Uploaded by slophitam

LEGAL REASONING - Ibrahim2

advertisement
LEGAL REASONING
OLEH
PROF. DR. IBRAHIM R. SH. MH.
HP. 081 238 159 93
Materi Penataran Pendidikan Khusus
Profesi Advokat (PKPA), Kerjasama Peradi dan UNMAR
9 Juni - 28 Juli 2017,
Di Kampus Unmar Denpasar
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
DAFTAR ISI
1.
Pendahuluan .....................................................................................................
3
2.
Berpikir Yuridis ...............................................................................................
6
3.
Kegunaan Asas Hukum ..................................................................................
6
4.
Teori Kewenngan ...........................................................................................
6
5.
Istilah, Pengertian dan Definisi ........................................................................
8
6.
Teknik Berpikir Ilmu Hukum .........................................................................
10
7.
Teknik Argumentasi ....................................................................................
11
8.
Prinsip dan Teknik Interpretasi .....................................................................
12
9.
Cara Interpretasi Hukum ..............................................................................
13
10. Prinsip Penalaran ...........................................................................................
16
11. Asas Penyelesaian Masalah Hukum .............................................................
16
12. Katagori Keputusan Pemerintah ....................................................................
17
13. Macan Kesesatan ............................................................................................ 18
14. Katagori Perbuatan Pemerintah Yang Menyimpang ..................................
22
15. Daftar Pustaka ................................................................................................
23
1. Pendahuluan
Pahami dan perhatikan karakter dasar dari cabang ilmu hukum, dan didasari
sistem pembagian hukum menurut isinya, yaitu hukum publik dan hukum privaart.
1.1. Hukum Perdata
Untuk memahami karakter dasar hukum privaart, harus dipahami secara baik
dan benar tentang Pasal 1338, 1320, dan 1321 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata).
Pasal 1338, Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Petunjuk-petunjuk harus dilaksanakan dengan itikad baik (terjemahan Prof R.
Subekti dan R.Tjitrosudibio).
Terjemahan Pasal 1338 ini, ada yang kurang pas, seperti istilah diawal
kalimat “ semua persetujuan .....”, kata persetujuan merupakan istilah di bidang
hukum publik, sedangkan Pasal 1338 di bidang hukum privaart, berarti kata
“persetujuan”, seharusnya diterjemahkan dengan ‘Perjanjian”, karena akan berkaitan
dengan Pasal 1320 dan Pasal 1321.
Sebaiknya, terjemahan, lebih pas dengan karakter hukum privaart, sebagai
berikut:
Pasal 1338, Semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku bagaikan
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat para pihak, atau karena alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pelaksanaannya harus
dengan itikad baik (Ibrahim R).
Pasal 1320 Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal (terjemahan
Prof R. Subekti dan R.Tjitrosudibio).
Pasal 1320 berkait langsung dengan Pasal 1338, terjemahannya yang lebih
pas dan cocok, yait:
Pasal 1320 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1.
Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal.
Pasal 1320 ini, harus dipahami secara teoritik bahwa menunjukkan Subjek
dan Objek perjanjian, yaitu: Subjek (poin 1 dan 2): 1. Sepakat bagi mereka yang
mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Objek (poin 3
dan 4): 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal.
Kenapa, Pasal 1320 dibaca dengan logika Subjek dan Objek, karena akan
berhubungkan dengan akibat hukum yang terjadi, di kemudian hari, yaitu:
1. Suatu perjanjian cacat pada Subjek, berarti “ dapat dibatalkan”,
2. Suatu perjanjian cacat pada Objek, berarti “ batal demi hukum”., bisa jadi
batal mutlak atau nisbi
Pasal 1321 Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan (terjemahan Prof R.
Subekti dan R.Tjitrosudibio).
Terjemahan Pasal 1321, harus seirama dengan Pasal 1338 dan Pasal 1320,
karena ketiga Pasal inimenunjukkan karakter filosofis dari sebuah perjanjian yang
dibuat para pihak dibawah rezim hukum perdata:
Pasal 1321 Tidak ada kesepakatan yang sah, apabila kesepakatan itu diberikan
karena kehilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan (Ibrahim R).
