Uploaded by 003_ Shela Sonia

Kelompok 5 PBA 2019 LKM 1

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA
“STIMULUS OTOT”
Disusun Oleh : Kelompok 5
Shela Sonia
19030204003
Diah Dwi Firnanda
19030204009
Kalimatul Maghfiroh
19030204029
Itaunada
19030204047
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
2022
A.
Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh suhu pada daya relatif kontraksi otot katak dengan stimulus
langsung dan tidak langsung?
B.
Variabel Penelitian
1. Variabel kontrol : Jenis katak dan waktu lamanya perlakuan
2. Variabel manipulasi : Suhu perlakuan dan jenis stimulus
3. Variabel respon : Pengaruh suhu terhadap daya relatif kontraksi otot katak
C.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dan diukur adalah pengaruh suhu terhadap daya relatif
kontraksi otot katak dengan stimulus langsung dan tidak langsung. Daya relatif
kontraksi otot yang diamati yaitu twitch yang merupakan kontraksi tunggal yang terjadi
pada intensitas rangsangan terkecil dan tetanus yang merupakan daya relatif kontraksi
otot yang terus menerus terjadi akibat adanya rangsangan dengan intensitas tinggi
secara terus menerus.
D.
Analisis Data
Gambar 1. Rekaman dari twitch dan tetanus yang dikembangkan oleh stimulasi
langsung dan tidak langsung pada tiga suhu yang berbeda.
Berdasarkan data grafik rekaman dari twitch dan tetanus yang dikembangkan
oleh stimulasi langsung dan tidak langsung pada tiga suhu yang berbeda. Pada Gambar
1, terdapat perlakuan suhu yang berbeda pada stimulus langsung dan stimulus tidak
langsung. Perlakuan suhu tersebut yaitu 4ºC, 12ºC, dan 22ºC pada masing-masing
kondisi, baik twitch maupun tetanus. Twitch merupakan kontraksi tunggal yang terjadi
pada rangsangan intensitas terkecil sehingga terjadi pada kurun waktu yang singkat dan
berlangsung secara singkat. Sedangkan, tetanus merupakan kontraksi otot yang terus
terjadi karena rangsangan dengan intensitas tinggi diberikan dengan terus-menerus
dalam jangka waktu yang lebih lama daripada twitch. Perlakuan twitch dan tetanus pada
suhu berbeda tersebut dicatat dari persiapan yang sama dengan durasi stimulasi pada
tetanus yaitu 1 detik. Perlakuan twitch dan tetanus menunjukkan hasil yang berbeda
pada masing-masing suhu.
Pada kondisi twitch dengan perlakuan suhu berbeda menghasilkan 3 grafik yang
berbeda. Stimulus langsung ditunjukkan dengan garis tipis sedangkan stimulus tidak
langsung ditunjukkan dengan garis tebal. Berdasarkan gambar, daya relatif kontraksi
meningkat ketika diberikan stimulus langsung dan daya relatif kontraksi konstan ketika
diberikan stimulus tidak langsung. Pada grafik suhu 4ºC, daya relatif kontraksi stimulus
langsung 1.0 pada waktu 0.2 detik sedangkan stimulus tidak langsung memiliki daya
relatif kontraksi 0.05 pada waktu 0.2 detik. Pada grafik suhu 12ºC menunjukkan daya
relatif kontraksi stimulus langsung 0.1 pada waktu 0.05 detik dan stimulus tidak
langsung 0.4 pada waktu 0.05 detik. Pada grafik suhu 22ºC menunjukkan daya relatif
kontraksi stimulus langsung 1.0 dan stimulus tidak langsung 0.78 yang keduanya pada
waktu kurang dari 0.05 detik. Kecepatan waktu pada twitch berbanding lurus dengan
perlakuan suhu. Ketika suhu rendah kecepatannya lambat, sebaliknya apabila suhu
tinggi maka kecepatannya lebih cepat.
