BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Konsep Dasar Zakat a. Pengertian Zakat Zakat adalah ibadah maaliyahijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun-rukun Islam yang kelima, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadist nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma'luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keIslaman seseorang. (Hafidhuddin, 2002:1) Kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, dan baik. Menurut lisan al-arab kata zaka mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Zakat menurut istilah fikih adalah sejumlah harta tertentu yang harus diserahkan kepada orang-orang yang berhak menurut syariat Allah SWT. Kata zakat dalam terminologi Al-qur'an sepadan dengan kata shadaqah. Zakat mempunyai fungsi pokok untuk membersihkan harta dan jiwa muzzaki. (Mursyidi, 2003:75) Dari sudut etimologi, menurut pengarang lisan al-a'rab, kata zakat (al-zakah) merupakan kata dasar (mashdar) dari zaka yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji. Yang semua arti itu sangat populer dalam penerjemahan baik al-qur'an maupun hadist. Sesuatu dikatakan zaka, apabila ia tumbuh dan berkembang, dan seseorang disebut zaka, jika orang tersebut baik dan terpuji. Defenisi senada dilontarkan al-wahidi sebagaimana dikutip dari qardhawi bahwa kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa di katakan bahwa "tanaman itu zaka" artinya tanaman itu tumbuh. Juga dapat dikatakan bahwa setiap sesuatu yang bertambah adalah zaka(bertambah). Bila suatu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti bersih. Ditinjau dari segi etimologi fiqh seperti yang dikemukakan oleh pengarang kifayah al-akhyar, taqiy al-din Abu Bakar, zakat berarti "sejumlah harta tertentu yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak dengan syarat tertentu".Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Arti tumbuh dan suci sebenarnya tidak hanya digunakan untuk harta kekayaan, tetapi kata itu juga bisa dipakai untuk menerangkan jiwa orang yang mengeluarkan zakat (muzzaki). (Sudirman, 2007:13-14) Menurut UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (Novarini, 2015:4) Rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari harta (nishab), Dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkan kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat. Zakat mempunyai syariat wajib dan syarat sah. Menurut kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta penuh, mencapai nisab, dan mencapai hawl. Adapun syarat sahnya zakat menurut kesepakatan mereka adalah niat yang menyertai pelaksanaan zakat. (Al-Zuhayly, 2009:97-98) Menurut mu'inan Rafi (2011) syariat-syariat wajib zakat adalah sebagai berikut: 1) Islam 2) Merdeka 3) Milik Sempurna 4) Nisab (batas minimal) 5) Haul (Harta yang mencapai satu tahun) b. Dasar Hukum Zakat Didalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang menerangkan secara tegas memerintahkan pelaksanaan zakat. Perintah allah untuk melaksanakan zakat itu seringkali beriringan dengan perintah shalat. Hal ini menunjukkan betapa penting peran zakat dalam kehidupan umat Islam. Ayat yang terdapat kata zakat dan diiringi dengan kata shalat contohnya seperti QS. Al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi: Artinya: "dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'." Perintah zakat selalu beriringan dengan perintah shalat karena kedua perintah tersebut memiliki tujuan yang hampir sama, yakni perbaikan kualitas kehidupan masyarakat. Zakat bertujuan untuk membersihkan diri dari sifat rakus dan kikir, dan mendorong setiap manusia untuk mengembangkan sifat kedermawaan dari sensivitas kesetiaan sosial. Demikian pula dengan halnya dengan shalat, shalat bertujuan menghindarkan kehidupan manusia dari Fakhsya (kejahatan) dan munkar (kerusakan). Sejumlah jumhur ulama sependapat bahwa yang menjadi objek zakat adalah segala harta yang mempunyai nilai ekonomi dan potensial untuk berkembang. Pengumpulan zakat tidak bisa dilaksanakan karena adanya kebutuhan negara serta maslahat komunitas. Zakat merupakan