Uploaded by Diaz

Gender dalam Perspektif Pendidikan: Analisis Kesenjangan

advertisement
GENDER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
Rani Tiara Pangestika
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro
Email: Ranitiara66@gmail.com
Abstrak
Pembangunan manusia dalam terminologi pembangunan di Indonesia, bukan suatu yang
baru sebab sejak lahirnya orde baru pembangunan manusia telah digaungkan dengan mottonya yang
terkenal yaitu “Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya”. Oleh karena itu, hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya secara adil dan merata dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan
pedoman pembangunan nasional. Meskipun demikian, untuk dapat menciptakan kondisi tersebutada
beberapa permasalahan yang dihadapi,anatara lain masih adanya kesenjangan pencapaian
pembangunan antara perempuan dan laki-laki, serta masih rendahnya kualitas hidup dan peran
perempuan dalam pembagunan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan penggunaan metode
kualitatif untuk mengeksplorasi berbagai informasi secara mendalam dari berbagai dokumen. Unit
penganalisisan yang digunakan adalah berupa kata,frase dan kalimat yang ada dokumen. Selain itu,
teknik pengumpulan data penelitian dilakukan menggunakan Focus Group Discussion (FGD).
Focus Group Discussion merupakan pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu
yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Teknik analisis data menggunakan data kualitatif
tingkat validasinya dilakukan metode trianggulasi.
Kata kunci: Kesenjangan,ketidakadilan gender, kebutuhan dasar perempuan.
Abstract
Human development in terms of development in Indonesia, not a new one because since the
birth of the new order of human develoipment has been assessed with the famous motto of
“Complete Indonesia Human Development”. Therefore, the essence of national development is
complete Indonesia human development and the development of Indonesia society fairly and
equitably with Pancasila as the basis, purpose and guidelines for national development.
Nonetheles, in order to create conditions some of the problems faced by, among other things still
their development achievement gap between women and men, as well as the low quality of life and
the role of women in development.
1
The research method uses a qualitative appproach. Intended use qualitative methods to
explore a variety of in-depht information on the various documents. Analyzing unit used is in the
form of words, phrases and sentences that document. In addition, data collection techniques of
research conducted using Focus Group Discussion (FGD). Focus Group Discussion (FGD) is a
collections of information about a particular problem that a very specific group discussions. Data
were analyzed using qualitative data validation levels do triangulation method.
Keywords: Innequality, gender, gender innequality, women basic needs.
A.
Pendahuluan
Isu ketidaksetaraan gender telah menjadi pembicaraan di berbagai negara sejak tahun 1979
dengan diselenggarakannya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tema The
Convention on The Elimination of All Forms of Descrimination Againts Woment (CEDAW), yang
membahas tentang penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap wanita.
Di Indonesia secara normatif deskriminasi terhadap wanita telah dihapuskan berdasarkan
hasil CEDAW yangg telah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1984. Namun, dalam kenyataannya
masih tampak adanya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat deskriminatif, sehingga
menghambat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gende termasuk dalam bidang kesehatan.
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dicermati dari analisis-analisis terhadap kondisi dan
posisi wanita yang kerap dirugikan pihak pria.
B. Pengertian Gender
Gender diartikan sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan. Istilah gender berbeda dengan
sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosialbudaya. Sedangkan istilah sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis. Istilah bsex lebih banyak mengarah pada aspek biologi
seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi,
dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih mengarah pada aspek sosial, budaya,
psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya.1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 35.
(Dalam jurnal Konsep Kesetaraan Gender dalam Prespektif Islam).
1
2
Dalam kamus Inggris-Indonesia, disebutkan bahwa kata gender berasal dari bahasa Inggris
gender yang berarti “jenis kelamin”.2 Arti ini rancu, karena dengan demikian gender disamakan
dengan sex yang berarti “jenis kelamin”. Kamus Webster menyebutkan bahwa gender adalah
“perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.3
Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.4 Hal ini senada
dengan pendapat Mansour Fakih, bahwa gender adalah “suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.5
Mansour Fakih dalam buku yang lain mengadopsi pendapat Oakley yang
mengatakan gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang social
constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan
oleh baik kaum laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang.6
Pandangan ini didukung oleh Zaitunah bahwa gender “merupakan sebuah konstruksi sosial yang
bersifat relatif, tidak berlaku umum atau universal”.7 Penggunaan kata seks lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakterisitik biologis lainnya. Sehingga
kemudian dengan sadar atau tidak, aspek gender tersebut membawa konsekuensi logis bila ternyata
berperan secara tidak adil.
