Uploaded by Salwa Nesa Salsabil

stunting

advertisement
Stunting merupakan bentuk suatu proses pertumbuhan yang terlambat, dan merupakan salah
satu masalah gizi yang perlu diperhatikan (Picauly, 2013). Beberapa faktor yang berhubungan dengan
terjadinya stunting yaitu berat badan bayi lahir rendah (BBLR), wilayah tempat tinggal, dan status
ekonomi (Fitri.k, 2012). Studi lain menjelaskan ada beberapa faktor yang berhubungan terhadap
kejadian stunting yaitu pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu,
dan pemberian ASI ekslusif (Wagdah, 2012). Selain itu, faktor hormon genetik dan rendahnya sanitasi
lingkungan, rendahnya 3 aksebilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin,
rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan masih terjadi disparitas antar
provinsi yang perlu mendapat penangan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Raharjo,
2015).
Selain itu Faktor lingkungan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi proses tumbuh
kembang balita dan memberikan resiko terhadap terjadinya stunting. Buruknya sanitasi lingkungan
berdampak secara tidak langsung terhadap kesehatan balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
status gizinya. Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik, maka kondisi kesehatan orang
yang ada di dalamnya akan ikut baik, demikian juga sebaliknya. Selama kebersihan sumur dan sumber
air terjaga dengan baik maka resiko untuk penyebaran penyakit menular akan semakin kecil.
Kepemilikan Jamban yang baik juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan
cacingan (Riyadi, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Maya adiyanti (2014) menyatakan bahwa adanya
hubungan yang bermakna kesehatan lingkungan seperti jenis jamban, yang digunakan, sumber air yang
terlindungi terhadap stunting. Sanitasi air berkaitan dengan penyakit infeksi, perhatian harus difokuskan
Penyediaan air bersih, kepemilikan jamban keluarga (sab’atmaja, 2010). Sanitasi lingkungan dapat
menjadi faktor pendukung berkembangnya penyakit menular (Hidayat, 2011). Prevalensi kesehatan
lingkungan yang mempengaruhi terjadinya stunting pada tahun 2017, (72,04%) rumah tangga yang
memiliki akses air bersih dan kabupaten yang terendah yaitu bengkulu (43, 83%), dan fasilitas sanitas
jamban (67,89%) dan Kabupaten yang terendah yaitu papua (33,06%).
Pada beberapa Anak yang sering mengalami infeksi pencernaan diare akibat sanitasi air yang
buruk meningkatkan keberadaan penyakit diare pada anak yang menyebabkan malabsorbsi makanan di
waktu yang sama akibat diare, biasanya anak menjadi susah makan sehingga makin memperparah
kondisi gizi balita. Sebaliknya kekurangan gizi dapat menyebabkan anak rentang terserang penyakit
diare karena akibat kurang gizi, daya tahan tubuh anak menjadi berkurang. Kejadian diare ini kemungkin
ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: beberapa keluarga memamfaatkan sungai yang ada berada di
dekat rumah sebagai air minum, dan tidak ada fasilitas jamban. Mathew (2009), mengemukakan bahwa
penggunaan air dari sumber yang terbuka (sungai) meningkatkan resiko pemberian makanan balita yang
tidak higienes yang ahirnya meningkatkan resiko diare pada balita. Selain itu kebersihan pribadi juga
berkontribusi terhadap kejadian diare. Faktor higiene dan sanitasi juga dapat memepengaruhi status
imunitas, higiene dan sanitasi yang kurang memenuhi syarat baik dari segi penyediaan air bersih
maupun penggunakan jamban (Ruchaeni, 2016). Beberapa faktor lingkungan yang beresiko terhadap
terjadinya resiko stunting pada anak adalah balita yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas
air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah dari anak anak yang berasal dari keluarga
yang tidak memiliki fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban. Pada penelitian ini, resiko anak stunting
yang tinggal dengan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibandingkan 5 dengan
anak yang tinggal keluarga yang memiliki sanitasi air yang baik. Hal ini terjadi karena sebagian besar
tempat tinggal anak belum memenuhi syarat rumah sehat, ventilasi dan pencahayaan yang kurang, tidak
