّب ِِف َح‬
َ ‫ضى‬
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan
(kemualiaan) Nabiku, Muhammad saw: Nabi pembawa rahmat, wahai
Muhammad! Sesungguhnya aku memohon syafa’at denganmu ke atas Tuhanku
19
Ibid.
Syaikh Muhammad Bin Ahmad, Rahsia & Mukjizat Tawassul (Jakarta: Pustaka Imam
Bonjol, 2017), 6.
20
23
agar penglihatan mataku dikembalikan. Maka syafa’atkanlah diriku dan
syafa’atkanlah Nabiku dalam mengembalikan penglihatanku”. 21
Rasulullah Saw., bersabda:
ِ
‫ك‬
َ ‫اجةٌ فَافْ َع ْل ِمثْ َل َذل‬
َ َ‫ت ل‬
ْ َ‫َوإِ ْن َكان‬
َ ‫ك َح‬
“Sekiranya kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti itu”.22
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di mana beliau mengatakan
hadis ini adalah hadis hasan yang sahih dan juga diriwayatkan oleh al-Nasaii dan
al-Hakim. Manakala, Ibnu Abi Khaithamah r.a juga meriwayatkannya dalam kitab
hadis beliau berjudul Tarikh. Bahkan Imam al-Tabarani dan ulama lain
meriwayatkan bahwa Uthman bin Hunaif ra mengajar seorang laki-laki supaya
berdoa dengan doa ini selepas kewafatan Rasulullah saw tatkala mempunyai
sesuatu hajat, maka hajat laki-laki tersebut tertunai. Imam Al-Tabrani telah
mensahihkan kisah ini dan diperakui oleh al-Munziri dalam al-Targhib wa al
Tarhib. Demikian juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-Haithami di dalam Majma’ alZawaid.23
Ini membuktikan bahwa doa juga merupakan sebahgian daripada cara
bertawassul dan doa yang diajarkan Rasulullah Saw., ini, menunjukkan keharusan
bertawassul dengan Baginda Saw., ketika hayat Baginda Saw., maupun selepas
kewafatan Baginda Saw., khususnya melalui perkataan Baginda Saw.,: “Sekiranya
kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti ini”.
C. Kepahaman Mengenai Tawassul
Terdapat sebahgian golongan yang menafsirkan ayat-ayat tawassul hanya
didasari akal fikiran dan hawa nafsu semata-mata. Sehingga munculah pelbagai
golongan yang mengklasifikasikan tawassul sebagai sebuah amalan berupa
21
Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:
Koperasi As Sofa, 2014), 171.
22
Ibid.
23
Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 171.
24
kesyirikkan yang besar. Ini disebabakan karena mereka tidak memahami makna
tawassul dari sisi bahasa maupun istilahnya. Sehingga mengakibatkan kesalahan
dalam memahami jalan menempuh ridha Allah SWT.
Mereka menyamakan amalan tawassul ini seperti dengan golongan
plytheist24 yang mana mereka menyembah tuhan-tuhan selain Allah SWT.
Golongan tersebut menyatakan bahwa mereka mencipta tuhan-tuhan mereka
sebagai tempat meminta syafaat dan menyembahnya bagi mendekatkan diri kepada
Allah SWT., seperti firman Allah SWT., pada QS Yunus ayat 18:
          
              
     
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah, apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan
mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’.
Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak
diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)”. (QS Yunus: 18).25
            
                
     
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
24
Gelaran bagi golongan musyrikin.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 167.
25
25
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (QS AzZumar: 3).26
Menurut ayat-ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
golongan yang mengatakan tawassul merupakan syirik adalah disebabkan mereka
menyamakan orang yang bertawassul itu sama seperti kaum musyrikin karena
apabila seseorang itu mempercayai penunaian hajat secara bertawassul, maka ia
adalah sama seperti memohon kepada patung-patung yang tidak bernyawa. Mereka
menyamakan orang-orang saleh yang telah meninggal dunia ibarat patung-patung
berhala yang tiada fungsi dan tidak mampu melakukan apa-apa kerana tidak
bernyawa.27
Ini adalah pendapat yang tidak berasas dan satu bentuk pengadilan yang
dilakukan bukan pada tempatnya. Ini karena ayat di atas jelas menzahirkan kutukan
Allah SWT., ke atas puak musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala
sebagai tuhan selain Allah SWT., dan melakukan syirik dengan mendakwa bahwa
penyembahan terhadap berhala bertujuan menghampirkan diri kepada Allah SWT.
Mereka percaya bahwa patung berhala wujud sifat ketuhanan yang mampu memberi
manfaat dan menolak mudarat. Sekalipun mereka tidak menganggap patung berhala
boleh mencipta, memberi rezeki dan mentadbir urusan-urusan besar tetapi mereka
beranggapan dengan meyakini bahwa syafaat yang dipohon terhadap berhala itu
akan ditunaikan Allah SWT., karena kedudukan berhala sebagai sekutu dengan
Allah SWT.28
Jika amalan tawassul ini merupakan syirik sebagaimana yang dikatakan oleh
sebahgian golongan itu, maka tidaklah wujud doa tawassul yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw., kepada para sahabatnya dan menyuruh mereka mengamalkannya:
ِِ َّ ‫اَللَّه َّم إِ ِِّّن أَسأَلُك ِِب ِّق‬
‫ك‬
َ ‫ْي إِلَْي‬
َ ْ ‫الَّائل‬
َ َ ْ
ُ
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 336.
27
Adika Mianoki, Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik, diakses melalui alamat
https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html, tanggal 01 Januari
2019.
28
Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd,
2014), 175-177.
26
26
“Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang
memohon kepada-Mu”.29
Maka, amalan tawassul dengan perantara termasuk dalam perantara iman
dan masyru’ (dibolehkan). Antara perantara kategori ini adalah para Rasul, para
Nabi, para Malaikat dan setiap yang kita merujuk sebagai wasilah dan
bertawassulkannya kepada Allah SWT., adalah dengan cara kasih dan bukan
sembah. Termasuk dalam kategori ini adalah amalan tawassul yang mengEsakan
Allah SWT dengan menjadikan para Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara
kepada Allah SWT untuk memperoleh suatu hajat dan mendapat syafaat. 30
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon
kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan
bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat
dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini
kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul kafir dan musyrik.
Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya
manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT.,
dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.31
Mereka tidak melakukan semua itu dengan niat menyembah pengantara itu,
tidak juga dengan menganggap wasilah itu sebagai Tuhan atau ada orang lain yang
mampu menunaikan atau menghalang sesuatu. Namun, mereka hanya menganggap
wasilah hanya sebagai jalan untuk memohon doa dan syafaat dari Allah SWT.
Mereka ini hanya menyembah Allah SWT dan menyakini bahwa Allah SWT sahaja
yang mampu mendatangkan kemudaratan dan manfaat.32
29
Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, 24-25.
Al-Syayid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah, 177-178.
31
Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina
ASWAJA, 2010), 63.
32
Ibid.
30
BAB III
TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM
A. Macam-Macam Tawassul
Dalam keilmuan Islam, ulama sepakat membagikan tawassul kepada beberapa
jenis yang utama. Ada sebagian ulama yang mengharuskan tawassul. Disamping itu,
ada ulama lain yang juga berselisih dalam pengalaman tawassul ini. Oleh itu, tawassul
dapat dibagi kepada dua jenis yaitu tawassul yang disepakati dan tawassul yang
dipertikaikan.
1. Tawassul yang disepakati
Ibn Taimiyah dan pengikutnya hanya membenarkan tawassul pada tiga keadaan
sahaja. Tiga keadaan atau bahagian itu merupakan yang ditunjukkan oleh nas-nas AlQur’an, As-Sunnah, amalan salafussoleh dan ijmak muslimin yakni yang pertama
adalah tawassul dengan salah satu daripada nama-nama Allah SWT., atau salah satu
dari sifat Allah SWT. Keduanya pula ialah tawassul dengan amal saleh yang dikerjakan
oleh orang yang meminta dan yang terakhir adalah tawassul dengan doa orang-orang
saleh.1
Menurut Noriza Salleh2 dalam penulisannya pula, tawassul yang disepakati
oleh ulama-ulama Islam bermakna tawassul dengan cara yang tidak menyalahi atau
bertentangan dengan syarak dan mempunyai dalil-dalil yang jelas dan nyata daripada
Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kedua-duanya sekali. Ia juga dikenali sebagai wasilah
al-syar’iyyah. Pada lazimnya, tawassul ini hanya bertujuan untuk mencapai sesuatu
maksud dengan cara yang tidak membawa syirik kepada Allah SWT. Maka, kaedahkaedah tawassul tersebut ialah melalui keimanan kepada Allah dan Rasul serta taat
pada-Nya, menggunakan namanama atau sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan
1
Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7-8.
2
Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3 (2013),
36.
27
28
Agung, amal-amal soleh dan memohon pertolongan kepada orang-orang soleh untuk
mendoakannya.
Seterusnya, tawassul yang katogerikan sebagai tawassul yang disyariatkan
adalah tawassul yang mempunyai dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah
atau kedua-duanya sekali di mana ulama tidak mempertikaikan kebenaran amalan
tawassul ini. Ianya merangkumi amalan tawassul seperti tawassul kepada Allah SWT.,
dengan beriman kepada Nabi Muhammad Saw., dan taat kepadanya, tawassul kepada
Allah SWT., melalui nama dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, tawassul kepada Allah
SWT., melalui doa dan syafaat Rasulullah Saw., tawassul kepada Allah SWT., melalui
amal-amal saleh dan tawassul kepada Allah SWT., melalui doa daripada orang saleh.3
2. Tawassul yang dipertikaikan
Tawassul yang dipertikaikan adalah tawassul yang menjadi perselsihan dalam
kalangan ulama yang mana ada yang mengharuskannya tetapi ada juga yang
melarangnya. Tawassul ini adalah tawassul dengan makhluk, atau dengan makna lain
bertawassul dengan Rasulullah Saw., para anbiya’ atau orang saleh. Imam Ahmad
mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., sahaja tidak yang lain. Manakala
Imam al-Shawkani mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., dan para anbiya’
yang lain seterusnya orang saleh yang lain.4
Muhammad
Al-Maliki
Al-Hasani
mengatakan
bahwa
adapun
yang
dipertentangkan di antara ummat Islam adalah masalah bertawassul kepada Allah SWT
lewat perantara berbentuk benda dengan perantaraan manusia. Misalnya dikatakan:
“Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan kesalehan Abu Bakar
Shiddiq r.a., atau dengan Umar bin Khattab r.a., atau dengan perantaraan Usman r.a.,
atau dengan perantaraan kemuliaan Ali r.a.” Namun sebetulnya tawassul seperti ini
merupakan tawassul yang disepakati karena orang yang bertawassul kepada Allah
Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal
Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 36.
4
Ibid, 38.
3
29
SWT., dengan perantara seseorang itu dikarenakan ia mencintai orang tersebut. Mereka
berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh, yakin bahwa perantara itu
mencintai Allah SWT., dan berjihad di jalan-Nya dan Allah SWT., juga mencintai
orang tersebut.5
Namun, sebenarnya bertawassul sesama manusia itu tiada larangan dalam ayat
Al-Qur’an dan hadis bahwa tawassul kepada Allah SWT., melalui orang-orang yang
dekat dengan Allah SWT., umpama bertawassul kepada para Nabi, para Rasul, para
sahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, para syuhada, dan para ulama salehin. Ini
disebabkan oleh karena walaupun kita bertawassul kepada orang-orang yang hampir
dengan Allah SWT., namun pastinya kita memohon kepada Allah SWT., karena Allah
SWT., sahajalah tempat kita meminta. 6
Jika dilihat dari sudut golongan yang menghukum amalan ini tidak benar, maka
semua manusia telah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah SWT. Nabi
Muhammad Saw., mengambil Al-Qur’an melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. Maka
malaikat Jibril a.s., adalah pengantara bagi Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad
Saw., pula ialah pengantara tersebar bagi para sahabat pada ketika itu. Dalam setiap
kesulitan yang menimpa, para sahabat sentiasa mengadu kepada Rasulullah Saw.,
mereka bertawassul dengan Baginda Saw., kepada Allah SWT., dan memohon doa
daripada Nabi Saw . Tidak pula Rasulullah Saw., berkata bahawa para sahabat telah
jatuh kufur atau syirik kerana mengadu dan memohon kepada Rasulullah Saw.
Sebaliknya Rasulullah Saw., hanya berdoa dan memohon kepada Allah Saw., untuk
sahabat Rasulullah Saw., padahal mereka benar-benar yakin bahawa yang memberi dan
menghalang sesuatu, yang menurunkan dan meluaskan rezeki pada hakikatnya
hanyalah Allah SWT., sahaja. Rasulullah Saw., mampu memberi tetapi melalui
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 103-104.
6
Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam Publishing
Sdn. Bhd., 2015), 234-235.
5
30
keizinan dan kurnia dari Allah Saw., sendiri dan Rasulullah Saw., pernah bersabda
bahawa Rasulullah Saw., hanyalah pembahagi dan pemberi adalah Allah SWT.7
Perselisihan ini hanya pada zahir dan bukan pada hakikatnya kerana perkara
yang menjadi perselisihan dalam kalangan ulama’ hanyalah mengenai keharusan
bertawassul semasa hayat seseorang wasilah dan selepas kewafatan wasilah tersebut.
Amalan bertawassul adalah dengan memohon dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT., bukan kepada wasilah. Wasilah tersebut hanya sebagai kaedah dan perantara
bagi menyampaikan kita kepada Allah SWT. Maka sebagai umat Islam, seharusnya
kita menyakini bahawa yang diharuskan bertawassul adalah melalui amalan soleh
orang yang dijadikan wasilah di mana wasilah tersebut merupakan seseorang yang
mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT.8
B. Bentuk-Bentuk Amalan Tawassul
1. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Nama dan Sifat-Sifat-Nya
Tawassul dalam bentuk ini merupakan firman daripada Allah SWT., dalam QS
Al-A’raf ayat 180:
             
