Uploaded by muhamad rifqi fauzan

BDT (Buku Dasar Teori) Kelompok 18

advertisement
BUKU
DASAR TEORI
PROSES PENGOLAHAN MINERAL
PIROMETALURGI
HIDROMETALURGI
ELEKTROMETALURGI
Oleh:
KELOMPOK 18
Farhan Aziz
1906379964
Farhan Armunanto
1906356525
Brendon Benedict
1906356595
Muhammad Dimas Haris Dafa R.
1906379900
Muhammad Rizky
1906356733
Robertus Rufus
1906301564
Rifqi Fauzan
1906356720
MODUL 1: PENGOLAHAN MINERAL
○ Tujuan Praktikum
○ Mempelajari macam macam proses pengolahan mineral sebagai tahap awal proses
ekstraksi logam.
○ Memahami prinsip penggunaan proses pengolahan mineral, khususnya froth flotation.
○ Dasar Teori
Pengolahan mineral merupakan suatu proses pemisahan mineral berharga dengan
mineral tak berharga (pengotor) secara mekanis, dengan tujuan untuk menghasilkan
produk yang memiliki banyak mineral berharga (konsentrat) dan tailing (produk yang
terdiri dari mineral tak berharga/pengotor) yang sedikit sehingga memiliki efisiensi tinggi.
Pengertian tersebut dapat lebih dipahami dengan melihat gambar di bawah.
■ Flowsheet Mineral processing (Front-end dan Back-end operation)
Gambar 1.1. Flowsheet Proses Pengolahan mineral
●Front-end dan Back-end operation
Proses pengolahan mineral ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis
operasi yaitu front-end dan back-end dimana proses front-end berfungsi untuk
mengurangi ukuran produk sehingga dapat diolah ke tahap selanjutnya yang
meliputi crushing, screening, grinding, klasifikasi.
Sementara, pada sisi lain back-end operation bertujuan untuk
memisahkan partikel mineral yang sudah dihaluskan menjadi unsur berharga
(konsentrat) dan juga waste / tailing. Operasi ini meliputi separasi, dewatering,
dan tailing handling apabila terdapat tailing pada proses tersebut.
■ Kominusi
Pada dasarnya, pengolahan mineral diawali dengan proses kominusi. Kominusi
merupakan proses pengecilan ukuran bijih atau mineral hasil proses tambang dari
ukuran lebih dari 1 meter menjadi bijih atau mineral berukuran ≤ 100 mikron. Pada
umumnya bijih mineral atau bahan galian dari tambang masih berukuran cukup
besar, sehingga tidak mungkin dapat secara langsung digunakan atau diolah lebih
lanjut. Bijih atau mineral dalam ukuran besar biasanya berkadar sangat rendah dan
terikat dengan mineral pengotornya. Liberasi mineral berharga masih rendah pada
ukuran bijih yang besar. Oleh karena itu untuk dapat diolah dan ditingkatkan kadar
dari mineral tertentu harus melalui proses kominusi terlebih dahulu. Pada
prinsipnya tujuan operasi pengecilan ukuran bijih, mineral atau bahan galian
adalah:
● Membebaskan ikatan mineral berharga dari gangue-nya.
● Menyiapkan ukuran umpan yang sesuai dengan ukuran operasi konsentrasi
atau ukuran pemisahan.
● Mengekspos permukaan mineral berharga, untuk proses hidrometalurgi tidak
perlu benar-benar bebas dari gangue.
● Memenuhi keinginan konsumen atau tahapan berikutnya.
●Analisis Ukuran Partikel
○ Tujuan
Ukuran partikel perlu diukur agar dapat menciptakan produk dengan
kualitas yang lebih baik serta meningkatkan pemahaman mengenai produk
karena karakteristik partikel akan mempengaruhi karakteristik produk
secara keseluruhan. Partikel di dalam proses pengolahan mineral tidak
pernah berukuran tunggal melainkan selalu mengandung banyak ukuran.
Partikel juga memiliki beragam bentuk yang menjadikan karakterisasi
jumlah dan ukuran menjadi sangat sulit. Kecuali partikel berukuran kubus
atau lingkaran, penentuan ukuran partikel bukanlah proses yang absolut.
Gambar 1.2. Ukuran Partikel
Pada partikel (a) dan (b), ukuran dapat dideskripsikan secara pasti
dengan rumus diameter lingkaran ataupun panjang sisi kubus, namun
dimensi pada partikel (c) sangat susah diukur karena dimensinya yang tidak
beraturan. Untuk mempermudah proses pengukuran, partikel sering
dianggap sebagai partikel bulat yang memiliki jari-jari setara dengan jarak
partikel aslinya.
○ Metode (Prinsip serta Limitasi)
1. Image Analysis / Microscopy
Metode analisis ini mampu menganalisis partikel individual dan
dianggap mampu menghasilkan pengukuran partikel yang absolut.
Metode ini juga mampu memisahkan agregat dengan partikel tunggal.
Jika dipasangkan dengan analysis komputer, metode ini mampu
menghasilkan data distribusi. Limitasi dari metode ini ialah pada
Optical Microscopy, depth of focus hanya terbatas pada 10 mikrometer
pada perbesaran 100x dan hanya 0.5 mikrometer pada perbesaran
1000x serta pada partikel kecil, efek difraksi cahaya mampu
menyebabkan keburaman pada bagian tepi partikel sehingga semakin
sulit untuk menentukan ukuran partikel jika dibawah 3 mikrometer.
Namun dapat diatasi dengan menggunakan mikroskop elektron yang
menganalisa hingga ukuran 0.001 mikrometer. Namun, metode ini
hanya bisa dilakukan pada sampel laboratorium yang jumlahnya kecil
dan umumnya sulit untuk menjadikannya sebagai data yang
representatif. Metode ini juga memerlukan waktu yang banyak dan
hanya bisa mengolah partikel dalam jumlah kecil serta tidak mampu
memberikan informasi 3 dimensi dari sampel.
2. Sieve Analysis
Analisis ini dilakukan dengan serangkaian saringan dimana
saringan dibawahnya akan memiliki bukaan yang lebih kecil dibanding
saringan diatasnya. Saringan atau ayakan dapat dibedakan dengan
ukuran bukaan yaitu mesh size atau sieve number. Dengan metode
analisis ini kita dapat mengetahui distribusi ukuran partikel dari
menganalisa berat material yang tersisa pada masing masing tahap
ayakan. Limitasi dari metode ini adalah tidak mampu memberikan
ukuran absolut dari material yang diukur.
3. Sedimentation Analysis
Analisis ini umumnya digunakan pada fine powder dimana
ukuran partikel dapat ditentukan dengan memeriksa sedimentasi dari
suspensi yang terbentuk. Ada 2 kategori analisis sedimentasi, yaitu
incremental dimana perubahan konsentrasi atau berat jenis suspensi
pada kedalaman tertentu akan diukur dan cumulative dimana laju
powder turun ke dasar suspensi akan diukur. Metode ini memiliki
beberapa
limitasi
seperti
membutuhkan
banyak
air
untuk
mengendapkan partikel dan perlu waktu yang lebih lama jika ukuran
partikel sangat halus. Walaupun metode ini membutuhkan peralatan
yang sederhana serta dapat diaplikasikan pada berbagai macam ukuran
dan memberikan hasil yang akurat, metode ini juga membutuhkan
kontrol temperatur dan hanya bisa dilakukan pada material yang tidak
larut di dalam air.
○ Degree of Liberation
Derajat liberasi merupakan perbandingan berat antara jumlah mineral
yang terlibrasi sempurna dengan jumlah mineral yang terlibrasi sempurna
dan mineral terikat atau perbandingan volume butir yang terbebas
sempurna dengan jumlah volume bijih dalam satu fraksi yang dinyatakan
dengan persen (%).
Secara umum, derajat liberasi adalah suatu proses pengolahan bahan galian
mineral hasil penambangan untuk memisahkan mineral berharga dari
mineral pengotornya yang dinilai kurang berharga yang terdapat dalam
gangue mineral. Proses pengolahan berlangsung secara mekanis tanpa
merubah sifat-sifat kimia dan fisik dari mineral-mineral tersebut atau hanya
sebagian dari sifat fisiknya saja yang berubah. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara:
1. Memperkecil ukuran bahan atau mineral-mineral tersebut sehingga
terjadi liberasi sempurna dari partikel-partikel yang tidak sejenis antar
satu sama lain.
2. Memisahkan partikel-partikel yang tidak sama komposisi kimianya
atau berbeda sifat fisiknya. Pemisahan bahan galian ini harus sesuai
dengan prosedur dalam artian harus menggunakan alat-alat pemisah
yang sesuai pula dengan kondisi fisik maupun kimia bahan galian
tersebut. Tujuan dari hal ini adalah agar konsentrat yang ingin
dipisahkan dari tailing bahan galian tersebut bisa dipisah secara
sempurna dan mengoptimalkan proses pemisahan.
Besarnya nilai derajat liberasi (%) tiap suatu bahan galian dapat ditentukan
oleh jumlah butir bahan galian tersebut serta berat jenis dan volume suatu
bahan galian, akan tetapi berat jenis dan volume suatu bahan galian tidak
terlalu berpengaruh karena dalam proses pengaliannya akan dihapus atau
dihilangkan.
Nilai derajat liberasi suatu bahan galian berbanding lurus dengan nilai
bahan galian yang bebas dan berbanding terbalik dengan bahan galian yang
butirnya terikat.
Besarnya kadar suatu bahan galian dapat ditentukan oleh berat bahan galian
itu sendiri dan juga berat bahan galian lainnya. Berat bahan galian tersebut
diperoleh dari proses pengalian jumlah butir dan berat jenis suatu bahan
galian.
Rumus untuk menentukan derajat liberasi adalah:
%F = 100% (m / (m + n))
Dengan catatan:
%F
= Derajat liberasi
m
= Partikel bebas
n
= Partikel terikat
●Crushing
Crushing adalah suatu proses yang bertujuan untuk meliberalisasi
mineral yang diinginkan agar terpisah dengan mineral pengotor yang lain.
Crushing biasanya digunakan untuk pengecilann ukuran sampai ukuran bijih
kurang lebih 20 mm. Secara garis besar proses kominusi dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan yaitu:
1. Primary Crushing
Biasanya dilakukan pada bongkahan dengan ukuran 12-60 inch untuk
selanjutnya direduksi menjadi ukuran 4-6 inch. Alat yang digunakan pada
primary crushing ini diantaranya:
a) Jaw Crusher
Crusher jenis ini terdiri dari dua buah jaw,di mana satu batang
bergerak (moving jaw) ke arah jaw yang lain (fixed jaw). Cara kerjanya
adalah dengan melakukan peremukan, batuan yang mengandung
mineral dijepit di antara dua buah rahang yang terdiri dari fixed jaw dan
swing jaw, lalu dihancurkan dengan gaya tekan remuk.
Gambar 1.3. Jaw Crusher
b) Gyratory Crusher
Alat ini digunakan untuk memecah bongkahan batuan besar
maupun kecil. Kapasitas alat ini lebih besar dibandingkan jaw crusher.
Mesin ini memiliki rahang bundar (circular jaw). Sebuah crushing head
yang berbentuk kerucut berputar di dalam sebuah funnel shaped casing
yang membuka ke atas.
Gambar 1.4. Gyratory Crusher
2. Secondary Crushing
Pada tahap kedua, ukuran bijih direduksi menjadi sekitar 20 cm sampai
5 cm. Secondary crushing dalam prosesnya menggunakan alat peremuk yang
bernama Cone Crusher.
3. Tertiary Crushing
Merupakan tahap lanjut dari secondary crushing, alat yang digunakan
yaitu cone crusher. Umpan yang digunakan biasanya adalah material yang tidak
lolos ayak. Pada tertiary crushing bijih dihaluskan dari sekitar 5 cm menjadi 1
cm. Pertimbangan pemilihan alat pereduksi ukuran didasarkan pada faktorfaktor tersebut:
● Ukuran umpan
● Kekerasan material
● Sifat material
● Kapasitas
● Keseragaman produk
● Kemampuan wet grinding
●Grinding
Proses pengecilan ukuran yang menggunakan prinsip beban gerus.
Proses grinding dapat dilakukan menggunakan Ball Mill dan Rod Mill.
● Ball Mill
Gambar 1.5. Ball Mill
Dalam kasus ball mill yang dioperasikan secara kontinyu, material yang
akan digrind diumpankan dari kiri melalui kerucut bersudut 60° dan produk
dikeluarkan melalui kerucut bersudut 30° ke kanan. Saat cangkang/shell
berputar, bola diangkat ke atas di sisi cangkang/shell yang naik dan kemudian
turun ke bawah (atau jatuh ke feed), dari dekat bagian atas cangkang/shell.
Dengan demikian, partikel padat di antara bola dan tanah akan berkurang
ukurannya akibat tumbukan.
● Rod Mill
Gambar 1.6. Rod Mill
Rod mill umumnya menggrind bijih dengan tekanan dan kekuatan
grinding dari grinding rod. Ketika batang mengenai bijih, pertama-tama
mengenai bijih yang lebih kasar, dan kemudian menghancurkan bahan yang
berukuran lebih kecil diantara batang dan batang. Saat batang bersentuhan
dengan dinding mill, partikel bijih berbutir kasar bercampur dengannya, yang
bertindak sebagai saringan/sieve batang. Bahan berbutir halus dapat melewati
celah diantara batang dan batang, yang bermanfaat bagi penjepit/clamp.
Material berbutir kasar juga memungkinkan partikel bijih berbutir kasar
terkonsentrasi di tempat tumbukan media penggilingan.Oleh karena itu, rod mill
memiliki fungsi grinding selektif, dan produk memiliki ukuran partikel yang
seragam dan lebih sedikit penghancuran.
Umumnya proses grinding dapat dibedakan menjadi:
● Penggerusan kasar (coarse grinding) mengecilkan ukuran bijih dari
ukuran 1 mm menjadi ukuran 1 μm.
● Penggerusan halus (fine grinding) mengecilkan ukuran bijih dari ukuran
1 μm menjadi ukuran 300 μm .
■ Klasifikasi
Klasifikasi merupakan metode yang digunakan untuk melakukan pemisahan
pada campuran mineral menjadi dua buah produk berdasarkan kecepatan jatuh
partikel mineral ke dalam medium fluida (Hiskanen,1993). Fluida yang dapat
digunakan adalah air karena efektif untuk digunakan bagi pemisahan partikel yang
terlalu halus. Proses ini dilakukan pada bijih yang telah memiliki ukuran yang
memeruhi persyaratan yang diinginkan. Prinsip dari klasifikasi adalah dimana saat
pertikel solid dijatuhkan secara bebas maka akan jatuh bebas di dalam ruang vakum
dan akan meningkat kecepatannya dengan percepatan konstan sehingga tidak
bergantung pada ukuran dan densitasnya. Produk dari proses klasifikasi akan
terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
● Produk Overflow yaitu ketika terminal velocity dari partikel lebih kecil
daripada kecepatan fluida.
