Uploaded by Basyar Adnani

tutorialkuuuuu

advertisement
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... 1
Skenario 3......................................................................................................................... 2
Step 1 Kata Sulit............................................................................................................... 3
Step 2 Daftar Masalah dalam Skenario ............................................................................ 5
Step 3 Jawaban Daftar Masalah ....................................................................................... 6
Step 4 Peta Masalah ......................................................................................................... 10
Step 5 Tujuan Pembelajaran (LO) .................................................................................... 11
Step 6 Self Directed Learning .......................................................................................... 12
Step 7 Pembahasan LO dan Peta Konsep......................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 36
1
Skenario 3
Kegemukan
Seorang pria umur 25 th datang ke dokter untuk berkonsultasi tentang perutnya yang
semakin membesar. Dari anamnesa, kakak perempuan dari pria tersebut menderita diabetes
dan obesitas. Pasien memiliki kebiasaan banyak makan dan senang makan jeroan. Pasien
jarang berolahraga dan sudah 5 tahun ini tubuhnya semakin gemuk terutama bagian perut.
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan TB 150 cm, BB 80 kg, lingkar pinggang 120 cm, TD 160/90 mmHg, dan tidak
didapatkan massa di perut. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: GDP 185
mg/dl, kolesterol total 290 mg/dl, LDL 185 mg/dl, HDL 30 mg/dl, asam urat 9.5 mg/dl.
(Setelah diperiksa darahnya, ternyata kolesterol dan gula darahnya tinggi). Menurut dokter,
pria tersebut tidak menderita kanker. Pasien harus melakukan olahraga teratur, bisa mengatur
dietnya dan mengurangi konsumsi karbohidrat dan lemak berlebihan.
2
Langkah 1
Kata Sulit
1. Diabetes
Diabetes (diabetes melitus) adalah penyakit jangka panjang atau kronis yang
ditandai dengan kadar gula darah (glukosa) yang jauh di atas normal. Glukosa sangat
penting bagi kesehatan kita karena merupakan sumber energi utama bagi otak maupun
sel-sel yang membentuk otot serta jaringan pada tubuh kita.
2. Obesitas
Peningkatan berat badan melebihi normal akibat akumulasi lemak dalam tubuh.
Ketidakseimbangan makanan yang masuk dan energi yang dikeluarkan. Tinggi badan
dan berat badan tidak seimbang yang melampaui batas fisik maupun skeletal.
3. Kolesterol
Kolesterol adalah lemak yang terdapat di dalam darah atau sterol utama dalam tubuh
manusia yang memiliki manfaat sebaga Kolesterol adalah lemak yang terdapat di dalam
darah atau sterol utama dalam tubuh manusia yang memiliki manfaat sebagai pembentuk
dinding sel tubuh. Kolesterol sudah diproduksi oleh tubuh sebanyak 75% dan ditambah
dengan asupan makanan sebanyak 15%. Jika kadarnya terlalu banyak, kolesterol akan
dibawa oleh HDL kembali ke hati dan kemudian diurai kembali. Kolesterol juga adalah
bahan awal pembuatan asam empedu dan hormon steroid.
4. Asam urat
Zat hasil metabolisme purin dalam tubuh. Zat asam urat ini biasanya akan
dikuluarkan oleh ginjal melalui urine dalam kondisi normal. Namun dalam kondisi
tertentu, ginjal tidak mampu mengeluarkan zat asam urat secara seimbang sehingga
terjadi kelebihan dalam darah. Kelebihan zat asam urat ini akhirnya menumpuk dan
tertimbun pada persendian-persendian dan tempat-lainnya termasuk di ginjal itu sendiri
dalam bentuk kristal-kristal. Penumpukan kristal-kristal asam urat pada persendian
inilah yang akhirnya menyebabkan persendian menjadi nyeri dan bengkak atau
meradang. Adapun penumpukan kristal-kristal asam urat pada ginjal akan menyebabkan
terjadinya batu ginjal.
5. GDP atau Gula Darah Puasa
GDP adalah kadar gula darah hasil pemeriksaan dengan berpuasa terlebih dahulu
sebelum dilakukan pemeriksaan sekitar 10-11 jam berguna untuk menyeimbangkan gula
3
darah. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh makanan atau minuman yang
dikonsumsi yang dapat mengurangi keakuratan kadungan glukosa darah. Kadar gula
darah puasa pada orang normal adalah 80-120 mg/dl.
6. LDL (Low Density Lipoprotein)
Umumnya disebut kolesterol jahat, tidak larut dalam darah, mudah menempel
padapembuluh darah sehingga menimbulkan plak. Banayakmengangkut kolesterol dan
lemak.
7. HDL (High Density Lipoprotein)
Umumnya disebut kolesterol baik, mengangkut timbunan lemak, diangkut ke hati,
mengangkut lebih sedikit kolesterol.
8. Kanker
Seeuatu penyakit yang ditimbulkan oleh sel tunggal yang tumbuh tidak normal dan
tidak terkendali sehingga dapat menjadi tumor ganas yang dapat menghancurkan dan
merusak sel atau jaringan sehat.
4
Langkah 2
Daftar Masalah dalam Skenario
1.
Mengapa perut pria tersebut semakin membesar ?
2.
Mengapa kegemukan terjadi terutama pada bagian perut ?
3.
Apakah pengaruh dari makan banyak dan makan jeroan ?
4.
Apakah diabetes dan obesitas termasuk penyakit menurun ?
5.
Apakah hubungan merokok dan minum alkohol dengan obesitas dan diabetes ?
6.
Apakah hubungan diabetes dengan obesitas ?
7.
Apakah hubungan jarang berolahraga dengan obesitas ?
8.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, apakah kondisi pasien normal ?
9.
Berdasarkan pemeriksaan lab, apakah kondisi pasien normal ?
10. Apa akibat dari kolesterol tinggi ?
11. Apa akibat dari gula darah tinggi ?
12. Mengapa dokter berpendapat pasien tidak terkena kanker ?
13. Apa perbedaan kolesterol dan lemak ?
14. Apa maksud massa di perut pada pemeriksaan fisik ?
5
Langkah 3
Jawaban Daftar Masalah
1.
Perut pria tersebut semakin membesar, karena
a.
Pola makan yang tidak sehat, yaitu sering mengonsumsi makanan dengan kandungan
lemak dan gula yang tinggi.
b.
Gaya hidup yang kurang baik.
c.
Aktifitas fisik kurang sedangkan asupan makanan sangat banyak.
d.
Kurangnya asupan serat dan cairan.
e.
Faktor stress yaitu peningkatan hormon kortisol yang berakibat pada nafsu makan yang
meningkat.
2.
Kegemukan terjadi terutama pada bagian peru, karena
a. Adanya Omentum.
b. Omentum adalah sebuah jaringan lemak pada bagian perut.
c. Omentum semakin menebal.
d. Adanya obesitas android yang mana penimbunan lemak pada perut.
e. Lemak dibagi menjadi dua, lemak subkutan dan lemak visceral.
3.
Pengaruh dari makan banyak dan makan jeroan, diantaranya:
a.
Susah dan lama dicerna.
b.
Kolesterol dapat menempel pada dinding pembuluh darah dan menimbulkan plak.
c.
Meningkatkan risiko penyakit jantung.
d.
