BAB I PENDAHULUAN Infeksi parasit adalah masalah utama di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang dimana menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan. Ada dua kelompok utama dari parasit: (a) protozoa, organisme uniselular dan (b) cacing, yaitu cestoda, trematoda dan nematoda (Stepek, 2006). Infeksi nematoda, terutama yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthiasis/STH) masih merupakan masalah yang serius terutama di negara yang berkembang. Insidensi pada balita dan murid sekolah dasar masih sangat tinggi. Data yang diperoleh dari World health organization diperkirakan dua miliar orang atau lebih mengalami infeksi helminths di seluruh dunia dengan diantaranya sekitar 300 juta jiwa menderita infeksi yang berat. Di Indonesia penyakit infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, dengan prevalensi yang cukup tinggi. Dari hasil survey yang telah dilakukan di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia sekolah dasar (Siregar, 2006; Suriptiastuti, 2006). Terdapat empat spesies utama nematoda usus yang menjadi masalah persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia antara lain yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Meskipun infeksi cacing jarang menimbulkan kematian, infeksi cacing sering menimbulkan infeksi yang bersifat kronis dan menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia akibat dari adanya gangguan suplai nutrisi pada sel-sel tubuh sehingga dapat terjadi retardasi pertumbuhan, defisiensi vitamin, serta gangguan fungsi kognitif (Resnhaleksmana, 2014; Zaph et. al., 2013). Anak-anak yang tinggal di daerah pinggiran yang miskin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi nematoda usus, bahkan lebih dari satu jenis nematoda usus dapat menginfeksi tubuhnya. Berbeda dari patogen lain, nematoda usus (kecuali Strongyloides) tidak dapat berkembang biak dalam tubuh host nya. Jumlah parasit jenis ini meningkat seiring dengan paparan infeksi parasit ini yang terus-menerus pada lingkungan yang terkontaminasi secara fekal-oral. Prevalensi puncak infeksi nematoda usus adalah pada usia anak-anak, kecuali cacing tambang dan cacing Strongyloides yang lebih sering terjadi pada dewasa (Zaph et. al., 2013). 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI Nematoda termasuk dalam fillum nematoda. Nama nematoda berarti ‘benang-seperti satu’ dan berasal dari bahasa Yunani yaitu nema dan –orde yang berarti ‘benang’ dan ‘seperti’. Spesies nematoda sangat sulit dibedakan, lebih dari 80.000 telah diuraikan dan 15.000 diantaranya adalah parasit. Nematoda memiliki adaptasi yang sangat baik hampir di setiap tempat. Mulai dari air laut sampai air bersih, dari daerah kutub ke daerah tropis, dari tempat yang tinggi maupun rendah. Nematoda dapat hidup bebas atau sebagai parasit. Nematoda yang termasuk parasit pada manusia adalah ascaris (Ascaris), hookworms, pinworms (Enterobius), cacing cambuk (Tricuris trichura), dan lain-lain. Spesies Trichinella spiralis, umumnya dikenal sebagai cacing trichina, terdapat pada tikus, babi, dan manusia, dan menyebabkan penyakit trichinosis. Baylisascaris biasanya menginfeksi hewan liar tetapi dapat mematikan juga bagi manusia (Ayanda, 2010). Nematoda usus Usus kecil: Ascaris, Ancilostoma, Strongiloides Usus besar: Enterobius, Trichuris Nematode jaringan System limfatik: W. bancrofti Jaringan subkutan: O. volvulus, Loa loa, D. medinesis Otot/paru/otak: Trichinella (larva), Toxocara canisnon Tabel: Jenis nematoda (Ayanda, 2010) Namun yang termasuk nematoda usus yang bersifat parasit dan yang paling tersering dijumpai, meliputi: (Ayanda, 2010) Enterobius (Oxyuris) vermicularis (pinworm, seatworm, threadworm) Trichuris trichiura (cacing cambuk) Ascaris lumbricoides (roundworm) Ancylostoma duodenale & Necator americanus (cacing tambang) Strongyloides stercoralis (cacing benang) 2 Gambaran umum nematoda usus: (Ayanda, 2010) Non-segmentalis, fusiformis, berbentuk silindris dengan saluran pencernaan yang lengkap dengan mulut dan anus yang terbuka. Terpisah antara betina dan jantan dengan betina yang ukurannya lebih besar. Dilapisi dengan pembungkus yang kuat (selaput), bisa bersifat lembut atau bertekstur, berwarna putih cream, ukuran berkisar dari millimeter sampai sentimeter. Siklus hidup biasanya