ANALISIS PENERAPAN TAX AMNESTY DALAM RANGKA MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DAN PENERIMAAN PAJAK SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Oleh: Rizki Andrian NIM: 109082000095 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M ii iii iv v DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi Nama : Rizki Andrian Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 21 Desember 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Jl. Winong No.5A RT. 003/006 Sudimara Timur, Ciledug Kota Tangerang Agama : Islam Telepon : 08990055929 E-mail : Rzki_24@live.com II. Pendidikan Formal 1997-2003: SD Negeri 11 Tangerang 2003-2006: SMP PGRI 2 Ciledug 2006-2009: SMA Negeri 12 Tangerang 2009-2016: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi vi THE ANALYSIS OF TAX AMNESTY IMPLEMENTATION IN ORDER TO IMPROVE TAXPAYERS COMPLIANCE AND TAX REVENUE ABSTRACT The purpose of this study was to describe the application of tax amnesty in a few countries in the world and also illustrates how the application of the tax amnesty in Indonesia starting from the application of the first until the last time applied. The method of analysis used in this research is descriptive analysis method to describe how the implementation of tax amnesty in various countries around the world and in Indonesia. The data collection is done with archival methods for analysis and provides an overview of the application of the tax amnesty. The results showed that Each country has different objectives in implementing policies and tax amnesty as well as each country has a procedure or application characteristics are different depending on what the purpose of the policy was implemented . The success rate of the tax amnesty depends on the purpose of the policy implementation. Keywords: Tax Amnesty, Tax Amnesty Implementation Analysis vii ANALISIS PENERAPAN TAX AMNESTY DALAM RANGKA MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DAN PENERIMAAN PAJAK ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan tax amnesty di beberapa negara di dunia dan juga menggambarkan bagaimana penerapan tax amnesty di Indonesia mulai dari penerapan yang pertama kali hingga yang terakhir kali diterapkan. Metode analisis penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan mendeskripsikan bagaimana penerapan tax amnesty di berbagai negara di dunia dan di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode archival untuk kemudian dianalisis dan memberikan gambaran mengenai penerapan tax amnesty. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tiap-tiap negara memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam penerapan kebijakan tax amnesty dan juga tiap negara memiliki prosedur atau karakteristik penerapan yang berbeda pula tergantung dari apa tujuan kebijakan itu diterapkan. Tingkat keberhasilan dari tax amnesty tergantung dari tujuan diterapkannya kebijakan tersebut. Kata Kunci: Tax Amnesty, Analisis Penerapan Tax Amnesty viii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh Puji syukur Alhamdulillah, penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Penerapan Tax Amnesty Dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dan Penerimaan Pajak”. Dengan selesainya skripsi ini, bagi penulis merupakan sebuah titik kulminasi perjuangan yang selama ini ditempuh dalam rangka memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu, penulis berharap dapat terus melanjutkan perjuangan dalam hal mengembangkan diri dan menggapai cita-cita pada jenjang berikutnya. Dengan skripsi ini pula, penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu akuntansi pada umumnya, dan mahasiswa Akuntansi khususnya. Penulis meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan ketetapan Allah SWT., namun penyusunan skripsi ini tidak lepas dari orang-orang di sekitar penulis yang begitu banyak memberi bantuan serta dukungan pada penulis. Untuk itulah pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu dan Bapak, orang tuaku tercinta. Syukur saya panjatkan kepada Allah karena terlahir sebagai anak dari Ibu dan Bapak. Beribu-ribu ucapan terima kasih atas segala curahan kasih sayang, kesabaran, perhatian, do’a dan motivasi yang telah Ibu dan bapak berikan kepada saya, yang tak akan pernah bisa saya balas. Hanya Allah yang bisa membalasnya, semoga Ibu dan bapak selalu ada dalam rahmat Allah, aamin. Dan juga terima kasih kepada Ibu dan Bapak yang telah mempercayakan penulis hingga saat ini sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Rini, Ak., CA., selaku dosen pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang senantiasa dengan tulus, ikhlas, sabar dan kasih sayangnya ix memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Ibu Yessi Fitri, SE., M.Si., Ak., CA., selaku dosen pembimbing II dan juga ketua jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis dalam penulisan skripsi ini yang telah tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. 5. Bapak Dr. Amilin, SE.AK.,M.Si, CA selaku wakil dekan bidang akademik yang telah memotivasi penulis dan selalu mengingatkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Segenap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 7. Segenap karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan pelayanannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 8. Keluarga besarku, kedua kakak saya. Terima kasih atas semua perhatian, motivasi dan do’anya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 9. Sahabat saya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman dan sahabat kelas Akuntansi C, yang tidak bisa penulis sebut satu per satu. Terima kasih telah terus mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman angkatan 2009 akuntansi yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas semua persahabatan dan motivasinya. 12. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu semoga semua bantuan yang telah kalian berikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh x karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan kritik yang membangun untuk penulisan skripsi ini dari semua pihak. Jakarta, Maret 2016 (Rizki Andrian) xi DAFTAR ISI Keterangan Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF.......................... iii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI........................................... iv LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................... vi ABSTRACT................................................................................................... vii ABSTRAK.................................................................................................... viii KATA PENGANTAR................................................................................. ix DAFTAR ISI............................................................................................... xii DAFTAR TABEL....................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR............................................................................... BAB I xvi PENDAHULUAN............................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah................................................ 1 B. Perumusan Masalah…….............................................. 9 C. Tujuan Penelitian.......................................................... 9 D. Manfaat Penelitian…………………………………… 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................... 11 A. Kerangka Teori............................................................. 11 1. Pengertian Pajak....................................................... 11 2. Fungsi Pajak………................................................. 14 xii 3. Pajak Sebagai Penerimaan Negara…………………. 15 4. Kepatuhan Perpajakan.............................................. 23 5. Sanksi Perpajakan…………………………………. 25 6. Tax Amnesty………………………………………. 30 B. Penelitian Terdahulu..................................................... 36 C. Kerangka Pemikiran..................................................... 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................... 42 A. Ruang Lingkup Penelitian.............................................. 42 B. Jenis Penelitian............................................................... 44 C. Data dan Sumber……………………………………… 45 D. Metode Pengumpulan Data............................................ 45 E. Metode Analisis Data.................................................... 46 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................... 48 A. Gambaran penerimaan tax Amnesty di Beberapa Negara Asing di Dunia………………………………………... 48 1. Tax Amnesty di Argentina........................................ 49 2. Tax Amnesty di Afrika Selatan................................. 54 3. Tax Amnesty di India……………………………… 62 4. Tax Amnesty di Perancis………………………….. 63 5. Tax Amnesty di Kolombia……………………….... 64 6. Tax Amnesty di Irlandia…………………………… 65 B. Perbandingan Penerapan di Beberapa Negara.............. 66 C. Penerapan Tax Amnesty di Indonesia……………….... 69 1. Program Pengampunan Pajak 1964………………. 69 2. Program Pengampunan Pajak 1984………………. 74 3. Program pengurangan atau sanksi administrasi Tahun 2008 (sunset policy)................................................. 77 4. Program Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) 2015……………………………………………..... 79 xiii D. Gambaran Umum Kebijakan Tax Amnesty Yang Akan Diterapkan di Indonesia……………………………... 83 BAB V PENUTUP........................................................................... 85 A. Kesimpulan.................................................................... 85 B. Implikasi........................................................................ 86 C. Saran.............................................................................. 87 DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 88 xiv DAFTAR TABEL No. Keterangan Halaman 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu……………………………….............. 36 4.1 Perbandingan Penerapan Tax Amnesty........................................... 76 4.2 Penerapan Tax Amnesty di Indonesia…………………………….. 81 xv DAFTAR GAMBAR No. Keterangan 2.1 Halaman Skema Kerangka Pemikiran.................................................................. xvi 41 xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya pemerintah untuk mengefektifkan pengeluaran pemerintah ke arah pengeluaran yang lebih produktif diimbangi dengan upaya memperoleh pendapatan dari sektor pajak (Rasyid dan Budoyo, 2016). Rasyid dan Budoyo dalam artikelnya menyatakan kepatuhan penduduk Indonesia dalam membayar pajak memang masih sangat rendah. Dari 240 juta lebih penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya 11% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya sepertiganya yang telah melaporkan SPTnya atau kurang dari 10 juta penduduk yang telah melaporkan kewajiban pajaknya. Kusuma (2015) menyatakan bahwa pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Kementrian Keuangan menargetkan pajak tahun 2016 sebesar Rp 1.350 triliun. Pemerintah meyakini, target tersebut bisa tercapai dengan mengandalkan setoran dari pengampunan pajak atau tax amnesty. Dengan alasan tersebut, pemerintah meyakini target tersebut bisa tercapai. Menkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam artikel yang ditulis oleh Kusuma (2015) menyebutkan beberapa alasan mengapa pemerintah begitu yakin dengan program tax amnesty ini. Pertama, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) perubahan akan diajukan di triwulan satu selama masa sidang supaya cocok waktunya. Kedua, sasaran penerimaan APBN perubahan akan dilihat 1 dari realisasi 2015 dan operasionalisasi dari tax amnesty ini akan sangat bergantung dari keadaan yang telah disebutkan. Dengan segala keterbatasan yang ada, Direktorat Jenderal Pajak dituntut untuk dapat mencapai penerimaan negara yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pencapaian target penerimaan pajak yang telah disebutkan sebelumnya bukan merupakan suatu hal yang mudah ditengah situasi ekonomi global yang kurang kondusif yang berpengaruh terhadap perkonomian Indonesia serta jatuhnya nilai mata uang Rupiah terhadap dollar AS. Dengan semakin beratnya beban pemerintah dalam pemenuhan target penerimaan pajak yang harus dicapai tersebut, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak perlu menerapkan langkah-langkah yang tepat dalam memenuhi pencapaian target dari penerimaan pajak tersebut. Salah satu langkah khusus yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan kebijakan tax amnesty atau yang lebih dikenal sebagai program pengampunan pajak. Usulan tax amnesty ini sebenarnya pernah disampaikan pada pertengahan 2008, namun belum terealisasi karena mendapat tentangan dari berbagai pihak. Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada saat itu belum menanggapinya dengan antusias mengingat kemungkinan pada waktu itu posisi neraca pembayaran negara masih cukup baik. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan kebijakan yang telah cukup lama tertunda (Syadullah, 2015). 2 Pengampunan pajak atau tax amnesty merupakan salah satu cara yang inovatif untuk meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan tanpa menambah beban baru kepada wajib pajak. Secara etimologi, tax amnesty berasal dari bahasa Yunani yang berbunyi “amnestia” yang berarti lupa. Menurut Leon Ludkin (1971) menjelaskan: “…if a taxpayer come forward within a certain number of days and makes a complete disclosure of his liability, he can escape a penalty and sometimes even interest such action is taken in the belief that, as a result of publicity about the new administrative enforcement program, taxpayers will be torn beetwen the fear of just retribution and the enormous liability they have accumulated for the past misdeeds. If the laibility could be reduced to reansonable proportions, the government reasons, taxpayers would be happy to come forward and cleanse themselves of their sins”. Maksud dari pernyataan tersebut adalah jika seorang wajib pajak datang kemudian dan membuat pengungkapan lengkap kewajiban, ia dapat dibebaskan dari denda dan kadang-kadang bahkan bunga, tindakan tersebut diambil dalam keyakinan bahwa sebagai akibat dari diterbitkannya tentang penegakan Program administrasi yang baru, wajib pajak tidak akan merasa takut mengenai retribusinya dan kewajiban/hutang besar mereka yang telah menumpuk dari kejahatan masa lalu. Jika kewajiban bisa dikurangi menjadi proporsi yang wajar oleh pemerintah, maka wajib pajak akan senang untuk maju dan membersihkan diri dari dosa-dosa masa lalu mereka. Jika dihubungkan dengan kebijakan tax amnesty yang akan diberlakukan di Indonesia, tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan perbaikan atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang di masa lalu dengan membayar seluruh 3 kekurangan pokok pajak tetapi dibebaskan dari pengenaan sanksi bunga, denda ataupun sanksi pidana fiskal (tax crime). Saat ini, menciptakan budaya membayar pajak secara sukarela dan dalam jangka waktu yang berkelanjutan menjadi prioritas utama di setiap negara demi meningkatkan pendapatan negara dan memakmurkan negara. Dalam hal ini pemerintah memerlukan adanya suatu keharmonisan antara otoritas pajak dalam hal ini fiskus dan wajib pajak agar sistem dapat berjalan secara semestinya. Jika tidak demikian, dapat menyebabkan masalah kepatuhan wajib pajak yaitu masalah perbedaan persepsi antara wajib pajak, petugas pajak dan pemerintah. Dengan adanya masalah persepsi ini, akan muncul para wajib pajak yang tidak patuh. Untuk mengatasi hal seperti ini, maka dari itu pemerintah akan mengeluarkan kebijakan tax amnesty yang diaharapkan akan memperbaiki kepatuhan dan dapat meningkatkan penerimaan pajak kedepannya. Ada beberapa pertimbangan selain hal yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai mengapa pemerintah dianggap perlu mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Karena adanya kegiatan ekonomi bawah tanah atau yang sering dikenal dengan underground economy (Rasyid dan Budoyo, 2016). Berbicara mengenai ekonomi bawah tanah atau underground economy, menurut Enste dan Schneider (2002) dalam artikel Erwin Silitonga (2012), besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju dapat 4 mencapai 14-16% PDB, sedang di negara berkembang dapat mencapai 3544% PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion). Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan dari pengertian ekonomi bawah tanah atau underground economy merupakan suatu kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran pajak. Kegiatan ekonomi bawah tanah umumnya berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kegiatan ini mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah yang dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara karena berarti hilangnya uang pajak yang sangat dibutuhkan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya. 2. Mendorong repatriasi modal atau asset. Dalam konteks pelaporan data harta kekayaan wajib pajak, pemberian pemberian tax amnesty bertujuan untuk mengembalikan modal yang berada di luar negeri tanpa perlu membayar pajak atas modal tersebut. Pemberian pengampunan ini 5 dipandang perlu karena untuk memudahkan otoritas pajak dalam meminta informasi tentang data kekayaan wajb pajak kepada bank dalam negeri (Darussalam, 2016). 3. Untuk meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek (Darussalam, 2016). Mengapa disebutkan penerimaan dalam jangka pendek? Karena Darussalam (2016) dalam artikelnya menulis bahwa program tax amnesty ini hanya sekali saja dan mungkin saja wajib pajak kembali kepada perilaku ketidak patuhannya setelah program ini berakhir. Tentu saja jika keadaannya seperti itu, dalam jangka panjang tax amnesty tidak bisa memberikan banyak pengaruh permanen terhadap penerimaan pajak selanjutnya jika tidak dilengkapi dengan pengawasan yang lebih ketat dari sebelumnya. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak, tujuan tax amnesty juga bisa dilakukan untuk memperluas basis data perpajakan di Indonesia melalui peningkatan jumlah Wajib Pajak karena dengan adanya pengampunan pajak, diharapkan subjek pajak orang pribadi maupun badan yang telah memenuhi persyaratan objektif tetapi belum terdaftar pada sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak akan tertarik untuk mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak. Selain itu, kebijakan pengampunan pajak juga ditujukan untuk memperkuat dan memperluas basis data perpajakan dalam sistem administrasi perpajakan karena salah satu syarat untuk memperoleh insentif dalam program pengampunan pajak ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk mengungkapkan dan 6 melaporkan penghasilan, biaya, maupun harta kekayaannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak atau calon Wajib Pajak yang sebelumnya tidak patuh (tax evaders) menjadi Wajib Pajak yang patuh (honest taxpayers). Dengan semakin besarnya basis pemajakan dan semakin kuatnya basis data perpajakan diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela Pembayar Pajak (taxpayer’s voluntarily compliance) di masa yang akan datang sehingga akan menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya penerimaan pajak. Di beberapa negara, pengampunan pajak (tax amnesty) dijadikan sebagai salah satu sarana untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak (tax revenue) secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Program tax amnesty tersebut dilaksanakan karena semakin parahnya upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Salah satu negara yang telah melaksanakan program tax amnesty adalah Afrika Selatan. Dalam tax amnesty yang dilakukan di Afrika Selatan, insentif diberikan agar wajib pajak tertarik ikut serta dalam program ini dengan cara menghapuskan denda dan bunga pajak terutang atau pembayaran tebusan dengan tarif yang rendah. Bagi wajib pajak yang tidak mau berpartisipasi dalam program ini, pemerintah memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman, misalnya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas tax audit, strategi pemilihan target penyidikan yang tepat dan transparansi hasil penyidikan serta 7 sanksi pidana pajak sementara sebelum program tax amnesty diumumkan. Afrika Selatan telah melaksanakan program tax amnesty sebanyak tiga kali, yaitu pada 1995, 1996, 2003 dan terakhir kali Afrika Selatan mengeluarkan kebijakan Volunteer Disclosure Programe (Ragimun, 2014). Tax amnesty di Indonesia sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru lagi. Pada tahun 1984 di Indonesia juga pernah diterapkan tax amnesty berdasarkan pada keputusan presiden no. 24 tahun 1984. Namun pelaksanaannya tidak efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh. Disamping itu peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi sebagai pelengkap saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius. Pada saat itu penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor minyak dan gas bumi. Berbeda dengan sekarang, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan dominan dalam struktur APBN Pemerintah Indonesia. Saat ini dalam rangka sebagai bentuk dari reformasi perpajakan, salah satu agenda pemerintah adalah menerapkan pengampunan pajak atau tax amnesty kembali yang diharapkan bisa memperluas basis data wajib pajak baik pribadi maupun badan dan diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan juga meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan khususnya untuk kedepannya. Melalui pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya pemerintah akan menerapkan tax amnesty. Dan sebagai dasar dari analisis penerapan pengampunan pajak kedepannya, penulis ingin menganalisis penerapan tax amnesty di Indonesia dan negara lainnya di dunia dalam rangka 8 meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan pendapatan negara pada sektor pajak di masa kedepannya. B. Perumusan Masalah Penelitian ini mencoba memahami lebih dalam mengenai kebijakan pengampunan pajak yang diterapkan di Indonesia sebelumnya dan juga penerapan kebijakan pengampunan pajak di beberapa negara di Dunia. Dari hal tersebut penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan tax amnesty di beberapa negara asing di Dunia dari masa ke masa? 2. Bagaimana penerapan tax amnesty di Indonesia dari masa ke masa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk memberikan gambaran mengenai penerapan tax amnesty di beberapa negara di Dunia, 2. Untuk memberikan gambaran mengenai penerapan tax amnesty di Indonesia yang telah diterapkan sebelumnya, 3. Membandingkan penerapan tax amnesty di Indonesia yang telah diterapkan sebelumnya dengan tax amnesty yang diterapkan di luar negeri. 9 D. Manfaat Penelitian Jika dilihat dari manfaatnya, penelitian ini dapat dipandang dari dua sisi yaitu: 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sumbangan pengetahuan yang lebih luas mengenai tax amnesty yang diterapkan di luar negeri dan di Indonesia sendiri. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan yang mendalam mengenai kebijakan tax amnesty. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Untuk pemerintah sebagai bahan perbandingan dari beberapa negara yang telah menerapkan peraturan pengampunan pajak atau tax amnesty ini sehingga pemerintah bisa mengambil contoh dari penerapan kebijakan tersebut. Demikian juga dapat diketahui tantangan, peluang, kelemahan dan keunggulan bila kebijakan ini diterapkan. Dengan demikian dapat diketahui strategi dan langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Pajak Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil dan spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut harus memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian bangsa atau negara dalam hal pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Beberapa ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Smith, Menurut Smith (1908), pajak merupakan “a contribution from the citizen to support of the state”. Sedangkan Sommerfeld (1983) mendefinisikan pajak sebagai “any nonpenal yet compulsory transfer of resources from the private to public sector, levied on the basic of predetermined criteria and without receipt of specific benefit of equal value, in order to accomplish some of a nation’s economic and social objectives.” Dan Bastable (1993) menyatakan bahwa pajak adalah: 11 “a compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons for service of the public powers.” Pengertian pajak menurut Edwin R.A Seligman (1925) menyatakan bahwa: “Tax is compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred.” Dari dalam negeri, Andriani dalam (Santoso, 1998). Menyebutkan bahwa: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yangterutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan,dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk, danyang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumberhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.” Dan juga Soemitro (1994) menyatakan bahwa pajak merupakan, “iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbal balik (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.” Sementara menurut Djajaningrat, pajak adalah “kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberika kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagi hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.” Sedangkan menurut Undang-undang no. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no. 16 tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan menemukakan bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang 12 bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapakan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakuran rakyat. Dari beberapa definisi tentang pengertian pajak sebelumnya di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pajak memiliki beberapa aspek dasar yang meliputi: a. Pajak berdasarkan Undang-Undang, b. Bersifat memaksa, c. Tidak ada kontraprestsi yang langsung dapat diarasakan oleh wajib pajak, d. Pemungutan dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah, dan e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum. Dari berbagai definisi mengenai pajak, terdapat beberapa tanggapan dari para pakar dan praktisi perpajakan. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum adat. Di sisi lain, pemenuhan kewajiban pajak akan berdampak pada aspek perekonomian, dari mikro ekonomi hingga makro ekonomi. Sehingga apabila anggota masyarakat memenuhi kewajiban 13 pajaknya dengan baik, mekanisme ekonomi dalam masyarakat akan berjalan baik. Sementara ini, Harahap (2004) mengkritik pemahaman dasar tentang pajak dengan mengungkap bahwa definisi pajak dan implementasinya perlu dibenahi dengan upaya agar kesadaran moral dan aspek ketuhanan dalam membayar pajak disuntikkan pada kesadaran “sekuler” perpajakan yang lebih mengedepankan hubungan kontraktual antara pemerintah dengan rakyat. 2. Fungsi Pajak Nurmantu (2003) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan regeleren. Pajak berfungsi sebagai budgetair, yaitu pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak berfungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara baik yang secara rutin maupun untuk pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan funsi pajak sebagai reguleren merupakan fungsi pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Meski demikian, dalam pandangan Burton dan Ilyas dalam Setiyaki dan Amir (2005) terdapat pula fungsi lain dari pajak, yaitu fungsi demokrasi dan 14 fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan salah satu penjelmaan atau wujud dari sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Sebagai implementasinya, pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan hak-hak timbal-balik yang meskipun tidak diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak. Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Bila pajak diterapkan dengan baik, maka dapat dipastikan terjadi beberapa dampak pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya. Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari pendapatan nasional, konsumsi dan tabungan. Bila seluruh tabungan digunakan untuk investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun deflasi. Tetapi, mungkin terjadi tidak semua tabungan digunakan untuk investasi sehingga berakibat pada kelesuan ekonomi, deflasi dan pengangguran. Atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah investasi, yang berakibat pada kegairahan ekonomi dan inflasi. 3. Pajak Sebagai Penerimaan Negara Ragimun (2014) menyatakan bahwa Pada awal mulanya pajak hanya merupakan pemberian sukarela kepada raja dan bukan merupakan paksaan dan kewajiban seperti pajak yang ada pada zaman sekarang. Pajak mulai 15 menjadi pungutan sejak zaman romawi, pada awal Republik Roma (509-27 SM sudah mulai dikenal beberapa jenis pungutan pajak, seperti censor, questor dan beberapa lainnya. Pada zaman Roma tidak disebut pajak seperti zaman sekarang tetapi disebut publican trubutum, dan pajak pada zaman tersebut merupakan pajak langsung atas kepala negara. Pada zaman kaisar terkenal Julius Caesar pajak dikenal dengan nama centesima rerum venalium, yaitu sejenis pajak penjualan yang besarnya sebesar 1% dari omset penjualan. Di daerah lain Italia dikenal dengan nama decumae, yaitu pungutan yang besarnya 10%. Sedangkan beberapa macam fungsi pemerintahan suatu negara antara lain yaitu: a. Melaksanakan penertiban (law and order). b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. c. Pertahanan. d. Menegakkan keadilan. Sumber penghasilan negara bisa berasal dari beberapa sumber, yaitu pajak dan denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontibusi, royalti, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari badan usaha milik negara dan sumber-sumber lainnya. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. 16 Mengingat kembali fungsi pajak yang salah satunya adalah merupakan fungsi budgetair, yaitu pajak sebagai sumber pendapatan bagi negara. Dalam melaksanakan fungsinya, pajak sebagai sumber pendapatan bagi negara diatur oleh dasar hukum yaitu di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa negara dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Artinya negara harus dapat memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi sumber penerimaan negara. Sementara dasar hukum pemungutan pajak diatur dalam UUD 1945 pada pasal 23 ayat (2) “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang”. Selain itu, dalam ketentuan lain tentang pemungutan pajak sehingga pungutan itu dinilai sah seperti Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang PPh, UU No. 42 tahun 2009 tentang PPN. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang. Itu berarti bahwa setiap pungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan rakyat yang direpresentasikan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk undang-undang. 