PEMERIKSAAN BAKTERI Staphylococcus Aureus PADA BUMBU RUJAK DI BALAI RISET DAN STANDARISASI INDUSTRI MEDAN TUGAS AKHIR OLEH: CHUNAIRIL WIJAYA NIM 132410062 PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN PEMERIKSAAN BAKTERI Staphylococcus Aureus PADA BUMBU RUJAK DI BALAI RISET DAN STANDARISASI INDUSTRI MEDAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara OLEH: CHUNAIRIL WIJAYA NIM 132410062 Medan, 14 Mei 2016 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing Dra. Djendakita Purba, M.Si., Apt. NIP 195107031977102001 Disahkan Oleh: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Dekan, Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001 Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Pemeriksaan Bakteri Staphylococcus Aureus pada Bumbu Rujak di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan”. Tujuan penyusunan tugas akhir ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan. Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis juga mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., sebagai Wakil Dekan 1 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., sebagai Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dra. Djendakita Purba, M.Si., Apt., sebagai Dosen Pembimbing Tugas Akhir. iii Universitas Sumatera Utara 5. Bapak Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt., sebagai Dosen Pembimbing Akademik. 6. Bapak Kusno, ST., sebagai Kepala Seksi Standarisasi dan Sertifikasi Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan. 7. Ibu Nila Kesuma Sitiwati Dewi, sebagai Kepala Laboratorium Mikrobiologi serta sebagai pembimbing lapangan penulis di Balai Riset Standarisasi Industri Medan. 8. Dosen- dosen Fakultas Farmasi beserta staff di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. 9. Kedua orang tua penulis Bapak Amat Sarit dan Ibu Herli Salim dan saudara kandung penulis Ivana Amelia Wijaya dan Cynthia Wijaya terima kasih untuk perhatian, dukungan dan nasehat yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. 10. Sahabat- sahabat terbaik saya di Analis Farmasi dan Makanan 2013. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi pembaca. Medan, Penulis, Mei 2016 Chunairil Wijaya NIM 132410062 iv Universitas Sumatera Utara PEMERIKSAAN BAKTERI Staphylococcus Aureus PADA BUMBU RUJAK DI BALAI RISET DAN STANDARISASI INDUSTRI MEDAN ABSTRAK Bumbu rujak merupakan bahan pelengkap yang digunakan sebagai bahan tambahan untuk menambah kelezatan buah- buahan. Bumbu rujak yang diracik oleh pedagang rujak di Baristand kota Medan kemungkinan terdapat bakteri Staphylococcus aureus. Tujuan pemeriksaan ini dilakukan adalah untuk mengetahui cemaran bakteri Staphlococcus aureus. Metode pemeriksaan dilakukan dengan metode SNI 01-2897-1992. Hasil pencemaran bakteri Staphylococcus aureus pada suhu 37oC selama 24-48 jam adalah 0 koloni dalam satuan jumlah per 25 g sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa bumbu rujak aman dikonsumsi. Kata Kunci: bumbu rujak, SNI 01-2897-1992 v Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI Halaman JUDUL ...................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii KATA PENGANTAR .............................................................................. iii ABSTRAK ................................................................................................ v DAFTAR ISI ............................................................................................. vi DAFTAR TABEL ..................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. ix BAB I BAB II PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................. 1 1.2 Tujuan dan Manfaat ..................................................... 3 1.2.1 Tujuan .................................................................. 3 1.2.2 Manfaat ................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 4 2.1 Rujak ............................................................................. 4 2.1.1 Pengertian Rujak.................................................. 4 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus ..................................... 5 2.3 Media pertumbuhan mikroba........................................ 6 2.4 Cara sterilisasi............................................................... 9 2.4.1 Sterilisasi uap ....................................................... 9 2.4.2 Sterilisasi panas kering ........................................ 