  
“Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)9
7
Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014),
178.
Fatimah Binti Abdul Khadal, “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”, Skripsi (Ampang:
Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016), 59-60.
9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 138.
8
31
Ayat ini Allah SWT., memberi peransang kepada setiap orang Islam supaya
selalu berdoa kepada Allah SWT., dengan perantara Nama-nama-Nya Yang Husna,
dengan harapan supaya doa itu dimakbulkan oleh Allah SWT.
Mihjan Ibnu Adra’ r.a., menceritakan bahwa Rasulullah Saw., masuk ke dalam
masjid, ketika itu Rasulullah Saw., mendapati seorang laki-laki hampir menyelesaikan
solatnya, yaitu sedang dalam tasyahhud akhir, laki-laki itu membaca doa: “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, Ya Allah, Yang Maha Esa, Tuhan Yang
Maha Tunggal, Yang dapat memenuhi hajat segala hamba-Nya, Yang tidak beranak
dan tidak dilahirkan dan tiada bagi-Nya suatu apa pun yang dapat dijadikan
perbandingan, Aku memohon ampunan dari segala dosa-dosaku, sesungguhnya hanya
Engkau Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Maka Rasululllah Saw., pun
bersabda10:
. ُ‫ قَ ْد غُ ِفَر لَه‬، ُ‫ قَ ْد غُ ِفَر لَه‬، ُ‫قَ ْد غُ ِفَر لَه‬
“Sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah
diampuni”. (HR Abi Daud: 985)11
Imam Abu Hanifah mengatakan tidak patut bagi seorang Muslim berdoa
dengan tidak menggunakan Nama Allah SWT. Imam Abu Yusuf ada memetik
pendapat Imam Abu Hanifah yang berkata: Tidak sayugia (tidak sepatutnya) bagi
seorang Muslim berdoa kepada Allah SWT., melainkan dengan melalui perantaraan
Nama-Nama Allah SWT., itu sendiri. Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa Nabi Allah Ibrahim juga bertawassul dengan menggunakan
Nama-Nama Allah SWT., dan sifat-sifat-Nya Yang Mulia. Sebelum baginda
mengemukakan doa dan permohonan, terlebih dahulu baginda bertawassul dengan
beberapa sifat Allah SWT., yaitu yang pertama dengan Ilmu Allah SWT., yang meliputi
segala perkara dan tidak bersembunyi sesuatu jua pun sama ada di langit atau di bumi.
Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 45.
Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Maktabah AlMa’arif, 2007), 171.
10
11
32
Keduanya bertawassul dengan sifat Wahhab yakni Allah SWT., memberi kepadanya
dua orang anak: Ismail dan Ishak walaupun baginda telah lanjut usianya. Dan ketiganya
pula dengan sifat Sama’ yang dapat mendengar segala permohonan doa hambahamban-Nya. Selepas menyebut sifat-sifat tersebut barulah Nabi Ibrahim memohon
doa kepada Allah SWT.,12 seperti firman Allah SWT., dalam QS Ibrahim ayat 38-41:
                 
             
             
        
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui akan apa yang kami
sembunyikan dan apa yang kami lahirkan dan tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala
puji bagi Allah yang telah mengurniakan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq.
Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) doa.
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
solat, ya kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan ami, beri ampunlah aku dan bagi
kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab
(hari kiamat)”. (QS Ibrahim: 38-41).13
2. Tawassul kepada Allah SWT., dengan Beriman kepada-Nya dan kepada
Rasul-Nya.
Bertawassul kepada Allah SWT., dengan beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya
ِ
apabila kita menyatakan "‫ك‬
َ ُ‫َسأَل‬
َ ‫ك وبِرسول‬
َ ِ‫ "اَللَ ُه َّم بِِإْْيَ ِاِن ب‬yang bermaksud: “Ya Allah,
ْ‫كأ‬
ََُ
12
ْ
Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala Lumpur:
Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 18-19.
13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 207-208.
33
dengan keimananku kepada-MU dan kepada Rasul-Mu saya memohon kepadaMu…”14
Firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 193:
             
       
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya
Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15
Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Al-Mu’minun ayat 109:
            
 
“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya
Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat,
dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)16
Makna bertawassul dalam dalil-dalil di atas adalah yang pertamanya, karena
sebab keimanan kepada Rasul-Mu maka mereka memohon diampunkan. Maka
dijadikan keimanan kepada Rasul sebagai wasilah untuk mendapatkan ampunan.
Selain itu, ayat dia atas menunjukkan tawassul dengan keimanan kepada Allah SWT.,
dan keimanan kepada Rasul-Nyamdan bertawassul dengan kecintaan kepada Allah
SWT., dan kecintaan kepada Rasul-Nya, adalah boleh hukumnya karena keimanan dan
14
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014),
15
Ibid, 60.
Ibid, 278.
23.
16
34
kecintaan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya adalah sebab yang menyampaikan
kepada ampunan. Karena itu bertawassul kepada Allah SWT., dengan hal tersebut
adalah benar.17
Perkara ini merupakan asas Iman dan Islam, tanpanya seseorang itu tidak akan
dinamakan sebagai seorang Mukmin. Maka mereka meminta kepada Allah SWT.,
keampunan dosa-dosa mereka, penghapusan segala kesalahan mereka dan mati
bersama-sama dengan orang baik, melalui keimanan mereka kepada Nabi Muhammad
Saw.18
Tawassul kepada Allah SWT., boleh juga dilakukan dengan beristighfar
memohon kemapunan atas dosa yang dilakukan. Sayyidul istighfar ialah bahawa
seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada yang
disembah selain Engkau. Engkau telah menjadikan aku dan aku adalah hamba-Mu.
Aku tetap di atas perjanjian kepadaMu (untuk tidak mengabdikan diri selain kepadaMu) seboleh yang terdaya olehku. Aku berlindung kepadaMu daripada kejahatan yang
aku buat sendiri. Aku mengakui segala kenikmatan yang Engkau telah berikan
kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku”.19
3. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Rasulullah Saw.
Tawassul kepada Allah SWT., juga adalah dengan melalui Rasulullah Saw.,
yang juga pemberi syafaat kepada ummat Islam. Firman Allah SWT dalam QS AnNisa’ ayat 64:
17
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 24.
Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal
Islamiyyat, 36.
19
Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, 37.
18
35
              