melibatkan telur dan satu atau lebih stadium larva yang bisa hidup bebas. Penegakan diagnosis melalui observasi dan identifikasi telur dan stadium larva yang ditemukan pada feses. Gambaran khusus setiap cacing dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel: karakteristik dari cacing usus dewasa (Suriptiastuti, 2006) 2.2 EPIDEMIOLOGI Infeksi nematoda tersebar di berbagai negara yang beriklim tropis maupun subtropis. Iklim merupakan determinan utama dari penyebaran infeksi ini, kelembaban dan suhu yang panas sangat penting bagi perkembangan larva cacing dalam tanah. Faktor iklim yang mempengaruhi yaitu temperatur, curah hujan, cahaya matahari dan angin, sedangkan faktor tanah yaitu jenis tanah, sifat partikel tanah dan cara pengolahan tanah. Temperatur sangat pening bagi siklus hidup cacing. Setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum masing-masing untuk hidup. Hal tersebut merupakan faktor penting dalam mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur cacing tidak akan berkembang dan akan cepat mati. Kelembaban tanah bergantung pada curah hujan daerah tersebut (Suriptiastuti, 2006). Determinan yang penting adalah kemiskinan, kurangnya ketersediaan air di daerah tersebut dan sanitasi yang kurang baik. Beberapa faktor lain yang ikut berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing adalah jenis dan sifat partikel tanah. Contohnya untuk 3 telur A.lumbricoides dan T.trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Sedangkan cacing tambang memerlukan oksigen untuk tumbuh maka tanah yang paling sesuai adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung (Suriptiastuti, 2006). Penyakit kecacingan ini dapat berkembang seiring dengan kondisi wilayah yang kurang bersih dan wilayah yang kurang higenis. Prevalensi penyebaran cacing di dunia dapat dilihat pada peta prevalensi dari WHO (WHO, 2011). Di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat terutama daerah Ampenan Selatan yang dibagi oleh 4 kecamatan dengan sebagian besar mata pencaharian penduduknya menyabit rumput di sawah sehingga menyebabkan lebih mudah terkena penyakit infeksi cacing 24-35% dan kejadian terbesar terjadi pada anak usia sekolah (Resnhaleksmana, 2014). Gambar: Distribusi infeksi cacing di dunia (WHO,2011) Prevalensi tinggi masih sering terjadi pada orang-orang yang sering kontak dengan tanah seperti petani, pembuat batu bata, penambang pasir, peternak, pemulung, dan penyabit rumput. Angka kejadian tinggi di daerah Ampenan karena terdapat kandang yang dekat dengan sungai dimana keadaan yang lembab dapat menyebabkan tumbuhnya cacing secara cepat. Kesadaran 4 masyarakat yang masih rendah terhadap higenitas juga berpengaruh besar terhadap kejadian kecacingan. Tidak memiliki jamban juga berpengaruh sehingga menggunkaan sungai sebagai tempat untuk pembungan yang dimana sungai juga terkontaminasi oleh sampah dan dekat dengan kandang. Dari penelitian yang dilakukan, 80% penduduk daerah ini terkena Ascaris lumbricoides dimana dengan suhu dan udara yang lembab dengan suhu berkisar 25-30°C merupakan keadaan yang baik untuk tumbuh kembang Ascaris lumbricoides (Resnhaleksmana, 2014). 2.3 SIKLUS HIDUP NEMATODA Enam spesies utama nematoda usus yaitu A.duodenale, N.americanus, A.lumbricoides, T.trichiura, E.vermimuskularis dan S.stercoralis, memiliki siklus hidup langsung, yaitu hanya satu host terlibat. Enam spesies nematoda sangat khusus untuk manusia, tanpa reservoir hewan infeksi untuk setiap spesies. Meskipun beberapa spesies hewan, seperti babi, dapat terinfeksi nematode GI manusia (Stepek, 2006). Tabel: Transmisi nematoda usus manusia (Stepek, 2006) Enterobius vermicularis Parasit ini bersifat cosmopolitan dan tidak ada host intermediet. Infeksi melalui penelanan telur cacing dan terakumulasi di daerah ileosekal. Setelah bertelur cacing betina mati. Cacing betina bermigrasi dari kolon ke anus dan meninggalkan telurnya pada malam hari, berjalan sampai ke kulit perianal. Hal ini menimbulkan rasa gatal pada malam hari. Pada kasus 5 yang lain dapat menyebabkan gatal pada daerah vagina karena telur berada pada daerah tersebut. Kadang-kadang parasit dapat juga ditemukan di apendiks vermiformis (Ayanda, 2010). Gambar: siklus hidup Enterobiusvermicularis (Ayanda, 2010) Trichuris trichiura Cacing ini bersifat cosmopolitan. Telur dikeluarkan melaui feses. Infeksi terjadi melalui oral (langsung dari anus-tangan-mulut). Dalam satu minggu telur berubah menjadi cacing dewasa. Telur menetap selama 2 bulan sebelum terjadinya infeksi. Cacing dewasa memiliki ekor seperti cambuk yang digunakan untuk menempel pada mukosa usus besar (Ayanda, 2010). 