Pada keadaan tetanus, menunjukan 3 grafik dengan suhu dan gelombang yang
berbeda juga. Daya relatif kontraksi tetanus yang diperoleh dari pengaruh stimulus
langsung dan stimulus tidak langsung diuji cobakan pada suhu 4°C dan gelombang 25
Hz, 12°C dan gelombang 40 Hz, dan 22°C dan gelombang 50 Hz. Pada grafik suhu 4ºC
dan gelombang 25 Hz menunjukkan daya relatif kontraksi stimulus langsung pada titik
1.0 dan stimulus tidak langsung 1.0 pada waktu 1.3 detik. Grafik suhu 12ºC dan
gelombang 40 Hz menunjukkan daya relatif kontraksi stimulus langsung di 1.0 dan
stimulus tidak langsung 1.0 pada waktu 0.5-1.2 detik. Grafik suhu 22ºC dan 50 Hz
menunjukkan daya relatif kontraksi stimulus langsung 1.0 dan stimulus tidak langsung
1.0 pada waktu 0.7-1.1 detik. Hasil grafik menunjukkan nilai yang tidak terlalu berbeda
antara perlakuan secara langsung dan tidak langsung, yaitu kurang lebih mencapai 1.0
hingga 1.3 sehingga intensitas stimulus langsung dan stimulus tidak langsung cukup
kuat untuk mengaktifkan semua motor unit yang ditunjukkan pada gambar grafik ketika
konstan. Daya relatif kontraksi paling lambat terdapat pada suhu 4°C dan gelombang
25 Hz ketika diberi stimulus tidak langsung kemudian kecepatan semakin bertambah
ketika mendapatkan perlakuan suhu 12°C dan gelombang 40 Hz serta suhu 22°C dan
gelombang 50 Hz.
Gambar 2. Perubahan twitch dan tetanus yang dikembangkan oleh stimulasi tidak
langsung dengan perubahan suhu.
Berdasarkan gambar grafik tersebut, twitch disimbolkan dengan lingkaran
terbuka sedangkan tetanus disimbolkan dengan lingkaran tertutup yang diekspresikan
relatif terhadap gaya masing-masing yang diperoleh dengan stimulasi tidak langsung.
Angka yang terdapat pada setiap titik data menunjukkan jumlah sampel yang
digunakan. Notasi a, b, dan c pada twitch diperoleh dari uji statistik yang menunjukkan
perbedaan signifikan antar titik yang diperoleh secara statistik (P<0,01), sedangkan
pada tetanus menunjukkan hasil perbedaan tidak signifikan. Grafik tersebut merupakan
salah satu hasil statistika inferensial yang menunjukkan pengujian hipotesis dari suatu
data, keadaan, atau fenomena serta terdapat pengujian hipotesis. Misalnya, pengaruh
perlakuan suhu terhadap daya relatif kontraksi otot. Nilai dalam teks dan gambar
diberikan sebagai mean ± standar deviasi (SD) yang dianalisis menggunakan uji T
analisis varians satu arah (ANOVA) diikuti dengan uji post hoc Scheffé dengan bantuan
SPSS untuk lebih memudahkan pengujian data.
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Pada Twitch dengan Perlakuan Suhu Berbeda
Notasi
Suhu
Daya relatif kontraksi
A
4
0.2
B
12
0.4
C
22
0.7
Gambar 3. Hasil Uji Statistik Pada Twitch dengan Perlakuan Suhu Berbeda
Daya relatif kontraksi
0,8
0,7
0,7
0,6
0,5
0,4
0,4
0,3
0,2
0,2
0,1
0
4
12
22
Suhu
a
b
c
Berdasarkan grafik tersebut termuat uji statistik yang menghasilkan nilai
probabilitas (P) < 0,01. Nilai probabilitas (P) digunakan untuk menentukan hasil
percobaan berada dalam jangkauan nilai yang normal untuk hal yang diteliti. Nilai P
digunakan sebagai alternatif titik penolakan untuk memberikan tingkat signifikansi
terkecil di mana hipotesis nol akan ditolak. Pada penelitian tersebut termuat data
P<0,01, artinya nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α yang pada umumnya
menggunakan 0,05. Nilai P ≤ 0,05 berarti bahwa hasil dari uji statistik menolak
hipotesis nol yang menunjukkan bahwa hipotesis nol peneliti tidak valid. Cara
penarikan kesimpulan lain yaitu nilai P berkisar antara 0 hingga 1. Semakin rendah atau
kecil nilai P, maka semakin besar signifikansi statistik dari perbedaan yang diamati.