1.2. Hukum Pidana
Memahami karakteristik dari hukum pidana, harus memahami beberapa asas
penting dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas, praduga tak bersalah, tidak
berlaku surut.:
1) Asas legalitas, dalam KUHP disebutkan pada Pasal 1 ayat (1), geen fiet is
strafbaar dan uit krach van eene daaraan voorafgegane wettelijke
srafbepalingen. Menurut Groenhuijsen, empat makna dari pasal ini:
a. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan
pidana berlaku mundur.
b. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik
dengan sejelas-jelasnya.
c. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan
pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
d. Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.
Asas Legalitas dikenal dengan adigium: nullum delictum noella poena praevia
sine lege poenali. Secara singkat disebut nullum crimen sine lege, berarti tidak ada
tindak pidana tanpa undang-undang, dan nulla poena sinelege, artinya, tidak ada
pidana tanpa undang-undang. Jadi, undang-undang menetapkan dan membatasi
perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada
pelanggarnya.
1.3. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Teori dan praktik merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak
jarang, keduanya bertentangan, tetapi, Teori tanpa Praktik, taklah lengkap dan
Praktik tanpa Teori, tidak akan pernah mapan.
Menurut
Oppenheim, Hukum Tata Negara adalah
mempelajari negara
dalam keadaan tidak bergerak dan Hukum Administrasi Negara adalah mempelajari
negara dalam keadaan bergerak. Kalau kita bicara hukum tata negara, kita bicara
dasar hukum dan kewenangan.
2. Berpikir Yuridik
Plato = Aristokles (427-347 SM), Berpikir yuridis adalah manakala sejumlah
orang menyebut kata yang sama dan berasumsi bahwa mereka itu memikirkan ide
yang sama. Aristoteles (384-322 SM), setiap penggunaan kata, pasti ada dasar dan
latar belakangnya. Brunggink, ketika belajar hukum orang mempelajari cara berpikir
yuridik, mempelajari hukum merupakan usaha untuk menguasai bahasa hukum, oleh
karena di dalam bahasa hukum itulah bermunkimnya cara berpikir yuridik.
3. Kegunaan Asas Hukum
Menurut Ibrahim R, Kegunaan asas hukum, sebagai berikut:
1. Memberi kontrol terhadap tindakan pemerintah
2. Merupakan titik tolak berpikir tentang hukum
3. Merupakan titik tolak bagi pembentuk undang-undang
4. Merupakan titik tolak interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan
5. Dalil umum pembenaran ahlak/moral dalam bermasyarakat dan bernegara
4. Teori Kewenangan.
Kewenangan itu dilahir berdasarkan Sistem Pemerintahan yang dianut suatu
negara, kemudian dari sistem pemerintahan tersebut, dilanjukan dengan sistem
pembagian kekuasaan negara. Hasil pembagian kekuasaan negara itulah yang
mendapatkan kewenagan attributie yang oorspronkelijk dalam arti aseli. Penerima
kewenangan attributie dapat melimpahkan atau afgeleid dalam bentuk delegatie,
penerima kewenangan delegatie dapat melimpahkan lagi yang disebut sub-delegatie,
penerima sub-delegatie tidak boleh melimpahkan lagi.
1. Kewenangan diperoleh melaui attributie (oorspronkelijk dalam arti aseli),
kemudian afgeleid melalui
delegatie dan melekat kewenangan mandaat.
Kewenangan delegatie, hanya boleh di sub-delegatie (satu kali sub-delegasi),
oleh penerima kewenangan delegatie.
2. Penentuan kewenangan attributie, pertama-tama dilihat dari pilihan sistem
pemerintahan, kemudian kepembagian kekuasaan negara. Berdasarkan
pembagian kekuasaan itulah pemegang kewenangan attributie (dalam arti
pertama dan utama).
Penerima kewenagan berdasarkan Undang Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, seperti berikut:
SKEMA. 1. KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA INDONESIA
ATTRIBUTIE
ATTRIBUTIE
DELEGATIE
SUB-DELEGATIE
DELEGATIE
SUB-DELEGATIE
MPR,
DPR,
DPD,
PRESIDEN,
BPK, MA, MK
MENTERI,
PEJABAT
NEGARA
SETINGKAT
MENTERI
ESELON I,
BUPATI/WALIKOTA
5. Istilah, Pengertian, dan Definisi
Legal Opinion, artinya pendapat hukum; Legal auditing, artinya pemeriksaan
masalah hukum; Legal Reasoning, artinya pertimbangan alas hokum; Legal Aspect,
srtinya aspek hokum; Legal Solution, artinya penyelesaian masalah hokum; Legal
Entity, artinya kesatuan entita hukum,
Legal Opinion, artinya pendapat hukum (1). Di common law system, adalah
legal critics. (2). Di civil law system, adalah pendapat hukum yang dikaji baik secara
parsial, imparsial, gradual yang menyangkut tumpang tindihnya pelaksanaan
peraturan hukum, dipelopori aliran Kritis Hukum.
