BUKU DASAR TEORI PROSES PENGOLAHAN MINERAL PIROMETALURGI HIDROMETALURGI ELEKTROMETALURGI Oleh: KELOMPOK 18 Farhan Aziz 1906379964 Farhan Armunanto 1906356525 Brendon Benedict 1906356595 Muhammad Dimas Haris Dafa R. 1906379900 Muhammad Rizky 1906356733 Robertus Rufus 1906301564 Rifqi Fauzan 1906356720 MODUL 1: PENGOLAHAN MINERAL ○ Tujuan Praktikum ○ Mempelajari macam macam proses pengolahan mineral sebagai tahap awal proses ekstraksi logam. ○ Memahami prinsip penggunaan proses pengolahan mineral, khususnya froth flotation. ○ Dasar Teori Pengolahan mineral merupakan suatu proses pemisahan mineral berharga dengan mineral tak berharga (pengotor) secara mekanis, dengan tujuan untuk menghasilkan produk yang memiliki banyak mineral berharga (konsentrat) dan tailing (produk yang terdiri dari mineral tak berharga/pengotor) yang sedikit sehingga memiliki efisiensi tinggi. Pengertian tersebut dapat lebih dipahami dengan melihat gambar di bawah. ■ Flowsheet Mineral processing (Front-end dan Back-end operation) Gambar 1.1. Flowsheet Proses Pengolahan mineral ●Front-end dan Back-end operation Proses pengolahan mineral ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis operasi yaitu front-end dan back-end dimana proses front-end berfungsi untuk mengurangi ukuran produk sehingga dapat diolah ke tahap selanjutnya yang meliputi crushing, screening, grinding, klasifikasi. Sementara, pada sisi lain back-end operation bertujuan untuk memisahkan partikel mineral yang sudah dihaluskan menjadi unsur berharga (konsentrat) dan juga waste / tailing. Operasi ini meliputi separasi, dewatering, dan tailing handling apabila terdapat tailing pada proses tersebut. ■ Kominusi Pada dasarnya, pengolahan mineral diawali dengan proses kominusi. Kominusi merupakan proses pengecilan ukuran bijih atau mineral hasil proses tambang dari ukuran lebih dari 1 meter menjadi bijih atau mineral berukuran ≤ 100 mikron. Pada umumnya bijih mineral atau bahan galian dari tambang masih berukuran cukup besar, sehingga tidak mungkin dapat secara langsung digunakan atau diolah lebih lanjut. Bijih atau mineral dalam ukuran besar biasanya berkadar sangat rendah dan terikat dengan mineral pengotornya. Liberasi mineral berharga masih rendah pada ukuran bijih yang besar. Oleh karena itu untuk dapat diolah dan ditingkatkan kadar dari mineral tertentu harus melalui proses kominusi terlebih dahulu. Pada prinsipnya tujuan operasi pengecilan ukuran bijih, mineral atau bahan galian adalah: ● Membebaskan ikatan mineral berharga dari gangue-nya. ● Menyiapkan ukuran umpan yang sesuai dengan ukuran operasi konsentrasi atau ukuran pemisahan. ● Mengekspos permukaan mineral berharga, untuk proses hidrometalurgi tidak perlu benar-benar bebas dari gangue. ● Memenuhi keinginan konsumen atau tahapan berikutnya. ●Analisis Ukuran Partikel ○ Tujuan Ukuran partikel perlu diukur agar dapat menciptakan produk dengan kualitas yang lebih baik serta meningkatkan pemahaman mengenai produk karena karakteristik partikel akan mempengaruhi karakteristik produk secara keseluruhan. Partikel di dalam proses pengolahan mineral tidak pernah berukuran tunggal melainkan selalu mengandung banyak ukuran. Partikel juga memiliki beragam bentuk yang menjadikan karakterisasi jumlah dan ukuran menjadi sangat sulit. Kecuali partikel berukuran kubus atau lingkaran, penentuan ukuran partikel bukanlah proses yang absolut. Gambar 1.2. Ukuran Partikel Pada partikel (a) dan (b), ukuran dapat dideskripsikan secara pasti dengan rumus diameter lingkaran ataupun panjang sisi kubus, namun dimensi pada partikel (c) sangat susah diukur karena dimensinya yang tidak beraturan. Untuk mempermudah proses pengukuran, partikel sering dianggap sebagai partikel bulat yang memiliki jari-jari setara dengan jarak partikel aslinya. ○ Metode (Prinsip serta Limitasi) 1. Image Analysis / Microscopy Metode analisis ini mampu menganalisis partikel individual dan dianggap mampu menghasilkan pengukuran partikel yang absolut. Metode ini juga mampu memisahkan agregat dengan partikel tunggal. Jika dipasangkan dengan analysis komputer, metode ini mampu menghasilkan data distribusi. Limitasi dari metode ini ialah pada Optical Microscopy, depth of focus hanya terbatas pada 10 mikrometer pada perbesaran 100x dan hanya 0.5 mikrometer pada perbesaran 1000x serta pada partikel kecil, efek difraksi cahaya mampu menyebabkan keburaman pada bagian tepi partikel sehingga semakin sulit untuk menentukan ukuran partikel jika dibawah 3 mikrometer. Namun dapat diatasi dengan menggunakan mikroskop elektron yang menganalisa hingga ukuran 0.001 mikrometer. Namun, metode ini hanya bisa dilakukan pada sampel laboratorium yang jumlahnya kecil dan umumnya sulit untuk menjadikannya sebagai data yang representatif. Metode ini juga memerlukan waktu yang banyak dan hanya bisa mengolah partikel dalam jumlah kecil serta tidak mampu memberikan informasi 3 dimensi dari sampel. 2. Sieve Analysis Analisis ini dilakukan dengan serangkaian saringan dimana saringan dibawahnya akan memiliki bukaan yang lebih kecil dibanding saringan diatasnya. Saringan atau ayakan dapat dibedakan dengan ukuran bukaan yaitu mesh size atau sieve number. Dengan metode analisis ini kita dapat mengetahui distribusi ukuran partikel dari menganalisa berat material yang tersisa pada masing masing tahap ayakan. Limitasi dari metode ini adalah tidak mampu memberikan ukuran absolut dari material yang diukur. 3. Sedimentation Analysis Analisis ini umumnya digunakan pada fine powder dimana ukuran partikel dapat ditentukan dengan memeriksa sedimentasi dari suspensi yang terbentuk. Ada 2 kategori analisis sedimentasi, yaitu incremental dimana perubahan konsentrasi atau berat jenis suspensi pada kedalaman tertentu akan diukur dan cumulative dimana laju powder turun ke dasar suspensi akan diukur. Metode ini memiliki beberapa limitasi seperti membutuhkan banyak air untuk mengendapkan partikel dan perlu waktu yang lebih lama jika ukuran partikel sangat halus. Walaupun metode ini membutuhkan peralatan yang sederhana serta dapat diaplikasikan pada berbagai macam ukuran dan memberikan hasil yang akurat, metode ini juga membutuhkan kontrol temperatur dan hanya bisa dilakukan pada material yang tidak larut di dalam air. ○ Degree of Liberation Derajat liberasi merupakan perbandingan berat antara jumlah mineral yang terlibrasi sempurna dengan jumlah mineral yang terlibrasi sempurna dan mineral terikat atau perbandingan volume butir yang terbebas sempurna dengan jumlah volume bijih dalam satu fraksi yang dinyatakan dengan persen (%). Secara umum, derajat liberasi adalah suatu proses pengolahan bahan galian mineral hasil penambangan untuk memisahkan mineral berharga dari mineral pengotornya yang dinilai kurang berharga yang terdapat dalam gangue mineral. Proses pengolahan berlangsung secara mekanis tanpa merubah sifat-sifat kimia dan fisik dari mineral-mineral tersebut atau hanya sebagian dari sifat fisiknya saja yang berubah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: 1. Memperkecil ukuran bahan atau mineral-mineral tersebut sehingga terjadi liberasi sempurna dari partikel-partikel yang tidak sejenis antar satu sama lain. 2. Memisahkan partikel-partikel yang tidak sama komposisi kimianya atau berbeda sifat fisiknya. Pemisahan bahan galian ini harus sesuai dengan prosedur dalam artian harus menggunakan alat-alat pemisah yang sesuai pula dengan kondisi fisik maupun kimia bahan galian tersebut. Tujuan dari hal ini adalah agar konsentrat yang ingin dipisahkan dari tailing bahan galian tersebut bisa dipisah secara sempurna dan mengoptimalkan proses pemisahan. Besarnya nilai derajat liberasi (%) tiap suatu bahan galian dapat ditentukan oleh jumlah butir bahan galian tersebut serta berat jenis dan volume suatu bahan galian, akan tetapi berat jenis dan volume suatu bahan galian tidak terlalu berpengaruh karena dalam proses pengaliannya akan dihapus atau dihilangkan. Nilai derajat liberasi suatu bahan galian berbanding lurus dengan nilai bahan galian yang bebas dan berbanding terbalik dengan bahan galian yang butirnya terikat. Besarnya kadar suatu bahan galian dapat ditentukan oleh berat bahan galian itu sendiri dan juga berat bahan galian lainnya. Berat bahan galian tersebut diperoleh dari proses pengalian jumlah butir dan berat jenis suatu bahan galian. Rumus untuk menentukan derajat liberasi adalah: %F = 100% (m / (m + n)) Dengan catatan: %F = Derajat liberasi m = Partikel bebas n = Partikel terikat ●Crushing Crushing adalah suatu proses yang bertujuan untuk meliberalisasi mineral yang diinginkan agar terpisah dengan mineral pengotor yang lain. Crushing biasanya digunakan untuk pengecilann ukuran sampai ukuran bijih kurang lebih 20 mm. Secara garis besar proses kominusi dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu: 1. Primary Crushing Biasanya dilakukan pada bongkahan dengan ukuran 12-60 inch untuk selanjutnya direduksi menjadi ukuran 4-6 inch. Alat yang digunakan pada primary crushing ini diantaranya: a) Jaw Crusher Crusher jenis ini terdiri dari dua buah jaw,di mana satu batang bergerak (moving jaw) ke arah jaw yang lain (fixed jaw). Cara kerjanya adalah dengan melakukan peremukan, batuan yang mengandung mineral dijepit di antara dua buah rahang yang terdiri dari fixed jaw dan swing jaw, lalu dihancurkan dengan gaya tekan remuk. Gambar 1.3. Jaw Crusher b) Gyratory Crusher Alat ini digunakan untuk memecah bongkahan batuan besar maupun kecil. Kapasitas alat ini lebih besar dibandingkan jaw crusher. Mesin ini memiliki rahang bundar (circular jaw). Sebuah crushing head yang berbentuk kerucut berputar di dalam sebuah funnel shaped casing yang membuka ke atas. Gambar 1.4. Gyratory Crusher 2. Secondary Crushing Pada tahap kedua, ukuran bijih direduksi menjadi sekitar 20 cm sampai 5 cm. Secondary crushing dalam prosesnya menggunakan alat peremuk yang bernama Cone Crusher. 3. Tertiary Crushing Merupakan tahap lanjut dari secondary crushing, alat yang digunakan yaitu cone crusher. Umpan yang digunakan biasanya adalah material yang tidak lolos ayak. Pada tertiary crushing bijih dihaluskan dari sekitar 5 cm menjadi 1 cm. Pertimbangan pemilihan alat pereduksi ukuran didasarkan pada faktorfaktor tersebut: ● Ukuran umpan ● Kekerasan material ● Sifat material ● Kapasitas ● Keseragaman produk ● Kemampuan wet grinding ●Grinding Proses pengecilan ukuran yang menggunakan prinsip beban gerus. Proses grinding dapat dilakukan menggunakan Ball Mill dan Rod Mill. ● Ball Mill Gambar 1.5. Ball Mill Dalam kasus ball mill yang dioperasikan secara kontinyu, material yang akan digrind diumpankan dari kiri melalui kerucut bersudut 60° dan produk dikeluarkan melalui kerucut bersudut 30° ke kanan. Saat cangkang/shell berputar, bola diangkat ke atas di sisi cangkang/shell yang naik dan kemudian turun ke bawah (atau jatuh ke feed), dari dekat bagian atas cangkang/shell. Dengan demikian, partikel padat di antara bola dan tanah akan berkurang ukurannya akibat tumbukan. ● Rod Mill Gambar 1.6. Rod Mill Rod mill umumnya menggrind bijih dengan tekanan dan kekuatan grinding dari grinding rod. Ketika batang mengenai bijih, pertama-tama mengenai bijih yang lebih kasar, dan kemudian menghancurkan bahan yang berukuran lebih kecil diantara batang dan batang. Saat batang bersentuhan dengan dinding mill, partikel bijih berbutir kasar bercampur dengannya, yang bertindak sebagai saringan/sieve batang. Bahan berbutir halus dapat melewati celah diantara batang dan batang, yang bermanfaat bagi penjepit/clamp. Material berbutir kasar juga memungkinkan partikel bijih berbutir kasar terkonsentrasi di tempat tumbukan media penggilingan.Oleh karena itu, rod mill memiliki fungsi grinding selektif, dan produk memiliki ukuran partikel yang seragam dan lebih sedikit penghancuran. Umumnya proses grinding dapat dibedakan menjadi: ● Penggerusan kasar (coarse grinding) mengecilkan ukuran bijih dari ukuran 1 mm menjadi ukuran 1 μm. ● Penggerusan halus (fine grinding) mengecilkan ukuran bijih dari ukuran 1 μm menjadi ukuran 300 μm . ■ Klasifikasi Klasifikasi merupakan metode yang digunakan untuk melakukan pemisahan pada campuran mineral menjadi dua buah produk berdasarkan kecepatan jatuh partikel mineral ke dalam medium fluida (Hiskanen,1993). Fluida yang dapat digunakan adalah air karena efektif untuk digunakan bagi pemisahan partikel yang terlalu halus. Proses ini dilakukan pada bijih yang telah memiliki ukuran yang memeruhi persyaratan yang diinginkan. Prinsip dari klasifikasi adalah dimana saat pertikel solid dijatuhkan secara bebas maka akan jatuh bebas di dalam ruang vakum dan akan meningkat kecepatannya dengan percepatan konstan sehingga tidak bergantung pada ukuran dan densitasnya. Produk dari proses klasifikasi akan terbagi menjadi 2 jenis yaitu : ● Produk Overflow