MASUKNYA KEKRISTENAN DI MALUKU Sesudah tahun 1547 Misi berkembang sampai meliputi wilayah yang luas di Indonesia Timur. Maluku dijadikan daerah kerja Serikat Yesus dan Xaverius sebagai pembesar orang-orang Yesuit di Asia. Selama abad ke 16 Gereja Kristen di Maluku banyak mengalami penderitaan akibat adanya pergolakan politis secara terus-menerus. Di Maluku Utara pada tahun 1570 masa titik balik dalam perkembangan gereja, jemaat-jemaat mengalami beberapa kali penganiayaan yang berat lalu keadaan dipulihkan kembali. Pada tahun 1547-1570, Ternate menjadi pusat kegiatan Misi sekaligus tempat menetapnya para petinggi-petinggi Yesuit yang bekerja di Maluku. Penduduk Ternate rata-rata mayoritas islam. Tetapi pulau Ternate sendiri juga merupakan pangkalan orang-orang Portugis di Maluku. Misi tetap terikat pada kekuasaan negara Portugis, yang berarti bahwa akan ada keterlibatan persaingan kekuasaan politik ddidalamnya. Sultan yang memerintah pada masa itu ialah Sultan Hairun (1535-1570) yang ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang meliputi seluruh Maluku dan daerah-daerah sekitarnya termasuk kerajaan-kerajaan Islam yang lain. Kedatangan orang-orang Portugis dianggap sebagai ancaman. Sultan Hairun tidak suka jika ada daerah yang menerima agama kristen dan menjadi sekutu Portugis. Di lain pihak, Sultan Hairun juga perlu melakukan kerja sama dengan orang Portugis supaya mereka tidak memindahkan pangkalan mereka ke pulau lain. Ketika Portugis dan Ternate rujuk, ketiga penguasa islam yang lain memusuhi orang-orang Portugis dan menghambat Misi serta anak buahnya. Tetapi apabila Sultan Ternate dan tamunya saling menghantam, raja-raja islam itu bersikap ramah terhadap orang-orang Portugis termasuk Misi mereka. Akibatnya, Misi mendapat serangan bertubi-tubi baik dari Ternate maupun musuh-musuhnya. Namun demikian, jemaat-jemaat pada zaman itu masih dapat maju. Apabila merasa terancam oleh Ternate, daerah-daerah lain baik yang beragama Islam maupun yang menganut agama suku, mencari persahabatan orang-orang Portugis guna mengimbangi kuasa Hairun. Dan jalan yang terbaik guna menjalin persahabatan dengan orang-orang Portugis adalah dengan menerima agama mereka. Dengan demikian para Misionaris di Ternate terus-menerus mendapat permintaan supaya datang melayankan baptisan di daerah lain. HALMAHERA Perkembangan Misi yang paling menonjol dan memberikan pengharapan terjadi di Halmahera. Orang-orang kristen dikumpulkan kembali dan jumlah kampung-kampung Kristen di Halmahera Utara dan Morotai mengalami peningkatan. Lalu pada tahun 1557 muncul krisis, dimana panglima Portugis mencuri cengkeh yang merupakan milik Sultan Hairun, dan ketika Hairun melakukan perlawanan ia ditahan. Namun Hairun lantas dibebaskan oleh orang-orang Portugis yang tidak setuju dengan tindakan panglimanya. Tetapi Hairun tidak dapat melapakan penghinaan yang menimpa dirinya. Lalu di seluruh kepulauan Maluku orang-orang Portugis dan jemaat-jemaat kristen dipersulit kehidupannya. Orang-orang Kristen di Halmahera dipaksa masuk Islam. Dan akibat gesekan ini, menewaskan kepala suku Jaoa dari Mamuya. Adanya krisis ini pun tidak dapat menahan perkembangan Misi di Maluku Utara. Para Misionari yang telah dibunuh atau diusir diganti dan jemaat-jemaat yang telah dirusak dibangun kembali. Pada tahun 1565 jumlah kampung Kristen ada 47 kampung dengan total 80.000 jiwa. Misi dapat menetap juga di pulau-pulau yang dikuasai raja Islam. Para penguasa setempat mula-mula menghambat orang-orang Kristen. Tetapi ketika hubungan antara orang Portugis dengan Ternate terjadi ketegangan dan ditambah kedudukan Sultan semakin kuat, maka sikap mereka berubah, Raja Bacan dibaptis begitu juga beberapa orang keluarga Raja Tidore. Dan mereka semua diberi nama-nama Portugis. PUNCAK KEJAYAAN SAMPAI BERAKHIRNYA Pada tahun 1569 Gereja Kristen di Maluku Utara mencapai puncak kejayaannya. Akan tetapi jemaat-jemaat dilanda krisis baru. Menurut para Misionaris, krisis bermula ketika Sultan Hairun melakukan penghambatan terhadap orang-orang kristen di Halmahera Utara (1568/1569). Orang Portugis di Ternate hanya bisa diam saja. Lalu tanpa diduga, panglima mereka melakukan tidakan yang kurang bijaksana. Ia mengadakan perjanjian damai dengan sultan dan