Legal auditing (pemeriksaan masalah hukum) suatu bentuk daftar check list
antara saling ketergantungan aturan yang satu dengan yang lainnya dan kemudian
disusun secara tekstual atau kontektual, berdasarkan teori leksikal (text book) yang
telah diaudit secara koperhensip integral, dengan tujuan untuk mendapatkan entitas
hukum (legal entity) yang saling mendukung (cooperative) atau bertentangan
(contractive), agar dapat dicarikan jalan keluar sebagai bahan penyelesaian
kasus/masalah
Legal Reasoning (pertimbangan alas hukum), sanggahan (legal argument)
yang timbul akibat pertikaian hukum (legal conflict) dalam satu pokok perkara
berupa perdata, pidana, hukum administrasi negara, akibat kesalah terapan hukum
oleh polisi, jaksa, hakim, pemerintah, yang dijadikan dalil untuk menangkis suatu
tuduhan atau saksi hukum di pengadilan, hanya dapat disanggah melalui : eksepsi,
replik, duplik, dan pleidoi, apabila dirasa ada kejanggalan fakta kesaksian atau alat
bukti dalam pokok perkara yang dimaksud, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan novum ke banding, kasasi, peninjauan kembali.
Legal Aspect (aspek hukum), adalah suatu bentuk wacana hukum yang
memberikan petunjuk (identifikasi) dan celah (loop hole) bagi praktisi untuk
menganalisis masalah hukum dari sudut pandang (aspect) secara berkesinambungan
(legal entity), terutama ekses yang timbul dari tindakan represif maupun preventif
yang termaktub dalam sumstansi hukum baik dalam arti sempit (retriktif) maupun
luas (ekstensif)
Legal Solution (penyelesaian masalah hukum), suatu proses adaptif dalam
penyelesaian konflik hukum untuk dicarikan jalan keluar untuk menganulir
(anuleeren) atau mendeponir (deponeeren) suatu keputusan hukum yang berdampak
sangat luas dalam masyarakat, agar tidak menimbulkan berbagai interpretasi dan
preseden buruk akibat penerapan hukum itu sendiri.
Legal Entity (kesatuan entita hukum), suatu kesinambungan aturan hukum
secara khirarki dan seluruh peraturan pelaksanaannnya, dari yang paling tinggi
sampai yang paling rendah, yang dikaji secara koperhensip integral, tujuannya untuk
mencari dan menemukan kontradiksi hukum yang bersifat kontroversial, dengan
maksud membuka wacana untuk diperdebatkan secara terbuka khususnya, yang
berkaitan dengan aspek sosial, politik, dan budaya, yang timbul dari penerapan
hukum itu sendiri dan eksesivitasnya dalam masyarakat
Definsi, Penalaran beranjak dari konsep (pengertian yang diabstraksikan),
salah satu cara menjelaskan konsep adalah definisi, seperti dalam tulisan J.J.H.
Bruggink, melalui: (1). definisi intensional dan ekstensional. (2). definisi nominal
dan riil.
Definisi Intensional (isi) adalah didefinisikan sedemikian rupa, sehingga ia
mengungkapkan ciri dari pengertian yang dimaksud. Definisi Ekstensional adalah
definis yang dapat ditemukan disana sini di dalam peraturan perundang-undangan.
Definisi Nominal adalah mendefinisikan apa yang ditunjuk oleh sebuah
perkataan di dalam bahasa, yang meliputi definisi leksikal, presisi, dan stipulatif:
1) Definisi Leksikal adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan
pemakaian yang lazim dari istilah itu, seperti pemakaian istilah dalam
kamus, yaitu definisi orang asing dan pribumi.
2) Definisi Presisi adalah beranjak dari suatu konsep yang sudah lazim dan
harus menjadi suatu kepastian (pasti).
3) Definisi Stipulatif adalah penentuan isi suatu pengertian yang sama sekali
baru atau satu istilah yang sudah cukup untuk menggantikan suatu uraian,
seperti wanprestasi (ingkar janji), eliminasi (pengeluaran, penyingkiran,
pengasingan).
