Uploaded by nay libur

RIZKI ANDRIAN-FEB

advertisement
ANALISIS PENERAPAN TAX AMNESTY DALAM RANGKA
MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DAN PENERIMAAN
PAJAK
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Rizki Andrian
NIM: 109082000095
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi

Nama
: Rizki Andrian

Tempat Tanggal Lahir
: Tangerang, 21 Desember 1991

Jenis Kelamin
: Laki-laki

Agama
: Islam

Alamat
: Jl. Winong No.5A RT. 003/006 Sudimara
Timur, Ciledug Kota Tangerang

Agama
: Islam

Telepon
: 08990055929

E-mail
: Rzki_24@live.com
II. Pendidikan Formal
1997-2003: SD Negeri 11 Tangerang
2003-2006: SMP PGRI 2 Ciledug
2006-2009: SMA Negeri 12 Tangerang
2009-2016: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi
vi
THE ANALYSIS OF TAX AMNESTY IMPLEMENTATION IN ORDER TO
IMPROVE TAXPAYERS COMPLIANCE AND TAX REVENUE
ABSTRACT
The purpose of this study was to describe the application of tax amnesty in
a few countries in the world and also illustrates how the application of the tax
amnesty in Indonesia starting from the application of the first until the last time
applied. The method of analysis used in this research is descriptive analysis
method to describe how the implementation of tax amnesty in various countries
around the world and in Indonesia. The data collection is done with archival
methods for analysis and provides an overview of the application of the tax
amnesty.
The results showed that Each country has different objectives in
implementing policies and tax amnesty as well as each country has a procedure
or application characteristics are different depending on what the purpose of the
policy was implemented . The success rate of the tax amnesty depends on the
purpose of the policy implementation.
Keywords: Tax Amnesty, Tax Amnesty Implementation Analysis
vii
ANALISIS PENERAPAN TAX AMNESTY DALAM RANGKA
MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DAN PENERIMAAN
PAJAK
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan tax
amnesty di beberapa negara di dunia dan juga menggambarkan bagaimana
penerapan tax amnesty di Indonesia mulai dari penerapan yang pertama kali
hingga yang terakhir kali diterapkan. Metode analisis penelitian yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif dengan mendeskripsikan bagaimana penerapan
tax amnesty di berbagai negara di dunia dan di Indonesia. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode archival untuk kemudian dianalisis dan memberikan
gambaran mengenai penerapan tax amnesty.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tiap-tiap negara memiliki tujuan
yang berbeda-beda dalam penerapan kebijakan tax amnesty dan juga tiap negara
memiliki prosedur atau karakteristik penerapan yang berbeda pula tergantung dari
apa tujuan kebijakan itu diterapkan. Tingkat keberhasilan dari tax amnesty
tergantung dari tujuan diterapkannya kebijakan tersebut.
Kata Kunci: Tax Amnesty, Analisis Penerapan Tax Amnesty
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Puji syukur Alhamdulillah, penulis persembahkan kehadirat Allah SWT
yang senantiasa memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Penerapan Tax Amnesty
Dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dan Penerimaan
Pajak”.
Dengan selesainya skripsi ini, bagi penulis merupakan sebuah titik
kulminasi perjuangan yang selama ini ditempuh dalam rangka memperoleh gelar
sarjana. Oleh karena itu, penulis berharap dapat terus melanjutkan perjuangan
dalam hal mengembangkan diri dan menggapai cita-cita pada jenjang berikutnya.
Dengan skripsi ini pula, penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu akuntansi pada umumnya, dan mahasiswa Akuntansi
khususnya.
Penulis meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan ketetapan
Allah SWT., namun penyusunan skripsi ini tidak lepas dari orang-orang di sekitar
penulis yang begitu banyak memberi bantuan serta dukungan pada penulis. Untuk
itulah pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Ibu dan Bapak, orang tuaku tercinta. Syukur saya panjatkan kepada Allah
karena terlahir sebagai anak dari Ibu dan Bapak. Beribu-ribu ucapan
terima kasih atas segala curahan kasih sayang, kesabaran, perhatian, do’a
dan motivasi yang telah Ibu dan bapak berikan kepada saya, yang tak akan
pernah bisa saya balas. Hanya Allah yang bisa membalasnya, semoga Ibu
dan bapak selalu ada dalam rahmat Allah, aamin. Dan juga terima kasih
kepada Ibu dan Bapak yang telah mempercayakan penulis hingga saat ini
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Rini, Ak., CA., selaku dosen pembimbing I dalam penulisan
skripsi ini yang senantiasa dengan tulus, ikhlas, sabar dan kasih sayangnya
ix
memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
3. Ibu Yessi Fitri, SE., M.Si., Ak., CA., selaku dosen pembimbing II dan juga
ketua jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis dalam penulisan
skripsi ini yang telah tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik
dan saran yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis.
5. Bapak Dr. Amilin, SE.AK.,M.Si, CA selaku wakil dekan bidang akademik yang
telah memotivasi penulis dan selalu mengingatkan penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
6. Segenap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang tidak dapat disebutkan
satu per satu atas ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.
7. Segenap karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan
pelayanannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Keluarga besarku, kedua kakak saya. Terima kasih atas semua perhatian,
motivasi dan do’anya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat saya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas
dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman dan sahabat kelas Akuntansi C, yang tidak bisa penulis
sebut satu per satu. Terima kasih telah terus mendukung penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman angkatan 2009 akuntansi yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu, terima kasih atas semua persahabatan dan motivasinya.
12. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu semoga semua bantuan yang
telah kalian berikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
x
karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan kritik
yang membangun untuk penulisan skripsi ini dari semua pihak.
Jakarta, Maret 2016
(Rizki Andrian)
xi
DAFTAR ISI
Keterangan
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF.......................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI........................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................... vi
ABSTRACT................................................................................................... vii
ABSTRAK.................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR................................................................................. ix
DAFTAR ISI............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
BAB I
xvi
PENDAHULUAN............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah................................................ 1
B. Perumusan Masalah…….............................................. 9
C. Tujuan Penelitian.......................................................... 9
D. Manfaat Penelitian…………………………………… 10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.................................................... 11
A. Kerangka Teori............................................................. 11
1. Pengertian Pajak....................................................... 11
2. Fungsi Pajak………................................................. 14
xii
3. Pajak Sebagai Penerimaan Negara…………………. 15
4. Kepatuhan Perpajakan.............................................. 23
5. Sanksi Perpajakan…………………………………. 25
6. Tax Amnesty………………………………………. 30
B. Penelitian Terdahulu..................................................... 36
C. Kerangka Pemikiran..................................................... 39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN....................................... 42
A. Ruang Lingkup Penelitian.............................................. 42
B. Jenis Penelitian............................................................... 44
C. Data dan Sumber……………………………………… 45
D. Metode Pengumpulan Data............................................ 45
E. Metode Analisis Data.................................................... 46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................... 48
A. Gambaran penerimaan tax Amnesty di Beberapa Negara
Asing di Dunia………………………………………... 48
1. Tax Amnesty di Argentina........................................ 49
2. Tax Amnesty di Afrika Selatan................................. 54
3. Tax Amnesty di India……………………………… 62
4. Tax Amnesty di Perancis………………………….. 63
5. Tax Amnesty di Kolombia……………………….... 64
6. Tax Amnesty di Irlandia…………………………… 65
B. Perbandingan Penerapan di Beberapa Negara.............. 66
C. Penerapan Tax Amnesty di Indonesia……………….... 69
1. Program Pengampunan Pajak 1964………………. 69
2. Program Pengampunan Pajak 1984………………. 74
3. Program pengurangan atau sanksi administrasi Tahun
2008 (sunset policy)................................................. 77
4. Program Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP)
2015……………………………………………..... 79
xiii
D. Gambaran Umum Kebijakan Tax Amnesty Yang Akan
Diterapkan di Indonesia……………………………... 83
BAB V
PENUTUP........................................................................... 85
A. Kesimpulan.................................................................... 85
B. Implikasi........................................................................ 86
C. Saran.............................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 88
xiv
DAFTAR TABEL
No.
Keterangan
Halaman
2.1
Hasil Penelitian Terdahulu……………………………….............. 36
4.1
Perbandingan Penerapan Tax Amnesty........................................... 76
4.2
Penerapan Tax Amnesty di Indonesia…………………………….. 81
xv
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan
2.1
Halaman
Skema Kerangka Pemikiran..................................................................
xvi
41
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam upaya pemerintah untuk mengefektifkan pengeluaran pemerintah
ke arah pengeluaran yang lebih produktif diimbangi dengan upaya memperoleh
pendapatan dari sektor pajak (Rasyid dan Budoyo, 2016). Rasyid dan Budoyo
dalam artikelnya menyatakan kepatuhan penduduk Indonesia dalam membayar
pajak memang masih sangat rendah. Dari 240 juta lebih penduduk Indonesia,
jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya 11% dari total penduduk Indonesia.
Dari jumlah tersebut, hanya sepertiganya yang telah melaporkan SPTnya atau
kurang dari 10 juta penduduk yang telah melaporkan kewajiban pajaknya.
Kusuma (2015) menyatakan bahwa pemerintah melalui Direktorat Jendral
Pajak (DJP) dan Kementrian Keuangan menargetkan pajak tahun 2016 sebesar
Rp 1.350 triliun. Pemerintah meyakini, target tersebut bisa tercapai dengan
mengandalkan setoran dari pengampunan pajak atau tax amnesty. Dengan
alasan tersebut, pemerintah meyakini target tersebut bisa tercapai. Menkeu
Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam artikel yang ditulis oleh Kusuma
(2015) menyebutkan beberapa alasan mengapa pemerintah begitu yakin dengan
program tax amnesty ini. Pertama, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) perubahan akan diajukan di triwulan satu selama masa sidang supaya
cocok waktunya. Kedua, sasaran penerimaan APBN perubahan akan dilihat
1
dari realisasi 2015 dan operasionalisasi dari tax amnesty ini akan sangat
bergantung dari keadaan yang telah disebutkan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, Direktorat Jenderal Pajak dituntut
untuk dapat mencapai penerimaan negara yang ditargetkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Pencapaian target penerimaan pajak yang telah
disebutkan sebelumnya bukan merupakan suatu hal yang mudah ditengah
situasi ekonomi global yang kurang kondusif yang berpengaruh terhadap
perkonomian Indonesia serta jatuhnya nilai mata uang Rupiah terhadap dollar
AS.
Dengan semakin beratnya beban pemerintah dalam pemenuhan target
penerimaan pajak yang harus dicapai tersebut, pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jendral Pajak perlu menerapkan langkah-langkah yang tepat dalam
memenuhi pencapaian target dari penerimaan pajak tersebut. Salah satu
langkah khusus yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan kebijakan
tax amnesty atau yang lebih dikenal sebagai program pengampunan pajak.
Usulan tax amnesty ini sebenarnya pernah disampaikan pada pertengahan
2008, namun belum terealisasi karena mendapat tentangan dari berbagai pihak.
Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada saat itu belum
menanggapinya dengan antusias mengingat kemungkinan pada waktu itu posisi
neraca pembayaran negara masih cukup baik. Saat ini merupakan momentum
yang tepat untuk mewujudkan kebijakan yang telah cukup lama tertunda
(Syadullah, 2015).
2
Pengampunan pajak atau tax amnesty merupakan salah satu cara yang
inovatif untuk meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan tanpa
menambah beban baru kepada wajib pajak. Secara etimologi, tax amnesty
berasal dari bahasa Yunani yang berbunyi “amnestia” yang berarti lupa.
Menurut Leon Ludkin (1971) menjelaskan:
“…if a taxpayer come forward within a certain number of days and
makes a complete disclosure of his liability, he can escape a penalty
and sometimes even interest such action is taken in the belief that, as a
result of publicity about the new administrative enforcement program,
taxpayers will be torn beetwen the fear of just retribution and the
enormous liability they have accumulated for the past misdeeds. If the
laibility could be reduced to reansonable proportions, the government
reasons, taxpayers would be happy to come forward and cleanse
themselves of their sins”.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah jika seorang wajib pajak datang
kemudian dan membuat pengungkapan lengkap kewajiban, ia dapat dibebaskan
dari denda dan kadang-kadang bahkan bunga, tindakan tersebut diambil dalam
keyakinan bahwa sebagai akibat dari diterbitkannya tentang penegakan
Program administrasi yang baru, wajib pajak tidak akan merasa takut
mengenai retribusinya dan kewajiban/hutang besar mereka yang telah
menumpuk dari kejahatan masa lalu. Jika kewajiban bisa dikurangi menjadi
proporsi yang wajar oleh pemerintah, maka wajib pajak akan senang untuk
maju dan membersihkan diri dari dosa-dosa masa lalu mereka. Jika
dihubungkan dengan kebijakan tax amnesty yang akan diberlakukan di
Indonesia, tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah yang memberikan
kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan perbaikan atas kekurangan
pembayaran pajak yang terutang di masa lalu dengan membayar seluruh
3
kekurangan pokok pajak tetapi dibebaskan dari pengenaan sanksi bunga, denda
ataupun sanksi pidana fiskal (tax crime).
Saat ini, menciptakan budaya membayar pajak secara sukarela dan dalam
jangka waktu yang berkelanjutan menjadi prioritas utama di setiap negara demi
meningkatkan pendapatan negara dan memakmurkan negara. Dalam hal ini
pemerintah memerlukan adanya suatu keharmonisan antara otoritas pajak
dalam hal ini fiskus dan wajib pajak agar sistem dapat berjalan secara
semestinya. Jika tidak demikian, dapat menyebabkan masalah kepatuhan wajib
pajak yaitu masalah perbedaan persepsi antara wajib pajak, petugas pajak dan
pemerintah. Dengan adanya masalah persepsi ini, akan muncul para wajib
pajak yang tidak patuh. Untuk mengatasi hal seperti ini, maka dari itu
pemerintah akan mengeluarkan kebijakan tax amnesty yang diaharapkan akan
memperbaiki
kepatuhan
dan
dapat
meningkatkan
penerimaan
pajak
kedepannya.
Ada beberapa pertimbangan selain hal yang telah dipaparkan sebelumnya
mengenai mengapa pemerintah dianggap perlu mengeluarkan kebijakan tax
amnesty ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Karena adanya kegiatan ekonomi bawah tanah atau yang sering dikenal
dengan underground economy (Rasyid dan Budoyo, 2016). Berbicara
mengenai ekonomi bawah tanah atau underground economy, menurut
Enste dan Schneider (2002) dalam artikel Erwin Silitonga (2012),
besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju dapat
4
mencapai 14-16% PDB, sedang di negara berkembang dapat mencapai 3544% PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan
sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT)
Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak
(tax evasion). Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang
harus dipikul oleh para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi
lebih berat, dan hal ini mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan dari
pengertian ekonomi bawah tanah atau underground economy merupakan
suatu
kegiatan
ekonomi
yang
sengaja
disembunyikan
untuk
menghindarkan pembayaran pajak. Kegiatan ekonomi bawah tanah
umumnya berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Kegiatan ini mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul
oleh para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan
hal ini mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Peningkatan kegiatan
ekonomi bawah tanah yang dibarengi dengan penyelundupan pajak ini
sangat merugikan negara karena berarti hilangnya uang pajak yang sangat
dibutuhkan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, dan
program-program pengentasan kemiskinan lainnya.
2. Mendorong repatriasi modal atau asset. Dalam konteks pelaporan data
harta kekayaan wajib pajak, pemberian pemberian tax amnesty bertujuan
untuk mengembalikan modal yang berada di luar negeri tanpa perlu
membayar pajak atas modal tersebut. Pemberian pengampunan ini
5
dipandang perlu karena untuk memudahkan otoritas pajak dalam meminta
informasi tentang data kekayaan wajb pajak kepada bank dalam negeri
(Darussalam, 2016).
3. Untuk meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek (Darussalam,
2016). Mengapa disebutkan penerimaan dalam jangka pendek? Karena
Darussalam (2016) dalam artikelnya menulis bahwa program tax amnesty
ini hanya sekali saja dan mungkin saja wajib pajak kembali kepada
perilaku ketidak patuhannya setelah program ini berakhir. Tentu saja jika
keadaannya seperti itu, dalam jangka panjang tax amnesty tidak bisa
memberikan banyak pengaruh permanen terhadap penerimaan pajak
selanjutnya jika tidak dilengkapi dengan pengawasan yang lebih ketat dari
sebelumnya.