jenis harta khusus yang wajib diserahkan kepada lembaga amil zakat atau baitul mal setelah memenuhi nishab (masa tertentu), baik ada kebutuhan atau tidak. Zakat tidak gugur dari seorang muslim selama diwajibkan dalam hartanya. (Khasanah, 2010: 34-37) c. Persyaratan Harta Menjadi Sumber atau objek Zakat Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi sumber atau objek zakat terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Apabila harta seorang muslim tidak memenuhi salah satu ketentuan, Misalnya belum mencapai Nishab, maka harta tersebut belum menjadi sumber atau objek yang wajib dikeluarkan zakatnya. Meskipun demikian, ajaran Islam telah membuka pintu yang sangat longgar yang dapat dilakukan oleh setiap muslim dalam setiap situasi dan kondisi, yaitu infak atau sedekah. (Hafidhuddin, 2002:18) Menurut Didin Hafidhuddin (2002:20-25) persyaratan harta menjadi sumber atau objek zakat adalah sebagai berikut: 1) Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan yang halal. Artinya harta yang haram, jelas tidak dapat dikenakan kewajiban zakat, karena Allah SWT tidak akan menerimanya. 2) Harta tersebut berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan, seperti melalui kegiatan usaha, perdagangan, melalui pembelian saham, atau ditabungkan, baik dilakukan sendiri maupun bersama orang atau pihak lain. 3) Milik penuh, yaitu harta tersebut berada dibawah kontrol dan didalam kekuasaan pemiliknya, atau seperti menurut sebagian ulama bahwa harta itu berada di tangan pemiliknya, didalamnya tidak tersangkut dengan hak orang lain. Dan ia dapat menikmatinya. 4) Harta tersebut menurut pendapat jumhur ulama harus mencapai nishab, yaitu jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajiban zakat. Contohnya nishab zakat emas adalah 85 gram, nishab zakat hewan ternak kambing adalah 40 ekor, dan sebagainya. 5) Sumber-sumber zakat tertentu, seperti perdagangan, peternakan, emas dan perak, Harus sudah berada atau dimiliki ataupun sudah diusahakan oleh muzzaki dalam tenggang waktu satu tahun. Contohnya tenggang waktu antara muharram 1421 H sampai dengan 1422 H. Inilah yang disebut dengan persyaratan Al-haul. d. Pihak Yang Berhak Atas Zakat (Mustahiq) Menurut umrotul Khasanah (2010: 40-42) untuk menjelaskan kedelapan asnaf tersebut pemerintah dalam hal ini departemen agama sudah menguraikan walaupun masih perlu lebih rinci lagi yaitu: 1) Fakir, yang dimaksud dengan fakir dalam persoalan zakat adalah orang yang tidak mempunyai barang yang berharga, kekayaan dan usaha sehingga dia sangat perlu di tolong keperluannya. 2) Miskin, yang dimaksud dengan miskin dalam persoalan zakat adalah orang yang mempunyai barang yang berharga atau pekerjaan yang dapat menutupi sebagian hajatnya akan tetapi tidak mencukupinya, seperti orang yang memerlukan dirham tetapi hanya memiliki tujuh dirham saja. 3) Amil, yang dimaksud dengan amil adalah orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat, menyimpannya, membagikannya kepada yang berhak, dan mengerjakan pembukuannya. 4) Muallaf, yang dimaksud muallaf di sini ada 4 macam yaitu: a. Muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk Islam tetapi niatnya atau imannya masih lemah, maka diperkuat dengan memberi zakat. b. Orang yang masuk Islam dan niatnya cukup kuat, dan ia terkemuka di kalangan kaumnya, dia diberi zakat dengan harapan kawan-kawannya akan tertarik masuk Islam c. Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang kaum kafir disampingnya. d. Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat. e. Riqab, artinya mukatab ialah budak belian yang diberi kebebasan usaha mengumpulkan kekayaan agar dapat menebus dirinya untuk merdeka. Untuk asnaf ini di Indonesia bahwa bagian untuk asnaf ini bisa dialokasikan ke asnaf lainnya. f. Garim, yang dimaksud dengan gharim disini ada 3 macam yaitu: (i) Orang yang meminjam guna menghindarkan fitnah atau mendamaikan pertikaian atau permusuhan. (ii) Orang yang meminjam guna keoerluan diri sendiri atau keluarganya untuk hajat yang mubah. (iii) Orang yang meminjam karena tangguangan misalnya para pengurus