Uploaded by Ghea Septia

REFERAT TAMBAHAN NEW

advertisement
REFERAT
ASPEK RADIOLOGI PADA FRAKTUR
EXTREMITAS SUPERIOR
Oleh :
Ghea Lingga Septiareni, S.Ked
71 2018 028
Pembimbing :
dr. Kemas H.M. Sani, Sp.Rad
DEPARTEMEN RADIOLOGI
RSUD PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan referat dengan Judul
Aspek Radiologi Pada Fraktur
Extremitas Superior
Disusun Oleh
Ghea Lingga Septiareni, S.Ked
71 2018 028
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) di Bagian Radiologi RSUD Palembang BARI Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode Juli 2020
Palembang, Juli 2020
Pembimbing,
dr. Kemas H.M. Sani, Sp.Rad
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Aspek
Radiologi Pada Fraktur Ekstremitas Superior” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Kemas H. M. Sani, Sp.Rad yang telah memberikan masukan, arahan, serta
bimbingan dalam penyelesaian referat ini
2. Rekan-rekan co-assistensi
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Palembang, Juli 2020
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Fraktur ............................................................... 7
2.2 Diagnosis Fraktur ............................................................ 7
2.3 Klasifikasi Fraktur ........................................................... 15
2.4 Jenis Fraktur .................................................................... 20
BAB III KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan ............................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24
iv
BAB I
LATAR BELAKANG
Fraktur merupakan tipe kerusakan atau kelainan yang sering terjadi pada
tulang. Penggunaan istilah fraktur juga membawa maksud kontinuitas tulang yang
terputus dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Tulang merupakan salah satu
dari komponen tubuh yang paling penting. Antara fungsi tulang itu sendiri adalah
sebagai tempat melekatnya otot, penopang tubuh manusia supaya dapat bergerak
maksimal, sebagai kerangka dan melindungi organ dalam tubuh (Mediarti et al,
2015).
Berlakunya fraktur atau diskontinuitas pada tulang secara langsung akan
mengganggu fungsinya yang vital. Fraktur yang terjadi desebabkan oleh proses
penyakit dideskripsikan sebagai fraktur patologis, manakala fraktur yang
disebabkan oleh gaya penekanan yang terus menerus disebut sebagai fraktur stress
(Mediarti et al, 2015).
Kejadian fraktur pada usia 45 tahun ke bawah lebih sering terjadi pada
laki-laki berbanding wanita. Hal ini adalah terkait dengan aktivitas seperti
pekerjaan, olahraga, atau disebabkan oleh kecelakaan kenderaan bermotor.
Sebaliknya, pada usia lanjut fraktur lebih sering terjadi pada wanita disebabkan
faktor perubahan hormon saat menopause sehingga menyebabkan insiden
osteoporosis meningkat (Bruder, 2011).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia, kasus fraktur
yang disebabkan oleh cedera antara lain karena trauma benda tajam/tumpul,
kecelakaan lalu lintas, dan jatuh.
Kejadian patah tulang pada ekstremitas atas sering terjadi pada semua
peringkat usia. Bagi penderita fraktur ekstremitas atas dewasa muda, biasanya
disebabkan trauma dengan energi tinggi seperti kecelakaan lalulintas. Manakala
fraktur ketika usia lanjut yang mana disertai osteoporosis sering disebabkan oleh
1
kejadian jatuh (Thieme, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO), kasus frakturmeningkat
menjadi 21 juta orang pada tahun 2010 denganangka prevalensi 3,5%. Faktor
yang paling tinggi yang menyebabkan kasus fraktur menurut RISKESDAS adalah
kecelakaan lalu lintas, diikuti kejadian jatuh dan seterusnya akibat trauma tajam
dan tumpul (Kumar, 2010).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas sebuah tulang (Tieme dan
wingren, 2009). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), kontinuitas tulang
yang yang terputus tergantung jenis dan luasnya, akibat daripada stress
yang besar melebihi tahap absobsi tulang tersebut merupakan definisi
fraktur.
2.2 Diagnosis Fraktur
Menurut Price dan Wilson (2006), untuk mendiagnosis kejadian
fraktur, pendekatan klinis yang diperlukan adalah seperti berikut6:
1) Anamnesis
Kejadian yang berlaku dan menyebabkan fraktur haruslah
ditanyakan dengan rinci. Gejala nyeri dan bengkak perlu
diperhatikan. daerah yang mengalami trauma tidak selalu menjadi
lokasi fraktur. Perlu diberi perhatian trauma dan keluhan pada
daerah lain juga.
2) Pemeriksaan Fisik
Selalu dimulai survei primer (ABC), seterusnya survei sekunder
yaitu secara menyeluruh. Dilanjutkan pula dengan pemeriksaan
