perkawinan : Dalam Islam dinamakan nikah. artinya melakukan suatu akad/perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar sukarela dan keridloan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridloi Allah SWT. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam mengatakan, perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan , yaitu akad yang sangat kuat (mitsaaqan gholiidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam mengatakan, bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam megatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. • Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) mengatakan, agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dalam ayat (2) dinyatakan, bahwa pencatatan perkawinan di atas dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo UU No. 32/1954 • Pasal 6 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan, bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di depan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dalam ayat (2) dinyatakan, bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai PencatatNikah tidak mempunyai kekuatan hukum. • Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan, bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah Pasal 1 UU N0. 1 Tahun 1974 : ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga aspek penting dlm perkawinan -------- aspek hukum, aspek sosial dan aspek agama. o Aspek hukum : pada intinya perkawinan adalah perjanjian. Perhatikan Q. S An Nisaa’ ayat 21 : bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu sudah bercampur satu sama lain sebagai suami isteri dan isterimu telah mengambil dari kamu janji yang kuat. Oleh karena itu, maka - perkawinan tdk dapat dilangsungkan tanpa unsur sukarela; - kedua belah pihak yang terikat perkawinan berhak memutus tali perkawinan berdasarkan peraturan yang berlaku; - dalam perkawinan diatur batas hak dan kewajiban suami isteri. o Aspek sosial : a. Dilihat dari penilaian umum : orang yang sudah menikah mempunyai status lebih baik di masyarakat; b. untuk lebih menghormati derajat kaum wanita dalam kehidupan sosial o Aspek agama : pernikahan adalah basis ketenteraman masyarakat. Dalam suatu pernikahan terikatlah suami isteri dalam sebuah perjanjian sakral atas nama Allah. Tujuan perkawinan beberapa tujuan nikah : a. menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat kemanusiaan; b. mewujudkan keluarga yang bahagia dengan dasar kasih sayang; c. memperolah keturunan. Imam Ghazali : a. memperoleh keturunan yang sah; b. memenuhi hajat hidup manusia; c. membentuk rumah tangga yang berkasih sayang; d. mempergiat mencari rejeki dan memperbesar rasa tanggung jawab Hukum melakukan perkawinan Beberapa penggolongan hukum : asal hukm pernikahan adalah mubah/ibahah/boleh. Karena perubahan sebab-sebabnya, maka bisa berubah menjadi makruh, sunat, wajib dan haram. Hukum makruh ------- seseorang yang dari segi fisik sudah wajar untuk nikah, walaupun belum sangat mendesak, tetapi tidak punya biaya utk menghidupi keluarga, maka hukumnya makruh, sebab kalau menikah juga dikhawatirkan akan membawa keburukan pada isteri dan anak-anaknya. dipandang dari sudut wanita, seandainya si wanita menikah, padahal ia masih ragu bisa mentaati suami dan mendidik anakanaknya, maka ini termasuk makruh untuk menikah. Hukumnya sunat --------- dari aspek fisik seorang pria sudah wajar untuk menikah dan dia pun sudah ingin menikah dan dia pun punya biaya hidup untuk menjalani kehidupan sederhana, maka sunat untuk menikah. Hukum nikah wajib ------- apabila seseorang dipandang dari aspek fisik sudah wajar untuk menikah dan sangat mendesak ingin nikah. Dari sudut biaya sudah lebih dari mampu, seandainya tak menikah akan terjerumus dalam dosa seksual, maka wajiblah dia menikah. Bila seorang wanita tidak bisa terhindar dari perbuatan orang jahat, bila tak segera menikah, maka wajib baginya segera menikah. Haram --------- bila seorang pria atau wanita tidak bermaksud untuk menikah dengan kesungguhan dan hanya ingin berbuat jahat pada pasangannya, maka status perkawinannya haram. Asas Umum/dasar-dasar umum Dalam Islam : Harus ada persetujuan dan kesukarelaan dari para pihak. Tanda adanya persetujuan secara formal adalah melalui prosesi peminangan Tidak semua wanita dapat dinikahi. Ada ketentuan-ketentuan tentang siapa saja yang boleh dan tidak untuk dinikahi. Perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan Perkawinan harus ditujukan untuk membentuk keluarga yang tenteram dan bahagia Hak dan kewajiban suami adalah seimbang. Pemimpin rumah tangga ada di tangan suami. Dalam UU Perkawinan : Tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu suami isteri harus saling mendukung Perkawinan akan sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Selain itu setiap perkawinan harus dicatat secara resmi Pada asasnya perkawinan bersifat