6 Gambar: siklus hidup Truchuris trichiura (Ayanda, 2010) Ascaris lumbricoides Telur dapat ditemukan pada feses. Fertilisasi telur membutuhkan waktu 10-40 hari untuk menjadi matur pada dunia luar sebelum menjadi infeksius. Penularannya dapat melaui fecal-oral yaitu karena memakan makanan, minuman yang terinfeksi dan tangan dan kuku yang kotor. Pada usus halus larva keluar dari telur dan menempel pada dinding usus. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai vena. Setelah itu larva dapat terbawa oleh darah dari hati ke paru (perjalanan larva menuju paru membutuhkan waktu 3-14 hari setelah terjadinya infeksi) (Ayanda, 2010). Di paru larva membuat jalan untuk menembus lumen bronkus sehingga larva bisa sampai pada tenggorokan. Ketika larva ditenggorokan dapat menyebabkan reflex batuk, kemudian larva kembali tertelan dan masuk kembali ke dalam usus. Larva menjadi dewasa pada jejunum. Perkembangan telur terjadi 2 bulan setelah infeksi. Cacing dewasa rata-rata hidup bebas selama 1 tahun.ukurannya yaitu 15-40 cm (Ayanda, 2010). 7 Gambar: siklus hidup Ascaris lumbricoides (Ayanda, 2010) Cacing Tambang Cacing dewasa ditemukan pada usus halus. Necator hidup lebih lama daripada Ancylostoma. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah infeksi telur dapat ditemukan di dalam feses. Telur yang keluar bersama feses yang berada di dunia luar dalam satu minggu dapat berubah menjadi matur yaitu menjadi larva infeksius. Rabdiform berbentuk seperti batang pohon, filariform berbentuk seperti benang. Tanah dengan pH netral merupakan tempat yang optimal untuk pertumbuhan cacing tambang. Bila feses bercampur dengan urin maka telur cacing akan mati (Ayanda, 2010). Infeksi bisa terjadi melaui mulut (A.duodenale) atau kulit (A.doudenale dan N.americanus). Jika infeksi terjadi melalui kulit, parasit akan melewati paru. Cacing ini bisa ditemukan pada makanan yang dimasak tidak terlalu matang misalnya daging babi, domba, kelinci, yang salah satunya menjadi sumber transmisi. Cacing dewasa yang berada di mukosa duodenum dan usus halus dapat menghisap darah host (Ayanda, 2010). 8 Gambar: siklus hidup cacing tambang (Ayanda, 2010) Strongiloides stercoralis Cacing dewasa betina ditemukan pada mukosa usus halus. Cacing jantan tidak bisa penetrasi di mukosa usus. Reproduksi secara aseksual melalui parthenogenesis. Betina bertelur setelah 2-3 minggu, dimana larva dengan cepat diproduksi. Awalnya larva digambarkan sebagai rhabditiform. Ini dengan cepat berkembang menjadi larva filariform. Larva cacing ini bisa: Menembus kembali mukosa usus Dapat melewati kulit perianal dan dari sana lagi menembus tubuh (infeksi ulang) (Ayanda, 2010). 9 Gambar: siklus hidup Strongyloides stercoralis (Ayanda, 2010) 2.4 PATOGENESIS Mekanisme Imun terhadap Infeksi Cacing Dewasa Nematoda Usus Sebagian besar cacing yang menginfeksi manusia menyebabkan infeksi yang bersifat kronik dengan cara melemahkan sistem imun dari host, dimana hal ini juga memiliki keuntungan untuk host karena proses inflamasi yang berkepanjangan akibat infeksi parasit akan diminimalisir, sehingga sel-sel pada tubuh manusia tidak perlu mengalami proses inflamasi yang berkepanjangan yang akan menimbulkan keganasan pada sel (Zaph et. al., 2013). Sebagian besar nematoda usus yang menginfeksi tubuh manusia menghasilkan respon imun tipe 2 yang sangat terpolarisasi, pengecualian untuk spesies nematoda usus Trichuris sp yang dapat menghasilkan respon imun tipe 1 maupun 2. Respon imun tipe 2 pada umumnya terkait respon sitokin yang terpolarisasi dan melibatkan sekresi dari IL-4, IL-13, dan IL-5; produksi IgG oleh Sel B; hematopoiesis dari basofil dan eusinofil; serta peningkatan pengaktifan makrofag, sel mast, dan sel goblet (Zaph et. al., 2013). 