DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................... 1 Skenario 3......................................................................................................................... 2 Step 1 Kata Sulit............................................................................................................... 3 Step 2 Daftar Masalah dalam Skenario ............................................................................ 5 Step 3 Jawaban Daftar Masalah ....................................................................................... 6 Step 4 Peta Masalah ......................................................................................................... 10 Step 5 Tujuan Pembelajaran (LO) .................................................................................... 11 Step 6 Self Directed Learning .......................................................................................... 12 Step 7 Pembahasan LO dan Peta Konsep......................................................................... 13 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 36 1 Skenario 3 Kegemukan Seorang pria umur 25 th datang ke dokter untuk berkonsultasi tentang perutnya yang semakin membesar. Dari anamnesa, kakak perempuan dari pria tersebut menderita diabetes dan obesitas. Pasien memiliki kebiasaan banyak makan dan senang makan jeroan. Pasien jarang berolahraga dan sudah 5 tahun ini tubuhnya semakin gemuk terutama bagian perut. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TB 150 cm, BB 80 kg, lingkar pinggang 120 cm, TD 160/90 mmHg, dan tidak didapatkan massa di perut. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: GDP 185 mg/dl, kolesterol total 290 mg/dl, LDL 185 mg/dl, HDL 30 mg/dl, asam urat 9.5 mg/dl. (Setelah diperiksa darahnya, ternyata kolesterol dan gula darahnya tinggi). Menurut dokter, pria tersebut tidak menderita kanker. Pasien harus melakukan olahraga teratur, bisa mengatur dietnya dan mengurangi konsumsi karbohidrat dan lemak berlebihan. 2 Langkah 1 Kata Sulit 1. Diabetes Diabetes (diabetes melitus) adalah penyakit jangka panjang atau kronis yang ditandai dengan kadar gula darah (glukosa) yang jauh di atas normal. Glukosa sangat penting bagi kesehatan kita karena merupakan sumber energi utama bagi otak maupun sel-sel yang membentuk otot serta jaringan pada tubuh kita. 2. Obesitas Peningkatan berat badan melebihi normal akibat akumulasi lemak dalam tubuh. Ketidakseimbangan makanan yang masuk dan energi yang dikeluarkan. Tinggi badan dan berat badan tidak seimbang yang melampaui batas fisik maupun skeletal. 3. Kolesterol Kolesterol adalah lemak yang terdapat di dalam darah atau sterol utama dalam tubuh manusia yang memiliki manfaat sebaga Kolesterol adalah lemak yang terdapat di dalam darah atau sterol utama dalam tubuh manusia yang memiliki manfaat sebagai pembentuk dinding sel tubuh. Kolesterol sudah diproduksi oleh tubuh sebanyak 75% dan ditambah dengan asupan makanan sebanyak 15%. Jika kadarnya terlalu banyak, kolesterol akan dibawa oleh HDL kembali ke hati dan kemudian diurai kembali. Kolesterol juga adalah bahan awal pembuatan asam empedu dan hormon steroid. 4. Asam urat Zat hasil metabolisme purin dalam tubuh. Zat asam urat ini biasanya akan dikuluarkan oleh ginjal melalui urine dalam kondisi normal. Namun dalam kondisi tertentu, ginjal tidak mampu mengeluarkan zat asam urat secara seimbang sehingga terjadi kelebihan dalam darah. Kelebihan zat asam urat ini akhirnya menumpuk dan tertimbun pada persendian-persendian dan tempat-lainnya termasuk di ginjal itu sendiri dalam bentuk kristal-kristal. Penumpukan kristal-kristal asam urat pada persendian inilah yang akhirnya menyebabkan persendian menjadi nyeri dan bengkak atau meradang. Adapun penumpukan kristal-kristal asam urat pada ginjal akan menyebabkan terjadinya batu ginjal. 5. GDP atau Gula Darah Puasa GDP adalah kadar gula darah hasil pemeriksaan dengan berpuasa terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan sekitar 10-11 jam berguna untuk menyeimbangkan gula 3 darah. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh makanan atau minuman yang dikonsumsi yang dapat mengurangi keakuratan kadungan glukosa darah. Kadar gula darah puasa pada orang normal adalah 80-120 mg/dl. 6. LDL (Low Density Lipoprotein) Umumnya disebut kolesterol jahat, tidak larut dalam darah, mudah menempel padapembuluh darah sehingga menimbulkan plak. Banayakmengangkut kolesterol dan lemak. 7. HDL (High Density Lipoprotein) Umumnya disebut kolesterol baik, mengangkut timbunan lemak, diangkut ke hati, mengangkut lebih sedikit kolesterol. 8. Kanker Seeuatu penyakit yang ditimbulkan oleh sel tunggal yang tumbuh tidak normal dan tidak terkendali sehingga dapat menjadi tumor ganas yang dapat menghancurkan dan merusak sel atau jaringan sehat. 4 Langkah 2 Daftar Masalah dalam Skenario 1. Mengapa perut pria tersebut semakin membesar ? 2. Mengapa kegemukan terjadi terutama pada bagian perut ? 3. Apakah pengaruh dari makan banyak dan makan jeroan ? 4. Apakah diabetes dan obesitas termasuk penyakit menurun ? 5. Apakah hubungan merokok dan minum alkohol dengan obesitas dan diabetes ? 6. Apakah hubungan diabetes dengan obesitas ? 7. Apakah hubungan jarang berolahraga dengan obesitas ? 8. Berdasarkan pemeriksaan fisik, apakah kondisi pasien normal ? 9. Berdasarkan pemeriksaan lab, apakah kondisi pasien normal ? 10. Apa akibat dari kolesterol tinggi ? 11. Apa akibat dari gula darah tinggi ? 12. Mengapa dokter berpendapat pasien tidak terkena kanker ? 13. Apa perbedaan kolesterol dan lemak ? 14. Apa maksud massa di perut pada pemeriksaan fisik ? 5 Langkah 3 Jawaban Daftar Masalah 1. Perut pria tersebut semakin membesar, karena a. Pola makan yang tidak sehat, yaitu sering mengonsumsi makanan dengan kandungan lemak dan gula yang tinggi. b. Gaya hidup yang kurang baik. c. Aktifitas fisik kurang sedangkan asupan makanan sangat banyak. d. Kurangnya asupan serat dan cairan. e. Faktor stress yaitu peningkatan hormon kortisol yang berakibat pada nafsu makan yang meningkat. 2. Kegemukan terjadi terutama pada bagian peru, karena a. Adanya Omentum. b. Omentum adalah sebuah jaringan lemak pada bagian perut. c. Omentum semakin menebal. d. Adanya obesitas android yang mana penimbunan lemak pada perut. e. Lemak dibagi menjadi dua, lemak subkutan dan lemak visceral. 3. Pengaruh dari makan banyak dan makan jeroan, diantaranya: a. Susah dan lama dicerna. b. Kolesterol dapat menempel pada dinding pembuluh darah dan menimbulkan plak. c. Meningkatkan risiko penyakit jantung. d. Di dalam jeroan terdapat kadar asam urat yang tinggi sehingga ketika dikonsumsi dapat meningkatkan asam urat dalam tubuh yang sebenarnya sudah dihasilkan oleh tubuh dari metabolisme pemecahan purin menjadi asam urat (85% di tubuh). Sehingga tingginya kadar asam urat dalam darah dapat menyebabkan hipertensi. e. Adanya kristal-kristal asam urat yang berlebih dalam ginjal dapat menimbulkan gagal ginjal dan dapat menimbulkan nyeri pada persendian. 