Kata gender dan seks atau jenis kelamin harus dibedakan. Jenis kelamin menunjuk pada
pembagian dua kelamin yang berbeda dan merupakan penentuan secara biologis. Jenis kelamin
secara permanen tidak akan berubah. Adapun gender adalah sesuatu yang sifatnya melekat pada
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Maka gender
bukanlah suatu given atau kodrat yang tidak bisa dipertukarkan, tetapi merupakan suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial2
John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 265. (dalam jurnal
Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
3
Victoria Neufeldt (ed.), hlm. Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World Clevenland,
1984), hlm. 561. Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa
Inggris, sedangkan jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa gramatikal adalah bentuk nomina (noun) yang
menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. Hans Wehr, A Dictionary of
Modern Written Arabic, cet. III (London: McDonald & Evans Ltd., 1980), hlm. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, AlMaurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy (Beiru>t: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1985), hlm. 383. (dalam jurnal Mahathir
Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
4
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina: 2001), hlm. 33-34.
(dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
5
Mansour Fakih, Analisis Gender..., h. 5-6 (Dalam Jurnal: Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam).
6
Mansour Fakih, et al., Membincang Feminisme: Diskursus Jender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti,
1996), hlm. 46. (dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
7
Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Jender dalam Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 5.
(dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
3
budaya. Konstruk gender bukan melihat manusia dari sisi biologis tetapi lebih kepada konstruksi
dari struktur sosial dan budaya. Secara umum, gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari segi sosialbudaya, sedangkan seks digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari sisi anatomi biologi.
Simbol dalam kehidupan sangat memengaruhi keberadaan gender. Laki-laki diidentikkan
dengan kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan diidentikkan dengan kewanitaan
(feminity). Persepsi yang dilekatkan pada perempuan adalah sebagai makhluk lemah lembut, cantik,
manja, penakut, mudah terbawa emosi dan penuh kasih sayang. Sebaliknya laki-laki adalah
rasional, bertubuh kuat, perkasa, pemberani, tegas dan agresif.8 Anggapan-anggapan budaya seperti
ini dengan sendirinya memberikan peran yang berbeda dan lebih luas kepada laki-laki, karena lakilaki mendapat status nilai sosial yang relatif tinggi dibandingkan perempuan.9
Sedangkan yang di maksud dengan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisispasi dalam berbagai kegiatan (politik, hukum,ekonomi, sosial-budaya,
pendidikan, dan lainnya), juga kesamaan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
Beberapa teori mengenai kesetaraan peran laki-laki dan perempuan yang umumnya
dikemukakan oleh para feminis kontemporer didasarkan pada pertanyaan mendasar “Apa peran
perempuan?”. Secara esensial, ada empat jawaban untuk pertanyan tersebut. Pertama, bahwa posisi
dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami laki-laki dalam
situasi ini. Kedua, posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga
kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, bahwa situasi
perempuan harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan “ditindas”, dalam arti dikekang. Disubordinasikan, dibentuk, dan digunakan
serta disalahgunakan oleh laki-laki. Keempat, perempuan mengalami perbedaan, ketimpangan dan
berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau faktor
penindasan dan hak istimewa berdasar kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi
global. Masing-masing berbagai tipe teori feminis itu dapat digolongkan sebagai teori perbedan
gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau teori penindasan
struktural.10
8
Judi Wacjman, Feminisme Versus Teknologi (Yogyakarta: SBPY, 2001), hlm. 10. (dalam jurnal Mahathir
Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
9
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Jender (Bandung: Mizan, 1999),
hlm. 35-36. (dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15 (2015).
10
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6 Edition, diterjemahkan, Teori
Sosiologi Modern, oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2003), h: 414-416 (Dalam Jurnal: Konsep kesetaraan
Gender dalam Perspektif Islam).
4
Ada pula keadilan gender, yaitu suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan
laki-laki, sehingga tidak ada marginalisasi, subordinasi, pembakuan peran, beban ganda, dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Namun, yang menjadi persoalan ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama
bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan
gender
termanifetasikan
dalam
berbagai
bentuk
ketidakadilan
yakni,marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi); subordinasi (anggapan tidak penting dalam
keputusan publik); pembentukan sterotipe (pelabelan negatif); violence (kekerasan); burden (beban
ganda), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.11 Manifestasi ketidaksetaraan gender
telahterjadi di berbagai tinngkatan, bidang dan mengakar dari mulai keyakinan di setiapmasingmasing orang, keluarga, hingga tingkat negara yang bersifat global. Salah satunya ketidaksetaran
gender yang berkembang dalam masyarakat adalah bidang pendidikan.