         
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin
Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (dengan berbuat
dosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang.” (QS An- Nisa’: 64)20
Dapat diartikan di sini bahwa setiap orang apabila ia berdoa kepada Tuhannya
di hadapan Nabi Saw., dan Nabi Saw., pula meminta ampun untuk orang tersebut
niscaya permohonannya dikabulkan oleh Allah SWT. Namun tawassul ini boleh
dilakukan juga apabila Nabi Saw., sudah wafat karena beliau masih dapat mendoakan
kita. Namun terdapat segelintir orang yang mempersoalkan mengapa tidak berdoa
sendiri kepada Allah SWT., dan tidakkah Allah SWT., akan memakbulkan doa kita?
Disinilah terdapat makna yang dapat disimpulkan dari QS An-Nisa’ ayat 64 karena
ayat tersebut mempunyai hikmah yang tinggi, supaya orang berduyun-duyun ummat
ke Madinah mendatangi Rasulullah Saw., agar mereka lebih mencintai beliau, mereka
tambah gigih mengikuti perjuangan Nabi Saw., dan supaya mereka bertauhid sedalamdalamnya sebagaimana tauhid Nabi kita Muhammad Saw.21
Daripada Imam Al-Utbi, dia berkata: “Suatu ketika aku duduk di samping
kubur Nabi Saw., datang seorang ‘Arabi (orang keturunan Arab dusun) mengucapkan
salam kepada Nabi Saw., dengan berkata ‘Salam sejahtera ke atasmu, Wahai
Rasulullah Saw. dan membaca potongan ayat Al-Qur’an yang mana apabila seseorang
itu melakukan dosa, dan datang kepada Nabi Saw., bagi memohon keampunan dari
Allah SWT., maka Nabi Saw., juga memohon ampun bagi mereka itu dan tentulah
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 70.
21
Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn.
Bhd., 1978), 273.
20
36
mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima Tobat dan Maha Mengasihani.
Kemudian laki-laki ‘Arabi tersebut menyambung: ‘Dan aku mendatangimu dalam
keadaan memohon keampunan daripada segala dosaku dan mengharapkan syafaatmu
kepada Tuhanku. Lalu dia melantunkan beberapa bait syair”. Al-Utbi menyambung
ceritanya dengan mengatakan: “Kemudian dia berpaling meninggalkan maqam Nabi
Saw., tiba-tiba mataku mengantuk, lalu aku bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw.,
dalam tidurku dan Nabi Saw., berkata padaku: ‘Wahai Ubti, segera pergi berjumpa
‘Arabi itu dan khabarkan berita gembira kepadanya bahwa Allah SWT., telah
mengampuninya”. Berikut merupakan bait-bait syair yang dibacakan laki-laki itu:22
ِ
ْ َ‫يَا َخْي َر َم ْن ُدفن‬
ُ‫ت بِالْ َق ِاع أ َْعظُ ُمه‬
‫اب ِم ْن ِطْيبِ ِه َّن الْ َقاعُ َو ْاْلَكِ ُم‬
َ َ‫فَط‬
ِ ِ ِ
َ ‫نَ ْفسي الْف َداءَ ل َق ٍْْب أ‬
ُ‫َنت َسا ُكنُه‬
‫ود َوالْ َكَرُم‬
ْ ‫اف َوفِْي ِه‬
ُ ‫فِْي ِه الْ َع َف‬
ُ ُ‫اْل‬
Wahai manusia terbaik bersemadi dalam bumi jasadnya
Maka harumlah lembah dan bukit dengan keharumannya
Jiwaku jadi tebusan kubur yang engkau penghuninya
Dalamnya ada (peribadi) yang suci, pemurah lagi mulia.
Menurut Imam Taqiuddin As-Subki r.a., sesungguhnya tawassul dengan Nabi
Muhammad Saw., adalah perlu dalam setiap hal, sebelum atau selepas kejadiannya,
pada masa hidup di dunia dan selepas wafatnya, dalam alam barzakh dan selepas
bangkit di hari qiamat dan dalam surga karena bertawassul kepada Nabi Saw., adalah
dengan makna orang yang mempunyai hajat memohon kepada Allah SWT., dengan
bertawassul kepada Nabi Saw., atau dengan kemuliaan dan berkatnya. Berdoa dengan
bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw., adalah bermakna meminta hajat kepada
22
Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 240-241.
37
Nabi Saw., sesuatu perkara dan Nabi Saw., berdoa kepada Allah SWT., dengan syafaat
Nabi Saw.23
4. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Amal Saleh
Amalan tawassul seperti ini adalah apabila seorang Muslim berkata: “Ya
Alllah, berkat imanku kepada Engkau, atau cintaku kepada Engkau, atau karena aku
mematuhi Rasul-Mu, ampunilah dosaku”. Atau seperti ungkapan: “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, dengan cintaku kepada Nabi Muhammad
Saw., dan imanku kepadanya bebaskanlah aku dari kesusahan”. Termasuk tawassul
macam ini adalah dengan berdoa menyebut amal saleh yang pernah dilakukan, yang
mana pada amalannya itu dia takut kepada Allah SWT., takwa kepada-Nya, lebih
mengutamakan Allah SWT., dari segalanya, taat kepada Allah Yang Maha Mulia,
kemudian bertawassul dengan amal itu dalam doanya, agar lebih terbuka peluang untuk
diterima dan dikabulkan.24
Antara dalil bertawassul bentuk ini adalah seperti firman Allah SWT., dalam
QS Ali ’Imran ayat 16:
           
“Yaitu orang-orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa
neraka”. (QS Ali ‘Imran: 16).25
Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 53:
         
