See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/351155046 Manajemen Motivasi Kerja Chapter · April 2021 CITATIONS READS 0 3,331 1 author: Nopriadi Saputra Binus University 114 PUBLICATIONS 76 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Digital Transformation in State-Owned Companies View project Work From Home Productivity View project All content following this page was uploaded by Nopriadi Saputra on 29 April 2021. The user has requested enhancement of the downloaded file. Reinventing Human Resources Management : Creativity, Innovation and Dynamics Penulis: Ramon Arthur Ferry Tumiwa, Ajabar, Dirvi Surya Abbas, Nancy Henrietta Jessamine Mandey, Nopriadi Saputra, Mikke R. Marentek, Zaedun Na'im, Usran Masahere, Farikhul Muafiq, Theresia N.A. Narwadan, Tiurida Lily Anita. Editor: GCAINDO Tata letak: GCAINDO Desain sampul: GCAINDO Diterbitkan melalui: Diandra Kreatif/Mirra Buana Media (Imprint Grup Penerbitan CV Diandra Primamitra Media) Anggota IKAPI No. 062/DIY/08 Jl. Melati no. 171, Sambilegi Baru Kidul Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Telepon: (0274) 2801996, Fax: (0274) 485222 Email: diandracreative@gmail.com Website: www.diandracreative.com Cetakan Pertama: 2021 Yogyakarta, Diandra Kreatif 2021 xii + 156 halaman, 150 mm x 230 mm ISBN: 978-623-323-243-2 Hak cipta © 2021 pada penulis. Hak cipta dilindungi Undang-undang. Gambar pada sampul dan awal setiap bab: Nick Tong (Unsplash). Disclaimer: Sebagai Editor, GCAINDO sebatas melakukan proofreading, cek kesalahan tulis, format tulisan, dan layout setting untuk tujuan kerapian dan artistik buku. Isi tulisan sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap Penulis Bab. GCAINDO dan Penerbit tidak bertanggung jawab atas isi tulisan setiap Penulis. 5 5 MANAJEMEN MOTIVASI KERJA Dr. Nopriadi Saputra, S.T., M.M. Working hard for something we don’t care about is called stress; working hard for something we love is called passion. — Simon Sinek 49 5.1 Pengantar Motivasi kerja merupakan hal yang sangat penting dalam setiap bidang kehidupan organisasi. Begitu seseorang termotivasi, maka dia akan terdorong untuk melakukan apa pun untuk mencapai serangkaian tujuan (Umeozor, 2018). Bahkan lebih strategis lagi Sekhar et al. (2013) menjelaskan bahwa motivasi kerja individu berpengaruh langsung terhadap performansi dan kesigapan individu maupun kelompok dan berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja organisasi. Individu yang memiliki motivasi kerja akan lebih sigap dalam pekerjaannya dan menghasilkan performansi yang jauh lebih baik dibandingkan individu yang tidak bermotivasi kerja. Bila individu tersebut mendapatkan posisi sebagai atasan, maka motivasi kerjanya akan mempengaruhi motivasi kerja para bawahan atau tim kerjanya, sehingga akhirnya kelompok menjadi lebih sigap terhadap pekerjaan dan menghasilkan kinerja tim yang tinggi. Bila semua atau sebagian besar tim kerja yang ada di dalam organisasi berkinerja dengan baik, maka tentulah akan mendongkrak kinerja organisasi secara keseluruhan. Karena arti penting dari motivasi kerja ini, maka bab ini berupa untuk membahas mengenai empat hal, yaitu: (1) perkembangan teori motivasi dewasa ini, (2) prinsip-prinsip dalam mengelola motivasi kerja, (3) kategori orang dalam organsisasi, dan (4) manajemen motivasi kerja berbasis kategori orang. 5.2 Perkembangan teori motivasi kerja dewasa ini Sebelum lebih lanjut membahas mengenai teori-terori terkait dengan motivasi kerja, maka ada baiknya untuk kita samakan persepsi terlebih dahulu mengenai apakah sebenarnya yang dimaksud dengan motivasi kerja itu. Luthans (1998) menjelaskan bahwa motivasi adalah proses yang membangkitkan, memberi energi, mengarahkan, dan menopang perilaku dan kinerja. Motivasi adalah proses manajemen untuk mempengaruhi perilaku berdasarkan pada pengetahuan tentang apa yang membuat seseorang 'berdetak'. Sedangkan Achim et al. (2013) menjelaskan bahwa motivasi kerja adalah sekumpulan keadaan kebutuhan individu yang perlu dipuaskan dan, oleh karena itu, mendorong, memicu, dan menyebabkan individu melakukan serangkaian pekerjaan untuk memuaskan mereka. Sementara itu, Kanfer et al. (2008) lebih menekankan bahwa motivasi 50 Reinventing Human Resources Management kerja merupakan sebuah proses psikologis yang berpengaruh terhadap bagaimanan upaya dan sumber daya personal dialokasikan pada suatu pekerjaan, yang menunjukkan arah, intensitas, dan