BAGIAN III JATI DIRIKU SEBAGAI WARGA NEGARA INDONESIA YANG SETIA PADA PANCASILA Jati diri mahasiswa harus menunjukan sebagai warga negara yang mampu menjelaskan masalah kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dalam situasi dunia yang dinamis. Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordial agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat. Kemajemukan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Namun, kemajemukan itu diikat oleh keberadaan dasar dan ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945, di samping faktor-faktor pemersatu lainnya. Sementara itu, dalam proses bernegara terdapat saling pengaruh antara hak dan kewajiban serta antara Negara dan Warga Negara. Di sisi lain, kehidupan negara Indonesia tidak terlepas pula dari pengaruh kehidupan dunia global sehingga perlu dikaji pula dinamika hubungan antarbangsa di dunia untuk melihat peran politik Indonesia di dalamnya. 183 BAB 1 BANGSA INDONESIA 1.1 Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa Secara konseptual yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, seperti bangsa Indonesia, India, dan sebagainya.8 Namun demikian, pembentukan suatu bangsa tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah yang berbeda satu sama lain. Keberadaannya pun seringkali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsabangsa lain. Menurut kamus istilah antropologi, yang dimaksud dengan bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Haviland, yaitu suatu komunitas orang-orang yang memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang, sejarah, masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama (Haviland, 2000: 664). Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk. Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya, menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itulah yang membedakannya dengan 8 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke III. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 102. 184 masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group). Di antara kedua istilah di atas, istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik, karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat, serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi. Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri. Suku Sunda misalnya. Kebudayaan mereka merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan mereka bukan ditentukan pihak luar, melainkan karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman budaya, berkepribadian khas, dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lain. Bahasa Sunda yang mereka miliki menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—266.) Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif, yaitu keanggotaannya diperoleh bersama dengan kelahiran yang mengacu pada asal orang tua yang melahirkan serta asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa 185 terwujud sebagai keluarga, komunitas, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut. a. Merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan. b. Mempunyai kebudayaan bersama sebagai pedoman hidup yang secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain. c. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif. Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa berbeda dengan keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa bersifat terusmenerus atau selamanya, sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari golongan kelas sosial itu atau pada waktu seseorang tidak lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya (Suparlan, 2005: 3—6). Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu identitas diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku bangsa, diperlukan pemahaman atas suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri ke-Indonesia-an itu sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukungnya. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama atau dapat pula menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu, interaksi antarsuku bangsa perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri keIndonesia-an. Uraian mengenai masalah ini akan disampaikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia. 1.2 Indonesia Bangsa yang Majemuk Menurut Haviland (2000: 386), masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns). Masyarakat yang majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk pula. Hal ini merupakan hasil dari interaksi sosial dan politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikir beda dalam suatu masyarakat (Haviland, 2000: 805). 186 Sementara itu, kemajemukan Bangsa Indonesia adalah realitas. Berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain masingmasing berbeda. Mereka berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya. Suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu keturunan. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, aneka suku bangsa tersebut menjadi satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), bangsa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa dengan jumlah penduduk 237.556.363 orang dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.9 Menurut Suparlan (2005: 54—60), Indonesia menjadi sebuah masyarakat majemuk karena mengenal tiga sistem yang menjadi acuan atau pedoman di dalam kehidupan warganya. Sistem-sistem itu adalah (1) sistem nasional, (2) sistem suku bangsa, dan (3) sistem tempattempat umum. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik, yaitu sebuah negara kesatuan yang menempati wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubunganhubungan sosial di antara warga suku bangsa lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama). Hal ini menjadikan fungsi tempat umum menjadi penting. Jumlah suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia dapat dikatakan sama jumlahnya dengan jumlah bahasa daerah yang ada (Loebis, 1979: 10—11). Kesamaan ini merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini perlu disikapi dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu bangsa. Bentuk pluralitas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam, yaitu (1) pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama, dan bahasa, serta (2) pluralitas vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu, bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan, dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan, antara lain, dengan keberagaman kelompok etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut. 9 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari 2010. 187 Konsekuensi dari kondisi kemajemukan bangsa Indonesia adalah potensi terjadinya konflik atau disintegrasi. Konflik terjadi apabila terdapat cara pandang tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme yang diwujudkan antara lain dalam bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain, integrasi bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan. Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan konflik integrasi? Anggota masyarakat dari berbagai suku itu berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi yang terjadi muncul jati diri kesukubangsaan. Acuan mereka adalah budaya kesukuan yang terwujud dalam bentuk atribut masing-masing. Akibatnya, potensi konflik muncul. Pada kenyataannya, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama dalam menghadapi lingkungannya. Dalam masyarakat luas yang heterogen, kebudayaan kesukubangsaan yang berisikan keyakinan atas ciri-ciri masing-masing secara sadar atau tidak sadar memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya. Hal ini memunculkan keyakinan mengenai kebenaran subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa lainnya itu. Kebenaran subjektif tersebut seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghadapi anggota suku bangsa lainnya itu. Kondisi ini disebut stereotip dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice). Sebuah stereotip biasanya muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan suku bangsa lain. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini kemudian disebarluaskan sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas tadi menjadi pengetahuan baku yang diyakini benar. Padahal, pengetahuan itu hanya sebatas interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri, namun digeneralisasi sedemikian rupa sebagai ciri-ciri suku bangsa tersebut (Suparlan, 2005: 3—6). 1.3 Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Untuk mengatasi potensi konflik yang muncul, perlu dikembangkan potensi integrasi dalam masyarakat. Bangsa Indonesia memiliki semangat kebangsaaan yang kuat. Semangat ini dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa dengan dukungan, antara lain (1) latar belakang sejarah bangsa, (2) Pancasila dan UUD 1945, (3) simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan 188 bangsa, dan (4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu saling terkait satu sama lain dan harus dijaga untuk terus dipertahankan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 1.3.1 Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melalui suatu proses sejarah yang panjang. Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam artian politis (kenegaraan), yaitu sebagai pendukung dari negara. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu berusaha dengan kuat berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka, seluruh rakyat Indonesia berjuang untuk mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon, 1995: xviii—xix). Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-turut— ialah berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis, pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap fosilfosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo, ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu, dataran Sunda masih merupakan daratan dan Asia Tenggara merupakan bagian benua yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua. Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi Selatan, maka 189 daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20). Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka dikenal sebagai ras Melayu yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting adalah ProtoMelayu (sekitar 3000 tahun lalu) dan Deutro-Melayu (sekitar 2000 tahun yang lalu). ProtoMelayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, DeutroMelayu sudah membawa kebudayaan besi. Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai wilayah di dunia tersebut merupakan awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal sebagai ciri “bhinneka tunggal ika”. Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha memberikan pengaruh kepada kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu dan Brahma. Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama Islam kepada penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau kesultanan Islam di tanah Arab, antara lain, kerajaan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Mataram di Jawa, serta kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore di Maluku. Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam. 190 Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6—32). Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda (1800— 1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah diambil alih oleh Inggris (1811—1816). Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga merupakan proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Proses pembentukannya merupakan salah satu ciri dari suatu proses yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini, pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii). Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa pada orang Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda. Dua peristiwa bersejarah yang menunjukkan tumbuhnya kesadaran berbangsa yang yang ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942. Kesadaran itu adalah Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak Politik Etis yang mulai diperjuangkan masa Multatuli (dr. Douwes Dekker). Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah memberikan kebaikan sebagai tanda balas budi, namun sesungguhnya dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penjajah. Dalam Politik Etis, pemerintah kolonial berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para penguasa pribumi pendidikan. Para pemuda dari kalangan elite dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia— 191 yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antarberbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan elitenya. Interaksi ini justru terjadi di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan. Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau Jawa, tetapi juga yang di Belanda. Melalui interaksi itu, tumbuh benih-benih solidaritas baru, yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan yang menginginkan kemerdekaan. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional dengan lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908. Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka: “Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.10 Bangsa Indonesia mencapai puncak sejarah perjuangannya ketika berhasil merdeka dan berdaulat melalui Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 di bulan Ramadhan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (Hardi, 1984: 61). Dengan demikian, penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan memanfaatkan keadaan setelah kota Hiroshima di Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945. Setelah bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Inkai), Indonesia menegaskan keinginan dan tujuannya mencapai kemerdekaan itu. 10 Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996. 192 PPKI adalah panitia baru yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Cosakai) yang sebelumnya dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1—13). Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih mengalami berbagai ujian dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan sebelumnya Indonesia adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda bergabung dengan sekutu kalah perang pada tahun 1941. Dengan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, Belanda mengklaim bahwa secara hukum internasional, Indonesia kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya melalui berbagai upaya, seperti perang konvensional yang disebut revolusi kemerdekaan dan ‘perang’ diplomasi berupa perundingan antarpemerintah kedua negara. Akhirnya, dicapai persetujuan melalui Perjanjian Meja Bundar. Perjanjian ini memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal. Sejak itu, secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 29 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120—122). Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin—yang kemudian disebut Orde Lama (1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era Reformasi (1998—sekarang). Proses pembentukan negara dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab II. 193 1.3.2 Pancasila dan UUD 1945 Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia memiliki ideologi sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. UUD 1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya merupakan hukum dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan guna menjamin demokrasi. Di dalam UUD 1945 ada rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat yang mampu menjamin keberlangsungan integrasi dan demokrasi. 1.3.3 Simbol/Lambang Persatuan Bangsa Berbagai dikenakan dikenakan kepada diri manusia. Salah satunya adalah makhluk sosial. Manusia juga disebut makhluk budaya yang dengan akalnya dapat mengubah, bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan sistem perlambangan. Artinya, kehidupan manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai sebuah perguruan tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas, dan identitas anggota masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan. Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Penggunaan lambang-lambang itu diatur dalam UUD 1945, yaitu Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih), Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya). Dalam UU No 24 Tahun 2009 diatur juga tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. UU Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan bahwa bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Hal ini diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, 194 kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.11 1.3.4 Kebudayaan Nasional Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya terletak pada keanekaan suku bangsanya, melainkan juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu dapat muncul loyalitas terhadap suku bangsa atau kelompok yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme, entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia, kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan. Mengenai Kebudayaan Nasional dalam konteks Indonesia, beberapa cendekiawan mempunyai gagasan berbeda yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya adalah Ki Hajar Dewantara. Tokoh ini mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas, dan bermutu tinggi. Tujuannya adalah menjadi identitas nasional dan memenuhi kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia. Mereka diharapkan bangga terhadap bangsanya sendiri. Oleh karena itu, disarankan agar puncak-puncak (dalam arti ‘yang paling’) kebudayaan suku-suku bangsa tadi dijadikan isi kebudayaan nasional. Golongan kedua menyarankan adanya pengembangan kebudayaan nasional baru Indonesia yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa dan berorientasi ke peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional harus dipahami setiap warga Indonesia. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari kebudayaan suku-suku bangsa warisan nenekmoyang. Kebudayaan nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan mengacu ke masa depan, mementingkan sains, dan teknologi. Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi. Pertama, memperkuat rasa identitas nasional. Kedua, memperluas rasa solidaritas nasional warga. Berdasarkan dua 11 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035). 195 fungsi itu, gagasan kedua golongan cendekiawan di atas sebenarnya saling melengkapi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama sedangkan dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua. Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara lain adalah Borobudur, batik, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lainlain. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, identitas diri dapat dikuatkan oleh individu yang bersangkutan dengan mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu, identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a). Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat mengintensifkan komunikasi antarsuku bangsa yang berbeda-beda dan dipahami maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas. Unsur-unsur kebudayaan nasional perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pengembangan itu tidak boleh dibatasi hanya pada unsurunsurnya saja, tetapi meliputi sistem nilai budayanya juga. Sebab, sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan karena dianggap bernilai tinggi). Nilai itu menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga yang bersangkutan. Pedoman dimaksud adalah adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah kehidupan manusia bernilai tinggi dan universal yang ada di setiap kebudayaan menyangkut setidaknya lima hal, yaitu (1) makna atau hakikat hidup, (2) makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan, (3) persepsi terhadap waktu, 4) hubungan dengan alam sekitar, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b). Di luar itu, salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah soal hukum nasional. Pengembangan ini harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. 196 Apa yang dibicarakan di atas pastinya merupakan salah satu upaya menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, setiap warga bangsa perlu pula memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia dan nilai- nilai yang dimilikinya. Jati diri bangsa di sini berkaitan dengan cara pandang dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri ini pun diartikan sebagai identitas.12 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, globalisasi harus pula diwaspadai karena dapat mengancam nilai-nilai kebangsaan, seperti pemahaman yang keliru tentang ‘menjadi modern’ atau ‘menjadi seperti orang Barat’. Masalah jati diri, selain berkaitan dengan gaya hidup juga berkaitan dengan perilaku yang dapat menyebabkan disintegrasi. Gaya hidup yang membuat anak-anak senang tawuran dan “perang” antarsuku bangsa atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain menunjukkan, antara lain, lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.13 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan demikian, perlu terus menerus ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia. 1.4 Nilai Kebangsaan 1.4.1 Arti Nilai Kebangsaan Dari sisi bahasa, ‘nilai’ mempunyai arti, antara lain, sesuatu yang berharga; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Sementara itu, kata ‘kebangsaan’ sendiri antara lain mempunyai arti ciri-ciri yang menandai golongan bangsa; perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa; atau 12 13 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462. Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006. 197 kesadaran diri sebagai warga dari suatu Negara.14 Dengan demikian, nilai kebangsaan dapat diartikan sebagai suatu kesadaran dari warga negara yang dianggap penting atau berharga bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu negara yang mempunyai cir-ciri tertentu yang menandainya. Pemahaman akan nilai kebangsaan yang kuat akan menumbuhkan rasa nasionalisme dalam masyarakat. Menurut Kohn, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.' Perasaan itu sangat mendalam dan memiliki ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya (Kohn, 1984: 11-13). Bagi bangsa Indonesia, nilai kebangsaan tersebut tercermin dalam Konstitusi Negara, UUD 1945, khususnya pada bagian Pembukaan. Dalam salah satu alineanya tertulis bahwa “...berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Pernyataan di atas menunjukan tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bebas merdeka dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur. 1.4.2 Sumber Nilai Kebangsaan Sumber Nilai Kebangsaan Indonesia dapat dilihat dari aspek sejarah dan kondisi sosial masyarakatnya. Dilihat dari aspek sejarah, nilai kebangsaan itu sudah ada sebelum Negara Indonesia terbentuk. Pada waktu sebelum Negara Indonesia terbentuk, proses sejarah mengajarkan nilai-nilai perjuangan aneka suku bangsa karena merasa mempunyai nasib dan tujuan yang sama. Selain itu, gerakan kebangsaan Budi Utomo (1908) dan lahirnya Sumpah Pemuda (1928) menunjukan adanya nilai untuk berani bersikap dan menyatakan kehendak bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Makna frase “menjunjung bahasa persatuan” menunjukan kenyataan bahwa mereka berasal dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa daerahnya masingmasing. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan dan menjaga persatuan bangsa, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan. Setelah terbentuknya NKRI, Nilai Kebangsaan yang ditanamkan berasal dari UUD 1945 dengan empat sumber acuan nilai, yaitu (1) Pancasila sebagai falsafah bangsa, (2) UUD 1945, 14 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Op. Cit. Hlm. 783 198 (3) NKRI sebagai bentuk negara, dan (4) Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan kesatuan bangsa. 1.4.3 Nilai Kebangsaan dan Pembentukan Karakter Karakter suatu bangsa bergantung pada nilai-nilai lokal yang hidup pada masyarakatnya. Untuk mengembangkannya, dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini sudah disadari oleh para pendiri bangsa Indonesia. Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan buah perjuangan terkait dengan pendidikan bangsa. Salah satu tokohnya yaitu Dr. Wahidin Soedirohoesodo menjadikan masalah pendidikan sebagai titik perhatian utama. Pendidikanlah yang dapat mengubah nasib bangsa. Apabila pendidikan rakyat meningkat, ekonomi pun turut meningkat (Syamsah Nas, 1990:1—5). Melalui pendidikan diharapkan tumbuh subur kesadaran pentingnya berbangsa. Setiap anggota masyarakat harus merasa sebagai bagian dari bangsa dalam upaya membangun ketahanan nasional dalam rangka menghadapi berbagai tantangan. Kesadaran itu harus dikaitkan dengan pemahaman atas nilai-nilai kebangsaan, jati diri, dan wawasan kebangsaan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pembentukan karakter dalam dunia pendidikan saat ini antara lain diatur melalui UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di sana disebutkan bahwa pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran lainnya adalah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora yang berkelanjutan. Sasarannya terkait dengan nilai kebangsaan, antara lain ditanamkannya prinsip-prinsip moral yang mampu mendorong mahasiswa bersikap sesuai dengan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Dengan demikian, akan lahir lulusan yang mampu menjadi pendorong terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang tahu hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan. Pada lingkup yang lebih luas, para lulusan itu dapat ikut mempertahankan keberlanjutan dan cita-cita bangsa. 199 BAB 2 NEGARA INDONESIA 2.1 Hakikat Negara Di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ir. Soekarno berkata: “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan dari bumi yang ada di bawah telapak kakinya” (Setneg, 1992: 66). Oleh karena itu, setelah proses berbangsa, orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negaranya. Konsep ini dikenal sebagai konsep negara berdasarkan geografi. Negara berdasarkan bentuk geografi, antara lain negara daratan (land lock country)—disebut juga negara terisolasi—yaitu negara yang tidak memiliki akses ke laut. Akses ke laut harus melalui satu atau dua negara tetangga. Negara demikian dapat pula dikelilingi oleh satu negara saja, seolah-olah seperti suatu enclave. Masa modern—pasca-Perang Dunia II—perbatasan negara ditentukan oleh perjanjian internasional. Kini ada negara daratan yang diberi akses ke laut melalui koridor yang diberikan oleh negara tetangga. Di lain pihak ada negara yang berbatasan dengan laut. Negara ini meliputi (1) negara Pantai, (2) negara Pulau (negara dengan satu pulau utama dan beberapa pulau kecil), dan (3) negara Kepulauan (negara yang terdiri dari beberapa gugus pulau). Setiap pantai—daratan— memiliki wilayah laut selebar 3 nautical miles (NM) dari garis pantai (coastline). Oleh karena itu, wilayah perairan antarpulau dapat saja berstatus laut bebas. Untuk melindungi wilayahnya, sebuah bangsa membentuk organisasi yang kemudian disebut sebagai negara (state). Dalam pengertian ini, negara meliputi (1) penduduk (rakyat, penghuni tetap, dan warga negara), (2) wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah, (3) penguasa yang berdaulat (membedakan organisasi pemerintah dengan organisasi sosial), dan (4) pengakuan kedaulatan dari negara lain. Keempat kesepakatan ini merupakan hasil konvensi negara-negara Pan Americana di Montevideo, Uruguay, tahun 1933. Di samping keempat syarat tersebut dapat ditambahkan lagi satu aspek, yaitu adanya konstitusi dalam negara bersangkutan (Ditjen Dikti, 2001: 36). 200 2.1.1 Rakyat Konsep tentang rakyat adalah penghuni. Mereka merupakan penduduk atau semua orang yang bertujuan menetap dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu lama. Mereka dapat diklasifikasikan sebagai (1) penghuni tetap maupun berpindah-pindah (nomad) dalam wilayah tersebut dan (2) warga negara dan warga negara asing. Konsep demikian dimaksudkan untuk mengantisipasi bahwa di era global saat ini amat jarang negara yang rakyatnya dari segi ras dan etnik bersifat homogen. Di era globalisasi, lalu lintas penduduk antardaerah maupun antarnegara semakin lancar. Gejala ini menyebabkan rakyat suatu negara semakin lama semakin majemuk. Oleh karena itu, peran imigrasi sebagai lambang kekuasaan negara perlu didukung penuh. Penjelasan lebih lanjut pada Bab IV. 2.1.2 Wilayah Wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah meliputi (1) darat, (2) laut, (3) udara, dan (4) ekstrateritorial. Wilayah darat ditandai dengan batas-batas alamiah/geografi maupun buatan. Batas wilayah darat ditentukan oleh pemerintah. Batas wilayah laut merupakan hasil perjanjian bilateral antarnegara yang bertetangga. Namun sejak dekade kesembilan abad XX, melalui UNCLOS ’82, batas laut dan definisi tentang kepulauan diubah. Laut bukan lagi merupakan pembatas suatu daerah, melainkan penghubung antardaerah dalam negara. Penentuan wilayah udara mengacu pada konvensi Paris yang ditanda tangani pada 23 Oktober 1919. Konvensi tersebut memutuskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Tujuannya adalah agar setiap negara memiliki kedaulatan di atas wilayahnya. Sejak 1944 (Konvensi Chicago) wilayah kedaulatan udara terbentang di atas daratan dan lautan suatu negara. Pasca-Perang Dunia II ditentukan adanya ruang angkasa dan berada di atas ruang udara masing-masing negara. 2.1.3 Pemerintah yang Berdaulat Pemerintah adalah pemegang dan penentu kebijakan yang berkaitan dengan pembelaan negara. Pemerintah yang berdaulat mempunyai dua kekuasaan yang bersifat ke dalam dan ke luar. Ke dalam, pemerintah memiliki kekuasaan untuk merumuskan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di wilayahnya. Ke luar, pemerintah mempertahankan kemerdekaan dari 201 serangan negara lain dan mengelola hubungan diplomatik berkaitan dengan perjanjian internasional. Untuk itu, diperlukan loyalitas dari warga negaranya untuk mengamankan dan mempertahankan negara (Budihardjo, 2008: 54). Menurut Max Weber, agar tidak ada monopoli kekuasaan perlu adanya pemisahan kekuasaan berupa pemisahan kekuasaan atas lembaga-lembaga negara secara horizontal menurut fungsinya sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu (1) legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), (2) eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan (3) yudikatif (kekuasaan mengawasi pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang). Penafsiran Trias Politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151—155). 2.1.4 Pengakuan Kedaulatan Pengakuan kedaulatan dari negara lain bukanlah unsur pembentuk negara, tetapi bersifat menerangkan saja tentang adanya negara. Dengan kata lain, pengakuan dari negara lain hanya bersifat deklaratif. Pengakuan kedaulatan dibedakan dengan status de facto berdasarkan fakta yang ada dan de jure berdasarkan hukum. Dengan adanya kedua jenis status pengakuan, hubungan kedua negara dapat ditingkatkan menjadi hubungan diplomatik kedua negara hingga tingkat duta besar. 2.1.5 Konstitusi Persayaratan lain suatu negara modern menurut Prof. Dr. Sri Soemantri (Ditjen Dikti, 2001: 36) adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yaitu constituir (membentuk), yang diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan suatu negara. Negara modern, terutama sejak berdirinya Amerika Serikat, menjadikan konstitusi merupakan prasyarat bagi suatu negara bangsa. Sebuah konstitusi biasanya berisikan (1) organisasi negara (pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif), (2) hak asasi manusia, (3) prosedur mengubah kontitusi (amendemen), (4) ada kalanya ada larangan untuk mengubah konstitusi, dan (5) aturan hukum 202 yang tertinggi. Di dalamnya, tidak jarang dibuat pembukaan atau mukadimah dasar yang berisikan cita-cita atau ideologi negara (Budiardjo, 2008: 178). 2.1.6 Tujuan Negara Tujuan negara sebaiknya tersurat, paling tidak tersirat dalam konstitusi. Rumusan tujuan merupakan pedoman untuk mencapai cita-cita nasional. Tujuan nasional itu pada dasarnya sejalan dengan tujuan hidup manusia pada umumnya, yakni menciptakan rasa aman dan membangun kemakmuran bagi rakyat. Untuk itu, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya untuk menghadapi musuh. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban pula memberi dan melatih pengetahuan untuk mempertahankan negara. 2.2 Geopolitik dan Geostrategi Konsep geopolitik dan geostrategi berkembang seiring kesadaran manusia untuk berbangsa dan bernegara; mulai dari terbentuknya bangsa, kemudian negara, dan tidak boleh diabaikan adanya kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, komunikasi, peralatan militer dan kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 16). Konsep wawasan kebangsaan tentang wilayah ini sangat diperlukan dalam pengelolaan negara. Konsep ini mulai dikembangkan sebagai ilmu pada akhir abad XIX. Konsepsi ini dikenal sebagai geopolitik, yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara kemudian berkembang menjadi konsep politik, dalam arti distribusi kekuatan, pada hamparan geografi negara (Sunardi, 2004: 157). Gagasan awal geopolitik ditulis oleh Friedrich Ratzel yang mengatakan bahwa terbentuknya negara ibarat pertumbuhan makhluk hidup yang membutuhkan ruang untuk pertumbuhannya. Gagasan itu diperkuat oleh tulisan Rudolf Kjellen yang mengatakan bahwa untuk berkembang diperlukan kekuatan dan intelektual bangsa. Pada awalnya, pemikiran geopolitik hanya berfokus pada pembahasan elemen fisik geografi, yaitu berkaitan dengan masalah ruang hidup (tanah), bentuk wilayah, cuaca, dan sumber daya alam. Pemikiran ini masih menekankan pembangunan kekuatan fisik negara demi keamanan (Collins, 1973: 167—168). Dalam perkembangannya, geopolitik meliputi pula masalah yang berkaitan peta bumi ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan negara. Konsep geostrategi merupakan pelaksaan dari geopolitik. 