10 2.4.3 Penggunaan desinfektan ...................................... 12 Penanaman bakteri (Inokulasi) ..................................... 13 2.5 vi Universitas Sumatera Utara 2.6 Metode koagulase plasma ............................................. 15 BAB III METODOLOGI ....................................................................... 16 3.1 Alat ............................................................................... 16 3.2 Bahan ............................................................................ 16 3.3 Prosedur ........................................................................ 17 3.3.1 Pembuatan media ................................................. 17 3.3.2 Pemeriksaan bakteri ............................................. 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 20 4.1 Hasil .............................................................................. 20 4.2 Pembahasan .................................................................. 21 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 23 5.1 Kesimpulan ................................................................... 23 5.2 Saran ............................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 24 LAMPIRAN .............................................................................................. 25 BAB V vii Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL Tabel Halaman 4.1 Hasil Uji Bakteri Staphylococcus aureus Pada Bumbu Rujak ..... 20 4.2 Hasil Uji Bakteri Staphylococcus aureus Pada Biakan Murni ..... 21 viii Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Gambar Alat ............................................................................. 25 2 Gambar Bahan .......................................................................... 27 3 Gambar Hasil ............................................................................ 29 4 Gambar Lembar Kerja Pengujian Staphylococcus aureus Baristand Industri Medan ......................................................... 32 ix Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rujak merupakan satu jenis kudapan atau makanan camilan yang digemari masyarakat karena harganya murah dan kaya akan vitamin. Namun, di sisi lain rujak merupakan makanan yang berpotensi dan berisiko tinggi terkontaminasi mikroba karena disajikan dalam keadaan tidak panas dan berair serta dalam meracik ditangani secara langsung tanpa menggunakan penjepit atau sarung tangan plastik (Setyorini, E., 2013). Makanan sangat mungkin sekali menjadi penyebab terjadinya gangguan dalam tubuh kita. Salah satu cara untuk memelihara kesehatan adalah dengan mengkonsumsi makanan yang aman yaitu dengan memastikan makanan tersebut dalam keadaan bersih dan terhindar dari penyakit. Banyak sekali hal yang dapat menyebabkan suatu makanan menjadi tidak aman, salah satunya diantaranya dikarenakan terkontaminasi (Thaheer, H., 2005). Sumber kontaminasi makanan yang paling utama berasal dari pekerja, peralatan, sampah, serangga, tikus, dan faktor lingkungan seperti udara dan air. Dari seluruh sumber kontaminasi makanan tersebut pekerja adalah paling besar pengaruh kontaminasinya. Kesehatan dan kebersihan pengolah makanan mempunyai pengaruh yang cukup besar pada mutu produk yang dihasilkannya, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang sungguh- sungguh (Titin, A., 2005). 1 Universitas Sumatera Utara Berbagai jenis bakteri hidup sebagai flora normal pada kulit manusia, salah satunya adalah bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini terdapat banyak pada permukaan kulit sebagai flora normal, namun dapat juga menjadi patogen. Hal ini terjadi apabila bakteri berada pada lokasi asing (luka) dalam jumlah banyak dan juga terdapat faktor – faktor predisposisi seperti keringat berlebih, perubahan pH menjadi rendah, dan mandi tidak bersih (Jiwintarum, Y., dkk., 2015). Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan berbagai infeksi supuratif ( infeksi yang disertai nanah). Setiap jaringan dapat diinfeksi dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda- tanda yang khas yaitu peradangan, nekrosis, dan pembentukan abses. Infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus dapat berupa infeksi tenggorokan, pneumonia, meningitis, keracunan makanan, dan berbagai infeksi kulit ( Jiwintarum, Y., dkk., 2015). Hasil wawancara pada tanggal 27 April 2012 pada 15 responden didapatkan 10 responden (66,7%) yang mengkonsumsi rujak di kawasan sekitar Unnes mengatakan bahwa setelah mengkonsumsi rujak mereka mengalami sakit perut dan gejala diare pada keesokan harinya. Dan pengamatan dilakukan para pedagang tersebut kurang memperhatikan kebersihan diri terutama tangan (Setyorini, E., 2013). 