10 Mekanisme inisiasi respon imun tipe 2 akibat infeksi nematoda usus masih belum dapat dijelaskan secara pasti. Sebagian besar interaksi host-patogen pada kasus infeksi nematoda usus biasanya disebabkan pengenalan pola molekul patogen (PMP) oleh Pattern Recognition Receptors (PRR) yang dimiliki host, dimana sel epitelial usus telah diidentifikasi sebagai faktor penting inisiasi respon imun tipe 2 akibat infeksi nematoda usus (Zaph et. al., 2013). Meskipun interaksi awal antara cacing dan host (manusia) tidak dapat dijelaskan dengan baik, infeksi cacing dewasa nematoda usus pada tubuh manusia akan menyebabkan epithelial usus memproduksi seperti thymus stromal lymphopoietin (TSLP), IL-33 dan IL-25. Induksi TSLP mengatur sel dendritik (DC) untuk memproduksi IL-12 dan meningkatkan kadar basofil, dimana kedua hal ini menyebabkan timbulnya respon pada sel T CD4+. IL-33 sendiri adalah protein nuklear yang biasanya dilepaskan pada kerusakan sel. IL-33 adalah aktivator penting untuk sel limfoid innate tipe 2 (ILC) yang biasanya terjadi pada awal infeksi cacing. IL-25 diinduksi dalam menanggapi mikrobiota dan meningkat setelah infeksi cacing. IL-25 menginduksi terbentuknya sel progenitor multipoten (MPP) yang dapat membentuk sel innate lainnya. Hasil dari hal ini adalah meningkatnya respon sel TH2 dan kadar IL-4 dan IL-13. Sitokin ini meningkatkan penghancuran cacing dengan menginduksi perubahan fisiologis dalam epitel usus. Beberapa mekanisme penghancuran cacing termasuk hiperplasia sel goblet dan sekresi lendir, akan meningkatkan proliferasi, kontraktilitas otot polos dan gerakan peristaltik usus. Selain itu, faktor lain seperti sel (neutrofil, makrofag dan sel Th17), sitokin (IL-22) dan mikrobiota diatur secara dinamis selama infeksi dan kemungkinan memainkan peran regulasi dalam pengembangan kekebalan protektif terhadap infeksi cacing (Zaph et. al., 2013). 11 Gambar: Mekanisme Imun terhadap Infeksi Cacing Dewasa Nematoda Usus (Zaph et. al., 2013) Respon Imun pada Re-infeksi Nematoda Usus Sebagian besar penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan infeksi nematoda usus yang berulang dapat menimbulkan kekebalan tubuh yang bersifat protektif apabila selama proses infeksi tersebut pasien diberikan terapi medikamentosa yang tepat. Kekebalan tubuh yang timbul ini biasanya ampuh untuk melawan stadium larva pada parasit nematoda usus (Zaph et. al., 2013). 2.5 PATOFISIOLOGI Dampak penyakit infeksi cacing terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan anak Anak yang terkena infeksi cacing mengakibatkan kurangnya masukan makanan serta kurangnya kemampuan anak untuk menerima makanan. Hal ini akan menyebabkan gangguan pertumbuhan, yang dapat dilihat dari pertumbuhan linear yang berkurang atau terhenti, kenaikan berat badan yang menurun, ukuran lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit yang menurun. Adanya cacing yang hidup pada usus anak secara terus-menerus dapat menyebabkan aktivasi kronik respon imun dan ketidakseimbangan status imun. Aktivasi kronik imun ini menyebabkan 12 hyperesponsiveness dan anergi, menyebabkan penderita gampang terserang penyakit infeksi, dan secara tidak langsung menganggu tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Siregar, 2006). Patofisiologi lain akibat yang dapat ditimbulkan oleh nematode usus: Anemia Anemia merupakan konsekuensi utama dari infeksi GI nematodes, khususnya cacing tambang. Cacing tambang menghisap lebih banyak darah bila dibandingkan dengan Trichuris trichiura. Seekor Ancylostoma duodenale menghisap 0,16-0,34 ml darah per hari, sedangkan seekor Necator americanus menghisap 0.03 - 0,05 ml darah per hari. Luka yang diakibatkan gigitan Ancylostoma duodenale lebih berat dibandingkan kerusakan yang diakibatkan Necator americanus, selain itu diduga Ancylostoma duodenale memproduksi zat antikoagulan yang lebih kuat dibanding Necator americanus. Cacing ini menyebabkan laserasi pada kapiler villi usus halus dan menyebabkan perdarahan lokal pada usus. Meningkatkan keparahan anemia dapat meningkatkan kematian pada wanita hamil dan meningkatnya risiko terhadap janin yang belum lahir, seperti lahir prematur. (Siregar, 2006; Stepek, 2006). Malnutrisi Malnutrisi dapat terjadi akibat cacing yang hidup dalam rongga usus manusia dapat mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein. Adanya Ascaris lumbricoides dalam usus halus dapat menyebabkan kelainan mukosa usus, berupa proses peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah panjangnya kripta, menurunnya rasio