Uploaded by Dirga Kara

DIRGA 2121011019 - UU Cipta Kerja dan Chapter 3 -

advertisement
TUGAS
MSDM STRATEGIK
OMNIBUS LAW UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG CIPTA KERJA
Dosen:
Dr. Ayi Ahadiat, S.E., M.B.A
Mahasiswa:
Dirga Purnakara / 2121011019
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
Omnibus Law Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja
dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan
UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan
dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Cipta Kerja dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah upaya penciptaan
kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha,
dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Sepuluh ruang lingkup UU ini adalah:
1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
2) ketenagakerjaan;
3) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
4) kemudahan berusaha;
5) dukungan riset dan inovasi;
6) pengadaan tanah;
7) kawasan ekonomi;
8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
10) pengenaan sanksi.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan omnibus law yang mengatur
perubahan peraturan beragam sektor dengan tujuan memperbaiki iklim investasi dan
mewujudkan kepastian hukum.
Terobosan Omnibus Law memungkinkan 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200
pasal direvisi dengan UU Cipta Kerja yang mengatur multisektor. Dengan demikian, revisi
memangkas pasal-pasal yang tidak efektif. Terobosan ini diperlukan untuk memperbaiki
iklim berusaha, memperbaiki kebijakan horizontal dan vertikal yang saling berbenturan,
meningkatkan indeks regulasi Indonesia yang masih rendah, mengatasi fenomena hyper
regulation dan kebijakan tidak efisien, serta UU yang bersifat sektoral dan sering tidak
sinkron.
Tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah mendorong investasi, mempercepat
transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan
berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan
ego sektoral. Pengesahan UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan pengaruh
terhadap perkembangan ekonomi yang baik.
Menciptakan Lapangan Kerja
Indonesia memiliki visi untuk menjadi 5 besar negara dengan ekonomi terkuat di
dunia, serta memiliki PDB Rp 27 juta per kapita per bulan pada tahun 2045. Harapannya
UU Cipta Kerja dapat membuat iklim investasi kondusif akan menyerap lebih banyak
tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
serta produktivitas pekerja meningkat.
Cipta Kerja memiliki beberapa kebijakan strategis. Kebijakan tersebut adalah
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, perlindungan dan kesejahteraan
pekerja, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM). Selain itu, kebijakan lainnya adalah peningkatan investasi pemerintah dan proyek
strategis nasional.
UU Cipta Kerja Dorong Investasi
Pandemi COVID-19 menghadirkan cukup banyak tantangan selama 2 tahun
terakhir. Perekonomian global mengalami permasalahan yang serupa. Pemerintah
Indonesia terus berusaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya adalah
dengan mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendorong
investasi dengan sistem perizinan yang sederhana. Proses perizinan kegiatan usaha kini
telah diubah dari berbasis izin menjadi berbasis risiko. Sistem yang disebut Perizinan
Berbasis Risiko bisa didapatkan secara daring melalui Online Single Submission Risk Based
Approach (OSS-RBA).
Perizinan berbasis risiko merupakan sistem perizinan berdasarkan tingkat risiko
kegiatan usaha. Tingkat risiko tersebut dibagi menjadi rendah, menengah rendah,
menengah tinggi, dan tinggi. Selain itu, beberapa faktor lain juga dipertimbangkan seperti
peringkat skala kegiatan usaha dan luas lahan sebagaimana tercantum pada lampiran
peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Sistem perizinan yang lebih mudah dan cepat tentu sangat membantu perbaikan ekonomi
negara. Hal ini dikarenakan dengan sistem perizinan yang baik akan membuat calon
investor lebih tertarik berinvestasi di Indonesia.
Persyaratan Investasi Dipermudah
Persyaratan investasi menjadi lebih mudah dengan UU Cipta Kerja. Pertama,
menetapkan bidang usaha penanaman modal yang didorong untuk investasi. Kriteria
investasi yang dimaksud mencakup teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan
padat karya. Kedua, untuk kegiatan usaha UMKM dapat bermitra dengan modal asing.
Ketiga, status Penanaman Modal Asing (PMA) hanya dikaitkan dengan batasan kepemilikan
asing. Persyaratan keempat dan terakhir, ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor
dihapus karena akan diatur dalam Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM).