Di dalam jeroan terdapat kadar asam urat yang tinggi sehingga ketika dikonsumsi dapat
meningkatkan asam urat dalam tubuh yang sebenarnya sudah dihasilkan oleh tubuh dari
metabolisme pemecahan purin menjadi asam urat (85% di tubuh). Sehingga tingginya
kadar asam urat dalam darah dapat menyebabkan hipertensi.
e.
Adanya kristal-kristal asam urat yang berlebih dalam ginjal dapat menimbulkan gagal
ginjal dan dapat menimbulkan nyeri pada persendian.
4.
Obesitas dan diabetes termasuk penyakit menurun. Pada obesitas yang disebabkan oleh kelainan
genetik pada gen penyandi pengatur keseimbangan energi yakni gen LEP yang mana produknya
adalah leptin. Pada diabetes mellitus tipe 1 yang diakibatkan karena pengaruh gen diabetogenik
yang menimbulkan defiensi insulin absolut
5.
Peningkatan konsumsi alkohol jangka lama berpengaruh pada peningkatan kadar kortisol dalam
darah sehingga aktivitas renin-angiotensin dan aldosteron akan meningkat, jika RAAS
6
meningkat maka kenaikan tekanan darah terjadi. Alkohol yang dikonsumsi berlebihan akan
meningkatkan kadar gula dalam darah karena alkohol akan mempengaruhi kinerja hormon
insulin. Karbohidrat merupakan kandungan yang banyak ditemui dalam alkohol sehingga pada
saat dikonsumsi, pankreas akan mengeluarkan lebih banyak hormon insulin sehingga
meningkatkan kadar gula dalam darah.
6.
Obesitas adalah salah satu faktor resiko terjadinya diabetes. Sehingga orang dengan obesitas
lebih rentan terkenan diabetes, dalam hal ini jenis diabetes yang dimaksud adalah diabetes
militus tipe 2. Orang dengan obesitas memiliki kadar lemak yang tinggi sehingga meningkatnya
metabolisme lemak. Hal ini mengakibatkan menigkatnya asam lemak bebas. Dengan
peningkatan tersebut menyebabkan fungsi insulin terganggu sehingga terjadi resistensi insulin
yang mana jaringan tidak bisa merespon atau mengolah metabolisme. Sehingga terjadi
hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa dalam darah yang bisa disebut diabetes militus.
7.
Dengan berolahraga maka lemak pada tubuh akan terbakar. Ketika berolahraga maka tubuh
bergerak sehingga ada aktifitas otot rangka, untuk melakukan aktifitas membutuhkan energi,
energi juga bisa berasal dari lemak sehingga menyebabkan lemak berkurang.
8. Kondisi pasien tidak dalam kondisi normal,karena berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang
menunjukkan BMI, berat badan, tinggi badan, tekanan darah dan lingkar pinggang pasien
tersebut tidak proporsional.
a.
Rumus penghitungan BMI = Berat Badan : Tinggi Badan (m)2. BMI ideal : 18-5 – 24,9
namun pasien tersebut memiliki hasil penghitungan BMI sebesar 28,4 yang menunjukkan
bahwa mengalami obesitas.
b.
Lingkar pinggang laki-laki yang ideal adalah 90 cm, namun pasien memiliki lingkar
pinggang lebih dari 90 cm dan menunjukkan mengalami obesitas
c.
Tekanan darah normalnya adalh 120/80 mmHg, namun pasien memiliki tekan darah yang
melebihi normal atau dapat dikatakan mengidap hipertensi.
9.
Tidak normal karena normalnya, GDP 100-125 mg/dL, kolesterol total <200 mg/dL, LDL 185
mg/dL, HDL >60 mg/dL, asam urat 2-7,5 mg/dL, gula darah <100 mg/dL dan kolesterol 200239 mg/dL
10. Kolesterol tinggi dapat mengakibatkan :
a.
Aterosklerosis – penyempitan atau pengerasan pembuluh arteri.
b.
Risiko penyakit jantung koroner lebih tinggi – terjadi kelainan pembuluh darah yang
bertugas memasok darah dan oksigen ke jantung.
7
c.
Serangan jantung – terjadi ketika pasokan darah dan oksigen ke area otot jantung
tersumbat, biasanya oleh gumpalan di arteri koroner. Hal ini menyebabkan otot jantung
berhenti.
d.
Angina – nyeri dada atau ketidaknyamanan yang terjadi ketika otot jantung tidak
mendapatkan cukup darah.
e.
Stroke dan mini -stroke – terjadi ketika ada pembekuan darah diarteri atau vena, sehingga
mengganggu aliran darah ke area otak. Bisa juga terjadi pembuluh darah pecah, sehingga
sel-sel otak mulai mati.
f.
Jika kolesterol darah dan trigliserida tinggi, maka risiko terkena penyakit jantung koroner
juga meningkat secara signifikan.
11. Komplikasi akut :
a.
Hipoglikemia : keadaan dimana kadar gula darah dalam tubuh rendah hingga kurang dari
60mg/dl.
b.
Hiperglikemia : keadaan dimana kadar gula darah yang terlalu tinggi memicu ketoasidosis
diabetes.
c.
DHS (Diabetic Hypersonolar Syndrome) : keadaan dimana kadar gula darah melampaui
batas normal lebih dari 600 mg/dl sehingga darah menjadi kental.
Komplikasi kronik :
a. Gangguan pada organ jantung
b. Gangguan pada ginjal
c. Gangguan pada mata
d. Gangguan pada sistem saraf
12. Dokter berpendapat seperti itu karena tidak didapatkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan yang
mendukung diagnosa yang menyatakan bahwa pasien terkena kanker.
13. Lemak atau lipid merupakan satu jenis zat yang kaya akan energi. Energy inilah yang
dipergunakan oleh tubuh untuk melakukan proses metabolism. Lemak dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yakni lemak sederhana, lemak majemuk dan lemak turunan. Lemak sederhana meliputi
monogliserida, digliserida, dan trigliserida. Sedangkan yang termasuk dalam lemak majemuk
adalah fosfolipid dan lipoprotein. Kolesterol masuk dalam jenis lemak ketiga, yaitu lemak
turunan. Dalam hal ini, kolesterol bisa dikatakan sebagai bagian dari lemak, yaitu lemak
kompleks. Hal ini sesuai dengan rumus kimia senyawa kolesterol yang merupakan senyawa
lemak yang kompleks.
8
14. Keadaan perut yang besar dimana ketika dilakukan pemeriksaan fisik tidak banyak ditemukan
otot yang membentuk besarnya perut tersebut, melainkan banyaknya tumpukan lemak viseral
pada daerah perut.
9
Langkah 4
Peta Masalah (Problem Tree)
Resistensi insulin
Peningkatan kadar
glukosa
Obesitas
diabetes
Kegemukan
Faktor Resiko
Terutama di abdomen
Pemeriksaan
Fisik
BMI
Overweight
Hipertensi
Pemeriksaan
Lab
GDI
Penumpukan lemak
viseral
LDL
HDL
Asam Urat
10
Langkah 5
Tujuan pembelajaran (Learning Outcome)
1. Mengetahui dan memahami definisi sindrom metabolik
2. Mengetahui dan memahami faktor resiko sindrom metabolik
3. Mengetahui dan memahami patogenesis sindrom metabolik
4. Mengetahui dan memahami fisiologi insulin
5. Mengetahui dan memahami hubungan antara :
a. Hipertensi dan obesitas
b. Hipertensi dan diabetes
c. Obesitas dan diabetes
6. Mengetahui dan memahami etiologik sindrom metabolik
7. Mengetahui dan memahami integrasi islam tentang pola makan sehat sama olahraga
11
Langkah 6
Self Directed Learning (SDL)
Mahasiswa melakukan SDL untuk mengumpulkan informasi baru agar mampu memahami
dan mencapai tujuan pembelajaran.