yaitu ketika terminal velocity dari partikel lebih kecil daripada kecepatan fluida. ● Produk Underflow yaitu ketika terminal velocity dari partikel lebih besar daripada kecepatan fluida. Medium yang paling umum digunakan dalam metode ini adalah fluida dikarenakan dapat memisahkan partikel halus ecara efektif. Penggunaan medium kental seperti air dan udara akan meningkatkan nilai hambatannya seiring kenaikan kecepatannya. ●Fenomena pengendapan partikel Pada proses klasifikasi akan terjadi pengendapan partikel yang terbagi menjadi 2 fenomena yaitu : ● Free Settling merupakan fenomena pengendapan partikel dimana volume fluida lebih banyak dari volume total partikel. Persamaan yang dapat digunakan adalah : Gambar 1.7. Mekanisme Free Settling ● Hindered Settling merupakan fenomena pengendapan partikel dimana volume fluida lebih sedikit dari volume total partikel. Pada proses ini jika semakin banyak partikel solid di dalam pulp, maka akan berpengaruh pada free settling, kemudian sistem akan berubah menjadi medium dengan densitas baru yakni densitas dari pulp, bukan densitas medium awal seperti air, sehingga pada sistem ini turbulent resistance lebih dominan. ●Gaya yang terjadi pada proses klasifikasi Pada proses klasifikasi dilakukan permisahan berdasarkan 3 gaya yang bekerja pada saat partikel jatuh ke dalam media fluida yaitu : a. Drag Force Drag force didefinisikan sebagai hambatan udara atau hambatan fluida, dimana gaya ini menghambat laju dari udara atau fluida akibat bergesekan dengan sebuah permukaan partikel padat. Drag force yang arahnya berlawanan dengan arah partikel ini akan menyebabkan gerakan partikel menjadi lambat karena semakin kecilnya gaya total ke bawah sehingga kecepatan pengendapan semakin turun. b. Bouyant Force Bouyant Force adalah gaya angkat ke atas yang diberikan fluida untuk suatu pertikel mineral dengan menggunakan prinsip Archimedes dimana gaya apung memiliki nilai yang sama dengan berat fluida yang dipindahkan. Gaya angkat ke atas ini akan melawan berat benda yang direndam. c. Gravitation Force Gravitation force merupakan gaya mempengaruhi kecepatan pengendapan suatu partikel di dalam suatu fluida statis yang dapat menyebabkan pengklasifikasian yang dilakukan berdasarkan proses pemindahan partikel terhadap gerakan partikel zat padat melalui fluida karena adanya gaya ini. ■ Separasi Separasi merupakan proses terakhir dari pengolahan mineral. Separasi merupakan metode pemisahan antara mineral berharga dengan pengotornya berdasarkan perbedaan sifat fisik dan kimia dari mineral-mineral dalam bijih tersebut. Beberapa teknik separasi yang digunakan antara lain. ●Gravity separation ○ Prinsip proses Separasi gravitasi adalah pemisahan mineral berdasarkan berat jenisnya dalam suatu medium fluida dengan menggunakan perbedaan kecepatan pengendapan. Berdasarkan gerakan fluida, ada tiga cara pemisahan secara gravitasi : a. Fluida tenang, contoh : DMS (Dense Medium Separation). b. Gerak fluida horizontal, contoh : sluice box, meja goyang, spiral concentrator. c. Aliran fluida vertikal, contoh : jigging Konsentrasi gravitasi pada mineral-mineral yang mempunyai perbedaan massa jenis yang mencolok sehingga terjadi: ● Kelompok mineral dengan massa jenis tinggi ● Kelompok mineral dengan massa jenis rendah dan salah satu dari kelompok mineral tersebut akan menjadi konsentrat. ○ Kriteria konsentrasi pada proses Estimasi/perkiraan apakah konsentrasi gravitasi dapat diterapkan untuk memisahkan mineral-mineral yang mempunyai perbedaan berat jenis serta selang ukuran yang bisa dipakai dapat diperkirakan dari kriteria konsentrasi dari Taggart. Kriteria konsentrasi dari Taggart dirumuskan secara empirik sebagai berikut : Di mana: 𝜌B = berat jenis mineral berat 𝜌R = berat jenis mineral ringan 𝜌’ = berat jenis media Kriteria Konsentrasi (KK) : ● Bila KK > 2,5 atau KK < -2,5 : Pemisahan mudah dilkukan pada berbagai ukuran sampai ukuran yang halus sekalipun (sampai 200 mesh). ● Bila KK = 2,5 - 1,75 : Pemisahan berlangsung efektif sampai ukuran 100 mesh. ● Bila KK = 1,75 - 1,50 : Pemisahan masih memungkinkan sampai ukuran 10 mesh, tetapi sukar dilakukan. ● Bila KK = 1,50 - 1,25 : Pemisahan masih memungkinkan sampai ukuran 1/4 inchi, tetapi sukar dilakukan. ● Bila KK < 1,25 : Proses relatif tidak mungkin dilakukan, tetapi masih bisa mungkin dilakukan dengan modifikasi perbedaan gaya berat. ●Magnetic Separation ○ Prinsip proses Magnetic separation adalah proses di mana bahan magnetis rentan diekstraksi dari campuran menggunakan gaya magnet. Teknik Pemisahan ini dapat digunakan dalam pertambangan besi karena adanya gaya tarik pada magnet. Cara ini dipakai karena di alam ada material yang bila diletakkan di medan magnet material tersebut akan tertarik (mineral magnetik) dan ada pula yang tidak tertarik oleh magnet (mineral nonmagnetik). Syarat terjadinya pemisahan adalah adanya medan magnet yang ditimbulkan oleh magnet permanen atau elektromagnet. Bila flux density pada medan magnet sama maka disebut medan magnet homogen. Dan jika flux density pada medan magnet tidak sama disebut medan magnet nonhomogen. Apabila suatu benda diletakkan dalam medan magnet, induksi magnet pada objek adalah: B=H+μ Di mana: B = induksi magnet pada objek H = medan induksi yang disebabkan oleh medan magnet μ = intensitas kekuatan magnet dari material objek ○ Klasifikasi proses Gambar 1.8. Klasifikasi Proses ○ Sifat kemagnetan mineral ○ Ferromagnetic, yaitu bahan galian (mineral) yang sangat kuat untuk ditarik oleh medan magnet. Misalnya magnetit (Fe3O4). ○ Paramagnetic, yaitu bahan galian yang dapat tertarik oleh medan magnet. Contohnya hematit (Fe2O3), ilmenit (FeTiO3) dan pirhotit (FeS). ○ Diamagnetic, yaitu bahan galian yang tak tertarik oleh medan magnet. Misalnya : kuarsa (SiO2) dan feldspar [(Na, K, Al) Si3O8]. ●Electrostatic Separation ○ Prinsip proses Electrostatic separation adalah suatu proses pemisahan material berdasarkan pada perbedaan tingkat konduktivitas relatif yang dimiliki material tersebut. Dalam hal ini perbedaan sifat fisik yang dimaksud adalah sifat kelistrikan atau yang biasa disebut konduktivitas yang dimiliki oleh material itu sendiri. (Hamerski et al., 2018) Material yang memiliki sifat konduktivitas tinggi akan tertarik oleh tegangan tinggi sedangkan untuk material yang konduktivitasnya rendah akan jatuh sesuai dengan gravitasi. Penarikan material mendapat supply arus listrik searah dari transformator rectifier yang berfungsi untuk mengubah arus listrik AC menjadi DC tegangan tinggi. (Hamerski et al., 2018) Prinsip kerja dari electrostatic separator adalah memberi muatan secara elektris pada material-material kecil. Gambar 1.9. Prinsip Pemisah Elektrostatik 1. Lifting effect (Efek pengangkat) Lifting Effect, merupakan efek yang mengakibatkan terlemparnya suatu partikel mineral yang bersifat konduktif dari rotor. Partikel yang konduktif ini meneruskan muatan yang dialiri rotor, sehingga terjadi perbedaan muatan antara partikel dengan elektroda. Perbedaan muatan ini menyebabkan partikel ini tertarik kepada elektroda. Sementara muatan partikel ini pun sama dengan muatan pada rotor. Sehingga terjadi pelemparan partikel oleh rotor menuju elektroda. (Flynn, Gupta, & Hrach, 2017) 2. Pinning Effect (Efek menjepit) Pinning effect, merupakan efek yang mengakibatkan menempelnya partikel mineral yang non-konduktif. Partikel mineral yang non-konduktif ini tidak melanjutkan muatan yang dialirkan oleh rotor, akibatnya partikel mineral ini justru menerima tembakan elektron dari elektroda. Sehingga muatan pada partikel ini menjadi berbeda dari muatan yang ada pada rotor dan tidak terlempar. (Flynn et al., 2017) ○ Jenis konduktivitas mineral Material yang memiliki sifat konduktivitas tinggi akan tertarik oleh tegangan tinggi sedangkan untuk material yang konduktivitasnya rendah akan jatuh sesuai dengan gravitasi. ●Froth Flotation ○ Definisi dan prinsip proses Froth flotation (flotasi buih) adalah proses pemisahan mineral berharga dari campuran dengan menciptakan buih yang memisahkan mineral. Proses flotasi buih dimulai dengan proses kominusi dimana luas permukaan bijih bertambah. Pertama-tama, bijih dihancurkan menjadi partikel berukuran bubuk yang sangat halus dan dicampur dengan air. Campuran yang diperoleh disebut slurry. Sebuah kolektor yang bertindak sebagai bahan kimia surfaktan ditambahkan ke dalam slurry. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sifat hidrofobik mineral. Slurry kini telah diubah menjadi pulp. Pulp ini ditambahkan ke wadah berisi air dan kemudian jet udara dipaksa ke dalamnya untuk membuat gelembung. Mineral yang dibutuhkan ditolak oleh air dan dengan demikian melekat pada gelembung udara. Saat gelembung udara ini naik ke permukaan dengan partikel mineral yang menempel padanya, gelembung udara ini disebut buih (froth). Buih ini dipisahkan dan selanjutnya diambil untuk proses pemurnian dan ekstraksi selanjutnya. Ketika berurusan dengan proses flotasi buih, perlu dicatat bahwa proses ini tidak hanya bergantung pada kepadatan material. Selain itu, proses flotasi buih juga bergantung pada sifat hidrofobiknya. Dengan menggunakan teknik ini, partikel yang diinginkan secara fisik dipisahkan dari fase cair. Hal ini dapat dilakukan terutama karena perbedaan kemampuan gelembung udara untuk secara selektif melekat pada permukaan partikel yang didasarkan pada sifat hidrofobiknya. Partikel hidrofobik yang mengandung gelembung udara yang melekat padanya dibawa ke permukaan. Hal ini menghasilkan pembentukan buih yang bisa dihilangkan. Bahan hidrofilik biasanya tetap berada dalam fase cair. ○ Klasifikasi proses berdasarkan sifat permukaan Proses flotasi buih juga bergantung pada sifat hidrofobiknya. Dengan menggunakan teknik ini, partikel yang diinginkan secara fisik dipisahkan dari fase cair. Hal ini dapat dilakukan terutama karena perbedaan kemampuan gelembung udara untuk secara selektif melekat pada permukaan partikel yang didasarkan pada sifat hidrofobiknya. Partikel hidrofobik yang mengandung gelembung udara yang melekat padanya dibawa ke permukaan. Hal ini menghasilkan pembentukan buih yang bisa dihilangkan. Bahan hidrofilik biasanya tetap berada dalam fase cair. ○ Mekanisme proses pemisahan mineral berharga Gambar 1.10. Mekanisme Proses Pemisahan Mineral Berharga Pertama-tama, bijih dihancurkan menjadi partikel berukuran bubuk yang sangat halus dan dicampur dengan air. Campuran yang diperoleh disebut slurry. Sebuah kolektor yang bertindak sebagai bahan kimia surfaktan ditambahkan ke dalam slurry. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sifat hidrofobik mineral. Slurry kini telah diubah menjadi pulp. Pulp ini ditambahkan ke wadah berisi air dan kemudian jet udara dipaksa ke dalamnya untuk membuat gelembung. Mineral yang dibutuhkan ditolak oleh air dan dengan demikian melekat pada gelembung udara. Saat gelembung udara ini naik ke permukaan dengan partikel mineral yang menempel padanya, gelembung udara ini disebut buih (froth). Buih ini dipisahkan dan selanjutnya diambil untuk proses pemurnian dan ekstraksi selanjutnya. ○ Syarat proses pengikatan mineral berharga oleh gelembung udara Partikel harus berukuran kecil dan memiliki pH yang rendah agar dapat dengan mudah terikat oleh gelembung udara. ○ Faktor yang mempengaruhi proses 1. Ukuran partikel Ukuran partikel yang besar membuat partikel tersebut cenderung untuk mengendap, sehingga susah untuk terflotasi. 2. pH larutan Partikel cenderung mudah mengendap pada pH yang tinggi, sehingga partikel lebih sulit terflotasi. 3. Surfaktan Fungsi surfaktan adalah kolektor yang merupakan reagen yang memiliki gugus polar dan gugus nonpolar sekaligus. Kolektor akan mengubah sifat partikel hidrofilik menjadi hidrofobik. 4. Bahan Kimia Bahan Kimia lainnya misalnya lainnya misalnya koagulan koagulan Penambahan koagulan dapat mengakibatkan ukuran partikel menjadi lebih kecil; 5. Laju Udara Laju udara berfungsi sebagai pengikat partikel yang memiliki sifat permukaan hidrofobik, persen padatan. Untuk flotasi pada partikel kasar, dapat dilakukan dengan persen padatan yang besar demikian juga sebaliknya. Besar laju pengumpanan berpengaruh terhadap waktu tinggal. 6. Ukuran Gelembung Gelembung Udara; Salah satu faktor yang mempengaruhi penolehan hasil proses flotasi adalah ukuran gelembung udara. Ukuran gelembung udara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: ● Konsentrasi pembuih Secara teori semakin tinggi konsentrasi frother yang ditambahkan ke dalam slurry, maka akan semakin tinggi pula kemampuan antarmuka udara-air untuk menurunkan tegangan permukaan permukaan air. Hal ini dapat mencegah penggabungan gelembung udara dan menjaga agar gelembung udara dapat tersebar dalam ukuran kecil. ● Kecepatan impeller Deformasi ukuran gelembung udara meningkat ketika slurry bergerak secara turbulen. Semakin tinggi kecepatan impeller maka semakin tinggi pula kecepatan turbulen suspensi yang berada di dekat gelembung udara, sehingga dapat dihasilkan gelembung udara yang berukuran kecil. ● Kecepatan aliran udara Secara teori, ukuran gelembung udara meningkat pada saat kecepatan aliran udara yang masuk ke dalam sel flotasi ditingkatkan. 