17 Pemerintah pada setiap tahun anggaran menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk diajukan kepada DPR agar memperoleh persetujuan dan kemudian diundangkan dalam bentuk undangundang formal APBN. Pajak yang dipungut oleh pemerintah untuk membiayai kepentingan umum atau kepentingan rakyat itu sendiri. Tentunya ini mempunyai konsekuensi logis bahwa rakyat berhak untuk mengetahui jumlah dan bagaimana uang yang dibelanjakan untuk kepentingan umum. Sistem perpajakan merupakan suatu cara bagaimana perpajakan itu diberlakukan dan dikelola oleh suatu negara. Waktu seringkali mewarnai bagaimana sistem perpajakan itu diberlakukan. Perjalanan pemerintahan dari waktu ke waktu seringkali menentukan sistem perpajakan yang diberlakukan dan yang mengalami perubahan di sana-sini seiring dengan tuntutan perkembangan. Di zaman kolonial, ciri dan corak sistem pemungutan pajak dikenali sebagai berikut: a. Bahwa tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan, seperti tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Sistem ini lenih dikenal dengan sebutan “Official Assessment System”. b. Bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini mengakibatkan Wajib Pajak kurang 18 mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang diikuti dalam berperan serta memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Namun, sejak dilakukannya reformasi perpajakan pada tahun 1983, sistem perpajakan mempunyai perbedaan falsafah dan landasan yang melatarbelakangi pembentukan undang-undang perpajakan. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme pemungutan pajak ini menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia. Itu dapat dimengerti sebab kedudukan undang-undang perpajakan menjadi ketentuan bagi peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya. Ciri dan corak dari sistem pemungutan pajak dalam undang-undang pasca pembaharuan perpajakan adalah: a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan nasional. b. Bahwa tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak itu sendiri. Pemerintah (aparat perpajakan) hanya bertugas melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan 19 ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Bahwa Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, dan membayar sendiri pajaknya yang terutang (self assessment system), sehingga melalui sistem ini diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapih, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh Wajib Pajak. Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak di atas, Wajib pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri. Selain itu Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan dibayar sebagaimana ditentukan undang-undang. Target penerimaaan pajak yang tertuang dalam (RAPBN-P) 2015 yang sedang dibahas Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat ditargetkan mencapai Rp 1.484,6 triliun. Target ini melonjak 29,5 persen dibandingkan realisasi 2014. Pajak nonmigas ditargetkan Rp 1.244,7 triliun atau tumbuh 38,7 persen dibandingkan realisasi 2014. Adapun kepabeanan dan cukai ditargetkan Rp 188,9 triliun atau tumbuh 16,9 persen dari realisasi 2014 (Erlangga, 2015). 20 Menurut Pelaksana Tugas Direktur jenderal Pajak Mardiasmo menjelaskan target pajak nonmigas 2015 senilai Rp 1.244,7 triliun. Penerimaan pajak yang ditargetkan tersebut sebesar 854,5 triliun diperoleh melalui kinerja rutin dan standar. Artinya Ditjen Pajak bisa meraih penerimaan tersebut. Sedangkan sisanya, sebesar Rp 390,2 triliun, harus dicapai dengan kerja yang lebih keras dibandingkan dengan kinerja selama ini. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 367,7 triliun bisa dicapai melalui pengawasan. Jumlah penerimaan sebesar 367,7 triliun tersebut diperoleh melalui tiga area yang ditargetkan menghasilkan penerimaan, yakni pemeriksaan Rp 73,5 triliun, ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak orang pribadi nonkaryawan Rp 40 triliun, serta ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak badan Rp 254,2 triliun, serta strategi melalui penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran membayar pajak. Rencana penerimaan perpajakan tersebut sangat tergantung kepada berbagai sasaran yang dapat dicapai dari masing-masing unsur penerimaan perpajakan tersebut. Selain itu keberhasilan dari rencana tersebut dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang telah, sedang, dan akan diambilkan oleh pemerintah (policy measures) dalam tahun anggaran berjalan dan tahun anggaran berikutnya. Tidak hanya itu, rencana tersebut pun dipengaruhi oleh asumsi variabel-variabel dan besaran ekonomi makro, seperti laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, serta asumsi harga dan produk minyak mentah. 21 Dengan semakin tingginya pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi pula penghasilan dari transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga pajak dalam negeri yang bisa dihimpun semakin tinggi. Demikian sebaliknya terjadi apabila tingkat pertumbuhan ekonomi menurun. Asumsi inflasi mempengaruhi sisi pendapatan negara pada penerimaan pajak dalam negeri. Dengan semakin tingginya tingkat inflasi maka penerimaan pajak dalam negeri akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Asumsi nilai tukar terhadap valuta asing mempengaruhi sisi pendapatan negara pada penerimaan pajak dalam negeri, pajak perdagangan internasional dan penerimaan sumber daya alam, terutama migas.Asumsi harga minyak mentah di pasar internasional dan produksi minyak mentah dalam negeri sangat berpengaruh terhadap penerimaan sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam akan mempengaruhi PPh migas. Strategi lainnya dalam menentukan besaran penerimaan pajak yaitu membandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Asumsi PDB mempengaruhi pendapatan dan belanja negara. Di sisi penerimaan, PDB mempengaruhi besaran penerimaan pajak dalam negeri, pajak perdagangan internasional, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya dan bagian pemerintah atas laba BUMN. Besarnya PDB menunjukkan semakin banyak masyarakat yang mampu membayar pajak dan mempunyai penghasilan yang lebih tinggi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Oleh karena itu, tax ratio perpajakan juga akan semakin tinggi, sehingga penerimaan pajak dalam 22 negeri meningkat. Dengan demikian, asumsi besarnya PDB sangat menentukan besar kecilnya penerimaan pajak dalam negeri yang bisa dihimpun dalam APBN. 4. Kepatuhan Perpajakan Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti menurut pada perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Mitchell (1996) mendefinisikan kepatuhan sebagai perilaku seseorang yang sesuai dengan aturan eksplisit suatu perjanjian. Sebagai bagian dari kepatuhan, Mitchell (1996) membedakan kepatuhan dan perjanjian sebagai perilaku yang sesuai dengan aturan seperti itu karena sistem kepatuhan perjanjian tersebut. Istilah “kepatuhan” umumnya diterapkan dalam membandingkan perilaku dengan ketentuan tertentu suatu perjanjian, batas semangat perjanjian dan prinsip-prinsip, norma internasional implisit, kesepakatan informal dan bahkan perjanjian diam-diam (Downs dan Rocke, 1990 dalam Purnaditya, 2015). Dalam pajak, aturan yang berlaku adalah undang-undang perpajakan. Jadi kepatuhan pajak merupakan tingkat ketaatan seseorang atau lebih disebut sebagai wajib pajak terhadap undang-undang perpajakan yang berlaku. Wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya secara akurat dan tepat waktu membayar maupun melaporkan pajak tersebut (Devano, 2006 dalam Purnaditya, 2015). Purnaditya (2015) dalam penelitiannya 23 mengemukakan bahwa kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam kondisi sebagai berikut: a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturaan perundang-undangan b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Kepatuhan wajib pajak menurut Rusli (2014) merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembangunan negara yang diharapkan di dalam pemenuhannya dilakukan secara sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi sangat penting ketika sistem perpajakan di Indonesia menggunakan sistem self assessment sejak reformasi perpajakan tahun 1983 sampai terakhir tahun 2000 dengan diubahnya undang-undang perpajakan menjadi UU No. 16 tahun 2000, UU No. 17 tahun 2000, UU No. 18 tahun 2000 (Purnaditya, 2015). Menurut Mardiasmo (2002) dalam Purnaditya (2015), self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Dalam artian, bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan tepat waktu dalam melaporkan kewajibannya sendiri. Hasseldine dalam bukunya yang berjudul how do revenue audits affect complies menyatakan: 24 “compliance with reporting requirement means that taxpayer files all required tax return at proper time and that the return accurately report tax liability in accordance with revenue code regulation and court decision applicable at the time and that return is filled.” Maksud dari pernyataan tersebut adalah wajib pajak yang patuh merupakan wajib pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan tepat waktunya dan secara akurat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak yang memanfaatkan kebijakan pengampunan pajak belum bisa dikatakan sebagai wajib pajak yang patuh. Oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan pengampunan pajak merupakan salah satu cara pemerintah dalam mendorong wajib pajak dalam meningkatkan kepatuhannya. 5. Sanksi Perpajakan Sanksi dalam Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda yaitu sanctie. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, 2012) Dalam konteks hukum, sanksi berarti hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada pihak yang terbukti bersalah. Menurut Mardiasmo (2005) dalam Saputra (2015) berpendapat bahwa Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/di patuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif), agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Menurut Resmi (2008) dalam Purnaditya (2015), sanksi perpajakan terjadi karena terdapat adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan 25 perpajakan, sehingga apabila terjadi pelanggaran maka wajib pajak dihukum dengan indikasi kebijakan perpajakan dan undang-undang perpajakan. Sedangkan sanksi pajak menurut Tjahjono (2005) dalam Robert Saputra (2015) adalah suatu tindakan yang diberikan kepada Wajib Pajak ataupun pejabat yang berhubungan dengan Pajak Bumi dan Bangunan yang melakukan pelanggaran baik secara sengaja maupun karena alpa. Sanksi pajak terdiri atas dua yaitu sanksi kesadaran perpajakan dan sanksi pidana. Sebagaimana dimaklumi menurut Mulyodiwarno (2007) dalamPurnaditya (2015) suatu kebijakan berupa pengenaan sanksi dapat dipergunakan untuk 2 (dua) maksud. Maksud pertama adalah untuk mendidik dan yang kedua adalah untuk menghukum. Dengan mendidik, dimaksudkan agar para wajib pajak yang dikenakan sanksi akan menjadi lebih baik dan lebih mengetahui hak dan kewajibannya. Maksud yang kedua adalah menghukum atau sebagai efek jera bagi para wajib pajak yang memang dengan secara sengaja melanggar norma atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga pihak yang terkena sanksi tidak melakukan kesalahan yang sama. Menurut Devano (2006) dalam Saputra (2015) berpandapat bahwa pengenaan sanksi perpajakan diterapkan sebagai akibat tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang perpajakan. Dengan demikian pengenaan sanksi kepada wajib pajak sehingga dapat meningkatkann kepatuhan wajib pajak itu sendiri. 26 Apabila pengenaan sanksi kesadaran perpajakan masih belum cukup maka sanksi yang sifatnya lebih berat akan diterapkan. Dalam penerapannya, sanksi diterapkan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang perpajakan. Pengenaan sanksi pajak kepada wajib pajak dapat menyebabkan terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Wajib pajak akan patuh akibat adanya paksaan karena mereka berfikir adanya sanksi yang akan memberatkan mereka akibat tindakan illegal dalam usahanya menyelundupkan pajak. (Devano dan Rahayu, 2006:112 dalam Mutia, 2014). Dalam Undang-Undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja dan ada juga yang diancam dengan pidana saja dan juga ada pula yang diancam dengan sanksi administrasi ditambah dengan sanksi pidana. Sanksi administrasi dan sanksi pidana merupakan dua macam jenis sanksi yang berbeda. Berikut merupakan perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana menurut Undang-Undang perpajakan: a. Sanksi administrasi Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan 27 apabila wajib pajak melakukna pelanggaran, terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang KUP. Ada beberapa jenis atau bentuk dari sanksi administrasi itu sendiri, yaitu: 1) Sanksi administrasi berupa denda Sanksi dalam bentuk dendan adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan. Terkait besarnya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda iniakan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini biasanya adalah pelanggaran yang bersifat alpa atau disengaja. 2) Sanksi administrasi berupa bunga Sanksi administrasi berupa bunga biasanya dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentse tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan. 3) Sanksi administrasi berupa kenaikan Jika melihat bentuknya, sanksi administrasi berupa kenaikan bisa jadi merupakan sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. hal ini karena bila dikenakan sanksi kenaikan, jumlah pajak yang harus dibayar bisa jadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan 28 pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang bayar. Dilihat dari penyebabnya, sanksi administrasi berupa kenaikan ini biasanya dikenakan kepada wajib pajak karena wajib pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak yang terhutang. b. Sanksi Pidana Menurut Mutia (2014) sanksi pidana dalam perpajakan berupa penderitaan atau siksaan dalam hal pelanggaran pajak. Pengenaan sanksi pidana tidak menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak yang masih terhutang. Dalam Undang-Undang KUP menyatakan sanksi pidana pada dasarnya merupakan upaya terakhir dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak. Sebagai contoh yaitu bagi wajib pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan pasal 38 Undang-Undang KUP mengenai penyampaian atau pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tidak dikenai sanksi pidana, tetapi masih dikenai sanksi administrasi karena baru pertama kali. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu dibidang perpajakan, 29 tindakan tersebut merupakan suatu kealpaan, yaitu merupakan tindakan kesengajaan, lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindakan kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Jatmiko (2006) dalam Mutia (2014) menyatakan bahwa wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikan mereka. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan bagi wajib pajak jika terkena sanksi tersebut. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. 