masjid, madrasah, atau pesantren menanggung pinjaman guna keperluan masjid, madrasah, atau pesantren. e. Asas Pengelolaan Zakat Menurut Ahmad Syafiq dalam jurnalnya dengan judul urgensi peningkatan akuntabilitas lembaga pengelolaan Zakat Berdasarkan PSAK 109 di terangkan bahwa asas Pengelolaan zakat berdasarkan UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dalam pasal 2 dijelaskan bahwa terdapat 7 asas Pengelolaan zakat yaitu: 1) Syariat Islam, dimana dalam menjalankan tugas dan fungsinya lembaga pengelola zakat harus berpedoman sesuai dengan syariat Islam, mulai dari tata cara perekrutan pegawai hingga tata cara pendistribusian zakat. 2) Amanah, dimana lembaga pengelola zakat harus mampu menjadi lembaga yang dapat di percaya. 3) Kemanfaatan, Dimana lembaga pengelola zakat harus mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Mustahiq 4) Keadilan, dalam mendistribusikan zakat lembaga pengelola zakat harus mampu bertindak adil. 5) Kepastian hukum adalah dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian hukum bagi Mustahiq dan muzakki 6) Terintegrasi adalah pengelolaan Zakat Berdasarkan PSAK 109 di laksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. 7) Akuntabilitas, dimana dalam pengelolaan zakat harus bisa di pertanggung jawabkan kepada masyarakat dan mudah diakses oleh masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan. (Syafiq, 2016:24) 2. Akuntansi Zakat Akuntansi zakat menurut (Husein, 2004:29) adalah bingkai pemikiran dan aktivitas yang mencakup dasa-dasar akuntansi dan prosesproses operasional yang berhubungan dengan penentuan, penghitungan dan penilaian harta dan pendapatan yang wajib dizakati, menetapkan kadar zakat nya dan pendistribusian hasilnya kepada posposnya sesuai dengan hukum dan dasar-dasar syariat Islam. Dengan kata lain akuntansi zakat berkompeten dalam penghitungan zakat dan pembagiannya kepada posposnya sesuai dengan hukum dan dasar syariat Islam. Akuntansi zakat berpedoman pada dua dasar utama, yaitu : a. Hukum dan dasar-dasar zakat harta (fiqih zakat) b. Dasar-dasar akuntansi bagi penghitungan zakat. Pengelolaan zakat yang pembentukannya atau pengukurannya diatur oleh perundangundangan yang dimaksud untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedeqah. Dana amil adalah bagian amil atas dana zakat, infaq, dan sedekah. Dana amil digunakan oleh untuk pengelolaan amil. Dana infaq dan sedekah adalah dana non amil atas penerimaan infak dan sedekah. Dana zakat adalah bagian non amil atas penerimaan zakat. Infak atau sedekah adalah harta yang diberikan secara sukarela oleh pemiliknya, baik yang diperuntukkan nya dibatasi maupun tidak dibatasi. Akuntansi Zakat Berdasarkan PSAK 109 di butuhkan oleh lembaga/badan yang telah disahkan oleh pemerintah untuk mengumpulkan, mengelola kemudian menyalurkannya kepada para Mustahiq karena dalam pengumpulan, pengelolaan dan penyalurannya diperlukan pencatatan dan pelaporan agar pihak yang mengeluarkan zakat lebih percaya kepada lembaga/badan pengelolaan zakat. a. Tujuan akuntansi zakat Adapun tujuan dalam akuntansi zakat menurut Arif Mufraini : 1) Memberikan informasi yang di perlukan untuk mengelola secara tepat, efisien dan efektif atas zakat, infak, sedekah, wakaf dan hadiah yang di percayakan kepada badan menerima zakat yang bertujuan untuk pengendalian manajemen demi kepentingan internal organisasi. 2) Memberikan informasi yang mungkin bagi pengelola zakat (manajemen) untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab dalam mengelola secara tepat dan efektif program dan penggunaan semua zakat yang menjadi wewenang nya, dan mungkin bagi pengelola zakat untuk melaporkan kepada public atas hasil operasi dan penggunaan dana publik yang bertujuan akuntabilitas (Mufraini,2006 : 11 ) b. Beberapa pemahaman akuntansi zakat 1) Al-Maujudat al-Zakawiyah maksudnya jenis harta yang memenuhi syarat untuk tunduk kepada zakat sesuai dengan macam dan jenis harta. 