7. Ketebalan Lapisan Ketebalan Lapisan Buih. 8. Penambahan Reagen Kimia Dengan adanya perbedaan sifat permukaan hidrofobik dan hidrofilik perlu adanya suatu reagen kimia untuk mengubah permukaan mineral. Reagen kimia yang digunakan sebagai bahan bantu flotasi karena mempengaruhi sifat permukaan. 9. Kolektor yang dapat: - Menurunkan tegangan permukaan antara padat dan cair, atau - Meningkatkan tegangan antara gas dan padat Kedua hal diatas dapat meningkatkan sudut kontak α. Senyawa kimia yang tergolong collectors adalah sabun, asam-asam lemak dan amina. 10. Activator merupakan kelompok senyawa kimia yang meningkatkan pengaruh collector. 11. Depressant mencegah flotasi dari fase-fase tertentu tanpa mencegah fase yang diinginkan untuk terflotasi. 12. Promoter merupakan gabungan antara activator dan depressant. ○ Reagen kimia (collector, frother, dan jenis-jenis modifier) 1. Collector Collector adalah senyawa yang dapat menyebabkan permukaan mineral menjadi hidrofobik. Collector biasanya merupakan mineral organik heteropolar, mengandung gugus polar dan non-polar. Gugus nonpolar cenderung bersifat hidrofobik dan akan menempel pada gelembung udara, sedangkan gugus polar akan menempel pada partikel solid tertentu sehingga partikel solid tersebut ikut terapung bersama gelembung udara. 2. Frother Frother adalah senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan gelembung, sehingga tidak mudah pecah. Frother yang efektif biasanya mengandung setidaknya 5 atom karbon dalam rantai utamanya. Ketika permukaan partikel telah menjadi hidrofobik, partikel tersebut harus mampu menempel pada gelembung udara yang disuntikkan (aerasi). Namun muncul masalah ketika gelembung– gelembung tersebut tidak stabil dan mudah pecah akibat tumbukan dengan partikel padat dinding sel dalam gelembung-gelembung lain. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan material ke dalam pulp yang dapat menstabilkan gelembung udara. Material yang ditambahkan tersebut dikenal dengan frother. 3. Modifier Modifier adalah beberapa jenis reagen yang ditambahkan untuk mengoptimalkan proses flotasi. Modifier terdiri dari beberapa jenis reagen tertentu, yaitu: a) Aktivator. Aktivator adalah reagen yang ditambahkan untuk menambah interaksi antara partikel mineral dengan collector. b) Dispersan. Dispersan adalah reagen yang digunakan untuk mencegah terjadinya penggumpalan antara partikel mineral sehingga menambah sifat hidrofobik ke partikel mineral lain yang tidak diinginkan. c) Depresan. Depresan adalah reagen yang ditambahkan untuk membentuk lapisan polar yang membungkus partikel mineral sehingga menambah sifat hidrofobik ke partikel mineral lain yang tidak diinginkan. d) pH regulator. pH regulator adalah reagen yang digunakan untuk mengontrol pH karena sifat hidrofobik akan berlangsung optimal pada range pH tertentu. ○ Work of adhesion Usaha adhesi (work of adhesion) dipengaruhi oleh besar sudut kontak. Besar sudut kontak yang disarankan adalah 60-90 derajat. Rumus usaha adhesi (Young-Dupré equation) adalah: ○ Parameter keberhasilan proses (% recovery, concentration ratio, dan enrichment ratio) *sertakan rumus perhitungan dan contoh kasus a) Concentration ratio Concentration ratio (rasio konsentrasi) adalah berat feed relatif terhadap berat konsentrat. Rasio konsentrasi adalah F/C, dimana F adalah berat total feed dan C adalah berat total konsentrat. Salah satu batasan dengan perhitungan ini adalah bahwa perhitungan ini menggunakan bobot umpan (feed) dan konsentrat. Dimulai dengan persamaan keseimbangan massa, dan definisi rasio konsentrasi: F = C + T, Ff = Cc + Tt, Ratio of Concentration = F/C dimana F, C, dan T masing-masing adalah % berat umpan, konsentrat, dan tailing; dan f, c, dan t adalah pengujian dari feed, konsentrat, dan tailing. T perlu menghilangkan dari persamaan-persamaan ini agar F/C dapat diselesaikan: Ff = Cc + Tt, and multiplying (F = C + T) by t gives us: Ft = Ct + Tt, so subtracting this equation from the previous eliminates T and gives: F(f-t) = C(c-t), and rearranging produces the equation for the ratio of concentration: F/C = (c-t) / (f-t) b) % Metal Recovery % Metal recovery (% pemulihan logam) adalah persentase logam dalam umpan asli yang diperoleh kembali di konsentrat. Hal ini dapat dihitung dengan menggunakan bobot dan pengujian, dalam bentuk (Cc)/(Ff)·100. Atau, karena C/F = (f – t)/(c – t), % pemulihan logam dapat dihitung dari pengujian saja menggunakan 100(c/f)(f – t)/(c –t). c) % Metal Loss % Metal loss (% kehilangan logam) adalah kebalikan dari % Pemulihan Logam, dan mewakili material yang hilang karena tailing. % Metal loss dapat dihitung hanya dengan mengurangkan % Pemulihan Logam dari 100%. d) % Weight Recovery % Weight recovery pada dasarnya adalah kebalikan dari rasio konsentrasi, dengan rumus 100·C/F = 100·(f – t)/(c – t). e) Enrichment Ratio Enrichment ratio dihitung langsung dari pengujian sebagai c/f, bobot tidak terlibat dalam perhitungan. Contoh kasus: Problem: A copper ore initially contains 2,09% Cu. After carrying out a froth flotation separation, the products are as show in Table 1. Using this data, calculate: (a) Ratio of concentration (b) % Metal Recovery (c) % Metal Loss (d) % Weight Recovery or % Yield (e) Enrichment Ratio Table 1 : Grade/recovery performance of a hypothetical copper ore flotation process Feed f = 2.09% Cu F = 100% Wt Concentrate Tailings c = 20% Cu t = 0.1% Cu C = 10% Wt T = 900% Wt Product %Weight %Cu Assay Feed 100 2.09 Concentrate 10 20 Tailings 90 0.1 (a) from Table 1, the Ratio of Concentration can be calculated as F/C = 100/10 = 10. If only assays are available, the ratio of concentration equals (20 - 0.1) / (2.09 - 0.1) = 10. So, for each tons of feed, the plant would produce 1 ton of concentrate (b) Using the example data from Table 1, the %Cu recovery calculated from weights and assays is: %Cu recovery = [(10 x 20) / (2.09x100)] x 100 = 95.7% The calculation using assays alone is %Cu Recovery = 100 (20/2.09) (2.09 - 0.1) / (20 - 0.1) = 95.7% This means that 95.7% of the copper present in the ore was recovered in the concentrate, while the rest was lost in the tailings (c) The %Cu Loss can be calculated by subtracting the %Cu Recover from 100%: %Cu Loss = 100 - 95.7 = 4.3% This means that 4.3% of the copper present in the ore was lost in the tailings (d) The %Weight Recovery is equal to the % Weight of the concentrate in Table 1. It can also be calculated from the assay values given in the table as follows: %Weight Recovery = 100 x (2.09 - 0.1) (20 - 0.1) = 10% (e) The Enrichment Ratio is calculated by dividing the concentrate assay in Table 1 by the feed assay: Enrichment Ratio = 20 / 2.09 = 9.57 This tells us that the concentrate has 9.57 times the copper concentration of the feed ○ Referensi [1] Harjanto, Sri. 2020. Bahan Kuliah Proses Pengolahan Mineral 2020. Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI: Depok. [2] Napier-Munn, T., & Wills, B. A. (2005). Wills’ Mineral Processing Technology. In Wills’ Mineral Processing Technology. [3] Ardra.biz. Neraca Bahan Pengolahan Bijih. https://ardra.biz/sainteknologi/mineral/neraca-bahan-pengolahan-bijih /.diakses pada 6 April 2022 [4] Wrobel, S.A., 1970. Economic flotation of minerals. Mining Mag. 122(4), 281 -282. [5] Klimpel, R., Isherwood, S., 1991. Some industrial implications of changing frother chemical structure. Int. J. Miner. Process. 33 (1-4), 369 381. [6]https://www.researchgate.net/publication/337480407_Comminution_in_mineral_proces sing [7] https://qdoc.tips/derajat-liberasi-5-pdf-free.html [8] https://rngr.net/publications/proceedings/1978/PDF.2004-02-18.3357 [9] Burt, R.O., 1984., Gravity Concentration Technology., Elsevier., Amsterdam. [10] Kelly, E.G & Spottiwood, D.J., 1982., “Introduction to Mineral Process ing”., John Wiley & Sons, New York. [11] Priyor, E.J, 1965., “Mineral Processing”., Elsevier, Amsterdam. [12] http://repositori.unsil.ac.id/4759/5/BAB%20II.pdf [13] https://www.scribd.com/document/370372694/KELOMPOK-2-FLOTASI MODUL 2: PIROMETALURGI ● ○ Tujuan Praktikum 1. Mensimulasikan dan mempelajari aspek termokimia pada pidgeon process untuk ekstraksi magnesium seperti tekanan dan temperatur menggunakan program FactSage Education. 2. Mensimulasikan dan mempelajari diagram fasa dengan variasi tekanan pada pidgeon process untuk ekstraksi magnesium menggunakan program FactSage Education. ○ Dasar Teori Pirometalurgi merupakan salah satu metode metalurgi ekstraksi (proses ekstraksi) yang menggunakan energi panas atau kalor. Panas yang digunakan pada pirometalurgi berkisar pada suhu sekitar 500oC hingga 1700oC dimana suhu tersebut akan membuat logam sudah pada kondisi atau fasa cair. Selain itu, proses pirometalurgi memerlukan bijih yang memiliki kadar logam yang tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar mengurangi penggunaan energi panas. Terdapat 4 tahapan pada proses pirometalurgi, yaitu: ■ Tahapan Proses ●Drying Drying merupakan proses pengeringan dengan suhu diatas titik didih air yang biasanya menggunakan gas panas hasil pembakaran. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan cairan yang masih tersisa pada material agar material tidak lembap. Suhu yang digunakan biasanya berkisar 120oC. Pada industriindustri tertentu, proses drying biasanya dilakukan dengan metode rotary dryer, fluidized bed dryer, dan flash dryer. ●Calcination Calcination merupakan sebuah proses dekomposisi panas material. Proses ini melibatkan reaksi kimia yang menggunakan panas atau temperatur diatas temperatur dekomposisi termal material. Hal ini dilakukan juga dengan mengurangi tekanan parsial pada temperatur yang sama atau konstan. Proses kalsinasi ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan senyawa-senyawa mineral memiliki komposisi yang seragam. Hal tersebut dilakukan dengan cara menghilangkan senyawa hidroksida dan karbonat dari material. Kemudian, senyawa tersebut akan diubah menjadi senyawa oksida. Contohnya adalah besi hidroksida menjadi besi oksida dan uap air. Proses kalsinasi ini biasanya dilakukan dengan metode rotary kilns, fluidized bed reactors, dan shaft furnaces. ●Roasting Roasting merupakan proses pemanggangan (pemanasan) bijih yang bertujuan untuk mengubah bijih sulfida menjadi oksida. Hal ini dilakukan dengan menggunakan udara yang lebih banyak yang telah ditambahkan reagen kimia kemudian dihembuskan ke bijih. Selain itu, proses ini juga bertujuan untuk menghilangkan pengotor atau zat organik yang masih menempel sebelum proses lebih lanjut yaitu peleburan. Metode roasting ini dilakukan dengan metode hearth, fluid bed, dan sintering ●Smelting (Reduction Smelting, Flash Smelting, Matte Smelting, dan Converters) Smelting atau peleburan merupakan proses pemanasan juga pada temperatur yang sangat tinggi yang dapat membuat material atau logam dapat meleleh menjadi fasa cair. Proses smelting ini memiliki tujuan untuk mendapatkan logam murni yang dilakukan dengan memanaskan kokas atau arang dan ditambahkan zat reduksi untuk menghilangkan oksigen. Pada proses ini, terjadi pemisahan antara liquid logam (liquid matte) dan liquid pengotornya yang disebut juga sebagai liquid slag. Penambahan flux dapat dilakukan pada proses untuk membuat pemisahan logam dan slag lebih efektif. Terdapat banyak oven dan furnace yang dapat digunakan untuk proses smelting. ■ Faktor yang mempengaruhi Proses (Reduktor, Temperatur, Reagen, dan Waktu) ●Reduktor Reduktor merupakan zat yang digunakan pada proses smelting untuk menghilangkan atau membebaskan oksigen yang kemudian membentuk karbon dioksida dan menghasilkan logam (yang lebih) murni. Contoh dari reduktor adalah kokas dan arang (padat), minyak bumi (cair), dan CH4 (gas). Contoh reaksi prosesnya cukup sederhana yaitu: NiO + C → Ni + CO dan FeO + C → Fe + CO ●Temperatur Temperatur memberikan pengaruh yang signifikan pada proses reduksi yang berlangsung. Proses reduksi memerlukan suhu pada temperatur tertentu agar dapat terjadi. Besarnya temperatur (minimal) yang diperlukan untuk terjadinya proses reduksi dapat dilihat pada diagram Ellingham. Besarnya temperatur agar dapat terjadi reaksi dapat ditentukan dengan perpotongan antara garis oksidasi dan garis pembentukan karbon dioksida. Setelah itu, kita juga dapat mengetahui apakah reaksi tersebut terjadi secara spontan atau tidak melalui termodinamika (energi bebas) ●Reagen Reagen dapat ditambahkan pada proses