GAMBARAN OKSIGENASI SEREBRAL SETELAH TINDAKAN ONE HOUR BUNDLE PADA PENANGANAN PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh: dr. Alpert Davista NIM : 177114011 Pembimbing: Dr.dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV dr. Bastian Lubis, M.Ked (An), Sp.An, KIC PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021 i ii ABSTRAK Latar Belakang: Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap infeksi. Pada kasus ICU non-jantung, sepsis merupakan penyebab kedua mortalitas. Oleh karena mortalitas sepsis yang tinggi, Surviving Sepsis Campaign (SSC) melakukan pembaharuan tatalaksana sepsis dengan pedoman terbaru yaitu one hour bundle yang terdiri atas pemeriksaan kadar laktat, kultur darah, pemberian antibiotik spektrum luas, kristaloid, dan vasopressor. Pedoman SSC juga merekomendasikan pemantauan ScvO2 dapat meningkatkan prognosis pasien syok sepsis. Salah satu teknik pemantauan oksigenasi jaringan non-invasif yaitu near-infrared spectroscopy (NIRS) yang dapat digunakan untuk memperkirakan oksigenasi serebral. Penelitian menyatakan bahwa pengukuran saturasi oksigen serebral (rSO2) menggunakan NIRS berkorelasi dengan ScvO2, di mana rSO2 terbukti berkorelasi signifikan dengan ScvO2 pada pasien sepsis. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada penanganan pasien sepsis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik intervensional untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada pasien sepsis. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dikumpulkan 30 sampel penelitian. Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosis sepsis serta ditatalaksana dengan one hour bundle sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil: Penelitian ini dijumpai SBP T0 adalah 88,03. Nilai rerata pada SBP T1 adalah 103. Pada DBP dijumpai nilai rerata DBP T0 adalah 55,27, sedangkan nilai rerata DBP T1 adalah 59,27. Nilai rerata HR pada T0 adalah 117,57. Nilai rerata HR pada T1 adalah 110,87. Nilai rerata oksigenasi serebral kanan sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 46,5 dan 49,76. Nilai rerata oksigenasi serebral kiri sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 46,76 dan 50,32. Terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan nilai rSO2 kanan dan rSO2 kiri pada pengamatan sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour sepsis bundle. Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai rerata oksigenasi serebral kanan sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 46,5 dan 49,76 dan nilai rerata oksigenasi serebral kiri sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle didapati 46,76 dan 50,32 secara berurutan. Terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan nilai rSO2 kanan dan rSO2 kiri pada pengamatan sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour sepsis bundle dengan nilai p< 0,05 Kata kunci: sepsis, rSO2, SBP, DBP, HR iii ABSTRACT Background: Sepsis is an organ dysfunction because of impaired regulation of the body's response to infection. In non-cardiac ICU cases, sepsis is the second leading cause of mortality. Because of the high mortality of sepsis, the Surviving Sepsis Campaign (SSC) updated the management of sepsis with the latest guidelines, namely the one-hour bundle comprising an examination of lactate levels, blood cultures, administration of broad-spectrum antibiotics, crystalloids, and vasopressors. The SSC guidelines also recommend that ScvO2 monitoring can improve the prognosis of patients with septic shock. One of the non-invasive tissue oxygenation monitoring techniques is near-infrared spectroscopy (NIRS) which can estimate cerebral oxygenation. The study stated that the measurement of cerebral oxygen saturation (rSO2) using NIRS correlated with ScvO2, where rSO2 correlates with ScvO2 in septic patients significantly. Aim: To figure the description of cerebral oxygenation after one-hour bundle administration in the management of sepsis patients at Haji Adam Malik General Hospital Medan. Methods: This study is an analytic interventional study to determine the description of cerebral oxygenation after the one-hour bundle administration in septic patients. After obtaining approval from the Ethics Committee of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra, based on the inclusion and exclusion criteria, we collect 30 research samples. The study sample was all patients diagnosed with sepsis and treated with one-hour bundle sepsis that met the inclusion and exclusion criteria. Results: This study found that the mean value of SBP T0 is 88,03. The mean value of SBP T1 is 103. In DBP we found that the mean value of DBP T0 is 55,27, while the mean value of DBP T1 is 59,27. The mean value of HR T0 is 117,57. Mean value of HR T1 is 110,87. In the examination of rSO2, the mean value of right cerebral oxygentation before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle are 46,5 and 49,76 and the mean value of left cerebral oxygentation before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle are 46,76 dan 50,32 in an order. There was a significant difference in the right rSO2 compare to the left rSO2 before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle. Conclusion: This study concluded that the mean value of right cerebral oxygentation before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle are 46,5 and 49,76 and the mean value of left cerebral oxygentation before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle are 46,76 dan 50,32 in an order. There was a significant difference in the right rSO2 compare to the left rSO2 before and 1 hour after the administration of the sepsis bundle with p-value < 0,05. Keywords: sepsis, rSO2, SBP, DBP, HR iv KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, beserta kepada Nabi Muhammadd SAW yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang ini dan yang telah memberikan akal budi, hikmat dan pemikiran, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan. Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian, besar harapan dan keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan perbendaharaan dalam penelitian di bidang Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, khususnya tentang: “GAMBARAN OKSIGENASI SEREBRAL SETELAH TINDAKAN ONE HOUR BUNDLE PADA PENANGANAN PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN“ Dengan penulisan Tesis Magister Kedokteran Klinik ini, maka pada kesempatan ini pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya ayahanda: Pirdaus, S.E dan ibunda Rusmiatun yang tidak bosan–bosan mendoakan dan mendukung saya sejak kecil hingga sekarang. Saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya. Kepada istri yang sangat saya cintai dan kasihi Zelly Septria, S.E. yang selalu menyayangi saya, dengan cinta kasihnya yang luar biasa, selalu memberikan dorongan, dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Tiada kata yang dapat mengungkapkan perasaan bersyukur atas apa yang kita miliki dan perbuatan yang cukup untuk menunjukkan perasaan cinta dan kasih untuk istri v tersayang. Terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan keikhlasan selama saya menjalani pendidikan ini, semoga usaha saya ini juga dapat menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan mereka kedepannya. Dan juga ucapan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat: Dr. dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV dan dr. Bastian Lubis M.Ked(An), Sp.An, KIC atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada: Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang terhormat Kepala Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M (K) atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, Dr. dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV, Kepala SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP HAM, dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV, dan Kepala Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An, KIC, KAO, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked(An), Sp.An, KMN sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked(An), Sp.An sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, terima kasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga vi selesai. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya sehingga saya dapat melaksanakan penelitian dalam rangka menyelesaikan Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang tercinta, teman–teman seangkatan Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Ricksando Siregar, dr. Refnol Hidayat, dr. Jhonsen Indrawan, dr. Pardi Mulia Daulay, dr. Galdy Wafie yang telah banyak membantu saya. Dan juga seluruh teman-teman PPDS anestesi FK USU lainnya yang tidak dapat saya sebut satu-persatu, yang telah bersama-sama baik duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman–teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan Studi Program Magister Kedokteran Klinik ini. Kepada seluruh teman–teman, rekan–rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga besar, pasien–pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati yang dalam saya ucapkan terima kasih. Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Medan, Agustus 2021 Penulis (dr. Alpert Davista) vii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. i ABSTRAK ...................................................................................................................... iii ABSTRACT ..................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii DAFTAR TABEL............................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 4 1.3 Hipotesis ................................................................................................................. 4 1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 4 1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................................. 4 1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................................ 4 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................................... 4 1.5.1 Manfaat Bidang Akademik ............................................................................. 4 1.5.2 Manfaat Bidang Pelayanan Masyarakat .......................................................... 4 1.5.3 Manfaat Bidang Penelitian .............................................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6 2.1 Sepsis ................................................................................................................. 6 2.1.1 Definisi .................................................................................................. 6 2.1.2 Patofisiologi .................................................................................................. 6 2.1.3 Diagnosis ................................................................................................ 11 2.1.4 Tatalaksana ................................................................................................ 14 2.1.4.1 One Hour Bundle ................................................................................... 14 2.2 Oksigenasi serebral ................................................................................................ 18 2.2.1 Fisiologi Otak .............................................................................................. 18 2.2.2 Near-Infrared Spectroscopy......................................................................... 25 2.3 Pengaruh Sepsis terhadap Oksigenasi Serebral...................................................... 32 viii 2.4 Kerangka Teori....................................................................................................... 36 2.5 Kerangka Konsep ................................................................................................. 37 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 38 3.1. Desain Penelitian .................................................................................................. 38 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................................... 38 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian............................................................................ 38 3.4. Cara Pemilihan Sampel......................................................................................... 38 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................................ 38 3.5.1 Kriteria Inklusi ........................................................................................... 38 3.5.2 Kriteria Eksklusi......................................................................................... 38 3.5.3 Kriteria Drop Out ....................................................................................... 39 3.6. Besar Sampel....................................................................................................... 39 3.7. Alat dan Bahan .................................................................................................... 40 3.8. Prosedur Kerja ..................................................................................................... 