Selain untuk meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak, tujuan tax
amnesty juga bisa dilakukan untuk memperluas basis data perpajakan di
Indonesia melalui peningkatan jumlah Wajib Pajak karena dengan adanya
pengampunan pajak, diharapkan subjek pajak orang pribadi maupun badan
yang telah memenuhi persyaratan objektif tetapi belum terdaftar pada sistem
administrasi Direktorat Jenderal Pajak akan tertarik untuk mendaftarkan diri
menjadi Wajib Pajak.
Selain itu,
kebijakan pengampunan pajak juga ditujukan untuk
memperkuat dan memperluas basis data perpajakan dalam sistem administrasi
perpajakan karena salah satu syarat untuk memperoleh insentif dalam program
pengampunan pajak ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk mengungkapkan dan
6
melaporkan penghasilan, biaya, maupun harta kekayaannya sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Hal ini memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak
atau calon Wajib Pajak yang sebelumnya tidak patuh (tax evaders) menjadi
Wajib Pajak yang patuh (honest taxpayers).
Dengan semakin besarnya basis pemajakan dan semakin kuatnya basis
data perpajakan diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela
Pembayar Pajak (taxpayer’s voluntarily compliance) di masa yang akan datang
sehingga akan menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya penerimaan
pajak.
Di beberapa negara, pengampunan pajak (tax amnesty) dijadikan sebagai
salah satu sarana untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak (tax
revenue) secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Program tax
amnesty tersebut dilaksanakan karena semakin parahnya upaya penghindaran
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Salah satu negara yang telah
melaksanakan program tax amnesty adalah Afrika Selatan.
Dalam tax amnesty yang dilakukan di Afrika Selatan, insentif diberikan
agar wajib pajak tertarik ikut serta dalam program ini dengan cara
menghapuskan denda dan bunga pajak terutang atau pembayaran tebusan
dengan tarif yang rendah. Bagi wajib pajak yang tidak mau berpartisipasi
dalam program ini, pemerintah memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman,
misalnya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas tax audit, strategi
pemilihan target penyidikan yang tepat dan transparansi hasil penyidikan serta
7
sanksi pidana pajak sementara sebelum program tax amnesty diumumkan.
Afrika Selatan telah melaksanakan program tax amnesty sebanyak tiga kali,
yaitu pada 1995, 1996, 2003 dan terakhir kali Afrika Selatan mengeluarkan
kebijakan Volunteer Disclosure Programe (Ragimun, 2014).
Tax amnesty di Indonesia sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru lagi.
Pada tahun 1984 di Indonesia juga pernah diterapkan tax amnesty berdasarkan
pada keputusan presiden no. 24 tahun 1984. Namun pelaksanaannya tidak
efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak diikuti dengan
reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh. Disamping itu
peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi sebagai pelengkap
saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius. Pada saat itu
penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor minyak dan gas
bumi. Berbeda dengan sekarang, penerimaan pajak merupakan sumber
penerimaan dominan dalam struktur APBN Pemerintah Indonesia.
Saat ini dalam rangka sebagai bentuk dari reformasi perpajakan, salah satu
agenda pemerintah adalah menerapkan pengampunan pajak atau tax amnesty
kembali yang diharapkan bisa memperluas basis data wajib pajak baik pribadi
maupun badan dan diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan
juga meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan khususnya untuk
kedepannya. Melalui pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan
sebelumnya pemerintah akan menerapkan tax amnesty. Dan sebagai dasar dari
analisis penerapan pengampunan pajak kedepannya, penulis ingin menganalisis
penerapan tax amnesty di Indonesia dan negara lainnya di dunia dalam rangka
8
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan pendapatan negara pada sektor pajak
di masa kedepannya.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini mencoba memahami lebih dalam mengenai kebijakan
pengampunan pajak yang diterapkan di Indonesia sebelumnya dan juga
penerapan kebijakan pengampunan pajak di beberapa negara di Dunia. Dari hal
tersebut penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan pokok permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan tax amnesty di beberapa negara asing di Dunia dari
masa ke masa?
2. Bagaimana penerapan tax amnesty di Indonesia dari masa ke masa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi
ini, penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memberikan gambaran mengenai penerapan tax amnesty di beberapa
negara di Dunia,
2. Untuk memberikan gambaran mengenai penerapan tax amnesty di
Indonesia yang telah diterapkan sebelumnya,
3. Membandingkan penerapan tax amnesty di Indonesia yang telah diterapkan
sebelumnya dengan tax amnesty yang diterapkan di luar negeri.
9
D. Manfaat Penelitian
Jika dilihat dari manfaatnya, penelitian ini dapat dipandang dari dua sisi
yaitu:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sumbangan
pengetahuan yang lebih luas mengenai tax amnesty yang diterapkan di luar
negeri dan di Indonesia sendiri. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan penjelasan yang mendalam mengenai kebijakan tax amnesty.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Untuk pemerintah sebagai bahan perbandingan dari beberapa negara
yang telah menerapkan peraturan pengampunan pajak atau tax amnesty ini
sehingga pemerintah bisa mengambil contoh dari penerapan kebijakan
tersebut. Demikian juga dapat diketahui tantangan, peluang, kelemahan dan
keunggulan bila kebijakan ini diterapkan. Dengan demikian dapat diketahui
strategi dan langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Pajak
Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan adalah kegiatan
yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil dan spiritual. Untuk dapat
merealisasikan tujuan tersebut harus memperhatikan masalah pembiayaan
pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian bangsa atau
negara dalam hal pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk
membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Beberapa ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian
pajak yang dikemukakan oleh Smith, Menurut Smith (1908), pajak merupakan
“a contribution from the citizen to support of the state”. Sedangkan
Sommerfeld (1983) mendefinisikan pajak sebagai
“any nonpenal yet compulsory transfer of resources from the
private to public sector, levied on the basic of predetermined
criteria and without receipt of specific benefit of equal value, in
order to accomplish some of a nation’s economic and social
objectives.”
Dan Bastable (1993) menyatakan bahwa pajak adalah:
11
“a compulsory contribution of the wealth of a person or body of
persons for service of the public powers.”
Pengertian pajak menurut Edwin R.A Seligman (1925) menyatakan bahwa:
“Tax is compulsory contribution from the person to the
government to defray the expenses incurred in the common
interest of all, without reference to special benefit conferred.”
Dari dalam negeri, Andriani dalam (Santoso, 1998). Menyebutkan bahwa:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yangterutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan,dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
ditunjuk, danyang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumberhubung dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan.”
Dan juga Soemitro (1994) menyatakan bahwa pajak merupakan,
“iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor
partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbal balik (tegen
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum.”
Sementara menurut Djajaningrat, pajak adalah
“kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada
negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan
yang memberika kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagi hukuman,
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta
dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.”
Sedangkan menurut Undang-undang no. 6 tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan undang-undang no. 16 tahun 2009 tentang ketentuan umum
dan tata cara perpajakan menemukakan bahwa pajak merupakan kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
12
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapakan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakuran rakyat.
Dari beberapa definisi tentang pengertian pajak sebelumnya di atas, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa pajak memiliki beberapa aspek dasar yang
meliputi:
a. Pajak berdasarkan Undang-Undang,
b. Bersifat memaksa,
c. Tidak ada kontraprestsi yang langsung dapat diarasakan oleh wajib
pajak,
d. Pemungutan dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat maupun
daerah, dan
e. Pajak
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum.
Dari berbagai definisi mengenai pajak, terdapat beberapa tanggapan dari para
pakar dan praktisi perpajakan. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak
sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang
ini menurut hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum
perdata dan hukum adat. Di sisi lain, pemenuhan kewajiban pajak akan
berdampak pada aspek perekonomian, dari mikro ekonomi hingga makro
ekonomi. Sehingga apabila anggota masyarakat memenuhi kewajiban
13
pajaknya dengan baik, mekanisme ekonomi dalam masyarakat akan berjalan
baik.
Sementara ini, Harahap (2004) mengkritik pemahaman dasar tentang
pajak dengan mengungkap bahwa definisi pajak dan implementasinya perlu
dibenahi dengan upaya agar kesadaran moral dan aspek ketuhanan dalam
membayar pajak disuntikkan pada kesadaran “sekuler” perpajakan yang lebih
mengedepankan hubungan kontraktual antara pemerintah dengan rakyat.
2. Fungsi Pajak
Nurmantu (2003) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi budgetair dan regeleren. Pajak berfungsi sebagai budgetair, yaitu pajak
merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin
maupun
pengeluaran pembangunan. Pajak berfungsi untuk mengumpulkan uang pajak
sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku yang pada
waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara
baik yang secara rutin maupun untuk pembangunan dan bila ada sisa (surplus)
akan digunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan funsi pajak sebagai
reguleren merupakan fungsi pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan
kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Meski demikian, dalam pandangan Burton dan Ilyas dalam Setiyaki dan
Amir (2005) terdapat pula fungsi lain dari pajak, yaitu fungsi demokrasi dan
14
fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan
salah satu penjelmaan atau wujud dari sistem gotong-royong, termasuk
kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia.
Sebagai implementasinya, pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan
hak-hak timbal-balik yang meskipun tidak diterima langsung, tetapi diberikan
kepada warga negara pembayar pajak. Demikian selanjutnya, hingga pajak
akan berfungsi redistribusi, yaitu mengimplementasikan unsur pemerataan
dan keadilan dalam masyarakat. Bila pajak diterapkan dengan baik, maka
dapat dipastikan terjadi beberapa dampak pajak terhadap perekonomian dan
berbagai aspeknya.
Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari
pendapatan nasional, konsumsi dan tabungan. Bila seluruh tabungan
digunakan untuk investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun
deflasi. Tetapi, mungkin terjadi tidak semua tabungan digunakan untuk
investasi
sehingga
berakibat
pada
kelesuan
ekonomi,
deflasi
dan
pengangguran. Atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah
investasi, yang berakibat pada kegairahan ekonomi dan inflasi.
3. Pajak Sebagai Penerimaan Negara
Ragimun (2014) menyatakan bahwa Pada awal mulanya pajak hanya
merupakan pemberian sukarela kepada raja dan bukan merupakan paksaan
dan kewajiban seperti pajak yang ada pada zaman sekarang. Pajak mulai
15
menjadi pungutan sejak zaman romawi, pada awal Republik Roma (509-27
SM sudah mulai dikenal beberapa jenis pungutan pajak, seperti censor,
questor dan beberapa lainnya.
Pada zaman Roma tidak disebut pajak seperti zaman sekarang tetapi
disebut publican trubutum, dan pajak pada zaman tersebut merupakan pajak
langsung atas kepala negara. Pada zaman kaisar terkenal Julius Caesar pajak
dikenal dengan nama centesima rerum venalium, yaitu sejenis pajak penjualan
yang besarnya sebesar 1% dari omset penjualan. Di daerah lain Italia dikenal
dengan nama decumae, yaitu pungutan yang besarnya 10%. Sedangkan
beberapa macam fungsi pemerintahan suatu negara antara lain yaitu:
a. Melaksanakan penertiban (law and order).
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
c. Pertahanan.
d. Menegakkan keadilan.
Sumber penghasilan negara bisa berasal dari beberapa sumber, yaitu pajak dan
denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontibusi, royalti, retribusi, iuran,
sumbangan, laba dari badan usaha milik negara dan sumber-sumber lainnya.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau
negara dalam pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
16
Mengingat kembali fungsi pajak yang salah satunya adalah merupakan
fungsi budgetair, yaitu pajak sebagai sumber pendapatan bagi negara. Dalam
melaksanakan fungsinya, pajak sebagai sumber pendapatan bagi negara diatur
oleh dasar hukum yaitu di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa negara dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan
oleh UUD 1945 untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Artinya
negara harus dapat memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya menjadi sumber penerimaan negara.
Sementara dasar hukum pemungutan pajak diatur dalam UUD 1945 pada
pasal 23 ayat (2) “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang”. Selain itu, dalam ketentuan lain tentang pemungutan pajak sehingga
pungutan itu dinilai sah seperti Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang
PPh, UU No. 42 tahun 2009 tentang PPN.
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa setiap pajak yang
dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang. Itu berarti
bahwa setiap pungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan
rakyat yang direpresentasikan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
bentuk undang-undang.
17
Pemerintah pada setiap tahun anggaran menyusun Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk diajukan kepada DPR agar
memperoleh persetujuan dan kemudian diundangkan dalam bentuk undangundang formal APBN. Pajak yang dipungut oleh pemerintah untuk membiayai
kepentingan umum atau kepentingan rakyat itu sendiri. Tentunya ini
mempunyai konsekuensi logis bahwa rakyat berhak untuk mengetahui jumlah
dan bagaimana uang yang dibelanjakan untuk kepentingan umum.
Sistem perpajakan merupakan suatu cara bagaimana perpajakan itu
diberlakukan dan dikelola oleh suatu negara. Waktu seringkali mewarnai
bagaimana sistem perpajakan itu diberlakukan. Perjalanan pemerintahan dari
waktu ke waktu seringkali menentukan sistem perpajakan yang diberlakukan
dan yang mengalami perubahan di sana-sini seiring dengan tuntutan
perkembangan. Di zaman kolonial, ciri dan corak sistem pemungutan pajak
dikenali sebagai berikut:
a.
Bahwa tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada
penguasa pemerintahan, seperti tercermin dalam sistem penetapan
pajak
yang
keseluruhannya
menjadi
wewenang
administrasi
perpajakan. Sistem ini lenih dikenal dengan sebutan “Official
Assessment System”.
b.
Bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat
tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan
oleh aparat perpajakan. Hal ini mengakibatkan Wajib Pajak kurang
18
mendapat
pembinaan
dan
bimbingan
terhadap
kewajiban
perpajakannya dan kurang diikuti dalam berperan serta memikul beban
negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
Namun, sejak dilakukannya reformasi perpajakan pada tahun 1983,
sistem perpajakan mempunyai perbedaan falsafah dan landasan yang
melatarbelakangi pembentukan undang-undang perpajakan. Hal tersebut
tercermin dalam ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan
pajak. Sistem dan mekanisme pemungutan pajak ini menjadi ciri dan corak
tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia. Itu dapat dimengerti sebab
kedudukan undang-undang perpajakan menjadi ketentuan bagi peraturan
perundang-undangan perpajakan lainnya. Ciri dan corak dari sistem
pemungutan pajak dalam undang-undang pasca pembaharuan perpajakan
adalah:
a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian
kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan
untuk pembiayaan dan pembangunan nasional.
b. Bahwa tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat Wajib Pajak itu sendiri. Pemerintah (aparat perpajakan)
hanya bertugas melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan
19
ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
c. Bahwa Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan
nasional
melalui
sistem
menghitung,
dan
membayar sendiri pajaknya yang terutang (self assessment system),
sehingga melalui sistem ini diharapkan dapat dilaksanakan dengan
lebih rapih, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh
Wajib Pajak.
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak di atas, Wajib pajak
diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah
pajak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada
pada Wajib Pajak itu sendiri. Selain itu Wajib Pajak juga diwajibkan untuk
melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan dibayar
sebagaimana ditentukan undang-undang.
Target penerimaaan pajak yang tertuang dalam (RAPBN-P) 2015 yang
sedang dibahas Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat
ditargetkan mencapai Rp 1.484,6 triliun. Target ini melonjak 29,5 persen
dibandingkan realisasi 2014. Pajak nonmigas ditargetkan Rp 1.244,7 triliun
atau tumbuh 38,7 persen dibandingkan realisasi 2014. Adapun kepabeanan
dan cukai ditargetkan Rp 188,9 triliun atau tumbuh 16,9 persen dari realisasi
2014 (Erlangga, 2015).
20
Menurut
Pelaksana
Tugas
Direktur
jenderal
Pajak
Mardiasmo
menjelaskan target pajak nonmigas 2015 senilai Rp 1.244,7 triliun.