adanya tempat pembuangan sampah tertutup dan kedap air,tidak memiliki jamban keluarga,serta hal ini
di dukung kondisi ekonomi keluarga yang relatif rendah (Wati, 2015). Kesehatan lingkungan berdampak
pula untuk tumbuh kembang anak, karena anak di bawah lima tahun rentan terhadap berbagai infeksi
dan penyakit. Paparan seorang anak yang terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat
menyebabkan infeksi bakteri kronis, dimana infeksi tersebut dapat disebabkan oleh perilaku atau
tindakan sanitasi air bersih dan lingkungan yang kurang baik sehingga membuat gizi kurang di serap oleh
tubuh (Unicef Indonesia, 2012). Rendahnya sanitasi lingkungan pun memicu gangguan saluran
pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan menghadapi
infeksi (Izzati, 2016). Sebuah riset menemukan bahwa semakin sering seorang anak menderita diare dan
infeksi pencernaan lainnya maka semakin besar pula ancaman resiko stunting (Maya, 2016). Selain itu,
saat anak sakit maka selera makan anak berkurang, sehingga asupan gizi semakin rendah. Maka
pertumbuhan sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak akan
menjadi terhambat. Dampaknya anak tersebut terancam menderita stunting, yang mengakibatkan
pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan
maksimal. (Schmidt & Charles, 2014). 6 Tingginya persen angka penyakit
Syarat lingkungan yang sehat: Keadaan air yang tidak berbau, tidak tercemar, dan dapat dilihat
kejernihan, jika kebersihannya sudah tepenuhi air dimasak dengan suhu 100 derajat celcius, sehingga
bakteri dalam air tersebut mati, keadaan udara yang sehat udara yang didalamnya terdapat oksigen
yang tidak tercemar oleh zat zat yang merusak tubuh, keadaan tanah yang sehat tanah yang bik untuk
penanaman suatu tumbuhan, dan tidak tercemar oleh zat zat logam 11 besi, suara kebisingan dimana
suatu lingkungan yang kondisi tidak bising yang daapat mengganggu aktifitas atau kegiatan pendengaran
manusia. Cara memelihara kesehtan lingkungan: tidak mencemari air dengan cara tidak membuang
sampah disungai, mengurangi penggunaan pengendara bermotor, pengelolaan tanah dengan baik,
menanam tumbuhan pada lahan yang kosong (WHO, 2008).
Faktor penyebab lain yang sangat mungkin bahan kimia dari lingkungan. Pengaruh peptisida
meningkatkan insiden bayi baru lahir dengan berat badan rendah, prematur serta keterlambatan
pertumbuhan di dalam kandungan. Faktor lingkungan juga mempengaruhi proses tumbuh kembang
balita seperti tidak tersedianya air bersih, pemanfaatan air bersih,infeksi pencernaan. Perilaku hidup
bersih sehat sangat penting untuk diri dan keluarga khususnya untuk anak dalam upaya untuk
menurunkan dan mencegah penyakit infeksi yang sering di derita anak (Kusumawati, 2015). Tidak
tersedianya air 35 bersih yang aman untuk dikonsumsi mengakibatkan kematian anak akibat diare di
seluruh dunia. Bagi anak- anak yang bertahan hidup, sering menderita diare berkontribusi terhadap
masalah gizi, sehingga menghalangi anak anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi
ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan
produktif suatu bangsa di masa yang mendatang. Angka diare pada anak anak dari rumah tangga yang
meenggunakan sumur terbuka untuk air minum lebih tinggi di bandingkan dengan anak anak yag minum
menggunakan air leding (Daryanto, 2015). Faktor yang lain yang menyebabkan stunting adalah terjadi
infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan
hipertensi. Selain itu rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan teramasuk akses sanitasi dan air
bersih menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu angka diare juga
lebih tinggi pada anak anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan
dibandingkan mereka dengan rumah tangga yang mempunyai fasilitas jamban pribadi dan septik tank.
Faktor Lingkungan lainnya yang mempengaruhi stunting yaitu intensitas penggunaan peptisida, maka
Faktor penyebab lain yang sangat mungkin bahan kimia dari lingkungan. Pengaruh peptisida
meningkatkan insiden bayi baru lahir dengan berat badan rendah, prematur serta keterlambatan
pertumbuhan di dalam kandungan (Istiarti, 2016).
