Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.com Jurnal Internasional Interdisipliner Studi Pendidikan _________________________________________________________________________ Masyarakat Madinah Pelajaran dan Relevansinya dalam Konteks Pendidikan Indonesia ASMA MOHAMMED S.ALMUFADDA, BAKHRUDDIN FANNANI, ADEL IBRAHIM A. ALTURKI, DAN SITI ROHMAH THESOCIALSCIENCES.COM Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST VOLUME 16 EDISI 1 Marcin Galent, Universitas Jagiellonian, Polandia Pj DIREKTUR PENERBITAN Jeremy Boehme, Jaringan Riset Common Ground, AS PENGELOLA EDITOR Megan Donnan, Common Ground Research Networks, AS DEWAN PENASEHAT Jaringan Penelitian Ilmu Sosial Interdisipliner mengakui kontribusi banyak orang dalam evolusi Jaringan Penelitian. Peran utama Dewan Penasihat telah, dan, untuk mendorong arah intelektual keseluruhan Jaringan Penelitian. Daftar lengkap anggota dapat ditemukan di https:// thesocialsciences.com/about/advisory-board. ULASAN sejawat Artikel yang diterbitkan di Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner peer review menggunakan model peer review anonim dua arah. Peninjau adalah peserta aktif dari Jaringan Penelitian Ilmu Sosial Interdisipliner atau Jaringan Penelitian yang terkait secara tematis. Penerbit, editor, peninjau, dan penulis semuanya menyetujui standar perilaku etis yang diharapkan berikut ini, yang didasarkan pada Praktik Inti Komite Etika Publikasi (COPE). Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di: https://thesocialsciences.com/journals/model. PENGIRIMAN ARTIKEL Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisiplinerterbit dua kali setahun (Juni, Desember). Untuk informasi lebih lanjut tentang proses pengiriman, silakan kunjungi https://thesocialsciences.com/journals/call-for-papers. JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN https://thesocialsciences.com ISSN: 2327-011X (Cetak) ISSN: 2327-2570 (Online) https://doi.org/ 10.18848/2327-011X/CGP (Jurnal) Pertama kali diterbitkan oleh Common Ground Research Networks pada tahun 2020 University of Illinois Research Park 2001 South First Street, Suite 202 Champaign, IL 61820 USA Telp: +1-217-328-0405 https://cgnetworks.org Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner adalah jurnal ilmiah peer-reviewed. HAK CIPTA © 2020 (makalah individual), penulis © 2020 (seleksi dan materi editorial), Common Ground Research Networks Seluruh hak cipta. Terlepas dari kesepakatan yang adil untuk tujuan studi, penelitian, kritik, atau tinjauan, sebagaimana diizinkan berdasarkan undang-undang hak cipta yang berlaku, tidak ada bagian dari karya ini yang boleh direproduksi dengan proses apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Untuk izin dan pertanyaan lainnya, silakan hubungi cgscholar.com/cg_support. PENGERTIAN DAN PENGINDEKSIAN Untuk daftar lengkap database di mana jurnal ini diindeks, silakan kunjungi https://thesocialsciences.com/journals/collection. KEANGGOTAAN JARINGAN PENELITIAN Penulis di Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner adalah anggota Jaringan Penelitian Ilmu Sosial Interdisipliner atau Jaringan Penelitian yang terkait secara tematis. Anggota menerima akses ke konten jurnal. Untuk mengetahui lebih lanjut, kunjungi https:// thesocialsciences.com/about/become-a-member. BERLANGGANAN Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisiplinertersedia dalam format elektronik dan cetak. Berlangganan untuk mendapatkan akses ke konten dari tahun berjalan dan seluruh daftar belakang. Hubungi kami di cgscholar.com/cg_support. MEMERINTAH Artikel dan edisi tunggal tersedia dari toko buku jurnal di https://cgscholar.com/bookstore. AKSES TERBUKA HIBRIDA Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner adalah Hybrid Open Access, artinya penulis dapat memilih untuk membuat artikel mereka terbuka akses. Hal ini memungkinkan pekerjaan mereka untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, memperluas penyebaran penelitian mereka. Untuk mengetahui lebih lanjut, silakan kunjungi https://thesocialsciences.com/journals/hybrid-open-access. PENAFIAN Penulis, editor, dan penerbit tidak akan menerima tanggung jawab hukum apa pun atas kesalahan atau kelalaian yang mungkin dibuat dalam publikasi ini. Penerbit tidak Common Ground Research Networks, anggota Crossref memberikan jaminan, tersurat maupun tersirat, sehubungan dengan materi yang terkandung di sini. Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST EDITOR Masyarakat Madinah: Pelajaran dan Relevansinya dalam Konteks Pendidikan Indonesia Asma Muhammad S.Almufadda,1 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Indonesia Abstrak: Islam memiliki pengalaman dan keragaman sejarah yang luar biasa dalam membentuk masyarakat ideal yang diliputi kedamaian dan penghormatan terhadap pluralitas, yaitu masyarakat Madinah. Dengan Konstitusi Madinah atau Piagam Media, Nabi Muhammad (SAW) berhasil membangun masyarakat yang toleran dalam keberagaman. Pola pengembangan masyarakat ini harus direfleksikan dan dikontekstualisasikan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia yang seolah-olah sedang berjuang mengatasi tantangan untuk menumbuhkan sikap toleransi dan kesetaraan dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks manajemen pendidikan, pola pembentukan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad (SAW) tercermin dalam beberapa hal, seperti mengelola organisasi pendidikan berdasarkan prinsip persatuan; menjalankan organisasi sekolah dengan semangat toleransi, kesetaraan, dan solidaritas; dan mendukung proses pendidikan dan pengajaran dalam penanaman nilai-nilai multikultural. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai multikultural masyarakat Madinah pada umumnya tidak diimplementasikan di lembaga pendidikan pemerintah. Namun, di berbagai lembaga pendidikan nonpemerintah, nilainilai toleransi dan multikulturalisme sedang gencar digalakkan. Kata kunci: Pendidikan Indonesia, Pendidikan Multikultural, Identitas Keagamaan, Masyarakat Sipil pengantar C Indonesia temporer saat ini sedang mengalami peningkatan konservatisme dan intoleransi agama. Survei yang dilakukan Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 mengungkapkan bahwa 60 persen responden menyatakan membenci kelompok minoritas seperti non-Muslim, Tionghoa, dan kelompok “Komunis”. Lebih dari sembilan puluh persen responden ini tidak menginginkan minoritas menjadi pejabat pemerintah, 82,4 persen tidak menginginkan mereka sebagai tetangga, dan 7,7 persen bersedia melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka (Nur Hakim 2016). Menurut laporan Setara Institute, pada tahun 2015 terdapat total 196 kasus pelanggaran kebebasan beragama, dengan 236 bentuk tindakan di seluruh Indonesia (Halili dan Tigor Naipospos 2015). Dalam konteks pendidikan, studi yang dilakukan oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) menunjukkan bahwa banyak sekolah di Indonesia telah berpartisipasi dalam mempromosikan ide-ide keagamaan yang konservatif dan radikal. Ide ini disebarkan melalui organisasi keagamaan intrasekolah (rohis ) yang banyak memberikan materi tentang pemahaman keagamaan yang eksklusif dan secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap sikap fundamentalis mahasiswa. NSrohis libatkan siswa dalam kegiatan yang mencakup memberikan pelajaran yang