villus kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina propria, yang berakibat pada gangguan absorpsi makanan dan nutrisi penderita dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Gangguan absorpsi vitamin A dapat terjadi pada anak yang menderita askariasis dan gangguan nafsu makan. Infeksi nematoda lebih serius pada anak-anak yang sebelumnya memang menderita kekurangan gizi (Siregar, 2006; Stepek, 2006). Infeksi sekunder Infeksi S. stercoralis dapat terkonsentrasi di usus dan sistem pernapasan dalam bentuk hyperinfeksi, tetapi dapat juga tersebar di seluruh organ, termasuk sistem saraf pusat. Hal tersebut dapat menyebabkan gastrointestinal, kulit dan pernapasan mengalami masalah dan sering berakibat fatal karena peningkatan risiko meningitis dan bakteremia sekunder lainnya. Infeksi akibat nematoda ini pada manusia merusak respon imun terhadap infeksi serius lainnya, 13 seperti tuberculosis (TB) dan human immunodeficiency virus (HIV), yang dimana dikendalikan oleh respon imun Th1 (Stepek, 2006). 2.6 MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala klinik dari infeksi nematoda dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan organ, dan manifestasi akut serta kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal. Migrasi larva cacing menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya, seperti larva Ascaris yang mati saat migrasi melalui hepar dapat menimbulkan eosinophilc granuloma. Migrasi antigen larva Ascaris di paru menimbulkan infiltrat eosinophil yang terlihat saat dilakukan pemeriksaan radiologi dari toraks. Beberapa gejala pada kulit seperti pruritus, eritema ditemukan saat terjadi migrasi dari larva cacing tambang A.duodenale dan N. americanus. Masuknya larva A. duodenale secara oral dapat mengakibatkan terjadinya sindroma Wakana dengan gejala-gejala nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas dan suara serak (Suriptiastuti, 2006). Manifestasi klinis masing-masing infeksi cacing: (Suriptiastuti, 2006) Ascariasis Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari saluran empedu yang menyebabkan timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar. Trichiuriasis Infeksi cacing cambuk dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya kolitis yang gejala-gejala klinisnya menyerupai inflammatory bowel syndrome seperti rasa nyeri di abdomen yang kronik, diare, dan anemia. Infeksi cacing tambang (hookworm) Kelainan patologi akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah dari intestinal yang disebabkan invasi cacing ke mukosa dan submukosa usus halus. Kehilangan 14 darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi. Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan anasarka. Tabel: Manifestasi klinis infeksi cacing gastrointestinal (Abbas, 2009) Tabel: cacing gastrointestinal dengan gejala diare (Abbas, 2009) 2.7 DIAGNOSIS Infeksi cacing seringkali tidak menimbulkan keluhan dan gejala yang spesifik, dengan demikian para dokter harus melakukan pemeriksaan feses. Ultrasonografi dan endoskopi bermanfaat untuk diagnosis dari komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan saluran hepatobiliar serta pancreas. Identifikasi cacing dapat dilakukan oleh laboratorium mikrobiologi lokal atau dengan referensi-pusat. Individu dengan gejala infeksi gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan feses untuk ova, kista dan parasit, serta pemerikasaan darah lengkap untuk eosinofilia (Abbas, 2009; Suriptiastuti, 2006). 15 Gambar: Gambaran morfologi telur dan cacing usus (Ayanda, 2010) 2.8 TATALAKSANA Tujuan utama dari pengobatan infeksi nematoda khususnya STH adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule cacing yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Pyrantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris dan cacing tambang, walaupun pyrantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis (Suriptiastuti, 2006). 