persistensi tindakan dalam pekerjaan tersebut. Berdasarkan definisi dari para ahli dan peneliti terdahulu dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan: “Alasan personal mengapa individu menjalankan pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan di mana ini merupakan proses psikologis yang berlangsung dalam diri seseorang namun dapat dilihat dari arah, intensitas, dan persistensi tindakan yang dilakukan dalam pekerjaan tertentu.” Gambar 5.1 Tiga pendekatan utama dalam teori-teori motivasi kerja (Kanfer et al., 2017) Perkembangan konsep dan teori motivasi kerja telah berkembang pesat dewasa ini. Hal ini menjelaskan bahwa betapa rumit dan kompleksnya aspek psikologis manusia dan sekaligus tidak ada satu konsep atau teori pun yang mampu menjelaskan seluruh aspek dari motivasi kerja (Dinibutun, 2012). Berdasarkan studi literatur sismatik terhadap konsep, teori, dan penelitian terkait dengan motivasi kerja dalam seratus tahun terakhir ini, Kanfer et al. (2017) berhasil merangkum bahwa teori-teori motivasi yang berkembang dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan konten (content-based approach), Manajemen Motivasi Kerja 51 pendekatan proses (process-based approach), dan pendekatan konteks (context-based approach). Teori-teori motivasi kerja yang berkembang pada masa-masa awal adalah menggunakan pendekatan konten. Pembahasan mengenai motivasi kerja dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dari orang-orang yang melakukan pekerjaan. Orang-orang yang melakukan pekerjaan memiliki kebutuhan tertentu yang memotivasi mereka untuk melakukan kerja. Dengan melakukan pekerjaan, orang-orang tersebut mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan mereka. Beberapa teori motivasi kerja yang termasuk dalam pendekatna ini adalah teori hirarki kebutuhan (Maslow, 1943), teori ERG (Alderfer, 1972), teori motivasi pencapaian (McCleland, 1961), dan teori dua faktor motivasi (Herzberg, 1959). Sedangkan, teori-teori motivasi yang selanjutnya berkembang lebih mengarah kepada pendekatan proses atau process-based approach. Dalam pendekatan proses, teori-teori motivasi lebih berupaya untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya motivasi kerja yang dikaitkan dengan tujuan atau sasaran kerja. Individu yang memiliki motivasi kerja yang tinggi ditandai dengan kejelasan tujuan kerja (goal choice and goal setting) dan kesediaan untuk mengarahkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan (goal striving). Teori-teori motivasi kerja yang menggunakan pendekatan proses di antaranya adalah: expectancy theory (Vroom, 1964), goal-setting theory (Locke & Latham, 1990), theory of reasoned action (Ajzen & Fishbein, 1970), theory of planned action (Ajzen, 1991), dan self regulation theory (Bandura, 1991). Sementara itu, teori-teori motivasi kerja lainnya berkembang dengan pendekatan konteks (context-based approach). Motivasi kerja tumbuh dan berkembang dalam konteks tertentu dalam melakukan pekerjaan, seperti karakteristik pekerjaan, suasana kelompok kerja, maupun juga iklim organisasional. Sebesar apa pun insentif yang diberikan oleh perusahaan untuk memuaskan kebutuhan pekerja dan sejelas apa pun tujuan kerja yang dimiliki, cepat atau lambat akan berkurang dengan drastis bila tidak didukung oleh konteks atau lingkunga kerja yang memotivasi. Teori-teori yang berkembang dalam pendekatan ini di antaranya adalah: job characteristic theory (Hackman & Oldham, 1975), self determination theory (Deci & Ryan, 1985), dan pro-social motivation theory (Batson, 1985). 52 Reinventing Human Resources Management 5.3 Prinsip-prinsip dalam mengelola motivasi kerja Berdasarkan definisi dan teori-teori mengenai motivasi kerja yang telah kita bahas, dapat kita pahami bahwa motivasi kerja itu memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) Motivasi kerja bersifat personal Hal ini berarti bahwa alasan seseorang termotivasi itu berbedabeda. Pada orang yang berbeda, memiliki alasan yang berbeda pula. Seseorang melakukan pekerjaan dengan baik bisa jadi karena ingin mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Tetapi orang lain, melakukkannya karena dia ingin menghindari sesuatu yang tidak diinginkannya. Seseorang melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi orang lain melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Beda orang, beda alasan, beda kebutuhanan yang ingin dipuaskan melalui pekerjaan yang