menghubungkan ide-ide keagamaan dengan isu-isu gerakan Islam internasional (misalnya, kasus Afghanistan, Palestina, dan kartun Nabi). Menurut penelitian Ciciek Farha (2008) yang dilakukan di beberapa kota (Jakarta, Padang, Cianjur, Cilacap, Pandeglang, Yogyakarta, dan Jember),rohis' Kegiatan di sekolah bertujuan untuk menjadikan siswa “mujahid militan” yang mau berperang atau berjihad melawan orang-orang kafir (Suhadi et al. 2015). Penulis Koresponden: Asma Mohammed S. Almufadda, Jl. Gajayana no 50, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 65144, Indonesia. email: almufaddaasma@gmail.com 1 Jurnal Internasional Studi Pendidikan InterdisiplinerVolume 16, Edisi 1, 2020, https://thesocialsciences.com © Jaringan Riset Common Ground, Nama Penulis, Hak Cipta Dilindungi UndangUndang. Izin: cgscholar.com/cg_support ISSN: 2327-011X (Cetak), ISSN: 2327-2570 (Online) https:// doi.org/10.18848/2327-011X/CGP/v16i01/1-14 (Artikel) Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Bakhruddin Fannani, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Indonesia Adel Ibrahim A. Alturki, Universitas Majmaah, Arab Saudi Siti Rohmah, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Indonesia JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Tumbuhnya intoleransi di kalangan warga sipil Indonesia dan di sektor pendidikan menjadi tantangan bagi institusi pendidikan dan umat Islam. Menurut Hasyim (2016), pendidikan yang sangat beragam di Indonesia harus mengintegrasikan dimensi multikultural untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya persatuan dan keragaman. Hasyim mencatat bahwa umat Islam sebagai penduduk terbesar di Indonesia, ajaran Islam memiliki potensi yang cukup besar untuk mempromosikan nilai-nilai multikultural, perdamaian, Islam memiliki ajaran normatif dan pengalaman sejarah yang representatif sebagai kerangka pendidikan inklusif dan multikultural. Banyak ulama telah mengajukan nilai-nilai normatif ajaran Islam untuk mendukung multikulturalisme baik dalam konteks sosial maupun dalam pendidikan (Abu Nimer 2003; Abu Nimer dan Nasser 2017; Baidhawy 2005, 2007). Namun, nilai-nilai multikultural yang diteladani oleh Nabi Muhammad (SAW) dan potensi implementasinya dalam konteks pendidikan belum mendapatkan perhatian yang layak. Sebagai panutan Islam bagi kemanusiaan, Nabi Muhammad SAW memberikan contoh bagaimana menciptakan masyarakat yang toleran, inklusif, dan damai. Dengan merumuskan Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah, Nabi Muhammad (SAW) memberikan dasar bagi tatanan sosial yang pluralistik berdasarkan nilai-nilai kesetaraan universal, semangat multikulturalisme, dan kepatuhan terhadap hukum (Yildirim 2009). Nurcholish Madjid (2009) bahkan menilai bahwa wawasan Madinah berupa nilai-nilai, pandangan hidup, dan prinsip-prinsip dasar pembentukan masyarakat Madinah sama pentingnya dengansunnah dan ajaran Nabi, yang harus dihidupkan kembali dalam semua aspek kehidupan sosial. sunnah adalah istilah Arab untuk cara hidup Nabi Muhammad dan juga merupakan sumber otoritatif dalam hukum Islam. Artikel ini berupaya menggali ajaran Nabi dalam mengelola masyarakat Madinah dalam konteks manajemen pendidikan. Tujuan umum dari artikel ini adalah untuk memberikan perspektif dalam mengembangkan pendidikan inklusif dan multikultural untuk membangun masyarakat majemuk yang dapat hidup bersama secara damai. Artikel ini pertama-tama akan memaparkan sejarah singkat masyarakat Madinah, nilai-nilai utama dalam masyarakat madani, dan kontekstualisasi nilai-nilai dalam Piagam Madinah dalam pendidikan. Kemudian akan ditelaah kondisi pendidikan Indonesia dalam kaitannya dengan implementasi nilai-nilai dalam Piagam Madinah. Nabi Muhammad SAW sebagai Pendidik Nabi Muhammad SAW adalah pendidik terbaik dalam sejarah Islam. Pengaruh ajarannya menyebar ke seluruh dunia dan berlanjut dari generasi ke generasi. NSEnsiklopedia Britannica, seperti dikutip M. evki Aydin, menyebut Nabi Muhammad (SAW) sebagai tokoh agama paling sukses di dunia, yang mengubah jalannya sejarah manusia. Kata-kata dan perbuatannya diikuti oleh seperempat populasi dunia. Selain sebagai Nabi, beliau banyak mengemban peran, seperti pendidik, pembaharu sosial, hakim, penasihat moral, pemimpin politik, negarawan, administrator yang cakap, panglima strategis dan militer, yang semuanya berada dalam satu kesatuan (Aydin 1996). . Dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, Nabi Muhammad SAW mampu mengubah sepenuhnya sikap, mentalitas, pola pikir, adat istiadat, tradisi, nilai, dan budaya masyarakat Arab dengan ajarannya. Karena ajaran Nabi, budaya belajar adalah bagian dari kehidupan setiap Muslim. Banyak sahabat Nabi Muhammad (SAW) menjadi guru besar Islam. Ajaran Nabi Muhammad (SAW) memunculkan revolusi ilmiah, semangat ilmiah yang dibangun menjadi pilar peradaban. ayat al qur'anRobbi dzidnii' lma (“Ya Tuhan, beri saya tambahan pengetahuan") adalah doa standar banyak Muslim di seluruh dunia. Ajaran Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad (SAW) menyebabkan pemahaman baru tentang hubungan agama dan pengetahuan, dan dalam beberapa abad, Islam memimpin kemajuan sains dan peradaban. Sejarah mencatat bahwa banyak ilmuwan Muslim, seperti 2 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST toleransi, dan gotong royong dalam pendidikan (Hasyim 2016). ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA sebagaimana Ibnu Sina, al-Jabbar, dan al-Hawarizm, memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini (Rohmah dan Budiharjo 2018). Oleh karena itu, pantaslah Michael H. Hart menempatkan Nabi pada posisi teratas dalam peringkat orang-orang paling berpengaruh dalam sejarah. Hart menyatakan bahwa meskipun banyak orang mungkin mempertanyakan, tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad (SAW) adalah “satu-satunya manusia dalam Peran nabi sebagai guru atau pendidik, menurut M. evki Aydin, tidak lepas dari sifat dan fungsi nabi, yaitu tabligh. katatablighsecara harfiah berarti menyampaikan, memberi informasi, dan menyebarkan. Artinya Nabi menyampaikan pesan Allah kepada manusia sebagaimana ia menerimanya dari Allah.Tabligh merupakan salah satu sifat Nabi yang tidak dapat dicabut (Aydin 1996). Tabligh sehingga membutuhkan proses interaksi dan komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan atau mentransfer pengetahuan. Pada konteks ini,tabligh dipandang sebagai bentuk komunikasi dan pendidikan. Bahkan, beberapa kamus mendefinisikantabligh sebagai pengajaran. Dawood Shah (2013) bahkan menganggap bahwa semua Nabi, apapun agamanya, pada dasarnya adalah guru karena setiap Nabi datang dengan ilmu tertentu, untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Seorang nabi mengajar manusia tentang kebaikan, menasihati mereka untuk menghindari kejahatan, dan mengajarkan kitab suci dan kebijaksanaan. Dengan demikian, dalam segala aktivitasnya, para nabi pada dasarnya berperan sebagai guru atau pendidik. Yesus (Isa al Masih), pembawa agama Kristen (Kristen), disebut dalam Perjanjian Baru sebagai guru lisan. Istilah “Guru” (Didaskalos) muncul sebagai kata benda sekitar dua belas kali dalam Injil dan kata kerja (Didaskein) lima belas kali. Orang-orang sezaman Yesus juga menyebutnya sebagai guru yang mengajar dengan tindakan dan kata-katanya (Dawood Shah 2013). Akar sistem pendidikan