12
Langkah 7
1.
Definisi sistem metabolik
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan
langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor risiko tersebut
antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar
glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi (Semiardji, 2004).
Sindrom metabolik adalah keadaan seseorang terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi
dari sel beta pankreas. Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan
konsekuensi klinik berupa penyakit kardiovaskuler dan diabetes militus tipe 2 (Sudoyo dkk,
2014).
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah
tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisikondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki
risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO, 1999). Berbagai organisasi telah
memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas,
resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun
SM memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini
mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi
(Grundy, 2004).
Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada
tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan hiperglikemia. Yang
kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada tahun 1940, yang
menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian,
yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon
dihubungkan dengan manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan
dihubungkan dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan
hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan kolesterol HDL
yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya pada tahun
1998 the World Health Organization mengajukan nama “metabolic sindrom” yang didefinisikan
dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin
dengan 2 atau lebih faktor-faktor dibawah (Isomaa et al, 2001):
a.
Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg
b.
Trigliserida 150 mg/dL
c.
HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan
13
d.
Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita
e.
Mikroalbuminuria
Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World Hearth
Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom metabolik merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein
(LDL). Dislipidemia aterogenik (protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi, obesitas
abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang menyolok
dari sindrom metabolik (Pitsavos, 2006).
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel
(NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria
berikut:
1.
Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm).
2.
Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L).
3.
Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L).
4.
Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥
85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi).
5.
Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L
atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001).
Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa kriteria untuk
definisi Sindrom Metabolik antara lain; kriteria World Health Organization (WHO), kriteria
International Diabetes Federation (IDF), The American Heart Association/National Heart,
Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima
secara luas (Mittal, 2008).
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health Organization), NCEP-ATP III
dan IDF
Komponen
Obesitas abdominal/
sentral
Hipertrigliseridemia
Hipertensi
Kriteria diagnosis WHO:
Resistensi insulin plus :
Waist to hip ratio :
Laki-laki : > 0,9
Wanita : > 0,85 atau
IMB >30 Kg/m
≥150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L)
TD ≥ 140/90 mmHg atau
riwayat terapi anti hipertensif
Criteria diagnosis
ATP III : 3 komponen
di bawah ini
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
≥ 150 mg/dl (≥1,7
mmol/L)
TD ≥ 130/85 mmHg
atau riwayat terapi anti
hipertensif
IDF
Lingkar perut :
Laki-laki: ≥90 cm
Wanita : ≥80 cm
≥ 150 mg/dl
TD sistolik ≥ 130 mmHg
TD diastolik ≥ 85 mmHg
14
Kadar glukosa
darah tinggi
Mikro-albuminuri
2.
Toleransi glukosa terganggu,
glukosa puasa
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit
≥ 110 mg/dl
GDP ≥ 100mg/dl
Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik
Menurut Sholeh (2015), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap
terjadinya sindrom metabolik. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk faktor yang tidak dapat
dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, genetik. Sedangkan ukuran lingkar pinggang,
aktivitas fisik, diet, kebiasaan merokok, sosial ekonomi merupakan faktor yang dapat
dimodifikasi.
a. Umur
Seiring dengan peningkatan umur, prevalensi sindrom metabolik semakin
meningkat. Usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kurang dari 60%
dari total energi sebab peningkatan konsumsi karbohidrat akan meningkatkan resistensi
insulin terutama dalam populasi usia lanjut.
b. Genetik
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5%–70%. Pada beberapa orang faktor
genetik merupakan penentu utama. Kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah
seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas
serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas.
c. Jenis Kelamin
Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi sindrom metabolik hampir sama antara
pria dan wanita. Namun prevalensi untuk pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
Hal tersebut disebabkan pria mempunyai lingkar pinggang yang lebih besar
dibandingkan wanita yang merupakan salah satu tanda adanya obesitas sentral.
d. Lingkar Pinggang
Seseorang yang mempunyai lingkar pingang yang besar mempunyai total lemak
tubuh yang tinggi serta pengukuran lingkar pinggang diakui sebagai pengukuran yang
baik untuk mengetahui lemak perut. Pengaruh lingkar pinggang terhadap sindrom
metabolik berkaitan dengan keadaan obesitas sentral yang meningkatkan risiko sindrom
metabolik.
Sehingga
pengukuran
lingkar
pinggang
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi sindrom metabolik. Pada pria ukuran lingkar pinggang ≥9 0cm dan
wanita ≥80 cm berisiko terhadap sindrom metabolik.
15
e. Asupan Gizi
Konsumsi tinggi karbohidrat >60 % dari total kalori yang dikonsumsi meningkatkan
risiko sindrom metabolik. Konsumsi tinggi karbohidrat meningkatkan kadar trigliserida
yang merupakan salah satu kriteria sindrom metabolik. Hasil penelitian Esmaillzadeh
(2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan
rendahnya risiko kejadian sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara
konsumsi buah dengan rendahnya kadar kolesterol HDL.
f.
Intensitas Aktivitas fisik
Pada wanita, penurunan aktifitas fisik meningkatkan risiko 2 kali lipat sindrom
metabolik. Aktivitas fisik merupakan faktor yang menentukan perkembangan sindrom
metabolik sebab mempengaruhi obesitas dan distribusi lemak. Serta proses inflamasi
yang berhubungan dengan risiko penyakit kardiovascular pada usia lanjut. Aktivitas fisik
tingkat moderat dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien
hipertensi esensial ringan hingga sedang. The Pawtucket Studymenyebutkan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara aktivitas fisik dan peningkatan kadar HDL. Selain
itu aktivitas fisik juga berperan pada peningkatan sensitivitas reseptor insulin sehingga
mencegah resistensi insulin.
g. Merokok
Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
menunjukkan bahwa mereka yangmerokok 20 batang atau lebih perhari mengalami
penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan, dibandingkan
dengan mereka yang tidak merokok. Orang yang merokok 20 batang atau lebih perhari
dapat meningkatkan efek dua faktor utama risiko yaitu hipertensi dan hiperkolesterol.
Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang
yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih
besar pada orang yang merokok. Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate
sehingga dapat membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk
kurang beraktivitas dibanding yang tidak merokok.
16
Gambar 1. Hubungan merokok dengan sindrom metabolik
h. Sosial Ekonomi
Peningkatan pendapatanmasyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu,
terutama di perkotaan menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktivitas
yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah populasi obesitas yang merupakan
faktor risiko sindrom metabolik.
i.
Psikologis
Faktor psikologis dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya emosional
yang tidak stabil. Hal tersebut menyebabkan individu cenderung untuk melakukan
pelarian diri (self mechanism defense). Bentuk pelarian diri bisa berupa mengonsumsi
makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang berlebihan.
j.