Definisi Riil adalah meletakkan jembatan antara bahasa dengan kenyataan,
contoh: manusia sebagai mahluk hidup berakal budi; manusia termasuk ke dalam
jenis mahluk hidup. Manusia adalah merupakan mahluk Allah yang paling sempurna
diantara mahluk Allah yang ada.
6. Teknik Berpikir Dalam Ilmu Hukum
Kita mengenal beberapa teknik berpikir dalam ilmu hukum:
1. KONTEKS adalah merupakn penalaran yang tidak dapat dibantah, misalnya:
aturan yang kabur, akan menimbulkan penafsiran yang beragam, Jika tidak
mengerti bagaimana bisa berpikir yuridik.
2. SEMANTIK adalah sarana berpikir yang membantu kita untuk meluruskan
kesalah pahaman, seperti arti kata, penggunaan istilah yang tidak tepat.
3. INTUISI adalah persepsi atau keyakinan tanpa didukung penalaran, misalnya
penderitaan yang menimpa seseorang karena kesalahan diri sendiri, bukan
atas kesalahan orang lain. Selama ini kita anggap kesalahan diri kita, akibat
dari kesalah orang lain.
4. KONTINUM adalah suatu teknik berpikir yang erat hubungan dengan
semantik dan penggunakan kata, yang menekankan pada macam derajat
konsepsi makna. Maka, berbahasalah yang baik sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia
7. Teknik Argumentasi
Kita kenal ada beberpa teknik berargumentasi dalam ilmu hukum, di dalam
suatu diskusi atau perdebatan.
1. TEKNIK DILEMA, suatu argumentasi yang mempunyai dua alternatif atau
lebih sebagai pilihan, maka berikan argumen pada pilihan-pilihan itu, dengan
nalar yang benar, untuk menentukan alternatif pilihan yang kita kehendaki.
2. PRADUGA VERSUS PRADUGA, praduga mungkin bisa dan dapat
dikalahkan dengan praduga juga, seperti alibi terhadap suatu peristiwa.
3. REDICTIO AD ABSURDUM, menggunakan logika untuk membantah lawan
dengan mengambil kesimpulan secara tidak masuk akal dari logika, lawan
debat kita.
4. TURNING THE TABLES, kita gunakan kata-kata lawan untuk memperkuat
posisi kita, seperti dikatakan bahwa saya orang yang jujur, tapi bisakah anda
membuktikan kejujuran anda itu.
5. TEKNIK
RESIDU,
dalam
pembahasan
diberikan
beberapa
model
penyelesaian, kemudian penyelesaian itu dianomali satu persatu, sehingga
tinggal satu yang menjadi pilihan
6. KETIDAK TAATAN ASAS, mengungkapkan ketidak taatan asas dari
pendapat lawan. Contoh kasus Century, kata berdampak Sistemik. Dan
membahayakan keuangan negara
8. Prinsip dan Teknik Interpretasi
Prinsip interpretasi suatu undang-undang atau peraturan, harus dalam
konstruksi nalar deducto hypotetico, yaitu suatu perbuatan harus dikonstruksikan
secara keseluruhan atau total (sistem dan sub-sistem), agar inskonsistensi internal
dapat dihindari. Jika tidak, kemungkinan besar, akan terjadi inskonsistenal internal,
bila inskonsistensi internal yang terjadi, tidak akan pernah mampu membangun
struktur sistem hukum yang dibutuhkan suatu bangsa, tetapi hanya untuk
kepentingan sesaat para elite penguasa politik. Untuk keperluan Interpretasi Hukum,
memerlukan pemahaman secara tehnis, dengan memperhatikan bebrapa prinsip.
1. DEDUCTO
HYPOTETICO-VERIFIKATIVE,
suatu
perbuatan
harus
dikonstruksikan secara total dan menyeluruh agar inskonsistensi internal
dapat dihindari
2. LITERAL RULE, istilah yang digunakan harus bernalar dan memiliki satu
makna (pengertian yuridis).
3. GOLDEN RULE, arti istilah yang digunakan harus diartikan secara biasanya
(bahasa baku hukum).