dalam sejarah Islam dapat ditelusuri kembali ke masa awal Islam, ketika Nabi Muhammad biasa duduk di antara para sahabatnya untuk menguraikan perintahperintah Al-Qur'an dan mengajarkannya dalam ajaran Islam. Pada masa Mekkah, Nabi melakukan pendidikan sembunyi-sembunyi, khususnya kepada keluarganya, selain ceramah dan ceramah di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang. Di Madinah, pada periode 622–632 M atau 1–11 Hijriah, pendidikan yang semula dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dilaksanakan di masjid. Ruangan yang terhubung dengan masjid, yang disebut “Suffah”, adalah tempat tinggal para sahabat Nabi dan juga tempat pendidikan yang berada di bawah pengawasan langsung Nabi. Ada membaca, menulis, mempelajari hukum Islam, menghafal ayatayat Al-Qur'an, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dalam beberapa tahun pertama, membaca dan menulis sebagian besar diajarkan oleh non-Muslim karena hanya ada beberapa teman Muslim saat itu. Nabi juga menugaskan istri-istrinya untuk mengajar. Ada teman wanita yang terkenal dengan ilmunya. Singkatnya, Nabi mengintegrasikan semua sahabatnya ke dalam kegiatan pendidikan. Tugas menyampaikan pesan Tuhan dilakukan dengan mendidik manusia (Rahman 2018). Dalam menjalankan perannya sebagai guru, Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan dasar-dasar agama, tetapi juga menjadi teladan bagi umatnya melalui sikap dan perilakunya. Dia menunjukkan kepada mereka bagaimana menerapkan ajarannya dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, ia mendukung dan melengkapi ajarannya dengan kehidupan pribadinya. Oleh karena itu, Allah memperkenalkannya kepada umat Islam sebagai pedoman teladan. Allah menegaskan dalam Al-Qolam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Allah juga menegaskan bahwa Nabi adalah contoh terbaik. “Sesungguhnya Nabi adalah suri tauladan yang baik” (Al-Ahzab: 21). Dengan kata lain, peran pendidikan Nabi Muhammad dimediasi dengan mengajar tidak hanya dengan kegiatan lisan tetapi juga dengan perbuatan, karena dalam kegiatan Nabi tidak ada perbedaan antara teori dan praktek. Semua nabi, apa pun profesinya, pada dasarnya adalah guru sekaligus panutan. Nabi tetap menjadi guru sepanjang hidupnya, dan kata-kata serta tindakannya menggambarkannya sebagai seorang guru. Selain diidentifikasi oleh Al-Qur'an sebagai rasul yang diutus untuk mengajar orang-orang dalam kitab suci dan kebijaksanaan, kata-kata dan tindakannya dicatat secara otentik dan tersedia bagi kita. Dari sumbersumber tersebut, karakternya sebagai seorang guru dapat dipahami. Hal ini mengidentifikasi perbuatan Nabi yang termasuk dalam kategori ajaran. 3 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST sejarah yang sangat sukses baik di tingkat agama maupun sekuler” (Hart 2000, 33). JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Komunitas Madinah sebagai Role Model Masyarakat Plural ziarah Nabi (hijrah) ke kota Madinah (sebelumnya disebut Yastrib) pada tahun 622 M menandakan era baru perjalanan dakwah Islam. Di kota inilah Nabi Muhammad SAW harus berhadapan dengan realitas baru yang tidak ada di Mekkah, yaitu kondisi pluralistik yang berlaku di masyarakat Madinah. Madinah kemudian dihuni oleh suku-suku Arab dan Yahudi dan minoritas kecil Kristen. Itu dihuni oleh dua puluh dua suku, yang paling dominan adalah Banu Qaynuqa, Banu al-Nadir, dan Banu Qurayza (Jani et al. 2015). keberuntungan yang mempengaruhi nasib manusia (Armstrong 2002). Perebutan kekuasaan dan supremasi di antara banyak suku di Madinah menyebabkan konflik tak berujung di kota. Tidak adanya saling pengertian antar suku membuat masyarakat Madinah mengalami ketegangan berkepanjangan (Yildirim 2009). Perang terbesar terjadi pada tahun 618 M dan melibatkan hampir semua suku di Madinah, bersekutu dengan kelompoknya masing-masing. Perang ini dikenal dengan Perang Bu'ats (Anas dan Adinugraha 2017). Kedatangan Nabi (SAW) di Madinah membawa perubahan besar. Nabi Muhammad (SAW) berhasil menjadi penengah dan menghentikan konflik antarsuku. Dia meletakkan dasar bagi masyarakat baru yang dapat diterima oleh semua kelompok dan suku di Madinah. Dasar dari tatanan sosial adalah kesepakatan bersama, yang disebut Konstitusi Madinah, atau Piagam Madinah. Dari perspektif resolusi konflik, Piagam Madinah dinilai sangat berhasil dalam menjalankan perannya. Keberhasilan resolusi konflik berbasis Piagam Madinah juga terlihat dari perubahan besar yang terjadi di Madinah (Jani et al. 2015). Piagam Madinah dinilai sangat berhasil dalam menjalankan perannya. Keberhasilan resolusi konflik berbasis Piagam Madinah juga terlihat dari perubahan besar yang terjadi di Madinah (Jani et al. 2015). Piagam Madinah dinilai sangat berhasil dalam menjalankan perannya. Keberhasilan resolusi konflik berbasis Piagam Madinah juga terlihat dari perubahan besar yang terjadi di Madinah (Jani et al. 2015). Piagam Madinah memuat ketentuan-ketentuan yang meletakkan dasar bagi kehidupan sosial yang plural. Piagam dalam sejarah Ibnu Ishaq ini, yang disistematisasikan oleh Montgomery Watt (1981), terdiri dari sepuluh bab dan empat puluh tujuh pasal, yang secara umum memuat hak dan kewajiban masingmasing golongan dalam masyarakat Madinah. Hubungan antara berbagai komunitas, Muslim, Yahudi, dan kelompok lain, diatur menurut beberapa prinsip dasar, yaitu bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang dianiaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Luth, Kholish, dan Zainullah 2018). Gagasan persatuan dalam masyarakat Madinah dilembagakan dalam konsep Ummah. Ummah adalah terminologi Islam yang khas, yang mengungkapkan kesatuan esensial dan persamaan teoretis Muslim dari latar budaya dan geografis yang beragam. Disebutkan dalam Piagam Madinah bahwa semua masyarakat di Madinah adalah satuummah. Konsep dariUmmah dalam Piagam Madinah memberikan dasar bagi semua suku, termasuk yang berasal dari Mekah (muhajirin) seperti kaum Quraisy, Bani Auf, Bani Sa'idah, Bani Al-Hars, Bani Jusyam, Bani An-Najjar, Bani 'Amr bin' Awf, Bani AlNabit, Bani Al-'Aws , juga dari Madinah. Mereka semua memiliki hak yang sama dan memikul tanggung jawab yang sama, yaitu membantu tebusan ataudiyat, menentang kezaliman, kejahatan bersama, melarang pembunuhan orang kafir, membela yang lemah, mewujudkan perdamaian, dan menghindari perselisihan. Tidak ada yang diizinkan untuk berperang kecuali dengan persetujuan Nabi Muhammad (Sarwat 2018). Nilai Utama dalam Masyarakat Madinah Piagam Madinah juga dipandang sebagai titik awal berdirinya negara demokrasi. Piagam tersebut juga mengubah struktur konfederasi suku menjadi masyarakat baru yang dikendalikan oleh ajaran moral dengan instrumentasi hukum. Dari sudut pandang politik, Piagam Madinah merupakan doktrin politik agama berdasarkan persaudaraan universal. Negara Islam yang ideal adalah masyarakat yangummah, terlepas dari ras atau pertimbangan geografis (Anas dan Adinugraha 2017). Tatanan sosial Masyarakat Madinah di bawah pengelolaan 4 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Pluralitas agama di Madinah tercermin dalam kehidupan beberapa agama di kota tersebut, yaitu paganisme (menyembah berhala), Yudaisme, dan Kristen. Orang-orang kafir umumnya menyembah berhala yang disebut Manat, yang dipercaya sebagai dewa ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA Kehidupan sosial di Madinah menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang kerukunan sosial, salah satu nilai penting Piagam Madinah adalah perhatiannya pada toleransi beragama. Pasal 25–35 dari piagam tersebut menyoroti nilai toleransi beragama, terutama di kalangan orang Yahudi dan sekutu mereka. Nabi Muhammad berhasil menanamkan toleransi di hati masyarakat Madinah. Pengertian toleransi ini juga mencakup pengertian kebebasan beragama dan beribadah, penerimaan pemeluk agama sebagai satu bangsa, dan perlunya seluruh umat beragama untuk saling melindungi dari ancaman diskriminasi dan penindasan. Gagasan toleransi juga mencakup pengertian bahwa setiap kelompok agama bebas menggunakan hukum agamanya sebagai ketentuan bagi pemeluknya. Piagam Madinah berhasil menciptakan kerukunan sosial di Madinah terutama karena di dalamnya terkandung berbagai nilai yang selaras dengan wawasan dan kesadaran multikultural. Ini termasuk persatuan, kesetaraan, perlindungan hak, dukungan, perlindungan minoritas, dan keadilan. Keenam atribut ini menjadi kunci sukses mengikat kelompok multietnis dan multireligius di Madinah (Jani et al. 2015). Piagam Madinah dengan demikian memberikan landasan bagi kesetaraan semua anggota masyarakat dan menerima adanya keragaman dalam masyarakat. Di bawah konstitusi ini, semua kelompok agama, etnis, dan etnis mendapat perlindungan, hak, dan martabat yang sama. Riaz Ahmad Saeed dkk. (2018) menilai bahwa Piagam Madinah adalah model hukum terbaik dalam sejarah manusia untuk menjamin perdamaian, kemakmuran, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia. Perjanjian ini telah memberikan persamaan hak, otonomi agama, dan kebebasan sosial budaya kepada semua kelompok Madinah lainnya (Yahudi, Kristen, dan musyrik). Oleh karena itu, Piagam Madinah layak menjadi acuan bagi seluruh perundang-undangan yang bertujuan untuk hidup berdampingan secara damai di dunia yang multikultural dan multikontemporer ini (Saeed et al. 2018). Piagam Madinah memuat nilai-nilai kosmopolitan yang juga diterima oleh masyarakat non-Islam, seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan sipil (kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan beribadah, dan kebebasan akademik) (Madjid 2009). Oleh karena itu, menurut penilaian Budi Hardiman, Piagam Madinah mengejawantahkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang menekankan persatuan masyarakat, kebebasan beragama, dan perlindungan hak-hak dasar setiap anggota masyarakat. Ajaran itu akan tetap relevan di semua komunitas di mana pun dan sepanjang masa. Oleh karena itu, sudah saatnya Piagam Madinah dikaji dan dianalisa serta isinya dihidupkan kembali dan diterapkan untuk membangun masyarakat global yang lebih toleran, inklusif, dan damai. Saat ini, para cendekiawan Muslim telah mengakui pentingnya Piagam Madinah dalam membangun wacana masyarakat yang pluralis, ketika keragaman telah menjadi realitas yang tak terbantahkan dan di sisi lain banyak terjadi konflik akibat keragaman tersebut. Oleh karena itu, upaya mendalami, mewujudkan, dan meneladani masyarakat Madinah yang diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW menjadi hal yang urgen. Hal ini karena Piagam Madinah mencerminkan perlindungan Islam bagi kehidupan manusia dan entitas minoritas dan menegaskan kembali bahwa gagasan ini selalu mendasar dalam tradisi Islam (Madjid 2009). Kontekstualisasi Masyarakat Madinah dalam Kerja Lapangan Pendidikan Dalam konteks manajemen pendidikan, pola kepemimpinan dan ajaran Nabi dalam membangun masyarakat Madinah dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan lembaga pendidikan dan sistem pendidikan. Dalam konteks pengelolaan lembaga pendidikan, peran Nabi Muhammad SAW dapat diikuti dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang berbasis persatuan, toleransi, pemenuhan hak individu, dan perlindungan terhadap minoritas. Selanjutnya, 5 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Nabi Muhammad SAW saat itu, menurut penilaian Robert N. Bellah, merupakan model pemerintahan yang sangat maju dengan standar masa itu (Bellah 2000). JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Teladan Nabi juga dapat digunakan untuk memandu orientasi sistem pendidikan. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan individu yang memiliki kesadaran akan keragaman, kesetaraan, perlindungan hak dan keadilan. Menurut penulis, peran Nabi Muhammad (SAW) dalam membangun “masyarakat madani” dapat diimplementasikan dalam aspek-aspek manajemen pendidikan berikut ini. Salah satu gagasan utama Piagam Madinah adalah untuk mendukung nilai toleransi, kebebasan beragama, kesetaraan, dan perlindungan hak-hak dasar dan keadilan. Nilai-nilai tersebut menjadi kunci keberhasilan Piagam Madinah dalam menjalin ikatan multietnis dan multiagama di Madinah (Jani et al. 2015). Dukungan Piagam Madinah terhadap nilai toleransi tercermin dalam ketentuan pasal 25– 35, yang menyatakan bahwa “bagi orang Yahudi agamanya dan bagi umat Islam agamanya”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa setiap kelompok agama di Madinah berhak memeluk dan mengamalkan agamanya. Dukungan terhadap nilai-nilai toleransi beragama menjadi penting dalam konteks negara yang memiliki pluralitas agama seperti Indonesia. Dalam konteks manajemen pendidikan, dukungan toleransi dalam lembaga pendidikan mengandung arti bahwa sekolah memberikan hak yang sama kepada siswa, guru, dan seluruh elemen lainnya untuk mendapatkan akses pendidikan, karir, dan fasilitas pendidikan lainnya tanpa memandang agamanya. Dengan demikian tidak akan terjadi tindakan merintangi atau menghalangi siswa memperoleh akses pendidikan karena perbedaan agama. Demikian pula, identitas agama seharusnya tidak menjadi pertimbangan utama dalam merekrut guru baru. Nilai toleransi juga berarti tidak memaksakan atau mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan pemeluk agama lain untuk mengikuti ajaran atau ketentuan agama yang tidak dianutnya. Hak untuk memeluk agama juga harus didukung dengan upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang ajaran agama mereka. Di mana hal ini tidak memungkinkan, sekolah dapat memfasilitasi akses siswa terhadap pengajaran agama di luar sekolah. Selain toleransi, Piagam Madinah juga menekankan adanya nilai-nilai dasar persamaan. Artinya setiap individu dalam suatu komunitas adalah sama dan memiliki hak yang sama yang dinikmati oleh komunitas tersebut. Menurut Kathleen Lynch dan John Baker, kesetaraan pendidikan tidak dicapai hanya dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa. Mengingat setiap siswa ditempatkan secara berbeda dalam hal modal sosial, memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa akan menyebabkan ketidakseimbangan. Misalnya, siswa dari latar belakang keluarga yang lebih makmur lebih mungkin untuk berprestasi di sekolah karena mereka memiliki akses yang lebih baik ke materi pembelajaran yang baik dan pelajaran tambahan dibandingkan dengan siswa dengan orang tua yang kurang kaya. Lynch Baker mengusulkan beberapa dimensi kesetaraan dalam lembaga pendidikan untuk mencakup praktik kesetaraan dalam arti memberikan kesempatan yang sama, seperti perhatian, cinta, dan solidaritas (Lynch dan Baker 2005). Perhatian cinta dan solidaritas yang diungkapkan oleh Lynch dan Baker pada dasarnya merupakan sikap yang sejalan dengan konsep saling membantu, atau kerjasama. Rasa solidaritas sesama masyarakat akan menimbulkan simpati dan gerakan untuk membantu dan bekerjasama. Kerjasama dan bantuan ini dapat mengatasi dampak negatif dari klaim kesetaraan individualistik, karena memberikan hak yang sama kepada setiap orang dalam masyarakat tanpa rasa solidaritas akan menyebabkan ketidakpedulian dan pengabaian kesulitan yang dialami orang lain. Sikap ini didasarkan pada argumentasi bahwa orang yang mengalami kesulitan pada dasarnya memiliki hak, yaitu kesempatan yang sama. Dalam Piagam Madinah, kesetaraan dan kesetaraan tidak berjalan sendiri. Terdapat beberapa pasal, yaitu pasal 11, 15, dan 37, yang mengajak umat beriman untuk saling tolong menolong (Luth, Kholish, dan Zainullah 2018), menunjukkan bahwa nilai kesetaraan yang dianjurkan dalam Piagam Madinah bukanlah kesetaraan berdasarkan individualisme tetapi kesetaraan berdasarkan solidaritas. 