Hal tersebut sesuai dengan hasil uji statistik dengan nilai P<0,01 dan menghasilkan
perbedaan yang signifikan. Nilai P dapat digunakan sebagai alternatif atau sebagai
tambahan untuk tingkat kepercayaan yang telah dipilih sebelumnya untuk pengujian
hipotesis.
Tabel 2. Hasil Uji Statistik Pada Tetanus dengan Perlakuan Suhu Berbeda
Titik
Suhu
Daya relatif kontraksi
1
4
0.92
2
12
0.96
3
22
0.92
0,97
0,96
Daya relatif kontraksi
0,96
0,95
0,94
0,93
0,92
0,92
0,92
0,91
0,9
4
12
22
Suhu
Titik 1
Titik 2
Titik 3
Sedangkan, pada kondisi tetanus tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
perubahan suhu dengan daya relatif kontraksi otot. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan
data, saat suhu 4ºC daya relatif kontraksi otot berada pada kekuatan 0.92, pada saat
suhu 12ºC kontraksi otot berada pada kekuatan 0.96, dan pada saat suhu 22ºC kontraksi
otot berada pada kekuatan 0.92.
E.
Pembahasan
Berdasarkan analisis data, Pada gambar 1 yang menunjukkan adanya perbedaan
hasil twitch pada suhu yang berbeda dengan stimulasi yang berbeda juga. Tampak pada
gambar 1 bahwa stimulasi langsung selalu memiliki nilai twitch 0,1 namun memiliki
lama waktu aktivitas kekuatan otot yang berbeda-beda. Apabila suhu semakin tinggi,
maka waktu aktivitas kekuatan otot akan semakin pendek. Seperti pada grafik hasil uji
statistik pada twitch dengan perlakuan suhu berbeda (gambar 3).Adanya suatu respon
yang banyak terjadi selama respon mekanik terhadap stimulasi tunggal disebut dengan
twitch. Pada twitch, terjadi peristiwa ujung otot sartorius katak akan mencegah
pemendekan pada suhu 0℃ dan kemudian akan terjadi peningkatan selama 200
milidetik. Respon mekanis terhadap stimulasi bergantung pada tingkatan stimulus yang
ditimbulkan. Periode refraktori absolut pada otot Sartorius katak pada suhu 0℃
berlangsung sekitar 10 milidetik setelah terjadinya stimulasi. (Katz,1996) menyatakan
efek dari berbagai faktor pada perbanyakan saraf telah dilaporkan misalnya,
ketergantungan efisiensi transmisi pada suhu. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
peningkatan gaya yang diinduksi peregangan dalam persiapan saraf-otot disebabkan
oleh peningkatan kecepatan transmisi antara saraf dan otot hal ini sangat dipengaruhi
oleh suhu dimana katak disimpan.
Dapat diketahui bahwa suhu mempengaruhi transmisi di sambungan
neomuskular. Suhu dimana katak disimpan dapat mempengaruhi peningkatan laju
transmisi antara saraf dan otot yang disebabkan gara induksi peregangan juga
meningkat. Suhu dapat memberikan efek terhadap kekuatan kedutan yang ditunjukkan
dengan adanya kedutan yang terjadi setelah stimulasi secara tidak langsung lebih
rendah pada suhu yang lebih rendah. Besarnya gaya kedutan yang terjadi di seluruh otot
yakni jumlah total gaya kedutan yang dihasilkan oleh semua serat, serta jumlah serat
otot yang digunakan untuk aktivasi lebih kecil terjadi pada suhu yang lebih rendah. Hal
ini dikarenakan adanya Penurunan gaya kedutan pada suhu rendah yang dapat
disebabkan oleh penurunan eksibilitas saraf yang dapat berpengaruh pada otot.