40 3.9. Etika Penelitian ................................................................................................... 41 3.10. Definisi Operasional............................................................................................ 41 3.11. Analisis Data ....................................................................................................... 42 3.12. Alur Penelitian .................................................................................................... 43 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................................... 44 BAB V PEMBAHASAN ............................................................................................... 47 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 50 6.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 50 6.2. Saran.................................................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 52 LAMPIRAN ................................................................................................................... 58 ix DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Perbandingan definisi sepsis lama dan terbaru ............................................ 6 Tabel 2.2. Mediator inflamasi dan antiinflamasi yang berperan pada sepsis ............... 8 Tabel 2.3. Kriteria sepsis ............................................................................................. 13 Tabel 2.4. Perbedaan kriteria diagnosis sepsis ............................................................ 13 Tabel 2.5. Skor qSOFA ............................................................................................... 13 Tabel 2.6. Skor SOFA ................................................................................................. 14 Tabel 2.7. Surviving sepsis campaign one hour bundle .............................................. 15 Tabel 2.8. Faktor yang menyebabkan berkurangnya nilai oksigenasi otak................. 23 Tabel 2.9. Karakteristik 3 metode NIRS ..................................................................... 28 Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian .................................................................. 44 Tabel 4.2. Karakteristik SBP, DBP dan HR Pada T0 dan T1 ..................................... 45 Tabel 4.3. Perbandingan RSO2 Kanan dan RSO2 Kiri Pada pengamatan T0 dan T1 ................................................................................................... 46 x DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Patogenesis gangguan hemostasis pada sepsis ............................................. 9 Gambar 2.2. Patofisiologi sepsis ..................................................................................... 11 Gambar 2.3. Nilai fisiologis otak .................................................................................... 20 Gambar 2.4. Fisiologi autoregulasi otak ......................................................................... 20 Gambar 2.5. Pengaruh PaO2 terhadap aliran darah otak ................................................. 22 Gambar 2.6. Algoritma pada kasus desaturasi serebral .................................................. 25 Gambar 2.7. Skema dari 3 metode deteksi NIRS ........................................................... 26 Gambar 2.8. Contoh instrumentasi TD-NIRS ................................................................. 27 Gambar 2.9. Diagram hokum Beer-Lambert .................................................................. 29 Gambar 2.10. Spektrum absorbsi hemoglobin beroksigenasi dan deoksigenasi .............. 30 Gambar 2.11. Representasi diagram resolusi spinal ......................................................... 31 Gambar 2. 12. Ilustrasi yang menunjukkan penurunan progresif pada StO2 ginjal dan otak pada kondisi syok dan perbaikan setelah intervensi………....….31 Gambar 2.13. Gambaran skematis perubahan patofisiolgi dan molekuler yang mendasari sepsis related encephalopathy .......................................... 33 Gambar 2.14. Respon otak terhadap infeksi sistemik ....................................................... 35 Gambar 2.15. Kerangka Teori........................................................................................... 36 Gambar 2.16. Kerangka Konsep ....................................................................................... 37 Gambar 3.1. Alur penelitian............................................................................................ 43 xi DAFTAR SINGKATAN ARDS : Acute respiratory distress syndrome ATP : Adenosine triphosphate BBB : Blood brain barrier BOLD : Blood oxygenation level dependent CBF : Cerebral Blood Flow CO : Cardiac Output CO2 : Karbon dioksida CPP : Cerebral Perfusion Pressure C-rSO2 : Regional cerebral oxygen saturation CSF : Cairan serebrospinal CVAR : Autoregulasi serebral CVR : Resistensi serebrovaskular CW : Continuous wave DAMP : Damage-associated molecular pattern DE : Diffusion equation DHbO2 : Oksihemoglobin DHHb : Deoksihemoglobin DIC : Disseminated intravascular coagulation DNA : Deoxyribose nucleic acid DTA : Distributions of times of arrival FD : Frequency domain FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara HR : Heart Rate ICG : Indocyanine green ICP : Intracranial pressure ICU : Intensive Care Unit IGD : Instalasi gawat darurat IL : Interleukin MAP : Mean Arterial Pressure xii MRSA NIRS : Methicillin-resistant Staphylococcus aureus : Near-infrared spectroscopy NK : Natural killer PAI-1 : Plasminogen activator inhibitor type 1 PAMP : Pathogen-associated molecular patterns PbtO2 : Partial oxygen pressure PO2 : Tekanan parsial oksigen qSOFA : Quick SOFA RIG-1 : Retinoic acid inducible gene 1 ROS : Reactive Oxygen Species RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo rSO2/ SctO2 SAE : Saturasi oksigen serebral ScvO2 : Saturasi oksigen vena sentral SIRS : Sindrom Respon Inflamasi Sistemik SjVO2 : Saturasi oksigen vena jugularis SOFA : Sequential Organ Failure Assessment SpO2 : Saturasi Oksigen SSC : Surviving Sepsis Campaign SSTI : Skin and Soft Tissue Infection SSP : Sistem saraf pusat TLR : Toll-like receptor TNF-α : Tumor necrosis factor-α TOx : Indeks reaktivitas oksigenasi jaringan WHO : World Health Organization : Sepsis-related encephalopathy xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap terjadinya infeksi. Sepsis hingga saat ini masih menjadi tantangan untuk para klinisi di seluruh dunia karena sepsis masih menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara Eropa setelah infark miokard akut, stroke dan trauma. Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian di rumah sakit yang paling umum. Insidensi sepsis pada indvidu dewasa di negara maju mencapai 19,4 juta kasus dan 5,3 juta kematian akibat sepsis setiap tahunnya. Prevalensi sepsis di seluruh dunia pada tahun 1990 berjumlah 60,2 juta kasus, sedangkan pada kasus 2017 berjumlah 48,9 juta. Perubahan ini menunjukkan adanya penurunan 18,8% kasus. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), sepsis diperkirakan menyerang 49 juta individu pada tahun 2017 dan sekitar 11 juta kasus berhubungan dengan kematian akibat sepsis yang dapat dicegah.1,2,3 Penelitian kohort prospektif di Amerika Serikat menunjukkan 415.280 kasus sepsis berat dan renjatan septik didiagnosis pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 711.736 kasus pada tahun 2007, dengan angka kematian sebesar 29,1% pada tahun 2007. Biaya rawat inap telah disesuaikan dengan inflasi untuk pasien sepsis berat dan renjatan septik meningkat menjadi $24,3 juta pada tahun 2007. Penelitian kohort lain yang dilakukan pada tahun 2002 di 198 ruang perawatan intensif (ICU) pada 24 negara di benua Eropa menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik merupakan 29,5% diagnosis perawatan intensif. Mortalitas pasien sepsis berat dalam perawatan intensif mencapai 32,2% dan meningkat menjadi 54,1% pada renjatan septik. Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan intensif pada 16 negara (termasuk Indonesia) menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif dengan angka kematian mencapai 44,5%. Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik ditemukan sebanyak 23 dari 84 kasus perawatan intensi 1 2 dengan angka kematian dalam perawatan mencapai 47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM menunjukkan jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis sebesar 10,3 % dari keseluruhan pasien yang dirawat di ruang rawat penyakit dalam. Renjatan septik merupakan penyebab kematian tertinggi selama 3 tahun berturut-turut (2009-2011), yaitu pada 49% kasus kematian pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 55% pada tahun 2011.4 Pada tahun 2017, penyebab sepsis paling umum yaitu kecelakaan lalu lintas sebanyak 457.945 kasus dan penyakit pada ibu hamil merupakan penyakit tidak menular yang paling umum menyebabkan komplikasi sepsis dengan kasus sebanyak 5,7 juta kasus. Pada anak-anak usia dibawah 5 tahun, penyebab sepsis paling umum yaitu diare dengan jumlah kasus 5,9 juta, penyakit pada neonatus sebanyak 5,1 juta dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah sebanyak 3,3 juta kasus. Insidensi sepsis pada tahun 2017 lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (716,5 vs 642,8 per 100.000 kasus). Secara keseluruhan, puncak insidensi sepsis memuncak yaitu pada awal masa anak-anak dan puncak kedua pada dewasa usia tua. Mortalitas sepsis mencapai 148,1 kematian per 100.000 kasus.2 Berdasarkan pedoman SSC, sepsis dapat dibagi menjadi sepsis dan syok sepsis. Syok sepsis bertanggung jawab atas 6-15% kasus pada ICU. Pada kasus ICU non-jantung, sepsis merupakan penyebab kedua mortalitas hingga mencapai 30-50%. Oleh karena mortalitas sepsis yang tinggi, SSC melakukan pembaharuan tatalaksana sepsis dengan pedoman terbaru yaitu one hour bundle yang terdiri atas pemeriksaan kadar laktat, kultur darah sebelum pemberian antibiotik, pemberian antibiotik spektrum luas, kristaloid 30 ml/kg bila terjadi hipotensi atau kadar laktat ≥ 4 mmol/L, dan vasopressor apabila pasien hipotensi selama atau setelah resusitasi cairan.5 Penelitian menunjukkan bahwa selama resusitasi cairan, terjadi peningkatan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2), menunjukkan adanya peningkatan karbon monoksida secara bersamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ScvO2 pada pasien sepsis biasanya normal atau supernormal akibat penurunan rasio ekstraksi oksigen yang merupakan karakteristik syok sepsis. Pedoman SSC merekomendasi pemantauan ScvO2 dapat meningkatkan prognosis pasien syok 3 sepsis. Selain itu, hipoksia serebral akibat sepsis juga dapat menurunkan saturasi oksigen jaringan otak yang dapat diukur secara non-invasif menggunakan serebral oksimetri. Pengukuran ScvO2 secara klinis digunakan untuk menilai perubahan delivery dan konsumsi oksigen pada berbagai kondisi klinis. Namun, metode ini membutuhkan pengambilan darah dari kateter vena sentral atau penggunaan kateter spektofotometer ScvO2 yang mahal.5 Metode pemantauan oksigensasi jaringan non-invasif dapat memberikan informasi bermanfaat mengenai kondisi oksigenasi jaringan dan mikrosirkulasi. Salah satu teknik pemantauan oksigenasi jaringan yaitu near-infrared spectroscopy (NIRS), dikenal juga sebagai oksimetri serebral, menggunakan analisis spektra dengan komputer pada rentang infrared jarak dekat (680-800 nm) untuk memperkirakan oksigenasi otak melalui pengukuran absorbsi sinar infrared oleh kromofor jaringan seperti hemoglobin. Setelah sinar infrared masuk ke jaringan, absorbsi relatif cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda bergantung pada konsentrasi spesies hemoglobin (tidak teroksigenasi vs telah teroksigenasi). Berdasarkan absorbsi relatif sinar infrared pada panjang gelombang yang berbeda, konsentrasi spesies hemoglobin yang spesifik dapat dinilai menggunakan modifikasi hokum Beer-Lambert. NIRS dapat menilai saturasi oksigen jaringan somatik dan serebral melalui sensor yang diletakkan di kepala atau daerah somatik (otot thenar, jaringan nefral). Penelitian menyatakan bahwa pengukuran saturasi oksigen serebral (rSO2) menggunakan NIRS berkorelasi dengan saturasi vena sentral. Deteksi rSO2 juga digunakan sebagai pengganti untuk menilai fungsi hemodinamik. rSO2 terbukti berhubungan dengan keparahan penyakit dan prognosis sepsis.6,7,45 Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya korelasi signifikan antara rSO2 dan ScvO2 pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis. ScvO2 <70% diindikasikan oleh adanya rSO2 <56,5% dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75% dan 100%. Tujuan penelitian ini adalah untuk gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada penanganan pasien sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 4 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada penanganan pasien sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.3. Hipotesis Oksigenasi serebral akan meningkat setelah tindakan one hour bundle pada pasien sepsis. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada penanganan pasien sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik pasien sepsis di RSUP H. Adam Malik Medan. 2. Untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral pasien sepsis sebelum tindakan one hour bundle di RSUP H. Adam Malik Medan. 3. Untuk mengetahui perbandingan oksigenasi serebral pasien sepsis sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat dalam Bidang Akademik 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama ilmu anestesi. 1.5.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan Masyarakat Dari hasil penelitian ini diharapkan tindakan one hour bundle harus segera 5 dilakukan tepat waktu sehingga dapat membantu memperbaiki oksigenasi serebral pada pasien sepsis. 1.5.3 Manfaat dalam Bidang Penelitian Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai gambaran oksigenasi serebral yang dibandingkan dengan pembanding yang lain pada pasien sepsis di rumah sakit. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis 2.1.1. Definisi Berdasarkan pedoman Surviving Sepsis Campaign (SSC), sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap terjadinya infeksi. Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler atau adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.8 Tabel 2.1. Perbandingan definisi sepsis lama dan terbaru. 9 2.1.2. Patofisiologi Patofisiologi terjadinya sepsis kompleks dan multifaktorial. Infeksi akan memicu respon penjamu yang kompleks dan bervariasi dimana baik mekanisme pro-inflamasi dan anti-inflamasi berperan dalam eliminasi infeksi dan perbaikan jaringan namun di sisi lain juga dapat menyebabkan cedera jaringan dan infeksi sekunder. Secara umum, peristiwa pro-inflamasi dipicu oleh agen infeksius serta bertujuan untuk eliminasi patogen sedangkan proses anti-inflamasi dipicu oleh penjamu/host untuk meningkatkan perbaikan jaringan. Gangguan keseimbangan proses tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang berlebihan 6 7 (proinflamasi) atau imunosupresi dan meningkatnya resiko infeksi sekunder (antiinflamasi). Adapun respon individual tiap pasien tergantung pada karakteristik dari penjamu (komorbid dan imunosupresi) dan patogen (virulensi dan jumlah patogen).10 Mekanisme pro-inflamasi akan mengaktivasi berbagai mediator inflamasi (sitokin, protease, komplemen) dan proses koagulasi. Apabila proses tersebut berlebihan maka dapat menyebabkan gangguan koagulasi, seperti koagulasi intravaskuler dan fibrinolisis. Kondisi tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel, trombus mikrovaskuler, dan gangguan oksigenasi jaringan. Adanya gangguan koagulasi tersebut, ditambah dengan vasodilatasi dan hipotensi serta gangguan penggunaan oksigen oleh mitokondria akibat stres oksidatif menyebabkan hipoperfusi jaringan dan berkurangnya oksigenasi jaringan. Mekanisme tersebut menyebabkan kerusakan jaringan lebih jauh dan berperan dalam terjadinya gagal organ multipel dan kematian. 10 Imunitas Humoral dan Mediator Inflamasi Langkah pertama inisiasis respon host terhadap patogen yaitu dengan aktivasi sel imun humoral terdiri atas makrofag, monosit, neutrofil dan sel natural killer (NK). Hal ini terjadi melalui ikatan pathogen-associated molecular patterns (PAMP), seperti endotoksin bakteri dan β-glukan jamur terhadap pola reseptor yang spesifik pada sel tersebut. Sumber lain interaksi tersebut yaitu kerusakan yang berhubungan dengan pola molekular (damage-associated molecular patterns/DAMP) yang menyebabkan pelepasan materi atau molekul intrasel dari sel host yang rusak atau mati, seperti adenosine triphosphate (ATP) dan deoxyribose nucleic acid (DNA) mitokondria. Molekul ini berikatan dengan reseptor yang spesifik pada monosit dan makrofag seperti toll-like receptor (TLR), reseptor leptin tipe C, retinoic acid inducible gene 1 (RIG-1). Peristiwa ini akan menyebabkan aktivasi jalur transduksi sinyal intrasel yang menyebabkan transkripsi dan pelepasan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan IL-6. Selain itu, beberapa kelompok reseptor seperti NOD dapat beragregasi dengan kompleks protein yang lebih besar, disebut dengan inflammasomes yang terlibat dengan produksi sitokin penting seperti IL-1β, IL-18 dan kaspase yang terlibat dalam kematian sel yang terprogram. Sitokin proinflamasi menyebabkan aktivasi dan proliferasi leukosit, aktivasi sistem komplemen, upregulation molekul adhesi endotel 8 dan ekspresi kemokin, produksi faktor jaringan serta induksi reaktan fase akut hepatik. Pada sepsis, terjadi respon imun yang berlebihan, sehingga terjadi kerusakan serta kematian sel dan jaringan host.11 Tabel 2.2. Mediator inflamasi dan antiinflamasi yang berperan pada sepsis. 11 Disregulasi hemostasis Pada sepsis, terjadi persilangan antara jalur inflamasi dan hemostasis, dengan aktivasi kaskade inflamasi dan koagulasi secara bersamaan. Spektrum interaksi ini dapat beragam dari trombositopenia ringan hingga disseminated intravascular coagulation (DIC). Etiologi disregulasi koagulasi pada sepsis bersifat multifaktorial. Kondisi hiperkoagulabilitas pada sepsis disebabkan oleh pelepasan faktor jaringan dari sel endotel yang rusak atau terganggu (sumber lainnya termasuk monosit dan sel polimorfonuklear). Endotoksin dan bakteremia telah terbukti menyebabkan inhibisi total produksi trombin akibat inflamasi dengan menghambat faktor jaringan. Faktor jaringan menyebabkan aktivasi sistemik kaskade koagulasi yang menyebabkan produksi trombin, aktivasi trombosit dan pembentukan bekuan trombosit-fibrin. Mikrotrombus dapat menyebabkan defek pefusi lokal yang memicu terjadi hipoksia jaringan dan disfungsi organ.11 Sebagai tambahan pada efek prokoagulan, terjadi penekanan efek antikoagulan protein C dan antitrombin yang normalnya dapat menekan kaskade koagulasi. Protein C dikonversi ke bentuk aktifnya oleh trombomodulin yang diaktivasi oleh trombin. Bentuk aktif protein C memiliki efek antikoagulan melalui degradasi faktor Va dan VIIIa yang berkerja pada protein S yang aktif. Protein S juga memiliki efek antiinflamasi dengan menginhibisi TNFα, IL-1β dan IL-6 serta menghambat adhesi neutrofil dan monosit pada endotel. Pada pasien dengan inflamasi sistemik yang berat, seperti pada sepsis, terjadi penurunan kadar potein C plasma, downregulation thrombomodulin dan kadar protein S yang rendah, 9 sehingga menyebabkan terjadi propagasi kaskade koagulasi yang tidak teregulasi.11 Sepsis juga menyebabkan penurunan fibrinolisis. Oleh karena terjadi peningkatan TNFα, IL-1β, aktivator plasminogen jaringan juga dilepaskan oleh sel pembuluh darah endotel. Peningkatan plasmin ditekan oleh peningkatan plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) yang menyebabkan fibrinolisis dan pembuangan fibrin yang berkontribusi terhadap terjadinya trombosis mikrovaskular.11 Gambar 2.1. Patogenesis gangguan hemostasis pada sepsis. 1 Immunosupresi Kondisi proinflamasi sepsis sering menyebabkan kondisi immunosupresi yang panjang. Jumlah sel T (helper dan sitotoksik) menurun disebabkan oleh apoptosis dan penurunan respon sitokin inflamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi sitokin utama seperti IL-6 dan TNF sebagai respon terhadap endotokin pada kondisi immunosupresi. Pada pasien sepsis, neutrofil sedikit diekspresikan pada reseptor kemokin dan terjadi penurunan kemotaksis sebagai respon terhadap IL-8. Temuan tersebut menunjukkan bahwa sistem imun pasien sepsis tidak mampu menghasilkan respon imun yang efektif terhadap infeksi sekunder bakteri, virus atau jamur. Berdasarkan penelitian, jumlah limfosit yang rendah pada awal sepsis (hari ke 4) merupakan prediktor mortalitas baik untuk 28 hari dan 1 tahun, serta limfopenia dini dapat menjadi penanda immunosupresi pada sepsis.11 10 Gangguan pada sel, jaringan dan organ Mekanisme yang mendasari gangguan jaringan dan organ yaitu penurunan delivery dan penggunaan oksigen oleh sel akibat hipoperfusi. Hipoperfusi disebabkan oleh gangguan kardiovaskular (kardiomiopati sepsis) yang sering dijumpai pada sepsis. Peristiwa ini diyakini berhubungan dengan sitokin yang bersirkulasi seperti TNFα dan IL-1β, dimana menyebabkan penekanan miosit jantung dan gangguan fungsi mitokondria. Karakteristik utama kardiomiopati sepsis yaitu awitan yang akut dan reversibel. Kedua, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dijumpai bersamaan dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah atau normal (tidak seperti syok kardiogenik) serta peningkatan compliance ventrikel kiri. Beberapa penelitian melaporkan bahwa gangguan sistolik dan diastolik disertai penurunan volume sekuncup serta peningkatan volume diastolik akhir dan sistolik akhir merupakan temuan yang dapat dijumpai pada sepsis. Dilatasi arteri dan vena yang diinduksi oleh mediator inflamasi serta penurunan aliran balik vena merupakan kondisi hipotensi dan syok distributif yang disebabkan oleh sepsis. Dilatasi arteri, vena dan kapiler disebabkan oleh kebocoran cairan intravaskular ke rongga interstisial sebagai akibat dari hilangnya fungsi pembatas endotel karena gangguan cadherin endotel dan tight junction. Seluruh perubahan tersebut menyebabkan gangguan hemodinamik serta trombosis mikrovaskular yang memicu terjadinya hipoperfusi organ dan jaringan. Selain itu, terjadi peningkatan glikolisis anaerob pada sel yang memicu produksi asam laktat. Reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan oleh respon inflamasi menyebabkan gangguan mitokondria dan penurunan produksi ATP. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan pada tingkat sel.11 Pada tingkat seluler terjadi ekstravasasi leukosit dan fagositosis. Fungsi inflamasi yang penting adalah membawa leukosit ke tempat jejas. Rangkaian kejadian ini dinamakan ekstravasasi dan dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap pertama marginasi, pengguliran (rolling) dan adhesi leukosit pada endotelium. Transmigrasi melewati endothelium (disebut diapedesis). Migrasi dalam jaringan interstisial menuju rangsangan kemotaktik Sekitar 30 penelitian lain juga memperlihatkan hasil yang sama. Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan oksigen yang diantarkan ke jaringan yang diikuti oleh berkurangnya tekanan oksigen parsial sel (PO2), apabila tiba pada titik kritis berkurangnya oksigen akan mengakibatkan 11 terbatasnya fosforilasi oksidatif sehingga terjadi pergeseran metabolisme dari aerob menjadi anaerob.10 Gambar 2.2. Patofisiologi sepsis.11 2.1.3. Diagnosis Manifestasi klinis sepsis sangat beragam, bergantung pada beberapa faktor seperti karakteristik host, lokasi dan keparahan infeksi serta durasi sepsis sebelum terapi. Disfungsi organ umumnya menyebabkan hipotensi, acute respiratory distress syndrome (ARDS), penurunan kesadaran, gagal ginjal akut, ileus, gangguan hepatik, DIC, gangguan adrenal dan euthyroid sick syndrome. Kumulatif efek dari gangguan organ merupakan prediktor mortalitas yang terkuat.9 Sejak tahun 1992 diperkenalkan istilah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang apabila disebabkan oleh infeksi, maka disebut sebagai sepsis, akan tetapi SIRS untuk diagnosis sepsis ternyata tidak memberikan nilai tambah, khususnya untuk mendeteksi gangguan fungsi organ. Hal lain yang menjadi kelemahan sepsis dengan kriteria SIRS untuk menegakkan diagnosis yaitu banyak 12 kasus di ruang rawat intensif dengan demam tinggi, leukositosis, heart rate meningkat dan frekuensi pernafasan yang cepat, bukan disebabkan oleh proses infeksi atau kriteria diagnosis SIRS yang tidak spesifik.12 Oleh karena itu, dilakukan penyempurnaan kriteria baru yang cepat dan dapat dilakukan di setiap unit gawat darurat yaitu Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap fungsi fisiologis, respirasi, koagulasi, hepatik, sistem saraf pusat, dan ginjal. Semakin tinggi skor SOFA akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sepsis. Kriteria sederhana yang digunakan untuk mendiagnosis sepsis yaitu quick SOFA (qSOFA). qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Skoring tersebut cepat dan sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. 