Survei Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) menyatakan kejadian stunting di Indonesia pada tahun 2018 berkurang menjadi sekitar
30,8% balita dan ditahun 2019 prevalensi stunting menurun lagi menjadi 27,67 persen. Saat ini
Indonesia masih dibawah target yang ditetapkan oleh WHO sebanyak 20% dengan Provinsi
tertinggi Balita Stunting adalah Nusa tenggara Timur dan Provinsi terendah Stunting adalah
Provinsi Bali. Sedangkan untuk Provinsi Riau berada diperingkat ke 20 dari 34 Provinsi di
Indonesia (1,3). Kejadian stunting di provinsi Riau didapati jumlah tertinggi di Kabupaten
Kampar sebanyak 3.128 balita dan Kabupaten Rokan Hulu terdapat sebanyak 878 Balita.
Terdapat kejadian stunting di lima Kecamatan dan Sepuluh Desa yang diketahui melalui hasil
penimbangan dan pengukuran tinggi badan pada kabupaten Rokan Hulu termasuk kecamatan
Rambah. Beberapa desa tersebut terdapat dua desa yang terdapat Stunting yaitu Desa Suka Maju
dan Menaming. Diantara dua desa tersebut Desa Suka Maju merupakan desa yang terbanyak
kasus Stunting yaitu sekitar 101 balita.
Salah satu penyebab terjadinya Stunting dapat dipengaruhi dari beberapa faktor seperti
sanitasi lingkungan, pengolahan makanan,dan juga pengetahuan ibu terhadap stunting. Sanitasi
lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi kesehatan anak balita dan pada akirnya dapat
mempengaruhi status gizi balita tersebut. Pada faktor kesehatan lingkungan ini adanya hubungan
antara sumber air bersih yang terlindung dengan yang tidak terlindung, yang mana air merupakan
senyawa kimia terpenting untuk keberlangsungan hidup, sehingga tidak bisa digantikan oleh
senyawa lain (4–6). Sumber air terlindung dapat berupa air tanah seperti sumur dalam,dangkal
dan mata air. Sumber air tidak terlindung meningkatkan resiko stunting lebih tinggi dari sumber
air terlindung.Perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi
terjadinya diare yang dapat mengakibatkan kematian. Angka Diare juga tercatat lebih tinggi pada
anak- anak yang rumah tangganya menggunakan sumur terbuka untuk air minum dibandingkan
anak-anak yang menggunakan air ledeng (7,8).
Penelitian Torlesse, et al (2016) di Indonesia menemukan bahwa kombinasi antara sanitasi yang
tidak layak dan kualitas air minum yang tidak aman merupakan faktor risiko stunting. Penelitian lain
yang di lakukan di 137 negara berkembang yang mengidentifikasi faktor-faktor risiko lingkungan (yaitu,
kualitas air yang buruk, kondisi sanitasi yang buruk, dan penggunaan bahan bakar padat) memiliki
pengaruh terbesar kedua pada kejadian Stunting secara global (Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H,
2014).
Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian
penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan. Pada tahun 2017,
72,04% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air minum layak. Provinsi dengan
persentase tertinggi adalah Bali (90,85%), sedangkan persentase terendah adalah Bengkulu (43,83%).
Masih terdapat 20 provinsi yang di bawah persentase nasional. Sumber air minum layak yang dimaksud
adalah air minum yang terlindung meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air,
penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau pompa, yang
jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan limbah, dan pembuangan sampah.
Mekanisme ini dapat merujuk melalui apa yang disebut sebagai pencegahan tropical
enteropathy, pencegahan diare dan penya-kit infeksi lainnya yang menghambat penyerapan zat-zat
gizi pada pencernaan anak baduta.
