REFERAT ASPEK RADIOLOGI PADA FRAKTUR EXTREMITAS SUPERIOR Oleh : Ghea Lingga Septiareni, S.Ked 71 2018 028 Pembimbing : dr. Kemas H.M. Sani, Sp.Rad DEPARTEMEN RADIOLOGI RSUD PALEMBANG BARI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2020 HALAMAN PENGESAHAN Telah dipresentasikan referat dengan Judul Aspek Radiologi Pada Fraktur Extremitas Superior Disusun Oleh Ghea Lingga Septiareni, S.Ked 71 2018 028 Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Radiologi RSUD Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode Juli 2020 Palembang, Juli 2020 Pembimbing, dr. Kemas H.M. Sani, Sp.Rad ii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Aspek Radiologi Pada Fraktur Ekstremitas Superior” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada : 1. dr. Kemas H. M. Sani, Sp.Rad yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini 2. Rekan-rekan co-assistensi Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin. Palembang, Juli 2020 Penulis iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................. 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Fraktur ............................................................... 7 2.2 Diagnosis Fraktur ............................................................ 7 2.3 Klasifikasi Fraktur ........................................................... 15 2.4 Jenis Fraktur .................................................................... 20 BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan ............................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24 iv BAB I LATAR BELAKANG Fraktur merupakan tipe kerusakan atau kelainan yang sering terjadi pada tulang. Penggunaan istilah fraktur juga membawa maksud kontinuitas tulang yang terputus dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Tulang merupakan salah satu dari komponen tubuh yang paling penting. Antara fungsi tulang itu sendiri adalah sebagai tempat melekatnya otot, penopang tubuh manusia supaya dapat bergerak maksimal, sebagai kerangka dan melindungi organ dalam tubuh (Mediarti et al, 2015). Berlakunya fraktur atau diskontinuitas pada tulang secara langsung akan mengganggu fungsinya yang vital. Fraktur yang terjadi desebabkan oleh proses penyakit dideskripsikan sebagai fraktur patologis, manakala fraktur yang disebabkan oleh gaya penekanan yang terus menerus disebut sebagai fraktur stress (Mediarti et al, 2015). Kejadian fraktur pada usia 45 tahun ke bawah lebih sering terjadi pada laki-laki berbanding wanita. Hal ini adalah terkait dengan aktivitas seperti pekerjaan, olahraga, atau disebabkan oleh kecelakaan kenderaan bermotor. Sebaliknya, pada usia lanjut fraktur lebih sering terjadi pada wanita disebabkan faktor perubahan hormon saat menopause sehingga menyebabkan insiden osteoporosis meningkat (Bruder, 2011). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia, kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena trauma benda tajam/tumpul, kecelakaan lalu lintas, dan jatuh. Kejadian patah tulang pada ekstremitas atas sering terjadi pada semua peringkat usia. Bagi penderita fraktur ekstremitas atas dewasa muda, biasanya disebabkan trauma dengan energi tinggi seperti kecelakaan lalulintas. Manakala fraktur ketika usia lanjut yang mana disertai osteoporosis sering disebabkan oleh 1 kejadian jatuh (Thieme, 2009). Menurut World Health Organization (WHO), kasus frakturmeningkat menjadi 21 juta orang pada tahun 2010 denganangka prevalensi 3,5%. Faktor yang paling tinggi yang menyebabkan kasus fraktur menurut RISKESDAS adalah kecelakaan lalu lintas, diikuti kejadian jatuh dan seterusnya akibat trauma tajam dan tumpul (Kumar, 2010). 