BUKU AJAR LINGKUNGAN KOTA DAN PERMASALAHANNYA Oleh: Drs. Suhardjo, M.Pd PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2019 KATA PENGANTAR Buku Ajar ini merupakan himpunan materi kuliah Geografi Perkotaan yang dususun kembali secara sistematis untuk dapat menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa. Materi yang disajikan dalam buku ini diharapkan dapat menjadi pengantar bagi mereka untuk dapat memahami berbagai konsep yang terkait dengan kota dan perkembangan kota serta lingkungan kota dan permasalahannya. Buku ini disusun atas dorongan dan bantuan dari adanya Hibah Buku Ajar dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta tahun 2019. Untuk itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakuktas Ilmu Sosial Dr. Dr. Umasih, M.Hum.; Dr. Kinkin Yuliaty SP, M.Si selaku Wakil Dekan bidang Akademik dan tak lupa kepada Dr. Aris Munandar, Spd., M.Pd.; selaku Koordiantor Program Studi Pendidikan Geografi. Sebagai suatu buku ajar yang bersifat pengantar, buku ini terdiri atas delapan bagian yang disusun secara berurutan sesuai dengan kebutuhan pemahaman terhadap lingkungan kota, baik sebagai konsep maupun mampu sebagai problem solver dalam konteks perkembangan kota-kota di Indonesia. Secara garis besar, materi yang disajikan meliputi : (1) Pendahuluan, (2) Ruang Lingkup Geografi Kota, (3) Sejarah Perkembangan Kota, (4) Klasifikasi, Struktur, dan Pola Keruangan Kota, (5) Ruang Publik dan Fasilitas Kota, (6) Interaksi Desa dan Kota, (7) Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota : Pola, Kecenderungan serta Dampaknya, (8) Pemetaan Wilayah Kota dan Identifikasi Permasalahan Kota. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama mahasiswa program studi pendidikan geografi yang menempuh mata kuliah Geografi Kota. Tentu saja buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik, saran, dan komentar pembaca untuk penyempurnaan buku ini selalu kami harapkan. Jakarta, Desember 2019 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………...........i DAFTAR ISI…………………………………………………………………..ii DAFTAR TABEL……………………………………………………………iii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………iv BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….........1 A. Latar Belakang……………………………………………………….....1 B. Tujuan…………………………………………………………………..2 C. Ruang Lingkup………………………………………………………....2 D. Manfaat………………………………………………………………....2 E. Petunjuk Penggunaan Buku………………………………………….....2 BAB II. RUANG LINGKUP GEOGRAFI KOTA…………………………5 A. Konsep Geografi Kota………………………………………………....5 B. Hakekat Kota, Perkotaan, dan Kekotaan……………………………....6 C. Fungsi Kota…………………………………………………………...22 1. Fungsi Kota Dalam Proses Berkembangnya Wilayah…………….22 2. Fungsi Kota Dalam Pengembangan Wilayah……………………..24 3. Fungsi Kota Dalam Kegiatan Usaha Industri…………………….25 4. Fungsi Kota Sebagai Pusat Industri……………………………....25 5. Fungsi Kota Sebagai Pusat Perdagangan………………………....26 6. Fungsi Kota Sebagai Pusat Politik………………………………..26 7. Fungsi Kota Sebagai Pusat Kebudayaan…………………………27 8. Fungsi Kota Sebagai Pusat Rekreasi atau Kesehatan…………….28 9. Kota-Kota Pusat Administrasi……………………………………28 BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA………………………...32 A. Proses Terbentuknya Kota……………………………………………32 1. Kota-Kota Kuno di Timur Tengah……………………………….33 2. Kota-Kota Kuno di Asia…………………………………………33 3. Kota-Kota Eropa di Abad Pertengahan………………………….33 4. Kota-kota Eropa dalam Masa Sejarah Modern…………………..34 5. Kota-kota Modern di Dunia Barat……………………………….34 B. Faktor-Faktor Pembentuk Kota……………………………………….35 C. Periode Pertumbuhan Kota…………………………………………....39 D. Kota-Kota Di Indonesia………………………………………………49 1. Perkembangan Kota Masa Pra VOC dan Masa Kolonial………....49 2. Perkembangan Kota Masa Kolonial Abad Ke-20………………...50 3. Perkembangan Kota Dekade 1950-an…………………………….51 BAB IV. KLASIFIKASI, STRUKTUR, DAN POLA KERUANGAN KOTA..........................................................................................60 A. B. C. D. E. Jumlah dan Sebaran……………………………………………….......60 Mobilitas Penduduk di Perkotaan……………………………………..63 Kondisi Sosial Ekonomi Kota………………………………………...72 Aspek Teknologi dan Dampaknya di Perkotaan……………………...79 Budaya Kota…………………………………………………………..83 1. Sikap kehidupan…………………………………………………...83 2. Tingkah Laku……………………………………………………...84 3. Perwatakan…………………………………………………….......85 4. Gaya Hidup Kota dan Kepribadian……………………………….88 F. Struktur KeruanganKota………………………………………………93 1. Sistem Ruang Kota………………………………………………..94 2. Klasifikasi Ruang Kota……………………………………………95 3. Unsur-Unsur Ruang Utama……………………………………….98 4. Bagian-Bagian Ruang……………………………………………100 5. Penggunaan Lahan Perkotaan………………………………..102 BAB V. RUANG PUBLIK DAN FASILITAS KOTA…………………...121 A. Ruang Publik…………………………………………………………121 1. Pengertian………………………………………………………..121 2. Fungsi Ruang Publik…………………………………………….123 3. Permasalahan Ruang Publik Kota……………………………….125 B. Fasilitas Kota………………………………………………………....127 1. Teminal Bus……………………………………………………...127 2. Bandar Udara………………………………………………….....131 3. Pelabuhan………………………………………………………...133 4. Stasiun…………………………………………………………....135 5. Rumah Sakit……………………………………………………...137 6. Hutan Kota…………………………………………………...145 BAB VI. INTERAKSI DESA KOTA……………………………………154 A. Potensi Desa………………………………………………………..155 B. Potensi Kota………………………………………………………..156 C. Interdependensi Desa – Kota………………………………………156 BAB VII. URBANISASI DAN PERMASALAHANNYA…...................161 A. Pengertian Urbanisasi………………………………………………161 B. Faktor pendorong dan Penarik Urbanisasi (Push and Pull Factor)..164 C. Perkembangan Urbanisasi………………………………………….169 BAB VIIL PEMETAAN WILAYAH KOTA DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN KOTA………………………………175 A. Pengertian Pemetaan Wilayah Kota……………………………….175 B. Identifikasi Permasalahan Kota…………………………………....177 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..200 BIODATA PENULIS……………………………………………………..202 DAFTAR TABEL 1. Jumlah Penduduk Kota Otonom di Indonesia tahun2010………………..12 2. Parameter Kota Tradisional (Pra Industri) dan Kota modern (Industri)…19 3. Proses Evolusi dan Motivasi Pengembangan Kota Baru di Indonesia…..54 4. Klasifikasi Hierarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduk…………………61 5. Klasifikasi Hierarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduk dengan Interval Tertentu…………………………………………………………………..62 6. Hierarki Kota-kota di Indonesia Atas Dasar Jumlah Penduduk Tahun 1980………………………………………………………………63 7. Perbedaan Kualitatif Masyarakat Desa – Kota……………………….....73 DAFTAR GAMBAR 1. Hierarki Tentang Wilayah Tingkatan Kota……………………17 2. Morfologi Kota Yogyakarta Berdasarkan Sumbu……………..18 3. Stadium Pembentukan Inti Kota………………………………41 4. Stadium Formatif………………………………………………42 5. Stadium Modern……………………………………………….43 6. Aspek-Aspek Lokasi dan Unsur-Unsur Struktur Community…67 7. Mobilitas Tempat Tinggal Model Turner………………………69 8. Dinamika Ekonomi Kota………………………………………74 9. Keterbatasan Sumber Alam Ekonomi…………………………78 10. Model “Bird Rent” dan Zona Penggunaan Lahan Kota………109 11. Tiga Model Ekologi Kota……………………………………..107 12. Perkembangan Urbanisasi……………………………………..172 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata kuliah Geografi Perkotaan merupakan salah cabang dari ilmu geografi manusia yang mempunyai relevansi dan prospek terapan dalam pembangunan nasional. Dimana sebagai suatu disiplin ilmu, geografi menyajikan dua konsep khas yaitu ruang dan skala untuk mengkaji gejala alam dan sosial yang dalam hal ini adalah pada wilayah perkotaan. Sehingga melalui mata kuliah Geografi Perkotaan dapat mengkaji dan menilai bagaimana kota terbentuk, klasifikasi dan struktur kota, sumberdaya kota, interaksi kota dengan wilayah desa, hingga permasalahan yang ditemukan di dalam sebuah kota. Tuntutan kurikulum berbasis KKNI dan pembelajaran abad 21 yang mengharapkan terbentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter sebagai problem solver sejalan capaian ketika telah mempelajari Geografi Kota. Pemahaman pengetahuan yang utuh terhadap wilayah perkotaan dan permasalahannya menjadi dasar bagi mahasiswa untuk mencapai kemampuan menganalisis bagaimana mengelola, memecahkan masalah-masalah hingga menyusun perencanaan kota yang layak untuk dihuni manusia dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Oleh karena itu diperlukan buku panduan yaitu buku ajar yang membantu merekonstruksi pengetahuan mahasiswa tentang kota dan permasalahannya hingga mahasiswa tersebut mampu memberikan sumbangan pemikiran upaya-upaya menyelesaikan masalah perkotaan sesuai dengan karakteristik kota tersebut dalam bentuk publikasi ilmiah dan tindakan nyata dalam masyarakat. memfasilitasi mahasiswa mencapai Buku ajar yang dapat setiap indikator capaian pembelajaran berdasarkan topik-topik kajian dari keseluruhan materi dari mata kuliah Geografi Kota. Buku ajar yang kaya akan referensi bacaan dan contoh-contoh kasus yang dikembangkan untuk menjawab topik-topik permasalahan yang sering terjadi pada wilayah perkotaan maupun topik-topik up to date. B. Tujuan 1. Menyediakan bahan ajar matakuliah Geografi Kota sesuai tuntutan capaian pembelajaran dan kebutuhan dari mahasiswa. 2. Membantu mahasiswa mendapatkan alternatif bahan ajar untuk matakuliah Geografi Kota. 3. Memudahkan dosen memfasilitasi pembelajaran matakuliah Geografi Kota. C. Ruang Lingkup 1. Pengertian dan kedudukan geografi perkotaan 2. Sejarah perkembangan kota 3. Klasifikasi kota 4. Stuktur keruangan kota 5. Ekologi perkotaan 6. Interaksi desa-kota 7. Kondisi demografis perkotaan 8. Urbanisasi dan permasalahan perkotaan D. Manfaat 1. Diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan capaian pembelajaran berbasis SK KKNI dan kebutuhan mahasiswa, 2. Mahasiswa tidak lagi tergantung pada buku teks terkait Geografi Perkotaan yang terkadang sulit diperoleh. 3. Menambah pengetahuan mahasiswa karena buku ajar ini dikembangkan dari berbagai referensi disertai contoh-contoh faktual dan kekinian. 4. Dapat membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara dosen dan mahasiswa. 5. Membantu pelaksanaan kegiatan pembelajaran secara klasikal dan mandiri. pembelajaran, baik E. Petunjuk Penggunaan Buku Buku ajar lingkungan kota dan permasalahannya dirancang untuk pelaksanaan pembelajaran mandiri dan klasikal. Buku ini menjadi salah satu buku referensi untuk mencapai capaian pembelajaran pada matakuliah Geografi Perkotaan. Oleh karena itu buku ini disertai uraian materi yang disertai contoh-contoh dalam kehidupan seharihari, maupun soal-soal untuk mengukur capaian pembelajaran. Adapun petunjuk penggunaan buku ini adalah sebagai berikut: 1. Pahami capaian pembelajaran dan sub capaian pembelajaran dari tiap bab agar dapat mengukur capaian pembelajaran yang diharapkan setelah membaca uraian materi. 2. Pelajari materi pada buku ajar pada setiap bab dengan seksama sesuai dengan situasi dan kondisi yang dikehendaki. 3. Perhatikan secara mendalam contoh-contoh yang disebutkan pada bab, dan komparasi pada kondisi yang terjadi pada kota di wilayah tempat tinggalnya, sehingga dapat ditemukan kontekstual dari teori pada tiap bab. 4. Jika dirasakan telah paham dengan materi yang dipelajari, kerjakan latihan yang tersedia di akhir tiap bab. 5. Cocokkan hasil pekerjaan latihan dengan kunci/rubrik jawaban latihan yang tersedia di belakang soal latihan. 6. Jika ada yang belum sesuai antara hasil pekerjaan latihan dengan kunci jawaban, pelajari kembali materi dari soal latihan yang belum terjawab dengan benar tadi, kemudian coba lagi mengerjakan soal latihannya hingga jawabannya benar. 7. Setelah semua soal latihan terjawab dengan benar, kerjakanlah soal tesnya. 8. Cocokkan hasil pengerjaan soal tes dengan kunci jawaban yang tersedia pada bagian akhir dari bahan ajar ini. 9. Jika ada yang belum sesuai antara hasil pengerjaan soal tes dengan kunci jawaban, ulangi kembali mengerjakan soal tersebut sampai jawabannya benar. 10. Selama mempelajari isi bahan ajar ini, diperkenankan menggunakan referensi lain atau minta keterangan dari teman sekelas atau dosen. 11. Setelah menyelesaikan semua aktifitas pembelajaran dan dirasa telah menguasai materi sesuai dengan tujuan pembelajaran, disarankan menemui guru pembimbing untuk tindak lanjutnya. BAB II. RUANG LINGKUP GEOGRAFI KOTA A. Konsep Geografi Kota. Urban geography is a branch of human geography concerned with various aspects cities (Geografi Kota adalah cabang geografi manusia berkaitan dengan berbagai aspek kota). Selanjutnya dijelaskan bahwa : “An urban geographer's main role is to emphasize location and space and study the spatial processes that create patterns observed in urban areas” (Peran utama seorang ahli geografi perkotaan adalah untuk menekankan lokasi dan ruang dan mempelajari proses spasial yang membuat pola yang diamati di daerah perkotaan). Adapun dijelaskan lebih lanjut bahwa : “To do this, they study the site, evolution and growth, and classification of villages, towns and cities as well as their location and importance in relation to different regions and cities. Economic, political and social aspects within cities are also important in urban geography” (arti terjemahan bebasnya adalah Untuk melakukan hal ini, mereka mempelajari situs, evolusi dan pertumbuhan, dan klasifikasi desa, kota dan kota-kota serta lokasi mereka dan pentingnya dalam kaitannya dengan daerah dan kota-kota yang berbeda. Aspek ekonomi, politik dan sosial di dalam kota juga penting dalam geografi perkotaan). Geografi Kota merupakan bagian dari studi geografi yaitu sub-bagian Geografi Manusia (Human Geography). Namun cabang-cabang ilmu Geografi Fisik (Physical Geography) dan Geografi Manusia memberikan kontribusi yang besar terhadap kajian tentang Geografi Kota. Geografi kota adalah studi tetang wilayah perkotaan (urban area). Studi dimana wilayah yang memiliki konsentrasi bangun an dan infrastruktur yang tinggi. Wilayah yang mayoritas kegiatan ekonominya ada sektor sekunder dan tersier dan juga memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi Geografi kota merupakan bagian dari geografi manusia, seringkali terjadi tumpang tindih dengan ilmu lain seperti antropologi dan sosiologi. Geografi perkotaan memahami bagaimana faktor interaksi antar ruang, dimana berfungsi sebagai pelayan dan hubungan timbal baliknya. Geografi perkotaan juga melihat perkembangan pemukiman. Termasuk didalamnya perencana pengembangan kota. Geografi kota juga menempatkan pada manusia dan perubahan lingkungannya. Geografi perkotaan berbeda dengan studi kota dimana fokusnya membicarakan kota dalam keruangan antar negara antar benua.Geografi perkotaan sebagai dasar teori mengkaji perencanaan kota, lokasi pertokoan, perkembangan pemukiman analisis pola kriminalitas dan logistik Geografi kota bukanlah ilmu pengetahuan yang ensiklopedis yang mampu memberikan gambaran tentang manusia dan lingkungannya di wilayah perkotaan secara lengkap. Geografi Kota adalah ilmu pengetahuan khusus, ia memaparkan tentang "Keruangan Kota" yang terkait dengan struktur, pola, fungsi, dan proses sebagai akibat adanya interaksi, interelasi, interdependensi, antar manusia dan lingkungannya baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Geografi Kota bukanlah satu-satunya ilmu tentang perkotaan, bukan juga suatu sintesa atau cakupan dari segala ilmu yang menelaah perkotaan. Tugasnya adalah menjelaskan tentang fenomena-fenomena perkotaan. Dengan demikian Geografi Kota diharapkan mampu memberikan solusi dan informasi terhadap masalah-masalah perkotaan. Adapun berkembangnya kajian tentang Geografi Kota didorong oleh : Munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi Degradasi lingkungan perkotaan Perencanaan kota yang semakin berkembang Terciptanya sistem transportasi yang modern Dampak intreraksi desa-kota Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi B. Hakekat Kota, Perkotaan, dan Kekotaan. Pengertian mengenai kota (city) yang kemudian lebih sering dijadikan acuan di Indonesia adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya. Dengan ungkapan yang berbeda, definisi kota yang lain adalah permukiman yang berpenduduk relative besar, luas areal terbatas. pada umumnyabersifat nonagraris, kepadatan relative tinggi, tempat sekelompok orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis, dan individualistis (Ditjen Cipta Karya : 1997). Selain pengertian kota, dikenal pula perkotaan (urban) yang pengertiannya lebih luas menunjukkan ciri/karakteristik/sifat kekotaan. Dalam hal ini perkotaan atau kawasan perkotaan adalah permukiman yang meliputi kota induk dan daerah pengaruh di luar batas administrasinya yang berupa daerah pinggiran sekitarnya/kawasan suburban. Undang-undang nomor 24 Tahun 1992 mendefinisikan kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social dan kegiatan ekonomi. Sebagai lawan dari kawasan perkotaan adalah kawasan perdesaan (rural), yaitu Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social dan kegiatan ekonomi (Pontoh dan Kustiwan, 2009 : 5). Berdasarkan pengertian di atas, Kawasan Perkotaan merupakan aglomerasi kota (otonom) dengan kota-kota fungsional di wilayah sekitarnya yang memiliki sifat kekotaan, dapat melebihi batas wilayah administrasi dari kota yang bersangkutan, misalnya Jabodetabek. Wilayah kota adalah wilayah yang memiliki kepadatan manusia dan hasil karyanya dibanding wilayah sekelilingnya.Wilayah kota dihasilkan dari perkembangan proses urbanisasi. Pengukuran perkotaan dapat dianalisis melalui kepadatan dan pemukiman kumuh dan pengaruh kota terhadap pedesaan Wilayah mempunyai kriteria fisik (teritorial) dan kriteria budaya. Berdasarkan kriteria fisik kita mengenal wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.Sedangkan berdasarkan kriteria budaya kita mengenal masyarakat beradab dan masyarakat primitif. Masyarakat kota tergolong pada masyarakat beradab yang budayanya telah mencapai titik puncaknya. Secara umum ciri perkotaan adalah ruang yang relative sempit, masyarakatnya heterogen dan dinamika kegiatannya tinggi. Di beberapa bagian perkotaan menunjukkan intensitas yang begitu besar sehingga menimbulkan masalah perkotaan seperti perumahan kumuh, kurangnya sanitasi, kemacetan lalu lintas,dan lainnya. Kondisi ini akhirnya akan mendorong semakin kompleksnya masalah pertanahan yang berkaitan dengan kepentingan perorangan, badan hukum, dan Negara. Definisi secara sederhana dari urbanisme atau daerah perkotaan adalah persekutuan atau penyatuan suku-suku yang bertetangga yang berkumpul ke suatu pusat yang digunakan sebagai tempat pertemuan bersama untuk maksud kedaulatan yang dibentuk oleh masyarakat demikian. Suatu daerah perkotaan dapat juga didefinisikan sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau tempat dimana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan bisa beragam sebesar beragamnya berbagai kegiatan yang dilakukan di sana : alat-alat produksi dan bermacam-macam barang, perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau gabungan dari semua aktivitas tersebut. Definisi berikutnya menyatakan bahwa daerah perkotaan adalah lokasi-lokasi di mana terdapat kemungkinan adanya suatu lingkungan kehidupan yang beraneka ragam dan gaya hidup yang berbeda-beda. Manusia tinggal, bekerja, dan menikmati hidup dalam hubungan-hubungan social serta budaya yang diberikan oleh kedekatan jarak di daerah perkotaan. Untuk mengartikan istilah kota maka akan tergantung pada sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Kapan sebuah permukiman boleh disebut kota? apa kriterianya? Dari mana dapat diterima standar-standar dasar yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada masa lampau maupun saat ini? Sebagai seorang geograf (ahli geografi) atau seseorang yang berprofesi di bidang georafi akan berfokus pandangannya pada permukaan kota dan lingkungannya dengan mencari hubungan antara wajah kota dan bentuk serta fungsi kota itu. Sedangkan sudut pandang seorang ekonom kepada kepentingan masalah perdagangan kota yang berfokus pada hubungan kegiatan dan potensi kota secara finansial. Lain halnya dengan seorang politikus yang menekankan pada cara mengurus kota dan bagaimana hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Kemudian perhatian seorang sosiolog berbeda pula, karena dia berfokus pada klasifikasi permukiman kota dari semua aspek tabiatnya. Istilah kota mengandung arti suatu konsentrasi penduduk dalam suatu wilayah geografis tertentu yang menghidupi dirinya sendiri secara relative permanen dari kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Kota bisa merupakan sebuah pusat industri, perdagangan, pendidikan, pemerintahan, atau mencakup semua kegiatan tersebut. Keaneka ragaman kesempatan ini menarik penduduk dari daerah perdesaan ke kota-kota. Dengan demikian terlihat bahwa kota-kota cenderung menjadi besar bila dasar ekonominya luas. Kota-kota kecil biasanya merupakan satelitsatelit yang tergantung pada kota besar untuk mempertahankan kehidupan ekonominya.Misalnya kota induk mempunyai banyak fungsi, sedangkan wilayah-wilayah tempat tinggal di pinggiran kota di sekitarnya berfungsi menyediakan perumahan bagi tenaga kerja yang lebih mampu. Kota mempunyai sistem sirkulasi yang menyatukan berbagai wilayah dan menyediakan sarana untuk membawa barang perdagangan dari tanah pertanian tempat-tempat lain ke pusat-pusat distribusi dalam kota. Di kotakota besar, berbagai sarana transportasi dan kendaraan umum tersedia. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Dahulu di Indonesia istilah kota dikenal dengan Daerah Tingkat II Kotamadya.Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II Kotamadya pun diganti dengan kota saja Istilah "Kota" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut juga dengan "Banda" Ibu kota adalah kota utama di sebuah negara atau daerah meskipun kota ini belum tentu yang paling besar. Di kota ini biasanya terdapat gedunggedung pemerintahan pusat atau daerah dan sebuah dewan perwakilan rakyat yang seringkali disebut parlemen serta kantor-kantor pusat perusahaanperusahaan komersial. Selain itu di ibu kota negara biasanya juga terdapat perwakilan-perwakilan dari negara asing yang biasa disebut kedutaan besar. Kepadatan penduduk tinggi belumlah tentu menunjukkan bahwa sifat masyarakatnya adalah "Kekotaan” Contoh desa-desa di Pulau Jawa yang padat penduduknya. Taraf kekotaan suatu wilayah tidak tergantung dari kepadatannya tetapi dari kemutlakan fasilitas hidup yang cukup membebaskan manusia dari bergantungnya pada lahan (agraris). Pada tahun 1980 proporsi penduduk perkotaan di Indonesia baru mencapai 22,3%, namun berdasarkan data Sensus Penduduk 1990 angka ini telah mencapai 30,9%, sedangkan data sementara yang diperoleh berdasarkan SUSENAS 1994 (BPS 1995) menunjukkan bahwa proporsi ini telah mencapai 34,3 %. Sementara itu laju kenaikan penduduk perkotaan selama periode 1970-1980 adalah 4,60% per tahun sedangkan dalam periode 1980-1990 meningkat menjadi 5,36% per tahun. Laju kenaikan ini kira-kira dua setengah kali laju kenaikan penduduk total. Adalah suatu yang sangat kontras bila laju kenaikan penduduk perkotaan meningkat dengan pesat, sementara laju kenaikan penduduk secara total turun dari 2,34% per tahun pada periode 1970-1980 menjadi 1,97% dalam periode 1980-1990, bahkan menjadi 1,37% per tahun dalam kurun waktu 1990-1994. Dunia semakin mengkota, begitu juga dengan Indonesia. Sejak tahun 2007 jumlah penduduk kota di dunia lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk desa, serta di tahun 2014, 54 persen penduduk dunia tinggal kota. Untuk Indonesia, hasil sensus penduduk terakhir pada tahun 2010 menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk kota sebesar 49,7%, mengalami peningkatan sebesar 27,3% dibandingkan dengan hasil sensus penduduk tiga puluh tahun sebelumnya (tahun 1980). Secara berurutan proporsi penduduk kota di Indonesia pada tahun 1980, 1990 dan 2000 adalah 22,4%, 31,10% dan 41,9%. Pada tahun 1950, hanya Kota Jakarta yang memiliki jumlah penduduk di atas satu juta jiwa. Tiga puluh tahun kemudian, pada tahun 1980 terdapat tiga kota baru yang memiliki jumlah penduduk di atas satu juta jiwa, yaitu Surabaya, Bandung, dan Medan. Selanjutnya pada tahun 1990, Semarang, Palembang dan Ujung Pandang (Makassar) memiliki jumlah penduduk di atas satu juta jiwa. Dan pada tahun 2010, jumlah kota dengan populasi lebih dari satu juta jiwa menjadi sebelas dengan penambahan Kota Bekasi, Tangerang, Depok, dan Tangerang Selatan. Kota-kota yang disebut terakhir merupakan kota yang berkembang karena proses megaurbanisasi dari Kota Jakarta, membentuk megacities Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) karena aktivitas perkotaan Jakarta sudah melimpah ke wilayah pinggirannya. Indonesia memiliki 93 kota otonom dan satu Daerah Khusus Ibukota, Jakarta dengan jumlah penduduk yang berbeda-beda, mulai dari 30.647 jiwa (Kota Sabang) hingga 9.567.127 jiwa (DKI Jakarta) pada tahun 2010. Tulisan ini hanya menyertakan kota otonom, yaitu kota yang secara administrasi memiliki pemerintahan sendiri, tidak termasuk kawasan perkotaan lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Pasal 16), kota-kota di Indonesia diklasifikasi menjadi 5 kelompok, yakni (1) Kota Megapolitan ( ≥ 10 juta jiwa, umumnya terdiri dari dua atau lebih metropolitan), (2) Kota Metropolitan (≥ 1 juta jiwa), (3) Kota Besar (500.001 – 999.999 jiwa), (4) Kota Sedang (100.001 – 500.000 jiwa) dan (5) Kota kecil (50.001 – 100.000 jiwa). Mengacu pada hasil Sensus Penduduk tahun 2010, proporsi terbesar kota di Indonesia adalah kota sedang sebanyak 56 kota, kota lainnya, satu kota megapolitan yakni DKI Jakarta yang beraglomerasi dengan kawasan perkotaan di sekelilingnya, sepuluh kota metropolitan, 16 kota besar, 9 kota kecil serta dua kota otonom yang jumlah penduduknya belum mencapai 50 ribu yaitu Kota Padang Panjang dan Kota Sabang (lihat tabel). Di sisi lain, jika mengacu pada studi UN (2014), klasifikasi kota-kota adalah sebagai berikut: (1) megacity (> 10 juta jiwa), (2) kota besar atau large cities (5-10 juta jiwa), (3) kota menengah atau medium-sized cities (1—5 juta jiwa), (4) kota atau cities (500-000- 1 juta jiwa) dan (5) kota kecil atau urban area (< 500.000 jiwa). Jika mengacu pada standar tersebut, Indonesia hanya memiliki satu megacity yang sekaligus juga kota besar, sepuluh kota menengah, 16 kota dan 67 kota kecil, sehingga proporsi terbesar kota di Indonesia adalah kota kecil. Perbedaan klasifikasi yang terjadi terkadang menimbulkan kesulitan perbandingan dengan kota-kota di negara lain. ketika melakukan studi Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Otonom di Indonesia tahun 2010 Sumber: Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 Jika dibandingkan dengan Hasil Sensus Penduduk tahun 1990 (periode dua puluh tahun sebelumnya), terdapat beberapa kota yang sudah berubah status, baik dari kota kecil menjadi kota sedang maupun dari kota sedang ke kota besar. Kota yang berubah status dari kota kecil ke sedang adalah Kota Bukit Tinggi, Payakumbuh, Salatiga dan Mojokerto. Tujuh dari delapan kota yang berubah status dari kota sedang menjadi kota besar terletak di luar pulau Jawa, yaitu Kota Pekanbaru, Jambi, Batam, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda, sementara satu kota lainnya adalah Kota Bogor. Kota memungkinkan penduduknya berhubungan/kontak dengan orang asing/luar. Mereka mengalami aneka hal yang berubahnya cepat, memungkinkan taraf individualisasi yang tinggi,mobilitas sosial serta sekularisasi. Pengaruh kota temyata lebih luas dari luas kota itu sendini. Istilah urbanisasi kemudian memiliki arti yang bermacam-macam. Daerah perdesaan secara demografis dapat bersifat perkotaan,akan tetapi secara sosiologis mungkin tetap perdesaan. Kota Jakarta boleh saja disebut “The Big Village" dan perdesaan dimana ada pabrik dan industri merupakan"A Small Town". Sosiolog Belanda, Grunfeld (1978) dalam mengupas hakekat kota di zaman sekarang mulai dengan mengemukakan urbanisasi yaitu perkotaan sebagai suatu proses dimana perkembangan penduduk kota lebih cepat jalannya dibandingkan dengan yang berlaku secara nasional.Jika angka perkembangannya ada di bawah keseluruhan penduduk negara maka yang ada bukan pengkotaan melainkan pertumbuhan kota. Selanjutnya Grunfeld membedakan antara pengkotaan fisik dan pengkotaan mental.Pengkotaan fisik menyangkut luas wilayah kota, kepadatan dan tata guna lahannya yang non-agraris.Adapun pengkotaan mental berkaitan dengan orientasi kepada nilai-nilai serta kebiasaan hidup penduduk kota.Jika kondisi ini meluas meresap daerah yang ada diluar kota, maka disitupun terjadi pengkotaan mental, meski tak ada pengkotaan fisiknya. Jadi perdesaan dapat mengalami pengkotaan sebelum menjadi kota secara fisik. Kenyataannya peralihan dari perdesaan menjadi perkotaan berjalan bertahap, sehingga sifat perkotaan ataupun perdesaannya suatu permukiman itu ditentukan oleh daerah yang lebih luas dari dirinya sendiri. Kota maupun pengkotaan merupakan pengertianyang bersifat relatif. Grunfeld dalam mendefinisikan kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non-agraris dan tata guna lahan yang heterogen, serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan. Dengan demikian maka pengkotaan berjalan sejajar dengan perkembangan dimana penduduk tak tergantung langsung dari alam lingkungan. Dengan kata lain, pengkotaan merupakan bagian dari proses modernisasi. John Eberhard (1966) dalam tulisannya berjudul “Technology For The City” melihat kota sebagai suatu jaringan sistem utuh yang berisi berbagai subsistem. Peranannya masing-masing sistem yaitu menjamin baiknya kondisi kesehatan, kebersihan, mobilitas, semangat kerja, tata tertib, dan pendidikan para penghuninya. Subsistem-subsistem tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1. City's Hardware (Jasmani Kota) yang meliputi: - Subsistem Metabolisme (mirip dengan pencemaan). Dalam kehidupan kota terdapat jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan kota akan air, pangan, bahan bakar, listrik, dan sebagainya. Setelah terpakai dibuang limbahnya (sampah, kertas, plastik, botol, kaleng, dsb.). Jika pengurusan limbah tersebut tidak pada tempatnya, maka kota seperti menderita salah pencemaan. - Subsistem Kardiovaskuler (mirip dengan denyutan jantung dan konstelasi pembuluh darah pada tubuh manusia). Segala sarana pergerakan (mobilitas) yaitu mencakup sarana transportasi dan lalu lintas. Jika terjadi kemacetan maka kota seperti penyempitan pembuluh darah yang berhubungan dengan penyakit jantung. - Subsistem Nervus (persarafan) Subsistem ini meliputi jaringan informasi dan komunikasi kota. Sarananya berupa radio, televisi, telepon, handphone, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Jika mengalami gangguan maka komunikasi antar manusia terputus, kota dapat menjadi terpencil dan bermacam urusan menjadi kalang kabut. Gejala ini mirip dengan kebingungan pada manusia karena gangguan saraf. - Subsistem Skeletal (Kerangka). Subsistem ini merupakan wadah dari hidup manusia. Berupa perumahan, gedung-gedung perkantoran, flat, asrama, hotel, sekolah, tempat-tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Masalah-masalah yang menyangkut kesulitan perumahan, penggusuran, dan sebagainya. Menggambarkan tubuh kota yang seperti menderita penyakit tulang. 2. City's Sofiware (Rohani Kota) Hal ini menunjukkan berbagai aspirasi kehidupan kota termasuk ekonomi, politik, administrasi, pendidikan, sosial, budaya, dan religi. Ekonomi yang buruk cenderung mempercepat rusaknya sarana dan prasarana kota. Fasilitas pendidikan yang memadai, gizi yang berkualitas, hiburan yang cukup dan sehat mendorong kecerdasan penduduk dan prastasi kerja. Pendekatan kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh diperlukan untuk mendapatkan pengertian yang gamblang, segar, dan mendalam tentang kondisi dan proses kemajuan atau kemunduran kota. Adapun analisa sistem ini merencanakan arah perkembangan kota. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bintarto bahwa kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwamnai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis. Ternyata kota yang jasmaninya nampak sehat, belum tentu mampu menyehatkan jiwa penghuninya, karena belum dapat mewujudkan produk dari kesadaran penghuninya. Masih ada perangkat manusia (humanware), yaitu aneka ragam kelompok masyarakat penghuni kota dengan berbagai kekhasan perilaku, persepsi dan aspirasinya, yang sangat berperan dalam perkembangan suatu kota. Sementara itu Mumford memandang kota sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Dimana orang pulang dan pergi untuk berjumpa secara teratur, merupakan sifat kota sebagai magnet yang mempunyai daya tarik pada penghuni luar kota untuk mengadakan kontak, memberi dorongan guna kegiatan rohaniah dan perdagangan. Adapun menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1997 Pasal 1: Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Dengan demikian kajian kota dengan melihat perangkat keras dan perangkat lunak tersebut tidaklah sempurna apabila tidak dilengkapi perangkat manusianya. Karena faktor manusia inilah yang sangat berperan dalam mengelola lingkungannya. Dengan demikian yang menjadi terdakwa bukan hanya kalangan bisnis saja, melainkan juga para pengelola kota (urban managers). Menurut Amos Rapoport sebagian besar definisi yang sudah sering disebutkan dan digolongkan sebagai definisi klasik bersifat etnosentris, yang berdasarkan pada kota barat modem. Misalnya salah satu definisi menyatakan sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Ada sepuluh kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota, yaitu sebagai berikut: (1) Ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan tempat. (2) Bersifat permanen. (3) Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat. (4) Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata. (5) Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja. (6) Fungsi perkotaan minimum yang diperinci yang meliputi sebuah pasar, pusat administrasi dan pemerintahan, sebuah pusat militer, pusat keagamaan, atau sebuah pusat aktivitas intelektual bersama dengan kelembagaan yang sama. (7) Heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkhis pada masyarakat. (8) Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian untuk pemasaran yang lebih luas. (9) Pusat layanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat. (10) Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada massa dan tempat tersebut. Selanjutnya Amos Rapoport menuntun kearah suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja, sebagai berikut: Sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota bukan dari segi cirri-ciri morfologi tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hierarki-hierarki tertentu. Wilayah kota ini mengilustrasikan secara diagramatis /idealistis perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan. Wilayah ini memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hierarkis. Hierarki pertama/utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi sebagai pusat dengan hubungannya di dalam skala makro yaitu keseluruhan. Kemudian hieraki ke dua diberikan kepada bentuk dan susunan wilayah masing-masing serta pusatnya. Akhirnya hierarki ke tiga berfokus pada skala mikro didalam wilayah masing-masing. Didalam realitas perkotaan, ketiga hierarki tersebut tidak selalu ada secara langsung atau bisa diperhatikan sejelas ini. Gambar 1. Hierarki tentang wilayah tingkatan kota. Morfologi serta rupa permukiman di seluruh dunia sangat berbeda dan kesan perkotaannya tidak selalu jelas dengan yang lain. Namun demikian sejak awal pembangunan setiap permukiman dibutuhkan perhatian pada pembangunan kawasan yang memiliki hierarki ruang serta pemilihan lahan yang cocok dan perlengkapan yang dasar bagi penataan struktur-struktur dan ruang terbuka. Sebagai contoh morfologi Kota Yogyakarta seperti gambar berikut ini. Semua tersusun berdasarkan sumbu yang menghubungkan Laut Selatan (Samudera Indonesia) dengan Gunung Merapi di Utara. Di tengah sumbu terletak Keraton sebagai pusat Kota. Gambar 2. Morfologi kota Yogyakarta berdasarkan sumbu Pengorganisasian sebuah daerah sebagai kota tidak dilakukan dalam konteks yang netral atau kosong. Penyususunan perkotaan serta pemakaian hierarki-hierarki didalamnya selalu dilakukan dalam konteks yang nyata berdasarkan parameter-parameter tertentu. Parameter-parameter kota tersebut sangat bervariasi, tetapi secara dasar dapat diamati ada perbedaan pokok antara kota dalam konteks urban modern dan konteks rural tradisional. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini. Tabel 2. Parameter Kota Tradisional (Pra Industri) dan Kota Modern (Industri) KOTA TRADISIONAL (PRA INDUSTRI) RURAL KOTA MODERN (INDUSTRI) URBAN 1. Ruang/ Morfologi Kota disusun dengan memusatkan bangunanbangunan simbolis dan public, serta tempat tertentu. Simbol Istana, gedung religi, benteng, dan lain-lain. Hubungan erat dengan lingkungan yang dekat. Wilayahwilayah dibatasi secara jelas berdasarkan kelompok etnis. Kota disusun dengan memusatkan institusi (missal institusi perdagangan) Simbol : CBD (Central Business District), pencakar laangit, gedung pemerintah, dan lainlain. Hubungan dengan lingkungan yang jauh lewat teknologi komunikasi, dan lainlain. 2. Ekonomi Sistem tukar menukar atau system keuangan yang sederhana. Kekayaan berdasarkan pemilikan tanah atau barang. Landasan pada teknologi pertanian local. Masyarakat cenderung berfokus pada penyediaan kebutuhan sendiri. System pekerjaan sederhana dan umum. Sistem perdagangan luas dan kompleks. Kekayaan dihitung dengan capital. Landasan pada teknologi industry. Keterkaitan secara regional, nasional dan internasional. Pembagian kerja secara rumit dan spesifik. 3. Politik Otoritas tradisional. Tradisi-tradisi rohaniah. Ahli=ahli tertentu (tokoh-tokoh agama) memiliki monopoli pengetahuan walaupun ada landasan Otoritas legal/rasional. Tradisi-tradisi sekuler. Jarak pengetahuan jauh antara para ahli dan orang biasa. Kekuasaan dikelola oleh para kapitalis, teknokrat dan pengetahuan yang disebarkan secara luas. Ancaman hukuman secara informal. Hukum bersifat represif. Kontrak secara informal. Kekuasaan pada elite religi/politik. Penting hubungannya dengan yang berkuasa. Latar belakang keluarga penting. birokrat. Ancaman hukuman secara institusional. Hukum bersifat restitusi. Kontrak secara formal. Penghargaan lebih berdasarkan pada hasil usaha daripada hubungan dengan yang berkuasa. Latar belakang keluarga dipandang sekunder. 4. Sosio Budaya Penekanan pada hubungan dalam keluarga besar, rasa kebersamaan. Kohesi etnis. Budaya homogen. Kepercayaan ritual. Status diberikan. Penekanan pada individu sebagai unit. Pernanan terpisah-pisah. Mobilitas social secara fungsional. Budaya heterogen. Keterasingan. Status dicapai oleh diri sendiri. Faktor-faktor yang berpengruh dan menentukan pada pengembangan kota baru mencakup factor social dan ekonomi. 1) Faktor Sosial Dua Faktor social utama yang sangat menentukan pengembangan dan perkembangan kota baru umumnya adalah : (1) Faktor Kependudukan Revolusi industry yang terjadi pada akhir abad ke 19 dan disusul dengan dampaknya pada awal abad ke-21 telah menyebabkan arus urbanisasi dari perdesaan ke kota-kota. Kesempatan kerja yang makin meningkat sehubungan dengan industrialisasi besar-besaran telah menyebabkan semakin meningkatnya penduduk kota-kota industry. Perkembangan penduduk kota besar yang semula telah menarik mereka karena terbukanya kesempatan kerja telah mengalami berbagai degradasi. Kalau kita amati keadaan kependudukan tersebut, maka sampai kini tampaknya masih merupakan factor berpengaruh dan menentukan dalam permasalahan perkotaan, khususnya masalah pembangunan kota baru. (2) Kualitas kehidupan bermasyarakat Makin padat penduduk kota industry, makin menurun pola kemasyarakatannya karena lingkungan kehidupan yang mengutamakan efisiensi ekonomi, telah menimbulkan berbagai degradasi social. Keaadaan di kota industry pada masa pasca revolusi industry mengalami penurunan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi dan hubungan antar penduduk. Keadaan demikian dikemukakan para reformis kemasyarakatn sebagai keadaan lingkungan yang tidak manusiawi. Situasi social ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan konsep-konsep dasar kota baru. 2) Faktor Ekonomi Faktor ekonomi yang berpengaruh dan menentukan dalam pengembangan dan perkembangan kota baru mencakup dua hal pokok, yaitu : (1) Kegiatan Usaha Kehidupan masyarakat khususnya dikota-kota, akan sangat ditentukan pula oleh kegiatan usahanya. Sebagaimana dapat diungkapkan dari fakta historis, bahwa terjadinya arus perpindahan penduduk semasa industrialisasi besar-besaran dikarenakan semakin luasnya lapangan kerja dan usaha di kota-kota besar. Terbukanya kesempatan kegiatan usaha pada pusat-pusat atau kotakota yang baru, memungkinkan untuk membelokkan perhatian aliran penduduk ke arah tersebut. Pemikiran mutakhir menyimpulkan, bahwa upaya mendekonsentrasikan kegiatan usaha dapat membantu mengurangi beban yang harus ditanggung kota-kota besar yang umumnya merupakan pemusatan berbagai lapangan kegiatan usaha. (2) Politik Ekonomi Menurut T.C. Peng dan N.S. Verma (dalam Eko Budihardjo, 1999 : 159) mengemukakan 3 jenis pembangunan kota baru, yaitu : a. Kota baru yang dikembangkan di Negara-negara dengan system politik perekonomian campuran. Dalam system ini sebagian system perekonomian ditangani oleh sector swasta, tetapi sesuai dengan perencanaan yang disusun oleh sector pemerintah. Inggris merupakan salah satu contoh jelas negara yang menyelenggarakan pola pembangunan kota baru yang dilandasi system perekonomian campuran. b. Kota baru yang dikembangkan di Negara-negara dengan system perencanaan demikian perekonomian terdapat pada terpusat.Sistem Negara-negara perekonomian sosialis. Kegiatan perekonomian sepenuhnya tergantung pada investor sector pemerintah yang berazaskan konsep sosialistik. Atas dasar system ini, maka perencanaan dan pembangunan kotakota baru di beberapa Negara sosiali, khususnya di Rusia sepenuhnya menjadi wewenang dan kebijaksanaan pemerintah. c. Kota baru yang dikembangkan di Negara yang mempunyai system perekonomian bebas. Dalam system ini, system perekonomian bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar. Amerika Serikat merupakan contoh yang menganut system ini. Di bawah system perekonomian bebas ini perencanaan dan pembangunan kota baru berada dalam wewenang sector swasta. Dengan demikian, maka motivasi keuntungan merupakan landasan utama. Investasi yang besar termasuk berbagai bentuk risiko finansial menjadi tanggung jawab swasta apabila mekanisme pasar sedang berada dalam keadaan baik. C. Fungsi Kota 1. Fungsi Kota Dalam Proses Berkembangnya Wilayah. “Wilayah”mengandung pengertian geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya termasuk manusia dengan segala aspek kehidupannya dan sumber daya alam,dengan lokasi,luas dan struktur menurut batasan ruang lingkup peninjauan tertentu yang meliputi wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Berkembangnya wilayah dimaksudkan sebagai suatu proses wilayah dalam berkembang yang diamati seperti apa adanya, untuk membedakan dengan istilah “pengembangan wilayah” yang mengandung arti sebagai suatu usaha/tindakan pengembangan wilayah. Proses-proses dalam berkembangnya wilayah pada hakekatnya mencakup keseluruhan proses kehidupan manusia. Salah satu proses ialah kegiatan usaha sosial, politik, dan ekonomi yaitu kumpulan keseluruhan kegiatan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya.Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha yang berbentuk baik barang maupun jasa. Kegiatan usaha manusia pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai penghasil jasa dan barang,sebagai sumber pendapatan dan sebagai lapangan kerja, yang identik dengan sasaran pokok kehidupan manusia. Karena itu kegiatan usaha dapat diklasifikasikan sebagai proses sentral,yaitu proses yang memberikan produk yang identik sasaran pokok kehidupan manusia. Pertumbuhan suatu wilayah dimungkinkan terjadi oleh adanya pola-pola efisiensi yang berlaku pada segenap kegiatan usaha manusia yang bersangkutan. Oleh karena itu apabila dikehendaki suatu wilayah dapat berkembang dan berkembang kearah tujuan yang dikehendaki diperlukan cukup tersedianya dan cukup terbinanya kegiatan usaha ekonomi. Pertumbuhan menuntut diterapkannya pola-pola efisiensi pada segenap kegiatan usaha (ekonomi, sosial, politik). Hal ini akan terlihat pada pertimbangan yang menyangkut skala ekonomis (volume dan frekuensi) dan pemilihan lokasi dalam memberikan pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan. Pola efisiensi akan memberikan implikasi pada arus jasa distribusi yang harus melayani, dan berkelompoknya berbagai kegiatan usaha beserta lokasinya sebagai pola yang paling menguntungkan Perkembangan hanya dimungkinkan melalui pertumbuhan, uraian diatas memberikan petunjuk bahwa jasa distribusi merupakan unsur pembentuk struktur pada wilayah. Wujud struktur wilayah dapat dikenal dengan mengamati tingkah laku jasa distribusi yang bermula pada sumber alam dan berakhir pada konsumen akhir. Baik sumber alam maupun konsumen akhir terletak dan berada tersebar, sehingga kegiatan usaha distribusi yang berperan menghubungkan kedua-duanya menghadapi tingkat penyebaran yang besar. Proses distribusi pada hakekatnya merupakan proses pemasaran produk primer ke konsumen akhir. Didalam pusat kegiatan usaha distribusi,akan terlibat sejumlah manusia. Sejumlah manusia ini akan akan memerlukan pula pelayanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang juga akan melibatkan sejumlah manusia. Mekanisme tersebut pada dasarnya merupakan mekanisme pembentuk kehidupan perkotaan yang akan tergambarkan oleh konsentrasi kegiatan usaha dan permukiman-permukiman manusianya. Dengan pengertian itu simpul jasa distribusi dinyatakan sebagai titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya kota menurut konsiderasi ekonomi. Atau dengan kata lain kota mempunyai fungsi ekonomi dalam rangka peranannya sebagai simpul jasa distribusi. Simpul-simpul yang terbentuk kemudian sifatnya melengkapi dan berada dalam subordinasi simpul yang telah ada sebelumnya dan simpul-simpul tersebut pada dasamya merupakan perkotaan-perkotaan baru. Karena itu sejalan dengan berlangsungnya perkembangan, timbullah kota-kota kecil baru yang bertindak sebagai simpul-simpul jasa distribusi atau dengan kata lain munculnya kota-kota kecil baru menggambarkan perkembangan suatu wilayah. 2. Fungsi Kota Dalam Pengembangan Wilayah Pada dasarnya antar kota yang satu dengan kota yang lain dapat terjadi hubungan. Hubungan antar kota tersebut memberikan gambaran meluasnya permasalahan produk-produk keluar dari satuan wilayah pengembangan yang bersangkutan, yang dapat berarti adanya ketergantungan ekonomis antar satuan wilayah pengembangan yang bersangkutan. Dalam pada itu satuan wilayah ekonomi yang menguasainya. Dalam hubungan itu satuan wilayah ekonomi dipakai sebagai variabel dalam merencanakan tingkat perkembangan satuan-satuan wilayah ekonomi beserta penyebarannya dalam wilayah nasional menggambarkan struktur perkembangan wilayah tingkat nasional.Sejalan dengan salah satu tujuan nasional yaitu perkembangan antar daerah yang semakin seimbang pada prinsipnya harus dapat diwujudkan perkembangan satuan-satuan wilayah ekonomi yang semakin seimbang pula. Menyadari bah wa kota-kota merupakan unsur penting pembentuk struktur satuan wilayah ekonomi,pada prinsipnya pengendalian pengembangan satuan wilayah ekonomi dapat dijalankan melalui pembinaan kota yang lebih terarah. Oleh karena itu kota-kota kecuali berfungsi dalam satuan wilayah yang bersangkutan, juga sangat besar peranannya dalam proses pengendalian pembentukan struktur perkembangan wilayah tingkat nasional yang dikehendaki sesuai dengan tujuan nasional. Hal ini berarti bahwa dalam usaha membina kota kebijaksanaan yang diambil perlu dilandasi oleh "Pola umum pengembangan perkotaan secara nasional”. Pola tersebut kecuali dilandasi oleh fungsi kota dalam kehidupan nasional yang menjamin tercapainya efisiensi dalam proses pertumbuhan juga memperhitungkan kontribusinya dalam pengembangan perkembangan antar daerah. 3. Fungsi Kota Dalam Kegiatan Usaha Industri Kegiatan usaha industri pada dasarnya bersifat melengkapi jasa distribusi dalam proses pemasaran produk-produk primer menuju konsumen akhir. Jasa distribusi diperlukan dalam hubungannya dengan perubahan produk primer agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan konsumen akhir,yang dapat berupa proses pemurnian, pengolahan dan pengerjaan.Karena sifatnya hanya sejauh melengkapi jasa distribusi kegiatan usaha industri cenderung untuk mendekat pada simpul jasa industri,artinya cenderung untuk tumbuh di kotakota. Kegiatan usaha industri menuntut berbagai pelayanan jasa yang lain, baik yang langsung pada faktor produksi maupun yang menyangkut faktor manusia-manusia yang terlibat. Pelayanan jasa seperti itu jelas akan lebih mudah diharapkan dari pelayanan-pelayanan jasa yang telah terkelompok dalam kota. Kegiatan usaha industri membawa akibat meningkatnya kepadatan jasa distribusi pada kota yang bersangkutan. Kepadatan jasa distribusi yang meningkat berarti meningkatkan kemampuan kota dalam fungsi pelayanan pemasaran wilayah sekitarnya. Kegiatan usaha industri dengan demikian akan berpengaruh dalam mempercepat perkembangan kota (Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah-DITJEN CIPTA KARYADepartemen Pekerjaan Umum,1979). 4. Fungsi Kota Sebagai Pusat Industri Di dalam kota ini,kegiatan industri merupakan kegiatan yang menonjol dibandingkan dengan kegiatan kegiatan bukan industri. Pengertian industri sendiri meliputi berbagai jenis kegiatan, antara lain berdasarkan jenisnya (industri primer, industri sekunder, dan industri tersier); berdasarkan produksinya (industri kapal terbang, industri kapal laut, industri mainan anak-anak, dan lain-lain) dan masih banyak pengertian industri ini ditinjau dari berbagai segi. Kadang-kadang sesuatu kota mempunyai sifat gabungan daripada jenis-jenis industri tersebut namun demikian kebanyakan hanya ada satu atau dua jenis industri saja yang paling menonjol. Sebagai contoh, Kota Detroit dengan industri mobilnya, kota Bombay dengan industri tekstilnya, Kota Dresden dengan industri keramiknya, Kota Johannesburg dengan industri intannya. Kota-kota yang berada di negara-negara yang sedang berkembang, biasanya kegiatan industri yang menonjol merupakan industri primer, seperti industri pertambangan, industri penyulingan minyak, perikanan atau industri yang berkaitan dengan pengolahan kayu. Dengan makin majunya industri-industri yang ada,biasanya daerah-daerah hunian (daerah yang betul-betul dihuni) yang ada akan mengalami penciutan karena makin meluasnya daerah industri tersebut.Hal inilah yang merupakan salah satu sebab dari makin merosotnya kondisi lingkungan permukiman di kotakota besar. 5. Fungsi Kota Sebagai Pusat Perdagangan Ditinjau dari kehidupan kotanya, sebenarnya setiap kota merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, tidaklah semua kota selalu ditandai atau diwarnai oleh kegiatan perdagangannya semata. Kota-kota perdagangan yang besar biasanya merupakan kota-kota pelabuhan. Hal ini disebabkan karena kota yang bersangkutan mempunyai kemungkinan beraktivitas jauh lebih besar dari pada kota-kota lain yang bukan pelabuhan, terutama ditinjau daripada pintu gerbang transportasinya. Oleh karena sampai saat ini media transportasi yang besar adalah darat dan laut maka bagi kota-kota yang mempunyai potensi kearah pengembangan dua jenis transportasi tersebut akan mempunyai potensi yang besar pula untuk maksud pengembangan kotanya ditinjau dari segi kegiatan perdagangannya. Contoh-contoh kota perdagangan besar yang bertaraf internasional antara lain: New York, London, Rotterdam, Bombay, Hamburg, Napal, Hongkong dan lain sebagainya. 6. Fungsi Kota Sebagai Pusat Politik Sebelum Eropa Barat dilanda oleh apa yang dinamakan dengan revolusi industri, maka sebenamnyalah bahwa kota-kota yang ada pada zaman masa itu tidak lain merupakan kota-kota pusat pemerintahan.Keadaan ini memang sesuai dengan kondisi pada saat itu dimana pusat pemerintah, pusat administrasi dan politik suatu negara harus merupakan ibukota negara yang bersangkutan. Hanya karena adanya perubahan situasi, berhubung dengan adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi maka beberapa kota yang semula merupakan pusat kegiatan politik kemudian berubah menjadi kota-kota sebagai pusat perdagangan dan industri. Namun demikian, peranannya sebagai pusat kegiatan politik pemerintahan negara masih nampak dengan jelas. Beberapa contoh kiranya dapat dikemukakan ialah Kota New Delhi di India, Kota Jakarta di Indonesia, Kota Bangkok di Thailand, Kota Canberra di Australia, dan lain sebagainya. Kota-kota politik ini menjadi berkembang terutama ditentukan oleh peranannya sebagai pusat pemerintahan negara yang bersangkutan dan merupakan pusat sistem pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara negara yang satu dengan Negara yang lain,dimana duta-duta negara lain berkedudukan pada kota-kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara. 7. Fungsi Kota Sebagai Pusat Kebudayaan Dalam hal ini potensi kulturalnya kelihatan menonjol dibanding dengan fungsi-fungsi lain yang ada. Pada masa-masa silam,peranan masjid-masjid di dunia Islam, Gereja-Gereja di dunia Kristiani serta pusat-pusat kerajaan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara.Sebagai contoh adalah Kota Mekah yang merupakan kota "religius" umat Islam dan juga kota Roma bagi umat Kristiani.Mengenai peranan kedua contoh kota tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan agamis didunia ini, kiranya tidak perlu diterangkan lagi. Disamping kota-kota sebagai pusat kebudayaan yang berkaitan erat dengan kehidupan agama, dapat pula sesuatu kota terkenal atau menonjol dibidang pendidikannya, kebudayaan khususnya seni. Sebagai contoh dapat dikemukakan ialah Kota Yogyakarta, dapat dianggap menonjol dibidang pendidikannya dan juga mengenai mengenai kegiatan kebudayaannya. Maka tidaklah berlebihan kiranya apabila Kota Yogyakarta dianggap sebagai kota pelajar atau kota mahasiswa atau juga kota budaya. Sesuatu hal yang kurang mendapatkan perhatian adalah belum didirikannya gedung sebagai pusat buday a,walaupun materi-materi kebudayaan yang ada cukup memadai. Rupa-rupanya masalah birokrasi dan dana masih merupakan hambatan yang cukup besar untuk mewujudkan citacita tersebut. 8. Fungsi Kota Sebagai Pusat Rekreasi atau Kesehatan Suatu kota akan mempunyai fungsi sebagai tempat rekreasi ataupun kesehatan, apabila pada kota tersebut mempunyai kondisi-kondisi tertentu yang mampu menarik pendatang untuk menikmati kenikmatan tertentu yang ada pada kota tersebut.Adapun mengenai kenikmatan ini dapat merupakan kenikmatan fisikal ataupun dapat merupakan maksud-maksud penyembuhan. Namun demikian suatu hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kota yang berfungsi sebagai kota budaya adalah bahwa pada kota-kota yang berfungsi sebagai tempat rekreasi ini didalamnya mengandung sesuatu yang menarik orang luar untuk tujuan berrekreasi. Kota-kota seperti ini antara lain Kota Palmbeach dengan yang indah, Kota Montecarlo, Kota Monaco, dsb. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sesuatu kota sebenamya tidak akan menampakkan dirinya secara murni hanya pada satu macam fungsi saja tetapi merupakan hasil gabungan dari berbagai macam fungsi. Namun demikian salah satu atau sebagian dari berbagai fungsi tersebut lebih kelihatan mewarnai kehidupan kotanya. Karena hal itulah kemudian timbul berbagai notasi terhadap kota-kota tertentu. 9. Kota-Kota Pusat Administrasi (Administrative Towns and Cities) Kota-kota ini dapat berfungsi sebagai: a. Ibukota suatu negara b. Ibukota propinsi c. Ibukota Kabupaten Kota-kota yang tidak mempunyai fungsi tertentu yang menonjol, biasanya baru merupakan kota-kota yang masih sangat muda usia pertumbuhannya atau kota-kota kecil. Oleh karena dalam suatu kota yang masih muda fungsi-fungsi yang ada belum mampu mengembangkan dirinya sedemikian rupa,maka berbagai fungsi yang ada masih mempunyai pengaruh yang sama. Namun demikian, suatu hal yang perlu diperhatikan adalah pada kota-kota yang sangat besar. Seperti halnya pada kota-kota kecil, pada kota- kota yang sangat besarpun terdapat kecenderungan mempunyai berbagai fungsi yang sangat kompleks sehingga penonjolan sesuatu fungsi tertentu terlihat lemah. Sebagai contoh kiranya dapat dikemukakan disini yaitu Kota Jakarta, Kota Philadelphia, Kota Pitsburg, Kota Tokyo, Kota London, dan lain sebagainya(Gist, N.P & Halbert, L.A). Adapun Harris dan Chauncy P.membagi fungsi kota menjadi 9 macam, sebagaimana Hudson membagi kota-kota atas dasar fungsinya. Walaupun demikian klasifikasi Hudson dapat dikatakan lebih lengkap, walaupun kriteria notasi fungsinya suatu kota yang dikemukakan tidak dikemukakan. Dalam klasifikasi fungsi yang diajukan oleh Harris dan Chauncy P.hal tersebut dicoba untuk dikemukakan dalam gambaran kuantitatif Hal ini memang telah disadari oleh Harris dan Chauncy bahwa peranan data statistik suatu kota untuk maksud-maksud mengenali fungsi utama yang ada adalah benar sekali klasifikasi yang dikemukakan adalah hasil dari penyelidikan terhadap 984 kota-kota yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar klasifikasi adalah sebagai berikut: a. Kota Manufaktur (Manufacturing Cities) Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota manafaktur apabila kegiatan manufaktur yang ada melebihi 60%dari seluruh kegiatan kota yang bersangkutan. b. Kota yang Mempunyai Bermacam Fungsi (Diversified Cities) Kota yang dapat dianggap mempunyai fungsi yang beraneka apabila kegiatan manufaktur yang ada kurang 60%; kegiatan "wholesale” kurang dari 20% dan kegiatan "retail' kurang dari 50% c. Kota yang Berfungsi sebagai Penjual Barang-Barang dalam Partai Besar (Wholeseling Cities) Suatu kota yang dianggap sebagai "wholesale city” apabila kegiatan penjualan dalam,partai besar tercatat lebih dari 20% seluruh kegiatan yang ada. d. Kota-Kota Pengecer (Retailing Cities) Suatu kota mempunyai fungsi pengecer apabila kegiatan ini meliputi lebih dari 50% seluruh kegiatan total. e. Kota-Kota Transportasi (Transportation Cities) Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota trasnportasi apabila pekerjapekerja yang berkaitan dengan masalah pengangkutan meliputi sekurang-kurangnya 11% dari seluruh pekerja-pekerja yang ada. f. Kota-Kota Pertambangan (Mining Cities) Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota pertambangan apabila pekerja- pekerja tambang yang ada di kota tersebut meliputi sekurang-kurangnya 15% dari seluruh pekerja-pekerja yang ada. g. Kota Universitas dan Pendidikan (University and Educational Cities) Untuk menentukan fungsi ini suatu kota harus memenuhi persyaratan bahwa minimal 25 % penduduknya terdaftar di perguruan tinggi atau akademi- akademi lainnya. Walaupun demikian klasifikasi yang telah dikemukakan dapat membuka mata para ahli perkotaan untuk mempertimbangkan terutama dalam kaitannya dengan usaha-usaha pengembangan dan prencanaan kota. Untuk keperluaaan-keperluan praktikal di negara-negara berkembang dan khususnya Indonesia,beberapa macam klasifikasi kota berdasarkan fungsi diatas tidak harus selalu diikuti,karena latar belakang kehidupan dan sosial ekonomi pekotaan yang ada mempunyai ciri-ciri yang penuh berbeda dengan Negara-negara yang termasuk "developed”, Usaha untuk menggolongkan jenis-jenis kota yang ada di Indonesia atas dasar fungsinya jelas merupakan usaha yang penting,terutama didalam rangka pengembangan regional dan kota-kota yang ada termasuk konstelasinya. Latihan 1. Jelaskan kedudukan Geografi Kota dalam Ilmu Geografi! 2. Jelaskan definisi kota yang saudara ketahui (berikan contoh 3 buah)! 3. Jelaskan perbedaan kota dan desa! 4. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya kajian tentang geografi kota! 5. Jelaskan fungsi kota yang saudara ketahui (berikan contoh 5 buah)! Ringkasan Geografi Kota merupakan bagian dari studi Geografi yang mengkaji tentang wilayah perkotaan. Adapun tugas Geografi Kota adalah menjelaskan fenomena-fenomena perkotaan dari sudut pandang keruangan,kelingkungan,dan kompleks wilayah. Geografi Kota memahami bagaimana faktor interaksi antar ruang. Interaksi antar ruang berfungsi sebagai pelayan dan hubungan timbal baliknya seperti perkembangan permukiman,perencanaan pengembangan kota. Berkembangnya kajian tentang Geografi Kota didorong oleh: (1) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi, (2) degradasi lingkungan perkotaan, (3) perencanaan kota yang semakin berkembang, (4) terciptanya sistem transportasi yang modern, (5) dampak interaksi desa-kota, dan (6) perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Wilayah mempunyai kriteria fisik (territorial) yaitu wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Sedangkan berdasarkan kriteria budaya dikenal adanya masyarakat beradab dan masyarakat primitif. Dengan demikian masyarakat kota adalah masyarakat beradab yang budayanya telah mencapai titik puncaknya. Taraf kekotaan suatu wilayah tidak tergantung dari kepadatan penduduknya tetapi dari kemutlakan fasilitas hidup yang cukup membebaskan manusia dari bergantungnya pada lahan pertanian. Pada dasarnya kota memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai pusat kegiatan pemerintahan, industri, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan transportasi. Makin tinggi status kota (Kecamatan/Kabupaten/Kota/Provinsi) maka makin beragam pula fungsi kota tersebut. BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA A. Proses Terbentuknya Kota Kira-kira 5500 tahun sebelum masehi atau mungkin jauh sebelum ini, telah timbul desa-desa di Asia. Menurut sejarahnya kota-kota baru ada setelah terjadi surplus ekonomi di daerah pedalaman (desa). Desa-desa ini antara lain Yerischo dan Yarmo yang merupakan masyarakat-masyarakat yang kehidupan ekonominya terdiri dari bercocok tanam dan peternakan, menyebar dari daerah-daerah pegunungan ke daratan Eropa dan Tigris dan kemudian menumbuhkan permukiman yang boleh disebut kota.Akan tetapi pelaksanaanya yang konkrit haruslah menantikan terlebih dahulu perkembangan teknologi yang menghasilkan sarana trasnportasi didukung oleh dua hal yaitu penemuan roda dan dan penjinakan bom. Sekitar 3000 tahun sebelum masehi muncullah di daerah tersebut negara-negara kota (city state) yang masing-masing tidak begitu besar dan masih becorak agraris.Misalnya untuk kehidupan setiap orang yang bukan petani dibutuhkan sejumlah 50 sampai 90 petani.Karena itu 80% dari penduduk kota-kota ini hidupnya di bidang pertanian.Kota-kota ini hidupnya dibidang pertanian. Kota-kota ini diperkirakan berpenduduk maksimal 200.00 orang dan sebagian besar adalah kota-kota kecil. Babylon misalnya berpenduduk 80.000 orang. Tingkat perkembangan teknologi yang dicapai saat ini memungkinkan adanya sentra-sentra urban (daerah perkotaaan) yang lebih besar, daerah-daerah yang harus menjamin bahan pangan bagi kota sangat terbatas. Setelah berdiri, kota dapat memberikan jasanya kembali kepada pedesaan ataupun menguasai penduduknya melalui tindakan seperti misalanya menguasai produksinya untuk diperdagangkan, melakukan pendudukan militer yang berkubu di benteng kota, menyediakan pelayanan agamawi, menyajikan berbagai hiburan dan kesenangan. Seperti telah dikatakan, daerah asal kehidupan urban (kota) terletak di Mesopotamia dan dari sana menyebar ke Delta Nil dan Lembah Indus.Sering juga orang beranggapan bahwa dari wilayah ini gejala kota kemudian menyebar ke Tiongkok (Delta Yang Tse Kiang) dan kebagian-bagian lain di Asia Tenggara dan Afrika. Di samping difusi dalam proses penyebaran kota, gejala penemuan tersendiri juga penting dalam hal timbulnya kota-kota. Kebudayaan urban Amerika-Meso (Amerika Tengah) dianggap sebagai hasil dari penemuan tersendiri,walaupun kota-kota dibagian ini baru berkembang 3000 tahun kemudian dan menampakan banyak kesamaan dengan kota-kota di Asia seperti adanya agama sebagai faktor penggerak penting dalam urbanisasi kuno dan evolusi yang semacam dari lembaga-lembaga militer, agama, dan politik. Weber dalam menstudi sejarah kota menyusun lima tipologi kota,yang lebih mendekati kenyataan social dalam aneka ragam sejarahnya daripada skema pengertian formil manapun. Tipe-tipe kota tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kota-Kota Kuno di Timur Tengah Kota-kota ini kebanyakan merupakan kota-kota Raja. Dulunya itu adalah kota pusat kerajaan dengan para pegawainya, tokoh agama, para tentara, para budak-budak (Thebe, Neniveh). Warga kota dalam arti seperti zaman sekarang belumlah ada, karena penduduknya masih terbagi-bagi menurut suku atau pekerja bebas dan pekerja budak. Hal itu bahkan terlihat dalam agama, misalnya di Jerusalem dalam pembuatan kuil. 2. Kota-Kota Kuno di Asia Tipe kota-kota ini kondisinya menunjukan persamaan dengan kota-kota kerajaan di Timur Tengah, tetapi biasanya sangat merupakan kota pegawai (peking). Baik di India maupun di China, penduduknya kota itu tetap terbagi oleh garis-garis pemisah religius,dalam kasta-kasta atau kelompok-kelompok keluarga. Tiap-tap kelompok keluarga mempunyai dewa-dewa sendiri dan tetap terikat pada desa asalnya, sehingga juga akibat dari kesewenangan-wenangan raja disinipun tidak mungkin diciptakan keluarga kota yang homogen. 3. Kota-Kota Eropa di Abad Pertengahan Munculnya dan perkembngan setalah penduduk kota tersebut mendapat hak kekotaan dari para penguasa bangsawan. Kota adalah seperti pulau dalam lautan Feodalisme.Penduduknya adalah kaum bebas yang kerjanya bertukang dan berdagang.Lama kelamaan muncul lapisan baru yaitu proletariat. Menurut teori ahli sejarah Henri Pirenne, terjadinya kota abad pertengahan itu adalah diawali oleh datangnya para pedagang merdeka yang berdiam diluar tembok istana-istana tuan tanah bangsawan dan tempat-tempat kediaman uskup. Demikianlah timbulnya "faorboug-faorboug”, kota-kota pasar yang makin lama makin banyak menarik penduduk.Lambat laun banyak faubourg menjadi lebih besar dari pada intinya (bourgnya) atau abdij (tempat kediaman uskup) yang ada di dalam kota ini merupakan suatu kekebalan (immunitet) tersendiri, yang dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan antara warga kota (pooters) dan kaum pendeta tinggi atau kaum ningrat. Pada akhir abad pertengahan didalam warga kota dan golongan yang menimbulkan banyak sengketa sosial. 4. Kota-kota Eropa dalam Masa Sejarah Modern Tipe kota-kota ini bercirikan keterbukaan ekonomis. Dari fungsi melayani daerah sekitar,akhirnya berfungsi pelayanan nasional. Penduduk berkembang pesat disertai mobilitas sosial yang pesat pula. 5. Kota-kota Modern di Dunia Barat Tipe kota ini dicirikan oleh kepadatan lalulintas yang terus meningkat, perbedaan ekonomi tercermin pada variasi tempat tinggal dalam kota. Dengan majunya industri kemudian bergeser batas-batas kota luar dan lahirlah kota-kota satelit. Kota-kota besar di Eropa Barat berkembang setelah berhasil revolusi industri misalnya di Inggris,Perancis,Jerman.Sementara itu di Asia sendiri khususnya bagian yang dijajah oleh bangsa barat timbulnya kota-kota besar seperti Jakarta, Singapura, Hongkong, Saigon, dan Rangon. Pertumbuhan kotakota di negara-negara sedang berkembang mirip/ada beberapa persamaan dengan apa yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu berupa pertambahan penduduknya yang pesat, misalnya Caracas (Venezuele) penduduknya bertambah dari 359.000 tahun 1941 menjadi 1.507.000 tahun 1963. Amman (Yordania) dari tahun 1948 menjadi 6.530.000 pada tahun 1980, akan tetapi sebenarnya exsplosi penduduk yang hebat itu tak disebabkan oleh pertumbuhan alami di kota yang bersangkutan,tetapi masuknya penduduk dari pedesaan sebagai akibat kemiskinan di desa yang mendorong penuhnya kota dan munculnya gejala kemiskinan pula di kota. Pendapat yang meengatakan bahwa kota di dunia ketiga kurang lebih sama dengan kota di dunia Barat sebelum zaman revolusi industri di sana, tidaklah benar, karena tidak cocok dengan logika dan kenyataan sejarah. Memang ada aspekaspek tertentu yang mirip dengan situasi kota di Timur tengah dan sekitarnya laut tengah,tetapi pengaruh pengaruh dari negara industri modem menjadi begitu intensif sehingga bukti-bukti kemodernan lekas bermunculan di kota-kota dunia ketiga. Kota di dunia ketiga mengandung warisan arkhaisme (kekunoaan) dan modernisme sekaligus. Arkhaisme mencakup fungsi kota sebagai tempat mencari pengayoman dari kaum feodal;sekarang kaum yang berkuasa secara politik administratif. Keraton dikerumuni perumahan para sanak famili, bawahan dan para penguasa kebutuhan hidup seperti tukang dan pedagang dengan diferensiasi dan spesialisasi kerja. Kota sebagai sektor komersial mendapat pengayom dari para aristokrat atau bangsawan pendukung kekuasaan raja. Masuknya produksi agraris dari perdesan juga bertalian erat dengan para penguasa kota yang men guasai daerah pedalaman.Dilihat sepintas lalu kota seperti mula-mula tak mudah kemasukan modernisasi dari luar karena amat dilindungi aleh arkhaisme. Tetapi dengan datangnya penjajahan masuklah berbagai teknik industri dan ini menuntut tenaga-tenaga yang melayaninya. Sementara itu kota dilanda oleh budaya uang karena segala jasa manusia harus dinilai dengan uang.Pasar-pasar diisi dengan barangbarang asing yang perlu dibeli oleh mereka yang dilanda kehidupan yang bercorak baru. Kemiskinan didesa mendapatkan pemacahannya berupa gerak penduduk masuk kota,tetapi kemudian terjadi reurbanisasi dimana kota belum siap menampung para urbanisme dengan lapangan kerja bagi mereka. B. Faktor-Faktor Pembentuk Kota Faktor-faktor yang berperan an penting dalam proses timbulnya kotakota adalah Ekologi, Teknologi, dan Organisasi Sosial (P.J.M. Nas, 1979:57). Syarat penting bagi timbulnya kota-kota ialah adanya lingkungan alam yang menguntungkan. Faktor kedua adalah perkembangan teknologi. Namun teknologi saja tidak cukup,oleh karena itu diperlukan adanya faktor yang ketiga yaitu organisasi sosial yang baru baik di kota maupun di daerah sekelilingnya. Ciri khas disini adalah timbulnya pembagian kerja yang tertentu.Maka lembaga-lembaga yang mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk mengendalikan produksi, distribusi, dan penyimpanan bahan pangan dan barang-barang lainnya merupakan bagian yang amat penting dari organisasi sosial. Sangat sukar untuk menentukan manakah dari ketiga faktor ini memegang peranan terpenting dalam timbulnya kota-kota. Besar kemungkinan ketiga-tiganya selalu berada dalam hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Perancangan kota (urban design) merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan antara profesi perencana kota, arsitektur, rekayasa sipil, dan trasportasi dalam wujud fisik. Perencana kota sebagai perancang dalam bentuk dua dimensi dengan desain fisik bangunannya,sedangkan dsiplin ilmu lainnya berfungsi sebagai acuan dalam menentukan arahan perkembangan suatu kota atau wilayah baik dari segi sosial, ekonomi, politik maupun budaya serta hankamnya, sehingga terbentuk citra spesifik sebuah kota. Perencanaan kota lazimnya lebih memperhatikan pada bentuk fisiknya kota. Dalam sejarahnya,disiplin ilmu dan profesi arsitektur dan perencanaan kota sama-sama bekepentingan dalam menciptakan permukiman- permikiman manusia serta peningkatan kualitas lingkungan fisiknya. Dalam abad dua puluhan, perancangan kota lebih terpusat pada bentuk-bentuk permukiman perkotaan dan proses-proses kebudayaan yang mempengaruhi bentuk-bentuk tersebut.Perancangan kota dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk tampak pada bangunan,desain sebuah jalan, atau sebuah rencana kota, atau dapat dikatakan pula bahwa rancangan kota berkaitan dengan bentuk wilayah perkotaan. Ruang-ruang terbuka berbentuk jalan, taman, dan akhirnya ruang yang lebih besar, dirancang bersamaan dengan perancangan fisik bangunannya, sehingga kota tersebut merupakan proses dan produk dari pereancangan kota. Produk perancangan kota tersebut dapat dikategorikan dalam dua bentuk umum yang disebut Ruang Kota (Urban Space) dan Ruang Terbuka (Open Space). Ruang kota terbentuk oleh muka bangunan dengan lantai kota baik berupa jalan,plaza atau ruang terbuka lainnya.Sedangkan ruang terbuka disebut juga sebagai natural space yang dapat mewakili alam di dalam dan di sekitar kota. Menurut Kevin Lynch, dalam penyelidikan terhadap bentuk kota ada lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota, yaitu: (1) Pathway, merupakan rute-rute sirkulasi yang biasa digunakan orang dalam melakukan pergerakan, baik inter maupun antar kota, melalui jaringan jalan primer dan sekunder. (2) Districts, merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota, kadang-kadang begitu bercampur karakternya sehingga tidak mempunyai batas-batas yang tegas. (3) Edge, pengakhiran sebuah district atau tepiannya. Distrik tertentu tidak mempunyai pengakhiran yang tegas tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan distrik lainnya. (4) Landmark, elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorentasikan diri di dalam kota dan membantu mengenal suatu daerah kota. Sebuah landmark yang lebih baik adalah elemen yang tegas tetapi harmonis dengan kerangka lingkungan kota. (5) Node, pusat aktivitas,merupakan salah satu jenis landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif. Tiga tingkat yang ingin dicapai dari konsep perencanaan kota adalah: (a) Perumahan yang layak dengan lingkungan sehat bagi kehidupan (b) Lapangan kerja yang menjamin upah minimum bagi kehidupan berkeluarga (c) Pelayanan dan fasailitas yang cukup merata bagi masyarakat yang bersangkutan. Tiga target ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara perencana sosial dan perencana fisik kota. Hubungan antara kota dengan lingkungan alamnya ditentukan oleh dua skala yang berbeda,yaitu skala regional dan skala lokal. Sehubungan dengan ini geograf (ahli geografi) Blanchard dan Damangoen membicarakan tentang posisi kota (yakni letaknya terhadap daerah sekelilingnya) dan lokasi kota (yakni letaknya terhadap posisi dirinya sendiri). Posisi kota adalah hubungan antara kota dengan berbagai faktor alam, baik dimasa lampau maupun sekarang yang mempengaruhi perkembangannya. Dengan demikian posisi merupakan suatu pengertian nilai yang bersifat relatif yang perumusannya didasarkan atas faktor-faktor kenyataan dari gejala urbanisasi dan proses perkembangan kota. Dimasa lampau perkembangan kota terutama didorong oleh perniagaan dan fasilitas untuk kegiatan ppenukaran barang; ini diberikan oleh kondisi dalam kota itu sendiri. Adapun di zaman revolusi industri perkembangan kota didorong oleh tersedianya bahan bakar dan posisi kota menurut tafsiran baru. Posisi ini dapat bersifat permanen jika kondisinya perhubungan dan perdagangan stabil. Lokasi kota ditentukan oleh kerangka topografis yang dimiliki oleh kota sejak berdirinya. Dalam perkembangan selanjutnya menurut sejarahnya, kota dapat bergesar lokasinya.Ini tergantung dari fungsi kota dalam mengikuti zamannya. Misalnya kota sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan militer atau pusat perdagangan. Nilai suatu lokasi nyatanya lebih lekas berubah jika dibandingkan dengan nilai posisi kota karena lokasi lebih erat hubungannya dengan cara-cara khusus didalam manusia memanfaatkan ruang. Perkembangannya kota ditentukan juga oleh letaknya pada persimpangan jalan yang memberikan keleluasaan kepada tranportasi dan perniagaan. Ini dapat stabil sifatnya karena kekuasaan politik ikut mengawasinya. Kota sebagai titik persimpangan jalan merupakan daerah yang homogen secara topografis,artinya daerah tersebut relatif datar. Secara sosiologi suatu persimpangan jalan sekaligus juga menawarkan kontak antara manusia yang intensif. Disitu terjadi penukaran aneka produksi dan penukaran berbagai informasi. Adapun kategori pertimbangan pembentukannya kota mencangkup halhal sebagai berikut: a. Kepadatan penduduk ideal 100/ha b. Jarak dari pusat kota (terdekat) c. Mata pencaharian penduduk d. Keadaan bangunan e. Nilai tanah f. Penggunaan lahan Sedangkan dasar pembentukan kota mencangkup hal-hal sebagai berikut: a. Unsur-unsur fisik, yang meliputi: 1) Jumlah penduduk 2) Mata pencaharian 3) Luas daerah yang dibangun (built area) 4) Keadaan bangunan-bangunan 5) Keadaan"public utilities” 6) Potensi keuangan b. Unsur-unsur non-fisik,yang meliputi: 1) Peranan dan fungsi kota dalam pengembangan wilayah 2) Kedudukannya dalam pemerintahan negara 3) Heterogenitas kegiatan penduduk 4) Sifat hubangan sesama warga masyarakat. C. Periode Pertumbuhan Kota Karakteristik pertumbuhan suatu kota dapat disoroti dari berbagai macam segi. Dalam hal ini hanya akan dikemukakan beberapa pandangan saja dari sekian banyak pendapat yang ada. Pengamat perkotaan dapat mengenali petumbuhan suatu kota atas dasar keadaan fisiknya, keadaan sosio kultralnya atau keadaan teknik kulturalnya. Oleh karena pada hakekatnya masa kehidupan seseorang tidak dapat selalu digunakan untuk memonitor pertumbuhan suatu kota dari tahapan asal sampai tahap-tahap berikutnya. Sebenarnyalah bahwa apa-apa yang dikemukakan para ahli mengenai pertumbuhan suatu kota hanyalah bersifat hipotetikal. Namun demikian makin majunya sistem informasi mengenai keadaan pertumbuhan suatu kota sering dengan kemajuan teknologi di bidang inventaris data, suatu pertumbuhan kota dapat dimonitor dengan cepat dan tepat terutama keadaan fisiknya. Hal ini mulai dirasakan pada dasawarsa terakhir dengan dikembangkannya teknik teledeteksi dengan satelit. Melalui citra satelit dapat diamati mengenai: a. Pertumbuhan kotanya b. Tata guna lahan yang dominan c. Perbandingan tata guna lahan yang ada Dengan demikian jelaslah kiranya arti penting dari citra satelit maupun foto udara dalam rangka mengamati perumbuhan suatu kota. Dalam mengemukakan klasifikasi pertumbuhan suatu kota antara lain dikemukakan oleh: 1) Hoston, J.M Sarjana ini mengemukakan klasifikasi atas dasar kenampakan fisikalnya. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa pertumbuhan suatu kota cara kronologikal akan tercermin dalam perkembangan fisikalnya. Beliau mengemukan tiga klasifikasi kota atas dasar karaketristik pertumbuhannya, yaitu: a. Stadium pembentukan inti kota (nuclear phase) Stadium ini merupakan tahap pembentukan apa yang kemudian dikenal dengan istilah CBD (Central Business District). Pada masa ini baru dirintis pembangunan gedung-gedung utama sebagai pergerakan kegiatan yang ada dan baru dimulai meningkat. Keadaan ini tercermin pada kota-kota dikawasan Eropa Barat) pada masa pra abad 19. Pada saat ini, daerah yang mula-mula terbentuk,banyak ditandai oleh gedunggedung yang pengelompokan berumur tua, bentuk-bentuk fungsi kota yang yang termasuk klasik penting. morfologikal, kenampakan kotanya adalah sebagai berikut: serta Secara Gambar 3. Stadium pembentukan inti kota Pada taraf ini, kenampakan morfologi kotanya akan berbentuk bulat, hampir bulat atau bujur sangkar/mendekati bujur sangkar. Disamping itu perlu diingat berhubung pada taraf ini baru merupakan taraf awal pembentukan kota, maka kenampakan kota yang terbentuk hanya meliputi daerah yang sempit saja. b. Stadium Formatif (Formative Phases) Tahap ini mulai menunjukan ciri-cirinya yang berbeda dengan tahap yang pertama pada abad ke-19. Hal ini timbul sbagai akibat adanya revolusi industri yang meledak di kawasan Eropa Barat. Perkembangan industri pada saat itu mulai meluas dan perkembangan teknologi juga merasuk ke sektor-sektor lain seperti sektor transportasi dan komunikasi serta perdagangan. Makin majunya sektor industri, transportasi, serta kegiatan perdagangan mengakibatkan meluas dan makin kompleksnya keadaan pabrik-pabrik serta keadaan perumahan-perumahan masyarakat kota. Penambahan areal untuk kegiatan-kegiatan tersebut beserta aspekaspeknya paling banyak terjadi pada daerah-daerah yang mempunyai aksebilitas yang tinggi. Seperti diketahui bahwa daerah-daerah seperti itu berada sepanjang jalan transportasi dan komunikasi. Dampak fisikal yang terlihat adalah timbulnya kenampakan fisikal kota seperti binatang atau gurita (star shaped/octopus shaped like). Untuk jelasnya lihat gambar berikut. Gambar 4. Stadium Formatif c. Stadium Modern (Modern Phases) Stadium ini terlihat pada abad ke-20, sejalan dengan makin majunya teknik elektronik. Makin majunya peralatan yang digunakan di segala bidang dan khususnya makin majunya peralatan trasnportasi dan komunikasi mengakibatkan seseorang tidak lagi berpandangan bahwa tempat tinggal didekat tempat bekerja merupakan hal yang paling menguntungkan. Makin padatnnya lalu lintas,makin padatnya bangunan, makin berkurangnya tumbuh-tumbuhan di dalam kota baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Mereka bermaksud untuk memiliki sesuatu yang dianggap hilang dalam suasana kehidupan kota yaitu lingkungan kehidupan yang terbebas dari segala macam bentuk polusi. Hal inilah yang kemudian diketahui sebagai latar belakang munculnya kota-kota satelit (sub-urban). Dalam pendekatan dinamika (dynamic approach), gejala tersebut diatas sebagai ”Centrifugal Forces”. Kenampakan kotanya tidak lagi sederhana seperti kenampakan pada tahap pertama atau kedua, namun jauh lebih kompleks. Bahkan mulai timbul gejala-gejala penggabungan dengan pusat-pusat kegiatan yang lain,baik itu kota satelit maupun kota-kota lainnya yang berdekatan. Mulai saat itu usaha identifikasi kenampakan kotanya mulai mengalami kesulitan. Kesulitan utamanya terletak pada penentuan batas-batas fisikal terluar dari kota yang bersangkutan. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa penyebaran “service functions"nya telah masuk kedaerah-daerah pedesaan sekitarnya. Proses ini kemudian menunjukan gejala pembentukan kegiatan-kegiatan yang baru sebagai “sub-urban centres” (satelite residential areas). Sebagai contoh nyata tepat dikemukakan disini ialah Kota Sydney, dimana kota tersebut setiap hari menerima komuters dari daerah-daerah satelit disekitarnya antara lain:Blue Mounts dan Gesferd District yang dua-duanya mempunyai jarak kurang lebih 60 mil. Contoh lain adalah kota London yang mempunyai kondisi serupa dengan Kota Sydney dalam hal interalisanya dengan kota-kota satelit disekitarnya, dimana setiap hari menerima penglaju (comuters) yang beribu-ribu jumlahnya. Kota-kota satelit yang ada disekitarnya berjarak 20 sampai 40 mil dari kota London. Untuk memperjelas uraian, berikut ini dikemukakan gambaran konvensional mengenai keadaan suatu kota yang berada pada stadium modern. Gambar 5. Stadium Modern Kota-kota besar di Indonesia saat ini mulai menunjukan gejala-gejala seperti tersebut diatas. Hal ini telah disadari adanya oleh para ahli perkotaan sehingga mulai dirumuskan suatu upaya pengembangan wilayah kota meliputi kota-kota kecil sekitarnya. Mengenai hal ini perlu dicatat upaya JABOTABEK untuk pengembangan wilayah Kota Jakarta, Konsep BANDUNG RAYA untuk pengembangan wilayah Kota Bandung dan konsep GERBANGKERTASUSILA untuk pengembangan wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya. 2) Taylor dan Griffith mengelempokan tahap pertumbuhan kota berdasarkan karakteristik dinamika fungsionalnya menjada 4 macam, yaitu: (a.) Tahap Infantil (The Infantile Stage) Pada tahap ini belum terlilhat adanya pemilihan yang jelas mengenai daerah-daerah pemukiman dengan daerah-daerah perdagangan. Disamping itu juga belum terlihat adanya pemilihan kampung-kampung yang miskin dan kampung-kampung yang kaya serta bangunanbangunan yang ada masih terserak disana-sini tidak teratur. Jalan-jalan utama yang ada baru satu atau dua saja. (b.) Tahap Dewasa (The Mature Stage) Pada tahap ini mulai terlihat adanya proses pengelompokan pertokoan pada bagian-bagian kota-kota tertentu. Rumah-rumah yang lebih besar dan lebih baik mulai bermunculan di bagian pinggiran dan sementara itu kompleks perpabrikan mulai muncul disana-sini. (c.) Tahap Dewasa (The Mature Stage) Pada tahap ini mulai terlihat gejala-gejala segresi fungsi-fungsi (pemisahan fungsi-fungsi dan kemudian mengelompok). Kelas pemukiman yang jelek terlihat dengan jelas perbedaannya dengan kelas permukiman yang lebih baik. Ditinjau dari lokasinya, pola permukimannya dan struktur permukimannya, kelas permukiman yang sangat baik sangat jauh berbeda dengan pemukiman yang sangat jelek. Untuk ini, ingat teori-teori pola keruangan kota yang dikemukkan oleh E.W Burgess (The Concentric Theory)., Hommer Hyot (The Sector Theory) dan Makenzie (The Multiple Nuclei Theory). Daerah-daerah industri banyak terdapat pada lokasi-lokasi perhubungan dan pengangkutan. (d.) Tahap Ketuan (The Senile Stage) yang dekat jalur Tahap ini ditandai oleh adanya pertumbuhan yang terhenti (Cessation of Growth), kemunduran dari beberapa distrik dan kesejahteraan ekonomi penduduknya menunjukan gejala-gejala pernurunan. Kondis-kondisi ini terllihat didaerah-daerah industri seperti: Loucashire, Yorkshire, dan Durham. 