6 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Menumbuhkan Nilai-Nilai Pluralisme, Kesetaraan, dan Solidaritas di Sekolah ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA Melalui Piagam Madinah, Nabi Muhammad (SAW) menggunakan nilai-nilai persatuan, toleransi, dan persamaan hak untuk menyatukan dan menciptakan masyarakat yang plural. Atribut-atribut ini dianggap penting dalam konteks kehidupan dalam masyarakat majemuk. Misalnya, konsep persatuan yang mengacu pada negara dapat diaktualisasikan dengan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan lain dalam hal keamanan dan pertahanan Piagam Madinah mewujudkan nilai-nilai yang diperlukan untuk membangun masyarakat multikultural yaitu kebebasan beragama, masyarakat keamanan, dan penerimaan semua pemeluk agama sebagai satu bangsa, serta perlunya seluruh umat beragama untuk saling melindungi dari ancaman, diskriminasi, dan penindasan. Oleh karena itu, sistem pendidikan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia harus menekankan nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam Madinah. Semua sistem pengajaran harus diarahkan untuk mendukung penanaman nilai-nilai ini pada siswa. Pada tataran implementasi, nilai-nilai tersebut dapat dimasukkan dan ditonjolkan dalam pelajaran yang mengandung unsur pembentukan karakter dan moralitas, seperti agama dan kewarganegaraan, atau dapat dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran. Dalam studi agama, nilai-nilai seperti toleransi menjadi sangat penting karena hampir semua agama mengajarkan doktrin kebenaran. Namun, ini bukan tidak mungkin karena semua agama juga memiliki nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Selain itu, banyak pengalaman dan keilmuan tentang penanaman toleransi melalui ajaran agama yang dapat dijadikan sebagai sumber dalam merumuskan ajaran agama yang mendukung nilai-nilai tersebut. Contohnya adalah ajaran agama dengan pendekatan multireligius yang direkomendasikan oleh Nuryatno. Model pengajaran agama yang dimaksud adalah pengajaran agama yang bertujuan membekali peserta didik dengan pengetahuan agama tidak hanya sesuai dengan agamanya sendiri tetapi juga dalam kaitannya dengan ajaran atau konsep tertentu dalam agama lain. Model pengajaran agama ini dengan demikian menghadapkan siswa pada agama lain di luar tembok agama mereka sendiri. Oleh karena itu model ini disebut “pendidikan agama di luar tembok” (Nuryatno 2011, 241). Pilihan lainnya adalah tetap pada pendekatan pendidikan monoreligius, seperti yang ditunjukkan Siti Rohmah. Rohmah mencontohkan, pendidikan damai dan toleran dapat digalakkan dengan tetap menggunakan pendekatan pendidikan monoreligius (satu agama). Beberapa lembaga swadaya masyarakat berupaya untuk mempromosikan pendidikan perdamaian seperti yang dipraktikkan Muhammadiyah di Solo dan Peace Generation (Rohmah et al. 2018). Kedua pendekatan sebelumnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun dalam konteks Indonesia pendekatan monoreligius akan lebih mudah diterima dan dilaksanakan karena setiap agama pasti memiliki nilai-nilai multikultural yang dapat digali dan ditanamkan pada diri siswa. Semua agama pada dasarnya memberikan ajaran normatif untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman. Misalnya ajaranahimsa dalam agama Hindu, panatipata veramani dan panatipata pativirati dalam agama Buddha, Injil Cinta dalam Kristen, dan sebagainya (Fannani, Tohari, dan Arifin 2018). Demikian pula ajaran Islam telah menyediakan sumber daya yang memadai untuk membangun pendidikan Islam yang selaras dengan kondisi masyarakat yang majemuk. Sumbernya bisa digali dari ajaran Islam normatif dan aspek sejarah. Dalam ranah normatif, ajaran Islam sangat kaya akan pesan perdamaian, karena itulah pesan utamanya. Islam memiliki seperangkat nilai yang representatif sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Abu Nimer mengemukakan beberapa nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu keadilan ('adala), persamaan (Musawwa), kasih sayang (Rahma), perbuatan baik ('amal al khair), dan solidaritas (Abu Nimer dan Nasser 2017). Lebih lanjut Munir Mulkan juga menyatakan bahwa nilai-nilai Islam harus dikembangkan dalam masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang damai, yaitu nilai-nilai persaudaraan.ukhuwah), perdamaian (islah), kasih sayang (rahmat), kebaikan ( ihsan), toleransi (tasamuh), dan pengampunan (afwan) (Munir Mulkhan 1993). 7 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Orientasi Pendidikan dan Pengajaran dalam Penanaman Nilai Multikultural JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Menciptakan Lingkungan Multikultural di Lembaga Pendidikan Nabi Muhammad SAW hidup dalam lingkungan multikultural di Madinah. Nabi dan para sahabatnya tidak membatasi interaksi sosial mereka pada kaum Muslim saja. Nabi Muhammad (SAW) memiliki hubungan yang baik bahkan dengan tetangganya, seorang Yahudi. Mereka saling membantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nabi bahkan pernah berhutang kepada orang-orang Yahudi untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam sebuah hadits, nabi menegur Aisyah, istrinya, yang tidak berbagi makanan dengan tetangganya yang Sebuah lembaga pendidikan pada tingkat apapun adalah lingkungan sosial di mana siswa berhubungan dengan individu lain dan mendapatkan pengalaman dari interaksi itu. Pengalaman dan interaksi itu, oleh karena itu, juga merupakan aktivitas dan alat pembelajaran. Pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain di lingkungan pendidikan dapat menjadi bekal pembelajaran bagi peserta didik dalam menghadapi lingkungan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, siswa perlu dibiasakan berada dalam lingkungan yang majemuk. Atas dasar ini, lembaga pendidikan perlu membangun lingkungan yang plural atau multikultural, baik dari segi agama, suku, dan lain-lain. Untuk dapat hidup damai dalam masyarakat multikultural seperti di Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW, siswa perlu mendapatkan pengalaman hidup bersama dalam masyarakat multikultural. Hal ini diperlukan karena memberikan fleksibilitas sosial siswa ketika berhadapan dan berinteraksi dengan individu yang berbeda, baik dalam budaya, agama, atau nilai. Seperti yang dikatakan Ednan Aslan, Upaya meningkatkan kesadaran untuk hidup bersama dan kemampuan menghadapi komunitas yang