23
Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur, 13.
24
Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, 46.
25
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 40.
38
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan
telah kami ikut Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orangorang yang menjadi saksi (tentang keEsaan Allah)”. (QS Ali ‘Imran: 53).26
Ada sebuah hadis yang menceritakan tentang tiga orang pemuda yang tersesat
dalam gua, yang masing-masing menyatakan dan mengemukakan amal saleh yang
mereka lakukan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., hanya demi mencari ridha
Allah SWT. Masing-masing mereka bertawassul menyatakan amal saleh mereka, maka
Allah SWT., perkenankan doa mereka.
Kisah tiga orang ini diceritakan oleh Rasulullah Saw. Mereka itu adalah tiga
orang dari Bani Israil yang terpaksa menginap pada sebuah gua, lalu mereka masuk ke
dalam gua, dan Allah SWT., menghendaki dengan segala hikmah-Nya untuk menutup
pintu gua tersebut dengan batu yang besar sebagai suatu ujian dan cobaan serta
pelajaran bagi hamba-hamba-Nya. Akhirnya batu besar itu jatuh dan menutupi pintu
gua. Mereka berusaha mendorongnya namun mereka tidak mampu, serta merta salah
seorang di antara mereka berkata kepada lainnya bahwa tidaklah ada yang mampu
menyelamatkan kalian dari batu tersebut melainkan kalian bertawassul kepada Allah
SWT., dengan amal saleh mereka.
ِ‫وَ اهلل‬
ِ
ِ ِ َّ‫اْلَط‬
‫الر َ م‬
ْ ‫حَ ِن َعْب ِد اهللِ بْ ِن عُ َمَر بْ ِن‬
َ ‫ت َر ُس‬
َّ ‫َو َع ْن أَِِب َعْب ِد‬
ُ ‫اب َرض َى اهللُ َعْن ُه َما قَ َاَ ََ ْع‬
ِ ‫وَ انْطَلَق ثَََلثَة ن ف ٍر ََمَّن َكا َن قَب لَ ُكم ح َّّت واهم الب ي‬
ُ ‫يَ ُق‬
ٌ‫ص ْخَرة‬
ََ ُ َ
ْ ‫ت ا َىَل َغاٍ فَ َد َخلُوُُ فَ ْاَْ َد َر‬
ُ َْ َ ُ َ ‫ْ ْ َ م‬
َ ‫ت‬
ْ ‫ِم َن‬
َّ ُِ‫َّت َعلَْي ِه ُم الغَا ِر فَ َقالُوا اِنَّهُ َْل يُْن ِجي ُك ْم ِم ْن َه ِذ‬
ْ ‫اْلَبَ ِل فَ َسد‬
َ‫الص ْحَرةِ اَّْل أَ ْن تَ ْدعُوا اهلل‬
ِ
ِ ِ‫اىَل ب‬
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ت َْل أَ ْغبِ ُق‬
ُ ‫لله َّم َكا َن ِىَل اَبَ َوان َشْي َخان َكبِْي َران َوُكْن‬
ُ َ‫ ا‬:‫صال ِح أ َْع َمال ُك ْم قَ َاَ َر ُج ٌل مْن ُه ْم‬
َ ‫تَ َع َ م‬
‫ت ََُما‬
ُ ‫َّج ِر يَ ْواما فَلَ ْم أ َُر ْح َعلَْي َها َح َّ مّت نَ َاما فَ َحلَْب‬
َ ‫ب الش‬
ُ َ‫قَ ْب لَ ُه َما أ َْه اَل َوَْل َم ااْل فَنَأَى ِ ِْب طَل‬
ِ
ِ ْ ‫َغبُوقَ ُهما فَو َج ْدتُ ُهما نَائِم‬
‫ت‬
ُ ْ‫ت أَ ْن أُوقظَ ُه َما َوأَ ْن أَ ْغبِ َق قَ ْب لَ ُه َما أ َْه اَل أ َْو َمااْل فَلَبِث‬
ُ ‫ْي فَ َك ِرْه‬
َ َ
َ َ
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 44.
26
‫‪39‬‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ضا َغ ْو َن عِْن َد قَ َد َم َّي‬
‫استِْي َقاظَ ُه َما َح َّ مّت بََر َق ال َف ْج ُر‪َ .‬وا ِّ‬
‫لصْب يَةُ يَتَ َ‬
‫َوالْ َق َد ُح َعلَ مى يَد ْي اَنْتَظ ُر ْ‬
‫فَاستِي َقاظَهما فَش ِربا َغبوقَهماٍ اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْل ِ‬
‫َّاما َْْ ُن‬
‫ك ابْتِغَاءَ َو ْج ِه َ‬
‫ت مذل َ‬
‫ُ َ ُ‬
‫ْ ْ َُ َ َ ْ َُ ُ‬
‫ك فَ َفِّر ْج َعن َ‬
‫ِ‬
‫وج ِمْنهُ‪ ،‬قَ َاَ ْ م‬
‫ت‬
‫فِْي ِه ِم ْن َه ِذُِ َّ‬
‫اْل َخ ُر اللَّ ُه َّم إِنَّهُ َكانَ ْ‬
‫الص ْخَرةِ فَانْ َفَر َج ْ‬
‫ت َشْيئاا َْليَ ْستَطْي عُو َن اْلُُر َ‬
‫َش ِّد م ُِ‬
‫َل‪ ،‬وِِف ِرواي ٍة ُكْن ِ‬
‫ب الن ِ‬
‫ب الِّر َج ُ‬
‫اُي ُّ‬
‫َح َّ‬
‫ِىَل ابْنَةُ َع ٍّم َكانَ ْ‬
‫َّاس إِ ََّ َ َ َ ُ‬
‫ت أُحبُّ َها َكأ َ َ‬
‫تأَ‬
‫ِّساءَ‬
‫اَ الن َ‬
‫فَاَرْدتُها علَى نَ ْف ِسها فَامتَ عنَت ِم ِِّّن ح َّّت أَلَ َّمت ِِبا سنَةٌ ِمن ا ِّ ِ‬
‫ْي فَ َجاءَتِِْن فَأ َْعطَْيتُ َها‬
‫َ َْ ْ‬
‫َم‬
‫َ َ َ‬
‫لسن ْ َ‬
‫ْ َ َ َ‬
‫ِ ِ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ت َعلَْي َها‪َ ،‬وِِف‬
‫ْي نَ ْفس َها فَ َف َعلَ ْ‬
‫ت َح َّ مّت إِ َذا قَ َد ْر ُ‬
‫ع ْش ِريْ َن َومائَةَ ديْنَا ٍر َعلَى أَ ْن ُُتَلِّ َي بَْي ِِن َوبَ ْ َ‬
‫ِ ِ‬
‫ٍ‬
‫ت َعْن َها َوِه َي‬
‫ت ات َِّق اهللَ َوَْل تَ ُف َّ‬
‫ْي ِر ْجلَْي َها قَالَ ْ‬
‫ت بَ ْ َ‬
‫ِرَوايَة فَلَ َّما قَ َع ْد ُ‬
‫انصَرفْ ُ‬
‫ض اْلَ َاَتَ إَِّْل ِبَقِّه فَ َ‬
‫الذهب الَّ ِذي أَعطَيت ها‪ ،‬اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْل ِ‬
‫ب الن ِ‬
‫ك‬
‫َح ُّ‬
‫ك ابْتِغَاءَ َو ْج ِه َ‬
‫ت مذل َ‬
‫َّاس إِلَ َّ‬
‫ُ َ ُ‬
‫س َوتَ َرْك ُ‬
‫ت َّ َ َ ْ ْ ُْ َ ُ‬
‫أَ‬
‫الصخرةُ َغي ر أَنَّهم َْليست ِطي عو َن اْلروج ِمْن ها‪ ،‬و َ ِ‬
‫فَافْ رج عنَّا م َْ ِ ِ‬
‫ِ‬
‫ث‬
‫قاَ الثَّال ُ‬
‫ُْ َ َ‬
‫اْ ُن فْيه فَانْ َفَر َجت َّ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ُُ ْ َ َ َ‬
‫َّ ِ‬
‫ٍِ‬
‫ت‬
‫ب فَثَ َّم ْر ُ‬
‫استَأْ َج ْر ُ‬
‫ُجَراءَ َواَ ْعطَْيتُ ُه ْم أ ْ‬
‫اللَّ ُه َّم ْ‬
‫تأَ‬
‫َجَرُه ْم َغْي َر َر ُج ٍل َواحد تَ َرَك الذ ْي لَهُ َو َذ َه َ‬
‫ت ِمْنهُ األ َْمو ُاَ فَ َجاءِِن بَ ْع َد ِح ْ ٍ‬
‫ت ُك ُّل‬
‫اعْب َد اهللِ أ َِّد إِ ََّ‬
‫َجَرُُ َح َّ مّت َكثَُر ْ‬
‫ْي فَ َق َاَ يَ َ‬
‫َج ِر ْي فَ ُق ْل ُ‬
‫َل أ ْ‬
‫أْ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫ماتَ مرى ِمن أ ِ‬
‫ت َْل‬
‫اعْب َد اهللِ َْل تَ ْستَ ْه ِز ُ‬
‫َج ِرَك م َن ا ِإلبِ ِل َوالبَ َق ِر َوالغَنَ ِم َوالَّقْي ِق فَ َق َاَ يَ َ‬
‫ئ ِِب فَ ُق ْل ُ‬
‫ْ ْ‬
‫َ‬
‫ك فَأَخ َذُ َكلَّه فَاستَاقَه فَلَم ي ْت رْك ِمْنه َشيئاا‪ ،‬اللَّه َّم إِ ْن ُكْنت فَع ْلت مذلِ َ ِ‬
‫َستَ ْه ِز ُ‬
‫ُ َ ُ‬
‫ئ بِ َ َ ُ ُ ْ ُ ْ َ ُ ُ ْ‬
‫أْ‬
‫ُ‬
‫ك ابْتغَاءَ‬
‫ِ ‪27‬‬
‫ِ‬
‫اْن فِي ِه فَانْ َفرج ِ‬
‫الص ْخَرةُ فَ َخَر ُجوا ْيَْ ُش ْو َن‪ُ ،‬متَّ َف ٌق َعلَْيه‪.‬‬
‫ت َّ‬
‫َوج ِه َ‬
‫ك فَافْ ُر ْج َعنَّا َم َْ ُ ْ‬
‫ََ‬
‫‪Salah seorang di antara mereka berkata: “Ya Allah, saya memiliki dua orang‬‬
‫‪tua yang telah renga, dan tidaklah mendahulukan seorang pun sebelum mereka untuk‬‬
‫‪minum susu, baik istri maupun anakku dan tidak pula budak maupun hamba sahaya.‬‬
‫‪Suatu hari saya pergi menggembala pada tempat yang jauh hingga tengah malam.‬‬
‫‪Namun ketika saya pulang saya mendapati mereka berdua telah tertidur lena, kemudian‬‬
‫‪saya menunggu kedua orang tua saya bangun dengan susu gelas di tangan saya‬‬
‫‪sehingga fajar menyising. ” Kata dia lagi: “Ya Allah, sesungguhya Engkau mengetahui‬‬
‫‪bahawa perbuatan saya itu hanyalah mengharapkan pandanganMu, maka berikanlah‬‬
‫‪27‬‬
‫‪Abi Zakaria Muhyiddin Yahya An-Nawawi, Riyadhu As-Salihin (Indonesia: Al-Haramain,‬‬
‫‪2005), 11-12.‬‬
40
jalan keluar bagi kami dari keadaan ini.” Selepas itu, tiba-tiba batu itu bergeser sedikit,
akan tetapi mereka masih tidak mampu untuk keluar dari gua tersebut.28
Kemudian berdoa pula orang kedua daripada mereka, “Ya Allah, saya memiliki
sepupu perempuan yang sangat saya cintai seperti cintanya seorang lelaki terhadap
wanita dan saya inginkan dirinya namun dia menolak. Kemudian terjadinya keadaan
yang mendesak di mana dia mendatangi saya untuk meminta bantuan kewangan. Saya
berkata kepadanya: “Aku akan berikannya apabila engkau merelakan diri kau untuk
aku.” Akhirnya saya sepakat dengan wanita tersebut dengan imbuhan wang sebanyak
seratus dua puluh dinar. Di saat saya hendak duduk di antara dua kakinya, dia berkata:
“Bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu melakukan hal tersebut kecuali
dengan kebenaran.” Lalu di saat itu saya kembali berdiri dengan perasaan takut kepada
Allah SWT., dan meninggalkan perbuatan juga keji tersebut.” Kemudian dia berkata:
“Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahawa apa yang telah aku lakukan itu
hanyalah demi mengharapkan redhaMu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari
keadaan kami pada ketika ini.” Maka bergeraklah batu tersebut sedikit, namun mereka
masih tidak juga dapat keluar dari gua tersebut.29
Lalu orang yang ketiga pula berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya saya memiliki
para pekerja upahan, lalu aku memberikan upah kepada setiap dari mereka, kecuali
seorang hamba yang pergi dengan meninggalkan upahnya. Lalu saya mengembangkan
haknya iaitu dengan menukarkan jumlah upah tersebut menjadi sejumlah unta, keldai
dan seorang hamba sahaya. Kemudian apabila kembali semula hamba tersebut untuk
menuntut haknya, maka saya berkata padanya: “Semua yang anda lihat ini adalah hak
anda.” Dia menjawab, “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah anda mengejek-ejek
diriku.” Saya berkata kembali, “Saya tidak mengejek kamu, semua itu adalah hasil
daripada upahmu.” Maka berkata lelaki ini: “Ya Allah, apabila Engkau mengetahui
bahawa apa yang saya lakukan itu hanya kerana mengharap pandanganMu, maka
28
29
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 33-34.
Ibid, 34.
41
berilah kami jalan keluar untuk kami bebaskan diri daripada keadaan yang menimpa
kami pada saat ini.” Tiba-tiba bergeserlah batu-baru tersebut sehingga membolehkan
mereka bertiga keluar dari gua itu.30
5. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Perantara Orang Saleh
Tawassul dengan orang saleh, wali atau para anbiya’ adalah dibenarkan. Tidak
diketahui ada orang yang menyalahi bolehnya ia dilakukan daripada kalangan Ahlul
Haq (orang-orang yang berada di jalan kebenaran), yakini dari generasi salaf maupun
khalaf. 31
Seperti seorang muslim tertimpa kesusahan yang hebat, atau musibah yang
besar, dan ia sadar bahwa dirinya selama ini lalai mendekatkan diri kepada Allah SWT.,
maka ia ingin mengambil perantara yang kuat menghubungkannya kepada Allah
SWT., lantas ia pun pergi ke seseorang yang menurut keyakinannya saleh dan
bertakwa, banyak kebaikannya, mengerti masalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu ia
pun meminta kepada orang saleh tersebut untuk didoakan kepada Allah SWT., agar
menghilangkan kesusahannya, dan mengakhiri kedukaannya.32
Bentuk bertawassul dengan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT., yakni
orang-orang soleh atau ahli keluarga Rasulullah Saw., adalah sebagaimana yang
dilakukan oleh Saidina Umar Al-Khattab r.a., yang membawa nama Saidina Abbas r.a.,
saat terjadinya kemarau dan kering kontang33 lalu berdoa:
ٍِ
ِ َّ‫َن عُمر بْن اْلَط‬
ِ َّ‫العب‬
ِ َ‫َع ْن أَن‬
‫اس بْ ِن َعْب ِد‬
ْ ‫اب َكا َن إِ َذا قَ َحطُوا‬
َ ِ‫استَ ْس َقى ب‬
َ َ َ َّ ‫س بْنش َمالك أ‬
ِ
ِ ِ‫املطَّل‬
‫ك‬
َ ‫ َوإِنَّا نَتَ َو َّس َل إِلَْي‬،‫ك بِنَبِيِّنَا فَتَ ْسقْي نَا‬
َ ‫ اللَّ ُه َّم إِنَّا ُكنَّا إِذَا قَ َحطْنَا نَتَ َو َّس ْلنَا إِلَْي‬:َ‫ب فَ َق َا‬
ُ
ِ
ٍ
ِ
ِ
َّ
َّ
‫ فَيُ ْس َق ْو َن‬:َ‫ قَ َا‬،‫اسقنَا‬
ْ َ‫صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم ف‬
َ ‫بِ َع ِّم نَبيِّ نَا ُُمَ َّمد‬
30
Ibid, 35.
Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 251.
32
Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, 48.
33
Ali Mohamed, Hakikat Tawassul Dan Wasilah (Selangor: Thinker’s Library, 2004), 69.
31
42
“Ya Allah, di dalam kemarau kami bertawassul melalui Nabi kami, lalu Engkau
turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul dengan bapa saudara Nabi kami
Muhammad, maka turunkanlah hujan. Dikatakan: “Maka hujan pun turun.” (Hadis
Riwayat Bukhari: 1010).34
Juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Saidina Anas r.a., bahawa telah
memohon dengannya pada suatu tahun yang kering. Permohonannya dikabulkan dan
hujan pun turun. Tatkala Saidina Umar r.a, selesai dengan doanya yang bertawassul
dengan bapa saudara Nabi Saw., iaitu Saidina Abbas r.a., maka Saidina Abbas r.a, pula
berdoa: “Ya Allah, tidak akan turun hujan seksa dari langit kecuali disebabkan dosa,
dan tidak akan terhapus dosa itu kecuali dengan tobat. Kaum ini menghadap-Mu
dengan perantaraanku kerana kedudukanku dengan Nabi-Mu. Maka inilah tangantangan kami yang berlumuran dosa dihulur kepada-Mu dan jiwa-jiwa kami dengan
bertobat.” Selesai sahaja beliau berdoa, langit pun sarat dipenuhi oleh awan dan
turunlah hujan dengan lebat sekali.35
C. Pengamalan Tawassul
Amalan tawassul ini telah wujud dan diamalankan sejak jaman dahulu lagi.
Dalam perang Yamamah, ummat Islam bertawassul dengan perantaraan Nabi
Muhammad Saw., sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir r.a., bahwa syiar
(slogan) ummat islam pada peristiwa perang Yamamah adalah: “Ya Muhammadah
(Wahai Nabi Muhammad, tolonglah!” Ibnu Katsir r.a., berkata: “Khalid Bin Walid
membawa bendera dan menyerang sampai melewati musuh untuk mencari Musailamah
Al-Kadzdzab (Sang Pembohong). Setelah berhasil membunuhnya, dia kembali dan
berhenti berdekatan Shiffin seraya berkata: “Saya adalah putra Walid Al-Ud serta putra
Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Jami’ Al-Shahih Al-Bukhari (Kairo: alMatba’ah al-Salafiyyah, 1976), 318.
35
Ibid, 70.
34
43
‘Amir dan Zaid”. Kemudian dia berseru dengan slogan ummat Islam. Slogan mereka
ketika itu adalah “Ya Muhammaadah (Wahai Muhammad, tolonglah!)”.36
Al-Qur’an juga menyebut tentang kisah kaum Yahudi yang bertawassul
memohon pertolongan kepada Allah SWT., melalui perantaraan Nabi Muhammad
Saw., sebagaimana dalam firman Allah SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 89:
            