Bagaimanapun kekuatan tetanus penuh bisa diinduksi oleh stimulus tidak langsung.
Pada suhu rendah (Gambar 1 dan 2). Selain itu, Adanya penurunan efisiensi konduksi
pada sambungan neuromuskular pada suhu rendah. Penurunan pelepasan asetilkolin
dan aktivitas kolinesterase dapat terjadi secara bersamaan pada suhu rendah, namun
tingkat penurunan kolinesterase mengalami aktivitas yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan asetilkolin, sehingga menghasilkan penurunan bersih terhadap
asetilkolin yang tersedia (Foldes et al., 1978; Harris dan Leach, 1968). Menurut Adams
(1989) berpendapat jika proporsi serat yang mampu memproduksi subthreshold EPC
dalam menanggapi kejutan saraf tunggal adalah sebesar 42% pada 5°C dan 59% pada
2,5°C. Proporsi yang ditemukan sekitar 88% pada 4°C (Gambar 2).
Otot peka terhadap perubahan metabolik kimia dan suhu, dibuktikan dengan
meningkatnya grafik searah dengan kenaikan suhu. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian yang dinyatakan bahwa ketika suhu menjadi lebih panas, frekuensi denyut
jantung akan menjadi naik (Purnamasari, 2019). Ketika otot mendapatkan perlakuan
pendinginan atau mendapat rangsangan dingin, beberapa serat otot akan menimbulkan
kontraksi dengan memfasilitasi transmisi. Rentangan toleransi suhu pada berbagai
hewan berbeda-beda, ada yang luas, dan ada yang sempit. Selanjutnya toleransi suhu
dapat berubah karena waktu dan derajat adaptasi. Beberapa organisme lebih sensitif
terhadap suhu ekstrim selama periode tertentu dalam hidupnya (Schmidtetal dalam
Fitrah, 2009) Pada katak, yang termasuk hewan poikilothermik, peningkatan kekuatan
dengan peregangan akan berubah sesuai dengan suhu yang ada di tubuhnya, kenaikan
suhu meningkatkan metabolisme dan frekuensi denyut jantung sehingga kontraksi otot
juga akan mengalami peningkatan (Primawati, 2011)
Pengaruh stimulus langsung dan tidak langsung juga di teliti dengan adanya
peregangan yang terjadi. Peneliti membandingkan amplitudo gaya yang dihasilkan oleh
stimulus langsung dengan yang diperoleh stimulus tidak langsung (Ishii, 2004). Pada
stimulus tidak langsung peningkatan gaya kedutan yang dialami lebih rendah, yaitu
sepersepuluh dari stimulus langsung. Peneliti memeriksa hubungan antara panjang otot
dan produksi kekuatan pada otot yang distimulasi secara langsung dan tidak langsung.
Perbedaan di antara mereka adalah (P< 0,01), kekuatan yang diperoleh dari stimulus
langsung dan stimulus tidak langsung pada setiap suhu tidak berbeda, meskipun laju
pengembangan kekuatan lebih lambat secara tidak langsung pada suhu yang lebih
rendah. Dengan demikian, intensitas stimulasi langsung dan tidak langsung cukup kuat
untuk mengaktifkan serabut otot dan saraf. Serabut saraf dapat menginervasi beberapa
serabut urat otot yang dapat disebut dengan satu unit motor. Rangsangan minimal dapat
menyebabkan satu atau dua serabut otot yang mengalami kontraksi kecil. Jika
rangsangan tersebut diperbesar, maka kontraksi yang terjadi juga menjadi lebih besar,
tetapi belum semua serabut otot ikut berkontraski. Kontraksi maksimal terjadi apabila
rangsangan yang diberikan diperbesar hingga menimbulkan kontraksi yang tinggi
dengan myogramnya sama.