2 Universitas Sumatera Utara 1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan a. Untuk mengetahui ada atau tidak bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak. b. Untuk mengetahui jumlah bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak. c. Untuk mengetahui kelayakan bumbu rujak untuk dikonsumsi. 1.2.2 Manfaat a. Memberikan informasi tentang keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak. b. Memberikan informasi tentang total bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak. c. Memberikan informasi tentang kelayakan bumbu rujak untuk dikonsumsi. 3 Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rujak 2.1.1 Pengertian Rujak Rujak merupakan makanan non olahan yang selalu kontak dengan tangan dan air sehingga dengan mudah bakteri berpindah dan berkembang biak. Langkah menghindari perkembangbiakan bakteri dalam makanan khususnya rujak adalah menyimpan buah dan bumbu dalam keadaan tertutup sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh lingkungan yang tidak bersih, menggunakan air matang dalam mencuci buah (Setyorini, E., 2013). Berdasarkan hasil penelitian praktek higiene pedagang dengan keberadaan bakteri patogen pada rujak tersebut diakibatkan oleh faktor pengetahuan tentang praktek higiene perorangan yang kurang (Setyorini, E., 2013). Kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama penjamah makanan. Kebiasaan mencuci tangan sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan kepada makanan. Sebanyak 100% mereka mencuci tangan tidak menggunakan air mengalir, dan sebanyak 7 responden (53,8%) mengaku tidak menggunakan sabun dalam mencuci tangan. Dan pada saat mereka mencuci tangan tidak membersihkan sela- sela jari yang kemungkinan terdapat bakteri yang dapat mengkontaminasi sebanyak 10 responden (76,9%). 4 Universitas Sumatera Utara Sebanyak 100% responden tidak menggunakan tissue kering untuk mengeringkan tangan saat setelah mencuci tangan (Depkes RI, 2001). Sesuai dengan SNI 01-7388-2009 terdapat beberapa bakteri pada olahan kacang diantaranya bakteri Staphylococcus aureus, ALT (Angka Lempeng Total), Escherichia coli, Salmonella (BSN, 2009). 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetra, atau berkelompok seperti buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa latin “staphele” yang berarti anggur. Beberapa spesies memproduksi pigmen berwarna kuning sampai oranye, misalnya Staphylococcus aureus. Bakteri ini membutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya, dan bersifat anaerobic fakultatif (Irianto, K., 2006). Bakteri Staphylococcus aureus mengeluarkan toksin pada makanan berprotein tinggi ( daging, telur, susu, ikan). Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini relative tahan panas dan tidak mudah dimusnahkan dengan pemanasan normal pada prosedur pemasakan makanan. Bakteri Staphylococcus aureus dapat dimatikan namun toksinnya tetap ada Keracunan oleh bakteri ini justru sebagian besar terjadi pada makanan yang telah dimasak. Hal ini disebabkan karena pada makanan yang telah dimasak, bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena mati oleh proses pemasakan. 5 Universitas Sumatera Utara Sementara itu, bakteri Staphylococcus aureus ada di mana- mana (udara, debu, air) dan sangat erat hubungannya dengan manusia, karena merupakan flora normal pada berbagai bagian tubuh manusia terutama pada kulit, hidung, dan mulut (Pratiwi, 2008). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman yang cukup kebal di antara mikroorganisme lainnya, dan tahan pada pemanasan 60 oC selama 30 menit. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang bersifat stabil terhadap pemanasan (termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim- enzim pencernaan, dan relative resisten terhadap pengeringan. Selain enterotoksin, bakteri ini juga memproduksi hemolisin, yaitu toksin yang dapat merusak dan memecah sel- sel darah merah. Keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dan toksin yang dihasilkan pada makanan tidak dapat dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada makanan (Pratiwi, 2008). 2.3 Media pertumbuhan mikroba Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media) (Dwidjoseputro, D., 1998). Menurut kandungan nutrisinya, media dapat dibedakan menjadi beberapa macam. 