PT. Farma Medika adalah sebuah perusahaan di Jakarta dan bergerak di bidang penyewaan mesin penyedot minyak serta alat-alat berat lainnya. PT. Farma Medika melakukan pembukuan dengan metode akrual, dan menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksinya. Tahun pembukuan dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2020. Sedangkan data direksi perusahaannya seperti berikut: Pak Kelik (Komisaris, NPWP 06.456. 321.1-042.000) Pak Jak (Direktur Utama, NPWP 06.456.333.1-043.000). Adapun pemegang saham PT Farma Medika: Pak Kelik memiliki saham 50%, PT BBB dan Pak Jak masing-masing memiliki saham 30% dan 15%. Berikut laporan laba/rugi PT Farma Medika pada 2020: Berikut ini beberapa informasi tambahan: 1. PT. Farma Medika mengantisipasi retur penjualan dengan menggunakan metode cadangan retur penjualan. Adapun retur penjualan yang akhirnya terealisasi pada 2020 sebanyak Rp11.250.000.000. Buatlah perhitungan HPP! Keterangan: a. Perusahaan menggunakan metode “harga perolehan (FIFO) atau net realis the Value (NRV) mana yang paling rendah” untuk penilaian persediaan bahan baku produksi. b. Gaji dan upah termasuk PPh Pasal 21 ditanggung peruhsaan sebesar Rp2.125.000.000. c. Biaya penyusutan secara fiskal berdasarkan penghitungan biaya penyusutan terkait produksi Rp9.842.500.000. d. Biaya lain-lain termasuk biaya perawatan kendaraan pribadi pemegang saham dalam hal ini Pak Kelik Rp500.000.000. 3. Biaya umum administrasi dan penjualan: a. Biaya gaji, THR, dan bonus terdapat PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan Rp275.000.000 dan gaji asisten rumah tangga para direksi Rp100.000.000. b. Biaya premi asuransi karyawan terdapat biaya asuransi jiwa pemegang saham Rp225.000.000. c. Biaya perjalanan dinas yang didukung dengan bukti dan berhubungan dengan kegiatan usaha adalah Rp375.000.000. d. Biaya listrik termasuk listrik rumah dinas para direksi perusahaan Rp112.500.000. e. Beban piutang ragu-ragu yang dihapuskan secara fiskal Rp152.500.000. f. Biaya penyusutan aset tetap yang dialokasikan ke biaya usaha secara fiskal Rp6.376.250.000. g. Rincian biaya lain-lain: 4. Pendapatan (biaya) lain-lain: a. Pendapatan dividen dari PT A yang dilaporkan setelah dipotong PPh Pasal 23, sedangkan dari PT B tidak dipotong PPh Pasal 23. b. Keuntungan penjualan investasi saham berasal dari transaksi penjualan melalui Bursa Efek Indonesia, setelah dipotong PPh Final 0,1%. Jumlah keuntungan penjualan gudang sebelum dipotong PPh final. c. Pendapatan sewa berasal dari pendapatan sewa truk PT DDD setelah dipotong PPh Pasal 23. d. Rugi selisih kurs dihitung sesuai standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku. e. Pajak yang dipotong atas penghasilan di Thailand Rp47.500.000. f. Pajak yang dibayar di Singapura atas dividen yang diterima dari CCC Ltd., sebesar Rp112.500.000. 5. PPh Pasal 22 impor yang dipungut Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) selama 2020 sebesar Rp225.000.000. 6. PPh Pasal 25 yang telah dibayar pada Januari-November 2020 Rp6.600.000.000. Selain itu, telah diterbitkan STP PPh Pasal 25 oleh KPP setempat pada 10 Februari 2020 untuk masa pajak Desember 2020 sebesar Rp677.500.000 (termasuk denda dan bunga Rp77.500.000) dan jumlah tersebut sudah dibayar oleh PT Farma Medika. Jawaban Penghasilan Kena Pajak dari Rekonsiliasi Fiskal PPh Badan Berdasarkan data-data di atas, dapat dihitung penghasilan kena pajak untuk tahun pajak 2020 dengan melakukan rekonsiliasi fiskal PPh badan Penjelasan rekonsiliasi fiskal PT AAA dari informasi tambahan: Muncul koreksi positif Rp3.750.000.000 (Pasal 9 ayat [1] huruf c UU PPh) karena penggunaan retur penjualan yang terealisasi Rp11.250.000.000. Sebab penggunaan metode cadangan retur penjualan tidak diperbolehkan, sehingga biaya terkait tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Penghitungan HPP: 1. Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan. Metode yang diperbolehkan secara fiskal adalah metode rata-rata (weighted average) atau mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (FIFO). Saldo awal persediaan secara akuntansi tidak dikoreksi karena sesuai dengan harga perolehan. Sedangkan saldo akhir persediaan, harus dikoreksi fiskal karena tidak sesuai dengan harga perolehan. Saldo persediaan akhir yang diperbolehkan adalah Rp21.500.000.000 sehingga muncul koreksi positif Rp1.000.000.000 (Pasal 10 ayat 6 UU PPh). Angka pembelian diperoleh dari rumus: Pembelian = pemakaian bahan baku + saldo akhir bahan baku – saldo awal akhir bahan baku. 2. Biaya PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan pada gaji dan upah tidak dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto. Sehingga muncul koreksi sebesar Rp2.125.000.000 (Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh). 3. Diketahui biaya penyusutan secara fiskal yang dimasukkan ke harga pokok penjualan adalah Rp9.842.500.000. Sehingga muncul koreksi positif sebesar Rp767.500.000 (Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 UU PPh). 4. Biaya perawatan kendaraan pribadi Pak Kelik sebesar Rp500.000.000 dalam biaya lain-lain tidak dapat jadi pengurang. Sebab merupakan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham (Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh). BUATLAH KOREKSI FISKAL! Koreksi biaya umum, administrasi, dan penjualan: 1. Pada komponen biaya gaji, THR, dan bonus ada biaya yang tidak dapat dikurangkan. Biaya tersebut adalah biaya PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan sebesar Rp275.000.000 dan biaya gaji asisten rumah tangga para direksi perusahaan Rp100.000.000. Total keduanya Rp175.000.000 harus dikoreksi dari biaya usaha (Pasal 9 ayat (1) huruf e dan h UU PPh). 2. Biaya asuransi jiwa pemegang saham sebesar Rp225.000.000 tidak bisa menjadi biaya fiskal, sehingga harus dikoreksi (Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh). 3. Dari total biaya perjalanan dinas Rp2.125.000.000, hanya Rp375.000.000 yang didukung bukti dan berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Sehingga muncul koreksi Rp1.750.000.000 (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). 4. Biaya listrik untuk rumah dinas para direksi sebesar Rp112.500.000 dikoreksi karena tidak diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto (Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh). 5. Dari total piutang tak tertagih Rp927.500.000, hanya Rp152.500.000 yang dihapus secara fiskal. Dalam hal ini diasumsikan telah memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. 6. Biaya penyusutan yang diperkenankan secara fiskal Rp6.376.250.000, lebih besar dari jumlah menurut komersial sebesar Rp3.090.000.000. Sehingga muncul koreksi Rp3.286.250.000. (Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 UU PPh). 7. Biaya lain-lain: Biaya kursus komputer anak dari komisaris juga harus dikoreksi fiskal. Sebab tidak berhubungan dengan biaya 3M. Selain itu, pengeluaran ini juga dilakukan untuk kepentingan pribadi. Ssehingga tidak boleh menjadi biaya fiskal (Pasal 6 ayat (1) huruf h dan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh). Biaya denda dan bunga STP harus dikoreksi fiskal Sebab sanksi administrasi meliputi bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangan-undangan di bidang perpajakan tidak boleh jadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh). Biaya PBB kantor tidak dikoreksi karena berhubungan dengan biaya 3M perusahaan. Begitu juga dengan biaya pajak selain PPh dapat dibebankan secara fiskal (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). Biaya pajak masukan perlengkapan kantor tidak perlu dikoreksi. Sebab merupakan salah satu biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). Pajak Masukan suku cadang kendaraan karyawan juga tidak dikoreksi (Keputusan Dirjen Pajak No. KEP/220/PJ/2002). Akan tetapi, untuk Pajak Masukan suku cadang kendaraan sedan dinas dikoreksi sebesar 50% dari jumlah biaya (KEP 220/2002). Syarat agar biaya jamuan tamu boleh dibebankan sebagai biaya adalah dibuat daftar nominatif sesuai ketentuan yang diatur dalam Surat Ederan Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986. Maka, biaya jamuan tamu tanpa daftar nominatif sebesar Rp162.500.000 harus dikoreksi. Sedangkan, biaya jamuan tamu dengan daftar nominatif tidak perlu dikoreksi. Aturannya, biaya sumbangan pada dasarnya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun ada