Hasil yang diperoleh pada penelitian yang digambarkan dengan grafik,
kekuatan kedutan yang tinggi dihasilkan oleh katak yang disimpan pada suhu 4oC
selama lebih dari 2 bulan, dibandingkan dengan katak yang disimpan dengan suhu
ruangan. Pengaruh suhu pemeliharaan katak terhadap peningkatan gaya kedutan diukur
2 menit setelah peregangan otot. Pada awalnya katak yang dipindahkan dari suhu kamar
ke suhu rendah, merangkak sangat lambat akan tetapi setelah beberapa menit katak
membaik dan setelah dibiarkan beberapa bulan katak dapat bergerak normal (Abbott
dan Aubert dalam Ishii, 2004).
Keseluruhan hasil pembahasan menunjukkan bahwa suhu tidak berpengaruh
terhadap kekuatan relatif kontraksi otot katak (twitch dan tetanus) dengan stimulasi
langsung, namun suhu berpengaruh terhadap waktu aktivitas kontraksi otot katak
(twitch dan tetanus) dengan stimulasi langsung dimana semakin tinggi suhu maka
waktu aktivitas kontraksi otot semakin pendek. Selain itu, suhu berpengaruh terhadap
kekuatan relatif otot twitch dimana semakin tinggi suhu maka kekuatan relatif semakin
besar, namun suhu tidak berpengaruh terhadap kekuatan relatif otot tetanus. Hal ini
ditunjukkan pada gambar 4 jika tingginya suhu tidak mempengaruhi kekuatan relatif
otot tetanus. Kemudian suhu juga berpengaruh terhadap waktu aktivitas kontraksi otot
(twitch dan tetanus) dimana semakin tinggi suhu maka waktu aktivitas kontraksi otot
semakin cepat apabila diberi stimulus tidak langsung.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan kelompok kami terhadap grafik Tiwtch dan Tetanus
diperoleh kesimpulan bahwa suhu tidak berpengaruh terhadap kekuatan relatif
kontraksi otot katak (twitch dan tetanus) dengan stimulasi langsung. Namun jika diberi
stimulus tidak langsung maka suhu akan berpengaruh terhadap waktu aktivitas
kontraksi otot katak (twitch dan tetanus) dengan stimulasi langsung dimana semakin
tinggi suhu maka waktu aktivitas kontraksi otot semakin pendek dan semakin cepat..
Selain itu, suhu berpengaruh terhadap kekuatan relatif otot twitch dimana semakin
tinggi suhu maka kekuatan relatif semakin besar, namun suhu tidak berpengaruh
terhadap kekuatan relatif otot tetanus.
Daftar Pustaka
Adams, B. A. 1989. Temperature and synaptic efficacy in frog skeletal muscle. J. Physiol.
408,443-455.
Edman, K. A., Elzinga, G. and Noble, M. I. 1978. Enhancement of mechanical performance by
stretch during tetanic contractions of vertebrate skeletal muscle fibres. J. Physiol.
281,139-155. Foldes, F. F.,
Katz, B. 1996. Pelepasan Pemancar Saraf dari Sekresi Kuantitatif ke Eksositosis dan
Seterusnya. Kuliah Fenn. J. Neurocytol. 25:677-686.
Kuze, S., Vizi, E. S. and Deery, A.. 1978. The influence of temperature on neuromuscular
performance. J. Neural Transm.43, 27-45.
Ishii, Yoshiki, Takashi Watari,Teizo Tsuchiya. 2004. Enhancement of twitch force by stretch
in a nerve-skeletal muscle preparation of the frog Rana porosa brevipoda and the effects
of temperature on it. Artikel Ilmiah. J Exp Biol.207.
Primawati, S. N. (2011). Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan II. Mataram: Laboratorium
Biologi IKIP Mataram.
Purnamasari, Sry, dan Muhammad Wahyu Setiadi. “Pengaruh Zat Kimia Pada Berbagai Suhu
Terhadap Denyut Jantung Katak (Rana sp.) Dalam Upaya Pengembangan Buku
Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan.” Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi, vol. 7 no. 2,
2019. 10.33394/bjib.v7i2.2388 (Diakses pada tanggal 15 September 2021).
Rome, L. C. 1983. The effect of long-term exposure to different temperature on the mechanical
performance of frog muscle. Physiol. Zool. 56, 33-40.
Download