6 Universitas Sumatera Utara 1. Defined Media (Synthetic media) Defined media merupakan media yang komponen penyusunnya sudah diketahui atau ditentukan. Media ini biasanya digunakan dalam penelitian untuk mengetahui kebutuhan nutrisi mikroorganisme. Contoh: media untuk Escherichia coli 2. Media kompleks (Complex media) Media kompleks merupakan media yang tersusun dari komponen yang secara kimia tidak diketahui dan umumnya diperlukan karena kebutuhan nutrisi mikroorganisme tertentu tidak diketahui. Contoh: ekstrak daging ( mengandung asam- asam amino, peptide, nukleotida, asam organic, vitamin, mineral), ekstrak khamir atau yeast extact (sumber vitamin B. Contoh: Nutrient Broth/Agar, Tryptic Soya Broth (TSB)/ Tryptic Soya Agar (TSA), Mac Conkey Agar 1. Media umum (General media) Media umum merupakan media pendukung bagi banyak pertumbuhan mikroorganisme. Contoh: TSB,TSA . 2. Media penyubur (Enrichment media) Media penyubur merupakan media yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Media ini digunakan bila kita ingin 7 Universitas Sumatera Utara menumbuhkan salah satu mikroorganisme dari kultur campuran. Media ini menggunakan bahan atau zat yang serupa dengan habitat tempat mengisolasi mikroorganisme tersebut. 3. Media selektif (Selective media) Media selektif merupakan media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu (seleksi) dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang lain. Pada media ini ditambahkan bahan penghambat pertumbuhan, misalnya bile salt dan dye (fuschin, crystal violet, brilliant green) yang akan menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan tidak memberi efek pada bakteri gram negatif; antibiotik; dan selulosa untuk mengisolasi bakteri pendegradasi selulosa. 4. Media diferensial (Differential media) Media diferensial digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme dan bahkan dapat digunakan untuk identifikasi. Contohnya adalah media Agar Darah, yang merupakan media diferensial sekaligus media penyubur, mampu membedakan antara bakteri hemolitik (Streptococcus dan Staphylococcus di saluran napas) dan bakteri nonhemolitik dengan mengetahui sifat lisis eritrosit ( ciri; daerah jernih di sekitar koloni akibat perusakan sel darah merah); media Mac Conkey, yang merupakan media diferensial sekaligus selektif, terdiri dari laktosa dan neutral red dye, mampu membedakan antara bakteri yang memfermentasi laktosa dan yang bukan (ciri: adanya daerah merah mudamerah di sekitar koloni. 8 Universitas Sumatera Utara 5. Media khusus Contoh media khusus adalah media untuk bakteri anaerob. Biasanya ke dalam media tersebut ditambahkan bahan yang dapat mereduksi kandungan O2 dengan cara pengikatan kimiawi. Contoh bahan- bahan itu adalah natioglikolat, sistein, asam askorbat. Sebagai indicator anaerob digunakan rezasurin (bila terjadi oksidasi yang berarti bakteri bersifat aerobik akan terbentuk warna merah) Contoh: media pertumbuhan bakteri Neisseria gonorrhoeae (Dwidjoseputro, D., 1998). 2.4 Cara sterilisasi 2.4.1 Sterilisasi uap Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah tekanan berlangsung di suatu bejana yang disebut otoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus otoklaf yang ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15 menit pada suhu 121oC kecuali dinyatakan lain) (Depkes RI, 2010). Prinsip dasar kerja alat adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus. Untuk mengganti udara secara lebih efektif dari bejana sterilisasi dan dari dalam bahan yang disterilisasi, siklus sterilisasi dapat meliputi tahap evakuasi udara dan uap (Depkes RI, 2010). 9 Universitas Sumatera Utara Desain atau pemilihan suatu siklus untuk produk atau komponen tertentu tergantung kepada beberapa faktor, termasuk kestabilan panas bahan, pengetahuan tentang penetrasi panas ke dalam bahan, dan faktor lain yang tercantum dalam program validasi (Depkes RI, 2010). Selain deskripsi tentang parameter siklus sterilisasi dengan menggunakan suhu 121oC, konsep F0 dapat juga diterapkan. F0 pada suhu tertentu selain suhu 121oC; adalah waktu (dalam menit) yang diperlukan untuk mendapatkan kesetaraan letalitas seperti pada suhu 121oC untuk waktu tertentu (Depkes RI, 2010). Autoklaf modern umumnya bekerja dengan suatu sistem pengendali yang secara nyata lebih responsive daripada katup reduksi uap jenis lama yang selama ini digunakan. Agar jenis yang lama ini dapat mencapai ketepatan dan tingkat pengendalian siklus yang dibicarakan di sini, mungkin perlu memperbaharui atau memodifikasi alat pengendali dan instrumentasi alat tersebut. Modifikasi ini dapat dibenarkan hanya jika alat sterilisasi dan mantel uap masih utuh demi keamanan penggunaan selanjutnya dan jika endapan dapat mengganggu distribusi panas dapat dihilangkan (Depkes RI, 2010). 