beberapa biaya sumbangan yang diperbolehkan. Dalam kasus ini, biaya sumbangan Hari Karyawan tidak boleh jadi biaya. Sebab tidak digunakan dalam rangka mendapat, menagih, dan memelihara penghasilan atau biaya 3M (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). Lalu biaya sumbangan kepada Yayasan Pemuda Karya boleh secara fiskal karena termasuk sumbangan untuk membina dan memberdayakan yang disampaikan melalui yayasan (Pasal 6 ayat (1) huruf m UU PPh dan Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010). Adapun sumbangan kepada karyawan bentuk natura dikoreksi fiskal karena merupakan pemberian natura (Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh). Berikut penghitungan biaya-biaya lain secara fiskal: Berikut rekapitulasi penghitungan biaya usaha secara fiskal berdasarkan koreksi biaya usaha di atas: 4. Koreksi pendapatan (biaya) lain-lain: a. Pendapatan dividen dari PT ABC yang dilaporkan setelah dipotong PPh Pasal 23 sebesar Rp297.500.000 perlu dikoreksi sebesar nilai PPh Pasal 23 yang dipotong. Buat keperluan rekonsiliasi fiskal, jumlah yang tercantum seharusnya adalah jumlah sebelum dipotong PPh Pasal 23 (tarif 15%). Maka, koreksi fiskalnya Rp52.500.000, yang dihitung dengan rumus: 15% x Rp297.500.000/(100%-15%). Sedangkan penghasilan dividen dari PT DEF tidak dipotong PPh Pasal 23 karena kepemilikan saham PT AAA di PT BEF sebesar 30% (termasuk bukan objek penghasilan menurut Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh). Oleh karena itu, jumlah dividen tersebut harus dikoreksi fiskal. b. Keuntungan penjualan investasi saham berasal dari transaksi penjualan melalui BEI merupakan objek PPh final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 0,1% (PP No. 41 Tahun 1994 s.t.d.d PP No. 14 Tahun 1997). PPh yang dipotong Rp300.000 (0,1%x Rp299.700.000/(100%-0,1%), sehingga penghasilan brutonya menjadi Rp300.000.000 yang dilaporkan sebagai objek PPh final dalam lampiran SPT tahunan PPh Badan. Sedangkan untuk keuntungan penjualan gudang juga dilakukan koreksi fiskal karena merupakan objek PPh final Pasal 4 ayat (2) dan peraturan pelaksananya (PP No. 34 Tahun 2016). c. Jumlah pendapatan sewa truk dari PT Indotruck diketahui telah dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% (Pasal 23 UU PPh). Perlu mengetahui jumlah bruto sewa sebelum dipotong pajak untuk keperluan rekonsiliasi fiskal. Berikut rumus menghitung jumlah tersebut: = Rp637.000.000/(100%-2%) = Rp650.000.000 Sehingga muncul koreksi fiskal sebesar Rp13.000.000. d. Rugi selisih kurs dihitung sesuai standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku. Rugi selisih kurs dapat dibebankan dalam penghitungan penghasilan kena pajak, dengan demikian tidak perlu dilakukan koreksi (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh). e. Biaya pajak yang dipotong atas penghasilan di Thailand Rp47.500.000 menjadi koreksi fiska. Sebab laba cabang pabrik di Thailand yang dicantumkan dalam pembukuan komersial hanya sebesar Rp275.000.000 (neto setelah PPh). Maka dari itu, dalam rekonsiliasi fiskal harus dimasukkan nilai brutonya, yaitu Rp322.500.000. PPh yang dipotong di Thailand dapat dikreditkan sesuai mekanisme kredit pajak luar negeri sesuai Pasal 24 dan Pasal 28 UU PPh dan peraturan pelaksananya (PMK No. 192/PMK.03/2018). Sedangkan, rugi cabang pabrik di Taiwan sebesar Rp977.500.000. Untuk diketahui, kerugian yang dialami di luar negeri tidak dapat digabungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak (PMK 192/2018). f. Sedangkan untuk pajak yang dibayar di Singpura atas dividen yang diterima dari CCC Ltd., sebesar Rp112.500.000 merupakan kredit PPh Pasal 24 yang dapat diperhitungkan dengan PPh badan terutang PT AA ( Pasal 24 dan Pasal 28 UU PPh, serta PMK No. 192/PMK.03/2018). Jumlah bruto penghasilan dividen harus dicantumkan untuk kepentingan koreksi fiskal, sehingga menjadi Rp437.500.000 (Rp325.000.000 + Rp112.500.000). Untuk penghitungan kredit pajak luar negeri berdasarkan penjelasan huruf e dan f di atas, dapat dilihat dalam tabel berikut. Diketahui: Total penghasilan neto = Rp50.285.750.000 Total PPh terutang = Rp11.942.865.625 5. Kredit PPh dan bisa menjadi pengurang PPh Badan terutang di akhir tahun dari PPh Pasal 22 impor yang dipungut DJBC selama 2019 sebesar Rp225.000.000. Begitu juga dengan PPh Pasal 23 atas sewa kendaraan sebesar Rp13.000.000 dan PPh Pasal 23 atas dividen sebesar Rp52.500.000 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b UU PPh. Total kredit PPh Pasal 23 adalah Rp65.500.000. 