203 2.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia 2.3.1 Ciri Khas Wilayah Indonesia Ada empat ciri khas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditinjau dari segi geografis. Pertama, wilayah NKRI berada di posisi silang antara Lautan India di sebelah Barat dan Lautan Pasifik di sebelah Timur. Di sebelah Utara ada benua Asia dan di Selata ada Australia. Dengan posisi ini, NKRI harus membuka jalan bagi lalu lintas perdagangan dan manusia. Namun demikian, kita harus waspada dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan berlanjut ke tindak-tindak kriminal, terorisme dan berarkhir dengan masalah pertahanan negara. Kedua, sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki luas 1.904.569 km2 dengan jumlah 17.504 pulau (CIA International Report, Juli 2014) dengan garis pantai sepanjang 54.715 km. Sebagai perbandingan, negara kepulauan besar lainnya, yaitu Madagaskar memiliki luas 587.401 km2 sedangkan Papua Nugini seluas 472.377 km2. Meskipun Indonesia negara kepulauan terbesar, namun bukan merupakan negara kepulauan yang terbanyak pulaunya. Republik Finlandia—negara pantai—memiliki pulau sebanyak 179.584 atau 10 kali lipat dari jumlah pulau Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia masih memiliki tugas berat, antara lain menginventarisasi 11.801 pulau yang belum memiliki nama, karena baru 5.703 pulau yang sudah bernama. Luas daratan 1,9 Juta KM2. Luas Perairan 3,1 Juta KM2, terdiri dari Laut Teritorial 0,3 Juta KM2, Perairan Nusantara (inner waters) 2,8 Juta KM2. Luas Zona Ekonomi Ekslusif 3.0 Juta KM2. Ketiga, Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara di bawah lintasan Geo Stationary Orbit (GSO). GSO merupakan suatu lingkaran orbit yang sejajar dengan garis khatulistiwa di bumi. Lingkaran orbit terletak pada 6 radian bumi di atas garis khatulistiwa di ketinggian + 36.000 km, dengan tebal + 75 km, dan lebar + 15 km. GSO pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur dengan masa orbit 23 jam, 56 menit, 4 detik. Oleh karena itu, apabila satelit ataupun benda-benda angkasa yang ditempatkan di orbit ini, seolah-olah diam, karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar bumi. Indonesia memiliki lintasan GSO terpanjang. Panjang Garis Khatulistiwa Indonesia 6.110 km, lingkaran GSO Indonesia 9.997 km atau 12,8% dari keliling GSO. Keempat, Indonesia dilintasi tiga dari tujuh selat tersibuk dunia (Sunardi, 2002: 175). Ketiga selat itu adaalah (1) Selat Malaka, nomor 2 setelah selat Dover, merupakan jalur angkutan 204 migas untuk Asia Timur dan Pasifik, (2) Selat Sunda (nomor 6), dan (3) Selat Lombok (nomor 7). Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan jalur pelayaran dari negara-negara Asia Timur dengan negara-negara Pasifik Selatan. Pada masa perang dingin, ketiga selat ini “dikuasai” oleh Amerika Serikat. 2.3.2 Wujud Formal Negara Indonesia Secara formal, Indonesia menjadi negara sejak proklamasi kemerdekaannya. Wujud formal itu berupa (1) penduduk atau rakyat yang mendiami wilayah; (2) wilayah, eks wilayah Hindia Belanda; (3) pemerintah yang berbentuk republik, sejak terpilihnya Presiden; (4) kedaulatan, sejak Proklamasi Kemerdekaan; (5) konstitusi; (6) tujuan negara, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur ber-dasarkan Pancasila; dan (7) bentuk negara yang berupa negara kesatuan. a. Penduduk Sebelum kemerdekaan Indonesia, rakyat Indonesia terdiri atas berbagai etnik, agama, dan golongan kaula Belanda—onderdaan—maupun orang asing. Orang asing dibedakan antara turunan Eropa—Jepang digolongkan sebagai orang Eropa—dan Timur asing yaitu Cina, Arab, India. Setelah proklamasi kemerdekaan berbagai penduduk yang berada di Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945 diakomodasi sebagai warga negara Indonesia. b. Wilayah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditentukan oleh BPUPKI adalah wilayah eks Hindia Belanda (Setneg, tt: 25). Mengenai batas wilayah ini, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang ketentuan batas wilayah laut yang ditandatangani PM Djuanda.. Isinya ditujukan untuk memperkuat konsepsi wilayah maritim. Konsep maritim Belanda dirombak total menjadi tata lautan yang diperbaharui “berasas negara kepulauan” (archipelagic state principle). Dasar hukum konsepsi baru tersebut berupa negara kepulauan yang wilayahnya meliputi: darat, laut, dan udara sebagai kesatuan yang utuh, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica. 205 Menurut Pasal 46 UNCLOS 1982, kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, Negara Kepulauan sebagaimana Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau sebagai satu keastuan; wilayah itu sepertiganya merupakan daratan dan dua pertiganya lautan. c. Pemerintah Pemerintah Indonesia ada sejak 18 Agustus 1945 sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Implementasi Trias politica setelah Orde Baru berakhir merujuk pda UUD NRI 1945 tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Fungsi dan kekuasaan negara tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja, tetapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. UUD NRI 1945 menghapus satu lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden. Selanjutnya dibentuk satu lembaga tinggi negara yang baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga tinggi negara memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan beberapa lembaga negara tersebut. Badan eksekutif atau Pemerintah adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara demokrasi, badan eksekutif terdiri atas kepala negara atau kepala pemerintahan, menteri-menteri, pegawai negeri sipil, dan militer. Pengertian badan eksekutif dapat dipersempit hanya mencakup kepala negara, kepala pemerintahan, dan para menterinya. Untuk memperlancar tugas mereka dibentuklah badan pelaksana yang bersifat permanen dan profesional, yakni birokrasi. Birokrasi melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tidak dapat ditangani sendiri oleh para politisi. Badan Yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif, yakni (1) Mahkamah Agung (MA), berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi perundang-undangan di bawah UU; 206 (2) Mahkamah Konstitusi (MK), berfungsi (a) mengadili untuk menguji UU terhadap UUD, (b) memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD, termasuk membubarkan partai politik, (c) memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, (d) memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden; 3) Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk meng-usulkan Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Badan Legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Kenyataannya, bentuk dan susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara. Berdasarkan ketentuan UUD 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar, (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif, yaitu membentuk undang-undang, dan (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga-tinggi baru negara yang memiliki kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pendapat DPD dan diresmikan oleh Presiden. Keanggotaan dan kedudukan BPK berada di ibu kota negara dan mempunyai perwakilan di setiap provinsi. d. Pengakuan dari Negara Lain Mesir merupakan negara asing pertama yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Pengakuan de facto itu dilakukan pada tanggal 22 Maret 1946 dengan menyatakan bahwa pengurusan tentang masalah Indonesia tidak dilakukan melalui Kedutaan Besar Belanda. 207 Selanjutnya, Mesir mengajak anggota Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan de jure baharu dilaksanakan pada 10 Juni 1947. Negara kedua yang mengakui adalah India setelah merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947. India menggagas resolusi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mengecam agresi militer Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Perdana Menteri India J. Nehru menggelar konverensi Asia bersama Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Libanon, Siria, dan Irak. Dalam konferensi ini, Nehru mendesak Pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia. Pengakuan negara lain bagi berdirinya suatu negara sangatlah penting. Pengakuan negara tersebut akan menjadi jalan bagi terjadinya interaksi antarnegara. Dengan demikian, akan memperkokoh kedaulatan negara sebagai negara yang merdeka. e. Konstitusi Secara hakiki konstitusi berarti perjanjian antarmasyarakat dalam bernegara, sekaligus kontrak sosial. Pengertian Konstitusi (secara terminologi) adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk hubungan kerja sama antarnegara dan masyarakat dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Budiardjo (2008: 171), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi/UUD berfungsi khas. Dia membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, UUD kita yang sekarang merupakan hasil empat kali amandemen dalam kurun waktu tiga tahun (1999—2002). Secara resmi, konstitusi kita bernama UUD 1945. Masyarakat sering menamakan UUD 2002. Perubahan UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut. Undang-Undang Dasar (asli) terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) Pembukaan, (2) Batang Tubuh, dan (3) Penjelasan. Pembukaan terdiri atas empat alinea. Pembukaan menggambarkan hakikat nilai-nilai hukum: Tuhan, kodrat, etis, dan filosofis. Batang Tubuh merupakan jabaran pelaksanaan hukum dasar, yang terdiri atas enam belas bab, dan tertuang dalam tiga puluh tujuh pasal, empat pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan. Bagian Penjelasan dibuat untuk memudahkan masyarakat memahami dan mendalami isi serta hakikat Pembukaan dan Batang Tubuh UUD agar dapat dihayati dan dilaksanakan. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sekarang merupakan hasil empat kali amendemen, dengan ciri antara lain: 208 (1) tidak memuat penjelasan, ini dapat menyebabkan multitafsir, (2) judul bab dan pasal banyak mengalami perubahan, (3) jumlah Bab, Pasal, dan Ayat berubah secara drastis, namun penomoran bab dan pasal tetap sama, hanya dengan menyisipkan “huruf” pada nomor bab dan nomor pasal yang ada, (4) UUD NRI 1945 kini memiliki 21 bab, 73 pasal, dan 173 ayat, serta hanya 6 (enam) pasal yang tidak diubah; yakni pasal-pasal: 4; 10; 12; 29; 35; dan 36, serta 5) Hanya 1/8 (12,5%) kententuan asli, selebihnya ketentuan baru. Perkembangan UUD NKRI, yaitu (1) UUD (17/8-1945—27/12-1949); (2) Konstitusi RIS (27/12-1949—17/8-1950); (3) UUDS RI (17/8-1950—5/7-1959); (4) UUD-1945 (5/71959—19/10-1999); (5) UUD-1945 Amendemen I (19/10-1999—18/8-2000); (6) UUD 1945 Amendemen I dan II (18/8-2000—9/11-2001); (7) UUD-1945 Amendemen I s.d. III (9/112001—10/8-2002); (8) UUD NRI 1945 (10/8—2002 kini) merupakan Amendemen I s.d. IV. Tata Urut Perundangan-undangan NRIsebaga berikut: (1) Peraturan Dasar (UUD, Perubahan UUD, Piagam Dasar); (2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)/Jurisprudensi; (3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden; (4) Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Pejabat setingkat Menteri; (5) Peraturan Daerah Provinsi (Perdaprov); (6) Peraturan Gubernur; (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perdakab/Perdakot); (8) Peraturan Bupati/ Walikota; dan (9) Peraturan Desa. Materi baru yang muncul dalam UUD NRI 1945 perlu menjadi catatan kita semua, yaitu: (1) adanya DPD membuat Indonesia kini menganut sistem bi-kameral yang umumnya dianut Negara Federal; (2) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diangkat sebagai lembaga tinggi negara; (3) wilayah NKRI dinyatakan sebagai negara Kepulauan (Nusantara) sesuai dengan Deklarasi Juanda; (4) masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dikembangkan meskipun dipengaruhi oleh HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights) yang kini banyak ditentang oleh negara merdeka “baru”; (5) bela negara tertuang dalam dua pasal sebagai bela negara dan upaya ikut serta dalam pertahanan dan keamanan; (6) Pemilihan Umum (Pemilu) diupayakan langsung hanya untuk Presiden dan Wakil Presiden, namun berkembang menjadi Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung; dan 209 (7) pimpinan eksekutif di pusat maupun daerah maksimal dijabat selama dua periode. f. Tujuan Negara Tujuan nasional suatu negara sebenarnya merupakan jabaran dari pada tujuan hidup manusia setelah membangsa. Oleh karena itu, tujuan dimasukkan dalam konstitusi negara. Demikian juga pada UUD kita; tujuan nasional kita ditulis dalam Pembukaan UUD dan tidak boleh diubah. Secara singkat Pembukaan UUD berisi empat alinea, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Alinea pertama berisikan tentang Hukum Kodrat dan Hukum Etis yang telah dihayati oleh bangsa Indonesia; 2) Alinea kedua, memuat cita-cita bangsa kita untuk merdeka; 3) Alinea ketiga, merupakan hakikat dari Hukum Tuhan dan Hukun Etis; 4) Alinea keempat berisikan tujuan negara dan sekaligus falsafah Pancasila dipakai untuk pedomanan berbangsa dan bernegara. Isi Tujuan Nasional dapat ditulis secara singkat sebagai berikut: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) untuk memajukan kesejahteraan umun; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. g. Bentuk Negara Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian Pasal 1 ayat 1, UUD-1945 (asli). Artinya negara Indonesia bukan negara federasi, melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan UU (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI-1945). Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan. (Pasal 18 ayat (2) UUD NRI-1945). 2.3.3 Geopolitik Indonesia Salah satu dari empat ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkaitan dengan wilayah adalah negara kepulauan, dengan masyarakatnya yang majemuk. Ciri khas bangsa Indonesia ini menghendaki bangsa Indonesia memiliki cara pandang yang sama dalam upaya mengelola wilayah. Kesamaan gagasan dan cara pandang untuk membentuk negara bangsa dituangkan melalui ideologi Pancasila. Oleh karena itu disusunlah doktrin Geopolitik Indonesia 210 yang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia disebut Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografisnya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Panitia LEMHANNAS, 1980: 72). Wawasan Nusantara memiliki 4 fungsi: 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras dalam segenap aspek kehidupan nasional (astagatra); 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya turut menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat fungsi tersebut, Wawasan Nusantara dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional; 2) pola dasar pemanfaatan lingkungan yang berhubungan erat, saling terkait, serta saling bergantung antara masyarakat dan ruang hidupnya; 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan keamanan untuk menjamin segenap wilayah Indonesia; 4) dengan letak negara pada posisi silang dan sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia dapat melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar dan hendaknya diikuti oleh konsep “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan Nasional. 2.3.4 Geostrategi Indonesia Untuk melaksanakan konsep Wawasan Nusantara, disusunlah konsep geostrategi yang disebut Ketahanan Nasional. Gagasan konsep tersebut berawal dari pidato Presiden Soekarno di Kotaraja—kini Banda Aceh—pada tanggal 16 Juni 1948, dalam rangka meninjau wilayah Indonesia yang tidak diduduki oleh Pemerintah Belanda (Netherland Indonesia Civil Administration). Presiden Soekarno ketika itu menekankan pentingnya penyusunan konsep ketahanan jiwa bangsa (Basry, 1995; 50—51). Setelah pengakuan kemerdekaan pada tahun 1950, garis besar pembangunan politik Indonesia berfokus pada “nation and character building”, yang sebenarnya merupakan pembangunan jiwa bangsa. Bung Karno pada tahun 1965 mendirikan Lembaga Pertahanan Nasional—kini Lembaga Ketahanan Nasional—yang bertugas mempelajari dan membahas 211 masalah ketahanan nasional dan menghasilkan konsep Ketahanan Nasional (Tannas). Konsep yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968 dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di Indonesia. Namun, menurut Brigjen TNI Haryomataram, konsep yang disempurnakan tahun 1972 diharapkan dapat diterapkan di negara sedang berkembang (Panitia LEMHANNAS, 1980: 85). Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan, ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Panitia LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik (keamanan) sebagai prioritas selanjutnya. Konsep Ketahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam salah satu konsep Wawasan Nusantara, Astagatra, yang terdiri dari trigatra, yaitu aspek kekuatan alamiah (geografi, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra, yang berupa aspek kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan). Kaidah konsep Ketahanan Nasional: 1) menggunakan kerangka pikir Pancasila yang komprehensif-integral; 2) dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara, masalah keamanan dan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan satu sama lain; dan 3) ketahanan nasional merupakan integrasi dari ketahanan setiap aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan-keamanan). 212 BAB 3 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA 3.1 Sekilas Sejarah Lahirnya Pancasila Sebagaimana proses panjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi sebuah negara, kelahiran Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga merupakan proses yang panjang. Sebagai nilai- nilai yang ideal, Pancasila berasal dari nilai-nilai luhur bangsa yang majemuk. Oleh karena itu, nilai Pancasila menjadi dasar nilai yang mempersatukan kemajemukan tersebut. Tahap pembentukan Pancasila setidaknya diawali dari proses pergerakan perjuangan bangsa Indonesia. Sebuah pergerakan bangsa Indonesia pada tahun 1924 yang dinamakan Perhimpunan Indonesia (PI) mulai merumuskan ideologi politiknya untuk mencapai kemerdekaan politik yang didasarkan pada empat prinsip, yaitu persatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi, dan kemandirian (self-help) (Latif, 2011: 5). Yang dimaksud dengan persatuan nasional adalah pengikatan bersama ragam ideologi dan identitas (etnis, agama, dan kelas) untuk melawan penjajah. Solidaritas merupakan sikap menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam bangsa Indonesia dan lebih mengedepankan persoalan yang terjadi akibat penjajahan. Nonkooperasi mempunyai makna bahwa bangsa Indonesia harus memperjuangkan sendiri kemerdekaannya karena pihak penjajah tidak akan membantu rakyat yang dijajahnya. Sementara itu, kemandirian dapat diartikan sebagai pembangunan sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri (Ingleson, 1979: 5). Setelah itu, banyak tokoh pejuang bangsa Indonesia yang juga memberikan pandanganpandangannya yang berkaitan dengan pembentukan ideologi bangsa, seperti Tan Malaka, Tjokroaminoto, dan tokoh-tokoh partai Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), di antaranya adalah Iljas ja’kub dan Muchtar Lutfi. Sejalan dengan itu, lahirlah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 berdasarkan hasil Kongres Pemuda Indonesia. Kongres tersebut dimotori oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri pada tahun 1925. Visi para pemuda yang diikrarkan melalui Sumpah Pemuda tersebut berusaha menyatukan segala keragaman ke dalam kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia, serta menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Sudiyo, 1989: 112—120). Pandangan tokoh-tokoh bangsa tersebut mewarnai dan memberikan masukan berharga dalam proses atau tahap perumusan ideologi bangsa yang berkaitan dengan upaya untuk 213 mencapai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, perumusan dasar negara Indonesia tersebut mulai dibicarakan dalam persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK) dari tanggal 29 Mei s.d. 1 Juni 1945. Dalam sidang itu, anggota-anggota BPUPK dari berbagai golongan itu memberikan pandangan- pandangannya, seperti pentingnya nilai-nilai ketuhanan, persatuan, demokrasi permusyawaratan, keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai dasar kenegaraan. Pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan bagi pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Inti Pancasila pada pidato tersebut adalah 1) kebangsaan Indonesia; 2) internasionalisme atau perikemanusiaan; 3) mufakat atau demokrasi; 4) kesejahteraan sosial; dan 5) ketuhanan yang berkebudayaan. Urutan kelima sila tersebut merupakan urutan sequential, bukan urutan prioritas (Latif, 2011: 9—17). Proses panjang perumusan Pancasila melalui pidato Soekarno di atas mendasari penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Kelahiran Pancasila karena nama Pancasila baru dikemukakan pada waktu itu. Namun demikian, sebagai dasar negara, persetujuan kolektif Pancasila baru didapat setelah melalui perumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dan perumusan final serta pengesahannya secara konstitusional dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945. Butir-butir Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara adalah 1) Ketuhanan yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan; dan 5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 3.2 Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Sebagai bangsa yang majemuk, untuk menumbuhkan rasa kebangsaan pada bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain di samping ikatan-ikatan primordial yang sudah ada dari suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam hal ini, para pendiri bangsa mencetuskan gagasan perlunya pengkristalan nilai- nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sebagai norma dasar atau ideologi bangsa yang dapat menimbulkan rasa persatuan itu, yaitu Pancasila (Tajfel, 1974: 84). Sebagai norma dasar yang berasal dari nilai-nilai luhur budaya bangsa, Pancasila merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, nilai- nilai Pancasila yang bersifat umum tersebut perlu ditelaah untuk diimplementasikan dalam kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila juga merupakan fondasi dari pembentukan karakter bangsa Indonesia. 214 Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari dalam diri dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117). Merujuk pada definisi tersebut, karakter dapat dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor, yaitu nilai dan norma. Kedua faktor ini secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara khusus, dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, nilai yang menjadi rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila. 3.3 Nilai Pancasila sebagai Fondasi Perilaku Nilai merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan keputusan maupun dalam melakukan berbagai kegiatan (Rinjin, 2010: 59). Nilai yang dianut seorang individu akan mengarahkan pada tingkah laku yang diperlihatkannya dalam berbagai situasi (Rokeach, 1973: 122). Keberagaman yang ada pada bangsa Indonesia yang majemuk harus dihargai dan dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Nilai-nilai yang ada pada Pancasila, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, justru menekankan toleransi itu (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1). Nilai-nilai dalam Pancasila juga berhubungan positif satu sama lain sehingga tiap nilai menguatkan pemahaman satu sama lain. Adapun nilai Pancasila yang selama ini dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan hubungan antarnilai yang terkandung dalam Pancasila. Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno, dan Juneman, 2011) Nilai Definisi Rincian Sila atau nilai percaya pada Tuhan dan menjalankan faithfulness, toleransi pada pertama, perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan kelompok yang berbeda ketuhanan tidak memaksakan kepercayaan pada orang keyakinan, spirituality and lain religiousness Sila kedua, mengakui persamaan hak dan kewajiban, respek, fairness, courage kemanusiaan sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati 215 Sila ketiga, mengutamakan kepentingan bangsa loyalitas, kewarganegaraan persatuan daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan (memiliki pendirian yang bangsa, dan mengembangkan rasa kuat terhadap persatuan bagi bangsa. kewajibannya, setia kawan) Sila keempat, mengambil keputusan berdasarkan demokrasi musyawarah untuk kepentingan bersama tanggung jawab, harmoni dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan, dan melaksanakan keputusan yang diambil. Sila kelima, menjaga keseimbangan anatara hak persahabatan, keadilan, keadilan sosial kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam kerendahatian, sifat bentuk kualitas luhur manusia) dan menolong pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial. Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu urusan (utamanya) agama lain. Dalam sejarah bangsa Indonesia, pada zaman Kerajaan Majapahit dalam menjalankan kerajaannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan, yaitu agama Hindu dan agama Buddha (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Hal ini menjadi contoh bahwa berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan. Prinsip nilai kedua Pancasila adalah mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, dan menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada penjajahan terhadap suatu bangsa, bangsa Indonesia menolaknya. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk menyatakan suatu hal 216 yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengindahkan hak dasar dari orang-orang di sekitarnya. Nilai ketiga Pancasila berupaya untuk mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk mewujudkan nilai tersebut secara konkret di masyarakat. Contohnya, para guru yang berjuang mendidik muridnya di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia. Pada nilai keempat, Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya, demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau di Nusantara (Malaka, dalam Latif, 2011: 387). Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian, kita sering mendengar istilah gotong-royong, yaitu sebuah aktivitas membantu pihak lain yang meminta secara santun untuk menyelesaikan suatu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan warga lain. Oleh karena itu, hak untuk mendapatkan air selaras dengan kewajiban menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya. 3.4 Pancasila Pedoman Bangsa Indonesia sebagai Warga Global Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah dalam kancah interaksi antarbangsa di dunia. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa perilaku bangsa Indonesia harus tetap mencerminkan identitas bangsanya sendiri yang berpedoman pada nilai- nilai dasar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai contoh, pada nilai di sila pertama, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11) walaupun pernyataannya itu dikaitkan dengan ideology Pancasila sebagai nilai yang juga mendasari corak kehidupan interaksi umat beragama di Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila, khususnya nilai 217 pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam kebudayaan. Mulder (1999, dalam Kusumadewi, 2012: 135—136) melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia sehingga dapat menjadi model dari toleransi antarumat beragama di dunia. Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa. Dalam hal ini, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi penentu bagi corak kehidupan masyakatnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia dalam aktivitas berbangsa dan bernegara, serta dalam berinteraksi sebagai warga dunia. 218 BAB 4 KEWARGANEGARAAN 4.1 Pengertian dan Sejarah Kewarganegaraan Kewarganegaraan sering diidentikkan dengan kebangsaan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun pemerintahan. Secara umum, kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang menyangkut warga negara. Kewarganegaraan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai citizenship dan dalam bahasa Latin sebagai civis. Pemahaman tentang kewarganegaraan memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, istilah “kewarganegaraan” telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang bebas. Sebaliknya, para budak, kaum perempuan, dan anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai warga negara (Poole, 1999). Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat masuk dinas militer, yang memiliki arti penting bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara dalam pengertian masa Yunani Kuno dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25). Pada masa Kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai sebagai kepemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya. Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan rakyat di wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga Kerajaan Romawi. Selain itu, mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi, kewarganegaraan tidak lagi diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, tetapi lebih merupakan tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga kerajaan (Poole, 1999). Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal bentuk 219 negara, yaitu ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan bentuk negara-bangsa modern. Dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja, sedangkan dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi, republik, dan nilai-nilai hak asasi manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185—289). Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan prinsip-prinsip berikut: 1) nilai HAM yang menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud dalam hak-hak sipil. Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah kini mendapat pengakuan baru sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal balik, yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuantujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996: 285—289). Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara dan bangsa. Mereka sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan. Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan. 220 4.2 Siapakah Warga Negara Indonesia? Yang dialami rakyat biasa di Kerajaan Romawi, seperti diceritakan di atas, juga pernah dialami bangsa Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status (diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, yaitu antara bangsa kulit putih dan pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem kerajaan, yaitu antara golongan kulit putih, Timur asing, priyayi, dan rakyat biasa atau budak (Simbolon, 1995: 40— 46). Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998: 246—636). Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan. a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Rakyat Jawa) Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi masyarakat sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluarganya. Di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi pada raja, di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat. Salah satu contoh teknik yang mengabsahkan kekuasaan Raja Majapahit adalah manggala. Teknik ini digunakan pujangga keraton dalam buku mereka yang memberi status raja sebagai supramanusia, bahkan sama kedudukannya dengan dewa. Hal itu menunjukkan hubungan raja dan rakyat di Nusantara cenderung didominasi raja. Rakyat pun cenderung diperlakukan sebagai embel-embel kekuasaannya itu. Jadi, konsep kewarganegaraan yang mengakui bahwa rakyat mempunyai hak sebagai warga negara belum dikenal (Simbolon, 1995: 8-10). 221 Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa dan kekuasaan rajaraja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur, Belanda memisahkan staf administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu memerintah rakyat dengan perantaraan elite birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras. Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206--211). Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, tetapi juga melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elite administrasi atau birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elite yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Susuan elite priyayi adalah sebagai berikut: para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjangjenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83). Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Seseorang yang dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda adalah anak dari orangtua yang termasuk elite yang memiliki 222 kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula (Kartodirdjo, 1999: 83). Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi memiliki status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi, pada kemudian hari, banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional. Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat autokratis dan menerapkan sentralisasi dengan birokrasi yang sangat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat pribumi. Baru pada tahun 1903, yaitu setelah diberlakukannya undang-undang desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa badan perwakilan didirikan. Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elite pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Dengan demikian, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi politik rakyat, bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43--44). Pada tahun 1916, pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk Volksraad atau dewan rakyat. Namun, keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Parlemen di Belanda-lah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia-Belanda. Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan Belanda. Volksraad diubah menjadi badan kolegislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan petisi pengubahan UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, Volksraad masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung. Selain itu, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus 223 gulden) per tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50 per tahun. Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun demikian, status penduduk belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi. Menurut perundangundangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia-Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yaitu Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999: 48 dan 192). b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama, suku, ras, dan daerah asal yang berbeda. Ada yang berasal dari Jawa, Sumatra, Ambon, Sulawesi, Arab, Tiongkok, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang luar biasa terhadap kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia, yaitu yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara (lihat UUD 1945, Pasa 26). Ketentuan terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia. Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945, warga negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk selain warga 224 negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negara-negara lain. 4.3 Menjadi Warga Negara Indonesia Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang tentang kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan, ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU RI Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006. Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan pemerintah, dan surat keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri dalam negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orang-orang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dan sebagainya merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disebutkan empat asas yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan, yaitu ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran (diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anakanak yang diatur dalam UU tentang Kewarganegaraan RI.15 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan kewarganegaraan ganda (bipatride), kecuali anak-anak dan penduduk tanpa kewarganegaraan. 15 Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 225 Menurut UU Kewarganegaraan RI tersebut,16 kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas 7 dasar, yaitu sebagai berikut. a. Kelahiran Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis). Seorang anak tetap menjadi WNI walaupun dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride. b. Pemberian status Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI. c. Pengangkatan Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA yang berumur 5 tahun (atau kurang), yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia. d. Permohonan Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan asing (WNA). Pada awalnya, dia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya agar tidak terjadi kewarganegaan ganda. e. Naturalisasi Naturalisasi memiliki arti bahwa kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi WNI. f. Perkawinan Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu. 16 Pasal 4, 8, 21 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 226 g. Kehormatan Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR. 4.4 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur hidupnya sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun, WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya karena hal-hal berikut (lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28). a. Atas kemauan sendiri menjadi WNA. b. Melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya). c. Masuk dinas tentara asing tanpa seizin presiden. d. Tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak dalam rangka dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan sebelum jangka 5 tahun berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI. e. Perkawinan dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi WNI perempuan atau laki-laki yang menikah dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). f. Oleh negara, kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada prinsipnya negara tidak menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain (status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi WNI, dengan 227 syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan asing.17 4.5 Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal balik yang melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila dan prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara yang wewenang legislatifnya dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional atau pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan, kedaulatan tidak terbagi karena pemerintah pusat memegang kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja (Strong, dalam Budiardjo, 2008: 269--270). Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan bangsa dan negara 17 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37. 228 atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun, ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yaitu bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah. a. Prinsip Kedaulatan Rakyat Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah terjadinya negara dengan kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus tersebut kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amendemen). Hasil rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri atas wakil-wakil golongan, seperti serikat pekerja dan golongan tani, dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat presiden dan wakil presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum amendemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara. MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat, khususnya pada masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh dominasi mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu, terjadi perubahan politik yang signifikan, yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali amendemen terhadap UUD 1945, dua di antaranya adalah masa jabatan Presiden dibatasi dan warga negara berhak memilih pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu, juga diberlakukan desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya 229 kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah. Dalam UUD 1945 (sesudah amendemen), terjadi perubahan terbesar menyangkut MPR. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara serta pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. MPR kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN dan mengeluarkan ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan wakil presiden menjadi presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya) (Budiardjo, 2008: 350). UUD 1945 sesudah amendemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan presiden, penetapan pemilihan presiden secara langsung, dan desentralisasi). Namun, yang paling mendasar dalam amendemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu, yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD, serta memilih Presiden dan kepala daerah secara langsung. Jika pejabatpejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk memberhentikan presiden serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat. b. Prinsip Negara Republik Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan (bukan dalam arti liberal), yaitu kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu kebebasan dari dominasi pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya prinsip independensi, dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau ketergantungan kepada pihak lain. Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotik dan feodalis, serta pemerintahan kolonial Belanda yang 230 menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat ketimbang bentuk negara lainnya, seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dan sebagainya. c. Prinsip Negara Hukum (lihat UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen, Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara ) Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa, sistem pemerintahan, dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD merupakan otoritas tertinggi yang di dalamnya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. UUD begitu penting sehingga setiap presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya (lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amendemen, Pasal 9). Semua prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut hak dan kewajiban warga negara, yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi politik/negara. Sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. 4.6 Hak dan Kewajiban Warga Negara 4.6.1 Hak Konstitusional Warga Negara Hak konstitusional warga negara (constitutional right), menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, adalah hak–hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945. Setelah amendemen UUD 1945, prinsip HAM (hak asasi manusia) telah tercantum dalam konstitusi Indonesia sebagai ciri khas prinsip kontitusi modern Oleh karena itu, prinsip HAM yang tercantum dalam UUD 1945 merupakan hak kontitusional warga negara Indonesia (www.create-of –budhsetiawan.blogspot.co.id). Para Bapak Bangsa Indonesia telah bekerja keras dalam menyusun UUD 1945. Agar UUD ini dapat melindungi seluruh warga negara, kedudukan UUD 1945 adalah sebagai sumber hukum bagi semua undang-undang (UU) dan peraturan yang berada di bawahnya. 231 Dalam praktik kehidupan bernegara, UU (dapat berupa produk hukum yang berasal dari DPR dan presiden, semua UU yang tidak terbatas sesudah Perubahan Pertama UUD 1945), dan perppu) dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan oleh berlakunya UU tersebut dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU (selanjutnya disebut pemohon) adalah 1) perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama; 2) kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; 3) badan hukum publik atau badan hukum privat; 4) lembaga negara (DPR, DPD, MPR, presiden, BPK, Pemda, atau lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan UUD 1945); 5) lembaga-lembaga yang peduli terhadap masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat yang bergiat dalam perjuangan HAM, hak ekonomi masyarakat miskin, dan lainlain. Dalam perkara pengujian UU, pihak yang terlibat, selain pemohon yang telah disebutkan, juga melibatkan beberapa pihak terkait, yaitu 1) pihak yang dirugikan dengan adanya permohonan yang diajukan oleh pemohon; 2) pemberi keterangan, yaitu pihak yang menyampaikan keterangan dan/atau risalah rapat dalam persidangan berdasarkan permintaan dari Mahkamah Konsitusi. Untuk mengajukan pengujian UU terhadap UUD 1945, pemohon dan/atau kuasanya harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya akan memprosesnya sesuai dengan mekanisme pengajuan permohonan pemohon dalam perkara pengujian UU. 4.6.2 Implementasi Hak Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari Aspek praktis dari pasal-pasal dalam UUD tentang hak warga negara diuraikan dalam tiga kategori berikut. a. Keamanan Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di 232 wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap penduduk bisa datang dari luar yang berupa serangan bangsa lain, dan secara internal berupa tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amendemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM. Hal tersebut berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan tanpa alasan yang mencukupi. Jika terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau penuntutan, seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini diatur dalam KUHAP. b. Kesetaraan Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 95). c. Kemerdekaan (Indepedensi) Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai “persona” atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Itulah hakikat individu sebagai warga negara yang tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, tetapi juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab tersebut bukanlah sebuah bentuk pemaksaan, melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83). Selain ketiga aspek praktis tersebut, jika ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. 233 1. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi (Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 sesudah amendemen) Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang berpengaruh luas, seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan meningkatkan pajak penjualan. Dalam menghadapi kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis jika ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak dan menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering aparat negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara tersebut sadar akan haknya, ia dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu pada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, serta sumber-sumber informasi modern, seperti radio, televisi, dan internet. 2. Hak berserikat Dengan hak berserikat, rakyat dapat membentuk organisasi, mulai dari klub olahraga, asosiasi profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dan sebagainya. 3. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam Pasal 29 UUD 1945 ini, pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya. 234 4. Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, jika ternyata mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan damai. 5. Hak untuk berpartisipasi dalam Pemerintahan Dalam kehidupan bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat diatasi oleh pemerintah semata. Masalah itu antara lain adalah kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian, partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk menduduki jabatanjabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. 4.6.3 Batasan-batasan terhadap Hak Warga Negara Pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu, Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur batasan-batasan tentang hak (dan kebebasan) warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Hak untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu, warga negara dapat memperoleh informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dan sebagainya. Demokrasi akan berkembang jika warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga negara tidak boleh 235 menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310. Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun memiliki batasan-batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi jika melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok lain. Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga negara bukanlah tak terbatas karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah) dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara, serta ketertiban masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, tiap warga negara diharapkan untuk menyadari bahwa untuk memenuhi hakhaknya secara penuh, ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula. 4.6.4 Kewajiban Warga Negara Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal balik dengan kewajiban? Hak memang sering kali memiliki hubungan timbal balik dengan kewajiban, tetapi hubungan itu tidak dapat dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita dapat melihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu diiringi dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Hak sosial sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial. Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga negara. Kewajiban warga negara menuntut mereka untuk melakukan sesuatu dan jika tidak melakukannya, dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat dipenjara. 236 Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab, yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik. Kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain sebagai berikut. a. Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan (lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sesudah amendemen). Jika negara menerapkan prinsip hukum, konsekuensinya adalah bahwa hukum harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Apabila hukum tidak dipatuhi, sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban, melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana— yang mengatur agar tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—, dan berbagai peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan rukun. b. Membela negara Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting (lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan demikian juga keamanan warga negara. c. Membayar pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital, seperti pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat. 237 d. Mengikuti pendidikan dasar atau wajib sekolah (lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 sesudah amendemen). Sekolah merupakan sarana yang penting untuk mempersiapkan seseorang menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah, seseorang mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan, melainkan juga keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara, seperti kemampuan menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, serta kemampuan untuk mencari dan memilah informasi. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah mengikuti pendidikan dasar. e. Menghormati hak asasi orang lain (lihat Pasal 28 J, UUD 1945 sesudah amendemen). Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah pada terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi jika tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Selain itu, dalam hal perusahaan, pimpinan perusahaan tidak melakukan tindakan, seperti tidak membayar gaji pegawai; dan dalam hal yang melibatkan kaum muda, seseorang tidak menimbulkan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain. Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dan sebagainya. Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi karena di alam demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Jika pertukaran ide tidak disertai oleh toleransi, akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain. 238 Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang. Hal tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum, dan tidak membuang sampah sembarangan di tempat umum. 4.6.5 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam UUD 1945 Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen. Dalam UUD 1945 sebelum amendemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang meyebabkan para perumus UUD 1945 tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik antara buruh dan majikan serta timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme. Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, nilai keadilan sosial, kekeluargaan dan gotongroyong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia jika diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dalam latar belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, silasila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara. Hal itu dapat dilihat pada 239 sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan serta pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh negara. Selain itu, sila pertama merupakan penjiwaan dari pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya (lihat UUD 1945 sebelum amendemen, Pasal 27, 29, 31 dan 34; lihat juga perdebatan para tokoh bangsa dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223). Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amendemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso, telah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amendemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau jaminan sosial (lihat pasal 28 A–J UUD 1945 sesudah amendemen). Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara. 4.7 Hak dan Kewajiban Negara Sebelumnya telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan timbal balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban tiap pihak. Hak dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dan diatur dalam UUD 1945. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu pada alinea keempat yang berisi tentang tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan: a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b) memajukan kesejahteraan umum; c) 240 mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d) melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat tujuan tersebut menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD, yaitu bahwa negara harus membuat kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak atas kehidupan, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, pendidikan, dan seterusnya (lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A—J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara, yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara memiliki kewajiban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara dan memiliki sejumlah kewajiban lainnya sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal balik dalam pemenuhan hak dan kewajiban tiap pihak, negara dan warga negara, tujuan negara akan tercapai. Sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula. 4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara Jika negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amendemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31, yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248). Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis terhadap pahampaham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme, misalnya, telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an, juga menyebabkan krisis ekonomi di negaranegara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara. 241 Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik, seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negaranegara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan (lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 sebelum amendemen). Namun demikian, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat. Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, UUD 1945 sebelum amendemen telah mencantumkan hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut ditunjukkan di sini, yaitu bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945) dan hak ekonomi dan sosial, seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dan seterusnya. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiranpemikiran tokoh pendiri bangsa kita. Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap jika tidak mencakup aspek tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh warga negara karena adanya batasan-batasan, seperti pembubaran partai politik, pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang, seperti kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer/DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen masyarakat untuk melakukan Gerakan Reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto. 242 Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan, negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri sehingga dalam pelaksanaannya, rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum dimulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang “kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang keamanan, tidak pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir “kepentingan umum”, “keamanan umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Dengan demikian, negara telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan. Menghadapi situasi demikian, memasuki era Reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut penguatan hak asasinya. Upaya ini berhasil dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga telah menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Adanya UU ini menyebabkan status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dibentuk agar perempuan dan anak terlindungi dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak warga negara di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Saat ini, Indonesia masih terbelit oleh masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi. 243 Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat. Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa perilaku kebebasan tanpa batas, seperti tindakan anarkis, amuk massa, tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, dan perilaku korupsi, merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan menciptakan keadilan. Melihat keadaan yang dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa masalah keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran negara. Namun demikian, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan timbal balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada citacita bersama seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. 244 BAB 5 INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL 5.1 Hubungan Antarbangsa Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan nasional masingmasing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda, bahkan saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya, konflik dapat meruncing dan berlanjut dengan penggunaan senjata. Keadaan yang terakhir itu disebut perang. Gambaran plastis hubungan antara dua bangsa/negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, integrasi (kerja sama), yang dapat terjadi karena kepentingan dua negara sejalan. Kedua, konflik (pertentangan), yang dapat terjadi karena kepentingan tiap negara saling bertentangan. Untuk persoalan yang kedua ini, ada beberapa cara penyelesaian, yaitu melalui cara tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan akomodasi. Tindak kekerasan biasanya berupa penyelesaian dengan perang bersenjata. Dalam cara penyelesaian kedua (penekanan atau pemaksaan), biasanya salah satu negara melakukan gerakan provokasi agar negara lainnya takut/tunduk, misalnya dengan mengadakan latihan militer di daerah perbatasan. Cara akomodasi digunakan apabila kedua bangsa saling menghormati dengan cara koeksistensi (saling mengakui kesederajatan), ditindaklanjuti dengan kompromi, dan diakhiri dengan kompetisi kepentingan secara sehat. Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan. Sebagai contoh, upaya menggalakkan pemakaian produksi dalam negeri terganggu dengan membanjirnya produk negara lain yang lebih murah. Agar masyarakat umum tetap menggunakan produk dalam negeri, barang impor yang lebih murah dan bermutu dikenai biaya yang lebih tinggi. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing, konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu. Hal tersebut tentunya akan dibalas oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas barang negara “lawan”. Keadaan yang mirip dengan keadaan perang tanpa penggunaan senjata tersebut dikenal sebagai “perang dingin”. Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang 245 dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan penggunaan satuansatuan angkatan perang (darat, laut, dan udara). Bahkan, perang dapat menjadi tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia, yang dikenal sebagai perang nubika (Eccles, 1959: 13). Sebagian besar masyarakat masih yakin bahwa perang nubika tidak akan terjadi selama para ilmuwan belum mampu mengendalikan “fall out” partikel nubika. Untuk mengatasi eskalasi seperti itu, tiap negara biasanya menyiapkan warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya pertahanan keamanan. Seperti yang diketahui bersama, sejarah upaya pembelaan negara secara spontan oleh rakyat baru dimulai pada awal Perang Dunia II ketika rakyat negara-negara Eropa barat bangkit melawan invasi tentara Jerman. Bagi bangsa Indonesia, kedua upaya ini merupakan hak dan kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1), UUD 1945. Pasal 27 ayat (3) bertujuan untuk memperteguh upaya pembelaan negara sebagai hak dan sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara, bukan monopoli TNI. Sementara itu, pasal 30 ayat (1) menegaskan kembali bahwa sistem pertahanan keamanan yang dianut negara Indonesia adalah pertahanan keamanan rakyat semesta. Dengan demikian, seluruh komponen/elemen kekuatan bangsa ikut terlibat. Hal itu merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia. Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat, maupun antarbangsa selalu melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII, dua blok yang saling berhadapan adalah Dinasti Bourbon di Eropa Barat dan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah. Rakyat tidak ikut perang, kecuali yang tergabung dalam tentara dinasti. Pasca-Perang Dunia I, pada tahun 1920-an, dunia seolah-olah hanya terbagi atas dunia Barat (the West) dan sisanya (the Rest), yaitu negara-negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 183). Dalam pengertian ini, negara koloni dianggap masuk ke Blok Barat. Pada pertengahan abad XX, pasca-Perang Dunia II (masa perang dingin), selain Blok Barat dan Blok Timur muncul pula blok lain, yaitu negara-negara yang baru merdeka. Blok-blok baru tersebut merupakan persatuan kebudayaan yang sejenis yang biasanya dipengaruhi ajaran agama yang disesuaikan dengan adat setempat. 246 5.2 Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia, sebagaimana tertulis pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menggambarkan “politik bebas aktif”. Kebijakan politik bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan tentang adanya dua blok negara pemenang Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok itu didasarkan pada ideologi yang berkembang pada abad XX, yaitu blok liberal (Blok Barat) dan blok sosialis (Blok Timur). Rakyat (suku-suku) Jerman yang bercita-cita membangun Jerman sebagai negara bangsa (nation state) yang besar terhalang dan dipecah menjadi dua oleh negara-negara pemenang perang. Tragisnya, ibu kota Berlin yang berada di kawasan Timurp un harus dibagi dua, sehingga wilayah Berlin Barat merupakan enclave dari Jerman Timur. Nasib suku-suku Jerman lain yang tinggal di bekas wilayah Dinasti Habsburg (sebelah timur Jerman) dan orang-orang Balkan (kecuali Yunani) memiliki negara nasional baru dan harus bergabung dalam Blok Timur di bawah hegomoni Rusia. Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik melalui perang dingin, yang sebenarnya merupakan upaya koersi kedua blok yang bertikai. Blok Barat merangkul Jerman (Barat), Italia, dan Jepang—mantan musuh yang dilucuti tentaranya dan tidak boleh beroperasi di luar negaranya—untuk bergabung. Jerman Barat dan Italia dimasukkan dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jepang dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang bersedia menjadi negara demokrasi liberal, termasuk dalam sistem agraria dan pendidikannya (Robert, 2004: 1062). Konsekuensi lain pada ketiga negara tersebut adalah didirikannya pangkalan militer asing, yaitu pangkalan tentara Sekutu (terutama di Jerman) dan AS di Jepang. Konsekuensi berat bagi negara penerima AP asing di negaranya adalah kehilangan karakter dan moral nasional (Chandra, 1982: 74). Namun, Jepang telah memiliki akar budaya yang lebih kuat sehingga pengaruh gegar budaya tidak tampak. Karakter dan moral bangsanya juga tidak hilang sehingga Jepang tetap dominan dalam percaturan politik dunia (Morgenthau, 1962: 110—133). Akibat kebijakan Sekutu yang takut akan timbulnya fasisme, Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Kedua negara itu mengalahkan negara-negara pemenang perang (Sekutu). Jerman Barat, misalnya, lebih berkembang pesat perekonomiannya daripada Prancis. Hal itu tidak lain karena Jerman Barat dan Jepang meminimalkan biaya pertahanan dan keamanan nasionalnya yang telah dipayungi oleh Blok 247 Barat (Sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing. Berkaitan dengan hal itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka, dan Myanmar (dulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan maksud dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu mendapat respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki. Kedua negara itu berhasil mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an, Yugoslavia bergabung ke dalam blok baru itu yang hubungannya sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis. Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro-Barat, pada era tersebut bergabung dengan negara-negara Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalan gerakan Non-Blok dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan ini, Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25). Gerakan Non-Blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin. Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elite politik) negara-negara pemrakasa kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang demokratis. Sepeninggal mereka, gerakan Non-Blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah krisis ekonomi, sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada tiap negara peserta. Pada era Perang Dingin tahun 1960-an juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung, arah politik kita cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin dasar adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu “kurang baik” dibangun kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations atau ASEAN). 248 5.3 Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa atau era globalisasi. Pada masa ini, setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi (terutama setelah pesawat terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang), telekomunikasi (yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika), serta semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang-orang terdorong menjadi warga negara dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa batas akan merugikan bangsa yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki karakter nasional yang kuat dan tingkat intelektualitas yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila akan terjadi konflik antarnegara maupun internal negara yang dipicu oleh perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik fisik masih terjadi, baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik maupun secara maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi, dan sebagainya, yang berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila Wright berkata bahwa perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi telekomunikasi, 3) penemuan persenjataan baru yang lebih modern, dan 4) kebangkitan demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang berlebihan. Oleh karena itu, isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7). Pada era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya merupakan perkembangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations) sebagai bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep ini, seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya, dia terpaksa membeli barang hanya demi menjaga gengsi dengan memakai merek tertentu. Persaingan penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai biaya tetap (fixed cost). Masalah mata uang dan negara (currency and country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu, perusahaan yang 249 berupaya mempengaruhi konsumen menjadi perusahaan multinasional yang didirikan oleh beberapa negara (Ohmae, 1991: 34—71). Berdasarkan uraian tersebut, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi merupakan bentuk kolonialisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Selain itu, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik yang akan berakhir dengan kejatuhan negara “nasional baru”. Kejatuhan negara nasional baru hampir dipastikan terjadi akibat belum siapnya negara itu berdemokrasi dan ideologi nasionalnya belum mantap. Misalnya, pecahnya Sudan menjadi Sudan dan Sudan Selatan. Tentunya, konsep multinasional itu akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multidimensi yang berawal dengan krisis ekonomi akibat biaya AP yang tinggi karena tidak mengenal sistem wajib militer. Selanjutnya, terjadi krisis politik dan diakhiri dengan kebangkitan demokrasi liberal, terutama sejak runtuhnya Tembok Berlin. Akibatnya, banyak negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk segera mengadakan perubahan juga melanda banyak negara lain, termasuk negara maju. Euforia runtuhnya Tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional (baik baru dan lama) pecah menjadi negara kecil yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan. Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi, terutama di negara-negara Blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini, sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di negara-negara Blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi mendunia. 250 Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada bergeser ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi raksasa ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya “tampak” ikut berperan. Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya di kawasan Pasifik. Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi telekomuni-kasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di dunia pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities Movement). Oleh karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan baik dan terus-menerus. Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya Blok Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh negara masing-masing. Namun, yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru), untuk tetap menguasai dunia. Kalau pada Abad Pertengahan berbentuk fisik, kolonialisme kini berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi. Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama). Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan agama menambah pengelompokan satuan budaya. Banyaknya satuan budaya dapat dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier) budaya. Menurut Huntington (1998), kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama. Kesembilan garis perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi negara-negara dengan 251 mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga Argentina (kecuali tiga negara Guyana, bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Prancis); 3) budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup Afrika Utara, sebagian Balkan, Somalia, sebagian wilayah bekas Uni Sovyet, dan Indonesia; 5) budaya Sinik yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6) budaya Hindu; 7) budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga bekas Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya, sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan (Huntington, 1998: 27, 28, 193). 5.4 Indonesia dan Globalisasi Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis ekonomi dan moneter, dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7). Setelah robohnya Federasi Uni Sovyet, Blok Barat—terutama negara-negara dengan latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui mekanisme politik dan militer, pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi, upaya mereka itu dilakukan dengan dalih demokratisasi di negara yang kurang demokratis sebagai upaya melindungi dan membantu gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (Cohen, 1980: 1). Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk pakta 252 pertahanan karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi doktrin geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya. Dimensi internasional doktrin ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional tiap negara anggota. Oleh karena itu, ketahanan regional sangat bergantung pada semangat kebersamaan di antara anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan ekonomi, dan kesiagaan militer. Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era perdagangan global. Pada kasus ini, Indonesia telah memprakarsai pembentukan Perhimpunan Negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations atau ASEAN) pada tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang menjadi sepuluh negara, dengan tambahan Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (dahulu Burma), dan Vietnam. Konsep pembentukan ASEAN merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi Indonesia, ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan Indonesia dalam AsiaPasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis lapis kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis perbatasan budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya. Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan badan atau forum, seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC), 2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan, kini negara-negara Eropa daratan membentuk Uni Eropa meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan negara-negara Skandinavia, yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-negara BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg). Hal itu menunjukkan bahwa proksimitas geografis lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama menghadapi perubahan global yang tidak menentu. 253 Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan ketentuanketentuan seperti 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code, dan 3) International Safety Management Code. Untuk itu, diperlukan daya tawar kolektif (collective bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan. Konsep itulah yang merupakan konsep Ketahanan Nasional Indonesia yang disebut ketahanan berlapis. 254 KESIMPULAN Lahirnya negara Indonesia yang merdeka berangkat dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Perjalanan tersebut dimulai dari kesadaran berbangsa yang disatukan oleh pengalaman sejarah, masa sebelum penjajahan, saat penjajahan dan proses perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan, sampai saat kemerdekaan Indonesia berhasil diraih. Dalam proses bernegara, bangsa Indonesia disatukan oleh nilai dasar yaitu Pancasila dan hukum dasarnya, UUD 1945. Nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai yang hidup pada bangsa Indonesia. Nilai tersebut merupakan pandangan hidup bangsa yang menjadi fondasi nilai dalam kehidupan sehari- hari serta menjadi pedoman dalam berinteraksi sebagai warga global. Setiap warga Indonesia perlu menyadari kedaulatan bangsanya sendiri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Baik Negara maupun warga negara menyadari dan melaksanakan hak dan kewajibannya untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Semangat perjuangan dan nilai- nilai kebangsaan yang terus dipertahankan dan dikembangkan akan menjadi jalan untuk mencapai tujuan sebagai bangsa yang sejahtera dan bermartabat. 255 DAFTAR KEPUSTAKAAN Anderson, B. (2001). Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar. Angel, R. B. (1964). Reasoning and Logic. New York: Appleton Century Craft. Aristotle. (2004). Nichomacean Ethics. Cambrigde: Cambrigde University Press. Asshiddiqie, Jimly. (1994). Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Azra, A. (2010). Revisitasi Pancasila. Dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Baggini, J. (2005). What's It All About?: Philosophy and Meaning of Life. Oxford: Oxford University Press. Baggini, J., & Fosl, P. S. (2010). The Philosopher's Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods. West Sussex: Blackwell Publishing. Baron, Renee. (1998). What Type am I? Discover Who You Really Are. New York: Penguin Books. Basrie, Chaidir. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI. Basry, M. Hasan. (1995). Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948. Jakarta: KOPKAR PTP. Bertens, K. (2000). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _________. (2004). Etika (cet. ke-8), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _________. (2004). Etika, cetakan ke 8, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _________. (2001). Perspektif Etika Esai esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Budhiarto, Triyono Edy, (2015). Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi (Ppt narasumber dalam “Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan DKI Jakarta dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 12 November 2015) Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chandra, Prakash. (1982), International Politics. New Delhi, Vikas Publishing House PVT Cohen, J.,M. & M.J. (1980). The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex:..... Collins, John M. (1973). Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US Naval Institute. 256 Communication Course on Perceived Communication Competencies in Class, Work, and Social Contexts." Communication Education, 42(3), 215-23. [EJ 463 803] Copi, I. M. (1990). Introduction to Logic. New York: Macmillan Publishing Company. Definitions. New York: Vintage Books. Departemen Luar Negeri. (1983). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. (2001). Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa): Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Djalal, Hasjim. (1995). Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS. Donald, P. (2006). Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philosophy Made Lighter. New York: MacGraw‐Hill. Eccles, Henry E. (1959). Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy. Ember, Caril R, Melvin Ember & Peter N Peregrine. (2007). Anthropology. 12th ed. New Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. (1996). Anthropology (edisi ke-9). New Jersey: PrenticeHall, Inc. Emmet, B. (2001). Open Questions: An Introduction to Philosophy. Belmont: Wadsworth/Thomson Learning. Erliyana, Anna. (2005). Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ford, Wendy S. Zabava, and Andrew D. Wolvin. (1993). "The Differential Impact of a Basic Front Pembela Proklamasi ‘45. (2002). Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945. Jakarta: FPP ‘45. Fullerton, G. S. (1915). An Introduction to Philosophy. New York: Norwood Press J. S. Cushing Co. Gardner, Howard. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books. Gardner, Howard. (199). Intlligence Reframed. Multiple Intelligences for the 21st Century. New York: Basic Books. Gazalba, Sidi. (1976). Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang Gazzaniga, Michael S. (2008). Human, the science behind what makes us unique. New York: Harper Collins books. Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Culture. New York. 257 Geertz, Hildred. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu Sosial & FIS-UI. Ilmu- Goldenberg. (2003).”Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia No. 001/SK/DGBUI/2014 tentang Kode Eti k dan Kode Perilaku Sivitas Akademika Universitas Indonesia” Depok Goleman, Daniel. (1996). Emotional Intelligence, Why it can matter more than IQ. London: Bloomsburry Publishing. Gonick, L. (2006). Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Habermas, Jurgen. (1996). “The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship”, dalam Gopal Balakrishnan (ed.), Mapping the Nation. London: Verso. Hadinata, F., Putri, S., & Takwin, B. (2015). MPKT A Buku Ajar I Kekuatan dan Keutamaan: Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Depok: Universitas Indonesia. Halida, R. (2009). Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika. Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya. Hardiman, F. B. (2012). Pemikiran‐Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga. Hatta, Muhammad. (1953). Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. Hayon, Y. P. (2000). Logika: Prinsip-Prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN. Haviland, W. A. (1995). Antropologi. Jakarta: Erlangga. _____________. (2000). Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc. Hendropuspito. OC., D. (1989). Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius. Hitlin, S. (2003). Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2. Hunnex, Milton D. (2004). Peta Filsafat Pendekatan Kronologis & Tematis, penerjemah Zubair, Jakarta: Penerbit Teraju & Mizan Huntington, Samuel T. (1998). The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, London: Tochtone Books. Hyper-aesthethics. London: MacmillannEducation Ltd. Ihromi, T.O. (1986). Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito. ______, ed.. (1993). Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 258 Janasz Suzanne C., Karen O. Dowd, dan Beth Z. Schneider. (2009). Interpersonal Skills in Organizations. Third Edition. McGraw-Hill International Edition Co., New York. Jersey: Pearson Prentice Hall. Johnson David W. & Frank P. Johnson. 2006. Joining Together. Group Theory and Group Skills. Ninth Edition. Pearson Education, Inc., Boston. Johnson, Paul D. (1994). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid I dan II. (Terj. Robert M.Z. Lawang). Jakarta : Gramedia Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma. Kartodirdjo, Sartono. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. King, Laura A. (2011). The science of Psychology. New York: MacGraw-Hill. Kluchohn, Clyde. (1994). Terj. Mirror for Man (Cermin Bagi Manusia). Jakarta: Grafindo Persada Koentjaraningrat. (1977). Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977. ______________. (1981). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. ______________. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. ______________. (1987a). “Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 9 Maret 1987. ______________. (1987b). “Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 11 Maret 1987. ______________. (2000). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. ______________. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Kouzes J.M. dan B.Z. Posner. (1993). Credibility: How leaders Gain and Lose It. Why People Demand It. Jossey-Bass. San Francisco. Kroeber, A.L., and Clyde Kluckhohn. (1952). Culture: a Critical Review of Concepts and Kroker, Arthur dan David Cook. (1988). The Postmodern Scene: Excremental Culture and Kur, M. “Leaders Everywhere! Can a Broad Spectrum of Leadership Behaviours Permeate an Entire Organization?” Leadership and Organization Development Journal 18 (1997). Kusuma, A. B. (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 259 Kusuma, RMAB. (2010). Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Kusumaatmadja, Mochtar. (2003). Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum Laut III. Bandung: Alumni. Kusumadewi, LR. (2012). Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Latif, Yuni. (2011). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Lauder, MRMT. (2007). Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana. Law, S. (2007). Eyewitness Companions: Philosophy. New York: DK Publishing. Lembaga Pertahanan Nasional. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–Lemhannas. Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books. Linley, P Alex & Joseph, Stephen (ed). (2004). Positive Psychology in Practice. Canada: John Willey & Sons Inc. Linton, Ralph. (1984). The Study of Man: an Introduction. Terjemahan Firmansyah. Bandung: Jemmars. Loebis, Ali Basja. (1979). Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga. Luce, A. A. (1958). Logic. London: The English Universities Press Ltd. MacLean, Paul D. (1990). The Triune Brain in Evolution: Role of Paleocerebral Functions, New York: Springer. Mahfud MD, Moh. (2009). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31, 266-285. 1995 Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011. Marzali, A. (2005). Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media. McCall, R. J. (1966). Basic Logic. New York: Barnes & Noble Inc. 260 Meinarno, EA. (2011). How Pancasila form the national identity of Indonesian people? Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2011). Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika. Meliono, Irmayanti & YP Hayon et al (2008). MPKT Buku Ajar 1, Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, Depok: PDPT Universitas Indonesia Meliono, Irmayanti & YP.Hayon.(2010). Buku Ajar 1 Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, Depok: PDPT, UI Mirhad, R. P., Purnomo. (1973). Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional. Morgenthau, Hans J. (2006) (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill. Morreale, S.P., Osborn, M.M., & Pearson, J.C. (2000). “Why Communication is Important: A rationale for the Centrality of the Study of Communication”. Journal of the Association for Communication Administration, 29, 1--25. Mundiri. (2015). Logika. Depok: Rajawali Press. Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah, & Gurniawan Kamil Pasya. (2004). Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Genesindo. Nagel, T. (1987). What Does It All Mean?: AVery Short Introduction to Philosophy. Oxford: Oxford University Press. Ohmae, Kenichi. (1991). The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy. London: Fontana. Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Palmer, D. (2006). Looking at Philosophy. New York: McGraw‐Hill. Palomo, Margaret M. (1991). Contemporary Sociological Theory. Michigan: Macmillan Publishing. Panitia Lemhannas. (1980). Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori. Jakarta: Ripers Utama. Parsons, T. (1951), Social System, London: Collier-Macmillan Limited. Peoples, David A. (1992). Presentations Plus, 2nd edition. John Wiley and Sons Inc. Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia 261 Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press. Poerwanto, Hari. (2008). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai Pustaka Poole, Ross. (1999). Nation and Identity. New York: Routledge. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rachel, C. (2016, Maret 21). Hume's Moral Philosophy. Retrieved from The Stanford Encyclopedia of Philosophy: http://plato.stanford.edu/archives/fall2010/entries/hume‐moral/ Rahyono, F.X. (2002). “Representamen Kebudayaan Jawa: Teknik Komparatif Referensial pada Teks “Wedhatama”. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol.4 No.1, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Rakic, Pasko T. (1999). Medicine in the Twenty-First Century, Annals of the New York Academy of Sciences 882. Ramage, DE. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London. Routledge. Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Reicher, S., Hopkins, N. (2001). Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization. London. Sage Publication. Rida, Z. (1988). Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Rinjin, K. (2010). Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Robbins, Stephens. P. (2003). Organizational Behaviour, 9th ed. San Diego State University Prentice Hall International, Inc. Robert, J. M. (2004). The New Peguin History of the World. London: ..... Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. The Free Press. New York. Rubin, R.B., Perse, E.M., & Barbato, C.A., (1988). Conceptualization and Measurement of Interpersonal Communication Motives. Human Communication Research. 262 Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster. Saifuddin, Achmad F & Karim, Mulyawan (ed). (2011).’ “Refleksi Karakter Bangsa”. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI, Ikatan Alumni UI dan Peberbit Forum Kajian Antropologi Indonesia Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. (2012). Relasi Gender dalam Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1992). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Shadily, Hasan. (1983). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Simbolon, Parakitri T. (1995). Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas. Simpson, A. (2007). Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press. Soekanto, S. (1982). Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali. Soekanto, S. (1984). Beberapa Teori tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali. __________. (1990). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Somantri, GR. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta. Sousa, David A. (2003). How the Gifted Brain Learns. California: A Sage Publication Company. Sudiyo, (1989). Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: PT. Bina Aksara. Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma. Suparlan, P. (1981). “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Majalah Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ilmu-Ilmu Sastra. _________. (2005). Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suwartono, C., Meinarno, EA. (2010). The Measurement of Pancasila: An Effort to make Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP, Yogyakarta, Juli 2010. 263 Suwartono, C., Meinarno, EA. (2011). Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical Report. Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Tajfel, H. (1974). Social Identity and Intergroup Behavior. Social Science Information. 13, 65, pp. 65-93. Takwin, B. (2011). Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual. Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan karakter. Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas Indonesia. Takwin, Bagus. (2012). “Kekuatan dan Keutamaan Karakter”. Buku I MPKT A. Depok: Universitas Indonesia. Takwin, Bagus & Saras P. (2016) Buku I MPKT A versi soft file dalam flashdisk, Depok: Universitas Indonesia Taylor, Jill Bolte, PhD. (2008). My stroke of insight. London: Hodder & Stoughton. Tieger, Paul D. & Barbara Barron-Tieger. (2001). Do What You Are, third ed. Boston: Little Brown Company. Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tylor. E.B. (1974). Primitive Culture: Researches into the development of Myhology, philoshopy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. Warburton, N. (2011). A Little History of Philosophy. New Haven; London: Yale University Press. Weiten, W. et al. (2009). Psychology Applied to Modern Life. Belmont: Wadsworths Cengage Learning. Widagdho, Djoko. dkk. (2001). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara Wirutomo, P. (2012). Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem Sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta. Wirutomo, P. (2012). Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Wright, Quincy. (1942). Study of War. Chicago: The University of Chicago Press. Wuradji. (1987). Pendidikan dan Masyarakat. Sosilogi Pendidikan: sebuah Pendekatan SosioAntropologis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 264 A. Undang-undang Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amendemen I sampai dengan IV). _________, UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. _________, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. _________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63. _________, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95. _________, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58. _________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. _________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109. _________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. B. Sumber Pustaka internet http://kbbi.web.id/karakter http://www.bbc.com http://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127 http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/character http://www.dilihatya.com/pengertian nilai http://www.grupppkn.com/nilai-nilai dasar Pancasila http://www.meriamwebster.com/dictionary/character 265 BIODATA TIM REVISI Irmayanti Meliono adalah pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Latar pendidikan adalah S1 PS Ilmu Filsafat FIB UI, S2 PS Antropologi FISIP UI, S3 dari PS Ilmu Filsafat FIB UI dan Sandwich Program dari Erasmus University, Philosophy Departement, Belanda. Mengajar beberapa mata kuliah seperti Kebudayaan Indonesia, Manusia dan Masyarakat Indonesia (FIB UI); Teori Wilayah dan Humaniora, Dinamika Multikultural di Asia Tenggara (S2 Asia Tenggara Departemen Kewilayahan FIB UI); Etika (S2 KIK- Sekolah Stratejik dan Global UI); MPKS . Beberapa karya ilmiah pernah dibuat antara lain Buku Ajar I Filsafat, Logika, Filsafat Ilmu (2010, PDPT UI, tim penulis), Ideologi Budaya, Fisafat Ilmu Pengetahuan Saat ini sebagai Tim Penulis Buku Ajar MPKT A 2017-2018. Alamat korespondensi: irma.meliono@gmail.com atau mayanti@ui.ac.id. Fristian Hadinata di Manna, 2 Agustus 1986. Menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Filsafat pada usia 28 tahun dengan disertasi yang berjudul “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran dari Perspektif Richard Rorty” dengan promotor Prof. Dr. TM Soerjanto Poespowardojo, kopromotor Prof. Dr. Alois Agus Nugroho dan Dr. Donny Gahral Adian di Universitas Indonesia. Kegiatan sehari-hari sebagai dosen tetap yang mengajar mata kuliah Logika (critical thinking), Filsafat Sosial dan Pragmatisme serta sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia. Terlibat dalam penelitian-penelitian yang berfokus pada isu sosial kontemporer dengan pendekatan filosofis. Terbuka untuk berkorespondensi di alamat email: hadinatafristian@yahoo.com atau hadinatafristian @ui.ac.id. Bambang Shergi Laksmono adalah dosen dan Guru Besar Kebijakan Sosial di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial (2012 – sekarang) dan Dekan FISIP UI (2008 – 2013). Bambang aktif dalam isu peran serta civil society dalam era transisi politik 1998 dan selanjutnya bergelut dalam penelitian di bidang masalah masalah masyarakat di wilayah perbatasan, masalah pembangunan di wilayah ASEAN, kepemudaan dan kewarnegaraan. Mendirikan Papua Center FISIP UI di tahun 2012 dan sampai kini terlibat dalam upaya upaya komunikasi lintas etnis dalam bingkai NKRI. 266 Ade Solihat adalah pengajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi sebagai matakuliah Pengembangan Karakter (Character Building) di Universitas Indonesia sejak tahun 2005. Selain itu, Ade Solihat adalah pengajar tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI untuk mata kuliah Kebudayaan Indonesia dan mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia sebagai mata kuliah wajib FIB; juga Mata kuliah Bahasa Arab dan bahasa Turki, di Progarm Studi Arab FIB-UI. Pada saat ini, Ade Solihat sedang menyelesaikan Program Doktoral bidang Antropologi Budaya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Alamat email: ade.solihat@ui.ac.id. Pribadi Setiyanto adalah pengajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi bidang Sains, Teknologi, dan Kesehatan di Universitas Indonesia. Selain itu, Pribadi Setiyanto adalah pengajar tetap di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) di Universitas Indonesia. R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Sarjana (S1) untuk Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, Manusia dan Masyarakat Indonesia, Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar; dan di Program Pascasarjana (S2) untuk Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Air. Selain itu, penulis juga merupakan Tim Pengembang MPKT A (2002 s.d. sekarang); Koordinator Pusat MPKT A UI (2007 – 2015); Koordinator Fakultas MPKT A di FHUI (2004 – 2007); serta Dosen MPKT di lingkungan UI. Selain di UI, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK), Akademi Ilmu Pemasyarakat (AKIP), dan Akademi Imigrasi (AIM). Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana FHUI. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga berperan sebagai anggota Senat Akademik FHUI, yang sebelumnya pernah menjabat juga sebagai Anggota Badan penjaminan Mutu Akademik (BPMA) UI, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik (UPMA) FHUI. Penulis telah menulis beberapa buku dan karya ilmiah lain, aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, dan aktif kegiatan pengabdian pada masyarakat. Eko Handayani merupakan pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dari bidang studi Psikologi Perkembangan. Pendidikan Sarjananya diselesaikan di Fakultas Psikologi UI. Ia 267 mengambil kuliah Magister Profesi Klinis Anak di Universitas yang sama. Ia merupakan dosen aktif yang mengampu beberapa mata kuliah, diantaranya Psikologi Perkembangan Manusia, Psikologi Keluarga, dan Metode Observasi. Khusus untuk MPKT A, ia sudah bergabung menjadi pengajar sejak tahun 2011, dan sejak tahun 2015 dipercaya untuk menjadi koordinator pengajar MPKT A di Fakultas Psikologi UI. Ia pernah menjadi trainer TOT Teaching Learning Skill bagi dosen UI, trainer TOT bagi calon fasilitator Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI, dan sebagai fasilitator dalam kegiatan Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI. Ia juga masih aktif sebagai anggota UPMA (Unit Penjaminan Mutu Akademik) dan anggota SAF (Senat Akademik Fakultas). Sedangkan di lingkungan UI, ia juga aktif sebagai tim auditor internal universitas dan fasilitator dalam pelatihan PEKERTI, AA (Ancangan Aplikasi), PAPT (Pembelajaran Aktif Perguruan Tinggi) dan EHP (Evaluasi Hasil Pembelajaran) yang merupakan rangkaian pelatihan yang diberikan sebagai pembekalan bagi dosen di lingkungan Universitas Indonesia. 268