4. MISCHIEF RULE, ketika suatu perbuatan bertujuan untuk melenyapkan
cacat dalam hukum
5. UJUSDEN GENERIS RULE, istilah yang diartikan dari macam dan makna
yang sama
Kapan menggunakan penafsiran apa, untuk pertama kalinya dan berikutnya
secara khirarki menurut logika hukum (hukum pidana, perdata, adat, perkawinan,
hukum tata negara, hukum administrasi negara) atau karakter hukum
9. Cara Interpretasi Hukum
Interpretasi hukum positif memiliki karakter hermeneutik, setiap rezim hukum
tidak selalu memiliki cara interpretasi yang sama. Oleh sebab itu, dikenal berbagai
macam cara interpretasi:
1. Gramatikal adalah mengartikan suatu stikmak hukum atau suatu bagian kalimat
menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Dalam praktek, seringkali kita
mengartikan suatu stikmak hukum dalam kondisi sudah berbaur dengan berbagai
interpretasi. Seharusnya, kita pahami dulu stikmak hukumnya dan barulah kita
berkomentar dalam lajur atas bawah tanda baca, kiri ke kanan sintaksis tanda
baca.
2. Sistematis adalah dengan titik tolak dari sistem aturan (hukum), mengartikan
suatu ketentuan hukum, contoh penggunaan istilah Parlemen untuk DPR-RI
adalah sesuatu yang tidak tepat, itu bahasa orang awam, bukan bahasa hukum.
Istilah Parlemen berlaku dalam pemerintahan parlementer, sedangkan istilah DPR
(disebut sebagai dewan perwakilan) yang pas, berlaku dalam pemerintahan
presidensial Indonesia.
3. Autentik adalah penafsirkan yang diberikan oleh para pembentuk peraturan
perundang-undangan, seperti pengertian Pegawai Negeri berdasarkan UU No. 8
Tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun 1999, berbeda dengan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memperluas pengertian
tanpa batas.
Pasal 1 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999, Pegawai negeri adalah setiap warga
negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas
negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 1 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, Pegawai negeri meliputi:
a. pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam UU tentang kepegawiaan,
b. pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam WvS (Kitab Undang Undang
Hukum Pidana),
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah,
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Ayat (3), setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
4. Historis adalah menelusuri maksud pembentuk UU dan perkembangan hukum.
Tidak mudah dilakukan oleh para penegak hukum, karena dokumen untuk itu sulit
didapatkan.
5. Perbandingan Hukum adalah menguasahakan penyelesaian suatu isu hukum
dengan membandingkan berbagai stelsel hukum, baik hukum nasional maupun
internasional.
6. Antisipasi adalah menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu
aturan yang belum berlaku. Ada baiknya memahami sebelas ciri hukum modern
dari Marc Galanter dalam bukunya The Modernization of Law: The Dynamics of
Growth, 1966, yaitu: uniform law, transactional law, universalistic law,
hierarchy, bureucracy, rationality, profesionalm, mediation, amendability,
political control, and differentiation.
7. Teleologis adalah setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis.
8. Ekstensif adalah memberikan penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam
peraturan tersebut, seperti pencurian aliran listrik termasuk pengertian benda,
sehingga bisa dikenakan Pasal 362 KUHP. Namun dalam hukum pidana,
penggunaan penafsiran model ini tidak boleh digunakan sembarangan, karena
doktrin hukum pidana tidak menghendaki penafsiran ekstensif.
9. Restrektif adalah membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan
tersebut, seperti kerugian tidak termasuk dalam kerugian tidak berwujud.
10. Analogi adalah memberikan penafsiran dengan perumpamaan pada kata-kata
tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapar dimaksukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan, contoh menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil
aliran listrik.
11. Acontrario adalah ditafsirkan berdasarkan lawan kata-katanya, seperti dia boleh
kenapa saya tidak boleh.
10. Prinsip Penalaran.
Kita mengenal ada beberapa penlaran dalam ilmu hukum:
1. DEROGASI adalah menolak suatu aturan yang ber-tentangan dengan aturan
yang lebih tinggi.
2. NON KONTRADIKSI adalah tidak boleh menyatakan ada tidaknya suatu
kewajiban dikaitkan dengan suatu situasi yang sama.
3. SUBSUMSI adalah adanya hubungan logis antara dua aturan dalam
hubungan aturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah.
4. EKSKLUSI adalah tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah
peraturan perundang-undangan.