2) Tanggungan dan tuntutan yang harus dilunasi yaitu tuntutan yang harus dipenuhi dari harta yang tunduk kepada zakat yang mengurangi jumlah harta wajib, sehingga harta yang tunduk kepada zakat merupakan harta yang dimiliki oleh muzakki secara sempurna, tidak ada tanggungan hutang yang harus dilunasi 3) Wi’a al-zakat (tempat zakat) yaitu harta bersih yang harus dikeluarkan zakat nya, ini diperoleh dari jenis harta yang wajib dizakati, dikurangi tanggungan dan tuntutan yang harus dibayar 4) Nisab zakat adalah kadar jumlah harta yang mana jika wi;a zakat (harta yang wajib zakat setelah dikurangi semua tuntutan yang harus dibayar) sampai kepada jumlah tersebut, maka harta tersebut tunduk kepada zakat, sebaliknya jika kurang jumlah tersebut tidak wajib dikeluarkan zakat nya. 5) Harga zakat adalah nisbah persentase harta yang dikhususkan untuk zakat(assyahatah,2004:30-31) Jumlah zakat adalah jumlah harta yang dihitung sebagai zakat dengan cara mengalikan wi’a (tempat zakat) ketika memenuhi nisab dengan harta zakat. c. Perangkat-perangkat perhitungan zakat Pada waktu menghitung zakat, akuntan zakat memerlukan perangkatperangkat berikut: 1) Neraca keuangan umum yang dipersiapkan pada tanggal perhitungan zakat (posisi keuangan) 2) Perhitungan-perhitungan akhir untuk tahun yang dihitung zakat nya 3) Penjelasan sekitar posisi keuangan dan perhitungan-perhitungan akhir seperti: a. Surat-surat berharga yang bisa diharapkan cairnya dan yang tidak b. Pendapatan dari harta tetap yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan c. Harta dan pendapatan haram dan buruk yang harus disingkirkan dari zakat d. Cicilan pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun tersebut dan digabungkan dengan tanggungan dan kewajiban pembayaran tunai 4) Harga emas pada waktu datang masa perhitungan zakat untuk mengetahui nisab 5) Semua harta milik muzzaki, untuk di mungkinkan penggabungan harta yang sejenis begitu juga harta yang diperoleh selama haul yang digabungkan kepada tempat zakat 6) Fatwa-fatwa kontemporer tentang zakat yang muncul dari lembaga-lembaga keagamaan dan fiqh Islam 7) Petunjuk penghitungan zakat (Husein, 2004, 2004:34) d. Langkah-langkah penghitungan zakat Perhitungan zakat harta dilakukan Sesuai dengan langkahlangkah berikut: 1) Menetapkan tanggal dan waktu tiba pembayaran zakat, yaitu tanggal wajin dan muzzaki, kecuali zakat hasil pertanian, barang tambang dan rikaz yang dibayar zakatnya pada waktu panen atau pada waktu mendapatkannya 2) Menetapkan dan mengalkulasi semua harta yang dimiliki oleh muzzaki pada akhir haul dan menjelakkan harta-harta yang masuk dalam harta zakat 3) Menetapkan dan mengalkulasi tanggungan, tuntutan dan kewajiban pembayaran jangka pendek yang harus dipotong dari harta wajib zakat tersebut sesuai dengan hukum dan dasar fiqh zakat 4) Menetapkan wi’a zakat (tempat zakat) dengan cara mengurangkan tanggungan, tuntutan dan kewajiban jangka pendek dari harta zakat. Perhitungan tempat zakat tersebut dengan rumus: Tempat zakat = harta wajib zakat – tanggungan/tuntutan pembayaran jangka pendek 5) Menetapkan nisab zakat yang berbeda-beda sesuai dengan jenis harta atau jenis aktivitas sebagai berikut: a) Nisab harta tunai, barang perdagangan, harta mustaghalat, gaji, profesi adalah senilai 85 gram emas 21 karat b) Nisab hasil pertanian adalah senilai 5 watsaq c) Nisab dagang ternak mempunyai jadwal khusus 6) Membandingkan tempat zakat dengan nisab zakat untuk mengetahui apakah harta tersebut wajib dizakati atau tidak. Jika tempat zakat tersebut mencapai nisab maka wajib zakat. 7) Menetapkan kadar yang diambil dari tempat zakat atau dalam bahasa akuntansi disebut persentase atau harga zakat sebagai berikut: a. 2,5% pada zakat emas dan perak, barang perdagangan. b. 5% hasil pertanian yang diairi dengan alat yang memiliki biaya c. 10% bagi hasil pertanian yang diairi dengan sumber tanpa biaya d. 20% bagi harta rikaz 8) Menghitung jumlah zakat dengan cara mengalikan tempat zakat dengan persentase atau harta zakat 9) Pembebanan jumlah zakat yang harus dikeluarkan sebagai berikut: a. Pada proyek atau harta pribadi di tanggung oleh pemilik atau pribadi b. Pada syirkah ashkhasy jumlah Zakat Berdasarkan PSAK 109 di bagi atas para syarikat sesuai