Kadar Asam Urat
Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia memiliki hubungan kuat dengan
sindrom metabolik melalui resistensi insulin, hipertensi, obesitas, dan dislipidemia.
3.
Fisiologi insulin
a. Proses Pembentukan Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta
kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).
Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan
merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar.
Rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan
molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses
ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang
17
diperlukan bagi pembentukkan jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin,
yang dimulai dari bagian terminal amino, adalah rantai B – peptida C penghubung – rantai
A. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik sehingga
terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan disekresikan dari
granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003).
b. Sekresi Insulin
Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas, walaupun
asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >
3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin. Glukosa merangsang sekresi insulin
dengan masuk ke dalam sel beta melalui transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam
sel, glukosa mengalami proses fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan
membebaskan molekul ATP (Powers, 2005).
Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses
penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K
dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses
pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin
melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi
penutupan K channel terjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses
fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk
obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat diabetes),
bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, tapi pada
reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR), yang juga terdapat pada
membran sel beta seperti terlihat pada gambar 2.1 (Manaf, 2006).
Mekanisme sekresi insulin (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005).
18
c. Aksi Insulin
Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor
glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari dua
heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol α dan β. Subunit α terletak pada
ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin. Subunit β merupakan protein
transmembran yang melaksanakan fungsisekunder yang utama pada sebuah reseptor yaitu
transduksi sinyal (Granner, 2003).
Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada
bagian sitoplasma subunit β dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang
kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi
dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan Shc). Sejumlah protein penambat (docking
protein) mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS,
SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan
transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi
vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran plasma. Aktivasi
jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen, protein, lipogenesis dan
regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin. (Powers, 2005).
Mekanisme kerja insulin (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005)
4.
Fisiologi tekanan darah
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer
(tahanan perifer). Curah jantung (cardiac output) adalah jumlah darah yang dipompakan oleh
ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit, normalnya
pada dewasa adalah 4-8 liter. Cardiac output dipengaruhi oleh volum sekuncup (stroke volume)
19
dan kecepatan denyut jantung (heart rate). Resistensi perifer total (tahanan perifer) pada
pembuluh darah dipengaruhi oleh jari-jari arteriol dan viskositas darah. Stroke volume atau
volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan saat ventrikel satu kali berkontraksi
normalnya pada orang dewasa normal yaitu ±7075 ml atau dapat juga diartikan sebagai
perbedaan antara volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolik dan volume sisa ventrikel
pada akhir sistolik. Heart rate atau denyut jantung adalah jumlah kontraksi ventrikel per menit.
Volume sekuncup dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu volume akhir diastolik ventrikel, beban akhir
ventrikel (afterload), dan kontraktilitas dari jantung (Sherwood, 2001).
Tubuh mensuplai darah ke seluruh jaringan, sehingga mampu memberikan gaya dorong
berupa tekanan arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut.
Tekanan arteri rata-rata merupakan gaya utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan
arteri rata rata harus dipantau dengan baik karena apabila tekanan ini terlalu tinggi dapat
memperberat kerja jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta terjadinya
ruptur pada pembuluh-pembuluh darah halus. Tekanan arteri akan tetap normal melalui
penyesuaian jangka pendek (dalam hitungan detik) dan penyesuaian jangka panjang (dalam
hitungan menit sampai hari). Penyesuaian jangka pendek dilakukan dengan mengubah curah
jantung dan resistensi perifer total yang diperantarai oleh sistem saraf otonom pada jantung,
vena dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang dilakukan dengan menyesuaikan volume darah
total dengan cara menyeimbangkan garam dan air melalui mekanisme rasa haus dan
pengeluaran urin (Guyton,2008).
Penyimpangan pada arteri rata-rata akan mengaktivasi reflek baroresptor untuk dapat
menormalkan kembali tekanan darah yang diperantarai oleh saraf otonom. Hal ini yang
mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah dalam upaya menyesuaikan curah jantung
dan resistensi perifer total. Reflek dan respon lain yang mempengaruhi tekanan darah yaitu
reseptor volume atrium kiri, osmoreseptor hipotalamus yang penting dalam mengatur
keseimbangan air dan garam, kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta yang secara
reflek akan meningkatkan pernafasan sehingga lebih banyak oksigen yang masuk. Respon
lainnya yaitu respon yang berkaitan dengan emosi, kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit
untuk mendahulukan pengaturan suhu daripada kontrol pusat kardiovaskular dan zat-zat
vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel-sel endotel seperti endothelium-derived relaxing factor
(ERDF) atau nitric oxide (NO) (Sherwood, 2001).
Regulasi Tekanan Darah
Pengaturan tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua yaitu pengaturan tekanan
darah untuk jangka pendek dan pengaturan tekanan darah untuk jangka panjang.
a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek
1.
Sistem Saraf
20
Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan pembuluh
darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan
tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh
darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan
baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum)
(Mayuni, 2013). Menurut Sherwood (2006) refleks baroreseptor merupakan sensor
utama pendeteksi perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan darah
rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom,
seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Sistem baroreseptor bekerja sangat cepat
untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Baroreseptor yang penting
dalam tubuh manusia terdapat di sinus karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara
terus menerus memberikan informasi mengenai tekanan darah, dan secara kontinu
menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika
tekanan arteri meningkat, potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan
pembentukan potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut
meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah
mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial
aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler merespon dengan mengurangi aktivitas
simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini
menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup,
menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan
resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga
sebaliknya jika tekanan darah turun dibawah normal. (Guyton, 2008).
2.
Kontrol kimia
Kadar oksigen dan karbondioksida membantu proses pengaturan tekanan
darah melalui refleks kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga mempengaruhi
tekanan darah melalui kerja pada otot polos dan pusat vasomotor. Hormon yang
penting dalam pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh
medula adrenal (norepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium, hormon
antidiuretik, angiostensin II, dan nitric oxide (Ganong,2008).
b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang
Organ ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah jangka
panjang. Organ ginjal mempertahankan keseimbangan tekanan darah secara langsung
dan secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung dengan meregulasi volume darah
rata-rata 5 liter/menit, sementara secara tidak langsung dengan melibatkan mekanisme
renin angiostesin. Pada saat tekanan darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim
21
renin ke dalam darah yang akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2
menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah tubuh serta
menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal (Guyton,2008).
Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau
lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.
5.
Fisiologi lemak
Rata-rata asupan lemak perhari untuk orang dewasa yaitu sekitar 81g dimana lebih dari
90% adalah triasilgliserol (TAG) atau trigliserida.
Pencernaan lemak dimulai dari lambung dimana lemak akan dikatalisa oleh lingual lipase
yang dikeluarkan dari kelenjar yang berada di belakang lidah. Molekul TAG merupakan target
utama dari enzim ini, TAG juga akan didegradasi oleh gastric lipase yang disekresikan oleh
mukosa lambung.
Pencernaan ini berlanjut ke usus kecil, dimana akan terjadi emulsifikasi lemak di
duodenum. Emulsifikasi meningkat pada area permukaan droplet lemak yang hidrofobik
sehingga enzim pencernaan dapat bekerja secara efektif. Proses ini juga dibantu dengan garam
empedu yang terkandung di dalam empedu sehingga terjadi motilitas lambung.