1,12 Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi. Syok sepsis didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi. 13 13 Tabel 2.3. Kriteria Sepsis.1 Tabel 2.4. Perbedaan kriteria diagnosis sepsis.13 Tabel 2.5. Skor qSOFA.1 14 Tabel 2.6. Skor SOFA.11 2.1.4. Tatalaksana 2.1.4.1 One Hour Bundle Surviving Sepsis Campaign (SSC) one hour bundle tahun 2018 mengacu pada pedoman SSC 2016 untuk diskusi lebih lanjut dan bukti terkait setiap elemen dan pengelolaan sepsis secara keseluruhan. SSC juga menerima definisi verbal yang diusulkan untuk sepsis dan syok septik. Namun, qSOFA (penilaian kegagalan organ sekuensial secara cepat) tidak diterima atau direkomendasikan sebagai praktik terbaik, dan respon inflamasi sistematis (SIRS) bersama dengan semua parameter klinis spesifik lain dari disfungsi organ akhir dihilangkan dari rekomendasi. One hour bundle menunjukkan kriteria pasien positif SIRS melalui proses skrining sepsis yang cepat, namun tidak layak atau tidak kompatibel dalam pelaksanaan harian UGD. Pengenalan dan pengobatan yang tepat mengurangi mortalitas di rumah sakit, dan one hour bundle merupakan landasan peningkatan kualitas sepsis.13,14 Bundle ini terdiri dari lima elemen sebagai berikut: mengukur tingkat laktat; pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotik; tatalaksana dengan antibiotik spektrum luas; berikan kristaloid 30 mL/kg dengan cepat untuk hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol / L; dan gunakan vasopressor jika pasien mengalami hipotensi selama atau setelah resusitasi cairan untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mm Hg. Paket one hour ini bermaksud untuk menitikberatkan urgensi untuk merawat pasien dengan sepsis dan syok septik, menggabungkan paket tiga jam dan enam jam 15 menjadi satu jam untuk mempersingkat waktu untuk memulai resusitasi dan manajemen serta meningkatkan hasil.15 Para penulis menyatakan ada “kualitas bukti yang rendah” untuk pengukuran awal laktat dengan pengukuran berulang untuk laktat > 2 milimol per liter (mmol/L). Sementara ada bukti bahwa peningkatan laktat dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan eliminasi laktat berhubungan dengan tingkat kematian yang lebih rendah, cut off tingkat laktat untuk memulai upaya resusitasi agresif masih belum diketahui. Secara tradisional, sebagian besar penelitian menggunakan laktat lebih dari 4 mmol/L. Jika laktat awal meningkat (> 2 mmol/L), itu harus diukur kembali dalam 2-4 jam untuk memandu resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan peningkatan kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.16 Para penulis menyatakan adanya kualitas bukti yang rendah untuk pemberian 30 mililiter per kilogram (ml / kg) cairan kristaloid. Berkenaan dengan resusitasi cairan, beberapa penelitian telah menunjukkan resusitasi cairan yang agresif dan keseimbangan cairan positif berbahaya dan meningkatkan mortalitas. Peningkatan mortalitas rata-rata sebesar 7,6% untuk setiap penundaan satu jam dalam pemberian antibiotik pada pasien dengan syok septik. 13 Pemulihan tekanan perfusi yang adekuat secara cepat menuju organ vital adalah bagian penting dari resusitasi. Hal ini tidak boleh ditunda. Jika tekanan darah tidak pulih setelah resusitasi cairan awal, maka vasopresor harus dimulai dalam satu jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mm Hg.16 Tabel 2.7. Surviving Sepsis Campaign one hour bundle 13 1. Pemberian antibiotik spektrum luas Keterlambatan dalam pemberian antibiotik yang sesuai dikaitkan dengan peningkatan signfikan angka mortalitas. Antibiotik yang tepat harus dimulai dalam satu jam pertama setelah sepsis diidentifikasi, yang dilakukan pasca pengambilan darah untuk kultur dan tindakan ini tidak boleh menyebabkan 16 penundaan pemberian antibiotik. Antibiotik awal yang diberikan harus merupakan antibiotik spektrum luas yang mencakup semua patogen. Regimen multidrug lebih dipilih untuk memastikan cakupan yang memadai, terutama pada syok sepsis. Pilihan antibiotik empiris harus mempertimbangkan lokasi infeksi, riwayat penggunaan antibiotik, pola kerentanan patogen lokal, kondisi imunosupresi, dan faktor risiko resistansi organisme. Cakupan ganda untuk bakteri gram negatif dan methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan kemungkinan infeksi yang tinggi dengan patogen tersebut. Cakupan ganda untuk gram negatif diberikan apabila dicurigai adanya infeksi dengan organisme resisten multidrug seperti Pseudomonas atau Acinetobacter. Apabila dicurigai adanya infeksi nosokomial, direkomendasikan pemberian antibiotik anti-MRSA. Dosis yang tepat juga penting, karena efikasi obat bergantung pada kadar puncak obat pada darah dan durasi obat dalam drah yang melebihi konsentrasi hambat minimum untuk patogen. Pemberian dosis loading yang lebih tinggi merupakan strategi terbaik untuk memperoleh kadar terapeutik dalam darah. 17 Pemberian antibiotik sebaiknya mempertimbangkan faktor berikut:17 Lokasi anatomis infeksi dan kemungkinan profil patogen yang dapat menginfeksi lokasi tersebut. Patogen yang sering dijumpai pada komunitas, rumah sakit dan ruang rawat. Pola resistensi patogen Adanya gangguan imun seperti neutropenia, splenektomi, infeksi HIV yang tidak terkontrol dan defek immunoglobulin kongenital atau didapat. Usia dan komorbid pasien termasuk penyakit kronik (seperti diabetes) dan gangguan organ kronik (seperti gagal ginjal atau hepar), adanya pemasangan alat invasif (seperti jalur vena sentral atau kateter urin) yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. 2. Pemberian cairan Sepsis berhubungan dengan vasodilatasi, kebocoran kapiler, penurunan volume darah dan penurunan aliran balik vena. Efek peristiwa ini yaitu 17 gangguan perfusi jaringan dan gangguan organ. Tujuan resusitasi pada sepsis dan syok sepsis yaitu untuk mengembalikan volume intravaskular, meningkatkan delivery oksigen ke jaringand an mengembalikan fungsi organ. Pemberian kristaloid bolus 30 ml/kg direkomendasikan dalam 3 jam setelah sepsis atau syok sepsis terdeteksi. Pemberian cairan harus diperhatikan pada pasien dengan gangguan fungsi kardiorespirasi. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru, gagal pernafasan hipoksemia, edema organ, hipertensi intraabdomen, pemanjangan rawatan ICU dan waktu terpasang ventilator, serta meningkatkan risiko kematian. Resusitasi cairan harus diatur dalam fase berikut:18,19 Rescue: selama menit-jam pertama, bolus (1-2 liter bolus cairan kristaloid) dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi hipoperfusi dan syok. Optimisasi: selama fase kedua, keuntungan pemberian cairan tambahan untuk meningkatkan curah jantung dan perfusi jaringan sebaiknya dipertimbangkan antara keuntungan dan kerugiannya. Stabilisasi: selama fase ketiga, biasanya 24-48 jam setelah awitan syok sepsis, pemberian cairan seharusnya diberikan untuk mencapai keseimbangan cairan cenderung negative atau net neutral. De-eskalasi: fase keempat ditandai dengan resolusi syok dan perbaikan fungsi organ yang sebaiknya memicu strategi pembuangan cairan yang agresif. 3. Vasopressor Hipotensi persisten dan hipoperfusi jaringan setelah resusitasi cairan yang adekuat disebabkan oleh gangguan tonus pembuluh darah simpatis yang normal, menyebabkan vasodilatasi, agngguan neurohomronal, depresi miokard, disregulasi mikrosirkulasi dan gangguan mitokondria. Vasopresor dan inotropik mengembalikan delivery oksigen ke jaringan dengan meningkatkan tekanan arteri dan curah jantung. MAP merupakan parameter tekanan darah yang direkomendasikan selama resusitasi. Target awal MAP yang direkomendasikan yaitu 65 mmHg. Target MAP yang lebih tinggi (8085 mmHg) dapat membantu pada pasien dengan hipertensi kronik. 18 Rekomendasi ini didasarkan pada autoregulasi aliran darah ke vascular bed organ vital (otak, jantung dan ginjal).20 Norepinefrin merupakan vasopressor lini pertama yang disarankan, karena telah terbukti memiliki risiko aritmia yang lebih rendah dibandingkan vasopressor lainnya. Pemberian agen simpatomimetik lainnya seperti vasopressin atau epinefrin dapat digunakan untuk mencapai tekanan MAP target atau menurunkan kebutuhan norepinefrin. Vasopressor kedua biasanya ditambahkan ketika dosis norepinefrin melebihi 40 atau 50 µg/menit.21 2.2. Oksigenasi serebral 2.2.1. Fisiologi Otak Rongga kranium terdiri atas parenkim otak (80%), darah (9%), cairan serebrospinal (CSF; 6%) dan cairan interstitial (5%). Fungsi utama otak adalah menghasilkan potensi aksi saraf sebagai respons terhadap rangsangan. Fungsi ini dimediasi oleh gerakan ionik melawan gradien listrik dan pelepasan neurotransmiter di persimpangan sinaptik. Fisiologi normal otak adalah energi intensif yang membutuhkan adenosine triphosphate (ATP) dalam jumlah besar. Glukosa adalah bahan bakar metabolisme utama dan membutuhkan suplai oksigen yang cukup untuk proses oksidatif.22 Setelah penutupan sutura kranial, rongga tengkorak berfungsi sebagai kotak kaku tanpa ruang untuk ekspansi. Tekanan intrakranial (intracranial pressure /ICP) dipertahankan antara 7 dan 12 mmHg dalam keadaan normal. ICP adalah tekanan dinamis dengan fluktuasi yang terjadi dengan denyut arteri, posisi, pernapasan, batuk, dan mengejan. Ini dapat diukur dengan menggunakan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel eksternal. Awalnya, peningkatan ICP dikompensasi oleh migrasi cerebrospinal fluid (CSF) pada kompartemen tulang belakang disertai dengan peningkatan penyerapan CSF dan penurunan produksi, dan penurunan aliran darah otak. Ketika mencapai proses dekompensasi, kepatuhan intrakranial turun dan ICP meningkat secara dramatis bahkan dengan peningkatan kecil dalam volume intrakranial.22 CSF adalah ultrafiltrasi plasma yang bersirkulasi melalui ventrikel serebral dan saluran sentral sumsum tulang belakang. Cairan ini dibentuk (dan diserap 19 kembali) dengan kecepatan 500 ml/hari oleh proses terkait perfusi yang bergantung pada energi di pleksus koroid dan lapisan ependymal dari ventrikel lateral. Ini mengalir melalui foramina Monro ke ventrikel ketiga, dan kemudian ke ventrikel keempat melalui saluran air di sylvius. CSF kemudian mengalir ke kanal sentral sumsum tulang belakang dan ruang subarachnoid melalui foramen median Magendie dan foramina lateral Luschka. CSF akhirnya diserap oleh vili subarachnoid ke dalam sinus vena serebral. Jika laju pembentukan CSF melebihi kecepatan absorpsi, terjadi hidrosefalus.22 Sawar darah-otak (BBB) ada di antara aliran darah dan sistem saraf pusat (SSP). Ini adalah membran semi permeabel yang terdiri dari tiga lapisan: endotel vaskular dengan membran basal, prossesus astrosit dan pericytes. Sel endotel memiliki vesikula pinositik yang sangat sedikit dan tertutup oleh sambungan yang rapat tanpa celah anatomis. Ini memberikan penghalang hambatan listrik yang tinggi. BBB menjelaskan perbedaan konstitusi CSF dan plasma. CSF memiliki kandungan protein yang sangat rendah jika dibandingkan dengan plasma (0,2 versus 60 g/L). Peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal akan mengindikasikan gangguan pada BBB. Konsentrasi kalium, kalsium, glukosa, urea, dan limfosit lebih rendah pada CSF.22 Aliran darah ke otak terutama oleh arteri karotis interna yang berpasangan di anterior dan arteri vertebralis yang berpasangan di posterior. Sekitar 70% aliran darah otak (CBF) disuplai oleh arteri karotis interna. Sirkulasi anterior dan posterior beranastomosis di dasar otak untuk membentuk sirkulus willis. Ada banyak variasi anatomi di sirkulus willisi dengan anastomosis tidak lengkap pada sekitar 50% individu. Meskipun otak hanya terdiri dari 2% dari total massa tubuh, otak menerima 15% dari curah jantung (750 ml / menit pada orang dewasa).22 20 Gambar 2.3. Nilai fisiologis otak.22 Tekanan perfusi (yaitu gradien tekanan arteriovenous) di otak lebih kompleks daripada organ lain karena terkurung dalam ruangan yang tidak dapat dimampatkan. Hal ini tergantung pada perbedaan tekanan antara mean arterial pressure (MAP) dan ICP atau tekanan yang perlu diatasi untuk memasok darah yang cukup ke otak. Perbedaan tekanan ini dikenal sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). CPP normal adalah 70-80 mmHg; ambang batas untuk iskemia kritis adalah 30-40 mmHg. Seperti yang dapat dilihat dari persamaan di bawah ini, bahkan pada tingkat normal MAP, peningkatan TIK lebih dari 20 mmHg akan mengganggu CPP dan karenanya mengurangi aliran darah otak.22 Gambar 2.4. Fisiologi autoregulasi otak.23 Tekanan arteri mempengaruhi aliran darah otak (CBF). Hubungan antara 21 variasi tekanan arteri, indeks volume stroke dan perfusi otak regional selama deplesi volume darah sentral sementara dan replesi pada orang sehat dan menemukan bahwa kecepatan aliran arteri serebral tengah (MCA Vmean) berhubungan secara linier dengan variabilitas tekanan arteri. Sebaliknya, penurunan suhu otak (hipotermia) penting untuk mencegah iskemia serebral selama anestesi atau untuk meningkatkan hasil neurologis dan kelangsungan hidup setelah serangan jantung.24 Perubahan hemodinamik dapat mempengaruhi aliran darah otak dan, dengan demikian juga mempengaruhi saturasi oksigenisasi otak yang dapat diukur dengan mudah menggunakan spektroskopi inframerah (near-infrared spectroscopy/NIRS). Karena saturasi oksigen serebral tampaknya tidak bergantung pada mean arterial pressure (MAP), ada kemungkinan bahwa saturasi oksigen otak mungkin berkorelasi dengan cardiac output (CO) dan, oleh karena itu disimpulkan bahwa oksigenasi otak lebih bergantung pada aliran daripada bergantung pada tekanan. Saturasi oksigen otak dapat meningkat sebagai hasil dari aliran darah yang adekuat selain tekanan darah yang normal.24 Kontrol aliran darah otak Karbon dioksida adalah vasodilator kuat dari pembuluh darah otak. Ketika PaCO2 meningkat, terjadi peningkatan CBF linier antara 3,5 kPa (26 mmHg) dan 8 kPa (60 mmHg). Di atas 8 kPa pembuluh darah otak dilatasi secara maksimal dan tidak ada peningkatan lebih lanjut dalam diameter pembuluh darah yang dimungkinkan; sebaliknya, pada PaCO2 sebesar 3 kPa pembuluh serebral dibatasi secara maksimal. Efek hipokarbia pada pembuluh darah otak dicapai dengan peningkatan konsentrasi ion hidrogen (H+) otak dan berlangsung dalam beberapa menit, mencerminkan waktu yang dibutuhkan untuk konversi CO2 menjadi HCO3dan H+ di ruang perivaskular. Efek vasokonstriksi dari PaCO2 yang rendah secara progresif dilemahkan oleh penurunan tingkat bikarbonat otak, yang menormalkan pH. Hal sebaliknya berlaku untuk hiperkarbia yang berkepanjangan.22 CBF secara langsung responsif terhadap perubahan pengiriman oksigen dan tetap tidak berubah sampai ambang PaO2 6,8 kPa (50 mmHg) tercapai. Di bawah ambang batas ini, CBF meningkat secara dramatis. Ini sesuai dengan bagian curam dari kurva disosiasi oksihemoglobin (yaitu CBF responsif bukan terhadap PaO2 tetapi terhadap kandungan oksigen). Efek ini menjelaskan peningkatan sederhana CBF (peningkatan 10%) saat menghirup oksigen 100%.22 22 Gambar 2.5. Pengaruh PaO2 terhadap aliran darah otak.22 Autoregulasi dicapai dengan perubahan resistensi serebrovaskular (CVR) (terjadi selama 10-60 detik) yang disebabkan oleh refleks miogenik untuk tegangan transmural di pembuluh darah resisten; karena CPP meningkat dari 50 menjadi 150 mmHg, arteriol serebral mengerut dan oleh karena itu membatasi peningkatan CBF. Autoregulasi dapat diubah oleh aktivitas sistem saraf simpatis. Hipertensi kronis atau stimulasi simpatis menggeser kurva autoregulasi ke kanan, sedangkan blokade simpatis atau simpatektomi serviks menggeser kurva ke kiri. Gejala iskemia terjadi hanya jika MAP turun di bawah 60% dari batas autoregulasi bawah. Di atas batas autoregulasi atas, mekanisme seperti dilatasi arteriol otak maksimal, pembalikan gradien hidrostatik dan edema serebral mengakibatkan peningkatan volume darah otak dan ICP. Autoregulasi terganggu dengan adanya patologi intrakranial, hipoksemia, hiperkarbia, obstruksi vaskular (misalnya ateroma karotis), dan agen anestesi volatil.22 Cadangan oksigenasi serebral mengacu pada kapasitas pembuluh darah korteks prefrontal untuk meningkatkan aliran darah sebagai respons terhadap peningkatan kebutuhan metabolik selama peningkatan aktivitas neuron di korteks prefrontal. Beberapa rangsangan, seperti tugas kognitif, dapat mengaktifkan neuron yang mengaktifkan aktivitas listrik dan kimia. Kebutuhan energi segera dari neuron yang diaktifkan dipenuhi dengan oksidasi laktat yang ada di ruang ekstraseluler, yang mengakibatkan penurunan tingkat laktat dan konsentrasi oksigen sementara. 