             

“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa
yang ada pada mereka (orang-orang Yahudi), padahal sebelumnya mereka biasa
memohon (kedatangan nabi) untuk mendapatkan kemenangan keatas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.
(QS Al-Baqarah: 89).37
Al-Hafizh Abu Nuaim al-Asbahani menyampaikan sebuah riwayat berkaitan
dengan ayat tersebut, dari Abdullah bin Abbas r.a., ia berkata: Dahulu kala, orangorang Yahudi ketika akan melakukan penaklukan yakni peperangan terhadap suku Aus
dan Khazraj, mereka memohon kepada Allah SWT., dengan perantara nama Rasulullah
Saw., seraya mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu
dengan perantara kedudukan Muhammad, seorang Nabi yang ummi (tidak pandai baca
tulis), yang Engkau janjikan kepada kami untuk dikeluarkan di akhir zaman kelask,
untuk menjadikan kami pemenang menghadapi mereka.” Allah SWT., memberikan
kemenangan kepada mereka ke atas kaum Aus dan Khazraj bahkan setiap kali mereka
melakukan penaklukan mereka pasti berdoa dengan doa tersebut. Namun setelah
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 162.
37
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 12.
36
44
Rasulullah Saw., diutus, mereka seakan-akan tidak pernah mengenal beliau bahkan
mengingkari keberadaan Nabi Saw.38
Berkata Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya bab tentang kaki
terkena mati rasa. Dari al-Haitsam bin Hanasy, berkata: “Kami bersama Ibn Umar.
Tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan
kepada beliau: ‘Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai!’. Lalu Ibn Umar berkata:
‘Ya Muhammad’. Maka seketika itu kaki beliau sembuh”.39
Abu Qasim at-Thobari, Abu As-Syeikh al-Asbahani dan Abu Bakar bin Muqri’
al-Asbahani menceritakan keadaan mereka yang kelaparan selama setahun. Mereka
telah bertawassul dan beristighatsah setelah Ishak dengan mengunjungi makam
Rasulullah Saw., dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami semua lapar, kami semua lapar.
Aku pun pulang lalu Abu al-Qasim berkata kepadaku: duduklah, mungkin akan ada
rezeki atau berlaku kematian. Abu Bakar berkata, lalu aku dan Abu As-Syeikh pun
tidur sedangkan at-Thobari duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba seorang Alawi (keturunan
Nabi Saw.,) datang di pintu dan mengetuknya. Maka kami membukannya dan melihat
terdapat dua orang hamba yang masing-masing membawa talam yang penuh dengan
makanan. Lalu kami pun duduk dan makan. Laki-laki Alawi itu berkata: Wahai kaum,
apakah yang kamu mengadu kepada Rasulullah Saw.? Sesungguhnya aku bermimpi
bertemu Rasulullah Saw., dalam tidur. Nabi Saw., menyuruhku membawa sesuatu
kepada kamu”.40
38
Muhammad Idrus Ramli dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai Nu atau Wahabi yang Sesat
Tanpa Sadar? (Suarabaya: Bina ASWAJA, 2013), 24-25.
39
Asep Saifuddin Chalim, Membumikan ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya:
Khalista & PP. Pergunu, 2012), 206.
40
Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan, 237.
BAB IV
AL-QURA’N DAN TAWASSUL
Dalam Al-Qur’an, ayat tentang tawassul yakni kata wasilah hanya terdapat
pada dua ayat sahaja yakni QS Al-Mai’dah ayat 35 dan QS Al-Isra’ ayat 57. Namun
terdapat juga ayat-ayat lain dalam konteks pembahasan perantaraan yang boleh
dikaitkan dengan amalan tawassul.
A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah
1. QS Al-Mai’dah ayat 35:
           
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).1
{َ‫الل‬
ِ َّ
‫ين َآمنُوا اتَّ ُقوا‬
َ ‫“ }يَا أَيُّ َها الذ‬Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah” maksudnya takutlah akan siksa-Nya dengan mentaati perintah-Nya.
ِ ‫الْو‬
{‫“ }وابْ تَ غُوا‬dan kejarlah” carilah {َ‫سيلَة‬
ِِ
َ ‫“ }إلَْيه‬jalan kepada-Nya” maksudnya sesuatu
َ
yang dapat mendekatkan dirimu kepada-Nya yaitu ketaatan kepada-Nya, {‫ِف‬
ِ ‫وج‬
‫اه ُدوا‬
ََ
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90.
1
45
46
‫“ } َسبِيلِ ِه‬dan berjihadlah di jalan-Nya” untuk menjunjung tinggi agama-Nya, {‫لَ َعلَّ ُك ْم‬
‫“ }تُ ْفلِ ُحون‬agar kamu beruntung”, yakni memperoleh kemenangan.2
2. QS Al-Isra’ ayat 57:
          
        
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu
yang (harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)3
ِ َّ ِ‫“ }أُلَئ‬Orang-orang yang mereka seru” sebagai tuhan itu {
َ
َ ‫ين‬
َ ‫ك الذ‬
{‫ن‬
َ ‫ي ْدعُو‬
‫“ }يَْبتَ غُو َن‬mengharapkan”, maksudnya mencari {َ‫“ }إِ ََل َرهِّبِ ُم الْ َو ِسيلَة‬jalan kepada Tuhan
mereka”, yakni kedekatan kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, {
‫“ }اَيَّ ُه ْم‬siapa di antara mereka” –ini merupakan badal (keterangan pengganti) dari
tanda waw (kata ganti jamak) yang terdapat pada kata kerja (‫ن‬
َ ‫)ي ْبتَ غُو‬, maksudnya (
َ
‫“ )يَْبتَغِ َيها‬dia mencari jalan” yang mana dia {‫ب‬
ُ ‫“ }أَقْ َر‬lebih dekat” kepada-Nya. Lalu
2
Jalaluddin Muhamamad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir Jalalain” oleh Najib Junaidi
(Surabaya: PT eLba Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015), 448.
3
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 229.
47
bagaimana dengan yang lainnya? {ُ‫ع َذابه‬
َ
َ
‫} َويَ ْر ًجو َن َر ْْحَتَهُ َوََيَافُو َن‬
“Dan mereka
mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan adzab-Nya” seperti orang-orang lainnya.
َ ‫إِ َّن َع َذ‬
َ ‫اب‬
Jadi bagaimana mungkin kamu menjadikan mereka sebagai tuhan? { ‫ك‬
َ ‫ربه‬
‫“ } َكا َن ََْم ُذ ًورا‬Sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) dihindari.”4
Dalam penafsiran kata wasilah yang ditafsirkan oleh Tafsir Jalalain ini
membawa makna bahwa wasilah merupakan suatu jalan yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT., yaitu melalui ketaatan kepada-Nya.
B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil Wasilahh
1. QS Al-Mai’dah ayat 35:
           
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).5
ِ ‫الْو‬
{َ‫سيلَة‬
ِِ
َ ‫“ } َوابْتَ غُواْ إلَْيه‬Dan carilah jalan yang bisa mendekatkan diri kepada-
Nya.” Artinya, kedekatan kepada-Nya, bagian pahala di sisi-Nya dan kecintaan padaNya, dan hal itu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya yang terkait dengan
hati, seperti mencintai-Nya dan mencintai karena-Nya, rasa takut, berharap, kembali
kepada-Nya, dan tawakal, juga dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya yang
4
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 2, 325.
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 90.
48
terkait dengan badan, seperti zakat dan haji dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan
dengan keduanya seperti solat, macam-macam dzikir, bacaan, macam-macam
perbuatan baik kepada makhluk dengan ilmu, harta, kedudukan, badan, dan nasihat
kepada hamba-hamba Allah SWT.6
2. QS Al-Isra’ ayat 57:
          
