Nama NPM Divisi : M. Yudha Agus Setioka : 130921180504 : Kimia Klinik Reliabilitas Urinalisis untuk Identifikasi Proteinuria Berkurang dengan Adanya Abnormalitas Lain termasuk Berat Jenis yang Tinggi dan Hematuria Pendahuluan Penyakit Ginjal Kronis (PGK) didefinisikan dengan adanya kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan. Derajat PGK ditentukan dengan pemeriksaan laboratorium rutin: estimated glomerular filtration rate (eGFR) berdasarkan kreatinin serum dan protein urine atau kadar albumin sebagai indikator dari kerusakan ginjal. Sistem stratifikasi risiko The Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) memberikan pedoman praktik klinis terbaru, system ini dapat menilai PGK berdasarkan kombinasi estimasi eGFR dan proteinuria/albuminuria. Penyakit Ginjal Kronis sedang hingga parah (stadium 3−5) diidentifikasi terutama berdasarkan eGFR. Penyakit sebelumnya (PGK stadium 1 dan 2) terlewatkan dengan penentuan eGFR, dan paling sering diidentifikasi berdasarkan proteinuria. Urinalisis dipstik (UA) digunakan sebagai alat skrining berbiaya rendah untuk mendeteksi sejumlah kondisi seperti infeksi saluran kemih (ISK), glomerulonefritis, nefrolitiasis, penyakit hati, dan diabetes. Urinary albumin to urinary creatinine ratio (ACR) memiliki sensitivitas yang unggul terhadap pengukuran dipstik dan memungkinkan untuk stratifikasi albuminuria lebih tepat menjadi 3 umumnya yang digunakan (A1: <30 mg/g, sesuai dengan Nilai UA negatif dan trace, A2: 30−300 mg/g, biasanya sesuai dengan nilai UA dari 1+, 2+, 3+, dan A3: > 300 mg/g, sesuai dengan 4+ (atau 3+) tergantung pada uji UA spesifik). Salah satu kelemahan ACR adalah kecenderungan terhadap nilai tinggi palsu dalam kasus cedera ginjal akut, maka harus digunakan hanya saat fungsi ginjal dalam kondisi stabil. Proteinuria dapat terjadi di beberapa keadaan klinis, dikategorikan berdasarkan ada atau tidaknya penyakit pada glomerulus. Proteinuria yang bukan terjadi karena penyakit glomerulus bisa bersifat sementara, seperti terjadi dengan demam atau olahraga berat, atau persisten, seperti yang terjadi dengan ortostasis, overflow (myeloma, hemolisis = hemoglobinuria, atau rhabdomyolysis = mioglobinuria), tubulointerstitial (dari pengobatan, alergi, otoimun, atau penyakit interstisial yang disebabkan oleh logam berat), atau proteinuria postrenal (ISK, nefrolitiasis, keganasan urin). Proteinuria glomerulus, termasuk sindrom nefritik dan nefrotik, dapat menyebabkan cedera ginjal akut, PGK, dan akhirnya menjadi End-Stage Renal Disease (ESRD). Perbandingan studi tingkat populasi yang terbaru UA dan ACR menunjukkan UA memiliki sensitivitas yang buruk dan tingkat hasil tinggi palsu untuk mendeteksi ACR ≥30 mg/g atau PGK pada populasi umum. Sampai saat ini, peneliti tidak mengetahui adanya penelitian yang menyelidiki faktor-faktor yang berkontribusi pada reliabilitas variabel UA untuk mendeteksi proteinuria. Metode Populasi penelitian ini mencakup semua pasien dengan UA dan hasil ACR yang diperoleh dari 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015. Termasuk 4.323 pasang sampel di mana pasien memiliki UA dan uji kuantitatif untuk albuminuria (ACR) pada waktu yang sama tanggal dikumpulkan lebih dari 1.000.000 spesimen UA yang dianalisis. Kuantifikasi proteinuria dan komponen lain dari UA dilakukan pada alikuot dari sampel urin spot dengan penganalisa urine Clinitek diikuti dengan evaluasi mikroskopis untuk setiap UA. ACR dilakukan setelah sentrifugasi alikuot sampel urine menggunakan alat analisis Roche Cobas. Klasifikasi eGFR ditentukan menggunakan modifikasi diet pada persamaan penyakit ginjal dari kreatinin serum diukur pada hari yang sama saat dipstik dilakukan. Hasil UA diklasifikasikan menurut adanya confounding factor (UA+CF) atau absennya (UA-CF) yang dapat meningkatkan proporsi hasil positif palsu untuk proteinuria jika ada. Hasil UA dievaluasi terhadap pengujian kuantitatif (ACR) sebagai standar referensi menggunakan analisis sensitivitas dan spesifisitas. Analisis chisquare digunakan untuk membuat perbandingan dalam pengelompokan ACR untuk data kategorik dan 1 arah ANOVA digunakan untuk data numerik. Untuk pengelompokan UA+CF/UA-CF, analisis banding terdiri dari chisquare dan 2 sample independent t-test. Signifikansi statistik dinilai pada P <0,05. Hasil Usia rata-rata dari populasi penelitian adalah 64,7 tahun dan 53,6% adalah laki-laki. Proteinuria, oleh ACR, ada pada 24,9% pasien dibandingkan dengan 14,1% dengan UA dipstik. Penilaian proteinuria dengan UA dipstik dievaluasi dan dibandingkan dengan ACR. Karakteristik UA memiliki sensitivitas 96,7%, spesifisitas 47,6%, positive predictive value (PPV) 84,8%, negative predictive value (NPV) 83,5%, dan akurasi 84,6%. Kesesuaian nilai proteinuria diidentifikasi dengan