musculoskeletal meliputi inspeksi(look), palpasi(feel) dan lingkup
gerak(move). Tambahan lagi perlu dilakukan pemeriksaan arteri, vena
dan nervus (AVN).
3
3) Pemeriksaan Penunjang
Roentgen
pemeriksaan
(X-ray)
penunjang
adalah
pada
sangat
kasus
penting
fraktur.
sebagai
Sebagai
dasar
penunjang,
pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen
( Sinar – X ). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas
dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca
sesuai 23 dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar – X
mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal sebagai berikut.
(Kenneth, 2015 )
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
4
2.3 Klasifikasi Fraktur
a) Fragmen tulang yang terpisah (UITH, 2013)
1. Fraktur Komplit
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan
fraktur yang dilihat secara radiologi dapat membantu untuk
memprediksi tindakan yang harus dilakukan setelah melakukan
reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a), fragmen tetap
pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral
(gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran
meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b)
membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen
menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas.
Pada raktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena
kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak
stabil (Solomon et al., 2010)
Gambar 2.1: Fraktur (dari kiri); transversal, spiral, oblik, butterfly,
segmental, avulsi (Nahum, 1993)
Berdasarkan radiologi, patahan fraktur dinilai bagi mengetahui
tindakan lanjut yang harus dilakukan setelah reduksi. Bagi fraktur
transversal (a), fragmen tetap pada tempatnya setelah direduksi, berbeda
pula dengan spiral atau oblik (c) yang memendek atau berlaku
5
displacement walaupun tulang telah dibidai. Bagi fraktur segmental (b)
pula, terlihat tulang terbahagi menjadi 3 bagian. Fragmen pada fraktur
impaksi pula terlihat tumpang tindih dan garis fraktur pula tidak jelas.
Fraktur kominutif pula menghasilkan lebih daripada dua fragmen,
akibat permukaan fraktur yang kurang menyatu sehingga menyebabkan
kondisi tidak stabil (Solomon et al, 2010).
2. Fraktur Inkomplit adalah apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan
periosteum tetap intak. Antaranya:- Fraktur buckle atau torus
- Fraktur greenstick (anak-anak) yaitu satu sisi tulang retak, sisi
lainnya bengkok
- Fraktur kompresi yaitu tulang terdorong kea rah tulang lain
Selanjutnya, untuk fraktur buckle (d) pula, hampir tidak
kelihatan frakturnya. Fraktur greenstick (e,f) pula memberi
gambaran tulang yang melengkung atau bengkok seakan-akan
ranting yang retak. Ianya sering terjadi kepada anak-anak kerana
tulangnya lebih elastis berbanding orang dewasa. Fraktur kompresi
pula
memperlihatkan tulang spongiosa
(Solomon et al, 2010).
6
tertekan
ke dalam
Gambar 2.2: Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental;
(c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur
greenstick (Solomon et al., 2010).
b) Perubahan struktural (Solomon et al, 2010)
1. Translasi; displacement ke samping, depan atau belakang
2. Angulasi; susut fragmen dengan bagian proksimal berubah
3. Rotasi; berlaku perputaran tulang yaitu deformitas rotasional pada
bagian distal
4. Panjang : fragmen tulang menjauh atau memendek akibat dari
spasme otot
c) Fraktur Terbuka dan Fraktur Tertutup
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan
patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, seperti
yang dijelaskan pada tabel 1.
7
2.4 Jenis-Jenis Fraktur
Untuk pemeriksaan radiologis biasanya digunakan foto rontgen (x-ray)
pada lokasi fraktur dengan gambaran anteroposterior (AP) dan lateral,
memuat sendi proksimal dan distal fraktur, disertakan dengan foto
ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak) (Triono, 2015)
1. Skapula
Evaluasi X-ray tulang skapula
o Melakukan x-ray pada bagian dada.
o Radiografi awal harus mencakup serangkaian trauma bahu, yang
terdiri dari proyeksi anteroposterior, proyeksi aksila, dan proyeksi
skapular-Y (lateral skapula sebenar); Umumnya ini mampu
menunjukkan kebanyakan fraktur glenoid, leher, badan, dan
akromion.
o Tampilan aksila dapat digunakan untuk penampakan fraktur pada
rim acromial dan glenoid.
o Fraktur acromial tidak boleh disamakan dengan os acromiale;
yang bulat, dengan unfuse apofisis
8
o Hipoplasia glenoid, atau displasia leher skapula, adalah kelainan
yang tidak biasa yang mirip dengan kesan impaksi pada glenoid