C. Pengertian dan Jenis Pendidikan
Pendidikan adalah interaksi individu dengan anggota masyarakat, yang berkaitan dengan
perubahan dan perkembangan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap , kepercayaan dan
keterampilan. Pendidikan formal adalah pendidikan yang telah di standarisasi dalam jenjang
kurikulum, materi pembelajaran, evaluasi dan dana yang dikeluarkan. Pendidikan formal
mengajarkan cara belajar, pemberian motivasi dan keterampilan sehingga dapat menyesuaikan diri
dalam masyarakat.12
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sebiasaankebiasaan tidak baik menjadi kebiasaan baik dari yang dilakukan seluruh aspek yang ada di dalam
kehidupan kita, baik orang terdekat, masyarakat ataupun lembaga-lembaga yang ada, baik yang
terjadi secara formal maupun nonformal dengan tujuan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan tidak
baik menjadi kebiasaan baik yang terjadi selama kita hidup untuk memperbaiki kualitas diri
menjadi lebih baik dan mampu menjawab tantangan di masa depan yang berkaitan dengan transmisi
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilandan aspek-aspek kelakuan lainnya. Berdasarkan UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jalur pendidikan terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah yang berbentuk Sekolah Dasar(SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau
11
Mansour Fakih, Analisis Gender..., h. 5-6 (Dalam Jurnal: Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam).
Joesoef, Soelaiman. (1979). Pendidikan Luar Sekolah, Surabaya : CV Usaha Nasional. (dalam jurnal:
Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
12
5
bentuk lain yang sederajat (Badan Penelitan dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan, 2010).
Diharapkan, Pendidikan Islam mampu merasuk ke dalam penghayatan jiwa, sehingga menjadikan
sikap dan tingkah laku manusia akan sejalan dengan pengetahuan agama yang dimilikinya. Media
pembelajaran yang digunakan selama ini hanyalah buku pelajaran yang jumlahnya sangat kurang
mencukupi karena hanya guru yang memiliki buku tersebut, papan tulis, spidol, dan kapur tulis.13
D. Pendidikan dalam Perspektif Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender
Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan ketidaksetaraan gender secara menyeluruh adalah
akibat dari latar belakang pendidikan yang belum setara. Ada 3 hal permasalahan, yakni
kesempatan, jenjang dan kurikulum. Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dapat dilihat dari
indikator kuantitatif yakni angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, pilihan bidang studi, dan
komposisi staf pengajar dan kepala sekolah.14 Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan banyak
merugikan perempuan, hal tersebut dapat dilihat, anak perempuan cenderung putus sekolah, ketika
keuangan keluarga tidak mencukupi, perempuan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan
rumah tangga, selain itu pendidikan yang rendah pada perempuan menyebabkan mereka banyak
terkonsentrasi pada pekerjaan informal dengan upah rendah.
Pendidikan yang rendah pada perempuan sangat berpengaruh pada akses terhadap sumbersumber produksi dimana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan yang berupah rendah.
Selain itu, pengaruh pendidikan memperlihatkan kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan
semakin besar tingkat ketidaksetaraan gender dalam sistem pengupahan.15 Selanjutnya, menurut
Suryadi (2001), rendahnya tingkat pendidikan penduduk perempuan akan menyebabkan perempuan
belum bisa berperan lebih besar dalam pembangunan.16
Kurikulum memiliki peran pokok dalam menjamin bahwa anak laki-laki dan perempuan
memiliki kesempatan yang setara dalam mencapai keberhasilan dan memasuki jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Namun demikian, bias gender dalam kurikulum dan materi belajar mengajar
masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan berpendapatan menengah. Melalui teks
dan gambar atau foto yang bias gender17, stereotip gender menjadi lebih diperkuat lagi.
13
Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program Prezi
(Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).
14
Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi, Kajian Wanita
Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan).
15
Suryadi, A, & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, Bandung: PT. Ganesindo.
(dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
16
Suryadi, A. (2001). Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan, Jakarta: Bappenas & WSPII-CIDA.
(dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
17
SADEV, ‘Gender Equality in and Through Education, SADEV Report, 2010. (dalam jurnal: Kesetaraan
Gender dalam Pendidikan di Indonesia).
6
Fakor yang menjadi alasan pokok yang menyebabkan ketidaksetaraan gender menurut
Suleeman (1995), yaitu: 1).Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah
sekolah yang tersedia, 2).Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah,
3).Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak perempuan
menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah.18 Sedangkan faktor-faktor penentu
ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan menurut Van Bemmelen (2003) meliputi: 1).Akses
perempuan dalam pendidikan, 2).Nilai gender yang dianut dalam masyarakat, 3).Nilai dan peran
gender yang terdapat dalam buku ajar, 4).Nilai gender yang ditanamkan oleh guru, 5).Kebijakan
yang bias gender.19
Hasil analisis gender dalam buku teks di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2011 juga
menemukan adanya bias gender yang cukup banyak dalam buku pelajaran di Indonesia. Sebagai
ilustrasi, penulis menggunakan sekelompok anak yang terdiri dari dua murid perempuan dan satu
murid laki-laki. Salah satu murid perempuan digambarkan sebagai seseorang yang seringkali
bertanya dan berkali-kali melakukan kesalahan seperti memegang kuali panas atau tidak mematikan
lampu setelah digunakan pada malam hari. Murid perempuan lainnya digambarkan sebagai
seseorang yang selalu bertanya mengenai berbagai hal. Sementara itu, murid laki-laki digambarkian
sebagai murid yang pintar, selalu mengetahui jawaban yang benar, dan menjelaskan jawabanjawaban tersebut kepada teman sekelasnya.
Praktik yang baik dalam pengarusutamaan kesetaraan gender ke dalam kurikulum dan
materi pengajaran termasuk revisi berkala dari materi-materi ini untuk menyertakan pendekatan
yang sensitif gender dan perspektif gender. Yang juga termasuk dalam upaya ini adalah
pembentukan lembaga formal yang bertugas untuk menghilangkan stereotip gender dalam buku
pelajaran dan materi pembelajaran lainnya.20 Kemudian praktik yang baik dalam pengembangan
guru untuk mendukung kesetaraan gender berarti melengkapi pemahaman guru terkait kesetaraan
gender di kelas, di lingkungan sekolah dan sekitarnya, dan dalam masyarakat umumnya. Untuk
mencapai hal ini, guru perlu memiliki kemampuan untuk mempromosikan pemahaman ini di kelas
dan mengembangkan strategi dan solusi praktis dalam mengatasi berbagai tantangan pembelajaran
yang dihadapi murid laki-laki maupun perempuan.21
18
Suleeman, E. (1995). Pendidikan Wanita di Indonesia, Dalam T. O. Ihromi, Kajian Wanita Dalam
Pembangunan (hal. 227248). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan).
19
Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi, Kajian Wanita
Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan).
20
Iwu. D. Utomo & P. McDonald. 2011. Policy Brief No.1. Gender Depiction in Indonesian Primary and
Secondary School Textbooks: Australia National University/ADSRI-ANU. Riset sebagian dibiayai oleh Bappenas.
(dalam jurnal: Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia).
21
OXFAM GB, “Practising Gender Equality in Education”, 2007. (dalam jurnal: Kesetaraan Gender dalam
Pendidikan di Indonesia).
7
Pelatihan dalam kesetaraan gender akan sangat efektif jika diintegrasikan dalam pelatihan
pre-service serta in-service untuk guru. Untuk melakukan pelatihan ini dengan baik, lembaga dan
jaringan guru memerlukan kapasitas yang memadai dalam mengajarkan pedagogi pembelajaran
aktif. Adapun pengajaran materi tersebut sebaiknya memiliki muatan perspektif kesetaraan gender
dalam penegembangan pelatihan termasuk dalam hal kemampuan dan pengetahuan pelatih dalam
menyampaikan materi pelatihan. Hingga saat ini sebagian besar lembaga penjaminan mutu
pemdidikan (LPMP) provinsi, institusi pelatihan guru, dan jaringan pengembangan profesi guru
lokal belum pernah ambil bagian dlam upaya pengarusutaman kesetaraan gender.