2.4.2 Sterilisasi panas kering Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di Farmakope dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses bets di dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan itu (Depkes RI, 2010). 10 Universitas Sumatera Utara Oven modern dilengkapi dengan udara yang dipanaskan dan disaring, didistribusikan secara merata ke seluruh bejana dengan cara sirkulasi atau radiasi menggunakan sistem semprotan dengan peralatan sensor, pemantau dan pengendali parameter kritis (Depkes RI, 2010). Validasi fasilitas sterilisasi panas kering dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sterilisasi uap. Unit yang digunakan untuk sterilisasi komponen seperti wadah untuk larutan intravena, harus dijaga agar dapat dihindari akumulasi partikel di dalam bejana sterilisasi (Depkes RI, 2010). Sebagai tambahan pada proses bets tersebut di atas, suatu proses berkesinambungan sering digunakan untuk sterilisasi dan depirogenisasi alat kaca sebagai suatu bagian dari sistem pengisian dan penutupan kedap secara aseptik yang berkesinambungan dan terpadu. Distribusi panas dapat berupa sirkulasi atau disalurkan langsung dari suatu nyala terbuka. Sistem berkesinambungan biasanya memerlukan suhu yang lebih tinggi dari yang tertera di atas untuk proses bets karena waktu menetapnya yang lebih singkat. Bagaimanapun juga masukan suhu total selama melewati produk, harus sama dengan yang dicapai sewaktu proses dalam bejana. Proses berkesinambungan biasanya memerlukan tahap pendinginan cepat sebelum berlangsung proses pengisian aseptik. Pada program kualifikasi dan validasi, sehubungan dengan waktu menetap singkat, perlu ditetapkan parameter untuk keseragaman suhu, terutama waktu menetap (Depkes RI, 2010). 11 Universitas Sumatera Utara 2.4.3 Penggunaan Desinfektan Semua benda yang tersangka telah terkontaminasi dengan mikrobakteria harus didesinfeksi baik dengan cara pembakaran, perebusan, penggunaan sinar ultra violet maupun dengan desinfektan (Sandjaja, B., 1992). Seperti telah diketahui bahwa tidak semua desinfektan efektif terhadap mikobakteria (misalnya desinfektan dari golongan quarternary ammonium compound tidak efektif terhadap mikobakteria). Desinfektan yang sering digunakan disini adalah fenol 5%, kresol 1%, formalin 3%-8%, alkohol 70% dan natrium hipoklorit 0,1%-0,5%. Desinfektan ini harus diganti setiap hari dan diencerkan pada hari hendak dipakai dengan pengenceran yang tepat. Desinfektan yang telah diencerkan makin lama makin menurun daya kerjanya, oleh karena itu jangan menyimpan desinfektan ang telah diencerkan, tetapi sebaiknya simpanlah dalam keadaan pekat (Sandjaja, B., 1992). Perlu disediakan bejana berisi desinfektan sebagai penampung alat- alat kecil yang telah terpakai seperti gelas objek, pipet, tabung reaksi, aplikator dan lain sebagainya. Selain itu harus ada satu bejana khusus berisi pasir dan desinfektan untuk membersihkan sengkelit sebelum dibakar di atas nyala api. Bejana lain berisi desinfektan diperlukan sebagai tempat pembuangan materialmaterial dan zat cair lain yang terkontaminasi (Sandjaja, B., 1992). Peralatan yang terkontaminasi seperti tabung reaksi, cawan petri, tabung untuk mengkultur dan lain sebagainya harus disterilkan dengan autoklaf sebelum dicuci. Sedangkan bahan atau media lain yang telah terkontaminasi dan tidak dipakai lagi sebaiknya dibakar dalam insenerator (Sandjaja, B., 1992). 12 Universitas Sumatera Utara Dan yang tidak kalah pentingnya adalah membersihkan semua peralatan termasuk meja kerja, lemari pengaman dan lantai ruang kerja dengan desinfektan. Sebaiknya hal ini dilakukan sebagai suatu kebiasaan setelah selesai bekerja (Sandjaja, B., 1992). Sterilisasi adalah proses pemusnahan bakteri dan segala bentuk lain dari mikroorganisme yang hidup. Sterilisasi dibedakan dengan desinfeksi dalam hal destruksi atau pemusnahan semua kehidupan bakteria, sedangkan desinfeksi hanya terbatas pada bakteri yang menimbulkan infeksi (Mansjoer, 1989). 