● Produk Underflow yaitu ketika terminal velocity dari partikel lebih besar
daripada kecepatan fluida.
Medium yang paling umum digunakan dalam metode ini adalah fluida
dikarenakan dapat memisahkan partikel halus ecara efektif. Penggunaan medium
kental seperti air dan udara akan meningkatkan nilai hambatannya seiring kenaikan
kecepatannya.
●Fenomena pengendapan partikel
Pada proses klasifikasi akan terjadi pengendapan partikel yang terbagi menjadi
2 fenomena yaitu :
● Free Settling merupakan fenomena pengendapan partikel dimana volume
fluida lebih banyak dari volume total partikel. Persamaan yang dapat digunakan
adalah :
Gambar 1.7. Mekanisme Free Settling
● Hindered Settling merupakan fenomena pengendapan partikel dimana volume
fluida lebih sedikit dari volume total partikel. Pada proses ini jika semakin
banyak partikel solid di dalam pulp, maka akan berpengaruh pada free settling,
kemudian sistem akan berubah menjadi medium dengan densitas baru yakni
densitas dari pulp, bukan densitas medium awal seperti air, sehingga pada sistem
ini turbulent resistance lebih dominan.
●Gaya yang terjadi pada proses klasifikasi
Pada proses klasifikasi dilakukan permisahan berdasarkan 3 gaya yang
bekerja pada saat partikel jatuh ke dalam media fluida yaitu :
a. Drag Force
Drag force didefinisikan sebagai hambatan udara atau hambatan fluida,
dimana gaya ini menghambat laju dari udara atau fluida akibat bergesekan
dengan sebuah permukaan partikel padat. Drag force yang arahnya berlawanan
dengan arah partikel ini akan menyebabkan gerakan partikel menjadi lambat
karena semakin kecilnya gaya total ke bawah sehingga kecepatan pengendapan
semakin turun.
b. Bouyant Force
Bouyant Force adalah gaya angkat ke atas yang diberikan fluida untuk
suatu pertikel mineral dengan menggunakan prinsip Archimedes dimana gaya
apung memiliki nilai yang sama dengan berat fluida yang dipindahkan. Gaya
angkat ke atas ini akan melawan berat benda yang direndam.
c. Gravitation Force
Gravitation
force
merupakan
gaya
mempengaruhi
kecepatan
pengendapan suatu partikel di dalam suatu fluida statis yang dapat
menyebabkan
pengklasifikasian
yang
dilakukan
berdasarkan
proses
pemindahan partikel terhadap gerakan partikel zat padat melalui fluida karena
adanya gaya ini.
■ Separasi
Separasi merupakan proses terakhir dari pengolahan mineral. Separasi
merupakan metode pemisahan antara mineral berharga dengan pengotornya
berdasarkan perbedaan sifat fisik dan kimia dari mineral-mineral dalam bijih
tersebut. Beberapa teknik separasi yang digunakan antara lain.
●Gravity separation
○ Prinsip proses
Separasi gravitasi adalah pemisahan mineral berdasarkan berat jenisnya
dalam suatu medium fluida dengan menggunakan perbedaan kecepatan
pengendapan.
Berdasarkan gerakan fluida, ada tiga cara pemisahan secara gravitasi :
a. Fluida tenang, contoh : DMS (Dense Medium Separation).
b. Gerak fluida horizontal, contoh : sluice box, meja goyang, spiral
concentrator.
c. Aliran fluida vertikal, contoh : jigging
Konsentrasi gravitasi pada mineral-mineral yang mempunyai perbedaan
massa jenis yang mencolok sehingga terjadi:
● Kelompok mineral dengan massa jenis tinggi
● Kelompok mineral dengan massa jenis rendah
dan salah satu dari kelompok mineral tersebut akan menjadi konsentrat.
○ Kriteria konsentrasi pada proses
Estimasi/perkiraan apakah konsentrasi gravitasi dapat diterapkan untuk
memisahkan mineral-mineral yang mempunyai perbedaan berat jenis serta
selang ukuran yang bisa dipakai dapat diperkirakan dari kriteria konsentrasi
dari Taggart.
Kriteria konsentrasi dari Taggart dirumuskan secara empirik sebagai
berikut :
Di mana:
𝜌B
= berat jenis mineral berat
𝜌R
= berat jenis mineral ringan
𝜌’
= berat jenis media
Kriteria Konsentrasi (KK) :
● Bila KK > 2,5 atau KK < -2,5 :
Pemisahan mudah dilkukan pada berbagai ukuran sampai ukuran yang
halus sekalipun (sampai 200 mesh).
● Bila KK = 2,5 - 1,75 :
Pemisahan berlangsung efektif sampai ukuran 100 mesh.
● Bila KK = 1,75 - 1,50 :
Pemisahan masih memungkinkan sampai ukuran 10 mesh, tetapi sukar
dilakukan.
● Bila KK = 1,50 - 1,25 :
Pemisahan masih memungkinkan sampai ukuran 1/4 inchi, tetapi sukar
dilakukan.
● Bila KK < 1,25 :
Proses relatif tidak mungkin dilakukan, tetapi masih bisa mungkin
dilakukan dengan modifikasi perbedaan gaya berat.
●Magnetic Separation
○ Prinsip proses
Magnetic separation adalah proses di mana bahan magnetis rentan
diekstraksi dari campuran menggunakan gaya magnet. Teknik Pemisahan
ini dapat digunakan dalam pertambangan besi karena adanya gaya tarik
pada magnet. Cara ini dipakai karena di alam ada material yang bila
diletakkan di medan magnet material tersebut akan tertarik (mineral
magnetik) dan ada pula yang tidak tertarik oleh magnet (mineral nonmagnetik). Syarat terjadinya pemisahan adalah adanya medan magnet yang
ditimbulkan oleh magnet permanen atau elektromagnet. Bila flux density
pada medan magnet sama maka disebut medan magnet homogen. Dan jika
flux density pada medan magnet tidak sama disebut medan magnet nonhomogen. Apabila suatu benda diletakkan dalam medan magnet, induksi
magnet pada objek adalah:
B=H+μ
Di mana:
B = induksi magnet pada objek
H = medan induksi yang disebabkan oleh medan magnet
μ = intensitas kekuatan magnet dari material objek
○ Klasifikasi proses
Gambar 1.8. Klasifikasi Proses
○ Sifat kemagnetan mineral
○ Ferromagnetic, yaitu bahan galian (mineral) yang sangat kuat untuk
ditarik oleh medan magnet. Misalnya magnetit (Fe3O4).
○ Paramagnetic, yaitu bahan galian yang dapat tertarik oleh medan
magnet. Contohnya hematit (Fe2O3), ilmenit (FeTiO3) dan pirhotit
(FeS).
○ Diamagnetic, yaitu bahan galian yang tak tertarik oleh medan magnet.
Misalnya : kuarsa (SiO2) dan feldspar [(Na, K, Al) Si3O8].
●Electrostatic Separation
○ Prinsip proses
Electrostatic separation adalah suatu proses pemisahan material
berdasarkan pada perbedaan tingkat konduktivitas relatif yang dimiliki
material tersebut. Dalam hal ini perbedaan sifat fisik yang dimaksud adalah
sifat kelistrikan atau yang biasa disebut konduktivitas yang dimiliki oleh
material itu sendiri. (Hamerski et al., 2018)
Material yang memiliki sifat konduktivitas tinggi akan tertarik oleh
tegangan tinggi sedangkan untuk material yang konduktivitasnya rendah
akan jatuh sesuai dengan gravitasi. Penarikan material mendapat supply
arus listrik searah dari transformator rectifier yang berfungsi untuk
mengubah arus listrik AC menjadi DC tegangan tinggi. (Hamerski et al.,
2018)
Prinsip kerja dari electrostatic separator adalah memberi muatan secara
elektris pada material-material kecil.
Gambar 1.9. Prinsip Pemisah Elektrostatik
1. Lifting effect (Efek pengangkat)
Lifting Effect, merupakan efek yang mengakibatkan terlemparnya suatu
partikel mineral yang bersifat konduktif dari rotor. Partikel yang konduktif
ini meneruskan muatan yang dialiri rotor, sehingga terjadi perbedaan
muatan antara partikel dengan elektroda. Perbedaan muatan ini
menyebabkan partikel ini tertarik kepada elektroda. Sementara muatan
partikel ini pun sama dengan muatan pada rotor. Sehingga terjadi
pelemparan partikel oleh rotor menuju elektroda. (Flynn, Gupta, & Hrach,
2017)
2. Pinning Effect (Efek menjepit)
Pinning effect, merupakan efek yang mengakibatkan menempelnya
partikel mineral yang non-konduktif. Partikel mineral yang non-konduktif
ini tidak melanjutkan muatan yang dialirkan oleh rotor, akibatnya partikel
mineral ini justru menerima tembakan elektron dari elektroda. Sehingga
muatan pada partikel ini menjadi berbeda dari muatan yang ada pada rotor
dan tidak terlempar. (Flynn et al., 2017)
○ Jenis konduktivitas mineral
Material yang memiliki sifat konduktivitas tinggi akan tertarik oleh
tegangan tinggi sedangkan untuk material yang konduktivitasnya rendah
akan jatuh sesuai dengan gravitasi.
●Froth Flotation
○ Definisi dan prinsip proses
Froth flotation (flotasi buih) adalah proses pemisahan mineral berharga
dari campuran dengan menciptakan buih yang memisahkan mineral. Proses
flotasi buih dimulai dengan proses kominusi dimana luas permukaan bijih
bertambah. Pertama-tama, bijih dihancurkan menjadi partikel berukuran
bubuk yang sangat halus dan dicampur dengan air. Campuran yang
diperoleh disebut slurry. Sebuah kolektor yang bertindak sebagai bahan
kimia surfaktan ditambahkan ke dalam slurry. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan sifat hidrofobik mineral. Slurry kini telah diubah menjadi
pulp. Pulp ini ditambahkan ke wadah berisi air dan kemudian jet udara
dipaksa ke dalamnya untuk membuat gelembung. Mineral yang dibutuhkan
ditolak oleh air dan dengan demikian melekat pada gelembung udara. Saat
gelembung udara ini naik ke permukaan dengan partikel mineral yang
menempel padanya, gelembung udara ini disebut buih (froth). Buih ini
dipisahkan dan selanjutnya diambil untuk proses pemurnian dan ekstraksi
selanjutnya.
Ketika berurusan dengan proses flotasi buih, perlu dicatat bahwa proses
ini tidak hanya bergantung pada kepadatan material. Selain itu, proses
flotasi buih juga bergantung pada sifat hidrofobiknya. Dengan
menggunakan teknik ini, partikel yang diinginkan secara fisik dipisahkan
dari fase cair. Hal ini dapat dilakukan terutama karena perbedaan
kemampuan gelembung udara untuk secara selektif melekat pada
permukaan partikel yang didasarkan pada sifat hidrofobiknya. Partikel
hidrofobik yang mengandung gelembung udara yang melekat padanya
dibawa ke permukaan. Hal ini menghasilkan pembentukan buih yang bisa
dihilangkan. Bahan hidrofilik biasanya tetap berada dalam fase cair.
○ Klasifikasi proses berdasarkan sifat permukaan
Proses flotasi buih juga bergantung pada sifat hidrofobiknya. Dengan
menggunakan teknik ini, partikel yang diinginkan secara fisik dipisahkan
dari fase cair. Hal ini dapat dilakukan terutama karena perbedaan
kemampuan gelembung udara untuk secara selektif melekat pada
permukaan partikel yang didasarkan pada sifat hidrofobiknya. Partikel
hidrofobik yang mengandung gelembung udara yang melekat padanya
dibawa ke permukaan. Hal ini menghasilkan pembentukan buih yang bisa
dihilangkan. Bahan hidrofilik biasanya tetap berada dalam fase cair.
○ Mekanisme proses pemisahan mineral berharga
Gambar 1.10. Mekanisme Proses Pemisahan Mineral Berharga
Pertama-tama, bijih dihancurkan menjadi partikel berukuran bubuk
yang sangat halus dan dicampur dengan air. Campuran yang diperoleh
disebut slurry. Sebuah kolektor yang bertindak sebagai bahan kimia
surfaktan ditambahkan ke dalam slurry. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan sifat hidrofobik mineral. Slurry kini telah diubah menjadi
pulp. Pulp ini ditambahkan ke wadah berisi air dan kemudian jet udara
dipaksa ke dalamnya untuk membuat gelembung. Mineral yang dibutuhkan
ditolak oleh air dan dengan demikian melekat pada gelembung udara. Saat
gelembung udara ini naik ke permukaan dengan partikel mineral yang
menempel padanya, gelembung udara ini disebut buih (froth). Buih ini
dipisahkan dan selanjutnya diambil untuk proses pemurnian dan ekstraksi
selanjutnya.
○ Syarat proses pengikatan mineral berharga oleh gelembung udara
Partikel harus berukuran kecil dan memiliki pH yang rendah agar dapat
dengan mudah terikat oleh gelembung udara.
○ Faktor yang mempengaruhi proses
1. Ukuran partikel
Ukuran partikel yang besar membuat partikel tersebut cenderung untuk
mengendap, sehingga susah untuk terflotasi.
2. pH larutan
Partikel cenderung mudah mengendap pada pH yang tinggi, sehingga
partikel lebih sulit terflotasi.
3. Surfaktan
Fungsi surfaktan adalah kolektor yang merupakan reagen yang memiliki
gugus polar dan gugus nonpolar sekaligus. Kolektor akan mengubah sifat
partikel hidrofilik menjadi hidrofobik.
4. Bahan Kimia
Bahan Kimia lainnya misalnya lainnya misalnya koagulan koagulan
Penambahan koagulan dapat mengakibatkan ukuran partikel menjadi lebih
kecil;
5. Laju Udara
Laju udara berfungsi sebagai pengikat partikel yang memiliki sifat
permukaan hidrofobik, persen padatan. Untuk flotasi pada partikel kasar,
dapat dilakukan dengan persen padatan yang besar demikian juga
sebaliknya. Besar laju pengumpanan berpengaruh terhadap waktu tinggal.
6. Ukuran Gelembung
Gelembung Udara; Salah satu faktor yang mempengaruhi penolehan
hasil proses flotasi adalah ukuran gelembung udara. Ukuran gelembung
udara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
● Konsentrasi pembuih
Secara teori semakin tinggi konsentrasi frother yang ditambahkan ke dalam
slurry, maka akan semakin tinggi pula kemampuan antarmuka udara-air
untuk menurunkan tegangan permukaan permukaan air. Hal ini dapat
mencegah penggabungan gelembung udara dan menjaga agar gelembung
udara dapat tersebar dalam ukuran kecil.
● Kecepatan impeller
Deformasi ukuran gelembung udara meningkat ketika slurry bergerak
secara turbulen. Semakin tinggi kecepatan impeller maka semakin tinggi
pula kecepatan turbulen suspensi yang berada di dekat gelembung udara,
sehingga dapat dihasilkan gelembung udara yang berukuran kecil.