6. Tax Amnesty Ragimun (2014) menyatakan bahwa Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut hukuman pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang dimulai penyelidikan pajak pajak masa lalu. Dalam beberapa kasus, undang-undang amnesti yang 30 memperpanjang juga membebankan hukuman yang lebih berat pada mereka yang memenuhi syarat untuk amnesti tetapi tidak mengambilnya. Secara umum, amnesty merupakan hak-hak yang diberikan oleh Kepala Negara berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Hak amnesty merupakan suatu pernyataan umum, bahwa Undang-Undang (pidana) tidak akan menerbitkan akibat-akibat hukum apapun juga bagi orang-orang tertentu yang bersalah telah melakukan suatu atau beberapa tindak pidana tertentu (Widagdo, 2012). Dengan kata lain, amnesty merupakan suatu penghapusan hukuman bagi orang-orang tertentu yang telah melakukan tindakan melawan hukum. Santoso (2005) mengemukakan, tax amnesty dapat didefinisikan sebagai berikut: “Amnesty is usually offered to taxpayers to give them the opportunity todisclose income or assets and pay previously unpaid taxes. It generally takes the form of reduced or no interest or penalties and freedom from prosecution. Amnesty may be aimed at stopping tax evasion, generating tax compliance and/or raising additional revenue.” Selanjutnya John (2004) menjabarkan tax amnesty sebagai berikut: “Pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi wajib pajak yang tidak patuh (tax evaders) menjadi wajib pajak yang patuh (honest taxpayers) sehingga diharapkan akanmendorong peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak di masa yang akan datang.” 31 Jadi, dapat disimpulkan pengertian dari tax amnesty merupakan kebijakan yang ditawarkan untuk mengungkapkan semua penghasilan atau harta yang belum dilaporkan, membayar uang tebusan sebagai penalty, tidak ada pengusutan atas jumlah yang dimintakan pengampunan, tambahan penerimaan bagi negara dan mendorong kepatuhan sukarela (Santoso et al, 2009). Wardiyanto (2008) menyatakan bahwa tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang dikonstruksikan untuk memberikan insentif berupa penghapusan pajak yang seharusnya terhutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan negara dan kesempatan bagi pembayar pajak yang tidak patuh menjadi patuh, sehingga dapat mendorong meningkatnya jumlah kepatuhan pembayar pajak dimasa mendatang. Kilonzo (2012) menyebutkan bahwa tax amnesty merupakan limited-time opportunity, dengan kata lain tax amnesty merupakan suatu kesempatan yang hanya datang dengan waktu yang terbatas, artinya tax amnesty dalam pengertian Kilonzo merupakan suatu kebijakan yang mensyaratkan wajib pajak untuk membayar sejumlah uang sebagai pertukaran untuk pengampunan dari kesalahan pajak pada periode tertentu tanpa takut akan dikenakan sanksi perpajakan. Luitel dan Sobel (2005) dalam Kilonzo (2012) membagi tiga karakteristik tax amnesty secara umum. Pertama adalah tax amnesty biasanya terjadi dalam waktu singkat, biasanya hanya sekitar tiga atau enam bulan pada tiap 32 periodenya. Kedua, para wajib pajak secara sukarela berpartisipasi dalamtax amnesty. Ketiga para pembayar pajak diberi kebebasan untuk memutuskan apakah mengambil keuntungan dari tax amnesty atau tidak, walaupun biasanya akan diikuti dengan hukuman yang lebih berat dari peraturan sebelumnya jika tertangkap. Erwin (2006) dalam Santoso (2009) mengatakan ada 4 jenis dari tax amnesty. Yang pertama tax amnesty yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak, termasuk bunga dan dendanya dan hanya mengampuni sanksi pidana perpajakan. Yang kedua tax amnesty yang mewajibkan pembayaran pokok masa lalu yang terutang berikut bunganya, namun mengampuni sanksi denda dan sanksi pidana pajaknya. Yang ketiga tax amnesty yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun mengampuni sanksi bunga, denda dan sanksi pidana pajaknya. Dan yang keempat adalah tax amnesty yang paling longgar karena mengampuni pokok pajak di masa lalu, termasuk sanksi bunga, denda dan sanksi pidananya tujuannya agar menambah jumlah basis data perpajakan dan menambah jumlah wajib pajak dan selanjutnya mulai membayar pajak. Banyak pemerintahan di dunia yang telah menerapkan tax amnesty bahkan hingga berkali-kali. Fox dan Murray (2004) dalam Kilonzo (2012) menyatakan bahwa tujuan tiap negara dalam menyelenggaraka tax amnesty bermacam-macam dan berbeda-beda satu sama lainnya. Namun meningkatkan pendapatan, menambah basis data perpajakan dan meningkatkan kepatuhan 33 merupakan tujuan utama yang pasti ada dalam daftar tujuan diberlakukannya tax amnesty di tiap negara. Dengan demikian, dapat kita simpulkan secara umum bahwa tujuan program pengampunan pajak adalah sebagai berikut: 1) Memberikan kesempatan kepada pembayar pajak untuk melakukan perbaikan atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang di masa lalu 2) Memberikan tambahan penerimaan pajak bagi negara 3) Memberikan kesempatan bagi pembayar pajak yang tidak patuh menjadi patuh dalam membayar pajak 4) Meningkatkan kepatuhan pembayar pajak di masa mendatang 5) Meningkatkan jumlah pembayar pajak dari masyarakat yang seharusnya telah menjadi pembayar pajak. Wardiyanto (2008) menjelaskan kebiasaan dari banyak pemerintahan untuk mengambil sikap kebijakan tax amnesty disebabkan oleh empat hal, yaitu: 1) Adanya kegiatan underground economy, kegiatan tersebut merupakan perbuatan yang disengaja oleh badan atau orang pribadi yang secara sengaja menyembunyikan, menghindari dan menggelapkan pembayaran kewajiban pajak yang berlangsung di negara tersebut. Hal ini sering disebut sebagai penggelapan pajak (tax evasion). 34 2) Pelarian modal ke luar negeri (capital flight), pemerintahan akan kesulitan untuk mengenakan pajak atas dana atau modal yang telah diparkir di luar negeri. 3) Rekayasa transaksi keuangan, kemajuan keuangan internasional telah mendorong perusahaan besar melakukan illegal profit shifting pergeseran laba ke luar negeri demi mengurangi beban pajak. 4) Politik penganggaran, kecenderungan saat ini adalah kebijakan sunset policy yang diambil cenderung dilekatkan pada kebijakan politik penganggaran utamanya untuk menghadapi kontraksi anggaran negara yang sedang terjadi. 35 B. Penelitian Sebelumnya Adapun hasil penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1. Tabel 2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Analisis Penerapan Tax Amnesty Dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dan Penerimaan Negara No Peneliti, Judul, Tahun Hasil 1 Hari Sharan Luitel. “Essays on Value Added Tax Evasion and Tax Amnesty Programs” (2005) Di Colorado penelitian menunjukkan bahwa tax amnesty tidak berdampak pada penerimaan pajak baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedankan di Maine dan Virginia terbukti meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek namun tidak dalam jangka panjangnya 2 Ragimun. “Implementasi pengampunan pajak di Indonesia” (2014) Tax amnesty dapat diimplementasikan di Indonesia, namun harus mempunyai payung hukum sebagai dasar serta tujuan yang jelas dalam pelaksanaan tax amnesty. Salah satu kelemahan Tax amnesty bila diterapkan di Indonesia adalah dapat mengakibatkan berbagai penyelewengan dan moral hazard karena sarana dan prasarana, keterbukaan akses informasi serta pendukung lainnya belum memadai sebagai prasyarat pemberlakuan tax amnesty tersebut. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa penerapan Tax Amnesty di Indonesia jika dilihat dari pengalaman berbagai negara yang telah menerapkan, Indonesia masih memiliki potensi dan peluang untuk meningkatkan dana-dana masuk ke Indonesia yang cukup banyak disimpan di luar negeri. Bersambung pada halaman berikut. 36 No Peneliti, Judul, Tahun Hasil 3 Fakhrani Nurhayati Syafrida. Implementasi Tax amnesty dalam jangka “analisis penerapan tax pendek sebaiknya ditunda terlebih dahulu amnesty di indonesia dalam menunggu kesiapan berbagai perangkat rangka meningkatkan dan piranti hukum yang melandasi penerimaan negara pada pelaksanaan kebijakan ini. sektor perpajakan” (2014) 4 Ida Farida, Adi Prawira. “The Sunset policy dan penerimaan pajak di Effect of Granting Tax tahun 2008 menunjukkan penerapan tax Amnesty to Tax Revenues“ amnesty dalam bentuk sunset policy tidak (2015) berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Hal ini ditunjukkan penerimaan pajak masih belum mencapai target sebesar 99,10% 5 Zainal Muttaqin. “Akses ketidaktepatan peraturan baik yang Hukum Pemberian Tax menyangkut substansi maupun bentuk Amnesty Sebagai Upaya peraturan perundang – undangan akan Untuk Meningkatkan melemahkan asas legalitas. Penerimaan Negara Dari Dari pengalaman pelaksanaan Sektor Pajak” (2011) pengampunan pajak, ternyata pengampunan pajak tidak serta merta meningkatkan penerimaan negara, demikian pula pengampunan pajak tidak secara otomatis dapat meningkatkan investasi. Pengampunan pajak sebagai insentif perlu mendapat dukungan kebijakan dari sektor lainnya sehingga menciptakan iklim investasi yang diharapkan. Keadilan vertical dan horizontal dalam pengenaan pajak tidak cukup memadai apabila diterapkan dalam pengampunan pajak. 6 Justin M. Ross. “Local Pengungkapan aset dari wajib pajak yang Government Property Tax tidak patuh secara umum relatif kecil, rataAmnesty Programs: rata hanya 1,5% dari dan tidak Structures and Themes” berpengaruh terhadap penerimaan (2012) pemerintah. Kebanyakan dari wajib pajak yang tidak patuh tetap tidak patuh pasca amnesty, rata-rata hanya 15% dari wajib pajak yang tidak patuh yang ikut serta dalam program Bersambung pada halaman berikut. 37 No Peneliti, Judul, Tahun 7 Pinaki Bose dan Michael Jetter. “A Tax Amnesty in the Context of Developing Economy” (2010) John L. Mikesell dan Justin M. Ross. “Fast Money? The Contribution of State Tax Amnesties to Public Revenue Systems” (2012) 8 Hasil tax amnesty Tax Amnesty akan berjalan sukses bila kebijakan tersebut tidak diantisipasi oleh wajib pajak Dibandingkan dengan menghukum para wajib pajak yang bersalah, kebijakan tax amnesty tidak membawa dampak yang signifikan terhadap penerimaan negara. Bahkan menghukum para wajib pajak yang bersalah dinilai lebih menghasilkan pendapatan dari pada kebijakan ini Negara harus menyadari bukti yang mengindikasikan bahwa sejarah dari 117 tax amnesty pada kurun waktu 30 tahun mengalami penurunan dalam kesuksesannya Tax Amnesty harus diikuti dengan penegakkan hukum yang lebih tegas di kemudian hari. Sumber: Diolah dari beberapa penelitian sesebelumnya. 38 C. Kerangka Pemikiran Dalam membiayai program-program pemerintah, saat ini pemerintah membutuhkan pendapatan yang sangat besar. Disamping itu ada banyaknya kegiatan ekonomi bawah tanah atau underground economi yang mencapai 35% hingga 44% dari PDB di negara berkembang termasuk Indonesia sendiri. Maka dari itu pemerintah membutuhkan sebuah kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Untuk itu pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Pengampunan pajak atau tax amnesty sendiri merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak atau pembayar pajak untuk memperbaiki kewajiban perpajakannya di masa lalu melalui pengungkapan secara sukarela. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan meningkatkan penerimaan negara, pemerintah berencana akan meluncurkan kebijakan tax amnesty. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memotivasi wajib pajak atau pembayar pajak untuk meningkatkan keterbukaan kewajiban perpajakannya sehingga akan menambah penerimaan pemerintah nantinya. Kebijakan ini juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya tanpa harus dibebani dengan sanksi administrasi, denda maupun pidana. Sebelum menerbitkan kebijakan tersebut, pemerintah perlu mengkaji dan melihat kembali pengalaman dari kegiatan tax amnesty yang pernah 39 diterapkan sebelumnya dan juga membandingkan dengan pengalaman di negara-negara asing di dunia dalam pelaksanaanya. Dengan pemberlakuan kebijakan tax amnesty ini, diharapkan dapat menambahkan basis data perpajakan dan dapat menggali potensi pajak yang sebelumnya tidak terjangkau sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak kelak dan meningkatkan penerimaan pemerintah nantinya. Dalam penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran mengenai penerapan dari tax amnesty di beberapa negara di dunia dan juga memberikan gambaran penerapan tax amnesty di Indonesia pada periodeperiode sebelumnya. 40 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar 2.1. Gambar 2.1 Kerangka pemikiran Meningkatkan penerimaan negara perpajakan dan Meningkatkan kepatuhan Pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan tax amnesty kembali Penerapan tax amnesty di luar negeri Penerapan tax amnesty di Indonesia Rancangan Undang-Undang Analisis data Gambaran perencanaan bentuk penerapan Tax amnesty di Indonesia Kesimpulan, Implikasi dan Saran 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Irawan (2006) peneliti kualitatif berfikir secara induktif (grounded). Penelitian kualitatif tidak dimulai dengan mengajukan hipotesis dan kemudian menguji kebenarannya (berfikir deduktif), melainkan bergerak dari bawah dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang sesuatu, dan dari data itu dicari pola-pola, hukum, prinsip-prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan. Karena itu, kalaupun ada hipotesis dalam penelitian kualitatif, hipotesis tersebut tidak diuji untuk diterima atau ditolak. Penelitian kualitatif menurut Guba dan Lincoln (1985) dalam Arini (2008) menyatakan: ”Qualitative Methods are stressed within the naturalistic paradigm is antiquantitative but because qualitative methods come more easily to the human as instrument”. Dalam penelitian kualitatif yang ditekankan adalah paradigma natural, karena manusia sebagai instrument utama. Dalam penelitian kualitatif tidak memulai dengan sebuah teori untuk menguji atau membuktikan. Berangkat dari kasuskasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalamannya atau untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proporsi, atau definisi yang bersifat umum. Pengambilan data pada penelitian kualitatif dilakukan secara 42 berulang-ulang (iteration) sampai dirasakan jenuh (redundancy) atau sampai dirasakan jawaban yang didapat hampir sama. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan untuk memahami (understanding) fenomena sosial yang ada. Hal ini sesuai dengan definisi kualitatif menurut Creswell (2003) dalam Arini (2008) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan hasil pengamatan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Untuk itu penulis menggunakan paradigm kualitatif untuk menjelaskan dan menemukan suatu pemahaman tentang fenomena sosial yang saat ini tengah banyak diperbincangkan yaitu mengenai tax amnesty dan bagaimana pelaksanaan tax amnesty di negara-negara di dunia. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian secara mendalam melalui perbandingan dengan negara-negara yang telah menerapkan kebijakan pengampunan pajak. Perbandingan dilakukan dengan membaca dan menganalisis jurnal-jurnal dan artikel-artikel internasional serta buku yang membahas mengenai pengampunan pajak. Hasil dari studi tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. 