yang disertai tumor jinak. Biasanya ditemukan secara kebetulan.
o Sebuah radiografi miring seukuran 45 derajat (Stryker notch)
sangat membantu untuk mengidentifikasi fraktur korakoid.
o Untuk evaluasi fraktur pada glenoid intraartikular secara lanjut
digunakan computed tomografi (Kenneth et al, 2015).
Gambar 2. Projeksi lateral: Fraktur pada blade scapular(Davies et al,
2002)
9
2. Humerus
Evaluasi x-ray tulang humerus (Kenneth et al, 2015)
a. Proximal humerus
o Evaluasi bahu yang standar, terdiri dari proyeksi anteroposterior
dan lateral ("Y") di bidang skapula juga proyeksi aksilla.
o Aksila adalah proyeksi terbaik untuk mengevaluasi fraktur
artikular
glenoid
dan
kejadian
reduksi
pada
artikulasi
glenohumeral, tapi mungkin sulit didapat karena nyeri yang
dirasakan pasien. Proyeksi ini tidak memprediksi angulasi fraktur
secara akurat dalam kasus trauma.
o Velpeau axillary: Jika aksilaris standar tidak dapat diperoleh
karena rasa sakit atau curiga berlakunya fraktur displaced, pasien
mungkin disiapkan dengan pemasangan sling dan bersandar
miring ke belakang 45 derajat di atas cassette Sinar diarahkan
secara kaudal, orthogonal terhadap cassette, menghasilkan
proyeksi aksila beserta perbesaran
Gambar 3. a. Displacement minimal b. Displacement moderat
10
b.Shaft humerus
o Anteroposterior (AP) dan radiografi lateral humerus harus
diperoleh, termasuk bahu dan sendi siku. Untuk mendapatkan
proyeksi pada 90 derajat satu sama lain, pasien, BUKAN lengan,
harus diputar (transthoracic lateral), sebagai manipulasi dari
cedera ekstremitas yang biasanya terhasil pada rotasi fragmen
distal.
o Radiografi traksi dapat membantu dalam interpretasi kasus fraktur
displaced atau fraktur komminutif yang berat.
Gambar 4. (Davies et al, 2002) - Biasa terjadi pada pertengahan humerus, dan
menghasilkan (a) fraktur spiral (trauma indirek) atau (b) fraktur transversal
(trauma direk). Kerosakan pada saraf radial bisa terjadi apabila displacement yang
besar berlaku pada sesuatu fraktur
11
c. Distal humerus
o Proyeksi standar anteroposterior (AP) dan lateral siku harus
diperoleh. Radiograf secara miring (oblik) mungkin bisa
membantu untuk interpretasi fraktur tulang lebih lanjut.
o Radiografi
traksi
(traction)
adalah
lebih
baik
dalam
menggambarkan pola fraktur dan mungkin berguna untuk
perencanaan pra operasi.
o Pada fraktur nondisplaced, “fat pad sign” anterior atau posterior
mungkin
terlihat
pada proyeksi
lateral
yang merupakan
displacement lapisan adiposa yang menutupi kapsul sendi disertai
dengan adanya efusi atau hemarthrosis.
o Fraktur displaced yang minimal biasanya terlihat penurunan sudut
normal badan kondilus; 40 derajat terlihat pada radiografi lateral.
o Karena fraktur interkondilus hampir sama lazimnya dengan patah
tulang supracondilus pada orang dewasa, AP (atau miring) harus
diteliti untuk bukti adanya perpecahan vertikal dalam bagian
intercondilus daerah distal humerus.
3. Radius Ula
Evaluasi X-ray tulang radius dan ulna (Kenneth et al, 2015)
a. Caput radial
o Standar anteroposterior (AP) dan radiografi lateral siku harus
diperoleh, dengan proyeksi oblik (proyeksi Greenspan) untuk
melihat fraktur lebih lanjut atau dalam kasus di mana dicurigai
terdapat fraktur tapi tidak terlihat di AP dan proyeksi lateral.
o Proyeksi Greenspan diambil dengan forearm dalam putaran
netral dan sinar radiograf oblik 45 derajat cephalad; proyeksi
ini memberikan visualisasi artikulasi radiocapitellar (Gambar
2.13).
12
o Fraktur nondisplaced mungkin tidak mudah diketahui, namun
mungkinlebih terlihat positive fat pad sign (posterior lebih
sensitif dari anterior) pada radiografi lateral, terutama jika
didapatkan secara klinis.
Gambar 5. - Terjadi sekitar sepertiga dari semua patah tulang siku, paling umum
pada orang dewasa muda. Spektrum cedera dari yang terjadi bisa displacement
minimal ke kominutif dengan displacement. Pada anak-anak cenderung muncul
sebagai fraktur greenstick pada leher radial (b) daripada fraktur pada kepala radial
(a).
b. Radius dan Ulna shaft
o Anteroposterior (AP) dan proyeksi lateral lengan bawah harus
diperoleh, fraktur tulang lebih lanjut didapatkan melalui
proyeksi oblik.
o Evaluasi radiografi harus mencakup pergelangan tangan dan
sikuipsilateral untuk menyingkirkan kehadiran fraktur atau
dislokasi terkait (misalnya., Monteggia, Galeazzi).
13
o Kepala radial harus selaras dengan capitellum pada semua
proyeksi.
c. Radius Shaft
o Radiografi AP dan lateral lengan bawah, siku, dan pergelangan
tangan harus diperoleh.
o Tanda radiografi cedera sendi radioulnar distal adalah:

Patah tulang pada pangkal ulna styloid

Sendi radioulnar distal yang melebar pada sinar X
proyeksi AP

Subluksasi ulna pada rontgen lateral

Pemendekan radial > 5mm
d. Ulna shaft
o Proyeksi AP dan lateral lengan bawah (proyeksi tambahan
harus mencakup pergelangan tangan dan siku) adalah perlu.
o Proyeksi oblik dapat membantu dalam melihat fraktur.
o Temuan radiografi normal:

Garis yang ditarik melalui kepala radial dan poros harus
selalu berbaris dengan capitellum.

Supinasi lateral: Garis ditarik tangensial ke kepala radial
anterior dan posterior seharusnya menutupi capitellum.
e. Distal radius
o Proyeksi posteroanterior dan lateral pergelangan tangan harus
diperoleh.
o Proyeksi oblik perlu untuk melihat fraktur dengan lebih lanjut,
jika perlu. Gejala bahu atau siku harus dievaluasi secara
radiografi.
14
o
Proyeksi pergelangan tangan kontralateral dapat membantu
menilai varians ulnaris normal pasien dan sudut skafolunat.
o Hubungan radiografi normal (Gambar):

Inklinasi radial: rata-rata 23 derajat (13 sampai 30 derajat)

Panjang radial: rata-rata 11 mm (kisaran, 8 sampai 18 mm)