Akibat molekul TAG yang terlalu besar maka molekul ini akan diesterasi oleh pancreatic
lipase dan akan menghasilkan 2-monoasilgliserol, kolesterol dan asam lemak bebas. Ketiga
bahan ini merupakan produk utama dari pencernaan lemak di jejunum dan akan membentuk
micelles dengan bantuan garam empedu dan vitamin yang larut lemak.
Micelles ini bersifat hidrofobik atau dapat larut dalam suasana encer seperti di dinding
usus sehingga mudah untuk diabsorbsi melalui enterosit (sel mukosa). Micelles perlu untuk
dikemas sebagai partikel droplet lemak yang dikelilingi oleh lapisan tipis yang dibentuk dari
fosfolipid dan apolipoprotein B-48 (apo B-48). Lapisan-lapisan ini akan menstabilisasi partikel
tersebut dan meningkatkan kelarutannya.
22
Partikel ini akan dilepaskan melalui eksositosis ke dalam pembuluh limfa dalam bentuk
kilomikron yang akan disekresikan ke dalam sistem limfatik. Sistem limfatik ini akan membawa
partikel-partikel tersebut ke dalam darah dan jaringan periferal kecuali otak (Champe,2008).
a. Lipoprotein
Lipid yang disintesis di hati dan usus harus ditransportasikan ke berbagai jaringan untuk
menyelesaikan fungsi metabolik, oleh karena sifatnya yang tidak mudah larut, lipid
diangkut di dalam plasma dalam bentuk makromolekul kompleks yang disebut Lipoprotein.
Lipoprotein dikategorikan sebagai kilomikron, Very Low Density Lipoproteins (VLDL),
Intermediate Density Lipoproteins (IDL), Low Density Lipoproteins (LDL), High Density
Lipoproteins (HDL) dan Lipoprotein A (Burtis, 2006).
Lipoprotein juga mengangkut vitamin larut lemak (A dan E), obat-obatan
(sefalosporin), beberapa virus dan enzim antioksidan tertentu. Dalam lipoprotein terdapat
juga apolipoprotein yang menentukan nasib dari lipoprotein.
Lipoprotein mempunyai inti yang hidrofobik yaitu trigliserida dan kolesteril ester,
dengan permukaan yang hidrofilik seperti protein, kolesterol bebas, dan fosfolipid (Larsen,
2003).
Kilomikron adalah partikel besar yang diproduksi oleh usus, yang kaya akan trigliserida
(85% sampai 95%), secara relatif memiliki sedikit kolesterol bebas dan fosfolipid, dan
mengandung 1% sampai 2% protein. Karena ratio lipid/proteinnya sangat tinggi, kilomikron
tidak lebih padat dari air, dan bahkan mengapung walaupun tidak disentrifuge (Henry,
2001).
VLDL disintesis oleh hati, dan produksinya distimulasi oleh peningkatan dari
pengiriman asam lemak bebas ke hepatosit baik karena asupan yang tinggi akan makanan
rendah lemak ataupun karena perpindahan asam lemak dari jaringan adiposa akibat puasa
atau diabetes melitus yang tidak terkontrol, sedangkan IDL umumnya terdapat pada plasma
dengan konsentrasi rendah (Larsen, 2003).
Pada keadaan puasa, kebanyakan plasma trigliserida ada pada VLDL. Pada saat tidak
puasa, terdapat kilomikron dan berkontribusi secara signifikan terhadap level plasma
trigliserida total (Burtis, 2006).
LDL merupakan 50% dari masa total lipoprotein di plasma. Partikelpartikelnya lebih
kecil dari trigliserida yang kaya akan lipoprotein, dan bahkan konsentrasi LDL yang
meningkat dengan hebat tidak mengubah kejernihan dari plasma. Jenis LDL yang lebih
kecil mengandung jumlah kolesterol ester yang lebih sedikit. Meningkatnya jumlah dari
partikel yang lebih kecil ditemukan pada pasien dengan beberapa bentuk umum dari
dislipoproteinemia yang sering dihubungkan dengan penyakit arteri koroner (Henry, 2001).
LDL adalah kolesterol utama yang membawa lipoprotein di dalam plasma. Peningkatan
LDL terjadi oleh karena penurunan dari katabolisme LDL ataupun peningkatan dari
23
biosintesis dan sekresi dari VLDL yang disebabkan oleh tingginya masukan asam lemak
bebas ke dalam hati (Larsen, 2003). HDL merupakan partikel kecil yang mengandung 50%
protein, 20% kolesterol, 30% fosfolipid, dan trigliserida (Henry, 2001). HDL memperoleh
kolesterol dari sel dan mengirimnya ke hati untuk ekskresi atau ke sel lain yang
membutuhkan kolesterol (Larsen, 2003).
Lipoprotein A [Lp(a)] ditemukan terutama pada jarak densitas 1,055 sampai 1,085 kg/L.
Terdiri dari 27% protein, 65% lemak dan 8% karbohidrat dan mempunyai komposisi yang
sama dengan LDL tetapi dengan konsentrasi yang lebih rendah. Konsentrasi Lp(a) pada
orang normal bervarasi dari 0,05 sampai 1,09 mmol/L (<20 sampai 500mg/L) atau lebih
(Henry, 2001).
b. Metabolisme Lipoprotein
Terdapat dua sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme lipoprotein yaitu,
lipoprotein lipase (LPL) yang berperan dalam pelepasan asam lemak bebas dan gliserol dari
kilomikron dan VLDL ke dalam jaringan serta lecithin cholesterol acyl transferase (LCAT)
yang membentuk ester kolesteril dari kolesterol bebas dan asam lemak.
Metabolisme lipoprotein dapat terjadi melalui dua siklus, eksogen dan endogen, yang
kedua-duanya berpusat pada hati.
a. Siklus lemak eksogen
Makanan yang mengandung lemak diserap di usus kecil dan bergabung dengan
kilomikron yang disekresikan ke dalam limfa dan mencapai aliran darah melalui thoracic
duct.
Di dalam sirkulasi, trigliserida dipindahkan dari lipoprotein ini melalui aksi dari
LPL. Enzim ini berada di tiap kapiler-kapiler jaringan tubuh, dan paling dominan berada
di jaringan adiposa dan muskuloskeletal.
Ketika kilomikron kehilangan trigliserida, maka kilomikron menjadi lebih kecil dan
rata, kemudian sisa-sisa kilomikron akan berpindah ke hati. Kolesterol akan digunakan
oleh hati untuk membentuk komponen membran sel atau asam empedu, atau diekskresi
ke dalam empedu.
b. Siklus lemak endogen
Hati mensintesa partikel VLDL yang mengelami pembentukan lemak yang sama
seperti kilomikron melalui aksi dari LPL. Hal ini akan mengakibatkan pembentukan dari
intermediate density lipoprotein (IDL) yang nantinya akan menjadi low density
lipoprotein (LDL). LDL masuk ke dalam sirkulasi oleh karena afinitas reseptor LDL
yang tinggi. Partikel High density lipoprotein (HDL) diperoleh dari hati dan usus. HDL
diperoleh secara langsung dari hati, atau secara tidak langsung ditransfer ke lipoprotein
yang bersirkularisasi, yang nantinya akan kembali ke hati (Gaw, 2001).