berbeda dalam masyarakat yang majemuk memerlukan perubahan cara pandang. Artinya, proses penanaman kesadaran pluralitas dengan doktrin teologis saja tidak cukup, tetapi juga harus diperkaya dengan pengalaman sebagai individu yang dinamis. Artinya, siswa harus memahami jati dirinya ketika menjadi bagian dari keragaman budaya dan agama (Aslan 2019). Aslan menilai bahwa untuk meningkatkan kesadaran dan untuk dapat hidup damai dan harmonis dalam keberagaman diperlukan lingkungan sebagai tempat belajar untuk memahami orang lain dalam bingkai kehidupan bersama. Allport (1954) menganggap asal mula prasangka sebagai kesalahan berpikir. Sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan dan prasangka ini, ia mengajukan hipotesis kontak. Dalam bentuk aslinya, setiap kontak antar kelompok dianggap menguntungkan. Ide dasar di balik teori ini adalah bahwa kontak antar kelompok sosial akan “menghancurkan stereotip negatif” dan mengurangi antipati timbal balik. Prasangka dan stereotip dikurangi dan diubah melalui peningkatan pengetahuan dan pemahaman kelompok (Donnelly dan Hughes 2006). Hipotesis kontak juga menekankan emosi. Keterlibatan dalam pengalaman bersama akan membawa kelompok pada keterlibatan emosional. Kontak yang lebih dalam juga diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan berempati dan berbagi perspektif orang lain (dikutip dalam Everett 2018). Dalam konteks masyarakat sipil, Varshney mengusulkan hubungan antara kontak dan konflik sektarian atau etnis. Menurut Varshney, konflik etnis antar kelompok dapat terjadi karena tidak adanya keterlibatan warga antar kelompok. Dan keterlibatan sipil tidak dapat diciptakan tanpa kontak, keterlibatan dalam pengalaman bersama (Varshney 2002). Atas dasar argumen ini, telah diasumsikan secara luas di kalangan pendidikan bahwa sekolah dengan populasi campuran bermanfaat untuk toleransi (dikutip dalam Everett 2018). Oleh karena itu dalam pengelolaan lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan untuk mengakomodasi peserta yang plural, terutama dalam masalah agama. Pembahasan sebelumnya mengarah pada kesimpulan kontekstualisasi nilai-nilai masyarakat Madinah dalam bidang pendidikan. Pertama, adanya kebijakan untuk menerima siswa dengan latar belakang agama yang berbeda; kedua, internalisasi nilai-nilai multikultural melalui pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar. Ketiga, proses interaksi sosial 8 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Yahudi (Maarif 2017). ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA yang terjadi di sekolah harus mencerminkan kesetaraan dan pengakuan terhadap nilai-nilai budaya yang berbeda, sehingga akan menumbuhkan prasangka baik di kalangan siswa. Fragmen Tersebar: Nilai Masyarakat Madinah di Lembaga Pendidikan Indonesia Nilai-nilai yang diajarkan Nabi dalam masyarakat Madinah seperti toleransi dan multikulturalisme telah dianggap penting bagi praktisi pendidikan dan pemerintah, sebagaimana tercermin dari program yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pada sekolah, dengan fokus pada lima nilai utama, termasuk toleransi dan perdamaian (Kemendigbud 2016). Namun, dampak dari program ini tidak meluas karena program tersebut hanya dilaksanakan di beberapa sekolah sebagai panutan. Oleh karena itu, implementasi nilai toleransi dan multikultural di sekolah-sekolah di Indonesia masih terus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Hal ini terlihat dari banyaknya unsur pendidikan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme. Kekerasan terhadap sekolah dan siswa berdasarkan perbedaan aliran agama terjadi di beberapa kota, salah satunya Yogyakarta. Seorang siswa SMA Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta terluka setelah diserang oleh beberapa siswa sekolah lain yang mengidentifikasi dirinya sebagai siswa sekolah yang berafiliasi dengan aliran Islam yang dianggap sesat: Ahmadiyah (Farikhatin 2016). Penolakan terhadap nilai-nilai Madinah juga dilakukan oleh pihak sekolah. Diskriminasi terhadap siswa berdasarkan perbedaan agama terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Otoritas sekolah pemerintah menolak untuk mendaftarkan siswa non-Muslim di sekolah tersebut. Kepala sekolah bahkan memperkenalkan peraturan khusus untuk mendukung tindakannya (Fanani 2017). Beberapa lembaga pendidikan pemerintah juga mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan siswa menjalankan ajaran agama tertentu yang tidak mereka yakini. Diantaranya mewajibkan siswa nonMuslim berpakaian sesuai ajaran Islam (berhijab, misalnya) seperti di Yogyakarta pada Juni lalu. 2019 (Fauzan 2019); yang lain melarang gadis Muslim mengenakan jilbab saat mereka berdakwah di Bali pada tahun 2014 (Republika 2014). Namun, berbagai sekolah yang dipimpin oleh organisasi masyarakat sipil secara konsisten berusaha menerapkan nilai-nilai sosial yang diajarkan Nabi Muhammad (SAW) di masyarakat Madinah. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti pecahan-pecahan yang bertebaran yang tidak saling berkaitan tetapi memiliki kesamaan ide dan tujuan. Salah satu fragmen tersebut adalah SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Batu, Jawa Timur, di mana toleransi sebagai nilai dimasukkan ke dalam program yang unik. Sekolah memperkenalkan “program berbasis pluralitas”, yang merupakan strategi untuk mempromosikan nilai-nilai pluralisme. Semua kegiatan pembelajaran dan kebijakan sekolah mengacu pada nilai dan prinsip multikultural yang diusulkan, seperti keadilan, saling menghormati, kebersamaan, kerjasama, tanggung jawab, dan saling memahami. SMA SPI dirancang untuk siswa yang pluralistik, sesuai dengan kebijakan kuota yang ditetapkan untuk siswa berdasarkan agama, dengan proporsi sebagai berikut: 40 persen untuk Islam, 20 persen untuk Katolik dan Kristen, dan 10 persen untuk Hindu dan Buddha. Prinsip-prinsip yang mendukung multikulturalisme diterapkan secara konsisten dalam semua aspek fungsi sekolah. Asas keadilan dilaksanakan dengan memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama kepada semua siswa, apapun agamanya. Dengan demikian, SMA SPI memiliki lima tempat ibadah yang mewakili lima agama yang ada di sekolah tersebut. Tempat peribadatan dibangun di area yang sama, yang disebut “taman rohani”. SMA SPI adalah sebuah sekolah berasrama, dengan asrama mahasiswa. Murid-muridnya terbiasa hidup bersama dalam keberagaman. Oleh karena itu, siswa harus tinggal dalam satu ruangan bersama dengan siswa lain dari latar belakang agama dan etnis yang berbeda. Program ini dinamakan “diversity in one room”, dan bertujuan untuk mempererat hubungan antar siswa yang berbeda latar belakang. Dengan demikian diharapkan akan muncul saling pengertian dan saling menghormati antar siswa. Kontak juga diharapkan menghasilkan 9 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST tahun 2010. Program ini berupaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa melalui JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Fragmen lainnya adalah SMA Budi Mulia Dua di Yogyakarta. Seperti halnya SMA SPI, SMA Budi Mulia Dua juga mencoba menerapkan dan mengajarkan nilai-nilai multikultural dan toleransi, dengan menggunakan mata pelajaran agama sebagai instrumen utamanya. Kurikulum untuk mata pelajaran agama telah dirancang oleh sekolah itu sendiri (bukan mengikuti