● Kecepatan aliran udara
Secara teori, ukuran gelembung udara meningkat pada saat kecepatan
aliran udara yang masuk ke dalam sel flotasi ditingkatkan.
7. Ketebalan Lapisan Ketebalan Lapisan Buih.
8. Penambahan Reagen Kimia
Dengan adanya perbedaan sifat permukaan hidrofobik dan
hidrofilik perlu adanya suatu reagen kimia untuk mengubah permukaan
mineral. Reagen kimia yang digunakan sebagai bahan bantu flotasi
karena mempengaruhi sifat permukaan.
9. Kolektor yang dapat:
- Menurunkan tegangan permukaan antara padat dan cair, atau
- Meningkatkan tegangan antara gas dan padat
Kedua hal diatas dapat meningkatkan sudut kontak α. Senyawa kimia
yang tergolong collectors adalah sabun, asam-asam lemak dan amina.
10. Activator merupakan kelompok senyawa kimia yang meningkatkan
pengaruh collector.
11. Depressant mencegah flotasi dari fase-fase tertentu tanpa mencegah fase
yang diinginkan untuk terflotasi.
12. Promoter merupakan gabungan antara activator dan depressant.
○ Reagen kimia (collector, frother, dan jenis-jenis modifier)
1. Collector
Collector adalah senyawa yang dapat menyebabkan permukaan
mineral menjadi hidrofobik. Collector biasanya merupakan mineral
organik heteropolar, mengandung gugus polar dan non-polar. Gugus
nonpolar cenderung bersifat hidrofobik dan akan menempel pada
gelembung udara, sedangkan gugus polar akan menempel pada partikel
solid tertentu sehingga partikel solid tersebut ikut terapung bersama
gelembung udara.
2. Frother
Frother adalah senyawa yang dapat menurunkan tegangan
permukaan gelembung, sehingga tidak mudah pecah. Frother yang
efektif biasanya mengandung setidaknya 5 atom karbon dalam rantai
utamanya. Ketika permukaan partikel telah menjadi hidrofobik,
partikel tersebut harus mampu menempel pada gelembung udara yang
disuntikkan (aerasi). Namun muncul masalah ketika gelembung–
gelembung tersebut tidak stabil dan mudah pecah akibat tumbukan
dengan partikel padat dinding sel dalam gelembung-gelembung lain.
Oleh karena itu, perlu adanya penambahan material ke dalam pulp yang
dapat menstabilkan gelembung udara. Material yang ditambahkan
tersebut dikenal dengan frother.
3. Modifier
Modifier adalah beberapa jenis reagen yang ditambahkan untuk
mengoptimalkan proses flotasi. Modifier terdiri dari beberapa jenis
reagen tertentu, yaitu:
a) Aktivator. Aktivator adalah reagen yang ditambahkan untuk
menambah interaksi antara partikel mineral dengan collector.
b) Dispersan. Dispersan adalah reagen yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penggumpalan antara partikel mineral
sehingga menambah sifat hidrofobik ke partikel mineral lain yang
tidak diinginkan.
c) Depresan. Depresan adalah reagen yang ditambahkan untuk
membentuk lapisan polar yang membungkus partikel mineral
sehingga menambah sifat hidrofobik ke partikel mineral lain yang
tidak diinginkan.
d) pH regulator. pH regulator adalah reagen yang digunakan untuk
mengontrol pH karena sifat hidrofobik akan berlangsung optimal
pada range pH tertentu.
○ Work of adhesion
Usaha adhesi (work of adhesion) dipengaruhi oleh besar sudut kontak.
Besar sudut kontak yang disarankan adalah 60-90 derajat. Rumus usaha
adhesi (Young-Dupré equation) adalah:
○ Parameter keberhasilan proses (% recovery, concentration ratio, dan
enrichment ratio) *sertakan rumus perhitungan dan contoh kasus
a) Concentration ratio
Concentration ratio (rasio konsentrasi) adalah berat feed relatif
terhadap berat konsentrat. Rasio konsentrasi adalah F/C, dimana F
adalah berat total feed dan C adalah berat total konsentrat. Salah satu
batasan dengan perhitungan ini adalah bahwa perhitungan ini
menggunakan bobot umpan (feed) dan konsentrat. Dimulai dengan
persamaan keseimbangan massa, dan definisi rasio konsentrasi:
F = C + T,
Ff = Cc + Tt, Ratio of Concentration = F/C
dimana F, C, dan T masing-masing adalah % berat umpan, konsentrat,
dan tailing; dan f, c, dan t adalah pengujian dari feed, konsentrat, dan
tailing. T perlu menghilangkan dari persamaan-persamaan ini agar F/C
dapat diselesaikan:
Ff = Cc + Tt, and multiplying (F = C + T) by t gives us:
Ft = Ct + Tt, so subtracting this equation from the previous eliminates
T and gives:
F(f-t) = C(c-t), and rearranging produces the equation for the ratio of
concentration:
F/C = (c-t) / (f-t)
b) % Metal Recovery
% Metal recovery (% pemulihan logam) adalah persentase
logam dalam umpan asli yang diperoleh kembali di konsentrat. Hal ini
dapat dihitung dengan menggunakan bobot dan pengujian, dalam
bentuk (Cc)/(Ff)·100. Atau, karena C/F = (f – t)/(c – t), % pemulihan
logam dapat dihitung dari pengujian saja menggunakan 100(c/f)(f –
t)/(c –t).
c) % Metal Loss
% Metal loss (% kehilangan logam) adalah kebalikan dari %
Pemulihan Logam, dan mewakili material yang hilang karena tailing.
% Metal loss dapat dihitung hanya dengan mengurangkan % Pemulihan
Logam dari 100%.
d) % Weight Recovery
% Weight recovery pada dasarnya adalah kebalikan dari rasio
konsentrasi, dengan rumus 100·C/F = 100·(f – t)/(c – t).
e) Enrichment Ratio
Enrichment ratio dihitung langsung dari pengujian sebagai c/f,
bobot tidak terlibat dalam perhitungan.
Contoh kasus:
Problem: A copper ore initially contains 2,09% Cu. After carrying out a froth
flotation separation, the products are as show in Table 1. Using this data,
calculate:
(a) Ratio of concentration
(b) % Metal Recovery
(c) % Metal Loss
(d) % Weight Recovery or % Yield
(e) Enrichment Ratio
Table 1 : Grade/recovery performance of a hypothetical copper ore flotation process
Feed
f = 2.09% Cu
F = 100% Wt
Concentrate
Tailings
c = 20% Cu
t = 0.1% Cu
C = 10% Wt
T = 900% Wt
Product
%Weight
%Cu Assay
Feed
100
2.09
Concentrate
10
20
Tailings
90
0.1
(a) from Table 1, the Ratio of Concentration can be calculated as F/C = 100/10 = 10. If
only assays are available, the ratio of concentration equals (20 - 0.1) / (2.09 - 0.1) = 10.
So, for each tons of feed, the plant would produce 1 ton of concentrate
(b) Using the example data from Table 1, the %Cu recovery calculated from weights and
assays is:
%Cu recovery = [(10 x 20) / (2.09x100)] x 100 = 95.7%
The calculation using assays alone is
%Cu Recovery = 100 (20/2.09) (2.09 - 0.1) / (20 - 0.1) = 95.7%
This means that 95.7% of the copper present in the ore was recovered in the concentrate,
while the rest was lost in the tailings
(c) The %Cu Loss can be calculated by subtracting the %Cu Recover from 100%:
%Cu Loss = 100 - 95.7 = 4.3%
This means that 4.3% of the copper present in the ore was lost in the tailings
(d) The %Weight Recovery is equal to the % Weight of the concentrate in Table 1. It can
also be calculated from the assay values given in the table as follows:
%Weight Recovery = 100 x (2.09 - 0.1) (20 - 0.1) = 10%
(e) The Enrichment Ratio is calculated by dividing the concentrate assay in Table 1 by the
feed assay:
Enrichment Ratio = 20 / 2.09 = 9.57
This tells us that the concentrate has 9.57 times the copper concentration of the feed
○ Referensi
[1] Harjanto, Sri. 2020. Bahan Kuliah Proses Pengolahan Mineral 2020. Departemen
Teknik Metalurgi dan Material FTUI: Depok.
[2] Napier-Munn, T., & Wills, B. A. (2005). Wills’ Mineral Processing Technology. In
Wills’ Mineral Processing Technology.
[3] Ardra.biz. Neraca Bahan Pengolahan Bijih. https://ardra.biz/sainteknologi/mineral/neraca-bahan-pengolahan-bijih /.diakses pada 6 April 2022
[4] Wrobel, S.A., 1970. Economic flotation of minerals. Mining Mag. 122(4), 281 -282.
[5] Klimpel, R., Isherwood, S., 1991. Some industrial implications of changing frother
chemical structure. Int. J. Miner. Process. 33 (1-4), 369 381.
[6]https://www.researchgate.net/publication/337480407_Comminution_in_mineral_proces
sing
[7] https://qdoc.tips/derajat-liberasi-5-pdf-free.html
[8] https://rngr.net/publications/proceedings/1978/PDF.2004-02-18.3357
[9] Burt, R.O., 1984., Gravity Concentration Technology., Elsevier., Amsterdam.
[10] Kelly, E.G & Spottiwood, D.J., 1982., “Introduction to Mineral Process ing”., John
Wiley & Sons, New York.
[11] Priyor, E.J, 1965., “Mineral Processing”., Elsevier, Amsterdam.
[12] http://repositori.unsil.ac.id/4759/5/BAB%20II.pdf
[13] https://www.scribd.com/document/370372694/KELOMPOK-2-FLOTASI
MODUL 2: PIROMETALURGI
●
○ Tujuan Praktikum
1. Mensimulasikan dan mempelajari aspek termokimia pada pidgeon process untuk
ekstraksi magnesium seperti tekanan dan temperatur menggunakan program FactSage
Education.
2. Mensimulasikan dan mempelajari diagram fasa dengan variasi tekanan pada pidgeon
process untuk ekstraksi magnesium menggunakan program FactSage Education.
○ Dasar Teori
Pirometalurgi merupakan salah satu metode metalurgi ekstraksi (proses ekstraksi) yang
menggunakan energi panas atau kalor. Panas yang digunakan pada pirometalurgi berkisar
pada suhu sekitar 500oC hingga 1700oC dimana suhu tersebut akan membuat logam sudah
pada kondisi atau fasa cair. Selain itu, proses pirometalurgi memerlukan bijih yang
memiliki kadar logam yang tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar mengurangi
penggunaan energi panas. Terdapat 4 tahapan pada proses pirometalurgi, yaitu:
■ Tahapan Proses
●Drying
Drying merupakan proses pengeringan dengan suhu diatas titik didih air
yang biasanya menggunakan gas panas hasil pembakaran. Hal ini bertujuan
untuk menghilangkan cairan yang masih tersisa pada material agar material
tidak lembap. Suhu yang digunakan biasanya berkisar 120oC. Pada industriindustri tertentu, proses drying biasanya dilakukan dengan metode rotary
dryer, fluidized bed dryer, dan flash dryer.
●Calcination
Calcination merupakan sebuah proses dekomposisi panas material.
Proses ini melibatkan reaksi kimia yang menggunakan panas atau temperatur
diatas temperatur dekomposisi termal material. Hal ini dilakukan juga dengan
mengurangi tekanan parsial pada temperatur yang sama atau konstan. Proses
kalsinasi ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan senyawa-senyawa
mineral memiliki komposisi yang seragam. Hal tersebut dilakukan dengan cara
menghilangkan senyawa hidroksida dan karbonat dari material. Kemudian,
senyawa tersebut akan diubah menjadi senyawa oksida. Contohnya adalah besi
hidroksida menjadi besi oksida dan uap air. Proses kalsinasi ini biasanya
dilakukan dengan metode rotary kilns, fluidized bed reactors, dan shaft
furnaces.
●Roasting
Roasting merupakan proses pemanggangan (pemanasan) bijih yang
bertujuan untuk mengubah bijih sulfida menjadi oksida. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan udara yang lebih banyak yang telah ditambahkan reagen
kimia kemudian dihembuskan ke bijih. Selain itu, proses ini juga bertujuan
untuk menghilangkan pengotor atau zat organik yang masih menempel
sebelum proses lebih lanjut yaitu peleburan. Metode roasting ini dilakukan
dengan metode hearth, fluid bed, dan sintering
●Smelting (Reduction Smelting, Flash Smelting, Matte Smelting, dan
Converters)
Smelting atau peleburan merupakan proses pemanasan juga pada
temperatur yang sangat tinggi yang dapat membuat material atau logam dapat
meleleh menjadi fasa cair. Proses smelting ini memiliki tujuan untuk
mendapatkan logam murni yang dilakukan dengan memanaskan kokas atau
arang dan ditambahkan zat reduksi untuk menghilangkan oksigen. Pada proses
ini, terjadi pemisahan antara liquid logam (liquid matte) dan liquid
pengotornya yang disebut juga sebagai liquid slag. Penambahan flux dapat
dilakukan pada proses untuk membuat pemisahan logam dan slag lebih efektif.
Terdapat banyak oven dan furnace yang dapat digunakan untuk proses
smelting.
■ Faktor yang mempengaruhi Proses (Reduktor, Temperatur, Reagen, dan Waktu)
●Reduktor
Reduktor merupakan zat yang digunakan pada proses smelting untuk
menghilangkan atau membebaskan oksigen yang kemudian membentuk
karbon dioksida dan menghasilkan logam (yang lebih) murni. Contoh dari
reduktor adalah kokas dan arang (padat), minyak bumi (cair), dan CH4 (gas).
Contoh reaksi prosesnya cukup sederhana yaitu:
NiO + C → Ni + CO
dan
FeO + C → Fe + CO
●Temperatur
Temperatur memberikan pengaruh yang signifikan pada proses reduksi
yang berlangsung. Proses reduksi memerlukan suhu pada temperatur tertentu
agar dapat terjadi. Besarnya temperatur (minimal) yang diperlukan untuk
terjadinya proses reduksi dapat dilihat pada diagram Ellingham. Besarnya
temperatur agar dapat terjadi reaksi dapat ditentukan dengan perpotongan
antara garis oksidasi dan garis pembentukan karbon dioksida. Setelah itu, kita
juga dapat mengetahui apakah reaksi tersebut terjadi secara spontan atau tidak
melalui termodinamika (energi bebas)
●Reagen
Reagen dapat ditambahkan pada proses peleburan untuk meningkatkan
efektivitas dari pemisahan logam cair dan slag serta meningkatkan efisiensi
peleburan tersebut. Reagen itu sendiri akan menurunkan suhu yang dibutuhkan
untuk proses peleburan. Contoh dari reagen adalah dolomite, silica, dan
limestone.
●Waktu
Setiap proses pada pirometalurgi tentu memerlukan waktu tertentu
untuk mencapai hasil yang optimal (waktu optimal). Jika tidak sesuai, hasil
dari logam cair menjadi tidak sempurna atau tidak murni karena masih ada slag
atau pengotor. Waktu optimal ini bergantung juga terhadap faktor-faktor
lainnya dan pada kondisi dari proses peleburan.