24
6.
Patogenesis infeksi bakteri
Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang diakibatkan
oleh peningkatan obesitas. Kebanyakan penderita sindrom metabolik mengalami obesitas
abdominal dan resistensi insulin. Kedua komponen tersebut berpengaruh terhadap
perkembangan komponen sindrom metabolik lainnya (Widjaya, 2004).
Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari faktor risiko metabolik yang
berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus (DM)
tipe 2. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan
tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan protrombotik dan proinflamasi. Hal
ini menyebabkan sindroma menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang utama pada saat
ini. Kumpulan gejala yang muncul pada sindroma metabolik antara lain resistensi
insulin, tekanan darah tinggi (hipertensi), dan gangguan kolesterol. Pasien yang mengalami
gejala-gejala ini umumnya gemuk atau obesitas (Rini, 2015).
Menurut Angraeni, penyebab sindrom metabolik adalah:
a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin.
Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler, misalnya komplikasi jantung.
b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga
menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler, misalnya
nephropathy diabetica.
Komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari:
a. Obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan dengan
sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan meningkatnya lingkar
perut/pinggang (Rohman, 2007).
Obesitas abdominal berpengaruh terhadap insensifitas insulin dan hiperinsulin yang
berdampak pada prognosis diabetes melitus (DM) tipe II. Berawal dari penumpukan sel
lemak visceral yang meningkatkan asam lemak bebas dari hasil lipolisis yang berdampak
pada penurunan sensitifitas insulin. Di hati, peningkatan asam lemak bebas mendorong
peningkatan glukoneogenesis yang mengakibatkan kadar gula dalam darah naik dan
menurunkan ekstraksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Kemudian di otot,
peningkatan asam lemak bebas berdampak pada penurunan pemakaian glukosa dan di sel α
pankreas berdampak pada penurunan sekresi insulin (Rohman, 2007).
Obesitas abdominal berpengaruh terhadap resistensi insulin. Hal ini berkaitan
dengan sel lemak bebas hasil lipolisis yang mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti
angiotensin, TNF α (tumor necrosis factor-alpha), resistin dan leptin yang berhubungan
dengan penurunan resistensi insulin. TNF α menyebabkan resistensi insulin dengan cara
menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan ekspresi glucose
transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini
25
pada gilirannya akan menyebabkan perubahan metabolik, sehingga timbul hipertensi dan
dislipidemia. Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya
menurun, sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM tipe II (Rohman, 2007).
Kadar lemak yang tinggi mengakibatkan penumpukan lemak dalam tendon dan
kulit. Kadar trigliserida yang tinggi menyebabkan pembesaran hati dan limpa. Obesitas yang
diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive
Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya
ROS di dalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi
(redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini
disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi
jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan
aterosklerosis (Stocker, 2004). Stres oksidatif berkaitan dengan diabetes tipe 2. Pada karena
terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap
sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-angiopati diabetic, dan pusat dari
semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif melalui 3
jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan
protein glikosilat (Pranoto, 2005).
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di sel otot
dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel-β pankreas. Stres oksidatif secara
langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan penting pada patofisiologi
terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Akumulasi lemak pada obesitas dapat
menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan ekspresi
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan
ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006).
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi
jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral. Salah satu karakteristik
obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga selsel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin
proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel
lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap
berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan
hipertensi (Pranoto, 2005).
b. Dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar kolesterol HDL,
peningkatan kadar trigliserida, dan small dense LDL yang merupakam LDL yang berukuran
kecil, padat dan memungkinkan memiliki potensi aterogenik lebih besar.
c. Resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan sindroma
metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma metabolik lainnya, dan
26
berbanding lurus dengan risiko penyakit kardiovaskular yang dimediasi oleh terjadinya
stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan
vaskuler dan pembentukan atheroma yaitu tumor jinak pada kulit yang terbentuk sebagai
akibat tersumbatnya muara kelenjar sebasea sehingga ditemukan puncta sebagai muara
kelenjar kulit yang tersumbat, sekret kelenjar sebasea dan sel mati kemudian akan
mengumpul dan tertimbun dalam kantung kelenjar.
d. Keadaan proinflamasi menyebabkan protein yang memberi sinyal kepada sistem kekebalan
tubuh untuk bekerja lebih keras meningkatkan kadar protein C-reaktif yang dihasilkan hati
meningkat karena terjadi inflamasi sebagai akibat dilepaskannya sitokin proinflamasi
merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard atau terhentinya aliran darah dari arteri
koroner.
e. Keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen activator inhibitor
(PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII.
Sindroma metabolik memiliki hubungan dengan beberapa keadaan seperti policystic ovarii,
fatty liver, batu empedu kolesterol, asma, sleep apnea, dan beberapa jenis kanker (Pranoto,
2005).
7.
Hubungan antara :
a. Hubungan diabetes dengan hipertensi
Berdasarkan hasil penelitian Gibney (2009), hipertensi merupakan faktor risiko
utama untuk terjadinya DM. Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks,
hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin) (Mihardja,
2010).
Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan
cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh
sel, maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin atau sindrom
metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada pasien DM tipe 1, hipertensi
dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai
mikroalbuminuri. Adanya
hipertensi
akan
memperberat
disfungsi
endotel
dan
meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan
stress oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya akan memediasi
terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim
SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga
akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi (Sudoyo, et al., 2009).
Pada
pasien
DM
tipe
2,
hipergilikemia
sering
dihubungkan
dengan
hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang bersama-sama mengawali terjadinya
27
penyakit kardiovaskuler dan stroke. Pada DM tipe ini, kadar insulin yang rendah merupakan
prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya akan mempengaruhi terjadinya
hiperinsulinemia. Apabila hiperinsulinemia ini tidak cukup kuat untuk mengkoreksi
hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan sebagai DM tipe 2. Kadar insulin berlebih
tersebut menimbulkan peningkatan retensi natrium oleh tubulus ginjal yang dapat
menyebabkan hipertensi. Lebih lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa menyebabkan inisiasi
aterosklerosis, yaitu dengan stimulasi proliferasi sel-sel endotel dan sel-sel otot pembuluh
darah (Masharani dan German, 2003).
b. Hubungan obesitas dengan hipertensi
Obesitas merupakan salah satu dari faktor resiko hipertensi. Obesitas dikaitkan
dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Ada spekulasi bahwa insulin yang
berlebihan pada akhirnya mungkin berperan dalam retensi natrium, ekspansi volume darah,
produksi norepinefrin yang berlebihan dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda
utama hipertensi (Robbins, et al., 2015).
Pada orang yang gemuk, jantungnya bekerja lebih keras dalam memompa darah.
Sebab tubuhnya bekerja keras untuk membakar kelebihan kalori yang masuk. Pembakaran
kalori ini memerlukan suplai oksigen dalam darah yang cukup. Semakin banyak kalori yang
dibakar, semakin banyak pula pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya volume darah yang
beredar di pembuluh darah menjadikan curah jantung meningkat. Dampaknya tekanan
darah orang yang obesitas cenderung tinggi (Widharto, 2007).