Program SBABS merupakan salah satu cara pencegahan stunting anak baduta di kabupaten Banggai
dan Sigi. Perlu meningkatkan sanitasi terutama kepemi-likan jamban dan perilaku tidak buang air
besar sembarangan, membiasakan praktik mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan
menggunakan sabun. Kebi-jakan mengatasi stunting anak di Kabu-paten Banggai dan Sigi
mempertimbang-kan air, sanitasi dan kebersihan diri pengasuh dan anak. Masih diperlukan penelitian
operasional untuk menentukan cara terbaik yang mengintegrasikan air, sanitasi dan intervensi
kesehatan menjadi pendekatan multisektoral yang lebih luas untuk mengurangi stunting di Kabupaten
Banggai dan Sigi.
Stunting dapat terjadi karena faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung
stunting adalah nutrisi ibu saat hamil, penyakit infeksi, dan nutrisi balita sendiri, sedangkan untuk
faktor tidak langsung dapat terjadi dari berbagai aspek(United Nations Children’s Fun, 2014). Salah
satu faktor tidak langsung penyebab stunting adalah water, sanitation and hygiene (WASH), yang
terdiri dari sumber air minum, kualitas fisik air minum, kepemilikan jamban dan hygiene yaitu
kebiasaan cuci tangan (10,11).
Asumsi peneliti menyatakan bahwa sanitasi yang baik terutama dari air bersih yang di
lakukan pengelolaan terlebih dahulu dengan cara di masak menyebabkan pertumbuhan bakteri akan
mati sehingga air tersebut sudah layak untuk di konsumsi oleh balita tetapi pada kondisi yang telah di
amati banyak masyarakat yang kurang memahami bahwa air bersih yang di gunakan untuk di minum
harus bebas dari faktor pencemaran dan dan bebas dari kandungan bakteri, pada bagian ini peran
pengetahuan ibu perlu ditingkatkan dalam memberikan makanan dan minuman untuk balita.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden pada saat mencuci tangan baik
sebelum dan sesudah melakukan aktifitas ibu lebih banyak tidak sesuai dengan anjuran yang
disarankan oleh WHO yaitu mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir. Karena
dengan melakukan CTPS yang benar dapat menghilangkan kotoran atau bakteri yang berada dijari
tangan dan dapat mencegah terjangkitnya penyakit. Karena tangan merupakan salah satu media
penyebab sumber penyakit yang dapat masuk kedalam tubuh. Kurangnya pengetahuan ibu terhadap
perilaku hidup bersih dan sehat akan dapat menyebabkan terjadinya stunting hal tersebut
memengaruhi kualitas kebersihan ibu saat berhadapan dengan anak dan dapat mengakibatkan anak
mudah terkena penyakit menular akibat tangan ibu yang kurang bersih digunakan untuk mengurus
anak secara langsung, sehingga akhirnya membuat anak-anak mereka berisiko terserang oleh kuman
yang menempel pada ibu mereka, sehingga menyebabkan penyakit infeksi seperti diare dan juga dapat
menyebabkan virus covid 19 masuk ke dalam tubuh anak, yang juga dapat membuat mereka mudah
mengalami stunting. Di mana menjaga personal hygiene sangat penting untuk di perhatikan terutama
berhubungan dengan balita, ibu balita yang sangat berperan dalam menjaga kebersihan dan kesehatan
balita.
Faktor hygiene yaitu kebiasaan cuci tangan juga merupakan faktor risiko stunting pada tingkat
rumah tangga. Mencuci tangan dengan sabun adalah suatu aktivitas higiene yaitu kegiatan
membersihkan tangan dengan air mengalir dan sabun agar bersih dan dapat memutus mata rantai
kuman. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan waktu penting untuk cuci
tangan pakai sabun sehingga menjadi kebiasaan, yaitu sebelum makan, sebelum mengolah dan
menghidangkan makanan, sebelum menyusui, sebelum memberi makan bayi/balita, sehabis buang air
besar/kecil, setelah kontak dengan hewan (12,13).
Menurut asumsi peneliti kebiasaan cuci tangan dapat mempengaruhi kebersihan Ibu dalam
mengolah makanan, menyajikan makanan dan memberikan makanan pada anggota keluarga
khususnya pada balita. Kebiasaan yang kurang baik dalam mencuci tangan yaitu tidak menggunakan
sabun dan air mengalir dapat mengakibatkan penyebaran bakteri sehingga menyebabkan infeksi yang
menimbulkan berbagai penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan balita.
Download