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas sebuah tulang (Tieme dan wingren, 2009). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), kontinuitas tulang yang yang terputus tergantung jenis dan luasnya, akibat daripada stress yang besar melebihi tahap absobsi tulang tersebut merupakan definisi fraktur. 2.2 Diagnosis Fraktur Menurut Price dan Wilson (2006), untuk mendiagnosis kejadian fraktur, pendekatan klinis yang diperlukan adalah seperti berikut6: 1) Anamnesis Kejadian yang berlaku dan menyebabkan fraktur haruslah ditanyakan dengan rinci. Gejala nyeri dan bengkak perlu diperhatikan. daerah yang mengalami trauma tidak selalu menjadi lokasi fraktur. Perlu diberi perhatian trauma dan keluhan pada daerah lain juga. 2) Pemeriksaan Fisik Selalu dimulai survei primer (ABC), seterusnya survei sekunder yaitu secara menyeluruh. Dilanjutkan pula dengan pemeriksaan musculoskeletal meliputi inspeksi(look), palpasi(feel) dan lingkup gerak(move). Tambahan lagi perlu dilakukan pemeriksaan arteri, vena dan nervus (AVN). 3 3) Pemeriksaan Penunjang Roentgen pemeriksaan (X-ray) penunjang adalah pada sangat kasus penting fraktur. sebagai Sebagai dasar penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai 23 dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar – X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal sebagai berikut. (Kenneth, 2015 ) (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. (4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 4 2.3 Klasifikasi Fraktur a) Fragmen tulang yang terpisah (UITH, 2013) 1. Fraktur Komplit Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a), fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil (Solomon et al., 2010) Gambar 2.1: Fraktur (dari kiri); transversal, spiral, oblik, butterfly, segmental, avulsi (Nahum, 1993) Berdasarkan radiologi, patahan fraktur dinilai bagi mengetahui tindakan lanjut yang harus dilakukan setelah reduksi. Bagi fraktur transversal (a), fragmen tetap pada tempatnya setelah direduksi, berbeda pula dengan spiral atau oblik (c) yang memendek atau berlaku 5 displacement walaupun tulang telah dibidai. Bagi fraktur segmental (b) pula, terlihat tulang terbahagi menjadi 3 bagian. Fragmen pada fraktur impaksi pula terlihat tumpang tindih dan garis fraktur pula tidak jelas. Fraktur kominutif pula menghasilkan lebih daripada dua fragmen, akibat permukaan fraktur yang kurang menyatu sehingga menyebabkan kondisi tidak stabil (Solomon et al, 2010). 2. Fraktur Inkomplit adalah apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan periosteum tetap intak. Antaranya:- Fraktur buckle atau torus - Fraktur greenstick (anak-anak) yaitu satu sisi tulang retak, sisi lainnya bengkok - Fraktur kompresi yaitu tulang terdorong kea rah tulang lain Selanjutnya, untuk fraktur buckle (d) pula, hampir tidak kelihatan frakturnya. Fraktur greenstick (e,f) pula memberi gambaran tulang yang melengkung atau bengkok seakan-akan ranting yang retak. Ianya sering terjadi kepada anak-anak kerana tulangnya lebih elastis berbanding orang dewasa. Fraktur kompresi pula memperlihatkan tulang spongiosa (Solomon et al, 2010). 6 tertekan ke dalam Gambar 2.2: Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental; (c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur greenstick (Solomon et al., 2010). b) Perubahan struktural (Solomon et al, 2010) 1. Translasi; displacement ke samping, depan atau belakang 2. Angulasi; susut fragmen dengan bagian proksimal berubah 3. Rotasi; berlaku perputaran tulang yaitu deformitas rotasional pada bagian distal 4. Panjang : fragmen tulang menjauh atau memendek akibat dari spasme otot c) Fraktur Terbuka dan Fraktur Tertutup Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel 1. 