2.5 Penanaman bakteri ( Inokulasi) Pekerjaan memindahkan bakteri dari medium yang lama ke medium yang baru minta banyak ketelitian. Terlebih dahulu harus diusahakan agar semua alatalat yang ada sangkut- paut dengan medium dan pekerjaan inokulasi itu benarbenar steril ini untuk menghindari kontaminasi, yaitu masuknya mikroorganisme yang tidak kita inginkan ( Dwidjoseputro, D., 1998). a. Menyiapkan ruangan Ruang tempat inokulasi itu kecil, bersih, dan bebas angin. Dinding ruang yang basah menyebabkan butir- butir debu menempel kepadanya. Pada waktu mengadakan inokulasi, baik sekali jika meja tempat inokulasi itu didasari dengan kain basah. Pekerjaan inokulasi dapat dilakukan juga di dalam suatu kotak berkaca (ent-kas). Dalam laboratorium untuk membuat vaksin, serum dan sebagainya, udara yang masuk ke dalam ruangan itu dilewatkan saringan yang disinari dengan sinar ultra ungu. 13 Universitas Sumatera Utara b. Pemindahan dengan kawat inokulasi Ujung kawat inokulasi sebaiknya dari platina atau dari nikrom; ujung itu boleh lurus, boleh juga berupa kolongan yang berdiameter 1-3 mm. Lebih dahulu ujung kawat itu dipijarkan, sedang sisanya sampai tangkai cukup dilewatkan nyala api saja. Setelah dingin kembali, ujung kawat itu disentuhkan suatu koloni. Mulut tabung tempat pemiaraan itu dipanasi juga setelah sumbatnya diambil. Setelah pengambilan inokulum (yaitu sampel bakteri) selesai, mulut tabung dipanasi lagi kemudian disumbat seperti semula. Ujung kawat yang membawakan inokulum tersebut digesekkan pada medium baru atau pada suatu kaca- benda, kalau tujuannya memang akan membuat suatu sediaan. c. Pemindahan dengan pipet Cara ini dilakukan misalnya pada penyelidikan air- minum atau pada penyelidikan susu. Maka diambillah 1 mL contoh untuk diencerkan dengan 99 mL air-murni yang steril. Kemudian diambil 1 mL dari enceran ini untuk dicampuradukkan dengan medium agar- agar yang masih dalam keadaan cair (suhu antara 42-45oC). Setelah agar- agar membeku, maka cawan petri yang berisi piaraan baru itu disimpan dalam tempat yang aman, misalnya di dalam lemari atau di dalam laci. Penyimpanan cawan itu dilakukan dengan meletakkannya secara terbalik, yaitu permukaan medium menghadap ke bawah; ini untuk menghindari tetesnya air yang mungkin melekat pada dinding dalam tutup cawan. Piaraan yang diperoleh dengan jalan seperti tersebut diatas ini dikenal sebagai piaraan adukan. 14 Universitas Sumatera Utara Dengan cara yang demikian ini bakteri yang diinokulasikan tadi dapat menyebar luas ke seluruh medium (Dwidjoseputro, D., 1998). 2.6 Metode koagulasi plasma Dipindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 mL Brain Heart Infusion Broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 36oC selama 20-24 jam dalam inkubator. Dipersiapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 mL dan ditambahkan 0,1 mL biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam. Diinkubasi campuran plasma kelinci dengan biakan BHIB pada suhu 36 oC selama 2- 6 jam. Diamati ada tidaknya koagulasi. Dihitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 mL contoh yang memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor pengenceran) (BSN, 1992). 15 Universitas Sumatera Utara BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat Alat – alat yang digunakan dalam penelitian adalah autoklaf, batang pengaduk, bola hisap, botol semprot, botol ukur, cawan petri, gelas beaker, gelas ukur, inkubator, kompor, lemari es, mancis, mat pipet 1 mL, mat pipet 5 mL, mat pipet 10 mL, neraca analitik, penangas air, rak tabung, spidol, spiritus, tabung reaksi. 3.2 Bahan Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian adalah akuades, alkohol 96%, baird parker agar, brain heart infusion broth, buffered pepton water, bumbu rujak, egg yolk tellurite, plasma kelinci 16 Universitas Sumatera Utara 3.3 Prosedur 3.3.1 Pembuatan media a. Baird Parker Agar Ditimbang tryptone sebanyak 10 g, beef extract sebanyak 5 g, yeast extract sebanyak 1 g, litium klorida sebanyak 5 g, agar sebanyak 20 g, natrium sulfametazine sebanyak 10 g. Dimasukkan semua bahan ke dalam botol ukur dan dicukupkan dengan air suling sebanyak 1 L. Dihomogenkan bahan- bahan dengan batang pengaduk dan dipanaskan sampai larut seluruhnya. Diatur pH 6,8 lalu dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Didinginkan sampai 50oC dan secara aseptik ditambahkan emulsi egg yolk tellurite. Dihomogenkan dan kemudian dituangkan ke dalam cawan petri kira- kira 15 mL. b. Brain Heart Infusion Broth Ditimbang infus dari otak anak sapi sebanyak 200 g, pepton sebanyak 10 g, natrium klorida sebanyak 