43 B. JenisPenelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitan jenis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam penelitian ini pertamatama penulis akan menggambarkan mengenai apa itu pengampunan pajak. Peneliti juga akan menguraikan serta menganalisis perbandingannya dengan tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia dengan melihat dan menjelaskan contoh kasus dari negara yang telah menerapkan kebijakan pengampunan pajak dan juga menjelaskan penerapan tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia dari mulai pertama kali diterapkan hingga saat ini yang akan diterapkan dari hasil penelitian, artikel, surat kabar, buku dan data sekunder lainnya. Peneliti juga menganalisis keterkaitannya antara tax amnesty dengan kepatuhan dan penerimaan pajak serta menganalisis apa saja kekurangan dan kelebihan dari kebijakan pengampunan pajak dengan melihat contoh kasus dari negara yang telah menerapkan kebijakan tax amnesty dan kebijakan tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia. Neuman (2000) menjelaskan mengenai penelitian deskriptif adalah: “Descriptive research present a picture of the specific details of situation, social setting, or relationship. The outcome of a descriptive study is a detailed picture of the subject”. Jadi dalam penelitian deskriptif menggambarkan situasi, kondisi sosial ataupun hubungan dan hasil dari penelitian deskriptif adalah gambaran subjek secermat mungkin. 44 C. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapatkan data yang sudah jadi yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode dan telah diolah. Data yang digunakan oleh peneliti kali ini berasal dari materi literatur, karya ilmiah, buku, artikel dan data dari website. D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui setting dari berbagai sumber dan cara. Metode pengumpulan data sangat erat hubungannya dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik dan alat pengumpulan data sebagai berikut: 1. Studi kepustakaan ( Library Research ) Dalam penelitan ini studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari sejumlah buku, literatur, jurnal ilmiah, website internet untuk mendapatkan kerangka yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Selain itu peneliti juga mempelajari ketentuan-ketentuan perpajakan yang terkait dengan objek penelitian untuk memahami konteks permasalahan secara mendalam (Sepyarini, 2010). 45 2. PenelitianArsip Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan penelitian arsip (Archival Research), merupakan penelitian terhadap fakta tertulis (dokumen) atau berupa arsip data (Indrianto dan Supomo, 2002). Dokumen atau arsip yang diteliti berdasarkan sumbernya dapat berasal dari internal seperti dokumen, arsip dan catatan orisinil dari suatu organisasi dan juga bias berasal dari data eksternal seperti naskah yang telah proses pengumpulannya dikerjakan sendiri maupun oleh orang lain (Indrianto dan Supomo, 2002). E. Metode Analisis Data Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses mencari dan mengatur secara sistematis bahan-bahan yang telah diperoleh, yang seluruhnya dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang diteliti atau membantu peneliti mempresentasikan temuan penelitian (Bog dan Bikken dalam Irawan, 2006). Peneliti mengumpulkan data-data dan menganalisis data yang dikumpulkan dari studi kepustakaan dan kemudian mengambil kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam melakukan penelitian terhadap fenomena yang diteliti adalah bagaimana mekanisme dari pengampunan pajak di negara yang telah menerapkannya untuk kemudian membandingkannya dengan pelaksanaan tax amnesty yang telah di terapkan di Indonesia. Selanjutnya peneliti menggali 46 data dengan melihat bagaimana penerapan di negara yang telah menerapkan pengampunan pajak melalui artikel, berita, surat kabar, jurnal penelitian mengenai fenomena yang diteliti dan membandingkannya dengan teori yang ada. Dari abstraksi data-data empiris yang diperoleh, peneliti akan menarik kesimpulan. 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Penerapan Tax Amnesty di Beberapa Negara Asing di Dunia program tax amnesty merupakan program yang telah banyak diterapkan di negara-negara di dunia baik negara maju maupun berkembang. Diantaranya banyak yang terbilang sukses dalam pelaksanaannya dan ada juga yang menuai kegagalan dalam pelaksanaannya. Namun demikian, kebijakan tax amnesty tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan tersebut merupakan sebuah isu yang kontrofersial dalam dunia perpajakan. Asumsi yang menjadi dasar adanya kontrofersi adalah bahwa tax amnesty dapat menghapuskan pokok pajak, sanksi administrasi dan juga sanksi pidana pajak atas ketidak patuhan yang telah dilakukan oleh wajib pajak dimasa lalu demi meningkatkan kepatuhan di masa yang akan datang (Darussalam, 2014). Disatu sisi tax amnesty juga dipandang sebagai jalan keluar untuk meningkatkan penerimaan negara karena menurut Darussalam (2014) tax amnesty memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk masuk atau kembali kepada sistem administrasi perpajakan yang berdampak pada bertambahnya basis data perpajakan dan bedampak pada peningkatan penerimaan di masa yang akan datang. Disisi lain juga, menurut Junpath (2013) tax amnesty juga dapat menurun kan tingkat kepatuhan di masa yang akan datang. Karena faktanya para wajib pajak akan mempercayai bahwa tax amnesty akan datang pada tiap tahun atau mungkin beberapa tahun sekali akan 48 tetap tidak patuh dan menunggu tax amnesty yang akan di terapkan diperiode berikutnya. Dengan adanya persepsi tersebut juga akan berdampak kepada wajib pajak yang telah patuh terhadap peraturan menjadi tidak patuh karena timbulnya rasa kekecewaan mereka terhadap kebijakan yang menurut mereka tidak adil (Junpath, 2013). Sebelum membahas tax amnesty yang pernah dan akan diterapkan kembali di Indonesia, penulis terlebih dahulu akan membahas mengenai penerapan tax amnesty di beberapa negara di dunia. Dalam hal ini penulis akan menggambarkan bagaimana penerapan tax amnesty di beberapa negara di dunia. Penulis menggali dan mengumpulkan fakta-fakta melalui penelitianpenelitian terdahulu, artikel, berita serta undang-undang maupun rancangan undang-undang yang terkait. Berikut merupakan penggambaran dari negaranegara di dunia yang telah berkali-kali menerapkan tax amnesty. 1. Tax amnesty di Argentina Argentina merupakan salah satu negara yang telah beberapa kali menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau lebih dikenal dengan tax amnesty. Di Argentina, perpajakan merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara. Karena pendapatan dari sumber lainnya seperti BUMN di Argentina atau kegiatan bisnis yang dilakukan negara cenderung terbatas. Oleh karena itu, kesuksesan dari tax amnesty akan menjadi penentu dari kekuatan finansial dari Argentina (Marlherbe, 2011). 49 Seperti kebanyakan negara di dunia, Argentina menggunakan sistem pajak self –declaration system. Sistem perpajakan ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan pajaknya sendiri ke AFIP (Administración Federal de Ingresos Públicos) untuk kemudian jika ada kesalahan AFIP akan mengauditnya (Marlherbe, 2011). Jika di Indonesia sistem seperti ini dapat kita kenal dengan selfassessment system. Bermacam alasan politik dan ekonomi menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya semacam keengganan beberapa wajib pajak untuk jujur dalam mengungkapkan pajak mereka. Dalam situasi seperti ini berbagai macam cara telah ditempuh pemerintahan Argentina dalam menghadapi masalah keuangan seperti ini. Untuk itulah Argentina mengeluarkan kebijakan tax amnesty, walaupun sempat gagal namun pada akhirnya Argentina berhasil memecahkan masalahnya dengan tax amnesty yang diterapkannya (Marlherbe, 2011). 1.1. Penerapan tax amnesty di Argentina dari Masa ke Masa Argentina memberlakukan program pengampunan pajak pada tahun 1987 dalam rangka untuk merangsang repatriasi modal yang telah secara ilegal meninggalkan negara. Pengampunan berupa pembebasan pajak atas seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan sebelumnya digunakan untuk tujuan investasi, dan terbuka untuk kedua investor asing dan lokal. Secara khusus, untuk setiap dolar 50 utang pajak dikonversi menjadi ekuitas, dan uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan baru, membangun pabrik baru, atau meningkatkan kapasitas fasilitas yang ada. Pemerintah membebaskan setiap dana kembali dari semua pajak terutang, dan pemerintah juga berjanji bahwa tidak akan menginvestigasi atau menuntut para penunggak pajak. Namun amnesti ini tidak menghasilkan penambahan pendapatan pajak, dan secara luas dipandang sebagai sebuah kegagalan. Selain itu, Argentina telah menawarkan berbagai amnesti pajak sebelumnya. Program pengampunan pajak tahun 1987 tidak disertai dengan peningkatan upaya penegakan hukum atau perubahan dalam sistem fiskal yang mendasarinya. Pelajaran yang jelas dari pengalaman Argentina bahwa pengenalan amnesti pajak tanpa penyesuaian struktural lainnya cenderung gagal (Alm, 1998 dalam Luitel 2005). Di tahun 1995 Argentina menerapkan kebijakan tax amnesty lainnya. Tax amnesty yang diterapkannya di tahun 1995 ini adalah dengan memberikan pengampunan terhadap bunga dan sanksi pada setiap wajib pajak yang dengan secara sukarela membayar hutang beserta pokoknya dan melaporkan asset yang sebelumnya belum tercatat atau belum dilaporkan baik yang di dalam ataupun di luar negeri kepada petugas pajak sebelum 31 July pada tahun 1995 (Marlherbe, 2011). 51 Penerapan tax amnesty ini berbeda dengan tax amnesty sebelumnya yaitu pada tahun 1987 dimana dalam tax amnesty pada periode ini mengalami perpanjangan waktu pengampunan. Hal ini disebabkan terutama karena semenjak 1991, di Argentina telah banyak terjadi penyimpangan pajak yang akan dihapuskan dengan mendaftarkan diri mereka ke dalam sistem perpajakan yang baru (Marlherbe, 2011). Di tahun 2009, pemerintah Argentina kembali menerapkan tax amnesty untuk memberikan pengampunan terhadap hutang pajak dan sanksi pidana bagi pelanggar pajak. tax amnesty kali ini menargetkan pada natural person atau semacam wajib pajak yang belum terdaftar dan mengizinkan mereka untuk membayar social security atau semacam uang tebusan dan hutang pajaknya yang jatuh tempo pada 31 Desember 2007 terlepas dari berapa banyak jumlahnya untuk mendapatkan fasilitas tax amnesty. Menurut Marlherbe (2011) mengatakan bahwa pemerintah argentina menargetkan natural person berdasarkan tiga ketentuan, yaitu: a. Pembayaran social security dan tunggakan kewajiban pajak lainnya; b. Mempromosikan dan melindungi para tenaga kerja yang telah terdaftar; dan c. Capital disclosure and repatriation atau pengungkapan secara transparan dan pengembalian asset. 52 Ketaatan berkurangnya dalam menuruti penyimpangan sistem pajak ini untuk akan tax menyebabkan evasion, dan penyimpangan lainnya. Hukuman dan sanksi yang belum berakhir pada periode 31 Desember 2007 juga termasuk dalam tax amnesty ini (Marlherbe, 2011). Pada tahun 2013 pun Argentina kembali menerapkan tax amnesty. Kali ini tax amnesty tersebut dimaksudkan untuk mensuport Argentina dari penurunan nilai mata uangnya. Kebijakan ini diperkenalkan pada Juni 2013 di Argentina dan berakhir pada 30 September 2013 yang kemudian diperpanjang hingga akhir tahun 2013 (Godfrey, 2013). Periode kebijakan ini diperpanjang karena dianggap gagal dan tidak mencapai target yang diharapkan pemerintah Argentina. Dari kebijakan ini Argentina hanya mendapat USD 341,5 triliun atau hanya 8,5 % dari target yang diharapkan pemerintah Agentina (Godfrey, 2014). Pada tax amnesty di tahun 2013 ini menargetkan pada para wajib pajak yang memiliki tabungan dengan mata uang asing yang tidak dilaporkan dalam pajaknya. Tax amnesty ini menawarkan kepada para wajib pajak untuk menyerahkan mata uang asing yang tidak dilaporkan tersebut untuk ditukarkan menjadi obligasi negara untuk investasi bidang energy dengan nama BAADE dalam akronim berbahasa latin yaitu Bono Argentino de Ahorro para el Desarrollo Económico dan sertifikat deposito real estate atau dengan akronim 53 Bahasa latin disebut CEDIN (Certificado de Depósito para Inversión) (Godfrey, 2014). 2. Tax Amnesty di Afrika selatan Salah satu negara yang berhasil menerapkan tax amnesty adalah Afrika Selatan (Marlherbe, 2011). Distribusi pendapatan ekonomi di antara rakyat Afrika Selatan adalah tidak merata. Kalangan menengah keatas dalam hal pendapatan adalah para masyarakat kulit putih dan kulit berwarna sedangkan pendapatan menengah kebawah dihuni oleh masyarakat kulit hitam yang notabene merupakan penduduk asli Afrika Selatan. Sumber penerimaan pajak terbesar pun dari PPh orang pribadi (41%) diikuti dengan PPN (26%) dan PPh badan (14%) (Ismail, 2004). Akibat banyaknya pelarian modal ke luar negeri membuat pemerintah Afrika Selatan menerapkan kebijakan tertentu agar warga negaranya bersedia menarik modal ke dalam negeri. Untuk itu lah Afrika Selatan menerapkan tax amnesty. Tax amnesty merupakan suatu program pemerintah yang biasanya memberikan sebuah kesempatan dalam waktu terbatas kepada para wajib pajak yang tidak patuh untuk secara sukarela membayar pajak hutang pajak sebelumnya tanpa dikenakan hukuman atau tuntutan yang disebabkan oleh penggelapan pajak yang biasanya dibawa (Luitel et al, 2005). Alasan dan tujuan dari tax amnesty ini adalah untuk meningkatkan dan memperbaiki kepatuhan pajak yang tidak pernah patuh sebelumnya. Uchitelle (1989) 54 menjelaskan ada tiga sumber yang digunakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan selama masa diberlakukannya tax amnesty di Afrika Selatan ini; a. Sumber pertama yaitu adalah sejumlah besar pendapatan ekonomi domestic yang tidak dilaporkan karena adanya kegiatan dari shadow economy atau ekonomi bayangan. Tax amnesty sendiri diterapkan bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan pajak pada masa yang sedang berjalan, tapi juga untuk meminimalisir atau mengurangi jumlah dari kegiatan ekonomi yang terjadi secara permanen dalam ekonomi bayangan, oleh karena itu tax amnesty juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak untuk kedepannya. b. Sumber yang kedua adalah potensi dari pendapatan pajak yang terparkir di luar negeri. Tax amnesty juga digunakan untuk atau sebagai pendorong para penduduk yang memulangkan sejumlah uangnya yang secara illegal terparkir di luar negeri. c. Sumber yang ketiga adalah potensi pendapatan dari pembayaran kembali pajak dari para wajib pajak yang kurang bayar secara tidak sengaja tapi tidak pernah melaporkan kesalahan mereka karena takut akan hukuman yang dikenakan karena berhubungan dengan penghindaran pajak. oleh karena itu tax amnesty juga untuk mendorong wajib pajak agar membayar secara penuh dengan menghapus atau mengurangi hukumannya. 55 Ketidakpatuhan, tax avoidance, dan tax evasion merupakan masalah yang sangat besar bagi banyak negara di belahan dunia. Bagaimanapun, ketidak patuhan tidak hanya mengurangi pendapatan namun juga bisa menyebabkan kesenjangan yang besar dalam ekonomi (Damjanovic et al, 2007). Karena itu pemerintah biasanya membatasi tax amnesty kepada wajib pajak yang tidak melaporkan pendapatannya atau kepada mereka yang memiliki kewajiban yang luar biasa yang tidak teridentifikasi oleh fiskus (Nakamura, 2009 dalam Junpath, 2013). 