Penerimaan pajak yang ditargetkan tersebut sebesar 854,5 triliun diperoleh
melalui kinerja rutin dan standar. Artinya Ditjen Pajak bisa meraih
penerimaan tersebut. Sedangkan sisanya, sebesar Rp 390,2 triliun, harus
dicapai dengan kerja yang lebih keras dibandingkan dengan kinerja selama
ini. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 367,7 triliun bisa dicapai melalui
pengawasan. Jumlah penerimaan sebesar 367,7 triliun tersebut diperoleh
melalui tiga area yang ditargetkan menghasilkan penerimaan, yakni
pemeriksaan Rp 73,5 triliun, ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak orang
pribadi nonkaryawan Rp 40 triliun, serta ekstensifikasi dan intensifikasi wajib
pajak badan Rp 254,2 triliun, serta strategi melalui penyuluhan kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran membayar pajak.
Rencana penerimaan perpajakan tersebut sangat tergantung kepada
berbagai sasaran yang dapat dicapai dari masing-masing unsur penerimaan
perpajakan tersebut. Selain itu keberhasilan dari rencana tersebut dipengaruhi
oleh berbagai kebijakan yang telah, sedang, dan akan diambilkan oleh
pemerintah (policy measures) dalam tahun anggaran berjalan dan tahun
anggaran berikutnya. Tidak hanya itu, rencana tersebut pun dipengaruhi oleh
asumsi
variabel-variabel dan besaran ekonomi
makro,
seperti laju
pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, serta asumsi harga dan produk
minyak mentah.
21
Dengan semakin tingginya pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi
pula penghasilan dari transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat,
sehingga pajak dalam negeri yang bisa dihimpun semakin tinggi. Demikian
sebaliknya terjadi apabila tingkat pertumbuhan ekonomi menurun.
Asumsi inflasi mempengaruhi sisi pendapatan negara pada penerimaan
pajak dalam negeri. Dengan semakin tingginya tingkat inflasi maka
penerimaan pajak dalam negeri akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Asumsi
nilai tukar terhadap valuta asing mempengaruhi sisi pendapatan negara pada
penerimaan pajak dalam negeri, pajak perdagangan internasional dan
penerimaan sumber daya alam, terutama migas.Asumsi harga minyak mentah
di pasar internasional dan produksi minyak mentah dalam negeri sangat
berpengaruh terhadap penerimaan sumber daya alam, terutama minyak bumi
dan gas alam akan mempengaruhi PPh migas.
Strategi lainnya dalam menentukan besaran penerimaan pajak yaitu
membandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Asumsi PDB
mempengaruhi pendapatan dan belanja negara. Di sisi penerimaan, PDB
mempengaruhi besaran penerimaan pajak dalam negeri, pajak perdagangan
internasional, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya dan bagian
pemerintah atas laba BUMN. Besarnya PDB menunjukkan semakin banyak
masyarakat yang mampu membayar pajak dan mempunyai penghasilan yang
lebih tinggi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Oleh karena itu, tax
ratio perpajakan juga akan semakin tinggi, sehingga penerimaan pajak dalam
22
negeri meningkat. Dengan demikian, asumsi besarnya PDB sangat
menentukan besar kecilnya penerimaan pajak dalam negeri yang bisa
dihimpun dalam APBN.
4. Kepatuhan Perpajakan
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), patuh berarti menurut pada perintah, taat kepada perintah atau
aturan dan berdisiplin. Mitchell (1996) mendefinisikan kepatuhan sebagai
perilaku seseorang yang sesuai dengan aturan eksplisit suatu perjanjian.
Sebagai bagian dari kepatuhan, Mitchell (1996) membedakan kepatuhan dan
perjanjian sebagai perilaku yang sesuai dengan aturan seperti itu karena sistem
kepatuhan perjanjian tersebut. Istilah “kepatuhan” umumnya diterapkan dalam
membandingkan perilaku dengan ketentuan tertentu suatu perjanjian, batas
semangat perjanjian dan prinsip-prinsip, norma internasional implisit,
kesepakatan informal dan bahkan perjanjian diam-diam (Downs dan Rocke,
1990 dalam Purnaditya, 2015).
Dalam pajak, aturan yang berlaku adalah undang-undang perpajakan. Jadi
kepatuhan pajak merupakan tingkat ketaatan seseorang atau lebih disebut
sebagai wajib pajak terhadap undang-undang perpajakan yang berlaku. Wajib
pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya secara
akurat dan tepat waktu membayar maupun melaporkan pajak tersebut (Devano,
2006 dalam Purnaditya, 2015). Purnaditya (2015) dalam penelitiannya
23
mengemukakan bahwa kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan tercermin dalam kondisi sebagai berikut:
a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturaan perundang-undangan
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Kepatuhan wajib pajak menurut Rusli (2014) merupakan pemenuhan
kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka
memberikan kontribusi bagi pembangunan negara yang diharapkan di dalam
pemenuhannya dilakukan secara sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi
sangat penting ketika sistem perpajakan di Indonesia menggunakan sistem self
assessment sejak reformasi perpajakan tahun 1983 sampai terakhir tahun 2000
dengan diubahnya undang-undang perpajakan menjadi UU No. 16 tahun 2000,
UU No. 17 tahun 2000, UU No. 18 tahun 2000 (Purnaditya, 2015). Menurut
Mardiasmo (2002) dalam Purnaditya (2015), self assessment adalah sistem
pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Dalam artian, bahwa wajib pajak
mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan tepat waktu
dalam melaporkan kewajibannya sendiri. Hasseldine dalam bukunya yang
berjudul how do revenue audits affect complies menyatakan:
24
“compliance with reporting requirement means that taxpayer files
all required tax return at proper time and that the return
accurately report tax liability in accordance with revenue code
regulation and court decision applicable at the time and that return
is filled.”
Maksud dari pernyataan tersebut adalah wajib pajak yang patuh merupakan
wajib pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan tepat waktunya dan
secara akurat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak
yang memanfaatkan kebijakan pengampunan pajak belum bisa dikatakan
sebagai wajib pajak yang patuh. Oleh karena itu pemerintah membuat
kebijakan pengampunan pajak merupakan salah satu cara pemerintah dalam
mendorong wajib pajak dalam meningkatkan kepatuhannya.
5. Sanksi Perpajakan
Sanksi dalam Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda yaitu
sanctie. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, 2012) Dalam konteks
hukum, sanksi berarti hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada pihak
yang terbukti bersalah. Menurut Mardiasmo (2005) dalam Saputra (2015)
berpendapat bahwa Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/di
patuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah
(preventif), agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Menurut
Resmi (2008) dalam Purnaditya (2015), sanksi perpajakan terjadi karena
terdapat
adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
25
perpajakan, sehingga apabila terjadi pelanggaran maka wajib pajak dihukum
dengan indikasi kebijakan perpajakan dan undang-undang perpajakan.
Sedangkan sanksi pajak menurut Tjahjono (2005) dalam Robert Saputra
(2015) adalah suatu tindakan yang diberikan kepada Wajib Pajak ataupun
pejabat yang berhubungan dengan Pajak Bumi dan Bangunan yang melakukan
pelanggaran baik secara sengaja maupun karena alpa. Sanksi pajak terdiri atas
dua yaitu sanksi kesadaran perpajakan dan sanksi pidana.
Sebagaimana dimaklumi menurut Mulyodiwarno (2007) dalamPurnaditya
(2015) suatu kebijakan berupa pengenaan sanksi dapat dipergunakan untuk 2
(dua) maksud. Maksud pertama adalah untuk mendidik dan yang kedua adalah
untuk menghukum. Dengan mendidik, dimaksudkan agar para wajib pajak
yang dikenakan sanksi akan menjadi lebih baik dan lebih mengetahui hak dan
kewajibannya. Maksud yang kedua adalah menghukum atau sebagai efek jera
bagi para wajib pajak yang memang dengan secara sengaja melanggar norma
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga pihak yang terkena
sanksi tidak melakukan kesalahan yang sama.
Menurut Devano (2006) dalam Saputra (2015) berpandapat bahwa
pengenaan sanksi perpajakan diterapkan sebagai akibat tidak terpenuhinya
kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sebagaimana diamanatkan oleh
undang-undang perpajakan. Dengan demikian pengenaan sanksi kepada wajib
pajak sehingga dapat meningkatkann kepatuhan wajib pajak itu sendiri.
26
Apabila pengenaan sanksi kesadaran perpajakan masih belum cukup maka
sanksi yang sifatnya lebih berat akan diterapkan.
Dalam penerapannya, sanksi diterapkan sebagai akibat dari tidak
terpenuhinya
kewajiban
perpajakan
oleh
wajib
pajak
sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang perpajakan. Pengenaan sanksi pajak
kepada wajib pajak dapat menyebabkan terpenuhinya kewajiban perpajakan
oleh wajib pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak itu
sendiri. Wajib pajak akan patuh akibat adanya paksaan karena mereka berfikir
adanya sanksi yang akan memberatkan mereka akibat tindakan illegal dalam
usahanya menyelundupkan pajak. (Devano dan Rahayu, 2006:112 dalam
Mutia, 2014).
Dalam Undang-Undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu
norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja dan ada
juga yang diancam dengan pidana saja dan juga ada pula yang diancam
dengan sanksi administrasi ditambah dengan sanksi pidana.
Sanksi administrasi dan sanksi pidana merupakan dua macam jenis sanksi
yang berbeda. Berikut merupakan perbedaan sanksi administrasi dan sanksi
pidana menurut Undang-Undang perpajakan:
a. Sanksi administrasi
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang
berupa bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan
27
apabila wajib pajak melakukna pelanggaran, terutama atas kewajiban
yang ditentukan dalam Undang-Undang KUP. Ada beberapa jenis atau
bentuk dari sanksi administrasi itu sendiri, yaitu:
1) Sanksi administrasi berupa denda
Sanksi dalam bentuk dendan adalah jenis sanksi yang paling
banyak ditemukan. Terkait besarnya denda dapat ditetapkan
sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah atau suatu angka
perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda iniakan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang
juga dikenai sanksi pidana ini biasanya adalah pelanggaran yang
bersifat alpa atau disengaja.
2) Sanksi administrasi berupa bunga
Sanksi administrasi berupa bunga biasanya dikenakan atas
pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.
Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentse tertentu dari suatu
jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi kewajiban sampai
dengan saat diterima dibayarkan.
3) Sanksi administrasi berupa kenaikan
Jika melihat bentuknya, sanksi administrasi berupa kenaikan bisa
jadi merupakan sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. hal
ini karena bila dikenakan sanksi kenaikan, jumlah pajak yang
harus dibayar bisa jadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan
28
pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari
jumlah pajak yang tidak kurang bayar. Dilihat dari penyebabnya,
sanksi administrasi berupa kenaikan ini biasanya dikenakan
kepada wajib pajak karena wajib pajak tidak memberikan
informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah
pajak yang terhutang.
b. Sanksi Pidana
Menurut Mutia (2014) sanksi pidana dalam perpajakan berupa
penderitaan atau siksaan dalam hal pelanggaran pajak. Pengenaan
sanksi pidana tidak menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak
yang masih terhutang.
Dalam Undang-Undang KUP menyatakan sanksi pidana pada
dasarnya merupakan upaya terakhir dalam meningkatkan kepatuhan
wajib pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam
pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak. Sebagai contoh yaitu bagi
wajib pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan pasal 38
Undang-Undang KUP mengenai penyampaian atau pelaporan surat
pemberitahuan (SPT) tidak dikenai sanksi pidana, tetapi masih dikenai
sanksi administrasi karena baru pertama kali.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan
tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu dibidang perpajakan,
29
tindakan tersebut merupakan suatu kealpaan, yaitu merupakan
tindakan kesengajaan, lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan
kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Sedangkan tindakan kejahatan adalah tindakan
dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Jatmiko (2006) dalam Mutia (2014) menyatakan bahwa wajib pajak akan
memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih
banyak merugikan mereka. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan
semakin merugikan bagi wajib pajak jika terkena sanksi tersebut. Oleh sebab
itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan
wajib pajak dalam membayar pajak.
6. Tax Amnesty
Ragimun (2014) menyatakan bahwa Tax amnesty adalah suatu
kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok pembayar pajak tertentu
untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa
pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang berkaitan
dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut hukuman
pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang dimulai penyelidikan pajak
pajak masa lalu. Dalam beberapa kasus, undang-undang amnesti yang
30
memperpanjang juga membebankan hukuman yang lebih berat pada mereka
yang memenuhi syarat untuk amnesti tetapi tidak mengambilnya.
Secara umum, amnesty merupakan hak-hak yang diberikan oleh Kepala
Negara berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Hak amnesty
merupakan suatu pernyataan umum, bahwa Undang-Undang (pidana) tidak
akan menerbitkan akibat-akibat hukum apapun juga bagi orang-orang tertentu
yang bersalah telah melakukan suatu atau beberapa tindak pidana tertentu
(Widagdo, 2012). Dengan kata lain, amnesty merupakan suatu penghapusan
hukuman bagi orang-orang tertentu yang telah melakukan tindakan melawan
hukum.
Santoso (2005) mengemukakan, tax amnesty dapat didefinisikan sebagai
berikut:
“Amnesty is usually offered to taxpayers to give them the
opportunity todisclose income or assets and pay previously unpaid
taxes. It generally takes the form of reduced or no interest or
penalties and freedom from prosecution. Amnesty may be aimed at
stopping tax evasion, generating tax compliance and/or raising
additional revenue.”
Selanjutnya John (2004) menjabarkan tax amnesty sebagai berikut:
“Pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan
pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan
pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam
jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan
penerimaan pajak dan kesempatan bagi wajib pajak yang tidak
patuh (tax evaders) menjadi wajib pajak yang patuh (honest
taxpayers) sehingga diharapkan akanmendorong peningkatan
kepatuhan sukarela wajib pajak di masa yang akan datang.”
31
Jadi, dapat disimpulkan pengertian dari tax amnesty merupakan kebijakan
yang ditawarkan untuk mengungkapkan semua penghasilan atau harta yang
belum dilaporkan, membayar uang tebusan sebagai penalty, tidak ada
pengusutan atas jumlah yang dimintakan pengampunan, tambahan penerimaan
bagi negara dan mendorong kepatuhan sukarela (Santoso et al, 2009).
Wardiyanto (2008) menyatakan bahwa tax amnesty merupakan kebijakan
pemerintah di bidang perpajakan yang dikonstruksikan untuk memberikan
insentif berupa penghapusan pajak yang seharusnya terhutang dengan
membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan
tambahan penerimaan negara dan kesempatan bagi pembayar pajak yang tidak
patuh menjadi patuh, sehingga dapat mendorong meningkatnya jumlah
kepatuhan pembayar pajak dimasa mendatang.
Kilonzo (2012) menyebutkan bahwa tax amnesty merupakan limited-time
opportunity, dengan kata lain tax amnesty merupakan suatu kesempatan yang
hanya datang dengan waktu yang terbatas, artinya tax amnesty dalam
pengertian Kilonzo merupakan suatu kebijakan yang mensyaratkan wajib
pajak untuk membayar sejumlah uang sebagai pertukaran untuk pengampunan
dari kesalahan pajak pada periode tertentu tanpa takut akan dikenakan sanksi
perpajakan.
Luitel dan Sobel (2005) dalam Kilonzo (2012) membagi tiga karakteristik
tax amnesty secara umum. Pertama adalah tax amnesty biasanya terjadi dalam
waktu singkat, biasanya hanya sekitar tiga atau enam bulan pada tiap
32
periodenya. Kedua, para wajib pajak secara sukarela berpartisipasi dalamtax
amnesty. Ketiga para pembayar pajak diberi kebebasan untuk memutuskan
apakah mengambil keuntungan dari tax amnesty atau tidak, walaupun
biasanya akan diikuti dengan hukuman yang lebih berat dari peraturan
sebelumnya jika tertangkap.