Obesitas sentral dapat memicu terjadinya hipertensi. Kelebihan asam lemak bebas
ini dapat memicu terjadinya resistensi insulin. Keadaan hiperinsulinemia ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan retensi natrium pada ginjal, yang pada akhirnya
mengakibatkan hipertensi (Supariasa, et al., 2002).
c. Hubungan obesitas dan diabetes melitus tipe 2
Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini disebabkan oleh
kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang
merupakan factor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam
Lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan
translokasi transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya
resistensi insulin pada jaringan otot dan adipose (Teixeria-Lemos, et al, 2011).
Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek sel beta
pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin. Pada
umumnya para ahli sepakat bahwa diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan adanya resistensi
insulin, kemudian menyusul berkurangnya pelepasan insulin. Pada penderita obes juga
28
ditemukan adanya resistensi insulin. Ada dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2
dimulai dengan berat badan normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan
berakhir dengan diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan
keluhan khas yang datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek
sel beta pancreas (Henry, et al., 2003).
Jaringan lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat penyimpanan lemak
dalam bentuk trigliserid, dan sebagai organ endokrin. Sel lemak menghasilkan berbagai
hormon yang disebut juga adipositokin (adipokine) yaitu leptin, tumor necrosis factor alpha
(TNF-alfa), interleukin-6 (IL-6), resistin, dan adiponektin. Hormon-hormon tersebut
berperan juga pada terjadinya resistensi insulin. Pada gambar 2 diperlihatkan hubungan
jaringan lemak dengan kejadian resistensi insulin (Henry, et al., 2003).
Peran Asam Lemak Bebas
Pada mereka yang gemuk maupun diabetes melitus tipe 2 selalu ditemukan kadar
asam lemak bebas yang tinggi. Meningkatnya asam lemak bebas pada mereka yang gemuk
dan diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya pemecahan trigliserid (proses
lipolisis) di jaringan lemak terutama di daerah visceral. Meningkatnya lipolisis diduga
berkaitan dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. Seperti diketahui lemak
visceral peka terhadap rangsangan saraf simpatis sehingga metabolisme sel lemak visceral
sangat aktif. Asam lemak bebas yang tinggi dalam plasma berperan terhadap terjadinya
resistensi insulin baik pada otot, hati, maupun pada pankreas (gb. 2) (Henry, et al., 2003).
a.
Otot
Pada tahun 1963 Randle mengemukakan teori bahwa pada keadaan dimana
peningkatan asam lemak bebas dalam darah akan diikuti dengan meningkatnya ambilan
asam lemak bebas oleh jaringan otot. Pada keadaan normal otot akan menggunakan
glukosa (oksidasi glukosa) untuk menghasilkan energi. Dengan demikian oksidasi asam
29
lemak dalam otot meningkat, hal ini akan menghambat ambilan glukosa oleh otot
sehingga terjadilah hiperglikemi (gb. 3A) (Henry, et al., 2003).
b.
Hati
Keadaan yang sama terjadi di hati, dimana hati akan menampung sebagian besar
asam lemak bebas dan menjadi bahan untuk proses glukoneogenesis dan sintesis VLDL.
Dengan meningkatnya glukoneogenesis, glukosa plasma puasa akan meningkat maka
terjadilah hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi puasa ini akan mengakibatkan resistensi
insulin di hati (gb. 3B) (Henry, et al., 2003).
c. Pankreas
Mekanisme “kerusakan” pankreas pada obesitas belum jelas. Diduga bahwa asam
lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya deposit trigliserid berlebihan pada
sel beta pankreas, dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas (Henry, et
al., 2003).
Siklus Randle di otot dan di hati :
a. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl CoA yang
berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim penting untuk
merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk meningkatkan
ambilan glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar glukosa dapat masuk
ke dalam sel otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi insulin (Henry, et al.,
2003).
b. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi melalui sistem
portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang dioksidasi dan
menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat karboksilase di hati
yang berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada proses
glukoneogenesis, dengan demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan pelepasan
glukosa hati. Meningkatnya glukoneogenesis berakibat hambatan kerja insulin di hati,
atau terjadilah resistensi insulin (Henry, et al., 2003).
30
Peran Adipositokin
Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang dihasilkan oleh
sel lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya resistensi insulin. Leptin,
tumor necrosis factor α (TNF α), interleukin-6 (IL-6), dan resistin bekerja meningkatkan
resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja meningkatkan sensitivitas insulin (Wilding,
et al., 2003).
a.
Leptin
Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin
bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi
insulin belum jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat fosforilasi
insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan glukosa.
Sebaliknya penelitian lain pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian leptin
meningkatkan sensitivitas insulin. Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian pada
manusia (Wilding, et al., 2003).
b.
Tumor necrosis factor α
Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma meningkat
dengan meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme resistensi insulin
perifer. Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam sirkulasi sangat sedikit
untuk dapat menghambat kerja insulin pada jaringan otot. Diduga kerja TNF-Alfa lebih
bersifat parakrin daripada endokrin, atau dengan perantaraan faktor lain, misalnya asam
lemak bebas, karena TNF-Alfa memacu lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan
dan manusia, TNF-Alfa diekspresikan secara berlebihan sehingga mengganggu insulin
signaling yang akibatnya fosforilasi IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose
transporter(GLUT)-4 (Wilding, et al., 2003).
c.
Interleukin-6
Sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan adiposa, IL-6 juga
meningkat dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6 memacu pelepasan
glukagon dan kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard, dkk. menemukan
bahwa penderita diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap insulin, kadar IL-6,
TNF-Alfa dan leptin meningkat dibandingkan kontrol penderita dibetes melitus yang
tidak obes. Peran IL-6 pada resistensi insulin diduga melalui perlemakan (adiposity),
secara tidak langsung berhubungan dengan kerja insulin.
d.
Resistin
Lazar, dkk, menemukan suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit dan
dinamakan resistin. Kadar resistin meningkat pada tikus obes akibat makan berlebihan
dan obes karena genetik, dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis
31
peroxisome proliferator-activator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone (Steppan, et al.,
2001).
e.
Adiponektin
Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit.
Dibandingkan dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam
sirkulasi. Adiponektin mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya,
yaitu mencegah terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2. Weyer dkk,
melaporkan kadar adiponektin pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang. Kadar
adiponektin juga berkorelasi dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya berkurang
dengan semakin buruknya toleransi glukosa. Penelitian lain pada manusia, kadar
adiponektin meningkat dengan penurunan berat badan dan pemberian agonis PPAR,
rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu ekspresi gen-gen yang mengatur
metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl co-enzyme A (CoA) oxidase,
dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi transpor asam lemak,
pembakaran lemak dan termogenesis (Weyer, et al., 2001).
8.
Etiologi sindrom metabolik
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis
menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah resistensi insulin (Shahab,
2007).
Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah :
a.
Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin.
Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung).
b.
Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga
menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (Mis:
nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007).
Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah resistensi insulin (RI).
RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan mengukur lingkar
pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya
stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan
vaskuler dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang
mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu yang
mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami obes
sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stress akan menyebabkan terbentuknya
hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard.
32
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi
jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral (Tjokroprawiro, 2006). Salah satu
karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak,
sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin
proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel
lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai
penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi
(Semiardji, 2004; Widjaya et al., 2004).
9.