2.1. Penerapan Tax Amnesty di Afrika Selatan dari Masa ke Masa Semenjak pergantian pemerintahan di tahun 1994, di Afrika Selatan telah beberapa kali melakukan program tax amnesty. Komisi Katz telah merekomendasikan dalam laporan interim pertama bahwa tax amnesty diperkenalkan karena beberapa alasan. Salah satu alasan menjelaskan bahwa kemungkinan orang-orang yang tidak diuntungkan dalam membayar pajak pada sistem pemerintahan sebelumnya dapat memiliki dorongan untuk mendaftarkan dan melaporkan pajaknya tanpa merasa terbebani. Tujuan dari komisi Katz adalah untuk menarik lebih banyak orang kedalam sistem perpajakan yang dimaskudkan untuk menghasilkan pendapatan tambahan fiskus (Killian dan Kolitz, 2004). Hal ini melahirkan tax amnesty pertama yang diperkenalkan di bawah peraturan undang-undang tax amnesty 56 pada tahun 1995. Amnesty ini membersihkan daftar wajib pajak yang memiliki kewajiban pajak luar biasa di tahun 1994. Pada taun 1996, diikuti dengan tax amnesty yang kedua yang di berikan dibawah Undang-undang terakhir pembebasan pada pajak, bunga, hukuman dan denda pajak yang memberikan pembebasan pada beberapa form pajak, bunga, hukuman dan denda pajak (Flanagan, 2010 dan Republik Afrika Selatan, 1996). Malherbe, 2011) menjelaskan tujuan dari dua amnesty ini adalah memberikan seseorang yang sebelumnya tidak patuh untuk datang dan memperbaiki permasalahan pajak mereka. Dan di tahun 2001 Afrika Selatan merubah sumber basis perpajakan ke perpajakan berbasis residen dimana warga harus membayar pajak atas penghasilan mereka dari seluruh dunia (informasi pemerintah Afrika Selatan, 2000). Ini membawa kita pada pengenalan untuk tax amnesty yang ketiga kalinya yang telah disahkan oleh The Exchange Control Amnesty act of 2003 (Manuel, 2003). Amnesty ini memberikan penduduk Afrika Selatan untuk datang dan memperbaiki urusan pajak mereka tanpa takut akan dikenakan hukum perdata atau pidana (National Treasury, 2003). Pendaftar harus mengungkapkan secara terbuka baik asset resmi maupun yang tidak resmi yang ada di luar negeri untuk tahun yang berakhir pada 28 February 2003 (organization for economic cooperation dan development, 2007). Kemudian pendaftar juga harus 57 memastikan bahwa dia akan terus melaporakan investasi tersebut kepada pihak berwenang di kemudian harinya. Sebelum tahun 2006, banyak bisnis kecil terutama industry di bidang taxi yang secara historis terpinggirkan dan dikeluarkan dari arus utama perekonomian. Sektor ini dijalankan secara informal dan dengan demikian tetap berada diluar sistem pajak (SARS, 2006). Banyak pengusaha yang ingin memperbaiki urusan pajaknya untuk menjadi wajib pajak yang patuh, namun terhadang dengan beberapa halangan yang mungkin di dalamnya termasuk kewajiban membayar denda pajak, bunga dan bahkan hukum pidana. Ketakutan ini membuat keputusan untuk masuk kedalam sistem pajak menjadi sulit. Semenjak banyak pengusaha ingin masuk kedalam sistem perpajakan, pemerintah kemudian memutuskan untuk memperkenalkan tax amnesty untuk memastikan para pengusaha kecil bisa menghadapi rintangan tersebut (National Treasury, 2006 dalam Junpath, 2013 ). Amnesty untuk pengusaha kecil ini bertujuan untuk memberikan pembebasan kepada para penghusaha industry taxi dengan mengizinkan para pelaku industry untuk memperbaiki kepatuhan mereka tanpa takut akan menghadapi tuntutan. Bagaimanapun, amnesty kemudian meluas ke sektor pengusaha kecil dan wajib pajak pribadi (National Treasury, 2006 dalam Junpath, 2013). Amnesty untuk pengusaha kecil dituangkan dalam undang-undang tax amnesty untuk pengusaha kecil dan amandement dari undang-undang 58 perpajakan merupakan program tax amnesty ke empat yang ditawarkan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuan utama dan sasaran dari tax amnesty adalah untuk memperluas basis pajak, mengatur urusan pajak dari pengusaha kecil, meningkatkan dan memperbaiki kepatuhan pajak dan memfasilitasi para wajib pajak pengusaha kecil di sektor industry taxi dalam program rekapitalisasi taxi (The Taxi Recapitalisation Programme) (Malherbe, 2011). Tax amnesty mulai diberlakukan dari tanggal 1 Agustus 2006 sampai 31 Mei 2007, namun kemudian diperpanjang oleh SARS menjadi 30 Juni 2007. Tax amnesty yang ke lima dan yang baru saja diperkenalkan di Afrika Selatan adalah Voluntary Disclosure Program (VDP), yang dikenalkan pada tahun 2010 dan memberikan para wajib pajak yang memenuhi persyaratan untuk pembebasan dari denda, sanksi dan kenaikan bunga dari kesalahan di masa lalu (Buttrick, 2010). SARS (2010) menggambarkan VDP sebagai mekanisme yang diakui secara Internasional untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pajak. dalam ruang lingkup global VDP bertujuan untuk membuka rahasia bank secara transparan dan memberikan akses bagi otoritas keuangan untuk menggali informasi secara domestic dan secara global. Kebijakan ini telah dipertimbangkan akan mengambil bentuk dari tax amnesty untuk para wajib pajak individu dan badan yang tidak melaporkan pajaknya atau melaporkan asetnya yang berada diluar negeri. 59 2.2. Pencapaian Tax Amnesty di Afrika Selatan Kesuksesan program the exchange control amnesty atau biasa kita kenal dengan tax amnesty ternyata melebihi perkiraan yang diharapkan. Terdapat sebesar 43.137 pendaftar dengan total asset asing yang didisclose sebesar ZAR 68,9 milyar pada saat diberlakukannya tax amnesty di tahun 2003 tepatnya pada 23 Februari 2003 (Marlherbe, 2011). Dari jumlah tersebut sebesar ZAR 23,9 milyar atau sebesar 34,7% merupakan aset resmi, sedangkan sebesar ZAR 45 milyar atau sebesar 65,3% merupakan aset asing yang sebelumnya tidak tercatat di pemerintahan dan didisclose untuk tujuan mendapatkan amnesty. Dalam periode tax amnesty yang diberlakukan oleh pemerintahan Afrika Selatan, mata uang Afrika Selatan Rand tercatat mengalami apresiasi atau penguatan terhadap mata uang asing (Marlherbe, 2011). Sejak tahun 1994, tax amnesty di Afrika selatan menjadi program yang populer yang selalu diperkenalkan oleh pemerintah dalam rangka untuk memperbaiki kepatuhan dan untuk meningkatkan pendapatan. Walaupun banyak negara di dunia telah menawarkan beberapa bentuk dari tax amnesty, bukti mengenai dampak positif dari tax amnesty masih kurang dalam tingkat yang lebih besar. Banyak dari penelitian yang telah dilakukan dalam pemberian satu atau banyak tax amnesty dan hasilnya konstan atau sama dari berbagai belahan dunia. Dalam penelitian menemukan bahwa wajib pajak yang patuh adalah dimulai 60 dari percaya bahwa tax amnesty adalah hadiah yang hanya diberikan untuk para wajib pajak yang membangkang. Ini dapat mengakibatkan masalah yang serius karena keyakinan ini bisa menghancurkan kepatuhan yang secara sukarela (voluntary compliance) dari para wajib pajak yang jujur. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pendahuluan dari tax amnesty pajak tidak ditawarkan lebih dari sekali. Disamping kesuksesan kemunculannya, program tax amnesty untuk usaha kecil (the small business tax amnesty) yang di tawarkan pada 2006 lalu merupakan percobaan yang mengecewakan dari kinerja pemerintah untuk membaharui kebijakan pajaknya. Temuan umum dalam kesimpulan dari kampanye tax amnesty mengungkapkan walaupun 22% dari permohonan amnesty datang dari para wajib pajak baru, namun masih belum cukup sebagai otoritas yang mungkin seharusnya awalnya diantisipasi. Croome (2007) menemukan sebagian besar permohonan yang diterima dari perusahaan yang ada mencari untuk mengantisipasi kesalahan pajak yang mereka lakukan sebelumnya. Hasil ini tentu mengecewakan karena dibandingkan dengan tujuannya yaitu menarik lebih banyak masyarakat untuk mematuhi sistem pajak. Oleh karena itu sangat penting untuk pemerintah Afrika selatan membatasi penawaran dari tax amnesty yang berulang dan terus memfokuskan untuk mengatasi permasalahan ekonomi negara yang 61 mungkin dapat menyebabkan masyarakat menjadi tidak patuh. Oleh karena itu, pemberian tax amnesty yang berulang dianggap kurang berhasil dibandingkan dengan tax amnesty yang hanya dilakukan satu kali sebagai potensi untuk memperoleh pendapatan dalam jangka panjang. Untuk selanjutnya akan berdampak negative pada kepatuhan secara sukarela ( voluntary compliance) ( alm, 1998). Uchitelle (1989) menyatakan bahwa desain yang baik dalam program amnesty harus diikuti dengan struktur dan tax reform yang berpotensi untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan pada negara berkembang. 3. Tax Amnesty di India India memiliki sejarah yang berulang-ulang dalam pemberian program pengampunan pajak yang menghasilkan jumlah penghasilan pajak yang kecil dan semakin menurun. Dalam sejarahnya, India telah banyak memberikan program tax amnesty selama beberapa dekade yang lalu yaitu tahun 1952, 1965, 1975, 1981, 1985, 1986, 1991 dan terakhir pada tahun 1997 (James 1998 dalam Santoso et al, 2009). Namun pemberian program pengampunan pajak pada tahun 1997 sangat jauh berbeda. Program pengampunan pajak ini berhasil menghimpun pajak sebesar 100 miliar rupee dari sekitar 350.00 Pembayar Pajak Orang Pribadi atau hampir tiga kali lipat dari total penerimaan pajak dari amnesti sebelumnya (das-gupta et al, 1995 dalam bose et al, 2010). Semenjak tahun 1975, program tax amnesty di India semakin sering diberlakukan, dapat ditebak yaitu sekitar 62 lima atau enam tahun sekali sehingga telah menjadi bagian iklim melemahnya penegakan peraturan pajak penghasilan, akibatnya intensitas tuntutan hukum lebih rendah dan penyelesaian atas tunggakan pajak diluar pengadilan menjadi mudah (santoso, 2009). Semenjak 1975 sampai 1976 india memperbaiki neraca perdagangannya dari mulai -286 juta hingga +787 juta US Dollar yang menunjukkan betapa drastisnya perubahan dalam ekonominya (bose, 2010). Dan pada akhirnya amnesty di India pada 1997 merupakan suatu keberhasilan yang patut diperhitungkan. Program The Voluntary Disclosure of Income Scheme (VDIS’ 97) terhitung sekitar 20 persen dari pendapatan kotor tahunan pajak (bose, 2010). 4. Tax Amnesty di Perancis Tahun 1986 pemerintah Prancis mendesain program pengampunan pajak untuk menarik pajak dari penghasilan yang secara illegal ditransfer ke luar negeri. Pemerintah secara signifikan mengurangi tarif pajak atas penanaman modal kembali dan menghapuskan pajak atas kekayaan. Program pengampunan pajak ini mengikuti program yang sejenis pada tahun 1982 yang juga di desain untuk menarik kembali modal yang ditanam di luar negeri (Marlherbe, 2011). Program ini tidak diikuti dengan peningkatan upaya penegakan hukum atau sanksi yang lebih berat. Jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dari program ini tidak diketahui secara pasti walaupun jumlah pajak yang 63 berhasil dikumpulkan dari program ini tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan hasilnya sangat kecil. Namun demikian, arus modal masuk dari luar negeri non-perbankan tumbuh sekitar 400% pada tahun 1986. Sebagian besar peningkatan arus masuk tersebut, menurut bank sentral Perancis berasal dari program pengampunan pajak (Uchitelle, 1989). 5. Tax Amnesty di Kolombia Pada tahun 1987 pemerintah Kolombia memberlakukan program program pengampunan pajak yang memperkenankan Pembayar Pajak membetulkan pelaporan pajak yang sebelumnya tidak melaporkan asetnya atau hutang pajaknya tanpa dikenakan sanksi denda ataupun penuntutan. Syarat untuk mendapatkan program pengampunan pajak adalah penghasilan yang dilaporkan Pembayar Pajak minimal harus sama besar dengan penghasilan yang telah dilaporkan sebelumnya dan Penunggak pajak yang sudah terdeteksi diperbolehkan untuk mendapatkan pengampunan pajak. Pemerintah Kolombia juga mengubah beberapa fitur pada sistem perpajakan antara lain: mengurangi tarif pajak, mengeliminasi pengenaan pajak berganda terhadap dividen, dan meningkatkan tarif pajak withholding serta meningkatkan usaha penegakan hukum dan pengenaan sanksi. Program pengampunan pajak ini berhasil mengumpulkan penerimaan $93 juta atau 0,3% dari GDP tahun 1987 (Uchitelle, 1989). 64 6. Tax Amnesty di Irlandia Pada tahun 1988, pemerintah Irlandia mengumumkan program program pengampunan pajak yang mengijinkan Pembayar Pajak untuk membayar pajak penghasilannya dengan cicilan selama 10 bulan tanpa dikenakan sanksi bunga atau denda ataupun resiko menghadapi tuntutan hukum pidana atau perdata. Secara bersamaan, pemerintah menambah jumlah tenaga auditor pajak dan mulai mengumumkan nama-nama penunggak pajak atau Pembayar Pajak nakal pada koran utama nasional. Pihak pemerintah juga memperkenalkan sistem perpajakan baru yang akan mulai efektif berlaku pada saat program program pengampunan pajak berakhir, dimana sistem perpajakan baru tersebut akan mengenakan sanksi bunga dan denda yang lebih tinggi, dan peningkatan wewenang yang dimiliki oleh pemeriksa pajak. Pemerintah Irlandia menargetkan pendapatan dari program tax amnesty sebesar $50 juta, namun ternyata pendapatan pajak dari program tersebut mencapai $750 juta. Hasil yang menggembirakan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pemerintah Irlandia belum pernah memberlakukan tax amnesty sebelumnya dan pemerintah menegaskan bahwa program pengampunan pajak tersebut adalah pertama dan terakhir kalinya yang diberikan kepada wajib pajak nakal. Peningkatan penegakan hukum pasca program pengampunan pajak juga berkontribusi besar terhadap kesuksesan program ini (Uchitelle, 1989). 65 66 B. Perbandingan Penerapan Tax Amnesty di Beberapa negara di Dunia Berikut merupakan perbandingan yang telah berhasil penulis rangkum berdasarkan penerapan-penerapan tax amnesty yang telah penulis uraikan di atas. Tabel 4.1 Perbandingan Penerapan Tax Amnesty Negara Argentina Tahun 1987 Penerapan tax amnesty Pengampunan berupa pembebasan pajak atas seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan sebelumnya untuk tujuan investasi 1995 Pengampunan terhadap bunga dan sanksi yang secara sukarela membayar hutang dan pokok pajak serta melaporkan aset yang belum tercatat Pengampunan terhadap hutang dan sanksi pidana perpajakan dengan membayar social security beserta hutang pajaknya Pengampunan terhadap bunga dan sanksi yang secara sukarela menyerahkan mata uang asing yang tidak dilaporkan 2009 2013 Hasil pencapaian dari penerapan Dianggap gagal karena tidak berhasil menambah pendapatan pajak serta tidak didukung dengan peningkatan penegakkan hukum pada tahun 1987 Bersambung pada halaman berikut. 66 Negara Afrika Selatan Tahun 1996 2003 2006 2010 India 1997 Perancis 1986 Kolumbia 1987 Penerapan tax amnesty Hasil pencapaian dari penerapan Pembebasan terhadap bunga, sanksi dan denda Terdapat peningkatan pajak penerimaan sebesar ZAR 68,9 milyar pad atahun 2003 Pengampunan berupa pembebasan atas bunga dan Dianggap sukses karena berhasil sanksi serta sanksi pidana dengna memulangkan aset asing sebesar mengungkapkan secara terbuka mengenai asetnya ZAR 45 milyar atau sebesar Pembebasan terhadap bunga dan, sanksi dan 63% dari pendapatan pada tahun denda pajak terhadap pengusaha kecil 2003 Voluntary Disclosure Program (VDP) Pada tahun 2006 dianggap gagal karena tidak mencapai target dari permohonan tax amnesty Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap sukses Karena berhasil dengan secara sukarela melaporkan harta dan menghimpun pajak sebesar pajak terutangnya 100milyar rupee dari 350000 pembayar pajak dan hamper tiga kali lipat dari total penerimaan pajak sebelumnya Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap gagal karena tidak dengan secara sukarela melaporkan harta dan berhasil meningkatkan penerimaan pajak terutangnya pajaknya Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi Dianggap sukses karena berhasil dengan secara sukarela melaporkan harta dan mengumpulkan penerimaan sebesar pajak terutangnya $93juta atau sebesar 0,3% dari GDP pada tahun 1987 ‘ Bersambung pada halaman berikut. 