dilakukannya. (2) Motivasi kerja merupakan proses internal Karena merupakan proses psikologis yang terjadi dalam diri seseorang, maka seringkali kita tidak dapat mengetahui seberapa tinggi atau rendah motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan. Kita hanya memprediksi tinggi rendahnya motivasi seseorang melalui perilaku yang dia tampilkan, baik dalam hal arah, intensitas, maupun persistensi tindakan. Seseorang yang diprediksi memiliki motivasi kerja yang tinggi bila dia menerima atau bersedia melakukan pekerjaan yang diinstruksikan (arah tindakan), mengerjakan pekerjaan tersebut dengan melakukan tindakan yang intensif atau masih atau terus menerus (intensitas tindakan), dan melakukannya sampai akhirnya seluruh pekerjaan terlaksanakan dengan tuntas (persistensi tindakan). Sementara mereka yang memiliki motivasi kerja yang rendah, tercerminkan dari upayanya untuk menolak atau memindahkan tanggung jawab atas pekerjaan (arah tindakan), melakukan pekerjaan dengna aktivitas-aktivitas yang sangat sedikit dan justru tidak berkaitan dengan pekerjaan (intensitas aktivitas), dan dengan sengaja menundanunda atau memperlambat pekerjaan sehingga akhirnya tidak tuntas dikerjakan (persistensi tindakan). Dengan demikian, mengelola motivasi kerja pada hakikatnya adalah mengubah arah, intensitas, dan persistensi Manajemen Motivasi Kerja 53 dari tindakan individu dalam bekerja yang awalnya bermotivasi rendah menjadi bermotivasi tinggi. (3) Motivasi kerja bersifat situasional atau kontekstual Karena motivasi bersifat personal dan berlangsung secara internal, maka banyak sekali kondisi atau situasi yang berpengaruh. Jika tadi dikatakan bahwa orang yang berbeda memiliki motivasi yang berbeda, maka pada orang yang sama pun namun berbeda situasi atau konteksnya maka motivasinya juga akan berbeda. Ambil contoh, seseorang mendapatkan instruksi untuk membuat laporan kerja pada jam 02 siang hari, maka motivasinya akan berbeda dengan instruksi yang sama pada jam 02 dini hari. Pekerjaan yang sama dari atasan yang sama kepada orang yang sama, namun waktunya berbeda maka motivasi kerja pun akan berbeda. Ada situasi atau keadaan tertentu, seseorang memiliki motivasi kerja yang tinggi. Namun ada kalanya, pada keadaan lain, orang tersebut memiliki motivasi yang rendah. (4) Motivasi kerja bersifat sosial Selain bersifat personal, internal, dan situasional; maka karakteristik keempat dari motivasi kerja adalah bersifat sosial. Artinya pengaruh hubungan sosial dengan orang lain dalam tempat kerja sangat mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Motivasi dari rekan kerja, atasan, dan bawahan cepat atau lambat akan berpengaruh kuat terhadap motivasi kita secara pribadi. Begitu pula dengan motivasi kerja kita akan sangat berpengaruh terhadap motivasi orang-orang yang bekerja bersama kita. Dengan memperhatikan keempat karakteristik motivasi kerja tersebut di atas, maka dalam mengelola motivasi kerja beberapa prinsip berikut adalah penting untuk diperhatikan: Prinsip pertama: “Motivasilah diri sendiri terlebih dahulu!” Karena motivasi kerja itu bersifat sosial dan menular, maka sulit sekali bahkan mustahil bagi seseorang untuk dapat memotivasi orang lain jika dirinya sendiri memiliki motivasi kerja yang rendah. Seorang atasan yang motivasi kerjanya pada level lima akan sangat sulit bahkan mustahil bila mengharapkan bawahan atau tim kerjanya untuk bermotivasi pada level delapan atau sembilan. Karena itu, sebelum kita memotivasi orang lain, maka kita punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah 54 Reinventing Human Resources Management memotivasi diri kita sendiri. Pastikan kita memiliki motivasi yang melampaui orang lain yang kita inginkan mereka termotivasi. Kalau kita menginginkan tim kerja kita termotivasi level delapan, maka pastikan kita sudah memiliki level sembilan atau bahkan sepuluh terlebih dahulu sebelum memotivasi mereka. Prinsip kedua, “Memotivasi bukanlah dengan mulut”. Ketika seorang atasan mendapati anggota tim kerja kita menunjukkan tandatanda motivasi rendah, maka apa yang cenderung untuk dia lakukan? Ya, benar. Pada umumnya atasan tersebut akan langsung memberikan nasehat, arahan, wejangan, atau petuah untuk menjadi lebih termotivasi lagi. Bahkan terkadang, karena sudah hilang kesabaran, maka sang atasan pun cenderung untuk memarahi atau memaki anggota tim kerjanya. Hal ini sebenarnya tidak menaikkan motivasi tim kerja yang rendah