Erwin (2006) dalam Santoso (2009) mengatakan ada 4 jenis dari tax
amnesty. Yang pertama tax amnesty yang tetap mewajibkan pembayaran
pokok pajak, termasuk bunga dan dendanya dan hanya mengampuni sanksi
pidana perpajakan. Yang kedua tax amnesty yang mewajibkan pembayaran
pokok masa lalu yang terutang berikut bunganya, namun mengampuni sanksi
denda dan sanksi pidana pajaknya. Yang ketiga tax amnesty yang tetap
mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun mengampuni sanksi
bunga, denda dan sanksi pidana pajaknya. Dan yang keempat adalah tax
amnesty yang paling longgar karena mengampuni pokok pajak di masa lalu,
termasuk sanksi bunga, denda dan sanksi pidananya tujuannya agar
menambah jumlah basis data perpajakan dan menambah jumlah wajib pajak
dan selanjutnya mulai membayar pajak.
Banyak pemerintahan di dunia yang telah menerapkan tax amnesty
bahkan hingga berkali-kali. Fox dan Murray (2004) dalam Kilonzo (2012)
menyatakan bahwa tujuan tiap negara dalam menyelenggaraka tax amnesty
bermacam-macam dan berbeda-beda satu sama lainnya. Namun meningkatkan
pendapatan, menambah basis data perpajakan dan meningkatkan kepatuhan
33
merupakan tujuan utama yang pasti ada dalam daftar tujuan diberlakukannya
tax amnesty di tiap negara.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan secara umum bahwa tujuan
program pengampunan pajak adalah sebagai berikut:
1) Memberikan kesempatan kepada pembayar pajak untuk melakukan
perbaikan atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang di masa lalu
2) Memberikan tambahan penerimaan pajak bagi negara
3) Memberikan kesempatan bagi pembayar pajak yang tidak patuh menjadi
patuh dalam membayar pajak
4) Meningkatkan kepatuhan pembayar pajak di masa mendatang
5) Meningkatkan jumlah pembayar pajak dari masyarakat yang seharusnya
telah menjadi pembayar pajak.
Wardiyanto (2008) menjelaskan kebiasaan dari banyak pemerintahan
untuk mengambil sikap kebijakan tax amnesty disebabkan oleh empat hal,
yaitu:
1) Adanya kegiatan underground economy, kegiatan tersebut merupakan
perbuatan yang disengaja oleh badan atau orang pribadi yang secara
sengaja menyembunyikan, menghindari dan menggelapkan pembayaran
kewajiban pajak yang berlangsung di negara tersebut. Hal ini sering
disebut sebagai penggelapan pajak (tax evasion).
34
2) Pelarian modal ke luar negeri (capital flight), pemerintahan akan
kesulitan untuk mengenakan pajak atas dana atau modal yang telah
diparkir di luar negeri.
3) Rekayasa transaksi keuangan, kemajuan keuangan internasional telah
mendorong perusahaan besar melakukan illegal profit shifting pergeseran
laba ke luar negeri demi mengurangi beban pajak.
4) Politik penganggaran, kecenderungan saat ini adalah kebijakan sunset
policy yang diambil cenderung dilekatkan pada kebijakan politik
penganggaran utamanya untuk menghadapi kontraksi anggaran negara
yang sedang terjadi.
35
B. Penelitian Sebelumnya
Adapun hasil penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan
penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Analisis Penerapan Tax Amnesty Dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan
Wajib Pajak dan Penerimaan Negara
No
Peneliti, Judul, Tahun
Hasil
1
Hari Sharan Luitel. “Essays
on Value Added Tax Evasion
and Tax Amnesty Programs”
(2005)
 Di Colorado penelitian menunjukkan
bahwa tax amnesty tidak berdampak pada
penerimaan pajak baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Sedankan di
Maine dan Virginia terbukti meningkatkan
penerimaan pajak dalam jangka pendek
namun tidak dalam jangka panjangnya
2
Ragimun. “Implementasi
pengampunan pajak di
Indonesia” (2014)
 Tax amnesty dapat diimplementasikan di
Indonesia, namun harus mempunyai
payung hukum sebagai dasar serta tujuan
yang jelas dalam pelaksanaan tax amnesty.
 Salah satu kelemahan Tax amnesty bila
diterapkan di Indonesia adalah dapat
mengakibatkan berbagai penyelewengan
dan moral hazard karena sarana dan
prasarana, keterbukaan akses informasi
serta pendukung lainnya belum memadai
sebagai prasyarat pemberlakuan tax
amnesty tersebut.
 Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa
penerapan Tax Amnesty di Indonesia jika
dilihat dari pengalaman berbagai negara
yang telah menerapkan, Indonesia masih
memiliki potensi dan peluang untuk
meningkatkan dana-dana masuk ke
Indonesia yang cukup banyak disimpan di
luar negeri.
Bersambung pada halaman berikut.
36
No
Peneliti, Judul, Tahun
Hasil
3 Fakhrani Nurhayati Syafrida.  Implementasi Tax amnesty dalam jangka
“analisis penerapan tax
pendek sebaiknya ditunda terlebih dahulu
amnesty di indonesia dalam
menunggu kesiapan berbagai perangkat
rangka meningkatkan
dan piranti hukum yang melandasi
penerimaan negara pada
pelaksanaan kebijakan ini.
sektor perpajakan” (2014)
4 Ida Farida, Adi Prawira. “The  Sunset policy dan penerimaan pajak di
Effect of Granting Tax
tahun 2008 menunjukkan penerapan tax
Amnesty to Tax Revenues“
amnesty dalam bentuk sunset policy tidak
(2015)
berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
Hal ini ditunjukkan penerimaan pajak
masih belum mencapai target sebesar
99,10%
5 Zainal Muttaqin. “Akses
 ketidaktepatan peraturan baik yang
Hukum Pemberian Tax
menyangkut substansi maupun bentuk
Amnesty Sebagai Upaya
peraturan perundang – undangan akan
Untuk Meningkatkan
melemahkan asas legalitas.
Penerimaan Negara Dari
 Dari
pengalaman
pelaksanaan
Sektor Pajak” (2011)
pengampunan
pajak,
ternyata
pengampunan pajak tidak serta merta
meningkatkan
penerimaan
negara,
demikian pula pengampunan pajak tidak
secara otomatis dapat meningkatkan
investasi.
 Pengampunan pajak sebagai insentif perlu
mendapat dukungan kebijakan dari sektor
lainnya sehingga menciptakan iklim
investasi yang diharapkan.
 Keadilan vertical dan horizontal dalam
pengenaan pajak tidak cukup memadai
apabila diterapkan dalam pengampunan
pajak.
6 Justin M. Ross. “Local
 Pengungkapan aset dari wajib pajak yang
Government Property Tax
tidak patuh secara umum relatif kecil, rataAmnesty Programs:
rata hanya 1,5% dari dan tidak
Structures and Themes”
berpengaruh
terhadap
penerimaan
(2012)
pemerintah.
 Kebanyakan dari wajib pajak yang tidak
patuh tetap tidak patuh pasca amnesty,
rata-rata hanya 15% dari wajib pajak yang
tidak patuh yang ikut serta dalam program
Bersambung pada halaman berikut.
37
No
Peneliti, Judul, Tahun
7
Pinaki Bose dan Michael
Jetter. “A Tax Amnesty in the
Context of Developing
Economy” (2010)

John L. Mikesell dan Justin
M. Ross. “Fast Money? The
Contribution of State Tax
Amnesties to Public Revenue
Systems” (2012)

8


Hasil
tax amnesty
Tax Amnesty akan berjalan sukses bila
kebijakan tersebut tidak diantisipasi oleh
wajib pajak
Dibandingkan dengan menghukum para
wajib pajak yang bersalah, kebijakan tax
amnesty tidak membawa dampak yang
signifikan terhadap penerimaan negara.
Bahkan menghukum para wajib pajak
yang bersalah dinilai lebih menghasilkan
pendapatan dari pada kebijakan ini
Negara harus menyadari bukti yang
mengindikasikan bahwa sejarah dari 117
tax amnesty pada kurun waktu 30 tahun
mengalami
penurunan
dalam
kesuksesannya
Tax Amnesty harus diikuti dengan
penegakkan hukum yang lebih tegas di
kemudian hari.
Sumber: Diolah dari beberapa penelitian sesebelumnya.
38
C. Kerangka Pemikiran
Dalam membiayai program-program pemerintah, saat ini pemerintah
membutuhkan pendapatan yang sangat besar. Disamping itu ada
banyaknya kegiatan ekonomi bawah tanah atau underground economi
yang mencapai 35% hingga 44% dari PDB di negara berkembang
termasuk Indonesia sendiri. Maka dari itu pemerintah membutuhkan
sebuah kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Untuk itu pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak
atau tax amnesty.
Pengampunan pajak atau tax amnesty sendiri merupakan sebuah
produk kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan kepada wajib
pajak atau pembayar pajak untuk memperbaiki kewajiban perpajakannya
di masa lalu melalui pengungkapan secara sukarela. Dalam rangka
meningkatkan
kepatuhan
dan
meningkatkan
penerimaan
negara,
pemerintah berencana akan meluncurkan kebijakan tax amnesty.
Kebijakan ini diharapkan akan dapat memotivasi wajib pajak atau
pembayar
pajak
untuk
meningkatkan
keterbukaan
kewajiban
perpajakannya sehingga akan menambah penerimaan pemerintah nantinya.
Kebijakan ini juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya tanpa harus dibebani dengan
sanksi administrasi, denda maupun pidana.
Sebelum menerbitkan kebijakan tersebut, pemerintah perlu mengkaji
dan melihat kembali pengalaman dari kegiatan tax amnesty yang pernah
39
diterapkan sebelumnya dan juga membandingkan dengan pengalaman di
negara-negara asing di dunia dalam pelaksanaanya. Dengan pemberlakuan
kebijakan tax amnesty ini, diharapkan dapat menambahkan basis data
perpajakan dan dapat menggali potensi pajak yang sebelumnya tidak
terjangkau sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak kelak
dan meningkatkan penerimaan pemerintah nantinya.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran
mengenai penerapan dari tax amnesty di beberapa negara di dunia dan juga
memberikan gambaran penerapan tax amnesty di Indonesia pada periodeperiode sebelumnya.
40
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
Meningkatkan penerimaan negara
perpajakan
dan Meningkatkan kepatuhan
Pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan tax amnesty kembali
Penerapan tax amnesty di luar negeri
Penerapan tax amnesty di Indonesia
Rancangan Undang-Undang
Analisis data
Gambaran perencanaan bentuk
penerapan Tax amnesty di
Indonesia
Kesimpulan, Implikasi dan
Saran
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Menurut Irawan (2006) peneliti kualitatif berfikir secara induktif
(grounded). Penelitian kualitatif tidak dimulai dengan mengajukan hipotesis
dan kemudian menguji kebenarannya (berfikir deduktif), melainkan bergerak
dari bawah dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang sesuatu,
dan dari data itu dicari pola-pola, hukum, prinsip-prinsip, dan akhirnya
menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan. Karena itu, kalaupun
ada hipotesis dalam penelitian kualitatif, hipotesis tersebut tidak diuji untuk
diterima atau ditolak.
Penelitian kualitatif menurut Guba dan Lincoln (1985) dalam Arini (2008)
menyatakan:
”Qualitative Methods are stressed within the naturalistic
paradigm is antiquantitative but because qualitative methods come
more easily to the human as instrument”.
Dalam penelitian kualitatif yang ditekankan adalah paradigma natural, karena
manusia sebagai instrument utama. Dalam penelitian kualitatif tidak memulai
dengan sebuah teori untuk menguji atau membuktikan. Berangkat dari kasuskasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalamannya atau untuk kemudian
dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proporsi, atau definisi yang
bersifat umum. Pengambilan data pada penelitian kualitatif dilakukan secara
42
berulang-ulang (iteration) sampai dirasakan jenuh (redundancy) atau sampai
dirasakan jawaban yang didapat hampir sama.
Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan
untuk memahami (understanding) fenomena sosial yang ada. Hal ini sesuai
dengan definisi kualitatif menurut Creswell (2003) dalam Arini (2008) yang
menyatakan bahwa penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses
penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia
berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan
kata-kata, melaporkan hasil pengamatan secara terperinci dan disusun dalam
sebuah latar ilmiah. Untuk itu penulis menggunakan paradigm kualitatif untuk
menjelaskan dan menemukan suatu pemahaman tentang fenomena sosial yang
saat ini tengah banyak diperbincangkan yaitu mengenai tax amnesty dan
bagaimana pelaksanaan tax amnesty di negara-negara di dunia. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan penelitian secara mendalam melalui
perbandingan dengan negara-negara yang telah menerapkan kebijakan
pengampunan
pajak.
Perbandingan
dilakukan
dengan
membaca
dan
menganalisis jurnal-jurnal dan artikel-artikel internasional serta buku yang
membahas mengenai pengampunan pajak. Hasil dari studi tersebut kemudian
dianalisis sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu
peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.
43
B. JenisPenelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitan
jenis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam penelitian ini pertamatama penulis akan menggambarkan mengenai apa itu pengampunan pajak.
Peneliti juga akan menguraikan serta menganalisis perbandingannya dengan
tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia dengan melihat dan
menjelaskan contoh kasus dari negara yang telah menerapkan kebijakan
pengampunan pajak dan juga menjelaskan penerapan tax amnesty yang pernah
diterapkan di Indonesia dari mulai pertama kali diterapkan hingga saat ini yang
akan diterapkan dari hasil penelitian, artikel, surat kabar, buku dan data
sekunder lainnya. Peneliti juga menganalisis keterkaitannya antara tax amnesty
dengan kepatuhan dan penerimaan pajak serta menganalisis apa saja
kekurangan dan kelebihan dari kebijakan pengampunan pajak dengan melihat
contoh kasus dari negara yang telah menerapkan kebijakan tax amnesty dan
kebijakan tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia.
Neuman (2000) menjelaskan mengenai penelitian deskriptif adalah:
“Descriptive research present a picture of the specific details of
situation, social setting, or relationship. The outcome of a
descriptive study is a detailed picture of the subject”.
Jadi dalam penelitian deskriptif menggambarkan situasi, kondisi sosial ataupun
hubungan dan hasil dari penelitian deskriptif adalah gambaran subjek secermat
mungkin.
44
C. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung dari objek penelitian.
Peneliti mendapatkan data yang sudah jadi yang sudah dikumpulkan oleh pihak
lain dengan berbagai cara atau metode dan telah diolah. Data yang digunakan
oleh peneliti kali ini berasal dari materi literatur, karya ilmiah, buku, artikel
dan data dari website.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis
untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif, teknik
pengumpulan data dapat dilakukan melalui setting dari berbagai sumber dan
cara. Metode pengumpulan data sangat erat hubungannya dengan masalah
penelitian yang ingin dipecahkan. Untuk memperoleh data dan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik dan alat
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan ( Library Research )
Dalam penelitan ini studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan
mempelajari sejumlah buku, literatur, jurnal ilmiah, website internet untuk
mendapatkan kerangka yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Selain
itu peneliti juga mempelajari ketentuan-ketentuan perpajakan yang terkait
dengan objek penelitian untuk memahami konteks permasalahan secara
mendalam (Sepyarini, 2010).
45
2. PenelitianArsip
Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan penelitian arsip
(Archival Research), merupakan penelitian terhadap fakta tertulis
(dokumen) atau berupa arsip data (Indrianto dan Supomo, 2002). Dokumen
atau arsip yang diteliti berdasarkan sumbernya dapat berasal dari internal
seperti dokumen, arsip dan catatan orisinil dari suatu organisasi dan juga
bias berasal dari data eksternal seperti naskah yang telah proses
pengumpulannya dikerjakan sendiri maupun oleh orang lain (Indrianto dan
Supomo, 2002).
E. Metode Analisis Data
Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses mencari dan mengatur
secara sistematis bahan-bahan yang telah diperoleh, yang seluruhnya
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang diteliti
atau membantu peneliti mempresentasikan temuan penelitian (Bog dan Bikken
dalam Irawan, 2006). Peneliti mengumpulkan data-data dan menganalisis data
yang dikumpulkan dari studi kepustakaan dan kemudian mengambil
kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
Dalam melakukan penelitian terhadap fenomena yang diteliti adalah
bagaimana mekanisme dari pengampunan pajak di negara yang telah
menerapkannya untuk kemudian membandingkannya dengan pelaksanaan tax
amnesty yang telah di terapkan di Indonesia. Selanjutnya peneliti menggali
46
data dengan melihat bagaimana penerapan di negara yang telah menerapkan
pengampunan pajak melalui artikel, berita, surat kabar, jurnal penelitian
mengenai fenomena yang diteliti dan membandingkannya dengan teori yang
ada. Dari abstraksi data-data empiris yang diperoleh, peneliti akan menarik
kesimpulan.