Namun, demikian beberapa contoh praktik baik telah muncul . pada tahun 2008, beberapa
sekolah di Kabupaten Kupang turut serta dalam program uji coba kesetaraan gender. 22 Program ini
melatih kepala sekolah dan para guru dalam konsep kesetaraan gender dalam pendidikan dan
menggunakan proses pembelajaran yang responsif gender di sekolah. Elemen penting dalam
program uji coba ini adalah pengembangan modul pelatihan pengarusutamaan gender di sekolah
yang dilakukan bersama-sama oleh peerta yang terdiri dari guru SD,SMP, dn SMA, Kepala
Sekolah, tutor, akademisi dan anggota kelompok kerja pengarusutamaan Gender (Pokja Gender)
Provinsi NTT. Upaya tersebut telah mendukung perubahan dalam visi dan misis sekolah, materi
pembelajaran, dan menjadikan pendekatan pembelajaran lebih responsif gender.
Selain itu, banyak juga praktik baik yang dapat dicontoh dari negara lain. Menanggapi tidak
adanya pendekatan yang sensitif terhadap gender dalam metodologi pembelajaran di Afrika, Forum
for African Women Educationalists (FAWE) mengembangkan Gender Responsive Pedagogy
(Pedagogi Responsive Gender) pada tahun 2005. GRP kemudian disebarluaskan ke 13 negara lain.23
Model ini melatih guru untuk lebih menyadari hal-hal terkait gender dan membekali mereka dengan
pemahaman bahwa murid laki-laki dan perempuan memeiliki kebutuhan yang berbeda dalam proses
pembelajaran. Model ini mengembangkan praktik pengajaran yang kemudian mendukung perlakuan
yang setara dan meningkatkan partisipasi murid perempuan dan laki-laki, melatih guru dalam
mengembangkan dan menggunakan materi pembelajaran yang responsif gender, rencana belajar,
memilih bahasa yang digunakan di kelas, interaksi kelas, bagaimana kelas disiapkan, dan
mengembangkan strategi untuk menghilangkan pelecehan seksual. Implementasi model GRP di
kelas telah berhasil memperbaiki daya inget dan kinerja murid perempuan dan meningkatkan
partisispasi mereka dalam kegiatan kelas.
22
Bagian kegiatan AIBEP yang didukung AusAid. (dalam jurna: Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di
Indonesia).
23
FAWE, “FAWE: 15 Years of Advancing Girls” Education in Africa’, 2007. (dalam jurnal: Kesetaraan Gender
dalam Pendidikan di Indonesia).
8
Kesetaraan Gender dalam Pencapaian Hasil Pembelajaran
Disparitas gender dalam hasil pembelajaran bukannya tidak bisa dihindari. Tidak ada
perbedaan mendasar dalam kemampuan murid laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran
Matematika, IPA, dan membaca. Jika kondisinya mendukung, kinerja murid laki-lakidan
perempuan akan sama dalam mata pelajaran tersebut. Namun demikian, hasil penelitian PISA yang
telah dilakukan di Indonesia dalam sepuluh ahun terakhir yang melibatkan pelajar berusia 15 tahun
enunjukkan bahwa pencapaian murid laki-laki berada di bawah pencapaian murid perempuan dalam
kemampuan berbahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Tren yang sama juga ditemukan
banyak di negara lain. Penelitian lain pada tahun 2011 menunjukkan bahwa murid perempuan
mencapai hasil yang jauh lebih baik dibanding murid laki-laki dalam pelajaran Bahasa Indonesia
dan Inggris. Selain itu, murid laki-laki memiliki hasil kinerja yang lebih baik dalam mata pelajaran
IPA. Sedangkan untuk pelajaran Matematika tidak ada perbedaan antara pencapaian murid laki-laki
dan perempuan.
Selain itu, pihak terkait penelitian melaporkan bahwa kepala sekolah maupun guru belum
mengetahui bagaimana mengembangkan strategi dalam mendorong murid perempuan dan laki-laki
yang kinerjanya kurang baikdalam mata pelajaran yang berbeda dan untuk mengurangi kesenjangan
dalam pencapaian hasil belajar. Dalam memilih spesialisasi mata pelajaran di tingkat menengah
atasdan lebih tinggi, guru pembimbing cenderung tidak mendorong murid perempuan untuk
memilih mata pelajaran dan kemungkinan karier yang secara tradisional dianggap didominasi lakilaki. Karena faktor-faktor seperti persepsi guru pembimbing tersebut dan stereotip genderdalam
kemampuan laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran Matematika dan IPA pada tingkat
Sekolah Dasar dan menengah, masih sedikit murid perempuan, jika dibanding dengan murid lakilaki, yang mengambil kelas IPA atau teknologi di SMK atau jenjang lebih tinggi. Stereotip gender
mendorong perempuan untuk memeiliki karier di bidang administrasi, perkembangan anak,
pendidikan, dan kesehatan publik. Sementara laki-laki dalam bidang bisnis, teknik, teknologi dan
hukum.