7 2.4 Jenis-Jenis Fraktur Untuk pemeriksaan radiologis biasanya digunakan foto rontgen (x-ray) pada lokasi fraktur dengan gambaran anteroposterior (AP) dan lateral, memuat sendi proksimal dan distal fraktur, disertakan dengan foto ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak) (Triono, 2015) 1. Skapula Evaluasi X-ray tulang skapula o Melakukan x-ray pada bagian dada. o Radiografi awal harus mencakup serangkaian trauma bahu, yang terdiri dari proyeksi anteroposterior, proyeksi aksila, dan proyeksi skapular-Y (lateral skapula sebenar); Umumnya ini mampu menunjukkan kebanyakan fraktur glenoid, leher, badan, dan akromion. o Tampilan aksila dapat digunakan untuk penampakan fraktur pada rim acromial dan glenoid. o Fraktur acromial tidak boleh disamakan dengan os acromiale; yang bulat, dengan unfuse apofisis 8 o Hipoplasia glenoid, atau displasia leher skapula, adalah kelainan yang tidak biasa yang mirip dengan kesan impaksi pada glenoid yang disertai tumor jinak. Biasanya ditemukan secara kebetulan. o Sebuah radiografi miring seukuran 45 derajat (Stryker notch) sangat membantu untuk mengidentifikasi fraktur korakoid. o Untuk evaluasi fraktur pada glenoid intraartikular secara lanjut digunakan computed tomografi (Kenneth et al, 2015). Gambar 2. Projeksi lateral: Fraktur pada blade scapular(Davies et al, 2002) 9 2. Humerus Evaluasi x-ray tulang humerus (Kenneth et al, 2015) a. Proximal humerus o Evaluasi bahu yang standar, terdiri dari proyeksi anteroposterior dan lateral ("Y") di bidang skapula juga proyeksi aksilla. o Aksila adalah proyeksi terbaik untuk mengevaluasi fraktur artikular glenoid dan kejadian reduksi pada artikulasi glenohumeral, tapi mungkin sulit didapat karena nyeri yang dirasakan pasien. Proyeksi ini tidak memprediksi angulasi fraktur secara akurat dalam kasus trauma. o Velpeau axillary: Jika aksilaris standar tidak dapat diperoleh karena rasa sakit atau curiga berlakunya fraktur displaced, pasien mungkin disiapkan dengan pemasangan sling dan bersandar miring ke belakang 45 derajat di atas cassette Sinar diarahkan secara kaudal, orthogonal terhadap cassette, menghasilkan proyeksi aksila beserta perbesaran Gambar 3. a. Displacement minimal b. Displacement moderat 10 b.Shaft humerus o Anteroposterior (AP) dan radiografi lateral humerus harus diperoleh, termasuk bahu dan sendi siku. Untuk mendapatkan proyeksi pada 90 derajat satu sama lain, pasien, BUKAN lengan, harus diputar (transthoracic lateral), sebagai manipulasi dari cedera ekstremitas yang biasanya terhasil pada rotasi fragmen distal. o Radiografi traksi dapat membantu dalam interpretasi kasus fraktur displaced atau fraktur komminutif yang berat. Gambar 4. (Davies et al, 2002) - Biasa terjadi pada pertengahan humerus, dan menghasilkan (a) fraktur spiral (trauma indirek) atau (b) fraktur transversal (trauma direk). Kerosakan pada saraf radial bisa terjadi apabila displacement yang besar berlaku pada sesuatu fraktur 11 c. Distal humerus o Proyeksi standar anteroposterior (AP) dan lateral siku harus diperoleh. Radiograf secara miring (oblik) mungkin bisa membantu untuk interpretasi fraktur tulang lebih lanjut. o Radiografi traksi (traction) adalah lebih baik dalam menggambarkan pola fraktur dan mungkin berguna untuk perencanaan pra operasi. o Pada fraktur nondisplaced, “fat pad