○
Ekstraksi Logam Ferrous
Proses pirometalurgi memiliki metode-metode tertentu bergantung pada jenis
logamnya. Secara garis besar, jenis logam terbagi menjadi dua untuk perihal ekstraksi,
yaitu logam ferrous dan logam non-ferrous. Logam ferrous merupakan logam yang
mengandung besi, sedangkan non-ferrous tidak. Jenis bijih besi (ferrous) yang digunakan
sebagai feed atau umpan pada pirometalurgi akan mempengaruhi besi (komposisi besi)
yang dihasilkan. Umumnya, besi yang ditemukan pada alam masih dalam bentuk oksida,
karbonat, atau sulfida. Dengan demikian, diperlukan proses reduksi terlebih dahulu pada
tahap awal. Contoh dari logam ferrous adalah hematit, magnetit, siderit, pirit, dan himosit.
■ Syarat Bijih Besi
Terdapat beberapa persyaratan untuk bijih besi yang akan digunakan untuk
ekstraksi atau melalui proses pirometalurgi, yaitu:
● Mengandung Fe yang tinggi (umumnya berkisar lebih dari 65%)
● Mengandung sedikit pengotor terutama sulfur, seng, kalium, fosfor,
dan timbal
● Mengandung oksida
● Ukuran yang seragam atau distribusi ukuran yang sempit
● Mudah dilakukan reduksi
■ Primary Metallurgy
●Blast Furnace
Gambar 2.1. Blast Furnace
Tanur tinggi atau tanur tiup cocok untuk produksi dalam skala besar
karena kemampuan produksinya mencapai 2 juta ton minimum per tahunnya.
Pada blast furnace ini, reduktor yang digunakan adalah kokas. Kokas itu
sendiri adalah material atau bahan yang dihasilkan dari batubara berkualitas
tinggi yang dipanaskan pada lingkungan kedap udara. Feed pada blast furnace
adalah bijih besi, kokas, limestone (reagen), dan udara. Hasil dari blast furnace
adalah pig iron.
●Basic Oxygen Furnace (BOF)
Gambar 2.2. Basic Oxygen Furnace
Basic Oxygen Furnace (BOF) merupakan tanur yang digunakan untuk
melebur pig iron yang dihasilkan dari blast furnace yang dicampur juga
dengan scrap. BOF bertujuan untuk mereduksi kandungan karbon yang
terdapat pada pig iron dengan menghembuskan oksigen ke permukaan besi
cair dengan kecepatan yang tinggi. Karbon kemudian akan tereduksi oleh
oksigen tersebut dan membentuk karbon monoksida (CO) yang dilepaskan
dalam bentuk gas. Hasil dari BOF ini adalah baja cair dengan kandungan
karbon rendah sekitar 0,04%. Waktu yang diperlukan untuk proses ini adalah
sekitar 20 menit.
●Electric Arc Furnace (EAF)
Gambar 2.3 Electric Arc Furnace
Electric Arc Furnace (EAF) merupakan tanur yang digunakan untuk
memproduksi baja. Prosesnya dilakukan dengan memanaskan besi bekas
(dapat berupa pig iron atau sponge iron juga) menggunakan busur listrik
hingga mencair. EAF umumnya juga dikenal dengan sebutan electric smelting
and melting furnace. Adapun tahapan-tahapan dari EAF, yaitu peleburan,
oksidasi, desfosforisasi, desulfurisasi, dan pemurnian paduan atau refining.
Tahapan tersebut kurang lebih memakan waktu sekitar 90 menit dan akan
menghasilkan kurang lebih 150 ton baja.
■ Secondary Metallurgy
Secondary Metallurgy merupakan proses lanjutan yang dilakukan karena baja
yang telah dimurnikan dari proses sebelumnya masih memiliki kualitas yang
kurang atau tidak diinginkan. Hal ini disebabkan terdapat unsur-unsur yang hilang
atau masih terdapat gas yang terperangkap saat peleburan sehingga menurunkan
kualitas baja. Proses ini mengacu pada produksi dari ingot, recovery logam dari
scrap, dan daur ulang. Proses ini dilakukan di luar tanur dan memiliki ciri jumah
emisi sulfur oksida dan partikulat yang besar. Emisi dari proses ini dapat berupa
uap logam asap, dan debu.
●Ladle Furnace
Gambar 2.4. Ladle Furnace
Ladle Furnace merupakan tanur yang digunakan untuk pemurnian
logam cair dengan melibatkan proses desulfurisasi dan penambahan paduan
lainnya. Penambahan paduan tersebut tentunya akan disertai dengan
pemanasan ulang. Panas yang digunakan dihasilkan dari busur listrik untuk
kontrol temperatur. Paduan yang umumnya digunakan adalah aluminium,
silikon, dan mangan dalam bentuk FeSi dan FeMn. Pada proses ini juga
dilakukan pengadukan elektromagnetik (argon) untuk transfer panas .Selain
itu, proses ini tidak memerlukan degassing dan dapat menghilangkan sebagian
besar inklusi oksida atau sulfida dan alumina.
●Argon Oxygen Decarburization (AOD)
Gambar 2.5. Argon Oxygen Decarburization
Argon Oxygen Decarburization (AOD) merupakan teknologi yang
digunakan untuk pemurnian besi dan nikel. AOD biasanya juga digunakan
untuk membuat stainless steel atau baja yang mengandung krom tinggi. Proses
dari AOD ini dilakukan dengan menginjeksikan gas melalui nozzle dari
samping converter. gas O2 dan argon akan bereaksi dengan cepat yang
nantinya akan mengurangi tekanan parsial CO yang dapat menggeser kurva
kesetimbangan Cr-C. Umumnya 70% pembuatan stainless steel menggunakan
AOD
●Ruhrstahl Heraeus (RH) Vacuum Degassing
Gambar 2.6. Ruhrstahl Heraeus Vacuum Degassing
Ruhrstahl Heraeus Vacuum Degassing (RH) merupakan sebuah reaktor
yang digunakan untuk degassing, deoksidasi, dekarburisasi, dan desulfurisasi
dari baja cair dalam waktu yang singkat. Proses dari RH menggunakan ruang
vakum yang memiliki 2 saluran (snorkels) yang terhubung ke bagian bawah
ruang (ladle). snorkel tersebut dilengkapi dengan pipa bercabang yang
menyalurkan gas argon ke lapisan tahan api melalui pipa tersebut.
●Vacuum Oxygen Decarburization (VOD)
Gambar 2.7. Vacuum Oxygen Decarburization
Vacuum Oxygen Decarburization ini dapat digunakan juga untuk
pembuatan stainless steel (seperti Argon Oxygen Decarburization). Prinsipnya
hampir sama dengan AOD namun pada VOD dilakukan pada lingkungan
vacuum atau hampa udara. VOD terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu Oxygen
Blowing Stage, Degassing Stage, Reduction Stage yang dapat dilihat pada
Gambar 2.7.
○ Ekstraksi Logam Non-Ferrous (Ferronickel, Magnesium, dan Tembaga (Mitsubishi
Process))
■ Ferronickel
Nikel pada alam umumnya masih dalam bentuk mineral laterit yang terbagi
menjadi 2 yaitu nikel saprolite dan nikel limonite. Kandungan nikel saprolite lebih
tinggi dibandingkan dengan limonite. Pada proses pirometalurgi, digunakan
kandungan nikel yang lebih tinggi yaitu nikel saprolite. Produk dari pengolahan
nikel laterit dibagi menjadi 3 yaitu nickel matte, ferro-nickel, dan nickel pig iron
yang dibedakan berdasarkan kandungan nikel di dalamnya. Pengolahan nikel
laterit untuk mendapatkan ferro-nickel adalah sebagai berikut.
●Pengeringan
Setelah dilakukan penambangan pada nikel laterit, bijih nikel tersebut
harus dikeringkan terlebih dahulu hingga memiliki kandungan air berkisar
20%. Proses pengeringan ini dapat dilakukan dengan menggunakan rotary
dryer kiln dengan suhu kurang lebih 800oC dengan bahan bakar cair seperti
minyak bumi ataupun padat (batu bara)
●Reduksi dan Kalsinasi
Proses ini dilakukan dengan reduction kiln dengan menggunakan gas
pereduksi dari pembakaran batu bara atau minyak bumi. Proses ini juga
bertujuan untuk menghilangkan sisa air pada nikel yang telah direduksi. Proses
ini sebenarnya terdiri dari 3 tahapan yaitu proses pengeringan lanjut, reduksi,
dan sulfidasi. pengeringan lanjut dilakukan untuk mendapatkan nikel dengan
kandungan air yang sangat rendah atau di bawah 1%. Setelah itu, dilakukan
reduksi dengan reduktor berupa antransit pada suhu tinggi sekitar 800oC.
Reaksi reduksi yang umumnya terjadi adalah…
NiO + C → Ni + CO
NiO + CO → Ni + CO2
Fe2O3 + 3C → 2Fe + 3CO
Fe2O3 + 3CO → 2Fe + 3CO2
Tahap berikutnya adalah sulfidasi, yaitu menambahkan sulfur cair untuk
menstabilkan nikel hasil reduksi. Reaksi sulfidasi yang umumnya terjadi
adalah…
3Ni + S2 → Ni3S2
2Ni3S2 + S2 → 6NiS
2Fe + S2 → 2FeS
2FeS + S2 → 2FeS2
●Peleburan
Proses peleburan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kadar
ferronickel yang akan dihasilkan. Proses ini dapat dilakukan dengan
menggunakan electrical arc furnace. Proses peleburan nantinya akan
memisahkan bagian yang kaya akan nikel (cair) dan slag menggunakan
perbedaan berat jenis seperti proses peleburan lainnya.
●Pemurnian
Proses lebih lanjut setelah peleburan adalah proses pemurnian. pada
proses ini, akan ditambahkan fluks silika berupa SiO2 berkisar 70% dan udara.
Hal ini bertujuan untuk memisahkan NiS dan FeS yang nantinya FeS akan
terpisah akibat tertiup udara dan diikat oleh fluks membentuk slag.
■ Magnesium
Kemurnian yang diperlukan untuk magnesium komersial menurut
ASTM B92 (2007) untuk grade 9980A, minimum 99,8 wt% Mg, dengan
pengotor seperti Ca, Al, Si, dan Fe masing-masing di bawah 0,05 wt%. Mineral
yang umum digunakan untuk memperoleh magnesium di antaranya dolomit,
magnetit, MgCl2, dan lain-lain. Secara umum ada dua jalur utama untuk
memproduksi magnesium.
I.
Proses Elektrolitik
Proses ini menggunakan umpan berupa magnesium klorida untuk
menghasilkan magnesium cair. Secara umum, proses ini meliputi
persiapan feed, dehidrasi magnesium klorida, dan elektrolisis. Berbagai
langkah proses dalam rute elektrolitik yang dijelaskan secara rinci oleh
Kipourous dan Sadoway (1987). Tahap persiapan feed tergantung pada
bahan baku seperti pada gambar 2.8.
Gambar 2.8. Rute-rute Proses Ekstraksi Magnesium
II.
Proses Pidgeon
Proses ini didasarkan pada reduksi silikotermik dari magnesium oksida.
Kalsinasi dolomit berlangsung dalam rotary-kiln yang beroperasi pada
kisaran suhu 1000 hingga 1300oC. Ferrosilikon dihasilkan dari reaksi
karbotermik kuarsit dalam tanur busur listrik terendam pada suhu
1600oC. Dolomit dan ferrosilikon yang telah dikalsinasi dicampur dan
dibriket sebelum ditempatkan dalam retort stainless steel Ni-Cr
horizontal. Pada suhu sekitar 1160oC dan beroperasi antara 13 hingga
67 Pa, reduksi dolomit terkalsinasi oleh ferrosilikon menghasilkan uap
magnesium. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
2CaOMgO (s) + FeSi (s) → 2Mg (s) + 2Ca2SiO4 (s)
■ Tembaga
Umumnya, tembaga yang ditemukan pada alam adalah ferosulfida dan tembaga
sulfida seperti CuFeS2 atau kalkopirit dan Cu2S atau kalkosit. Bijih tembaga
biasanya hanya mengandung sangat sedikit tembaga atau di bawah 1%. Namun
pada pertambangan tertentu yang jauh di bawah tanah dapat ditemukan bijih
tembaga yang mengandung 1% hingga 3% tembaga dan sisanya adalah pengotor.
Berikut adalah tahapan pemrosesan tembaga:
●Mineral Processing
Bijih tembaga yang akan diolah umumnya yang ditemukan di bawah
tanah atau pada kandungan 1% hingga 3%. Sebelum dilakukan tahapan lebih
lanjut, pengotor atau gangue dari bijih tembaga harus dihilangkan terlebih
dahulu. Proses berikutnya dari mineral processing ini adalah kominusi,
crushing, dan grinding
●Flotasi
Proses flotasi dilakukan untuk mendapatkan konsentrat dengan
kandungan kurang lebih 25% tembaga yang akan dilanjutkan ke tahap
peleburan atau smelting
●Matte Smelting
Proses peleburan tembaga tidak berbeda jauh dengan peleburan lainnya
dimana bertujuan untuk mereduksi dan mengoksidasi untuk menghasilkan
tembaga yang lebih murni. Produk dari peleburan ini adalah sulfida matte cair
dengan kandungan berkisar dari 50% hingga 70% tembaga. sulfida matte
tersebut yang mengandung tembaga dalam bentuk konsentrat diproses lebih
lanjut menggunakan tanur konversi. Hasil yang didapatkan setelah melalui
tanur konversi tersebut berupa tembaga cair namun masih belum murni. Reaksi
yang terjadi selama proses ini adalah
8CuFeS2(s) + 13O2 → 4Cu2S – 2FeS(l) + 6FeO(s) + 10SO2(g)
●Converting
Oksidasi dari lelehan matte dari peleburan dengan udara atau udara yang
diperkaya oksigen pada suatu converter Pierce-Smith yang bertujuan untuk
menghilangkan besi dan sulfur dari matte untuk menghasilkan tembaga cair
mentah (99% Cu). Reaksi yang terjadi pada proses converting adalah sebagai
berikut.
Eliminasi FeS atau pembentukan slag dengan reaksi eksotermik
2FeS + 3O2 + SiO2 → Fe2SiO4 + 2SO2 + panas
Pembentukan tembaga
Cu2S + O2 → 2Cu + SO2 + panas
●Direct-to-Copper Smelting
Kondisi
pengoksidasi
kuat
dalam
tungku
tembaga
langsung
menghasilkan terak dengan 14-24% Cu teroksidasi. Reduksi tembaga ini untuk
menjadi tembaga metalik kembali memerlukan biaya yang tinggi terutama
proses pada konsentrat Fe rendah, yang menghasilkan sedikit terak.
●Refining
Proses pemurnian tembaga, sama seperti proses pemurnian lainnya,
bertujuan untuk mendapatkan tembaga yang memiliki kandungan sangat
tinggi. Proses ini dapat dilakukan dengan metode electrorefining. Tembaga
yang dihasilkan akan mengandung kurang dari 0,002% pengotor yang tidak
diinginkan. Anoda yang digunakan pada proses ini adalah anoda yang
mengandung
tembaga
yang
akan
dimurnikan.