dengan nisbah modal harta mereka sebagaimana dalam akad syirkah c. Pada syirkah amwal atau perusahaan bersaham jumlah Zakat Berdasarkan PSAK 109 di bagi atas jumlah saham untuk mengetahui bagian zakat masing-masing saham dan kemudian untuk mengetahui bagian zakat tiap penanam saham dengan jumlah saham yang dia miliki (Husein, 2004:33) 3. PSAK 109 Laporan keuangan amil zakat dapat menjadi media komunikasi antara lembaga amil dengan pihak lainnya, karena laporan keuangan ZIS merupakan bentuk pertanggungjawaban operasional dari suatu lembaga amil yaitu kegiatan pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infak dan sedekah (ZIS). Supaya laporan keuangan itu transparan dan akuntabel maka harus ada standar akuntansi yang mengatur tentang hal tersebut. Penyusunan laporan keuangan lembaga amil ZIS mengacu kepada PSAK No. 109, dan apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam PSAK 109 maka dapat menggunakan PSAK terkait sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Komponen laporan keuangan dalam PSAK 109 terdiri dari yaitu laporan posisi keuangan (Neraca), Laporan Perubahan Dana, Laporan Perubahan Aset Kelolaan, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. a. Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah Berdasarkan PSAK No. 109 Standar akuntansi ZIS yang berlaku saat ini dan digunakan oleh OPZ sebagai pedoman dalam pembukuan dan pelaporan keuangannya adalah PSAK No. 109 yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 2010. Penerbitan PSAK ini telah mengalami proses yang cukup lama kurang lebih empat tahun dari waktu penyusunannya, dimulai dengan disusunnya Eksposure Draft-nya (ED) yang diterbitkan sejak tahun 2008. Namun, saat ini tidak semua OPZ yang ada di Indonesia dapat menerapkan PSAK no. 109. Hal tersebut karena sebagian OPZ mengalami beberapa kendala dalam penerapannya. Salah satu faktor kendalanya adalah adanya kesulitan dalam sumber daya manusia yang dimiliki OPZ. Akuntansi zakat yang ada dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 109 bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi zakat dan infak/sedekah. PSAK ini berlaku untuk amil yakni suatu organisasi/entitas pengelola zakat yang pembentukannya dan pengukuhannya diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah, bukan untuk entitas syariah yang menerima dan menyalurkan ZIS tetapi bukan kegiatan utamanya. Untuk entitas tersebut mengacu ke PSAK 101 mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Amil yang tidak mendapatkan izin juga dapat menerapakan PSAK No. 109. PSAK ini merujuk kepada beberapa fatwa MUI (Washilah dan Nurhayati : 2013) yaitu: 1) Fatwa MUI no. 8/2011 tentang amil zakat, 2) Fatwa MUI No. 13/2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram, 3) Fatwa MUI No. 14/2011 tantang Penyaluran Harta Zakat dalam bentuk Aset Kelolaan. 4) Fatwa MUI No.15/2011 tentang penarikan, pemeliharaan dan penyaluran harta zakat b. Pengakuan dan Pengukuran (PSAK 109) 1) Akuntansi Untuk Zakat a. Penerimaan Zakat Berdasarkan PSAK 109 di akui pada saat kas atau aset nonkas diterima dan `diakui sebagai penambah dana zakat. Jika diterima dalam bentuk kas, diakui sebesar jumlah yang diterima tetapi jika dalam bentuk non kas sebesar nilai wajar aset. Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai dengan PSAK yang relevan. b. Jika muzakki menentukan mustahik yang harus menerima penyaluran zakat melalui amil, maka aset zakat yang diterima seluruhnya diakui sebagai dana zakat dan tidak ada bagian amil atas zakat yang diterima dan amil dapat menerima ujrah atas kegiatan penyaluran zakat. Jika atas jasa tersebut amil mendapatkan ujrah/fee, maka diakui sebagai penambah dana amil. c. Penurunan nilai aset Zakat Berdasarkan PSAK 109 di akui sebagai 1. Pengurang dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil; 2. Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil. d. Zakat yang disalurkan kepada mustahik, diakui sebagai pengurang dana zakat dengan keterangan sesuai dengan kelompok mustahik termasuk jika disalurkan kepada Amil, sebesar: 1. Jumlah yang diserahkan, jika pemberian dilakukan dalam bentuk kas, jurnal, 2. Jumlah tercatat, jika pemberian dilakukan dalam bentuk aset nonkas, jurnal. e. Amil berhak mengambil bagian dari zakat untuk menutup biaya operasional dalam menjalankan fungsinya. f. Beban penghimpunan dan penyaluran zakat harus diambil dari porsi amil. g. Zakat Berdasarkan PSAK 109 di katakan telah disalurkan kepada mustahiknon-amil hanya bila telah diterima oleh mustahik-non-amil tersebut. Apabila Zakat Berdasarkan PSAK 109 di salurkan melalui amil lain, maka diakui sebagai piutang penyaluran dan bagi amil yang menerima diakui sebagai liabilitas (utang) penyaluran. Piutang dan liabilitas berkurang ketika Zakat Berdasarkan PSAK 109 di salurkan. Amil lain tidak berhak mengambil bagian dari dana zakat, namun dapat memperoleh ujrah dari amil sebelumnya. h. Dana zakat yang disalurkan dalam bentuk perolehan asset tetap (asset kelolaan) diakui sebagai penyaluran zakat seluruhnya, jika asset tetap tersebut diserahkan untuk dikelola kepada pihak lain yang tidak dikendalikan amil dan penyaluran secara bertahap diukur sebesar penyusutan asset tetap tersebut sesuai dengan pola pemanfaatannya, jika asset tetap tersebut masih dalam pengendalian amil atau pihak lain yang dikendalikan amil. i. Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada: 1) Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran zakat dan mustahik nonamil; 2) Kebijakan penyaluran zakat untuk amil dan mustahiq nonamil, seperti persentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan; 3) Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa asset nonkas. 2) Akuntansi untuk Infak/Sedekah a) Penerimaan Infaq/Sedekah diakui pada saat kas atau aset nonkas diterima dan diakui sebagai penambah dana infaq/sedekah terikat atau tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberiannya. Jika diterima dalam bentuk kas, diakui sebesar jumlah yang diterima tetapi jika dalam bentuk nonkas sebesar nilai wajar aset. Untuk penerimaan aset nonkas dapat dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar adalah aset yang harus segera disalurkan, dan dapat berupa bahan habis pakai seperti bahan makan; atau barang yang memiliki manfaat jangka panjang misalnya mobil untuk ambulan. Aset nonkas lancar dinilai sebesar nilai perolehan. b) Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancar infak/sedekah. Penyusutan dari aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikatapabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi. c) Penurunan nilai aset infak/sedekah diakui sebagai: 1) Pengurang dana infaq/sedekah, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil. 2) Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil. d) Dana infak/sedekah sebelum disalurkan dapat dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infak/sedekah. e) Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai pengurang dana infak/sedekah sebesar: 1) Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas. 2) Nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas. f) Penyaluran infak/sedekah oleh amil kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana infak/ sedekah sepanjang amil tidak akan menerima kembali aset infak/sedekah yang disalurkan tersebut. g) Penyaluran infak/sedekah kepada penerima akhir dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang infak/sedekah bergulir dan tidak mengurangi dana infak/sedekah. h) Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi infak/sedekah, tetapi tidak terbatas pada: 1) Kebijakan penyaluran infak/sedekah, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima; 2) Kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan infak/sedekah seperti persentase pembagian, alasan dan konsistensi kebijakan 3) (3) Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan infak/sedekah berupa asset nonkas; 4) Keberadaan dana infak/sedekah yang tidak langsung disalurkan tetapi dikelola terlebih dahulu, jika ada, maka harus diungkapkan jumlah dan persentase dari seluruh penerimaan infak/sedekah selama periode pelporan serta alasannya. 