11. Asas Penyelesaian Masalah
Dalam penyelesaian masalah hukum, dikenal beberapa asas penyelesaian
masalah, sesuai dengan fakta hukum.
1. LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI (disebut asas lex posterior),
artinya undang-undang yang lahir belakangan mengalahkan undang-undang
yang terdahulu (level yang sederajat). .......... Sering salah pemahamannya
2. LEX SPICIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS (disebut asas lex specialis),
artinya undang-undang yang khusus mengalahkan undang-undang yang
bersifat umum. ....... Praktinya sering salah dipahami
3. LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI (disebut asas lex superior),
artinya undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang
lebih rendah (negara federal). ............ Praktik sering salah dipahami
12. Katagori Keputusan Keputusan Pemerintah
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya yang
berhubungan dengan keputusan-keputusan:
1. Tindakan material, dinas pekerjaan umum, membuat trotoar, saluran air
2. Tindakan hukum intern, keputusan kepala dinas yang merupakan petunjuk
pelaksanaan suatu tugas bagi jajarannya
3. Tindakan hukum ekstern, pemberian ijin usaha terhadap seseorang
4. Tindakan hukum privat ekstern, misalnya jual beli mobil
5. Tindakan hukum publik ekstern, misalnya pengeluaran ijin perusahaan bagi
seorang pemohon
6. Tindakan hukum publik ekstern yang banyak pihak, misal perjanjian bagi
hasil antara Pertamina dan perusaan minyak asing
Tindakan Hukum Publik Ekstern Yang Bersifat Sepihak
Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintahan daerah, dikenal beberapa tindakan.
1) Tindakan hukum publik ekstern yang bersifat sepihak, seperti keputusan
untuk memberi subsidi kepada suatu yayasan yatim piatu
2) Bersifat umum, seperti KTUN yang merupakan peraturan kebijakan
3) Individual, surat pengangkatan yang ditujukan kepada si Anu
4) Umum abstrak, seperti PP sebagai pelaksaan Undang-Undang
7. Umum konkret, Gubernur atau Bupati mengumumkan daerahnya terjangkat
demam berdarah, rabies
8. Individual abstrak, izin untuk mendirikan pabrik kertas yang disertai dengan
berbagai macam syarat lainnya yang saling terkait
9. Individual konkret, seperti surat penetapan pajak, pengangkatan pegawai
negeri
13. Macam Kesesatan
Kesesatan Pengertian, misalnya memberi arti tentang cinta bahwa cinta itu
indah, cinta itu kejam, cinta itu kelabu. Kenaikan harga, bukan kenaikan tapi
disesuaikan
14.1. Kesesatan Karena Bahasa
Kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda, setiap kata dalam
kalimat mempunyai arti, sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka,
meskipun “kata”-nya sama, dalam kalimat yang berbeda, kata dapat bervariasi
artinya. Para filosof memandang bahasa sebagai alat untuk mencari dan
mengungkapkan kebenaran, untuk mengekspresikan hal-hal yang bersifat artistk.
Bahasa dianggap sebagai senjata ampuh dalam percaturan politik tingkat tinggi.
Dengan bahasa ia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tetapi juga membentuk
realitas. Upaya pengendalian agenda dan difinisi publik tentang realitas dapat
dimulai lewat penguasaan dan manipulasi dunia simbolik. Dominasi dunia simbolik
berarti penaklukan dunia kita dalam arti paling dalam dan luas.
Kesesatan karena bahasa, bisa hilang atau berubah kalau penalaran dari satu
bahasa disalin ke dalam bahasa lain. Kalau penalaran itu diberi bentuk lambang,
kesesatan itu akan hilang sama sekali. Oleh karena itu lambang dalam logika
diciptakan untuk menghindari adanya ketidakpastian.
1. Kesesatan Karena Aksen (tekanan pada kata), perubahan tekanan dapat
membawa perubahan arti, seperti tiap pagi saya “apel”, kata “apel” itu buah apel.
2. Kesesatan karena Term Ekuivok, term ekuivok itu mempunyai lebih dari satu
arti. Kalau dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang
sama, maka akan terjadi kesesatan penalaran. Misalnya, sifat abadi adalah sifat
Tuhan. Dewi adalah mahasiswa abadi. Jadi, Dewi adalah mahasiswa yang
bersifat Tuhan.
3. Kesesatan Metapora (kiasan), analogi antara arti kiasan dan arti sebenarnya.
Kalau dalam satu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti
sebenarnya atau sebaliknya. Maka, terjadi kesesatan karena arti kiasan.