16 Ketika salah satu individu dalam keluarga ditemukan terinfeksi mungkin dapat menyebabkan anggota keluarga lain juga ikut terinfeksi, terutama dalam kasus-kasus seperti cacing kremi. Pasien harus dianjurkan meningkatkan kebersihan pribadi dan perawatan selama persiapan makanan. Data tentang penggunaan semua obat anthelmintik selama kehamilan dan menyusui cukup terbatas, sehingga penggunaannya dalam situasi ini harus didiskusikan khusus. Kebanyakan obat anthelmintik tidak diizinkan untuk digunakan pada anak di bawah dua tahun atau disesuaikan dengan berat badan (Abbas, 2009). Infeksi cacing tunggal, seperti Ascaris atau Enterobius dapat dengan mudah diobati di masyarakat. Mebendazole dan piperazine (Pripsen) tersedia dalam masyarakat dan harus digunakan sebagai agen lini pertama. Albendazole mungkin ditoleransi lebih baik dan sedikit lebih terdistribusikan daripada mebendazole. Benzimidazole beracun bagi nematoda. Terdapat sedikit efek samping dari mebendazole dan albendazole seperti ketidaknyamanan epigastrium, mual, sakit kepala, ruam dan urtikaria. Piperazine menyebabkan kelumpuhan otot cacing, mungkin disebabkan oleh antagonisme kompetitif asetilkolin. Penggunaan obat ini dikontraindikasikan pada kasus epilepsi karena dapat menurunkan kejang. Piperazine biasanya dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal dan urtikaria. Piperazine dapat berinteraksi dengan fenotiazin, yang dapat menyebabkan semakin meningkatnya efek ekstrapiramidal. (Abbas, 2009) 17 Tabel: Obat antihelmintik (Abbas, 2009) Tabel: Presentase kesembuhan dengan obat antihelmintik (Stepek, 2006) 18 2.9 PENGENDALIAN Lebih dari 610 juta anak usia sekolah berada pada risiko morbiditas karena infeksi nematoda khususnya infeksi STH. Anak usia sekolah adalah kelompok berisiko tinggi penting bagi infeksi STH karena infeksi terjadi: selama periode pertumbuhan fisik yang intens dan metabolisme yang cepat mengakibatkan peningkatan kebutuhan gizi; ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara memadai, pertumbuhan terganggu dan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi; selama periode pembelajaran intensif; ketika anak-anak terinfeksi, kapasitas belajar yang signifikan berkurang; paparan terus-menerus terhadap tanah dan air yang terkontaminasi; anak umumnya kurang sadar akan kebutuhan untuk kebersihan pribadi yang baik dan suka bermain dengan tanah dan air (WHO, 2011). Manfaat dari program pengendalian berbasis sekolah juga dapat diperluas untuk kelompok berisiko tinggi lainnya (yaitu, anak-anak prasekolah dan ibu hamil) dan masyarakat luas. Pengobatan anak-anak yang terinfeksi mengurangi jumlah telur cacing dan larva mencapai lingkungan dan mengurangi risiko infeksi bagi orang lain dalam masyarakat. Sebuah program pengendalian berbasis sekolah yang terdiri dari perbaikan air dan sanitasi lingkungan, serta pendidikan kesehatan dapat mengurangi transmisi infeksi cacing dan mencegah perkembangan morbiditas yang terkait. Ketika intensitas atau resiko infeksi tinggi, terapi obat secara teratur merupakan lini pertama tindakan pengendalian secara cepat (WHO, 2011). Pemberian obat anthelmintik Pemberian obat antelmintik bertujuan mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi cacing. Pemberian kemoterapi berulang kali secara teratur dengan interval tertentu (periodic deworming) pada kelompok risiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole atau mebendazole, dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel pamoate. Pengobatan secara teratur dapat mencegah terjadinya kesakitan yang kemudian mampu memperbaiki keadaan gizi dan kognitif anak-anak (Suriptiastuti, 2006). 19 Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati infeksi cacing yang paling umum adalah efektif, murah dan mudah dijalankan. Reaksi obat yang merugikan umumnya merupakan reaksi degenerasi cacing yang telah tewas. Sebagian besar efek samping yang diamati dalam program sekolah terjadi selama putaran pertama pelaksanaan intervensi. Oleh karena itu sebelum pemberian obat ada baiknya jika dijelaskan efek samping obat tersebut kepada orang tua anak. Anthelmintik sangat efektif dalam pengobatan infeksi cacing tapi biasanya tidak membunuh 100% dari cacing. Khasiat obat cacing dapat dievaluasi dengan menghitung tingkat pengurangan telur. Ketika mengevaluasi khasiat obat, data untuk menghitung indikator ini harus dikumpulkan paling lambat 3 minggu setelah pemberian obat untuk menghindari kemungkinan kasus infeksi sekunder yang mungkin terjadi. (Suriptiastuti, 2006; WHO, 2011). Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan Penyediaan air bersih dan sanitasi mengurangi penularan infeksi dengan mengurangi kontak dengan tanah dan/atau air yang terkontaminasi oleh telur cacing. Ditambah dengan perubahan perilaku, sanitasi yang lebih baik dan pasokan air yang bersih dapat menopang peningkatan kesehatan anak sekolah, terutama di daerah pedesaan. Standar kebersihan yang baik dapat diperkuat dengan memiliki kakus bersih dan fungsional di sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan anak perempuan dan laki, sehingga pasokan air bersih dan sanitasi yang memadai serta konstruksi, perbaikan dan pemeliharaan pasokan air atau kakus menjadi komponen yang paling dari program control (WHO, 2011) Pendidikan kesehatan dan hygiene Pendidikan kesehatan dan kebersihan dapat mengurangi transmisi dan reinfeksi dengan mendorong perilaku yang sehat. Meningkatkan kesadaran anak-anak tentang masalah dan memperluas keterlibatan masyarakat adalah elemen penting dari program pemberantasan cacing yang menargetkan pada anak-anak usia sekolah. Tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi cacing. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian infeksi STH dan terjadinya reinfeksi. Pendidikan kesehatan dapat dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan dalam buku-buku sekolah, sehingga pendidikan kesehatan diberikan kepada anak-anak sekolah sebagai bagian dari pendidikan normal mereka. Hal lain 20 yang biasanya dilakukan adalah dengan menyebarkan poster dan selebaran ke sekolah-sekolah. Pendidikan kesehatan selain diberikan kepada anak juga dapat diberikan kepada orang tua anak serta guru yang mengajar di sekolah untuk dapat membantu memperdalam pemahaman anak tentang kesehatan tersebut (Suriptiastuti, 2006; WHO, 2011). Gambar: perilaku yang dapat menjadi faktor resiko terimfeksi cacing (WHO, 2011) 21 NEMATODA USUS Berikut adalah tabel yang menyimpulkan karakteristik serta manifestasi klinis dan terapi dari masing-masing nematoda usus: (Ayanda, 2010) Nematoda Ascaris lumricoides Enterobius vermucularis Cacing Tambang Distribusi Daerah beriklim sedang, Daerah beriklim sedang terdiri dari Ancylostoma subtropikal dan tropikal dengan standar sanitasi duodenale dan Necator dengan sanitasi yang yang tinggi americanus. buruk Daerah tropikal dan subtropikal dengan tanah yang berpasir dan sering turun hujan Karakteristik Dewasa: betina 20-35 cm Dewasa: betina 8-13 µm X Dewasa: A. duodenale X 0,5-1 cm, jantan <30 cm 0,5 µm, jantan 2-5 µm X jantan <1 cm X 0,5, betina X 0,5 (ekor seperti kail) 0,2 µm besar dan tebal, memiliki Fase infektif: telur embrio Fase infektif : telur Fertile: berbentuk oval, embrio muut dengan dua pasang gigi. N. americanus jantan 5-9 mm, betina 10 mm. 45-75 µm X 35-50 µm, Fase infektif: larva satu bundaran yang filariform disebut embrio, memiliki lapisan albuminoid Infertile: lebih oval, 40 µm X 90 µm, dengan lapisan dinding lebih tipis meliputi masa telur Gejala Fase migrasi larva: melewati paru dapat Fase migrasi cacing Fase larva: bila penetrasi betina dewasa: melalui kulit dapat menyebabkan anal menyebabkan dermatitis 22 menimbulkan gejala batuk, pruritus, migrasi ke vagina (ground itch), bisa juga sesak, nyeri toraks dan bisa menimbulkan iritasi menyebabkan gejala kadang demam. Tanda: lokal. Biasanya bersifat pulmonal migrasi ke paru. sindrom Loefflers. Sputum asimptomatik. Telur yang Cacing dewasa pada terkontaminasi oleh ditelan akan berubah jumlah yang besar eosinofilia. menjadi cacing dewasa menyebabkan diare, gas dalam waktu 4-7 minggu. dalam usus atau nyeri Jumlah cacing dewasa epigastrik, mual dan meningkat akan muntah. Infeksi kronik menyebabkan obstruksi bisa menyebabkan abdomen, meningkatkan kehilangan darah dan peristaltic, nyeri kolik, terjadinya defisiensi besi. muntah dan dilatasi lumen Dalam waktu 4-7 minggu intestinal. sejak penetrasi larva, larva Telur yang ditelan akan akan menjadi cacing berubah menjadi cacing dewasa. dewasa dalam waktu 8 minggu. Diagnosis Telur pada pemeriksaan Telur infektif dalam 6 jam, telur embrio (5-6 hari feses (10-15 hari menjadi memiliki dinding berlapis untuk menjdi infektif) 56- infektif), pemeriksaan hialin, embrio berbentuk 60 µm X 36-40 µm darah lengkap ditemukan huruf C, 50-60 µm X 20- (A.duodenale). kadar eosinofil yang 32 µm. meningkat. 