ACR dan UA. Untuk semua sampel, sensitivitas dan spesifisitas dipstik untuk proteinuria (A2 atau A3) masing-masing adalah 96,7% dan 47,6%. Urinalisis dipstik menunjukkan PPV dan NPV yang sama masing-masing 84,8% dan 83,5%. Pada saat hanya mempertimbangkan UA-CF, NPV menunjukkan peningkatan yang nyata menjadi 98,8%, dengan tetap mempertahankan PPV pada 84,3%. Pada saat hanya mempertimbangkan mikroproteinuria (A2, 30−300mg/g), PPV untuk semua UA meningkat menjadi 85,1% saat itu tetap 84,7% untuk UA-CF, dengan NPV turun masing masing menjadi 75,2% dan 97,6%. Untuk pendeteksian ACR/protein creatinine ratio (PCR) >300 mg/g (A3), nilai dipstik terbukti sangat sesuai, dengan NPV dan PPV 100% dan 99,6% masingmasing, apakah CF ada atau tidak ada pada urin. Peneliti selanjutnya menentukan CF mana yang paling berpengaruh pada ketidaksesuaian antara UA dan ACR untuk proteinuria. Temuan UA yang paling berpengaruh dalam memprediksi positif palsu penentuan UA dari proteinuria adalah berat jenis yang tinggi. Spesimen dengan berat jenis ≥1.020 dihitung untuk 1499 (62,4%) dari UA + CF. Adanya ≥3 RBC per lapang pandang besar juga merupakan prediktor kuat UA menjadi positif palsu untuk proteinuria, dengan 841 (35,0%) UA + CF yang memenuhi kriteria ini. Diskusi Beberapa penelitian berbasis populasi besar telah mengevaluasi potensi UA dipstik sebagai tes skrining untuk proteinuria. Meskipun keterbatasannya yang terkenal dari UA adalah sensitivitas yang buruk dan tingkat positif palsu yang tinggi, UA dipstik terbukti cukup untuk mendeteksi proteinuria A3, nilai dipstik tertinggi pada setiap pemeriksaan (4+ atau 3+) sesuai dengan ACR> 300 mg/g. Dalam studi ini, peneliti menguatkan temuan ini, dan juga menunjukkan bahwa penilaian UA dipstik proteinuria A2 dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan ada atau tidak adanya temuan dipstik nonproteinuria yang dapat mengacaukan identifikasi albuminuria yang berhubungan dengan penyakit ginjal. Dalam beberapa tahun terakhir muncul alternatif untuk UA dipstik, termasuk ACR dan PCR. Metode ini belum sepenuhnya menggantikan UA dalam praktik sehari hari, dan alasannya karena kurangnya akurasi dengan UA belum dapat dijelaskan. Peneliti menduga kondisi klinis seperti ISK, kondisi yang menyebabkan pemekatan urin (deplesi volume, hipoperfusi ginjal, hipernatremia), atau keganasan urin dapat mengakibatkan deteksi proteinuria oleh UA yang tidak benar. Peneliti menyelidiki apakah adanya temuan bersamaan seperti berat jenis tinggi, atau adanya Sel darah merah atau leukosit dalam urin, dapat menunjukkan bahwa sampel tersebut mungkin kurang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi proteinuria karena karakteristik kerusakan ginjal pada PGK. Peneliti juga membandingkan spesimen yang berpasangan untuk analisis proteinuria yang diukur dengan UA dipstik dan kuantifikasi metode menggunakan ACR. Penelitian menunjukkan angka 17,2% dari temuan negatif palsu dan 3% tingkat positif palsu untuk penentuan proteinuria dengan menggunakan UA. Mayoritas positif palsu terjadi di UA + CF. Peneliti menyimpulkan bahwa proteinuria A2 yang terdeteksi pada UA-CF cukup akurat (PPV 84,7%) untuk menentukan bahwa albuminuria mungkin ada; ACR dapat dipertimbangkan dalam situasi ini untuk mengukur jumlah proteinuria. Dengan adanya CF (UA + CF), kemungkinan tinggi UA positif palsu merupakan indikasi yang jelas untuk mengonfirmasi temuan UA dengan ACR, atau pengujian lainnya, sebelum penentuan klinis bahwa pasien menderita proteinuria. Sebaliknya, deteksi proteinuria A3 dengan UA dipstik sangat akurat (99,6%), dengan sedikit dampak berpotensi pada CF. Secara klinis, tidak diperlukan pengujian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi adanya proteinuria A3, meskipun pengujian kuantitatif selanjutnya, dengan ACR atau PCR, dapat memberikan nilai tambahan dalam keadaan tertentu. Jumlah proteinuria 24 jam yang sebenarnya sangat berguna untuk penentuan diagnosis dan respons pasien terhadap pengobatan dan/atau perkembangan PGK. Kesimpulan UA dipstik cukup untuk mendiagnosis makroproteinuria (A3) terlepas dari adanya bersama dengan penemuan UA. Penilaian mikroproteinuria (A2) dengan UA lebih akurat jika tidak ada berbagai CF. Khususnya, berat jenis yang tinggi dan adanya sel darah merah adalah indikator kuat yang mungkin ditimbulkan oleh proteinuria di UA menjadi positif palsu. NPV untuk proteinuria adalah 98,8% ketika UA tidak memiliki confounding factor (UA-CF), tetapi hanya 77,6% ketika ada faktor perancu (UA + CF). Meskipun proteinuria yang ada pada UA dipstik bisa jadi digunakan untuk diagnosis dan stratifikasi risiko pasien dengan PGK (terutama jika tidak ada CF potensial), ACR lebih disukai untuk kuantifikasi albuminuria dan pertimbangan untuk merujuk ke bagian nefrologi.