14.2.
Kesesatan Amphibolia, karena konstruksi sebuah kalimat sedemikian rupa,
sehingga artinya menjadi bercabang. Kalau dalam kalimat amfibol itu di dalam
premis digunakan dalam arti yang satu, sedangkan di dalam konklusi artinya
berbeda. Misalnya, mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan. Apa
yang paling depan, mahasiswa atau mejanya.
14.3.Kesesatan Relevansi
Kesesatan ini timbul, jika orang menyimpulkan yang tidak relevan dengan
premisnya, artinya secara logis konklusi tidak terkandung atau merupakan implikasi
dari premisnya.
14.4.. Argumentum ad Hominem
Karena kita berusaha supaya orang menerima atau menolak sesuatu usul, tidak
berdasarkan alasan penalaran. Tetapi, karena berhubungan dengan kepentingan atau
keadaan
orang
yang
mengusulkan.
Misalnya,
terdakwa
berusahan
untuk
mendapatkan hukum yang ringan dengan berbagai alasan, seperti, saya berbuat tanpa
sadar, saya berbuat karena ada bisikan gaib.
14.5.Argumentum ad Verecundiam (Argumentm Autoritatis)
Menolak sesuatu dengan tidak berdasarkan nilai penalarannya, tetapi yang
mengemukan adalah orang yang berwibawa dan karismatik. Keahlian, kepandaian,
dan kebaikan harus dibuktikan dengan penalaran yang tepat, tidak sebaliknya.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio (nilai wibawa itu, hanya
setinggi nilai argumentasinya).
14.6. Argumentum ad Baculum
Penerimaan atau penolakan suatu penalaran didasarkan atas adanya ancaman
hukuman, seperti kalau tidak setuju akan dihukum, teror terhadap pemilik tanah
dalam rangka pembebasan tanah.
14.7.Argumentum ad Misericordiam
Penalaran yang ditujukan untuk mendapatkan belas kasihan agar dapat diterima
atau dikabulkan permintaannya. Misalnya, seorang terdakwa memohon pada hakim
supaya dibebasakan dari hukuman, karena masih punya anak kecil-kecil dan
ketergantungan padanya.
14.8.Argumentum ad Populum
Ditujukan kepada rakyat, pada massa dan pembuktian secara logis tidak
penting, yang penting menggugah emosi massa, membakar emosi massa seperti yang
dilakukan dalam kompanye pemilihan umum.
14.9. Non Causa Pro Caus
Apabila kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sesuatu itu bukan
sebab atau bukan sebab yang lengkap. Misalnya, Parto meninggal karena kena
sabetan cerurit penjahat, setelah divisum dokter, meninggal karena serangan jantung.
Mengapa, setiap pagi saya buka jendela, jawaban yang lumrah kita diterima adalah
supaya udara dan sinar matahari masuk, jawaban yang sebenarnya adalah karena
setiap sore saya tutup jendela, jawaban udara dan sinar matahari masuk adalah akibat
dari buka jendela, bukan sebab.
14.10.. Aksidensi
Terjadi apabila penerapan prinsip atau suatu pernyataan umum pada peristiwa
tertentu karena keadaannya yang bersifat aksidental yang menyebabkan penerapan
itu tidak cocok.
14.11. Komposisi dan Devisi
Ada para individu-individu dalam suatu kelompok, kalau menyimpulkan
bahwa individu itu juga berlaku untuk kelompok keseluruhan, penalaran kita sesat
karena komposisi. Misalnya, seorang hakim mendapatkan sogokan dari seorang
terdakwa, supaya terdakwa dibebaskan dari hukuman atau diringankan, lalu
disimpulkan korps hakim terdiri dari hakim yang mudah disogok.
14.12.. Petitio Principii
Konklusi yang diambil dengan kata atau ungkapan yang berbeda dari bunyi
konklusinya, tetapi nampak dan dapat diperbaiki.
14.13.. Ignoratio Elenche
Apabila konklusi yang diturunkan dari premis yang tidak relevan dengan
premis itu, bukan kesalahan bahasa, tetapi nalar dibuat untuk menghindar dari
hukuman atau tuntutan.
14.14. Pertanyaan Yang Kompleks
Sering kali suatu pertanyaan bukan karena pertanyaan tunggal, sehingga tidak
bisa dijawab dengan tepat dalam satu jawaban dan membutuhkan penjelasan panjang
dan lebar.