peleburan untuk meningkatkan efektivitas dari pemisahan logam cair dan slag serta meningkatkan efisiensi peleburan tersebut. Reagen itu sendiri akan menurunkan suhu yang dibutuhkan untuk proses peleburan. Contoh dari reagen adalah dolomite, silica, dan limestone. ●Waktu Setiap proses pada pirometalurgi tentu memerlukan waktu tertentu untuk mencapai hasil yang optimal (waktu optimal). Jika tidak sesuai, hasil dari logam cair menjadi tidak sempurna atau tidak murni karena masih ada slag atau pengotor. Waktu optimal ini bergantung juga terhadap faktor-faktor lainnya dan pada kondisi dari proses peleburan. ○ Ekstraksi Logam Ferrous Proses pirometalurgi memiliki metode-metode tertentu bergantung pada jenis logamnya. Secara garis besar, jenis logam terbagi menjadi dua untuk perihal ekstraksi, yaitu logam ferrous dan logam non-ferrous. Logam ferrous merupakan logam yang mengandung besi, sedangkan non-ferrous tidak. Jenis bijih besi (ferrous) yang digunakan sebagai feed atau umpan pada pirometalurgi akan mempengaruhi besi (komposisi besi) yang dihasilkan. Umumnya, besi yang ditemukan pada alam masih dalam bentuk oksida, karbonat, atau sulfida. Dengan demikian, diperlukan proses reduksi terlebih dahulu pada tahap awal. Contoh dari logam ferrous adalah hematit, magnetit, siderit, pirit, dan himosit. ■ Syarat Bijih Besi Terdapat beberapa persyaratan untuk bijih besi yang akan digunakan untuk ekstraksi atau melalui proses pirometalurgi, yaitu: ● Mengandung Fe yang tinggi (umumnya berkisar lebih dari 65%) ● Mengandung sedikit pengotor terutama sulfur, seng, kalium, fosfor, dan timbal ● Mengandung oksida ● Ukuran yang seragam atau distribusi ukuran yang sempit ● Mudah dilakukan reduksi ■ Primary Metallurgy ●Blast Furnace Gambar 2.1. Blast Furnace Tanur tinggi atau tanur tiup cocok untuk produksi dalam skala besar karena kemampuan produksinya mencapai 2 juta ton minimum per tahunnya. Pada blast furnace ini, reduktor yang digunakan adalah kokas. Kokas itu sendiri adalah material atau bahan yang dihasilkan dari batubara berkualitas tinggi yang dipanaskan pada lingkungan kedap udara. Feed pada blast furnace adalah bijih besi, kokas, limestone (reagen), dan udara. Hasil dari blast furnace adalah pig iron. ●Basic Oxygen Furnace (BOF) Gambar 2.2. Basic Oxygen Furnace Basic Oxygen Furnace (BOF) merupakan tanur yang digunakan untuk melebur pig iron yang dihasilkan dari blast furnace yang dicampur juga dengan scrap. BOF bertujuan untuk mereduksi kandungan karbon yang terdapat pada pig iron dengan menghembuskan oksigen ke permukaan besi cair dengan kecepatan yang tinggi. Karbon kemudian akan tereduksi oleh oksigen tersebut dan membentuk karbon monoksida (CO) yang dilepaskan dalam bentuk gas. Hasil dari BOF ini adalah baja cair dengan kandungan karbon rendah sekitar 0,04%. Waktu yang diperlukan untuk proses ini adalah sekitar 20 menit. ●Electric Arc Furnace (EAF) Gambar 2.3 Electric Arc Furnace Electric Arc Furnace (EAF) merupakan tanur yang digunakan untuk memproduksi baja. Prosesnya dilakukan dengan memanaskan besi bekas (dapat berupa pig iron atau sponge iron juga) menggunakan busur listrik hingga mencair. EAF umumnya juga dikenal dengan sebutan electric smelting and melting furnace. Adapun tahapan-tahapan dari EAF, yaitu peleburan, oksidasi, desfosforisasi, desulfurisasi, dan pemurnian paduan atau refining. Tahapan tersebut kurang lebih memakan waktu sekitar 90 menit dan akan menghasilkan kurang lebih 150 ton baja. ■ Secondary Metallurgy Secondary Metallurgy merupakan proses lanjutan yang dilakukan karena baja yang telah dimurnikan dari proses sebelumnya masih memiliki kualitas yang kurang atau tidak diinginkan. Hal ini disebabkan terdapat unsur-unsur yang hilang atau masih terdapat gas yang terperangkap saat peleburan sehingga menurunkan kualitas baja. Proses ini mengacu pada produksi dari ingot, recovery logam dari scrap, dan daur ulang. Proses ini dilakukan di luar tanur dan memiliki ciri jumah emisi sulfur oksida dan partikulat yang besar. Emisi dari proses ini dapat berupa uap logam asap, dan debu. ●Ladle Furnace Gambar 2.4. Ladle Furnace Ladle Furnace merupakan tanur yang digunakan untuk pemurnian logam cair dengan melibatkan proses desulfurisasi dan penambahan paduan lainnya. Penambahan paduan tersebut tentunya akan disertai dengan pemanasan ulang. Panas yang digunakan dihasilkan dari busur listrik untuk kontrol temperatur. Paduan yang umumnya digunakan adalah aluminium, silikon, dan mangan dalam bentuk FeSi dan FeMn. Pada proses ini juga dilakukan pengadukan elektromagnetik (argon) untuk transfer panas .Selain itu, proses ini tidak memerlukan degassing dan dapat menghilangkan sebagian besar inklusi oksida atau sulfida dan alumina. ●Argon Oxygen Decarburization (AOD) Gambar 2.5. Argon Oxygen Decarburization Argon Oxygen Decarburization (AOD) merupakan teknologi yang digunakan untuk pemurnian besi dan nikel. AOD biasanya juga digunakan untuk membuat stainless steel atau baja yang mengandung krom tinggi. Proses dari AOD ini dilakukan dengan menginjeksikan gas melalui nozzle dari samping converter. gas O2 dan argon akan bereaksi dengan cepat yang nantinya akan mengurangi tekanan parsial CO yang dapat menggeser kurva kesetimbangan Cr-C. Umumnya 70% pembuatan stainless steel menggunakan AOD ●Ruhrstahl Heraeus (RH) Vacuum Degassing Gambar 2.6. Ruhrstahl Heraeus Vacuum Degassing Ruhrstahl Heraeus Vacuum Degassing (RH) merupakan sebuah reaktor yang digunakan untuk degassing, deoksidasi, dekarburisasi, dan desulfurisasi dari baja cair dalam waktu yang singkat. Proses dari RH menggunakan ruang vakum yang memiliki 2 saluran (snorkels) yang terhubung ke bagian bawah ruang (ladle). snorkel tersebut dilengkapi dengan pipa bercabang yang menyalurkan gas argon ke lapisan tahan api melalui pipa tersebut. ●Vacuum Oxygen Decarburization (VOD) Gambar 2.7. Vacuum Oxygen Decarburization Vacuum Oxygen Decarburization ini dapat digunakan juga untuk pembuatan stainless steel (seperti Argon Oxygen Decarburization). Prinsipnya hampir sama dengan AOD namun pada VOD dilakukan pada lingkungan vacuum atau hampa udara. VOD terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu Oxygen Blowing Stage, Degassing Stage, Reduction Stage yang dapat dilihat pada Gambar 2.7. ○ Ekstraksi Logam Non-Ferrous (Ferronickel, Magnesium, dan Tembaga (Mitsubishi Process)) ■ Ferronickel Nikel pada alam umumnya masih dalam bentuk mineral laterit yang terbagi menjadi 2 yaitu nikel saprolite dan nikel limonite. Kandungan nikel saprolite lebih tinggi dibandingkan dengan limonite. Pada proses pirometalurgi, digunakan kandungan nikel yang lebih tinggi yaitu nikel saprolite. Produk dari pengolahan nikel laterit dibagi menjadi 3 yaitu nickel matte, ferro-nickel, dan nickel pig iron yang dibedakan berdasarkan kandungan nikel di dalamnya. Pengolahan nikel laterit untuk mendapatkan ferro-nickel adalah sebagai berikut. ●Pengeringan Setelah dilakukan penambangan pada nikel laterit, bijih nikel tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu hingga memiliki kandungan air berkisar 20%. Proses pengeringan ini dapat dilakukan dengan menggunakan rotary dryer kiln dengan suhu kurang lebih 800oC dengan bahan bakar cair seperti minyak bumi ataupun padat (batu bara) ●Reduksi dan Kalsinasi Proses ini dilakukan dengan reduction kiln dengan menggunakan gas pereduksi dari pembakaran batu bara atau minyak bumi. Proses ini juga bertujuan untuk menghilangkan sisa air pada nikel yang telah direduksi. Proses ini sebenarnya terdiri dari 3 tahapan yaitu proses pengeringan lanjut, reduksi, dan sulfidasi. pengeringan lanjut dilakukan untuk mendapatkan nikel dengan kandungan air yang sangat rendah atau di bawah 1%. Setelah itu, dilakukan reduksi dengan reduktor berupa antransit pada suhu tinggi sekitar 800oC. Reaksi reduksi yang umumnya terjadi adalah… NiO + C → Ni + CO NiO + CO → Ni + CO2 Fe2O3 + 3C → 2Fe + 3CO Fe2O3 + 3CO → 2Fe + 3CO2 Tahap berikutnya adalah sulfidasi, yaitu menambahkan sulfur cair untuk menstabilkan nikel hasil reduksi. Reaksi sulfidasi yang umumnya terjadi adalah… 3Ni + S2 → Ni3S2 2Ni3S2 + S2 → 6NiS 2Fe + S2 → 2FeS 2FeS + S2 → 2FeS2 ●Peleburan Proses peleburan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kadar ferronickel yang akan dihasilkan. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan electrical arc furnace. Proses peleburan nantinya akan memisahkan bagian yang kaya akan nikel (cair) dan slag menggunakan perbedaan berat jenis seperti proses peleburan lainnya. ●Pemurnian Proses lebih lanjut setelah peleburan adalah proses pemurnian. pada proses ini, akan ditambahkan fluks silika berupa SiO2 berkisar 70% dan udara. Hal ini bertujuan untuk memisahkan NiS dan FeS yang nantinya FeS akan terpisah akibat tertiup udara dan diikat oleh fluks membentuk slag. ■ Magnesium Kemurnian yang diperlukan untuk magnesium komersial menurut ASTM B92 (2007) untuk grade 9980A, minimum 99,8 wt% Mg, dengan pengotor seperti Ca, Al, Si, dan Fe masing-masing di bawah 0,05 wt%. Mineral yang umum digunakan untuk memperoleh magnesium di antaranya dolomit, magnetit, MgCl2, dan lain-lain. Secara umum ada dua jalur utama untuk memproduksi magnesium. I. Proses Elektrolitik Proses ini menggunakan umpan berupa magnesium klorida untuk menghasilkan magnesium cair. Secara umum, proses ini meliputi persiapan feed, dehidrasi magnesium klorida, dan elektrolisis. Berbagai langkah proses dalam rute elektrolitik yang dijelaskan secara rinci oleh Kipourous dan Sadoway (1987). Tahap persiapan feed tergantung pada bahan baku seperti pada gambar 2.8. Gambar 2.8. Rute-rute Proses Ekstraksi Magnesium II. Proses Pidgeon Proses ini didasarkan pada reduksi silikotermik dari magnesium oksida. Kalsinasi dolomit berlangsung dalam rotary-kiln yang beroperasi pada kisaran suhu 1000 hingga 1300oC. Ferrosilikon dihasilkan dari reaksi karbotermik kuarsit dalam tanur busur listrik terendam pada suhu 1600oC. Dolomit dan ferrosilikon yang telah dikalsinasi dicampur dan dibriket sebelum ditempatkan dalam retort stainless steel Ni-Cr horizontal. Pada suhu sekitar 1160oC dan beroperasi antara 13 hingga 67 Pa, reduksi dolomit terkalsinasi oleh ferrosilikon menghasilkan uap magnesium. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: 2CaOMgO (s) + FeSi (s) → 2Mg (s) + 2Ca2SiO4 (s) ■ Tembaga Umumnya, tembaga yang ditemukan pada alam adalah ferosulfida dan tembaga sulfida seperti CuFeS2 atau kalkopirit dan Cu2S atau kalkosit. Bijih tembaga biasanya hanya mengandung sangat sedikit tembaga atau di bawah 1%. Namun pada pertambangan tertentu yang jauh di bawah tanah dapat ditemukan bijih tembaga yang mengandung 1% hingga 3% tembaga dan sisanya adalah pengotor. Berikut adalah tahapan pemrosesan tembaga: ●Mineral Processing Bijih tembaga yang akan diolah umumnya yang ditemukan di bawah tanah atau pada kandungan 1% hingga 3%. Sebelum dilakukan tahapan lebih lanjut, pengotor atau gangue dari bijih tembaga harus dihilangkan terlebih dahulu. Proses berikutnya dari mineral processing ini adalah kominusi, crushing, dan grinding ●Flotasi Proses flotasi dilakukan untuk mendapatkan konsentrat dengan kandungan kurang lebih 25% tembaga yang akan dilanjutkan ke tahap peleburan atau smelting ●Matte Smelting Proses peleburan tembaga tidak berbeda jauh dengan peleburan lainnya dimana bertujuan untuk mereduksi dan mengoksidasi untuk menghasilkan tembaga yang lebih murni. Produk dari peleburan ini adalah sulfida matte cair dengan kandungan berkisar dari 50% hingga 70% tembaga. sulfida matte tersebut yang mengandung tembaga dalam bentuk konsentrat diproses lebih lanjut menggunakan tanur konversi. Hasil yang didapatkan setelah melalui tanur konversi tersebut berupa tembaga cair namun masih belum murni. Reaksi yang terjadi selama proses ini adalah 8CuFeS2(s) + 13O2 → 4Cu2S – 2FeS(l) + 6FeO(s) + 10SO2(g) ●Converting Oksidasi dari lelehan matte dari peleburan dengan udara atau udara yang diperkaya oksigen pada suatu converter Pierce-Smith yang bertujuan untuk menghilangkan besi dan sulfur dari matte untuk menghasilkan tembaga cair mentah (99% Cu). Reaksi yang terjadi pada proses converting adalah sebagai berikut. Eliminasi FeS atau pembentukan slag dengan reaksi eksotermik 2FeS + 3O2 + SiO2 → Fe2SiO4 + 2SO2 + panas Pembentukan tembaga Cu2S + O2 → 2Cu + SO2 + panas ●Direct-to-Copper Smelting Kondisi pengoksidasi kuat dalam tungku tembaga langsung menghasilkan terak dengan 14-24% Cu teroksidasi. Reduksi tembaga ini untuk menjadi tembaga metalik kembali memerlukan biaya yang tinggi terutama proses pada konsentrat Fe rendah, yang menghasilkan sedikit terak. ●Refining Proses pemurnian tembaga, sama seperti proses pemurnian lainnya, bertujuan untuk mendapatkan tembaga yang memiliki kandungan sangat tinggi. Proses ini dapat dilakukan dengan metode electrorefining. Tembaga yang dihasilkan akan mengandung kurang dari 0,002% pengotor yang tidak diinginkan. Anoda yang digunakan pada proses ini adalah anoda yang mengandung tembaga yang akan dimurnikan. Anoda berfungsi menghilangkan sulfur dan oksigen dari tembaga. Elektrolit yang digunakan adalah larutan air H2SO4 dan CuSO4. ○ Referensi Habashi, Fathi. (1970). Handbook of Extractive Metallurgy II: Primary Metals. Mata Kuliah Metalurgi Ekstraksi, Prof. Dr. Ir. Sri Harjanto dan Dr. Ing. Reza M. Ulum, S.T., M.T., Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia Mata Kuliah Pembuatan Besi dan Baja, Prof. Dr.