monogami. Seandainya memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, maka poligami boleh dilakukan Perkawinan harus dilakukan oleh para pasangan yang telah matang jiwa raganya Perceraian dipersukar Hak dan kewajiban isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami. TENTANG PEMINANGAN Peminangan dapat dilakukan oleh orang yang mencari jodoh secara langsung ataupun melalui orang lain Peminangan bisa dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya Dilarang meminang wanita yang sedang dipinang orang lain, selama belum ada penolakan dari wanita itu terhadap pinangan tersebut Pinangan belum menciptakan hubungan hukum, sehingga para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan Kebebasan memutuskan hubungan peminangan harus dilakukan dengan tata cara yang baik Sahnya pernikahan dalam Islam Secara umum harus ada : o Para pasangan yang akan nikah : telah dewasa; hendaknya sama-sama Islam; tidak melanggar aturan-aturan larangan nikah; didasari cinta sama cinta; sehat. Wali nikah : o Hadis riwayat 4 ahli Hadis : barang siapa diantara perempuan yang nikah tanpa diijinkan walinya, maka perkawinannya batal. o Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daraquthni : janganlah menikahkan perempuan akan perempuan dan janganlah pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri o Imam Malik, Syafii dan Hambali --------- wali adalah syarat sahnya perkawinan bagi setiap wanita, baik bukan janda maupun yang janda. Sedang imam Hanafi, untuk janda boleh nikah tanpa wali o Di indonesia aturan yang dipakai adalah dari Mazhab Syafii, sehingga harus ada wali. Saksi nikah : Hadis Nabi R. Ahmad bin Hambal ----- Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Akad nikah : yang dimaksud akad nikah adalah kata sepakat antara calon suami dan calon isteri untuk mengikatkan diri dalam perkawinan. Mahar/mas kawin : calon mempelai pria wajib membayar mahar pada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak. Mahar diberikan berdasarkan kemudahan dan kesederhanaan. CATATAN PER POIN : A. PARA PIHAK YANG AKAN MENIKAH ----------- dewasa, sehat, Islam, sama-sama cinta, juga harus memperhatikan aturan larangan menikah. o Contoh larangan nikah, misalnya yang diatur dalam KHI. Ada beberapa macam, yani larangan karena hubungan nasab; larangan karena hubungan susuan; karena hubungan periparan. B. o WALI NIKAH. Pada umumnya wali ------- Dalam KHI ----- wali nasab/wali kerabat; wali hakim/perwakilan negara atau pemerintah. Dalam hal ini yang berhak menjadi wali adalah seorang muslim laki-laki yang memenuhi syarat , yaitu sudah balig dan muslim. Wali nasab terbagi empat kelompok yang mana kelompok yang satu harus didahulukan dari kelompok lainnya, karena hubungan kekeluargaannya lebih erat dengan si calon pengantin wanita. Kelompok I : Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, seperti ayah, kakek dari pihak ayah , dan seterusnya. o o o Kelompok II : Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung o o o o o atau saudara laki-laki seayah beserta keturunannya yang laki-laki Kelompok III : kelompok kerabat paman, yakni saudara kandung lakilaki ayah, saudara seayah saja beserta keturunannya yang laki-laki Kelompok IV : kelompok kerabat saudara kandung kakek, saudara seayah kakek beserta keturunannya yg laki-laki. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung daripada kerabat yang hanya seayah Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak nenjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali o Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena wali nikah itu menderita tunawicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya o Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib, atau adlal atau enggan. o Dalm hal wali itu adlal atau enggan,maka wali hakim dapat dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut. C. D. o SAKSI NIKAH. Dalam KHI ditentukan : saksi nikah itu adalah rukun pelaksanaan akad nikah dan setiap pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Yang menjadi saksi nikah ialah seorang laki-laki muslim , adil, baligh, tidak terganggu ingatn, bukan tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah waktu itu dan di temapt akad nikah dilangsungkan AKAD NIKAH Ijab dan kabul dalam pernikahan harus beruntun dan tidak berselang waktu Akad nikah/ijab kabul dapat dilakukan oleh wali nikah yang bersangkutan ataupun dapat diwakilkan pada orang lain Yang dapat mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul dapat diwakilkan pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis, bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria Dalam hal calon mempelai wanita atau wali nikah keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tak boleh dilangsungkan E. MAHAR/MAS KAWIN Calon mempelai pria harus memberikan mahar/mas kawin pada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya harus disepkati kedua belah pihak Mahar harus diberikan atas dasar kesederhanaan dan kemudahan. Biasanya mahar diberikan dengan tunai. Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui, maka penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan itu menjadi utangnya calon mempelai pria Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya kalau mahar masih terutang, maka tidak mengurangi sahnya nikah Suami yang menolak isterinya qabla ad-dhukul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah Apabila suami meninggal qabla ad-dhukul, seluruh maharnya menjadi hak penuh isterinya Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, maka mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya. Bisa pula diganti dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Apabila terjadi perselisihan mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, maka penyelesaiannya diajukan ke PA. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita mau menerimanya, maka penyerahan mahar dianggap lunas. UKD I (MAKALAH) BUATLAH MAKALAH KELOMPOK ANTARA 8TEMA YANG BISA DIPILIH, YAKNI : 1. NIKAH KONTRAK 2. NIKAH SIRI 3. NIKAH TERLARANG 4. NIKAH HAMIL DI LUAR NIKAH 5. WALI NIKAH 6. PENCATATAN NIKAH 10 HALAMAN. DIBUAT OLEH 2-4 ORANG. DIKETIK. DIKUMPULKAN MINGGU DEPAN. TIDAK USAH DIJILID. TEMA- UKD I TERTULIS 1. Jelaskan, bagaimanakah nilai sebuah perkawinan bila ditinjau dari aspek hukum, sosial dan aspek hukum! 2. Bisakah sebuah pernikahan tergolong dalam hukum wajib, sunat, makruh dan haram? Jelaskan! 3. Jelaskan, apa saja syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi nikah? 4. Apakah dalam Mazhab Hanafi seorang janda boleh menikah tanpa wali? Di Indonesia sendiri bagaimana? Jelaskan! 5. Dalam kondisi bagaimana sebuah pernikahan bisa dilakukan memakai wali hakim? Jelaskan! LARANGAN NIKAH Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 : Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah Berhubungan darah dlm garis keturunan menyamping, yi antar saudara, antara seorang dg saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya berhubungan semenda, yi mertua, anak tiri, menantu, bapak/ibu tiri berhubungan susuan, yi orang tua susuan, anak susuan dan saudara susuan dan bibi atau paman susuan berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dlm hal seorang suami beristeri lebih dari seorang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yg berlaku dilarang nikah POLIGAMI Asas monogami dalam UU Perkawinan tdk bersifat mutlak, tetapi pada pembentukan perkawinan dan mempersempit penggunaan hanya bersifat pengarahan monogami dg jalan mempersulit poligami. Pasal 3 ayat 2 : Harus ada ijin pengadilan Dikehendaki para pihak Hukum dan agama ybs mengijinkannya. Pasal 4 dan Pasal 5 : Mengajukan ijin ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya Syarat-syarat : - Ada persetujuan dari isteri - Suami mampu menjamin nafkah - Suami bis aberlaku adil Syarat : - isteri tdak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri - isteri mendapat cacat badan atau penyakit yg tak bisa disembuhkan Isteri tdk memperoleh keturunan Putusnya perkawinan dan akibat-akibat hukumnya a. b. c. d. e. f. Alasan-alasan perceraian (Pasal 116 KHI) : Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dsb yang sukar disembuhkan Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukumanyang lebih berat setelah perkawinan berlangsung Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga g. h. Suami melanggar taklik talak Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Pasal 114 KHI : Putusnya perkawinan akibat perceraian dapat terjadi karena talak atu berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tentang talak : Pasal 117 : talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131 Pasal 118 ------ TALAK RAJ’I : talak kesatu atau kedua, yang mana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. a. b. Pasal 119 ---- TALAK BA’IN SUGHRAA : akad yang tidak boleh dirujuk lagi, tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak bai’n sugrhaa terjadi dalam hal : Talak yang terjadi qabla al dukhul Talak tebus atau khuluk Pasal 120 : talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah mantan isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya. Pasal 121 : talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yakni talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Pasal 122 : talak bid’i adalah talak yang dilarang, yakni talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haidl, atau isteri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut Pasal 123 : perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 124 : Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116. Khuluk bisa terjadi manakala sudah tidak ada persesuaian antara suami isteri dalam hidup perkawinannya dan keadaannya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan isteri menghendaki perceraian, maka isteri dapat minta talak kepada suaminya dengan memberi tebusan pada suaminya , harta yang pernah diterimanya sebagai mas kawin. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini adalah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya ini disebut juga “IWALD.” Untuk sahnya khuluk harus memenuhi syarat-syarat sbb : a. Perceraian dengan khuluk ini harus dilakukan dengan kerelaan dan persetujuan suami isteri b. Besar kecilnya jumlah uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami isteri. Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang tebusan, maka hakim PA dapat menentukan jumlah uang tebusan itu. Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu , tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, sebab ini terjadi atas kehendak isteri sendiri. PROSES MENJATUHKAN TALAK : Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keperluan itu dapat dimintakan upaya banding dan kasasi. Beberapa prosedur : o Pengadilan agama ybs mempelajari permohonan tsb dan dalam waktu maksimal 30 hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak o Setelah PA tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tdk mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, PA menjatuhkan keputusannya tentang ijin bagi suami untuk mengikrarkan talak o Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang PA dihadiri oleh isteri/kuasanya o Bila suami tak mengucapkan ikrar talak dalam waktu 6 bulan terhitung sejak putusan PA tentang ijin ikrtar talak baginya mempunyai Kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh Setelah sidang penyaksian ikrar talak, PA membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami isteri Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatn. Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan pada suami dan isteri. Helai keempat disimpan oleh PA. Putusnya perkawinan dengan cara Li’an. o Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya o Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan atau pengingkaran tsb. o Tata cara Li’an : - suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tsb, diikuti dg sumpah kelima dengan kata-kata, “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan pengingkaran itu dusta” - isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tsb dengan sumpah 4 kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar.” Diikuti sumpah kelima dengan kata-kata, “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran itu tidak benar.” o Li’an hanya sah bila dilakukan di depan sidang PA. Seputar Taklik Talak. Taklik = menggantungkan. Jadi suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah dijanjikan lebih dulu. Redaksi dalm buku nikah : 1. Meninggalkan isteri saya selama 6 bulan berturut-turut 2. Tidak memberi nafkah wajib selama 3 bulan terus menerus 3. Menyakiti badan atau jasmani isteri saya 4. Tidak memperdulikan isteri selama 6 bulan Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada PA atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu dan pengaduannya diterima oleh Pengadilan atau petugas itu dan isteri saya membayar uang sebesar Rp…………………. Sebagi iwald/pengganti pada saya, maka jatuhlah talak saya satu padanya. Kepada Pengadilan atau petugas itu saya kuasakan menerima uang iwald/pengganti itu dan memberikannya untuk keperluan ibadah sosial. PROSES MENGAJUKAN GUGATAN CERAI : Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada PA yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali isteri meninggalkan tempat tinggal bersama, tanpa ijin suami Dalam hal tergugat berkediaman di luar negeri, ketua PA memberitahukan gugatan itu melalui Perwakilan RI setempat. Gugatan perceraian karena alasan menurut Pasal 116 huruf b dapat diajukan setelah lampau 2 tahun sejak si tergugat meninggalkan rumah Gugatan bisa diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau kembali lagi ke rumah kediaman bersama a) b) c) d) e) f) Akibat hukum perkawinan yang putus karena talak (pasal 149 KHI): Memberi mut’ah yang layak kepada mantan isteri. Bisa berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri ditaak qabla ad-dukhul Memberi nafkah selama isteri dlm masa iddah, Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separo apabila qabla ad duhkul Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum berusia 21 tahun Mantan suami berhak untuk merujuk mantan isterinya yang masih dalam masa iddah Mantan isteri selama masa iddah wajib menjaga dirinya agar tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. WAKTU TUNGGU/MASA IDDAH. Dalam Pasal 153 KHI : 1) 2) a. b. c. d. 3) 4) Bagi serang isteri yang putus perkawinannya, berlaku masa tunggu atau iddah, kecuali qabla ad-dukhuldan perkawinannya putus bukan karena kematian suami Waktu tunggu seorang janda: Kematian, walaupun qabla ad-dukhul --- 130 hari Perceraian : yang masih haid, adalah 3 kali suci dg sekurang-kurangnya 90 hari. Juga bagi yang sdh tak haid, adalah 90 hari Janda dalam keadaan hamil ketika dicerai, waktu tunggu adalah sampai ia melahirkan Putus perkawinan karena kematian suami dan janda dalam keadaan hamil, waktu tunggu adalah sampai ia melahirkan. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad dukhul Bagi yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddah dihitung sejak jatuhnya putusnya PA yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan perkawinan yang putus karena kematian suami, masa iddah dihitung sejak kematian suami o 1. 2. 3. 4. 5. BEBERAPA HAL SEPUTAR RUJUK. syarat-syarat rujuk : Mantan isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri Dilakukan dalam masa iddah Harus disaksikan oleh 2 orang saksi Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai iwald dari pihak isteri Persetujuan dari isteri yang akan dirujuk o 1) Beberapa aturan dalam KHI (pasal 163 - 169) : Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah 2) a. b. 3) 4) 5) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : Putus perkawinannya karena talak, kecuali talak tiga, atau talak yang dijatuhkan qabla ad dukhul Putus perkawinannya bukan karena khuluk atau dengan cara Li’an Seorang wanita yang dalam iddah talak Raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk suaminya dihadapan PPN disaksikan 2 orang saksi Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan isteri, maka statusnya tidak sah berdasarkan putusan PA Rujuk harus dibuktikan dengan Kutipan Pendaftaran Rujuk (RPR) dan bila bukti itu hilang atau rusak sehingga tak dapat digunakan lagi, maka bisa dimintakan duplikatnya pada isntansi yang mengeluarkan PENGERTIAN HUKUM KEWARISAN ISLAM, SUMBER DAN ASASASASNYA Pengertian : Istilah hukum kewarisan Islam ada juga yang mengatakan Faraidl, jamaknya dari kata faridlah. Arti faridlah adalah suatu bagian tertentu yg sudah ditentukan oleh syariah. Faraidl berarti beberapa bagian tertentu. Istilah hukum kewarisan Islam ada dlm UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama, yg kemudian disempurnakan dg UU No. 3 Tahun 2006 serta ada dlm Kompilasi Hk Islam. Pasal 171 KHI ----- pasal 171 huruf a : Hukum kewarisan adalah hukum yg mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa saja yg menjadi ahli waris dan berapa bagian masingmasing. pasal 171 huruf b: pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan hukum Islam menetapkan, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan nama kewarisan, berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta. Karenanya detik seseorang menghembuskan nafas yang penghabisan yang disebut wafat atau meninggal dunia, benar-benar mempunyai arti hukum. harta seseorang tidak bisa beralih pada pada orang lain secara kewarisan selama yang mempunyai harta masih hidup dan segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung (hibah) maupun terlaksana sesudah matinya (wasiat) tidak termasuk istilah kewarisan Sumber Hukum Kewarisan : Hukum kewrisan Islam pada dasarnya bersumber dari Al Quran, Hadist dan Ijtihad para ulil amri. Lihat Firman Allah S. An-Nisa’ ayat 59 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ini kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Al Quran : surat-surat dalam Al Quran yang memuat soal kewarisan ada dalam S. An-Nisa ayat (1), (7), (8), (11), (12), (33) dan (176). Kemudian dlm Al Baqarah ayat (180), (233) dan (240); Al Anfal ayat (75); Al-Ahzab ayat (4), (5) dan (6) serta AthThalaaq ayat (7). Contoh-contoh dari Hadist, misalnya dari Ibnu Abbas, riwayat Bukhari-Muslim ----------berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama. Hadist dari Usamah bin Zaid, riwayat Bukhari-Muslim, Abu Dawud, at Tarmizi dan Ibnu Majah --------- seseorang Muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim Hadist dari Jabir Ibnu Abdillah, riwayat Ibnu Majah --------- -- seseorang bayi tidak berhak menerima warisan, kecuali bila ia bergerak dengan pekikan. Gerakannya diketahui dari tangis, teriakan dan bersin. Hadist dari Abu Hurairah, riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah -------- seseorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya Hadis Nabi dari Ibnu Amir Al Husaini riwayat Abu Dawud, at Tarmizi dan Ibnu Majah ---- saudara laki-laki dari ibu adalah ahli waris bagi seseorang yang tidk ada ahli warisnya. Sumber dari Ijtihad -----ada kasus-kasus yang tidak terdapat aturannya secara langsung dlm Al Quran dan Hadis ulama kemudian melakukan ijtihad untuk mencari kepastian dan penilaian hukum mengenai kasus yang dihadapi. Ijtihad berasal dari kata jahada, artinya bersungguh-sungguh atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Dalam hubungannya dengan hukum berarti usaha yang sungguhsungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi syarat utk mendapatkan garis hukum yg belum jelas atau tdak ada ketentuannya dlm Al Quran dan Hadis. Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan hasil ijtihad para ulama Ind yg antara lain membahas hukum waris. Sebelum ada KHI banyak kitab rujukan yg harus dijadikan pedoman, misalnya Al Bajuri, Fathul Muin,Syarqawi alat Tahrir, Muhalli/Qulyubi, Fathul Wahab, Tuhfah, dsb. Kewenangan PA dlam perkara warisan Sebelum dibentuk PA di masyarakat perkara kewarisan,perkawinan dsb sudah sering diselesaikan oleh para ulama setempat. Penyelesaiannya disebut tahkim. Tetapi kemudian pemerintah Belanda menginginkan sebuah pengadilan utk orang Islam utk menyelesaiakn perkara itu, yg dinamakan PA. Beberapa aturan dari Belanda, al : th 1760 --- Compendium Freijer : himpunan peraturn Hukum Islam mengenai nikah, talak dan waris. Dalam aturan ini ditetapkan, bahwa sengketa waris Islam di kalangan pribumi hrs memakai hukum Islam. tahun 1823 berdasarkan Resolusi Gub Jenderal, 3 Juni 1823, diresmikan PA di Palembang dg Ketua Pangeran Penghulu Raja Willem II, tgl 19 Jan 1882 meresmikan pembentukan PA di Jawa dan Madura dg nama Priesterraden. Berhak menangani perkara warisan, perkawinan,wasiat, perwalian dsb. kemudian, berdasarkan atas perubahan Pasal134 ayat (2) IS, kewenangan PA di Jawa dan Madura hanya menangani perkara perkawinan saja, sedang perkara kewarisan diserahkan ke PN. Hal ini pun ternyata diikuti oleh luar Jawa dg didirikannya Kerapatan Qadli dan Qadli Besar di Kalsel melalui Stb. 1937 no. 638 dan 639 yg memindahkan perkara kewarisan orang Islam ditangani PN. Menurut R. Soepomo, penghapusan perkara kewarisan dari PA di Jawa dan Madura berdasarkan hasil penyelidikan ternyata di Jawa dan Madura dalam menangani perkara waris banyak memakai Hk adat. Setelah terbentuknya NKRI, maka dikeluarkanlah PP No. 45 tahun 1957 yg mengatur tentang Mhkamah Syariah Kabupaten dan Mahkamah Syariah Propinsi utk Propinsi utk daerah luar Jawa-Madura dan sebagian Kalimantn. Pasal 4 ayat (1) mengatakan, bahwa PA/Mahkamah Syariah yg memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam dan segala perkara yg menurut hukum yg hidup diputus menurut hukum Islam yang brkenaan dengan nikah,talak,rujuk, fasakh, nafkah, mas kawin, tempat kediaman, dan sebagainya, hadlanah, Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam. beberapa asas dlm hukum kewrisan Islam --------- asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas kewarisan akibat kematian dan asas personalitas keislaman. Asas Ijbari : peralihan harta seseorang kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya atau berlaku secara ijbari. Hal ini berarti, bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. adanya unsur paksaan dlm hukum kewarisan Islam terlihat dari segi ahli waris berhak menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dg jumlah yg sudah ditentukan Allah. dengan demikian dlm kewarisan Islam, peralihan harta warisan bersifat memaksa. Dalam arti sejak warisan terbuka hukumnya wajib untuk dibagikan kepada ahli waris yang berhak dan pembagiannya berpatokan pada ketentuan yg telah pasti. Pasal 188 KHI menyatakan -- para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan pemintaan kepada ahli waris yang lain utk melakukan pembagian warisan. Bila ada diantara ahli waris yg tdk menyetujui permintaan tsb, maka yg bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui PA utk dilakukan pembagian harta warisan. dalam Pasal 183 KHI ternyata membuka peluang harta warisan dibagi dg cara perdamaian. Dikatakan, bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dlm pembagian harta warisan. Asas bilateral. oSeseorang menerima warisan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini, antara anak laki-laki dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya terdapat kedudukan sederajat. Hanya memang bagiannya beda. Pasal 176 KHI ---------anak perempuan bila hanya seorang mendapat separuh bagian; bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,dan apabila anak perempuan bersama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Dasar ketentuan : Al Quran S. An Nisa ayat 7 dan 11 : penetapan porsi 2 :1 antara anak laki-laki dan perempuan (furudhul muqaddarah); Alasan rasional : anak perempuan berhak mendapat mahar, nafkah, tempat tinggal dan perabotan rumah tanggga, sebaliknya laki-laki dibebani kewajiban membayar mahar, memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal dan perabotan rumah tangga. Asas individual. Harta warisan mesti dibagi-bagi kepada masing-masing ahi waris untuk dimiliki secara perorangan. Asas ini berkaitan langsung dengan asas Ijbari, bahwa bila terbuka harta warisan mesti langsung diadakan pembagian kepada masing-masing ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalm nilai tertentu yg kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yg berhak menerimanya. Setiap ahli waris berhak atas bagian yg didapatnya tanpa terikat kpd ahli