5) Hasil yang diperoleh dari pengelolaan yang dimaksud di angka (4) diungkapkan secara terpisah 6) Penggunaan dana infak/sedekah menjadi asset kelolaan yang diperuntukkan bagi yang berhak, jika ada, jumlah dan persentase terhadap seluruh penggunaan dana infak/sedekah serta alasannya; 7) Rincian dana infak/sedekah berdasarkan peruntukannya, terikat dan tidak terikat 8) Hubungan pihak-pihak berelasi antara amil dengan penerima infak/sedekah yang meliputi: Sifat hubungan istimewa; Jumlah dan jenis asset yang disalurkan; dan Persentase dari asset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode 9) Keberadaan dana nonhalal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan dan jumlahnya; dan 10) Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/sedekah. 3) Dana Nonhalal a. Penerimaan nonhalal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan nonhalal pada umumnya terjadi 24 dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang. b. Penerimaan nonhalal diakui sebagai dana nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana infak/ sedekah dan dana amil. Aset nonhalal disalurkan sesuai dengan syariah. 4) Laporan Keuangan Amil Zakat, Infak dan Sedekah Laporan keuangan dapat dikatakan sebagai hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Tujuan utama dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang relevan untuk pihak-pihak yang berkepentingan baik pihak internal maupun eksternal misalnya muzakki, pemerintah, pihak lain yang menyediakan sumber daya bagi OPZ dan juga masyarakat. Para pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda dari informasi yang ada dalam suatu laporan keuangan berkaitan dengan pengambilan suatu keputusan. Laporan keuangan juga merupakan bentuk laporan pertanggungjawaban dari manajemen/pengelola atas aktivitas pengelolaan sumberdaya yang telah diamanatkan kepadanya. Secara umum, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai (Kurniasari, 2011:97) a. Jumlah dan sifat aktiva, kewajiban, dan aktiva bersih suatu organisiasi, b. Pengaruh transaksi, peristiwa dan situasi lainnya yang mengubah nilai dan sifat aktiva bersih, c. Jenis dan jumlah arus kas masuk dan arus kas keluar sumber daya dalam suatu periode dan hubungan antara keduanya, d. Cara suatu organisasi mendapatkan dan membelanjakan kas, memperoleh pinjaman dan melunasi pinjaman, fan faktor lainnya yang berpengaruh pada likuiditasnya, e. Usaha jasa suatu organisasi. Laporan keuangan amil zakat dapat menjadi media komunikasi antara lembaga amil dengan pihak lainnya, karena laporan keuangan ZIS merupakan bentuk pertanggungjawaban operasional dari suatu lembaga amil yaitu kegiatan pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infak dan sedekah (ZIS). Supaya laporan keuangan itu transparan dan akuntabel maka harus ada standar akuntansi yang mengatur tentang hal tersebut. Penyusunan laporan keuangan lembaga amil ZIS mengacu kepada PSAK No. 109, dan apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam PSAK 109 maka dapat menggunakan PSAK terait sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Komponen laporan keuangan dalam PSAK 109 terdiri dari laporan posisi keuangan (Neraca), Laporan Perubahan Dana, Laporan Perubahan Aset Kelolaan, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Dalam penyajian laporan keuangan, lembaga Amil menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil dan dana nonhalal secara terpisah dalam neraca (laporan posisi keuangan). Bentuk laporan keuangan untuk amil atau OPZ berdasarkan PSAK No. 109 di antaranya adalah sebagai berikut: a. Laporan Neraca (laporan posisi keuangan); b. Laporan Perubahan Dana c. Laporan Perubahan Aset Kelolaan d. Laporan arus kas e. Catatan atas laporan keuangan c. Format Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 109 Untuk mengetahui bentuk-bentuk laporan keuangan berdasarkan PSAK No. 109 adalah sebagai berikut : 1. Laporan Neraca (Laporan Posisi Keuangan) 2. Laporan Perubahan Dana 3. Laporan Perubahan Aset Kelolaan 4. Laporan Arus Kas 5. Penerapan Arus Kas Laporan Keuangan d. B. Literarur Review C. Hipoteis Penelitian