-Ing. Ir. Bambang Suharno dan Dr. Ing. Reza M. Ulum, S.T., M.T., Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia Pyrometallurgy. Chemeurope.com. (2021). Retrieved 16 April 2021, from https://www.chemeurope.com/en/encyclopedia/Pyrometallurgy.html. Setiawan, I. (2016). PENGOLAHAN NIKEL LATERIT SECARA PIROMETALURGI: KINI DAN PENELITIAN KEDEPAN. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2016 MODUL 3: HIDROMETALURGI ○ Tujuan Praktikum Untuk mengetahui dan memahami mengenai tahapan-tahapan pada proses hidrometalurgi, proses leaching dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensinya. ○ Dasar Teori (Definisi, Prinsip, Keuntungan, dan Kerugian Proses) Hidrometalurgi adalah sebuah proses mengekstraksi logam dari bijih material dengan larutan garam dalam air (reagen) yang dilakukan pada temperatur relatif (kamar/tinggi). Pada dasarnya prinsip yang dikenakan pada proses hidrometalurgi adalah dengan reagen yang ditambahkan pada logam untuk melarutkan pengotor sehingga terdapat pemisahan antara pengotor dan logam yang berdampak pada logam yang semakin murni. Pengotor dan logam murni terpisah dengan adanya bantuan reaksi kimia melalui logam yang dilarutkan melalui pelarut. Dalam prosesnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu roasting, leaching serta precipitation. Tentu hidrometalurgi memiliki beberapa keuntungan dan kerugian dalam prosesnya. Keuntungannya adalah memiliki tingkat recovery dan purify yang tinggi, konsumsi energi yang rendah, high selectivity, lebih ramah lingkungan. Sedangkan kerugiannya adalah penggunaan air yang sangat banyak yang berdampak terjadinya kontaminasi, waktu proses yang lama, kapasitas produksi kecil dan membutuhkan leaching agentsyang banyak. ■ Tahapan proses ●Roasting Roasting merupakan proses pemanggangan yang biasanya diaplikasikan pada mineral sulfida, lalu mengkonversikannya menjadi menjadi oksida guna meningkatkan kelarutan mineral pada proses leaching serta menghilangkan impurities (sulfur). Selain itu, Roasting juga dapat mempercepat proses selective leaching pada logam Nd dan Dy, menurunkan efisiensi proses leaching besi, dan menurunkan kadar air dalam bijih. Dalam proses roasting, udara dalam jumlah besar dikontakkan dengan konsentrat mineral sulfida. Hal ini dilakukan pada suhu tinggi ketika oksigen bergabung dengan sulfur untuk membentuk sulfur dioksida dan dengan logam untuk membentuk oksida, sulfat dan sebagainya. ●Leaching ○ Tujuan dan mekanisme proses Proses leaching atau pelindian merupakan proses ekstraksi zat dari padatannya menggunakan cairan yang melibatkan difusi dan berhubungan dengan transfer massa dari suatu fasa ke fasa yang lain. Proses leaching memanfaatkan perbedaan konsentrasi antar zat bagian permukaan padatan yang berbatasan dengan cairan untuk membantu proses difusi. Karakteristik padatan dapat berubah secara drastis dalam proses leaching, feed yang kasar dan granular dapat berubah menjadi bentuk pulp. ○ Faktor pemilihan larutan leaching Dalam proses pelindian larutan yang dipilih sebaiknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut : ● Bersifat stabil dan inert ● Dapat didaur ulang ● Dapat memberikan kemurnian solusi yang tinggi ● Tidak beracun ● Tidak mudah terbakar ● Memiliki nilai ekonomi yang baik. ○ Faktor kinetika leaching (ukuran partikel, konsentrasi larutan leaching, reagen zat leaching, temperature, dan waktu) ● Ukuran Partikel : Semakin tinggi ukuran partikel maka luas permukaan kontak yang terkena pelarut semakin kecil. Dengan begitu, semakin tinggi luas permukaan kontak, tingkat recovery semakin tinggi. ● Temperatur : Reaksi hanya akan terjadi apabila terdapat cukup energi aktivasi ● Waktu : Jumlah recovery logam akan berbanding lurus dengan waktu kontak material dengan agen leaching ● Jenis reagen zat : Untuk jenis reagen yang biasanya digunakan bergantung dengan kondisi dari plant, tetapi reagen dengan jenis asam anorganik kerap menghasilkan recovery yang lebih tinggi ● Konsentrasi larutan leaching : Laju reaksi akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan leaching. ○ Jenis reagen (Syarat zat reagen, jenis-jenis zat reagen: asam, basa, dan garam) Reagen yang dipilih dari proses leaching perlu memiliki kemampuan untuk melarutkan kandungan berharga dari mineral yang ingin diproses, berikut adalah beberapa jenis reagen : ● Asam : Reagen asam sulfat kerap dipakai dalam proses High pressure acid leaching untuk proses ekstraksi nikel dan kobalt. Lalu asam jenis lain seperti asam nitrat juga sering dipakai dalam proses pelindian. ● Basa : Contoh yang kerap digunakan adalah NaOH yang digunakan pada proses pemurnian bauxite menjadi alumina dalam proses Bayer ● Garam : Larutan garam dipakai karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan mineral, umumnya dipakai pada proses ekstraksi logam mulia seperti perak dan emas. ○ Metode leaching (In situ Leaching, Dump Leaching, Heap Leaching, Agitation Leaching, Hot Digestion Leaching, Pressure Leaching, dan Bioleaching) ● In situ Leaching Sesuai dengan namanya In situ Leaching merupakan proses pelindian pada situs penambangann. Pertimbangan dalam menggunakan proses ini adalah aplikasi ekstraksi untuk logam yang memiliki tingkat recovery yang rendah. Dengan metode transportasi yang tinggi tidak sebanding dengan tingkat recovery yang dihasilkan logam seperti tembaga. ● Heap Leaching Metode Heap Leaching dilakukan dengan menimbun bijih mineral dalam suatu lokasi, alasnya diratakan dengan aspal. Air atau asam sulfat pekat disiramkan di bagian atas timbunan, kemudian larutan leaching yang dihasilkan dikumpulkan pada bagian bernama pond. ● Agitation Leaching Metode agitation leaching dilakukan dengan mengaduk larutan baik secara mekanik atau menggunakan tekanan udara. Umpan yang akan dilindi harus dihaluskan terlebih dahulu menggunakan proses grinding. ● Hot Digestion Metode leaching yang dilakukan pada suhu tinggi yang dilakukan dalam sebuah vessel. Leaching agent yang biasa digunakan adalah asam atau basa yang memiliki konsentrasi tinggi. Dalam proses ini juga menggunakan bantuan pengadukan. Keunggulan metode ini adalah waktu proses yang lebih singkat. Contoh Hot Digestion Leaching adalah leaching logam Vanadium. ● Pressure Leaching Metode ini menggunakan tekanan untuk membantu proses pelindian. Dalam aplikasinya terdapat 2 metode, yaitu metode dengan menggunakan oksigen dan dengan menggunakan oksigen. Tekanan pada metode tanpa oksigen ini berasal dari tekanan uap dari bijih yang dipanaskan setelah dilarutkan dengan larutan pelindi pada temperatur di atas titik didih larutan, untuk mendapatkan laju reaksi tertinggi. Proses ini harus dilakukan dalam bejana tertutup untuk menahan tekanan uap larutan pada temperatur tersebut. Contoh, pelindian bauksit dengan NaOH. Sedangkan pada metode yang menggunakan oksigen tekanan yang digunakan merupakan tekanan larutan ditambah dengan tekanan oksigen. Laju leaching diatur oleh tekanan parsial oksigen bukan tekanan total. Pelindian ini digunakan pada pelindian bijih sulfida. ● Bio Leaching Bioleaching adalah proses leaching dengan bantuan mikroorganisme sehingga logam berharga dapat dipisahkan dari mineralnya. Berdasarkan pergerakan dari mikroorganisme saat proses pelindian berlangsung, terdapat 2 jenis model mekanisme yaitu kontak langsung dan kontak tidak langsung. Metode pertama merupakan metode dimana terdapat reaksi antara mikroba tanpa adanya mediasi. Kontak langsung antara mineral dan bakteri diperlukan, oleh karena itu bakteri harus melekat pada permukaan mineral. Contoh bakteri yaitu Thiobacillus. Metode tanpa kontak merupakan metode dimana pada mekanisme ini, bakteri tidak perlu bersentuhan langsung dengan mineral karena adanya media lain sebagai pembawa elektron untuk reaksi. Contohnya adalah ekstraksi tembaga menggunakan bakteri Leptospirilum. dengan media Ion besi Ferri (Fe3+) yang berasal dari oksidasi senyawa Ferrous akibat bakteri tersebut. ●Precipitation dan Isolation ○ Tujuan dan prinsip proses Precipitation dan isolation merupakan tahapan dimana proses ini dilakukan setelah proses leaching. Untuk tujuan dari kedua proses ini adalah sama, yakni untuk mengambil endapan logam berharga yang didapatkan dari proses leaching. Precipitation merupakan proses pemisahan endapan (padat) dari larutan hasil leaching. Metode presipitasi ini digunakan berdasarkan pengaturan pH, penambahan unsur kimia atau mendinginkan larutan untuk mendapatkan endapan. Sedangkan isolation merupakan proses pemisahan larutan berdasarkan larutan hasil leaching. ○ Metode isolation (solvent extraction, reverse osmosis, dan ion exchange) ■ solvent extraction solvent extraction merupakan proses pemisahan zat cair hasil leaching berdasarkan perbedaan kelarutan. Proses ini bertujuan untuk menggunakan cairan (pelarut) untuk melarutkan (solvate) molekul target atau kelompok senyawa (solute). Pelarut kemudian dipisahkan dari zat terlarut untuk memekatkan zat terlarut. ■ reverse osmosis Reverse Osmosis merupakan proses penyaringan larutan dengan tujuan memisahkan ion, molekul yang tidak diinginkan, dan partikel yang lebih besar dengan memanfaatkan suatu membran semipermeabel (ukuran pori 0,5-1,5 nm) yang digerakkan oleh tekanan. Membran semipermeabel ini akan memilah zat pelarutnya (atau bagian lebih kecil dari larutan) tetapi tidak bisa dilewati zat terlarut seperti molekul berukuran besar dan ion-ion. ■ ion exchange Ion Exchange merupakan proses deionisasi air dan penghilangan kontaminan logam dari air limbah atau aliran encer. Proses ini kerap digunakan untuk memulihkan logam berharga, seperti : Au, Ag, Pt, Pd, Rh, Ir, Ru, dan Os. Logam berharga akan dipulihkan dari air limbah dengan menggunakan mesin penukar anion. Reaksi ini terjadi dalam bejana dimana aliran proses atau limbah dilewatkan melalui resin khusus yang dapat memfasilitasi pertukaran ion. ○ Ekstraksi Logam Nikel Nikel adalah logam yang melimpah terbanyak ke-24 di kerak bumi, dan ke-5 unsur berdasarkan beratnya setelah besi, oksigen, magnesium, dan silikon. Pada umumnya bentuk mineral dari logam nikel hadir dalam bentuk pentlandite yaitu sulfida nikel-besi dan garnierite yatu silikat nikel-magnesium. Pada Gambar 3.1 adalah bentuk-bentuk mineral dari nikel. Gambar 3.1. Macam-macam mineral yang mengandung nikel mineral silikat dan oksida Khususnya di Indonesia, nikel banyak ditemukan dalam bentuk oksida yang biasa disebut sebagai nikel lateritik. Bijih ini banyak ditemukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Halmahera, dan lain-lain. Nikel lateritik ini umumnya berupa saprolite dan garnierite yang mana sangat cocok proses secara pyrometallurgy, mulai dari tahapan drying, calcining, dan smelting untuk didapatkannya produk berupa ferro-nickel atau nickel sulfide matte. Tetapi, pada proses pyrometallurgy, kandungan Ni pada mineral yang dapat diproses apabila diatas 2% Ni. Di Indonesia, bijih lateritik memiliki kandungan nikel yang sangat rendah, yaitu limonite. Teruntuk bijih lateritik kualitas rendah, terdapat beberapa proses yang dapat dilakukan yaitu Caron Process dan High Pressure Acid Leach (HPAL) Process. ■ Mekanisme proses Bijih limonit dengan kandungan nikel yang rendah dan besi yang tinggi umumnya diolah dengan proses hydrometallurgy, yaitu dengan Caron Process dan High Pressure Acid Leach (HPAL) Process. Namun, pada bagian ini hanya akan dijelaskan lebih lanjut pada proses HPAL saja. Pada proses HPAL, bijih laterit limonit yang diproses harus memiliki kandungan magnesium yang rendah, biasanya dibatasi < 4% Mg. Kandungan magnesium yang tinggi akan mengonsumsi asam yang tinggi pada proses pelindian. Selain itu, pada proses HPAL digunakan tekanan yang tinggi (sekitar 50 bar), temperatur 240-270 oC, dan H2SO4 untuk memisahkan nikel dan kobalt dari bijih laterit sebagai produk utamanya. Mekanisme prosesnya diawali dengan penambangan bijih laterit limonit yang kemudian dilakukan proses kominusi dengan metode crushing dan grinding. Setelah itu, liberasi laterit dicampur dengan air untuk membentuk slurry dan kemudian dipanaskan. Slurry panas ini dipompa ke dalam autoklaf dimana asam H2SO4 ditambahkan secara directly leached dengan pemberian tekanan dan