menjadi motivasi kerja yang lebih tinggi. Justru akan membuat motivasi kerja menjadi semakin buruk, bahkan mencederai hubungan personal antara atasan dan bawahan yang tidak termotivasi tersebut. Memotivasi itu bukan menggunakan mulut. Nasehat atau wejangan atau petuah itu terkadang berpengaruh negatif terhadap motivasi. Apa lagi tidak dibutuhkan oleh orang yang mendapatkan nasehat. Nasehat yang efektif adalah yang “delivery by order”. Nasehat yang diminta oleh orang yang akan menerimanya. Memberikan nasehat kepada orang yang tidak membutuhkannya justru akan menghasilkan suasana hati yang negatif atau tidak menyenangkan. Prinsip ketiga, “Memotivasi yang efektif itu dilakukan dengan mata”. Mata adalah kekuatan. Bahkan ketika kita tengah berbicara dengan seseroang, lalu kita cegah agar mata kita tidak menatap atau menghadap orang tersebut selama berbicara, maka otomatis motivasi orang tersebut dalam berbicara akan menurun drastis. Anda bisa coba lakukan sebagai suatu eksperimen sosial. Dengan membarikan mata kita apalagi dilengkapi dengan anggukan dan parafrase yang relevan, maka lawan bicara kita akan bertambah bersemangat untuk bercerita. Berikanlah mata atau perhatian kepada anggota tim kerja yang mengalami penurunan motivasi kerja Cobalah cari tahu, dengarkan, dan pahami keadaan atau situasi yang tengah dihadapinya. Apa saja yang menjadi penyebab utama dari menurunnya motivasi kerja. Terkadang hal ini tidak mudah. Karena motivasi bersifat internal, terjadi di dalam diri seseorang. Seringkali orang lain tidak mengetahui apa yang menyebabkan motivasi kerja menurun. Manajemen Motivasi Kerja 55 Kebutuhan apa pula yang sejatinya tidak terpuaskan, namun dia tidak berhasil mendapatkannya melalui pekerjaan saat ini. Karena itu, untuk dapat memotivasi orang lain, maka kita harus memperhatikan orang tersebut. Kita luangkan waktu dan berusaha untuk terbuka mendengarkan apa yang mereka alami, apa yang mereka butuhkan dan inginkan. Dengan demikian kita dapat melakukan sesuatu secara efektif untuk meningkatkan motivasinya. Prinsip keempat, “Memotivasi itu adalah upaya untuk menyelaraskan”. Semakin seseorang mendapatkan apa yang dia inginkan atau cita-citakan dalam organisasi, maka dia akan semakin termotivasi. Karena itu setelah memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan individu, apa yang individu cari dari organisasi dalam bekerja, maka langkah selanjutnya adalah mempertemukan tujuan individu dengan tujuan organisasi. Semakin semakin besar irisan antara tujuan individu dan tujuan organisasi, maka semakin termotivasi orang tersebut. Dengan melakukan pekerjaan maka tujuan organisasi tercapai, dengan tercapainya tujuan organisasi maka tercapai pula tujuan individu. Namun sayangnya, tidak semua yang menjadi kebutuhan atau tujuan individu dapat dipenuhi atau diselaraskan dengan tujuan organisasi. Karena itu ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, apa yang individu ingin, organisasi dapat sediakan. Namun anggota tim tidak mengetahuinya. Dalam kondisi yang demikian, seorang atasan harus memberi tahu kepada tim kerja dan menjelaskan prosedur atau mekanisme untuk mendapatkannya. Kemungkinan kedua, yang yang individu cari atau butuhkan, disediakan secara terbatas oleh organisasi. Maka atasan dapat membantu anggota tim untuk mempersiapkan diri agar dapat berkompetisi mendapatkan kesempatan yang terbatas tersebut. Kemungkinan ketiga, apa yang diinginkan oleh individu tidak tersedia dalam organisasi. Maka atasan harus memberi tahu agar individu dapat mencari yang diinginkan tersebut di organisasi lain atau memodifikasi keinginan tersebut agar tetap berada dalam organisasi. 5.4 Mengelola motivasi kerja berdasarkan kategori orang Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa motivasi kerja itu bersifat personal, internal, situasional, dan sosial; maka dalam pengelolan motivasi kerja dari orang-orang dalam organsisasi sangat memperhatikan karakteristik orang-orang tersebut. Karena itu penting untuk memahami 56 Reinventing Human Resources Management kategori orang dalam organisasi. Walaupun dari aspek kemanusiaan, orang-orang tersebut adalah sama. Namun dari perspektif organisasi atau perusahaan, mereka memiliki karakteristik pekerjaan dan situasi kerja yang berbeda. Karena itu mereka membutuhkan pengelolaan motivasi kerja yang berbeda pula untuk mendapatkan hasil yang optimal. Orang-orang di dalam organisasi dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu: tenaga kerja (workforce), sumber daya manusia (human resource), modal manusia (human capital), dan talenta (talent). Tenaga kerja memperlakukan orang dalam organisasi sebagai sumber energi fisik-mekanik semata. Tenaga kerja melakukan pekerjaanpekerjaan yang membutuhkan kekuatan dan daya tahan fisik secara dominan. Kepatuhan terhadap peraturan kerja dan serta kejujuran dalam melaksanakan pekerjaan merupakan faktor utama yang menentukan kinerja orang tersebut. Sedangkan, sumber daya manusia memandang orang dalam organisasi sebagai makluk sosial yang memiki kekuatan tidak hanya dari aspek fisik, namun juga dari aspek non fisik dan hubungan sosial merupakan faktor yang penting terhadap hasil kerja. Keterampilan bekerja (terutama menggunakan peralatan mesin dan teknologi) serta motivasi kerja merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja individual. Baik tenaga kerja maupun sumber daya manusia, keduanya mengandalkan kemampuan fisik dan keterampilan teknis individual dalam menghasilkan prestasi kerja. Sementara itu, modal manusia atau talenta lebih mendayagunakan kemampuan untuk berkoordinasi, bekerja-sama, atau pun berkolaborasi untuk mendapatkan hasil kerja kolektif yang jauh lebih baik. Modal manusia atau human capital merupakan sumber pertumbuhan organisasi. Mereka mengembangkan program-program kerja yang mampu mendatangkan banyak manfaat (generating revenue ataupun saving cost) yang jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan atas program tersebut. Modal manusia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendorong produktivitas sekaligus profitabilitas dari kelompok atau tim kerjanya. Sedangkan talenta merupakan sumber daya saing organisasi. Talenta memiliki kemampuan kerja yang unggul, tidak hanya pada level organisasi tetapi juga pada level yang lebih luas—level industri, regional, bahkan global. Dengan keberadaan talenta dalam organisasi, perusahaan menjadi lebih unggul dibandingkan perusahaan lain. Begitu pun sebaliknya, bila talenta keluar atau resign; organisasi Manajemen Motivasi Kerja 57 mengalami kemunduran secara drastis dalam kancah persaingannya. Talenta selain memiliki kemampuan berkinerja tinggi juga memiliki potensi atau kemampuan berkembangan yang sangat besar sehingga dapat menghadapi berbagai perubahan dan tantangan baru. Untuk dapat memahami perbedaan kategori orang dalam organisasi, dapat diilustrasikan pada sebuah organisasi rumah sakit. Rumah sakit untuk efektif menjalankan operasionalnnya membutuhkan petugas kebersihan, petugas keamanan, perawat, ahli gizi, apoteker, analis laboratorium, petugas rontgen, petugas administrasi, dokter jaga, dan dokter spesialis. Petugas kebersihan dan keamanan merupakan tenaga kerja. Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh petugas tersebut didominasi oleh tenaga fisik. Sedangkan perawat, analis laboratorium, apoteker, ahli gizi, petugas administrasi, dan petugas rontgen adalah sumber daya manusia. Pekerjaan yang mereka lakukan tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga pengetahuan dan keahlian teknis tertentu. Sementara dokter dan dokter spesialis adalah modal manusia, karena mereka mampu melakukan pekerjaan dan program-program yang dapat menghasilkan pendapatan atau manfaat yang melampaui biaya yang harus organisasi keluarkan. Sedangkan dokter spesialis yang menyebabkan pasien datang berobat ke rumah sakit tersebut adalah talenta. Karena keberadaan dokter spesialis tersebut rumah sakit menjadi lebih unggul dibandingkan rumah sakit lainnya. Tabel 5.1 Kategori orang dalam organisasi 58 Reinventing Human Resources Management Sekhar et al. (2013) melakukan studi literatur mengenai motivasi kerja dan mereka merekomendasikan usulan pengelolaan motivasi kerja berdasarkan rentang karir pengawai. Untuk pegawai pada awal karir (usia 20–40 tahun), motivasi kerja dapat dikelola dengan memperhatikan insentif keuangan, pelatihan, job security, rekognisi, penghargaaan, job transfer, kondisi kerja, dan kepuasan kerja. Sementara untuk pegawai pada akhir karir (usia lebih dari 55 tahun) akan lebih termotivasi bisa diperhatikan pencapaian, rekognisi, kesempatan sosial, dan kepuasan kerja. Dari usulan ini, terlihat bahwa semakin senior pegawai dalam karirnya, semakin sedikit opsi yang benar-benar efektif untuk membangkitkan dan menjaga motivasi kerjanya. Berbeda dengan pegawai pada masa-masa di awal karir, mereka lebih