1) Sementara itu Mumford dan Lewis mengemukakan bahwa suatu pertumbuhan kota dapat dibedakan kedalam 4 (empat)fase dengan penekanan klasifikasinya atas dasar kondisi teknik kulturalnya, yaitu: a. Fase Eoteknikal (Eotecnik Phase) Pada Fase ini, suatu pemukiman (settlement) ditandai oleh adanya penggunaan angin, air, bahan bakar dari kayu sebagai sumber tenaga. Sebagai contoh, dalam hal ini dapat dikemukakan yaitu mengenai keadaan kota-kota di kawasan Eropa barat pada abad ke-10 sampai abad ke-18 b. Fase Palaeteknikal (Palaeotechnic phase) Pada fase ini terlihat adanya kemungkinan sumber kemajuan dalam penggunaan sumber-sumber energi. Adapun yang dominan bukan lagi ketiga sumber energi angin,air dan bahan bakar kayu tetapi sudah menggunakan batu bara(coal). Sementara itu penambangan bijih besi mulai meluas. Saat ini ternyata tambang biji dan batubara mendominasi keadaan perekonomian yang ada. Sejalan dengan itu dengan sendirinya timbul pula usaha-usaha peleburan bijih besi (tanur tinggi), dibangunnya canal, dan mulai dipergunakannya mesin uap. c. Fase Neoteknik (Neoteknic Phase) Sebagai contoh mengenai kota-kota yang berada dalam fase ini ditunjukan suasana perkotaan di kawasan Eropa Barat disekitar tahun 1880, dimana kota-kota pada saat itu mulai menggunakan tenaga listrik sebagai sumber energi. Disamping itu, keadaan teknik yang ada mulai ditandai pula oleh makin luasnya penggunaan jenis-jenis metal (tertentu yang lebih ringan, seperti alumunium, dan tungsten). Alat-alat komunikasi seperti radio, telepon dan alat-alat pemesinan yang lain makin disempurnakan. Menurut sarjana ini, pada tahap ini kota-kota telah tumbuh menjadi kota-kota yang besar (metropolis, bentuknya tidak menetu, bangunan-bangunan bertingkat mulai berkembang, terjadi "urban sprawl” ke daerah-daerah perdesaan di sekitar kota, lalu lintas semakin padat, pengaruh-pengaruh negatif kehidupan perkotaan terhadap manusia (seperti kegiatan, kenakalan remaja, PSK/Pekerja Sek Komersial, polusi tanah, air, udara dan suasana serta dekadensi moral) mulai mengakibatkan goncangan-goncangan sosial yang memerlukan penanganan serius. d. Fase Bioteknik (Biotechnic Phase) Fase ini terjadi sesudah fase neoteknik. Dalam fase ini, peradaban manusia (civilizition) dan segala pertimbangan/tindakan manusia selalu ditinjau dari mata biologis dalam skala yang lebih luas konteksnya dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan fisikal semata. Pengetahuan manusia mengenai "bachteriology” diterapakan untuk tujuan-tujuan pengobatan, sanitasi, sedangkan pengetahuan manusia tentang psikologi diterapkan untuk tujuan-tujuan analisa keadaan gizi dan pengaturan makanan sehingga keadaan nutrisi dan diet dapat diperbaiki. Sementara itu pengetahuan manausia mengenai "psychology” diterapkan pula untuk analisa "Human Behaviour” masyarakat kota dan desa. Dalam hal ini ilmu lingkungan (ekology), baik itu merupakan human ecology, animal ecology, merupakan plantechology dijadikan titik tolak dalam rangka "urban management". Sebagai contoh dapat dikemukakan disiniyaitu kota-kota baru di Inggris. Kota-kota tersebut penampilannya menunjukan adanya totalitas lingkungan dimana unsurunsur terjalin secara harmonis (penggunaan/pendayagunaan unsur-unsur lingkungan tercapai secara optimal/keseimbangan ekologis tercapai) dan keseluruhan elemen-elemen wilayah menunjukan deerajat daya guna dan hasil guna tinggi. Disamping meninjau pertumbuhan kota secara teknikal, MumfordLewis juga meninjau pertumbuhan suatu kota dari mata sosio-kultural. Dalam hal ini, dikenal 6 (enam) macam fase pertumbuhan kota, yaitu: a. Eopolis Stage (Fase Eopolis) Dalam tahap in dicerminkan oleh adanya “village community” yang makin maju, walaupun kondisi kehidupannya masih didasarkan pada tahap kegiatan pertanian, pertambangan, dan perikanan. Kota ini menempati suatu pusat dari daerah pertanian dengan adat istiadat yang bercorak kedesaan dan serba sederhana. b. Polis Stage (Fase Polis) Sebutan ini berasal dari zaman Yunani dan Romawi. Kota merupakan pusat hidup keagamaan dan pemerintahan. Bentuknya saja semacam benteng yang kuat;di dalamnya terdapat tempat-tempat untuk peribadatan, pasar yang ramai yang bertalian erat dengaan kegiatan bermacam-macam industri kecil. Penduduknya terdiri atas aneka tukang dengan keahliannya. Adapula disitu berbagai lembaga pendidikan, tempat-tempat hiburan dan stadion besar untuk olahraga. Tahap ini ditandai adanya/munculnya pasar yang cukup besar, sementara itu beberapa kegiatan industri yang cukup besar mulai bermunculan diasana-sini, pengaruh industri-industri tersebut dapat dikatakan masih terbatas. Kenampakan kekotaan yang ada sudah jelas terlihat walaupun masih dalam skala yang kecil. c. Metropolis Stage (fase metropolis) Dalam hal ini kenampakan kekotaanya sudah mulai bertambah besar. Fungsi-fungsi perkotaan terlihat mendominasi kota-kota kecil lainnya yang berada disekitar kota tersebut dan daerah-daerah pedesaannya. Spesialisasi fungsi mulai nampak. Dalam kota besar ini bertemulah orang dari berbagai bangsa untuk berdagang dan kegiatan sosial budaya lainnya. Juga terdapat percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. Selain keagungan kota secara fisik,kota menyajikan kontras yang menonjol antara golongan kaum kaya dan miskin.Pada kota yang besar seperti Kota Jakarta dan Surabaya hal ini sangat jelas terlihat. d. Megalopolis Stage (Fase Megalopolis) Tahap ini ditandai oleh adanya tingkah laku manusia yang hanya berorentasi pada materi saja,standarisasi pruduksi lebih diutamakan daripada usah-usah kerajinan (tangan), ukuran (size) lebih diutamakan daripada bentuk saja (form) atau banyak sedikitnya suatu hal lebih diutamakan daripada bentuk-bentuknya dan sementara itu kehidupan birokrasi sangat brengsek. Lewis Mumford mengajukan sebuah contoh, yaitu keadaan Kota Roma pada abad ke-2; Kota Paris pada abad ke-18 dan Kota NewYork pada permulaan abad ke-20 e. Tyrannopolis Stage (Fase Tiranopolis) Pada tahap ini ukuran/tolak ukuran budaya adalah apa-apa yang nampak saja (display). Maslah uang/materi, dan ketidakacuhan mengenai segala aspek kehidupan mewarnai tingkah laku penduduknya. Sementara itu, kondisi perdagangan yang ada mulai menunjukan gejala-gejala despresi, walaupun perkembangannya sendiri tidak seluruhnya menurun. f. Nekropolis Stage (Fase Nekropolis). Oleh Lewis Mumford, tahap ini juga disebut sebagai suatu keadaan kota yang mati "The City of Dead". Hal ini disebabkan karena adanya peperangan, kelaparan atau penyakit wabah yang melanda kota tersebutdengan hebat. Keadaan kemunduruan pelayanan kota ini beserta mengkibatkan timbulnya fungsinya-fungsinya dan akibatnya kota seperti ini akan menunjukan gejala-gejala kehancuran. Tahap-tahap pertumbuhan kota yang dikemukakan oleh Lewis Mumford tersebut, didasarkan atas pengamatannya pada kota-kota di kawasan Eropa Barat, baik melalui pengamatan langsung maupun dari studi literature. Suatu pertanyaan akan timbul dibenak kita, yaitu mengenai urut-urutan tahap pertumbuhan yang dikemukakan “Apakah urut-urutan pertumbuhan tersebut akan selalu demikian? hal ini mestinya akan dapat dipecahkan dengan mudah yaitu apabila pada negara yang bersangkutan tidak mengalami kegoncangan politik, administrasi, ekonomi, sosial, budaya yang cukup berarti. Kondisi kota-kota yang ada di negara-negara berkembang,yang saat ini masih berada dalam tahap awal pertumbuhannya, karena adanya kemajuan transportasi dan komunikasi yang sedemikian pesat, secara langsung menerima pengaruh-pengaruh baik fisikal maupun non-fisikal dari negra-negara Eropa/Amerika yang kota-kotanya sudah berada pada tahap lanjut. Apabila keadaan ini diibaratkan pada kehidupan manusia maka kota-kota yang ada di negara-negara yang sedang berkembang ini mencapai kedewasaan sebelum waktunya/masak sebelum waktunya dari tujuan sosio kultural. D. Kota-Kota Di Indonesia Perkembangan kota dan “kota baru” umumnya dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor berkaitan dengan tata nilai, pada sosial budaya, keadaan sosial ekonomi, keadaan sosial politik dan letak geografis. Indonesia yang mempunyi pola sosial budaya, sosial ekonomi, sejarah perkembangan, pola sosial politik serta letak geografis tertentu dengan sendirinya juga akan mempunyai faktor-faktor pengaruh dan penentu dalam perkembangan kota-kota dan kota-kota terbarunya. Untuk menggali faktor yang mendasari konsepsi perencanaan dan pengembangan kota baru di Indonesia, maka penelusuran mengenai hakekat dan perwatakan perkembangan kota baru di Indonesia akan merupakan hal yang sangat esensial. Berikut dapat dijelaskan evolusi perkembangan kota baru di Indonesia. 1. Perkembangan Kota Masa Pra VOC dan Masa Kolonial Perkembangan kota zaman "Pra VOC" yaitu kota-kota yang direncanakan akan dibangun pada masa sebelum kedatangan VOC. Kota-kota pada masa ini seperti Majapahit (Trowulan), Mataram, Banten lama direncanakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tradisional. Motivasi utama pengembangan kota pada masa ini didasarkan pada pertimbangan kekuasaan pemerintahan dan penguasa. Perkembngan Kota "Zaman VOC" yaitu pada masa kota-kota kolonial dikembangkan di Indonesia. Kota-kota masa ini biasanya berupa perbentangan yang berpola kota abad pertengahan di Eropa Barat, seperti benteng yang befungsi seabagai kota di Sunda Kelapa, Batavia(1627), Semarang (1708) dan beberapa kota benteng lain lain di Kepulauan Maluku, Sulawesi Selatan, dan lainnya. Kota masa VOC merupakan suatu bentuk awal pertumbuhan kota kolonial. Kota-kota kolonial yang lebih terbuka kemudian berkembang sampai akhir abad ke-19, seperti Batavia sampai ke Weltervreden (1858-1870) dan pada tahun 1883 dikembangkan pula sampai ke Tanjung Priok disebelah timur laut. Motivasi pengembangan kota benteng terutama didasarkan pada pengamanan wilayah kekuasaan, pertahanan terhadap serangan dari dalam maupun dari luar, dan penguasaan perekonomian tanah jajahan. Perubahan besar dalam perkembangan kota di Indonesia ini terjadi menjelang dan awal abad ke-20. Pada masa ini mulai dikembangkan kota- kota kolonial yang didasarkan pada kaidah perencanaan modern. 2. Perkembangan Kota Masa Kolonial Abad Ke-20 Kota kolonial awal abad ke-20 adalah kota yang dikembangkan sejak awal abad ke-20. Sekalipun beberapa petunjuk sejarah telah mengindentifikasikan, bahwa pola kota berencana di Indonesia telah ada sejak masa sebelum datangnya kolonial, tetapi kota yang dilandasi pemikiran perencanaan kota modern baru muncul sebelum awal abad ke-20. Beberapa peristiwa pada masa sebelum perang sangat penting perannya sebagai tonggak perkembangan perncanaan kota modern di Indonesia adalah: (a.) Revolusi Industri di Eropa paling tidak memberikan dua pengaruh penting.Pertama, bahwa meningkatnya kebutuhan bahan mentah bagi perindustrian di Eropa seperti produk perkebunan (karet, kina teh, dsb) rempah-rempah dan bahan bahan mineral telah menyebabkan timbulnya kota-kota administrasi di Indonesia. Kedua, bahwa konsep-konsep perencanaan modern pada masa itu yang dicetuskan reformis lingkungan hidup Patrrick Geddes atau konsep kota taman (garden city concept) yang dikembangkan oleh seorang reformis kemasyarakatan bangsa Inggris telah pula menjadi landasan beberapa kota modern di Indonesia yang dikembangkan oleh perencanaan kota bangsa Belanda masa itu, yaitu Thomas Karsten pada dekade pertama abad ke-20. (b.) Politik Kuturalstelsel pada masa Van Den Bosch menimbulkan beberapa faktor berpengaruh terhadap perkembangan perencanaan wilayah dan kota, ditandai dengan lahimya Undang-Undang Agraia (Agrarische Wet) tahun 1870. Dikembangkannya perkebunan tanaman keras dapat dianggap pula sebagai awal perkembangan wilayah pertanian dan kota-kota administrasi perkebunan, khususnya di pulau Jawa. (c.) Politik Etika: Berdasarkan reaksi para reformis Belanda telah dikembangkan "Politik Balas Budi”, Politik ini telah berdampak penting dalam perkembangan perencanaan kota di Indonesia, antara lain perbaikan mutu lingkungan kota. Salah satunya adalah dikembangkannya upayaperbaikan kampung kota tempat tinggal pribumi pada tahun 1943, program transmigrasi ke Lampung (tahun 1905) untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa, disamping juga untuk mengembangkan wilayah potensi baru. (d.) Pengembangan perangkat instutisi dan konstitusi baru khususnya dengan terbitnya "Undang-Undang Desentralisasi”. Berdasarkan undangundang ini terbentuk sistem kota praja yang bersifat perencanaan kota kolonial modern. Dalam hubungan ini kemudian Thomas Karsten mulai memperkenalkan konsep pembangunan kota.Selanjutnya, pada tahun 1984 telah diterbitkan peraturan perencanaan pembangunan kota yang terkenal dengan nama “Stadsvonings Ordonantie (SVO) Staatsbled 1948/168 sebagaai peraturan pokok perencanaan fisik kota khususnya untuk Batavia, Salatiga, Pekalongan, Banjarmasin, Cilacap, Tangerang, Bekasi, Wilayah sekitar Kebayoran dan Pasar Minggu sebagai peraturan pelaksananya pada tahun 1949 diterbitkanlah "Stadvorming Verondening” (SUV) Staatsblad 1949/40. 3. Perkembangan Kota Dekade 1950-an Dekade tahun 50-an dapat dikatakan merupakan masa transisi dari masa penjajahan kemasa kemerdekaan yang menyangkut berbagai bidang pembangunan di Indonesia. Dalam bidang pembangunan kota juga terjadi gejolak menyangkut penduduk perkotaan dan pembangunan perkotaan. Sebelum perang,kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota yang dikategorikan sebagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Ujung Pandang (Makasar) telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang pesat. Tetapi sejak awal abad dekade'50-an perkembangan penduduk telah memperlihatkan tingkat yang lebih tajam.Pertambahan penduduk secara statistik menunjukan indikasi akibat pertambahan yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Jadi pada hakekatnya faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan kota kita umumnya sama sebagaimana yang berpengaruh pada perkembangan kota-kota di negara lainnya yang sedang berkembang, yaitu pertambahan penduduk secara alami maupun secara migrasi desa-kota dan perkembangan atau perubahan kegiatan usaha dan kehidupan yang berkembang. Kedua hal ini telah berakibat pada meningkatnya kebutuhan berbagai fasilitas dan sarana pelayanan seperti perumahan, pelayanan sosial, air bersih, transportasi, dan lainnya. Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya,kenamampakan sarana, ketersediaan lahan dari segi-segi perangkat lunak seperti aspek manajemen, perangkat peraturan dan pelaksanaan koordinasi, kondisi ini kemudian menjadikan masalah kota yang cukup pelik untuk dipecahkan. Masalah utama yang dihadapi kota di Indonesia dalam masa transisi adalah perumahan, fasilitas pelayanan terutama sarana trasnportasi dan prasarana kota seperti jaringan jalan dan utilitas termasuk air bersih, sistem drainase dan sanitasi kota, listrik dan telepon. Dari segi non-fisik, masalah yang timbul antara lain melemahnya pelaksanaan peraturan dan ketertiban hukum, dampak sosial budaya dan sosial psikologis bagi masyarakat kota segi non-fisik lain yang penting adalah masalah sosial; ekonomi perkotaan tipikal Indonesia, seperti kegiatan sektor formal dan informal. Permasalahan kota merupakan kelanjutan dari masa transisi dekade 50-an. Masalah utama kota adalah menyangkut tidak seimbangnya perkembangan penduduk kota dengan tersedianya perumahan, prasarana utilitas umum dan fasilitas pelayanan. Selanjutnya kekurangan lahan merupakan masalah pokok pada perkembangan kota masa ini. Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran dalam atau luar kota merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota-kota besar. Lingkungan perumahan padat di bagian tengah kota atau kampung merupakan masalah perumahan yang juga mendapat perhatian khusus. Permasalahan kota yang utama pada masa transisi dekade 1950-an adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang melonjak. Dampak dari keadaan ini adalah permasalahan kekurangan perumahan. Sarana fasilitas pelayanan kota dan prasarana jalan dan utilitas umum. Disamping itu ketersediaan lahan di dalam kota juga semakin kecil mengingat pembangunan fisik yang semakin intensif. Dengan didasari rencana-rencana yang telah dikembangkan pada masa sebelumnya yaitu pada masa perang kemerdekaan. Maka pada awal dekade 50-an mulai dirintis perencanaan pengembangan kota-kota. Rencana-rencana ini kemudian diwujudkan dalam bentuk pengembangan kota-kota baru sebagai berikut: (1) Pembukaan wilayah permukiman baru berskala besar dan kota satelit pada beberapa kota. Upaya ini dimaksudkan untuk memenuhi kekuran gan rumah terutama untuk pegawai negeri. Kota baru jenis ini dibangun sejak tahun 1950-1960 seperti misalnya Kebayoran Baru di Jakarta; dan kawasan pemukiman berskala besar di Jakarta, Bandung, Surabaya. Dengan perkembangannya kegiatan sektor pemerintahan dan swasta dibidng pembangunan perumahan (perum perumnas dan real estate) sejak tahun 1970-an, maka pembangunan kawasan pemukiman dan perumahan berskala besar semkin berkembang dikota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Malang, Medan, Palembang, Ujung Pandang, dan kota besar-besar lainnya. (2) Pembangunan kota baru yang berfungsi sebagai pusat kedudukan pemerintahan bagi propinsi seperti Palangkaraya (Kalimantan Tengah); Banjarbaru (Kalimantan Selatan) atau kota kabupaten seperti sumber di Cirebon; Baleendeh di Bandung; Gresik di Surabaya, dsb. (3) Pembangunan kota baru dalam kaitannya dengan industri eksploitasi sumberdaya alam dan pertambangan seperti Tembagapura, Asahan, Bontan, Soroako, Cilegon. Dari tinjauan deskriptif diatas, maka proses evolusi dan motivasi pengembangan kota baru di Indonesia dapat disajikan pada tabel berikut: Tabel 3. Proses evolusi dan motivasi pengembangan kota baru di Indonesia Masa Perkembanga n Kota Baru Masa Pra VOC Proses Evolusi Kota Baru Kekuasaan Pemerintah Invasi Perlindungan Penguasaan kepada penduduk seluruh wilayah Kota Tradisional Pertanahan Kota Perbentengan Masa Kolonial Masa Pasca Perang Kota Lama Eksploitasi Sumberdaya Alam Motivasi Pengembangan Kota Baru Kekuasaan Pemerintahan Tradisional Perlindungan kepada penduduk invasi asing Penguasaan wilayah dan pengendalian yang diduduki Pengendalian Tanah Jajahan Perluasan Kekuasaan Pengembangan Pusat pemerrintahan Lokal Status Kota Praja Pengembangan Pengembangan Perbaikan Kawasan Kawasan Baru Pusat Permukiman Berskala Besar Administrasi Kolonial Pengadministrasian Perkebunan dan Pertambangan Urbanisasi Pengembangan Urbanisasi / Propinsi Baru Eksploitasi Peningkatan Sumberdaya Penduduk Kota Pemecahan Pengembangan Kekurangan Masalah Kawasan pusat Perumahan Kota Perumahan Kota industri dan dan Pembukaan dan Lapangan administrasi Lapangan Kerja Kerja permukiman Usaha Pemerataan Pembangunan Desa-Kota Dari letak geografis kota baru dapat dibedakan dalam 4 jenis, yaitu kota baru dalam kota, kota baru satelit, kota baru di pinggiran dalam dan pinggiran luar kota induk, kota baru yang berdiri menyendiri. Berdasarkan penelaahan pada beberapa kota memungkinkan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan baru di Indonesia secara geografis kota baru di Indonesia juga menunjukan keempat pola tersebut yaitu: (a.) Kota Baru dalam kota, suatu lingkungan baru berskala besar yang dikembangkan pada wilayah kantong yang belum terbangun dalam kota atau bagian wilayah belum terbangun di pinggiran yang berbatasan langsung dengan kota induk. Pola demikian dapat dilihat misalnya di Bandung (Plan Cipaganti 1953-1955, Pontianak, Malang, Semarang, Surabaya, Jakarta, Medan dan beberapa kota besar lainnya) (b.) Kota Baru Satelit, suatu lingkungan baru berskala besar yang dikembangkan sebagai tempat tinggal yang letaknya terpisah pada jarak tertentu dari kota induk tetapi secara fungsional sangat tergantung pada kota induk. Kota baru satelit ini juga sering disebut sebagai dormitory town. Contoh kota satelit di Indonesia adalah Kebayoran Baru(1750), Banjar Baru(1953), kota satelit Baleendah Kabupaten Bandung(1976). (c.) Kota Baru Mandiri suatu kota baru yang dikembangkan dengan tujuan membentuk kota yang dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha penduduknya. Kota baru mandiri ini dapat terbentuk dari kota perusahaan, ibukota pemerintahan, kota pertambangan, dan kota baru yang dikembangkan dari kota kecil atau kota yang berkembang dari pemukiman transmigrasi. (d.) Kota Baru Khusus, yaitu kota yang dikembangkan sehubungan dengan kegiatan tertentu seperti instalasi militer, kegiatan rekreasi, atau kegitan khusus lainnya. Kota baru khusus ini dapat bersifat mandiri atau satelit dari kota induk. Contoh jenis kota ini adalah Asahan, Lhoksumawe, Soroka, Bontang, Tembagapura, Banten, Cinere, Cilegon. Perkembangan kota-kota di Jawa pada dewasa ini ditandai dengan proses restrukturisasi internal,baik secara social ekonomi maupun fisik. Salah satu ciri yang menonjol dalam proses ini, seperti yang ditunjukkan di wilayah JABOTABEK, adalah pergeseran fungsi kota ini (core) dari pusat manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa-jasa, termasuk keuangan (finance), sementara itu kegiatan manufaktur bergeser ke arah pinggiran kota (urban fringe areas). Secara fisik proses restrukturisasi ditandai dengan perubahan penggunaan lahan, baik di kota inti (core) maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis, perkan toran, perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota terjadi alih fungsi (konversi) penggunaan lahan secara besar-besaran dari lahan pertanian subur ke kawasan industri dan permukiman berskala besar (kotakota baru). Dalam jumlah total,konversi tanah pertanian subur di Indonesia selama periode 1991-1993 mencapai 106.24,3 hektar (BPS 1995), atau kira-kira 53.000 hektar per tahun: 54 persen untuk permukiman dan sisanya untuk lain-lain. Dari jumlah ini 51% terjadi di pulau Jawa. Aspek lain yang sangat menonjol dalam perkembangan kota-kota besar di Indonesia adalah pertambahan penduduk yang pesat pada wilayah pinggir, dan penurunan laju kenaikan di kota inti. Sebagai contoh, laju kenaikan penduduk di kabupaten Bogor dan Bekasi selama periode 19801990 masing-masing telah mencapai 4,1 dan 6,3 % per tahun, jauh melampaui angka kenaikan secara nasional yaitu 1,97% per tahun. >Latihan 1. Jelaskan secara singkat proses terbentuknya kota! 2. Jelaskan faktor-faktor pembentuk kota dan terangkan factor mana yang paling dominan 3. Jelaskan lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota! 4. Jelaskan tiga klasifikasi kota atas dasar karakteristik pertumbuhannya menurut J.M.Hoston! 5. Jelaskan pendapat anda tentang pertumbuhan kota-kota di Indonesia! >Ringkasan Terbentuknya kota berawal dari surplusnya hasil pertanian di desa-desa, yang kemudian wilayah tersebut berkembang penduduknya. Selanjutnya perkembangan teknologi di bidang transportasi memungkinkan mobilitas penduduk semakin tinggi. Secara historis terdapat lima tipologi kota, yaitu: 1. Kota-kota kuno di Timur Tengah yang merupakan kota-kota raja, seperti Kota Thebe dan Neniveh. 2. Kota-kota kuno di Asia, hampir mirip dengan kota-kota kerajaan di Timur tengah namun cirinya lebih menonjol pada kota pegawai seperti kota Peking. 3. Kota-kota Eropa di abad pertengahan diawali oleh datangnya para pedagang dari luar kerajaan sehingga muncullah kota-kota pasar yang berdampak pada masuknya penduduk dari luar wilayah tersebut. 4. Kota-kota Eropa dalam masa sejarah modern yang dicirikan oleh keterbukaan ekonomi, yaitu dari fungsi melayani daerah sekitar sampai pada pelayanan nasional. Selain itu terjadi perkembangan penduduk dan mobilitas sosial yang sangat pesat. 5. Kota-kota modern di dunia Barat yang ditandai oleh kepadatan lalu lintas, perbedaan ekonomi dengan indikator perbedaan permukiman atau hunian dan munculnya kota-kota satelit. Faktor-faktor yang berperanan penting dalam proses timbulnya kota-kota adalah: (1) kondisi lingkungan alam yang menguntungkan, (2) perkembangan teknologi, dan (3) organisasi sosial, baik di kota yang bersangkutan maupun di wilayah sekelilingnya. Ada lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota, yaitu: a. Pathway merupakan rute-rute sirkulasi pergerakan manusia dan barang melalui jaringan jalan. b. Districts merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota. c. Edge merupakan bagian pinggiran dari sebuah districts. d. Landmark, membantu orang untuk mengorientasikan dirinya didalam kota dan membantu mengenal suatu daerah kota. e. Node, pusat aktivitas yang merupakan salah satu jenis landmark tetapi berbeda karena fungsinya. Dasar pembentukan kota mencakup antara lain: 1) Unsur-unsur fisik yang meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, luas daerah yang dibangun (build area), kondisi bangunan-bangunan, kondisi public utilities, dan potensi keuangan. 2) Unsur-unsur Non fisik yang meliputi peranan dan fungsi kota dalam pengembangan wilayah, kedudukannya dalam pemerintahan Negara, heterogenitas kegiatan penduduk, sifat hubungan sesama warga masyarakat. Periode pertumbuhan kota menurut Hoston, J.M. adalah: 1) Stadium pembentukan inti kota (nuclear phase). 2) Stadium formatif (formative phase). 3) Stadium modern (modern phase). Taylor dan Griffith mengelompokkan tahap pertumbuhan kota berdasarkan karakteristik dinamika fungsionalnya menjadi beberapa yaitu: a) Tahap infantile (The infantile stage). b) Tahap dewasa I (The juvenile stage). c) Tahap dewasa II (The mature stage). d) Tahap ketuaan (The senile stage). Mumford dan Lewis mengemukakan 4 fase pertumbuhan kota, yaitu: a. Fase eoteknikal (Eotechnic phase). b. Fase palaeoteknikal (Palaeotechnic phase). c. Fase neoteknikal (Neotechnic phase). d. Fase Bioteknikal (Biotechnic phase). Selanjutnya ia memandang pertumbuhan kota dari sudut sosiokultural, yaitu: (1) Eopolis, (2) Polis, (3) Metropolis, (4) Tyranopolis, dan (5) Nekropolis. Adapun pertumbuhan Kota dan Kota Baru di Indonesia umumnya dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor tata nilai,sosial budaya, dan kondisi geografis. Bab IV. KLASIFIKASI, STRUKTUR, DAN POLA KERUANGAN KOTA A. Jumlah dan Sebaran Klasifikasi ini menekankan pada adanya hubungan antara satu kota dengan kota yang lain dalam sistem kota-kota yang ada termasuk dalam kelas tertentu dengan sendirinya harus sama, misalnya mengenai segi jumlah penduduknya. Klasifikasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya banyak dianut oleh perencana kota (planers) dengan tujuan untuk menganalisis wilayah (regional analysis). Disamping didasarkan adanya kenyataan bahwa cara ini termasuk cara sederhana dan mudah. Cara inipun mempunyai kaitan yang erat dengan usaha - usaha penyidikan perkembangan suatu wilayah. Bukanlah suatu hal yang berlebihan apabila dikatakan bahwa banyak sedikitnya penduduk suatu kota tertentu mempunyai kaitan-kaitan yang sangat erat dengan lajunya perkembangan suatu wilayah. Klasifikasi suatu kota atas dasar hirarki merupakan jenis klasifikasi yang bersifat dinamika. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa setting suatu kota pada order atau rank tertentu dapat berubah kedalam order/rank yang lebih dalam perjalanan hidupnya. Khususnya mengenai klasifkasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya, suatu kota akan selalu berubahubah. Hal ini sejalan dengan perubahan jumlah penduduknya baik yang disebabkan oleh karena perubahan alami (natural change) maupun oleh karena adanya proses perpindahan penduduk dari daerah lain ke kota yang bersangkutan. Dua penyebab tersebut memberi ciri khas tersendiri-sendiri pada suatu kota sehingga masing-masing kota mempunyai ciri-ciri yang berbeda satu sama lain. Disamping sifat dinamika cara ini disebabkan oleh adanya perubahan jumlah penuduk, pertimbangan luas sempitnya wilayah (regional considerations) juga mempengaruhinya pada skala wilayah kota-kota yang berbeda dengan sendirinya fungsi dan peranan kota dalam kegiatan sosial kulutral juga berbeda. Klasifikasi jenis ini ada dua macam cara, yaitu a) menggunakan internal tertentu, dan b) tanpa menggunakan interval tertentu. Contoh klasifikasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya dengan menggunakan interval tertentu : Tabel 4. Klasifikasi Hirarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduknya Oleh karena pengertian kota sendiri mempunyai variasi yang banyak dari negara yang satu kenegara lain, maka upaya klasifikasi inipun juga bermacam-macam. Disamping itu luas sempitnya wilayah dimana sistem kota-kota tersebut berada ikut menentukan cara klasifikasi tersebut. Luas sempitnya wilayah mempengaruhi variasi data jumlah penduduk kota. Tenik pengelompokan kota-kota dalam skala regional, berbeda dengan skala nasional apalagi dengan skala internasional atau global. Untuk kepentingan analisis perkotaan yang sifatnya internasional diseyogyakan untuk menyamakan titik tolak pengertian kota terlebih dahulu. Dalam hal ini, seseorang yang dapat meninjau dari segi jumlah penduduknya atau dari segi tinjauan yang lain. Seperti halnya dikemukakan oleh PBB, apa yang dianalisis sebagai suatu kenampakan kota adalah suatu permukiman dengan aglomerasi penduduknya lebih atau sama dengan 100.000. Dengan demikian suatu tempat yang mempunyai aglomerasi penduduk kurang dari 100.000 akan dikesampingkan dalam analisis walaupun istilah lokal (local term) menunjukan suatu kota. Berikut ini disajikan salah satu contoh klasifikasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya dengan memakai interval tertentu. Berdasarkan tabel di bawah ini ternyata penyebaran kota-kota di Indonesia atas dasar hirarki jumlah penduduknya tergolong hirarki yang bersifat diskrit. Kebanyakan kota mengelompok pada jumlah penduduk lebih kecil dari 250.000 Cara yang kedua adalah klasifikasi hirarki kota tanpa menggunakan interval jumlah penduduk tertentu. Dalam hal ini ini masing-masing kota termasuk dalam satu kelas order, kecuali kalau ada kota-kota tertentu yang mempunyai penduduk yang sama. Tabel 5. Klasifikasi Hirarki Kota-kota Atas Dasar Jumlah Penduduknya dengan Interval tertentu Dengan memberikan hirarki ketiga puluh lima kota tersebut dengan jumlah penduduk pada tahun 1971 sebagai pembanding ternyata terdapat gambaran yang menarik. Kenyataan sifat dinamisnya penggolongan kota atas dasar hirarki jumlah penduduknya terlihat pada perubahan ranking. Dalam hal ini, kota-kota yang menunjukan peningkatan rangking selama periode satu dasawarsa tersebut adalah Kota Padang (1971:14 dan 1989:9), Kota tersebut ternyata mempunyai perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Khususnya Ambon, meningkatnya jumlah penduduk tersebut disebabkan adanya pemakaran kotanya secara artificial. Dalam studi kota, adanya pergeseran-pergeseran seperti inilah yang harus selalu menjadi perhatian. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa pergeseran - pergeseran tersebut kemungkinan besar berkaitan erat dengan perubahan-perubahan . nila-nilai atau norma-norma kemanusiaan yang berlaku dalam kaitannya dengan relasi desa-kota. Berikut ini dikemukakan contoh klasifikasi hirarki kota tanpa menggunakan interval tertentu mengenai jumlah penduduknya. Tabel 6. Hirarki Kota-Kota di Indonesia Atas Dasar Jumlah Penduduknya (1980) B. Mobilitas Penduduk di Perkotaan Sejak dahulu manusia selalu bergerak, berpindah dari satu tempat ketempat lain. Ciri itu selalu nampak pada pola kehidupan manusia baik sebagai bangsa primitif maupun bangsa modern. Pada hakekatnya mobilitas manusia merupakan salah satu sifat utama kehidupan manusia itu sendiri yang tidak puas terpaku pada suatu tempat untuk memenuhi tuntutan kelangsungan hidupnya. Dalam zaman modern meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi yang ditunjang kemajuan teknologi ,mendorong manusia menjadi jauh lebih menonjol mobilitasnya daripada sebelumnya. Faktor jarak. waktu, dan sarana tidak lagi merupakan masalah besar. Mobilitas manusia timbul adalah berbagai macam dorongan kebutuhan/kepentingan yang disebut dengan istilah motivasi. Motivasi dapat digolongkan menjadi: 1. Motivasi untuk kebutuhan dagang atau ekonomi 2. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan politik 3. Motivasi untuk kebutuhan keamanan 4. Motivasi untuk kebutuhan kesehatan 5. Motivasi untuk kebutuhan permukiman 6. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan agama 7. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan pendidikan 8. Motivasi untuk kebutuhan minat kebudayaan 9. Motivasi untuk kebutuhan hubungan keluarga 10. Motivasi untuk kebutuhan untuk rekreasi Motivasi-motivasi tersebut timbul dari kepentingan - kepentingan hidup manusia. Oleh karena kehidupannya dalam suatu masyarakat adalah wajar maka aktivitas-aktivitas permintaan yang timbul layak untuk dipenuhi dan disediakan. Pendapatan dan pendidikan yang meningkat, jumlah anak yang mengecil (sedikit) bersamaan dengan peningkatan prasarana informasi dan transportasi menyebabkan dan akan terus mendorong peningkatan mobilitas penduduk. Peningkatan mobilitas mendorong terciptanya berbagai barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kota merupakan wilayah yang dihuni oleh masing-masing dengan beragam latar belakang dan mata pencaharian. Semakin bertambah manusianya semakin bermunculan kegiatan-kegiatan baru serta lembagalembaganya yang khas. Misalnya organisasi, perkumpulan, klub-klub, dan sebagainya. Hal ini jelas akan memepengaruhi mobilitas penduduk . Jika letak kota tersebut relatif dekat dengan kota yang lebih besar maka cenderung menjadi commuters suburban yaitu kota pinggiran yang menjadi tempat tinggal para penglaju kota. Contohnya di Jawa Tengah yaitu Kota Ungaran terhadap Kota Semarang . Di wilayah JABODETABEK yaitu kota Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi terhadap kota metropolitan Jakarta. Masyarakat kota mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Desa. Hal ini terjadi mengingat aktivitas ekonomi di kota jauh lebih tinggi di banding dengan aktivitas ekonomi kota menyeabakan terjadi pencemaran udara oleh kendaraan bermotor, meningkatkan sampah kota serta terjadinya berbagai konflik penggunaan lahan. Louis Wirth menjelaskan bahwa heterogenitas masyarakat kota meningkatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju kepada impersonalitas dari masyarakat modern. Sementara itu George Simmel mengupas gejala impersonal itu dan melukiskan orang kota sebagai yang : cenderung mencari privacy, berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan yang khusus saja, menilai segalanya dengan standard uang. Selanjutnya Roe memandang gaya hidup kota modern itu memiliki 3 nivo kehidupan yaitu : (1) Nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman tetangga. (2) Nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja. (3) Nivo kelompok berdasarkan peranan, ini bersifat anonim dan interaksi disitu terdapat misalnya antara pribumi dan orang asing, sikaya dan simiskin. Situasi antar komuniti (community) dicirikaan oleh relasi secara populasi, habitat dan kebutuhan. Tentang hal tersebut telah dikembangkan pengertian- pengertian yang khas. Misalnya “kepadatan penduduk” (kebanyakan penduduk dalam 1 km² luas habitat) menunjukan relasi habitat populasi. Adapun relasi kebutuhan habitat disebut “kepadatan kebutuhan”, dan relasi populasi kebutuhan disebut “relasi kebutuhan”. Kepadatan kebutuhan diangkakan dengan sekian persen luas wilayah kota yang ditempati oleh fasilitas seperti toko, restoran, bar dan sebagainya. Adapun kondisi kebutuhan diangakan dengan berapa jumlah untuk tiap 10.000 jiwa, berapa km panjang jalan untuk tiap jiwa, berapa m² persegi luas lantai permainan untuk tiap tiap anak, berapa jumlah kamar untuk tiap keluarga. Di perkotaan, makin kearah pusatnya makin besar angka kepadatan penduduk dan kepadatan kebutuhan. Sebaliknya makin kecil ke pinggiran makin kecil angkanya. Tentang “aspek lokasi” dari tiga macam unsur comunitipun dapat dijelaskan. Yaitu tempat populasi dinamakan “posisi” tempat kebutuhan disebut posisi kebutuhan. Diantara dua posisi terdapat jarak relasi antara dua posisi kebutuhan dinamakan “jarak antara kebutuhan”. Jarak antara kebutuhan ada dua macam, yaitu “jarak linier” merupakan jarak lurus dan “jarak ekologis” merupakan jarak yang dinilai dengan perhitungan waktu dan biaya untuk menempuh. Relasi antara satu posisi dan posisi kebutuhan disebut jarak terhadap kebutuhan. Gambar 6 Aspek-Aspek Lokasi dan Unsur-unsur Struktur Community John Tumer (1988) mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal (residential mobility). Tesisnya pertama kali diperkenalkan tahun 1968 pada artikelnya yang berjudul “Housing Priorities, Settlement Patterns, and Urban Development in Modernizing Countries”. Dalam menjelaskan teorinya, ia mengemukakan beberapa dimensi yang bergerak pararel dengan mobilitas tempat tinggal ini. Ada empat macam dimensi yang perlu diperhatikan dalam mencoba memahami dinamika perubahan tempat unggal pada suatu kota, yaitu: a. Dimensi lokasi b. Dimensi perumahan c. Dimensi siklus kehidupan d. Dimensi penghasilan Dimensi lokasi mengacu pada tempat-tempat tertentu pada suatu kota yang oleh seseorang sekelompok orang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal dalam kondisi dirinya. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan siklus kehidupannya. Lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja (accesibility to employment). Perspektif ini sering diistilahkan sebagai “geographical space”. Dimensi perumahan dikaitkan dengan aspirasi perorangan/sekelompok orang terhadap macam, tipe perumahan yang ada. Oleh karena luasnya aspek perumahan ini, oleh John Tumer dibatasi pada aspek “pengusaan” (tenure). Seperti halnya pada geographical (space dimension). Pandangan seni terhadap aspek pengusaan tempat tinggal selalu dikaitkan dengan tingkat penghasilan dan siklus kehidupannya. Mereka yang berpenghasilan rendah misalnya, akan memiliki menyewa atau mengontrak apa saja dari pada berangan-angan untuk memiliki, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya. Dasar kehidupan yang masih awal pada umumnya paralel dengan tingkat penghasilan yang rendah ini. Dimensi siklus kehidupan membahas tahap-tahap seseorang mulai menapak dalam kehidupan mandirinya, dalam artian bahwa semua kebutuhan hidupnya seratus persen ditopang oleh penghasilannya sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupannya makin tinggi “income” sehingga kaitannya dengan dua dimensi terdahulu menjadi lebih jelas. Dimensi penghasilan menekankan pembahasannya pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu. Dengan asumsi bahwa makin lama seseorang menetap di suatu kota, makin mantap posisi kepegawaiannya (dalam pekerjaannya), maka makin tinggi pula tingkat penghasilan yang diperlukannya persatuan waktu tertentu. Oleh karana kondisi kemampuan seseorang tidak ajeg dari waktu maka “residential mobility” (mobilitas tempat tinggal) ini juga selalu berubah dari waktu ke waktu. Ada 3 Strata sosial yang berkaitan dengan lama bertempat tinggal di daerah perkotaan, dikemukakan sebagai acuan untuk melihat perilaku mereka dalam menentukan pilihan tempat tinggalnya. Ketiga strata sosial tersebut adalah: a. Bridge headers (golongan yang baru datang di kota) b. Consilidators (golongan Yang sudah agak lama tin c. Status Seeker (golongan Yang sudah lama tinggal Untuk lebih jelasnya lihat bagan ini : Gambar 7. Mobilitas Tempat Tinggal Model Turner Adapun bentuk mobiltas penduduk yang dikemukakan oleh Mantra (1980) adalah sebagai berikut : 1. Comutting (penglaju). Ini adalah bentuk mobilitas penduduk dari desa ke kota atau daerah lain, dan kembali ketempat asal pada hari yang sama. Mobilitas seperti itu kebanyakan kita lihat antara desa-desa yang ada di sekitar kota-kota besar (sebagai lapangan pekerjaan bagi mereka). Suatu syarat yang paling penting untuk terjadinya mobilitas semacam ini adalah tersedianya prasarana perhubungan yang baik, yang akan diikuti pula dengan sarana transportasi yang memadai serta murah. Jadi kaum penglaju ini bertempat tinggal di desanya dan tidak menetap di kota. Mengapa mereka mengambil sikap yang demikian ? Disini ada pertimbanngan dari kaum penglaju, antara lain : a. Alasan Ekonomi, sebagaimana kita ketahui bahwa hidup dikota perlu biaya tinggi, sedangkan kaum penglaju ini umumnya berpendapatan rendah, sehingga tidak mungkin mereka tinggal di kota bersama keluarga. Dengan bertempat tinggal di desanya biaya hidup lebih murah. b. Alasan Nir-Ekonomi. Dimana disini dengan nglaju mereka dapat berkumpul dengan sanak saudaranya di desa. Mereka merasa aman dan tentram bila berdekatan dengan sanak saudara dan famili. Kemudian ada lagi para penglaju yang tergolong ekonomi kuat. Mereka ini adalah orang-orang golongan “The Have” yang memilih tempat tinggal diluar kota jauh dari keramaian, kebisingan dan polusi udara. Mereka nglaju ke kota dengan mobil pribadinya untuk bekerja. 2. Circulation (sirkulasi). Ini adalah bentuk mobilitas penduduk dari desa dan kota atau daerah lain, dalam jangka waktu lebih dari satu hari, tetapi tidak ada niat untuk menetap daerah tujuan. Disini ada dua macam mobilitas sirkuler yang menuju ke kota, yaitu : a. Mobilitas musiman. Mobillitas musiman ini erat kaitannya dengan kegiatan- kegiatan di bidang pertanian, dan sebagainya. b. Mobilitas yang terdorong oleh perbaikan ekonomi atau tujuan untuk sekolah. Mobilitas semacam ini, terutama tertuju untuk ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya. Seperti halnya dengan peristiwa nglaju, di samping tersedianya lapangan kerja di kota, tersedianya alat transportasi yang murah merupakan faktor utama untuk meningkatkan arus mobilitas sirkuler ke kota. 3. Migrasi. Ini merupakan bentuk perpindahan penduduk dari desa ke kota atau ke daerah lain, dengan maksud untuk bertempat tinggal menetap di daerah tersebut. Banyak sedikitnya jumlah migran yang menetap tergantung dari pengaruh mekanisme push and pull factors. Penyebaran penduduk perkotaan sering dikaji melalui indeks primasi, yang dalam hal ini didefinisikan sebagai rasio antara jumlah penduduk kota terbesar pertama terhadap jumlah total penduduk empat kota terbesar, Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Namun demikian data yang digunakan seyogyanya adalah jumlah penduduk perkotaan di wilayah perkotaan dimana keempat kota-kota tersebut berfungsi sebagai inti (core ), yakni Jabotabek (Jakarta - Bogor - Tangerang - Bekasi), Gerbangkertasusila (Gresik - Bangkalan – Mojokerto- Surabaya - Sidoarjo -Lamongan), Bandung Raya, dan Mebidang (Medan - Binjai - Deli Serdang), bukan hanya penduduk wilayah kotamadya saja. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks primasi ini adalah 0,56 pada tahun 1980 dan 0,58 pada tahun 1990. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir 60 % jumlah penduduk perkotaan pada empat wilayah metropolitan terbesar di Indonesia, terkonsentrasi di Jabotabek. Ini berarti pula bahwa Jabotabek sesungguhnya masih berperan sebagai kota primate. Demikian pula pangsa penduduk perkotaan di Jabotabek terhadap jumlah penduduk perkotaan secara nasional telah mencapai 22,5 % pada tahun 1980, dan 23,6 % pada tahun 1990, atau kira-kira telah mendekati angka satu per empat. Sementara itu analisis pola keruangan perkembangan penduduk perkotaan di Jawa memperlihatkan kecenderungan perkembangan koridor perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, yang meliputi koridor Serang - Jakarta – Karawang; Koridor Jakarta – Bandung; Koridor Cirebon – Semarang; Koridor Surabaya - Malang. Pembentukan koridor- koridor ini diwarnai oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Dalam konteks ini tampaknya peran kota-kota kecil (kota-kota dengan jumlah penduduk di bawah 100.000) dan kota menengah (kota-kota dengan jumlah penduduk 100.000 — 250.000 ) di pulau Jawa sebagai pusat-pusat kegiatan ekonomi semakin menurun, karena fungsi ini sangat didominasi dan diperankan oleh kota-kota besar, sementara kota-kota kecil dan menengah tersebut telah menjadi bagian dari koridor perkotaan yang membentang antara kota-kota besar. Mc Gee (1991 ) menyebut proses urbanisasi dan perkembangan kota seperti ini sebagai mega — urbanization, yang harus dipandang dalam konteks region-based, bukan city based. Demikian pula sistem kota berjenjang ( hierarchial urban system ) yang merupakan suatu acuan utama dalam kepustakaan perkembangan kota-kota, tampaknya sudah tidak begitu relevan untuk pulau Jawa. . Sebagai indikasi awal hal ini antara lain ditunjukkan dengan rendahnya laju kenaikan penduduk kota-kota menengah dan kecil, yaitu kota-kota dengan jumlah penduduk di bawah satu juta jiwa selama periode 19801990 : kota-kota di Jawa memiliki laju kenaikan yang relative rendah, yaitu dibawah 2,5% pertahun bahkan ada yang negative (Malang), dengan pengecualian Tegal, Madiun, Pasuruan, dan Blitar. Sebagai perbandingan, kota-kota di luar Jawa sebagian besar meningkat dengan laju yang lebih tinggi, kecuali Manado, Pangkalpinang, Pare-pare, Bukittinggi, dan Sibolga. C. Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pembahasan proses perancangan perkotaan secara spesifik dimulai dengan dinamika ekonomi bukan dengan dinamika politik atau budaya. Berdasarkan pada sistem hidup yang ada, dimulai dengan perhatian pada sistem “dari dalam keluar”. Alasannya bukan karena pada masa kini cara hidup makin lama materialistik. Terlebih dahulu dinamika sistem hidup perlu dibahas dengan cara yang lebih luas. Bagaimanakah sistem kehidupan manusia pertamatama untuk hidup secara bermakna, manusia memerlukan arti kehidupannya yang dengan tepat didasarkan pada realitas spiritual. Namun demikian, manusia juga berada didalam keadaan jasmani, dimana muncul kriteria yang fundematal pula: Bagaimana bisa makan dan minum? Bagaimana kualitas hidup perkembangan kehidupan makin lama makin baik di dalam masyarakatnya?” darimana datang dan apa yang dibutuhkannya ? Bagaimana itu bisa dilaksanakannya ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan pada moivasi hidup yang bersifat jasmani atau ekonomi.Untuk menjalankan motivasi tersebut, dibutuhkan sebuah sistem pengelolaan hidup yang bersifat teknis atau politis yaitu mendirikan serta mengurus prinsip-prinsip, serta peraturan-praturan yang menjamin bahwa bentrokan-bentrokan antara bermacam motivasi paran individu bisa diurus dengan baik. Untuk menjalankan penggelolaan hidup tersebut dibutuhkan sebuaah cara hidup yang bersifat tradisi atau budaya. Akan tetapi untuk menjalankan cara hidup tersebut dibutuhkan sebuah lingkungan alam sebagai sumber kehidupannya. Sistem hidup masyarakat tersebut dijalankan didalam dua situasi yang berbeda, yaitu didalam lingkungan perdesaan (rural) serta lingkungan perkotaan (urban). Meurut Lowrey Nelson ada perbedaan antara masyarakat kota (urban community) dengan masyarakat desa (rural community). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 7. Perbedaan Kualitatif Masyarakat Desa-Kota Pada dasarnya dalam dinamika ekonomi kota bisa diamati antara lain tiga faktor pokok yang masing-masing memiliki polaritas sebagaimana terpampang dalam gambar berikut ini. Gambar 8. Dinamika Ekonomi Kota 1. Status Tanah Dalam perancangan kota perlu diperhatikan bahwa kota sebagai artefak didirikan di atas tanah yang bersifat lahan alam. Namun keberadaan lahan ini tidaklah bersifat netral dan tidak boleh dianggap berada dalam vakum yang lingkungannya sama saja. Keadaaan status tanah bisa berbeda sekali. Misalnya status tanah yang berada di pusat kota jauh berbeda dengan tanah di pusat hutan. Status tanah sangat tergantung pada potensi terhadap kemungkinan penggunaannya Walaupun demikian, secara umum dinamika yang berada di dalam statusnya Sama. Status tanah bergantung pada dua factor, yaitu situasi geografi serta intervensi manusia.. (a) Situasi Topografi Pembentukan tanah secara alami tidak sama disetiap tempatnya. Ada tanah yang curam, landai, atau datar, dan juga bahan dan kesuburunnya berbeda, dan lain-lain. Dengan demikian, jelas watak landscape dan iklim menentukan khususnya setempat sehingga tanah alam memiliki potensi ekonomi yang berbeda pula. (b) Intervensi Manusia Walaupun status tanah dipengaruhi oleh situasi topografi, intervensi manusia terhadap tanah juga perlu diperhatikan. Intervensi manusia akan jauh lebih besar mempengaruhi status tanah daripada situasi topografi. Kebanyakan factor yang menentukan status tanah secara ekonomi diciptakan, diurus, serta dikontrol oleh manusia sendiri. Misalnya : penentuan dimana diletakan jalur perdagangan, pergerakan dan penghubungnya, lalu bagaimana tataguna lahan, dimana pusatnya, dan seterusnya. Ketentuan tersebut yang sangat mempengaruhi status tanah secara ekonomi, memang tidak diambil sekaligus, melainkan dilangsungkan sebagai proses. Namun proses tersebut tidak bersifat otonom, melainkan diarahkan oleh keputusan orang, baik secara individual maupun kelompok masyarakat. Cara intervensi yang relevan untuk nilai tanah yang tinggi adalah bagaimana memungkinkan pada tanah tersebut sebuah aktivitas perkotaan yang tinggi, dengan kepadatan yang maksimal. Tetapi masalah yang sering kurang diperhatikan adalah kenyataan bahwa kriteria yang bersifat maksimal belum bisa langsung disamakan dengan kriteria yang bersifat optimal. Tujuan pemakaian tanah secara maksimal hanya akan menegaskan kriteria kuantitas, sedangkan pemakaian secara optimal akan berfokus pada kriteria kualitas. Kalau kedua kriteria tersebut dibandingkan didalam jangka waktu, maka jelaslah bahwa tanah yang digunakan secara kualitatif akan mengakibatkan peningkatan status ekonomi pula. Hal tersebut belum pasti dapat dihasilkan pada kriteria yang hanya bersifat kuantitatif. Akan tetapi, justru seringnya kriteria tersebut yang diperhatikan karena secara ekonomis memang kuantitas bisa diukur dengan mudah dan langsung. Para perancang kota perlu memahami dinamika tersebut serta penilaian faktor-faktor mana yang bersifat kualitatf secara umum. Kemudian secara khusus diperlukan analisis yang difokuskan pada potensi status tanah sebuah tempat serta lingkungannya dengan tujuan, sasaran, serta srategis bagaimana kualitasnya bisa ditingkatkan 2. Hirarki Nilai Didalam dinamika pembangunan kota tercakup banyak faktor dan kriteria bermacam-macam yang masing-masing memiliki nilai tersendiri. Hal tersebut hampir selalu menimbulkan bentrokan antara penerapan nilai yang satu dan yang lain, karena banyak nilai yang ingin ditransportasikan ke dalam sebuah pembangunan kota berdasarkan landasan-landasan pikiran lain. Biasanya dibidang ekonomi nilai-nilai dibagi dalam dua pendekatan dasar, yaitu nilai pakai (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nyatalah bahwa ada ketegangan diantara keduanya. Kedua pendekatan terhadap nilai tersebut memiliki hirarki yang berbeda dengan dinamika tersendiri yang sangat penting untuk diperhatikan didalam perancangan kota. 3. Nilai Pakai ( use value) Pendekatan ekonomi ini berfokus pada semua kriteria yang berhubungan dengan nilai penggunaan sebuah tempat secara langsung misalnya rumah sebagai tempat huni, pabrik sebagai tempat produksi, atau toko untuk menjual barang, dan sebagainya tergantung pada tujuan pemakaiannya. Fokus nilai pakai berbeda pula, walaupun secara dasar selalu berfokus pada kebutuhan pemakaian yang pokok dan langsung. Penerapan nilai tersebut sering berbeda di sektor non formal, khususnya pada penghuni yang bersifat kampung. Nilai pakai juga ada di sektor formal, walaupun lebih sedikit. 4. Nilai Tukar (exchange value) Pendekatan ekonomi ini berfokus Pada semua kriteria yang berhubungan dengan nilai investasi pada sebuah tempat, misalnya kegiatan jual beli atau menyewakan kepada pemakai lain. Sebuah gedung tidak lagi dianggap sebagai lingkungan hidup atau tempat bekerja dan sebagainya, melainkan diutamakan sebagai obyek yang bersifat benda saja. Di dalam hal ini perlu diperhatikan dinamika ekonomi yang mementingkan pendekatan tersebut, karena keuntungan finansial yang bisa dihasilkan secara langsung biasanya selalu lebih tinggi, kalua nilai tukar lebih diperhatikan daripada nilai pakai, sehingga muncul sebuah hirarki nilainilai yang sering mengakibatkan ketegangan di dalam realitas konteks perkotaan. Oleh karena itu logis bahwa seseorang investor selalu akan mengutamakan kegiatan pemakaian tempat yang mampu menghasilkan keuntungan keuangan yang paling tinggi. Misalnya jika sebuah kawasan penghuni di dalam kota juga berpotensi sebagai tempat kompleks perkantoran, maka jelas para penghuni makin lama akan makin banyak digeser, karena keuntungan yang didapat dihasilkan dengan investasi pembangunan kantor- kantor sebetulnya akan lebih tinggi daripada tempat penghuni yang sudah ada. 5. Tingkat Struktur Bagian ketiga yang membutuhkan perhatian adalah tingkat struktur yang ada didalam dinamika tersebut. Setiap dinamika ekonomi kota berjalan di dalam dua tingkat, yaitu tingkat lokal dan tingkat global. Dinamika masing-masing serta bagaimana keterkaitan antaranya perlu dipahami. Karena dalam menjalankan proses pembangunan kota dibutuhkan sumber-sumber (resources), baik dari segi bahan mentah, teknik maupun energi, maka para perancang kota juga perlu mengetahui sistem produksi bangunan yang ada di dalam kota dan bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungannya. 6. Tingkat Lokal Di dalam kota modern selain terdapat tingkat lokal juga terdapat tingkat struktur yang bersifat global. Di dalam pembanguan kota tingkat global sering diutamakan dan dianggap bahwa tingkat global lebih ekonomis daripada tingkat lokal. Namun jika semua aspek diperhatikan, anggapan tersebut tidaklah benar. Zaman modern memperkenalkan tiga sistem baru yang semuanya bersifat global, yaitu : (1) Teknologi Sistem produksi baru (2) Transportasi (3) Informasi Sistem disiribusi baru Sistem komunikasi baru Ketiga sistem ini tidak lagi berkaitan dengan sebuah konteks tertentu, karena secara bermacam dapat dijalankan dimana saja dan kemana saja. Namun, kelompok sistem tersebut dianggap ekonomis karena dilangsungkan didalam skala besar dan luas, dimana banyak kriteria tidak dipertimbangkan lagi karena dinamikanya terlalu kompleks dan tidak akan terwujud secara langsung. Misalnya, didalam sistem komunikasi global dilakukan transfer teknologi secara langsung yang mungkin kurang bermanfaat pada beberapa daerah, sehingga teknologi lokal yang memakai bahan lokal akan dianggap kurang cocok karena dianggap kuno. Atau didalam sistem produksi global dijalaankan suatu proses pembuatan didalam jumlah besar yang mungkin akan merusak ekonomi di beberapa daerah yang lain. Contoh lain lagi, di dalam sistem distribusi global dijalankan sebuah sistem yang mampu mendatangkan produk dari jauh hingga lebih murah daripada jika diproduksi setempat. Pembangunan kota secara ekonomi hanya akan dihasilkan pada saat pembangunan tersebut dilakukan secara ekologis. Gambar berikut menunjukan dilemanya. Sistem pembangunan kota modem yang dianggap “tidak terbatas” sudah terbukti gagal, walaupun secara umum masih diterapkan dengan pengaruhnya yang berdampak negatif juga dari segi ekonomi. Masalah perkotaan modern makin lama makin dibayar mahal. Gambar 9. Keterbatasan Sumber Alam/Ekonomi Sudah tiba saatnya untuk menerapkan pembangunan kota secara lebih efektif dan ekonomis dengan memperhatikan sumber serta ekosistemnya. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan penyesuaian sistem global sesuai kriteria jelas yang disamakan dengan tingkat lokal secara terpadu. Itulah tantangan dalam menghubungkan dinamika ekonomi kota dengan ekologi kota. D. Aspek Teknologi dan Dampaknya di Perkotaan Dua faktor yang besar pengaruhnya atas situasi dan perkembangan masyarakat adalah pertambahan Penduduk dan kemajuan teknologi. Perkembangan adalah suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat untuk selalu berubah. Proses ini tak mengandung hukum-hukumnya yang ketat, karena itu perubahan tak mudah diramalkan. Perubahan sosial selain tergantung dari perkembangan dari masa lampau juga di dorong oleh hasrat manusia yang mengejar keinginannya untuk masa depan terdekat. Perubahan terikat itu didorong oleh terjalinnya cita-cita manusia dalam situasi sosial tertentu dengan sarana dan kemungkinan yang tesedia. Makin besar pertumbuhan penduduk, maka menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat. Dalam rangka urbanisasi ini nampak di perdesaan yang letaknya mengelilingi kota-kota. Disitu kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran. Pertumbuhan penduduk mula-mula adalah akibat dari sisa kelahiran, apalagi jika angka kematian terus menurun karena meningkatnya kesehatan penduduk. Kemudian di kota-kota nampak gejala menurunnya angka kelahiran. Ini merupakan akibat dari perdagangan hidup yang rasional serta hasrat manusia ingin hidup mewah. Demikiaan pula hampir seluruh daerah perkotaan menarik kontribusi penduduk relatif tinggi. Akibatnya wilayah ini membutuhkan areal tumbuhan yang merupakan tekanan bagi kota untuk memperluas wilayah bagi kota untuk memperluas wilayah bagi keperluan perumahan serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Kepadatan penduduk perkotaan setiap tahunnya terus meningkat. DKI Jakarta, kota yang terpadat di Indonesia mempunyai kepadatan lebih dari 16 ribu jiwa/km², Yogyakarta, Medan, Palembang, dan Ujung Pandang mempunyai kepadatan antara 6 ribu sampai 10 ribu jiwa/km². Di kota-kota besar fasiltas pendukung umumnya tidak dapat segera dibangun sesuai dengan kebutuhannya, sehingga hal ini menyebabkan penurunan kualitas hidup pada hampir sebagian besar penduduk kota. Fasilitas pokok seperti air minum bersih dan sanitasi lingkungan umumnya kurang memadai. Pengaruh pembangunan prasarana modern dan ekonomi telah memacu pertumbuhan permukiman, merubahnya kota atau mengindikasi tumbuhnya permukiman baru. Pada tahun 1987 sekitar 26% penduduk Indonesia hidup dipermukiman perkotaan. Pusat pemukiman yang ada berjumlah 329 buah dimana lima kota besar berpenghuni sekitar 40% dari populasi urban. Pertumbuhan pemukiman baru di luar Pulau Jawa pada umumnya disebabkan karena adanya eksploitasi sumberdaya alam (minyak dan gas bumi, mineral dan hasil bumi hutan) serta transmigrasi. Makin padatnya penduduk kota, makin meningkatkan pula titik-titik pertemuan manusia dan kesalingtergantungannya. Begitu pula bertambahnya titik-titik sumber salah satu paham dan pertentangan. Bersama ini terjadi pula pengurangan kebebasan individu. Persaingan antara manusia makin tajam dan pembagian kerja makin jelas. Akhirnya muncul penduduk massal dan ini mendorong terciptanya aneka oraganisasi kolektif dari terjaminnya kebutuhan hidup serta pembelaan kepentingan. Sarana teknologi yang dimiliki oleh manusia ikut menentukan struktur hubungan antar manusia. Di suatu pabrik dengan masa buruhnya yang menyajikan produksi untuk pasar, hubungan buruh dengan majikannya, atau buruh dengan buruh, lain sekali dari suatu pertukangan kecil yang bekerja tanpa mesin. Tata kerja manusia kota selain dilayani oleh kemajuan teknologi; juga diatur bahkan diberikan petunjuk oleh jaringan transportasi dan komunikasi yang serba mekanis. Industrialisasi mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan materil. Perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat yang diciptakan oleh kemajuan teknologi dengan mekanisasinya ada lima : a. Masyarakat dijadikan impersonal b. Masyarakat diberikan corak masal c. Masyarakat dilengkapi dengan tenaga bersuasanakan kekuatan yang ampuh d. Masyarakat disiksa dengan rasa kurang tenang e. Struktur masyarakat menjadi makin rumit. Masyarakat kota dengan kemajuan teknologi dan keampuhan ilmu pengetahuan sebagai latar belakang, dilanda oleh sekularisasi. Sekularisasi merupakan suatu proses dimana bidang-bidang hidup dan berfikir tercabut dari pengawasan agama dan filsafat (Daljoeni,1997:20). Istilah “secularizer” pertama kali diperkenalkan oleh Longville pada tahun 1648 dalam perundingan damai di Wetfalen. Dengan istilah tersebut hendak dilukiskan penduniawian wilayah-wilayah milik gereja untuk digabungkan kedalam kerajaan Bradenbarg. Sebelum saat itu kata secularis sudah dipakai berabad-abad lamanya dalam arti membedakan apa yang sifatnya duniawi dari yang rokhani (agama, gerejawi) kemudian diartikan pula ketergantungan dari yang rokhani itu. Adapun pertimbangan selanjutnya adalah terlepasnya segala hal dari yang becirakan rokhani. Secara azasi sekularisasi terjadi dari dua transformasi pemikiran manusia-manusia yang saling berhubungan. Pertama, desakralisasi dalam hidup orang dan benda, disitu ketertiban emosional yang mempunyai reaksi religious terhadap apa yang suci dibuang. Keduanya, rasionalisasi pembuangan keterlibatan emosional dalam berpikir tentang dunia. Ada lima kegiatan manusia yang besar pengaruhnya atas pembentukan pemikiran sekuler, yaitu : kerja, perang, pertukaran ekonomi, pemerintahan dan ilmu pengetahuan. Ditahun 80-an pembangunan ekonomi Indonesia memulai memasuki era industrilisasi dengan pengusaan teknologi dan mutu sumber daya manusia sebagai sumber pengerak pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini, teknologi dan sumberdaya manusia dianggap sebagai unggulan. Kedua hal ini, teknologi dan sumberdaya manusia dianggap sebagai keunggulan kompetatif yang harus dimiliki Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari negara maju. Untuk itu, salah satu tujuan jangka panjang pada masa ini adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mempunyai peranan yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya saja dalam mendorong pertumbuhan kebijakan pembangunan teknologi perlu dipertimbangkan banyak ahli, antara lain sumberdaya yang kita miliki, masalah-masalah yang dihadapi dan tujuan pembangunan itu sendiri. Sejarah proses industrisasi dan kemajuan teknologi yang dialami negara maju dapat dibagi dalam beberapa tahap. Tahap awal industrilisasi Ditandai dengan relatif rendahnya tingkat teknologi dan banyaknya pabrikpabrik yang menggunakan tenaga kerja tidak terlatih/ terdidik (unskilled technology) oleh perpindahan tenaga kerja dari sector tradisional ke modern. Tahap selanjutnya pada level teknologi yang lebih ringan, pabrikpabrik menggunakan mesin-mesin yang memerlukan tenaga kerja yang terampil dan terlatih (skilled technology). Kemajuan teknologi disektor industri ditandai dengan makin intens fungsi penggunaan modal relatif terhadap tenaga kerja. Tahap ini ditandai pula dengan kemajuan teknologi yang berorentasi pada sumber daya alam (natural resources technology). Semakin canggih barang modal yang digunakan dalam proses produksi semakin tinggi pula kualitas sumberdaya manusia. Tahap berikutnya ditandai dengan pengurangan tenaga kerja yang lebih sedikit dengan tingkat keahlian yang tinggi (human resource technology). Tahap yang terakhir merupakan tahap teknologi tinggi (high technology). Kemajuan teknologi terdapat dimana-mana. Dalam proses produksi kemajuan teknologi dapat berupa pembaruan organisasi (manajemen), perkembangan teknik produksi yang makin efisien maupun peningkatan kualitas dari input. Peningkatan kualitas input dapat berupa mesin-mesin yang lebih canggih, input antara yang mutunya lebih baik, energi yang penggunaannya lebih efisien (ataupun timbulnya altematif sumber energi baru), dan tenaga kerja yang lebih terampil dan ahli. Secara simultan, dalam proses produksi kemajuan teknologi tersebut dipengaruhi oleh berbagai bentuk inovasi bukan hanya melalui semua faktor produksi tradisional tetapi juga mencangkup manajemen dan teknik produksi itu sendiri. E. Budaya Kota Salah satu ciri khas kota adalah jumlah dan kepadatan penduduknya yang tinggi. Gejala ledakan penduduk kota di dunia mulai tampak pada abad ke 18-19 saat revolusi industri di Eropa dimulai. Dengan bangkitnya industri, kotamenjadi tempat untuk ikut merasakan hasil industriaalisasi di kota. Sementara itu jumlah angka kematian alami dapat ditekan karena kemajuan dunia medis. Akibatnya penduduk kota bertambah, baik secara alami maupun migrasi. Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari berbagai lapisan tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Mayoritas penduduknya hidup beragam usaha yang bersifat non agraris. Sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota yaitu : 1. Sikap kehidupan Sikap hidupnya cenderung kepada egoisme / individualis, yaitu masingmasing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, hal mana menggambarkan corak hubungan yang terbatas, dimana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi. Sikap hidup masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih tinggi daripada masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak biaya hidup sebagai alat pemuas kebutuhan yang tiada terbatas sehingga menyebabkan orang berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan pribadi/keluarganya. Akibatnya timbulah sikap pembatasan diri yang akhirnya timbul di dalam pergaulan masyarakat dan terpupuklah faham mementingkan diri sendiri yang akhirnya timbul sikap individualisme. Sikap hidup yang demikian dari anggota masyarakat ini mewujudkan hubungan didalam pergaulan yang hanya berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi dimana segala sesuatunya terjalin hanya berdasarkan adanya pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Masing-masing berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuannya. Segala sesuatu yang akan dilakukan dijalankan saja tanpa mempertimbangkan masyarakat sekitarnya sepanjang sehat menurut rasio dan selama tidak melanggar hukum. 2. Tingkah Laku. Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. Karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima hal-hal yang baru atau membuang sesuatu yang dianggap lama/kuno. Juga lebih lekas mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaankebiasaan baru. Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat memberikan sesuatu perasaan harga diri yang lebih tinggi jauh berbeda dengan seni budaya dalam masyarakat desa yang bersifat statis. Derajat kehidupan masyarakat kota terdiri dari bermacam-macam tingkatan dari yang tertinggi sampai ke yang terendah sesuai dengan warna kehidupan kepribadian anggota-anggotanya. Untuk mencapai usaha ke arah pemenuhan materi dibutuhkan adanya daya upaya yang membuat rasio atau akal pikiran yang mantap. Didalam masyarakat kota mengingat banyaknya fasilitas-fasilitas yang tersedia, memungkinkan anggota masyarakat kota meningkatkan pengetahuan mereka dalam berbagai bidang. Sarana-sarana yang ada ini sangat besar faedahnya bagi lingkungan masyarakat kota sendiri. Hal ini memungkinkan atau membawa warna kota kearah peningkatan kecerdasan yang lebih tinggi sudah barang tentu bagi orang yang lebih tinggi taraf intelegensinya dalam pandangan hidupnya yang lebih luas, yang mana membuat semakin mampu menggunakan daya ciptanya. Dengan kata lain menjadi manusia yang kreatif, rasional, tidak gampang dipengaruhi oleh pihak lain. Segala sesuatunya dipecahkan secara rasional dengan melihat kenyataan yang ada berdasarkan pertimbangan pemikiran akal sehat dan ilmiah. Pandangan hidup yang luas ini membuat orang tidak fanatik, bersedia menerima pandangan pihak lain maupun ide-ide baru sepanjang masih dapat diterima oleh rasio. Demikian pula sebaliknya tidak segan membuang kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam segala tindakannya selalu didasarkan kepada pikiran yang sehat pandangan bebas tidak terikat pada adat kebiasaan yang mengikat. Pada pikirannya lebih matang dan kreatif karena banyaknya pengalaman yang didapat dan segala peristiwa yang timbul di sekitarnya. Kemajuan teknologi dan budaya masa kini telah mengantarkan manusia/masyarakat kota bertaraf hidup lebih modem. Orang semakin menyadari bahwa rasio manusia dapat memecahkan persoalan-persoalan yang selama ini masih merupakan tanda tanya. Hal ini menjadikan anggota masyarakat kota lebih optimis yang akhirnya menyebabkan mereka lebih dinamis dalam tingkah laku, karena dipaksa oleh keadaan untuk berusaha keras supaya tidak ketinggalan zaman. Sebagai akibat dari konsekuensi kemajuan peradaban kota didorong pula oleh sikap untuk meniru dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat sekitarnya, maka terciptalah sesuatu masyarkat yang bercorak radikal dinamis. 3. Perwatakan Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidupnya yang epgoisme dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi yang berdampak pada tindak amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggung jawab sosial. Pandangan hidupnya menjurus pada materialistis, dan tingkah lakunya menjurus pada mementingkan diri pribadi, yang mengakibatkan mereka untuk mengabaikan factor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakat sekitamya. Kesemuanya ini menyebabkan orang-orang kota mengutamakan dengan segala usaha untuk mengumpulkan harta benda guna memperkaya diri sendiri. Pada mulanya hal ini disebabkan oleh rasa kekhawatiran kelangsungan hidup pribadi dan keluarganya untuk masa-masa mendatang karena sulitnya mencari nafkah di kota. Disamping kondisi masyarakat kota seperti tersebut di atas maka masalah urbanisasi tersebut seringkali diikuti oleh masalah sosio - cultural serta masalah-masalah perkotaan lainnya. Para migran yang berasal dari daerah dan tinggal di kota seringkali mengalami berbagai macam perasaan dan perilaku tertentu pada mula pertamanya, misalnya gejala cultural shock , yaitu jiwanya terguncang antara dirinya dengan masyarakat yang baru dikenal karena perbedaan kultur antara dirinya dengan masyarakat yang baru dikenal. Gejala ini dapat ditemui ketika di kota orang dari daerah menyeberang jalan raya dengan perasaan cemas, ketakutan, bahkan mengalami tekanan (stress ) dan menyeberang dengan cara maju dan mundur. Gejala serupa nampak pula ketika mereka menggunakan peralatan modem dan cara mengenal situasi kota. Sementara orang-orang kota adakalanya tertutup untuk memberikan petunjuk bagi mereka. Hal ini menambah perasaan rendah diri bagi orang dari daerah. Apabila penyesuaian budaya kota ini sulit dilakukan, mereka mengalami apa yang disebut cultural alienation yaitu merasa asing dengan kebiasaan (kebudayaan) setempat. Di kota-kota Negara berkembang termasuk Indonsesia biasa terjadi cultural lag yaitu terdapat perbedaan tingkat kemajuan diantara unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki. Biasanya teknologi berkembang cepat, tetapi masyarakat yang baru datang itu belum siap menerima keberadaan teknologi itu secara benar dan proporsional. Akibatnya kebudayaan kota khususnya dalam hal penggunaan Sarana dan Prasarana kota tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya meludah di dalam bus umum, merokok di ruangan ber AC dan tempat umum, menjemur pakaian di pagar rumah dan taman, penataan ruang yang tidak estetis, menyebrang jalan tidak melalui jembatan penyebrangan yang telah disediakan, membangun tempat berjualan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan memanfaatkan halte bis sebagai tempat untuk berjualan, membuang sampah tidak pada tempatnya (seperti disungai, got/selokan, dari dalam mobil ke jalan raya), sopir-sopir angkutan umum yang menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat yang tidak semestinya. Akibat perkembangan teknologi dan sosio kultural masyarakat tidak seimbang, di kota sering terjadi perubahan nilai pada kelompok orang tertentu yang memiliki nilai yang tidak jelas yang akan menyebabkan mereka menunjukkan perilaku diluar batas normal sehingga perilakunya tidak memiliki nilai yang mendukung bagi kehidupan kota besar (urban) yang beradab. Dampaknya adalah munculnya tindakan kekerasan (fisik maupun psikologis) dan perilaku “semau gue”. Misalnya berkendaraan dan menyeberang jalan dengan cara melawan arus lalu lintas, perusakan pagar pemisah jalan, perusakan dan penyalahgunaan fasilitas umum. Di kota banyak ditemui ragam peran dan perubahan peran. Perubahan peran, dari peran yang lama ke peran yang baru disebut mobilitas sosial. Gejala mobilitas sosial pada urbanisasi ada dua macam yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal terjadi apabila berlangsung perubahan stasus sosial ekonomi dari tingkat status yang rendah ke tingkat status yang tinggi, atau sebaliknya. Perubahan status ini dapat secara geografis, misalnya para urbanis yang berpindah dari daerah yang sederhana ke daerah yang lebih kompleks, dan sebaliknya; atau dapat terjadi dari seseorang yang memiliki jabatan (peran) yang lebih rendah ke jabatan (peran) yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan mobilitas horizontal terjagi ketika terdapat perpindahan penduduk ke daerah yang tingkatannya sama dengan daerah asalnya. Perubahan peran apabila dilakukan secara tidak proporsional menimbulkan gejala overacting (perilaku yang berlebihan). Mereka mencoba meninggalkan peran yang lama, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan peran yang baru. Mereka mengalami kebingungan dalam memilih orientasi nilai/norma (disorientasi norma). Akibatnya mereka akan mudah dipengaruhi oleh orang lain, bahkan disalahgunakan oleh orang lain. Apabila mereka menyandang jabatan maka kebijakannya akan berpihak kepada segelintir orang dan mengabaikan kepentingan umum. Demikian pula dalam memberikan kebijakan tata ruang pada sebuah kota, membangun prasarana dan sarana fisik yang tidak memiliki manfaat yang tinggi bagi masyarakat, pelanggaran terhadap rencana tata kota, bahkan demi kepentingan pribadi seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akibatnya kota akan kehilangan nilai-nilai. Biasanya unsur lingkungan akan menjadi korban dan wajah kota menjadi berantakan. Pada masyarakat yang kehilangan orientasi nilai dapat menyebabkan mereka mudah tergelincir dalam kegiatan yang bersifat negative, seperti perilaku kriminal, minum minuman keras beralkohol dan melakukan tindakan aktivitas pelacuran. Oleh karena itu, daerah pinggiran kota dan pusat kota tempat kaum proletar bisa bermukim sering terjadi peristiwa orang yang mabuk dengan minuman keras yang seringkali diikuti dengan tindak kriminalitas. 4. Gaya Hidup Kota dan Kepribadian Urbanisasi menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. Di wilayah perkotaan, disamping pentingnya fungsi ekonomi, juga cukup berarti fungsi sosial budaya yang bertalian dengan sekularisasi. Bagaimanakah bentuk kebudayaan kota ? Intinya adalah penghalusan perilaku manusia atau kesopan-santunan. Sama halnya bahwa diferensiasi individu itu merupakan ekspresi sosial di dalam arena perekonomian, demikian juga penghalusan tingkah laku merupakan syarat mutlak bagi penduduk yang padat di dalam ruang serta terbatas tanpa melahirkan disiplin kesangsian. Kesopanan tadi mencakup segala etiket manusia dengan aneka tindakan toleransi terhadap sesama, menahan segala nafsu pribadi. Semuanya itu demi terselenggaranya koeksistensi penuh perdamaian di dalam berharap dapat berhasil lestari. Kata “civilization”, “civility” berakar pada “city”, sehingga peradaban selalu dihubungkan dengan hidup kekotaan. Sebaliknya ada kenyataan bahwa orang kota ditantang oleh cara-cara berpikir dan perilaku yang tidak dibungkus oleh kesopanan; mereka mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap apa-apa yang baru (novelty). Ini berlatar belakang pada rasa tak aman dalam bersaing, suatu hal yang tidak dapat diterangkan oleh diferensiasi dan spesialisasi. Maka terciptalah rasa ketidak-tetapan (impermanence) dan selera serba coba-coba (tentativeness). Dua arus pengaruh ini menimbulkan gejala yang disebut mode (fashion of style) yang nampak jelas pada pakaian, mebeler, seni, pendidikan, hiburan, juga pada aspek keagamaan dan pemerintahan. Dalam mode ada rangsangan untuk meniru, mencipta dan menemukan yang baru. Itu merupakan kemampuan dari individu untuk mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa dirintangi oleh tradisi, kecurigaan dan perlawanan dari sekitarnya. Memang kota memberi kebebasan kepada individu untuk “chance of expression”. Sehubungan ini individualisme berjalan sejajar dengan trend dari urbanisasi. Perlu dijelaskan bahwa urban culture itu sekaligus juga money culture, dimana segalanya dapat dibeli dengan uang. Masyarakatnya adalah masyarakat uang dan semua barang serta jasa dinilai dengan uang pula. Hidup di kota memiliki nilai keuangan. Louis Wirth dalam membahas urbanism sebagai gaya hidup kota menjelaskan terdapatnya tiga kondisi yang menciptakan gaya hidup tersebut : (a) jumlah manusianya, (b) kepadatannya, dan (c) heterogenitasnya. Semakin banyak jumlah manusianya di kota makin banyak bermunculan kegiatan dan lembaga baru. Kepadatan penduduk mendorong terjadinya seleksi. Sementara itu muncul relasi yang segmental; orang mengenal sesamanya tak secara utuh akan tetapi berdasarkan perhatian tertentu saja. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi yakni lunturnya kepribadian; ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju kepada impersonalitas dari masyarakat modern. Selain Wirth, sosiolog Jerman George Simmel sudah terlebih dahulu mengupas gejala impersonalitas itu dan melukiskan orang kota sebagai yang (a) cenderung mencari privacy, (b) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan yang khusus saja, dan (c) menilai segalanya dengan standar uang. Selanjutnya ROE memandang gaya hidup kota modern itu memiliki tiga nivo kehidupan : (1) Nivo kelompok primer yang akrab; ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga. (2) Nivo kelugasan kelompok sekunder; ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja. (3) Nivo kelompok berdasarkan peranan; ini bersifat anonim dan interaksi di situ terdapat misalnya antara pribumi dengan orang asing, si kaya dan si miskin. » Latihan: 1. Jelaskan hierarki kota berdasarkan jumlah penduduknya ! 2. Jelaskan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat yang diciptakan oleh kemajuan teknologi ! 3. Jelaskan tiga faktor pokok dalam dinamika ekonomi kota ! 4. Jelaskan bentuk-bentuk mobilitas penduduk yang dikemukakan oleh Ida Bagus Mantra ! 5. Jelaskan sifat-sifat yang menonjol pada masyarakat kota ! » Ringkasan: Hierarki kota atas dasar jumlah penduduknya menekankan pada adanya hubungan antara satu kota dengan kota lainnya dalam sistem kota. Klasifikasi tersebut banyak dianut oleh para perencana kota untuk kegiatan analisis wilayah. Klasifikasi tersebut ada dua macam cara yaitu menggunakan interval tertentu seperti : Hamlet, Village, Town, Small City, Medium Size City, Large City, Metropolis, Megalopolis, dan Eumenopolis. Dan tanpa menggunakan interval tertentu yang digolongkan kedalam jumlah penduduk terbesar sampai pada jumlah penduduk yang terkecil. Perkembangan jumlah penduduk tersebut dalam suatu kota dipicu oleh adanya mobilitas manusia untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan hidupnya yaiu motivasi untuk kebutuhan : (1) dagang atau ekonomi, (2) kepntingan politik: (3) keamanan, (4) kesehatan, (5) permukiman, (6) kepentigan agama, (7) kepentingan pendidikan, (8) minat kebudayaan, (9) hubungan keluarga: dan (10) kebutuhan rekreasi. Masyarakat kota mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa, karena aktivitas ekonomi di kota jauh lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas ekonomi di desa. John Turner mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal dan menyebutkan ada empat macam dimensi yaitu dimensi lokasi, dimensi perumahan, dimensi siklus kehidupan, dan dimensi penghasilan. Bentuk mobilitas penduduk yang dikemukakan oleh Mantra adalah : (1) Commuting ( penglaju), (2) Circulation ( sirkulasi), dan (3) Migration ( Migrasi). Ada tiga strata yang berkaitan dengan lama bertempat tinggal di daerah perkotaan, yaiu : (a) Bridge Headers (golongan yang baru dating di kota), (b) Consolidators (golongan yang sudah agak lama tiggal di kota), dan (c) Status Seekers (golongan yang sudah lama tinggal di daerah kota ). Setelah mereka menetap untuk tinggal dan hidup di kota mereka sepenuhnya tergantung pada dinamika ekonomi kota yang menyangkut status tanah, hierarki nilai, dan tingkat struktur. Status tanah menunjukkan fungsi yang berbeda yaitu antara pusat kota dan pinggiran kota. Hierarki nilai menunjukkan nilai pakai dan nilai tukar. Sedangkan tingkat struktur menunjukkan tingkat local dan tingkat global. Zaman modem memperkenalkan tiga sistem baru yang semuanya bersifat global yaitu : (1) teknologi yang mengarah pada sistem produksi baru, (2) transportasi yang mengarah pada system distribusi baru, dan (3) Informasi yang mengarah kepada sistem komunikasi baru. Perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat yang diciptakan oleh kemajuan eknologi adalah : (a) masyarakat dijadikan impersonal, (b) masyarakat diberikan corak moral, (c) masyarakat dilengkapi dengan tenaga bersuasanakan kekuatan yang ampuh, (d) masyarakat disiksa dengan rasa kurang tenang, dan (e) struktur masyarakat menjadi makin rumit. Masyarakat kota dengan kemajuan teknologi dan keampuhan ilmu pengetahuan sebagai latar belakang dilanda sekularisasi. Hal tersebut berdampak pada sikap hidup, sifat dan watak yang cenderung pada individualistis dan materialistis. Pada kenyataan sering terjadi Cultural Lag yaitu terdapat perbedaan tingkat kemajuan diantara unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki. Biasanya teknologi berkembang cepat, tetapi masyarakat kota belum siap menerima keberadaan teknologi itu secara benar dan proporsional. Adapun sifat-sifat yang menonjol pada masyarakat kota adalah sikap hidup yang cenderung egois / individualistis, dengan tingkah laku yang bersifat kreatif, radikal, dan dinamis. Sedangkan dilihat dari perwatakannya mereka cenderung pada sifat materialistik. Kesemuanya ini menyebabkan orang-orang kota mengutamakan dengan segala usaha untuk mengumpulkan harta benda guna memperkaya diri sendiri. F. Struktur Keruangan Kota Wilayah mengandung pengertian geografis beserta segenap unsur terkait padanya termasuk manusia dengan segala aspek kehidupannya., dan sumberdaya alam dengan lokasi, luas dan struktur menurut batasan ruang lingkupnya peninjauan tertentu yang meliputi wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan. Wilayah pada dasarnya merupakan suatu unit geografi dengan dengan batas-batar tertentu dimana bagian-bagiannya saling bergantungan satu sama lain secara fungsional. Dalam konteks ini wilayah dibagi menjadi pusat (inti) dan daerah belakang, dan masing-masing bagian mempunyai fungsi yang spesifik, yaitu : Pusat (inti) mempunyai fungsi sebagai : a Pemusatan pemukiman penduduk b. Pemusatan kegitan industri c. Tempat pemasaran bahan mentah d. Tempat pumusatan sarana-sarana pelayanan. Sedangkan daerah terbelakang mempunyai fungsi sebagai : a Prosesing, produksi bahan mentah b. Tempat pemasaran produk-produk industri. Ruang mengandung pengertian batasan fisik wilayah dalam dimensi spasial, meliputi permukaan, dibawah dan diatas permukan bumi yang diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Adapun tata ruang ialah gambaran struktur penggunaan ruang dari suatu wilayah yang mengandung kriteria pilihan sasaran dan kriteria balasannya bagi setiap usaha pengembangan yang menyangkut pembinaan dengan dimensi spatial. Dalam upaya mewujudkan gagasan tentang pembangunan kota yang berkelanjutan, diperlukan peran serta dari pengelolaan lingkungan hidup. Tata ruang Kota dan lingkungan hidup mengandung arti yang sangat luas tetapi sekaligus punya konotasi sempit, terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata: Padahal sudah semenjak beberapa tahun yang silam perencanaan kota dan daerah yang menekankan arti fisik semata, serba deterministik dan menomorduakan manusia dengan segenap keunikan perilakunya, telah banyak mendapat kecaman. Penataan ruang kota sungguh rumit dan pelik karena mau tidak mau menyangkut benturan antara pendekatan-prendekatan teknokratik, komersial, humanis. Pernyataan yang muncul adalah : untuk melayani siapa sebetulnya tata ruang kota dan lingkungan hidup itu, dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk pengelolaannya Sebuah kota pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, diistilahkan oleh Tom Turner (1961) dengan “culuiaral landscape”, dengan mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota. Setiap kota yang merupakan meltingpot selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Tata ruang kota terentang antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal memberagam. Suatu bentuk yang gampang pemerian deskripsinya, kota-kota di Indonesia akan menjadi kota yang seragam, tidak memiliki jati diri, kepribadian, kekhususan atau karakter yang spesifik. Kota yang berkelanjutan ibarat mosaik yang penuh keberagaman. 1. Sistem Ruang Kota Pada dasarnya fungsi kota dibedakan dalam dua fungsi yaitu fungsi primer ialah fungsi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya kota dilihat dari konsiderasi (dalam fungsinya sebagai simpul jasa distribusi) dan fungsi sekunder ialah fungsi kota dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan, manusia yang terhimpun dalam kota tersebut. Ciri-ciri fungsi kota seperti itu pada prinsipnya akan tercermin pula pada sistem tata ruang kota. Pada dasarnya sistem ruang kota dituntut untuk membentuk seperti yang dimaksud, yaitu dalam bentuk kawasan primer dan kawasan sekunder. Kawasan primer pada prinsipnya akan meliputi fasilitas jasa angkutan seperi terminal-terminal angkutan dan perdagangan, perbankan, dsb. Kawasan sekunder akan meliputi fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia-manusia yang terhimpun baik yang terlihat langsung dalam fungsi primer maupun fungsi sekunder, seperti tempat hunian, tempat untuk mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari dan tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Kawasan primer pada dasamya merupakan bagian integral dari sistem jaringan transportasi regional khususnya dan nasional pada umumnya. Sebagian bagian dari wilayah, kawasan sekunder pada dasarnya terikat pula pada jaringan transportasi dengan kawasan primer. Besar kecilnya peranan kota terhadap wilayah pengaruhnya digambarkan antara lain oleh kepadatan jasa distribusinya. 