temperatur. Slurry dan H2SO4 akan bereaksi di dalam autoklaf kurang lebih selama 60 menit. Dimana, nikel dan kobalt akan larut membentuk liquid solution, sedangkan oksida besi membentuk padatan yang tidak larut. Lalu, slurry akan dicuci dengan neutralization dan CCD (Counter Current Decantation). Pada proses neutralization, slurry akan dicampur dengan limestone membentuk gypsum precipitate. Lalu, campuran ini akan dilakukan proses pemisahan atau separasi secara dekantasi pada suatu tangki yang besar. Nikel, kobalt, dan mineral jenis lainnya akan terpisah serta padatan yang terbentuk akan mengendap di bawah tangki. Larutan nikel kobalt ini telah terpisah dari pengotor berupa besi, aluminium dan kromium, tetapi masih mengandung kalsium, magnesium, sodium, dan mangan yang masih larut. Untuk menghilangkan pengotor ini, larutan akan dipanaskan dan dicampur dengan H2S. Mineral pengotor ini akan bereaksi membentuk logam sulfida. Kemudian, dilakukanlah proses purifikasi dan recovery dengan metode elektrometalurgi (electrorefining dan electrowinning) untuk memisahkan nikel dari kobalt. Diagram alir proses HPAL dapat dilihat pada Gambar 3.2 ■ Diagram Alir Gambar 3.2. Skematis HPAL Process di Moa Bay ■ Reaksi Kimia Pada proses HPAL, terdapat beberapa macam reaksi yang terjadi selama pemrosesan, yaitu: ○ Pelindian dengan H2SO MeO + 2H2SO4 → Me2+ + 2HSO4- + H2O ○ Pencucian dengan H2S NiO + 2H+ → Ni2+ + H2O CoO + 2H+ → Co2+ + H2O ■ Kelebihan dan Kekurangan Adapun kelebihan dari proses HPAL adalah energi yang dibutuhkan lebih rendah daripada Caron Process karena umpan yang dimasukkan memiliki kadar magnesium dan aluminium yang rendah, sehingga penggunaan H2SO4 lebih sedikit. Lalu, untuk temperatur operasi yang digunakan juga lebih rendah dari Caron Process serta peralatan proses yang simpel. Disisi lain, kekurangan dari proses HPAL adalah biaya untuk autoklaf titanium dan perawatannya tinggi serta prosesnya kompleks dan susah untuk dikontrol. ○ Ekstraksi Logam Emas Emas sering hadir dalam mineral sulfida seperti pyrite dan arsenopyrite dan dalam senyawa yang mengandung unsur selenium dan antimony. Emas murni umumnya terbentuk secara alami, dengan kandungan emas mencapai 90% atau lebih dan sisanya perak serta tembaga dan besi adalah pengotor pada bijih emas. Proses ekstraksi emas, pertama dilakukan crushing dan grinding bijih emas terlebih dahulu. Setelah itu, akan dilakukan leaching dengan sianida seperti NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau HCN. Reaksi yang terjadi antara bijih emas dengan zat pelindi adalah sebagai berikut 4Au + 8CN- + O2 + H2O → 4Au(CN)2- + 4OHMetode pelindian yang dilakukan yaitu dengan metode Heap Leaching. Setelah dilindi, selanjutnya akan diabsorpsi oleh karbon aktif, sehingga logam terlarut akan bereaksi dengan karbon. Produk bereaksi dengan karbon antara lain Au, Ag, Cu, dan organicinorganic foultants. Setelah proses Adsorpsi, selanjutnya masuk ke tahapan elusi, yaitu pelepasan kembali senyawa memisahkan karbon aktif dengan emas tadi, dimana dibilas dan dicuci dengan suatu reagen sehingga emas terpisah dari karbon dan karbon dapat digunakan kembali pada tahapan sebelumnya. Setelah tahapan elusi selesai, lanjut ke tahapan refining dengan metode electrowinning. Pada proses ini, emas akan terdeposisi pada batang katoda hasil dari pemurniannya dengan reaksi sebagai berikut. 2Au(CN)2 + 4OH- → 2Au + 4CN- + 2H2O + O2 Adapun skematis proses daripada ekstraksi emas dapat dilihat pada Gambar 3.3 ■ Diagram alir Gambar 3.3. Skematis proses ekstraksi emas ■ Kemampulindian emas Sianidasi emas adalah teknik pelindian pada emas dengan mengubah menjadi bentuk kompleks yang larut dalam air yaitu aurosianida [Au(CN)2]. Proses pelindian ini dilakukan sebagai proses pemisahan antara bijih emas dengan partikel batu-batuan, lumpur, ataupun tanah sehingga dapat mengekstraksi emas seutuhnya. Sebelum dilindi, bijih emas dilakukan proses pengecilan ukuran atau proses kominusi terlebih dahulu. Setelah itu, liberasi bijih emas ditimbun di suatu lokasi yang kemudian disiram pada bagian atasnya dengan alkali sianida. Lalu, larutan hasil pelindian akan dikumpulkan pada suatu tempat yang dinamai pond. Dissolution rate emas bergantung pada konsentrasi zat lindi yang digunakan serta optimum pH yaitu sekitar 10,5. Agar pelindian berlangsung secara efisien, emas harus bersih dan berukuran halus. Adanya mineral seperti tembaga yang teroksidasi menjadi pengganggu bagi proses pelindian ini karena tembaga akan larut terlebih dahulu dibandingkan emas. Lalu, yang menjadi hal penting lainnya yaitu pasokan oksigen terlarut yang memadai dalam proses sianidasi emas. Namun, yang perlu diketahui adalah penggunaan sianidasi sangat mengancam kesehatan dan lingkungan yang apabila tidak diolah dengan benar karena bersifat racun. Adapun alternatif lain yang dapat digunakan sebagai substitusi sianida sebagai zat lindi adalah thiourea dan thiosulfate. ■ Proses activated carbon adsorption (CIC, CIP, CIL) (Kelebihan dan kekurangan, dan perbedaan masing-masing metode tersebut) Dalam proses ekstraksi emas, terdapat salah satu proses penting yaitu activated carbon adsorption process. Pada proses ini, ore slurry hasil pelindian diabsorbsi ke dalam pori-pori activated carbon. Terdapat beberapa macam carbon adsorption yang digunakan dalam ekstraksi emas, antara lain: ○ Carbon in Pulp (CIP) Proses CIP berlangsung dari pelindian secara berurutan diikuti dengan penyerapan emas dari bijih oleh karbon. Pada tahap absorpsi, slurry akan mengalir melalui beberapa tangki yang diaduk berisikan karbon aktif. Umumnya, terdapat lima atau enam tangki pengaduk. Dengan ini, akan meningkatkan kemungkinan emas yang akan terabsorbsi oleh karbon sehingga meningkatkan persentase recovery. ○ Carbon in Leach (CIL) Proses CIL adalah proses yang pelindian dan absorpsi secara bersamaan pada satu unit operasi proses. Proses ini dikembangkan untuk pengolahan bijih emas yang mengandung preg-robbing materials. Dimana, ini dapat mengurangi perolehan emas akibat preg-robbing materials (native carbon pada bijih emas) ini. Dengan proses CIL ini dimana pelindian dan absorpsi dilakukan secara serentak, dapat mengurangi permasalahan ini. Sirkuit CIL dan CIP hampir sama, tetapi pada CIL pelindian dan absorpsi terjadi pada satu tangki sedangkan pada CIP terjadi pada beberapa tangki, yaitu satu tangki untuk pelindian, tangki selanjutnya untuk absorpsi karbon. Pengurangan penggunaan tangki untuk prosesnya, CIL memiliki kekurangan dalam prosesnya yaitu jumlah activated carbon yang dimuatkan lebih sedikit 2030% daripada CIP sehingga mengurangi banyaknya emas yang terabsorpsi. ○ Carbon in Column (CIC) Pada proses CIC, ore slurry mengalir melalui serangkaian fluidized bed columns dengan arah aliran ke atas. CIC paling banyak digunakan untuk memperoleh emas dan perak dari pregnant solution. Kelebihan dari proses CIC ini adalah kemampuan untuk memproses larutan yang mengandung 2-3 wt% padatan. ○ Referensi Meshram, P., Abhilash, & Pandey, B. D. (2018). Advanced Review on extraction of nickel from primary and secondary sources. Mineral Processing and Extractive Metallurgy Review, 40(3), 157–193. https://doi.org/10.1080/08827508.2018.1514300 Halil Yildirim, Morcali, M. H., Ahmet Turan, &amp; Onuralp Yucel. (2013). Nickel Pig Iron Production from Lateritic Nickel Ores, 1–2. La Brooy, S. R., Linge, H. G., &amp; Walker, G. S. (1994). Review of gold extraction from ores. Minerals Engineering, 7(10), 1213–1241. https://doi.org/10.1016/08926875(94)90114-7 Kongolo, K., &amp; Mwema, M. D. (1998). The Extractive Metallurgy of Gold. Hyperfine Interactions, 111(1/4), 281–289. https://doi.org/10.1023/a:1012678306334 Gold Mining Process Development. Denver Mineral Engineers. (n.d.). Retrieved April 5, 2022, from https://www.denvermineral.com/gold-mining-process-development/ Lima, L. R. (2007). Dynamic simulation of the carbon-in-pulp and carbon-in-leach processes. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 24(4), 623–635. https://doi.org/10.1590/s0104-66322007000400014 MODUL 4: ELEKTROMETALURGI ● ○ Tujuan Praktikum ○ Mengetahui dan memahami proses elektrometalurgi melalui metode electrowinning. ○ Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya endapan logam yang merupakan hasil proses electrowinning. ○ Dasar Teori ■ Definisi dan Prinsip Proses Elektrometalurgi berkaitan dengan konversi garam logam, oksida atau sulfida menjadi logam (electrowinning) atau dengan pemurnian logam (electrorefining) dengan proses elektrolitik, yaitu proses di mana energi kimia yang dibutuhkan oleh reaksi kimia disuplai oleh energi listrik, yang melibatkan bagian dari arus listrik melalui elektrolit yang menghantarkan arus antara dua elektroda. Ada dua proses elektrolisis utama: – elektrolisis garam berair: elektrowinning logam (Cu, Zn, Ni, Co, Cd dan Cr) dari garamnya dan elektrorefining logam tidak murni (tembaga, nikel, timbal dan timah); – elektrolisis garam leburan: elektrowinning magnesium dari MgCl2, aluminium dari alumina. ■ Keuntungan dan Kerugian Proses Keuntungan dalam proses elektrometalurgi, didapatkan hasil ekstraksi dengan kemurnian yang tinggi, dan temperatur yang digunakan relatif rendah. Sedangkan pada kerugiannya, diperlukan material khusus untuk menjadi elektroda dan butuh energi listrik eksternal. ■ Syarat Elektroda Dalam proses elektrometalurgi, dibutuhkan elektroda khusus dalam prosesnya. Syaratnya adalah konduktor listrik yang baik, potensial yang terbentuk di sekitar elektroda harus rendah, dan tidak mudah bereaksi dengan logam yang lain dan tidak membentuk campuran yang dapat mengganggu proses elektrolisis. ■ Faktor yang Mempengaruhi Proses Di dalam proses elektrometalurgi, di mana tujuan elektrolisis dalam larutan berair adalah untuk menghasilkan endapan polikristalin yang melekat pada katoda dan dengan permukaan yang halus. Untuk endapan elektrolit, karena banyaknya faktor yang mempengaruhi morfologi endapan, masalahnya sangat kompleks dan hanya sedikit hasil umum yang disajikan [WIN 92]. Dan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses itu sendiri dalam struktur depositonya yakni sebagai berikut. 1. Current Density 2. The Nature and Concentration of the ion untuk menjadi deposit 3. Temperature ■ Electrical Energy Consumption Daya konsumsi listrik digunakan ketika P = V . I = EI + RI2 Energi yang dikonsumsi W untuk menghasilkan satu ton logam dapat dihitung dengan persamaan berikut: - W(Joule/ton logam) = 96.484 . 106 . V / {r . (M/z)} - W(kWh/ton logam) = 96.484 . V / {3.6 r (M/z)} Elektrolisis berair garam logam seperti Cu, Zn, Ni mengkonsumsi sekitar 2.000−4.000 kWh/ton logam. ○ Jenis - Jenis Proses ■ Electrowinning Electrowinning merupakan metode ekstraksi logam dengan elektrodeposisi dari larutan mineralnya yang mana reduksi katodik digunakan untuk mendepositkan logam yang ingin didapatkan dari hasil pelindian (leaching). Proses ini menggunakan anoda yang tidak larut atau inert dan proses anodik menghasilkan reaksi evolusi gas. Electrowinning dari molten salt (lelehan garam) biasa digunakan untuk ekstraksi elemen elektronegatif yang tidak dapat di elektrodeposisi dari larutan aqueous, seperti aluminium, magnesium, tembaga, seng, dan kadmium dengan cara elektrodeposisi dari larutan aqueous dari garam logam. Reaksi umum yang terjadi pada katoda selama proses electrowinning yaitu: Deposisi katodik dari logam yang ingin didapatkan ➔ Katoda: Ln+ + ne- → L Dan evolusi oksigen pada anoda: ➔ Anoda: 2H2O → O2 + 4H+ + 4e- Namun, dalam electrowinning logam dari sulfida atau matte dapat terjadi disolusi anoda. Contoh pada electrowinning nikel dari nikel matte (Ni3S2), disolusi Ni3S2 menghasilkan ion Ni2+ dan sulfur. Proses tersebut dikategorikan sebagai electrowinning dengan anoda soluble (larut). Di sisi lain, pada proses fused salt electrowinning, komposisi elektrolit dan anoda akan menentukan reaksi anoda. Pada electrowinning aluminium menggunakan elektrolit fused cryolite yang mengandung Al2O3 terlarut, CO dan CO2 akan dihasilkan. Sementara itu, pada electrowinning magnesium dengan elektrolit fused chloride akan terjadi evolusi dari klorin pada anoda. Bergantung dari kondisi operasi, logam murni terkadang dapat didepositkan pada pool dari lelehan logam yang menutupi hearth dari sel dan dilindungi oleh elektrolit (seperti pada produksi aluminium). Di sisi lain, magnesium akan mengapung pada elektrolit yang bersentuhan dengan katoda dan sel dirancang khusus untuk mencegah terjadinya kontak antara logam dengan klorin. Terdapat klasifikasi logam menjadi tiga kelompok berdasarkan kemungkinan untuk dilakukan electrowinning/electrorefining dengan menggunakan larutan aqueous atau elektrolit fused salts sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 4.1. Terdapat dua