Integrasi islam terhadap sindrom metabolisme
a. Makan Sehat Ala Rasul
Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 31:
“Hai anak Adam, kenakan pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid, makan dan
minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang
yang belebih-lebihan.”
Hal senada dapat ditemukan di surat Al Baqarah 168:
“Hai sekalian manusia makan-makanlah yang halal lagi baik dariapa yang terdapatdi
bumi dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena syaitan musuh yang
nyata bagimu.”
Sesungguhnya pangkal penyakit kebanyakan bersumber dari makanan. Maka tak
heran bila Rasulullah memberi perhatian besar dalam masalah ini.
Prinsip pertama makanan dan minuman harus halal dan thoyib (baik). Maksudnya
selain masuk kategori halal, maka makanan dan minuman kaum muslimin harus bersih dan
mengandung kandungan gizi yang cukup.
Rasulullah melarang untuk makan lagi sesudah kenyang. “Kami adalah kaum yang
tidak makan sebelummerasa lapar dan bila kami makan tidak pernah kekenyangan”(HR
Bukhari Musim).
Yang selanjutnya, Rasulullah tidak makan dua jenis makanan panas atau dua jenis
makanan yang dingin secara bersamaan. Beliau juga tidak makan ikan dan daging dalam
satu waktu dan juga tidak langsung tidur setelah makan malam, karena tidak baik bagi
jantung. Beliau juga meminimalisir dalam mengonsumsi daging, sebab terlalu banyak
daging akan berakibat buruk pada persendian dan ginjal. Pesan Umar ra, “Jangan kau
jadikan perutmu sebagai kuburan bagi hewan-hewan ternak!”
“Berpuasalah kamu supaya sehat tubuhmu” (HR Bukhari)
Puasa akan membawa kita pada kesehatan yang sangat luar biasa. Secara fisiologis,
puasa sangat erat kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia. Saluran pencernaan manusia
33
tempat menampung dan mencerna makanan, merupakan organ dalam yang terbesar dan
terberat di dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan tersebut tidak berhenti bekerja selama
24 jam dalam sehari. Banyak hasil penelitian modern yang memaparkan bahwa puasa
sangat menyehatkan. Diantaranya, memberikan istirahat fisiologis menyeluruh bagi sistem
pencernaan dan sistem syaraf pusat, menormalisasi metabolisme tubuh, menurunkan kadar
gula darah, mengikis lipid “jahat” (cholesterol), detoksifikasi (membuang racun dari
tubuh), dan lain sebagainya.
b. Olahraga Sehat Ala Rasul
Olahraga merupakan kegiatan menggerakan seluruh anggota tubuh secara teratur,
sehingga otot-otot menjadi kuat, persendian tidak kaku, dan aliran darah berjalan lebih
lancar ke semua jaringan dan organ-organ tubuh. Rasulullah SAW menganjurkan semua
muslim berolahraga secara rutin sebagai upaya untuk menjaga kesehatan dan kesegaran
jasmani. Sabda beliau: “Ajarilah anakmu (olahraga) berenang dan memanah”
(HR.Dailami).
34
PETA KONSEP
Kadar lemak tinggi
di tubuh
Peningkatan LDL
dan Penurunan HDL
Peningkatan
metabolisme lemak
Sistem Imun
Peningkatan
sekresi asam lemak
Resistensi Insulin
Atherosklerosis
Hyperinsulinemia
Hyperglikemia
Obesitas
Diabetes Militus tipe 2
Etiologi
SINDROM
METABOLIK
Peningkatan pompa
jantung
Hipertensi
Faktor Resiko :
Genetik, umur,
lingkar pinggang,
Jenis Kelamin,
asupan gizi, sosial
ekonomi, kadar
asam urat,dll.
35
Sumber :
Al- Quran
Angraeni, D. 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolik. Jurnal Kedokteran Indonesia: 25(6):
18-25.
Bastard JP, Jardel C, Brickert E, et al. 2000. Elevated levels of interleukin-6 are reduced in serum
and subcutaneous adipose tissue of obese women after weight loss. J Clin Endocrinol Metab
2000; 85: 3338-3342.
Ganong,W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Henry RR, Mudaliar S. 2003.
Eckel RH. Obesity, mechanisms and clinical management (ed.). Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
Grundy S.M.2006.Metabolic syndrome: connecting and reconceiling cardiovaskuler and diabetes
world. Center for Human Nutrition and Departments of Clinical Nutrition and Internal
Medicine, University of Texas Southwestern Medical Center at Dallas, Dallas, Texas.
Guyton and Hall. 2008. Buku ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11. Jakarta: EGC.
Henry RR, Mudaliar S. 2003. Obesity, mechanisms and clinical management. Eckel RH (ed.).
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Isomaa B et al. 2001. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic
syndrome.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2015. Buku Ajar Patologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Masharani, U., German, M. S. 2007. A Lange Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology. 8th
Ed. USA: McGraw Hill Companies.
Mihardja, Laurentia. 2010. Faktor Risiko Terbesar dan Masalah Pengendalian Diabetes Melitus di
Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat. Program Insentif Riset Terapan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mittal, S. 2008. The Metabolic Syndrome in Clinical Practice. Springer-Verlag. London.
Morrison R. 2006. The Zucker Rat as a Model of Obesity Hypertension. Thesis. Huntington, USA:
University of Marshall.
Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic Studies.
Pranoto, A, dkk. 2005. Metabolic Syndrome as Observed in Surabaya. Surabaya: Pusat Diabetes dan
Nutrisi Divisi Endokrin Metabolik Bag-SMF Penyakit Dalam Dr. Soetomo FK UNAIR.
Rini, Sandra. 2015. Sindrom Metabolik 4(4): 90. Lampung: Universitas Lampung.
Rohman, S.M. 2007. Patogenesis dan Terapi Sindroma Metabolik. Jurnal Kardiologi Indonesia.
Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada Sindroma
Metabolik. Jurnal Kedokteran Indonesia. 65(8): 18-21.
36
Semiardji, 2004. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Jakarta.
Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Jurnal Media Informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran.
10(4): 21–32
Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC
Sholeh, Ihwanu. 2015. Sindrom Metabolik pdf. Sumatera: Universitas Sumatera Utara.
Steppan CM, Bailey ST, Bhat S, et al. 2001. The Hormone Resistin Links Obesity to Diabetes.
Nature; 409: 307-312.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Macellus Simadibrata K., Siti Setiati. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. FKUI
Sunjaya, I Nyoman. 2009. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko Diabetes
Melitus Tipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala Husada Vol. 6(1): 75-81
Supariasa IDN, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2002. Penilaian status gizi. EGC: Jakarta.
Teixeria-Lemos, dkk. 2011. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes
development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central
Cardiovascular Diabetology 10: 1-15
Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome. The
Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166
Weyer C, Funahashi T, Tanaka S, et al. 2001. Hypoadiponectinaemia in obesity and type 2 diabetes:
close association with insulin resistance and hyperinsulinaemia. J Clin Endocrinol Metab; 86:
1930-1935.
Widharto. 2007. Bahaya Hipertensi. Jakarta: PT Sunda Kelapa Pustaka.
Widjaya, A. 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Jurnal Cardiology. 2(4):1-16.
Wilding JPH. 2003. Obesity and nutritional factors in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus
Textbook of Diabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3rd ed. Oxford: Blackwell Science.
37
Download