Sudut Palmar (volar): rata-rata 11 sampai 12 derajat
(kisaran, 0 sampai 28 derajat).
Gambar 6. Fraktur Montegia
- Fraktur proksimal atau sepertiga tengah ulna,
berhubungan dengan dislokasi kepala radial. Dislokasi
kepala radial menyebabkan terganggunya garis radiocapitellar
15
Gambar 7. Proyeksi PA/ lateral; subluksasi ulna hanya
terlihat pada proyeksi lateral
4. Karpal, metakarpal dan phalangs.
Evaluasi x-ray tulang karpal, metakarpal dan phalangs
a. Karpal
o Posteroanterior (PA), miring, dan rontgen lateral masingmasing diambil dengan pergelangan tangan di netral posisi.
o Garis Gilula (tiga arkus radiografi) harus diperiksa pada
proyeksi
PA.
Gangguan
dari
arkus
ini
menunjukkan
ketidakstabilan ligamen.
o Untuk diagnosis lebih lanjut fraktur karpal dan terutama
skafoid:

Tampilan skafoid (anteroposterior [AP] x-ray dengan
supinasi pergelangan tangan 30 derajat dan deviasi ulnar)
diperoleh.

Tampilan proyeksi pronasi oblik.
16

Jika ada dugaan ketidakstabilan karpal, penampakan
tambahan deviasi maksimal pada radial dan ulnaris
direkomendasikan dan juga pegangan parsial bilateral
untuk mencari pelebaran interval scapholunate.

Proyeksi lebih lanjut dapat dilakukan dengan fleksi dan
ekstensi maksimal.
b. Metakarpal dan Phalangs.
o Posteroanterior, lateral, dan radiografi oblik dari digit atau
tangan yang terkena harus diperoleh. Digit (jari) yang tercedera
harus dilihat secara terpisah untuk meminimalkan overlap digit
lain di atas area yang terlibat.
Gambar 8. Fraktur pinggang skafoid tidak terlihat pada film PA
(a) tapi mudah didapatkan melalui proyeksi oblik (b).
17
Gambar 9. Fraktur pada base metakarpal kedua Fraktur pada
shaft metakarpal 4 dan 5.
Gambar 10. Pola umum fraktur phalangeal; (a) fraktur ujung
terminal Phalangs;(b) fraktur transversal Phalangs tengah; (c)
fraktur spiral dari Phalangs.
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Fraktur adalah kontinuitas tulang yang yang terputus tergantung jenis dan
luasnya, akibat daripada stress yang besar melebihi tahap absobsi tulang
tersebut.
2. Untuk mendiagnosis fraktur, pendekatan klinis yang diperlukan adalah
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3. Klasifikasi fraktur dibedakan dari fragmen tulang yang terpisah, perubahan
struktural tulang serta fraktur terbuka dan tertutup.
4. Jenis-jenis fraktur pada ekstremitas superior tergantung letak anatomis
tulang.
19
DAFTAR PUSTAKA
Bruder, A., Taylor, N. F., Dodd, K. J., & Shields, N. 2011. Exercise Reduces
Impairment and Improves Activity in People After Some Upper Limb
Fractures: A Systematic Review. Journal of Physiotheraphy. 57: 71- 82.
Kemenkes RI. 2018. Hasil Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta
Kenneth
A.
Egol,
Kenneth
J.
Koval
&
Joseph
D.
Zuckerman.
2015.Handbook of fractures5th edition. Philadelphia: Walters Kluwer
Health.
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Mediarti, D., Rosnani dan Seprianti, S. M. 2015. Pengaruh Pemberian Kompres
Dingin Terhadap Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstremitas Tertutup di IGD
RSMH Palembang Tahun 2012. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 2,
No. 3: 253-260.
Nahum, A., Melvin, J. 1993.Accidental injury, Springer-Verlag, New York.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProsesPenyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Solomon & Appley, A.G. 2010. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley.
Jakarta:Widya Medika.
Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
20
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo (dkk), EGC, Jakarta.
Thieme, S. & Wingren, M. 2009. Understanding Fracture Mechanisms Of The
Upper Extremities In Car Accidents.
Triono, P. dan Murinto. 2015. Aplikasi Pengolahan Citra untuk Mendeteksi
Fraktur Tulang dengan Metode Deteksi Tepi Canny. Jurnal Informatika.
Vol. 9, No. 2: 1115- 1123.
UITH Surgery 2013. Fracture Classification in Orthopaedics.
21
Download