sign” anterior atau posterior mungkin terlihat pada proyeksi lateral yang merupakan displacement lapisan adiposa yang menutupi kapsul sendi disertai dengan adanya efusi atau hemarthrosis. o Fraktur displaced yang minimal biasanya terlihat penurunan sudut normal badan kondilus; 40 derajat terlihat pada radiografi lateral. o Karena fraktur interkondilus hampir sama lazimnya dengan patah tulang supracondilus pada orang dewasa, AP (atau miring) harus diteliti untuk bukti adanya perpecahan vertikal dalam bagian intercondilus daerah distal humerus. 3. Radius Ula Evaluasi X-ray tulang radius dan ulna (Kenneth et al, 2015) a. Caput radial o Standar anteroposterior (AP) dan radiografi lateral siku harus diperoleh, dengan proyeksi oblik (proyeksi Greenspan) untuk melihat fraktur lebih lanjut atau dalam kasus di mana dicurigai terdapat fraktur tapi tidak terlihat di AP dan proyeksi lateral. o Proyeksi Greenspan diambil dengan forearm dalam putaran netral dan sinar radiograf oblik 45 derajat cephalad; proyeksi ini memberikan visualisasi artikulasi radiocapitellar (Gambar 2.13). 12 o Fraktur nondisplaced mungkin tidak mudah diketahui, namun mungkinlebih terlihat positive fat pad sign (posterior lebih sensitif dari anterior) pada radiografi lateral, terutama jika didapatkan secara klinis. Gambar 5. - Terjadi sekitar sepertiga dari semua patah tulang siku, paling umum pada orang dewasa muda. Spektrum cedera dari yang terjadi bisa displacement minimal ke kominutif dengan displacement. Pada anak-anak cenderung muncul sebagai fraktur greenstick pada leher radial (b) daripada fraktur pada kepala radial (a). b. Radius dan Ulna shaft o Anteroposterior (AP) dan proyeksi lateral lengan bawah harus diperoleh, fraktur tulang lebih lanjut didapatkan melalui proyeksi oblik. o Evaluasi radiografi harus mencakup pergelangan tangan dan sikuipsilateral untuk menyingkirkan kehadiran fraktur atau dislokasi terkait (misalnya., Monteggia, Galeazzi). 13 o Kepala radial harus selaras dengan capitellum pada semua proyeksi. c. Radius Shaft o Radiografi AP dan lateral lengan bawah, siku, dan pergelangan tangan harus diperoleh. o Tanda radiografi cedera sendi radioulnar distal adalah: Patah tulang pada pangkal ulna styloid Sendi radioulnar distal yang melebar pada sinar X proyeksi AP Subluksasi ulna pada rontgen lateral Pemendekan radial > 5mm d. Ulna shaft o Proyeksi AP dan lateral lengan bawah (proyeksi tambahan harus mencakup pergelangan tangan dan siku) adalah perlu. o Proyeksi oblik dapat membantu dalam melihat fraktur. o Temuan radiografi normal: Garis yang ditarik melalui kepala radial dan poros harus selalu berbaris dengan capitellum. Supinasi lateral: Garis ditarik tangensial ke kepala radial anterior dan posterior seharusnya menutupi capitellum. e. Distal radius o Proyeksi posteroanterior dan lateral pergelangan tangan harus diperoleh. o Proyeksi oblik perlu untuk melihat fraktur dengan lebih lanjut, jika perlu. Gejala bahu atau siku harus dievaluasi secara radiografi. 14 o Proyeksi pergelangan tangan kontralateral dapat membantu menilai varians ulnaris normal pasien dan sudut skafolunat. o Hubungan radiografi normal (Gambar): Inklinasi radial: rata-rata 23 derajat (13 sampai 30 derajat) Panjang radial: rata-rata 11 mm (kisaran, 8 sampai 18 mm) Sudut Palmar (volar): rata-rata 11 sampai 12 derajat (kisaran, 0 sampai 28 derajat). Gambar 6. Fraktur Montegia - Fraktur proksimal atau sepertiga tengah ulna, berhubungan dengan dislokasi kepala radial. Dislokasi kepala radial menyebabkan terganggunya garis radiocapitellar 15 Gambar 7. Proyeksi