5 g, dinatrium hidrogen fosfat sebanyak 25 g, glukosa sebanyak 2 g. Dimasukkan semua bahan ke dalam gelas beaker, dicukupkan dengan air suling sebanyak 1 L. Diatur pH 7,4. Dimasukkan 5 mL ke dalam tabung reaksi lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit. c. Buffered Pepton Water Ditimbang pepton sebanyak 10 g, natrium klorida sebanyak 5 g, dinatrium hydrogen fosfat sebanyak 3,5 g, kalium dihidrogen fosfat sebanyak 1,5 gram. Dimasukkan semua bahan ke dalam gelas beaker, dilarutkan dengan 1 L air 17 Universitas Sumatera Utara suling. Diatur pH 7,0. Dimasukkan 250 mL ke dalam botol (labu) 500 mL dan 9 mL ke dalam tabung reaksi lalu disterilkan di autoklaf dengan suhu 121oC selama 20 menit. 3.3.2 Pemeriksaan bakteri a. Sterilisasi alat dan bahan Alat- alat yang digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu disterilkan sesuai dengan metode sterilisasi uap atau dengan sterilisasi panas kering. Batang pengaduk, mat pipet, cawan petri dan spreader yang telah dicuci bersih dan dikeringkan, dibungkus dengan kertas perkamen dan disterilkan dalam oven dengan suhu 170oC selama 1 jam. Untuk gelas ukur, gelas beaker, botol ukur, tabung reaksi disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit. Media (Baird Parker Agar, Brain Heart Infusion Broth, Buffered Pepton Water) yang telah ditimbang dan dilarutkan dengan akuades dapat disterilkan bersamaan dengan wadahnya yang berupa botol timbang, tabung reaksi di dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit. b. Uji dugaan Dimasukkan 25 mL sampel ke dalam media BPW sebagai pengenceran 10-1, dimasukkan masing- masing 9 mL BPW ke dalam 2 tabung reaksi, dipipet 1 mL dari pengenceran 10-1 ke tabung reaksi pertama yang berisi 9 mL BPW dan sebagai pengenceran 10-2. Dipipet 1 mL dari pengenceran 10-2 ke tabung reaksi kedua yang berisi 9 ml BPW sebagai pengenceran 10-3. Disiapkan 6 buah cawan petri dan dimasukkan kira- kira 15-20 mL BPA. Didiamkan hingga media BPA memadat lalu dipipet 0,4 mL pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam cawan 18 Universitas Sumatera Utara petri pertama. Dipipet 0,3 mL pengenceran 10-1 , dimasukkan ke dalam cawan petri kedua. Dipipet 0,3 mL pengenceran 10-1 , dimasukkan ke dalam cawan petri ketiga. Dipipet 0,4 mL pengenceran 10-2 dan dimasukkan ke dalam cawan petri keempat. Dipipet 0,3 mL pengenceran 10-2 , dimasukkan ke dalam cawan petri kelima. Dipipet 0,3 mL pengenceran 10-2 , dimasukkan ke dalam cawan petri keenam. Disebarkan merata suspensi- suspensi pengenceran pada semua cawan dengan menggunakan “spreader”. Dikeringkan permukaan agar, lalu diinkubasi di incubator dengan suhu 37oC selama 30-48 jam. Dipilih cawan petri yang mengandung koloni 20-200 dan dihitung tersangka koloni Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran cerah di sekelilingnya. Dilanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulasi. c. Uji koagulasi Dipindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 mL Brain Heart Infusion Broth lalu diinkubasi di inkubator pada suhu 37oC selama 20-24 jam. Disiapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 mL dan dipindahkan 1 ose koloni bakteri yang diduga merupakan bakteri Staphylococcus aureus ke dalamnya. Diamati ada tidaknya koagulasi dalam waktu 2-6 jam. Bila tidak terjadi kogulasi, dilanjutkan inkubasi pada suhu kamar selama 24 jam, dan diamati kembali ada tidaknya kogulasi. Dihitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 g atau 1 mL contoh yang memberikan reaksi kogulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor pengenceran) 19 Universitas Sumatera Utara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil Pengamatan Menggunakan Metode SNI 01-2897-1992 1. Pemeriksaan pada sampel Hasil pemeriksaan bakteri Staphylococcus Aureus yang dilakukan terhadap sampel bumbu rujak adalah: Tabel 4.1 Hasil Uji Bakteri Staphylococcus Aureus pada Bumbu Rujak Sampel Pengenceran Volume contoh (ml) Bumbu Rujak 10-1 1 0 0 10-2 1 0 0 Ket: BHIB Uji Koagulasi 0 - - Ratarata hasil koloni/g - 0 - - - Media BPA C1 C2 C3 C1 = Cawan pertama BPA = Baird Parker Agar C2 = Cawan kedua BHIB = Brain Heart Infusion Broth C3 = Cawan ketiga 0 (-) = Tidak terdapat koloni bakteri Staphylococcus aureus ( jumlah koloni bakteri= 0 koloni) = Tidak terjadi pertumbuhan 20 Universitas Sumatera Utara 2. Pemeriksaan pada biakan murni Hasil pemeriksaan bakteri Staphylococcus Aureus yang dilakukan terhadap biakan murni adalah: Tabel 4.2 Hasil Uji Bakteri