kurikulum pemerintah). Mata pelajaran agama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman agama yang inklusif-multikulturalispartisipatif (Ma'rifah 2016). Di antara mata pelajaran Islam yang diajarkan adalah “universalisme Islam”, yang bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai universal dan etika Islam dalam upaya memperkenalkan agama sebagai ajaran yang mudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Universalisme Islam tidak semata-mata mengajarkan ibadah dan hukum, tetapi lebih luas lagi, toleransi, keadilan, keutamaan, dan ajaran moral lainnya. Pada hakikatnya, Islam yang diajarkan dalam mata kuliah ini tidak hanya Islam normatif tetapi juga Islam kontekstual, dengan penekanan pada inklusivitas, persahabatan, dan keragaman. Universalisme mata pelajaran Islam telah menunjukkan kemampuannya untuk membentuk pola pikir inklusif dan toleran di kalangan siswa. Para siswa sangat apresiatif dan toleran terhadap agama lain, dan banyak dari mereka mengakui bahwa sebelum mendapatkan pelajaran Universalisme Islam, mereka memiliki pandangan negatif terhadap agama lain. Dalam pandangan mereka, agama selain Islam adalah agama sesat, sehingga harus masuk Islam. Namun setelah siswa mulai mempelajari universalisme Islam, pandangan negatif tentang agama lain secara bertahap menghilang dari benak mereka, digantikan oleh pandangan positif dan apresiatif. Kesimpulan Masyarakat Madinah dengan Piagam Madinah telah menyajikan gambaran tentang bagaimana Nabi Muhammad (SAW) mengatur dan meletakkan dasar bagi pembentukan masyarakat plural yang damai. Dalam manajemen pendidikan, pola pembinaan masyarakat layak dijadikan acuan bagi manajemen lembaga pendidikan untuk menciptakan individu-individu yang memiliki keterampilan menghadapi perbedaan dalam masyarakat. Pelajaran dari masyarakat Madinah dapat diimplementasikan dalam lembaga pendidikan dengan beberapa cara, antara lain menetapkan orientasi lembaga berdasarkan prinsip persatuan, menjalankan organisasi sekolah berdasarkan toleransi dan solidaritas, dan mendukung proses pendidikan dan pengajaran dalam penanaman multikultural. nilai-nilai. Kontekstualisasi Nilai Madinah masyarakat di Indonesia belum dilaksanakan secara besar-besaran. Dukungan dari pemerintah untuk pemajuan nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme sangat minim. Namun, di tingkat akar rumput, banyak sekolah secara mandiri mengupayakan internalisasi nilai multikultural pada siswa, seperti yang ditunjukkan oleh SMA SPI, di Jawa Timur, dan SMA Budi Mulia Dua, di Yogyakarta. 10 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST keterikatan emosional seperti persahabatan, yang mengarah pada peningkatan kohesi sosial antara siswa yang berbeda agama dan suku. Toleransi dan nilai-nilai multikultural menjadi muatan utama ajaran agama. Ajaran agama menekankan pada perdamaian dan pemahaman agama yang moderat. Islam lebih menekankan pada pelaksanaan ajarannyaRahmatan lil alamin (rahmat bagi semua ciptaan). ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA REFERENSI Abu Nimer, Muhammad. 2003.Non-Kekerasan dan Pembangunan Perdamaian dalam Islam: Teori dan Praktek. Gainesville: Pers Universitas Florida. Abu Nimer, Muhammad, dan Ilham Nasser. 2017. “Membangun Pendidikan Perdamaian dalam Islam Konteks Pendidikan.” Tinjauan Internasional tentang Pendidikan 63 (2): 153–167. https://doi.org/10.1007/s11159-017-9632-7. Anas, Ahmad, dan Hendri Hermawan Adinugraha. 2017. “Dakwah Nabi Muhammad Terhadap Masyarakat Madinah Perspektif Komunikasi Antarbudaya” [Dakwah Nabi Muhammad Terhadap Masyarakat Madinah Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya]. Ilmu Dakwah: Jurnal Akademik untuk Kajian Homiletik [Studi Dakwah: Jurnal Akademik untuk Kajian Homiletik] 11 (1): 53–72. https://doi.org/ 10.15575/idajhs.v11i1.1356. Armstrong, Karen. 2002.Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis [Muhammad the Nabi, Biografi Kritis]. Diterjemahkan oleh Sirikit Syah. Surabaya, Indonesia: Risalah Gusti. Aslan, Ednan. 2019. “Sebuah Catatan Pluralistik Pendidikan Keagamaan dalam Keagamaan Islam Pendidikan: Fundamental dan Perspektif.” Pendidikan agama 114:436–442. https:// doi.org/10.1080/00344087.2019.1631956. Aydin, M. evki. 1996. “Muallim Peygamber (Nabi sebagai Guru).”Erciyes niversitesi lahiyat Fakültesi Dergisi [Jurnal Fakultas Keilahian Universitas Erciyes] 14 (9): 57–64. http://isamveri.org/pdfdrg/D00038/1996_9/1996_9_AYDINMS.pdf. Baidhawy, Zakiyuddin. 2005.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural [Multikultural Pendidikan Agama Wawasan]. Jakarta: Erlangga. — — — . 2007. “Membangun Kerukunan dan Perdamaian melalui Pendidikan Agama Berbasis Teologi Multikulturalis: Sebuah Alternatif untuk Indonesia Kontemporer.”Jurnal Pendidikan Agama Inggris 29 (1): 15–30. https://doi.org/10.1080/01416200601037478. Bella, Robert N.2000.Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama (Esei-Esei Tentang Agama di Dunia Modern) [Beyond Belief: Rediscovering Religion (Esai tentang Agama di Dunia Modern). Diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam. Jakarta: Paramadina. Dawood Shah, S. 2013. Nabi Muhammad SAW sebagai Guru. Lahore: Penerbit Darussalam. Donnelly, C., dan J. Hughes. 2006. “Kontak, Budaya dan Konteks: Bukti dari Ras Campuran Sekolah Iman di Irlandia Utara dan Israel.” Pendidikan Perbandingan 42 (4): 493–510. https:// doi.org/10.1080/03050060600988395. Everet, Helen. 2018.Sekolah Iman, Toleransi dan Keberagaman: Menjelajahi Pengaruh Edukasi Sikap Toleransi Siswa. Cham, Swiss: Palgrave Macmillan. Fanani, Ardian. 2017. “Ada SMP Negeri Tolak Siswa Non Muslim, Bupati Banyuwangi Marah” [SMP Tolak Siswa Non Muslim, Bupati Banyuwangi Marah]. Detik News, Diakses November 2019. https://news.detik.com/berita/d-3562202/ada-smpnegeri-tolak-siswa-non-muslim-bupati-banyuwangi-marah. Fannani, Bakhrudin, Ilham Tohari, dan Syamsul Arifin. 2018. “Menyemai Pendidikan Agama Anti Konflik Dan Kekerasan Di Tengah Kehidupan Masyarakat Multikultural” [Mempromosikan Pendidikan Agama Anti Konflik dan Kekerasan dalam Komunitas Multikultural]. NUR EL-ISLAM : Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan [NUR EL-ISLAM: Jurnal Pendidikan Agama dan Sosial] 5 (2): 1–25. https://ejurnal.iaiyasnibungo.ac.id/index.php/nurelislam/article/view/106. 11 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Allport, Gordon W. 1954. Sifat Prasangka. Cambridge: Addison-Wesley. JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN Farha, Ciciek. 2010. 'Merayakan Indonesia Dari Dunia Pendidikan (Celebrating Indonesia from .) Farikhatin, Anis. 2016. “Berhadapan Dengan Prasangka: Merespons Isu Sesat Ahmadiyah Terhadap Sekolah PIRI I Yogyakarta” [Menangani Prasangka: Menanggapi Isu Sesat Ahmadiyah terhadap Sekolah PIRI I Yogyakarta]. Di dalamMengurus Keragaman Di Sekolah: Pengurusan Dan Pengalaman Guru [Mengelola Keberagaman di Sekolah: Gagasan dan Pengalaman Guru], diedit oleh Suhadi, 1– 16. Yogyakarta: Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada. Fauzan. 2019. “Polemik 3 Sekolah Negeri, Bikin Aturan Siswa Wajib Berpakaian Muslim” [Polemik di 3 Sekolah Negeri, Buat Aturan Siswa Wajib Pakai Baju Muslim].liputan6.com. https://www.liputan6.com/regional/read/3997879/polemik-3-sekolah- negeri-bikin-aturan-siswa-wajib-berpakaian-muslim. Halili, dan Bonar Tigor Naipospos. 