67 Negara Irlandia Tahun 1988 Penerapan tax amnesty Pengampunan terhadap bunga, sanksi administrasi ataupun tuntutan pidana dan diperkenankan mencicil pajak penghasilannya selama 10 bulan dengan secara sukarela melaporkan harta dan pajak terutangnya Hasil pencapaian dari penerapan Dianggap sukses besar karena berhasil menghimpun penerimaan sebesar $750 juta dari target yang hanya sebesar $50 juta dan penerapan tax amnesty ini hanya terjadi sekali Sumber: Diolah oleh penulis berdasarkan hasil penelitian 68 C. Penerapan Tax Amnesty di Indonesia 1. Program Pengampunan Pajak Tahun 1964 Di Indonesia juga merupakan salah satu negara yang pernah melakukan pengampunan pajak.Pengampunan pajak itu sendiri diperkenalkan pertama kali pada masa kepemimpinan presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu Sokerano pada tahun 1964 di bawah peraturan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang pengampunan pajak. Menurut Daryadi (2004) dalam Yuliana (2008) pemerintah memiliki empat alasan yang kuat dalam mengeluarkan peraturan pajak ini yaitu: a. Keadaan ekonomi pada saat itu tidak begitu baik dimana inflasi berkembang dari tahun ke tahun. Hal tersebut mudah untuk dijadikan alasan bagi para wajib pajak untuk menghindarkan sebagian besar laba, pendapatan dan kekayaannya dari peraturan-peraturan pajak atas laba, pendapatan dan kekayaan yang saat itu berlaku. b. Sistem pembukuan yang lengkap dan benar pada saat itu tidak mudah untuk dilaksanakan. Indonesia menganut sistem laba fiskal yang meliputi pula laba inflasi. Hal tersebut memberikan dorongan bagi wajib pajak untuk melanggar peraturan pajak. c. Tarif pajak pendapatan saat itu merupakan tarif progresif yang dianggap sangat berat atau tinggi oleh wajib pajak. hal tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai hukuman berat. Pendapatan yang diperoleh sebagai hasil kerja keras wajib pajak tidak terlalu bisa dirasakan manfaatnya 69 Karena faktor inflasi. Selain itu terdapat proporsi tertentu dari pendapatan yang harus diserahkan kepada negara dalam bentuk pajak pendapatan. Hal ini dapat memotivasi wajib pajak untuk mengelak dari kewajiban perpajakannya. d. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu memerlukan dana besar untuk membiayai “Revolusi Nasional Indonesia”, pelaksaan Dwikora dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno. Didalam penjelasan umum dari Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 tentang Pengampunan pajak juga telah dijelaskan beberapa alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini pada tahun itu. Berikut merupakan beberapa alasan pemerintah berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 tentang pengampunan pajak, yaitu: a. Keadaan inflasi yang berkembang dari tahun ke tahun yang menunjukkan ekonomi menjadi tidak baik. hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan perilaku yang tidak sesuai peraturan atau menyimpang dari peraturan seperti menghindarkan sebagian besar laba, pendapatan dan kekayaannya dari pengenaan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat itu. b. Tata buku atau sistem pembukuan yang dianut saat itu tidak mudah untuk dilaksanakan. Sistem laba fiskal, yang juga meliputi laba inflasi 70 mendorong para wajib pajak saat itu untuk melanggar ketentuanketentuan yang berlaku saat itu. c. Tarif pajak progresif yang pada saat itu diberlakukan dianggap sangat berat bagi para wajib pajak sehingga mereka tidak bisa cukup menikmati hasil kerja mereka. Hal ini tentu dapat mendorong terjadinya pelanggaaran pajak. d. Sistem penilaian harta kekayaan untuk pajak kekayaan pada saat itu berdasarkan nilai uang, kecuali apabila nilai jualnya lebih tinggi. Akibatnya pajak kekayaan akan menjadi lebih bear karena pengaruh inflasi. Hal ini dapat mendorong para wajib pajak untuk tidak melaporkan kekayaan mereka yang sebenarnya. e. Pemerintah menyadari ketidakmampuan para aparatur pemungutan pajak saat itu untuk melakukan penagihan pajak kepada para wajib pajak saat itu. f. Disamping itu, pada masa itu pemerintah Indonesia juga memerlukan dana yang cukup besar untuk mendanai Revolusi Nasional Indonesia, Dwikora dan melanjutkan program Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Kebijakan pengampunan pajak digunakan oleh pemerintah pada tahun 1964 untuk menarik dana dari masyarakat yang potensial namun belum dikenakan pajak. pada saat yang sama dengan ditetapkan pengampunan pajak, pemerintah juaga mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan keuangan datau 71 fiskal dibawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) (Yuliana, 2008). Dari Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964, kita dapat mengetahui beberapa hal mengenai aspek-aspek pengaturan dari pengampunan pajak pada masa itu, diantaranya adalah: a. Subjek pengampunan pajak, yang menjadi subjek dari program pengampunan pajak pada saat itu adalah masyarakat yaitu wajib pajak orang pribadi dan badan. b. Objek pengampunan pajak, objek dari pengampunan pajak pada saat itu adalah pajak pendapatan, pajak kekayaan dan pajak perseroan. c. Besaran tarif yang dikenakan pada masa itu dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. 10% (sebagai tarif ampunan atau tarif umum) dari harta atau kekayaan atau modal yang diberikan pengampunan. 2. 5% (tarif reduksi) sebagai perangsang bila harta atau kekayaan atau modal yang diberikan pengampunan ditananmkan pada usaha-usaha baru dan yang sudah ada yang dapat mempertinggi produksi lapangan: 1) Pertanian, perikanan, peternakan 2) Pertambangan 3) Perindustrian 4) Pengangkutan. 72 Dengan pengecualian untuk pengeluaran-pengeluaran untuk alat-alat perusahaan yang terlebih dahulu digunakan di Indonesia dan pengeluaran yang dianggap mewah atas pertimbangan Kepala Direktorat Pajak. Namun apabila tidak seluruhnya ditanam maka atas modal yang tidak dipergunakan sebagaimana rencana semula, dipungnut kekurangannya sebesar 5% lagi. d. Para wajib pajak juga akan difasilitasi dengan jaminan pemerintah bahwa daya beli (modal) yang disalurkan untuk usaha-usaha produktif tersebut dibebaskan dari tuntutan pajak dan menginstruksikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bertugas di bidang fiskal atau pidana tidak mengadakan suatu pertanyaan, penyelidikan dan pemeriksaan tentang asal-usulnya. e. Jangka waktu pengampunan pada waktu itu adalah sekitar 7 bulan, terhitung sejak tanggal diberlakukannya peraturan ini yaitu pada tanggal 9 September 1964 hingga 17 Agustus 1965. f. Hukuman pun akan diberikan jika yang dilaporkan termasuk yang dimohonkan pengampunan nilainya lebih rendah dari yang sebenarnya, maka akan ditagih selisihnya dan ditambah dengan sanksi sebesear 400% dari selisih kurang disetor. 73 2. Program Pengampunan Pajak Tahun 1984 Pengampunan pajak pada tahun 1984 di perkenalkan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Penerapan pengampunan pajak pada saat itu diperintahkan secara langsung oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Berturut setelah penerbitan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984, pemerintah juga mengeluarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK 04/1984 tentang pelaksanaan pengampunan pajak. pengampunan pajak pada masa itu juga ditetapkan sebagai pelengkap dari pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Nomor 6, 7 dan 8 Tahun 1983 (Yuliana, 2008). Latar belakang pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengampunan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 adalah atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: a. Pelaksanaan sistem perpajakan yang baru yang diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional b. Pelaksaan sistem perpajakan baru tersebut memerlukan adanya pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat c. Pangakl tolak yang bersih membutuhkan dukungan dari masyarakat yang telah terdaftar untuk melaporkan seluruh penghasilannya dan masyarakat yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif seharusnya telah terdaftar sebagai wajib pajak. 74 Dari Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tersebut dapat kita ketahui beberapa hal yang terkait dengan aspek-aspek dalam peraturan tersebut diantaranya adalah: a. Subjek pengampunan pajak dalam peraturan ini adalah semua orang pribadi dan badan usaha, baik yang telah terdaftar sebagai wajib pajak maupun yang belum pernah mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. b. Jenis pajak yang dapat dimintakan pengampunan adalah pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak, meliputi beberapa hal diantaranya: 1) Pajak pendapatan atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya 2) Pajak kekayaan atas kekayaan yang dimiliki pada tanggal 1 Januari 1984 dan sebelumnya 3) Pajak perseroan atas laba yang diperoleh dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya 4) Pajak atas bunga, deviden dan royalty yang terhutang atas bunga, deviden dan royalty yang dibayarkan atau disediakan untuk dibayarkan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 5) Memungut Pajak Orang (MPO) Wajib Pungut (Wapu) yang terhutang dalam tahun 1983 dan sebelumnya 75 6) Pajak Pendapatan buruh yang terhutang dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya 7) Pajak penjualan yang terhutang dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya c. Besarnya tarif uang tebusan adalah sebesar 1% atau 10% dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan. Jumlah kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan bersih yang tercantum dalam daftar kekayaan/neraca per 1 Januari 1984 yang benar. Besarnya tarif yang ditentukan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 menurut pasal 3 yaitu: 1) 1% (satu persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib paajk yang pada tanggal ditetapkannya peraturan ini telah memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak Pendapatan/pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984 2) 10% (sepuluh persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak pendapatan/pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984. d. Jangka waktu dari pengampunan pajak pada masa ini sekitar 9 bulan terhitung sejak tanggal berlakunya peraturan ini pada tanggal 18 April 1984 dan batas akhirnya pada tanggal 31 Desember 1984. 76 3. Program Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Tahun 2008 (Sunset Policy) Pada tahun 2008, Indonesia juga telah menyelenggarakan kebijakan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang salama ini kita kenal dengan kebijakan sunset policy. Kebijakan ini telah diundang-undangkan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 pada tanggal 17 Juli 2007. Sunset policy merupakan istilah yang dipergunakan oleh Direktorat Jendral Pajak untuk menggambarkan suatu kebijakan penghapusan sanksi administrasi yang terdapat dalam pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah dirubah terakhirkali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Pada dasarnya istilah sunset policy tersebut secara umum diartikan sebagai waktu di sore hari yaitu waktu disaat matahari akan terbenam dan durasi waktu yang diperlukan untuk terbenam tidak terlalu lama (Hasan, 2009). Makna tersebut diambil agar memudahkan wajib pajak mengerti dan memahami kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2008 tersebut memiliki jangka waktu yang terbatas. Dimana dalam jangka waktu 1 tahun itu wajib pajak diberikan kesempatan untuk tidak memikirkan sanksi pajak yang seharusnya dibebankan dengan mempunyai itikad baik untuk mengikuti syarat-syarat tertentu yang tertera dalam Undang-Undang. 77 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 37A, pemerintah memiliki latar belakang mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan Sunset Policy ini. Diantaranya adalah: a. Dalam rangka memberikan kesempatan kepada pembayar pajak untuk lebih terbuka dan jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakan yang telah lalu b. Dalam rangka memperkuat basis data perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil menghadapi dampak krisis keuangan global. Dasar hukum dan peraturan pelaksanaan sunset policy secara jelas mengatur mengenai isi dan tujuan dari kebijakan tersebut. Sunset policy ini merupakan fasilits penghapusan sanksi administrasi yang diberikan kepada: a. Wajib pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya b. Wajib pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum tahun pajak 2007 atau SPT tahunan pajak penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (Hasan, 2009). 78 Dari pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP tersebut dapat kita ketahui beberapa hal mengenai aspek-aspek dari peraturan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Subjek pajak dalam program ini sudah jelas tertera pada penjelasan sebelumnya yaitu para pembayar pajak orang pribadi maupun badan yang sudah terdaftar maupun yang belum memiliki NPWP b. Objek pajak dalam program ini adalah pajak penghasilan c. Fasilitas yang diberikan dalam program ini berupa penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi berupa Bunga keterlambatan dan tidak akan dilakukan pemeriksaan pajak dengan syarat tertentu. d. Jangka waktu dari sunset policy sesuai dengan Pasal 37A berlaku selama satu tahun terhitung sejak diberlakukannya pada tanggal 1 Januari 2008. Namun setelah masa 1 tahun tersebut hampir berlalu pada tanggal 31 Desember 2008, pemerintah mengeluarkan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 yang memberikan kesempatan bagi para pembayar pajak untuk mengikuti sunset policy hingga tanggal 28 Februari 2009. 4. Program Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) 2015 Pada Tahun 2015 kemarin, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penghapusan sanksi administrasi yang mirip dengan sunset policy. Bahkan banyak para wajib pajak yang mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan sunset policy jilid 2. Pada dasarnya, dilihat secara umum kebijakan 79 sunset policy dan TPWP 2015 ini memiliki tujuan akhir yang sama yaitu penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan atau pembetulan SPT tahunan. Tahun Pembinaan Wajib Pajak ini didasari oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut, yang mendasari pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah sebagai berikut: a. Kebijakan ini diterapkan dalam rangka pembinaan terhadap wajib pajak dan untuk mendorong wajib pajak untuk menyampaikan SPT, membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak, serta melaksanakan pembetulan SPT di tahun 2015. Artinya kebijakan ini diterapkan untuk mendorong kepatuhan dari wajib pajak b. Kebijakan ini juga diterapkan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMk.03/2015 mengenai pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kita dapat mengetahui aspek-aspek pengaturan dari program TPWP 2015 ini. Secara umum subjek dari kebijakan ini sama dengan kebijakan sunset policy pada tahun 2008 silam yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan, yang membedakan program ini dengan tax amnesty adalah dilihat dari objek pajaknya. Dalam sunset policy 80 objek pajaknya hanya pada pajak penghasilan, sedangkan TPWP 2015 ini mencakup seluruh jenis objek pajak. jangka waktu dari kebijakan ini hanya terjadi selama tahun 2015 saja terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 pada 13 Februari 2015. Berdasarkan gambaran mengenai tax amnesty yang pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya penulis merangkum beberapa hal penting ke dalam tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Penerapan tax amnesty di Indonesia Tahun 1964 1984 Penerapan tax amnesty Penerapan yang digunakan pada Tax Amnesty periode ini adalah tipe investigation amnesty atau dengan kata lain pemerintah menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahuntahun tertentu dengan membayar “uang pengampunan” dengan tarif yang tertera pada Undang-Undang. Kebijakan pada periode ini memeliki tipe yang sama dengan periode sebelumnya yaitu menggunakan tipe investigation amnesty Pencapaian Dari sisi kepatuhan, tax amnesty pada periode ini dianggap tidak berhasil karena pada masa itu perbaikan structural sistem perpajakan dan monitoring terhadap kepatuhan wajib pajak serta penerapan hukum pasca kebijakan ini tidak maksimal. Ini disebabkan. Mengenai tingkat penerimaan pajak masa itu tidak sesuai target dan harapan pemerintah. Terdapat 1.035.989 wajib pajak orang pribadi dan badan dan terdapat kurang lebih 20% wajib pajak yang turut berpartisipasi dalam kebijakan ini. Kebijakan kali ini dianggal lebih efektif dibandingkan Bersambung pada halaman berikut. 