Dengan UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah diharapkan akan mendorong
masuknya investasi yang berkualitas sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja
serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
UU Cipta Kerja dan Praktik Diskriminasi
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai bakal melanggengkan praktik
diskriminasi. Bahkan, mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Setidaknya ada tujuh UU dalam regulasi ‘sapu jagat’ ini yang mengancam kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Pertama, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kedua, UU
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Ketiga, UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Keempat, UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis. Kelima, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Keenam, UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketujuh, UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Frasa ‘agama yang diakui’ diperoleh dari penjelasan atas Pasal 54 (a) UU No.6/2011
tentang Keimigrasian. Di sisi lain, ada kecenderungan ancaman kebebasan beragama dan
berkeyakinan karena menggunakan norma ajaran agama tertentu sebagai pembatasan hak
warga. Misalnya, Pasal 108 UU Ciptaker mengambil dari Pasal 20 (a) UU No.20/2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis – yang menyebut ‘moralitas agama’.
Kemudian, adanya indikasi favoritisme negara terhadap kelompok agama tertentu.
Misalnya, mengkhususkan jabatan atau pengusaha dalam sektor publik untuk penganut
agama tertentu. Pasal 68 UU Ciptaker mengambil UU No.8/2019 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umrah Pasal 58 (a) dan Pasal 89 (1) yang menyebut beragama Islam
sebagai syarat memperoleh perizinan berusaha ibadah haji dan umrah.
Selain itu, terkait pembatasan merujuk pada kaidah/moralitas agama dan adat
tertentu yang dianut masyarakat setempat. Pasal 67 UU Ciptaker mengambil dari Pasal 26
(1) a UU 10/2009 tentang Kepariwisataan, dan Pasal 34 UU Ciptaker mengambil Pasal 29
(4) UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Di level pelaksanaan, akan timbul pertanyaan terkait norma agama yang perlu
diikuti jika terdapat lebih dari satu agama. Maka, beberapa aturan dalam UU Ciptaker
bertendensi mengekalkan segregasi kelompok warga berdasarkan agama. Dalam konteks
hubungan negara dengan agama pun sangat tidak mungkin menggunakan seluruh norma
ajaran agama sebagai acuan dasar hukum.
UU Cipta Kerja Dalam Rangka Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas
Hak-hak disabilitas yang termuat dalam UU Penyandang Disabilitas tidak
terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta
kerja), dengan penggunaan istilah penyandang cacat yang merupakan kejahatan epistemik
bertentangan dengan paradigma model sosial penyandang disabilitas dari sudut pandang
Hak Asasi Manusia, bahwa keadaan seorang penyandang disabilitas haknya tidak
diakomodasi oleh lingkungan karena ada berbagai hambatan yang dihadapi penyandang
disabilitas mulai dari stigma negatif, minimnya aksesibilitas, sampai pada cara pandang
yang menempatkan kondisi disabilitas seseorang sebagai beban. Hambatan tersebut
menjadikan kecendurungan peluang untuk mengakses layanan mendapatkan pekerjaan
yang relatif lebih rendah dibandingkan non-penyandang disabilitas.
Kedudukan, hak dan kewajiban Penyandang Disabilitas sama dengan masyarakat
non disabilitas yakni berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga
sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan
diskriminasi
dan
diimplementasikan
terutama
dalam
UU
perlindungan
Penyandang
hak
asasi
Disabilitas
manusia.
yang
Hak
diciptakan
tersebut
untuk
menghilangkan praktik diskriminatif dengan cara menguatkan ketentuan-ketentuan yang
sudah baik dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Salah satu pasal yang dinilai sudah baik yaitu Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang
berbunyi : “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (4).”
Pasal 172 tersebut telah memberikan perlindungan hak bagi pekerja yang megalami
kecelakan kerja sehingga mengakibatkan pekerja tersebut menjadi penyandang disabilitas
untuk tidak memutuskan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja, namun
pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan jika ada permintaan dari pekerja dengan
disabilitas dan pasal tersebut juga mengatur mengenai hak mendapatkan pesangon. Dalam
ketentuan ini dapat dikatakan bahwa kondisi pekerja yang disabilitas tidak dapat dijadikan
alasan untuk pemutusan hubungan kerja. Ketentuan ini juga diatur dalam UU Penyandang
Disabilitas Pasal 11 huruf d yang menyatakan bahwa tidak diberhentikan karena alasan
disabilitas. Pasal 172 tersebut juga melindungi hak pekerja untuk kembali bekerja setelah
mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan mengalami kecacatan. Hal ini juga diatur
dalam Pasal 11 huruf e UU Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa pekerja yang
mengalami kecelakaan kerja dan mengalami kecacatan mendapatkan program kembali
bekerja.