23 Ketika konsentrasi oksigen menurun, kurangnya energi untuk sintesis adenosin trifosfat (ATP) melalui fosforilasi oksidatif menyebabkan peningkatan tingkat adenosin dan laktat ekstraseluler. Kondisi ini menghasilkan pelebaran arteriol yang lebih besar dan aliran darah yang lebih besar di daerah otak yang diaktifkan, sehingga memberikan peningkatan sementara oksihemoglobin (DHbO 2) dan penurunan relatif deoksihemoglobin (DHHb) karena peningkatan konsentrasi HbO2.26 Penurunan saturasi oksigen jaringan otak (SctO2) sering terjadi pada pasien dengan syok septik. Penurunan ini lebih besar dibandingkan pada sekelompok pasien yang menjalani operasi non-jantung berisiko tinggi. Penurunan SctO2 tidak terkait dengan delirium ICU, tetapi mungkin terkait dengan risiko kematian di ICU.27 Penurunan oksigenasi otak hingga mencapai 20% biasanya dianggap signifikan, namun untuk mempertahankan regional cerebral oxygen saturation (rScO2) biasanya perlu untuk menjaga kandungan oksigen arteri dan DO2, tekanan arteri rata-rata (MAP), curah jantung (CO) dan tekanan karbon dioksida (CO2) dalam kisaran normal.28 Vena jugularis interna, sebagai aliran keluar vena utama dari otak, dapat kolaps dalam posisi duduk tegak oleh karena itu, peningkatan gaya gravitasi sebesar +1,5 Gz hipergravitasi dapat mengubah volume darah vena minimal di otak. Asumsi yang diperlukan untuk memantau iskemia serebral dengan oksigenasi serebral akan terpenuhi di bawah hipergravitasi +Gz ringan, dan dengan demikian berhipotesis bahwa regional cerebral oxygen saturation (C-rSO2) akan menurun terutama dalam kaitannya dengan penurunan CBF di bawah hipergravitasi +Gz ringan.29 Tabel 2.8. Faktor yang menyebabkan berkurangnya nilai oksigenasi otak. 30 24 Teknik lain untuk memantau oksigenasi otak secara global dibandingkan lokal atau regional (seperti dengan rScO2) seperti kateter intravaskular untuk menilai saturasi oksigen vena jugularis (SjVO2) dianggap terlalu invasif untuk penggunaan rutin di luar operasi jantung. Meskipun hanya volume kecil jaringan korteks prefrontal (1 ml) yang dipantau jika penempatan dahi yang benar digunakan, jaringan ini berada di area “watershed” otak. Desaturasi yang signifikan dapat terjadi di sini jika tidak ada perubahan penawaran / permintaan global (misalnya seperti yang dinilai oleh SjVO2). Pada relawan yang mengalami hipoksia global dengan menghirup campuran hipoksia, ada korelasi yang masuk akal antara SjVO2 dan rScO2. Namun, seseorang dapat menemukan penurunan rScO2 bahkan ketika SjVO2 berada dalam kisaran normal.28 SjvO2 adalah ukuran global tentang seberapa banyak oksigen yang diekstraksi oleh seluruh otak. Desaturasi SjvO2, didefinisikan sebagai nilai <50-55% selama >10 menit, telah dikaitkan dengan hasil neurologis yang buruk. Sebaliknya, peningkatan SjvO2 >75% juga dikaitkan dengan hasil yang buruk pada pasien dengan Trauma Brain Injury yang parah.31 StO2 yang diperoleh dari Near infrared spectroscopy (NIRS) adalah penanda tidak langsung dari oksigenasi vena sentral. Saturasi oksigen jaringan regional (StO2) yang diperoleh dari NIRS telah terbukti berkorelasi dengan saturasi hemoglobin kapiler-vena. Studi oleh Samraj menunjukkan bahwa StO2 berkorelasi dengan saturasi vena bola jugularis (SjO2) serta dengan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).32 25 Gambar 2.6. Algoritma pada kasus desaturasi serebral. 30 2.2.2. Near-Infrared Spectroscopy Dua metode yang saat ini tersedia untuk mengevaluasi oksigenasi otak adalah tekanan oksigen parsial jaringan otak langsung (partial oxygen pressure/PbtO2) dan spektroskopi inframerah (near-infrared spectroscopy/NIRS). Pemantauan PbtO2 adalah teknik invasif yang telah digunakan dalam pengaturan klinis dan telah terbukti berhubungan dengan outcome setelah cedera kepala. NIRS adalah metode non-invasif yang sebelumnya digunakan dalam tatalaksana pada janin dan bedah jantung, namun belum digunakan secara rutin untuk pemantauan klinis rutin dan dalam rangkaian perawatan intensif saraf dewasa. 33 Near infrared spectroscopy (NIRS), atau dikenal sebagai oksimetri serebral, adalah perangkat non-invasif yang menggunakan cahaya inframerah untuk memperkirakan oksigenasi jaringan otak (rSO2). NIRS menggunakan sinar infra merah untuk menembus jaringan dan memperkirakan oksigenasi jaringan otak dengan mengukur 26 serapan sinar infra merah oleh kromofor jaringan seperti hemoglobin. Dikatakan desaturasi oksigen serebral apabila hasil ≤ 75% dari baseline.34 Dasar utama NIRS adalah bahwa foton yang dipancarkan dari perangkat ditransmisikan dalam bentuk elips melalui jaringan otak dan spektrum yang diserap mencerminkan saturasi hemoglobin dalam darah vena, kapiler dan arteri yang terdiri dari volume sampel.35 Gambar 2.7. Skema dari 3 mode deteksi NIRS.19 Penggunaan indocyanine green (ICG), agen peningkat kontras, memungkinkan penilaian perfusi serebral dengan NIRS. ICG adalah pewarna penyerap cahaya tidak beracun yang memiliki daya serap tinggi dan emisi fluoresensi di NIR. Dengan mengikuti waktu transit bolus ICG yang disuntikkan secara intravena, seseorang dapat memperkirakan aliran darah otak (CBF). Meskipun, waktu transit ini dapat dipantau secara mendalam dengan sistem DOTCW-NIRS, telah ditunjukkan bahwa jika hanya menggunakan satu saluran, penggunaan TD-NIRS meningkatkan sensitivitas kedalaman dari pelacakan bolus ICG dan memungkinkan kita untuk membedakan antara lapisan intra- dan ekstraserebral. Selain itu, penggunaan TD-NIRS juga memberikan akses pengukuran sinyal fluoresensi ICG, yang juga meningkatkan sensitivitas kedalaman. Sinyal fluoresensi yang diukur sering disebut sebagai distribusi waktu kedatangan fluoresensi (distributions of times of arrival/DTA). Keuntungan utama dari teknik ini adalah dapat memberikan nilai CBF dalam unit fisiologis standar (yaitu, mL darah / 100 g / menit). Kelemahan utama dari teknik ini adalah teknik ini tidak dapat 27 terus memantau CBF karena injeksi ICG dibatasi oleh dosis harian maksimum yang direkomendasikan.36 Gambar 2.8. Contoh instrumentasi TD-NIRS.36 Monitor NIRS terdiri dari sensor perekat non-invasif dengan sumber cahaya laser dan dua detektor foto. Menggunakan teknologi optik berdasarkan penyerapan relatif cahaya inframerah oleh spesies hemoglobin yang berbeda, monitor menghasilkan pengukuran saturasi oksigen regional (rSO2). Alat ini biasanya dipasang di dahi dan digunakan untuk mengukur oksigenasi otak, tetapi dapat digunakan untuk mengukur saturasi jaringan regional di tempat lain pada tubuh. 37 Pencitraan dan spektroskopi inframerah dekat adalah teknologi baru yang berkaitan dengan pemantauan perubahan keadaan jaringan biologis menggunakan cahaya dalam kisaran 600 hingga 900 nm. Tiga jenis sumber cahaya telah disarankan untuk digunakan dalam sistem pencitraan dan spektroskopi NIR. Yang paling sederhana adalah sumber gelombang kontinu (continuous wave/CW). Karena sebagian besar sistem yang tersedia secara komersial menggunakan CWlight sebagai sumbernya. Instrumen tipe CW dapat menilai aliran darah otak regional dengan mengukur redaman cahaya melalui jaringan kortikal dan menghitung respons hemodinamiknya, yaitu perubahan konsentrasi hemoglobin dan oksigenasi, menggunakan pengukuran atenuasi. Dengan pengukuran absorpsi ini, sulit untuk mengukur perubahan konsentrasi absolut karena panjang lintasan nyata foton cahaya tidak diketahui dan tidak dapat diukur atau disimpulkan. Instrumen jenis CW mengandalkan asumsi yang disederhanakan tentang sifat media yang diperiksa dan perubahan yang terjadi di dalam volume pengambilan sampel. Respon oksigenasi pada area korteks yang diaktifkan dapat dijelaskan dengan penurunan 28 Hb seiring dengan peningkatan HbO secara simultan. Jika HbO dan Hb meningkat atau menurun, ini mungkin menunjukkan asal selain aktivitas kortikal. Merekam respons Hb memiliki manfaat tambahan yang dapat dikaitkan dengan dan dibandingkan dengan respons tergantung tingkat oksigenasi darah (blood oxygenation level dependent/BOLD) fMRI karena peningkatan kontras BOLD sangat berkorelasi dengan penurunan Hb.38 Teknik NIRS yang kedua adalah NIRS domain frekuensi (frequency domain/FD-NIRS). Dalam FD-NIRS, cahaya yang menyinari jaringan dimodulasi pada frekuensi dalam rentang MHz. Jaringan akan menipiskan dan menggeser fase cahaya yang dipantulkan. Analisis pergeseran fasa memberikan informasi tentang jarak total yang ditempuh cahaya melalui jaringan. Untuk menyelesaikan diffusion equation (DE) dan mendapatkan pengukuran absorpsi dan hamburan, intensitas dan fasa pada dua atau lebih jarak detektor sumber diperlukan. FD-NIRS memungkinkan estimasi saturasi oksigen jaringan otak absolut dan meningkatkan resolusi kedalaman yang sebanding dengan (time domain) TD-NIRS.36 Tabel 2.9. Karakteristik 3 metode NIRS.36 Pemantauan oksigenasi serebral yang diukur dengan NIRS telah banyak digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral, terutama selama operasi kardiovaskular.26 Algoritme yang ditargetkan untuk mengoptimalkan rSO2 selama operasi jantung telah dikembangkan, yang menawarkan potensi untuk mendeteksi 29 perubahan perfusi serebral dan memandu intervensi klinisi, dan telah dibuktikan bahwa hampir setiap episode (yaitu, 97%) dari serebral desaturasi dapat berhasil resolusi.28 Oksimeter serebral menggunakan NIRS untuk mendapatkan pengukuran non-invasif berkelanjutan dari nilai oksigenasi serebral. Oksimeter serebral terdiri dari monitor yang terhubung ke probe oksimeter. Bantalan perekat menempelkan probe ke kulit kepala pasien. Probe paling sering diposisikan pada kulit kepala di atas lobus frontal. Probe berisi sumber cahaya fibreoptik dan detector cahaya. Sumber cahaya melepaskan cahaya dalam jangkauan infra merah melalui proses emisi radiasi terstimulasi atau melalui pemancar cahaya. Cahaya yang dipancarkan dalam jangkauan infra merah mampu menembus tengkorak untuk mencapai jaringan otak di bawahnya. Tengkorak transparan terhadap cahaya dalam jarak dekat-inframerah. Cahaya yang dipancarkan dapat diserap, dialihkan, tersebar, atau dipantulkan. Ketika cahaya infra merah kontak dengan hemoglobin, terjadi perubahan spektrum cahaya, tergantung pada status oksigenasi dari molekul hemoglobin. Cahaya yang dipantulkan kembali ke permukaan dan dideteksi oleh detector cahaya di dalam probe oksimetri. Oksimeter serebral menghitung oksigenasi otak menggunakan hukum Beer – Lambert. Hukum Beer – Lambert adalah kombinasi dari dua hukum fisika.30 Gambar 2.9. Diagram hukum Beer-Lambert.15 30 Near-infrared light dengan panjang gelombang 650–940 nm mampu menembus tengkorak ke jaringan otak yang mendasarinya. Molekul penyerap cahaya utama di dalam jaringan adalah kromofor kompleks logam: hemoglobin, bilirubin, dan sitokrom. Hemoglobin ditemukan dalam bentuk teroksigenasi atau terdeoksigenasi. Spektrum absorpsi untuk setiap keadaan hemoglobin berbeda. Spektrum absorpsi untuk hemoglobin terdeoksigenasi adalah 650–1000 nm dan hemoglobin teroksigenasi 700–1150 nm. Titik isobestik di mana spektrum absorpsi untuk hemoglobin beroksigen dan terdeoksigenasi dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi hemoglobin jaringan total.15 Gambar 2.10. Spektrum absorbsi hemoglobin beroksigen dan deoksigenasi. 