47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Penerapan Tax Amnesty di Beberapa Negara Asing di Dunia
program tax amnesty merupakan program yang telah banyak diterapkan di
negara-negara di dunia baik negara maju maupun berkembang. Diantaranya
banyak yang terbilang sukses dalam pelaksanaannya dan ada juga yang menuai
kegagalan dalam pelaksanaannya. Namun demikian, kebijakan tax amnesty
tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan tersebut merupakan sebuah isu yang
kontrofersial dalam dunia perpajakan. Asumsi yang menjadi dasar adanya
kontrofersi adalah bahwa tax amnesty dapat menghapuskan pokok pajak,
sanksi administrasi dan juga sanksi pidana pajak atas ketidak patuhan yang
telah dilakukan oleh wajib pajak dimasa lalu demi meningkatkan kepatuhan di
masa yang akan datang (Darussalam, 2014).
Disatu sisi tax amnesty juga dipandang sebagai jalan keluar untuk
meningkatkan penerimaan negara karena menurut Darussalam (2014) tax
amnesty memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk masuk atau
kembali kepada sistem administrasi perpajakan yang berdampak pada
bertambahnya basis data perpajakan dan bedampak pada peningkatan
penerimaan di masa yang akan datang. Disisi lain juga, menurut Junpath
(2013) tax amnesty juga dapat menurun kan tingkat kepatuhan di masa yang
akan datang. Karena faktanya para wajib pajak akan mempercayai bahwa tax
amnesty akan datang pada tiap tahun atau mungkin beberapa tahun sekali akan
48
tetap tidak patuh dan menunggu tax amnesty yang akan di terapkan diperiode
berikutnya. Dengan adanya persepsi tersebut juga akan berdampak kepada
wajib pajak yang telah patuh terhadap peraturan menjadi tidak patuh karena
timbulnya rasa kekecewaan mereka terhadap kebijakan yang menurut mereka
tidak adil (Junpath, 2013).
Sebelum membahas tax amnesty yang pernah dan akan diterapkan kembali
di Indonesia, penulis terlebih dahulu akan membahas mengenai penerapan tax
amnesty di beberapa negara di dunia. Dalam hal ini penulis akan
menggambarkan bagaimana penerapan tax amnesty di beberapa negara di
dunia. Penulis menggali dan mengumpulkan fakta-fakta melalui penelitianpenelitian terdahulu, artikel, berita serta undang-undang maupun rancangan
undang-undang yang terkait. Berikut merupakan penggambaran dari negaranegara di dunia yang telah berkali-kali menerapkan tax amnesty.
1. Tax amnesty di Argentina
Argentina merupakan salah satu negara yang telah beberapa kali
menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau lebih dikenal dengan tax
amnesty. Di Argentina, perpajakan merupakan sumber pendapatan yang
sangat penting bagi negara. Karena pendapatan dari sumber lainnya seperti
BUMN di Argentina atau kegiatan bisnis yang dilakukan negara cenderung
terbatas. Oleh karena itu, kesuksesan dari tax amnesty akan menjadi penentu
dari kekuatan finansial dari Argentina (Marlherbe, 2011).
49
Seperti kebanyakan negara di dunia, Argentina menggunakan sistem
pajak self –declaration system. Sistem perpajakan ini menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan
pajaknya sendiri ke AFIP (Administración Federal de Ingresos Públicos)
untuk kemudian jika ada kesalahan AFIP akan mengauditnya (Marlherbe,
2011). Jika di Indonesia sistem seperti ini dapat kita kenal dengan selfassessment system.
Bermacam
alasan
politik
dan
ekonomi
menjadi
faktor
yang
menyebabkan terjadinya semacam keengganan beberapa wajib pajak untuk
jujur dalam mengungkapkan pajak mereka. Dalam situasi seperti ini
berbagai macam cara telah ditempuh pemerintahan Argentina dalam
menghadapi masalah keuangan seperti ini. Untuk itulah Argentina
mengeluarkan kebijakan tax amnesty, walaupun sempat gagal namun pada
akhirnya Argentina berhasil memecahkan masalahnya dengan tax amnesty
yang diterapkannya (Marlherbe, 2011).
1.1.
Penerapan tax amnesty di Argentina dari Masa ke Masa
Argentina memberlakukan program pengampunan pajak pada
tahun 1987 dalam rangka untuk merangsang repatriasi modal yang
telah secara ilegal meninggalkan negara. Pengampunan berupa
pembebasan pajak atas seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan
sebelumnya digunakan untuk tujuan investasi, dan terbuka untuk
kedua investor asing dan lokal. Secara khusus, untuk setiap dolar
50
utang pajak dikonversi menjadi ekuitas, dan uang tersebut digunakan
untuk membeli peralatan baru, membangun pabrik baru, atau
meningkatkan kapasitas fasilitas yang ada. Pemerintah membebaskan
setiap dana kembali dari semua pajak terutang, dan pemerintah juga
berjanji bahwa tidak akan menginvestigasi atau menuntut para
penunggak pajak. Namun amnesti ini tidak menghasilkan penambahan
pendapatan pajak, dan secara luas dipandang sebagai sebuah
kegagalan. Selain itu, Argentina telah menawarkan berbagai amnesti
pajak sebelumnya. Program pengampunan pajak tahun 1987 tidak
disertai dengan peningkatan upaya penegakan hukum atau perubahan
dalam sistem fiskal yang mendasarinya. Pelajaran yang jelas dari
pengalaman Argentina bahwa pengenalan amnesti pajak tanpa
penyesuaian struktural lainnya cenderung gagal (Alm, 1998 dalam
Luitel 2005).
Di tahun 1995 Argentina menerapkan kebijakan tax amnesty
lainnya. Tax amnesty yang diterapkannya di tahun 1995 ini adalah
dengan memberikan pengampunan terhadap bunga dan sanksi pada
setiap wajib pajak yang dengan secara sukarela membayar hutang
beserta pokoknya dan melaporkan asset yang sebelumnya belum
tercatat atau belum dilaporkan baik yang di dalam ataupun di luar
negeri kepada petugas pajak sebelum 31 July pada tahun 1995
(Marlherbe, 2011).
51
Penerapan tax amnesty ini berbeda dengan tax amnesty sebelumnya
yaitu pada tahun 1987 dimana dalam tax amnesty pada periode ini
mengalami perpanjangan waktu pengampunan. Hal ini disebabkan
terutama karena semenjak 1991, di Argentina telah banyak terjadi
penyimpangan pajak yang akan dihapuskan dengan mendaftarkan diri
mereka ke dalam sistem perpajakan yang baru (Marlherbe, 2011).
Di tahun 2009, pemerintah Argentina kembali menerapkan tax
amnesty untuk memberikan pengampunan terhadap hutang pajak dan
sanksi pidana bagi pelanggar pajak. tax amnesty kali ini menargetkan
pada natural person atau semacam wajib pajak yang belum terdaftar
dan mengizinkan mereka untuk membayar social security atau
semacam uang tebusan dan hutang pajaknya yang jatuh tempo pada 31
Desember 2007 terlepas dari berapa banyak jumlahnya untuk
mendapatkan fasilitas tax amnesty. Menurut Marlherbe (2011)
mengatakan bahwa pemerintah argentina menargetkan natural person
berdasarkan tiga ketentuan, yaitu:
a. Pembayaran social security dan tunggakan kewajiban pajak
lainnya;
b. Mempromosikan dan melindungi para tenaga kerja yang telah
terdaftar; dan
c. Capital disclosure and repatriation atau pengungkapan secara
transparan dan pengembalian asset.
52
Ketaatan
berkurangnya
dalam
menuruti
penyimpangan
sistem
pajak
ini
untuk
akan
tax
menyebabkan
evasion,
dan
penyimpangan lainnya. Hukuman dan sanksi yang belum berakhir
pada periode 31 Desember 2007 juga termasuk dalam tax amnesty ini
(Marlherbe, 2011).
Pada tahun 2013 pun Argentina kembali menerapkan tax amnesty.
Kali ini tax amnesty tersebut dimaksudkan untuk mensuport Argentina
dari penurunan nilai mata uangnya. Kebijakan ini diperkenalkan pada
Juni 2013 di Argentina dan berakhir pada 30 September 2013 yang
kemudian diperpanjang hingga akhir tahun 2013 (Godfrey, 2013).
Periode kebijakan ini diperpanjang karena dianggap gagal dan tidak
mencapai target yang diharapkan pemerintah Argentina. Dari
kebijakan ini Argentina hanya mendapat USD 341,5 triliun atau hanya
8,5 % dari target yang diharapkan pemerintah Agentina (Godfrey,
2014).
Pada tax amnesty di tahun 2013 ini menargetkan pada para wajib
pajak yang memiliki tabungan dengan mata uang asing yang tidak
dilaporkan dalam pajaknya. Tax amnesty ini menawarkan kepada para
wajib pajak untuk menyerahkan mata uang asing yang tidak
dilaporkan tersebut untuk ditukarkan menjadi obligasi negara untuk
investasi bidang energy dengan nama BAADE dalam akronim
berbahasa latin yaitu Bono Argentino de Ahorro para el Desarrollo
Económico dan sertifikat deposito real estate atau dengan akronim
53
Bahasa latin disebut CEDIN (Certificado de Depósito para Inversión)
(Godfrey, 2014).
2. Tax Amnesty di Afrika selatan
Salah satu negara yang berhasil menerapkan tax amnesty adalah Afrika
Selatan (Marlherbe, 2011). Distribusi pendapatan ekonomi di antara rakyat
Afrika Selatan adalah tidak merata. Kalangan menengah keatas dalam hal
pendapatan adalah para masyarakat kulit putih dan kulit berwarna
sedangkan pendapatan menengah kebawah dihuni oleh masyarakat kulit
hitam yang notabene merupakan penduduk asli Afrika Selatan. Sumber
penerimaan pajak terbesar pun dari PPh orang pribadi (41%) diikuti dengan
PPN (26%) dan PPh badan (14%) (Ismail, 2004). Akibat banyaknya
pelarian modal ke luar negeri membuat pemerintah Afrika Selatan
menerapkan kebijakan tertentu agar warga negaranya bersedia menarik
modal ke dalam negeri. Untuk itu lah Afrika Selatan menerapkan tax
amnesty.
Tax amnesty merupakan suatu program pemerintah yang biasanya
memberikan sebuah kesempatan dalam waktu terbatas kepada para wajib
pajak yang tidak patuh untuk secara sukarela membayar pajak hutang pajak
sebelumnya tanpa dikenakan hukuman atau tuntutan yang disebabkan oleh
penggelapan pajak yang biasanya dibawa (Luitel et al, 2005). Alasan dan
tujuan dari tax amnesty ini adalah untuk meningkatkan dan memperbaiki
kepatuhan pajak yang tidak pernah patuh sebelumnya. Uchitelle (1989)
54
menjelaskan ada
tiga
sumber
yang digunakan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan selama masa diberlakukannya tax amnesty di
Afrika Selatan ini;
a. Sumber pertama yaitu adalah sejumlah besar pendapatan ekonomi
domestic yang tidak dilaporkan karena adanya kegiatan dari shadow
economy atau ekonomi bayangan. Tax amnesty sendiri diterapkan
bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan pajak pada masa yang
sedang berjalan, tapi juga untuk meminimalisir atau mengurangi jumlah
dari kegiatan ekonomi yang terjadi secara permanen dalam ekonomi
bayangan, oleh karena itu tax amnesty juga bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan pajak untuk kedepannya.
b. Sumber yang kedua adalah potensi dari pendapatan pajak yang terparkir
di luar negeri. Tax amnesty juga digunakan untuk atau sebagai
pendorong para penduduk yang memulangkan sejumlah uangnya yang
secara illegal terparkir di luar negeri.
c. Sumber yang ketiga adalah potensi pendapatan dari pembayaran
kembali pajak dari para wajib pajak yang kurang bayar secara tidak
sengaja tapi tidak pernah melaporkan kesalahan mereka karena takut
akan
hukuman
yang
dikenakan
karena
berhubungan
dengan
penghindaran pajak. oleh karena itu tax amnesty juga untuk mendorong
wajib pajak agar membayar secara penuh dengan menghapus atau
mengurangi hukumannya.
55
Ketidakpatuhan, tax avoidance, dan tax evasion merupakan masalah
yang sangat besar bagi banyak negara di belahan dunia. Bagaimanapun,
ketidak patuhan tidak hanya mengurangi pendapatan namun juga bisa
menyebabkan kesenjangan yang besar dalam ekonomi (Damjanovic et al,
2007). Karena itu pemerintah biasanya membatasi tax amnesty kepada wajib
pajak yang tidak melaporkan pendapatannya atau kepada mereka yang
memiliki kewajiban yang luar biasa yang tidak teridentifikasi oleh fiskus
(Nakamura, 2009 dalam Junpath, 2013).
2.1.
Penerapan Tax Amnesty di Afrika Selatan dari Masa ke Masa
Semenjak pergantian pemerintahan di tahun 1994, di Afrika
Selatan telah beberapa kali melakukan program tax amnesty. Komisi
Katz telah merekomendasikan dalam laporan interim pertama bahwa
tax amnesty diperkenalkan karena beberapa alasan. Salah satu alasan
menjelaskan
bahwa
kemungkinan
orang-orang
yang
tidak
diuntungkan dalam membayar pajak pada sistem pemerintahan
sebelumnya dapat memiliki dorongan untuk mendaftarkan dan
melaporkan pajaknya tanpa merasa terbebani. Tujuan dari komisi Katz
adalah untuk menarik lebih banyak orang kedalam sistem perpajakan
yang dimaskudkan untuk menghasilkan pendapatan tambahan fiskus
(Killian dan Kolitz, 2004). Hal ini melahirkan tax amnesty pertama
yang diperkenalkan di bawah peraturan undang-undang tax amnesty
56
pada tahun 1995. Amnesty ini membersihkan daftar wajib pajak yang
memiliki kewajiban pajak luar biasa di tahun 1994.
Pada taun 1996, diikuti dengan tax amnesty yang kedua yang di
berikan dibawah Undang-undang terakhir pembebasan pada pajak,
bunga, hukuman dan denda pajak yang memberikan pembebasan pada
beberapa form pajak, bunga, hukuman dan denda pajak (Flanagan,
2010 dan Republik Afrika Selatan, 1996). Malherbe, 2011)
menjelaskan tujuan dari dua amnesty ini adalah memberikan
seseorang yang sebelumnya tidak patuh
untuk datang dan
memperbaiki permasalahan pajak mereka.
Dan di tahun 2001 Afrika Selatan merubah sumber basis
perpajakan ke perpajakan berbasis residen dimana warga harus
membayar pajak atas penghasilan mereka dari seluruh dunia
(informasi pemerintah Afrika Selatan, 2000). Ini membawa kita pada
pengenalan untuk tax amnesty yang ketiga kalinya yang telah
disahkan oleh The Exchange Control Amnesty act of 2003 (Manuel,
2003). Amnesty ini memberikan penduduk Afrika Selatan untuk
datang dan memperbaiki urusan pajak mereka tanpa takut akan
dikenakan hukum perdata atau pidana (National Treasury, 2003).
Pendaftar harus mengungkapkan secara terbuka baik asset resmi
maupun yang tidak resmi yang ada di luar negeri untuk tahun yang
berakhir pada 28 February 2003 (organization for economic
cooperation dan development, 2007). Kemudian pendaftar juga harus
57
memastikan bahwa dia akan terus melaporakan investasi tersebut
kepada pihak berwenang di kemudian harinya.
Sebelum tahun 2006, banyak bisnis kecil terutama industry di
bidang taxi yang secara historis terpinggirkan dan dikeluarkan dari
arus utama perekonomian. Sektor ini dijalankan secara informal dan
dengan demikian tetap berada diluar sistem pajak (SARS, 2006).