Anoda
berfungsi
menghilangkan sulfur dan oksigen dari tembaga. Elektrolit yang digunakan
adalah larutan air H2SO4 dan CuSO4.
○ Referensi
Habashi, Fathi. (1970). Handbook of Extractive Metallurgy II: Primary Metals.
Mata Kuliah Metalurgi Ekstraksi, Prof. Dr. Ir. Sri Harjanto dan Dr. Ing. Reza M. Ulum, S.T.,
M.T., Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia
Mata Kuliah Pembuatan Besi dan Baja, Prof. Dr.-Ing. Ir. Bambang Suharno dan Dr. Ing.
Reza
M. Ulum, S.T., M.T., Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas
Indonesia
Pyrometallurgy. Chemeurope.com. (2021). Retrieved 16 April 2021, from
https://www.chemeurope.com/en/encyclopedia/Pyrometallurgy.html.
Setiawan, I. (2016). PENGOLAHAN NIKEL LATERIT SECARA PIROMETALURGI:
KINI DAN PENELITIAN KEDEPAN. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2016
MODUL 3: HIDROMETALURGI
○ Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui dan memahami mengenai tahapan-tahapan pada proses
hidrometalurgi, proses leaching dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensinya.
○ Dasar Teori
(Definisi, Prinsip, Keuntungan, dan Kerugian Proses)
Hidrometalurgi adalah sebuah proses mengekstraksi logam dari bijih material dengan
larutan garam dalam air (reagen) yang dilakukan pada temperatur relatif (kamar/tinggi).
Pada dasarnya prinsip yang dikenakan pada proses hidrometalurgi adalah dengan reagen
yang ditambahkan pada logam untuk melarutkan pengotor sehingga terdapat pemisahan
antara pengotor dan logam yang berdampak pada logam yang semakin murni. Pengotor
dan logam murni terpisah dengan adanya bantuan reaksi kimia melalui logam yang
dilarutkan melalui pelarut.
Dalam prosesnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu roasting, leaching serta precipitation.
Tentu hidrometalurgi memiliki beberapa keuntungan dan kerugian dalam prosesnya.
Keuntungannya adalah memiliki tingkat recovery dan purify yang tinggi, konsumsi energi
yang rendah, high selectivity, lebih ramah lingkungan. Sedangkan kerugiannya adalah
penggunaan air yang sangat banyak yang berdampak terjadinya kontaminasi, waktu proses
yang lama, kapasitas produksi kecil dan membutuhkan leaching agentsyang banyak.
■ Tahapan proses
●Roasting
Roasting merupakan proses pemanggangan yang biasanya diaplikasikan
pada mineral sulfida, lalu mengkonversikannya menjadi menjadi oksida guna
meningkatkan kelarutan mineral pada proses leaching serta menghilangkan
impurities (sulfur). Selain itu, Roasting juga dapat mempercepat proses
selective leaching pada logam Nd dan Dy, menurunkan efisiensi proses
leaching besi, dan menurunkan kadar air dalam bijih.
Dalam proses roasting, udara dalam jumlah besar dikontakkan dengan
konsentrat mineral sulfida. Hal ini dilakukan pada suhu tinggi ketika oksigen
bergabung dengan sulfur untuk membentuk sulfur dioksida dan dengan logam
untuk membentuk oksida, sulfat dan sebagainya.
●Leaching
○ Tujuan dan mekanisme proses
Proses leaching atau pelindian merupakan proses ekstraksi
zat dari padatannya menggunakan cairan yang melibatkan difusi
dan berhubungan dengan transfer massa dari suatu fasa ke fasa
yang lain. Proses leaching memanfaatkan perbedaan konsentrasi
antar zat bagian permukaan padatan yang berbatasan dengan
cairan untuk membantu proses difusi. Karakteristik padatan dapat
berubah secara drastis dalam proses leaching, feed yang kasar dan
granular dapat berubah menjadi bentuk pulp.
○ Faktor pemilihan larutan leaching
Dalam proses pelindian larutan yang dipilih sebaiknya
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
● Bersifat stabil dan inert
● Dapat didaur ulang
● Dapat memberikan kemurnian solusi yang tinggi
● Tidak beracun
● Tidak mudah terbakar
● Memiliki nilai ekonomi yang baik.
○ Faktor kinetika leaching (ukuran partikel, konsentrasi larutan
leaching, reagen zat leaching, temperature, dan waktu)
● Ukuran Partikel : Semakin tinggi ukuran partikel maka luas
permukaan kontak yang terkena pelarut semakin kecil.
Dengan begitu, semakin tinggi luas permukaan kontak,
tingkat recovery semakin tinggi.
● Temperatur : Reaksi hanya akan terjadi apabila terdapat
cukup energi aktivasi
● Waktu : Jumlah recovery logam akan berbanding lurus
dengan waktu kontak material dengan agen leaching
● Jenis reagen zat : Untuk jenis reagen yang biasanya
digunakan bergantung dengan kondisi dari plant, tetapi
reagen dengan jenis asam anorganik kerap menghasilkan
recovery yang lebih tinggi
● Konsentrasi larutan leaching : Laju reaksi akan semakin
tinggi seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan
leaching.
○ Jenis reagen (Syarat zat reagen, jenis-jenis zat reagen: asam,
basa, dan garam)
Reagen yang dipilih dari proses leaching perlu memiliki
kemampuan untuk melarutkan kandungan berharga dari mineral
yang ingin diproses, berikut adalah beberapa jenis reagen :
● Asam : Reagen asam sulfat kerap dipakai dalam proses
High pressure acid leaching untuk proses ekstraksi nikel
dan kobalt. Lalu asam jenis lain seperti asam nitrat juga
sering dipakai dalam proses pelindian.
● Basa : Contoh yang kerap digunakan adalah NaOH yang
digunakan pada proses pemurnian bauxite menjadi alumina
dalam proses Bayer
● Garam : Larutan garam dipakai karena dapat membentuk
senyawa kompleks dengan mineral, umumnya dipakai pada
proses ekstraksi logam mulia seperti perak dan emas.
○ Metode leaching (In situ Leaching, Dump Leaching, Heap
Leaching, Agitation Leaching, Hot Digestion Leaching, Pressure
Leaching, dan Bioleaching)
● In situ Leaching
Sesuai dengan namanya In situ Leaching merupakan proses
pelindian pada situs penambangann. Pertimbangan dalam
menggunakan proses ini adalah aplikasi ekstraksi untuk logam
yang memiliki tingkat recovery yang rendah. Dengan metode
transportasi yang tinggi tidak sebanding dengan tingkat recovery
yang dihasilkan logam seperti tembaga.
● Heap Leaching
Metode Heap Leaching dilakukan dengan menimbun bijih
mineral dalam suatu lokasi, alasnya diratakan dengan aspal. Air
atau asam sulfat pekat disiramkan di bagian atas timbunan,
kemudian larutan leaching yang dihasilkan dikumpulkan pada
bagian bernama pond.
● Agitation Leaching
Metode agitation leaching dilakukan dengan mengaduk
larutan baik secara mekanik atau menggunakan tekanan udara.
Umpan yang akan dilindi harus dihaluskan terlebih dahulu
menggunakan proses grinding.
● Hot Digestion
Metode leaching yang dilakukan pada suhu tinggi yang
dilakukan dalam sebuah vessel. Leaching agent yang biasa
digunakan adalah asam atau basa yang memiliki konsentrasi
tinggi. Dalam proses ini juga menggunakan bantuan pengadukan.
Keunggulan metode ini adalah waktu proses yang lebih singkat.
Contoh Hot Digestion Leaching adalah leaching logam
Vanadium.
● Pressure Leaching
Metode ini menggunakan tekanan untuk membantu proses
pelindian. Dalam aplikasinya terdapat 2 metode, yaitu metode
dengan menggunakan oksigen dan dengan menggunakan oksigen.
Tekanan pada metode tanpa oksigen ini berasal dari tekanan uap
dari bijih yang dipanaskan setelah dilarutkan dengan larutan
pelindi pada temperatur di atas titik didih larutan, untuk
mendapatkan laju reaksi tertinggi. Proses ini harus dilakukan
dalam bejana tertutup untuk menahan tekanan uap larutan pada
temperatur tersebut. Contoh, pelindian bauksit dengan NaOH.
Sedangkan pada metode yang menggunakan oksigen tekanan yang
digunakan merupakan tekanan larutan ditambah dengan tekanan
oksigen. Laju leaching diatur oleh tekanan parsial oksigen bukan
tekanan total. Pelindian ini digunakan pada pelindian bijih sulfida.
● Bio Leaching
Bioleaching
adalah
proses
leaching
dengan
bantuan
mikroorganisme sehingga logam berharga dapat dipisahkan dari
mineralnya. Berdasarkan pergerakan dari mikroorganisme saat
proses pelindian berlangsung, terdapat 2 jenis model mekanisme
yaitu kontak langsung dan kontak tidak langsung. Metode pertama
merupakan metode dimana terdapat reaksi antara mikroba tanpa
adanya mediasi. Kontak langsung antara mineral dan bakteri
diperlukan, oleh karena itu bakteri harus melekat pada permukaan
mineral. Contoh bakteri yaitu Thiobacillus. Metode tanpa kontak
merupakan metode dimana pada mekanisme ini, bakteri tidak
perlu bersentuhan langsung dengan mineral karena adanya media
lain sebagai pembawa elektron untuk reaksi. Contohnya adalah
ekstraksi tembaga menggunakan bakteri Leptospirilum. dengan
media Ion besi Ferri (Fe3+) yang berasal dari oksidasi senyawa
Ferrous akibat bakteri tersebut.
●Precipitation dan Isolation
○ Tujuan dan prinsip proses
Precipitation dan isolation merupakan tahapan dimana proses ini
dilakukan setelah proses leaching. Untuk tujuan dari kedua proses
ini adalah sama, yakni untuk mengambil endapan logam berharga
yang didapatkan dari proses leaching. Precipitation merupakan
proses pemisahan endapan (padat) dari larutan hasil leaching.
Metode presipitasi ini digunakan berdasarkan pengaturan pH,
penambahan unsur kimia atau mendinginkan larutan untuk
mendapatkan endapan. Sedangkan isolation merupakan proses
pemisahan larutan berdasarkan larutan hasil leaching.
○ Metode isolation (solvent extraction, reverse osmosis, dan ion
exchange)
■ solvent extraction
solvent extraction merupakan proses pemisahan zat cair hasil
leaching berdasarkan perbedaan kelarutan. Proses ini
bertujuan untuk menggunakan cairan (pelarut) untuk
melarutkan (solvate) molekul target atau kelompok senyawa
(solute). Pelarut kemudian dipisahkan dari zat terlarut untuk
memekatkan zat terlarut.
■ reverse osmosis
Reverse Osmosis merupakan proses penyaringan larutan
dengan tujuan memisahkan ion, molekul yang tidak
diinginkan,
dan
partikel
yang
lebih
besar
dengan
memanfaatkan suatu membran semipermeabel (ukuran pori
0,5-1,5 nm) yang digerakkan oleh tekanan. Membran
semipermeabel ini akan memilah zat pelarutnya (atau bagian
lebih kecil dari larutan) tetapi tidak bisa dilewati zat terlarut
seperti molekul berukuran besar dan ion-ion.
■ ion exchange
Ion Exchange merupakan proses deionisasi air dan
penghilangan kontaminan logam dari air limbah atau aliran
encer. Proses ini kerap digunakan untuk memulihkan logam
berharga, seperti : Au, Ag, Pt, Pd, Rh, Ir, Ru, dan Os. Logam
berharga
akan
dipulihkan
dari
air
limbah
dengan
menggunakan mesin penukar anion. Reaksi ini terjadi dalam
bejana dimana aliran proses atau limbah dilewatkan melalui
resin khusus yang dapat memfasilitasi pertukaran ion.
○ Ekstraksi Logam Nikel
Nikel adalah logam yang melimpah terbanyak ke-24 di kerak bumi, dan ke-5 unsur
berdasarkan beratnya setelah besi, oksigen, magnesium, dan silikon. Pada umumnya
bentuk mineral dari logam nikel hadir dalam bentuk pentlandite yaitu sulfida nikel-besi
dan garnierite yatu silikat nikel-magnesium. Pada Gambar 3.1 adalah bentuk-bentuk
mineral dari nikel.
Gambar 3.1. Macam-macam mineral yang mengandung nikel mineral silikat dan oksida
Khususnya di Indonesia, nikel banyak ditemukan dalam bentuk oksida yang biasa disebut
sebagai nikel lateritik. Bijih ini banyak ditemukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara, Halmahera, dan lain-lain. Nikel lateritik ini umumnya berupa saprolite dan
garnierite yang mana sangat cocok proses secara pyrometallurgy, mulai dari tahapan
drying, calcining, dan smelting untuk didapatkannya produk berupa ferro-nickel atau
nickel sulfide matte. Tetapi, pada proses pyrometallurgy, kandungan Ni pada mineral yang
dapat diproses apabila diatas 2% Ni. Di Indonesia, bijih lateritik memiliki kandungan nikel
yang sangat rendah, yaitu limonite. Teruntuk bijih lateritik kualitas rendah, terdapat
beberapa proses yang dapat dilakukan yaitu Caron Process dan High Pressure Acid Leach
(HPAL) Process.
■ Mekanisme proses
Bijih limonit dengan kandungan nikel yang rendah dan besi yang tinggi umumnya
diolah dengan proses hydrometallurgy, yaitu dengan Caron Process dan High
Pressure Acid Leach (HPAL) Process. Namun, pada bagian ini hanya akan
dijelaskan lebih lanjut pada proses HPAL saja.
Pada proses HPAL, bijih laterit limonit yang diproses harus memiliki kandungan
magnesium yang rendah, biasanya dibatasi < 4% Mg. Kandungan magnesium
yang tinggi akan mengonsumsi asam yang tinggi pada proses pelindian. Selain
itu, pada proses HPAL digunakan tekanan yang tinggi (sekitar 50 bar), temperatur
240-270 oC, dan H2SO4 untuk memisahkan nikel dan kobalt dari bijih laterit
sebagai produk utamanya. Mekanisme prosesnya diawali dengan penambangan
bijih laterit limonit yang kemudian dilakukan proses kominusi dengan metode
crushing dan grinding. Setelah itu, liberasi laterit dicampur dengan air untuk
membentuk slurry dan kemudian dipanaskan. Slurry panas ini dipompa ke dalam
autoklaf dimana asam H2SO4 ditambahkan secara directly leached dengan
pemberian tekanan dan temperatur. Slurry dan H2SO4 akan bereaksi di dalam
autoklaf kurang lebih selama 60 menit. Dimana, nikel dan kobalt akan larut
membentuk liquid solution, sedangkan oksida besi membentuk padatan yang
tidak larut. Lalu, slurry akan dicuci dengan neutralization dan CCD (Counter
Current Decantation). Pada proses neutralization, slurry akan dicampur dengan
limestone membentuk gypsum precipitate. Lalu, campuran ini akan dilakukan
proses pemisahan atau separasi secara dekantasi pada suatu tangki yang besar.