6. Dapat mengkreditkan PPh Pasal 25 yang telah dibayar sendiri sebesar Rp6.600.000.000 (masa pajak Januari-November 2020) ataupun melalui STP untuk masa pajak Desember 2020 sebesar pokok pajak Rp600.000.000 (Pasal 28 ayat (1) huruf e UU PPh). Untuk pembayaran denda dan bunga sebesar Rp77.500.000 hanya beban yang tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak, bukan merupakan uang muka PPh (Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh). 1. PT. Amin Sejahtera adalah perusahaan yang melakukan kegiatan penjualan mobil bekas secara eceran (PKP Kegiatan tertentu) 2. Selama bulan Februari 2011, PT Amin Sejahtera melakukan transaksi penyerahan sebagai berikut: a. 5 Februari, menyerahkan mobil bekas sebanyak 1 unit kepada Tuan Ito Bahagia dengan harga Rp 60.000.000,00, dengan kode dan nomor seri Faktur Pajak 010.00011.00000008. b. 12 Februari, menyerahkan mobil bekas sebanyak 3 unit kepada PT Taksi Makmur seharga Rp 210.000.000,00, dengan kode dan nomor seri Faktur Pajak 010.000-11.00000009. c. 23 Februari, menyerahkan mobil bekas sebanyak 2 unit kepada Tuan Arista Jaya dengan harga Rp 180.000.000,00, dengan kode dan nomor seri Faktur Pajak 010.00011.00000010. 3. Transaksi lain yang dilakukan oleh PKP selama bulan Februari 2011 adalah sebagai berikut: a. 1 Februari, membayar sewa toko kepada PT Rental Ceria sebesar Rp11.000.000,00 (termasuk PPN sebesar Rp 1.000.000,00) b. 7 Februari, membeli perlengkapan kantor dari PT Cakra Raya dengan harga Rp 15.000.000,00 dan membayar PPN sebesar Rp 1.500.000,00. Kode dan nomor seri Faktur Pajak yang diterbitkan PT Cakra Raya adalah 010.000-11.00000055. c. 25 Februari, menerbitkan Nota Retur dengan nomor NR-00005 atas perlengkapan kantor yang dikembalikan kepada PT Cakra Raya karena tidak memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan sebesar Rp 5.000.000,00 dengan nilai PPN Rp 500.000,00. d. 26 Februari, menerima Nota Retur dengan nomor RET-0012 tertanggal 24 Februari 2011 atas pengembalian 1 unit mobil bekas yang dijual kepada PT Taksi Makmur dengan DPP sebesarRp 70.000.000,00 dan PPN sebesar Rp 7.000.000,00. e. Mendirikan sebuah bangunan permanen untuk toko penjualan mobil bekas dengan luas bangunan 450 m2. Pada bulan Februari telah dilakukan pemasangan pondasi dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 50.000.000,00. 4. Cara Pengisian SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2011 oleh PT Amin Sejahtera adalah sebagai berikut: Formulir 1111 DM - Butir I.A diisi dengan nilai 380.000.000 (60.000.000 + 210.000.000 + 180.000.000 – 70.000.000), yaitu total penyerahan barang dikurangi dengan nilai barang yang diretur. - Butir I.B diisi dengan nilai 0. - Butir I.C diisi dengan nilai 380.000.000. - Butir II.A.1 diisi dengan nilai 38.000.000 (10% x 380.000.000). - Butir II.A.2 diisi dengan nilai 0. - Butir II.A.3 diisi dengan nilai 38.000.000. - Butir II.B diisi dengan nilai 0. - Butir II.C.1 diisi dengan nilai 34.200.000 (90% x 38.000.000). - Butir II.C.2 diisi dengan nilai 0. - Butir II.C.3 diisi dengan nilai 34.200.000. - Butir II.D.1, Butir II.D.2, Butir II.D.3 diisi dengan nilai 0. - Butir II.E diisi dengan nilai 3.800.000 (38.000.000 – 34.200.000). - Butir II.H diisi dengan tanggal pelunasan dan NTPN. - Butir III.A diisi dengan nilai 20.000.000 (40% x 50.000.000). - Butir III.B diisi dengan 2.000.000 (10% x 20.000.000). - Butir III.C diisi dengan tanggal pelunasan dan NTPN. Note: PPN yang dibayar PT. Amin Sejahtera atas pembelian perlengkapan kantor dan pembayaran sewa, tidak diperhitungkan dalam SPT Masa PPN. BUATLAH PERHITUNGAN MASA PPN DAN SPT NYA! PT Farma Medika memiliki lahan di daerah Jakarta dengan memiliki area tanah seluas 1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi. Diketahui NJOP tanah per meter di daerah tersebut adalah Rp5.000.000 dan harga bangunan per meter Rp1.000.000. BUATLAH PERHITUNGAN PBB!