Banyak pengusaha yang ingin memperbaiki urusan pajaknya untuk
menjadi wajib pajak yang patuh, namun terhadang dengan beberapa
halangan yang mungkin di dalamnya termasuk kewajiban membayar
denda pajak, bunga dan bahkan hukum pidana. Ketakutan ini
membuat keputusan untuk masuk kedalam sistem pajak menjadi sulit.
Semenjak banyak pengusaha ingin masuk kedalam sistem perpajakan,
pemerintah kemudian memutuskan untuk memperkenalkan tax
amnesty untuk memastikan para pengusaha kecil bisa menghadapi
rintangan tersebut (National Treasury, 2006 dalam Junpath, 2013 ).
Amnesty untuk pengusaha kecil ini bertujuan untuk memberikan
pembebasan
kepada
para
penghusaha
industry
taxi
dengan
mengizinkan para pelaku industry untuk memperbaiki kepatuhan
mereka tanpa takut akan menghadapi tuntutan. Bagaimanapun,
amnesty kemudian meluas ke sektor pengusaha kecil dan wajib pajak
pribadi (National Treasury, 2006 dalam Junpath, 2013). Amnesty
untuk pengusaha kecil dituangkan dalam undang-undang tax amnesty
untuk pengusaha kecil dan amandement dari undang-undang
58
perpajakan merupakan program tax amnesty ke empat yang
ditawarkan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuan utama dan sasaran
dari tax amnesty adalah untuk memperluas basis pajak, mengatur
urusan pajak dari pengusaha kecil, meningkatkan dan memperbaiki
kepatuhan pajak dan memfasilitasi para wajib pajak pengusaha kecil
di sektor industry taxi dalam program rekapitalisasi taxi (The Taxi
Recapitalisation Programme) (Malherbe, 2011). Tax amnesty mulai
diberlakukan dari tanggal 1 Agustus 2006 sampai 31 Mei 2007,
namun kemudian diperpanjang oleh SARS menjadi 30 Juni 2007.
Tax amnesty yang ke lima dan yang baru saja diperkenalkan di
Afrika Selatan adalah Voluntary Disclosure Program (VDP), yang
dikenalkan pada tahun 2010 dan memberikan para wajib pajak yang
memenuhi persyaratan untuk pembebasan dari denda, sanksi dan
kenaikan bunga dari kesalahan di masa lalu (Buttrick, 2010). SARS
(2010) menggambarkan VDP sebagai mekanisme yang diakui secara
Internasional untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pajak. dalam
ruang lingkup global VDP bertujuan untuk membuka rahasia bank
secara transparan dan memberikan akses bagi otoritas keuangan untuk
menggali informasi secara domestic dan secara global. Kebijakan ini
telah dipertimbangkan akan mengambil bentuk dari tax amnesty untuk
para wajib pajak individu dan badan yang tidak melaporkan pajaknya
atau melaporkan asetnya yang berada diluar negeri.
59
2.2. Pencapaian Tax Amnesty di Afrika Selatan
Kesuksesan program the exchange control amnesty atau biasa kita
kenal dengan tax amnesty ternyata melebihi perkiraan yang
diharapkan. Terdapat sebesar 43.137 pendaftar dengan total asset
asing yang didisclose sebesar ZAR 68,9 milyar pada saat
diberlakukannya tax amnesty di tahun 2003 tepatnya pada 23 Februari
2003 (Marlherbe, 2011). Dari jumlah tersebut sebesar ZAR 23,9
milyar atau sebesar 34,7% merupakan aset resmi, sedangkan sebesar
ZAR 45 milyar atau sebesar 65,3% merupakan aset asing yang
sebelumnya tidak tercatat di pemerintahan dan didisclose untuk tujuan
mendapatkan amnesty. Dalam periode tax amnesty yang diberlakukan
oleh pemerintahan Afrika Selatan, mata uang Afrika Selatan Rand
tercatat mengalami apresiasi atau penguatan terhadap mata uang asing
(Marlherbe, 2011).
Sejak tahun 1994, tax amnesty di Afrika selatan menjadi program
yang populer yang selalu diperkenalkan oleh pemerintah dalam rangka
untuk memperbaiki kepatuhan dan untuk meningkatkan pendapatan.
Walaupun banyak negara di dunia telah menawarkan beberapa bentuk
dari tax amnesty, bukti mengenai dampak positif dari tax amnesty
masih kurang dalam tingkat yang lebih besar. Banyak dari penelitian
yang telah dilakukan dalam pemberian satu atau banyak tax amnesty
dan hasilnya konstan atau sama dari berbagai belahan dunia. Dalam
penelitian menemukan bahwa wajib pajak yang patuh adalah dimulai
60
dari percaya bahwa tax amnesty adalah hadiah yang hanya diberikan
untuk para wajib pajak yang membangkang. Ini dapat mengakibatkan
masalah yang serius karena keyakinan ini bisa menghancurkan
kepatuhan yang secara sukarela (voluntary compliance) dari para
wajib pajak yang jujur. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk
memastikan bahwa pendahuluan dari tax amnesty pajak tidak
ditawarkan lebih dari sekali.
Disamping kesuksesan kemunculannya, program tax amnesty
untuk usaha kecil (the small business tax amnesty) yang di tawarkan
pada 2006 lalu merupakan percobaan yang mengecewakan dari
kinerja pemerintah untuk membaharui kebijakan pajaknya. Temuan
umum dalam kesimpulan dari kampanye tax amnesty mengungkapkan
walaupun 22% dari permohonan amnesty datang dari para wajib pajak
baru, namun masih belum cukup sebagai otoritas yang mungkin
seharusnya awalnya diantisipasi.
Croome
(2007) menemukan
sebagian besar permohonan yang diterima dari perusahaan yang ada
mencari untuk mengantisipasi kesalahan pajak yang mereka lakukan
sebelumnya. Hasil ini tentu mengecewakan karena dibandingkan
dengan tujuannya yaitu menarik lebih banyak masyarakat untuk
mematuhi sistem pajak.
Oleh karena itu sangat penting untuk pemerintah Afrika selatan
membatasi penawaran dari tax amnesty yang berulang dan terus
memfokuskan untuk mengatasi permasalahan ekonomi negara yang
61
mungkin dapat menyebabkan masyarakat menjadi tidak patuh. Oleh
karena itu, pemberian tax amnesty yang berulang dianggap kurang
berhasil dibandingkan dengan tax amnesty yang hanya dilakukan satu
kali sebagai potensi untuk memperoleh pendapatan dalam jangka
panjang. Untuk selanjutnya akan berdampak negative pada kepatuhan
secara sukarela ( voluntary compliance) ( alm, 1998). Uchitelle (1989)
menyatakan bahwa desain yang baik dalam program amnesty harus
diikuti dengan struktur dan tax reform yang berpotensi untuk
mendapatkan hasil yang menguntungkan pada negara berkembang.
3. Tax Amnesty di India
India memiliki sejarah yang berulang-ulang dalam pemberian program
pengampunan pajak yang menghasilkan jumlah penghasilan pajak yang
kecil dan semakin menurun. Dalam sejarahnya, India telah banyak
memberikan program tax amnesty selama beberapa dekade yang lalu yaitu
tahun 1952, 1965, 1975, 1981, 1985, 1986, 1991 dan terakhir pada tahun
1997 (James 1998 dalam Santoso et al, 2009). Namun pemberian program
pengampunan pajak pada tahun 1997 sangat jauh berbeda. Program
pengampunan pajak ini berhasil menghimpun pajak sebesar 100 miliar
rupee dari sekitar 350.00 Pembayar Pajak Orang Pribadi atau hampir tiga
kali lipat dari total penerimaan pajak dari amnesti sebelumnya (das-gupta et
al, 1995 dalam bose et al, 2010). Semenjak tahun 1975, program tax
amnesty di India semakin sering diberlakukan, dapat ditebak yaitu sekitar
62
lima atau enam tahun sekali sehingga telah menjadi bagian iklim
melemahnya penegakan peraturan pajak penghasilan, akibatnya intensitas
tuntutan hukum lebih rendah dan penyelesaian atas tunggakan pajak diluar
pengadilan menjadi mudah (santoso, 2009).
Semenjak
1975
sampai
1976
india
memperbaiki
neraca
perdagangannya dari mulai -286 juta hingga +787 juta US Dollar yang
menunjukkan betapa drastisnya perubahan dalam ekonominya (bose, 2010).
Dan pada akhirnya amnesty di India pada 1997 merupakan suatu
keberhasilan yang patut diperhitungkan. Program The Voluntary Disclosure
of Income Scheme (VDIS’ 97) terhitung sekitar 20 persen dari pendapatan
kotor tahunan pajak (bose, 2010).
4. Tax Amnesty di Perancis
Tahun 1986 pemerintah Prancis mendesain program pengampunan pajak
untuk menarik pajak dari penghasilan yang secara illegal ditransfer ke luar
negeri. Pemerintah secara signifikan mengurangi tarif pajak atas penanaman
modal kembali dan menghapuskan pajak atas kekayaan. Program
pengampunan pajak ini mengikuti program yang sejenis pada tahun 1982
yang juga di desain untuk menarik kembali modal yang ditanam di luar
negeri (Marlherbe, 2011).
Program ini tidak diikuti dengan peningkatan upaya penegakan hukum
atau sanksi yang lebih berat. Jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dari
program ini tidak diketahui secara pasti walaupun jumlah pajak yang
63
berhasil dikumpulkan dari program ini tidak diketahui secara pasti, namun
diperkirakan hasilnya sangat kecil.
Namun demikian, arus modal masuk dari luar negeri non-perbankan
tumbuh sekitar 400% pada tahun 1986. Sebagian besar peningkatan arus
masuk tersebut, menurut bank sentral Perancis berasal dari program
pengampunan pajak (Uchitelle, 1989).
5. Tax Amnesty di Kolombia
Pada tahun 1987 pemerintah Kolombia memberlakukan program
program pengampunan pajak yang memperkenankan Pembayar Pajak
membetulkan pelaporan pajak yang sebelumnya tidak melaporkan asetnya
atau hutang pajaknya tanpa dikenakan sanksi denda ataupun penuntutan.
Syarat untuk mendapatkan program pengampunan pajak adalah
penghasilan yang dilaporkan Pembayar Pajak minimal harus sama besar
dengan penghasilan yang telah dilaporkan sebelumnya dan Penunggak pajak
yang sudah terdeteksi diperbolehkan untuk mendapatkan pengampunan
pajak.
Pemerintah Kolombia juga mengubah beberapa fitur pada sistem
perpajakan antara lain: mengurangi tarif pajak, mengeliminasi pengenaan
pajak berganda terhadap dividen, dan meningkatkan tarif pajak withholding
serta meningkatkan usaha penegakan hukum dan pengenaan sanksi.
Program pengampunan pajak ini berhasil mengumpulkan penerimaan $93
juta atau 0,3% dari GDP tahun 1987 (Uchitelle, 1989).
64
6. Tax Amnesty di Irlandia
Pada tahun 1988, pemerintah Irlandia mengumumkan program program
pengampunan pajak yang mengijinkan Pembayar Pajak untuk membayar
pajak penghasilannya dengan cicilan selama 10 bulan tanpa dikenakan
sanksi bunga atau denda ataupun resiko menghadapi tuntutan hukum pidana
atau perdata. Secara bersamaan, pemerintah menambah jumlah tenaga
auditor pajak dan mulai mengumumkan nama-nama penunggak pajak atau
Pembayar Pajak nakal pada koran utama nasional. Pihak pemerintah juga
memperkenalkan sistem perpajakan baru yang akan mulai efektif berlaku
pada saat program program pengampunan pajak berakhir, dimana sistem
perpajakan baru tersebut akan mengenakan sanksi bunga dan denda yang
lebih tinggi, dan peningkatan wewenang yang dimiliki oleh pemeriksa
pajak.
Pemerintah Irlandia menargetkan pendapatan dari program tax amnesty
sebesar $50 juta, namun ternyata pendapatan pajak dari program tersebut
mencapai $750 juta. Hasil yang menggembirakan disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya pemerintah Irlandia belum pernah memberlakukan tax
amnesty sebelumnya dan pemerintah menegaskan bahwa program
pengampunan pajak tersebut adalah pertama dan terakhir kalinya yang
diberikan kepada wajib pajak nakal. Peningkatan penegakan hukum pasca
program pengampunan pajak juga berkontribusi besar terhadap kesuksesan
program ini (Uchitelle, 1989).
65
66
B. Perbandingan Penerapan Tax Amnesty di Beberapa negara di Dunia
Berikut merupakan perbandingan yang telah berhasil penulis rangkum berdasarkan penerapan-penerapan tax
amnesty yang telah penulis uraikan di atas.
Tabel 4.1
Perbandingan Penerapan Tax Amnesty
Negara
Argentina
Tahun
1987
Penerapan tax amnesty
Pengampunan berupa pembebasan pajak atas
seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan
sebelumnya untuk tujuan investasi
1995
Pengampunan terhadap bunga dan sanksi yang
secara sukarela membayar hutang dan pokok
pajak serta melaporkan aset yang belum tercatat
Pengampunan terhadap hutang dan sanksi pidana
perpajakan dengan membayar social security
beserta hutang pajaknya
Pengampunan terhadap bunga dan sanksi yang
secara sukarela menyerahkan mata uang asing
yang tidak dilaporkan
2009
2013
Hasil pencapaian dari penerapan
Dianggap gagal karena tidak
berhasil menambah pendapatan
pajak serta tidak didukung dengan
peningkatan penegakkan hukum
pada tahun 1987
Bersambung pada halaman berikut.
66
Negara
Afrika Selatan
Tahun
1996
2003
2006
2010
India
1997
Perancis
1986
Kolumbia
1987
Penerapan tax amnesty
Hasil pencapaian dari penerapan
Pembebasan terhadap bunga, sanksi dan denda  Terdapat peningkatan
pajak
penerimaan sebesar ZAR 68,9
milyar pad atahun 2003
Pengampunan berupa pembebasan atas bunga dan

Dianggap sukses karena berhasil
sanksi
serta
sanksi
pidana
dengna
memulangkan aset asing sebesar
mengungkapkan secara terbuka mengenai asetnya
ZAR 45 milyar atau sebesar
Pembebasan terhadap bunga dan, sanksi dan
63% dari pendapatan pada tahun
denda pajak terhadap pengusaha kecil
2003
Voluntary Disclosure Program (VDP)
 Pada tahun 2006 dianggap gagal
karena tidak mencapai target
dari permohonan tax amnesty
Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap sukses Karena berhasil
dengan secara sukarela melaporkan harta dan menghimpun pajak sebesar
pajak terutangnya
100milyar rupee dari 350000
pembayar pajak dan hamper tiga
kali lipat dari total penerimaan
pajak sebelumnya
Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap gagal karena tidak
dengan secara sukarela melaporkan harta dan berhasil meningkatkan penerimaan
pajak terutangnya
pajaknya
Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap sukses karena berhasil
dengan secara sukarela melaporkan harta dan mengumpulkan penerimaan sebesar
pajak terutangnya
$93juta atau sebesar 0,3% dari GDP
pada tahun 1987
‘
Bersambung pada halaman berikut.
67
Negara
Irlandia
Tahun
1988
Penerapan tax amnesty
Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi
ataupun tuntutan pidana dan diperkenankan
mencicil pajak penghasilannya selama 10 bulan
dengan secara sukarela melaporkan harta dan
pajak terutangnya
Hasil pencapaian dari penerapan
Dianggap sukses besar karena
berhasil menghimpun penerimaan
sebesar $750 juta dari target yang
hanya sebesar $50 juta dan
penerapan tax amnesty ini hanya
terjadi sekali
Sumber: Diolah oleh penulis berdasarkan hasil penelitian
68
C. Penerapan Tax Amnesty di Indonesia
1. Program Pengampunan Pajak Tahun 1964
Di Indonesia juga merupakan salah satu negara yang pernah melakukan
pengampunan pajak.Pengampunan pajak itu sendiri diperkenalkan pertama kali
pada masa kepemimpinan presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu
Sokerano pada tahun 1964 di bawah peraturan Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang pengampunan pajak. Menurut Daryadi
(2004) dalam Yuliana (2008) pemerintah memiliki empat alasan yang kuat
dalam mengeluarkan peraturan pajak ini yaitu:
a. Keadaan ekonomi pada saat itu tidak begitu baik dimana inflasi
berkembang dari tahun ke tahun. Hal tersebut mudah untuk dijadikan
alasan bagi para wajib pajak untuk menghindarkan sebagian besar laba,
pendapatan dan kekayaannya dari peraturan-peraturan pajak atas laba,
pendapatan dan kekayaan yang saat itu berlaku.
b. Sistem pembukuan yang lengkap dan benar pada saat itu tidak mudah
untuk dilaksanakan. Indonesia menganut sistem laba fiskal yang
meliputi pula laba inflasi. Hal tersebut memberikan dorongan bagi wajib
pajak untuk melanggar peraturan pajak.
c. Tarif pajak pendapatan saat itu merupakan tarif progresif yang dianggap
sangat berat atau tinggi oleh wajib pajak. hal tersebut dianggap oleh
masyarakat sebagai hukuman berat. Pendapatan yang diperoleh sebagai
hasil kerja keras wajib pajak tidak terlalu bisa dirasakan manfaatnya
69
Karena faktor inflasi. Selain itu terdapat proporsi tertentu dari
pendapatan yang harus diserahkan kepada negara dalam bentuk pajak
pendapatan. Hal ini dapat memotivasi wajib pajak untuk mengelak dari
kewajiban perpajakannya.
d. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu memerlukan dana
besar untuk membiayai “Revolusi Nasional Indonesia”, pelaksaan
Dwikora dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana
yang menjadi salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno.
Didalam penjelasan umum dari Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964
tentang Pengampunan pajak juga telah dijelaskan beberapa alasan pemerintah
mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini pada tahun itu. Berikut merupakan
beberapa alasan pemerintah berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun
1964 tentang pengampunan pajak, yaitu:
a. Keadaan inflasi yang berkembang dari tahun ke tahun yang
menunjukkan ekonomi menjadi tidak baik. hal tersebut dapat berpotensi
menimbulkan perilaku yang tidak sesuai peraturan atau menyimpang
dari peraturan seperti menghindarkan sebagian besar laba, pendapatan
dan kekayaannya dari pengenaan pajak berdasarkan peraturan yang
berlaku pada saat itu.
b. Tata buku atau sistem pembukuan yang dianut saat itu tidak mudah
untuk dilaksanakan. Sistem laba fiskal, yang juga meliputi laba inflasi
70
mendorong para wajib pajak saat itu untuk melanggar ketentuanketentuan yang berlaku saat itu.
c. Tarif pajak progresif yang pada saat itu diberlakukan dianggap sangat
berat bagi para wajib pajak sehingga mereka tidak bisa cukup
menikmati hasil kerja mereka. Hal ini tentu dapat mendorong terjadinya
pelanggaaran pajak.
d. Sistem penilaian harta kekayaan untuk pajak kekayaan pada saat itu
berdasarkan nilai uang, kecuali apabila nilai jualnya lebih tinggi.
Akibatnya pajak kekayaan akan menjadi lebih bear karena pengaruh
inflasi. Hal ini dapat mendorong para wajib pajak untuk tidak
melaporkan kekayaan mereka yang sebenarnya.
e. Pemerintah menyadari ketidakmampuan para aparatur pemungutan
pajak saat itu untuk melakukan penagihan pajak kepada para wajib
pajak saat itu.
f. Disamping itu, pada masa itu pemerintah Indonesia juga memerlukan
dana yang cukup besar untuk mendanai Revolusi Nasional Indonesia,
Dwikora dan melanjutkan program Pembangunan Nasional Semesta
Berencana.
Kebijakan pengampunan pajak digunakan oleh pemerintah pada tahun
1964 untuk menarik dana dari masyarakat yang potensial namun belum
dikenakan pajak. pada saat yang sama dengan ditetapkan pengampunan pajak,
pemerintah juaga mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan keuangan datau
71
fiskal dibawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE)
(Yuliana, 2008).
Dari Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964, kita
dapat mengetahui beberapa hal mengenai aspek-aspek pengaturan dari
pengampunan pajak pada masa itu, diantaranya adalah:
a. Subjek pengampunan pajak, yang menjadi subjek dari program
pengampunan pajak pada saat itu adalah masyarakat yaitu wajib pajak
orang pribadi dan badan.
b. Objek pengampunan pajak, objek dari pengampunan pajak pada saat itu
adalah pajak pendapatan, pajak kekayaan dan pajak perseroan.
c. Besaran tarif yang dikenakan pada masa itu dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1. 10% (sebagai tarif ampunan atau tarif umum) dari harta atau
kekayaan atau modal yang diberikan pengampunan.
2. 5% (tarif reduksi) sebagai perangsang bila harta atau kekayaan atau
modal yang diberikan pengampunan ditananmkan pada usaha-usaha
baru dan yang sudah ada yang dapat mempertinggi produksi
lapangan:
1) Pertanian, perikanan, peternakan
2) Pertambangan
3) Perindustrian
4) Pengangkutan.
72
Dengan pengecualian untuk pengeluaran-pengeluaran untuk alat-alat
perusahaan yang terlebih dahulu digunakan di Indonesia dan
pengeluaran yang dianggap mewah atas pertimbangan Kepala
Direktorat Pajak. Namun apabila tidak seluruhnya ditanam maka atas
modal yang tidak dipergunakan sebagaimana rencana semula,
dipungnut kekurangannya sebesar 5% lagi.
d. Para wajib pajak juga akan difasilitasi dengan jaminan pemerintah
bahwa daya beli (modal) yang disalurkan untuk usaha-usaha produktif
tersebut dibebaskan dari tuntutan pajak dan menginstruksikan kepada
instansi-instansi pemerintah yang bertugas di bidang fiskal atau pidana
tidak mengadakan suatu pertanyaan, penyelidikan dan pemeriksaan
tentang asal-usulnya.
e. Jangka waktu pengampunan pada waktu itu adalah sekitar 7 bulan,
terhitung sejak tanggal diberlakukannya peraturan ini yaitu pada tanggal
9 September 1964 hingga 17 Agustus 1965.
f. Hukuman pun akan diberikan jika yang dilaporkan termasuk yang
dimohonkan pengampunan nilainya lebih rendah dari yang sebenarnya,
maka akan ditagih selisihnya dan ditambah dengan sanksi sebesear
400% dari selisih kurang disetor.
73
2. Program Pengampunan Pajak Tahun 1984
Pengampunan pajak pada tahun 1984 di perkenalkan pada masa
kepemimpinan Presiden Soeharto. Penerapan pengampunan pajak pada saat itu
diperintahkan secara langsung oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Berturut setelah penerbitan Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1984, pemerintah juga mengeluarkan keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
345/KMK
04/1984
tentang
pelaksanaan
pengampunan pajak. pengampunan pajak pada masa itu juga ditetapkan sebagai
pelengkap dari pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Nomor 6, 7 dan 8
Tahun 1983 (Yuliana, 2008).
Latar belakang pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengampunan
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 adalah atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan sistem perpajakan yang baru yang diharapkan dapat
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional
b. Pelaksaan sistem perpajakan baru tersebut memerlukan adanya pangkal tolak
yang bersih berdasarkan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat
c. Pangakl tolak yang bersih membutuhkan dukungan dari masyarakat yang
telah terdaftar untuk melaporkan seluruh penghasilannya dan masyarakat
yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif seharusnya telah terdaftar
sebagai wajib pajak.
74
Dari Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tersebut dapat kita ketahui
beberapa hal yang terkait dengan aspek-aspek dalam peraturan tersebut
diantaranya adalah:
a. Subjek pengampunan pajak dalam peraturan ini adalah semua orang pribadi
dan badan usaha, baik yang telah terdaftar sebagai wajib pajak maupun yang
belum pernah mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
b. Jenis pajak yang dapat dimintakan pengampunan adalah pajak-pajak yang
belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan pajak, meliputi beberapa hal
diantaranya:
1) Pajak pendapatan atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun pajak
1983 dan sebelumnya
2) Pajak kekayaan atas kekayaan yang dimiliki pada tanggal 1 Januari
1984 dan sebelumnya
3) Pajak perseroan atas laba yang diperoleh dalam tahun pajak 1983 dan
sebelumnya
4) Pajak atas bunga, deviden dan royalty yang terhutang atas bunga,
deviden dan royalty yang dibayarkan atau disediakan untuk dibayarkan
sampai dengan tanggal 31 Desember 1983
5) Memungut Pajak Orang (MPO) Wajib Pungut (Wapu) yang terhutang
dalam tahun 1983 dan sebelumnya
75
6) Pajak Pendapatan buruh yang terhutang dalam tahun pajak 1983 dan
sebelumnya
7) Pajak penjualan yang terhutang dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya
c. Besarnya tarif uang tebusan adalah sebesar 1% atau 10% dari jumlah
kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
dimintakan pengampunan. Jumlah kekayaan yang dimaksud adalah
kekayaan bersih yang tercantum dalam daftar kekayaan/neraca per 1 Januari
1984 yang benar. Besarnya tarif yang ditentukan Keputusan Presiden Nomor
26 Tahun 1984 menurut pasal 3 yaitu:
1) 1% (satu persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib
paajk yang pada tanggal ditetapkannya peraturan ini telah memasukkan
Surat Pemberitahuan (SPT) pajak Pendapatan/pajak perseroan tahun
1983 dan pajak kekayaan tahun 1984
2) 10% (sepuluh persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib
pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1984 ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak
pendapatan/pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984.
d. Jangka waktu dari pengampunan pajak pada masa ini sekitar 9 bulan
terhitung sejak tanggal berlakunya peraturan ini pada tanggal 18 April 1984
dan batas akhirnya pada tanggal 31 Desember 1984.
76
3. Program Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Tahun
2008 (Sunset Policy)
Pada tahun 2008, Indonesia juga telah menyelenggarakan kebijakan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang salama ini kita kenal
dengan kebijakan sunset policy. Kebijakan ini telah diundang-undangkan
dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor
16 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 pada tanggal 17 Juli 2007.
Sunset policy merupakan istilah yang dipergunakan oleh Direktorat
Jendral Pajak untuk menggambarkan suatu kebijakan penghapusan sanksi
administrasi yang terdapat dalam pasal 37A Undang-Undang Nomor 28
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
dirubah terakhirkali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Pada
dasarnya istilah sunset policy tersebut secara umum diartikan sebagai waktu di
sore hari yaitu waktu disaat matahari akan terbenam dan durasi waktu yang
diperlukan untuk terbenam tidak terlalu lama (Hasan, 2009). Makna tersebut
diambil agar memudahkan wajib pajak mengerti dan memahami kebijakan
yang dikeluarkan pada tahun 2008 tersebut memiliki jangka waktu yang
terbatas. Dimana dalam jangka waktu 1 tahun itu wajib pajak diberikan
kesempatan untuk tidak memikirkan sanksi pajak yang seharusnya
dibebankan dengan mempunyai itikad baik untuk mengikuti syarat-syarat
tertentu yang tertera dalam Undang-Undang.
77
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 37A, pemerintah memiliki
latar belakang mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan Sunset Policy
ini. Diantaranya adalah:
a. Dalam rangka memberikan kesempatan kepada pembayar pajak untuk
lebih terbuka dan jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakan yang telah
lalu
b. Dalam rangka memperkuat basis data perpajakan nasional guna
mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil
menghadapi dampak krisis keuangan global.
Dasar hukum dan peraturan pelaksanaan sunset policy secara jelas
mengatur mengenai isi dan tujuan dari kebijakan tersebut. Sunset policy ini
merupakan fasilits penghapusan sanksi administrasi yang diberikan kepada:
a. Wajib pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dalam tahun 2008 dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Orang
Pribadi untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya
b. Wajib pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat
Pemberitahuan (SPT) penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum
tahun pajak 2007 atau SPT tahunan pajak penghasilan Wajib Pajak Badan
sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar (Hasan, 2009).
78
Dari pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP
tersebut dapat kita ketahui beberapa hal mengenai aspek-aspek dari peraturan
tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Subjek pajak dalam program ini sudah jelas tertera pada penjelasan
sebelumnya yaitu para pembayar pajak orang pribadi maupun badan yang
sudah terdaftar maupun yang belum memiliki NPWP
b. Objek pajak dalam program ini adalah pajak penghasilan
c. Fasilitas yang diberikan dalam program ini berupa penghapusan atau
pengurangan sanksi administrasi berupa Bunga keterlambatan dan tidak
akan dilakukan pemeriksaan pajak dengan syarat tertentu.
d. Jangka waktu dari sunset policy sesuai dengan Pasal 37A berlaku selama
satu tahun terhitung sejak diberlakukannya pada tanggal 1 Januari 2008.
Namun setelah masa 1 tahun tersebut hampir berlalu pada tanggal 31
Desember 2008, pemerintah mengeluarkan pengganti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2008 yang memberikan kesempatan bagi para pembayar
pajak untuk mengikuti sunset policy hingga tanggal 28 Februari 2009.
4. Program Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) 2015
Pada Tahun 2015 kemarin, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan
penghapusan sanksi administrasi yang mirip dengan sunset policy. Bahkan
banyak para wajib pajak yang mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan
kebijakan sunset policy jilid 2. Pada dasarnya, dilihat secara umum kebijakan
79
sunset policy dan TPWP 2015 ini memiliki tujuan akhir yang sama yaitu
penghapusan
sanksi
administrasi
bagi wajib pajak
yang terlambat
menyampaikan SPT Tahunan atau pembetulan SPT tahunan.
Tahun Pembinaan Wajib Pajak ini didasari oleh Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
91/PMK.03/2015 tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
Berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut, yang mendasari
pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan ini diterapkan dalam rangka pembinaan terhadap wajib pajak
dan untuk mendorong wajib pajak untuk menyampaikan SPT, membayar
atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak, serta melaksanakan
pembetulan SPT di tahun 2015. Artinya kebijakan ini diterapkan untuk
mendorong kepatuhan dari wajib pajak
b. Kebijakan ini juga diterapkan dalam rangka meningkatkan penerimaan
negara dari sektor perpajakan.
Dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 91/PMk.03/2015 mengenai pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi kita dapat mengetahui aspek-aspek
pengaturan dari program TPWP 2015 ini. Secara umum subjek dari kebijakan
ini sama dengan kebijakan sunset policy pada tahun 2008 silam yaitu wajib
pajak orang pribadi dan wajib pajak badan, yang membedakan program ini
dengan tax amnesty adalah dilihat dari objek pajaknya. Dalam sunset policy
80
objek pajaknya hanya pada pajak penghasilan, sedangkan TPWP 2015 ini
mencakup seluruh jenis objek pajak. jangka waktu dari kebijakan ini hanya
terjadi selama tahun 2015 saja terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 pada 13 Februari 2015.
Berdasarkan gambaran mengenai tax amnesty yang pernah diterapkan di
Indonesia sebelumnya penulis merangkum beberapa hal penting ke dalam
tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2
Penerapan tax amnesty di Indonesia
Tahun
1964
1984
Penerapan tax amnesty
Penerapan yang digunakan
pada Tax Amnesty periode
ini
adalah
tipe
investigation amnesty atau
dengan
kata
lain
pemerintah
menjanjikan
tidak akan menyelidiki
sumber penghasilan yang
dilaporkan pada tahuntahun tertentu dengan
membayar
“uang
pengampunan”
dengan
tarif yang tertera pada
Undang-Undang.
Kebijakan pada periode ini
memeliki tipe yang sama
dengan
periode
sebelumnya
yaitu
menggunakan
tipe
investigation amnesty
Pencapaian
Dari sisi kepatuhan, tax
amnesty pada periode ini
dianggap tidak berhasil
karena pada masa itu
perbaikan structural sistem
perpajakan dan monitoring
terhadap kepatuhan wajib
pajak
serta penerapan
hukum pasca kebijakan ini
tidak
maksimal.
Ini
disebabkan.
Mengenai
tingkat penerimaan pajak
masa itu tidak sesuai target
dan harapan pemerintah.
Terdapat 1.035.989 wajib
pajak orang pribadi dan
badan dan terdapat kurang
lebih 20% wajib pajak yang
turut berpartisipasi dalam
kebijakan ini. Kebijakan
kali
ini dianggal lebih
efektif
dibandingkan
Bersambung pada halaman berikut.