Nikel, kobalt, dan mineral jenis lainnya akan terpisah serta padatan yang
terbentuk akan mengendap di bawah tangki. Larutan nikel kobalt ini telah terpisah
dari pengotor berupa besi, aluminium dan kromium, tetapi masih mengandung
kalsium, magnesium, sodium, dan mangan yang masih larut. Untuk
menghilangkan pengotor ini, larutan akan dipanaskan dan dicampur dengan H2S.
Mineral pengotor ini akan bereaksi membentuk logam sulfida. Kemudian,
dilakukanlah proses purifikasi dan recovery dengan metode elektrometalurgi
(electrorefining dan electrowinning) untuk memisahkan nikel dari kobalt.
Diagram alir proses HPAL dapat dilihat pada Gambar 3.2
■ Diagram Alir
Gambar 3.2. Skematis HPAL Process di Moa Bay
■ Reaksi Kimia
Pada proses HPAL, terdapat beberapa macam reaksi yang terjadi selama
pemrosesan, yaitu:
○ Pelindian dengan H2SO
MeO + 2H2SO4 → Me2+ + 2HSO4- + H2O
○ Pencucian dengan H2S
NiO + 2H+ → Ni2+ + H2O
CoO + 2H+ → Co2+ + H2O
■ Kelebihan dan Kekurangan
Adapun kelebihan dari proses HPAL adalah energi yang dibutuhkan lebih rendah
daripada Caron Process karena umpan yang dimasukkan memiliki kadar
magnesium dan aluminium yang rendah, sehingga penggunaan H2SO4 lebih
sedikit. Lalu, untuk temperatur operasi yang digunakan juga lebih rendah dari
Caron Process serta peralatan proses yang simpel. Disisi lain, kekurangan dari
proses HPAL adalah biaya untuk autoklaf titanium dan perawatannya tinggi serta
prosesnya kompleks dan susah untuk dikontrol.
○ Ekstraksi Logam Emas
Emas sering hadir dalam mineral sulfida seperti pyrite dan arsenopyrite dan dalam
senyawa yang mengandung unsur selenium dan antimony. Emas murni umumnya
terbentuk secara alami, dengan kandungan emas mencapai 90% atau lebih dan sisanya
perak serta tembaga dan besi adalah pengotor pada bijih emas. Proses ekstraksi emas,
pertama dilakukan crushing dan grinding bijih emas terlebih dahulu. Setelah itu, akan
dilakukan leaching dengan sianida seperti NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau HCN. Reaksi yang
terjadi antara bijih emas dengan zat pelindi adalah sebagai berikut
4Au + 8CN- + O2 + H2O → 4Au(CN)2- + 4OHMetode pelindian yang dilakukan yaitu dengan metode Heap Leaching. Setelah dilindi,
selanjutnya akan diabsorpsi oleh karbon aktif, sehingga logam terlarut akan bereaksi
dengan karbon. Produk bereaksi dengan karbon antara lain Au, Ag, Cu, dan organicinorganic foultants. Setelah proses Adsorpsi, selanjutnya masuk ke tahapan elusi, yaitu
pelepasan kembali senyawa memisahkan karbon aktif dengan emas tadi, dimana dibilas
dan dicuci dengan suatu reagen sehingga emas terpisah dari karbon dan karbon dapat
digunakan kembali pada tahapan sebelumnya. Setelah tahapan elusi selesai, lanjut ke
tahapan refining dengan metode electrowinning. Pada proses ini, emas akan terdeposisi
pada batang katoda hasil dari pemurniannya dengan reaksi sebagai berikut.
2Au(CN)2 + 4OH- → 2Au + 4CN- + 2H2O + O2
Adapun skematis proses daripada ekstraksi emas dapat dilihat pada Gambar 3.3
■ Diagram alir
Gambar 3.3. Skematis proses ekstraksi emas
■ Kemampulindian emas
Sianidasi emas adalah teknik pelindian pada emas dengan mengubah menjadi
bentuk kompleks yang larut dalam air yaitu aurosianida [Au(CN)2]. Proses
pelindian ini dilakukan sebagai proses pemisahan antara bijih emas dengan
partikel batu-batuan, lumpur, ataupun tanah sehingga dapat mengekstraksi emas
seutuhnya. Sebelum dilindi, bijih emas dilakukan proses pengecilan ukuran atau
proses kominusi terlebih dahulu. Setelah itu, liberasi bijih emas ditimbun di suatu
lokasi yang kemudian disiram pada bagian atasnya dengan alkali sianida. Lalu,
larutan hasil pelindian akan dikumpulkan pada suatu tempat yang dinamai pond.
Dissolution rate emas bergantung pada konsentrasi zat lindi yang digunakan serta
optimum pH yaitu sekitar 10,5. Agar pelindian berlangsung secara efisien, emas
harus bersih dan berukuran halus. Adanya mineral seperti tembaga yang
teroksidasi menjadi pengganggu bagi proses pelindian ini karena tembaga akan
larut terlebih dahulu dibandingkan emas. Lalu, yang menjadi hal penting lainnya
yaitu pasokan oksigen terlarut yang memadai dalam proses sianidasi emas.
Namun, yang perlu diketahui adalah penggunaan sianidasi sangat mengancam
kesehatan dan lingkungan yang apabila tidak diolah dengan benar karena bersifat
racun. Adapun alternatif lain yang dapat digunakan sebagai substitusi sianida
sebagai zat lindi adalah thiourea dan thiosulfate.
■ Proses activated carbon adsorption (CIC, CIP, CIL) (Kelebihan dan
kekurangan, dan perbedaan masing-masing metode tersebut)
Dalam proses ekstraksi emas, terdapat salah satu proses penting yaitu activated
carbon adsorption process. Pada proses ini, ore slurry hasil pelindian diabsorbsi
ke dalam pori-pori activated carbon. Terdapat beberapa macam carbon
adsorption yang digunakan dalam ekstraksi emas, antara lain:
○ Carbon in Pulp (CIP)
Proses CIP berlangsung dari pelindian secara berurutan diikuti dengan
penyerapan emas dari bijih oleh karbon. Pada tahap absorpsi, slurry akan
mengalir melalui beberapa tangki yang diaduk berisikan karbon aktif.
Umumnya, terdapat lima atau enam tangki pengaduk. Dengan ini, akan
meningkatkan kemungkinan emas yang akan terabsorbsi oleh karbon
sehingga meningkatkan persentase recovery.
○ Carbon in Leach (CIL)
Proses CIL adalah proses yang pelindian dan absorpsi secara bersamaan pada
satu unit operasi proses. Proses ini dikembangkan untuk pengolahan bijih
emas yang mengandung preg-robbing materials. Dimana, ini dapat
mengurangi perolehan emas akibat preg-robbing materials (native carbon
pada bijih emas) ini. Dengan proses CIL ini dimana pelindian dan absorpsi
dilakukan secara serentak, dapat mengurangi permasalahan ini. Sirkuit CIL
dan CIP hampir sama, tetapi pada CIL pelindian dan absorpsi terjadi pada satu
tangki sedangkan pada CIP terjadi pada beberapa tangki, yaitu satu tangki
untuk pelindian, tangki selanjutnya untuk absorpsi karbon. Pengurangan
penggunaan tangki untuk prosesnya, CIL memiliki kekurangan dalam
prosesnya yaitu jumlah activated carbon yang dimuatkan lebih sedikit 2030% daripada CIP sehingga mengurangi banyaknya emas yang terabsorpsi.
○ Carbon in Column (CIC)
Pada proses CIC, ore slurry mengalir melalui serangkaian fluidized bed
columns dengan arah aliran ke atas. CIC paling banyak digunakan untuk
memperoleh emas dan perak dari pregnant solution. Kelebihan dari proses
CIC ini adalah kemampuan untuk memproses larutan yang mengandung 2-3
wt% padatan.
○ Referensi
Meshram, P., Abhilash, & Pandey, B. D. (2018). Advanced Review on extraction of
nickel from primary and secondary sources. Mineral Processing and Extractive
Metallurgy Review, 40(3), 157–193.
https://doi.org/10.1080/08827508.2018.1514300
Halil Yildirim, Morcali, M. H., Ahmet Turan, & Onuralp Yucel. (2013). Nickel Pig
Iron Production from Lateritic Nickel Ores, 1–2.
La Brooy, S. R., Linge, H. G., & Walker, G. S. (1994). Review of gold extraction
from ores. Minerals Engineering, 7(10), 1213–1241. https://doi.org/10.1016/08926875(94)90114-7
Kongolo, K., & Mwema, M. D. (1998). The Extractive Metallurgy of Gold.
Hyperfine Interactions, 111(1/4), 281–289. https://doi.org/10.1023/a:1012678306334
Gold Mining Process Development. Denver Mineral Engineers. (n.d.). Retrieved April 5,
2022, from https://www.denvermineral.com/gold-mining-process-development/
Lima, L. R. (2007). Dynamic simulation of the carbon-in-pulp and carbon-in-leach
processes. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 24(4), 623–635.
https://doi.org/10.1590/s0104-66322007000400014
MODUL 4: ELEKTROMETALURGI
●
○ Tujuan Praktikum
○ Mengetahui dan memahami proses elektrometalurgi melalui metode electrowinning.
○ Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya endapan logam yang
merupakan hasil proses electrowinning.
○ Dasar Teori
■ Definisi dan Prinsip Proses
Elektrometalurgi berkaitan dengan konversi garam logam, oksida atau sulfida
menjadi logam (electrowinning) atau dengan pemurnian logam (electrorefining)
dengan proses elektrolitik, yaitu proses di mana energi kimia yang dibutuhkan
oleh reaksi kimia disuplai oleh energi listrik, yang melibatkan bagian dari arus
listrik melalui elektrolit yang menghantarkan arus antara dua elektroda.
Ada dua proses elektrolisis utama:
– elektrolisis garam berair: elektrowinning logam (Cu, Zn, Ni, Co, Cd dan Cr)
dari garamnya dan elektrorefining logam tidak murni (tembaga, nikel, timbal dan
timah);
– elektrolisis garam leburan: elektrowinning magnesium dari MgCl2, aluminium
dari alumina.
■ Keuntungan dan Kerugian Proses
Keuntungan dalam proses elektrometalurgi, didapatkan hasil ekstraksi dengan
kemurnian yang tinggi, dan temperatur yang digunakan relatif rendah. Sedangkan
pada kerugiannya, diperlukan material khusus untuk menjadi elektroda dan butuh
energi listrik eksternal.
■ Syarat Elektroda
Dalam proses elektrometalurgi, dibutuhkan elektroda khusus dalam prosesnya.
Syaratnya adalah konduktor listrik yang baik, potensial yang terbentuk di sekitar
elektroda harus rendah, dan tidak mudah bereaksi dengan logam yang lain dan
tidak membentuk campuran yang dapat mengganggu proses elektrolisis.
■ Faktor yang Mempengaruhi Proses
Di dalam proses elektrometalurgi, di mana tujuan elektrolisis dalam larutan berair
adalah untuk menghasilkan endapan polikristalin yang melekat pada katoda dan
dengan permukaan yang halus. Untuk endapan elektrolit, karena banyaknya
faktor yang mempengaruhi morfologi endapan, masalahnya sangat kompleks dan
hanya sedikit hasil umum yang disajikan [WIN 92]. Dan terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi proses itu sendiri dalam struktur depositonya yakni
sebagai berikut.
1. Current Density
2. The Nature and Concentration of the ion untuk menjadi deposit
3. Temperature
■ Electrical Energy Consumption
Daya konsumsi listrik digunakan ketika
P = V . I = EI + RI2
Energi yang dikonsumsi W untuk menghasilkan satu ton logam dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
-
W(Joule/ton logam) = 96.484 . 106 . V / {r . (M/z)}
-
W(kWh/ton logam) = 96.484 . V / {3.6 r (M/z)}
Elektrolisis berair garam logam seperti Cu, Zn, Ni
mengkonsumsi sekitar 2.000−4.000 kWh/ton logam.
○ Jenis - Jenis Proses
■ Electrowinning
Electrowinning merupakan metode ekstraksi logam dengan elektrodeposisi dari
larutan mineralnya yang mana reduksi katodik digunakan untuk mendepositkan
logam yang ingin didapatkan dari hasil pelindian (leaching). Proses ini
menggunakan anoda yang tidak larut atau inert dan proses anodik menghasilkan
reaksi evolusi gas. Electrowinning dari molten salt (lelehan garam) biasa
digunakan untuk ekstraksi elemen elektronegatif yang tidak dapat di
elektrodeposisi dari larutan aqueous, seperti aluminium, magnesium, tembaga,
seng, dan kadmium dengan cara elektrodeposisi dari larutan aqueous dari garam
logam.
Reaksi umum yang terjadi pada katoda selama proses electrowinning yaitu:
Deposisi katodik dari logam yang ingin didapatkan
➔ Katoda: Ln+ + ne- → L
Dan evolusi oksigen pada anoda:
➔ Anoda: 2H2O → O2 + 4H+ + 4e-
Namun, dalam electrowinning logam dari sulfida atau matte dapat terjadi disolusi
anoda. Contoh pada electrowinning nikel dari nikel matte (Ni3S2), disolusi Ni3S2
menghasilkan ion Ni2+ dan sulfur. Proses tersebut dikategorikan sebagai
electrowinning dengan anoda soluble (larut). Di sisi lain, pada proses fused salt
electrowinning, komposisi elektrolit dan anoda akan menentukan reaksi anoda.
Pada electrowinning aluminium menggunakan elektrolit fused cryolite yang
mengandung Al2O3 terlarut, CO dan CO2 akan dihasilkan. Sementara itu, pada
electrowinning magnesium dengan elektrolit fused chloride akan terjadi evolusi
dari klorin pada anoda.
Bergantung dari kondisi operasi, logam murni terkadang dapat didepositkan pada
pool dari lelehan logam yang menutupi hearth dari sel dan dilindungi oleh
elektrolit (seperti pada produksi aluminium). Di sisi lain, magnesium akan
mengapung pada elektrolit yang bersentuhan dengan katoda dan sel dirancang
khusus untuk mencegah terjadinya kontak antara logam dengan klorin.
Terdapat klasifikasi logam menjadi tiga kelompok berdasarkan kemungkinan
untuk dilakukan electrowinning/electrorefining dengan menggunakan larutan
aqueous atau elektrolit fused salts sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 4.1.
Terdapat dua kategori dari logam yang dapat didepositkan dari elektrolit aqueous.
Logam yang elektropositif terhadap hidrogen dapat didepositkan tanpa terjadinya
evolusi hidrogen sedangkan logam yang elektronegatif terhadap hidrogen akan
didepositkan di bawah hydrogen overvoltage. Sementara itu, logam yang sangat
reaktif dengan negative discharge potentials hanya dapat didepositkan dari
elektrolit fused salt.