Faktor-Faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan:
1. Akses
Akses adalah peluang atau kesempatan dalam menggunakan sumber daya tertentu. Pada
bidang pendidikan, kesetaraan terhadap akses yakni ketersediaan sekolah, jarak yang harus
ditempuh, biaya serta hambatan di lapangan, hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi
kesamaan peluang antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses peran-peran dalam kehidupan
9
bermasyarakat. Ketersediaan sarana dan fasilitas pendidikan merupakan kondisi yang dihadapi
warga dalam menyekolahkan anak-anak mereka, serta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi. Dalam beberapa informan menyatakan bahwa semenjak meeka masih sekolah, dulu sampai
sekarang sarana dan prasarana sekolah menjadi kendala.
Faktor biaya menjadi pertimbangan utama bagi para informan untuk melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi. Orang tua merupakan sumber pembiayaan yang utama bagi para informan
ketika bersekolah, sehingga ketika tidak ada dukungan biaya dari orang tua maka mereka akan
berhenti sekolah. Namun, ada pendapat berbeda mengenai kendala biaya tersebut. Salah seorang
informan menyatakan bahwa biaya buka merupakan kendala, namun faktor malas untuk
melanjutkan sekolah lebih menjadi kendala utama, sehingga memilih untuk berhenti bersekolah.
2. Partisispasi
Partisipasi adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan
atau dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks iniadalah keikutseraan perempuan dalam
kegiatan pendidikan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan. Perempuan
selama ini hanya bergerak di sektor domestik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga
kesejahteraan keluarga. Stereotip gender berkembang di masyarakat kita yang telah mengkotakkotakan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan kurang
dilibatkan untuk berpartisispasi dalam pendidikan.
3. Kontrol
Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan
dalam bidang pendidikan. Kontrol tersebut antara laindalam keputusan melanjutkan sekolah dan
memilih jurusan bagi anak. Kontrol untuk memacu partisipasi perempuan dalam pendidikan di
tanah air, masih sangat didominasi oleh laki-laki. Ketika memutuskan untuk berhenti sekolah dulu,
mayoritas yang mengambil keputusan untuk berhenti adalah para orang tua informan. Selain orang
tua, ada juga dari informan sendiri yang memutuskan berhenti sekolah karena berbagai
pertimbangan. Seperti berkeinginan untuk bekerja supaya bisa membantu keluaga. Pemilihan
jurusan oleh informan yang melanjutkan sampai dengan tingkat SMA dilakukan sendiri, atau
dengan kata lain tidak mengikuti kemauan orang tua namun informan tetap membicarakan
pemilihan jurusan dengan orang tuanya.
4. Manfaat
Manfaat adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal dari pendidikan yang
telah ditempuh oleh para informan ketika meeka bersekolah dulu. Untuk melihat faktor manfaat,
10
pada penelitian ini menelaah dari dua aspek, yaitu hasil dari pendidikan yang ditempuh serta akibat
dari berhenti sekolah. Semua informan menyatakan bahwa mereka memperoleh manfaat dari
pendidikan yang telah ditempuh, baik yang hanya sampai dengan SD,SMP maupun SMA.
Dan hasil dari pendidikan yang diperoleh adalah dapat memberikan manfaat kepada diri
sendiri maupun kepada keluarga yaitu : 1). Bagi informan yang lulusan SD, manfaat yang
dirasakanadalah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung; 2). Bagi informan yang
lulusan SD sampai dengan SMA, memiliki kemampuan untuk mengajar anak-anak mereka
membaca dan menulis di rumah; 3). Bagi informan yang lulusan SMP, dengan ijazah SMP yng
dimiliki lebih mudah diterima bekerja; 4). Bagi informan lulusan SMA, lebih mudah di terima
bekerja di industri/pabrik, meskipun posisinya tidak bagus. Selain itu mereka mampu membantu
anak-anak di rumah dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
5. Nilai
Nilai merupakan gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat
mempengaruhi perilaku sosial seseorang individu. Pada penelitian ini nilai yang dianalisis berkaitan
dengan tradisi, perbedaan peranan dan posisi perempuan pada masa sekarang.
