Uploaded by koransindo7

Materi Sej. Indonesia Kelas XII

advertisement
Materi Sej. Indonesia
Kelas : XII IPA/IPS
1948 - Peristiwa Madiun
Pemberontakan PKI pada 1948 atau dikenal sebagai peristiwa Madiun merupakan
pemberontakan kelompok komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ada
empat kelompok yang tergabung dalam FDR yakni PKI, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai
Buruh Indonesia (PBI), dan Pemuda Rakyat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(Sobsi).
Pemberontalan ini diawali dengan jatuhnya Amir Sjarifuddin sebagai kabinet setelah Perjanjian
Renvile. Kemudian lahirlah kabinet baru dengan di komandoi oleh Mohammad Hatta sebagai
perdana menteri namun tidak disetujui Amir.
Kemudian seorang tokoh komunis Muso menawarkan gagasan yang disebutnya 'Jalan Baru
untuk Republik Indonesia'. Musso kemudian menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia
melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan.
Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya
berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak
terlibat adu domba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini
dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Pemberontakan PRRI/Permesta (sumber: lampungsai.com)
PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara
Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta.
Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan Republik Indonesia
Serikat (RIS) tahun 1949. Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949
bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya menyisakan 1 brigade saja.
Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian itu
membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa kecewa dan terhina, karena mereka
merasa telah berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan
Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini
pun diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Akibat adanya berbagai permasalahan tersebut, para perwira militer berinisiatif membentuk
dewan militer daerah, sebagai berikut:
PRRI selanjutnya membentuk Dewan Perjuangan dan sekaligus tidak mengakui kabinet
Djuanda, maka terbentuklah kabinet PRRI. Pada tanggal 9 Januari 1958 para tokoh militer dan
sipil mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan tersebut
menghasilkan sebuah pernyataan berupa “Piagam Jakarta” dengan isi berupa tuntutan agar
Presiden Soekarno bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, serta menghapus
segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 dan membuktikan kesediaannya itu
dengan kata dan perbuatan.
Selanjutnya Letnan Kolonel Ahmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958 memproklamirkan
berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan perdana
menteri Syafruddin Prawiranegara. Hal ini merupakan respon atas penolakan tuntutan yang
diajukan oleh PRRI. Pada saat dimulainya pembangunan pemerintahan, PRRI mendapat
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat. Dengan bergabungnya PERMESTA dengan
PRRI, gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA.
Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah melancarkan operasi militer gabungan yang diberi
nama Operasi Merdeka, dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi ini
sangat kuat karena musuh memiliki persenjataan modern buatan Amerika Serikat. Terbukti
dengan ditembaknya Pesawat Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) yang dikemudikan oleh
Allan L. Pope seorang warga negara Amerika Serikat.
Akhirnya, pemberontakan PRRI/Permesta baru dapat diselesaikan pada bulan Agustus 1958, dan
pada tahun 1961 pemerintah membuka kesempatan bagi sisa-sisa anggota Permesta untuk
kembali Republik Indonesia.
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan
Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh
semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan
beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi
militer Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan
yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan
memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan tersebut, tetapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga
di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris
(Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld
dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam
Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat
sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink
masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta
untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling
mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi
pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya
antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952,
Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid
II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseveen berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld
menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik"
yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden
Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL
lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar
Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de
zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Download