64-76 µm X 36-40 µm (N.americanus) berbentuk oval dengan dinding hialin tipis yang mengelilingi 2-8 embrio. Terapi Mebendazol 100 mg Mebendazol 100 mg, Mebendazol 2X100 3x/hari, Flubendazol 100 diulangi setelah satu dan mg/hari selama 3 hari. 23 mg 3x/hari. dua minggu. Albendazol juga termasuk obat yang efektif. Biasanya juga diberikan suplemen besi untuk penderita yang memiliki gejala anemia. Nematode Strongiloides stercoralis Trichuris trichiura Distribusi Sama seperti cacing tambang Seluruh dunia khususnya pada area dengan tingkat sanitasi dan kebersihan yang rendah. Karakteristik Dewasa: betina 2-2,5 mm X 0,4 mm Fase infektif: larva filariform (3-4 hari untuk berubah menjadi larva rabdiform) Dewasa: jantan dan betina memiliki karakteristik di bagian anterior ramping dan tebal sedangkan bagian posterior berbentuk seperti cambuk, Bagian posterior jantan bergulung. Rabdiform: mulur pendek dan Betina 3-5 cm, jantan <4 cm. dominan primordium genital Fase infektif: telur (menelan telur) Filariform: esophagus ½ dari panjang badan Gejala Pada tempat masuknya larva akan Infeksi ringan biasanya tidak terjadi dermatitis, dan garis berbentuk menimbulkan gejala, infeksi berat bisa bengkak serta kemerahan (pada pantat, menyebabkan nyeri abdominal, diare lengan, wajah, dll) Hiperinfeksi dapat menyebabkan demam, gangguan gastrointestinal, dispnea, hemoptisis dan batuk. Bila jumlah larva yang bemigrasi sangat banyak dapat menyebabkan dan perdarahan. Prolaps recti bisa ditemukan pada anak dengan infeksi yang sangat berat. Telur yang ditelan akan berubah menjadi cacing dewasa dalam waktu sekitar 3 bulan. 24 kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan CNS. Dalam waktu 4 minggu sejak penetrasi larva, larva akan menjadi cacing dewasa. Diagnosis Telur menetas sangat cepat dalam usus Telur pada pemeriksaan feses. Kadang dan sering tidak ditemukan dalam cacing juga dapat ditemukan pada spesimen feses. Dapat ditemukan larva mukosa rectum. randiform (larva filariform) pada pemeriksaan feses Fertilisasi telur membutuhkan waktu 3 minggu untuk menjadi infektif. Berbentuk tong yang dilapisi hialin dan berdingding tebal. Terapi Mebendazole (100 mg 3x sehari) dan Albendazol 25 BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Infeksi nematoda saluran pencernaan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pengobatan secara luas sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan namun tanpa perbaikan penyediaan air bersih dan perbaikan sanitasi strategi ini tidak dapat menurunkan intensitas infeksi parasit secara berkelanjutan. Sampai tersedianya teknologi baru, pengobatan antihelmintik pada anak sekolah tetap merupakan upaya yang praktis untuk mengendalikan infeksi cacing tersebut. 26 DAFTAR PUSTAKA Abbas, A. & Newsholme, W., 2009. Diagnosis and recommended treatment of helminth infections. Prescribe, pp.31–40. Available at: www.prescriber.co.uk. Ayanda, O.S., Ayanda, O.T. & Adebayo, F.B., 2010. Intestinal Nematodes: A Review. The Pacific Journal of Science and Technology, 11(1), pp.466–477. Available at: http://www.akamaiuniversity.us/PJST.htm. Resnhaleksmana, E., 2014. PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN. Media Bina Ilmiah, 8(5), pp. 45-50. Available at: http://www.ipsdimataram.com Siregar, C.D., 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatri, 8(2), pp.112–117. Available at: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-2-4.pdf. Stepek, G. et al., 2006. Human gastrointestinal nematode infections: are new control methods required? International journal of experimental pathology, 87(5), pp.325–41. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2517378&tool=pmcentrez&r endertype=abstract [Accessed October 23, 2015]. Suriptiastuti, 2006. Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universa Medicina, 25(2), pp.84–93. Available at: http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2012/04/Tutik.pdf. World Health Organization, 2011. Helminth control in school-age children 2nd Editio., Geneva: WHO Press. Available at: http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241548267_eng.pdf. 27 Zaph, C., Cooper, P.J. & Harris, N.L., 2014. Mucosal immune responses following intestinal nematode infection. Parasite immunology, 36(9), pp.439–52. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4312905&tool=pmcentrez&ren dertype=abstract [Accessed September 8, 2015] 28