Hubungan Nilai terhadap Terbentuknya Stereotip Bagi Perempuan
Pada penelitian ini ditemukan satu faktor yang mendorong terciptanya etidaksetaraan gender
dalam pendidikan di Indonesia, yaitu nilai. Nilai yang diwariskan secara turun-temurun tersebut,
dan masih diterapkan sampai dengan saat ini telah membentuk stereotip negatif yang merugikan
anak perempuan. Semua stereotip mengenai perempuan tersebut, pada akhirnya menciptakan
ketidakadilan gender, terutama dalam bidang pendidikan. Anggapan bahwa perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya juga akan ke dapur, menyebabkan ketika harus mengambil
keputusan untuk menyekolahkan anak-anak, maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.
Salah satu penyebab ketimpangan gender itu adalah pandangan terhadap laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksikan oleh masyarakat maupun keluarga.
Pengaruh stereotip ini begitu besar dan kuat, sehingga tidak mudah untuk diubah, bahkan
sudah dianggap sebagai kebenaran umum. Bias gender dimulai dari keluarga, orang tua sudah mulai
membeda-bedakan pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan
berdasarkan norma, adat kebiasaan dan kepercayaan. Bias gender dan stereotip seringkali
disebabkan oleh adanya pandangan dan keyakinan di masyarakat bahwa jenis pekerjaan perempuan
seperti pekerjaan domestik dianggap dan dinilai lenih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang
11
dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, serta dikategorikan sebagai tidak produktif. Sementara itu
kaum perempuan , karena anggapan gender ini sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni
peran gender mereka. Di lain pihak, kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni
pekerjaan domestik itu. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan pekerja
perempuan secara empirik memnang lebih rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki.
Pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga
maupun sebagai pencari nafkah. Ketidaksetaraan gender ini muncul juga karena dipengaruhi oleh
pemikiran bahwa tingkat pemgembalian investasi pendidikan anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga anak laki-laki selalu diberikan prioritas untuk
melanjutkan pendidikan. Stereotip inilah yang memicu terjadinya ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan di Indonesia.
Pendekatan Pembelajaran yang Responsif Gender
Murid laki-laki dan perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat mereka
belajar di kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat partisipasi di kelas dan
pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya, serta stereotip gender dapat dengan tidak sengaja
terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi antara guru dan murid maupun diantara
murid. Pendekatan mengajar dan metode yang digunakan dalam mengajar, menilai dan berinteraksi
dengan murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal ini
berhubungan dengan kebiasaan Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong untuk
berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau mempertanyakan otoritas yang
sebagian besar di bawah kendali laki-laki.
Guru dapat menjadi agen perubahan untuk kesetaraan gender dengan mendukung murid
laki-laki maupun murid perempuan untuk ambil bagian dalam kegiatan tertentu. Guru perlu
memberikan mereka tuntunan dan mulai bertindak-laku sebagai panutan. Sebaliknya, guru juga
dapat memperburuk disparitas
dengan menyebabkan stereotip sosial di dalam kelasdan tidak
memberikan dukungan kepada murid perempuan dan laki-laki pada saat mereka membutuhkan
dukungan tersebut. Banyak praktik yang baik yang dapat dilakukan
dengan menggabungkan
kesetaraan gender dalam belajar-mengajar. Hal ini termasuk mengubah stereotip yang selama ini
ada misalnya bersikap baik terhadap kemampuan murid perempuan dan laki-laki, serta memberi
perhatian yang setara kepada murid perempuan ataupun laki-laki dan mendorong murid perempuan
12
untuk ambil bagian aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler yang biasanya diikuti oleh murid lakilaki.24
E. Saran
Jika dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, maka direkomendasikan sebagai berikut:
1). Dalam setiap keluarga perlunya diberikan peningkatan kesadaran, melalui kegiatan sosialisasi
dari badan penberdayaan perempuan yang bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat;
2). Perlu meningkatkan kuota kesempatan kerja pada perempuan, hal ini diperlukan untuk
menunjang sosialisasi yang sudah disampaikan kepada keluarga sehingga mendapat respon positif
dari masyarakat. 3). Dalam konteks sekolah, perlu meberikan beasiswa bagi yang tidak mampu,
dengan prioritas untuk anak perempuan,m karena anak perempuan perlu diberikan kesempatan yang
sama dengan anak laki-laki dalam bidang pendidikan; 4). Penyuluhan melalui dinas pendidikan,
dinas sosial dan badan pemberdayaan perempuan, selain itu dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti
pengajian atau perayaan hari-hari besar keagamaan, pihak aparat desa dapat meberikan porsi
peranan yang lebih banyak kepada kaum ibu dan anak perempuan.