kategori dari logam yang dapat didepositkan dari elektrolit aqueous. Logam yang elektropositif terhadap hidrogen dapat didepositkan tanpa terjadinya evolusi hidrogen sedangkan logam yang elektronegatif terhadap hidrogen akan didepositkan di bawah hydrogen overvoltage. Sementara itu, logam yang sangat reaktif dengan negative discharge potentials hanya dapat didepositkan dari elektrolit fused salt. Tabel 4.1 Klasifikasi logam untuk proses electrowinning ■ Electrorefining Electrorefining merupakan proses pemurnian logam dengan cara elektrolisis. Logam yang tidak murni berperan sebagai anoda dan katoda berupa logam murni. Logam yang tidak murni akan dilarutkan secara anodik dan didepositkan secara katodik, serta pengotor akan membentuk lumpur atau ion dalam larutan. Selain untuk memproduksi logam, electrorefining juga dapat digunakan untuk daur ulang logam. Skema dari proses electrorefining dapat dilihat pada Gambar 4.1 Gambar 4.1 Skema proses electrorefining Reaksi yang terjadi pada proses electrorefining yaitu: Anoda: L (tidak murni) → Ln+ + ne Katoda: Ln+ + ne- → L (murni) Proses electrorefining ini harus memenuhi beberapa kriteria: ○ Spesies ionik dalam elektrolit harus mendukung reaksi anodik. ○ Spesies ionik dalam elektrolit harus tereduksi di katoda. ○ Elektrolit harus dapat menghantarkan ion. ○ Sebuah konduktor logam diperlukan untuk mengalirkan elektron melalui sirkuit eksternal dari situs anodik ke katodik. Pada proses disolusi anodik, pengotor logam yang memiliki potensial elektroda yang lebih positif akan tetap tidak larut dalam bentuk residu (anodic slime). Sementara itu, logam yang memiliki potensial lebih negatif akan larut bersamaan dengan logam yang akan dimurnikan. Namun, logam yang memiliki potensial lebih negatif dari logam yang akan dimurnikan tidak akan terdeposit pada katoda dan dapat membentuk anodic slime jika kation logam tersebut dapat bereaksi dengan anion pada elektrolit untuk membentuk garam larut. Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.1, proses electrorefining dari elektrolit aqueous dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti tembaga, perak, emas, nikel, timbal, dan timah. Contoh yang paling banyak dilakukan yaitu untuk proses pemurnian tembaga untuk menghilangkan pengotor berupa arsen dan antimon. Sementara itu, proses electrorefining dari elektrolit fused salt biasa dilakukan untuk pemurnian aluminium. ■ Electroplating Elektroplating merupakan proses elektrolisis untuk mendepositkan lapisan tipis logam pada logam substrat. Logam yang akan dilapisi berperan sebagai katoda, anoda yang digunakan berupa logam pelapis ataupun logam inert, dan elektrolit yang digunakan mengandung ion logam pelapis. Aliran listrik eksternal akan digunakan untuk mereduksi kation logam untuk membentuk lapisan logam pada katoda. Electroplating dilakukan untuk memodifikasi permukaan logam atau nonlogam tanpa mengubah sifat base metal yang berguna untuk meningkatkan ketahanan korosi dan abrasi, mengubah tampilan permukaan (dekoratif), dll. Salah satu aplikasi lain dari electroplating yaitu pembuatan komponen elektronik (pemutus arus dan kontak). Gambar 4.2 Skema elektroplating ■ Electroforming Electroforming adalah proses pembentukan logam dengan metode elektrodeposisi. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.3, anoda yang digunakan berupa material logam yang akan dibentuk dan katoda akan memiliki bentuk dengan model mandrel. Dengan adanya arus listrik eksternal, kation logam tersebut akan larut pada elektrolit dan tereduksi pada katoda untuk membentuk material dengan pola sesuai dengan model mandrel yang ada. Gambar 4.3 Skema electroforming ○ Molten Salt Electrolysis Molten Salt Electrolysis atau elektrolisis garam cair merupakan produksi logam dengan elektrolisis garamnya (klorida) atau oksida dalam larutan garam cair. Misalnya, kelarutan logam dalam elektrolit dapat menjadi substansial dengan kemungkinan reoksidasi di anoda, yang menyebabkan hasil yang rendah. Elektrolit harus memiliki karakteristik sebagai berikut: - Karakteristik termal: elektrolit harus meleleh pada suhu yang relatif rendah tetapi lebih tinggi dari titik leleh logam untuk mengumpulkannya sebagai cairan. Campuran garam digunakan untuk menurunkan titik leleh dengan menggunakan komposisi yang mendekati eutektik. - Karakteristik elektrokimia: garam yang menyusun elektrolit harus lebih stabil daripada garam yang akan dielektrolisis. Tegangan dekomposisi (potensial standar) dari garamgaram yang membentuk elektrolit harus secara signifikan lebih tinggi dari pada garam atau oksida logam yang akan diendapkan. Kita kemudian harus menggunakan garam alkali atau alkali tanah. ■ Chloride Electrolysis Dalam elektrolisis garam cair MgCl2 [THA 01], ion magnesium Mg++ dilepaskan di katoda untuk membentuk magnesium cair dan ion Cl- dilepaskan di anoda menghasilkan gas klorin. Titik lebur magnesium adalah 712°C, elektrolisis dilakukan pada 740°C dalam elektrolit dengan komposisi: {CaCl2 (40%), NaCl (30%), KCl (20%), MgCl2 (10%)}. Tegangan dekomposisi kalsium, natrium dan kalium klorida lebih tinggi (lihat Gambar 9.1.1) daripada magnesium klorida. Pada 740 °C, tegangan dekomposisi ini sama dengan => E* MgCl2 (740 °C) = – G°/zF = 2,6 hingga 2,8 volt Gambar 4.4 Elektrolisis Magnesium Klorida (Proses IG-FARBEN) ■ Oxide Electrolysis ●Alumina Karena alumina memiliki energi pembentukan bebas Gibbs yang sangat negatif, dan dengan demikian sangat stabil, aluminium adalah salah satu logam yang paling sulit untuk diproduksi. Proses ekstraksi aluminium dari alumina melibatkan elektrolisis aluminium fluorida yang diproduksi di tempat (dengan melarutkan alumina dalam kriolit). Prinsip ini dipatenkan pada tahun 1886 secara independen oleh Héroult (di Prancis) dan Hall (di AS). Alumina yang terlarut dalam elektrolit berbentuk anion kompleks (Al2OF6)2– dan (Al2OF4)2– dan reduksi katodik yang menghasilkan aluminium adalah: (AlF4)– + 3 e → Al(cair) + 4 F— ●Titania Proses FCC Cambridge adalah proses elektrolisis garam cair suhu tinggi yang mengubah titanium oksida in situ menjadi titanium padat pada -950 °C. Titanium dioksida adalah katoda padat dan grafit adalah anoda dalam sel di mana kalsium klorida cair (titik leleh 762°C) digunakan sebagai elektrolit. Elektrolisis ini dimungkinkan dengan katoda yang terbuat dari oksida, karena titanium dioksida adalah isolator yang menjadi konduktor ketika kekurangan oksigen Selama elektrolisis, oksigen dalam TiO2 padat melepaskan elektron dan diubah menjadi ion oksigen melalui reaksi (lihat reaksi [9.3.5]): TiO2(s) + 4 e → 2(O2-)(CaCl2) + Ti(s) [9.4.1] Di bawah pengaruh potensial listrik yang diterapkan, ion oksigen larut dalam garam cair dan bergerak menuju anoda grafit. Ion-ion ini dilepaskan pada anoda grafit dan dibebaskan sebagai karbon dioksida melalui reaksi: C(s) + 2 O2-(CaCl2) → CO2(g) + 4 e reaksi keseluruhan menjadi: TiO2(s) + C(s) → Ti(s) + CO2(g) Dalam proses reduksi calciothermic dari titanium oksida yang diusulkan oleh Suzuki (proses OS), mekanismenya terdiri dari reduksi kimia titanium oksida oleh kalsium yang dilarutkan dalam kalsium klorida: TiO2(s) + 2 Ca(CaCl2) → Ti + 2 CaO(CaCl2) dan reaksi elektrokimia yang menghasilkan elektrolisis logam kalsium: Ca2+ (CaCl2) + 2 e → Ca (di katoda) Oksida dalam larutan yang didekomposisi menjadi ion: CaO(CaCl2 → Ca2+ (CaCl2) + O2—(CaCl2) dengan reaksi di anoda. Operasi dilakukan dalam sel dengan keranjang titanium, bertindak sebagai katoda, yang mengandung partikel oksida Gambar 4.5 Skema Sel Elektrolisis Titanium ■ Fenomena Anode Effect Efek anoda adalah fenomena yang diamati dalam banyak proses yang melibatkan elektrolisis garam cair dan tidak selalu dipahami dengan baik. Ini adalah suatu kondisi yang dihasilkan oleh polarisasi anoda dalam elektrolisis garam yang menyatu dan ditandai dengan peningkatan tegangan yang tiba-tiba dan penurunan arus listrik yang sesuai. Timbulnya efek anoda dalam sel aluminium Hall-Héroult terutama disebabkan oleh menipisnya spesies ionik yang mengandung oksigen pada permukaan anoda karbon yang menyebabkan peningkatan polarisasi anoda. Sebelum efek anoda, konsentrasi alumina dalam sel modern tipikal menurun sekitar 30% dari nilai normalnya. Dengan demikian, ion yang mengandung oksigen akan tiba di permukaan elektroda sekitar dua pertiga dari kecepatan normal. Setelah lapisan resistif terbentuk pada permukaan anoda, Begitu efek anoda terjadi pada sel yang beroperasi, rapat arus anodiknya telah melampaui rapat arus kritisnya ( ic). Kerapatan arus kritis sel terutama merupakan fungsi dari konsentrasi alumina terlarut, dimensi anoda, dan arus listrik. Namun, juga dipengaruhi oleh perendaman anoda dalam elektrolit, aliran elektrolit, gelembung gas, suhu, dan jarak anoda. ○ Transportasi Massa ■ Electrical Double Layer Lapisan ganda listrik merupakan suatu alat yang digunakan untuk memvisualisasikan lingkungan ionik di sekitar permukaan bermuatan. Alat ini dapat berupa logam di bawah potensial atau karena gugus ionik pada permukaan dielektrik. Lebih mudah untuk memahami model ini sebagai urutan langkah yang akan terjadi di dekat permukaan jika ion penetralnya tiba-tiba terlepas. Salah satu prinsipnya adalah bahwa materi pada batas dua fase memiliki sifat yang membedakannya dari materi yang diperpanjang secara bebas di salah satu fase kontinu yang dipisahkan oleh antarmuka. Ketika berbicara tentang antarmuka larutan padat, mungkin lebih mudah untuk memvisualisasikan perbedaan antara antarmuka dan padatan daripada memvisualisasikan perbedaan antara antarmuka dan fase cair yang diperpanjang. Namun, di mana kita memiliki permukaan yang bermuatan, harus ada muatan penghitung penyeimbang, dan muatan penghitung ini akan terjadi dalam cairan. Muatan tidak akan terdistribusi secara merata di seluruh fase cair, tetapi akan terkonsentrasi di dekat permukaan yang diisi. Jadi, dengan memiliki volume fase cair yang kecil tetapi terbatas yang berbeda dari cairan yang diperpanjang. Konsep ini merupakan pusat elektrokimia, dan reaksi dalam batas antarmuka ini yang mengatur pengamatan eksternal dari reaksi elektrokimia. Ini juga sangat penting untuk kimia tanah, di mana partikel koloid dengan muatan permukaan yang berbeda memainkan peran penting. 1. Lapisan Ganda Helmholtz Muatan permukaan dinetralkan oleh ion lawan tanda yang ditempatkan pada kenaikan d dari permukaan. Potensi muatan permukaan dihamburkan secara linier dari permukaan ke perubahan yang memenuhi muatan. Jarak, d , akan menjadi pusat penghitung, yaitu jari-jarinya. Perlakuan teoritis Helmholtz tidak cukup menjelaskan semua fitur, karena hipotesis lapisan kaku dari muatan yang berlawanan. Ini tidak terjadi di alam. Gambar 4.6 Skema EDL 2. Lapisan Ganda Gouy-Chapman Gouy menyarankan bahwa potensial antarmuka pada permukaan bermuatan dapat dikaitkan dengan adanya sejumlah ion bertanda tertentu yang melekat pada permukaannya, dan dengan jumlah yang sama dari ion bermuatan berlawanan dalam larutan. Dengan kata lain, ion lawan tidak ditahan secara kaku, tetapi cenderung berdifusi ke dalam fase cair sampai potensial lawan yang dibentuk oleh keberangkatannya membatasi kecenderungan ini. 3. Modifikasi Stern dari Diffuse Double Layer Teori Gouy-Chapman memberikan perkiraan realitas yang lebih baik daripada teori Helmholtz, tetapi masih memiliki aplikasi kuantitatif yang terbatas. Ini mengasumsikan bahwa ion berperilaku sebagai muatan titik, yang tidak dapat mereka lakukan, dan mengasumsikan bahwa tidak ada batasan fisik untuk ion dalam pendekatannya ke permukaan, yang tidak benar. Oleh karena itu, Stern memodifikasi lapisan ganda difus Gouy-Chapman. Teorinya menyatakan bahwa ion memiliki ukuran yang terbatas, sehingga tidak dapat mendekati permukaan lebih dekat dari beberapa nm. Ion pertama dari Lapisan Ganda Difusi Gouy-Chapman tidak berada di permukaan, tetapi pada jarak tertentu d jauh dari permukaan. Jarak ini biasanya diambil sebagai jari-jari ion. Akibatnya, potensi dan konsentrasi bagian difus dari lapisan cukup rendah untuk membenarkan perlakuan ion sebagai muatan titik. Stern juga berasumsi bahwa ada kemungkinan bahwa beberapa ion secara khusus diadsorpsi oleh permukaan pada bidang d , dan lapisan ini telah dikenal sebagai Lapisan Stern. Oleh karena itu, potensial akan turun sebesar Y o - Y d di atas "kondensor molekuler" (yaitu, Bidang Helmholtz) dan sebesar Y d di atas lapisan difus. Y d telah dikenal sebagai potensi zeta ( z ). Gambar 4.7 Skema counterion di setiap layer Diagram di atas berfungsi untuk membandingkan visual dari jumlah counterion di setiap Lapisan Stern dan Lapisan Diffuse. ■ Proses Perpindahan Massa Reaksi elektrolisis melibatkan transfer muatan antara elektroda dan spesies dalam larutan. Seluruh proses ini terjadi karena sifat antarmuka dari reaksi