waris lain. Asas keadilan berimbang. Harus senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yg diperoleh seseorang dg kewajiban yg dipikul, sehingga antara laki-laki dengan perempuan terdapat hak yg sebanding dg kewajiban yg dipikulnya. Oleh karena itu, porsi bagian warisan utk laki-laki dan perempuan berbeda. Asas kewarisan akibat kematian. Peralihan harta seseorang kepada orang lain (kewarisan) terjadi setelah orang yg mempunyai harta meninggal dunia. Hal ini berarti harta seseorang tdk dapat beralih kepada orang lain selama orang yg mempunyai harta masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yg masih hidup kepada orang lai, baik secara langsung maupun yg akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya tdk termasuk ke dalam katagori kewarisan. Asas personalita keislaman. Peralihan harta warisan hanya terjadi bila antara pewaris dengan ahli waris sama-sama beragama Islam. SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN,UNSUR-UNSUR KEWARISAN, PEMBAGIAN WARISAN Pasal 174 jo 171huruf c KHI, hanya menyebutkan 2 sebab adanya hak kewarisan antara pewaris dan ahli waris, yi karena hub darah dan hub perkawinan. Hub darah, .. . . . . . mis dalam pasal 174 ayat (1) huruf a KHI dinyatakan, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a.hub darah. Dari gol laki-laki, yakni ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek . Dari gol perempuan, yakni : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. dari pasal tsb di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hub kekerabatan sbb: ke bawah, yaitu anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Kalau tdk ada anakanak, maka cucu menggantikan anak. Ke atas, yi ayah dan ibu. bila ayah sdh tak ada, maka kakek menggantikan ayah. Bila ibu sdh tidak ada, maka nenek menggantikan ibu. Ke samping, yi saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik melalui ayah atauibu atau melalui ayah dan ibu. Hub perkawinan, . . . . . Suami dan isteri saling mewarisi satu sama lain. Adanya kewarisan antara suami isteri berdasarkan ketentuan, yi : Sahnya perkawinan, sangat menentukan adanya kewarisan antara suami siteri satu sama lain. hub perkawinan masih ada . . . . . Walaupun sdh ada talak raj’i, masih ada saling mewarisi, asal isteri masih dlm masa iddah. Penghalang kewarisan. Disebabkan pembunuhan dan disebabkan memfitnah. Pasal 173 KHI mengatakan : seorang terhalang menjadi ahli waris, bila berdasarkan keputusan hakim yg tetap dihukum krn : Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat sipewaris Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukn pengaduan, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yg diancam dg hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Ada pula alasan lain, misalnya perbedaan agama ( ps 171 huruf b dan c jo pasal 172 KHI); hilang tanpa berita (pasal 191KHI). PEMBAGIAN WARISAN Pasal 175 KHI, kewajiban ahli waris terhadap pewaris : 1. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai 2. menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan , perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang 3. menyelesaikan wasiat pewaris 4. membagi harta warisan. Biaya pengurusan jenazah -------biaya memandikan, mengkafani, menguburkan, dsb. Biaya pelunasan hutang. Kalau pewaris blm membayar hutangnya,maka sdh seharusnya hutang itu dilunasi dari harta peninggalannya. Hadis Riwayat Tarmidzi -----jiwa orang beriman tergantung pada hutangnya, sehingga dibayar. Pasal 175 ayat (1) KHI mengatakan : biaya pengobatan si meninggal selama sakit yg blm dibayar Biaya perawatan si meninggal selama sakit yg belum dibayar kewajiban pewaris kpd Allah dan sesama Menagih piutangnya pewaris Menyelesaikan wasiat pewaris. pasal 171 huruf KHI ----- pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku sesudah pewaris meniggal. Prosedur wasiat diatur dlm pasa194 sampai 209 KHI. Contoh Pembagian Hak Waris Berdasarkan Hukum Waris Islam ). Pak Ali meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang istri (bernama Maimunah), seorang anak laki-laki (bernama Budi), dan seorang anak perempuan (bernama Wati). Harta warisnya senilai Rp 100 juta. Berapakah perhitungan bagian ahli waris masing-masing? Jawab : Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7). Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an : َ فَ ِإ ْن ك َان لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُّ ُم ُن ِم َّما ت َ َر ْكت ُ ْم “Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12). Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh. Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8). • Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an ْ ِّ ظ َّ ِم ل ُ األ ُ لذ َك ِر ِم ْث ُ ص ْي ُك ْ ي أَ ْو ََل ِد ُك َ ل • :ن ِ ح ِ ُي ْو ْ ِم هللاُ ف ِ ن ْْثَيَ ْي • يAllah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS An-Nisaa’: 11) •Maka bagian Wati = 1 bagian dan bagian Budi = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 3 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ). Atau penyebutnya adalah 3. Jadi bagian Wati= 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 = 7/24 (tujuh perduaempat), dan bagian Budi = 2/3 dari 7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24 (empat belas perduaempat). •Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian Ibu Maimunah (istri) = 1/8 X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta. Bagian Wati = 7/24 x Rp 100 juta = Rp 29,2 juta. Sedang bagian Budi adalah = 14/24 x Rp 100 juta = Rp 58,3 juta. • Seorang Ayah meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang isteri, seorang anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. Harta warisnya senilai Rp 100 juta. Jawab : Dalam hukum waris Islam, isteri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Isteri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,Risalah fil Faraidh, hal. 7). Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian isteri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an : فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَدٌ فَلَ ُه َّن الث ُّ ُم ُن ِم َّما ت َ َر ْكت ُ ْم “Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para isteri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa` : 12). Sedangkan seorang anak laki-laki dan tiga anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh. Keempat anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8). Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada keempat anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an : ْ ِّ َظ َّ ِم ل ُ األ ُ ص ْي ُك ُ لذ َك ِر ِم ْث ْ ي أَ ْو ََل ِد ُك ن ِ ُي ْو ِ لح ْ ِم هللاُ ف ِ ن ْْثَيَ ْي “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS An-Nisaa` [4] : 11) • • • Maka bagian anak perempuan pertama tersebut (misalkan namanya A) = 1 bagian. Bagian anak perempuan kedua (misal namanya B) = 1 bagian, bagian anak perempuan ketiga (misalnya namanya C) = 1 bagian dan bagian anak laki-laki (misal namanya D) = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 5 bagian (dari penjumlahan 1 + 1 + 1 + 2 ). Atau penyebutnya adalah 5. Jadi bagian A= 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40 (tujuh perempatpuluh), B= 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40 (tujuh perempatpuluh),D= 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40 (tujuh perempatpuluh) Bagian D = 2/5 dari 7/8 = 2/5 X 7/8 = 14/40 (empat belas perempatpuluh). Bagian Adan B sama dengan bagian C = 1/5 X 7/8 = 7/40 (tujuh perempatpuluh). Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian isteri = 1/8 X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta. Bagian A,B dan C masing-masing (anak perempuan) = 7/40 x Rp 100 juta = Rp 17,5 juta. Sedang bagian D (satu anak laki-laki) adalah = 14/40 x Rp 100 juta = Rp 35 juta. Aul Dan Rad. besarnya bagian ahli waris menurut Islam, lihat pasal 176-191 KHI. Tapi bisa terjadi bagian ahli waris yg dinyatakan dlm bilangan pecahan-peacahan tidak sesuai. Bisa menjadi jumlahnya kurang atau malah kelebihan. Cara penyelesaiannya dg metode Aul (bila harta kurang dan Rad (bila hartanya jadi berlebih). contoh Aul -------- A meninggal dg ahli waris : duda, 2 orang perempuan saudara sekandung, 2 orang saudara perempuan seibu dan ibu dengan harta warisan sejumlah Rp 40.000. Duda tanpa anak dapat ½, dua perempuan sekandung dapat 2/3 (secara kolektif), 2 saudara perempuan seibu 1/3 (kolektif) dan ibu dapat 1/6. Tetapi ketika dibagi, tidak sesuai atau tdk pas. Harus dikali dulu melalui angka 6, sehingga duda 1/2x6 = 3; 2 orang perempuan saudara sekandung 2/3x6 = 4; 2 orang saudara perempuan seibu 1/3x6 =2 dan ibunya 1/6x6 = 1. Dijumlahkan : 3+4+2=10. Akhir pembagian adalah : Duda :3/10 x 40.000 = 12.000 2 saudara perempuan sekandung : 4/10x40.000 = 16.000 2 saudara perempuan seibu : 2/10x40.000 = 8.000 Ibunya : 1/10x40.000 = 4.000 ---------------------------------------------- jumlah : = 40.000 Aul dan Rad dalam angka 6,12 dan 24. Rad. waris Islam hanya boleh dibagi lewat Diterapkan, bila hartanya malah berlebih setelah dibagi-bagi. Diselesaikan dengan cara Rad. Contoh Rad : B meninggal dg ahi waris janda, ibu dan seorang saudara perempuan seibu. Harta warisannya sebesar Rp 10.80.000. Janda dapat ¼; ibunya dapat 1/3 dan seorang suadara perempuan seibu dapat 1/6. Setelah dicoba dibagi ternyata ada kelebihan harta atau ada harta tersisa. Dalam hal ini harus dihitung melalui,misalnya pembagian angka 12. dalam hal ini hitungannya, yakni janda 1/4x 12 = 3; ibunya 1/3 x12 = 4 dan saudara perempuan seibu 1/6 x 12 = 2. Dijumlahkan : 3+4+2 = 9. Akhir pembagian menjadi : Janda 3/9 x 10.800.000 = 3.600.000 Ibunya 4/9 x 10.800.000 = 4.800.000 saudara perempuan 2/9x 10.800.000= 2.400.000 __________________________________________________ jumlah = 10.800.000