PA/ lateral; subluksasi ulna hanya terlihat pada proyeksi lateral 4. Karpal, metakarpal dan phalangs. Evaluasi x-ray tulang karpal, metakarpal dan phalangs a. Karpal o Posteroanterior (PA), miring, dan rontgen lateral masingmasing diambil dengan pergelangan tangan di netral posisi. o Garis Gilula (tiga arkus radiografi) harus diperiksa pada proyeksi PA. Gangguan dari arkus ini menunjukkan ketidakstabilan ligamen. o Untuk diagnosis lebih lanjut fraktur karpal dan terutama skafoid: Tampilan skafoid (anteroposterior [AP] x-ray dengan supinasi pergelangan tangan 30 derajat dan deviasi ulnar) diperoleh. Tampilan proyeksi pronasi oblik. 16 Jika ada dugaan ketidakstabilan karpal, penampakan tambahan deviasi maksimal pada radial dan ulnaris direkomendasikan dan juga pegangan parsial bilateral untuk mencari pelebaran interval scapholunate. Proyeksi lebih lanjut dapat dilakukan dengan fleksi dan ekstensi maksimal. b. Metakarpal dan Phalangs. o Posteroanterior, lateral, dan radiografi oblik dari digit atau tangan yang terkena harus diperoleh. Digit (jari) yang tercedera harus dilihat secara terpisah untuk meminimalkan overlap digit lain di atas area yang terlibat. Gambar 8. Fraktur pinggang skafoid tidak terlihat pada film PA (a) tapi mudah didapatkan melalui proyeksi oblik (b). 17 Gambar 9. Fraktur pada base metakarpal kedua Fraktur pada shaft metakarpal 4 dan 5. Gambar 10. Pola umum fraktur phalangeal; (a) fraktur ujung terminal Phalangs;(b) fraktur transversal Phalangs tengah; (c) fraktur spiral dari Phalangs. 18 BAB III KESIMPULAN 1. Fraktur adalah kontinuitas tulang yang yang terputus tergantung jenis dan luasnya, akibat daripada stress yang besar melebihi tahap absobsi tulang tersebut. 2. Untuk mendiagnosis fraktur, pendekatan klinis yang diperlukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 3. Klasifikasi fraktur dibedakan dari fragmen tulang yang terpisah, perubahan struktural tulang serta fraktur terbuka dan tertutup. 4. Jenis-jenis fraktur pada ekstremitas superior tergantung letak anatomis tulang. 19 DAFTAR PUSTAKA Bruder, A., Taylor, N. F., Dodd, K. J., & Shields, N. 2011. Exercise Reduces Impairment and Improves Activity in People After Some Upper Limb Fractures: A Systematic Review. Journal of Physiotheraphy. 57: 71- 82. Kemenkes RI. 2018. Hasil Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta Kenneth A. Egol, Kenneth J. Koval & Joseph D. Zuckerman. 2015.Handbook of fractures5th edition. Philadelphia: Walters Kluwer Health. Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. Mediarti, D., Rosnani dan Seprianti, S. M. 2015. Pengaruh Pemberian Kompres Dingin Terhadap Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstremitas Tertutup di IGD RSMH Palembang Tahun 2012. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 2, No. 3: 253-260. Nahum, A., Melvin, J. 1993.Accidental injury, Springer-Verlag, New York. Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProsesPenyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC. Solomon & Appley, A.G. 2010. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta:Widya Medika. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan 20 Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo (dkk), EGC, Jakarta. Thieme, S. & Wingren, M. 2009. Understanding Fracture Mechanisms Of The Upper Extremities In Car Accidents. Triono, P. dan Murinto. 2015. Aplikasi Pengolahan Citra untuk Mendeteksi Fraktur Tulang dengan Metode Deteksi Tepi Canny. Jurnal Informatika. Vol. 9, No. 2: 1115- 1123. UITH Surgery 2013. Fracture Classification in Orthopaedics. 21