F. Simpulan
Telah banyak praktik yang baik dan inovasi lainnya dalam pengarusutamaan kesetaraan
gender dalam pendidikan di Indonesia maupun di dunia Internasional. Namun demikian, berbagai
kesempatan tersebut di Indonesia seringkali tidak digunakan karena masih bersifat lokal dan dicapai
melalui kegiatan uji coba dalam skala kecil yang dikembangkan secara lebih luas. Salah satu
tantangan utama yang dihadapi adalah upaya evaluasi dan diseminasi praktik-praktik yang baik dan
mendukung pengembangan kesetaraan gender yang bermanfaat dan dana untuk mendukung
pengembangan kesetaraan gender yang bermanfaat dan mebawa perbaikan.
Saat ini masih
diperlukannya arahan dan tujuan strategis untuk pengarusutamaan gende dalam pendidikan tingkat
regional dan tingkat lainnya. Tantangan lain yang juga harus di hadapi adalah terbatasnya kapasitas
teknis sumber daya manusia yang ada. Upaya lebih jauh diperlukan untuk secara konsisten
menyertakan pengarusutamaan kesetaraan gender dalam kebijakan-kebijakan pokok dan siklus
perencanaan-dan momentum ini harus dijaga melalui proses regenerasi tenaga ahli dan pengetahuan
yang dilakukan terus-menerus.
OXFAM GB, “Practising Gender Equality in Education”, 2007. (dalam jurnal: Kesetaraan Gender dalam
Pendidikan di Indonesia).
24
13
REFERENSI
Bagian kegiatan AIBEP yang didukung AusAid. (dalam jurna: Kesetaraan Gender dalam
Pendidikan di Indonesia).
Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan
Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).
FAWE, “FAWE: 15 Years of Advancing Girls” Education in Africa’, 2007. (dalam jurnal:
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia).
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6 Edition, diterjemahkan,
Teori Sosiologi Modern, oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2003), h: 414-416
(Dalam Jurnal: Konsep kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam).
Iwu. D. Utomo & P. McDonald. 2011. Policy Brief No.1. Gender Depiction in Indonesian Primary
and Secondary School Textbooks: Australia National University/ADSRI-ANU. Riset
sebagian dibiayai oleh Bappenas. (dalam jurnal: Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di
Indonesia).
Joesoef, Soelaiman. (1979). Pendidikan Luar Sekolah, Surabaya : CV Usaha Nasional. (dalam
jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 265.
(dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15, 2015.
Mansour Fakih, Analisis Gender..., h. 5-6 (Dalam Jurnal: Konsep Kesetaraan Gender dalam
Perspektif Islam).
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999),
h. 35. (Dalam jurnal Konsep Kesetaraan Gender dalam Prespektif Islam).
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina: 2001),
hlm. 33-34. (dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi Keislaman), vol. 15, 2015.
OXFAM GB, “Practising Gender Equality in Education”, 2007. (dalam jurnal: Kesetaraan Gender
dalam Pendidikan di Indonesia).
SADEV, ‘Gender Equality in and Through Education, SADEV Report, 2010. (dalam jurnal:
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia).
Suleeman, E. (1995). Pendidikan Wanita di Indonesia, Dalam T. O. Ihromi, Kajian Wanita Dalam
Pembangunan (hal. 227248). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (dalam jurnal:
Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
Suryadi, A. (2001). Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan, Jakarta: Bappenas & WSPIICIDA. (dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
14
Suryadi, A, & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, Bandung: PT.
Ganesindo. (dalam jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi, Kajian
Wanita Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (dalam
jurnal: Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan).
Victoria Neufeldt (ed.), hlm. Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Clevenland, 1984), hlm. 561. Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata
serapan yang diambil dari bahasa Inggris, sedangkan jika dilihat posisinya dari segi struktur
bahasa gramatikal adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin,
sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, cet. III (London: McDonald & Evans Ltd., 1980), hlm. 141. Lihat pula
Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy (Beiru>t: Da>r al-‘Ilm li alMala>yi>n, 1985), hlm. 383. (dalam jurnal Mahathir Muhammad Iqbal dan Studi
Keislaman), vol. 15, 2015.
15
Download