Tabel 4.1 Klasifikasi logam untuk proses electrowinning
■ Electrorefining
Electrorefining merupakan proses pemurnian logam dengan cara elektrolisis.
Logam yang tidak murni berperan sebagai anoda dan katoda berupa logam murni.
Logam yang tidak murni akan dilarutkan secara anodik dan didepositkan secara
katodik, serta pengotor akan membentuk lumpur atau ion dalam larutan. Selain
untuk memproduksi logam, electrorefining juga dapat digunakan untuk daur
ulang logam. Skema dari proses electrorefining dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Skema proses electrorefining
Reaksi yang terjadi pada proses electrorefining yaitu:
Anoda: L (tidak murni) → Ln+ + ne
Katoda: Ln+ + ne- → L (murni)
Proses electrorefining ini harus memenuhi beberapa kriteria:
○ Spesies ionik dalam elektrolit harus mendukung reaksi anodik.
○ Spesies ionik dalam elektrolit harus tereduksi di katoda.
○ Elektrolit harus dapat menghantarkan ion.
○ Sebuah konduktor logam diperlukan untuk mengalirkan elektron melalui
sirkuit eksternal dari situs anodik ke katodik.
Pada proses disolusi anodik, pengotor logam yang memiliki potensial elektroda
yang lebih positif akan tetap tidak larut dalam bentuk residu (anodic slime).
Sementara itu, logam yang memiliki potensial lebih negatif akan larut bersamaan
dengan logam yang akan dimurnikan. Namun, logam yang memiliki potensial
lebih negatif dari logam yang akan dimurnikan tidak akan terdeposit pada katoda
dan dapat membentuk anodic slime jika kation logam tersebut dapat bereaksi
dengan anion pada elektrolit untuk membentuk garam larut.
Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.1, proses electrorefining dari elektrolit
aqueous dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti tembaga, perak, emas,
nikel, timbal, dan timah. Contoh yang paling banyak dilakukan yaitu untuk proses
pemurnian tembaga untuk menghilangkan pengotor berupa arsen dan antimon.
Sementara itu, proses electrorefining dari elektrolit fused salt biasa dilakukan
untuk pemurnian aluminium.
■ Electroplating
Elektroplating merupakan proses elektrolisis untuk mendepositkan lapisan tipis
logam pada logam substrat. Logam yang akan dilapisi berperan sebagai katoda,
anoda yang digunakan berupa logam pelapis ataupun logam inert, dan elektrolit
yang digunakan mengandung ion logam pelapis. Aliran listrik eksternal akan
digunakan untuk mereduksi kation logam untuk membentuk lapisan logam pada
katoda. Electroplating dilakukan untuk memodifikasi permukaan logam atau
nonlogam tanpa mengubah sifat base metal yang berguna untuk meningkatkan
ketahanan korosi dan abrasi, mengubah tampilan permukaan (dekoratif), dll.
Salah satu aplikasi lain dari electroplating yaitu pembuatan komponen elektronik
(pemutus arus dan kontak).
Gambar 4.2 Skema elektroplating
■ Electroforming
Electroforming
adalah
proses
pembentukan
logam
dengan
metode
elektrodeposisi. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.3, anoda yang
digunakan berupa material logam yang akan dibentuk dan katoda akan memiliki
bentuk dengan model mandrel. Dengan adanya arus listrik eksternal, kation
logam tersebut akan larut pada elektrolit dan tereduksi pada katoda untuk
membentuk material dengan pola sesuai dengan model mandrel yang ada.
Gambar 4.3 Skema electroforming
○ Molten Salt Electrolysis
Molten Salt Electrolysis atau elektrolisis garam cair merupakan produksi logam dengan
elektrolisis garamnya (klorida) atau oksida dalam larutan garam cair. Misalnya, kelarutan
logam dalam elektrolit dapat menjadi substansial dengan kemungkinan reoksidasi di
anoda, yang menyebabkan hasil yang rendah.
Elektrolit harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
-
Karakteristik termal: elektrolit harus meleleh pada suhu yang relatif rendah tetapi lebih
tinggi dari titik leleh logam untuk mengumpulkannya sebagai cairan. Campuran garam
digunakan untuk menurunkan titik leleh dengan menggunakan komposisi yang
mendekati eutektik.
-
Karakteristik elektrokimia: garam yang menyusun elektrolit harus lebih stabil daripada
garam yang akan dielektrolisis. Tegangan dekomposisi (potensial standar) dari garamgaram yang membentuk elektrolit harus secara signifikan lebih tinggi dari pada garam
atau oksida logam yang akan diendapkan. Kita kemudian harus menggunakan garam
alkali atau alkali tanah.
■
Chloride Electrolysis
Dalam elektrolisis garam cair MgCl2 [THA 01], ion magnesium Mg++ dilepaskan
di katoda untuk membentuk magnesium cair dan ion Cl- dilepaskan di anoda
menghasilkan gas klorin. Titik lebur magnesium adalah 712°C, elektrolisis
dilakukan pada 740°C dalam elektrolit dengan komposisi:
{CaCl2 (40%), NaCl (30%), KCl (20%), MgCl2 (10%)}.
Tegangan dekomposisi kalsium, natrium dan kalium klorida lebih tinggi (lihat
Gambar 9.1.1) daripada magnesium klorida. Pada 740 °C, tegangan dekomposisi
ini sama dengan => E* MgCl2 (740 °C) = – G°/zF = 2,6 hingga 2,8 volt
Gambar 4.4 Elektrolisis Magnesium Klorida (Proses IG-FARBEN)
■
Oxide Electrolysis
●Alumina
Karena alumina memiliki energi pembentukan bebas Gibbs yang sangat negatif,
dan dengan demikian sangat stabil, aluminium adalah salah satu logam yang
paling sulit untuk diproduksi.
Proses ekstraksi aluminium dari alumina melibatkan elektrolisis aluminium
fluorida yang diproduksi di tempat (dengan melarutkan alumina dalam kriolit).
Prinsip ini dipatenkan pada tahun 1886 secara independen oleh Héroult (di
Prancis) dan Hall (di AS).
Alumina yang terlarut dalam elektrolit berbentuk anion kompleks (Al2OF6)2–
dan (Al2OF4)2– dan reduksi katodik yang menghasilkan aluminium adalah:
(AlF4)– + 3 e → Al(cair) + 4 F—
●Titania
Proses FCC Cambridge adalah proses elektrolisis garam cair suhu tinggi yang
mengubah titanium oksida in situ menjadi titanium padat pada -950 °C.
Titanium dioksida adalah katoda padat dan grafit adalah anoda dalam sel di
mana kalsium klorida cair (titik leleh 762°C) digunakan sebagai elektrolit.
Elektrolisis ini dimungkinkan dengan katoda yang terbuat dari oksida, karena
titanium dioksida adalah isolator yang menjadi konduktor ketika kekurangan
oksigen
Selama elektrolisis, oksigen dalam TiO2 padat melepaskan elektron dan diubah
menjadi ion oksigen melalui reaksi (lihat reaksi [9.3.5]):
TiO2(s) + 4 e → 2(O2-)(CaCl2) + Ti(s) [9.4.1]
Di bawah pengaruh potensial listrik yang diterapkan, ion oksigen larut dalam
garam cair dan bergerak menuju anoda grafit. Ion-ion ini dilepaskan pada anoda
grafit dan dibebaskan sebagai karbon dioksida melalui reaksi:
C(s) + 2 O2-(CaCl2) → CO2(g) + 4 e
reaksi keseluruhan menjadi:
TiO2(s) + C(s) → Ti(s) + CO2(g)
Dalam proses reduksi calciothermic dari titanium oksida yang diusulkan oleh
Suzuki (proses OS), mekanismenya terdiri dari reduksi kimia titanium oksida
oleh kalsium yang dilarutkan dalam kalsium klorida:
TiO2(s) + 2 Ca(CaCl2) → Ti + 2 CaO(CaCl2)
dan reaksi elektrokimia yang menghasilkan elektrolisis logam kalsium:
Ca2+ (CaCl2) + 2 e → Ca (di katoda)
Oksida dalam larutan yang didekomposisi menjadi ion:
CaO(CaCl2 → Ca2+ (CaCl2) + O2—(CaCl2) dengan reaksi di anoda.
Operasi dilakukan dalam sel dengan keranjang titanium, bertindak sebagai
katoda, yang mengandung partikel oksida
Gambar 4.5 Skema Sel Elektrolisis Titanium
■
Fenomena Anode Effect
Efek anoda adalah fenomena yang diamati dalam banyak proses yang melibatkan
elektrolisis garam cair dan tidak selalu dipahami dengan baik. Ini adalah suatu
kondisi yang dihasilkan oleh polarisasi anoda dalam elektrolisis garam yang
menyatu dan ditandai dengan peningkatan tegangan yang tiba-tiba dan penurunan
arus listrik yang sesuai. Timbulnya efek anoda dalam sel aluminium Hall-Héroult
terutama disebabkan oleh menipisnya spesies ionik yang mengandung oksigen pada
permukaan anoda karbon yang menyebabkan peningkatan polarisasi anoda.
Sebelum efek anoda, konsentrasi alumina dalam sel modern tipikal menurun sekitar
30% dari nilai normalnya. Dengan demikian, ion yang mengandung oksigen akan
tiba di permukaan elektroda sekitar dua pertiga dari kecepatan normal. Setelah
lapisan resistif terbentuk pada permukaan anoda,
Begitu efek anoda terjadi pada sel yang beroperasi, rapat arus anodiknya telah
melampaui rapat arus kritisnya ( ic). Kerapatan arus kritis sel terutama merupakan
fungsi dari konsentrasi alumina terlarut, dimensi anoda, dan arus listrik. Namun,
juga dipengaruhi oleh perendaman anoda dalam elektrolit, aliran elektrolit,
gelembung gas, suhu, dan jarak anoda.
○ Transportasi Massa
■ Electrical Double Layer
Lapisan ganda listrik merupakan suatu alat yang digunakan untuk
memvisualisasikan lingkungan ionik di sekitar permukaan bermuatan. Alat ini
dapat berupa logam di bawah potensial atau karena gugus ionik pada permukaan
dielektrik. Lebih mudah untuk memahami model ini sebagai urutan langkah
yang akan terjadi di dekat permukaan jika ion penetralnya tiba-tiba terlepas.
Salah satu prinsipnya adalah bahwa materi pada batas dua fase memiliki sifat
yang membedakannya dari materi yang diperpanjang secara bebas di salah satu
fase kontinu yang dipisahkan oleh antarmuka. Ketika berbicara tentang
antarmuka larutan padat, mungkin lebih mudah untuk memvisualisasikan
perbedaan antara antarmuka dan padatan daripada memvisualisasikan
perbedaan antara antarmuka dan fase cair yang diperpanjang. Namun, di mana
kita memiliki permukaan yang bermuatan, harus ada muatan penghitung
penyeimbang, dan muatan penghitung ini akan terjadi dalam cairan. Muatan
tidak akan terdistribusi secara merata di seluruh fase cair, tetapi akan
terkonsentrasi di dekat permukaan yang diisi. Jadi, dengan memiliki volume
fase cair yang kecil tetapi terbatas yang berbeda dari cairan yang diperpanjang.
Konsep ini merupakan pusat elektrokimia, dan reaksi dalam batas antarmuka ini
yang mengatur pengamatan eksternal dari reaksi elektrokimia. Ini juga sangat
penting untuk kimia tanah, di mana partikel koloid dengan muatan permukaan
yang berbeda memainkan peran penting.
1. Lapisan Ganda Helmholtz
Muatan permukaan dinetralkan oleh ion lawan tanda yang ditempatkan pada
kenaikan d dari permukaan. Potensi muatan permukaan dihamburkan secara
linier dari permukaan ke perubahan yang memenuhi muatan. Jarak, d , akan
menjadi pusat penghitung, yaitu jari-jarinya. Perlakuan teoritis Helmholtz tidak
cukup menjelaskan semua fitur, karena hipotesis lapisan kaku dari muatan yang
berlawanan. Ini tidak terjadi di alam.
Gambar 4.6 Skema EDL
2. Lapisan Ganda Gouy-Chapman
Gouy menyarankan bahwa potensial antarmuka pada permukaan bermuatan
dapat dikaitkan dengan adanya sejumlah ion bertanda tertentu yang melekat
pada permukaannya, dan dengan jumlah yang sama dari ion bermuatan
berlawanan dalam larutan. Dengan kata lain, ion lawan tidak ditahan secara
kaku, tetapi cenderung berdifusi ke dalam fase cair sampai potensial lawan yang
dibentuk oleh keberangkatannya membatasi kecenderungan ini.
3. Modifikasi Stern dari Diffuse Double Layer
Teori Gouy-Chapman memberikan perkiraan realitas yang lebih baik daripada
teori Helmholtz, tetapi masih memiliki aplikasi kuantitatif yang terbatas. Ini
mengasumsikan bahwa ion berperilaku sebagai muatan titik, yang tidak dapat
mereka lakukan, dan mengasumsikan bahwa tidak ada batasan fisik untuk ion
dalam pendekatannya ke permukaan, yang tidak benar. Oleh karena itu, Stern
memodifikasi lapisan ganda difus Gouy-Chapman. Teorinya menyatakan
bahwa ion memiliki ukuran yang terbatas, sehingga tidak dapat mendekati
permukaan lebih dekat dari beberapa nm. Ion pertama dari Lapisan Ganda
Difusi Gouy-Chapman tidak berada di permukaan, tetapi pada jarak tertentu d
jauh dari permukaan. Jarak ini biasanya diambil sebagai jari-jari ion. Akibatnya,
potensi dan konsentrasi bagian difus dari lapisan cukup rendah untuk
membenarkan perlakuan ion sebagai muatan titik.
Stern juga berasumsi bahwa ada kemungkinan bahwa beberapa ion secara
khusus diadsorpsi oleh permukaan pada bidang d , dan lapisan ini telah dikenal
sebagai Lapisan Stern. Oleh karena itu, potensial akan turun sebesar Y o - Y d di
atas "kondensor molekuler" (yaitu, Bidang Helmholtz) dan sebesar Y d di atas
lapisan difus. Y d telah dikenal sebagai potensi zeta ( z ).
Gambar 4.7 Skema counterion di setiap layer
Diagram di atas berfungsi untuk membandingkan visual dari jumlah counterion
di setiap Lapisan Stern dan Lapisan Diffuse.
■ Proses Perpindahan Massa
Reaksi elektrolisis melibatkan transfer muatan antara elektroda dan spesies
dalam larutan. Seluruh proses ini terjadi karena sifat antarmuka dari reaksi
transfer elektron yang melibatkan berbagai tahapan.
Gambar 4.8 Skema perpindahan massa
Perpindahan massa merupakan perpindahan material dari satu lokasi dalam
larutan ke lokasi lainnya akibat dari perbedaan potensial listrik atau kimia pada
dua lokasi ataupun dari pergerakan elemen volume larutan. Mode dari
perpindahan massa yaitu:
○ Migrasi, yaitu pergerakan benda bermuatan di bawah pengaruh medan listrik
(gradien potensial listrik). Pada dasarnya ini adalah efek elektrostatik yang
muncul karena penerapan tegangan pada elektroda. Hal ini akan menciptakan
antarmuka bermuatan (elektroda). Setiap spesies bermuatan di dekat
antarmuka itu akan tertarik atau ditolak oleh gaya elektrostatik.