2015.Laporan KKB Setara Institute: Dari Stagnasi Menjemput Harapan Baru: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Indonesia Tahun 2014 [Laporan Setara Institute: Dari Stagnasi Menjadi Harapan Baru; Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2014]. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hardiman, F.Budi. 2009. “Nurcholish Madjid Dan Akar Religius 'Masyarakat Warga” [Nurcholish Madjid dan Akar Keagamaan Masyarakat Sipil]. Titik-Temu, Jurnal Dialog Peradaban [Titik-Temu, Jurnal Dialog Peradaban] 1 (2): 31–51. http:// nurcholishmadjid.net/titik-temu-vol-1-no-2-januari-juni-2009/. Hart, Michael H.2000. The 100: Peringkat Orang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Secaucus, NJ: Benteng. https://www.biblio.com/book/100-ranking-mostinfluentialpersons-history/d/558738915. Hasyim, F. 2016. “Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural sebagai Upaya Kesatuan Belajar” dalam Keberagaman.”Jurnal Global Al Thaqafah6 (2): 47–58. https://doi.org/10.7187/GJAT11320160602. Jani, Haza Hanurhaza Md, Nor Zalina Harun, Mazlina Mansor, dan Ismawi Zen. 2015. “A Tinjauan Piagam Madinah dalam Menanggapi Masyarakat Heterogen di Malaysia.”Ilmu Lingkungan Procedia28: 92–99. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.07.014. Kemendigbud, RI 2016. “Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter—Penguatan Pendidikan Karakter” [Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter—Penguatan Pendidikan Karakter]. Diakses November 2019. https://cerdasberkarakter. kemdikbud.go.id/?page_id=132. Luth, Tohir, Moh. Anas Kholis, dan Moh. Zainullah. 2018.Diskursus Bernegara Dalam Islam [Memiliki Wacana Kenegaraan dalam Islam]. edisi pertama Malang, Indonesia: UB Press. Lynch, Kathleen, dan John Baker. 2005. “Kesetaraan dalam Pendidikan: Kesetaraan Kondisi Perspektif."Teori dan Penelitian dalam Pendidikan3 (2): 131–64. https://doi.org/10.1177/1477878505053298. Ma'rifah, Indriyani. 2016. “Belajar Islam Inklusif Dari Bangku Sekolah: Menilik Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMA Budi Mulia Dua Yogyakarta” [Belajar Islam Inklusif dari Sekolah: Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Budi Mulia Dua Yogyakarta]. Di dalam "Mengurus Keragaman Di Sekolah: Pengurusan Dan Pengalaman Guru” [Mengelola Keberagaman di Sekolah: Gagasan dan Pengalaman Guru], diedit oleh Suhadi. Yogyakarta: Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada. Maarif, Nurul H. 2017. Samudra Keteladanan Muhammad [Lautan Teladan Muhammad]. Tangerang, Indonesia: Alvabet. 12 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Dunia Pendidikan)'. Disampaikan pada Pemantapan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Jakarta. ALMUFADDA ET AL.: MASYARAKAT MEDINA Madjid, Nurcholish. 2009. “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi” [Mewujudkan Masyarakat Sipil di Era Reformasi]. Titik-Temu, Jurnal Dialog Peradaban [TitikTemu, Jurnal Dialog Peradaban] 1 (2): 15–30. http://nurcholishmadjid.net/titiktemuvol-1-no-2-januari-juni-2009/. Munir Mulkhan, Abdul. 1993.Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Dan Dakwah [Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah]. Yogyakarta: Sipres. dan Radikalisme” [Survei Wahid Foundation: Indonesia Rawan Intoleransi dan Radikalisme]. Diakses Desember 2019.KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/13363111/survei.wahid.foundation.indo nesia.masih.rawan.intoleransi.dan.radikalisme. Nuryatno, M.Agus. 2011. “Pendidikan Islam dalam Masyarakat Pluralistik.”Al-Jami'ah: Jurnal Studi Islam 49 (2): 411–31. https://doi.org/10.14421/ajis.2011.492.411-431. Osman, Mohamed Nawab Mohamed, dan Prashant Waikar. 2018. “Ketakutan dan Kebencian: Tidak Beradab Islamisme dan Gerakan Anti-Ahok Indonesia.” Indonesia 106 (1): 89–109. https:// doi.org/10.1353/ind.2018.0016. Rahman, Md.Mizanur. 2018. “Pendidikan, Metode dan Teknik Pengajaran di Usia Dini Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. IJRDO—Jurnal Penelitian Pendidikan 3 (3). https://www.ijrdo.org/index.php/er/article/view/1876. Republika. 2014. “40 Sekolah Larang Berjilbab” [40 Sekolah Melarang Hijab]. Diakses November 2019,https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/02/26/n1krlz40-sekolah-larang-berjilbab. Rohmah, Siti, dan Anas Budiharjo. 2018.Islam Dalam Narasi Sejarah Dan Peradaban [Islam dalam Narasi Sejarah dan Peradaban]. Malang, Indonesia: UB Press. Rohmah, Siti, M.Syukri Ismail, Moh. Anas Kholish, dan Mona Novita. 2018. “The Rekontekstualisasi Pendidikan Perdamaian Islam: Kajian Teori Muhammad Abu-Nimer dalam Konteks Indonesia.” Kerja Lapangan dalam Agama 13 (2): 183–202. http:// www.doi.org/10.1558/firn.37545. Saeed, Riaz Ahmad, Sumayyah Rafique, Naseem Akhter, Zahid Lateef, Abu Bakar Bhutta, and Hafiz Muhammad Naim. 2018. “Praktik Nabi Muhammad (SAW) Mendirikan Masyarakat Pluralistik: Kajian Piagam Madnah Dalam Konteks Global Kontemporer.”Jurnal Kajian Budaya dan Agama6 (9): 548–60. https://doi.org/10.17265/2328-2177/2018.09.004. Sarwat, Ahmad. 2018.Madinah Era Kenabian: Kajian Kritis Sirah Nabawiyah Madinah Dalam Agama, Sosial Dan Politik [Madinah di Era Nabi: Kajian Kritis Sirah Nabawiyah Madinah dalam Agama, Sosial dan Politik]. Jakarta: Penerbitan Rumah Fiqih. Suhadi, Mohamad Yusuf, Marthen Tahun, Budi Asyhari, and Sudarto. 2015.Politik dari Pendidikan Agama: Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah. Yogyakarta: Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya/Sekolah Pascasarjana CRCS, Universitas Gadjah Mada. Varshney, Ashutosh. 2002.Konflik Etnis dan Kehidupan Kewarganegaraan: Hindu dan Muslim di India. New Haven, CT: Yale University Press. Watt, William Montgomery. 1981. Muhammad di Madinah. Oxford: Pers Universitas Oxford. Yildirim, Yetkin. 2009. “Piagam Madinah: Kasus Sejarah Resolusi Konflik.”Islam dan Hubungan Kristen-Muslim20 (4): 439–450. https://doi.org/10.1080/09596410903194894. 13 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Nur Hakim, Rakhmat. 2016. “Yayasan Survey Wahid: Indonesia Masih Rawan Intoleransi JURNAL INTERNASIONAL STUDI PENDIDIKAN ANTAR DISIPLIN TENTANG PENULIS Asma Muhammad S. Almufadda: Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia Adel Ibrahim A. Alturki: Associated Professor Departemen Studi Islam Universitas Majmaah, Arab Saudi Siti Rohmah: Asisten Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia 14 Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Bakhruddin Fannani: Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia Jurnal ini menyajikan studi yang mencontohkan praktik disiplin dan interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial. Selain artikel dari jenis ilmiah tradisional, jurnal ini mengundang studi kasus yang berbentuk presentasi praktik—termasuk dokumentasi praktik yang terlibat secara sosial dan eksegese yang menganalisis efek dari praktik tersebut. Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner adalah jurnal ilmiah peer-reviewed. ISSN 2327-011X Diunduh oleh Bakhruddin Fannani pada Kam 17 Des 2020 pukul 20:14:16 CST Jurnal Internasional Studi Pendidikan Interdisipliner adalah salah satu dari enam jurnal yang berfokus pada tema yang mendukung Jaringan Penelitian Ilmu Sosial Interdisipliner. Jaringan Penelitian terdiri dari koleksi jurnal, cetakan buku, konferensi, dan komunitas online.