termotivasi dengan insentif finansial dan pelatihan. Sementara kepuasan kerja, merupakan hal yang efektif untuk memotivasi pegawai pada sepanjang karirnya baik di awal, pertengahan, maupun di akhir karirnya. Gambar 5.2 Mengelola motivasi kerja berdasarkan karir kerja Tulisan ini berupaya untuk memberikan usulan pengelolaan motivasi berdasarkan kategori manusia dalam organisasi. Karena perbedaan karakteristik pekerjaan dan kondisi kerja yang dihadapi maka membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam motivasi kerja. Dalam Manajemen Motivasi Kerja 59 pengelolaan motivasi untuk kategori tenaga kerja dan sumber daya manusia, pendekatan konten lebih relevan untuk digunakan. Pendekatan konten memperhaikan kebutuhan apa yang dipuaskan. Teori hirarki kebutuhan (Maslow, 1943) menjelaskan bahwa manusia dalam bekerja memiliki lima tingkat kebutuhan yang butuh untuk dipuaskan, yaitu: kebutuhan dasar fisiologis (physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (safety need), kebutuhan untuk diterima secara sosial (social need), kebutuhan harga diri (esteem need) dan kebutuhan untuk mengaktualisasi diri (self actualization). Teori hirarki kebutuhan ini membantu menjelaskan mengenai apa yang orang cari dari bekerja. Kebutuhan apa yang mereka butuhkan untuk dipuaskan sehingga mereka melakukan pekerjaan. Jika suatu kebutuhan sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang lebih tinggi menjadi motivator mereka dalam bekerja. Gambar 5.3 Pendekatan konteks dalam mengelola motivasi Pada awalnya seseorang bekerja untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti: makan, tempat tinggal, dan pakaian. Setelah kebutuhan itu terpenuhi, orang bekerja untuk mencari keamanan, keselamatan, dan kepastian kerja. Awalnya mereka bersedia melakukan pekerjaan yang berisiko dan tidak pasti untuk memenuhi kebutuhan dasar. Begitu kebutuhan dasar dipenuhi, mereka butuh 60 Reinventing Human Resources Management pekerjaan yang lebih tidak berisiko, lebih aman, dan lebih pasti. Begitu kebutuhan rasa aman terpenuhi, mereka akan bergerak lagi mencari pekerjaan atau tempat kerja yang membuat mereka bisa diterima oleh kelompok sosial tertentu. Mereka butuh untuk dianggap sama atau setara dengan orang-orang lain. Setelah kebutuhan sosial terpenuhi mereka butuh pekerjaan yang meningkatkan harga diri atau prestige mereka. Tidak hanya diterima oleh masyarakat luas, tetapi juga diakui dan dihargai oleh masyarakat luas. Setelah kebutuhan harga diri itu terpenuhi, mereka butuh pekerjaan yang memberikan mereka makna atau arti tertentu. Mereka butuh pekerjaan yang memberi kesempatan kepada mereka untuk bisa memberi andil besar dalam perubahan dan peradaban masyarakat. Teori ERG (Alderfer 1972) dan Herzberg (1959) menyederhanakan konsep hirarki kebutuhan Maslow (1943). Alderfer (1973) memandang bahawa kebutuhan manusia itu hanya tiga tingkatan saja, yaitu: kebutuhan untuk menjamin keberadaan hidupnya (existence), kebutuhan untuk terhubungkan dengan orang-orang di sekitarnya (relatedness), dan kebutuhan untuk tumbuh berkembang (growth). Demikian pula dengan Herzberg (1959) yang justru memandang bahwa semua pemenuhan kebutuhan tersebut hanya berdampak pada dua hal saja, yaitu: mengurangi ketidakpuasan (hygene factors) dan menambah kepuasan (motivator). Berdasarkan ketiga teori motivasi tersebut, maka dalam mengelola motivasi kerja pada tenaga kerja (workforce), organisasi dapat lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan menengah yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan sosial (Maslow, 1943) atau pada kebutuhan untuk menjaga keberadaan hidup dan kebutuhan untuk terhubung dengan lingkungan sosial (Alderfer, 1972), atau lebih dominan pada hygiene factor (Herzberg, 1959). Sedangkan pada sumber daya manusia (human resource), pengelolaan motivasi kerja lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi (Maslow, 1943) atau pada kebutuhan akan keterhubungan dengan lingkungan sosial dan kebutuhan untuk tumbuh berkembang menjadi lebih baik lagi (Alderfer, 1972) atau lebih dominan untuk meningkatkan kepuasan kerja daripada mengurangi ketidakpuasan kerja (Herzberg, 1959). Manajemen Motivasi Kerja 61 Sedangkan untuk mengelola motivasi pada kategori modal manusia atau human capital, pendekatan berbasis proses (process-based approach) lebih relevan untuk digunakan. Pendekatan proses lebih memperhatikan bagaiman proses motivasi kerja itu ditumbuhkan, ditingkatkan, dan dipertahankan. Expectancy theory (Vroom. 