4. Obesitas dan diabetes termasuk penyakit menurun. Pada obesitas yang disebabkan oleh kelainan genetik pada gen penyandi pengatur keseimbangan energi yakni gen LEP yang mana produknya adalah leptin. Pada diabetes mellitus tipe 1 yang diakibatkan karena pengaruh gen diabetogenik yang menimbulkan defiensi insulin absolut 5. Peningkatan konsumsi alkohol jangka lama berpengaruh pada peningkatan kadar kortisol dalam darah sehingga aktivitas renin-angiotensin dan aldosteron akan meningkat, jika RAAS 6 meningkat maka kenaikan tekanan darah terjadi. Alkohol yang dikonsumsi berlebihan akan meningkatkan kadar gula dalam darah karena alkohol akan mempengaruhi kinerja hormon insulin. Karbohidrat merupakan kandungan yang banyak ditemui dalam alkohol sehingga pada saat dikonsumsi, pankreas akan mengeluarkan lebih banyak hormon insulin sehingga meningkatkan kadar gula dalam darah. 6. Obesitas adalah salah satu faktor resiko terjadinya diabetes. Sehingga orang dengan obesitas lebih rentan terkenan diabetes, dalam hal ini jenis diabetes yang dimaksud adalah diabetes militus tipe 2. Orang dengan obesitas memiliki kadar lemak yang tinggi sehingga meningkatnya metabolisme lemak. Hal ini mengakibatkan menigkatnya asam lemak bebas. Dengan peningkatan tersebut menyebabkan fungsi insulin terganggu sehingga terjadi resistensi insulin yang mana jaringan tidak bisa merespon atau mengolah metabolisme. Sehingga terjadi hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa dalam darah yang bisa disebut diabetes militus. 7. Dengan berolahraga maka lemak pada tubuh akan terbakar. Ketika berolahraga maka tubuh bergerak sehingga ada aktifitas otot rangka, untuk melakukan aktifitas membutuhkan energi, energi juga bisa berasal dari lemak sehingga menyebabkan lemak berkurang. 8. Kondisi pasien tidak dalam kondisi normal,karena berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan BMI, berat badan, tinggi badan, tekanan darah dan lingkar pinggang pasien tersebut tidak proporsional. a. Rumus penghitungan BMI = Berat Badan : Tinggi Badan (m)2. BMI ideal : 18-5 – 24,9 namun pasien tersebut memiliki hasil penghitungan BMI sebesar 28,4 yang menunjukkan bahwa mengalami obesitas. b. Lingkar pinggang laki-laki yang ideal adalah 90 cm, namun pasien memiliki lingkar pinggang lebih dari 90 cm dan menunjukkan mengalami obesitas c. Tekanan darah normalnya adalh 120/80 mmHg, namun pasien memiliki tekan darah yang melebihi normal atau dapat dikatakan mengidap hipertensi. 9. Tidak normal karena normalnya, GDP 100-125 mg/dL, kolesterol total <200 mg/dL, LDL 185 mg/dL, HDL >60 mg/dL, asam urat 2-7,5 mg/dL, gula darah <100 mg/dL dan kolesterol 200239 mg/dL 10. Kolesterol tinggi dapat mengakibatkan : a. Aterosklerosis – penyempitan atau pengerasan pembuluh arteri. b. Risiko penyakit jantung koroner lebih tinggi – terjadi kelainan pembuluh darah yang bertugas memasok darah dan oksigen ke jantung. 7 c. Serangan jantung – terjadi ketika pasokan darah dan oksigen ke area otot jantung tersumbat, biasanya oleh gumpalan di arteri koroner. Hal ini menyebabkan otot jantung berhenti. d. Angina – nyeri dada atau ketidaknyamanan yang terjadi ketika otot jantung tidak mendapatkan cukup darah. e. Stroke dan mini -stroke – terjadi ketika ada pembekuan darah diarteri atau vena, sehingga mengganggu aliran darah ke area otak. Bisa juga terjadi pembuluh darah pecah, sehingga sel-sel otak mulai mati. f. Jika kolesterol darah dan trigliserida tinggi, maka risiko terkena penyakit jantung koroner juga meningkat secara signifikan. 11. Komplikasi akut : a. Hipoglikemia : keadaan dimana kadar gula darah dalam tubuh rendah hingga kurang dari 60mg/dl. b. Hiperglikemia : keadaan dimana kadar gula darah yang terlalu tinggi memicu ketoasidosis diabetes. c. DHS (Diabetic Hypersonolar Syndrome) : keadaan dimana kadar gula darah melampaui batas normal lebih dari 600 mg/dl sehingga darah menjadi kental. Komplikasi kronik : a. Gangguan pada organ jantung b. Gangguan pada ginjal c. Gangguan pada mata d. Gangguan pada sistem saraf 12. Dokter berpendapat seperti itu karena tidak didapatkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan yang mendukung diagnosa yang menyatakan bahwa pasien terkena kanker. 13. Lemak atau lipid merupakan satu jenis zat yang kaya akan energi. Energy inilah yang dipergunakan oleh tubuh untuk melakukan proses metabolism. Lemak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni lemak sederhana, lemak majemuk dan lemak turunan. Lemak sederhana meliputi monogliserida, digliserida, dan trigliserida. Sedangkan yang termasuk dalam lemak majemuk adalah fosfolipid dan lipoprotein. Kolesterol masuk dalam jenis lemak ketiga, yaitu lemak turunan. Dalam hal ini, kolesterol bisa dikatakan sebagai bagian dari lemak, yaitu lemak kompleks. Hal ini sesuai dengan rumus kimia senyawa kolesterol yang merupakan senyawa lemak yang kompleks. 8 14. Keadaan perut yang besar dimana ketika dilakukan pemeriksaan fisik tidak banyak ditemukan otot yang membentuk besarnya perut tersebut, melainkan banyaknya tumpukan lemak viseral pada daerah perut. 9 Langkah 4 Peta Masalah (Problem Tree) Resistensi insulin Peningkatan kadar glukosa Obesitas diabetes Kegemukan Faktor Resiko Terutama di abdomen Pemeriksaan Fisik BMI Overweight Hipertensi Pemeriksaan Lab GDI Penumpukan lemak viseral LDL HDL Asam Urat 10 Langkah 5 Tujuan pembelajaran (Learning Outcome) 1. Mengetahui dan memahami definisi sindrom metabolik 2. Mengetahui dan memahami faktor resiko sindrom metabolik 3. Mengetahui dan memahami patogenesis sindrom metabolik 4. Mengetahui dan memahami fisiologi insulin 5. Mengetahui dan memahami hubungan antara : a. Hipertensi dan obesitas b. Hipertensi dan diabetes c. Obesitas dan diabetes 6. Mengetahui dan memahami etiologik sindrom metabolik 7. Mengetahui dan memahami integrasi islam tentang pola makan sehat sama olahraga 11 Langkah 6 Self Directed Learning (SDL) Mahasiswa melakukan SDL untuk mengumpulkan informasi baru agar mampu memahami dan mencapai tujuan pembelajaran. 12 Langkah 7 1. Definisi sistem metabolik Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi (Semiardji, 2004). Sindrom metabolik adalah keadaan seseorang terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi dari sel beta pankreas. Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi klinik berupa penyakit kardiovaskuler dan diabetes militus tipe 2 (Sudoyo dkk, 2014). Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisikondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO, 1999). Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi (Grundy, 2004). Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan hiperglikemia. Yang kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan dihubungkan dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan kolesterol HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya pada tahun 1998 the World Health Organization mengajukan nama “metabolic sindrom” yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-faktor dibawah (Isomaa et al, 2001): a. Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg b. Trigliserida 150 mg/dL c. HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan 13 d. Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita e. Mikroalbuminuria Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World Hearth Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik (protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi, obesitas abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang menyolok dari sindrom metabolik (Pitsavos, 2006). Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm). 2. Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L). 3. Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L). 4. Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi). 5. Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001). Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa kriteria untuk definisi Sindrom Metabolik antara lain; kriteria World Health Organization (WHO), kriteria International Diabetes Federation (IDF), The American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima secara luas (Mittal, 2008). Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health Organization), NCEP-ATP III dan IDF Komponen Obesitas abdominal/ sentral Hipertrigliseridemia Hipertensi Kriteria diagnosis WHO: Resistensi insulin plus : Waist to hip ratio : Laki-laki : > 0,9 Wanita : > 0,85 atau IMB >30 Kg/m ≥150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L) TD ≥ 140/90 mmHg atau riwayat terapi anti hipertensif Criteria diagnosis ATP III : 3 komponen di bawah ini Lingkar perut : Laki-laki: 102 cm Wanita : >88 cm ≥ 150 mg/dl (≥1,7 mmol/L) TD ≥ 130/85 mmHg atau riwayat terapi anti hipertensif IDF Lingkar perut : Laki-laki: ≥90 cm Wanita : ≥80 cm ≥ 150 mg/dl TD sistolik ≥ 130 mmHg TD diastolik ≥ 85 mmHg 14 Kadar glukosa darah tinggi Mikro-albuminuri 2. Toleransi glukosa terganggu, glukosa puasa terganggu,resistensi insulin atau DM Rasio albumin urin dan kreatinin 30 mg/g atau laju eksresi albumin 20 mcg/menit ≥ 110 mg/dl GDP ≥ 100mg/dl Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik Menurut Sholeh (2015), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap terjadinya sindrom metabolik. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, genetik. Sedangkan ukuran lingkar pinggang, aktivitas fisik, diet, kebiasaan merokok, sosial ekonomi merupakan faktor yang dapat dimodifikasi. a. Umur Seiring dengan peningkatan umur, prevalensi sindrom metabolik semakin meningkat. Usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kurang dari 60% dari total energi sebab peningkatan konsumsi karbohidrat akan meningkatkan resistensi insulin terutama dalam populasi usia lanjut. b. Genetik Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5%–70%. Pada beberapa orang faktor genetik merupakan penentu utama. Kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas. c. Jenis Kelamin Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi sindrom metabolik hampir sama antara pria dan wanita. Namun prevalensi untuk pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut disebabkan pria mempunyai lingkar pinggang yang lebih besar dibandingkan wanita yang merupakan salah satu tanda adanya obesitas sentral. d. Lingkar Pinggang Seseorang yang mempunyai lingkar pingang yang besar mempunyai total lemak tubuh yang tinggi serta pengukuran lingkar pinggang diakui sebagai pengukuran yang baik untuk mengetahui lemak perut. Pengaruh lingkar pinggang terhadap sindrom metabolik berkaitan dengan keadaan obesitas sentral yang meningkatkan risiko sindrom metabolik. Sehingga pengukuran lingkar pinggang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sindrom metabolik. Pada pria ukuran lingkar pinggang ≥9 0cm dan wanita ≥80 cm berisiko terhadap sindrom metabolik. 15 e. Asupan Gizi Konsumsi tinggi karbohidrat >60 % dari total kalori yang dikonsumsi meningkatkan risiko sindrom metabolik. Konsumsi tinggi karbohidrat meningkatkan kadar trigliserida yang merupakan salah satu kriteria sindrom metabolik. Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan rendahnya kadar kolesterol HDL. f. Intensitas Aktivitas fisik Pada wanita, penurunan aktifitas fisik meningkatkan risiko 2 kali lipat sindrom metabolik. Aktivitas fisik merupakan faktor yang menentukan perkembangan sindrom metabolik sebab mempengaruhi obesitas dan distribusi lemak. Serta proses inflamasi yang berhubungan dengan risiko penyakit kardiovascular pada usia lanjut. Aktivitas fisik tingkat moderat dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi esensial ringan hingga sedang. The Pawtucket Studymenyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara aktivitas fisik dan peningkatan kadar HDL. Selain itu aktivitas fisik juga berperan pada peningkatan sensitivitas reseptor insulin sehingga mencegah resistensi insulin. g. Merokok Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yangmerokok 20 batang atau lebih perhari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Orang yang merokok 20 batang atau lebih perhari dapat meningkatkan efek dua faktor utama risiko yaitu hipertensi dan hiperkolesterol. Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada orang yang merokok. Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate sehingga dapat membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk kurang beraktivitas dibanding yang tidak merokok. 16 Gambar 1. Hubungan merokok dengan sindrom metabolik h. Sosial Ekonomi Peningkatan pendapatanmasyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktivitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah populasi obesitas yang merupakan faktor risiko sindrom metabolik. i. Psikologis Faktor psikologis dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya emosional yang tidak stabil. Hal tersebut menyebabkan individu cenderung untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defense). Bentuk pelarian diri bisa berupa mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang berlebihan. j. Kadar Asam Urat Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia memiliki hubungan kuat dengan sindrom metabolik melalui resistensi insulin, hipertensi, obesitas, dan dislipidemia. 3. Fisiologi insulin a. Proses Pembentukan Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2006). Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar. Rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang 17 diperlukan bagi pembentukkan jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari bagian terminal amino, adalah rantai B – peptida C penghubung – rantai A. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003). b. Sekresi Insulin Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas, walaupun asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin. Glukosa merangsang sekresi insulin dengan masuk ke dalam sel beta melalui transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam sel, glukosa mengalami proses fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan membebaskan molekul ATP (Powers, 2005). Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi penutupan K channel terjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat diabetes), bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, tapi pada reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR), yang juga terdapat pada membran sel beta seperti terlihat pada gambar 2.1 (Manaf, 2006). Mekanisme sekresi insulin (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005). 18 c. Aksi Insulin Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari dua heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol α dan β. Subunit α terletak pada ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin. Subunit β merupakan protein transmembran yang melaksanakan fungsisekunder yang utama pada sebuah reseptor yaitu transduksi sinyal (Granner, 2003). Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada bagian sitoplasma subunit β dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan Shc). Sejumlah protein penambat (docking protein) mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS, SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran plasma. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen, protein, lipogenesis dan regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin. (Powers, 2005). Mekanisme kerja insulin (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005) 4. Fisiologi tekanan darah Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer). Curah jantung (cardiac output) adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit, normalnya pada dewasa adalah 4-8 liter. Cardiac output dipengaruhi oleh volum sekuncup (stroke volume) 19 dan kecepatan denyut jantung (heart rate). Resistensi perifer total (tahanan perifer) pada pembuluh darah dipengaruhi oleh jari-jari arteriol dan viskositas darah. Stroke volume atau volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan saat ventrikel satu kali berkontraksi normalnya pada orang dewasa normal yaitu ±7075 ml atau dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolik dan volume sisa ventrikel pada akhir sistolik. Heart rate atau denyut jantung adalah jumlah kontraksi ventrikel per menit. Volume sekuncup dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu volume akhir diastolik ventrikel, beban akhir ventrikel (afterload), dan kontraktilitas dari jantung (Sherwood, 2001). Tubuh mensuplai darah ke seluruh jaringan, sehingga mampu memberikan gaya dorong berupa tekanan arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Tekanan arteri rata-rata merupakan gaya utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan arteri rata rata harus dipantau dengan baik karena apabila tekanan ini terlalu tinggi dapat memperberat kerja jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta terjadinya ruptur pada pembuluh-pembuluh darah halus. Tekanan arteri akan tetap normal melalui penyesuaian jangka pendek (dalam hitungan detik) dan penyesuaian jangka panjang (dalam hitungan menit sampai hari). Penyesuaian jangka pendek dilakukan dengan mengubah curah jantung dan resistensi perifer total yang diperantarai oleh sistem saraf otonom pada jantung, vena dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang dilakukan dengan menyesuaikan volume darah total dengan cara menyeimbangkan garam dan air melalui mekanisme rasa haus dan pengeluaran urin (Guyton,2008). Penyimpangan pada arteri rata-rata akan mengaktivasi reflek baroresptor untuk dapat menormalkan kembali tekanan darah yang diperantarai oleh saraf otonom. Hal ini yang mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah dalam upaya menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total. Reflek dan respon lain yang mempengaruhi tekanan darah yaitu reseptor volume atrium kiri, osmoreseptor hipotalamus yang penting dalam mengatur keseimbangan air dan garam, kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta yang secara reflek akan meningkatkan pernafasan sehingga lebih banyak oksigen yang masuk. Respon lainnya yaitu respon yang berkaitan dengan emosi, kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk mendahulukan pengaturan suhu daripada kontrol pusat kardiovaskular dan zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel-sel endotel seperti endothelium-derived relaxing factor (ERDF) atau nitric oxide (NO) (Sherwood, 2001). Regulasi Tekanan Darah Pengaturan tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua yaitu pengaturan tekanan darah untuk jangka pendek dan pengaturan tekanan darah untuk jangka panjang. a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek 1. Sistem Saraf 20 Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum) (Mayuni, 2013). Menurut Sherwood (2006) refleks baroreseptor merupakan sensor utama pendeteksi perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom, seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Sistem baroreseptor bekerja sangat cepat untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Baroreseptor yang penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi mengenai tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler merespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah turun dibawah normal. (Guyton, 2008). 2. Kontrol kimia Kadar oksigen dan karbondioksida membantu proses pengaturan tekanan darah melalui refleks kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga mempengaruhi tekanan darah melalui kerja pada otot polos dan pusat vasomotor. Hormon yang penting dalam pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal (norepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium, hormon antidiuretik, angiostensin II, dan nitric oxide (Ganong,2008). b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang Organ ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang. Organ ginjal mempertahankan keseimbangan tekanan darah secara langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung dengan meregulasi volume darah rata-rata 5 liter/menit, sementara secara tidak langsung dengan melibatkan mekanisme renin angiostesin. Pada saat tekanan darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim 21 renin ke dalam darah yang akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang merupakan vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2 menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah tubuh serta menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal (Guyton,2008). Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. 5. Fisiologi lemak Rata-rata asupan lemak perhari untuk orang dewasa yaitu sekitar 81g dimana lebih dari 90% adalah triasilgliserol (TAG) atau trigliserida. Pencernaan lemak dimulai dari lambung dimana lemak akan dikatalisa oleh lingual lipase yang dikeluarkan dari kelenjar yang berada di belakang lidah. Molekul TAG merupakan target utama dari enzim ini, TAG juga akan didegradasi oleh gastric lipase yang disekresikan oleh mukosa lambung. Pencernaan ini berlanjut ke usus kecil, dimana akan terjadi emulsifikasi lemak di duodenum. Emulsifikasi meningkat pada area permukaan droplet lemak yang hidrofobik sehingga enzim pencernaan dapat bekerja secara efektif. Proses ini juga dibantu dengan garam empedu yang terkandung di dalam empedu sehingga terjadi motilitas lambung. Akibat molekul TAG yang terlalu besar maka molekul ini akan diesterasi oleh pancreatic lipase dan akan menghasilkan 2-monoasilgliserol, kolesterol dan asam lemak bebas. Ketiga bahan ini merupakan produk utama dari pencernaan lemak di jejunum dan akan membentuk micelles dengan bantuan garam empedu dan vitamin yang larut lemak. Micelles ini bersifat hidrofobik atau dapat larut dalam suasana encer seperti di dinding usus sehingga mudah untuk diabsorbsi melalui enterosit (sel mukosa). Micelles perlu untuk dikemas sebagai partikel droplet lemak yang dikelilingi oleh lapisan tipis yang dibentuk dari fosfolipid dan apolipoprotein B-48 (apo B-48). Lapisan-lapisan ini akan menstabilisasi partikel tersebut dan meningkatkan kelarutannya. 