Staphylococcus Aureus pada Biakan Murni Sampel Pengenceran Volume contoh (ml) Biakan Murni Media BPA BHIB Cawan Uji Hasil Koagulase 107 0,4 + + 108 0,4 + + Ket: Tanda contreng (+) = Pasti tumbuh = Terjadi pertumbuhan 4.2 Pembahasan Pengujian Staphylococcus Aureus pada sampel bumbu rujak dilakukan bersamaan dengan pengujian kontrol + (biakan murni). Dari hasil pengujian, terjadi pertumbuhan bakteri media BPA. Namun, tidak menunjukkan ciri-ciri koloni bakteri Staphylococcus Aureus. Pada saat dilanjutkan ke uji koagulasi, tidak terjadi penggumpalan pada plasma kelinci yang dicampurkan dengan biakan BHIB dalam jangka waktu 2-6 jam sehingga dipastikan bahwa pada sampel tidak terdapat bakteri Staphylococcus Aureus. 21 Universitas Sumatera Utara Staphylococcus Aureus diduga positif apabila tumbuh bakteri berkoloni dengan ciri- ciri berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran cerah di sekelilingnya pada media Baird Parker Agar. Sedangkan pada pengujian Kontrol + terjadi pertumbuhan bakteri berkoloni hitam mengkilat dengan lingkaran cerah di sekelilingnya sehingga dilanjutkan ke pengujian koagulasi. Pada hasil uji koagulasi, juga terjadi penggumpalan (koagulasi) pada plasma kelinci yang dicampurkan dengan biakan BHIB dalam jangka waktu 2 jam sehingga dipastikan bahwa biakan murni tersebut tepat merupakan biakan murni Staphylococcus Aureus. 22 Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a. Tidak terdapat bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak. b. Jumlah bakteri Staphylococcus aureus dalam bumbu rujak adalah 0 koloni/25 g sampel. c. Bumbu rujak layak untuk dikonsumsi. 5.2 Saran a. Diharapkan agar penguji selanjutnya dapat menggunakan metode pengujian lain untuk menguji bakteri Staphylococcus aureus seperti metode pengecatan gram. b. Diharapkan agar penguji bila menggunakan sampel rujak dalam pengujian dapat menguji juga buah- buahannya. c. Diharapkan agar penguji menggunakan beberapa sampel sejenis sebagai pembanding. 23 Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA BSN. (1992). Cara Uji Cemaran Mikroba. Jakarta: BSN.Hal.21-22. BSN. (2009). Batas Maksimum Cemaran Mikroba. Jakarta:BSN. DepKes RI. (2001). Kumpulan Modul Khusus Penyehatan Makanan Bagi Pengusaha Makanandan Minuman. Jakarta: Yayasan Pelayanan Sanitasi Lingkungan. Hal. 7. DepKes RI. (2010). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: DepKes RI. Hal.1112. Dwidjoseputro, D. (1998).Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Hal. 36-37,116-117. Irianto, K. (2006). Mikrobiologi. Jakarta: Erlangga. Hal. 44. Jiwintarum, Y., Srigede, L., dan Rahmawati, A.(2015). Perbedaan Hasil Uji Koagulase Menggunakan Plasma Sitrat Manusia 3,8%, Plasma Sitrat Domba 3,8%, dan Plasma Sitrat Kelinci 3,8% Pada Bakteri Staphylococcus Aureus. Mataram: Poltekkes. Hal. 51. Mansjoer. (1989). Antiseptika, Desinfektansia dan Sterilisasi. Jakarta: Media Aesculapius. Hal. 35. Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Hal.114-205. Sandjaja, B. (1992). Isolasi dan Identifikasi Mikrobakteria. Jakarta: Widya Medika. Hal.21-22. Setyorini, E. (2013). Hubungan Praktek Higiene Pedagang dengan Keberadaan Escherichia Coli pada Rujak yang Dijual Disekitar Kampus Universitas Negeri Semarang. Semarang: Universitas Negeri Semarang.Hal.3-5. Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control).Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal. 46. Titin, A. (2005). Pentingnya Higiene Penjamah Makanan Tradisonal. Fakultas Teknik: UNNES. Hal. 3. 24 Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Gambar alat Autoklaf Inkubator Neraca analitik Botol timbang 25 Universitas Sumatera Utara Spreader, mat pipet, dan bola hisap Botol semprot, spiritus, dan jarum ose 26 Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Gambar bahan Sampel bumbu rujak Buffered Peptone Water Brain Heart Infusion Broth Baird Parker Agar 27 Universitas Sumatera Utara Egg Yolk Tellurite Plasma Kelinci 28 Universitas Sumatera Utara Lampiran 3. Gambar hasil Hasil sampel 10-1 dan blanko Hasil sampel 10-2 29 Universitas Sumatera Utara Hasil biakan pengenceran 107 Hasil biakan pengenceran 108 Hasil biakan pengenceran 107 dan 108 30 Universitas Sumatera Utara Hasil uji koagulasi plasma kelinci pada sampel (bumbu rujak) Hasil uji koagulasi plasma kelinci pada kontrol + (biakan murni) 31 Universitas Sumatera Utara Lampiran 4. Gambar Lembar Kerja Pengujian Staphylococcus Aureus Baristand Industri Medan 32 Universitas Sumatera Utara