1964) dan goal setting theory (Locke & Latham, 1990). Teori ekspektansi menjelaskan bahwa motivasi merupakan fungsi dari persepsi terhadap hubungan antara upaya yang dicurahkan untuk mencapai suatu kinerja tertentu dengan ketersediaan penghargaan bila kinerja itu tercapai. Motivasi merupakan fungsi dari expectancy, instrumentality, dan valence. Expectancy merupakan persepsi individu mengenai seberapa mungkin dirinya mampu menjalankan tugas diberikan. Instrumentality adalah persepsi individu mengenai seberapa mungkin tugas-tugas yang sedang dikerjakan dapat memenuhi tingkat kinerja yang diinginkan. Sedangkan, valence merupakan persepsi individu seberapa mungkin pencapaian terhadap target kinerja tersebut mendapatkan penghargaan yang memuaskan. Sedangkan goal setting theory (Locke & Latham, 2006) menjelaskan bahwa pertumbuhan usaha (venture growth) terjadi karena adanya upaya untuk menetapkan dan mencapai sasaran (goals). Penetapan dan pencapai sasaran tersebut terjadi karena visi dari organisasi terkomunikasikan dengan baik (communicated vision) dan keyakin diri dari para pegawai bahwa sasaran tersebut mungkin untuk dicapai (self-efficacy). Dan ketiga hal tersebut (communicated vision, goals, dan self-efficacy) sangat dipengaruhi oleh kecintaan akan pekerjaan (passion) dan juga kegigihan (tenacity). Berdasarkan kedua teori tersebut (expectancy theory dan goal setting theory) untuk mengelola motivasi kerja dari kategori modal manusia maka penting untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) Sasaran individu didorong agar sejalan dengan sasaran organisasi. Individu harus diberitahu mengenai apa yang organisasi harapkan untuk mereka. (2) Kriteria kinerja yang jelas sehingga dapat dikomunikasikan kepada pegawai dan diperjuangkan oleh pegawai tersebut. (3) Keyakinan diri (self-efficacy) akan sangat menentukan motivasi kerja. Pilihlah pegawai yang kompeten dan atau kembangkanlah 62 Reinventing Human Resources Management kemampuan dan keyakinan pegawai sehinga percaya diri dan yakin untuk mencapai target kerja yang diharapkan. (4) Sampaikan informasi pencapaian secara berkala sehingga dapat menjadi umpan balik sekaligus pemicu pegawai untuk terus berkinerja. (5) Pastikan ketersediaan penghargaan yang dapat memuaskan pegawai ketika mereka melakukan pencapaian target yang diberikan. (6) Kembangkan kecintaan akan pekerjaan (passion) dan juga kegigihan dalam menghadapi kegagalan atau pun kesalahan. Gambar 5.4 Keterkaitan antara pertumbuhan organisasi dan sasaran individu (Locke & Lathan, 2006) Karena talenta merupakan sumber daya saing perusahaan yang memiliki kinerja unggul dan potensi berkembang yang sangat luas, maka mengelola motivasi kerja para talenta lebih relevan mengggunakan pendekatan konteks. Organisasi menciptakan konteks pekerjaan baik itu karakteristik pekerjaan, pengaruh tim kerja, dan juga budaya organisasi yang dapat membuat talenta tersebut betah atau “engaged” baik dengan organisasi. Job characteristic theory yang dikembangkan oleh Hackman & Manajemen Motivasi Kerja 63 Oldham (1975) dapat digunakan sebagai acuan dalam mengelola motivasi kerja para talenta. Gambar 5.5 Teori karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham (1975) menjelaskan bahwa motivasi kerja yang tinggi merupkan kombinasi kepuasan atas pekerjaan, efektivitas pekerjaan, dan pertumbuhan yang dialami individu. Motivasi kerja tersebut tersusun atas kondisi psikologis yang berupa rasa kebermaknaan akan pekerjaan (meaningfulness of the work), rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja (responsibility for the outcomes) dan rasa memahami sepenuhnya akan hasil aktual dari pekerjaan (knowledge of actual result of work). Rasa kebermaknaan tersebut tercipta karena pekerjaan yang dijalani memiliki karakteristik inti berupa: keterampilan yang beragam (skill variety), identitas tugas (task identity), dan signifikasi pekerjaan (task significance). Ada pun rasa bertanggung jawab itu terbentuk karena pekerjaan memiliki karakteristik inti yang berupa memberi kebebasan untuk mengatur segalanya terkait pekerjaan (autonomy). Sedangkan rasa memahami sepenuhnya terjadi karena pekerjaan memiliki karakteristik inti berupa umpan balik. Tersedianya umpan baik yang memadai terhadap hasil pekerjaan. Kareaa itu untuk memotivasi para talenta di dalam 64 Reinventing Human Resources Management organisasi, maka