transfer elektron yang melibatkan berbagai tahapan. Gambar 4.8 Skema perpindahan massa Perpindahan massa merupakan perpindahan material dari satu lokasi dalam larutan ke lokasi lainnya akibat dari perbedaan potensial listrik atau kimia pada dua lokasi ataupun dari pergerakan elemen volume larutan. Mode dari perpindahan massa yaitu: ○ Migrasi, yaitu pergerakan benda bermuatan di bawah pengaruh medan listrik (gradien potensial listrik). Pada dasarnya ini adalah efek elektrostatik yang muncul karena penerapan tegangan pada elektroda. Hal ini akan menciptakan antarmuka bermuatan (elektroda). Setiap spesies bermuatan di dekat antarmuka itu akan tertarik atau ditolak oleh gaya elektrostatik. ○ Difusi, yaitu pergerakan suatu spesies di bawah pengaruh gradien potensial kimia (gradien konsentrasi). Difusi terjadi di semua larutan dan muncul dari konsentrasi reagen lokal yang tidak merata. Gaya entropis bertindak untuk memperlancar distribusi konsentrasi yang tidak merata ini sehingga berperan sebagai driving force utama untuk proses ini. ○ Konveksi, yaitu perpindahan secara hidrodinamik yang merupakan hasil dari adanya gaya dalam larutan (pompa, aliran gas, gravitasi, dll). Umumnya aliran fluida terjadi karena konveksi alami (konveksi yang disebabkan oleh gradien densitas) dan konveksi paksa (forced convection), dan dapat dicirikan oleh daerah stagnan, aliran laminar, dan aliran turbulen. Perpindahan massa total (flux) pada elektroda dideskripsikan dengan persamaan Nernst-Planck: yang mana Ji(x) merupakan flux spesies i (mol cm-2 s-1) pada jarak x , D merupakan koefisien difusi spesies larutan (cm2/s), C merupakan konsentrasi spesies (mol/cm3), φ merupakan potensial elektrostatik, dan vx merupakan kecepatan hidrodinamik. Persamaan Nernst-Planck ini menggabungkan tiap-tiap kontribusi dari difusi (gradien konsentrasi), migrasi (medan listrik), dan konveksi (kecepatan hidrodinamik). ○ Ekstraksi Logam ■ Pemurnian Logam Timah Terdapat dua metode untuk memurnikan timah yang tidak murni yaitu pirometalurgi seperti proses selective oxidation, sulfidisasi, dan klorinasi yang dapat memproduksi timah hingga kemurnian 99,85% dan electrorefining yang dapat menghasilkan timah baik dari sumber primer maupun sekunder dengan tingkat kemurnian 99,99%. Pada electrorefining, timah yang tidak murni akan digunakan sebagai anoda dan ditempatkan ke elektrolit asam dengan katoda yang terbuat dari lembaran tipis (plat timah) yang dibuat dari timah dengan kemurnian tinggi. Agen khusus diperlukan dalam elektrolit untuk mendapatkan deposit katoda yang baik. Untuk mencapai kemurnian yang tinggi pada katoda, kerapatan arus memiliki pengaruh yang signifikan. Pengotor yang ada pada timah yang tidak murni sebagian besar akan membentuk anode slime. Perilaku pengotor tergantung pada potensial elektrodanya. Pengotor dengan potensial elektroda lebih tinggi dari timah (Bi, Sb, As, Cu, Ag, Au) akan membentuk slime halus pada permukaan anoda dalam bentuk paduan ataupun oksida. Akibat dari proses disolusi yang tidak merata, anode slime dapat mengandung sejumlah besar serbuk timah. Elemen pengotor dalam bentuk timbal dapat larut dari anoda dan ikut deposit di katoda karena standar potensial yang hampir sama. Sementara itu, logam dengan potensial elektroda lebih negatif daripada timah (Zn, Fe, dll) dapat larut tetapi dan tidak akan mengendap di katoda, kecuali konsentrasinya dalam larutan meningkat melampaui batas tertentu dan bergantung pada konsentrasi timah di permukaan katoda. Elektrolit yang digunakan untuk proses electrorefining timah harus memiliki kriteria harga rendah, stabilitas kimia, kelarutan timah yang tinggi dan kelarutan pengotor yang rendah, konduktivitas listrik yang tinggi, penggunaan suhu yang rendah, volatilitas rendah, evolusi gas yang rendah, efek korosif rendah pada katoda, dan memungkinkan struktur halus dan kepadatan tinggi di deposit katodik. Terdapat dua jenis larutan elektrolit yang digunakan untuk electrorefining timah yaitu larutan elektrolit basa dan elektrolit asam. Larutan elektrolit alkali (basa) yang digunakan biasa digunakan yaitu sodium stannate (Na2[Sn(OH)6). Namun alkaline bath kurang cocok karena beberapa alasan (keadaan tetravalen menyiratkan transfer muatan listrik dua kali lebih banyak daripada divalen, suhu tinggi (~80°C) diperlukan untuk membuat pengendapan timah dominan. Proses bath dicover dengan minyak atau lilin untuk mencegah oksidasi dan penguapan. Pengotor tertentu seperti Pb dan Sb sangat mudah larut sehingga membutuhkan metode penghilangan lain dan ion timah divalen yang juga diproduksi di anoda dapat mengganggu pengendapan. Satusatunya keuntungan adalah permukaan katoda adalah cukup halus Sementara itu, larutan elektrolit yang banyak digunakan yaitu elektrolit asam. Keunggulan dari elektrolit asam ini antara lain murah, temperatur rendah, serta keadaan divalen menghasilkan setengah dari kebutuhan muatan listrik dalam deposisi katodik. Namun, elektrolit asam menyebabkan lebih banyak anode slime yang terbentuk, membutuhkan pembersihan anoda yang sering, menghambat proses disolusi pada anoda dengan grade rendah, serta perlu adanya penambahan organik. Salah satu jenis elektrolit yang banyak digunakan untuk electrorefining timah yaitu cresylic/phenylic sulfonic acid yang merupakan tipe larutan asam sulfat dengan kandungan aditif organik yang berguna untuk mengontrol pertumbuhan kristal timah di permukaan katoda. ■ Molten Salt Electrolysis Molten salt electrolysis biasa digunakan untuk elektrodeposisi beberapa logam seperti logam alkali dan alkali tanah, Al, Ti, Zr, Ta, Mo, W, logam tanah jarang, dll. Di antara logam tersebut, Al, Mg, alkali dan beberapa logam refraktori merupakan yang paling banyak digunakan di industri elektrometalurgi. Molten salt umumnya dikelompokkan oleh electrolytic bath (klorida dan fluorida), raw material nya(klorida, fluorida, dan oksida), dan katoda (consumable dan nonconsumable). Salah satu aplikasi dari elektrolisis molten salt yaitu untuk mengekstraksi magnesium. Terdapat dua versi proses electrowinning untuk produksi Mg. Versi pertama menggunakan MgCl2 anhidrat sebagai cell feed yang dikenal dengan proses I.G Farben. Versi lainnya menggunakan partially dehydrated MgCl2 ((MgCl2.1.5-1.7H2O) sebagai cell feed yang digunakan oleh Dow Chemical Co. Bahan baku untuk electrowinning magnesium yaitu well brines atau air laut yang mengandung sekitar 0,13 wt% Mg. Ion Mg2+ diendapkan dari air laut dengan penambahan CaO (kapur), yang dihasilkan dengan kalsinasi (pemanasan kuat) CaCO3 (batu kapur atau cangkang tiram). Mg(OH)2 yang tidak larut dihilangkan dengan penyaringan (filtrasi). Proses asidifikasi (pengasaman) padatan slurry dan larutan MgCl2 dengan HCl mengubah Mg(OH)2 menjadi MgCl2 terlarut, yang diperoleh kembali sebagai MgCl2 padat melalui penguapan (evaporasi). Larutan ini lalu dikeringkan menjadi hidrat MgCl2.1,5H2O, yang merupakan bahan baku untuk sel elektrolitik dalam proses Dow. Elektrolit sel pada proses ini berupa campuran molten yang mengandung sekitar 25 %MgCl2-15 %CaCl2-60 %NaCl, dan sel dioperasikan antara 700-750°C. Diagram skema dari I.G. Sel Farben dan Sel Dow masing-masing ditunjukkan pada gambar 4.X(a) dan (b). (a) (b) Gambar 4.9 Sel electrowinning a) I.G Farben dan b) Dow Penguraian lelehan MgCl2 untuk menghasilkan magnesium cair dan gas Cl2 terjadi oleh reaksi: MgCl2(l) = Mg(l) + Cl2(g) Dalam proses Dow, anoda grafit dikonsumsi secara terus menerus untuk menghilangkan air secara in-situ dari feed sel untuk menghasilkan hidrogen dan oksigen yang akhirnya bereaksi dengan anoda. Dehidrasi ini dapat digambarkan oleh reaksi: MgCl2.1.7H2O + 2C = Mg + 2HCl(g) + 2CO(g) + H2(g) Selain untuk Mg, molten salt electrolysis juga banyak digunakan untuk memproduksi titanium (Proses Kroll dan Hunter). Proses Kroll adalah proses batch yang mereduksi gas titanium tetraklorida (TiCl4) dengan magnesium cair di dalam retort baja yang diikuti dengan penguapan vakum atau sapuan gas inert untuk menghilangkan produk sampingan pada temperatur 1000 °C. Proses ini menggunakan TiCl4 yang dihasilkan dari karbo-klorinasi bahan baku kaya TiO2 seperti ilmenite yang lapuk, rutile alami dan sintetis, dan terak titanium atau TiO2 halus sesuai dengan reaksi: TiO2(s) + 2Cl2(g) + 2C(s) = TiCl4(g) + 2CO(g) Pada proses Kroll, TiCl4 direduksi pada sekitar suhu 800°C dengan kondisi argon untuk memproduksi titanium sponge dengan reaksi: 2Mg(l) + TiCl4(g) = Ti(s) + 2MgCl2(l) Spons titanium yang dihasilkan kemudian melalui proses crushing, sortir, dipadatkan menjadi briket lalu dibuat menjadi elektroda. Elektroda tersebut kemudian divakum-cair (melting) menjadi ingot. MgCl2 kemudian dipisahkan dan didaur ulang secara elektrolisis untuk menghasilkan magnesium sebagai reduktor untuk mereduksi TiCl4 dan klorin lebih lanjut untuk reaksi karboklorinasi. Sementara itu, dalam proses Hunter, natrium digunakan sebagai reduktor berdasarkan reaksi: 4Na(l) + TiCl4(g) = Ti(s) + 4NaCl(l) Gambar 4.10 Skema Proses Kroll ■ Hall Heroult Process Proses Hall Heroult dilakukan untuk mengekstraksi Al dengan elektrolisis Al2O3 dalam elektrolit fluoride berbasis molten cryolite, yang umumnya mengandung Na3AlF6, AlF3, CaF2, dan Al2O3. Kriolit yang digunakan akan terionisasi untuk membentuk anion hexafluoroaluminate (AlF6-3) dengan reaksi: Na3AlF6(s) → 3Na+ + AlF6-3 Selanjutnya hexafluoroaluminate berdisosiasi membentuk tetrafluoroaluminat (AlF4-) serta ion natrium (Na+) dan fluorida (F-) sesuai dengan reaksi: AlF6-3 → AlF4- + FAlumina yang ditambahkan pada elektrolit kriolit larut (disolusi) dengan reaksi: 4AlF6-3 + Al2O3 → 3Al2OF62- + 6F2AlF6-3 + 2Al2O3 → 3Al2O2F42- Gambar 4.11 Sel elektrolisis dengan anoda a) prebaked dan b) Soderberg Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.11, sel elektrolisis terdiri dari steel shell dengan lining refractory yang terbuat dari Si3N4-bonded SiC, sebuah pool untuk aluminium cair pada blok karbon sebagai katoda di bagian bawah sel, dan blok karbon yang direndam dalam elektrolit dari atas sel sebagai anoda. Terdapat dua jenis model anoda untuk proses HH sebagaimana pada Gambar 4.X yaitu a) anoda pre-baked dan b) anoda Soderberg. Anoda prebaked adalah blok karbon besar yang harus diganti karena dikonsumsi sesuai dengan reaksi di atas. Anoda Soderberg dibentuk secara kontinu dibentuk dengan penambahan pasta karbon/pitch ke cetakan dari atas elektrolit di dalam sel. Saat turun ke bawah melalui casing, pasta membentuk karbon untuk menggantikan karbon yang dikonsumsi di bagian bawah Aluminium cair akan dihasilkan pada katoda dan anoda karbon akan teroksidasi membentuk CO2 dan CO dengan reaksi keseluruhan yang terjadi yaitu: 2Al2O3 + 3C = 4Al + 3CO2(g) Tegangan sel reversibel yaitu 1,19 V pada suhu elektrolisis sekitar 960 °C. Untuk mengimbangi jumlah resistansi yang berasal dari elektrolit, anoda, katoda dan resistansi kontaknya, sel HH beroperasi pada tegangan sel 4,0-4,6 V. ‘ ○ Referensi Shamsuddin, M. (2016). Physical chemistry of metallurgical processes. pp. 523-549. John Wiley & Sons, TMS. Popov, K., Grgur, B., & Djokić, S. S. (2007). Fundamental aspects of electrometallurgy. Springer Science & Business Media. Electric Double Layer (nmsu.edu) (accessed : 08/04/2022) https://www.coursehero.com/file/39315758/Modul-4-Electrometallurgydocx/ (accessed : 08/04/2022) PowerPoint : Kuliah 7 Elektrometalurgi 2021 https://www.sciencedirect.com/topics/engineering/anodeeffect#:~:text=An%20anode%20effect%20is%20phenomena,a%20corresponding%20 decrease%20in%20amperage. Bard, A. J., Faulkner, L. R. (2001). Electrochemical Methods: Fundamentals and Applications. Wiley. Fisher, A. C. (2010). “Electrochemistry Teaching Notes" in the website of the Department of Chemical Engineering and Biotechnology, University of Cambridge, https://www.ceb.cam.ac.uk/research/groups/rg-eme/education-1/undergraduateteaching-notes Rimaszeki, G., Majtenyi, J., & Kekesi, T. (2013). The Efficiency and Morphological Characteristic of the Electrorefining of Tin in Simple Sulfuric and Hydrochloric Acid Solutions. Department of Metallurgical and Foundry Engineering, University of Miskolc, available online at http://borsoditranzit. hu/onritran/Doc/rimaszeki— majtenyi—dr—kekesi—ii—pdf at least as early as Nov, 25, 10. Dobo, Z., Kulcsar, T. I. B. O. R., & Kekesi, T. A. M. Á. S. (2012). Electrorefining of tin in pure acid solutions by mechanically controlled cathode deposition and solar power utilization. Materials Science and Engineering, 37(2), 19-26. Yan, X. Y., & Fray, D. J. (2010). Molten salt electrolysis for sustainable metals extraction and materials processing—A review. Electrolysis: theory, types and applications, 255-302. Seetharaman, S. (2013). Treatise on process metallurgy, volume 3: industrial processes (Vol. 3). Newnes.