22 Partikel ini akan dilepaskan melalui eksositosis ke dalam pembuluh limfa dalam bentuk kilomikron yang akan disekresikan ke dalam sistem limfatik. Sistem limfatik ini akan membawa partikel-partikel tersebut ke dalam darah dan jaringan periferal kecuali otak (Champe,2008). a. Lipoprotein Lipid yang disintesis di hati dan usus harus ditransportasikan ke berbagai jaringan untuk menyelesaikan fungsi metabolik, oleh karena sifatnya yang tidak mudah larut, lipid diangkut di dalam plasma dalam bentuk makromolekul kompleks yang disebut Lipoprotein. Lipoprotein dikategorikan sebagai kilomikron, Very Low Density Lipoproteins (VLDL), Intermediate Density Lipoproteins (IDL), Low Density Lipoproteins (LDL), High Density Lipoproteins (HDL) dan Lipoprotein A (Burtis, 2006). Lipoprotein juga mengangkut vitamin larut lemak (A dan E), obat-obatan (sefalosporin), beberapa virus dan enzim antioksidan tertentu. Dalam lipoprotein terdapat juga apolipoprotein yang menentukan nasib dari lipoprotein. Lipoprotein mempunyai inti yang hidrofobik yaitu trigliserida dan kolesteril ester, dengan permukaan yang hidrofilik seperti protein, kolesterol bebas, dan fosfolipid (Larsen, 2003). Kilomikron adalah partikel besar yang diproduksi oleh usus, yang kaya akan trigliserida (85% sampai 95%), secara relatif memiliki sedikit kolesterol bebas dan fosfolipid, dan mengandung 1% sampai 2% protein. Karena ratio lipid/proteinnya sangat tinggi, kilomikron tidak lebih padat dari air, dan bahkan mengapung walaupun tidak disentrifuge (Henry, 2001). VLDL disintesis oleh hati, dan produksinya distimulasi oleh peningkatan dari pengiriman asam lemak bebas ke hepatosit baik karena asupan yang tinggi akan makanan rendah lemak ataupun karena perpindahan asam lemak dari jaringan adiposa akibat puasa atau diabetes melitus yang tidak terkontrol, sedangkan IDL umumnya terdapat pada plasma dengan konsentrasi rendah (Larsen, 2003). Pada keadaan puasa, kebanyakan plasma trigliserida ada pada VLDL. Pada saat tidak puasa, terdapat kilomikron dan berkontribusi secara signifikan terhadap level plasma trigliserida total (Burtis, 2006). LDL merupakan 50% dari masa total lipoprotein di plasma. Partikelpartikelnya lebih kecil dari trigliserida yang kaya akan lipoprotein, dan bahkan konsentrasi LDL yang meningkat dengan hebat tidak mengubah kejernihan dari plasma. Jenis LDL yang lebih kecil mengandung jumlah kolesterol ester yang lebih sedikit. Meningkatnya jumlah dari partikel yang lebih kecil ditemukan pada pasien dengan beberapa bentuk umum dari dislipoproteinemia yang sering dihubungkan dengan penyakit arteri koroner (Henry, 2001). LDL adalah kolesterol utama yang membawa lipoprotein di dalam plasma. Peningkatan LDL terjadi oleh karena penurunan dari katabolisme LDL ataupun peningkatan dari 23 biosintesis dan sekresi dari VLDL yang disebabkan oleh tingginya masukan asam lemak bebas ke dalam hati (Larsen, 2003). HDL merupakan partikel kecil yang mengandung 50% protein, 20% kolesterol, 30% fosfolipid, dan trigliserida (Henry, 2001). HDL memperoleh kolesterol dari sel dan mengirimnya ke hati untuk ekskresi atau ke sel lain yang membutuhkan kolesterol (Larsen, 2003). Lipoprotein A [Lp(a)] ditemukan terutama pada jarak densitas 1,055 sampai 1,085 kg/L. Terdiri dari 27% protein, 65% lemak dan 8% karbohidrat dan mempunyai komposisi yang sama dengan LDL tetapi dengan konsentrasi yang lebih rendah. Konsentrasi Lp(a) pada orang normal bervarasi dari 0,05 sampai 1,09 mmol/L (<20 sampai 500mg/L) atau lebih (Henry, 2001). b. Metabolisme Lipoprotein Terdapat dua sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme lipoprotein yaitu, lipoprotein lipase (LPL) yang berperan dalam pelepasan asam lemak bebas dan gliserol dari kilomikron dan VLDL ke dalam jaringan serta lecithin cholesterol acyl transferase (LCAT) yang membentuk ester kolesteril dari kolesterol bebas dan asam lemak. Metabolisme lipoprotein dapat terjadi melalui dua siklus, eksogen dan endogen, yang kedua-duanya berpusat pada hati. a. Siklus lemak eksogen Makanan yang mengandung lemak diserap di usus kecil dan bergabung dengan kilomikron yang disekresikan ke dalam limfa dan mencapai aliran darah melalui thoracic duct. Di dalam sirkulasi, trigliserida dipindahkan dari lipoprotein ini melalui aksi dari LPL. Enzim ini berada di tiap kapiler-kapiler jaringan tubuh, dan paling dominan berada di jaringan adiposa dan muskuloskeletal. Ketika kilomikron kehilangan trigliserida, maka kilomikron menjadi lebih kecil dan rata, kemudian sisa-sisa kilomikron akan berpindah ke hati. Kolesterol akan digunakan oleh hati untuk membentuk komponen membran sel atau asam empedu, atau diekskresi ke dalam empedu. b. Siklus lemak endogen Hati mensintesa partikel VLDL yang mengelami pembentukan lemak yang sama seperti kilomikron melalui aksi dari LPL. Hal ini akan mengakibatkan pembentukan dari intermediate density lipoprotein (IDL) yang nantinya akan menjadi low density lipoprotein (LDL). LDL masuk ke dalam sirkulasi oleh karena afinitas reseptor LDL yang tinggi. Partikel High density lipoprotein (HDL) diperoleh dari hati dan usus. HDL diperoleh secara langsung dari hati, atau secara tidak langsung ditransfer ke lipoprotein yang bersirkularisasi, yang nantinya akan kembali ke hati (Gaw, 2001). 24 6. Patogenesis infeksi bakteri Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang diakibatkan oleh peningkatan obesitas. Kebanyakan penderita sindrom metabolik mengalami obesitas abdominal dan resistensi insulin. Kedua komponen tersebut berpengaruh terhadap perkembangan komponen sindrom metabolik lainnya (Widjaya, 2004). Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari faktor risiko metabolik yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus (DM) tipe 2. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan protrombotik dan proinflamasi. Hal ini menyebabkan sindroma menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang utama pada saat ini. Kumpulan gejala yang muncul pada sindroma metabolik antara lain resistensi insulin, tekanan darah tinggi (hipertensi), dan gangguan kolesterol. Pasien yang mengalami gejala-gejala ini umumnya gemuk atau obesitas (Rini, 2015). Menurut Angraeni, penyebab sindrom metabolik adalah: a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler, misalnya komplikasi jantung. b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler, misalnya nephropathy diabetica. Komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari: a. Obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan meningkatnya lingkar perut/pinggang (Rohman, 2007). Obesitas abdominal berpengaruh terhadap insensifitas insulin dan hiperinsulin yang berdampak pada prognosis diabetes melitus (DM) tipe II. Berawal dari penumpukan sel lemak visceral yang meningkatkan asam lemak bebas dari hasil lipolisis yang berdampak pada penurunan sensitifitas insulin. Di hati, peningkatan asam lemak bebas mendorong peningkatan glukoneogenesis yang mengakibatkan kadar gula dalam darah naik dan menurunkan ekstraksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Kemudian di otot, peningkatan asam lemak bebas berdampak pada penurunan pemakaian glukosa dan di sel α pankreas berdampak pada penurunan sekresi insulin (Rohman, 2007). Obesitas abdominal berpengaruh terhadap resistensi insulin. Hal ini berkaitan dengan sel lemak bebas hasil lipolisis yang mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF α (tumor necrosis factor-alpha), resistin dan leptin yang berhubungan dengan penurunan resistensi insulin. TNF α menyebabkan resistensi insulin dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini 25 pada gilirannya akan menyebabkan perubahan metabolik, sehingga timbul hipertensi dan dislipidemia. Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya menurun, sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM tipe II (Rohman, 2007). Kadar lemak yang tinggi mengakibatkan penumpukan lemak dalam tendon dan kulit. Kadar trigliserida yang tinggi menyebabkan pembesaran hati dan limpa. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis (Stocker, 2004). Stres oksidatif berkaitan dengan diabetes tipe 2. Pada karena terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat (Pranoto, 2005). Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel-β pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Akumulasi lemak pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006). Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral. Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga selsel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Pranoto, 2005). b. Dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar kolesterol HDL, peningkatan kadar trigliserida, dan small dense LDL yang merupakam LDL yang berukuran kecil, padat dan memungkinkan memiliki potensi aterogenik lebih besar. c. Resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma metabolik lainnya, dan 26 berbanding lurus dengan risiko penyakit kardiovaskular yang dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan pembentukan atheroma yaitu tumor jinak pada kulit yang terbentuk sebagai akibat tersumbatnya muara kelenjar sebasea sehingga ditemukan puncta sebagai muara kelenjar kulit yang tersumbat, sekret kelenjar sebasea dan sel mati kemudian akan mengumpul dan tertimbun dalam kantung kelenjar. d. Keadaan proinflamasi menyebabkan protein yang memberi sinyal kepada sistem kekebalan tubuh untuk bekerja lebih keras meningkatkan kadar protein C-reaktif yang dihasilkan hati meningkat karena terjadi inflamasi sebagai akibat dilepaskannya sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard atau terhentinya aliran darah dari arteri koroner. e. Keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII. Sindroma metabolik memiliki hubungan dengan beberapa keadaan seperti policystic ovarii, fatty liver, batu empedu kolesterol, asma, sleep apnea, dan beberapa jenis kanker (Pranoto, 2005). 7. Hubungan antara : a. Hubungan diabetes dengan hipertensi Berdasarkan hasil penelitian Gibney (2009), hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM. Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin) (Mihardja, 2010). Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008). Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin atau sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada pasien DM tipe 1, hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan stress oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi (Sudoyo, et al., 2009). Pada pasien DM tipe 2, hipergilikemia sering dihubungkan dengan hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang bersama-sama mengawali terjadinya 27 penyakit kardiovaskuler dan stroke. Pada DM tipe ini, kadar insulin yang rendah merupakan prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya akan mempengaruhi terjadinya hiperinsulinemia. Apabila hiperinsulinemia ini tidak cukup kuat untuk mengkoreksi hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan sebagai DM tipe 2. Kadar insulin berlebih tersebut menimbulkan peningkatan retensi natrium oleh tubulus ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi. Lebih lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa menyebabkan inisiasi aterosklerosis, yaitu dengan stimulasi proliferasi sel-sel endotel dan sel-sel otot pembuluh darah (Masharani dan German, 2003). b. Hubungan obesitas dengan hipertensi Obesitas merupakan salah satu dari faktor resiko hipertensi. Obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Ada spekulasi bahwa insulin yang berlebihan pada akhirnya mungkin berperan dalam retensi natrium, ekspansi volume darah, produksi norepinefrin yang berlebihan dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda utama hipertensi (Robbins, et al., 2015). Pada orang yang gemuk, jantungnya bekerja lebih keras dalam memompa darah. Sebab tubuhnya bekerja keras untuk membakar kelebihan kalori yang masuk. Pembakaran kalori ini memerlukan suplai oksigen dalam darah yang cukup. Semakin banyak kalori yang dibakar, semakin banyak pula pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya volume darah yang beredar di pembuluh darah menjadikan curah jantung meningkat. Dampaknya tekanan darah orang yang obesitas cenderung tinggi (Widharto, 2007). Obesitas sentral dapat memicu terjadinya hipertensi. Kelebihan asam lemak bebas ini dapat memicu terjadinya resistensi insulin. Keadaan hiperinsulinemia ini dapat menyebabkan vasokonstriksi dan retensi natrium pada ginjal, yang pada akhirnya mengakibatkan hipertensi (Supariasa, et al., 2002). c. Hubungan obesitas dan diabetes melitus tipe 2 Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan factor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan adipose (Teixeria-Lemos, et al, 2011). Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek sel beta pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan adanya resistensi insulin, kemudian menyusul berkurangnya pelepasan insulin. Pada penderita obes juga 28 ditemukan adanya resistensi insulin. Ada dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan berat badan normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan berakhir dengan diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan keluhan khas yang datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek sel beta pancreas (Henry, et al., 2003). Jaringan lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserid, dan sebagai organ endokrin. Sel lemak menghasilkan berbagai hormon yang disebut juga adipositokin (adipokine) yaitu leptin, tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6 (IL-6), resistin, dan adiponektin. Hormon-hormon tersebut berperan juga pada terjadinya resistensi insulin. Pada gambar 2 diperlihatkan hubungan jaringan lemak dengan kejadian resistensi insulin (Henry, et al., 2003). Peran Asam Lemak Bebas Pada mereka yang gemuk maupun diabetes melitus tipe 2 selalu ditemukan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Meningkatnya asam lemak bebas pada mereka yang gemuk dan diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya pemecahan trigliserid (proses lipolisis) di jaringan lemak terutama di daerah visceral. Meningkatnya lipolisis diduga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. Seperti diketahui lemak visceral peka terhadap rangsangan saraf simpatis sehingga metabolisme sel lemak visceral sangat aktif. Asam lemak bebas yang tinggi dalam plasma berperan terhadap terjadinya resistensi insulin baik pada otot, hati, maupun pada pankreas (gb. 2) (Henry, et al., 2003). a. Otot Pada tahun 1963 Randle mengemukakan teori bahwa pada keadaan dimana peningkatan asam lemak bebas dalam darah akan diikuti dengan meningkatnya ambilan asam lemak bebas oleh jaringan otot. Pada keadaan normal otot akan menggunakan glukosa (oksidasi glukosa) untuk menghasilkan energi. Dengan demikian oksidasi asam 29 lemak dalam otot meningkat, hal ini akan menghambat ambilan glukosa oleh otot sehingga terjadilah hiperglikemi (gb. 3A) (Henry, et al., 2003). b. Hati Keadaan yang sama terjadi di hati, dimana hati akan menampung sebagian besar asam lemak bebas dan menjadi bahan untuk proses glukoneogenesis dan sintesis VLDL. Dengan meningkatnya glukoneogenesis, glukosa plasma puasa akan meningkat maka terjadilah hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi puasa ini akan mengakibatkan resistensi insulin di hati (gb. 3B) (Henry, et al., 2003). c. Pankreas Mekanisme “kerusakan” pankreas pada obesitas belum jelas. Diduga bahwa asam lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya deposit trigliserid berlebihan pada sel beta pankreas, dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas (Henry, et al., 2003). Siklus Randle di otot dan di hati : a. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl CoA yang berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim penting untuk merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk meningkatkan ambilan glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar glukosa dapat masuk ke dalam sel otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi insulin (Henry, et al., 2003). b. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi melalui sistem portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang dioksidasi dan menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat karboksilase di hati yang berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis, dengan demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan pelepasan glukosa hati. Meningkatnya glukoneogenesis berakibat hambatan kerja insulin di hati, atau terjadilah resistensi insulin (Henry, et al., 2003). 30 Peran Adipositokin Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang dihasilkan oleh sel lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya resistensi insulin. Leptin, tumor necrosis factor α (TNF α), interleukin-6 (IL-6), dan resistin bekerja meningkatkan resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja meningkatkan sensitivitas insulin (Wilding, et al., 2003). a. Leptin Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin belum jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan glukosa. Sebaliknya penelitian lain pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian leptin meningkatkan sensitivitas insulin. Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian pada manusia (Wilding, et al., 2003). b. Tumor necrosis factor α Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme resistensi insulin perifer. Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam sirkulasi sangat sedikit untuk dapat menghambat kerja insulin pada jaringan otot. Diduga kerja TNF-Alfa lebih bersifat parakrin daripada endokrin, atau dengan perantaraan faktor lain, misalnya asam lemak bebas, karena TNF-Alfa memacu lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan dan manusia, TNF-Alfa diekspresikan secara berlebihan sehingga mengganggu insulin signaling yang akibatnya fosforilasi IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose transporter(GLUT)-4 (Wilding, et al., 2003). c. Interleukin-6 Sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan adiposa, IL-6 juga meningkat dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6 memacu pelepasan glukagon dan kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard, dkk. menemukan bahwa penderita diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap insulin, kadar IL-6, TNF-Alfa dan leptin meningkat dibandingkan kontrol penderita dibetes melitus yang tidak obes. Peran IL-6 pada resistensi insulin diduga melalui perlemakan (adiposity), secara tidak langsung berhubungan dengan kerja insulin. d. Resistin Lazar, dkk, menemukan suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit dan dinamakan resistin. Kadar resistin meningkat pada tikus obes akibat makan berlebihan dan obes karena genetik, dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis 31 peroxisome proliferator-activator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone (Steppan, et al., 2001). e. Adiponektin Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit. Dibandingkan dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam sirkulasi. Adiponektin mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya, yaitu mencegah terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2. Weyer dkk, melaporkan kadar adiponektin pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang. Kadar adiponektin juga berkorelasi dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya berkurang dengan semakin buruknya toleransi glukosa. Penelitian lain pada manusia, kadar adiponektin meningkat dengan penurunan berat badan dan pemberian agonis PPAR, rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu ekspresi gen-gen yang mengatur metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl co-enzyme A (CoA) oxidase, dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi transpor asam lemak, pembakaran lemak dan termogenesis (Weyer, et al., 2001). 8. Etiologi sindrom metabolik Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah resistensi insulin (Shahab, 2007). Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah : a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung). b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (Mis: nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007). Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami obes sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard. 32 Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral (Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya et al., 2004). 