2. Klasifikasi Ruang Kota Pada prinsipnya wilayah perkotaan meliputi dua klasifikasi kawasan, yaitu kawasan primer dan kawasan sekunder. Masing-masing kawasan akan memiliki ciri-ciri tersendiri yang terikat dengan pada fungsinya tersebut. Ciri-ciri tersebut pada dasamya akan merupakan titik tolak bagi penentuan tingkat pemenuhan fungsi suatu kawasan bagi kehidupan dan perkembangan wilayah yang dilayaninya. Kawasan primer merupakan kelompok kawasan-kawasan bagian sesuai dengan peruntukannya yang terkait pada fungsinya sebagai simpul jasa distribusi dengan ciri-ciri pokoknya meliputi antara lain : a. Melayani jasa angkutan yang berjangkauan regional sekunder b. Melayani jasa perdagangan dengan jangkauan pemasaran regional. c. Melayani kebutuhan merubah berbagai komoditi melalui kegiatan industri. d. Berkaitan dengan jasa angkutan yang tergolong arteri dengan kawasan bagian sekunder Kepadatan jasa distribusi dan jangkauan merupakan kelompok kawasan bagian sesuai dengan peruntukannya yang terkait pada fungsinya sebagai tempat permukiman sekelompok masyarakat yang memungkinkan berlangsungnya fungsi primer dan fungsi-fungsi pendamping lain. Ciri-ciri pokoknya meliputi antara lain : a. Melayani penghunian masyarakat yang terkait pada fungsi primer dan kegiatan-kegiatan ikutan yang lain. b. Melayani kebutuhan- kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat yang terkait pada fungsi primer dan kegiatan-kegiatan pendamping yang lain. c. Tergantung secara ekonomis pada kawasan primer sebagai tempat kegiatan usaha yang utama. Tingkat fungsi pemenuhan fungsi ekonomi kota akan ditentukan oleh kemudahan warganya untuk memenuhi kebutuhannya yaitu dalam mencapai tempat untuk melakukan kegiatan usaha didalam mendapatkan segenap kebutuhan hidupnya. Meningkatnya perkembangan wilayah akan membawa meningkatnya kepadatan jasa distribusi yang berakibat akan meningkatnya kepadatan jumlah penduduk. Berlakunya pola efisiensi dalam mempertahankan tingkat kemudahan tertentu akan menuntut pembentukan kelompok-kelompok yang merupakan satuan-satuan pemukiman yang secara keseluruhan membentuk struktur kawasan-kawasan sekunder. Untuk mengenal struktur kawasan sekunder dalam menampung kehidupan warga kota, perlu diperinci berbagai kegiatan warga kota terutama yang menyangkut segi ruang. Dalam hubungan ini warga kota akan berkelompok membentuk satuan-satuan permukiman yang terjadi dari berbagai satuan keluarga, dengan aktivitas masing-masing anggota yang sangat berbeda-beda. Aktivitas pokok dapat dibedakan menurut fungsinya, sebagai berikut : (1) Anggota keluarga yang berkativitas minim yaitu yang berusia lanjut (2) Anggota keluarga yang bertindak mengurus rumah tangga (ibu rumah tangga) (3) Anggota keluarga yang bekerja diluar. (4) Anggota keluarga yang belajar di perguruan tinggi (5) Anggota keluarga yang belajar pada pendidikan Menengah Atas. (6) Anggota kelauarga yang belajar pada pendidikan dasar. Dalam kehidupan sehari-hari kecuali aktivitas pokok tersebut, diperlukan pula berbagai aktivitas penunjang yang tergolong pada kegiatan sosial/politik. Bertolak dari pembagian aktivitas tersebut pada prinsipnya dapat ditentukan besamya satuan pemukiman yang menjamin kemudahan dalam memenuhi tuntuan melakukan aktivitas tersebut. Beberapa satuan permukiman akan membentuk satuan kawasan permukiman yang lengkap. Pengertian lengkap disini ialah dalam arti dapat memenuhi segenap kebutuhan sekunder yaitu yang tidak lansung menyangkut fungsi primer. Satuan kawasan permukiman akan terkait pada kawasan primer sebagai lokasi kerja. permukiman akan terkait pada kawasan primer sebagai lokasi kerja. Pola dan komposisi dari satuan permukiman dan satuan kawasan permukiman akan terkait pada aspek kemudahan dan terutama dipengaruhi oleh : (a.) Komposisi dan tingkat pendapatan : (b.)Komposisi rata-rata satuan keluarga (c.) Jumlah dan tingkat kesempatan kerja (d.) Teknologi informasi (e.) Kepadatan jasa distribusi Pada kawasan primer (f) Kebijaksanaan-kebijaksnaan yang berlaku Dalam pada itu prinsip efisiensi akan mendorong terbentuknya satu kawasan yang bersifat utama yaitu yang memiliki kelengkapan tertinggi bagi pemenuhan kebutuhan warga kota yang bersangkutan dan beberapa satuan kawasan permukiman yang memiliki kelengkapan lebih rendah bagi pemenuhan kebutuhan warga kota. Dengan demikian dilihat dari kawasan sekunder, satuan kawasan permukiman utama memiliki tingkat kemudahan yang paling tinggi sedang satuan kawasan yang lain memiliki tingkat kemudahan yang lebih rendah. Struktur kawasan sekunder akan menunjukan satu satuan kawasan permukiman utama dan beberapa satuan kawasan permukiman tidak utama. Ciri- ciri pokok satuan kawasan permukiman utama adalah : a. Memiliki kemudahan yang tinggi bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. b. Melayani kehidupan perkotaan dengan kepadatan pelayanan dan efisiensi yang tinggi c. Terhubungnya oleh jasa transportasi arteri langsung dengan kawasankawasan primer dan satuan—satuan kawasan permukiman yang ada dalam subordinasinya. Sedangkan ciri-ciri pokok satuan kawasan permukiman tidak utama adalah : a Memiliki kemudahan yang lebih rendah bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. b. Melayani kehidupan perkotaan dengan kepadatan pelayanan efisiensi sedang atau rendah. c. Masing-masing terhubung oleh jasa angkutan yang bersifat kolektor d. Bersama-sama dengan satuan kawasan permukiman utama terhubungkan oleh jasa angkutan arteri dengan kawasan primer. 3. Unsur-Unsur Ruang Utama Kota pada dasamya meliputi dua bagian ruang yang memiliki fungsi dan ciri yang berbeda yaitu kawasan primer yang menampung segala sesuatu bagi berfungsinya kegiatan-kegaitan simpul jasa distribusi dan kawasan sekunder yang menampung permukiman manusia sebagai akibat simpul jasa distribusi dan kegiatan pendamping yang lain. Unsur-unsur ruang yang membentuk masing- masing kawasan jelas akan berbeda karena peruntukannya juga berbeda. Kawasan primer lebih ditekankan pada pelayanan simpul jasa distribusinya sedangkan kawasan sekunder lebih ditekankan pada pelayanan manusia- manusianya . Selain dari itu terdapat berbagai peruntukan ruang yang sifatnya khusus, dalam pengertian tidak mendukung secara langsung kehidupan perkotaan tersebut. Dengan demikian pada prinsipnya dalam wilayah perkotaan akan dapat terdiri dari kawasan umum (baik primer maupun sekunder) dan kawasan khusus. Kawasan primer pada prinsipnya akan memiliki unsur-unsur ruang yang terikat pada kepentingan simpul jasa distribusi, seperti terminal-terminal angkutan dan prasarana angkutan regionalnya, fasilitas-fasiltas perdagangan dan fasilitas transportasi antara kawasan primer dan kawasan sekunder. Selain fasilitas- fasilitas yang langsung mendukung kegiatan usaha, diperlukan pula berbagi fasilitas yang mendukung lingkungan serta yang diperlukan untuk melindungi/kelestarian lingkungan. Kawasan primer akan memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukan bagi : (a) Fasilitas simpul angkutan regional (b) Prasarana jaringan angkutan regional pusat kegiatan perdagangan regional (c) Pusat kegiatan perdagangan regional (d) Fasilitas pegudangan (e) kegiatan usaha industri (f) prasarana angkutan ke kawasan sekunder (g) prasarana dan sarana pendukung lingkungan seperti: jaringan angkutan, sanitasi, drainase, komunikasi dan jaringan penyediaan air bersih (h) keperluan perlindungan lingkungan seperti daerah hijau, daerah aliran sungai Selain Unsur-unsur tersebut pada dasarnya kawasan primer dapat pula memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukan bagi fasilitas pelayanan jasa sosial/politik yang mempunyai jangkauan regional seperti Universitas, kantor-kantor PEMDA, rumah sakit-rumah sakit (pusat. umum, khusus). Kawasan Sekunder pada prinsipnya memiliki unsur-unsur yang terkait pada keperluan penghunian dan segala pelayanan ikutannya dan akses ke kawasan primer sebagai tempat kegiatan utama kota yang bersangkutan. Dengan penjelasan unsur-unsur yang diperuntukan bagi a. Fasilitas hunian b. Fasilitas kegiatan usaha perdagangan yang bersifat lokal c. Fasilitas pelayanan jasa sosial dan politik seperti pendidikan, kesehatan, pemerintahan rekreasi, peribadatan, dan pemakaman umum. d. Prasarana angkutan e. Prasrana dan saran pendukung lingkungan seperti sanitasi, drainase, jaringan penyediaan air bersih, dan komunikasi f. Keperluan perlindungan lingkungan seperti daerah hujan , daerah aliran. 4. Bagian-Bagian Ruang Utama Dalam hubungan dengan peruntukan ruang. masing-masing ruang pada dasamya akan terdin dari tiga bagian menurut fungsinya yang terkait pada tertib penggunaanya. Tata guna tanah disini ditunjukan pertama dalam hubungannya dengan sifat-sifat ruang tertentu yang membatasi penggunaanya dan kedua dalam hubungannya dengan pengawasanan dan keamanan penggunaannya. Hal pertama akan menyertai masukan yang penting dalam proses perencanaan tata ruang. Sedang hal kedua merupakan landasan yang penting bagi pengendalian dalam proses penyelenggaraan pembinaan Bagain-bagian yang dimaksud ialah (a) Ruang manfaat, meliputi luas daerah tertentu dan tinggi (baik ke atas maupun kebawah permukaan bumi, perairan) tertentu pula. Ruang ini merupakan ruang yang dimanfaatkan maupun yang akan dimafaatkan bagi pelayanan jasa dan ruang-ruang diluar ruang manfaat yang diperlukan untuk menjamin fungsi ruang manfaat sesuai dengan peruntukannya, dalam siklus pemilikan tertentu. (b) Ruang pengawasan, meliputi daerah dengan luas tertentu dan tinggi tertentu pula (baik ke atas maupun ke bawah permukaan bumi/perairan). Ruang ini merupakan ruang yang penggunaanya dibatasi dan dimensi dalam hubungannya dengan keperluan keamanan penggunaan ruang. Akibat dari perkembangan masyarakat di kota-kota maka tekanan perhatian orang kemudian bergeser kemasalah ruang. Mula-mula hal ini sekedar menyangkut masalah sosial seperti kondisi perumahan dan kepadatan penduduk. Tetapi kemudian diperluas ke konstelasi keruangan dari seluruh kehidupan masyarakat setempat. Ini semua terjadi tanpa lepasnya perhatian orang kepada kepincangan-kepincangan sosial Semakin kehidupan sosial dan budaya maju dan peranan transportasi penting, maka semakin dirasa perlunya suatu struktur keruangan yang jelas. Suatu masyarakat yang menjadi makin rumit menuntut suatu “kawasan kerungan”. Tugas dari tata kota tak lain adalah menciptakan wawasan keruangan itu artinya ” Suatu tempat untuk semuanya, dan semuanya pada tempatnya. Dengan demikian terciptalah suatu lingkungan yang diharapkan memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya dari tata kota kemudian menyangkut hal penting, yakni : terjalinnya ruang dengan kehidupan bersama makin jelas akibat-akibatnya yang nampak pada perkembangan ekonomi dan sosial suatu kota. Oleh karena itu munculah gagasan untuk perencanaan kota. Program penataan tata ruang kota disusun berdasarkan konsep pemetaan ruang yang berwawasan pembangunan, lingkungan dan manusia yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mengadung arti bahwa penyusunan rencana tata ruang kota. Karena identitas pembangunan di lokasi proyek/pembangunan yang sedang maupun yang akan dilaksanakan. Rencana tata ruang tidak hanya memberikan petunjuk dalam penerapan lokasi sebagai kegiatan alat pengendali pelaksana pembangunan perkotaan. B. Penggunaan Lahan Perkotaan 1. Jenis Penggunaan Lahan Dalam kurun waktu kurang dari satu abad di Indonesia telah terjadi petumbuhan penduduk yang sangat pesat. Makin meningkatnya jumlah penduduk, makin meningkat pula kebutuhan akan lahan yang merupakan tempat dimana manusia melakukan segala aktivitasnya. Pertumbuhan yang pesat tersebut merupakan ancaman terhadap lingkungan hidup. Berubahnya tatanan lingkungan akibat peningkatan kebutuhan lahan memang tak dapat dihindarkan. Apapun bentuk dan ukurannya, pergeseran penggunaan lahan yang tak terkendali mengikutsertakan efek sampingan, seperti hilanganya habitat alami, produktivitas lahan pertanian, terjadinya pencemaran dan erosi tanah serta punahnya beberapa spesies langka. Lingkungan permukiman kumuh, padat dan kotor banyak dijumpai disekitar pusat kota. Seperti dibantaran sungai dan wilayah sempadan rel kereta api, kesemuanya ini mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini pemerintah melaksanakan seperti program perbaikan kampung, konsolidasi lahan dan program peremajaan kota (urban renewell), yaitu antara lain dengan pembangunan rumah susun dan rumah sewa serta fasilitas kota lainnya. Perencanaan penggunaan lahan pada prinsipnya bertujuan untuk menciptakan keserasian dan kesimbangan fungsi dan intensitas penggunaan lahan dalam suatu wilayah tertentu. Perencanaan penggunaan lahan merupakan bagian dari perencanaan kota secara menyeluruh. Pada dasarnya kerangka dasar perencanaan penggunaan lahan meliputi tiga elemen utama yang saling berinteraksi, yaitu: aktivitas, manusia, lokasi. Manusia mempunyai beberapa kriteria untuk memilih lokasi dimana mereka tinggal, seperti dekat dengan tempat kerja, sekolah atau kriteria kenyamanan lingkungan. Aktivitas perdagangan atau industri juga mempunyai preferensi lokasi tertentu, seperti dekat dengan pasar, bahan baku atau jalan utama. Pola penggunaan lahan dapat diatur dengan mekanisme peruntukan (zoning) atau pengendalian penggunan lahan. Dengan berkembangnya awal perkotaan ke arah luar maka variabel lokasi menjadi sedemikian penting sehingga sewa tempat-tempat yang mempunyai aksebilitas yang tinggi akan membumbung pula. Akibatnya pada lahan-lahan perkotaan akan terjadi persaingan ketat untuk mendapatkan lokasi-lokasi seperti itu. Disini nampak bahwa penggunaan lahan yang mampu menawar paling tinggilah yang mendapat tempat yang dinginkan,. Selanjutnya terminologi kedekatan “nearness”. Pola persebaran penggunaan lahan yang efisien akan tercipta dengan sendirinya karena ada persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi-lokasi yang diinginkan dengan menawan (bidding) pada tingkatan sewa yang bermacam-macam. Penawaran tersebut diperhitungkan dengan cara menimbang kebutuhan akan sentralitas tersebut terhadap kemampuan membayar sewa yang lebih tinggi dan kenyataannya bahwa biaya-baiya transport yang meningkat dapat diadakan dengan mengeser jarak lokasi dari pusat kota Dari sinilah kemudian tercipta pola penggunaan lahan perkotaan yang tertata secara keraungan sedemikian rupa yang menunjukan derajat efisiensi fungsi-fungsi ekonomi pada kehidupan kota. Dapat dikatakan bahwa struktur suatu kota ditentukan melalui evaluasi dolar tentang pentingnya “convenience” (dalam arti luas) dan gambaran struktur keruangannya mirip apa yang telah dikemukakan oleh Bergess (Conceniric Zone Theory). Disini variabel jarak dianggap sebagai ukuran convenience diatas. Model yang dihasilkan adalah “concentric zonal model” yang terdiri dari berturut turut dari pusat kota adalah :1) retailing functions, 2) industrial and iransportation facilities:3) residental zone dan 4) agricultural zone. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 10. Model “Bid-Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota Dalam Gambar tersebut diatas ditunjukan bahwa “retailing functions” (zona 1) mempunyai lokasi pada pusat kota karena kelangsungan usaha ini membutuhkan derajat aksebilitas paling besar agar mendatangkan keuntungan meksimal. Derajat aksebilitas yang tinggi mi dimaksud untuk menarik “customers”. Semakin tinggi derajat aksebilitas, semakin tinggi pula frekuensi beli karena semakin banyak “custumer” dan dengan sendirinya semakin besar keuntungan yang diperolehnya. Inilah alasannya mengapa fungsi-fungsi “retailing” mau membayar sewa lahan yang tinggi pada zone ini. Kegiatan “retailing” ini masih dibedakan menjadi 2 macam, yaitu “High-guick retailing” yang pertama adalah kegiatan toko-toko yang menjual barang-barang yang mempunyai frekuensi lebih tinggi, perputaran yang cepat seperti misalnya toko-toko pakaian dan sejenisnya, sedangkan tipe yang kedua ditempati oleh toko- toko yang menjual barang dengan frekuensi beli rendah dan perputaran barang yang agak lama seperti perhiasan-perhiasan berkualitas tinggi (misalnya emas, intan, berlian dan sebagainya). Tipe pertama jelas akan memilih lokasi yang derajat aksebilitasnya tinggi , dibanding yang kedua dan mampu membayar sewa lahan yang lebih tinggi, dibanding dengan yang kedua dan mampu membayar sewa lahan yang lebih tinggi. Lahan pada daerah pusat kota pada umumnya diusahakan sangat intensif dan banyak bangunan bertingkat. Pada zona-zona banyak ditempati oleh zone industri dan perdagangan. Sebenarnya fungsi-fungsi ini membutuhkan lokasi sentral, namun kalah dengan fungsi-fungsi “retailing” maka penempatannya tergeser sedikit dari pusat kota. Kegiatan-kegiatan di zona ini antara lain “ware hause“(perdagangan), kantor-kantor yang kenyataannya memang tidak memerlukan sekali akseblitas paling tinggi. Pada daerah ini pun, derajat aksebilitasnya juga cukup tinggi sehingga merupakan lokasi yang optimal bagi fungsi-fungsi sejenisnya. Fungsi-fungsi seperti kantor, jasa-jasa keuangan (bank) dan jasa-jasa lain memang membutuhkan “face to face contact” dalam melaksanakan kegiatannya dan juga untuk memelihara penampilan/prestise. Disinipun terdapat dua macam jenis kegiatan, yaitu “prime office centres” yang terletak pada bagian yang lebih dekat dengan pusat kota dan “non prime office cenires” yang terletak pada bagian luarnya. Sewa untuk sait-sait yang prima sangat tinggi sehingga kamor-kantor perushaan utama/besar akan menempati lokasi lokasi seperti zone 3: ditempati oleh daerah permukiman dan menempati areal yang luas di daerah perkotaan Ada daerah ini terdapat gejala pertukaran (trade-offs) dalam artian ekonomi antara “lands cost” dengan ”density”. Pada bagian-bagian zona ini yang lebih dekat dengan pusat kota mempunyai lahan kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih jauh dari pusat kota. Hal ini dimungkinkan timbul karena kebanyakan mereka menginginkan biaya transport yang murah (derajat aksebilitas lebih tinggi). Pada bagian yang lebih jauh dari pusat kota sampai ke pinggiran kota, nilai lahanya lebih rendah (derajat aksebilitasnya rendah), mempunyai kepadatan yang lebih rendah, namun biaya transportnya mahal. Dalam upaya merencanakan penggunaan lahan kota secara ekologis dipakai tiga prinsip, yaitu : (1) Concentric Zone Theory (Burgess) Model ini menunjukan bahwa masing-masing zone mewujudkan suatu natural area khusus yang letaknya melingkari yang lain dari dalam atau dari luar. Di zona 1 (Central Bussines Distrcik) hanya tanah yang tertinggi dan disitu terpusat kegiatan perdagangan dan keuangan. Zone II (zone transition) merupakan hasil ekspansi dari zone 1. secara ekologis zone ini mewadahi proses invension dan succession belum selesai. Dalam zone 11 selalu terjadi spekluasi pembelian tanah karena dapat kemudian dijual lagi untuk kepentingan perdagangan atau industri. Di situ tersebar pula toko-toko murah dan rumah-rumah murah. Zone III (Zone Of the Workmen’s Homes) biasanya padat penduduknya, mereka termasuk buruh rendahan. Kondisi zone ini merupakan peralihan dari slum ke zone IV. Pada zone IV (Residential Zone) terdapat rumah-rumah gedung bagus bagi kaum kelas menengah. Shopping centres banyak dan bright light area menyajikan tempat hiburan dan rekreasi menank. Zone V (comuters zone) berdiam orang-orang kaya yang melaju (pekerjaanya di kota) dengan kendaraan sendiri. Ini semua suasana tahun 1920-1930 yang sekarang tentunya sudah mengalami banyak perubahan. (2) Sector Zone Theory (Homer Hoyt) Model ini merupakan pola kota yang meluas ke jurusan tertentu dan sesudahnya oleh aneka kekuatan sosial atau planning memiliki bagianbagiannya yang coraknya khusus, misalnya sektor pertokoan, industri, rumah tempat tinggal, sektor hiburan dan olah raga, sehingga semuanya memberi kesan serba menyenangkan. (3) Multiple Nuclei Theory (Harris-Ullman) Model ini menjelaskan ada bagian-bagian kota dengan fungsi tertentu yang ditetapkan dengan dasar-dasar tertentu pula. Terjadilah daerah pertokoan, tempat tinggal, pabrik, bank, dan sebagainya sesuai dengan kegiatan ekonominya. Ketiga model tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 11. Tiga Model Ekologi Kota 2. Nilai dan Harga Tanah Teori nilai lahan menjelaskan bahwa nilai lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang sangat erat. Seperti diketahui apabila masalah nilai lahan ini dikaitkan dengan pertanian misalnya, maka variasi nilai lahan ini banyak tergantung kepada kesuburan, faktor lingkungan, keadaan drainase, dan lokasi dimana lahan tersebut berada. Hal terakhir ini banyak berkaitan dengan masalah aksebilitas. Lahan-lahan yang subur pada umumnya memberikan output yang lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak subur dan akibat-akibatnya akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta harganya lebih tinggi pula. Walaupun demikian adapula nilai-nilai lahan yang tidak ditentukan oleh kesuburan seperti contoh diatas, tetapi lebih banyak ditentukan oleh lokasi. Dalam hal ini untuk lokasi tertentu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Derajat aksebilitaslah yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan ini. Semakin tinggi aksebilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang dan jasa. Derajat keterjangkauan (aksebilita) ini berkaitan dengan : “Potential shoppers” yang banyak dan kemudahan untuk datang/pergi ke/dari lokasi atau pasar. Kompetisi untuk memperoleh lokasi dengan aksebilitas tinggi sangat ketat dan lokasi ini sangat menentukan nilai lahan yang tinggi dan harga lahan yang tinggi. Nilai lahan atau “land value” adalah suatu penilaian atas lahan didasarkan pada kenampakan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Harga lahan adalah penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satuan luas pada pasarana lahan (Darin Drabkin, 1977) dalam teori nilai lahan (Hadi Sobari Yunus, 1999: 89). Nilai lahan dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran langsung dikaitkan dengan kesuburan dan faktor-faktor lingkungan tertentu untuk maksud sebagai lokasi pertanian (arti luas) dan nilai produktivitasnya secara langsung dapat diukur. Pengukuran tidak langsung dikaitkan dengan kemampuan ekonomi/produktivitasnya, dari sepi segi letaknya penemapatan fungsi-fungsi. Dengan demikian nila lahan dapat bemilai rendah bila kesuburannya rendah tetapi dapat pula menjadi tinggi apabila letaknya strategis untuk maksud-maksud ekonomi non-pertanian. Apabila dua-duanya menunjukan nilai tinggi maka sudah jelas bahwa nilainya akan tinggi pula, namun apabila salah satu diantaranya rendah maka nilai lahannya dapat rendah atau mungkin pula dapat tinggi. Dengan demikian nyatalah bahwa perbedan nilai lahan akan sangat bervariasi sekali. Oleh karena untuk studi kota, orentasi penggunaan lahannya adalah non-pertanian maka penilaian atas lahan semata-mata dilakukan secara tidak langsung yakni produktivitas lahan yang ditimbulkan oleh keberadaan lokasi. Atas dasar inilah struktur penggunaan lahan kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar lahan tersebut. Memang faktor social dan politik juga berperan besar, namun kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasi dan tidak dapat diabaikan begitu saja dalam setiap analisa penggunaan lahan di dalam dan di sekitar kota. Penggunaan lahan dikatakan telah direncanakan dengan baik apabila memenuhi kelengkapan sebagai berikut : a. Lahan itu akomodatif terhadap proyek-proyek prioritas pembangunan. Proyek pembangunan yang di prioritaskan itu adalah pembangunan yang tentunya akan mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Lahan itu digunakan sesuai dengan nilai ekonominya, lahan yang tinggi harganya jangan digunakan untuk penghasil pertanian yang bernilai rendah. c. Lahan yang digunakan dengan tidak boros. d. Lahan yang digunakan dengan selalu mengingat dan sesuai dengan sifat fisiknya. e. Lahan itu digunakan sesuai dengan hukum yang berlaku Upaya mewujudkan pembangunan perkotaan yang berwawasan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup memerlukan pertahanan yang handal. Hal ini sejalan dengan pembangunan perkotaan yang cenderung semakin luas sebagai konsekuensi dari meningkatnya kegiatan Ekonomi pertumbuhan penduduk serta sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitamya. Dengan demikian arah manajemen pertanahan harus selaras dengan pembangunan perkotaan. Penanganan pertanahan perkotaan dalam suatu sistem manajemen pertanahan memerlukan informasi pertanahan yang mutakhir, akurat dan sejalan dengan dinamika pembangunan perkotaan yang semakin tinggi. Informasi ini dikumpulkan, diolah, disimpan, dan disajikan dalam suatu Sistem Informasi Geografi (SIG ) melalui perangkat komputerisasi. Keunggulan sistem ini kecuali unsur kecepatan dalam pengolahan dan penyajian juga mempunyai efisiensi yang tinggi dalam hal mengantisipasi penyediaan ruang di perkotaan yang semakin mahal dan cenderung menjadi langka Melalui KEPPRES nomor 26 tahun 1988 tentang pembentukan Badan Pertanahan Nasional, maka pemanfaatan Sistem Informasi Geografi untuk mendukung kebijaksanaan pertanahan nasional baik perkotaan maupun perdesaan menjadi lebih intensif. Hal ini diawali pada tahun 1991 melalui proyek LUPAM, L REP — II, SIG Matra Darat dan INEV yang penekanannya pada peningkatan institusi. Sementara itu sejak tahu 1996, Badan Pertanahan Nasional mempunyai proyek LAP dan LOC yang berkaitan dengan pendaftaran tanah dan layanan administrasi pertanahan. Untuk mewujudkan suatu sistem informasi geografi sebagai bagian dari sistem manajemen pertanahan, maka diperlukan suatu sistem yang bakuatau standar baik dalam struktur basis data, model analisa, bentuk leuaran, dan cara-cara layanan baik untuk kepentingan Badan Pertanahan Nasional maupun berbagai pihak memerlukan informasi keruangan tentang tanah. Sampai saat ini, Pembakuan itu dirancang dalam satu sistem yang dikenal dengan data pokok penatagunaan tanah Indonesia / ILUD (International Land Use Data Bank) yang operasionalnya melalui proses otomatisasi. Sistem ini adalah sisstem yang fleksibel dan diusahakan selalu akomodatif terhadap perkembangan teknologi, dan ilmu pengetahuan. Kebijaksanaan pertanahan menekankan pada pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah yang mengacu kepada undang-undang pokok agrarian (UU nomor 5/1960) dan perundangan lainnya yang menyangkut pemanfaatan tanah seperti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UU nomor 4 tahun 1982 ). Undang-Undang penataan ruang ( UU nomor 24 tahun 1992 ) dan |ainnya. Fokus pengaturan penguasaan tanah dan penatagunaan tanah adalah mengatur pemanfaatan tanah yang mampu memberikan manfaat ekonomi secara optimal, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan serasi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pembangunan perkotaan, GBHN 1993 mengarahkan bahwa “Pembangunan perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan usaha, dan lingkungan kerja serta kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman dan nyaman. Perhatian khusus perlu diberikan pada peningkatan sarana dan prasarana umum yang layak. Keserasian hubungan masyarakat perkotaan dan perdesaan serta antara masyarakat kota terus diupayakan agar terwujud keserasian kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan”. Untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan seperti yang diarahkan oleh GBHN tersebut, maka kebijaksanaan tanah perkotaan sekarang dan di waktu yang akan datang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kaitan Dengan Penataan Ruang Guna mewujudkan penataan ruang perkotaan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- undang Nomor 24 tahun 1992, maka perencanaan tata ruang perkotaan harus memperhatikan struktur penggunaan lahan /tanah serta aspek penguasaan/pemilikan lahan/tanah yang ada. Struktur penggunaan lahan perkotaan sangat berbeda dengan struktur penggunaan lahan perdesaan. Secara fisik, Struktur lahan perkotaan didominasi oleh penggunaan lahan non -pertanian seperti perumahan, perkantoran, industri dan jasa lainnya. Dalam penggunaan tanah perkotaan, dimensi letak (lokasi ) menjadi lebih bernilai dibandingkan dengan sifat fisiknya. Penggunaan lahan cenderung mempunyai dimensi vertikal sebagai akibat dari kelangkaan “space“/ruang dan strukturnya sangat dipengaruhi oleh utilitas yang tersedia. Sedangkan penguasaan tanah perkotaan secara umum menunjukkan luas kapling yang relative kecil-kecil yang dimiliki oleh perorangan dan cenderung menjadi kumuh. Kurangnya perhatian terhadap aspek penggunaan tanah dan aspek penguasaan tanah menimbulkan masalah yang tidak kecil dalam aplikasi rencana tata ruang perkotaan. Kadang-kadang rencana terpaksa direvisi karena ketidaksesuaian antara rencana dan kondisi lapangan yang sangat cepat berubah serta estimasi biaya perolehan tanah yang tidak akurat adalah beberapa contoh dari pentingnya informasi penggunaan tanah dan penguasaan tanah. Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi hidro-ologis, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat kota untuk acara keluarga, bersantai, olahraga ringan, dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merubahnya. Pengertian ruang terbuka hijau perlu dibakukan untuk menghindari salah tafsir yang bentuk penggunaan tanahnya dapat berupa taman, hutan kota, bahkan tanah pertanian. PAKTO 93 yang dijabarkan lebih lanjut melalui surat edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 4101851 dan 460-3346 tahun 1994 menyatakan larangan konversi sawah irigasi teknis menjadi non sawah. Dalam hal ini, sepanjang rencana tata ruang menyatakan suatu wilayah menjadi ruang terbuka hijau, dan sudah terlanjur menjadi bangunan maka Badan Pertanahan Nasional tidak akan memperpanjang Hak Guna Bangunan yang ada. Namun di sisi lain, kebijaksanaan pertanahan juga perlu memperhatikan kepentingan pemilik tanah sawah. Suatu pemikiran keringanan pajak bumi dan bangunan ataupun insentif lainnya merupakan kebijakan yang mendorong pemilik tanah tidak tergoda oleh kenaikan harga tanahnya. 2. Pembatasan Luas Penguasaan/Pemilikan Tanah Perkotaan Dengan meningkatnya kebutuhan tanah permukiman perkotaan, ada gejala penguasaan/pemilikan tanah secara berlebihan oleh golongan mampu baik perorangan maupun badan hukum. Usaha pencegahan penguasaan/pemilikan tanah di perkotaan melalui mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59/DDA/1970, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan efektif. Hal ini sangat berkaitan dengan sistem pendataan kependudukan yang masih dalam taraf pembakuan secara nasional, disamping itu bagi perusahaan belum diatur keputusan tersebut. Sehubungan dengan itu, pemerintah sedang mengambil langkah-langkah untuk mengatur batasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah. Salah satu onstrument pengendalian penguasaan tanah adalah izin lokasi. Mekanisme izin lokasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 20 tahun 1994 mempunyai tiga makna utama yaitu izin untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata ruang, memperoleh tanah dan mengalihkan hak atas tanah. Untuk memberi gambaran, Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan ijin lokasi perumahan baik sebelum dan sesudah PAKTO 93 seluas 121.629 hektar. Dengan menggunakan pola 1 : 3 : 6 dengan laju pertumbuhan penduduk tetap, maka ijin lokasi yang diterbitkan mampu menyediakan tanah perumahan sampai tahun 2018 (akhir PJP —II). Untuk sementara ini, Badan Pertanahan Nasional tidak akan mengeluarkan ijin baru diluar ijin lokasi yang sudah ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 410 — 2784 tanggal 3 Oktober 1996 tentang penerbitan ijin lokasi perumahan / permukiman di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Dalam rangka antisipasi globalisasi ekonomi, maka kebijaksanaan pertanahan di Indonesia. Kebijaksanaan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1996 dan dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 7 tahun 1996 dan nomor $ tahun 1996. Kebijaksanaan ini perlu didukung oleh instansi terkait untuk menghindari adanya maksud-maksud lain yang bertentangan dan mendorong keunggulan bersaing dalam bidang investasi modal asing. 2. Spekulasi Tanah dan Harga Tanah Kelangkaan tanah sebagai akibat dari permintaan tanah yang meningkat jauh lebih besar dari tanah yang dapat disediakan, mendorong kenaikan harga tamah menjadi tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan pesatnya pertumbuhan permukiman di pinggiran kota yang harga tanahnya relatif lebih murah dibandingkan di kota. Kondisi ini menimbulkan dampak sosial yang tidak sedikit sehubungan dengan pendatang dan masyarakat local, kekurangan utilitas dan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang cenderung terus bertambah. Di sisi lain, kelangkaan tanah ini mendorong spekulan tanah untuk menguasai tanah-tanah di pinggiran kota. Ulah spekulan ini sangat mengganggu kelancaran alokasi pembangunan yang memerlukan tanah dan akhimya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost initial investment). Komponen tanah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur biaya investasi. Untuk mengendalikan ulah spekulan dan harga tanah ini dapat melalui perangkat perundang-undangan. Pada saat ini, Badan Pertanahan Nasional sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tanah terlantar yang dalam tahap akhir pembahasan. Pengendalian juga memerlukan pembakuan harga dasar tanah yang berlaku bagi semua pihak, pembentukan bank tanah, pemasyarakatan rencana tata ruang dan penyempurnaan instrument perpajakan. 3. Konsolidasi Tanah Tanah sebagai sumber daya alam baik secara material ( kuantitas ) dan secara luasan (lahan) tidak tak terbatas baik dimanfaatkan secara horizontal maupun vertikal. Sedangkan dilain pihak jumlah penduduk di suatu wilayah atau kawasan dari waktu ke waktu jumlahnya meningkat terus dan dalam kurun waktu 20 tahunan rata-rata akan menjadi dua kali lipat. Adanya pertambahan ini jelas akan mempengaruhi pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanahnya di suatu kawasan. Tanah secara material akan dapat digunakan sebagai bahan galian C untuk penimbunan bagi berbagai kegiatan pembangunan yang dapat berdampak terhadap perubahan bentang alam (natural landscape). Sedangkan dalam bentuk luasan (secara horizontal) dapat dimanfaatkan bagi penggunaan tanah dan pemanfaatan ruang yang berbeda-beda. Namun bila tidak dikendalikan akan terjadi konversi penggunaan tanah yang merugikan keberlanjutan pembangunan dan dapat mengancam kualitas lingkungan hidup. Penggunaan tanah secara horizontal dapat dioptimalisasikan secara vertikal dalam rangka pemnafaatan ruangnya. Adanya penataan ruang untuk tanah disebabkan adanya kebutuhan penduduk untuk melakukan intensitas kegiatan pembangunan yang meningkat terus. Untuk itu maka upaya konsolidasi tanah sangat strategis untuk dilakukan agar penggunaan tanah tidak statis tetapi dapat dikembangkan secara dinamis, namun keseimbangan dan keserasian tetap dapat dijaga. Konsolidasi tanah yaitu penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah yang melibatkan partisipasi aktif para pemilik tanah. Konsep Konsolidasi Tanah menurut peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 4 tahun 1991, sasaran pengaturannya adalah pada bidang-bidang tanah yang ditata kembali ,mengenai bentuk, luas, dan letaknya sehingga nilai tanah meningkat. Sedangkan menurut Aca Sugandhy konsolidasi tanah adalah upaya untuk membentuk kembali kedudukan, penggunaan dan kepemilikan bidang tanah oleh pemilik lahan. Pengoptimalan penggunaan lahan di dalam area khusus dilakukan dengan tujuan untuk menyelarakan dengan rencana kota melalui penetapan bidang lahan yang direncanakan (Kasiba = Kawasan Siap bangun) dan dilengkapi dengan yang telah tersedia untuk penggunaan bagi public (Lisiba = Lingkungan Siap Bangun). Ini termasuk pembagian kembali dari bidang lahan bersama dengan cara penghitungan jarak dan luas. Upaya ini merupakan salah satu tindakan untuk memajukan pembangunan perkotaan. Adapun dasar hukum konsolidasi tanah adalah: 1) UUD RI Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 menekankan bahwa bumi, air, angkasa dan kekayaan alam didalmnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat. Karena itu kebijaksanaan nasional di bidang pertanahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan kebijaksanaan sumberdaya alam nasional lainnya, termasuk antara lain tata guna air, dan pemanfaatan ruang secara optimal untuk di wilayah daratan. Kebijaksanaan tersebut pada dasamya mengatur dua hal yang penting mengenai Sumberdaya alam tanah yaitu penguasaan Negara atas sumber daya nasional (namun tanpa melanggar hak atas tanah yang dimiliki masyarakat termasuk dunia usaha dan badan hukum ) dan tujuan yang hendak dicapai dalam mengelola sumber daya alam untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia 2) Undang Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria khususnya tentang pengaturan penggunaan tanah dan hak-hak atas tanah menetapkan beberapa pokok yang terkandung meliputi : (a) hak menguasai oleh Negara, (b) hukum tanah nasional adalah berdasarkan hukum adapt, (c) fungsi sosial hak atas tanah, (d) larangan kepemilikan yang melampaui batas yang diperkenankan, serta (e) penggunaan tanah harus sesuai dengan peruntukkan yang ditetapkan. 3) Undang Undang nomor 4 tahun1992 tentang Perumahan Permukiman khususnya pengertian konsolidasi tanah dalam ketentuan umum dan pasal menyebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan mahan dan permukiman diselenggarakan dengan : a. Penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara: b. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah: c. Pelepasan hak tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara dan tata cara konsolidasi tanah oleh pemilik tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4) Undang Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang khususnya mengenai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam khususnya pasal 16 menetapkan pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.dalam pemanfaatannya disesuaikan dengan azas penataan Tuang. Azas tersebut meliputi tercapainya semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta proses keterbukaan, persamaan, perlindungan hukum. terselenggaranya keadilan, dan 5) Undang Undang nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun khususnya pasal 3 ayat 1 huruf b mengenai meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di kawasan perkotaan sesuai dengan tata ruang kota demi keserasian dan keseimbangan, menekankan perlunya upaya peremajaan kota antara lain melalui konsolidasi tanah. 6) Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba ) dan Lingkungan Siap Bangun ( Lisiba ) yang berdiri sendiri, khususnya mengenai pengertian konsolidasi tanah pemukiman dan pasal 18 mengenai penyelesaian perolehan hak atas tanah yang dikuasai oleh perseorangan atau Badan hukum dilakukan oleh badan pengelola atau penyelenggara dengan penyelesaian atas pemegang hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui konsolidasi tanah. Pasal 19 serta pasal 20 secara spesifik mengatur peserta konsolidasi tanah dan penataan kembali penguasaan, penggunaan kepemilikan tanah esuai dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan. Pengertian konsolidasi tanah adalah upaya penataan kembali penguasaan penggunaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik melalui usaha bersama untuk membangun kawasan siap bangun (KASIBA) dan lingkungan Siap bangun ( LISIBA ) dalam wujud penyediaan kapling tanah matang sesuai dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan oleh Kepala daerah ( Ketentuan umum butir 11 undang no 4 tahun 1992). Maksud konsolidasi tanah adalah untuk optimalisasi penggunaan tanah di suatu kawasan sesuai rencana tata ruang yang ditetapkan. Tujuan konsolidasi tanah adalah untuk mengatur penyediaan tanah dan pemilikan tanah dalam rangka penatagunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengaruh konsolidasi tanah di perkotaan terhadap nilai tanah yaitu : (1) dapat berpengaruh terhadap bentuk-bentuk hak atas tanah dan penggunaan tanah serta pengelolaan tanah juga nilai tanah dalam rangka pemanfaatan ruang secara optimal. Akibat konsolidasi tanah jelas akan meningkatkan nilai tanah baik secara social, ekonomi, ekologis, dan politis yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perubahan penggunaan tanah serta adanya dukungan infrastruktur disamping factor strategis dan sudut letak atau lokasi suatu kawasan yang ditata melalui konsolidasi tanah. Upaya konsolidasi tanah di perdesaan, di pinggiran kota atau di pusat kota dalam rangka peremajaan kota atau perbaikan kawasan kumuh akan memberikan perubahan nilai tanah yang la-beda, (2) Bila nilai-nilai bentang alam dan atau bentang buatan manusia yang berkaitan dengan lahan dan tanah tidak diperhitungkan secara hati-hati dalam melakukan pembangunan perkotaan maupun perdesaan, maka akan bisa menjadi ancaman bencana lingkungan. Rusaknya bentang alam akan menyebabkan bencana banjir, longsor, perubahan iklim disamping hilangnya karakteristik dan bentang alam dan suatu kawasan atau wilayah. Sedangkan tidak tertatanya dengan baik bentang buatan manusia maka disamping juga dapat memperburuk mutu lingkungan alam seperti pencemaran udara, hujan asam, juga dapat meningkatkan kenaikan kejahatan baik karena kecemburuan social, ekonomi, maupun tingkat kejahatan yang diakibatkan oleh desain lingkungan yang kurang aman. Perubahan yang sangat cepat dalam penggunaan tanah dan lahan terutama di kawasan perkotaan akibat pertumbuhan penduduk dan pembangunan akan lebih meningkatkan perlunya teknik dan prosedur perencanaan penggunaan tanah yang memperhatikan perubahan bentang alam dan penciptaan bentang buatan manusia Secara serasi, selaras, dan seimbang. Untuk itu maka pendekatan total landscape secara makro dan holistic diperlukan dan pendekatan parametric serta karakteristik-karakteristik dan suatu bentang alam maupun bentang buatan manusia juga perubahan-perubahannya. Pengkajian dan perubahan-perubahan nilai-nilai dan bentang harus diperhitungkan secara benar, dan (3) Untuk kawasan perkotaan yang telah padat penduduknya dan intensitas bangunannya yang dimanfaatkan secara horizontal sudah mendekati daya dukung kepadatan penduduk lebih besar atau sama dengan 150 jiwa per hektar maka konsolidasi tanah untuk penggunaan tanah dan pemanfaatan ruang secara vertikal akan memberikan nilai tanah yang berkali lipat khususnya nilai ekonomis (harga tanah ) tergantung kepada lokasi, jenis kegiatan, dukungan infrastruktur serta terbangunnya luas lantai yang direncanakan sesuai rencana tata ruang kawasan yang ditetapkan. >> Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ruang dan Tata Ruang ! 2. Jelaskan tentang Klasifikasi Ruang kota ! 3. Jelaskan tentang tiga model Ekologi Kota ! 4. Apa dampak dari pembangunan terhadap Nilai dan Harga Tanah ? 5. Apa yang dimaksud dengan Konsolidasi Tanah dan apa dasar hukumnya ? » Ringkasan Ruang mengandung pengertian batasan fisik wilayah dalam dimensi spatial (keruangan), meliputi permukaan, di bawah dan di atas permukaan bumi yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sedangkan Tata Ruang adalah gambaran struktur penggunaan ruang dari suatu wilayah yang mengandung kriteria pilihan sasaran dan kriteria batasannya bagi setiap usaha pengembangan yang menyangkut pembinaan dengan dimensi spatial. Pada dasarnya sistem tata ruang kota menunjukkan fungsi primer dan fungsi sekunder bagi sebuah kota dan klasifikasi ruang kota terdiri dari kawasan primer dan kawasan sekunder. Kawasan Primer memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukkan bagi : (1) fasilitas simpul angkutan regional, (2) prasarana jaringan angkutan regional, (3) pusat kegiatan perdagangan regional, (4) fasilitas pergudangan, (5) kegiatan usaha industri, (6) prasarana angkutan ke kawasan sekunder, (7) prasarana dan sarana pendukung lainnya, dan (8) keperluan perlindungan lingkungan seperti : daerah hijau, daerah aliran sungai. Kawasan Sekunder memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukkan bagi (a) fasilitas hunian, (b) fasilitas kegiatan usaha perdagangant local, (c) fasilitas pelayanan jasa sosial dan politik, (d) prasarana angkutan, (e) prasarana dan sarana pendukung lingkungan, dan (f)keperluan perlindungan lingkungan. Adapun bagian-bagian ruang mencakup ruang manfaat dan ruang pengawasan. Ruang manfaat merupakan ruang yang dimanfaatkan maupun yang akan dimanfaatkan bagi pelayanan jasa dan ruang-ruang di luar ruang manfaat yang diperlukan untuk menjamin fungsi ruang manfaat sesuai dengan peruntukkannya. Sedangkan Ruang Pengawasan merupakan ruang yang penggunaannya dibatasi dan dimensi dala hubungannya dengan keperluan keamanan penggunaan ruang. Sesuai dengan GBHN maka kebijaksanaan tanah perkotaan untuk sekarang dan waktu yang akan dating harus memperhatikan : (1) kaitan dengan penataan ruang, (2) pembatasan luas penguasaan / pemilikan tanah perkotaan, (3) spekulasi tanah dan harga tanah, dan (4) Konsolidasi tanah Pengertian konsolidasi tanah adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik melalui usaha bersama untuk membangun kawasan siap bangun ( KASIBA ) dan lingkungan siap bangun ( LISIBA ) dalam wujud penyediaan kapling tanah matang sesuai dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan oleh Kepala daerah ( Ketentuan umum butir 11 Undang-undang no 4 tahun 1992). Maksud konsolidasi tanah adalah untuk optimalisasi penggunaan tanah di suatu kawasan sesuai rencana tata ruang yang ditetapkan. Tujuan konsolidasi tanah adalah untuk mengatur penyediaan tanah dan pemilikan tanah dalam rangka penatagunaan tanah sesuai dengan rencana tata tuang yang telah ditetapkan. BAB V. RUANG PUBLIK DAN FASILITAS KOTA A. Ruang Publik 1.Pengertian Untuk mengetahui pemahaman tentang ruang terbuka publik antara lain sebagai civic centre, kita tidak terlepas dari pengertian mengenai civic space. Civic Space menurut Frederick Gibberd dalam bukunya yang berjudul Civic Space adalah merupakan suatu pengertian yang tidak dapat dipisahkan, yang artinya ruang terbuka sebagai wadah yang dapat digunakan untuk aktivitas penduduk sehari-hari. Jadi pengertian ruang terbuka publik sebagai civic centre adalah suatu ruang luar yang terjadi dengan membatasi alam dan komponen-komponennya (bangunan) menggunakan elemen keras seperti pedestrian, jalan, plaza, pagar beton, dan sebagainya; maupun elemen lunak seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam landscape dan merupakan wadah aktivitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan kota. Budaya atau tradisi adalah merupakan keseluruhan sistem nilai, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang selalu berubah-ubah dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Adapun aktivitas yang dilakukan pada ruang terbuka publik ini bisa untuk rekreasi dan hiburan, bisa juga sebagai kegiatan industri wisata misalnya pameran pembangunan, kegiatan promosi wisata, dan kebudayaan yang dapat menarik pengunjung sebanyak mungkin seperti pemilihan ratu atau kontes-kontes lain yang mengandung nuansa kepariwisataan dan pembangunan serta berbagai kegiatan lainnya.. Akan tetapi pada prinsipnya ruang terbuka publik merupakan tempat dimana masyarakat dapat melakukan aktivitas sehubungan dengan kegiatan rekreasi dan hiburan, Bahkan. dapat pula mengarah kepada jenis kegiatan hubungan social lainnya seperti untuk berjalan-jalan, melepas lelah, duduk-duduk dengan santai, bisa juga dengan pertemuan akbar pada saat-saat tertentu juga atau digunakan untuk upacara-upacara resmi dapat pula dipadukan dengan tempat-tempat perdagangan. Dari bahasan di atas terlihat jelas bahwa ruang terbuka publik bukan saja berupa ruang luar yang bersifat sebagai perancangan lansekap untuk taman kota saja atau daerah hijau dalam kota, tetapi lebih condong pada keterlibatan manusia di dalamnya sebagai pemakai fasilitas tersebut. Ruang publik kota-kota di Indonesia umumnya masih menimbulkan persoalan dan perbedaan kepentingan oleh berbagai macam pihak dan tampak tak beraturan. Hal ini disebabkan ruang publik kota diperebutkan oleh banyak pihak, seperti pengguna lalu lintas, pedagang kaki lima, pejalan kaki, pengguna tempat parkir, maupun pengguna papan reklame secara serampangan. Tempat-tempat tertentu seperti taman kota diperebutkan pula oleh kelompok masyarakat kecil yang melakukan kegiatan ekonomi di satu pihak dan di lain pihak terdapat kelompok masyarakat atas dan menengah yang ingin melakukan aktivitas rekreasi,olah raga, maupun santai sejenak. Ruang merupakan alih kata Space untuk bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan, space berasal dari kata Latin spatium yang berarti terbuka luas, memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya dan dapat berkembang tak terhingga. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi perletakan sebuah obyek, dan menjadi suatu medium yang memungkinkan suatu obyek bergerak. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi letak sebuah obyek, dan menjadi suatu medium yang memungkinkan suatu obyek bergerak (Paulus Haryono, 2007 : 33 ). Menurut Madanipour (1980 ) ruang public perkotaan memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling bercampur baur. Pengertian ini khususnya sangat diperhatikan pada masyarakat dan pemerintahan yang menganut faham demokrasi. Tibbalds (2001) menjelaskan bahwa bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, lapangan, dan alun-alun. Jadi ruang publik adalah suatu tempat yang dapat menunjukkan letak sebuah obyek. Tempat ini dapat diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Dengan demikian ruang publik dapat berupa jalan, trotoar, taman kota, lapangan, dan lain-lain. Sedangkan ruang privat adalah suatu ruang yang diperuntukkan bagi aktivitas kalangan terbatas, dan penggunaannya biasanya bersifat tertutup dalam suatu teritori tertentu berdasarkan kepemilikan secara legal oleh perorangan maupun badan hukum. Namun demikian terdapat ruang privat yang terbuka untuk umum karena tuntutan aktivitasnya. Sebagai contoh, sebuah pusat perbelanjaan teritori lahannya bersifat privat. Namun karena tuntutan aktivitasnya ruang tersebut dibuka untuk umum oleh pemiliknya dalam rentang waktu yang telah ditentukan sehingga didalamnya terselip ruang yang bersifat publik. Dengan demikian pada kasus-kasus tertentu ruang yang statusnya semi privat dan semi publik. Pada saat aktivitas dibuka untuk umum, ruangan tersebut bersifat public. Namun demikian, apabila di ruang tersebut berakhir untuk umum maka ruang tersebut berubah menjadi privat Ruang dalam pemahaman post modernisme mencoba menggali kembali nilai-nilai dari struktur ruang. Tempat dan penghubung selain menjadi penampung berbagai aktivitas operasional fisik dan sosial yang terorganisasi dalam ruang eksterior maupun interior, publik maupun privat, juga harus terangkai dalam sebuah sistem sirkuit ruang linier yang terdeferensiasi dan berhierarki Kerangka struktur kota yang menyangga ruang kota seharusnya bisa dirancang. Dikarenakan ruang publik adalah ruang eksterior kota yang terbentuk oleh bangunan, maka ruang publik terkesan sebagai sisa. Ruang publik kota seharusnya memiliki posisi yang sejajar dengan bangunan. Ia merupakan bagian dari rancangan detail suatu spasial bersama bangunan lain. 2. Fungsi Ruang Publik Pusat kota seringkali mengalami perubahan posisi dari waktu ke waktu. Dengan berpindahnya pusat kota, lokasi kerumunan orang-orang yang menikmati ruang publik pun cenderung bergeser ke kawasan pusat kota yang baru. Perubahan tersebut diikuti perubahan fungsi ruang publik. Menurut Jan Gehl, ruang publik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai tempat bertemu, berdagang, dan lalu lintas. Dari tiga fungsi ini ia membuat empat klasifikasi kota. . Pertama adalah Kota Tradisional, yaitu kota yang ketiga fungsi ruang publiknya masih hidup secara bersamaan. Biasanya kota jenis ini masih didapat pada kota kecamatan di Indonesia, dimana pasar tradisional masih memiliki kekuatan sentral yang kuat. Di kota kecamatan yang terkonsentrasi pada desa tertentu sering terdapat pasar tiban atau pasar . kaget yang memenuhi ketiga fungsi ruang publik tersebut. Disebut pasari tban ( bahasa Jawa artinya jatuh, kejatuhan sesuatu, tiba-tiba ada ) atau kaget ( bahasa Jawa artinya terkejut karena ada sesuatu kejadian mendadak ) karena pasar ini muncul pada hari-hari tertentu, misalnya Selasa Legi dan Rabo Pahing Kedua adalah kota yang diserbu (invaded city) yaitu salah satu fungsi biasanya fungsi lalu lintas mendominasi sebagian besar ruang publik sehingga fungsi ruang publik yang lain tersingkirkan. Misalnya munculnya pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota besar di Indonesia maupun kotakota yang baru berkembang. Hal tersebut berdampak pada ramainya dan padatnya lalu lintas sehingga sering mengurangi hak pejalan kaki dan ruang publik bagi pedagang kaki lima. Ketiga adalah kota yang ditinggalkan ( abandoned city ) dengan kondisi ruang publik dan aktivitasnya telah hilang. Kondisi ini dapat terjadi karena pusat kota berpindah lokasi. Akibat masyarakatnya berpindah pusat-pusat perbelanjaan modern. . Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) adanya upaya yang kuat untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik sebagai tempat untuk bertemu, berdagang dan berlalu lintas. Misalnya di kota Semarang upaya untuk menghidupkan kembali kota lama menjadi pusat aktivitas dan aktivitas pasar malam Semawis. Di kota Surabaya ada KyaKya Kembang jepun. Di Yogyakarta ada sarana rekreasi yang menempati bekas terminal bus angkutan antar kota yang lama ditinggalkan. Di kawasankawasan tersebut dahulu terdapat aktivitas masyarakat yang ramai dan sepat ditinggalkan karena pergeseran pusat aktivitas kota dan kini kawasan ruang publik tersebut dihidupkan kembali. 3. Permasalahan Ruang Publik Kota Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan ruang publik, Seperti persoalan parkir yang memakan tempat berlebihan ataupun memakan bahu jalan, masalah menjamumya Pedagang kaki Lima ( PKL ), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang berserakan, dan penggunaan ruang publik yang kumuh. Berbagai upaya untuk mengurangi persoalan ruang public tampaknya belum membuahkan hasil. Suatu hal yang ironis bahwa Indonesia yang memiliki lahan yang sangat luas namun memiliki persoalan dengan ruang publik, tetapi sebaliknya negeri yang kecil seperti Singapura dengan lahan yang sempit justru tidak memiliki persoalan dengan ruang public, bahkan mereka dapat menikmatinya. Singapura dengan kota-kota besar di Indonesia sama-sama terletak di Asia Tenggara dengan iklim relatif sama. Akan tetapi, mengapa orang lebih betah menikmati ruang publik di Singapura ? Sebab pertama adalah penghijauan di Singapura benar-benar digalakkan. Penghijauan digalakkan di beberapa kawasan khususnya di pinggiran kota sehingga pusat kota tidak terlalu panas udaranya. Bahkan di hari saat orang merasakan udara panas di kota-kota Indonesia, Singapura pada saat yang sama tidak terasa panas. Terik mataharinya masih dapat diimbangi dengan oksigen yang keluar dari kawasan hijau. Udara yang tidak terlalu panas membuat orang betah menikmati ruang publik. Sebab kedua, lingkungan tertata secara leluasa bagai memanjakan mata, menarik dan bersih. Ruang publik yang luas, seperti di sepanjang korridor jalan Orchard Road. Singapura misalnya memberi keleluasaan orang berjalan kaki, bahkan sebuah atraksi sempat hadir di kaki limanya yang lapang. Deretan bangunannya bagaikan “nada-nada” yang digubah bergerak menaik dan menurun dengan wujud dan tema tertentu. Sekali waktu terdapat bangunan-bangunan besar dengan bentukan ruang public yang khas di depannnya, tetapi sekali waktu terdapat deretan kios-kios atau toko-toko kecil dengan model bazaar yang khas pula. Baliho atau iklan di ruang publik pun ditata secara estetis, dan tampak terpilih, tidak menjorok keluar melainkan menyatu dengan bangunan. Irama ruang publik yang indah ini membentuk mental mapping tersendiri bagi pengunjung sehingga membuat orang mengenang kembali irama itu. Suatu irama yang tertata secara menarik inilah yang membuat orang tidak jemu berkunjung dan berbelanja. Sekali waktu di bangunan besar dan berwajah modem itu orang dapat berbelanja barang-barang dan makanan mewah, tetapi di deretan yang lain lagi orang dapat berbelanja barang-barang dan makanan sederhana dank khas. Sebab ketiga adalah keamanan dan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang terlalu jauh dapat menimbulkan persoalan menikmati ruang public, karena perbedaan gaya hidup dan kekhawatiran masyarakat kelas atas menjadi korban kejahatan. Ukuran kebersihan dan estetika kota biasa dihayati secara berbeda oleh masyarakat kelas atas dan bawah. Bagi masyarakat kelas bawah, meludah di tempat umum merupakan hal biasa, tetapi bagi masyarakat kelas atas tertentu merupakan sesuatu yang tidak terbayangkan. Demikian pula sebuah taman kota yang dilengkapi bangku, justru sering dinikmati para gelandangan dengan tidur di atas bangku yang tersedia. Suatu hal yang sulit terjadi bahwa bangku yang menjadi kotor akan digunakan sebagai tempat duduk masyarakat kelas menengah dan atas. Untuk mengatasi bangku yang digunakan sebagai tempat tidur para gelandangan, bangku dibuat tidak terlalu lebar sehingga tidak memungkinkan orang tidur di atasnya, meskipun bangku ini menjadi tidak nyaman bagi pengunjung yang ingin melepaskan lelah. Selain masalah penghijauan, lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi, dan keamanan, persoalan selanjutnya yang mengikuti adalah kemampuan pemerintah kota mengantisipasi, merencanakan, dan mengaplikasikan kawasan yang tertata secara ideal dibarengi dengan komitmen masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam mewujudkan ruang publik yang ideal. Akibat ketidakmampuan dan penundaan penanganan, maka kota menjadi terlanjur padat. Suatu harga mati untuk kesulitan mengantisipasi, merencanakan, dan mengaplikasikan ruang publik yang ideal. Kota-kota yang belum terlanjur padat penduduk dan kawasan bangunannya, seharusnya cepat-cepat mengantisipasi permasalahan di atas. Apabila perlu, dirancang suatu kota dengan ruang public yang ideal, sekalipun harus membebaskan lahan-lahan milik swasta yang harus dilakukan secara layak karena dapat dikatakan merupakan investasi kota di masa depan. Mewujudkan ruang publik yang ideal bagi masyarakat sebenarnya ikut mendukung terwujudnya angkutan massal kota, tidak hanya bagi masyarakat bawah, tetapi juga masyarakat kelas menengah, bahkan masyarakat kelas atas, karena masyarakat menjadi betah ke ruang publik untuk mencapai stasiun/halte angkutan massal. Dengan demikian mewujudkan ruang publik yang ideal secara langsung sebenarnya dapat ikut membantu mengurangi kemacetan lalu lintas yang salah satu penyebabnya adalah banyaknya pengguna kendaraan pribadi, meskipun melepaskan kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi sendiri di Indonesia tidak mudah karena menyangkut masalah status dan gengsi serta perilaku tidak ingin repot-repot, khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke atas. B. Fasilitas Kota 1. Teminal Bus Terminal bus merupakan prasarana transportasi jalan untuk keperluan menurunkan dan menaikan penumpang, perpindahan intra dan atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum. Terminal bus penumpang dapat dikelompokkan atas dasar tingkat penggunaan terminal kedalam tiga tipe sebagai berikut : 1) Teminal penumpang tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi dan atau angkutan lintas batas Negara, angkutan antar kota dalam Propinsi, angkutan perkotaan dan angkutan perdesaan 2) Terminal penumpang tipe B berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan perkotaan dan angkutan perdesaan 3) Terminal penumpang tipe C berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan perdesaan Untuk pelaksanaan kegiatan di termninal bus maka perlu adanya fasilitas yang memadai. Fasilitas dapat dikelompokkan atas fasilitas utama dan fasilitas pendukung, semakin besar suatu terminal, semakin banyak fasilitas yang bisa disediakan. Termasuk kedalam fasilitas utama adalah : Jalur pemberangkatan kendaraan umum, Jalur kedatangan kendaraan umum, Tempat parkir kendaraan umum selama menunggu keberangkatan, termasuk didalamnya tempat tunggu dan tempat istirahat kendaraan umum, Bangunan kantor terminal, Tempat tunggu penumpang dan pengantar, Menara pengawas, Loket penjualan karcis, Rambu-rambu dan papan informasi, yang sekurang-kurangnya memuat petunjuk jurusan, tarif, dan jadwal perjalananan, Pelataran parkir untuk kendaraan pengantar atau taksi Sedangkan fasilitas penunjang antara lain adalah : Kamar kecil atau toilet: Mushollah, Kios dan Kantin: Ruang pengobatan, Ruang informasi dan pengaduan, Telepon umum: Tempat penitipan barang: dan Taman Achtiar Budi (2004) dalam Transportasi Publik dan Layanan Teminal menyebutkan bahwa terminal di negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia, belum dikelola secara professional. Survei terhadap 2633 terminal dari berbagai skala yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya 3% nya yang masuk kategori terminal dengan kinerja pelayanan standar nasional dan belum satupun terminal (0%) terminal Indonesia yang berstandar Internasional. Badan Otonomi Perdagangan dan Transportasi Amerika menilai pengelolaan terminal dan pelabuhan di Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Padahal di era global dan liberalisasi perdagangan dunia, eksistensi terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan di suatu negara tidak hanya mengundang laju investasi, tetapi juga menjadi indikator apakah infrastruktur strategis transportasi tersedia dengan kualitas standar dunia atau sebaliknya. Banyaknya kondisi terinal di Indonesia antara lain disebabkan oeh: a) banyaknya orang dan lalu lalang orang tanpa tujuan pasti atau liar. Seperti gelandangan, pengemis preman, para pemeras/pemalak dari berbagai penjuru yang dibiarkan bebas berkeliaran sepanjang waktu. Pegelola terminal biasanya menganggap hal biasa realitas tersebut dan karenanya nyaris tanpa pengendalian. b) Disisi lain malasnya aparat mengurusi penghuni terminal. Diakui atau tidak para petugas terminal umumnya tanpa dibekali ilmu dan ketrampilan khusus sebagai pengelola terminal. Di beberapa daerah bahkan pegawai atau pengelola terminal menjadi pegawai buangan yang seringkali tidak dibekali kompetensi tertentu sesuai dengan tantangan dan problema pengelolaan terminal. Meskipun demikian, pemerintah Setempat selalu memasang target pendapatan dari retribusi terminal yang tak kalah tinggi dengan unit pelayanan bisnis lainnya. Namun pendapatan retribusi terminal yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan kualitas sumberdaya yang memadai. Melihat potensi dan peluang yang menjanjikan tersebut ke depan memang mendesak dibutuhkan reformasi mutu layanan angkutan khususnya di terminal atau sejenisnya. Ada dua prinsip taktis strategis sebagai jawaban untuk perbaikan layanan di terminal, yaitu : a Prinsip keamanan dan kenyamanan bagi pelanggan. Paradigma ini sudah lama menjadi paradigma manajemen pelayanan public. Penumpang dan angkutan umum harus diperlakukan sebagai pelanggan. Meskipun terkesan sederhana sebutan itu ternyata signifikan mengubah perilaku penumpang dan angkutan umum dalam memanfaatkan terminal. Pelanggan berarti memiliki hak untuk memilih dan berkata “tidak” jika mutu layanan yang disajikan terminal tak sesuai aturan standar. Sayangnya pengelola terminal hanya mau menarik retribusi saja dan perlakuan terhadap pelanggan terminal nyaris tidak ada. b. Prinsip prosedur layanan. Diakui maupun tidak, umumnya terminal kurang informatif didalam prosedur layanan. Terminal biasanya hanya menyajikan papan nama kemana penumpang hendak pergi atau berangkat tanpa memberikan pengertian memadai kepada penumpang Disamping itu, terminal seperti. tak bertuan karena nyaris tak ada instruksi yang memadai sesuai kepuasan pelanggan. Padahal seperti di Negara-negara maju, terminal biasanya ramai oleh berbagai peringatan (warning) buat keselamatan dan kenyamanan pelanggan sehingga dapat mencegah tindak kejahatan. Jangan biarkan kekerasan, kejahatan, dan kekacauan menjadi kebiasaan yang dibiarkan berlarut-larut, karena kualitas terminal temyata berpengaruh terhadap citra pemerintah setempat dalam mengelola, mengatur dan mengendalikan serta memberdayakan terminal di mata pelanggan dari berbagai daerah. 2. Bandar Udara Pada masa awal penerbangan, Bandar Udara ( Bandara ) hanyalah tanah lapang berumput yang bisa didarati pesawat dari arah mana tergantung arah angin. Di masa Perang Dunia I, Bandara mulai dibangun permanent seiring meningkatnya penggunaan pesawat landasan pacu. Setelah masa perang, Bandara mulai ditambahkan fasilitas komersial untuk melayani penumpang. Sekarang di zaman modern pada era global, Bandara bukan hanya tempat untuk naik dan turun pesawat. Dalam perkembangannya, berbagai fasilitas ditambahkan seperti toko-toko, restoran, pusat kebugaran, dan butik-butik merek terkenal serta pakaian-pakaian hasil produk tradisional. Bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landas pacu, namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya. Menurut ICAO (International Civil Aviation Organization ) Bandar Udara atau Bandara adalah area tertentu di daratan atau perairan termasuk bangunan, instalasi dan peralatan yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan, dan pergerakan pesawat. Sedangkan definisi Bandar Udara menurut PT Angkasa Pura adalah lapangan udara termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat. Kegunaan Bandara selain sebagai terminal lalu lintas manusia/penumpang juga sebagai terminal lalu lintas barang. Untuk itu, disejumlah Bandara yang berstatus Bandara Internasional ditempatkan petugas Bea dan Cukai. Di Indonesia Bandara yang berstatus Bandara Internasional antara lain adalah Polonia (Medan), Soekamo-Hatta (Cengkareng), Djuanda (Surabaya), Sepinggan (Balikpapan), dan Hasanudin (Makassar). Fasilitas Bandara yang terpenting adalah landas pacu yang mutlak diperlukan pesawat. Panjangnya landas pacu biasanya tergantung besamya pesawat yang dilayani dan bisa dari rumput ataupun aspal. Pada bandara yang ramai, terdapat lebih dari satu landasan untuk antisipasi ramainya lalu lintas. Untuk keamanan dan pengaturan terdapat Air Traffic Controller atau concourde adalah pusat urusan penumpang yang datang atau pergi. Didalmnya terdapat counter check in, imigrasi untuk bandara internasional, dan ruang tunggu serta berbagai fasilitas untuk kenyamanan penumpang. Di Bandara besar penumpang masuk ke pesawat melalui belalai. Di Bandara kecil penumpang naik ke pesawat melalui tangga yang bisa dipindah-pindah. Setiap Bandara memiliki kode IATA dan ICAO yang berbeda satu sama lain. Kode bisa dari berbagai hal seperti nama Bandara, daerah tempat bandara terletak, atau nama kota yang dilayani. Menjelang era Pasar Bebas Asia Pasifik (APEC) 2010 dan Pasar Bebas Dunia (WTO ) 2020 dengan segala dampak yang mengikuti, beberapa peluang dapat diprediksikan akan terbuka bagi jasa kebandarudaraan yaitu: 1) “Booming” wisatawan yang diperkirakan akan terjadi di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia akan memberi berkah yang amat berarti bagi Bandar Udara berkenaan dengan letak geografisnya yang teramat strategis didekat dengan sebagian besar daerah-daerah tujuan wisata utama Indonesia. Hampir semua Bandara I akan terkena dampak positif dari booming wisatawan itu, terutama sekali adalah Bandar Udara Ngurah Rai, Adisutjipto, Adisumarmo, Hasanudin, Sam Ratulangi, Frans Kaisiepo, Pattimura dan Selaparang 2) Perkembangan Asia Pasifik menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan industri dunia pada era global mendatang yang terkenal dengan sebutan keajaiban Asia akan memacu pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia yang kebetulan berada dekat dengan bibir pasifik dan di persilangan jalur ekonomi Utara - Selatan yang dimasa mendatang diprediksikan akan menjadi jalur ekonomi antar benua yang sangat penting. Pertumbuhan Asia Pasifik dan jalur ekonomi Utara-Selatan. membuka peluang besar bagi Bandar Udara Sam Ratulangi yang letaknya tepat di bibir pasifik dan Bandar Udara Frans Kaisiepo yang berada tepat di jalur ekonomi Utara - Selatan yang mulai berkembang. Demikian pula dengan Bandar Udara Juanda dan Ahmad Yani yang selama ini menjadi prasarana bagi kota Surabaya dan Semarang yang tumbuh menjadi kota industri terpenting ke dua dan ke tiga di pulau Jawa. 3) Dijadikannya pulau Biak sebagai pusat Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) untuk kawasan timur Indonesia menjadikan prospek bisnis Bandar Udara Frans Kaisiepo yang saat ini masih demikian buram akan menjadi lebih cerah. Hampir pasti, Bandar udara itu akan memainkan peran yang sentral sebagai pusat mobilisasi transportasi udara di wilayah KAPET. 4) Berkembangnya industri pariwisata dan industri sumber daya alam di kawasan timur Indonesia yang begitu pesat telah membuka cakrawala bisnis luas bagi Bandar Udara Hasanudin yang saat ini menjadi pintu gerbang udara utama ke kawasan timur Indonesia. 5) Semakin ramainya arus lalu lintas udara dari dan ke Bandara Udara I akan membuka peluang bisnis yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada bisnis pelayanan penerbangan dan penunjang penerbangan saja. Kendati keajaiban Asia mulai dipertanyakan perwujudannya dikarenakan gejolak moneter berkepanjangan di kawasan itu, kunjungan wisatawan mancanegara ke Asia diperkirakan tidak akan mengalami penurunan. Bahkan akan meningkat akibat nilai tukar dollar yang menjadi demikian tinggi di kawasan itu. Kondisi tersebut akan merangsang lebih banyak Wisatawan mancanegara berkunjung ke obyek wisata di Asia, khusunya Indonesia. 3. Pelabuhan Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang kedalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Seiring pula disekitamya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang. Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan. Klasifikasi pelabuhan perikanan ada 3, yaitu: Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera. Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi: Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (Minimum 12 meter) Perlindungan dari angin, ombak, dan petir Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk. Peringkat pelabuhan dunia berdasarkan volume lalu-lintas muatan kargo kontainer (dalam jutaan TEU) (2004) : 1. Pelabuhan Hongkong – Tiongkok 2. Pelabuhan Singapura - Singapura 3. Pelabuhan Shanghai - Tiongkok 4. Pelabuhan Shenzhen - Tiongkok 5. Pelabuhan Pusan — Korea Selatan 6. Pelabuhan Kaohsiung - Taiwan 7. Pelabuhan Rotterdam - Belanda 8. Pelabuhan Los Angeles — Amerika Serikat 9. Pelabuhan Hamburg - Jerman 10. Pelabuhan Dubai — Uni Emirat Arab 11. Pelabuhan Antwerpen - Belgia 12. Pelabuhan Long Beach — Amerika Serikat 13. Pelabuhan Klang - Malaysia 14. Pelabuhan Qingdao - Tiongkok 15. Pelabuhan New York /New Jersey – Amerika Serikat 16. Pelabuhan Jakarta - Indonesia 4. Stasiun Stasiun kereta api adalah tempat di mana para penumpang dapat naik dan turun dalam memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api. Stasiun kereta api umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang kepala stasiun dan ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya. Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan maupun calon penumpang kereta api, seperti ruang tunggu, restoran, toilet, mushalla, area parkir, sarana keamanan (polisi khusus kereta api), sarana komunikasi, depo lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar. Pada papan nama stasiun yang dibangun pada Belanda, umumnya dilengkapi dengan ukuran ketinggian Wilayah itu dari permukaan laut, misalnya Stasiun Bandung ada tulisan plus-minus 709 meter. Pada umumnya, stasiun kecil memiliki tiga jalur rel kereta api yang menyatu pada ujung-ujungnya. Penyatuan jalur-jalur tersebut diatur dengan alat pemindah jalur yang dikendalikan dari ruang PPKA. Selain sebagai tempat pemberhentian kereta api, stasiun juga berfungsi bila terjadi persimpangan antar kereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk keperluan cadangan dan langsir. Pada stasiun besar, umumnya memiliki lebih dari 4 jalur yang juga berguna untuk keperluan langsir. Pada halte umumnya tidak diberi jalur tambahan serta percabangan. Pada masa lalu, setiap stasiun memiliki Pompa dan tangki air serta jembatan putar yang dibutuhkan pada masa kereta api masih ditarik oleh lokomotif uap. Karena keberadaan stasiun kereta api umumnya bersamaan dengan keberadaan sarana kereta api di Indonesia yang dibangun pada zaman Belanda, maka kebanyakan stasiun kereta api merupakan bangunan lama yang dibangun pada masa itu, Sebagian direstorasi dan diperluas, sedangkan sebagian yang lain ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kebanyakan kota besar, kota kabupaten, dan bahkan kecamatan di Jawa dihubungkan dengan jalur kereta api sehingga di kota- kota tersebut selalu dilengkapi dengan stasiun kereta api. Stasiun besar di Jawa 1. Stasiun Jakarta Kota 2. Stasiun Tanjung Priok 3. Stasiun Jatinegara 4. Stasiun Manggarai 5. Stasiun Pasar senen 6. Stasiun Bogor 7. Stasiun Bandung 8. Stasiun Yogyakarta 9. Stasiun Solo Balapan 10. Stasiun Semarang Tawang 11. Stasiun Cirebon 12. Stasiun Surabaya Kota 13. Stasiun Surabaya Gubeng 5. Rumah Sakit 1) Sejarah Rumah Sakit Dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Salah satu institusi pengobatan pengobatan tertua adalah kuil Mesir. Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya memberikan pengobatan kepada orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil Romawi untuk Asclepius dibangun pada tahun 291 SM di tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama dengan kepercayaan Yunani. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali ditemukan di India. Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan pula konsep pengajaran pengobatan dengan mahasiswa yang diberikan pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia. Bangsa Romawi menciptakan valetudinarian untuk pengobatan budak, gladiator, dan prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan kristiani turut mempengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak gereja untuk juga memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu Katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama kali mendirikan adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, bishop of Caesarea. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bangunan gereja, dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita penyakit lepra/kusta. Rumah Sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut. Di setiap tempat peribadatan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster. Namun beberapa diantaranya bisa pula terpisah dari tempat peribadatan. Ditemukan pula rumah sakit yang terspesialisasikan untuk penderita kusta/Iepra, kaum miskin, atau musafir. Rumah sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan yang tinggi pada abad 8 hingga 12. Rumah sakit pertama dibangun pada abad 9 hingga 10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad ke 10. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekuler di Eropa terjadi pada abad 16 dan 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modem pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guys Hospital didirikan di London pada tahun 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta sepeti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania pada tahun 1751. Di Eropa daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad ke 19 hampir seluruh Negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit. Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama kali didirikan oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap ini Juga diteruskan oleh rumah sakit CBZ di Jakarta. Rumah sakit ini Juga tidak memungut biaya atau bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang memerlukan pertolongan. Semua ini telah menanamkan kesan yang mendalam di kalangan masyarakat pribumi bahwa pelayanan penyembuhan di rumah sakit adalah gratis. Mereka tidak mengetahui bahwa sejak zaman VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC ( kecuali tentara dan anggota keluarganya ) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC. Selama abad pertengahan, rumah sakit juga melayani banyak fungsi diluar rumah sakit yang kita kenal di zaman sekarang, misalnya sebagai penampungan orang miskin atau persinggahan musafir. 2) Pengertian Rumah sakit Istilah Hospital ( Rumah Sakit ) berasal dari kata latin yaitu Hospes ( Tuan rumah ), yang juga menjadi akar kata hotel dan hospital dan hospitality (keramahan). Beberapa pasien bisa hanya datang untuk diagnosis atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa dan perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien. Rumah Sakit ( Hospital ) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan professional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya Rumah sakit menurut WHO Expert Committee On Organization of Medical care adalah : “is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the population comp, Jete healih care, both curative and preventive and whose out patient service reach Out 10 the family and its home environtment: the hospital is also a cenire for the training of healih workers and for biosocial research". Perbandingan antara jumlah ranjang rumah sakit dengan jumlah penduduk Indonesia masih sangat rendah. Untuk 10.000 penduduk cuma tersedia 6 ranjang rumah sakit. 3) Jenis Jenis Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Rumah Sakit ini melayani hampir seluruh penyakit umum, dan biasanya memiliki institusi perawatan darurat yang siaga 24 jam (ruang gawat darurat / UGD) untuk mengatasi bahaya dalam waktu secepatnya dan memberikan pertolongan pertama. Rumah Sakit Umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu Negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah Sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, fasilitas plastic, ruang bersalin, laboratorium, dan kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya. Rumah sakit yang sangat besar sering disebut dengan Medical Center (pusat kesehatan ) biasanya melayani seluruh pengobatan modem. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (Klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik / poliklinik di dalam suatu rumah sakit. Rumah Sakit Spesialis Rumah sakit jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit Manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti Psychiatric, dan lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan. Kebanyakan mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis tertentu dan umumnya rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba Rumah Sakit Untuk Penelitian / Pendidikan Rumah sakit ini adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas / lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit untuk penelitian / pendidikan diselenggarakan oleh pihak universitas / perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian kepada masyarakat / Tri Dharma Perguruan Tinggi. Rumah Sakit Lembaga / Perusahaan Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga / perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan anggota tersebut atau karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (Rumah sakit Militer, rumah sakit Pertamina, Rumah sakit Bandara), bentuk jaminan sosial / pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/Iokasi perusahaan yang terpencil atau jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum. Klinik Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu. Biasanya diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat atau dokterdokter yang ingin menjalankan praktek pribadi. Klinik biasanya hanya menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan klinik yang disebut dengan Poliklinik. 4) Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis. Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis tambahan. Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman. Melaksanakan pelayanan medis khusus. Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan. Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi. Melaksanakan pelayanan kedokteran social. Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan. Melaksanakan pelayanan rawat jalan, rawat darurat dan rawat tinggal (observasi ). Melaksanakan pelayanan rawat inap. Melaksanakan pelayanan administrasi Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan. Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi. 6. Pusat Perbelanjaan Perusahaan eceran yang melayani kawasan perumahan pinggiran kota yang menyebar itu berkumpul pula kelompok-kelompk yang tersebar. Warung pojok diubah mejadi pusat perbelanjaan lingkungan. “Gaya Baru” ini memperlihatkan perbedaan yang besar dengan jalan-jalan perdagangan yang macet dan kotor di kawasan kegiatan usaha yang biasa. Parkir kendaraan dengan gratis dan mudah merupakan pengalaman yang mengesankan. Dengan didukung jumlah penduduk yang baru, maka pusatpusat perbelanjaan menjadi popular. Unsur yang menonjol dari pusat baru ini adalah pemisahan yang positif antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. Dengan kompetisi ini maka kawasan kegiatan usaha pusat kota di kotakota besar dan kota kecil berusaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi perbelanjaan. Statistik pusat perbelanjaan dari tahun 1960-an masih berlaku di tahun 1980-an. Pusat-pusat tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori utama,yaitu : 1. Pusat Lingkungan adalah sumber setempat untuk bahan makanan serta pelayanan sehari-hari untuk penduduk sejumlah 7500 - 20.000 orang. Ukuran rata-ratanya adalah sekitar 40.000 kaki persegi luas lantai, namun bisa bervariasi antara 30.000 - 75.000 kaki persegi lantai. Lokasi ini harus berada dalam kawasan seluas 4 sampai 10 acre. Pusat ini biasanya dirancang di sekitar pasar swalayan sebagai pelayanan perdagangan eceran utama. 2. Pusat daerah/kota bisa melayani penduduk antara 20.000 sampai 100.000 dan memperluas pelayanan pusat lingkungan dengan menyediakan berbagai toko atau toserba kecil sebagai unsur utama. Ukuran rata-ratanya adalah 150.000 kaki persegi luas lantai atau antara. 100.000 sampai 300.000 kaki persegi dangan luas lahan antara 10 sampai 30 acre. 3. Pusat Regional biasanya dibangun di sekitar satu atau lebih toserba dan mencakup berbagai jenis fasilitas perdagangan eceran yang biasanya ditemukan di suatu kota kecil yang seimbang. Pusat ini dapat melayani penduduk antara 100.000 sampai 250.000. Ukuran rata-ratanya adalah 400.000 kaki persegi luas lantai meskipun bisa mencapai 1.000.000 kaki persegi. Minimum luas arealnya adalah 40 acre, sedangkan pusat yang terbesar memerlukan sampai 100 acre. Berikut adalah beberapa contoh pusat-pusat perbelanjaan yang ada di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta : Jakarta Pusat Gajah Mada Plaza, Jakarta Pusat Glodok Plaza, Jakarta Pusat Harco Glodok, Jakarta Pusat Hayam Wuruk Lindeteves, Jakarta Pusat ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat Menteng Plaza, Jakarta Pusat Plaza Indonesia, Jakarta Pusat Sarinah Plaza, Jakarta Pusat Jakarta Utara Dusit Mangga Dua, Jakarta Utara Harco Mas Mangga Dua, Jakarta Utara ITC Mangga Dua, Jakarta Utara Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara Mall Mangga Dua, Jakarta Utara Mall Sunter, Jakarta Utara Mega Mall Pluit, Jakarta Utara Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta utara WTC Mangga Dua, Jakarta Utara Mangga Dua Sguare, Jakarta Utara Harco Manggua Dua , Jakarta Utara Jakarta Timur Kramat Jati Indah, Jakarta Timur Cibubur Junction, Jakarta Timur Tamini Square, Jakarta Timur Pulogadung Trade Center, Jakarta Timur . Mal Cijantung, Jakarta Timur Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur Jakarta Barat ITC Permata Hijau, Jakarta Barat ITC Roxy Mas, Jakarta Barat Lokasari Plaza, Jakarta Barat Mall Ciputra (d/h Citraland Mall), Jakarta Barat Mall Daan Mogot, Jakarta Barat Mall Puri Indah, Jakarta Barat Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat Roxy Mas Sguare, Jakarta Barat Slipi Jaya Plaza, Jakarta Barat Jakarta Selatan Kalibata Plaza, Jakarta Selatan Cilandak Town Sguare, Jakarta Selatan Mal Cilandak, Jakarta Selatan Blok M Plaza, Jakarta Selatan ITC Fatmawati, Jakarta Selatan ITC Kuningan, Jakarta Selatan Mall Ambassador, Jakarta Selatan Mall Blok M, Jakarta Selatan Mall Pondok Indah 1 & IL, Jakarta Selatan Melawai Plaza, Jakarta Selatan Pasar Bata Putih, Jakarta Selatan Pacific Place, Jakarta Selatan Plaza Senayan, Jakarta Selatan Setiabudi One, Jakarta Selatan Senayan City, Jakarta Selatan FXLifestyle Center Sudirman, Jakarta Selatan Pasar Raya Dept. Store 7. Hutan Kota Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan sebanyakbanyaknya di halaman rumah atau dilingkungan sekitar rumah maupun dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon, semak, perdu, rumput atau penutup tanah lainnya, di setiap jengkal tanah yang kosong yang ada dalam kota dan sekitamnya, sering disebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH). RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika (keindahan). Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi menjadi: 1). Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura. 2). Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi social 3). Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan. Hutan Kota dapat memberikan kota yang nyaman, sehat dan indah (estetis). Kita sangat membutuhkan hutan kota, untuk perlindungan dari berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak fungsi (kegunaan dan manfaat). Hal ini tidak terlepas dari peranan tumbuh-tumbuhan di alam. Tumbuh-tumbuhan sebagai produsen pertama dalam ekosistem, mempunyai berbagai macam kegiatan metabulisme.untuk ia hidup, tumbuh dan berkembang. Kegiatan metabulisme tumbuh-tumbuhan dimaksud telah memberikan keuntungan dalam kehidupan kita. Tidak ada satu makhlukpun yang dapat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan. Untuk menghadapi kemajuan, kita perlu melakukan perubahan dan untuk itu kita perlu melakukan pembangunan. Dalam pembangunan itu kita akan tahu tentang sejauh mana kerugian kita, jika kita menebang pohon atau membabat tumbuh-tumbuhan tanpa pertimbangan dengan alasan nanti toh tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh kembali. Mudah-mudahan pelaku pembangunan dapat menyadari, bahwa tumbuh-tumbuhan itu adalah makhluk hidup dan butuh waktu untuk tumbuh dan berkembang. (1) Bentuk dan Struktur Hutan Kota Hutan kota meupakan suatu ekosistem dan tidak sama dengan pengertian hutan selama ini. Hutan kota adalah komunitas tumbuhtumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Banyak kendala dalam membangun hutan kota. Kendala tersebut antara lain berkisar kepada persediaan lahan untuk hutan kota, lahan semakin hari semakin sedikit untuk hutan kota dan harga lahan di kota semakin hari semakin sangat mahal. Disamping itu pula terbentur kepada persepsi dari para perancang dan pelaksana pembangunan, maupun dari lapisan masyarakat lainnya terhadap hutan kota belum sama dan belum terbangun. Melihat fungsinya maka kita harus membangun dan mengembangkan hutan kota. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa dengan membangun dan mengembangkan bentuk hutan kota serta membangun dan mengembangkan struktur hutan kota, maka kendala lahan dapat di modifikasi sehingga kita akan tetap dapat membangun dan mengembangkan hutan kota. Disamping itu secara bertahap kita selalu berusaha membangun dan mengembangkan persepsi tentang hutan kota. Bentuk tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia untuk hutan kota. Bentuk hutan kota dapat dibagi menjadi: a. Berbentuk bergerombol atau menumpuk adalah hutan kota dengan komunitas tumbuh tumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah tumbuhtumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan; b. Berbentuk menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombolgerombol kecil; c. Berbentuk jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lainnya. Struktur hutan kota adalah komposisi dari tumbuh-tumbuhan, jumlah dan keanekaragaman dari komunitas tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan kota, dapat dibagi menjadi a. berstrata dua yaitu komunitas tumbuhtumbuhan hutan kota hanya terdiri dan pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya; b. berstrata banyak yaitu komunitas tumbuhtumbuhan hutan kota terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan, dengan strata dan komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam. (2) Fungsi Hutan Kota Fungsi hutan kota sangat tergantung kepada bentuk dan struktur hutan kota serta tujuan perancangannya. Secara garis besar fungsi hutan kota yang sangat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi : (1) Fungsi lansekap. Lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial. : a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi antara lain untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai. b. Fungsi sosial, penataan tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai- milai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi social politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buahbuahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup. persahabatan ant (2) Fungsi Pelestarian Lingkungan (ekologi). Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi lingkungan ini antara lain adalah: Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil dari dalam tanah melalui akar tanaman. Sinar matahari 6 CO2 + 6 H2O ------ C6H12O6 + 6 O2 klorofil enzim. Menurunkan Suhu Kota dan meningkatkan kelembaban. Suhu disekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya untuk daerah tropis. Sebagai Ruang Hidup Satwa. Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, sebagai burung, kupu-kupu, serangga. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Dengan kondisi tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperanan dalam rekreasi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Malahan sekarang hampir di setiap rumah orang memelihara burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Kebiasaan burung-burung beranekaragam, ada burung yang mempunyai kebiasaan berada mulai dari tajuk sampai kebawah tajuk. Ini menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil penelitian saya (1994) Menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak. Kehadiran burung pada hutan kota yang berstrata banyak selain karena jumlah tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, biji aroma, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang Penyanggah dan Perlindungan Permukaan Tanah dari Erosi. Sebagai penyanggah dan melindungi permukaan tanah dari air hujan dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara dan Limbah. Sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah, serta menyanng debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi,silika, jelaga dan unsur kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan dapat mengakumulasi berbagai jenis polutan (pencemar). Seperti pohon johar, asam landi, angsana dan mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran bermotor, pada daun dan kulit batang. Peredaman Kebisingan Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut “polusi tak terlihat” yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia terhadap suara. Tempat pelestarian nutfah dan bioindikator Yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan seperti karena tumbuhan tertentu akan memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dan diperlukan untuk kehidupan. Menyuburkan tanah Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisme dan akhirnya terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara bagi tumbuhan itu kembali. (3) Fungsi Estetika Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, akar bunga, yang berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan kota berstrata dua. Hutan kota dapat memberikan kenyamanan dan kenikmatan kepada kita. Apalagi bila kita dapat mengembangkan dan membangun hutan kota yang berstruktur, dengan keanekaragam jenis tumbuh-tumbuhan dan jumlah yang banyak serta ditata dengan baik. Diharapkan hutan kota dapat memenuhi tingkat kenyamanan yang dikehendaki, karena hutan kota dapat memodifikasi iklim mikro. Hutan kota yang berstrata banyak memberikan lingkungan sekitarnya relatif lebih nyaman daripada yang berstrata dua, dan di dalam hutan akan kita rasakan lingkungannya lebih nyaman dibandingkan dengan di luar hutan kota. Jangan lupa bahwa yang paling penting kita perlu menanam jenisjenis khas daerah sehingga hutan kotanya akan mempunyai ciri spesifik, mungkin tiap daerah sudah menetukan maskot jenis tanaman. Jangan lupa peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan sangat dominan, oleh karena itu dalam semua kesempatan perempuan perlu diikutkan. » Latihan : 1. Apa yang dimaksud dengan Ruang Publik ? 2. Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Kota? 3. Buatlah sebuah analisa tentang kondisi fasilitas kota yang ada di kota- kota besar di Indonesia terutama Jakarta ! 4. Apa perbedaan antara ruang puiblik dengan ruang privat ? 5. Jelaskan manfaat dari Ruang Publik ! Ringkasan : Ruang publik merupakan ruang terbuka yaitu sebagai wadah yang dapat digunakan untuk aktivitas penduduk kota sehari-hari. Aktivitas yang dilakukan pada ruang terbuka misalnya rekreasi atau hiburan, olah raga, bersantai, tempat untuk mengembangkan industri wisata, tempat-tempat pertemuan, dan tempattempat perdagangan. Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut maka kota dapat diklasifikasikan menjadi : (1) Pertama adalah kota tradisional, yaitu kota yang ketiga fungsi publiknya masih hidup secara bersamaan. Biasanya kota jenis ini didapat pada kota kecamatan di Indonesia, dimana pasar tradisional masih memiliki kekuatan sentral yang kuat. (2) Kedua adalah kota yang diserbu ( invaded city ) fungsi biasanya fungsi lalu lintas mendominasi sebagian besar ruang publik sehingga fungsi ruang publik yang lain tersingkirkan. Misalnya muncul pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota besar di Indonesia maupun kota-kota yang baru berkembang. (3) Ketiga adalah kota yang ditinggalkan ( abandoned city ) dengan kondisi ruang publik dan aktivitasnya telah hilang. Kondisi ini dapat terjadi karena pusat kota berpindah lokasi. berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan modern. (4) Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) dengan adanya upaya yang kuat untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang public sebagai tempat untuk bertemu, berdagang, dan berlalu lintas. Pada umumnya semakin besar sebuah kota maka semakin lengkap pula fasilitas kota yang dimilikinya selain itu juga tergantung dari kondisi letak geografisnya. Pada kota-kota besar yang berada di wilayah pantai pasti akan memiliki pelabuhan baik yang bertaraf Internasional maupun nasional, begitu pula untuk Bandara. Fasilitas kota yang merupakan baik ruang publik maupun ruang privat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga kota. Adapun permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hal fasilitas kota adalah yaitu : penanganan Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan public maupun fasilitas kota, seperti persoalan parkir yang memakan tempat berlebihan ataupun memakan bahu jalan, masalah Pedagang kaki Lima (PKL ), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang berserakan, dan penggunaan ruang public yang kumuh. BAB VI. INTERAKSI DESA KOTA Untuk membicarakan tentang ketergantungan desa-kota dalam keadaan sehari-han seperti terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi jika dilihat secara mendalam disini terdapat semacam interaksi yang melahirkan ketergantungan ini. Sebelum dikemukakan tetang ketergantungan desa kota, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kota itu sesungguhnya. Mannier mengatakan "suatu kota adalah keseluruhan dari masyarakat yang dasar geografisnya sangat terbatas untuk ukuran banyak penduduk" atau dengan kata lain elemen teritorialnya lebih sempit/kecil dari elemen manusianya. Jadi pandangan Mannier tentang kota dapat dilihat bahwa ia lebih menekankan pada hubungan antara aspek geografis dengan aspek manusia yang bermukim didalamnya (Leibo, 1990: 13). Sementara itu Wirth lebih melihat kota sebagai tempat berhubungan antara sesama individu, maupun kelompok didalamnya dengan menjelaskan "kota merupakn tempat yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang heterogen kedudukan sosialnya (Leibo, 1990:13), sedangkan pandangan Cristaller tentang kota, menjelaskan bahwa "Kota berfungsi menyelenggarakan penyediaan jasa-jasa bagi daerah lingkungannya". Jadi disini lebih ditekankan sebagai pusat perdagangan Tentang hubungan antara manusia dalam masyarakat kota itu sendiri oleh Gist dan Fava dalam bukunya Urban Society (1964:488-497) mempunyai beberapa dimensi antara lain: a) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya berdasarkan aturan-aturan atau norma keluarga, suku, dan badan agama b) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh lembagalembaga politik, ekonomi, dan hukum atau lembaga-lembaga lain yang formal sifatnya. c) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh lembaga atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh berbagai bentuk asosiasi sukarela. Interaksi ini dapat dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya dan sebagainya, yang cepat atau lambat dapat menimbulkan suatu kenyataan. Interaksi ini dapat terjadi karena adanya unsur-unsur dari dalam itu sendiri, maupun di dalam kota ini. Arti "interaction" (interaksi) menurut Yoseph S. Rouchek (Leibo,1990:15) adalah interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung maupun melalui media masa (kontak tidak langsung). A. Potensi Desa Ketergantungan kota terhadap desa, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut : a. Sebagai supplier bahan-bahan atau hasil pertanian, perikanan, petemakan pun kerajnan sebagai kebutuhan masyarakat kota. Sebagai supplier bahanbahan tersebut karena diketahui bahwa desalah merupakan sumber produksinya. b. Sebagai supplier bahan-bahan mentah atau bahan baku bagi industri atau pabrik-pabnik dan proyek-proyek.. Misalnya saja buah-buahan untuk pabrik minuman, kapas untuk industn kecil, kopra untuk minyak goreng, ataupun bahan-bahan untuk bahan material bagi proyek-proyek pembangunan (gedung, jalan, jembatan dan sebagainya). c. Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri (barang-barang jadi maupun alat-alat mekanisasi pertanian, dsb) d Sebagai sumber tenaga kerja bagi industri-industri, pabnik-pabrik, dsb. Dengan saling interaksi semacam ini, ada suatu hal yang harus diingat yaitu bahwa: sampai berapa jauh ketergantungan/interaksi dasa terhadap kota tergantung dari besarnya kota itu sendiri. Semakin terisolasir suatu desa semakin kecil ketergantungan terhadap kota. Hal diatas terjadi demikian oleh karena secara geografis desa terisolir, keadaan ini menimbulkan "Lack of Comminication" yaitu hubungan dengan masyarakat luar tidak terselenggara dengan baik karena sulitnya transportasi, dsb. B. Potensi Kota Interaksi terjadi atas dasar potensi yang ada baik pada masyarakat desa maupun kota, maka sifat ketergantungannya dapat dilihat dalam hal sebagai berikut: a. Kerana kota merupakan tempat pemasaran hasil-hasıl pertanian, penkanan, petemakan serta kerajinan tangan sekaligus sebagai tempat mereka mendapatkan benda-benda pemuas kebutuhan hidup yang mereka perlukan. Dari keadaan ini, ada dua hal yang dapat dilihat, pertama kota merupakan "trade centre” dalam artian kota sebagai tempat mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi). b. Kota merupakan tempat dimana terdapat sarana-sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh orang-orang desa, terutama dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi). c. Kota sebagai tempat memperoleh lapangan kerja bagi desa, karena kita mengetahui bahwa akibat sempitnya lahan pertanian yang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang cukup besar, mendorong orang desa untuk melakukan mobilitas keluar desa untuk mendapatkan lapangan kerja. Dengan saling interaksi semacam ini, ada suatu hal yang harus diingat yaitu bahwa: sampai berapa jauh ketergantungan/interaksi dasa terhadap kota tergantung dari besamya kota itu sendiri. Semakin terisolasir suatu desa, semakin kecil ketergantungan terhadap kota. Hal diatas terjadi demikian oleh karena secara geografis desa terisolir, keadaan ini menimbulkan "Lack of Comminication " yaitu hubungan dengan masyarakat luar tidak terselenggara dengan baik karena sulitnya transportasi, dsb. C. Interdependensi Desa - Kota Bilamana interaksi desa-kota dilihat dari sudut pandang dinamikanya, maka disini dapat dilihat pengaruhnya yang cukup dominan dari masyarakat kota atas masyarakat desa. Pengaruh ini dapat kita lihat lewat timbulnya gejala-gejala yang ada di dalam masyarakat desa antara laın : a. Adanya disequilibrium atau ketidakseimbangan dalam beberapa aspek kehidupan di desa misalnya pemilikan barang-barang tertentu, tidak digunakan sebagaimana fungsinya, akan tetapi berlaku sebagai status simbol sosial saja. Pesawat televisi berwama yang sesungguhnya sebagaimana fungsinya, akan tetapi berfungsi sebagai status sosial bagi pemiliknya Demikian juga dengan benda-benda berharga lainnya. b. Adanya pertentangan antara tradisi dengan keadaan yang sedang berkembang. Kalau kita pandang tradisi dalam pengertian yang sederhana adalah adat. Adat adalah aturan sikap dan tingkah laku dalam berkelompok. Aturan ierucbut berasal dari masa lampau. Oleh karena itu dalam pengertian tradisi, selalu terkandung makna "ajeg" dari waktu-waktu. Dengan demikian masyarakat tradisional adalah masyarakat yang "ajeg" yang relatif hampir tidak menunjukan perubahan sama sekali.memang kalau kita melihat masyarakat desa yang masih sederhana, yang sedikit banyak masih dalam sistem ekonomi rumah tangga tertutup, tradisi masih bisa tetap bertahan dengan kuat, kemudian dapat bisa mengatur sikap dan tingkah laku para anggotanya secara efisien. Jadi kondisi sosial masih bisa dibentuk oleh tradisi tersebut. Dalam kenyataanya masyarakat desa seperti ini sudah jarang kita jumpai. Desa-desa atau daerah-daerah yang terisolasir, tidak dapat mempertahankan isolasinya karena kemajuan-kemajuan teknologi modem (revolusi dibidang komunikasi, transportasi, elektronika, radio, dsb) menyebabkan jaringan komunikasi ini dapat menerobos ke daerah-daerah bagaimanapun sukamya. Sementara itu pertambahan penduduk yang pesat, cukup punya pengaruh yang dominan bagi semakin sulitnya desa-desa tetap mempertahankan kondisi "self suporting", meskipun teknologi, dibidang pertanian sudah maju. Dengan demikian keadaan diatas tentunya berpengaruh pada berlakunya tradisi yang ada. Sebagai contoh "Sambatan" (kerja bareng) yang sesungguhnya punya fungsi sebagai sistem kerjasama dengan sempitnya lahan garapan sudah dipandang tidak efektif lagi. Begitu pula dengan "slametan" yang memiliki fungsi sebagai sistem ikatan sosial, dipandang terlalu mahal. c. Lembaga-lembaga tradisional tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Gist dan Fava dalam bukunya "Urban Society" mengartikan salah satu lembaga tradisional ialah keluarga inti/keluarga batih. Dalam masyarakat tradisional atau yang masih sederhana disebut bahwa segala macam aspek kehidupan hampir dapat memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat secara umum. Akan tetapi kita melihat saat ini dimana adanya kontak dengan dunia luar (terutama dengan masyarakat kota) maka berkembanglah kondisi-kondisi yang lebih baru yang lebih lanjut berakibat terjadinya perubahan-perubahan ataupun pergeseran dalam fungsi atau kepentingan tertentu. Semula urbanisası dipercaya banyak orang dapat memberikan kemakmuran di kota maupun di desa, tetapı tampaknya perkiraan tersebut tidak seluruhnya benar teriadi. Dengan berduyun-duyunnya penduduk desa ke kota, diharapkan para urbanis tidak saja ikut mampu membangun kota, tetapi diharapkan pula mampu membangun desanya melalui penghasilan yang disisihkan sebagai suatu modal untuk melakukan kegiatan ekonomi desa. Memang penghasilan yang disisihkan ini mampu menambah kesejahteraan penduduk desa, tetapi tidak mampu untuk melakukan dinamisasi aktivitas perekonomian di desa. Hal ini dikarenakan penghasilan yang ditinggalkan di desa seringkali digunakan untuk mengkonsumsi barang-barang konsumtif yang dihasilkan oleh kota, seperti televise, radio, VCD, atau untuk biaya sekolah anak-anak yang masih kecil maupun untuk membangun rumah. Selama desa dan kota mengalami kesenjangan, pengereman arus urbanisasi sulit dilakukan. Untuk mengatasinya perlu ditawarkan lebih banyak alternatif lapangan pekerjaan di desa, dengan memberikan keterampilan kepada masyarakatnya untuk dapat melakukan aktivitas industri rumah tangga, seperti kerajinan tangan, home industri, dan lain-lain. Produk ini dapat dipasarkan untuk konsumsi masyarakat kota atau masyarakat pinggiran kota, dengan mengingat standar tertentu, seperti factor higienis.penyajian, dan mode yang menarik serta manajemen yang lebih professional. Apabila standar kualitas produk dapat dipenuhi akan dapat dilakukan kerja sama antara industri rumah tangga di desa dengan industri di kota Penciptaan lapangan kerja di desa ini kiranya bukan sesuatu yang mudah digerakkan karena berkaitan masalah kultural, motivasi kerja, keterampilan, dan modal. Pada masa otonomi daerah masalah ini perlu diperhatikan. Salah satu jalan yang terbaik adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat desa. Dengan pemberdayaan ini diharapkan masyarakat desa memiliki aktivitas ekonomi sendiri sehingga penduduk usia produktif tidak perlu ke kota untuk mencari lapangan kerja. Bahkan dengan penciptaan lapangan kerja di desa penduduk usia non produktif (anak-anak dan usia lanjut ) bisa memperoleh kesibukan dengan membantu kegiatan ekonomi yang terselenggara, seperti membantu dalam proses produksi. Hal yang sama terjadi di beberapa kota di RRC dewasa ini bahwa industri rumah tangga mengikutsertakan penduduk usia nonproduktif dalam proses produksi, seperti aktivitas perakitan produk-produk elektronik dan mainan anak-anak untuk diekspor. Apabila kegiatan ekonomi di desa ditumbuhkan, penghasilan masyarakat akan meningkat. Akibatnya ada kecenderungan orang untuk membelanjakan penghasilannya sehingga dibutuhkan prasarana dan sarana lain tertentu dengan level tertentu, seperti supermarket, tempat hiburan, dan jaringan telekomunikasi. Dengan demikian perbedaan desa dan kota tidak terlalu mencolok sehingga kota tidak over-urbanized. Latihan I. Jelaskan potensi desa sesuai dengan kondisi alam dan sosial budayanya ! 2. Jelaskan potensi kota sesuai dengan karakteristik wilayahnya ! 3. Apa yang dimaksud dengan Interaksi desa-kota ? 4. Apa upaya untuk mengerem laju migrasi ke kota ? 5. Jelaskan pengaruh dari adanya interaksi desa – kota ! Ringkasan Interaksi merupakan suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya, dan sebagainya yang cepat atau lambat dapat menimbulkan suatu kenyataan. Interaksi desa kota berarti interaksi antara desa dan kota berdasarkan potensi dari masing-masing wilayah tersebut. Interaksi desa kota tergantung dari besamya kota itu sendiri dan semakin terisolir suatu desa semakin kecil ketergantungan terhadap kota. Pengaruh dari adanya interaksi desa- kota adalah : (1) adanya disequilibrium atau ketidakseimbangan dalam beberapa aspek kehidupan di desa, (2) adanya pertentangan antara tradisi dengan keadaan yang sedang berkembang, dan (3) lembaga-lembaga tradisional tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Untuk dapat mengerem laju migrasi penduduk desa ke kota tidak lain adalah melalui pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa berdampak pada peningkatan ekonomi perdesaan karena mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada usia produktif maupun non produktif. BAB VII. URBANISASI DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Urbanisasi Dalam rangka menemukan sebuah definisi atau konsepsi urbanisasi diperlukan beberapa pertimbangan dimana pertimbangan ini didasarkan atas sifat yang dimiliki arti dan istilah urbanisasi, yaitu multi sektoral dan kompleks, misalnya sara : (l) dari segi Demografi, urbanisasi ditunjukkan melalui ini dilihat sebagai perubahan suatu wilayah. Masalah-masalah berakibat suatu proses yang penyebaran penduduk mengenai dalam kepadatan penduduk lanjut terhadap masalah perumahan dan masalah kelebihan tenaga kerja menjadi masalah yang sangat merisaukan karena dapat menghambat pembangunan, (2) dan dari segi ekonomi, urbanisasi adalah perubahan struktural dalam Ini dapat dilihat dari banyaknya meninggalkan pekerjaannya sektor mata pencaharian. penduduk desa yang di bidang pertanian, beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja kasar yang sifatnya non agraris di kota. Masalah-rnasalah yang menyangkut mata pencaharian sektor informal atau lebih dikenal dengan istilah pedagang kaki lima, (3) dalam pengertian sosiologi rnaka urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup penduduk dalam lingkungan perdesaan yang mendapat pengaruh dari kehidupan kota. Dal am hal ini apakah mereka dapat bertahan pada cara hidup orang kota yang belum mereka kenal secara mendalam, sehingga akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosiologis yang barn. Dari segi sosiologi urbanisasi dapat menimbulkan lapisan sosial yang baru clan menjadi beban kota karena kebanyakan dari mereka yang tidak berhasil hidup layak di kota dan akan menjadi penggclandang membentuk daerah slum atau daerah human liar, dan (4) dalam pengertian geografi, urbanisasi ini dilihat dari segi distribusi, difusi perubahan, dan pola menurut waktu dan tempat. Selain itu urbanisasi dapat juga dipandang sebagai suatu proses, yaitu : (1) meningkatnya jumlah penduduk kota menjadi lebih mengggelembungdan membengkak sebagai akibat dari pertambahan penduduk, baik oleh basil kenaikan fertilitas penghuni kota maupun karena adanya tembahan penduduk dari desa yang bermukim dan berkembangg di kota, mirip dengan apa yang terjadi di Asia Tenggara, (2) bertambahnya Negara atau wilayah ckonomi, budaya. sebagai jumlah akibat kota dalam dari suatu perkembangan dao teknologi yang baru, dan (3) berubahnya kehidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kehidupan kota. Dalam proses urbanisasi ini ada lima hal penting harus menjadi perhatian, yaitu: Mengenai proses inovasi generasi ke genersi Mengenai penyebaran dan inovasi tersebut Mengenai control terhadap pengambilan keputusan Mengenai proses latar belakang perpindahan penduduk; dan Pembiayaan yang berkaitan dengan penanganan urbanisasi ini. Adapun tingkat kecepatan urbanisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah: Tingkat Pendidikan penduduk terlibat Tingkat kesehatan masyarakat Presentase penduduk miskin Latar belakang pertanian di daerah pedesaan Kondisi geografis Fungsi serta peran kota sebagai faktor penarik Tingkat kebutuhan akan lapangan pekerjaan. Kalau kita melihat pengertian tentang urbanisasi ini, mengandung arti bermacam-macam antara lain seperti apa yang dikemukakan Schoorl (198:263) sebagai berikut: a. Arus pindahnya kota b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris disektor industry dan sektor jasa. c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota d. Meluasnya pengaruh kota di daerah pedesaan mengenai segi ekonomi, sosial, budaya, dan psikologi. Istilah “urbanisasi” merupakan sebuah istilah yang banyak dikenal dalam dunia pengetahuan, baik di Indonesia maupun luar negeri. Istilah tersebut tidak hanya dikenal tetapi juga dialami oleh penduduk kota dan desa, terutama di negara-negara sedang berkembang. Baik di sadari maupun tidak mereka itu ikut menjadi penyebab atau bebab urbanisasi. Urbanisasi merupakan suatu gejala, peristiwa, atau proses yang sifatnya multisectoral, baik ditinjau dari sebab maupun akibatnya yang di timbulkan. Permasalahannya Nampak sederhana maupun sifatnya sangat kompleks. Ditinjau dari konsep keruangan (spasial) dan ekologi, urbanisasi merupakan gejala, geografis, pertama, karena adanya gerakan/perpindahan penduduk dalam satu wilayah satu perpindahan penduduk yang terjadi disebabkan adanya salah satu kompenen dari ekosistem setempat. Ketiga, terjadinya adaptasi ekologis yang baru bagi penduduk dari daerah asal daerah yang baru, dalam hal ini kota. Seorang ahli ekonomi perkotaan dari Universitas Colombia menyebutkan bahwa urbanisasi adalah wujud perubahan ekonomi dan cara hidup masyarakat dan berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, dan bahwasanya laju peningkatan GNP perkapita tergantung pada cepatnya urbanisasi dipacu. Demikian juga Jacopbon dan Prakash ahli ekonomi dari Beverlay dan Goh dari Oxford University dalam banyak penelitian perkotaan di Asia Tenggara setelah tahun 1970-an menyimpulkan bahwa tingkat urbanisasi yang terlampau rendah dan mengabaikan kebutuhankebutuhan kota, dapat memperlambat kemajuan ekonomi dan menimbulkan kemunduran lingkungan kota yang membahayakan. Secara demografis urbanisasi diartikan sebagai proporsi penduduk perkotaan terhadap total penduduk pada suatu negara. Prosesnya berlangsung sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan definisi demografis tersebut, dapat dihitung bahwa pada tahun 1980 tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 22,3% sementara pada tahun 1990 angak ini mecapai30,9% pada thun 1995 (dapat SUPAS 1995) propinsi ini mencapai 36% artinya secara rata-rata dari tiap 100 orang di Indonesia 36 orang diantaranya tinggal di wilayah perkotaan, dan tentu saja angka ini meningkat terus dari waktu ke waktu. Perkembangan penduduk perkotaan serta urbanisasi yang di jelaskan diaas adalah suatu yang tidak mungkin kita hindari. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, kita akan menghadapi arus ini. Dengan demikian tampaknya tidak ada pilihan lagi bagi kita, selain harus menghadapi serta mengelolanya. Suatu konsekwensi langsung dari perkembangan ini adalah perkembangan kota-kota karena setelah melewati tahun 2005, maka berangsur-agsur sebagian besar penduduk Indonesia akan berada di wilayah perkotaan. B. Faktor pendorong dan Penarik Urbanisasi (Push and Pull Factor) Para ahli demografi pada umumnya cenderung untuk menggunakan faktor-faktor daya tarik dan daya dorong (push and pull factor) pada waktu mereka berbicara mengenru urbanisasi. Secara umum jika menelaah sebabsebab urbanisasi, maka kedua faktor diatas harus diperhahkan faktor-faktor pendorong bagi penduduk desa meninggalkan tempat ked1amannya (push factor) adalah hubungannya : Lapangan kerja yang relatif langka, yang mi ada dengan man land ratio yang timpang. Di desa tidak ada kesempatan untuk menambah pengetahuan Oleh karena itu yang punya keinginan labih maju, kemudian meninggalkan desanya. Penduduk desa terutama kaum mudanya, merasa tertekan oleh adat istiadat yang ketat menyebabkan cara hidup yang ada monoton saja. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwanya mereka banyak yang pergi ke kota. Bagi penduduk yang mgin mengembangkan keahlian (pengembangan skill) yang lain dari pertanian. Misalnya bidang industry kecil dan kerajinan, mereka ini tentu menginginkan prasarana yang lebih luas. Dan ini tidak mungkin terdapat di desa. a. Rekreasi sebagai salah satu faktor penting dibidang spriritual sangat kurang, kalaupun ada sangat lambat perkembangannya. Sedangkan faktor-faktor penarik dari kota (pull factor) yang menjadikan penduduk datang ke kota adalah: a. Penduduk desa kebanyakan dihinggapi anggapan bahwa dikota banyak tersedia lapangan pekerjaan, serta banyak penghasilan (uang). Atau kota sebagai prasarana tenaga kerja. b. Kota merupakan pusat fasilitas. Misalnya bidang Pendidikan (pendidikan lanjutan), juga rekreasi, dan lain-lain. c. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, dan merupakan tempat pergaulan dan segala macam orang dari berbagai lapisan. d. Kota merupakan tempat untuk mengembangkan sklill atau semi skill yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Dari kedua faktor diatas jika melihat lebih mendalam, proses migrasi kekota itu menyangkut keputusan dan tindakan yang tidak demikian sederhannya. Dalam pengambilan keputusan dan perujudannya berupa tindakan untuk bermigrasi kekota, telah melalui proses kognitif yang kompleks, yang merupakan faktor-faktor daya Tarik kota dan gaya dorong desa, nampaknya hanya merupakan faktor eksternal saja. Mengapa demikian? Hal ini karena dalam proses kognitif itu telah terjadi dalam diri si pelaku hal-hal sebagai berkut: (1) Faktor-faktor diatas (push and pull factor) telah terinterpretasikan. Sehingga interpretasi inilah yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku. (2) Interpretasi tersebut diatas disesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan, hubungannya dengan usaha mempertahankan hidupnya. Sehingga yang lebih menonjoln dalam proses pengambilan keputusan dan dindakan untuk bermigrasi kekota adalah : “kebutuhan yang dirasakan itu” (3) Sehubungan dengan kebutuha yang dirasakan itu, yang paling utama yang ada pada setiap manusia (termasuk juga warga desanya) adalah kebutuhan untuk dapat tetap dapat melangsungkan kehidupannya (survival). Keputusan untuk bermigrasi yang diwujudkan dalam tindakan meninggalkan desa, biasanya diambil kalua mereka memperhitungkan bahwa kehidupan mereka ditempat yang baru akan menjadi lebih baik dari tempat asalnya (baik dalam artian secara jasmaniah, sosial, maupun kejiwaan atau salah satu diantaranya). Namun kadangkala ataupun kerap terjadi apa yang diidamkan itu lain dengan kenyataan yang mereka alami. Terutama yang bermigrasi buruh tani yang tidak memiliki pengetahuan khusus, tapi bisa menggunakan tenaga untuk pekerja mereka. Atau pelajar dengan meggunakan pengetahuan umum, yang tidak mempunyai suatu keahlian pengetahuan spesialis. Mereka yang disebutkan diatas , karena tidak mempunyai modal uang, dikota mereka bekerja pada lapangan-lapangan pekerjaan yang memerlukan tenaga kasar, karena itu pendapatan mereka pun tergolong rendah. Sebagian dari mereka yang tidak memperoleh pekerjaan dengan sistem upah, biasanya menjadi “gelandangan” (tuna karya). Di Indonesia urbanisasi pada umumnya mempunya kaitan dengan timbulnya masalah-masalah sosial, ekonomi, dan pemukiman, baik dikota maupun didesa. Sebab-sebab urbanisasi antara lain: a. Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami kota b. Sebagai akibat dari perpindahan penduduk dari desa kekota c. Berkembangnya daerah tepian kota. Kadang-kadang ketiga sebab tersebut terjadi bersama-sama, sehingga dapat mempercepat proses urbanisasi disuatu wilayah tertentu, kecepatan urbanisasi di Indonesia tergantung pada beberapa faktor antara lain: a. Tingkat Pendidikan penduduk terlibat b. Tingkat kesehatan masyarakat c. Presentase penduduk miskin d. Latar belakang pertanian di daerah pedesaan e. Fungsi serta peranan kota-kota sebagai faktor penarik. Kecepatan urbanisasi ini juga merupakan akibat dari lajunya pembangunan kot adan sekitarnya antara lain perluasan daerah-daerah industry ditepian kota, sehingga kesempatan kerjapun lebih meningkat tenaga kerja dari daerah sekitarnya kota tersebut. Sebagai akibat dari cepatnya pertumbuhan penduduk yang ditunjang dengan perkembangan ekonomi, transportasi dan Pendidikan, maka frekuensi mobilitas semakin meningkat. Urbanisasi sebagai salah satu hasil dari keadaan tersebut diatas telah melanda kota-kota dinegara maju maupun negara berkembang. Maka ternyata urbanisasi ini memiliki implikasi terhadap berbagai sektor kehidupan seperti: (a) Jumlah perluasan fisik kota kearah daerah tepian atu pinggiran kota yang menimbulkan permasalahan baru mengenai soal administratif pertanahan dan administratif pemerintahan. (b) Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut di perhatikan. Banyak daerah hijau (Green Belt) telah menjadi daerah industry atau daerah permukiman. (c) Pertambahan penduduk kota begitu cepat, sudah sulit diikuti dengan kemampuan daya dukung kotanya. (d) Pertambahan kesadaran bermotor dua dan empat yang membanjiri kota dengan tidak henti-hentinya menimbulkan berbagi pencemaran seperti pencemaran udara, kebisingan. (e) Dalam sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Bermacam-macam usaha atau kegiatan disbanding transportasi, perdagangan dan jasa timbul dari mereka yang bermodal gurem sampai yang bermodal besar, terutama timbulnya kegiatan sektor informal. Hal lain yang merupakan implikasi negative daripada urbanisasi adalah apa yang disebut sebagai “Housing Problem” yaitu: a. Rumah-rumah permanent (sementara) dengan kondisi MCK yang buruk, yang letaknya berdampingan satu sama lainnya, dengan luas tempat tinggal yang terbatas atau menciptakan kondisi kesehatan yang buruk. b. Dengan keadaan yang seperti diatas itu, maka membawa pengaruh buruk bagi perkembangan jiwa anak (timbulnya kenakalan anak remaja), dan kadangkala hubungan ketetanggaan yang ada kurang harmonis. Juga timbulnya berbagai macam kriminalitas. Pengaruh urbanisasi tidak saja membawa hal negatif bagi masyarakat tempat mereka bermukim, akan tetapi hal yang sama berlaku juga bagi tempat yang mereka tinggalkan (desanya). Desa yang ditinggalkan terlihat hal-hal sebagai berikut : (1) Hilangnya tenaga muda sebagai tenaga potensial bagi pembangunan desanya (2) Terjadinya perubahan hubungan dalam keluarga seperti (hubungan “anak-ayah” relatif menjadi renggang) (3) Timbulnya pendidikan anak yang matriarchat. Artinya pendidikan anak yang diperoleh dari ibu saja, karena yang meninggalkan desa biasanya kaum lelaki. Pendidikan disini maksudnya dalam proses sosialisasi anak. (4) Juga terjadi krsis moral dikalangan masyarakat yang bersangkutan. Peran kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sebagainya konsentrasi penduduk akan menjadi sangat menonjol. Diakui bahwa akan banyak dampak negatif dari urbanisasi yang sangat cepat ini, mulai dari masalahmasalah lingkungan seperti pencemaran/polusi air, udara, dan tanah. Kemacetan lalulintas, hilangnya lahan-lahan pertanian subur, kebutuhan akan prasarana dan sarana kota yang semakin meningkat, sampai kepada masalah-masalah sosial seperti kriminalitas, penyedia lapangan kerja bahkan kesenjangan sosial. Namun demikian, terlepas dari masalahmasalah tersebut, perkembangan kota seperti ini juga mempunyai dampak positif, misalnya pada tahun 1990 tercatat kontribusi sektor-sektor ekonomi perkotaan pada GDP di Indonesia telah mencapai 50% dan angka ini diperkirakan meningkat lagi dimasa akan datang. Dilihat persebaran jumlah penduduk perkotaan di Indonesia masingmasing sangat terkonsentrasi di kota-kota besar saja. Data sensus penduduk 1990 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di metropolitan Jabotabek telah mencapai 23,6%. Sementara itu jumlah penduduk perkotaan pada empat wilayah metropolitan terbesar (JABOTABEK, GERBANGKERTASUSILA, BANDUNG RAYA, dan MEDAN RAYA) telah mencapai 40,6%. Hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kesenjangan antara perkembangan kota-kota besar dengan kota-kota kecil yang menjadi ciri umum pola urbanisasi di negara-negara yang sedang berkembang yang secara sangat tegas ditujukan misalnya oleh metropolitan Bangkok di Thailand. Sampai dengan tahun 2005, JABODETABEK masih akan mendominasi konsentrasi penduduk perkotaan di Indonesia. Dilihat dari kegiatan ekonominya, perkembangan kota-kota besar di Indonesia seperti juga yang terjadi di berbagai negara sedang berkembang, mulai dicirikan dengan perkembangan sektor-sektor jasa dan umunya berlokasi di wilayah pusat kota. Sementara itu kegiatan manufaktur bergeser ke pinggiran kota. Disamping itu wilayah pinggir kota semakin dominasi oleh pembangunan permukiman berskala besar dan kota-kota baru yang sebagian dibangun secara eksklusif untuk kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bila dilihat dari lapangan kerja, kota-kota besar semakin beragamnya segmen-segmen lapangan kerja, mulai dari menejer, professional, sampai kepada pekerja-pekerja yang berada disektor informal. C. Perkembangan Urbanisasi Pada masa industri kota diwarnai dengan proses urbanisasi yang ditandai dengan kedatangan para pekerja ke kota. Akibatnya pusat kota menjadi padat penduduk. Kota menjadi bising dan nilai lahan menjadi tinggi. Kondisi ini mendorong sebagian penduduk kota menempati daerah pinggiran kota sebagai tempat tinggal. Proses berpindahnya penduduk ke pinggiran kota disebut dengan suburbanisasi. Suburbanisasi biasanya dilakukan oleh penduduk yang berstatus social ekonomi menengah ke atas. Mereka mencari kawasan strategis sebagai tempat tinggal. Beberapa kawasan yang dianggap strategis adalah kawasan yang nyaman dan aman lingkungannya, kawasan yang indah pemandangannya, dan kawasan yang pada masa mendatang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sebagian penduduk kota yang tidak melakukan suburbanisasi adalah penduduk lama kota tersebut, sekalipun tingkat status sosial ekonominya tidak rendah. Penduduk lama suatu kota biasanya telah terpolakan kegiatannya sudah sejak dari awal tinggal di pusat kota Mereka terbiasa memenuhi kegiatan dan kebutuhan hidupnya di pusat kota dengan segera, misalnya pergi ke tempat kerja tanpa memakan waktu yang lama, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan hiburan yang terdapat di pusat kota. Akibatnya mereka enggan meninggalkan pusat kota. Mereka lebih suka menetap di tengah kota dan tinggal di rumah dan toko (ruko) serta rumah dan kantor (rukan) sebagai tempat tinggal sekaligus tempat untuk usaha. Penduduk kota dengan status sosial ekonomi rendah seperti buruh, tetap memadati pusat kotak karena pertimbangan biaya transportasi. Dengan tetap tinggal di pusat kota mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi yang dirasakan cukup besar daripada jika tinggal di kawasan pinggiran kota (suburban). Mereka bahkan memilih tinggal di gubuk-gubuk kota di daerah slum maupun squatter dipusat kota. Mereka rela tidur di ruang yang sempit dan pengap. Kadangkala di tempat itu seorang istri membuka warung makan atau kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para buruh. Ketika malam tiba mereka sekeluarga tidur di dalam warung itu. Ada pula beberapa kelompok pengembara, pengemis yang tidur di teras-teras tempat umum atau berteduh di teras serambi suatu kantor. toko maupun bangunan lainnya. Pada perkembangannya di kota yang padat terpikirkan juga penyediaan suatu tempat tinggal eksklusif dipusat kota. Tempat tinggal eksklusif yang bersusun dengan perlengkapan modern yang biasa ditempati oleh masyarakat kota kelas atas disebut apartemen. Unit-unit apartemen ini ada yang disewakan maupun dijual. Pembangunan apartemen dan rumah-rumah eksklusif di pusat kota mendorong masyarakat kelas atas dan elite tertarik kembali untuk tinggal di pusat kota. Tempat tinggal yang eksklusif ini lebih efisien, praktis, privat, dan mendatangkan rasa gengsi tersendiri. Sedangkan tempat tinggal bersusun dengan perlengkapan yang sederhana yang biasa ditempati oleh masyarakat kota kelas bawah disebut dengan rumah susun. Rumah susun adakalanya juga dibangun di pusat kota. Proses menempati kembali pusat-pusat kota oleh penduduk disebut reurbanisasi Pada tahap selanjutnya dengan meingkatnya taraf kehidupan yang lebih tinggi lagi, masyarakat kelas atas kembali membutuhkan tempat istirahat dan kenyamanan tempat tinggal yang lebih tinggi pula. Masyarakat kota kelas atas seperti golongan elite membutuhkan tempat tinggal di luar kota ( daerah penyangga kota ) dengan mencari kawasan yang sejuk dan indah. Mereka membangun villa di pegunungan yang sejuk. Kegiatan sehari-hari tetap dilakukan di pusat kota, tetapi pada hari libur mereka beristirahat di villavilla Proses berpindahnya penduduk kota ke luar kota disebut dengan Konurbanisasi (Conurbanization). Biasanya proses konurbanisasi ini melahirkan kegiatan lain yang mengikutinya di sepanjang jalan menuju daerah penyangga, seperi rumah makan, hotel maupun penginapan, tempat rekreasi dan tempat kesehatan Dewasa ini dimungkinkan pula kegiatan one stop recreation yaitu pada satu tempat rekreasi dilakukan pula aktivitas yang lain. Misalnya sebuah hotel atau penginapan selain menawarkan tempat yang rekreatif, juga menawarkan pusat kebugaran, pusat kecantikan, serta pusat jajanan dan makanan. Masyarakat kota kelas menengah sebagian juga tinggal di luar kota. Hal ini terjadi karena pembangunan perumahan diarahkan ke luar kota dan mereka masih memiliki kemampuan mengeluarkan biaya transportasi untuk melakukan pekerjaannya di pusat kota. Atau kalau tidak, masyarakat kelas menengah melakukan aktivitas ekonomi di daerah penyangga, karena daerah penyangga memiliki prospek baru untuk kegiatan ekonomi. Pusat kota dianggap telah jenuh dengan altematif kegiatan ekonomi Sedangkan masyarakat kota kelas bawah tetap tinggal di pusat kota atau di rumah susun karena ketidakmampuannya memiliki rumah di luar pusat kota dan ketidakmammpuannya pula mengeluarkan biaya transportasi untuk menuju ke tempat bekerja di pusat kota Perkembangan urbanisasi ke suburbanisasi, reurbanisasi, dan konurbanisasi dapat digambarkan seperti di bawah ini. Gambar 12. Perkembangan Urbanisasi Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang pada taraf tertentu telah mengalami urbanisasi yang cukup pesat. Dari. data yang ada diperoleh penjelasan bahwa di Indonesia pada tahun 1960 penduduk yang tinggal di kota sebesar 15%, tahun 1970 sebesar 17%, tahun 1980 sebesar 22% dan tahun 1990 sebesar 31%. Dapat diperkirakan tahun 2000 sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di kota. Pada masa-masa mendatang angka persentase penduduk Indonesia yang tinggal di kota dapat lebih tinggi lagi. Tingkat urbanisasi yang tinggi banyak disebabkan oleh tingkat migrasi dari desa ke kota Komponen peningkatan alamiah mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari 68% pada periode 1961 - 1971 menurun menjadi 36,7% pada periode 1990 - 1995. Sebaliknya komponen migrasi memberikan sumbangan yang makin besar terhadap pertumbuhan kota dari tahun ke tahun. Apabila pada periode 1961 - 1971 angka migrasi hanya sebesar 32%, pada periode 1990 — 1995 menjadi 63% atau meningkat sebesar 31% selama lebih kurang tiga dekade. Indikator ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan faktor penyebab terjadinya pertumbuhan penduduk kota. Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan urbanisasi ! 2. Terangkan faktor-faktor yang mendorong orang untuk berurbanisasi ! 3. Terangkan faktor-faktor yang menarik orang untuk urbanisasi ! 4. Jelaskan dampak urbanisasi terhadap desa maupun kota ! 