15 Darah ekstrakranial merupakan sumber kesalahan potensial dalam pengukuran oksimetri otak. Untuk membatasi ini, oksimeter otak menggunakan banyak probe dan proses resolusi spasial. Resolusi spasial didasarkan pada prinsip bahwa kedalaman jaringan yang diselidiki berbanding lurus dengan jarak antara pemancar cahaya dan detektor cahaya.15 31 Gambar 2.11. Representasi diagram resolusi spasial. 15 Nilai dasar oksimetri serebral harus diperoleh sebelum induksi anestesi. Nilai normal berkisar dari 60% hingga 80%; namun, nilai yang lebih rendah dari 55-60% tidak dianggap abnormal pada beberapa pasien jantung.30 Jaringan serebral memiliki rasio ekstraksi oksigen yang tinggi; akibatnya, nilai StO2 otak lebih rendah daripada nilai StO2 ginjal, yang memiliki aliran darah tinggi tetapi rasio ekstraksi rendah. Pada penilaian bedside, pengukuran StO2 otak 60-80% dan pengukuran ginjal / splanikus yang lebih tinggi dari 65-90% termasuk dalam dalam kondisi normal. Iskemia ini dapat diidentifikasi dengan pemantauan NIRS multisite terus menerus.39 Gambar 2.12. Ilustrasi yang menunjukkan penurunan progresif pada StO2 ginjal dan otak pada kondisi syok, dan perbaikan setelah intervensi.39 32 Respon inflamasi sistemik terhadap sepsis dapat menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan, yang dapat bertahan meskipun hemodinamik normal dan transpor oksigen sistemik pulih, dan menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pemantauan saturasi oksigen jaringan menggunakan NIRS pada pasien dengan sepsis dapat bermanfaat melalui pengenalan dini hipoksia jaringan. Pemantauan NIRS serebral dan somatik telah di gunakan pada pasien dengan syok sepsis dan penelitian telah menunjukkan korelasi dengan teknik pemantauan invasif. Penelitian telah menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam saturasi oksigen jaringan tenar antara pasien dengan sepsis berat dan kontrol yang sehat. Pengukuran dengan NIRS telah digunakan untuk memprediksi kematian akibat sepsis. Secara khusus, ditunjukkan bahwa pengukuran StO2 otot tenar kurang dari 60% umum terjadi pada kohort pasien ICU dewasa dan dikaitkan dengan hasil yang buruk. Nilai cutoff StO2 otot tenar sebesar 75% telah diusulkan sebagai langkah pertama yang spesifik, cepat, dan noninvasif untuk mendeteksi pasien dengan kadar ScvO2 rendah; Dalam penelitian kohort dari 168 pasien dewasa yang dirawat karena sepsis di ruang gawat darurat menemukan korelasi yang signifikan antara oklusi dan pemulihan slope StO2 (diperoleh dengan menggunakan teknik oklusi vaskular) dan skor SOFA.39 2.3. Pengaruh Sepsis terhadap Oksigenasi Serebral Autoregulasi aliran darah otak (CBF) mempertahankan aliran darah yang konsisten di berbagai tekanan darah. Sepsis adalah penyebab umum dari hipotensi sistemik dan disfungsi serebral. Perfusi serebral merupakan titik akhir minimum berbasis fisiologis dalam penyakit kritis yang memungkinkan ahli intensif untuk mengembangkan mean arterial pressure (MAP) individu untuk melindungi fungsi neurologis, dan mungkin organ lainnya. Pengobatan hipotensi pada sepsis mengikuti prinsip bahwa mempertahankan MAP di atas batas bawah autoregulasi aliran darah otak (CBF), diperkirakan antara 50 dan 60 mm Hg, harus memastikan perfusi serebral. Kurva autoregulasi yang dihasilkan menunjukkan peningkatan aliran darah otak saat MAP naik menjadi 50 hingga 60 mm Hg dan plateau CBF konstan saat MAP lebih besar dari 60 mm Hg. Efek sepsis pada otak bersifat multidimensi dan mempengaruhi autoregulasi melalui perubahan fungsi arteri dan kapiler serta fungsi astrositik dan mikroglial otak. Hasil hipoperfusi / hiperperfusi 33 serebral dan cedera inflamasi dapat menyebabkan gangguan serebral terkait sepsis. Autoregulasi serebrovaskular (CVAR) mempertahankan pengiriman oksigen ke otak saat tekanan arteri atau curah jantung mengalami perubahan. Setiap gangguan pada CVAR menyebabkan peningkatan risiko otak mengalami perfusi yang tidak adekuat, terutama hipoperfusi bila terjadi hipotensi arteri. Indeks autoregulasi dinamis (indeks reaktivitas oksigenasi jaringan [TOx]) diperoleh dengan menghubungkan perubahan dalam SctO2 dan tekanan darah arteri. Nilai TOx yang mengidentifikasi kapasitas pengaturan otomatis yang paling menguntungkan atau optimal. CVAR, seperti yang dinilai oleh TOx, mengalami gangguan pada pasien yang dirawat di ICU karena syok septik dan secara independen terkait dengan kematian. Pemantauan TOx dapat dilakukan pada bedside ICU dan mungkin berguna untuk memandu manajemen hemodinamik dan untuk meningkatkan hasil pada pasien dengan syok septik.32 Secara klinis, sepsis-related encephalopathy (SAE) merupakan komplkasi sepsis hingga 71% pasien. SAE berkisar dalam tingkat keparahan dari delirium ringan hingga obtundasi dan berkorelasi dengan kelainan elektroensefalogram termasuk kejang, tidak adanya reaktivitas, gelombang triphasic, dan aktivitas δ. 40 Gambar 2.13. Gambaran skematis perubahan patofisiologi dan molekuler yang mendasari sepsis related encephalopathy.32 34 hipotensi selama sepsis dan syok septik mengakibatkan penurunan perfusi serebral Sepsis merusak sirkulasi makro dan sirkulasi mikro otak. Studi MRI, analisis post-mortem pasien sepsis, dan juga hewan percobaan mengkonfirmasi area makrokopis dan mikroskopis dengan lesi iskemik dan hemoragik. Episode, yang telah ditunjukkan dalam beberapa studi klinis. Selain itu, vasoreaktivitas sistemik yang terganggu dan autoregulasi arteri serebral yang tidak teratur berkontribusi pada penurunan perfusi serebral. Secara fisiologis, autoregulasi serebral mengontrol perfusi otak konstan dengan mengatur vasokonstriksi arteri serebral. Disfungsi endotel selama sepsis menyebabkan aliran darah otak tidak konsisten, terutama selama fluktuasi tekanan darah. Autoregulasi yang terganggu ditemukan pada hampir 50% pasien sepsis dengan SAE.41 Iskemia serebral adalah kenyataan pada sepsis: dalam analisis post-mortem otak pasien yang meninggal karena sepsis, beberapa lesi iskemik kecil dapat diidentifikasi di berbagai area otak. Penjelasan yang mungkin adalah hipotensi yang terlihat pada sepsis, terutama bila bersamaan dengan penyakit serebrovaskular yang sudah ada sebelumnya atau kegagalan autoregulasi. Mekanisme trombotik akibat hematokrit yang tinggi dan peningkatan viskositas darah pada sepsis dapat menyebabkan infark watershed seperti yang telah dijelaskan pada pasien septik dengan hipotensi berkepanjangan.42 Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara MAP dan tekanan vena sentral yang lebih tinggi atau tekanan intrakranial (ICP). Karena perbedaan tekanan ini berubah sepanjang plateau autoregulasi, aliran tetap konstan karena perubahan kompensasi pada resistensi serebrovaskular (CVR). CVR ditentukan oleh diameter kapiler, arteriol, dan arteri (yaitu vasodilatasi dan vasokonstriksi) yang dimediasi oleh oksida nitrat dan arginin. Tuntutan metabolik dari unit neurovaskular menyebabkan perubahan CVR yang juga meningkatkan atau menurunkan aliran darah. Mediator untuk proses tersebut termasuk glutamat, adenosin, peptida usus vasoaktif, dan ion hidrogen dan kalium. Karbon dioksida (CO2) adalah vasodilator kuat di otak dan respons vaskular terhadap perubahan CO2 diukur sebagai reaktivitas serebrovaskular, atau reaktivitas CO2, dengan satuan persentase perubahan kecepatan CBF per perubahan kilopascal pada CO2 tidak akhir. CVR juga berubah sebagai respons terhadap CPP. Ini dapat dinilai sebagai autoregulasi CBF dinamis yang mengacu pada kemampuan pembuluh darah otak 35 untuk menstabilkan CBF setelah perubahan cepat pada MAP. Autoregulasi CBF dinamis sering dinilai menggunakan analisis fungsi transfer. Selain itu, CVR merespons persarafan sistem saraf, meskipun saraf simpatis secara unik terbatas pada arteri besar di otak. Banyaknya jalur yang tersedia untuk mengubah CVR menyebabkan diperlukan pengaturan CBF secara otomatis secara efektif. Gangguan autoregulasi CBF dapat terjadi akibat MAP, di bawah LLA atau di atas ULA, atau disfungsi vaskular. Data sepsis biasanya menemukan reaktivitas serebrovaskular, menunjukkan bahwa pembuluh darah otak mempertahankan kemampuan vasodilatasi, yang menyebabkan kemungkinan disfungsi vaskular lebih kecil pada sepsis awal dan SAE.40 Gambar 2.14. Respons otak terhadap infeksi sistemik. 3 36 2.4 Kerangka Teori Gambar 2.15. Kerangka Teori. 37 2.5 Kerangka Konsep Oksigenasi serebral (rSO2) One Hour Bundle Sepsis = Variabel Independent = Variabel Dependent Gambar 2.16. Kerangka Konsep BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik intervensional untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada pasien sepsis.44 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di instalasi gawat darurat (IGD) dan ICU RSUP H. Adam Malik Medan, Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2021 hingga sampel tercukupi. 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosis sepsis serta ditatalaksana dengan one hour bundle sepsis. Sampel penelitian ini adalah sebagain dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4. Cara Pemilihan Sampel Subjek penelitian diambil dengan teknik consecutive sampling hingga jumlah subjek penelitian terpenuhi. 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi 1. Berusia 18-65 tahun. 2. Skor qSOFA ≥ 2. 3.5.2. Kriteria Eksklusi 1. Subjek penelitian atau keluarga menolak untuk menandatangani informed consent. 2. Subjek penelitian yang memperoleh penanganan one hour bundle >1 jam pasca teridentifikasi sepsis. 3. Subjek penelitian dengan trauma kepala atau masalah intrakranial 4. Subjek penelitian dalam pengobatan 38 dengan imunosupresan, 39 glukokortikoid, sitostatika dan riwayat penyakit keganasan. 5. Subjek penelitian dengan penyebab surgical sepsis yang tidak dilakukan source control. 3.5.3. Kriteria Drop-out Pasien mengalami henti jantung atau henti nafas selama observasi dan pengambilan data. 3.6. Besar Sampel Rumus untuk menentukan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini Yaitu : Keterangan: 𝑁 = (𝑥1 − 𝑥2) N = jumlah sampel total 𝛼 = kesalahan tipe 1, nilainya merupakan judgement yang ditetapkan oleh peneliti. Pada penelitian ini ditetapkan nilai α adalah sebesar 5% (0,05). Zα = nilai standar dari alfa. Nilainya diperoleh dari nilai Z kurva normal. Pada penelitian ini, dikarenakan menggunakan hipotesa dua sisi, makan nilai Zα adalah sebesar 1,96. β = kesalahan tipe 2, nilainya merupakan judgement yang ditetapkan oleh peneliti. Pada penelitian ini ditetapkan nilai β adalah sebesar 20% (0,2). Zβ = nilai standar dari beta. Nilainya diperoleh dari nilai Z kurva normal. Tingkat kekuatan ditetapkan sebesar 0,84. s = simpangan baku yang nilainya bersumber dari kepustakaan. Pada penelitian ini ditetapkan menggunakan s sebesar 11,10. 6 x1-x2 = selisih rerata minimal yang dianggap bermakna antara rSO2 T1 dan rSO2 T2. Nilainya merupakan judgement atau ketetapan peneliti dengan ketentuan logis dan etis. Pada penelitian ini ditetapkan sebesar 6. 40 Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus besar sampel di atas, maka diperoleh besar sampel sebesar 26,83 atau dibulatkan menjadi 27 sampel. Kemudian dilakukan penambahan sampel sebesar 10%, sehingga total menjadi 30 sampel. 3.7. Alat dan Bahan Alat dan Bahan Penelitian a. Lembar observasi pasien b. Termometer dengan nama dagang Omron® c. Stethoscope dengan nama dagang Littmann® d. Pengukur panjang badan e. Alat tulis f. Monitor hemodinamik g. Central Venous Catheter (CVC) h. Kalkulator i. Set infus j. Syringe pump k. Kateter vena no 18 G merk Remedi® l. Cerebral Oximetry System dengan nama dagang INVOS- Medtronic® 3.8. Prosedur Kerja 1. Setelah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dilakukan pengambilan sampel penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2. Tujuan, keuntungan, kerugian dan prosedur penelitian dijelaskan kepada keluarga subjek penelitian serta menandatangani informed consent apabila bersedia mengikuti penelitian. 3. Seluruh subjek penelitian dilakukan pencatatan identitas (usia, jenis 41 kelamin, berat badan dan tinggi badan), anamnesis baik secara autoanamnesa atau alloanamnesa dan pemeriksaan fisik dilakukan pada subjek penelitian. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dilakukan penilaian tingkat kesadaran, perhitungan skor qSOFA, pencatatan tekanan darah, denyut jantung dan rSO2 menggunakan INVOS® (T0). 4. Seluruh subjek penelitian yang teridentifikasi mengalami sepsis di IGD diberi penanganan one hour bundle yang terdiri atas pengukuran kadar laktat, pengambilan kultur darah, pemberian antibiotik spektrum luas (Ceftriaxone 2gr), kristaloid (Ringer Lactat) 30 ml/kg untuk hipotensi atau kadar laktat ≥ 4 mmol/L dan pemberian vasopressor (Norephinephrine) apabila pasien mengalami hipotensi selama atau setelah resusitasi cairan untuk mempertahankan MAP ≥ 65mmHg. 5. Pemantauan dan pencatatan tekanan darah, denyut jantung dan rSO2 menggunakan INVOS® pada saat segera setelah dilakukan one hour bundle (T1). 6. Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara statistik. 3.9. Etika Penelitian Untuk izin penelitian, persetujuan diperoleh dari subjek penelitian dan Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang akan melakukan penilaian kelayakan proposal penelitian. 