9. Integrasi islam terhadap sindrom metabolisme a. Makan Sehat Ala Rasul Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 31: “Hai anak Adam, kenakan pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang belebih-lebihan.” Hal senada dapat ditemukan di surat Al Baqarah 168: “Hai sekalian manusia makan-makanlah yang halal lagi baik dariapa yang terdapatdi bumi dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena syaitan musuh yang nyata bagimu.” Sesungguhnya pangkal penyakit kebanyakan bersumber dari makanan. Maka tak heran bila Rasulullah memberi perhatian besar dalam masalah ini. Prinsip pertama makanan dan minuman harus halal dan thoyib (baik). Maksudnya selain masuk kategori halal, maka makanan dan minuman kaum muslimin harus bersih dan mengandung kandungan gizi yang cukup. Rasulullah melarang untuk makan lagi sesudah kenyang. “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelummerasa lapar dan bila kami makan tidak pernah kekenyangan”(HR Bukhari Musim). Yang selanjutnya, Rasulullah tidak makan dua jenis makanan panas atau dua jenis makanan yang dingin secara bersamaan. Beliau juga tidak makan ikan dan daging dalam satu waktu dan juga tidak langsung tidur setelah makan malam, karena tidak baik bagi jantung. Beliau juga meminimalisir dalam mengonsumsi daging, sebab terlalu banyak daging akan berakibat buruk pada persendian dan ginjal. Pesan Umar ra, “Jangan kau jadikan perutmu sebagai kuburan bagi hewan-hewan ternak!” “Berpuasalah kamu supaya sehat tubuhmu” (HR Bukhari) Puasa akan membawa kita pada kesehatan yang sangat luar biasa. Secara fisiologis, puasa sangat erat kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia. Saluran pencernaan manusia 33 tempat menampung dan mencerna makanan, merupakan organ dalam yang terbesar dan terberat di dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan tersebut tidak berhenti bekerja selama 24 jam dalam sehari. Banyak hasil penelitian modern yang memaparkan bahwa puasa sangat menyehatkan. Diantaranya, memberikan istirahat fisiologis menyeluruh bagi sistem pencernaan dan sistem syaraf pusat, menormalisasi metabolisme tubuh, menurunkan kadar gula darah, mengikis lipid “jahat” (cholesterol), detoksifikasi (membuang racun dari tubuh), dan lain sebagainya. b. Olahraga Sehat Ala Rasul Olahraga merupakan kegiatan menggerakan seluruh anggota tubuh secara teratur, sehingga otot-otot menjadi kuat, persendian tidak kaku, dan aliran darah berjalan lebih lancar ke semua jaringan dan organ-organ tubuh. Rasulullah SAW menganjurkan semua muslim berolahraga secara rutin sebagai upaya untuk menjaga kesehatan dan kesegaran jasmani. Sabda beliau: “Ajarilah anakmu (olahraga) berenang dan memanah” (HR.Dailami). 34 PETA KONSEP Kadar lemak tinggi di tubuh Peningkatan LDL dan Penurunan HDL Peningkatan metabolisme lemak Sistem Imun Peningkatan sekresi asam lemak Resistensi Insulin Atherosklerosis Hyperinsulinemia Hyperglikemia Obesitas Diabetes Militus tipe 2 Etiologi SINDROM METABOLIK Peningkatan pompa jantung Hipertensi Faktor Resiko : Genetik, umur, lingkar pinggang, Jenis Kelamin, asupan gizi, sosial ekonomi, kadar asam urat,dll. 35 Sumber : Al- Quran Angraeni, D. 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolik. Jurnal Kedokteran Indonesia: 25(6): 18-25. Bastard JP, Jardel C, Brickert E, et al. 2000. Elevated levels of interleukin-6 are reduced in serum and subcutaneous adipose tissue of obese women after weight loss. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 3338-3342. Ganong,W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Henry RR, Mudaliar S. 2003. Eckel RH. Obesity, mechanisms and clinical management (ed.). Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Grundy S.M.2006.Metabolic syndrome: connecting and reconceiling cardiovaskuler and diabetes world. Center for Human Nutrition and Departments of Clinical Nutrition and Internal Medicine, University of Texas Southwestern Medical Center at Dallas, Dallas, Texas. Guyton and Hall. 2008. Buku ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11. Jakarta: EGC. Henry RR, Mudaliar S. 2003. Obesity, mechanisms and clinical management. Eckel RH (ed.). Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Isomaa B et al. 2001. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic syndrome. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2015. Buku Ajar Patologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Masharani, U., German, M. S. 2007. A Lange Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology. 8th Ed. USA: McGraw Hill Companies. Mihardja, Laurentia. 2010. Faktor Risiko Terbesar dan Masalah Pengendalian Diabetes Melitus di Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat. Program Insentif Riset Terapan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mittal, S. 2008. The Metabolic Syndrome in Clinical Practice. Springer-Verlag. London. Morrison R. 2006. The Zucker Rat as a Model of Obesity Hypertension. Thesis. Huntington, USA: University of Marshall. Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic Studies. Pranoto, A, dkk. 2005. Metabolic Syndrome as Observed in Surabaya. Surabaya: Pusat Diabetes dan Nutrisi Divisi Endokrin Metabolik Bag-SMF Penyakit Dalam Dr. Soetomo FK UNAIR. Rini, Sandra. 2015. Sindrom Metabolik 4(4): 90. Lampung: Universitas Lampung. Rohman, S.M. 2007. Patogenesis dan Terapi Sindroma Metabolik. Jurnal Kardiologi Indonesia. Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada Sindroma Metabolik. Jurnal Kedokteran Indonesia. 65(8): 18-21. 36 Semiardji, 2004. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Jakarta. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Jurnal Media Informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran. 10(4): 21–32 Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC Sholeh, Ihwanu. 2015. Sindrom Metabolik pdf. Sumatera: Universitas Sumatera Utara. Steppan CM, Bailey ST, Bhat S, et al. 2001. The Hormone Resistin Links Obesity to Diabetes. Nature; 409: 307-312. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Macellus Simadibrata K., Siti Setiati. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. FKUI Sunjaya, I Nyoman. 2009. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala Husada Vol. 6(1): 75-81 Supariasa IDN, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2002. Penilaian status gizi. EGC: Jakarta. Teixeria-Lemos, dkk. 2011. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology 10: 1-15 Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166 Weyer C, Funahashi T, Tanaka S, et al. 2001. Hypoadiponectinaemia in obesity and type 2 diabetes: close association with insulin resistance and hyperinsulinaemia. J Clin Endocrinol Metab; 86: 1930-1935. Widharto. 2007. Bahaya Hipertensi. Jakarta: PT Sunda Kelapa Pustaka. Widjaya, A. 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Jurnal Cardiology. 2(4):1-16. Wilding JPH. 2003. Obesity and nutritional factors in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus Textbook of Diabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3rd ed. Oxford: Blackwell Science. 37