        
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu
yang (harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’: 57)7
ِ َّ ِ‫“ }أُلَئ‬Orang-orang yang mereka seru itu,”
َ
َ ‫ين‬
َ ‫ك الذ‬
Firman Allah SWT., {‫ن‬
َ ‫ي ْدعُو‬
dari kalangan para Nabi, orang-orang saleh maupun para malaikat {
‫يَْبتَ غُو َن إِ ََل َرهِّبِ ُم‬
ِ
‫ب‬
ُ ‫ اَيَّ ُه ْم أَقْ َر‬،َ‫“ }الْ َوسيلَة‬mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah),” maksudnya mereka berlomba-lomba dalam mendekatkan
diri kepada Rabbnya. {ُ‫ع َذابه‬
َ
َ
‫“ } َوََيَافُو َن‬dan takut akan adzab-Nya,” kemudian mereka
menghindari penyebab datangnya adzab Allah SWT.
{‫ذورا‬
ُ ‫ََْم‬
ً
‫ك َكا َن‬
َ ‫اب َربه‬
َ ‫}إِ َّن َع َذ‬
“Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti,” maksudnya itulah
yang harus betul-betul diwaspadai dan memelihara diri dari sebab-sebabnya. Sifat
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa’ – AlAn’am, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 329-330.
7
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 229.
6
49
khauf (rasa takut), raja’ (pengharapan) dan mahabbah (cinta) Allah SWT., sematkan
kepada orang-orang yang dekat kepada-Nya di mana ianya merupakan asal dan bahan
dasar dari segala kebaikan. Barangsiapa yang memiliki tiga sifat ini dengan sempurna
maka sempurnalah segala urusannya namun apabila hati kosong dari sifat-sifat ini
maka kebaikan telah pergi darinya dan dipenuhi dengan berbagai keburukan.8
Jika dilihat dalam penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di ini, beliau menafsirkan
kata wasilah dalam QS Al-Mai’dah ayat 35 dengan jalan yang boleh mendekatkan diri
kepada Allah SWT., yaitu jalan yang membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan
Allah SWT., dengan melaksanakan perkara-perkara yang wajib. Perkara ini terbagi
kepada dua, pertamanya berkait dengan hati seperti perasaan takut, tawakkal dan
berharap hanya pada Allah SWT., sahaja dan keduanya adalah hati dan amalan seperti
solat, berzikir dan berbuat kebaikan kepada mahkluk dan hamba-Nya. Manakala dalam
QS Al-Isra’ ayat 57 beliau menafsirkan kata wasilah ini dengan berlomba-lomba
mendekatkan diri kepada Allah SWT., dengan orang-orang yang lebih dekat dengan
Allah SWT. Para Nabi atau orang saleh dapat membantu mendekatkan diri dengan
lebih kepada Rabb dan sentiasa berlomba-lomba ke arah tersebut dengan segala
kemampuan berupa amal- amal saleh.
C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul
1. QS Ali-‘Imran ayat 16, 53, 193:
           
“Yaitu orang-orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa
neraka”. (QS Ali ‘Imran: 16).9
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (4) Surat Ar-Ra’d – AlHajj, 267-268.
9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 40.
8
50
Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi menfasirkan ayat ini dengan maksud
memohon keampunan atas dosa dan memohon pemeliharaan dari siksa neraka melalui
keimanan mereka terhadap Allah SWT., sebagai hambanya. Ia bermaksud bahwa
tawassul dalam ayat ini adalah melalui keimanan kepada Rabb.10
Sementara Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di membawa kepahaman dalam
menafsirannya dengan menyatakan bahwa ulama atau orang yang bertakwa
bertawassul kepada Allah SWT., melalui keimanan mereka. Hal ini adalah disebabkan
keimanan merupakan sarana yang dicintai Allah SWT., karena Allah SWT., menyukai
hamba yang bertawassul kepada Tuhannya dengan apa yang telah Dia
karuniakan kepada hamba tersebut seperti keimanan dan amal-amal saleh hingga
penyempurnaan kenikmatan atas dirinya yaitu dengan memperoleh pahala yang
sempurna dan penghindaran dari siksaan.11
         
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan
telah kami ikut Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orangorang yang menjadi saksi (tentang keEsaan Allah)”. (QS Ali ‘Imran: 53).12
Tafsir Jalalain menafsirkan ayat ini bahwa kaum Nabi Isa a.s., bertawassul
dengan memohon doa kepada Allah SWT., dengan berkata bahwa mereka telah
beriman kepada kitab Injil yang Allah SWT., turunkan kepada mereka dan mengukuti
Rasul utusan-Nya yaitu Nabi Isa a.s.. Maka mereka berharap agar Allah SWT.,
memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi atas keEsaan dan kebenaran-Nya.13
10
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 1, 221.
11
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah –
Ali’ Imran, 416.
12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 44.
13
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
241.
51
Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di mengenai ayat ini adalah bahwa Ini
merupakan anugerah Allah SWT., atas mereka dan khususnya atas Nabi Isa
a.s., di mana Allah SWT., telah menjadikan para hawariyyun tersebut beriman
kepadaNya, tunduk dalam ketaatan kepada-Nya dan membela Rasul-Nya dan ia adalah
suatu integritas yang sempurna dalam beriman kepada seluruh hal yang diturunkan oleh
Allah SWT., dan dalam mentaati Rasul-Nya. Maka mereka memohon dimasukkan ke
dalam golongan yang menjadi saksi dengan keEsaan Allah SWT., dan saksi bagi RasulNya dengan kerasulan serta bagi agama Allah SWT., dengan kebenaran dan
kejujuran.14
             
       
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya
Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15
Menerusi penafsiran dalam Tafsir Jalalain, ummat dahulu bermohon
keampunan dari Allah SWT., dengan mengikut seruan yang mengajak manusia kepada
keimanan yakni beriman kepadaAllah SWT., dan Nabi Muhammad Saw., serta AlQur’an. Maka mereka bertawassul melalui keimanan agar dosa-dosa mereka
dibersihkan dan tidak dijatuhkan hukuman serta tergolong dalam kalangan para Nabi
dan orang-orang saleh.16
Manakala penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di tentang ayat ini lebih terperinci.
Beliau menafsirkan bahwa Nabi Muhammad Saw., menyeru manusia kepada iman,
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah –
Ali’ Imran, 443-444.
15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 60.
16
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 1, 310.
14
52
menganjurkan mereka menempuhnya pada asas-asasnya maupun cabang-cabangnya
dan mereka memenuhi seruan Nabi Muhammad Saw., dengan segera dan kami cepatcepat beriman kepadanya. Maka mereka berdoa agar diwafatkan bersama orang-orang
yang berbakti pada agama Allah SWT. Doa ini mengandung taufik untuk berbuat
kebaikan dan meninggalkan keburukan, di mana dengan itulah seorang hamba
termasuk ke dalam orang-orang yang berbakti, konsisten dan teguh terhadapnya hingga
maut menjemput.17
Kesimpulan dari ayat-ayat di atas adalah keimanan kepada Allah SWT., dan
Rasul-Nya juga adalah sebagian dari konsep tawassul. Ini adalah karena dengan
keimanan tersebut dapat meraih keampunan atas dosa-dosa dan pemeliharaan dari siksa
neraka. Begitulah yang dimohon para hawariyyun apabila mereka memohon
keampunan dari Allah SWT., setelah mereka beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya Nabi
Isa a.s. Juga apabila ummat Islam beriman dengan menyahut seruan tentang keimanan
terhadap Nabi Muhammad Saw., dan Al-Qur’an. Mereka memohon keampunan dari
Allah SWT., dengan segera menyahut seruan iman tersebut.
Ayat ini menerangkan kabar dari mereka tentang karunia Allah SWT., atas
mereka, rasa bangga akan nikmat-Nya dan bertawassul dengannya kepada Allah SWT.,
agar Allah SWT., mengampuni dosa-dosa mereka dan menggugurkan keburukankeburukan mereka, karena kebaikan itu akan menghapus keburukan, dan orang-orang
yang dikaruniai keimanan oleh Allah SWT., niscaya Allah SWT., akan mengaruniakan
kepada mereka rasa aman yang sempurna. Seterusnya mereka berdoa agar Allah SWT.,
memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang melakukan kebaikan, amal
saleh dan berkati kepada agama Islam.
2. QS An-Nisa’ ayat 64:
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat Al-Fatihah –
Ali’ Imran, 561-562.
17
53
              
         
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin
Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (dengan berbuat
dosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang.” (QS An- Nisa’: 64)18
Dalam penafsiran Tafsir Jalalain, ayat ini menerangkan bahwa Rasul telah
diutus atas perintah, keputusan dan izin dari Allah SWT., sendiri agar ditaati bukan
untuk didurhakai atau ditentang. Apabila kaum tersebut menganiayai diri mereka
sendiri dengan meminta sesuatu jawapan hukum kepada thagut dan kemudian mereka
datang kepada Rasul utusan-Nya lalu bertaubat memohon ampun dari Allah SWT.,
maka Rasul juga memohon keampunan bagi mereka dari Allah SWT.19
Menerusi penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di pula, ayat ini mengandung
penetapan akan keterpeliharan para Rasul dari kesalahan dalam apa yang mereka
dakwahkan di jalan Allah SWT., karena Allah SWT., telah memerintahkan untuk taat
kepada mereka secara mutlak, dan kata “dengan izin Allah SWT” maksudnya ketaatan
seorang yang taat adalah bersumber dari qadha’ Allah SWT tentang qadar-Nya, dalam
ayat ini menyimpan dalil pengukuhan akan qadha’ dan qadar. Terdapat juga anjuran
untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT., dan penjelasan bahwa manusia
tidaklah mampu melakukan ketaatan kepada Rasul apabila Allah SWT., tidak
menolongnya.20
Dapatlah dipahami bahwa Allah SWT., mengabarkan tentang suatu berita di
mana antaranya mengandung perintah dan anjuran untuk taat kepada Rasul dan tunduk
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 70.
19
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 1, 359.
20
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa ’Al-An’am, 801.
18
54
kepadanya, dan bahwa tujuan dari pengutusan para Rasul adalah agar mereka ditaati
dan dipatuhi oleh manusia yang mana para Rasul tersebut diutus kepada mereka dalam
perkara yang mereka diperintahkan kepadanya dan perkara yang mereka dilarang
darinya, dan agar mereka dihormati dengan penghormatan seorang yang ditaati oleh
orang yang mentaati. Ayat ini menggambarkan bahwa apabila kita bertaubat dan
memohon ampun kepada Allah SWT., maka Rasul juga memohon ampun untuk kita.
Juga terdapat anjuran untuk memohon pertolongan dari Allah SWT., yakni berdoa agar
mentaati Rasul karena hanya Allah SWT., sahaja yang mampu menolong hambahamba-Nya. Ini menunjukkan kaedah bertawassul dengan mentaati Rasul-Nya dan
Rasul juga merupakan wasilah bagi kita mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. QS Al’A’raf ayat 180:
             