3.10. Definisi Operasional 1. One hour bundle sepsis a. Definisi : Prinsip tatalaksana sepsis terbaru yang terdiri atas pemeriksaan kadar laktat, kultur darah sebelum pemberian antibiotik, pemberian antibiotik spektrum luas, kristaloid 30 ml/kg jika terjadi hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L dan vasopressor jika terjadi hipotensi saat atau setelah resusitasi cairan untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. b. Skala ukur : Nominal 2. Serebral Oksigenasi a. Definisi : Tangkapan dari alat NIRS yang menggunakan gelombang infrared untuk menilai proporsi hemoglobin yang 42 berikatan dengan oksigen pada pembuluh darah serebral b. Alat dan Hasil Ukur : Saturasi oksigen pada frontal dalam persentase didapat dari serebral oksimetri menggunakan teknologi near- infrared spectroscopy (NIRS). c. Skala ukur 3.11. : Rasio Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu SPSS (Statistical Package for Social Science). Data demografi disusun dalam tabel distribusi frekuensi. Analisis data inferensial untuk menguji hipotesis menggunakan uji T dependen apabila data berdistribusi normal dan uji Wilcoxon apabila data tidak berdistribusi normal. Data dinilai signifikan apabila nilai p < 0,05. 43 3.12. Alur Penelitian Populasi Eksklusi Inklusi Sampel Pencatatan TD, HR dan rSO2 (T0) One Hour Bundle Segera setelah one hour bundle (T1) Analisa statistik Gambar 3.1. Alur Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik intervensional untuk mengetahui gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada pasien sepsis. Penelitian ini dilakukan di instalasi gawat darurat (IGD) dan ICU RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2021 hingga sampel tercukupi. Sampel penelitian ini sebanyak 30 sampel yang didapatkan dari seluruh pasien yang didiagnosis sepsis serta ditatalaksana dengan one hour bundle sepsis dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik N (%) Mean ± SD Usia 46,7 ± 12,09 Jenis Kelamin Laki-laki 18 (60) Perempuan 12 (40) Pekerjaan Buruh 4 (13,3) Guru 9 (30) Karyawan 4 (13,3) Pedagang 8 (26,7) Petani 4 (13,3) Pegawai Negeri Sipil 1 (3,3) Suku Aceh 5 (16,7) Batak 10 (33,3) Jawa 6 (20) Melayu 8 (26,7) Sunda 1 (3,3) Agama Islam 12 (40,0) Katholik 1 (3,3) Protestan 14 (46,7) Buddha 3 (10) Diagnosis Sepsis pulmoner 20 (66,7) SSTI 2 (6,7) Sepsis saluran cerna 1 (3,3) Urosepsis 7 (23,3) BMI 24,67 ± 2,55 TOTAL 30 (100) 44 45 Berdasarkan tabel 4.1, sampel penelitian ini berjumlah 30 sampel dengan rerata usia 46,7 ± 12 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, didapati 18 sampel (60%) laki-laki dan 12 sampel (40%) perempuan. Pekerjaan yang terbanyak adalah guru sebanyak 9 sampel (30%), diikuti oleh profesi pedagang sebanyak 8 sampel (26,7%). Profesi buruh, karyawan, dan petani memiliki besar sampel yang serupa, yaitu sebanyak 4 sampel (13,3%) pada masing-masing profesi. Didapati 1 sampel (3,3%) berprofesi Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan suku, didapati sampel dengan suku Batak sebanyak 10 sampel (33,3%), suku Melayu 8 sampel (26,7%), suku Jawa 6 sampel (20%), suku Aceh 5 sampel (16,7%), dan suku Sunda sebanyak 1 sampel (3,3%). Distribusi sampel berdasarkan agama didapati agama islam sebanyak 12 sampel (40%), Kristen protestan 14 sampel (46,7%), buddha 3 sampel (10%), dan katholik 1 sampel (3,3%). Berdasarkan diagnosis, didapati kasus sepsis pneumonia sebanyak 20 sampel (66,7%), urosepsis dan sepsis disertai acute kidney injury sebanyak 7 sampel (23,3%) pada tiap kelompok, kasus skin and soft tissue infection sebanyak 2 sampel (6.67%) dan kasus sepsis saluran cerna didapati sebanyak 1 sampel (3.3%). Berdasarkan nilai rerata BMI pada penelitian ini adalah 24,67 ± 2,55. Tabel 4.2 Karakteristik SBP, DBP dan HR Pada T0 dan T1 Karateristik Mean SD Nilai SBP T0 88,03 7,21 T1 103 4,63 Nilai DBP T0 55,27 3,22 T1 59,27 6,17 Heart Rate T0 117,57 7,40 T1 110,87 8,67 Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan nilai rerata SBP pada SBP T0 adalah 88,03 dengan nilai SD 7,21. Nilai rerata pada SBP T1 adalah 103 dengan nilai SD 4,63. Nilai rerata DBP pada DBP T0 adalah 55,27 dengan nilai SD 3,22. Nilai rerata pada DBP T1 adalah 59,27 dengan nilai SD 6,17. Nilai rerata Heart Rate pada T0 adalah 117,57 dengan nilai SD 7.40, sedangkan rerata Heart Rate pada T1 adalah 110,87 dengan nilai SD 8,67. 46 Tabel 4.3 Perbandingan RSO2 Kanan dan RSO2 Kiri Pada pengamatan T0 dan T1 Nilai RS02 Nilai RSO2 Kanan RSO2 T0 : RSO2 T1 Nilai RS02 Kiri RSO2 T0 : RSO2 T1 Mean Nilai p value 46,50 49,76 0,004 46,76 50,32 0,009 Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan nilai rerata oksigenasi serebral kanan sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 46,5 dan 49,76. Nilai rerata oksigenasi serebral kiri sebelum dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle didapati 46,76 dan 50,32 secara berurutan. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai RSO2 kanan T0-T1 dengan nilai p 0,004 < 0,05. Begitu pula pada nilai rerata RSO2 kiri dengan perbandingan T0-T1 memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai p 0,009 < 0,05. BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik intervensional yang menilai gambaran oksigenasi serebral pasien sepsis setelah tindakan one hour bundle di RSUP H Adam Malik Medan dengan jumlah sampel sebanyak 30 sampel. Pada hasil penelitian ini didapati sampel berjenis kelamin laki-laki memiliki jumlah yang lebih banyak daripada sampel berjenis kelamin perempuan, yaitu 18 sampel (60%). Menurut data epidemiologi global sepsis WHO, insidensi sepsis lebih sering terjadi pada wanita, namun tingkat mortalitas akibat sepsis lebih tinggi pada pria.3 Penelitian oleh Novosad et al mengenai epidemiologi sepsis di New York tahun 2013-2015 menunjukkan sebanyak 52% pasien sepsis dewasa berjenis kelamin laki-laki.46 Adanya perbedaan dalam hal karakteristik pasien dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiodemografis tiap lokasi penelitian. Penyebab sepsis yang paling banyak dijumpai dalam penelitian ini adalah sepsis pneumonia. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Shankar-Hari et al dimana sumber infeksi penyebab sepsis yang paling banyak ditemukan adalah sepsis saluran nafas diikuti oleh infeksi saluran cerna.47 Hasil penelitian oleh Abe et al juga menemukan penyebab sepsis yang paling sering adalah infeksi paru. 48 Menurut data WHO, sekitar 2/3 kasus sepsis terjadi pada pasien dengan penyakit infeksi. Insidensi kematian yang berhubungan dengan sepsis paling sering disebabkan oleh infeksi saluran nafas bawah, yaitu sekitar 1,8 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2017.3 Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada nilai oksigenasi serebral yang dinilai dengan NIRS sebelum dan 1 jam setelah dilakukan one hour sepsis bundle. Tindakan one hour bundle bertujuan untuk membantu meningkatkan perfusi oksigen ke jaringan dengan mempertahankan mean arterial pressure di atas 65 mmHg melalui pemberian resusitasi cairan dan penggunaan obat vasopressor. Dengan dilakukan tindakan ini, diharapkan oksigen dapat dihantarkan ke jaringan dan perfusi oksigen ke jaringan dapat lebih optimal. Hal ini ditandai dengan penurunan laktat sebagai metabolit utama metabolisme anaerob dan terjadi peningkatan saturasi oksigen, 47 48 baik sentral maupun perifer.49 Perfusi serebral merupakan end point minimum pada pasien sakit kritis dimana dengan mempertahankan MAP maka perfusi serebral dapat terjaga sehingga fungsi sistem organ tetap optimal dan meminimalisir komplikasi neurologis. 40 Banyak penelitian yang menilai pengaruh sepsis bundle terhadap hemodinamik dan saturasi oksigen vena, namun penilaian pengaruh tindakan one hour bundle terhadap oksigenasi serebral secara spesifik masih sangat minim. Penelitian oleh Raj et al menunjukkan hasil yang signifikan tindakan one hour sepsis bundle terhadap peningkatan Scvo2 > 70% pada pasien pasien sepsis. Ditemukan perbaikan pada kondisi klinis pasien dan penurunan tingkat mortalitas pasien sepsis setelah dilakukan intervensi one hour sepsis bundle. 50 Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya korelasi signifikan antara rSO2 dan ScvO2 pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis. ScvO2 <70% diindikasikan oleh adanya rSO2 <56,5% dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75% dan 100%. Pasien dengan nilai ScvO2 < 70% tidak memiliki nilai rSO2 yang rendah secara signifikan. Analisis regresi multivariat menunjukkan rSO2 frontal pada awal pasien sepsis memiliki tingkat prediksi yang serupa dengan ScvO2 (p = 0,005).6 Tingkat saturasi oksigen serebral secara umum dapat menggambarkan saturasi oksigen vena dan dapat mengestimasi keseimbangan oksigen secara umum dan jaringan spesifik secara non invasif.51 Penelitian lain juga menyebutkan perbedaan nilai saturasi oksigen vena campuran dan serebral berada dalam rentang yang tidak jauh berbeda. Pada keadaan ini, saturasi oksigen serebral dapat merepresentasikan kadar saturasi oksigen vena campuran.51 Das, Mitra, dan Das menilai tingkat oksigenasi serebral menggunakan NIRS pada pasien syok sepsis dan menemukan hubungan yang signifikan antara tingkat oksigenasi serebral, MAP, kadar laktat, dan saturasi vena sentral pada pasien syok. Hubungan positif antara oksigenasi serebral, MAP, dan saturasi vena sentral bertahan hingga 72 jam dengan pemantauan tiap 6 jam, dan adanya hubungan negatif yang signifikan antara oksigenasi serebral dan kadar laktat pada pasien syok sepsis. 52 Penelitian oleh Tayar et al juga menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingkat oksigensi serebral dengan parameter perfusi 49 jaringan, seperti laktat, saturasi oksigen vena sentral, dan MAP. 53 Moerman dan Herts juga menemukan peranan tingkat oksigenasi serebral dalam meningkatkan outcome neurologis dan mobilitas organ. 54 Hal ini menunjukkan peranan oksigenasi serebral sebagai salah satu parameter tambahan dalam penatalaksanaan pasien sepsis yang memiliki nilai prognostic. Pengukuran yang real time dan noninvasif juga memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam pemantauan perubahan hemodinamik pada pasien sepsis sehingga penatalaksanaan dan intervensi dapat diberikan secara cepat dan optimal. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Rerata usia sampel penelitian ini adalah 46,7 ± 12 tahun dengan 18 (60%) sampel berjenis kelamin laki-laki dan 12 (40%) sampel perempuan. Pekerjaan terbanyak yang dijumpai adalah guru, yaitu sebanyak 9 (30%) sampel, diikuti oleh pedagang sebanyak 8 (26,7%) sampel. Suku terbanyak yang dijumpai adalah suku Batak, sebanyak 10 (33,3%) sampel dan suku Melayu sebanyak 8 (26,7%) sampel. Jika dihitung dari segi agama, sampel terbanyak adalah yang beragama Kristen Protestan, yaitu 14 (46,7%) sampel, diikuti dengan agama Islam sebanyak 12 (40,0%) sampel. Diagnosis sepsis pulmoner adalah yang terbanyak, yaitu dengan 20 (66,7%) sampel, sedangkan yang paling sedikit adalah kasus sepsis saluran cerna, didapati sebanyak 1 (3,3%) sampel. Nilai rerata BMI pada penelitian ini adalah 24,67 ± 2,55. 2. Nilai rerata oksigenasi serebral kanan sebelum dilakukan tindakan one hour bundle adalah 46,5. Nilai rerata oksigenasi serebral kiri sebelum tindakan one hour bundle adalah 46,76. 3. Nilai rerata oksigenasi serebral kanan 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 49,76. Nilai rerata oksigenasi serebral kiri 1 jam setelah tindakan one hour bundle adalah 50,32. 4. Terdapat perbedaan signifikan pada perbandingan nilai rSO2 kanan pada pengamatan sebelum tindakan one hour bundle dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle dengan p= 0,004 < 0,05. Hal yang sama didapatkan pula pada perbandingan nilai rSO2 kiri pada pengamatan sebelum tindakan one hour bundle dan 1 jam setelah tindakan one hour bundle dengan p= 0,009 < 0,05. 50 51 6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Diharapkan penilaian oksigenasi serebral dapat dilakukan secara rutin pada penanganan pasien-pasien sepsis karena dapat segera menilai efek terapi. 2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai oksigenasi serebral pada penanganan pasien sepsis dengan waktu pengamatan yang lebih panjang (jam ke-6, jam ke-12, jam ke-24 dan jam ke-48). 3. Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai oksigenasi serebral dikaitkan dengan variabel lain yang lebih luas, seperti hubungan oksigenasi serebral terhadap kadar laktat, hemodinamik, maupun variabel lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Putra IAS. Update tatalaksana sepsis. CKD-280. 2019; 46(110: 681-6. 2. Rudd KE, Johnson SC, Agesa KM, et al. Global, regional and national sepsis incidence and mortality, 1990-2017: analysis for the global burden of disease study. Lancet. 2020; 39: 200-6. 3. World Health Organization. Global report on the epidemiology and burden of sepsis: current evidence, identifying gaps and future directions. World Health Organization. 2020: 3-4. 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Sepsis. 2017: 5-6. 5. Funk DJ, Kumar A, Klar G. Decreases in cerebral saturation in patients with septic shock are associated with increased risk of death: a prospective observational single center study. Journal of Intensive Care. 2016; 42(4): 18. 6. Koch C, Rohrig R, Monz T, et al. Prospective evaluation of regional oxygen saturation to estimate central venous saturation in sepsis. J Clin Monit Comput. 