81
Tahun
Penerapan tax amnesty
2008
kebijakan
penghapusan
sanksi administrasi dan
bunga bagi wajib pajak
orang pribadi yang dengan
secara
sukarela
melaporkan SPT tahunan
Wajib Pajak Orang Pribadi
untuk Tahun Pajak 2007
2015
Penerapan kebijakan kali
ini mirip dengan penerapan
pada
tahun
2008
perbedaannya
terdapat
dalam objek pajaknya,
dalam sunset policy objek
pajak terbatas hanya pada
pajak
penghasilan
sedangkan pada kebijakan
kali ini mencakup seluruh
jenis objek pajak
Pencapaian
dengan sebelumnya, namun
dalam hal penerimaan
pajak dari hanya 1% dari
total penerimaan pajak, dan
ini
mengindikasikan
kontribusi kebijakan kali
ini tidak cukup signifikan.
Berhasil menambah jumlah
NPWP sebanyak 5.653.128
serta
menerima
SPT
sebanyak 804.814 SPT.
Dalam hal penerimaan,
pada kebijakan kali ini
mendapat
tambahan
penerimaan dari kebijakan
sunset policy sebesar Rp
7,46 triliun
Dari segi penerimaan pajak
kebijakan kali ini dianggap
sukses karena berhasil
meningkatkan penerimaan
pajak seperti PPh 26 yang
meningkat sebesar 23, 14%
dari tahun sebelumnya
diikuti dengan peningkatan
disektor pajak lainnya.
Sumber: Diolah oleh penulis berdasarkan hasil penelitian
82
D. Gambaran Umum Kebijakan Tax Amnesty yang Akan Diterapkan di
Indonesia
Wanandi (2016) dalam artikelnya menuliskan secara umum kebijakan
pengampunan pajak ini diperuntukkan bagi mereka yang belum atau sudah masuk
ke dalam sistem administrasi pajak, mereka akan diberikan suatu kesempatan
untuk mengungkap (declaring) harta atau aset yang belum dilaporkan kepada
otoritas pajak, baik atas harta yang disimpan di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Dari draft Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Nasional yang
berhasil penulis dapat, dalam Rancangan Undang-Undang tersebut tertulis bahwa
pengampunan
Nasional
merupakan
penghapusan
pajak
terutang,
sanksi
administrasi dan penghapusan sanksi pidana dengan membayar uang tebusan
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang yang saat ini masih berbentuk
draft RUU dan belum disahkan oleh DPR. Jadi dalam kebijakan yang akan
diterapkan ini, untuk mendapatkan fasilitas tax amnesty ini, wajib pajak harus
membayar sebuah penalti yang berupa uang tebusan dengan tarif yang sudah
ditentukan dalam Undang-Undang nantinya. Seperti yang telah penulis jelaskan
sebelumnya, penerapan tax amnesty yang akan diterapkan kali ini sama dengan tax
amnesty yang diterapkan pada tahun 1964 dan 1984 yang di masing-masing
periode tertera dalam pasal 3 Kepres No. 26 Tahun 1984 dan pasal 2 Kepres No. 5
tahun 1964. Peraturan dengan model seperti ini juga terbukti berhasil dan sukses
83
diterapkan di Afrika Selatan terutama pada tahun 2003 silam seperti yang telah
penulis jelaskan sebelumnya dalam penerapan tax amnesty di Afrika Selatan.
Wanandi (2016) menjelaskan bahwa bentuk tax amnesty seperti ini adalah
bentuk tax amnesty repatriasi model, dimana model kebijakan ini pada hakikatnya
bertujuan untuk membuka semua kekayaan yang selama ini diinvestasikan dalam
berbagai bentuk di luar negeri. Namun demikian, dalam kebijakan yang akan
diterapkan ini yang diutamakan adalah bagaimana wajib pajak dapat mengungkap
dan melaporkan aset-aset yang selama ini belum terdaftar meskipun memilih untuk
tidak melakukan repatriasi modal.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada hasil analisis, pembahasan serta temuan penelitian, maka
dapat dikemukakan beberapa simpulan penelitian sebagai berikut:
1. Di Argentina pada tahun 1987 memberikan pengampunan berupa
pembebasan pajak atas seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan
sebelumnya, namun kebijakan ini dianggap gagal karena tujuannya dalam
meningkatkan pendapatan tidak tercapai dan juga kebijakan ini tidak
didukung dengan peningkatan penegakkan hukum pada saat itu. Berbeda
halnya dengan di Afrika Selatan, penegakkan tax amnesty mereka berhasil
karena Afrika Selatan meningkatkan penegakkan hukumnya pasca tax
amnesty di tahun 2003, serta Afrika Selatan juga menerapkan sistem
paksa, jika wajib pajak tidak berpartisipasi dalam programnya pada waktu
itu, dikemudian hari jika terbukti melakukan kesalahan hukumnya akan
lebih berat. Kesimpulannya penerapan tax amnesty di negara-negara asing
di dunia pada dasarnya memiliki alasan yang sama yaitu meningkatkan
kepatuhan dan penerimaan pajak mereka, dan juga tax amnesty sebaiknya
diikuti dengan peningkatan penegakkan hukum setelah penerapannya.
2. Penerapan tax amnesty di Indonesia ternyata bukanlah suatu hal yang baru.
Indonesia semenjak pemerintahan Presiden pertama Soekarno telah
menerapkan tax amnesty hingga saat ini akan akan diterapkan kembali
85
nantinya. Kebijakan tax amnesty di Indonesia pertama kali diterapkan pada
tahun 1964 dibawah Peraturan Presiden Penpress No. 5 Tahun 1964.
Kemudian di tahun 1984 kebijakan tax amnesty kembali diterapkan pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto dibawah peraturan Penpress No. 26
Tahun 1984. Kedua kebijakan yang telah diterapkan di kedua periode ini
tidak berhasil tercapai. Karena pada masa itu, kebijakan tax amnesty tidak
diikuti dengan peningkatan penegakkan hukum setelah penerapannya.
Kemudian di tahun 2008 Indonesia kembali menerapkan kebijakan tax
amnesty yang bernama sunset policy namun dengan bentuk yang berbeda
dari sebelumnya, dimana pada waktu itu hanya mengampuni atau
menghapus sanksi administrasa, denda serta bunga saja. Kebijakan pada
masa ini terhitung sukses dalam meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak. Terakhir, kebijakan yang baru saja selesai diterapkan adalah
TPWP 2015 (Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015). Kebijakan ini hampir
mirip sunset policy dalam hal penerapannya.
B. Implikasi
1. Bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak serta pembuat kebijakan, penelitian
ini dapat digunakan sebagai acuan untuk bahan pertimbangan bentuk
kebijakan tax amnesty yang akan diterapkan nantinya.
2. Bagi akademisi, peneliti serta pembaca, diharapkan untuk dapat
melanjutkan penelitian yang berkaitan mengenai tax amnesty, sehingga
bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan.
86
C. Saran
1. Jika kebijakan tax amnesty ini kembali diterapkan, peneliti berharap
kepada penelitian selanjutnya untuk meneliti seperti apa pengaruhnya
terhadap penerimaan negara dan kepatuhan dalam jangka panjangnya.
2. Peneliti
selanjutnya
diharapkan
menggunakan
metode
penelitian
kuantitatif dalam menghitung seberapa besar pengaruhnya terhadap
penerimaan.
3. Karena keterbatasan akses dalam mengambil sumber dan waktu yang
terbatas, peneliti berikutnya diharapkan dapat mengambil sumber yang
lebih luas lagi.
87
DAFTAR PUSTAKA
Alm, James “Tax Policy Analysis: The Introduction of a Russian Amnesty.” GSU
Andrew Young School of Policy Studies, Working Paper No. 98-6, 1998
Amir, Hidayat dan Setiyaji, Gunawan. “Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan
Indonesia” Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa Unggul, 2005
Arini, Ranti Kusuma. “Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia (Suatu Tinjauan
Atas Kebijakan Pengampunan Pajak Tahun1984 dan Pengampunan Pajak
Tahun 2008)” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Depok, 2008
Bastable, Charles Francis “Public Finance” Edisi 3, Simmon Publication LLC,
London, 1993
Brotodihardjo, R. Santoso. ”Pengantar Ilmu Hukum Pajak” Aditama, Bandung, 1998
Christina, M. Ritsema. :Economic and Behavioral Determinants of Tax Compliance:
Evidence from the 1997 Arkansas Tax Penalty Amnesty Program”
Departement of Economics, Management and Accounting Hope College,
Michigan, 2003
Damjanovic, T. and Ulph, D. “Tax progressivity, income distribution and tax noncompliance” Discussion Paper Series. 0712: 1-26, 2007
Darussalam “meneropong pajak rezim baru” inside tax media tren perpajakan, edisi
26, Desember 2014
Darussalam, “tax amnesty sebagai awal reformasi pajak” Inside tax media tren
perpajakan, edisi 37, Maret 2016
Darussalam “tax amnesty: upaya transisi menuju era transparansi perpajakan
global” inside tax media tren perpajakan, edisi 29, Maret 2015
Das-Gupta, Arindam dan Mookherjee, Dilip. “Tax Amnesties In India: An Empirical
Evaluation” IRIS-India Working Paper No.4, 1995
Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu “Perpajakan: Konsep, Teori, dan isu” kencana,
jakarta, 2006
Godfrey, Mike. “Argentina Extends Foreign Currency Tax Amnesty Again” diakses
pada tanggal 5 Maret 2016 melalui: www.taxnews.com/news/Argentina
Extend Foreign Currency Tax Amnesty Again63269.html
88
Harahap, Abdul Asri. “paradigma baru perpajakan Indonesia, perspektif Ekonomi
Politik” Integritas Dinamika Press, Jakarta, 2004
Hutagaol, John dan Tobing “Kebijakan Soft Tax Amnesty dalam Undang-Undang
KUP” Inside Tax edisi 38, Mei 2008
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. “Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen” Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 2002
Irawan, Prasetya. “Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial”
Departemen Ilmu Adminstrasi FISIP UI, 2006
Ismail, Tjip “Menyibak Fenomena Perpajakan di Belahan Dunia”. Yarsif
Watampone, Jakarta, (2004).
Junpath, Sachin Vir.”Multiple Tax Amnesties and Compliance in South Africa”
Durban University of Technology, Afrika Selatan, 2013
Kepres No. 26 Tahun 1984 tentang pengampunan pajak, diakses pada 29 January
2016melalui:www.hukumonline.com/pusatdata/detail/3297/node/994/keppresno-26-tahun-1984-pengampunanpajak
Killian, Sheila dan Kolitz “Revenue approaches to income tax evasion: a
comparative study of Ireland and south Africa” Journal of Accounting Ethics
and Public Policy, 2004
Kilonzo, Tom M. “The effects of tax amnesty on revenue growth in Kenya”
University of Nairobi, Kenya, 2012
KMK No. 345/KMK 04/1984 tentang pelaksanaan pengampunan pajak, diakses
pada
tanggal
14
Februari
2016
melalui:
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/150817%5B_Konte
n_%5D-KEPMEN%20KEUANGAN%20NO.%20345-KMK.04-1984.PDF.
Kusuma, Dewi Rachmat,“andalkan tax amnesty, target tahun pajak tidak direvisi”
Diakses pada tanggal 5 januari 2016 melalui: http://finance.detik.com/
Luitel, H,. S,. “Essay on Value Added Tax Evasion and Tax Amnesty” Departement
of Economics Morgantown, West Virginia, 2005
Manuel, T.A. ”Introduction of exchange control amnesty and amendment of Taxation
Laws Bill” Di akses pada tanggal 18 Januari 2016 melalui:
www.treasury.gov.za/comm_media/speeches/2003/2003051501.pdf
Marlherbe, Jaques. “Tax Amnesties” wolters Kluwer Law and Business, United stated
of America, 2011.
89
Muda, Widyaiswara. “tax amnesti lagi, perlu kah?” Inside tax media tren perpajakan,
edisi 31, Mei 2015
Mutia, Sri Putri Tita. “Pengaruh Sanksi Perpajakan, Kesadaran Perpajakan,
Pelayanan Fiskus dan Tingkat Pemahaman Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi” Ejournal Unp, 2014
Neuman, Lawrence William. “Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approach, 4 ed” Allyn & Bacon, USA, 2000
Nurmantu, Safri. “Pengantar perpajakan” yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2005
Penpres No. 5 Tahun 1964 tentang peraturan pengampunan pajak, diakses pada 2
Februari
2016
melalui:
www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt53edd0af6991f/node/656/penpresno-5-tahun-1964-peraturan-pengampunan-pajak
Peraturan Menteri Keuangan No. 29 /PMK.03/2015 tentang “Penghapusan Sanksi
Administrasi Bunga Yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009” diakses pada tanggal 20 Februari
2016 melalui: http://www.pajak.go.id/sites/default/files/info-pajak/PMK%20%2029.PMK03.2015.pdf.
Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2015 Tentang “Pengurangan atau
Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat
Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan
Pembayaran Atau Penyetoran Pajak” diakses pada tanggal 1 Maret 2016
melalui:http://www.pajak.go.id/sites/default/files/infopajak/91PMK.032015Pe
r.pdf.
Purnaditya, Riano Roy. “Pengaruh Pemahaman Pajak, Kualitas Pelayanan dan
Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Pajak” Universitas Diponegoro, Semarang,
2015
Ragimun. “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2014.
Rasyid dan Winang Budoyo, “meraih asa pengampunan pajak” diakses pada tanggal
3
maret
2016
melalui:
http://www.koransindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-02-02
Santoso, Urip. “Metodologi Penelitian Kualitatif “ Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
90
Santoso, Urip, dan Justina Setiawan “Pengampunan Pajak Tax amnesty dan
Pelaksanaanya di Beberapa Negara” Jurnal Perspektif Bagi Pebisnis
Indonesia 11, 1-2, 2009
Saputra, Robert. “Pengaruh Sanksi, Kesadaran Perpajakan, Dan Kualitas Pelayanan
Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi
Empiris Pada Wajib Pajak Kabupaten Pasaman)” Ejournal Unp vol. 3 No. 1,
2015
Seligman, Edwin R.A. ”Essay on Taxation” Edisi 10, New York, 1925
Sepyarini, Indah Dwi. “Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Mutual Agreement
Procedure Serta Interaksinya dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Depok, 2010
Silitonga, Erwin. “ekonomi bawah tanah, pengampunan pajak dan referendum”
diakses
pada
tanggal
23
November
2015
melalui:
www.pajak.go.id/content/ekonomi-bawah-tanah-pengampunan-pajak-danreferendum
Soemitro, Rochmat. “Dasar-dasar hukum pajak dan pajak pendapatan” PT. Eresco,
Bandung, 1994
Sommerfeld, Ray M., Hershel M. Anderson dan Horace R. Brock, “An Introduction
to Taxation” Harcourt Brace Jovanovich Inc, New York, 1983
Syadullah, Makmun. “optimalisasi pajak melalui tax amnesty” diakses pada tanggal
21
Desember
2015
melalui:
http://koran.bisnis.com/read/20150107/251/388477/optimalisasi-pajakmelalui-tax-amnesty
Tobing, Ganda C., Gallantinp Farman dan Dienda Khairani, “Pahami dan
Manfaatkan Reinventing policy” inside tax media tren perpajakan, edisi 31,
mei 2015
Uchitelle, Eliot. “The effectiveness of tax amnesty programs in selected countries”
FRBNY Quarterly Review/ Autumn, 1989
Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang “Ketentua Umum dan Tata Cara
Perpajakan” diakses pada tanggal 20 Februari 2016 melalui:
www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/PersandinganUUPerpajakan.pdf
Wanandi, Sofjan. “Tax amnesty, langkah awal menuju reformasi pajak yang
menyeluruh” Inside tax media tren perpajakan, edisi 37, Maret 2016
91
Wardiyanto, Bintoro. “Tax Amnesty Policy (The Framwork Perspective of Sunset
Policy Implementation Based on The Act no. 28 of 2007)” Universitas
Airlangga, Surabaya, 2008
Widagdo, s. “Kamus Hukum” Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012
Yudkin, Leon. “a legal structure for effective income tax administration” Harvard
law school, Cambridge, 1971
92
Download