  
“Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)21
Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi menerangkan ayat ini bahwa Allah
SWT., mempunyai nama-nama yang Mulia dan terbaik yang jumlahnya mencapai 99
nama. Maka apabila berdoa, sebutlah nama Dia dengan menggunakan nama-nama
tersebut dan abaikanlah orang-orang yang melenceng dari kebenaran dalam
menggunakan nama-nama Allah SWT., karena mereka menggunakan nama-nama itu
sebagai landasan untuk menentukan nama tuhan-tuhan mereka. Seperti “Laata” yang
diambil dari “Allah”, “Uzaa” yang diambil dari “Al-Aziz” dan “Manaat” yang
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 138.
21
55
diambil dari “Al-Mannan. Mereka ini akan mendapat balasan di akhirat kelak akibat
perbuatan mereka itu.22
Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula menerangkan ayat ini mencakupi doa
ibadah dan doa meminta yakni dengan menggunakan nama-nama Allah SWT. Dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) namanama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan yakni sebagai hukuman dan adzab atas penyimpangannya pada nama-nama
Allah SWT. Hakikat penyimpangan yaitu membelokkannya dari apa yang ia dijadikan
untuknya. Sebagai contoh ia digunakan sebagai nama untuk yang tidak berhak seperti
orang-orang musyrikin yang memberi nama tuhan-tuhan mereka dengan nama-nama
Allah SWT.23
Memohon sesuatu dengan menjadikan asmaul Husna sebagai perantara
merupakan antara bentuk amalan tawassul. Ayat ini menghuraikan mengenai berdoa
dan meminta kepada Allah SWT., dengan menyebutkan antara 99 nama-nama-Nya
Yang Indah. Ini adalah karena Dia dipanggil dalam setiap keinginan yang sesuai
dengan keinginan tersebut. Misalnya mengucapkan, “Ya Allah, ampunilah aku,
sayangilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Terimalah taubatku, wahai yang Maha menerima taubat. Berikanlah rizki kepadaku
wahai Dzat Yang Memberi Rizki. Berlemah lembutlah kepadaku wahai Dzat Yang
Maha Lemah Lembut”. Selain itu, ayat ini menyuruh hamba-hamba-Nya dan tidak
mengikuti orang-orang yang tidak menyimpang atau menyalahgunakan nama-nama
Allah SWT., boleh jadi dengan menidakkan maknanya dan menyelewengkannya serta
menafsirkannya dengan yang tidak diinginkan oleh Allah SWT., dan Rasul-Nya atau
menyamakan selain-Nya dengan Allah SWT.
22
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 1, 668-669.
23
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (3) Surat Al-‘Araf –
Yusuf, 141-142.
56
4. QS Al-Mu’minum ayat 109:
            