2015; 29: 443-53. 7. Myers DE, Anderson LD, Seifert RP, et al. Noninvasive method for measuring local hemoglobin oxygen saturation in tissue using wide gap second derivative near-infrared spectroscopy. Journal of Biomedical Optics. 2005; 10(3): 1-18. 8. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and septic shock: guideline-based management. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2020; 87(1): 53-61. 9. Cawcutt KA, Peters SG. Severe sepsis and septic shock: clinical overview and update on management. Mayo Clin Proc. 2014; 89(110: 1572-9. 10. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis: the evolution in definition, pathophysiology and management. SAFE Open Medicine. 2019; 7: 1-13. 11. Jacobi J. Pathophysiology of sepsis. Am J Health Syst Pharm. 2002; 59: 1-7. 12. Suhendro. Definisi dan kriteria terbaru diagnosis sepsis: sepsis-3. Jakarta Antimicrobial Update. 2017: 1-6. 52 53 13. Kalantari A, Rezaie SR. Challenging the one-hour sepsis bundle. Western Journal of Emergency Medicine. 2019; 20(2): 185-8. 14. Lehman KD. Surviving sepsis campaign recommends hour-1 bundle use. The Nurse Practitioner. 2019; 44(4): 1. 15. Jisoo L, Mitchell ML. Treatment of patients with severe sepsis and septic shock: current evidence-based practices. Rhode Island Medical Journal. 2019: 18-22. 16. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The surviving sepsis campaign bundle: 2018 update. Intensive Care Med. 2018; 44: 925-8. 17. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and septic shock: 2016. Critical Care Medicine. 2017; 45(3): 1-67. 18. Malbrain ML, Marik PE, Witters I, et al. Fluid overload, de-resuscitation, and outcomes in critically ill or injured patients: a systematic review with suggestions for clinical practice. Anaesthesiol Intensive Ther 2014; 46(5): 361– 80. 19. Seymour CW, Gesten F, Prescott HC, et al. Time to treatment and mortality during mandated emergency care for sepsis. N Engl J Med 2017; 376(23): 2235–44. 20. Leone M, Asfar P, Radermacher P, et al. Optimizing mean arterial pressure in septic shock: a critical reappraisal of the literature. Crit Care 2015; 19: 101. 21. Gordon AC, Mason AJ, Thirunavukkarasu N, et al. Effect of early vasopressin vs norepinephrine on kidney failure in patients with septic shock: the VANISH Randomized Clinical Trial. JAMA. 2016; 316(5):509– 18. 22. Das P, Luoma A. Applied cerebral physiology. Neurosurgical Anaesthesia. 2019: 45-51. 23. Silverman A; Petersen N. Physiology, Cerebral Autoregulation. StatPearls. 2020. Available https://www.statpearls.com/ArticleLibrary/viewarticle/83781 11th November 2020) from: [Accessed: 54 24. Brassard P, Ainslie PN, Secher NH. Cerebral oxygenation in health and disease. Frontiers in Physiology. 2014; 5: 1-2. 25. Schramm P, Tzanova I, Hagen F, et al. Cerebral oxygen saturation and cardiac output during anaesthesia in sitting position for neurosurgical procedures: a prospective observational study. British Journal of Anaesthesia. 2016: 482-9. 26. Goenarjo R, Bosquet L, Berryman N, et al. Cerebral oxygenation reserve: the relationsip between physical activity level and the cognitive load during a atroop task in healthy young males. Int. J. Environ. Res. 2020; 17: 1406. 27. Rodriguez A, Lisboa T, Loeches IM, et al. Mortality and regional oxygen saturation index in septic shock patients: a pilot study. The Journal of Trauma. 2011; 70(5): 1-8. 28. Green DW, Kunst G. Cerebral oximetry and its role in adult cardiac, noncardiac surgery and resuscitation from cardiac arrest. Anaesthesia. 2017; 72(1): 48-57. 29. Konishi T, Kurazumi T, Kato T, Takko C, Ogawa Y, Iwasaki K. Changes in cerebral oxygen saturation and cerebral blood flow velocity under mild +Gz hypergravity. J Appl Physiol 127: 190–197, 2019. First published June 6, 2019; doi:10.1152/japplphysiol. 00119.2019 30. Tosh W, Patteril M. Cerebral oximetry. BJA Education. 2016; 16(12): 417421. 31. Ngwenya LB, Burke JF, Manley GT. Brain tissue oxygen monitoring and the intersection of brain and lung: a comprehensive review. Respiratory Case. 2016; 61(9): 1-13. 32. Bindra J, Pham P, Chuan A, et al. Is impaired cerebrovascular autoregulation associated with outcome in patients admitted to the ICU with early septic shock?. Crit Care Resusc 2016; 18: 95–101. 33. Budohoski KP, Zweifel C, Kasprowicz M, et al. What comes first? The dynamics of cerebral oxygenation and blood flow in response to changes in arterial pressure and intracranial pressure after head injury. British Journal of Anaesthesia. 2012; 108(1): 89-99. 34. Tobias JD, Johnson GA, Rehman S, et al. Cerebral oxygenation monitoring 55 using near infrared spectroscopy during one-lung ventilation in adults. J Min Access Surg 2008; 4: 104-7. 35. Vasko A, Siro P, Laszlo I, et al. Assessment of cerebral tissue oxygen saturation in septic patients during acetazolamide provocation – a near infrared spectroscopy study. Acta Physiologica Hungarica. 2014; 101(1): 32-40. 36. Lange F, Tachtsidis. Clinical brain monitoring with time domain NIRS: a review and future perspectives. Appl. Sci. 2019; 9: 1612. 37. Dewhirst E, Walia H, Samora WP, et al. Changes in cerebral oxygenation based on intraoperative ventilation strategy. Medical Devices: Evidence and Research 2018; 11: 253–58. 38. Son JY, Yazici B. Near infrared imaging and spectroscopy for brain activity monitoring. Rensselaer Polytechnic Institute. 2005: 1-32. 39. Samraj RS, Nicolas L. Near infrared spectroscopy (NIRS) derived tissue oxygenation in critical illness. Clin Invest Med. 2015; 38(5): 285-95. 40. Goodson CM, Rosenblatt K, Rivera-Lara et al. Cerebral blood flow autoregulation in sepsis for the intensivist: why its monitoring may be the future of individualized care. J Intensive Care Med. 2018; 33(2): 63–73. 41. Chung HY, Wickel J, Brunkhorst FM, et al. Sepsis-associated encephalopathy: from delirium to dementia?. J. Clin. Med. 2020, 9, 703. 42. Burkhart CS, Siegemun M, Steiner LA. Cerebral perfusion in sepsis. Critical Care 2010, 14: 215. 43. Sonneville R, Verdonk F, Rauturier C, et al. Understanding brain dysfunction in sepsis. Annals of Intensive Care 2013, 3: 15. 44. Dahlan M; Sopiyudin. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Epidemiologi Indonesia. 2014; 5(1): 35. 45. Das BP, Sharma M, Bansal S, Philip M, Umamaheswara Rao GS. Prognostic value of tissue oxygen monitoring and regional cerebral oxygen saturation monitoring and their correlation in neurological patients with sepsis: a preliminary, prospective, observational study. Journal of neurosurgical anesthesiology. 2020 Jan 12;32(1):77-81. 56 46. Novosad SA, Sapiano MR, Grigg C, Lake J, Robyn M, Dumyati G, Felsen C, Blog D, Dufort E, Zansky S, Wiedeman K, Avery L, Dantes RB, Jernigan JA, Magill SS, Fiore A, Epstein L. Vital Signs: Epidemiology of Sepsis: Prevalence of Health Care Factors and Opportunities for Prevention. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2016 Aug 26;65(33):864-9. doi: 10.15585/mmwr.mm6533e1. PMID: 27559759. 47. Shankar-Hari M, Harrison DA, Rubenfeld GD, Rowan K. Epidemiology of sepsis and septic shock in critical care units: comparison between sepsis-2 and sepsis-3 populations using a national critical care database. Br J Anaesth. 2017 Oct 1;119(4):626-636. doi: 10.1093/bja/aex234. PMID: 29121281. 48. Abe, T., Yamakawa, K., Ogura, H. et al. Epidemiology of sepsis and septic shock in intensive care units between sepsis-2 and sepsis-3 populations: sepsis prognostication in intensive care unit and emergency room (SPICEICU). j intensive care 8, 44 (2020). https://doi.org/10.1186/s40560-02000465-0 49. Ko BS, Choi SH, Shin TG, Kim K, Jo YH, Ryoo SM, Park YS, Kwon WY, Choi HS, Chung SP, Suh GJ, Kang H, Lim TH, Son D, Kim WY. Impact of 1-Hour Bundle Achievement in Septic Shock. J Clin Med. 2021 Feb 2;10(3):527. doi: 10.3390/jcm10030527. PMID: 33540513; PMCID: PMC7867161. 50. Raj, Swaroop & Panda, Prasan & Wig, Naveet & Agarwal, Praveen & Pandey, R.. (2019). Compliance with 6 h-Sepsis Resuscitation Bundle of Surviving Sepsis Campaign before and after Resident Physicians' Training: A Quality Improvement Interventional Study among Indian Patients. Journal of Emergencies, Trauma and Shock. 12. 3-9. 10.4103/JETS.JETS_26_18. 51. Schön J, Heringlake M, Berger KU, Volker Groesdonk H, Sedemund-Adib B, Paarmann H. Relationship between mixed venous oxygen saturation and regional cerebral oxygenation in awake, spontaneously breathing cardiac surgery patients. Minerva Anestesiol. 2011 Oct;77(10):952-8. PMID: 21952594. 57 52. Das D, Mitra K, Das S (2021) Brain Co-oximetry: An Useful Non-Invassive Parameter Adjuvant to Standard Perfusion Parameters in Septic Shock. J Anesth Clin Res. 12: 987. 53. Tayar AA, Abouelela A, Mohiuddeen K. Can the cerebral regional oxygen saturation be a perfusion parameter in shock?. J Crit Care. 2017;38(6):164167. 54. Moerman A, Hert S. Cerebral oximetry: the standard monitor of the future?. Curr Opin Anesthesiol. 2015,28(5):703-709. 58 Lampiran 1 RIWAYAT HIDUP PENELITI Nama : dr. Alpert Davista Tempat/Tgl Lahir : Jambi, 22 Juni 1986 Agama : Islam Alamat Rumah : Jl. Mayjend Sutoyo No 42 Jambi Nama Ayah : Pirdaus, S.E. Nama Ibu : Rusmiatun Status Tingkatan : Semester VII No Hp 081286537616 Riwayat Pendidikan 1991-1992 : TK Al-Mutaqin Jambi 1992-1998 : SDN 92 Jambi 1998-2001 : SLTPN 7 Jambi 2001-2004 : SMUN 1 Jambi 2005-2009 : Fakultas Kedokteran Universitas YARSI 2009-2011 : Profesi Dokter 2018-Sekarang Deskripsi Tugas : PPDS-1 Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU : Mengolah dan menganalisa data 59 Lampiran 2 LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Bapak/Ibu Yth. Saya dr. Alpert Davista, saat ini menjalani program magister pendidikan dokter spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran USU dan sedang melakukan penelitian yang berjudul “GAMBARAN OKSIGENASI SEREBRAL SETELAH TINDAKAN ONE HOUR BUNDLE PADA PENANGANAN PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran oksigenasi serebral setelah tindakan one hour bundle pada penanganan pasien sepsis di rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan. Selama proses penelitian, bapak / ibu akan dilakukan penanganan menggunakan one hour bundle yang terdiri atas pengambilan darah untuk pemeriksaan laktat dan kultur darah yang bertujuan untuk menentukan penyebab infeksi. Bapak/Ibu juga akan diberikan pemberian antibiotik, cairan dan obatobatan untuk meningkatkan tekanan darah bila dibutuhkan. Selanjutnya, bapak/ibu akan dipantau selama 24 jam menggunakan monitor dan sensor yang dipasang di dahi. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung atau hal yang kurang jelas yang ingin ditanyakan, Bapak/Ibu dapat menghubungi saya dr. Alpert Davista (HP 081286537616) untuk mendapatkan pertolongan dan penjelasan lebih lanjut. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak/Ibu yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, diharapkan bapak/ibu bersedia mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian. Medan, dr. Alpert Davista 2021 60 Lampiran 3 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Saya yang bertanda tanganxdi bawah ini: Nama : Jenis Kelamin : Umur Pekerjaan Alamat : : : Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian yang berjudul “GAMBARAN OKSIGENASI SEREBRAL SETELAH TINDAKAN ONE HOUR BUNDLE PADA PENANGANAN PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN” dan setelah kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya/ keluarga saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyataksn ikut dalam penelitian tersebut. Medan, Yang memberikan penjelasan, pernyataan, Yang 2021 membuat dr. Alpert Davista …………………… ……. 61 Lampiran 4 JADWAL TAHAPAN PENELITIAN No Tahapan Penelitian Waktu Terlaksana 1. Bimbingan Proposal Januari 2021 – Februari 2021 2. Seminar Proposal Februari 2021 3. Perbaikan Proposal Maret 2021 4. Komisi Etik Penelitian April 2021 5. Pengumpulan Data Mei 2021 – Juli 2021 6. Pengolahan dan Analisa Data Agustus 2021 7 Bimbingan Penyusunan Laporan Agustus 2021 Akhir 8. Seminar Akhir Penelitian Agustus 2021 9. Perbaikan Laporan Akhir Penelitian Agustus 2021 62 Lampiran 5 No. Sampel LEMBARAN OBSERVASI PASIEN I. Identitas Pasien Nama : Umur : Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan Pekerjaan : Alamat : Suku /Agama : Berat Badan : Kg Tinggi Badan : Cm Diagnosis : II. No. RM tahun Data Awal/ Keadaan Masuk IGD Tingkat Kesadaran : Frekuensi Pernafasan : x/menit Tekanan Darah : mmhg Heart Rate : x/menit SpO2 : % rSO2 Serebral : % Nilai qSOFA : : 63 III. Karekteristik Observasional Pemeriksaan Jam ke-0 Segera setelah One Hour bundle (jam ke-1) Tekanan Darah (mmhg) Denyut Jantung (kali/menit) Kanan rSO2 (%) Kiri 64 Lampiran 6 ANGGARAN PENELITIAN Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian Bahan dan peralatan penelitian Pengadaan Elektroda INVOS = Rp 5.000.000,- Pengadaan Alat Tulis = Rp 1.500.000,- Subtotal = Rp 6.500.000,- Biaya tak terduga (10% subtotal) = Rp Perkiraan biaya penelitian = Rp 7.150.000 650.000,- 65 Lampiran 7 ETHICAL CLEARANCE Surat Izin Penelitian 66 Lampiran 8 SURAT IZIN PENELITIAN 67 Lampiran 9 SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA Lampiran 10 TABULASI DATA