penting untuk diperhatikan agar pekerjaan atau tugas yang diberikan tersebut berupa: 1. memberikan penugasan yang berupa kombinasi dari berbagai pekerjaan (combining task); 2. mendapatkan kesempatan untuk melakukan pengembagan unitunit kerja baru secara alami (forming natural work units); 3. memberikan kesempatan untuk membangun hubungan dengan para pelanggan atau klien (establishing client relationships); 4. memberikan tantangan yang lebih berat secara vertikal (vertically loading job); dan 5. membuka saluran-saluran untuk umpan balik terhadap hasil pencapaian (opening feedback channel). Demikianlah beberapa saran dan usulan dalam pengelolaan motivasi kerja dalam organisasi ini disampaikan. Karena motivasi kerja ini bersifat personal, internal, situasional dan sosial, maka pengelolaannya sangatlah beragam dan banyak sekali pendekatan yang dapat dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk memberikan usulan bagaimana mengeloal motivasi kerja berdasarkan kategori orang dalam organisasi. Mengelola motivasi orang-orang yang dikategorikan sebagai tenaga kerja lebih berorientasi pada pendekatan konten, di mana memperhatikan pemenuhan kebutuhan pada level dasar sampai menengah. Sementara pada orang-orang yang dikategorikan sebagai sumber daya; lebih memperhatikan pada pemenuhan kebutuhan di level menengah dan tinggi. Sementara untuk orang-orang dalam kategori modal manusia, pendekatan proses yang memperhatikan bagaimana motivasi kerja itu dikaitkan dengan pencapaian sasaran individu yang diselaraskan dengan sasaran organisasi. Sedangkan pada orang-orang yang dikategorikan sebagai talenta yang menjadi sumber keunggulan organisasi; pendekatan konteks lebih relevan. Memotivasi talenta adalah dengan memperhatikan karakteristik pekerjaan yang diberikan sehingga merasa merasa terpuaskan akan pekerjaan, efektivitas pekerjaan, dan pertumbuhan yang dicapai. Manajemen Motivasi Kerja 65 Daftar Pustaka Achim, I. M., Dragolea, L., & Balan, G. (2013). The importance of employee motivation to increase organizational performance. Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica, 15(2), 685-691 Ajzen, I., & Fishbein, M. (1970). The prediction of behavior from attitudinal and normative variables. Journal of experimental social Psychology, 6(4), 466487. Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational behavior and human decision processes, 50(2), 179-211. Alderfer, C. P. (1972). Existence, relatedness, and growth: Human needs in organizational settings. Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. Organizational behavior and human decision processes, 50(2), 248-287. Batson, C. D. (1987). Prosocial motivation: Is it ever truly altruistic?. Advances in experimental social psychology, 20, 65-122. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). The general causality orientations scale: Selfdetermination in personality. Journal of research in personality, 19(2), 109134. Dinibutun, S. R. (2012). Work Motivation: Theoretical Framework. GSTF Business Review (GBR), 1(4), 133 Hackman, J. R., & Oldham, G. R. (1975). Development of the job diagnostic survey. Journal of Applied psychology, 60(2), 159. Hackman, J. & Oldham, G. R. (1980) Work redesign. Reading, Mass. Kanfer, R., Chen, G., Pritchard, R. D., & Pritchard, R. D. (2008). The three C’s of work motivation: Content, context, and change. Work motivation: Past, present, and future. New York: Routledge, Taylor & Francis Group. Kanfer, R., Frese, M., & Johnson, R. E. (2017). Motivation related to work: A century of progress. Journal of Applied Psychology, 102(3), 338. Luthans, F. (1998). Organisational behaviour 8th Edition. Locke, E. A., & Latham, G. P. (1990). A theory of goal setting & task performance. Prentice-Hall, Inc. Locke, E. A., & Latham, G. P. (2006). New directions in goal-setting theory. Current directions in psychological science, 15(5), 265-268. Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological review, 50(4), 370. McClelland, D. C., & Mac Clelland, D. C. (1961). Achieving society (Vol. 92051). Simon and Schuster. Sekhar, C., Patwardhan, M., & Singh, R. K. (2013). A literature review on motivation. Global business perspectives, 1(4), 471-487. Umeozor, S. N. (2018). Motivation and Human Resources in Libraries. International Journal of Knowledge Content Development & Technology, 8(3), 29-40. Vroom, V. H. (1964). Work and motivation View publication stats