 
“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya
Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat,
dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)24
Penafsiran Tafsir Jalalain dalam ayat ini adalah cara bertawassul dengan
keimanan yaitu kaum Muhajirin (hijrah dari Makkah ke Madinah) yang berdoa dengan
mengatakan bahwa mereka telah beriman maka memohon agar Allah SWT.,
mengampunkan mereka dan memberi mereka rahmat karena sifat Allah SWT., sebagai
Pemberi Rahmat yang Terbaik.25 Manakala Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di menafsirkan
bahwa orang-orang itu telah bertawassul dengan menggabungkan antara keimanan
yang menuntut amalan-amalan baik dan pemanjatan doa kepada Rabb mereka untuk
mendapat keampunan, rahmat dan perantaraan (tawassul) kepada-Nya melalui
keyakinan terhadap keTuhanan Allah SWT., dan anugerah-Nya berupa iman serta
pemberitahuan tentang luasnya rahmat dan curahan kebaikan dari-Nya.26
Menerusi ayat ini, Allah SWT., menceritakan kondisi yang menyeret mereka
kepada siksa dan menghentikan curahan rahmat Allah SWT., terhadap mereka. Setelah
itu mereka memohon kepada Allah SWT., dengan menyatakan keimanan yang
menuntut amalan-amalan baik dan berdoa kepada Allah SWT., untuk mendapat
keampunan serta memohon rahmat dari Allah SWT. Keimanan, rahmat dan
perantaraan kepada-Nya dilakukan dengan keyakinan terhadap keTuhanan Allah
SWT., dan anugerah-Nya yakni iman luasnya rahmat dan curahan kebaikan yang Allah
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 278.
25
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 2, 588-589
26
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (5) Surat AlMu’minun
– Saba’, 72.
24
57
SWT., karuniakan adalah cara bertawassul. Ucapan mereka ini terkandung penjelasan
yang menunjukkan ketundukan, kekhusyuan, ketidakberdayaan mereka dan rasa takut
serta harapan mereka kepada Rabb mereka.
D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul / Wasilah
Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, wasilah
dan tawassul merupakan suatu jalan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau
berpendapat bahwa sebagai hamba Allah SWT., seharusnya sentiasa mencari jalan
yang boleh mendekatkan diri dan taat kepada-Nya serta menjunjung tinggi agama
Islam supaya kelak kita memperoleh kemenangan.27
Selain itu, Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula mengatakan bahwa wasilah
atau tawassul adalah dengan jalan yang boleh mendekatkan diri kepada Allah SWT.,
yang mana membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan Allah SWT., dengan
melaksanakan perkara-perkara yang wajib yang berkait dengan hati dan amalan
kebaikan. Selain itu, wasilah dan tawassul juga boleh dilakukan dengan mendekati
orang-orang yang lebih dekat dengan Allah SWT seperti Para Nabi atau orang saleh
dapat membantu mendekatkan diri dengan lebih kepada Rabb dan sentiasa berlombalomba ke arah tersebut dengan segala kemampuan berupa amal- amal saleh.28
Menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Mufti di Makkah), adalah harus dan sah
bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw., baik ketika hidap beliau, maupun sesudah
beliau wafat. Begitu juga boleh bertawassul dengan orang-orang saleh. Namun kita
beri’tiqad bahwa tidak seorang pun yang dapat mengadakan bekas, menjadikan,
menidakkan, memberi manfaatnya, memberi mudarat, kecuali hanya Allah SWT yang
Maha Esa saja, tidak ada yang bersekutu bagi-Nya. Maka tidak ada perbezaan dalam
soal ini dan dalam soal tawassul melalui Nabi-nabi yang lain, Rasul-rasul, wali-wali
dan orang-orang saleh, tidak ada perbezaannya hidup atau mati, karena mereka tidak
27
Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Jilid 1, 448 & Jilid 2, 325.
28
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat An-Nisa’ –
Al-An’am, 329-330 & (4) Surat Ar-Ra’d – Al-Hajj, 267-268.
58
menciptakan suatu juga, mereka tidak berkuasa sama sekali, hanya berkat mereka
diambil karena mereka kekasih Allah SWT. Mencipta dan mengadakan hanya milik
Allah SWT., tunggal dan tiada sekutu bagi-Nya.29
Menurut Al-Syaikh Muhammad Bin Ali Al-Syaukani, tawassul adalah
membuat perantara atau jalan kepada menuju Allah SWT., dengan perantara seorang
mahkluk-Nya mengenai permohonan yang diinginkan seorang hamba kepada Allah
SWT. Selain itu, bertawassul kepada Allah SWT., dengan kemualiaan Rasulullah
Saw., terjadi ketika beliau masih hidup dan setelah wafatnya, juga ketika ada
(menyaksikan). Juga bertawassul kepada Allah SWT., dengan perantara atau
kemuliaan orang-orang mulia, orang-orang yang afdhal dan berilmu karena hakikatnya
adalah bertawassul dengan amal-amal mereka yang saleh dan dengan kelebihan dan
keutamaan mereka sebab tiada seorang pun yang teristimewa kecuali dengan amal
perbuatannya yang saleh. Hal ini disepakati berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat
karena ketika berlaku tawassul yang dilakukan oleh Saidina Umar r.a. melalui
perantaraan Rasulullah Saw., dan paman Nabi Saw., (selain kepada Nabi Saw.) tidak
ada seorang pun para sahabat yang mengingkari perbuatan tersebut.30
Adi Hidayat pula berpendapat bahwa tawassul adalah boleh. Permohonan
dengan wasilah disebutkan dengan tawassul dan berdoa kepada Allah SWT., dengan
menggunakan perangkat sesuatu. Misalnya seperti tawassul dengan amal ibadah
sebagaimana hadis tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua memohon bantuan
dari Allah SWT., menggunakan amal saleh terbaik pernah melakukan. Amal saleh ini
menghadirkan nikmat dalam ibadah dan menjadi solusi (membantu menyelesaikan)
masalah kita. Maka apabila takwa kita kepada Allah SWT., meningkat, masalah kita
akan hilang sebagaimana janji Allah SWT., dalam Al-Qur’an bahwa sesiapa yang
meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT., akan diberi solusi. Walaupun harta dan
Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn.
Bhd., 1978), 283-284.
30
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 139-141.
29
59
kehidupan mewah namun hanya takwa kepada Allah SWT., yang akan menyelesaikan
masalah dalam kehidupan seseorang. Tawassul adalah memohon doa sebagai
perangkat yakni dengan bahasa yang mudah dan berdoa dengan penuh rasa rendah diri
yaitu dilakukan dengan bahasa yang kita paham dan lakukan amal saleh dan berdoa
karena walaupun kita bukan orang yang baik, tapi amal baik yang lakukan seperti
ibadah solat akan membantu kita apabila ada masalah yang melanda dengan
memanjatkan dia melalui amal saleh tersebut.31
Manakala Yahya Zainul Ma'arif (lebih dikenali dengan Buya Yahya) berkata,
orang Quraisy menyembah berhala bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., tapi
perkara ini tidak berlaku kepada orang Islam yang menyembah Allah SWT., lalu
bertawassul membawa perantara misalnya orang-orang saleh. Sebagian orang
menuduh bahwa bertawassul adalah seperti orang-orang kafir Quraisy yang
menyembah Allah SWT., dengan tuhan-tuhan mereka. Ini merupakan keyakinan yang
salah. Kita bertawassul bukan dengan menyembah maka tidak boleh disamakan orangorang Quraisy dengan tawassul melalui orang-orang saleh karena ianya sangat berbeda.
Orang Muslimin bertawassul kepada Allah SWT., dengan membawa sesuatu yang
dicintai Allah SWT., seperti amal saleh adalah boleh karena kita merupakan ciptaan
Allah SWT dan amalan kita merupakan ciptaan Allah SWT. Apabila kita bertawassul
membawa amal salah bukan berarti kita menyembah ciptaan Allah SWT. Tawassul
dengan orang saleh adalah seperti: “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan
membawa kemuliaan kekasih-Mu Nabi Muhammad Saw., dengan kemuliaan para
wali-wali Allah.” Bermohon dengan orang saleh ini Allah SWT., akan kabulkan karena
tidak ada yang memohon dengan Firaun atau Abu Jahl tetapi dengan orang saleh atas
sebab kesalehannya. Tawassul adalah tetap memohon kepada Allah SWT., dengan
membawa sesuatu yang dicintai oleh-Nya. Tawassul dengan doa adalah meminta orang
lain mendoakan di mana Nabi Saw., sendiri mengajarkan perkara ini ketika sahabat
Adi Hidayat, “Hukum Tawassul”, diakses melalui alamat https://www.youtube.com/
watch?v=C9bf2IzYZ14, tanggal 11 Januari 2019.
31
60
beliau, Saidina Umar r.a., naik haji, Nabi Saw., berpesan: “wahai Umar, jangan lupa
mendoakan aku”. Meminta kepada Allah SWT., melalui orang lain adalah sangat
dibolehkan karena bersangka baik bahwa orang tersebut baik, saleh dan salehah.
Manakala doa dengan tawassul adalah memohon kepada Allah SWT., dengan
membawa orang-orang yang dicintai oleh-Nya sama ada dengan Rasulullah Saw., atau
selain beliau seperti hadis meminta hujan oleh Saidina Umar r.a., (telah dinyatakan
sebelum ini oleh penulis) yang menghadap Allah SWT., dengan membawa orang yang
Allah SWT., cintai. Mati atau hidupnya seseorang itu tidaklah menghilangkan
kemuliaan yang diberikan oleh Rabb kepada mereka.32
As-Samhudi Asy-Syafie (seorang pakar sejarah dari kota Madinah)
menyatakan bahwa kadang-kadang orang yang bertawassul kepadanya (Nabi
Muhammad Saw.) dengan meminta pertolongan berkaitan dengan sesuatu perkara.
Perkara itu memberi arti bahwa Rasulullah Saw., memiliki kemampuan untuk
memenuhi permintaan dan memberikan syafaatnya dengan izin Allah SWT. Perkara
ini kembali semula kepada permohonan doanya seperrti “Aku memohon kepadamu
(wahai Rasulullah Saw.) untuk dapat menemanimu di surga”. Dalam permohonan
seperti ini, tidak ada makna lain dalam permohonanmya ini melainkan bahwa Nabi
Muhammad Saw., menjadi sebab dan pemberi syafaat kepada orang yang berdoa. Dan
berkata Imam Asy-Syaukani bahwa bertawassullah kepada Allah SWT., melalui para
Nabi dan orang saleh.33
Maka, dapatlah disimpulkan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
berkaitan yang mana membahas tentang amalan tawassul dengan menggunakan
perkataan wasilah dan juga bentuk-bentuk amalan yang berkait rapat dengan tawassul
seperti dengan beristighfar memohon keampunan, dengan keimanan kepada Allah
SWT., dan Rasul-Nya serta dengan Asmaul Husna yakni nama-nama Allah SWT.,
Yahya Zainul Ma'arif, “Apa Itu Tawassul? – Buya Yahya Menjawab”, diakses melalui alamat
https://www.youtube.com/watch?v=ln2v8YWy9lE, tanggal 11 Januari 2019.
33
Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam
Publishing Sdn. Bhd., 2015), 237-238.
32
61
Yang Maha Mulia. Tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT., adalah dengan
kesungguhan untuk melakukan apa saja bagi mendekatkan diri kepada-Nya, berlombalomba dengan ikhlas atas segala amalan hanya untuk Allah SWT., semata. Mereka
mengerahkan segala kemampuan berupa amal-amal saleh yang bisa mendekatkan diri
kepada Allah SWT., dan rahmat-Nya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tawassul berasal dari kata wasilah. Tawassul adalah mengerjakan sesuatu amal
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT., dengan perantara atau sesuatu
yang dikasihi Allah SWT., dan merupakan suatu pintu dari pintu-pintu untuk
menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Bentuk-bentuk tawassul yang dapat dipahami dalam kajian ini adalah:
a. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang
Maha Agung
b. Bertawassul kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul
utusan-Nya
c. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui Nabi Muhammad Saw.
d. Bertawassul kepada-Nya melalui amal saleh
e. Bertawassul kepada Allah SWT., melalui perantara orang saleh
3. Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, wasilah dan
tawassul merupakan suatu jalan bagi mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan
taat kepada-Nya. Manakala, Abdurrahman Bin Nashir as-Sa’di pula mengatakan
bahwa wasilah atau tawassul adalah dengan jalan yang boleh mendekatkan diri
kepada Allah SWT., yang mana membolehkan memperoleh pahala dan kecintaan
Allah SWT., dengan melaksanakan perkara-perkara yang wajib yang berkait
dengan hati dan amalan kebaikan.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kajian dalam skripsi ini, harus bagi seluruh
ummat Islam agar sentiasa mendalami dan menggali ilmu yang berkaitan dengan AlQur’an dengan dirujuk kepada sunnah Nabi Muhammas Saw. Diharapkan dengan itu,
62
63
akan menghindarkan kita dari kesalahan pemahaman dalam menangkap pemaknaan
dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Kita seharusnya menetapkan niat
bahwa tawassul yang dilakukan tersebut hanya sebagai perantara terkabulnya doa,
bukan yang mengkabulkan permohonan kita. Oleh itu, kita perlu menyempurnakan
iman kita terlebih dahulu sebelum mengamalkan tawassul agar tidak akan mengubah
maksud dan tujuan dari tawassul tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro,
2005.
Abbas, Sirajuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kelantan: Pustaka Aman Press
Sdn. Bhd., 1978.
Abu Luz, Abu Anas Ali bin Husain. Ulasan Lengkap Tawassul. Jakarta: Darul Haq,
2014.
Ahmad, Syaikh Muhammad Bin. Rahsia & Mukjizat Tawassul. Jakarta: Pustaka Imam
Bonjol, 2017.
Al Yamani, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi. Agamamu dalam Bahaya. Seremban:
Koperasi As Sofa, 2014.
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail. Jami’ Al-Shahih Al-Bukhari. Kairo:
al-Matba’ah al-Salafiyyah, 1976.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhamamad dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain. Jilid 1 dan 2. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir
Jalalain” oleh Najib Junaidi. Surabaya: PT eLba Fitrah Mandiri Sejahtera,
2015.
Al-Hasani, Muhammad Al-Maliki. Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah,
Syafa’at, Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Al-Qathani, Sa’id Bin Ali bin Wahf. Agar Doa Dikabulkan. Jakarta: Darul Haq, 2016.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy. Sunan Abi Dawud. Riyadh: Maktabah
Al-Ma’arif, 2007.
Anas, Abu Abdillah Malik Bin. Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi.
Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984.
An-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin Yahya. Riyadhu As-Salihin. Indonesia: AlHaramain, 2005.
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (1) Surat AlFatihah – Ali’ Imran. Jakarta: Darul Haq, 2016.
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (2) Surat AnNisa ’- Al-An’am. Jakarta: Darul Haq, 2016.
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (3) Surat Al‘Araf – Yusuf. Jakarta: Darul Haq, 2016.
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (4) Surat ArRa’d – Al-Hajj. Jakarta: Darul Haq, 2016.
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di (5) Surat AlMu’minun – Saba’. Jakarta: Darul Haq, 2016.
‘Alawi, Al-Sayyid Muhammad Bin. Dialah Allah. Selangor: Pelima Media Sdn Bhd,
2014.
Chalim, Asep Saifuddin. Membumikan ASWAJA Pegangan Para Guru NU. Surabaya:
Khalista & PP. Pergunu, 2012.
Dahlan, Sayyid Ahmad Ibn Zaini. Fitnah Wahhabi. Ampang: Sofa Production, 2009.
Daud, Zakaria @ Mahmod. Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam. Kuala
Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995.
Ghoffar, M. ‘Abdul .Tafsir Ibnu Katsir. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul
“Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir” oleh Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2017.
Joll, Muhadir Bin Haji. Khilafiah: Persoalan & Penjelasan. Kuala Lumpur: Inteam
Publishing Sdn. Bhd., 2015.
Joll, Muhadir Haji. Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu AlBanjari Al-Makki. Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012.
Kamaludin, Muhammad Fuad. Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu???.
Selangor: Abnak Production, 2002.
Mohamad, Ahmad Sonhadji. Tafsir Al-Qur’an di Radio. Kuala Lumpur: Pustaka AlMizan, 1992.
Mohamed, Ali. Hakikat Tawassul Dan Wasilah. Selangor: Thinker’s Library, 2004.
Nizam, Abu. Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah
Tawassul, Istighasah dan Kubur. Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996.
Ramli, Muhammad Idrus. Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi. Surabaya: Bina
ASWAJA, 2010.
Ramli, Muhammad Idrus dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai Nu atau Wahabi yang
Sesat Tanpa Sadar?. Suarabaya: Bina ASWAJA, 2013.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2015.
B. Karya Ilmiah
Asifah, Siti. “Tawassul Menurut Al Qur’an”. Skripsi. Surabaya: Program Sarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1998.
Badriyah, Lailatul. “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul
Wahhab”. Skripsi. Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang,
2009.
Chaidar, Muchammad. “Studi Agama: Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi.
Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Khadal, Fatimah Binti Abdul. “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”. Skripsi.
Ampang: Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016.
Mohammad, Ahmad Faiz Ajyaad Bin. “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”.
Skripsi. Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015.
Mohsin, Udah. Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan. Jurnal
Islamiyyat 18&19 (3) (1998).
Ridwanullah, Dede. “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang
Tawassul”. Skripsi. Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang,
2012.
Salleh, Noriza. Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3
(2013).
Shirazi, ‘Abd Al-Karim Bi-Azar. “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4
(2000).
Sidek, Jahid. “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam (481)
(2014).
C. Website
Al-‘Aql, Naasir ‘Abdul Kareem, “The Islamic Rulling on Tawassul”. Artikel. Daar AlWatan Publishing House, (12 Disember 2004). https://en.islamway.
net/book/177/islamic-ruling-on-tawassul, (diunduh tanggal 08 Oktober 2018).
Hidayat, Adi. “Hukum Tawassul”. Diakses melalui alamat https://www.youtube.com/
watch?v=C9bf2IzYZ14. Tanggal 11 Januari 2019.
Jawas, Yazid Bin Abdul Qader. “Definis Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”.
Diakses melalui alamat https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisiahlus-sunnah-wal-jamaah.html. Tanggal 06 September 2018.
Ma'arif, Yahya Zainul. “Apa Itu Tawassul? – Buya Yahya Menjawab”. Diakses melalui
alamat https://www.youtube.com/watch?v=ln2v8YWy9lE. Tanggal 11 Januari
2019.
Mianoki, Adika. “Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik”. Diakses melalui alamat
https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html.
Tanggal 01 Januari 2019.
Rosyidin, M. Abror. “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah
SAW”. Diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassulistighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/. Tanggal 06 September 2018.
CURRICULUM VITAE
Nama
NIM
Tempat / Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Alamat Asli
Alamat Sekarang
Pekerjaan
Pendidikan
: Fatimah Binti Abdul Khadal
: IAT 301170014
: Kuala Lumpur / 03 November 1994
: Perempuan
: Islam
: No. 101, Jalan TPP 2/1, Taman Pinggiran Pelangi,
48000 Rawang, Selangor Darul Ehsan, Malaysia
: No. 02, Jl. Pakis 03, RT 27, RW 08, Kelurahan
Simpang IV Sipin, Telanaipura, 36124, Jambi.
: Mahasiswa
:-
JENIS PENDIDIKAN
Sekolah Rendah Kebangsaan
Sinaran Budi Rawang
TEMPAT
Rawang, Selangor
TAHUN TAMAT
2006
2
Sekolah Menengah Kebangsaan
Seri Garing Rawang
Rawang, Selangor
2011
3
Kolej Universiti Islam Sultan
Azlan Shah
Pondok
Modern
Darussalam
Gontor Putri 1
Kolej Islam As Sofa Ampang
Kuala Kangsar,
Perak
Jawa Timur,
Indonesia
Ampang, Selangor
2013
Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi
Jambi, Indonesia
2019
NO
1
4
5
6
2014
2016
Jambi, 04 Maret 2019
Penulis,
Fatimah Binti Abdul Khadal
IAT 301170014
Download