5. Bagaimana perkembangan urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia ? Ringkasan : Urbanisasi merupakan suatu gejala, peristiwa atau proses yang sifatnya multisektoral baik ditinjau dari sebab maupun akibat yang ditimbulkannya. Sebagai suatu proses urbanisasi adalah : (1) peningkaan jumlah dan kepadatan penduduk kota, dan (2) bertambahnya jumlah kota dalam suatu Negara atau wilayah sebagai akibat dari perkembangan ekonomi, social budaya, dan teknologi yang baru. Adapun faktor pendorong urbanisasi adalah : (a) lapangan kerja yang relative langka, (b) kurangnya kesempatan untuk menambah pengetahuan, (c) cara hidup yang ada lebih monoton, (d) kemungkinan pengembangan keahlian yang lain lebih besar, dan (e) kurangnya rekreasi dan hiburan. Sedangkan faktor-faktor penarik dari kota adalah : (1) tersedianya lapangan kerja yang banyak, (2) kota merupakan pusat fasilitas, (3) kota mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, dan (4) kota tempat untuk mengembangkan skill atau semi skill. Implikasi urbanisasi terhadap berbagai sector kehidupan antara lain yaiu : (a) jumlah perluasan fisik kota kearah pinggiran kota berdampak pada administratif pertanahan dan pemerintahan, (b) perubahan tata guna lahan, (c) berkurangnya daya dukung kota akibat pertambahan penduduk kota yang cepat, (d) pertambahan kendaraan bermotor yang terus meningkat, dan (e) struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Perkembangan urbanisasi pada kota-kota besar maupun kota-kota lainnya di Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada perkembangannya akibat terjadinya urbanisasi tidak saja penduduk kota mengumpul di pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan tinggal di pusat kota yang berakibat penduduk ( khususnya sebagian golongan masyarakat kelas menengah dan atas ) mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota ( suburbanisasi ). Pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka kembali lagi ke pusat kota ( reurbanisasi ) dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen, perumahan eksklusif, rumah toko dan rumah susun. Pada tahap selanjutnya masyarakat kelas atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagaisuatu rekreasi pada saat-saat tertentu ( konurbanisasi ) dengan aktivias tertentu yang menyertainya. Gejala ini dapat dilihat dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat peristirahatan di daerah penyangga kota. Upaya untuk mengurangi ledakan penduduk di kota dapat dilakukan dengan mengurangi arus urbanisasi, mengurangi kesenjangan kota — desa dan menerapkan konsep Agropolitan. BAB VIIL PEMETAAN WILAYAH KOTA DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN KOTA A. Pengertian Pemetaan Wilayah Kota Pemetaan wilayah kota merupakan kegiatan memetakan wilayah kota baik secara teristris maupun secara fotogrametris. Pada skala kecil dengan luas wilayah yang sempit digunakan pengukuran teristris yaitu pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan pada skala besar dengan wilayah yang luas digunakan pengukuran secara fotogrametris, yaitu pengukuran pembuatan peta melalui foto udara dengan menggunakan pesawat terbang/satelit. Umumnya kota-kota besar di Indonesia sudah dipetakan secara fotogrametris. Hasil pemetaan tersebut selanjutnya diidentifikasi sesuai dengan penampakan-penampakan yang ada di permukaan bumi baik penampakan fisik (alam) maupun penampakan sosial budaya (buatan). Dari identifikasi inilah diperoleh peta-peta secara tematis. Dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan dalam perencanaan wilayah. Berkaitan dengan permasalahan kota yang muncul sebagai dampak dari urbanisasi maka peta-peta tematik yang ada dapat membantu mengidentifikasi. Misalnya dimana lokasinya ? Berapa jaraknya dari satu tempat ke tempat lainnya ? Bagaimana pola dan sebarannya ? Bagaimana Kepadatannya ?. Data tersebut sangat diperlukan dalam menentukan kebijakan pembangunan di suatu kota. Adapun yang perlu dipetakan adalah: 1. Administrasi kota yang mencakup batas wilayah, seperti Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi. 2. Jaringan jalan dan tempat-tempat penting, Untuk jaringan jalan perlu diketahui lebar dan kualitas jalannya. Sedangkan tempat-tempat penting seperti terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, rumah ibadah, rumah sakit, museum. tempat rekreasi, 3. Kerapatan Bangunan. Yaitu berapa jumlah rumah/bangunan tiap satuan luas 4. Umur dan Tingkat Bangunan. Umur bangunan menunjukkan kapan bangunan tersebut mulai dibangun, sedangkan tingkat bangunan menunjukkan berapa jumlah lantai secara vertical 5. Kualitas Bangunan Adalah bahan-bahan bangunan yang digunakan 6. Penggunaan Lahan 7. Fasilitas Riool dan Kebersihan Kota 8. Fasilitas Ar Minum 9. Fasilitas Listrik 10. Status Tanah. 11. Harga Tanah per Meterperseg. 12. Data Lain seperti jumlah penduduk dan profesi mereka. Dari data yang ada terkait dengan perencanaan kota, maka masih terlihat kesenjangan/ketimpangan. Misalnya jaringan jalan dengan kemacetan lalu lintas, tempat-tempat penting seperti terminal, stasiun yang masih semrawut, penggunaan lahan kota yang masih banyak tidak sesuai/pelanggaran terhadap rencana umum tata ruang kota, jaringan riool kota yang belum optimal fungsinya sehingga memberikan kontribusi terhadap banjir, status tanah yang kepemilikannya masih banyak belum jelas/overlapping, dan lain-lain. Hal-hal tersebut sudah barang berkembangnya permasalahan perkotaan. tentu akan berdampak pada B. Identifikasi Permasalahan Kota Kota-kota besar di dunia menunjukkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akibat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah ini terjadi karena angka natalitas selalu lebih besar dari angka mortalitas. Ada dua pendapat di kalangan para pakar dalam menghadapi kemungkinan perusakan lingkungan alam oleh manusia, yaitu pandangan pesimis dan pandangan optimis. Salah satu pandangan pesimis adalah dari Thomas Robert Malthus (1978). Dalam teorinya yang terkenal itu, Malthus berpendapat bahwa jumlah penduduk dunia akan meningkat seperti deret ukur, sedangkan persediaan makanan hanya meningkat secara deret hitung. Lambat-laun akan terjadi kekurangan pangan yang akan mengancam kelestarian manusia. Namun, Francis Bacon (abad ke-17) berpendapat bahwa ilmu dan teknologi akan mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia. Abraham Lincoln dan F.D Roosevelt juga yakin pada kemampuan manusia untuk menguasai alamnya. Penemuan listrik, mesin, dan sebagainya memang telah membuktikan bahwa manusia berhasil memecahkan berbagai masalah pangan, transportasi, produksi, dan lainnyayang nyata telah meningkatkan taraf hidup manusia. Masalah lingkungan hidup sudah lama menjadi perhatian para ilmuwan, tetapi sejak tahun 1972 masalah ini baru terangkat ke dalam dunia politik setelah perwakilan berbagai negara menandatangani keputusan Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm. Sejak itu tanggal 5 Juni, yaitu hari pembukaan Konferensi PBB dijadikan Hari Lingkungan Sedunia. Perkembangan kota-kota yang semakin tak teratur pun terjadi bukan hanya semata-mata karena pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kecenderungan angka urbanisasi lebih besar dari angka reurbanisasi. Dengan kata lain orang lebih senang melakukan migrasi ke kota dari pada keluar dari kota. Mungkin hal ini muncul karena adanya pandangan bahwa kota dapat menyediakan kehidupan yang lebih baik dari pada tinggal di perdesaan. Memang semua fasilitas kehidupan tersedia di kota. Dan terjadilah berbagai efek dari memadatnya kota tersebut. Kota menjadi semakin tidak teratur, baik dilihat secara fisik maupun dari sisi sosial budaya. Permasalahan ini sebetulnya tidak timbul baru-baru ini. Pada awal abad ke 20, ketika revolusi industri bergulir, orang mulai menyadari masalah yang timbul pada kota-kota modem di Eropa Penduduk meningkat dengan cepat karena era mesin menyebabkan pabrik-pabrik yang ada di kota memerlukan buruh dalam jumlah banyak. Kemudian muncul beberapa teori perencanaan kota dari arsitek-arsitek terkenal saat itu. Misalnya Le Corbuzier dengan The Radiant City. Ebenezer Howard dengan The Garden City, dan Frank Lloyd Wright dengan Broadcare City-nya. Ketiganya mencoba mengatasi masalah perkotaan yang ada dengan berdasarkan idealisme mereka sendiri. Ide-ide tentang perencanaan kota yang muncul kemudian lebih merupakan perkembangan atau kombinasi dari konsep yang dibawa oleh ketiga tokoh tersebut. Sekarang coba kita meninjau masalah yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah yang terjadi pada kota-kota besar di dunia. Seberapa besarkah relevansi antara masalah perkembangan kota di dunia dengan yang ada di Indonesia. Ternyata justru masalah yang terjadi pada kota-kota besar di Indonesia lebih kompleks dan lebih besar intensitasnya. Kasus perkotaan yang terjadi di Indonesia secara umum mirip dengan apa yang terjadi di dunia. Yang menjadikannya berbeda adalah karena kondisi sosio-kultural yang ada di Indonesia dengan karakteristiknya sendiri. Sentralisasi menjadi tema sentral yang mengemuka. Pemusatan penduduk pada suatu daerah urban (kota) menimbulkan masalah-masalah yang cukup pelik. Indonesia dengan penduduk yang terbesar ke lima di dunia, mayoritas penduduknya tinggal di Pulau Jawa Permasalahan yang terjadi akibat kepadatan penduduk beraneka ragam. Dimulai dari masalah fisik sampai masalah sosial. Masalah fisik yang terjadi contohnya seperti munculnya permukiman kumuh, pencemaran udara, sulitnya air bersih, menumpuknya sampah, kemacetan lalu-lintas, dan lainlain. Masalah sosial yang muncul tidak kalah peliknya dengan masalah fisik. Deviasi yang terlalu besar dari masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan, status social, kekayaan, dan lain-lain menimbulkan permasalahan seperti pengangguran, kriminalitas, segregasi sosial, dan masalah lainnya yang diakibatkan oleh ketimpangan yang ada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pendatang ke kota-kota besar akan menimbulkan problem yang menimpa kota yang didatangi, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Diakui atau tidak, semua persoalan diantaranya mucul akibat tekanan jumlah penduduk yang terus bertambah. Problema yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara maju, lambat atau cepat dihadapi pula oleh kota-kota besar di Indonesia. Kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kecuali pada kota-kota baru yang memang direncanakan sejak awal seperti Tanjungpura atau Tembagapura, kota-kota kita tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek. Oleh karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh bila kota-kota besar di Indonesia menampilkan wajah ganda. Di suatu sisi terlihat perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur modern dan pasca modern di sepanjang tepi jalan utama kota. Di balik semua keanggunan itu, nampak menjamurnya lungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang sangat tidak memadai untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya. Sungai yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai salah satu sumber kehidupan penduduk, tidak lagi bisa melanjutkan fungsinya karena kadar pencemaran yang melampaui ambang batas. Taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi bangunan yang makin memperpadat lingkungan binaan. Dalam beberapa kasus bahkan lapangan atau alun-alun yang merupakan paru-paru kota dan menjadi lambang kebanggaan penduduk, terpaksa merelakan diri untuk diubah fungsinya menjadi kawasan atau perdagangan. Lingkungan pantai dan tambak yang selama berabad-abad telah menjalankan tugas secara prima sebagai penjaga gawang ekologis, dengan serta merta berubah menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, perhotelan dan kegiatan komersial lainnya. Akibatnya sudah dapat ditebak sejak awal, banjir yang semakin parah pada kota-kota yang berada di tepi pantai. Kota menjadi semakin padat, sumpek dan semrawut. Jatidiri kota pun cenderung luntur. Kekhasan setempat yang semula menyiratkan citra spesifik, kian lama kian pudar. Kecenderungan lunturnya identitas perkotaan terjadi tidak hanya di Indonesia, melainkan sudah mewabah dalam skala dunia. Chicago, misalnya yang dilecehkan dengan sebutan Sickago, Frankfurt pun dijuluki Krankkurt, alias kota yang sakit. Dan Indianapolis diberi nama ledekan India-no-place, karena tidak adanya rasa tempat (sence of place). Berikut ini dapat dikemukakan contoh-contoh permasalahan kota yang muncul di DKI Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia. 1. Kemerosotan Lingkungan Piagam bumi merupakan sebagian dari hasil kesepakatan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 3 – 14 Juni 1992. Piagam ini berisi pernyataan, bahwa segala perbuatan manusia terhadap alam dan lingkungannya merupakan awal dari kerusakan alam dan sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan. Dengan ditandatanganinya Piagam Bumi ini, berarti kita semua telah sepakat bahwa dengan segala daya upaya, kita tidak akan lagi melecehkan lingkungan (environmental abuse). Segala kemampuan yang kita miliki, akan kita arahkan guna mewujudkan bumi ini sebagai suatu tempat yang aman dan nyaman bagi generasi sekarang dan yang akan datang atau sesuai dengan aslinya : “I pledge to act to the best of my ability to help make The earth a secure and hospitable home for present and future genrations”. Kejadian ini merupakan penyegaran kembali bagi motto “pembangunan berkelanjutan” yang rasanya mulai agak dilupakan orang. Definisi popular dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini adalah “ menjamin bahwa pembangunan yang kita lakukan saat ini dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan dari generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya”. Definisi ini mengandung arti, bagaimana pembangunan dapat berjalan tanpa melampaui ambang batas daya dukung lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi mendatang untuk membangun dan mencukupi kebutuhannya. Dalam bukunya yang berjudul “climate change and society” (1982) William Kellog dalam Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo (1993) mengatakan bahwa dalam kurun waktu setengah abad mendatang bumi kita yang hanya satu ini akan memiliki jumlah penduduk dua kali lipat, mengkonsumsi makanan tiga kali lebih banyak dan membakar energi empat kali lebih besar dari sekarang. Pernyataan di atas sungguh sangat merisaukan, karena dengan kondisi lingkungan yang ada sekarang saja berbagai kerusakan lingkungan sudah mulai terjadi. Pemanasan global akibat dari dampak rumah kaca, lapisan ozon yang menipis dan mulai jebol di beberapa tempat, perubahan iklim, hujan asam, ledakan penduduk yang mengakibatkan pengurasan sumber daya alam, pencemaran limbah akibat industry, transportasi maupun domestic, adalah sebagian dari kerusakan yang ditimbulkan akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan seperti polusi air dan udara, tingkat kebisingan yang tinggi, memburuknya lanskap karena kurang baiknya perencanaan dan kemiskinan perkotaan adalah salah satu masalah serius perkotaan yang terkonsentrasi di kota-kota. Perbedaan utama antara negara maju dan negara berkembang adalah bahwa di negara maju pemerintah dan warganya melakukan suatu usaha untuk mengatasinya. Sementara itu di negara sedang berkembang hal ini masih sepele bila dibandingkan dengan masalah mendesak yang ada seperti pengangguran, perumahan, pengawasan terhadap infeksi penyakit, dan sebagainya. Secara umum tingkat kerusakan lingkungan sekarang ini lebih banyak terjadi di negara berkembang daripada di negara industri yang telah maju. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi para pendatang maka dari golongan menengah keatas yang persentasenya kecil, pada umumnya sudah mendapatkan penampungan yang wajar. Namun sebagian besar pendatang justru berasal dari golongan kelas pekerja dan golongan buruh kasar yang pada umumnya berpendidikan rendah. Golongan terbesar yang mayoritas ini kurang mempunyai ketrampilan sehingga pada gilirannya akan berpenghasilan rendah. Mereka biasanya memasuki perkampungan kota pada umumnya sudah padat dengan kondisi lingkungan yang kurang baik. Prasarana permukiman seperti air, listrik dan lainnya sudah tidak mencukupi sarana lingkungan seperti MCK yang makin tidak memenuhi syarat karena kurang bersih dan tanpa terurus. Masalah pembuangan sampah yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Juga pengadaan air bersih untuk air minum sudah kurang mencukupi kebutuhan kebutuhan peduduk yang berlipat jumlahnya. Selanjutnya adalah polusi air, udara dan limbah yang dihasilkan oleh berbagai industri dan banyaknya kendaraan bermotor yang terus meningkat jumlahnya. 2. Pengangguran dan Gelandangan Urbanisasi yang mengakibatkan kepadatan dan konsentrasi penduduk yang berlebihan diadalam kota atau dapat dikatakan sebagai daerah kelebihan penduduk dari pada yang seharusnya dapat ditampung di daerah tersebut. Hal tersebut jelas akan menimbulkan masalah kekurangan akan berbagai kebutuhan pokok seperti lapangan pekerjaan. Kekurangan akan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran. Mereka yang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal akan terpaksa hidup menggelandang. Baik para pengangguran (tuna karya) ataupun para gelandangan (tuna wisma) merupakan masalah sosial yang cukup pelik yang dihadapi oleh kota-kota besar. Laju urbanisasi yang berkembang pesat tidak mungkin bisa dikejar dengan laju pembangunan kota di negara-negara berkembang mengingat sangat terbatasnya dana pembangunan. Semakin banyaknya kendaraan pribadi maupun kendaraaan umum sementara perkembangan sarana jalan yang ada realatif stabil, maka ketidak seimbangan tersebut menimbulkan kemacetan lalulintas. Di kota-kota besar kemacetan lalulintas sudah merupakan hal yang biasa, demikian juga kapasitas terminal-terminal yang dibangun, praktis sudah tidak dapat melayani jumlah angkutan yang beroperasi. Suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras, membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi makin merosot dan hal ini akan menambah suasana kemacetan lalu lintas makin parah. 3. Kota Semakin Panas Urbanisasi menaikan angka kepadatan yang mengakibatkan kota semakin panas dan sumpek. Banyaknya orang akan meningkatkan konsumsi energi dan penggunaan alat-alat rumah tangga yang menghasilkan panas buangan. Pembangunan fisik kota mempunyai andil sangat besar terhadap pemanasan suhu kota, lahan kosong yang dahulunya ditumbuhi pohonpohon penyejuk, peneduh dan penyegar udara juga menyerap energi matahari yang efektif, sekarang sudah digantikan oleh gedung bertingkat. Kondisi tersebut dapat menaikan suhu panas kota. Polusi udara dan pencemaran yang melebihi kemampuan lingkungan untuk menanggungnya akan dapat membuat kota menjadi sakit, dan apabila tidak segera diupayakan untuk menaggulanginya, lama-kelamaan kota-kota tersebut akan mati terbunuh oleh penyakit yang telah lama diidapnya. 4. Kriminalitas Kehidupan di kota besar memang sulit sebab kota besar dijadikan tujuan utama yaitu tempat untuk berkumpul dan untuk tempat tinggal. Dari hasil pengamatan, banyak orang pergi ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan dapat dikenal sepenuhnya. Bagi mereka yang tidak dapat kehidupan yang layak dan tidak dapat mengenal sepenuhnya kehidupan kota , mereka merasakan kehilangan kepercayaan diri sendiri atas lingkungannya. Dan tidak bisa berhubungan dengan dunia yang kompleks di sekitarnya, sehingga mereka merasa diasingkan, dikucilkan, dicurigai, mengasingkan diri. Jadi kemungkinan adanya peningkatan permasalahan mengenai kesehatan mental yang menyebabkan masyarakat menjadi pecandu alkohol, narkoba dll. Disamping kondisi tersebut, di kota-kota besar terjadi banyaknya pengangguran dan anak-anak putus sekolah, kemerosotan moral/ahlak pribadi akibat kurangnya pendekatan keluarga dan pendekatan sosial maka akan memicu terjadinya tindak kriminalitas. 5. Pedagang Kaki Lima Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negaranegara berkembang lainnya, telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan halhal positif, tetapi juga hal negatif. Sebagian para urban telah tertampung di sektor formal, namun sebagian urbanit lainnya yang tanpa dibekali ketrampilan tidak tertampung di dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para urabnit yang tidak tertampung disektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya. Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Sektor informal lebih banyak ditangani masyarakat golongan bawah dan dikenal sebagai “ekonomi bawah tanah” serta diartikan usaha yang tidak atau sedikit sekat menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah. Sektor informal ini umumnya berupa usaha kecil yang terbatas. Pedagang Kaki Lima (PKL) atau “street trading”/”street hawker” adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Pedagang kaki lima adalah orang dengan modal relatif sedikit berusaha dibidang produksi dan penualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat- tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Pedagang kakilima sering dijadikan kambing hitam dari penyebab “kesemarawutan lalu lintas” maupun “tidak bersihnya lingkungan”. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi “safety belt” bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah kebawah. 6. Sampah Perkotaan Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton/hari, penanganan sampah diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 2% yang dibakar sebesar 37,6 %, yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 %. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat menyebabkan timbunan sampah di perkotaan semakin tinggi, kendaraan pengangkut sampah yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai, sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, serta belum diterapkannya pendekatan 3R yaitu Reduce, Reuse, Recycle. Besarnya timbunan sampah tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk kota Dampaknya langsung dari penanganan sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan pernafasan. Sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya adalah bahaya banjir yang di sebakan oleh terhambatnya air sungai/saluran/got karena terhalang sampah. Keterbatasan kemampuan Dinas Kebersihan dalam menangani permasalahan sampah, menjadi tanda awal semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan tersebut. Hal ini semakin sulit karena adanya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir sampah. Kekurang pedulian penanganan persampahan ini dapat terlihat dari kecilnya anggaran yang disediakan untuk menangani masalah sampah. Sementara itu disisi lain, penghasilan yang didapat dari pelayanan persampahan masih jauh dari tingkat yang memungkinkan adanya penanganan yang mandiri dan berkelanjutan. Sistem pentarifan dalam retribusi masih konvensional. Dan tidak mungkin adanya intensif bagi operator. Berdasarkan uraian tersebut diatas adanya suatu rencana tindak (action plan) yang meliputi : (1)Melakukan pengenalan karakteristik sampah dan metode pembuangannya (2)Merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan terpadu (pengumpulan, pengangakutan dan pembuangan akhir). (3)Memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward dan punishment dalam pelayanan (4)Menggalakan program 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) agar dapat tercapai program “zero waste” pada masa mendatang ekonomi bagi bahan buangan 7. Kemacetan Lalu Lintas Laporan dari World Bank (Urban Transport, World Bank Paper, Washington, 1975) menyebutkan bahwa pada akhir dekade ini penduduk kota akan berkembang lipat dua, sedang pemilikan mobil akan berlipat tiga. Dari laporan ini terlihat bahwa semakin lama permasalahan lalu lintas akan semakin menumpuk, baik dalam bentuk kemacetan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kebisingan, pencemaran yang berupa debu, bau maupun getaran. Jalan-jalan yang berskala manusia yang semula terasa akrab dan bersahabat dengan lingkungannya kini menjadi pengap dan tidak aman karena “dijejali” beragam jenis kendaraan. Otto Sumarwoto (Kompas, 12 Januari 1989) menyatakan bahwa dewasa ini pertumbuhan lalu lintas di jalan tol merupakan kurva eksponensial. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan jumlah kendaraan yang melewati jalan tol itu semakin lama semakin membesar. Kurva semacam ini bagi ekolog merupakan ancaman, karenanya kurva ini disebut overshoot and collapse, yaitu melampaui daya dukung dan kemudian menuju kerusakan atau keambrukan. Keambrukan lalu lintas diperkirakan akan disebabkan oleh kemacetan yang semakin parah. Untuk mengatasi hal itu haruslah dibuat jalan yang seimbang dengan pertumbuhan lalu lintas dan ini mengandung konsekuensi bahwa laju pertumbuhan pembuatan jalan haruslah eksponensial pula. Namun hal ini cukup sulit dilakukan karena adanya beberapa kendala yaitu tenaga, dan terutama sekali lahan dan ruang yang sudah sangat terbatas. Apabila kita menyimak keadaan di Indonesia dengan contoh kasus adalah di provinsi Jawa Barat, dalam tahun 1979 saja nisbah penggunaan mobil penumpang umum dengan mobil pribadi tercatat sebesar 0,53. Jadi jumlah mobil pribadi kira-kira dua kali jumlah mobil penumpang umum. Pada tahun 1986 nisbah turun menjadi 0,25. Dengan kata lain jumlah mobil pribadi telah meningkat menjadi empat kali mobil penumpang umum. Walaupun jenis angkutan umum seperti kereta api, bus dan sejenisnya telah mengambi lalih sebagian beban angkutan jalan raya, namun semakin meningkatnya jumlah kendaraan pribadi dewasa ini yang sudah sampai pada tingkat yang cukup merisaukan, jelas akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Laju penggunaan kendaraan pribadi di Indonesia dari tahun ke tahun memang menunjukkan kenaikan yang cukup mencolok. Pada tahun 1982, perbandingan persentase penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan dengan penggunaan kendaraan umum adalah sebesar 48 % : 52%. Pada tahun 1995 menunjukkan perbandingan yang semakin meningkat yaitu 61 % : 39 %, dan pada tahun 2005 nanti akan mencapai perbandingan sebesar 70 % : 30 % (sumber : Majalah Teknologi No.51, Januari 1991). Kenyataan ini menunjukkan bahwa perencanaan kebijaksanaan transportasi kota di Indonesia sampai saat ini belum berwawasan pada pemakaian kendaraan umum (public transport oriented), melainkan masih mengutamakan pada kepentingan kendaraan pribadi (private car oriented), yang cenderung menimbulkan kemacetan lalu lintas. Permasalahan transportasi di kota-kota besar di Indonesia pada saat ini sudah semakin menjadi kepentingan berbagai pihak, baik pemerintah, pemakai jalan maupun masyarakat. Permasalahan transportasi di perkotaan pada umumnya berkembang sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan masyarakat, ketersediaan kendaraan bermotor, pemekaran kota dan peningkatan aktivitas ekonomi maupun sosial. Di sisi lain terdapat keterbatasan infrastruktur serta kurang siapnya aparat pemenntah dengan strategi pengelolaan dan pranata kelembagaannya. Berkembangnya industri dan kegiatan ekonomi membawa akibat makin berkembangnya pergerakan angkutan barang antar kota maupun di dalam kota. Kondisi ini bersama-sama dengan meningkatnya intensitas angkutan penumpang menyebabkan performansi transportasi di perkotaan menjadi menurun. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya kecepatan perjalanan pada ruas-ruas jalan di perkotaan, adanya kemacetan lalu lintas, meningkatnya tingkat pencemaran udara yang merupakan sebagian dari dampak yang ditimbulkan akibat meningkatnya pergerakan kendaraan penumpang dan barang. Ketidakseimbangan antara volume lalu lintas dengan jumlah dan panjang jalan yang ada berdampak kepada kemacetan lalu lintas pada ruasruas jalan tertentu dan pada waktu tertentu. Kemacetan lalu lintas adalah keadaan yang terjadi pada suatu ruas jalan yang dilalui oleh kendaraan yang berbagai macam jenisnya, dan melebihi kapasitas tertentu serta mengakibatkan terjadinya antrian panjang dengan waktu yang cukup lama sehingga terjadi pemborosan bahan bakar dan menimbulkan polusi udara dan polusi suara Secara umum kemacetan lalu lintas di kota Jakarta maupun kota-kota besar lainnya disebabkan oleh tiga hal, yaitu : (1) adanya ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan bermotor dengan prasarana jalan yang ada: (2) kurangnya disiplin para pemakai jalan dalam berlalu lintas, dan (3) daerah yang rawan kemacetan lalu lintas umumnya daerah yang mempunyai intensitas kegiatan yang tinggi atau terkonsentrasinya kegiatan di suatu tempat. Di dalam sistem transportasi kota yang kurang efektif dan kemacetan lalu lintas menjadi kejadian sehari-han, maka terjadi pemborosan biaya akibat waktu dan bahan bakar yang terbuang percuma serta dampak polusi udara dan kebisingan yang ditimbulkannya. Kondisi boros ini terus berakumulasi dengan makin bertambahnya kendaraan bermotor ke dalam arus lalu lintas dari waktu ke waktu. Hal tersebut tentunya segera perlu ditanggulangi agar tidak banyak pihak-pihak yang dirugikan akibat kemacetan lalu lintas. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas secara komprehensif, yaitu : 1) Peningkatan Kapasitas Jalan : (a) Memperlebar jalan dan menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu memungkinkan. (b) Merubah sirkulasi lalu lintas menjadi jalan satu arah. (c) Mengurang konflik di persimpangan melalui pembatasan arus tertentu, biasanya yang paling dominan membatasi arus belok kanan. (d) Meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas, persimpangan tidak sebidang / flyover. 2) Keberpihakan Kepada Angkutan Umum. Untuk meningkatkan daya dukung jaringan jalan adalah dengan mengoptimalkan kepada angkutan yang efisien dalam penggunaan Tuang jalan, anatara lain : (a) Pengembangan jaringan pelayanan angkutan umum. (b) Pengembangan lajur atau jalur khusus bus yang di Jakarta dikenal sebagai jalur Busway. (c) Pengembangan kereta api kota, baik secara kualitas maupun kuantitas. (d) Subsidi langsung seperti yang diterapkan pada angkutan kota Trans Jakarta, maupun tidak langsung melalui keringanan pajak kendaraan bermotor dan bea masuk kepada angkutan umum. 3) Pembatasan Kendaraan Pribadi Langkah ini memang tidak populer namun bila kemacetan lalu lintas semakin parah maka harus dilakukan manajemen lalu lintas yang dianggap ekstrim, seperti : (a) Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu. (b) Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi. (c) Pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu (kawasan 3 in 1 ). (d) Penerapan kendaraan roda empat milik pribadi dengan system ganjil genap (“GAGE’) Laju urbanisasi yang berkembang pesat tidak mungkin bisa dikejar dengan laju pembangunan kota di negara-negara berkembang mengingat sangat terbatasnya dana pembangunan. Semakin banyaknya kendaraan pribadi maupun kendaraaan umum sementara perkembangan sarana jalan yang ada realatif stabil, maka ketidakseimbangan tersebut menimbulkan kemacetan lalulintas Di kota-kota besar kemacetan lalulintas sudah merupakan hal yang biasa, demikian juga kapasitas terminal-terminal yang dibangun, praktis sudah tidak dapat melayani jumlah angkutan yang beroperasi. Suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras, membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi makin merosot dan hal ini akan menambah suasana kemacetan lalu linatas makin parah. 8. Permukiman Kumuh di Kota Perkembangan IPTEK yang sangat cepat di kota mendorong warga desa untuk berbondong-bondong menuju kota guna memanfaatkan teknologi baru dengan bekerja sebagai buruh. Mereka tinggal di kota bukan hanya untuk beberapa waktu saja melainkan ada diantara mereka yang sudah tinggal di kota selama bertahun-tahun dengan status yang tidak jelas, mereka mendirikan gubug-gubug di kolong jembatan, di sepanjang jalan kereta api, bantaran sungai dan dimana saja selama tempat itu tidak bertuan. Lama- kelamaan menjadi padat dan terkesan kumuh. Permukiman kumuh adalah daerah permukiman dengan unit-unit rumah yang mempunyai ukuran kecil serta kondisi fisik lingkungan buruk (Drakakish, 1980). Tipologi permukiman kumuh dapat dibedakan dalam dua tipe berdasarkan kondisi fisik dan kondisi geografis yang tidak jelas, antara lain: (1) Squatter Area adalah pemukiman yang dibangun di suatu kawasan/daerah permukiman/tempat-tempat terlarang dan bersifat illegal atau liar. (2) Slum Area adalah permukiman kumuh dalam kaitannya dengan masalah permukiman perkotaan, apabila dilihat dari kondisi fisik lingkungan tidak memadai, sedangkan kondisi geografisnya layak untuk di huni. Slum area bersifat legal atau secara hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik slum area, yaitu : (a) Daerah permukiman dengan lingkungan kurang sehat (b) Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam bidang ekonomi (c) Daerah permukiman yang masyarakatnya rentan terhadap hal-hal yang negatif. (d) Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai emosi yang tidak stabil. Daerah slum dan squatter dalam kota inilah yang biasanya dijuluki ssebagai kawasan kumuh, yaitu daerah yang kepadatannya (penduduk dan bangunannya) sudah melebihi daya dukung lingkungan atau bisa mencapai 100 orang/ha (Herlianto, M.:1986:46). Di beberapa permukiman liar ada penghuninya yang merasa tidak tenang karena menyadari bahwa penyerobotan yang dilakukannya itu melanggar hukum. Namun ada juga permukiman liar yang penghuninya merasa bahagia dan senang tinggal di tempat tersebut. Kawasan seperti itu umumnya dihuni oleh para pemiliknya sendiri dan biasanya terdapat ikatan kekerabatan dan asal-usul diantara mereka. Andaikata pembangunan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan berhasil dengan baik, apakah hunian liar dan kumuh akan hilang ? Mungkin tidak begitu mudah, sebab tinggal di kawasan liar dan kumuh sudah menjadi kebiasaan buruk mereka. Sementara itu kita juga berpacu dengan pertumbuhan permukiman liar yang semakin banyak jumlah dan luasnya, sebagai dampak dari harga tanah dan rumah yang terus melonjak di wilayah Jakarta. Sebagai contoh misalnya permukiman liar disepanjang rel kereta api Stasiun Kota sampai ke Kebayoran lama. Urbanisasi adalah sesuatu yang sulit dibendung, karena merupakan proses alamiah yang akan berjalan terus. Kemiskinan dan ketidaktahuan serta sebab-sebab kultural dan lingkungan budaya yag diyakini menjadi penyebab utama utama tumbuhnya hunian liar dan kumuh. Maka pendekatan multidimensional yang tepat harus dipakai dalam upaya untuk menanggulanginya, yaitu dimensi ekonomi melalui upaya peningkatan pendapatan, dimensi edukasi melalui pendidikan, penyuluhan dan bimibingan serta dimensi sosial melalui pengembangan aspek-aspek kultural dan kemasyarakatan disamping upaya-upaya teknis planologis kota sematasemata dengan menggusulr lingkungan hunian liar tidak akan menyelesaikan maslah karena mereka akan berpindah untuk membuat daerah kumuh yang baru di tempat lain. Jakarta dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa dan kepadatan penduduknya mencapai 14.851 jiwa / kilometer persegi merupakan salah satu kota yang terpadat di dunia. Tingkat kepadatan ini akan memberikan tekanan yang luas pada kebutuhan lapangan kerja, fasilitas-fasilitas umum serta kebutuhan akan ruang dan tata ruang kota. Para pendatang dari daerah-daerah mencoba untuk mencari peruntungannya di kota Jakarta. Pendatang tersebut hanya berharap kesuksesan akan diperolehnya di kota yang besar ini. Namun mereka mayontas udak berbekal pendidikan dan kemampuan ekonomi yang cukup. Akibatnya banyak di antaranya yang mencari tempat tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh dengan alasan kawasan ini memberikan peluang bagi mereka untuk menyesuaikan diri lebih cepat. Golongan yang sangat miskin dan termarginalisasi akan menyerbu tempat-tempat kosong yang masih dapat ditempati sekalipun tidak layak huni. Mereka mendirikan gubuk-gubuk darurat maupun permanen dengan bahan bangunan yang seadanya. Mereka menyerbu taman-taman kota, gerbong-gerbong kereta api, lahan-lahan kosong di tepi sungai dan pinggiran jalan kereta api hanya semata-mata untuk memperoleh tempat tinggal yang tidak dapat mereka peroleh secara layak. Perkampungan yang diserbu oleh para pendatang akan bertambah padat, baik penduduk maupun bangunannya. Keadaan lingkungan akan semakin tidak teratur dan kondisi bangunan memungkinkan tidak nyaman, tidak sehat dan mengurangi keselamatan bagi penghuninya. Keadaan fisik lingkungan yang makin merosot itu akhirnya mencirikan perkampungan di kota Jakarta seolah kalah dibandingkan dengan perkampungan yang terdapat di desa. Adapun tipologi dan kriteria permukiman kumuh dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu Slum Area dan Squatter Area. Perbedaan tersebut berdasarkan kondisi fisik dan geografis serta struktur kepemilikan. (1) Slum Area adalah permukiman dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat dalam kaitannya dengan permukiman perkotaan. Apabila dilihat dari kondisi fisik geografisnya layak untuk di huni. Slum Area bersifat legal atau secara hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik permukiman kumuh yang termasuk Slum Area yaitu : a. Daerah permukiman dengan lingkungan yang tidak sehat. b. Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam bidang ekonomi c. Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan neganf d. Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai emosi yang tidak stabil (2) Squater Area adalah permukiman yang dibangun di suatu kawasan atau daerah permukiman atau tempat-tempat terlarang dan bersifat ilegall atau liar. Permukiman ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Kondisi fisik Squater Area: - Permukiman tidak layak menurut peruntukan ruang - Permukiman dengan tata letak tidak teratur - Permukiman yang padat penduduknya - Permukiman dengan prasarana sanitasi yang tidak berfungsi baik - Permukiman yang tidak tersentuh oleh program peremajaan kota atau program perbaikan kampung. - Permukiman dengan kondisi fisik bangunan buruk. b. Kondisi Geografis Squater Area : Permukiman kumuh yang berlokasi di kawasan bantaran sungai atau area selebar kurang lebih 15 meter dari kiri dan kanan sungai. Permukiman kumuh yang berlokasi di pinggir rel kereta api , di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, di daerah jalur hijau, di tempat-tempat fasilitas umum, baik yang sudah terbangun maupun yang belum terbangun Status permukiman kumuh yang termasuk squatter area biasanya menempati daerahnya yang terlarang atau illegal, sehingga tidak ada status kepemilikan rumah. Contohnya permukiman yang menempati tanah atau lahan milik Negara atau badan usaha lamnya, baik pemerintah maupun swasta yang belum dibangun atau lahan masih kosong Daerah Slum dan Squater dijuluki sebagai kawasan kumuh karena kepadatan penduduk maupun bangunannya sudah melebihi daya dukung lingkungan (bisa mencapai 1.000 orang / Ha). Gejala squatter ini mengakibatkan Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia seolah patah tulangnya sebagai ibukota Negara maupun ibukota provinsi. Penggusuran gubuk-gubuk liar di satu kawasan kota akan memicu timbuhnya kawasan kumuh baru di bagian kota lain. Masalah perumahan memang sangat sulit dan rumit, hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan ruang kota. Perkampungan kumuh ditinjau dari aspek keindahan dan keasrian lingkungan tentunya membuat kesemrawutan yaitu tampak tidak tertaur dan tidak tertata rapi. Dalam rangka mengatasi permasalahan perkampungan kumuh di kota Jakarta yang bersifat sentralistik dan tidak transparan maka harus ditinjau kembali. Trasnparansi tentang pembangunan kota secara umum dan khusus dapat dilakukan dengan info box yang menggambarkan tentang pola perumahan yang diinginkan atau diharapkan di masa mendatang. Strategi pengembangan arah vertikal perlu disosialisasikan kepada masyarakat, baik untuk pembentukan budaya baru maupun instrumen legal yang dibutuhkan. Pemerintah kota Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia memerlukan sistem pengadaan perumahan yang aspiratif dengan memberi kepedulian yang lebih besar kepada warga yang berpenghasilan rendah. Salah satu contohnya adalah dengan pengembangan proyek rumah susun yang telah difasilitasi demi kemudahan warganya. Pembangunan rumah susun diupayakan mampu menghubungkan secara sinergis jaringan utilitas kota yang sudah ada serta keseimbangan penggunaan lahan. Latihan : 1. Apa yang dimaksud dengan pemetaan wilayah ? 2. Hal-hal apa saja yang perlu dipetakan dalam pemetaan wialayah kota ? 3. Jelaskan permasalahan kota yang muncul pada kota-kota besar di Indonesia ! 4 Jelaskan salah satu masalah kota yang paling mendesak untuk ditangani di wilayah Jakarta ! Ringkasan : Pemetaan wilayah kota merupakan kegiatan memetakan wilayah kota baik secara terestris maupun fotogrametris. Hasil pemetaan tersebut diidentifikasi sesuai dengan penampakan-penampakan yang ada di foto maupun di peta untuk selanjutnya dibuat peta-peta tematik. Adapun yang perlu dipetakan adalah : Administrasi Kota Jaringan Jalan Kerapatan Bangunan Unsur dan tingkat bangunan Kualitas bangunan Penggunaan lahan Fasilitas riool dan kebersihan kota Fasilitas air minum Fasilitas listrik Status tanah Harga tanah per meterpersegi Sedangkan permasalahan kota yang dapat diidentifikasi adalah : Kemerosotan Lingkungan Pengangguran dan Gelandangan Kota semakin panas Kriminalitas Pedagang Kaki Lima Sampah Perkotaan Kemacetan Lalu lintas Permukiman Kumuh DAFTAR PUSTAKA Bintarto, 1984. Interaksi Desa - Kota dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Bintarto, 1983. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto.1991. Kota berkelanjutan, Bandung : Penerbit Alumni. Budihardjo, Eko. 1999. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Andi Offset. Chapin, F.S. 1965. Urban Land Use and Urban Planning, University of Illinois Clark, D. 1082. Urban Geography, London: Croom Helm Ltd. Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial) Bandung : Penerbit Alumni Daldjoeni, N. 1997. Geografi Baru : Organisasi Keruangan dalam Teori dan Prkatik. Bndung : Penerbit Alumni. Drakakis-SMITH, D. 1980. Urbaniation, Housing and The Development Process, New York: St. Martin's Press. Hall, Peter. 1992. Urban and Regional Planning. Third Edition. Routlegde, London. Hartshorn, Truman A., 1992. Interpreting the City : An Urban Geography. John Wiley &Sons, New York. Herbert, D.T. 1973. Urban Geography: Asocial Prespective, London: Longman Herlianto, M. 1985. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung : Alumni. Johnson, J.H. 1981. Urban Geography, Frankurt: pergamon Press. Kantor Menteri Negara Kependudukan Lingkungan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Suatu Tinjauan). Hidup. 1989. Kaiser, Edward, dkk. 1995. Urban Land Use Planning. Fourth Edition, University of Illinois Press, Urbana and Chicago. Knox, P.L. 1994. Urbanization, An Introduction to Urban Geography, Ney Jersey : Prentice Hall. Koeseomahatmadja, R.D.H. 1986. Peranan Kota dalam pembangunan, Bandung : Penerbit Binacipta. Mumford, Lewis. 1938. The Culture of Cities. New York : an BIA Mumford, Lewis. 1956. Natural History of Urbanization. Chicago : Chicago University Press. Nas, PJM, 1977. Kota di Dunia Ketiga. Jakarta : Bhratara. Nia K. Pontoh dan Iwan Kustiwan, 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung : Penerbit ITB. Paulus Haryanto, M T. 2007. Sosiologi Kota untuk arsitek. Jakarta: PT Bumi Aksara. Prijono Tjiptoherijanto, 1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Richard, P.J. and AM. Thomson. 1984. Basic Needs and The Urban Poor. Rateliff, R.V. 1949. Urban Land Economics, New York : Mc Graw hill Book Company. Sa'id E. Gumbira.1987. Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta . Media Sarana Press. Short. J.R. 1984. An Introduction to Urban Geography, London: Routledge and Keagen Paul. Tibbalds, Francis. 2001. Making People Friendly Towns : Improving the Public,Environment in Towns and Cities. London : Spon Press. Yunus, Hadi Sabari. 1982 Klasifikasi Permukiman Kota (Tinjauan Makkro), Yogyakarta Fakultas Geografi UGM. Yunus, Hadi Sabari. 2004 Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota : Perspektif Spasial Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Zahnd, Markus.1999. Perancangan Kota secara terpadu, Yogyakarta .Penerbit Kanisius. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS Drs. Suhardjo, M.Pd. Dosen Pada Program Studi Pendidikan Geografi – FIS UNJ Dilahirkan di Cirebon pada tanggal 30 Januari 1957. Pendidikan dasar hingga lanjutan atas dilaksanakan di sekolah negeri. Tahun 1976 melanjutkan pendidikannya di IKIP Jakarta Jurusan Geografi dan Lulus Sarjana tahun 1981. Pengalaman kerjanya diawali pada tahun 1981 hingga 1983 sebagai dosen luar biasa pada Jurusan geografi untuk mata kuliah Kartografi dan Ukur Tanah. Pada tahun 1984 hingga sekarang sebagai dosen tetap pada Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dengan Pangkat Pembina dan Jabatan Lektor Kepala dengan golongan ruang IV a. Sebagai pengajar mata kuliah Geografi Kota, Kartografi, Geografi Pariwisata, Geografi Penduduk dan Demografi, Geografi Sumber Daya, serta Geografi Regional Asia Tenggara, dan Dasar Dasar Ilmu Sosial. Selain itu Sekretaris Jurusan periode tahun 1992 1996. Anggota Ikatan Geograf Indonesia ( IGI ). Dan aktif dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat - Universitas Negeri Jakarta.