○ Difusi, yaitu pergerakan suatu spesies di bawah pengaruh gradien potensial
kimia (gradien konsentrasi). Difusi terjadi di semua larutan dan muncul dari
konsentrasi reagen lokal yang tidak merata. Gaya entropis bertindak untuk
memperlancar distribusi konsentrasi yang tidak merata ini sehingga berperan
sebagai driving force utama untuk proses ini.
○ Konveksi, yaitu perpindahan secara hidrodinamik yang merupakan hasil dari
adanya gaya dalam larutan (pompa, aliran gas, gravitasi, dll). Umumnya aliran
fluida terjadi karena konveksi alami (konveksi yang disebabkan oleh gradien
densitas) dan konveksi paksa (forced convection), dan dapat dicirikan oleh
daerah stagnan, aliran laminar, dan aliran turbulen.
Perpindahan massa total (flux) pada elektroda dideskripsikan dengan persamaan
Nernst-Planck:
yang mana Ji(x) merupakan flux spesies i (mol cm-2 s-1) pada jarak x , D
merupakan koefisien difusi spesies larutan (cm2/s), C merupakan konsentrasi
spesies (mol/cm3), φ merupakan potensial elektrostatik, dan vx merupakan
kecepatan hidrodinamik. Persamaan Nernst-Planck ini menggabungkan tiap-tiap
kontribusi dari difusi (gradien konsentrasi), migrasi (medan listrik), dan konveksi
(kecepatan hidrodinamik).
○ Ekstraksi Logam
■ Pemurnian Logam Timah
Terdapat dua metode untuk memurnikan timah yang tidak murni yaitu
pirometalurgi seperti proses selective oxidation, sulfidisasi, dan klorinasi yang
dapat memproduksi timah hingga kemurnian 99,85% dan electrorefining yang
dapat menghasilkan timah baik dari sumber primer maupun sekunder dengan
tingkat kemurnian 99,99%. Pada electrorefining, timah yang tidak murni akan
digunakan sebagai anoda dan ditempatkan ke elektrolit asam dengan katoda yang
terbuat dari lembaran tipis (plat timah) yang dibuat dari timah dengan kemurnian
tinggi. Agen khusus diperlukan dalam elektrolit untuk mendapatkan deposit katoda
yang baik. Untuk mencapai kemurnian yang tinggi pada katoda, kerapatan arus
memiliki pengaruh yang signifikan.
Pengotor yang ada pada timah yang tidak murni sebagian besar akan membentuk
anode slime. Perilaku pengotor tergantung pada potensial elektrodanya. Pengotor
dengan potensial elektroda lebih tinggi dari timah (Bi, Sb, As, Cu, Ag, Au) akan
membentuk slime halus pada permukaan anoda dalam bentuk paduan ataupun
oksida. Akibat dari proses disolusi yang tidak merata, anode slime dapat
mengandung sejumlah besar serbuk timah. Elemen pengotor dalam bentuk timbal
dapat larut dari anoda dan ikut deposit di katoda karena standar potensial yang
hampir sama. Sementara itu, logam dengan potensial elektroda lebih negatif
daripada timah (Zn, Fe, dll) dapat larut tetapi dan tidak akan mengendap di katoda,
kecuali konsentrasinya dalam larutan meningkat melampaui batas tertentu dan
bergantung pada konsentrasi timah di permukaan katoda.
Elektrolit yang digunakan untuk proses electrorefining timah harus memiliki
kriteria harga rendah, stabilitas kimia, kelarutan timah yang tinggi dan kelarutan
pengotor yang rendah, konduktivitas listrik yang tinggi, penggunaan suhu yang
rendah, volatilitas rendah, evolusi gas yang rendah, efek korosif rendah pada
katoda, dan memungkinkan struktur halus dan kepadatan tinggi di deposit katodik.
Terdapat dua jenis larutan elektrolit yang digunakan untuk electrorefining timah
yaitu larutan elektrolit basa dan elektrolit asam.
Larutan elektrolit alkali (basa) yang digunakan biasa digunakan yaitu sodium
stannate (Na2[Sn(OH)6). Namun alkaline bath kurang cocok karena beberapa
alasan (keadaan tetravalen menyiratkan transfer muatan listrik dua kali lebih
banyak daripada divalen, suhu tinggi (~80°C) diperlukan untuk membuat
pengendapan timah dominan. Proses bath dicover dengan minyak atau lilin untuk
mencegah oksidasi dan penguapan. Pengotor tertentu seperti Pb dan Sb sangat
mudah larut sehingga membutuhkan metode penghilangan lain dan ion timah
divalen yang juga diproduksi di anoda dapat mengganggu pengendapan. Satusatunya keuntungan adalah permukaan katoda adalah cukup halus
Sementara itu, larutan elektrolit yang banyak digunakan yaitu elektrolit asam.
Keunggulan dari elektrolit asam ini antara lain murah, temperatur rendah, serta
keadaan divalen menghasilkan setengah dari kebutuhan muatan listrik dalam
deposisi katodik. Namun, elektrolit asam menyebabkan lebih banyak anode slime
yang terbentuk, membutuhkan pembersihan anoda yang sering, menghambat
proses disolusi pada anoda dengan grade rendah, serta perlu adanya penambahan
organik. Salah satu jenis elektrolit yang banyak digunakan untuk electrorefining
timah yaitu cresylic/phenylic sulfonic acid yang merupakan tipe larutan asam
sulfat dengan kandungan aditif organik yang berguna untuk mengontrol
pertumbuhan kristal timah di permukaan katoda.
■ Molten Salt Electrolysis
Molten salt electrolysis biasa digunakan untuk elektrodeposisi beberapa logam
seperti logam alkali dan alkali tanah, Al, Ti, Zr, Ta, Mo, W, logam tanah jarang,
dll. Di antara logam tersebut, Al, Mg, alkali dan beberapa logam refraktori
merupakan yang paling banyak digunakan di industri elektrometalurgi. Molten salt
umumnya dikelompokkan oleh electrolytic bath (klorida dan fluorida), raw
material nya(klorida, fluorida, dan oksida), dan katoda (consumable dan
nonconsumable).
Salah satu aplikasi dari elektrolisis molten salt yaitu untuk mengekstraksi
magnesium. Terdapat dua versi proses electrowinning untuk produksi Mg. Versi
pertama menggunakan MgCl2 anhidrat sebagai cell feed yang dikenal dengan
proses I.G Farben. Versi lainnya menggunakan partially dehydrated MgCl2
((MgCl2.1.5-1.7H2O) sebagai cell feed yang digunakan oleh Dow Chemical Co.
Bahan baku untuk electrowinning magnesium yaitu well brines atau air laut yang
mengandung sekitar 0,13 wt% Mg. Ion Mg2+ diendapkan dari air laut dengan
penambahan CaO (kapur), yang dihasilkan dengan kalsinasi (pemanasan kuat)
CaCO3 (batu kapur atau cangkang tiram). Mg(OH)2 yang tidak larut dihilangkan
dengan penyaringan (filtrasi). Proses asidifikasi (pengasaman) padatan slurry dan
larutan MgCl2 dengan HCl mengubah Mg(OH)2 menjadi MgCl2 terlarut, yang
diperoleh kembali sebagai MgCl2 padat melalui penguapan (evaporasi). Larutan
ini lalu dikeringkan menjadi hidrat MgCl2.1,5H2O, yang merupakan bahan baku
untuk sel elektrolitik dalam proses Dow. Elektrolit sel pada proses ini berupa
campuran molten yang mengandung sekitar 25 %MgCl2-15 %CaCl2-60 %NaCl,
dan sel dioperasikan antara 700-750°C. Diagram skema dari I.G. Sel Farben dan
Sel Dow masing-masing ditunjukkan pada gambar 4.X(a) dan (b).
(a)
(b)
Gambar 4.9 Sel electrowinning a) I.G Farben dan b) Dow
Penguraian lelehan MgCl2 untuk menghasilkan magnesium cair dan gas Cl2 terjadi
oleh reaksi:
MgCl2(l) = Mg(l) + Cl2(g)
Dalam proses Dow, anoda grafit dikonsumsi secara terus menerus untuk
menghilangkan air secara in-situ dari feed sel untuk menghasilkan hidrogen dan
oksigen yang akhirnya bereaksi dengan anoda. Dehidrasi ini dapat digambarkan
oleh reaksi:
MgCl2.1.7H2O + 2C = Mg + 2HCl(g) + 2CO(g) + H2(g)
Selain untuk Mg, molten salt electrolysis juga banyak digunakan untuk
memproduksi titanium (Proses Kroll dan Hunter). Proses Kroll adalah proses batch
yang mereduksi gas titanium tetraklorida (TiCl4) dengan magnesium cair di dalam
retort baja yang diikuti dengan penguapan vakum atau sapuan gas inert untuk
menghilangkan produk sampingan pada temperatur 1000 °C.
Proses ini menggunakan TiCl4 yang dihasilkan dari karbo-klorinasi bahan baku
kaya TiO2 seperti ilmenite yang lapuk, rutile alami dan sintetis, dan terak titanium
atau TiO2 halus sesuai dengan reaksi:
TiO2(s) + 2Cl2(g) + 2C(s) = TiCl4(g) + 2CO(g)
Pada proses Kroll, TiCl4 direduksi pada sekitar suhu 800°C dengan kondisi argon
untuk memproduksi titanium sponge dengan reaksi:
2Mg(l) + TiCl4(g) = Ti(s) + 2MgCl2(l)
Spons titanium yang dihasilkan kemudian melalui proses crushing, sortir,
dipadatkan menjadi briket lalu dibuat menjadi elektroda. Elektroda tersebut
kemudian divakum-cair (melting) menjadi ingot. MgCl2 kemudian dipisahkan dan
didaur ulang secara elektrolisis untuk menghasilkan magnesium sebagai reduktor
untuk mereduksi TiCl4 dan klorin lebih lanjut untuk reaksi karboklorinasi.
Sementara itu, dalam proses Hunter, natrium digunakan sebagai reduktor
berdasarkan reaksi:
4Na(l) + TiCl4(g) = Ti(s) + 4NaCl(l)
Gambar 4.10 Skema Proses Kroll
■ Hall Heroult Process
Proses Hall Heroult dilakukan untuk mengekstraksi Al dengan elektrolisis Al2O3
dalam elektrolit fluoride berbasis molten cryolite, yang umumnya mengandung
Na3AlF6, AlF3, CaF2, dan Al2O3. Kriolit yang digunakan akan terionisasi untuk
membentuk anion hexafluoroaluminate (AlF6-3) dengan reaksi:
Na3AlF6(s) → 3Na+ + AlF6-3
Selanjutnya hexafluoroaluminate berdisosiasi membentuk tetrafluoroaluminat
(AlF4-) serta ion natrium (Na+) dan fluorida (F-) sesuai dengan reaksi:
AlF6-3 → AlF4- + FAlumina yang ditambahkan pada elektrolit kriolit larut (disolusi) dengan reaksi:
4AlF6-3 + Al2O3 → 3Al2OF62- + 6F2AlF6-3 + 2Al2O3 → 3Al2O2F42-
Gambar 4.11 Sel elektrolisis dengan anoda a) prebaked dan b) Soderberg
Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.11, sel elektrolisis terdiri dari steel shell
dengan lining refractory yang terbuat dari Si3N4-bonded SiC, sebuah pool untuk
aluminium cair pada blok karbon sebagai katoda di bagian bawah sel, dan blok
karbon yang direndam dalam elektrolit dari atas sel sebagai anoda.
Terdapat dua jenis model anoda untuk proses HH sebagaimana pada Gambar 4.X
yaitu a) anoda pre-baked dan b) anoda Soderberg. Anoda prebaked adalah blok
karbon besar yang harus diganti karena dikonsumsi sesuai dengan reaksi di atas.
Anoda Soderberg dibentuk secara kontinu dibentuk dengan penambahan pasta
karbon/pitch ke cetakan dari atas elektrolit di dalam sel. Saat turun ke bawah
melalui casing, pasta membentuk karbon untuk menggantikan karbon yang
dikonsumsi di bagian bawah
Aluminium cair akan dihasilkan pada katoda dan anoda karbon akan teroksidasi
membentuk CO2 dan CO dengan reaksi keseluruhan yang terjadi yaitu:
2Al2O3 + 3C = 4Al + 3CO2(g)
Tegangan sel reversibel yaitu 1,19 V pada suhu elektrolisis sekitar 960 °C. Untuk
mengimbangi jumlah resistansi yang berasal dari elektrolit, anoda, katoda dan
resistansi kontaknya, sel HH beroperasi pada tegangan sel 4,0-4,6 V.
‘
○ Referensi
Shamsuddin, M. (2016). Physical chemistry of metallurgical processes. pp. 523-549. John
Wiley & Sons, TMS.
Popov, K., Grgur, B., & Djokić, S. S. (2007). Fundamental aspects of electrometallurgy.
Springer Science & Business Media.
Electric Double Layer (nmsu.edu) (accessed : 08/04/2022)
https://www.coursehero.com/file/39315758/Modul-4-Electrometallurgydocx/ (accessed :
08/04/2022)
PowerPoint : Kuliah 7 Elektrometalurgi 2021
https://www.sciencedirect.com/topics/engineering/anodeeffect#:~:text=An%20anode%20effect%20is%20phenomena,a%20corresponding%20
decrease%20in%20amperage.
Bard, A. J., Faulkner, L. R. (2001). Electrochemical Methods: Fundamentals and
Applications. Wiley.
Fisher, A. C. (2010). “Electrochemistry Teaching Notes" in the website of the Department
of
Chemical
Engineering and Biotechnology, University of
Cambridge,
https://www.ceb.cam.ac.uk/research/groups/rg-eme/education-1/undergraduateteaching-notes
Rimaszeki, G., Majtenyi, J., & Kekesi, T. (2013). The Efficiency and Morphological
Characteristic of the Electrorefining of Tin in Simple Sulfuric and Hydrochloric Acid
Solutions. Department of Metallurgical and Foundry Engineering, University of
Miskolc, available online at http://borsoditranzit. hu/onritran/Doc/rimaszeki—
majtenyi—dr—kekesi—ii—pdf at least as early as Nov, 25, 10.
Dobo, Z., Kulcsar, T. I. B. O. R., & Kekesi, T. A. M. Á. S. (2012). Electrorefining of tin
in pure acid solutions by mechanically controlled cathode deposition and solar power
utilization. Materials Science and Engineering, 37(2), 19-26.
Yan, X. Y., & Fray, D. J. (2010). Molten salt electrolysis for sustainable metals extraction
and materials processing—A review. Electrolysis: theory, types and applications,
255-302.
Seetharaman, S. (2013). Treatise on process metallurgy, volume 3: industrial processes
(Vol. 3). Newnes.
Download