81 Tahun Penerapan tax amnesty 2008 kebijakan penghapusan sanksi administrasi dan bunga bagi wajib pajak orang pribadi yang dengan secara sukarela melaporkan SPT tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 2015 Penerapan kebijakan kali ini mirip dengan penerapan pada tahun 2008 perbedaannya terdapat dalam objek pajaknya, dalam sunset policy objek pajak terbatas hanya pada pajak penghasilan sedangkan pada kebijakan kali ini mencakup seluruh jenis objek pajak Pencapaian dengan sebelumnya, namun dalam hal penerimaan pajak dari hanya 1% dari total penerimaan pajak, dan ini mengindikasikan kontribusi kebijakan kali ini tidak cukup signifikan. Berhasil menambah jumlah NPWP sebanyak 5.653.128 serta menerima SPT sebanyak 804.814 SPT. Dalam hal penerimaan, pada kebijakan kali ini mendapat tambahan penerimaan dari kebijakan sunset policy sebesar Rp 7,46 triliun Dari segi penerimaan pajak kebijakan kali ini dianggap sukses karena berhasil meningkatkan penerimaan pajak seperti PPh 26 yang meningkat sebesar 23, 14% dari tahun sebelumnya diikuti dengan peningkatan disektor pajak lainnya. Sumber: Diolah oleh penulis berdasarkan hasil penelitian 82 D. Gambaran Umum Kebijakan Tax Amnesty yang Akan Diterapkan di Indonesia Wanandi (2016) dalam artikelnya menuliskan secara umum kebijakan pengampunan pajak ini diperuntukkan bagi mereka yang belum atau sudah masuk ke dalam sistem administrasi pajak, mereka akan diberikan suatu kesempatan untuk mengungkap (declaring) harta atau aset yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak, baik atas harta yang disimpan di dalam negeri maupun di luar negeri. Dari draft Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Nasional yang berhasil penulis dapat, dalam Rancangan Undang-Undang tersebut tertulis bahwa pengampunan Nasional merupakan penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi dan penghapusan sanksi pidana dengan membayar uang tebusan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang yang saat ini masih berbentuk draft RUU dan belum disahkan oleh DPR. Jadi dalam kebijakan yang akan diterapkan ini, untuk mendapatkan fasilitas tax amnesty ini, wajib pajak harus membayar sebuah penalti yang berupa uang tebusan dengan tarif yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang nantinya. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, penerapan tax amnesty yang akan diterapkan kali ini sama dengan tax amnesty yang diterapkan pada tahun 1964 dan 1984 yang di masing-masing periode tertera dalam pasal 3 Kepres No. 26 Tahun 1984 dan pasal 2 Kepres No. 5 tahun 1964. Peraturan dengan model seperti ini juga terbukti berhasil dan sukses 83 diterapkan di Afrika Selatan terutama pada tahun 2003 silam seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya dalam penerapan tax amnesty di Afrika Selatan. Wanandi (2016) menjelaskan bahwa bentuk tax amnesty seperti ini adalah bentuk tax amnesty repatriasi model, dimana model kebijakan ini pada hakikatnya bertujuan untuk membuka semua kekayaan yang selama ini diinvestasikan dalam berbagai bentuk di luar negeri. Namun demikian, dalam kebijakan yang akan diterapkan ini yang diutamakan adalah bagaimana wajib pajak dapat mengungkap dan melaporkan aset-aset yang selama ini belum terdaftar meskipun memilih untuk tidak melakukan repatriasi modal. 84 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Merujuk pada hasil analisis, pembahasan serta temuan penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan penelitian sebagai berikut: 1. Di Argentina pada tahun 1987 memberikan pengampunan berupa pembebasan pajak atas seluruh pendapatan yang tidak dilaporkan sebelumnya, namun kebijakan ini dianggap gagal karena tujuannya dalam meningkatkan pendapatan tidak tercapai dan juga kebijakan ini tidak didukung dengan peningkatan penegakkan hukum pada saat itu. Berbeda halnya dengan di Afrika Selatan, penegakkan tax amnesty mereka berhasil karena Afrika Selatan meningkatkan penegakkan hukumnya pasca tax amnesty di tahun 2003, serta Afrika Selatan juga menerapkan sistem paksa, jika wajib pajak tidak berpartisipasi dalam programnya pada waktu itu, dikemudian hari jika terbukti melakukan kesalahan hukumnya akan lebih berat. Kesimpulannya penerapan tax amnesty di negara-negara asing di dunia pada dasarnya memiliki alasan yang sama yaitu meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak mereka, dan juga tax amnesty sebaiknya diikuti dengan peningkatan penegakkan hukum setelah penerapannya. 2. Penerapan tax amnesty di Indonesia ternyata bukanlah suatu hal yang baru. Indonesia semenjak pemerintahan Presiden pertama Soekarno telah menerapkan tax amnesty hingga saat ini akan akan diterapkan kembali 85 nantinya. Kebijakan tax amnesty di Indonesia pertama kali diterapkan pada tahun 1964 dibawah Peraturan Presiden Penpress No. 5 Tahun 1964. Kemudian di tahun 1984 kebijakan tax amnesty kembali diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dibawah peraturan Penpress No. 26 Tahun 1984. Kedua kebijakan yang telah diterapkan di kedua periode ini tidak berhasil tercapai. Karena pada masa itu, kebijakan tax amnesty tidak diikuti dengan peningkatan penegakkan hukum setelah penerapannya. Kemudian di tahun 2008 Indonesia kembali menerapkan kebijakan tax amnesty yang bernama sunset policy namun dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya, dimana pada waktu itu hanya mengampuni atau menghapus sanksi administrasa, denda serta bunga saja. Kebijakan pada masa ini terhitung sukses dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Terakhir, kebijakan yang baru saja selesai diterapkan adalah TPWP 2015 (Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015). Kebijakan ini hampir mirip sunset policy dalam hal penerapannya. B. Implikasi 1. Bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak serta pembuat kebijakan, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk bahan pertimbangan bentuk kebijakan tax amnesty yang akan diterapkan nantinya. 2. Bagi akademisi, peneliti serta pembaca, diharapkan untuk dapat melanjutkan penelitian yang berkaitan mengenai tax amnesty, sehingga bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan. 86 C. Saran 1. Jika kebijakan tax amnesty ini kembali diterapkan, peneliti berharap kepada penelitian selanjutnya untuk meneliti seperti apa pengaruhnya terhadap penerimaan negara dan kepatuhan dalam jangka panjangnya. 2. Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan metode penelitian kuantitatif dalam menghitung seberapa besar pengaruhnya terhadap penerimaan. 3. Karena keterbatasan akses dalam mengambil sumber dan waktu yang terbatas, peneliti berikutnya diharapkan dapat mengambil sumber yang lebih luas lagi. 87 DAFTAR PUSTAKA Alm, James “Tax Policy Analysis: The Introduction of a Russian Amnesty.” GSU Andrew Young School of Policy Studies, Working Paper No. 98-6, 1998 Amir, Hidayat dan Setiyaji, Gunawan. “Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia” Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa Unggul, 2005 Arini, Ranti Kusuma. “Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia (Suatu Tinjauan Atas Kebijakan Pengampunan Pajak Tahun1984 dan Pengampunan Pajak Tahun 2008)” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 2008 Bastable, Charles Francis “Public Finance” Edisi 3, Simmon Publication LLC, London, 1993 Brotodihardjo, R. Santoso. ”Pengantar Ilmu Hukum Pajak” Aditama, Bandung, 1998 Christina, M. Ritsema. :Economic and Behavioral Determinants of Tax Compliance: Evidence from the 1997 Arkansas Tax Penalty Amnesty Program” Departement of Economics, Management and Accounting Hope College, Michigan, 2003 Damjanovic, T. and Ulph, D. “Tax progressivity, income distribution and tax noncompliance” Discussion Paper Series. 0712: 1-26, 2007 Darussalam “meneropong pajak rezim baru” inside tax media tren perpajakan, edisi 26, Desember 2014 Darussalam, “tax amnesty sebagai awal reformasi pajak” Inside tax media tren perpajakan, edisi 37, Maret 2016 Darussalam “tax amnesty: upaya transisi menuju era transparansi perpajakan global” inside tax media tren perpajakan, edisi 29, Maret 2015 Das-Gupta, Arindam dan Mookherjee, Dilip. “Tax Amnesties In India: An Empirical Evaluation” IRIS-India Working Paper No.4, 1995 Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu “Perpajakan: Konsep, Teori, dan isu” kencana, jakarta, 2006 Godfrey, Mike. “Argentina Extends Foreign Currency Tax Amnesty Again” diakses pada tanggal 5 Maret 2016 melalui: www.taxnews.com/news/Argentina Extend Foreign Currency Tax Amnesty Again63269.html 88 Harahap, Abdul Asri. “paradigma baru perpajakan Indonesia, perspektif Ekonomi Politik” Integritas Dinamika Press, Jakarta, 2004 Hutagaol, John dan Tobing “Kebijakan Soft Tax Amnesty dalam Undang-Undang KUP” Inside Tax edisi 38, Mei 2008 Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. “Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen” Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 2002 Irawan, Prasetya. “Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial” Departemen Ilmu Adminstrasi FISIP UI, 2006 Ismail, Tjip “Menyibak Fenomena Perpajakan di Belahan Dunia”. Yarsif Watampone, Jakarta, (2004). Junpath, Sachin Vir.”Multiple Tax Amnesties and Compliance in South Africa” Durban University of Technology, Afrika Selatan, 2013 Kepres No. 26 Tahun 1984 tentang pengampunan pajak, diakses pada 29 January 2016melalui:www.hukumonline.com/pusatdata/detail/3297/node/994/keppresno-26-tahun-1984-pengampunanpajak Killian, Sheila dan Kolitz “Revenue approaches to income tax evasion: a comparative study of Ireland and south Africa” Journal of Accounting Ethics and Public Policy, 2004 Kilonzo, Tom M. “The effects of tax amnesty on revenue growth in Kenya” University of Nairobi, Kenya, 2012 KMK No. 345/KMK 04/1984 tentang pelaksanaan pengampunan pajak, diakses pada tanggal 14 Februari 2016 melalui: http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/150817%5B_Konte n_%5D-KEPMEN%20KEUANGAN%20NO.%20345-KMK.04-1984.PDF. Kusuma, Dewi Rachmat,“andalkan tax amnesty, target tahun pajak tidak direvisi” Diakses pada tanggal 5 januari 2016 melalui: http://finance.detik.com/ Luitel, H,. S,. “Essay on Value Added Tax Evasion and Tax Amnesty” Departement of Economics Morgantown, West Virginia, 2005 Manuel, T.A. ”Introduction of exchange control amnesty and amendment of Taxation Laws Bill” Di akses pada tanggal 18 Januari 2016 melalui: www.treasury.gov.za/comm_media/speeches/2003/2003051501.pdf Marlherbe, Jaques. “Tax Amnesties” wolters Kluwer Law and Business, United stated of America, 2011. 89 Muda, Widyaiswara. “tax amnesti lagi, perlu kah?” Inside tax media tren perpajakan, edisi 31, Mei 2015 Mutia, Sri Putri Tita. “Pengaruh Sanksi Perpajakan, Kesadaran Perpajakan, Pelayanan Fiskus dan Tingkat Pemahaman Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi” Ejournal Unp, 2014 Neuman, Lawrence William. “Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach, 4 ed” Allyn & Bacon, USA, 2000 Nurmantu, Safri. “Pengantar perpajakan” yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2005 Penpres No. 5 Tahun 1964 tentang peraturan pengampunan pajak, diakses pada 2 Februari 2016 melalui: www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt53edd0af6991f/node/656/penpresno-5-tahun-1964-peraturan-pengampunan-pajak Peraturan Menteri Keuangan No. 29 /PMK.03/2015 tentang “Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga Yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009” diakses pada tanggal 20 Februari 2016 melalui: http://www.pajak.go.id/sites/default/files/info-pajak/PMK%20%2029.PMK03.2015.pdf. Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2015 Tentang “Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran Atau Penyetoran Pajak” diakses pada tanggal 1 Maret 2016 melalui:http://www.pajak.go.id/sites/default/files/infopajak/91PMK.032015Pe r.pdf. Purnaditya, Riano Roy. “Pengaruh Pemahaman Pajak, Kualitas Pelayanan dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Pajak” Universitas Diponegoro, Semarang, 2015 Ragimun. “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia” Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2014. Rasyid dan Winang Budoyo, “meraih asa pengampunan pajak” diakses pada tanggal 3 maret 2016 melalui: http://www.koransindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-02-02 Santoso, Urip. “Metodologi Penelitian Kualitatif “ Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005 90 Santoso, Urip, dan Justina Setiawan “Pengampunan Pajak Tax amnesty dan Pelaksanaanya di Beberapa Negara” Jurnal Perspektif Bagi Pebisnis Indonesia 11, 1-2, 2009 Saputra, Robert. “Pengaruh Sanksi, Kesadaran Perpajakan, Dan Kualitas Pelayanan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Empiris Pada Wajib Pajak Kabupaten Pasaman)” Ejournal Unp vol. 3 No. 1, 2015 Seligman, Edwin R.A. ”Essay on Taxation” Edisi 10, New York, 1925 Sepyarini, Indah Dwi. “Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Mutual Agreement Procedure Serta Interaksinya dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 2010 Silitonga, Erwin. “ekonomi bawah tanah, pengampunan pajak dan referendum” diakses pada tanggal 23 November 2015 melalui: www.pajak.go.id/content/ekonomi-bawah-tanah-pengampunan-pajak-danreferendum Soemitro, Rochmat. “Dasar-dasar hukum pajak dan pajak pendapatan” PT. Eresco, Bandung, 1994 Sommerfeld, Ray M., Hershel M. Anderson dan Horace R. Brock, “An Introduction to Taxation” Harcourt Brace Jovanovich Inc, New York, 1983 Syadullah, Makmun. “optimalisasi pajak melalui tax amnesty” diakses pada tanggal 21 Desember 2015 melalui: http://koran.bisnis.com/read/20150107/251/388477/optimalisasi-pajakmelalui-tax-amnesty Tobing, Ganda C., Gallantinp Farman dan Dienda Khairani, “Pahami dan Manfaatkan Reinventing policy” inside tax media tren perpajakan, edisi 31, mei 2015 Uchitelle, Eliot. “The effectiveness of tax amnesty programs in selected countries” FRBNY Quarterly Review/ Autumn, 1989 Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang “Ketentua Umum dan Tata Cara Perpajakan” diakses pada tanggal 20 Februari 2016 melalui: www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/PersandinganUUPerpajakan.pdf Wanandi, Sofjan. “Tax amnesty, langkah awal menuju reformasi pajak yang menyeluruh” Inside tax media tren perpajakan, edisi 37, Maret 2016 91 Wardiyanto, Bintoro. “Tax Amnesty Policy (The Framwork Perspective of Sunset Policy Implementation Based on The Act no. 28 of 2007)” Universitas Airlangga, Surabaya, 2008 Widagdo, s. “Kamus Hukum” Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012 Yudkin, Leon. “a legal structure for effective income tax administration” Harvard law school, Cambridge, 1971 92