Disahkan UU Cipta Kerja justru melemahkan Hak Penyandang Disabilitas dan
mempersempit ruang Penyandang Disabilitas dalam kesempatan kerja. UU Cipta Kerja
tersebut menghapus ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dan diperburuk dengan
dimunculkannya pasal baru dalam UU Cipta Kerja yaitu Pasal 154A ayat (1) huruf l yang
berbunyi : “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: l. pekerja/buruh
mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;”.
Ketentuan baru tersebut kontradiktif dengan UU Penyandang Disabilitas Pasal 11
huruf d dan huruf e karena memungkinkan pemutusan hubungan kerja dilakukan bukan
atas kesepakatan antara pekerja dengan pemberi kerja namun atas inisiatif pemberi kerja
dengan alasan kondisi disabilitas pekerja. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 154A ayat (1)
huruf l dan dihapuskannya Pasal 172 adalah bentuk diskriminasi dan pelemahan
perlindungan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Perubahan tersebut tidak
sejalan dengan UU Penyandang Disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Fungsi Undang-Undang untuk
melindungi hak pekerja dan menempatkan posisi pekerja seimbang dengan pemberi kerja
menjadi hilang. Implementasi program kembali bekerja yang diatur dalam UU Penyandang
Disabilitas dikhawatirkan akan ditinggalkan karena UU Cipta Kerja memberi kedudukan
pemberi kerja memiliki pilihan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan disabilitas.
Dapat diambil kesimpulan bahwa Penyandang disabilitas memiliki kedudukan hak
dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya dalam rangka ikut serta
pembangunan nasionalnya, proses pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan
penyandang disabilitas telah berdampak pada muatan yang tidak harmonis terhadap
kebutuhan hak-hak penyandang disabilitas. Permasalahan yang dihadapi yaitu pengaturan
mengenai kuota lapangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam UU Penyandang Disabilitas
tidak sepenuhnya terimplementasi dengan baik.
Dalam UU Cipta Kerja hak-hak penyandang disabilitas tidak terakomodasi
menimbulkan hambatan peluang untuk mengakses layanan mendapatkan pekerjaan yang
relatif lebih rendah dibandingkan non-penyandang disabilitas. Sebagaimana, fungsi
Undang-Undang untuk melindungi hak pekerja dan menempatkan posisi pekerja seimbang
dengan pemberi kerja menjadi hilang, maka perubahan itu tidak sejalan dengan semangat
mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif. Diperlukannya partisipasi masyarakat
dalam penyusunan perundang-undangan untuk meminimalisir kelemahan UU Cipta Kerja.
Seharusnya upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi
lebih tegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan penyandang disabilitas
untuk menjamin kesamaan hak dan kesempatan kelangsungan hidup penyandang
disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama
sebagai Warga Negara Indonesia.
UU Cipta Kerja dan Kelompok Minoritas (Agama/Keyakinan)
Pluralitas sering dikatakan sebagai potensi kekuatan bangsa. Namun, realitas
keragaman itu di sisi lain juga bagaikan fenomena gunung es: Menyimpan potensi konflik
yang sewaktu-waktu bisa mencair. Seringkali, konflik menimpa kelompok minoritas baik
dari segi ras, etnis, bahasa, agama, maupun identitas lainnya. Akibatnya, beberapa populasi
terbilang rentan menerima perlakuan diskriminasi.
Hampir di setiap tempat potensi kelompok minoritas dan rentan mengalami risiko
seperti diskriminasi, stigmatisasi, kekerasan, ataupun kriminalisasi yang cenderung lebih
besar jika dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Kerap, pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang dialami masyarakat minoritas, baik di bidang hak-hak sipil dan politik
maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya berdampak sangat luas hingga memunculkan efek
berantai terhadap kehidupan orang di sekitar mereka. Pembiaran dan kurangnya respons
negara untuk menghentikan pelanggaran tersebut membuat perlakuan diskriminatif
seolah terlazimkan dalam kehidupan sosial. Dan situ-asi ini memunculkan kategorikategori masyarakat rentan yang berhak mendapatkan pelindungan lebih ketimbang
masyarakat pada umumnya.
Salah satu hal yang mendapat perhatian dalam UU Cipta Kerja terkait Kelompok
Minoritas (Agama/Keyakinan) yaitu Spionase dan ancaman kebebasan beragamaberkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian.
Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan
pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama
atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.
Dalam UU Cipta Kerja, dijelaskan definisi aliran atau paham yang dapat
menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, antara lain
aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah Negara Republik Indonesia.
Download