14.15. Argumentum ad Ignoranrtiam
Penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi atas dasar “negasinya tidak
terbukti salah atau karena negasinya tidak terbukti benar, seperti tidak ada mahluk
badan halus, karena mahluk itu tidak dapat dilihat.
14. Perbuatan Pemerintah Yang Menyimpang.
Pemerintah dalam menjalan tugas dan wewenangnya, pada saat tentu
melakukan penyimpangan, maka, penyimpangan tersebut, bisa disebut.
1. Detournement de Pouvoir (Perbuatan menyalahgunakan wewenang),
2. Onrechtmatige Overheidsdaad (Perbuatan melawan Hukum),
3. Onwetmatig (perbuatan melanggar Undang Undang),
4. Onjuist (perbuatan yang tidak tepat)
5. Ondoelmatig (perbuatan yang tidak berguna),
15. Daftar Pustaka
Allan R. Brewer Carlas, 1989, Judicial in Comparative Law, Cambride University Press,
Cambrede New York.
Alfons Taryadi, 1991, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, Gramedia
Pusataka Utama, Jakarta.
Barom De Monteaquieu, 1949, The Spirit of the Laws (tranlated Thomas Nugent), Hafner
Press, A Division of MacMillan Publication Co New York, Coller MacMillan
Publishers, London.
Chester James Antieau, 1982, Constitutional Construction, Oceana Publication Inc, London,
Rome, New York.
Dicey, A.V, 1967, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, English Language
Book Society and MacMillan.
Georg Wihelm Friedrich Hegel, 1956, The Philosophy of History, Dever Publication, Inc.
Hans Kelsen, 1950, The Law of the United Nations A Critical Analysis Its Fendamental
Problems, Steven & Sons Limited, London.
-----------------, 1961, General Theory Law and State, Russell & Russell, New York.
Hans Nawiasky, 1948, Allgmeine Rechtslehre als System der Rechtlichen Rundherffe,
Verlagsantaff Henzier & Co A Einsiendeh/Zurich/Kuln.
Henc van Maarseveen dan Ger Van Der Tang, 1978, Written Constitutions A Computerized
Camparative Study, Oceana Publications Ind Dobbs Ferry, New York.
Herman Soewardi, 1999, Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul
Tenggelamnya Sivilissi, Bakti Mandiri, Bandung.
Ibrahim R (Pen), 1995, Sinopsis Penelitian Ilmu Hukum, RajaWali Granfindo Persada,
Jakarta.
---------------, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif Dalam Pembarruan UUD 1945, Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung.
----------------, 2006, Pernak Pernik Yuridis Dalam Nalar Hukum, UPT Penerbit Unud,
Denpasar.
John Locke, 1924, Two Treatises of Civil Government, London J.M, Dent & Sons Ltd, New
York E.P. Dutton & Co Inc.
Julius Stone, 1968, Legal System and Lawyers Reassonings, Maitland Publications PTY Ltd.
Karl R. Popper, 1968, The Logic Scientific Discovery, New York, London, Harper & Row.
Komariah Emong Sapardjata, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum
Pidanan Indonesia, Alumni, Bandung.
Moh. Nazir, 1985, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Norbert Wiener, 1954, The Human Use of Human Beins Cybernetiecs and Society, Doubleday
Anchor Books Doubleday & Company, Garden City, New York.
Paul-Heinz Koesters, 1983, Okonomen Verlindern die Welt, Stern-Buch in Verlag, Gruner,
Jahr & Co, Hamburg.
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Yuridika No. 6 Tahun IX, Nopember-Desember
1994.
Richard Tarnas, 1991, The Passion of the Western Mind Understanding the Ideas That Have
Shaped Our World View, Ballantine Books, New York.
Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, 1986, Contemporary Sociological Theory Continuing The
Classical Tradition, Prantice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.
Soekardijo R.G., 1997, Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif, Gramedia Pusaka
Utama, Jakarta.
Sommers, M, 1992, Logika, Penerbit Alumni, Bandung.
Thomas S. Kuhn, 1962, The Structure of Scientific Revolutions, The University of Chicago
Press Al Right Reserved.
Van Hoof G.J.H, 2000, Pemikiran Kembali Sumber-Sumber Hukum Internasional (Alih
Download