pada esok hari, Hairun dibunuh atas Panglima (1570). Akibatnya seluruh daerah Maluku dilanda perang. Dan benteng Portugis di Ternate diputuskan hubungannya dengan dunia luar dan akhirnya terpaksa menyerah. Orang-orang Portugis yang tersisa menyingkir ke Ambon dan Tidore. Tidore pun menjadi pusat baru kekuasaan Portugis di Maluku Utara sekaligus menjadi pusat kegiatan Misi di sana, Dari kejadian tersebut, Misi di Maluku Utara hampir lumpuh. Para pekerja dari Eropa tinggal beberapa orang saja, Halmahera terpaksa ditinggalkan. Orang-orang Kristen di sana dengan sukarela atau terpaksa mengingkari imannya. Gereja di Halmahera hancur. Di Bacan dan Tidore masih terdapat jemaat-jemaat kecil selama beberapa puluh tahun. Sejak tahun 1580 negara Spanyol menjadi sekutu Portugal dan bersama-sama mereka berhasil mengalahkan Ternate kemenangan ini membuahkan hasil berjalannya kembali Misi di Halmahera (1606-1613). Tetapi sekarang orang-orang yang dibaptis berjumlah ratusan bukan ribuan. Lalu pada tahun 1613 Misionaris di Halmahera terpaksa mengungsi lagi. Kekristenan di pulau itu pun hilang dan pekabaran injil baru dimulai kembali pada abad 19. Para Misionaris meninggalkan Halmahera dikarenakan muculnya kekuasaan baru di pulau Maluku oleh Belanda. Belanda merebut Ambon pada tahun 1605. Hal ini mendesak orang Spanyol dan Portugis untuk ke utara. Akan tetapi orang-orang Belanda tidak menggunakan kehadiran mereka di Maluku Utara guna mengabarkan injil. Orang0orang kristen di Halmahera dibiarkan saja. Dan di Ternate mereka mengadakan perjanjian dengan Sultan yang intinya “orang Belanda yang membelot ke pihak Ternate akan diserahkan ke pemerintahan Belanda di Ternate dan pembelot dari pihak Ternate akan dikembalikan kepada sultan.” Kebijakan itu akan memiliki arti bahwa seorang Islam yang akan masuk Kristen harus diserahkan kepada sultan. Pemerintah VOC tidak merasAa terpanggil mengabarkan injil kepada orang yang bukan kristen bila hal itu gtidak sesuai dengan kepentingan dagang. Akibat sikap ini jemaat kristen protestan di Ternate dan Maluku Utara hanya merupakan “jemaat benteng” saja. Anggotanya terdiri dari orang Belanda totok pegawai dan serdadu kompeni, orang Maluku asli, dan orang-orang “Mardika” orang-orang Mardika (Mardjikers) merupakan orang-orang Asia dan Indonesia yang berasal dari daerah lain yang beragama Kristen. Sejarah jemaat-jemaat berlangsung hingga abad 18 sampai sekarang. Ada beberapa peristiwa menarik misalnya, ada pendeta orang Belanda di Ternate yang berani mengecam dosa-dosa pembesar VOC. Oleh perbuatannya, ia ditahan dan di kirim ke Batavia (lantas pendeta ini menjadi pekabar injil di Taiwan). Jemaat-jemaat protestan ini berdiri di samping jemaat Katolik Spanyol/Portugis di Ternate dan Tidore. Di kalangan mereka, kesadaran tentang tugas penyiaran gama kristen sangat tinggi. Beberapa orang Ternate dan Tidore dibaptis. Namun kelemahan orang Portugis/Spanyol mencegah usaha yang lebih luas. Pada tahun 1666 kedua benteng terakhir dikosongkan. Paterpater yang masih tinggal mengungsi dengan tantara ke Filipina. Dan tamatlah Riwayat Misi Katolik di Maluku. Di Maluku Utara keadaan politis sepanjang abad ke 16 begitu rumit sehingga orang-orang Yesuit tidak berhasil menciptakan suatu Gereja Kristen yang mantap. Dua kuasa imperialis hidup disana, berhadapan, bergumul satu sama lain dan akhirnya merusakkan. Ketika kuasa Spanyol dan Portugis runtuh, gereja juga hilang oleh karena tidak sanggung berdiri sendiri. Dengan kedatangan orang-orang Belanda keadaan politis menjadoa lebih tenang, tetapi kekristenan di Maluku Utara tinggal reruntuhannya saja. KEKRISTENAN DI MALUKU SAAT INI Di masa kini gereja terus berusaha mewujudkan kedamaian antar umat beragama di Maluku. Selain dengan ikut mesukseskan MTQ, contoh dari usaha menciptakan persatuan agama lainnya adalah peran sekolah-sekolah muslim mengirimkan paduan suaranya untuk menyanyikan lagu Ambon dalam festival kor gereja nasional. Hal ini membuktikan bahwa diantara kedua pihak terus berusaha dalam mewujudkan persatuan diantara perbedaan. Meskipun gereja kurang melibatkan budaya Pela dan Gandong dalam usaha mewujudkan kedamaian, padahal seperti yang kita tahu bahwa budaya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat