Uploaded by khaudani2

LINGKUNGAN KOTA DAN PERMASALAHANNYAbukjar2019

advertisement
BUKU AJAR
LINGKUNGAN KOTA
DAN PERMASALAHANNYA
Oleh:
Drs. Suhardjo, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Buku Ajar ini merupakan himpunan materi kuliah Geografi Perkotaan
yang dususun kembali secara sistematis untuk dapat menjadi bahan bacaan bagi
mahasiswa. Materi yang disajikan dalam buku ini diharapkan dapat menjadi
pengantar bagi mereka untuk dapat memahami berbagai konsep yang terkait
dengan
kota
dan
perkembangan
kota
serta
lingkungan
kota
dan
permasalahannya.
Buku ini disusun atas dorongan dan bantuan dari adanya Hibah Buku
Ajar dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta tahun 2019. Untuk itu
ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakuktas Ilmu Sosial Dr.
Dr. Umasih, M.Hum.; Dr. Kinkin Yuliaty SP, M.Si selaku Wakil Dekan bidang
Akademik dan tak lupa kepada Dr. Aris Munandar, Spd., M.Pd.; selaku
Koordiantor Program Studi Pendidikan Geografi.
Sebagai suatu buku ajar yang bersifat pengantar, buku ini terdiri atas
delapan bagian yang disusun secara berurutan sesuai dengan kebutuhan
pemahaman terhadap lingkungan kota, baik sebagai konsep maupun mampu
sebagai problem solver dalam konteks perkembangan kota-kota di Indonesia.
Secara garis besar, materi yang disajikan meliputi : (1) Pendahuluan, (2) Ruang
Lingkup Geografi Kota, (3) Sejarah Perkembangan Kota, (4) Klasifikasi,
Struktur, dan Pola Keruangan Kota, (5) Ruang Publik dan Fasilitas Kota, (6)
Interaksi Desa dan Kota, (7) Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota : Pola,
Kecenderungan serta Dampaknya, (8) Pemetaan Wilayah Kota dan Identifikasi
Permasalahan Kota.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama
mahasiswa program studi pendidikan geografi yang menempuh mata kuliah
Geografi Kota. Tentu saja buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
segala kritik, saran, dan komentar pembaca untuk penyempurnaan buku ini
selalu kami harapkan.
Jakarta, Desember 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………...........i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..ii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….........1
A. Latar Belakang……………………………………………………….....1
B. Tujuan…………………………………………………………………..2
C. Ruang Lingkup………………………………………………………....2
D. Manfaat………………………………………………………………....2
E. Petunjuk Penggunaan Buku………………………………………….....2
BAB II. RUANG LINGKUP GEOGRAFI KOTA…………………………5
A. Konsep Geografi Kota………………………………………………....5
B. Hakekat Kota, Perkotaan, dan Kekotaan……………………………....6
C. Fungsi Kota…………………………………………………………...22
1. Fungsi Kota Dalam Proses Berkembangnya Wilayah…………….22
2. Fungsi Kota Dalam Pengembangan Wilayah……………………..24
3. Fungsi Kota Dalam Kegiatan Usaha Industri…………………….25
4. Fungsi Kota Sebagai Pusat Industri……………………………....25
5. Fungsi Kota Sebagai Pusat Perdagangan………………………....26
6. Fungsi Kota Sebagai Pusat Politik………………………………..26
7. Fungsi Kota Sebagai Pusat Kebudayaan…………………………27
8. Fungsi Kota Sebagai Pusat Rekreasi atau Kesehatan…………….28
9. Kota-Kota Pusat Administrasi……………………………………28
BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA………………………...32
A. Proses Terbentuknya Kota……………………………………………32
1. Kota-Kota Kuno di Timur Tengah……………………………….33
2. Kota-Kota Kuno di Asia…………………………………………33
3. Kota-Kota Eropa di Abad Pertengahan………………………….33
4. Kota-kota Eropa dalam Masa Sejarah Modern…………………..34
5. Kota-kota Modern di Dunia Barat……………………………….34
B. Faktor-Faktor Pembentuk Kota……………………………………….35
C. Periode Pertumbuhan Kota…………………………………………....39
D. Kota-Kota Di Indonesia………………………………………………49
1. Perkembangan Kota Masa Pra VOC dan Masa Kolonial………....49
2. Perkembangan Kota Masa Kolonial Abad Ke-20………………...50
3. Perkembangan Kota Dekade 1950-an…………………………….51
BAB IV. KLASIFIKASI, STRUKTUR, DAN POLA KERUANGAN
KOTA..........................................................................................60
A.
B.
C.
D.
E.
Jumlah dan Sebaran……………………………………………….......60
Mobilitas Penduduk di Perkotaan……………………………………..63
Kondisi Sosial Ekonomi Kota………………………………………...72
Aspek Teknologi dan Dampaknya di Perkotaan……………………...79
Budaya Kota…………………………………………………………..83
1. Sikap kehidupan…………………………………………………...83
2. Tingkah Laku……………………………………………………...84
3. Perwatakan…………………………………………………….......85
4. Gaya Hidup Kota dan Kepribadian……………………………….88
F. Struktur KeruanganKota………………………………………………93
1. Sistem Ruang Kota………………………………………………..94
2. Klasifikasi Ruang Kota……………………………………………95
3. Unsur-Unsur Ruang Utama……………………………………….98
4. Bagian-Bagian Ruang……………………………………………100
5.
Penggunaan Lahan Perkotaan………………………………..102
BAB V. RUANG PUBLIK DAN FASILITAS KOTA…………………...121
A. Ruang Publik…………………………………………………………121
1. Pengertian………………………………………………………..121
2. Fungsi Ruang Publik…………………………………………….123
3. Permasalahan Ruang Publik Kota……………………………….125
B. Fasilitas Kota………………………………………………………....127
1. Teminal Bus……………………………………………………...127
2. Bandar Udara………………………………………………….....131
3. Pelabuhan………………………………………………………...133
4. Stasiun…………………………………………………………....135
5. Rumah Sakit……………………………………………………...137
6.
Hutan Kota…………………………………………………...145
BAB VI. INTERAKSI DESA KOTA……………………………………154
A. Potensi Desa………………………………………………………..155
B. Potensi Kota………………………………………………………..156
C. Interdependensi Desa – Kota………………………………………156
BAB VII. URBANISASI DAN PERMASALAHANNYA…...................161
A. Pengertian Urbanisasi………………………………………………161
B. Faktor pendorong dan Penarik Urbanisasi (Push and Pull Factor)..164
C. Perkembangan Urbanisasi………………………………………….169
BAB VIIL PEMETAAN WILAYAH KOTA DAN IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN KOTA………………………………175
A. Pengertian Pemetaan Wilayah Kota……………………………….175
B. Identifikasi Permasalahan Kota…………………………………....177
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..200
BIODATA PENULIS……………………………………………………..202
DAFTAR TABEL
1. Jumlah Penduduk Kota Otonom di Indonesia tahun2010………………..12
2. Parameter Kota Tradisional (Pra Industri) dan Kota modern (Industri)…19
3. Proses Evolusi dan Motivasi Pengembangan Kota Baru di Indonesia…..54
4. Klasifikasi Hierarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduk…………………61
5. Klasifikasi Hierarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduk dengan Interval
Tertentu…………………………………………………………………..62
6. Hierarki Kota-kota di Indonesia Atas Dasar Jumlah Penduduk
Tahun 1980………………………………………………………………63
7. Perbedaan Kualitatif Masyarakat Desa – Kota……………………….....73
DAFTAR GAMBAR
1. Hierarki Tentang Wilayah Tingkatan Kota……………………17
2. Morfologi Kota Yogyakarta Berdasarkan Sumbu……………..18
3. Stadium Pembentukan Inti Kota………………………………41
4. Stadium Formatif………………………………………………42
5. Stadium Modern……………………………………………….43
6. Aspek-Aspek Lokasi dan Unsur-Unsur Struktur Community…67
7. Mobilitas Tempat Tinggal Model Turner………………………69
8. Dinamika Ekonomi Kota………………………………………74
9. Keterbatasan Sumber Alam Ekonomi…………………………78
10. Model “Bird Rent” dan Zona Penggunaan Lahan Kota………109
11. Tiga Model Ekologi Kota……………………………………..107
12. Perkembangan Urbanisasi……………………………………..172
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata kuliah Geografi Perkotaan merupakan salah cabang dari
ilmu geografi manusia yang mempunyai relevansi dan prospek terapan
dalam pembangunan nasional. Dimana sebagai suatu disiplin ilmu,
geografi menyajikan dua konsep khas yaitu ruang dan skala untuk
mengkaji gejala alam dan sosial yang dalam hal ini adalah pada wilayah
perkotaan. Sehingga melalui mata kuliah Geografi Perkotaan dapat
mengkaji dan menilai bagaimana kota terbentuk,
klasifikasi dan
struktur kota, sumberdaya kota, interaksi kota dengan wilayah desa,
hingga permasalahan yang ditemukan di dalam sebuah kota.
Tuntutan kurikulum berbasis KKNI dan pembelajaran abad 21
yang mengharapkan terbentuk sumber daya manusia yang memiliki
karakter sebagai problem solver sejalan capaian ketika telah
mempelajari Geografi Kota.
Pemahaman pengetahuan yang utuh
terhadap wilayah perkotaan dan permasalahannya menjadi dasar bagi
mahasiswa untuk mencapai kemampuan menganalisis bagaimana
mengelola,
memecahkan
masalah-masalah
hingga
menyusun
perencanaan kota yang layak untuk dihuni manusia dan meningkatkan
kesejahteraan penduduknya.
Oleh karena itu diperlukan buku panduan yaitu buku ajar yang
membantu merekonstruksi pengetahuan mahasiswa tentang kota dan
permasalahannya hingga mahasiswa tersebut mampu memberikan
sumbangan pemikiran upaya-upaya menyelesaikan masalah perkotaan
sesuai dengan karakteristik kota tersebut dalam bentuk publikasi ilmiah
dan tindakan nyata dalam masyarakat.
memfasilitasi
mahasiswa
mencapai
Buku ajar yang dapat
setiap
indikator
capaian
pembelajaran berdasarkan topik-topik kajian dari keseluruhan materi
dari mata kuliah Geografi Kota. Buku ajar yang kaya akan referensi
bacaan dan contoh-contoh kasus yang dikembangkan untuk menjawab
topik-topik permasalahan yang sering terjadi pada wilayah perkotaan
maupun topik-topik up to date.
B. Tujuan
1.
Menyediakan bahan ajar matakuliah Geografi Kota sesuai
tuntutan capaian pembelajaran dan kebutuhan dari mahasiswa.
2.
Membantu mahasiswa mendapatkan alternatif bahan ajar untuk
matakuliah Geografi Kota.
3.
Memudahkan dosen memfasilitasi pembelajaran matakuliah
Geografi Kota.
C. Ruang Lingkup
1.
Pengertian dan kedudukan geografi perkotaan
2.
Sejarah perkembangan kota
3.
Klasifikasi kota
4.
Stuktur keruangan kota
5.
Ekologi perkotaan
6.
Interaksi desa-kota
7.
Kondisi demografis perkotaan
8.
Urbanisasi dan permasalahan perkotaan
D. Manfaat
1.
Diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan capaian pembelajaran
berbasis SK KKNI dan kebutuhan mahasiswa,
2.
Mahasiswa tidak lagi tergantung pada buku teks terkait Geografi
Perkotaan yang terkadang sulit diperoleh.
3.
Menambah pengetahuan mahasiswa karena buku ajar ini
dikembangkan dari berbagai referensi disertai contoh-contoh faktual
dan kekinian.
4.
Dapat membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara
dosen dan mahasiswa.
5.
Membantu
pelaksanaan
kegiatan
pembelajaran secara klasikal dan mandiri.
pembelajaran,
baik
E. Petunjuk Penggunaan Buku
Buku ajar lingkungan kota dan permasalahannya dirancang untuk
pelaksanaan pembelajaran mandiri dan klasikal. Buku ini menjadi
salah satu buku referensi untuk mencapai capaian pembelajaran pada
matakuliah Geografi Perkotaan. Oleh karena itu buku ini disertai
uraian materi yang disertai contoh-contoh dalam kehidupan seharihari, maupun soal-soal untuk mengukur capaian pembelajaran.
Adapun petunjuk penggunaan buku ini adalah sebagai berikut:
1.
Pahami capaian pembelajaran dan sub capaian pembelajaran dari
tiap bab agar dapat mengukur capaian pembelajaran yang
diharapkan setelah membaca uraian materi.
2.
Pelajari materi pada buku ajar pada setiap bab dengan seksama
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dikehendaki.
3.
Perhatikan secara mendalam contoh-contoh yang disebutkan
pada bab, dan komparasi pada kondisi yang terjadi pada kota di
wilayah tempat tinggalnya, sehingga dapat ditemukan kontekstual
dari teori pada tiap bab.
4.
Jika dirasakan telah paham dengan materi yang dipelajari,
kerjakan latihan yang tersedia di akhir tiap bab.
5.
Cocokkan hasil pekerjaan latihan dengan kunci/rubrik jawaban
latihan yang tersedia di belakang soal latihan.
6.
Jika ada yang belum sesuai antara hasil pekerjaan latihan dengan
kunci jawaban, pelajari kembali materi dari soal latihan yang belum
terjawab dengan benar tadi, kemudian coba lagi mengerjakan soal
latihannya hingga jawabannya benar.
7.
Setelah semua soal latihan terjawab dengan benar, kerjakanlah
soal tesnya.
8.
Cocokkan hasil pengerjaan soal tes dengan kunci jawaban yang
tersedia pada bagian akhir dari bahan ajar ini.
9.
Jika ada yang belum sesuai antara hasil pengerjaan soal tes
dengan kunci jawaban, ulangi kembali mengerjakan soal tersebut
sampai jawabannya benar.
10. Selama
mempelajari
isi
bahan
ajar
ini,
diperkenankan
menggunakan referensi lain atau minta keterangan dari teman
sekelas atau dosen.
11. Setelah menyelesaikan semua aktifitas pembelajaran dan dirasa
telah menguasai materi sesuai dengan tujuan pembelajaran,
disarankan menemui guru pembimbing untuk tindak lanjutnya.
BAB II. RUANG LINGKUP GEOGRAFI KOTA
A. Konsep Geografi Kota.
Urban geography is a branch of human geography concerned with
various aspects cities (Geografi Kota adalah cabang geografi manusia
berkaitan dengan berbagai aspek kota). Selanjutnya dijelaskan bahwa : “An
urban geographer's main role is to emphasize location and space and study
the spatial processes that create patterns observed in urban areas” (Peran
utama seorang ahli geografi perkotaan adalah untuk menekankan lokasi dan
ruang dan mempelajari proses spasial yang membuat pola yang diamati di
daerah perkotaan). Adapun dijelaskan lebih lanjut bahwa : “To do this, they
study the site, evolution and growth, and classification of villages, towns and
cities as well as their location and importance in relation to different regions
and cities. Economic, political and social aspects within cities are also
important in urban geography” (arti terjemahan bebasnya adalah Untuk
melakukan hal ini, mereka mempelajari situs, evolusi dan pertumbuhan, dan
klasifikasi desa, kota dan kota-kota serta lokasi mereka dan pentingnya
dalam kaitannya dengan daerah dan kota-kota yang berbeda. Aspek
ekonomi, politik dan sosial di dalam kota juga penting dalam geografi
perkotaan).
Geografi Kota merupakan bagian dari studi geografi yaitu sub-bagian
Geografi Manusia (Human Geography). Namun cabang-cabang ilmu
Geografi Fisik (Physical Geography) dan Geografi Manusia memberikan
kontribusi yang besar terhadap kajian tentang Geografi Kota.
Geografi kota adalah studi tetang wilayah perkotaan (urban area). Studi
dimana wilayah yang memiliki konsentrasi bangun an dan infrastruktur yang
tinggi. Wilayah yang mayoritas kegiatan ekonominya ada sektor sekunder
dan tersier dan juga memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi
Geografi kota merupakan bagian dari geografi manusia, seringkali terjadi
tumpang tindih dengan ilmu lain seperti antropologi dan sosiologi. Geografi
perkotaan memahami bagaimana faktor interaksi antar ruang, dimana
berfungsi sebagai pelayan dan hubungan timbal baliknya. Geografi
perkotaan juga melihat perkembangan pemukiman. Termasuk didalamnya
perencana pengembangan kota. Geografi kota juga menempatkan pada
manusia dan perubahan lingkungannya. Geografi perkotaan berbeda dengan
studi kota dimana fokusnya membicarakan kota dalam keruangan antar
negara antar benua.Geografi perkotaan sebagai dasar teori mengkaji
perencanaan kota, lokasi pertokoan, perkembangan pemukiman analisis pola
kriminalitas dan logistik
Geografi kota bukanlah ilmu pengetahuan yang ensiklopedis yang
mampu memberikan gambaran tentang manusia dan lingkungannya di
wilayah perkotaan secara lengkap. Geografi Kota adalah ilmu pengetahuan
khusus, ia memaparkan tentang "Keruangan Kota" yang terkait dengan
struktur, pola, fungsi, dan proses sebagai akibat adanya interaksi, interelasi,
interdependensi, antar manusia dan lingkungannya baik di tingkat lokal,
regional, maupun internasional.
Geografi Kota bukanlah satu-satunya ilmu tentang perkotaan, bukan
juga suatu sintesa atau cakupan dari segala ilmu yang menelaah perkotaan.
Tugasnya adalah menjelaskan tentang fenomena-fenomena perkotaan.
Dengan demikian Geografi Kota diharapkan mampu memberikan solusi dan
informasi terhadap masalah-masalah perkotaan.
Adapun berkembangnya kajian tentang Geografi Kota didorong oleh :
 Munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi
 Degradasi lingkungan perkotaan
 Perencanaan kota yang semakin berkembang
 Terciptanya sistem transportasi yang modern
 Dampak intreraksi desa-kota
 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
B. Hakekat Kota, Perkotaan, dan Kekotaan.
Pengertian mengenai kota (city) yang kemudian lebih sering
dijadikan acuan di Indonesia adalah tempat dengan konsentrasi penduduk
lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan
fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya.
Dengan ungkapan yang berbeda, definisi kota yang lain adalah permukiman
yang berpenduduk relative besar, luas areal terbatas. pada umumnyabersifat
nonagraris, kepadatan relative tinggi, tempat sekelompok orang dalam
jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis
tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis, dan individualistis
(Ditjen Cipta Karya : 1997).
Selain pengertian kota, dikenal pula perkotaan (urban)
yang
pengertiannya lebih luas menunjukkan ciri/karakteristik/sifat kekotaan.
Dalam hal ini perkotaan atau kawasan perkotaan adalah permukiman yang
meliputi kota induk dan daerah pengaruh di luar batas administrasinya yang
berupa daerah pinggiran sekitarnya/kawasan suburban. Undang-undang
nomor 24 Tahun 1992 mendefinisikan kawasan perkotaan adalah kawasan
yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social dan kegiatan ekonomi.
Sebagai lawan dari kawasan perkotaan adalah kawasan perdesaan
(rural), yaitu Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan social dan kegiatan ekonomi (Pontoh dan
Kustiwan, 2009 : 5).
Berdasarkan pengertian di atas, Kawasan Perkotaan merupakan
aglomerasi kota (otonom) dengan kota-kota fungsional di wilayah sekitarnya
yang memiliki sifat kekotaan, dapat melebihi batas wilayah administrasi dari
kota yang bersangkutan, misalnya Jabodetabek.
Wilayah kota adalah wilayah yang memiliki kepadatan manusia dan
hasil karyanya dibanding wilayah sekelilingnya.Wilayah kota dihasilkan dari
perkembangan proses urbanisasi. Pengukuran perkotaan dapat dianalisis
melalui kepadatan dan pemukiman kumuh dan pengaruh kota terhadap
pedesaan
Wilayah mempunyai kriteria fisik (teritorial) dan kriteria budaya.
Berdasarkan kriteria fisik kita mengenal wilayah perkotaan dan wilayah
perdesaan.Sedangkan berdasarkan kriteria budaya kita mengenal masyarakat
beradab dan masyarakat primitif. Masyarakat kota tergolong pada
masyarakat beradab yang budayanya telah mencapai titik puncaknya.
Secara umum ciri perkotaan adalah ruang yang relative sempit,
masyarakatnya heterogen dan dinamika kegiatannya tinggi. Di beberapa
bagian perkotaan menunjukkan intensitas yang begitu besar sehingga
menimbulkan masalah perkotaan seperti perumahan kumuh, kurangnya
sanitasi, kemacetan lalu lintas,dan lainnya. Kondisi ini akhirnya akan
mendorong semakin kompleksnya masalah pertanahan yang berkaitan
dengan kepentingan perorangan, badan hukum, dan Negara.
Definisi secara sederhana dari urbanisme atau daerah perkotaan adalah
persekutuan atau penyatuan suku-suku yang bertetangga yang berkumpul ke
suatu pusat yang digunakan sebagai tempat pertemuan bersama untuk
maksud kedaulatan yang dibentuk oleh masyarakat demikian. Suatu daerah
perkotaan dapat juga didefinisikan sebagai gabungan sel lingkungan
perumahan, atau tempat dimana orang bekerja bersama untuk kepentingan
umum. Jenis daerah perkotaan bisa beragam sebesar beragamnya berbagai
kegiatan yang dilakukan di sana : alat-alat produksi dan bermacam-macam
barang, perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan
jasa, atau
gabungan dari semua aktivitas tersebut. Definisi berikutnya menyatakan
bahwa daerah perkotaan adalah lokasi-lokasi di mana terdapat kemungkinan
adanya suatu lingkungan kehidupan yang beraneka ragam dan gaya hidup
yang berbeda-beda. Manusia tinggal, bekerja, dan menikmati hidup dalam
hubungan-hubungan social serta budaya yang diberikan oleh kedekatan jarak
di daerah perkotaan.
Untuk mengartikan istilah kota maka akan tergantung pada sudut
pandang seseorang dan bidang ilmunya. Kapan sebuah permukiman boleh
disebut kota? apa kriterianya? Dari mana dapat diterima standar-standar
dasar yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada masa
lampau maupun saat ini?
Sebagai seorang geograf (ahli geografi) atau seseorang yang berprofesi
di bidang georafi akan berfokus pandangannya pada permukaan kota dan
lingkungannya dengan mencari hubungan antara wajah kota dan bentuk serta
fungsi kota itu. Sedangkan sudut pandang seorang ekonom kepada
kepentingan masalah perdagangan kota yang berfokus pada hubungan
kegiatan dan potensi kota secara finansial. Lain halnya dengan seorang
politikus yang menekankan pada cara mengurus kota dan bagaimana
hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Kemudian perhatian seorang
sosiolog berbeda pula, karena dia berfokus pada klasifikasi permukiman
kota dari semua aspek tabiatnya.
Istilah kota mengandung arti suatu konsentrasi penduduk dalam suatu
wilayah geografis tertentu yang menghidupi dirinya sendiri secara relative
permanen dari kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Kota bisa
merupakan sebuah pusat industri, perdagangan, pendidikan, pemerintahan,
atau mencakup semua kegiatan tersebut. Keaneka ragaman kesempatan ini
menarik penduduk dari daerah perdesaan ke kota-kota.
Dengan demikian terlihat bahwa kota-kota cenderung menjadi besar
bila dasar ekonominya luas. Kota-kota kecil biasanya merupakan satelitsatelit yang tergantung pada kota besar untuk mempertahankan kehidupan
ekonominya.Misalnya kota induk mempunyai banyak fungsi, sedangkan
wilayah-wilayah tempat tinggal di pinggiran kota di sekitarnya berfungsi
menyediakan perumahan bagi tenaga kerja yang lebih mampu.
Kota mempunyai sistem sirkulasi yang menyatukan berbagai wilayah
dan menyediakan sarana untuk membawa barang perdagangan dari tanah
pertanian tempat-tempat lain ke pusat-pusat distribusi dalam kota. Di kotakota besar, berbagai sarana transportasi dan kendaraan umum tersedia.
Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang
berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan
penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi
pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di
Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain
kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten.
Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama.
Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota
tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota
merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahannya sendiri.
Dahulu di Indonesia istilah kota dikenal dengan Daerah Tingkat II
Kotamadya.Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II Kotamadya pun
diganti dengan kota saja Istilah "Kota" di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam disebut juga dengan "Banda"
Ibu kota adalah kota utama di sebuah negara atau daerah meskipun kota
ini belum tentu yang paling besar. Di kota ini biasanya terdapat gedunggedung pemerintahan pusat atau daerah dan sebuah dewan perwakilan rakyat
yang seringkali disebut parlemen serta kantor-kantor pusat perusahaanperusahaan komersial. Selain itu di ibu kota negara biasanya juga terdapat
perwakilan-perwakilan dari negara asing yang biasa disebut kedutaan besar.
Kepadatan penduduk tinggi belumlah tentu menunjukkan bahwa sifat
masyarakatnya adalah "Kekotaan” Contoh desa-desa di Pulau Jawa yang
padat penduduknya. Taraf kekotaan suatu wilayah tidak tergantung dari
kepadatannya
tetapi
dari
kemutlakan
fasilitas
hidup
yang
cukup
membebaskan manusia dari bergantungnya pada lahan (agraris).
Pada tahun 1980 proporsi penduduk perkotaan di Indonesia baru
mencapai 22,3%, namun berdasarkan data Sensus Penduduk 1990 angka ini
telah mencapai 30,9%, sedangkan data sementara yang diperoleh
berdasarkan SUSENAS 1994 (BPS 1995) menunjukkan bahwa proporsi ini
telah mencapai 34,3 %. Sementara itu laju kenaikan penduduk perkotaan
selama periode 1970-1980 adalah 4,60% per tahun sedangkan dalam periode
1980-1990 meningkat menjadi 5,36% per tahun. Laju kenaikan ini kira-kira
dua setengah kali laju kenaikan penduduk total.
Adalah suatu yang sangat kontras bila laju kenaikan penduduk
perkotaan meningkat dengan pesat, sementara laju kenaikan penduduk
secara total turun dari 2,34% per tahun pada periode 1970-1980 menjadi
1,97% dalam periode 1980-1990, bahkan menjadi 1,37% per tahun dalam
kurun waktu 1990-1994.
Dunia semakin mengkota, begitu juga dengan Indonesia. Sejak tahun
2007 jumlah penduduk kota di dunia lebih banyak dibandingkan jumlah
penduduk desa, serta di tahun 2014, 54 persen penduduk dunia tinggal kota.
Untuk Indonesia, hasil sensus penduduk terakhir pada tahun 2010
menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk kota sebesar 49,7%,
mengalami peningkatan sebesar 27,3% dibandingkan dengan hasil sensus
penduduk tiga puluh tahun sebelumnya (tahun 1980). Secara berurutan
proporsi penduduk kota di Indonesia pada tahun 1980, 1990 dan 2000 adalah
22,4%, 31,10% dan 41,9%.
Pada tahun 1950, hanya Kota Jakarta yang memiliki jumlah penduduk
di atas satu juta jiwa. Tiga puluh tahun kemudian, pada tahun 1980 terdapat
tiga kota baru yang memiliki jumlah penduduk di atas satu juta jiwa, yaitu
Surabaya, Bandung, dan Medan. Selanjutnya pada tahun 1990, Semarang,
Palembang dan Ujung Pandang (Makassar) memiliki jumlah penduduk di
atas satu juta jiwa. Dan pada tahun 2010, jumlah kota dengan populasi lebih
dari satu juta jiwa menjadi sebelas dengan penambahan Kota Bekasi,
Tangerang, Depok, dan Tangerang Selatan. Kota-kota yang disebut terakhir
merupakan kota yang berkembang karena proses megaurbanisasi dari Kota
Jakarta,
membentuk megacities Jabodetabek
(Jakarta,
Bogor,
Depok,
Tangerang, dan Bekasi) karena aktivitas perkotaan Jakarta sudah melimpah
ke wilayah pinggirannya.
Indonesia memiliki 93 kota otonom dan satu Daerah Khusus Ibukota,
Jakarta dengan jumlah penduduk yang berbeda-beda, mulai dari 30.647 jiwa
(Kota Sabang) hingga 9.567.127 jiwa (DKI Jakarta) pada tahun 2010.
Tulisan ini hanya menyertakan kota otonom, yaitu kota yang secara
administrasi memiliki pemerintahan sendiri, tidak termasuk kawasan
perkotaan lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Pasal 16),
kota-kota di Indonesia diklasifikasi menjadi 5 kelompok, yakni (1) Kota
Megapolitan ( ≥ 10 juta jiwa, umumnya terdiri dari dua atau lebih
metropolitan), (2) Kota Metropolitan (≥ 1 juta jiwa), (3) Kota Besar
(500.001 – 999.999 jiwa), (4) Kota Sedang (100.001 – 500.000 jiwa) dan (5)
Kota kecil (50.001 – 100.000 jiwa). Mengacu pada hasil Sensus Penduduk
tahun 2010, proporsi terbesar kota di Indonesia adalah kota sedang sebanyak
56 kota, kota lainnya, satu kota megapolitan yakni DKI Jakarta yang
beraglomerasi dengan kawasan perkotaan di sekelilingnya, sepuluh kota
metropolitan, 16 kota besar, 9 kota kecil serta dua kota otonom yang jumlah
penduduknya belum mencapai 50 ribu yaitu Kota Padang Panjang dan Kota
Sabang (lihat tabel).
Di sisi lain, jika mengacu pada studi UN (2014), klasifikasi kota-kota
adalah sebagai berikut: (1) megacity (> 10 juta jiwa), (2) kota besar
atau large cities (5-10 juta jiwa), (3) kota menengah atau medium-sized
cities (1—5 juta jiwa), (4) kota atau cities (500-000- 1 juta jiwa) dan (5) kota
kecil atau urban area (< 500.000 jiwa). Jika mengacu pada standar tersebut,
Indonesia hanya memiliki satu megacity yang sekaligus juga kota besar,
sepuluh kota menengah, 16 kota dan 67 kota kecil, sehingga proporsi
terbesar kota di Indonesia adalah kota kecil. Perbedaan klasifikasi yang
terjadi
terkadang
menimbulkan
kesulitan
perbandingan dengan kota-kota di negara lain.
ketika
melakukan
studi
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Otonom di Indonesia tahun 2010
Sumber: Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010
Jika dibandingkan dengan Hasil Sensus Penduduk tahun 1990 (periode
dua puluh tahun sebelumnya), terdapat beberapa kota yang sudah berubah
status, baik dari kota kecil menjadi kota sedang maupun dari kota sedang ke
kota besar. Kota yang berubah status dari kota kecil ke sedang adalah Kota
Bukit Tinggi, Payakumbuh, Salatiga dan Mojokerto. Tujuh dari delapan kota
yang berubah status dari kota sedang menjadi kota besar terletak di luar pulau
Jawa, yaitu Kota Pekanbaru, Jambi, Batam, Pontianak, Banjarmasin,
Balikpapan dan Samarinda, sementara satu kota lainnya adalah Kota Bogor.
Kota memungkinkan penduduknya berhubungan/kontak dengan orang
asing/luar.
Mereka
mengalami
aneka
hal
yang
berubahnya
cepat,
memungkinkan taraf individualisasi yang tinggi,mobilitas sosial serta
sekularisasi. Pengaruh kota temyata lebih luas dari luas kota itu sendini. Istilah
urbanisasi kemudian memiliki arti yang bermacam-macam. Daerah perdesaan
secara demografis dapat bersifat perkotaan,akan tetapi secara sosiologis
mungkin tetap perdesaan. Kota Jakarta boleh saja disebut “The Big Village"
dan perdesaan dimana ada pabrik dan industri merupakan"A Small Town".
Sosiolog Belanda, Grunfeld (1978) dalam mengupas hakekat kota di
zaman sekarang mulai dengan mengemukakan urbanisasi yaitu perkotaan
sebagai suatu proses dimana perkembangan penduduk kota lebih cepat jalannya
dibandingkan
dengan
yang
berlaku
secara
nasional.Jika
angka
perkembangannya ada di bawah keseluruhan penduduk negara maka yang ada
bukan pengkotaan melainkan pertumbuhan kota.
Selanjutnya Grunfeld membedakan antara pengkotaan fisik dan
pengkotaan mental.Pengkotaan fisik menyangkut luas wilayah kota, kepadatan
dan tata guna lahannya yang non-agraris.Adapun pengkotaan mental berkaitan
dengan orientasi kepada nilai-nilai serta kebiasaan hidup penduduk kota.Jika
kondisi ini meluas meresap daerah yang ada diluar kota, maka disitupun terjadi
pengkotaan mental, meski tak ada pengkotaan fisiknya. Jadi perdesaan dapat
mengalami pengkotaan sebelum menjadi kota secara fisik.
Kenyataannya peralihan dari perdesaan menjadi perkotaan berjalan
bertahap, sehingga sifat perkotaan ataupun perdesaannya suatu permukiman itu
ditentukan oleh daerah yang lebih luas dari dirinya sendiri. Kota maupun
pengkotaan merupakan pengertianyang bersifat relatif.
Grunfeld dalam mendefinisikan kota adalah suatu permukiman dengan
kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional,
dengan struktur mata pencaharian non-agraris dan tata guna lahan yang
heterogen, serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan. Dengan
demikian maka pengkotaan berjalan sejajar dengan perkembangan dimana
penduduk tak tergantung langsung dari alam lingkungan. Dengan kata lain,
pengkotaan merupakan bagian dari proses modernisasi.
John Eberhard (1966) dalam tulisannya berjudul “Technology For The
City” melihat kota sebagai suatu jaringan sistem utuh yang berisi berbagai subsistem. Peranannya masing-masing sistem yaitu menjamin baiknya kondisi
kesehatan, kebersihan, mobilitas, semangat kerja, tata tertib, dan pendidikan
para penghuninya.
Subsistem-subsistem tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1.
City's Hardware (Jasmani Kota) yang meliputi:
-
Subsistem Metabolisme (mirip dengan pencemaan). Dalam kehidupan kota
terdapat jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan kota akan air,
pangan, bahan bakar, listrik, dan sebagainya. Setelah terpakai dibuang
limbahnya (sampah, kertas, plastik, botol, kaleng, dsb.). Jika pengurusan
limbah tersebut tidak pada tempatnya, maka kota seperti menderita salah
pencemaan.
-
Subsistem Kardiovaskuler (mirip dengan denyutan jantung dan konstelasi
pembuluh darah pada tubuh manusia). Segala sarana pergerakan
(mobilitas) yaitu mencakup sarana transportasi dan lalu lintas. Jika terjadi
kemacetan maka kota seperti penyempitan pembuluh darah yang
berhubungan dengan penyakit jantung.
-
Subsistem Nervus (persarafan) Subsistem ini meliputi jaringan informasi
dan komunikasi kota. Sarananya berupa radio, televisi, telepon, handphone,
surat kabar, majalah, dan sebagainya. Jika mengalami gangguan maka
komunikasi antar manusia terputus, kota dapat menjadi terpencil dan
bermacam urusan menjadi kalang kabut. Gejala ini mirip dengan
kebingungan pada manusia karena gangguan saraf.
-
Subsistem Skeletal (Kerangka). Subsistem ini merupakan wadah dari hidup
manusia. Berupa perumahan, gedung-gedung perkantoran, flat, asrama,
hotel, sekolah, tempat-tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan sebagainya.
Masalah-masalah yang menyangkut kesulitan perumahan, penggusuran,
dan sebagainya. Menggambarkan tubuh kota yang seperti menderita
penyakit tulang.
2.
City's Sofiware (Rohani Kota)
Hal ini menunjukkan berbagai aspirasi kehidupan kota termasuk
ekonomi, politik, administrasi, pendidikan, sosial, budaya, dan religi.
Ekonomi yang buruk cenderung mempercepat rusaknya sarana dan
prasarana kota. Fasilitas pendidikan yang memadai, gizi yang berkualitas,
hiburan yang cukup dan sehat mendorong kecerdasan penduduk dan
prastasi kerja.
Pendekatan kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh
diperlukan untuk mendapatkan pengertian yang gamblang, segar, dan
mendalam tentang kondisi dan proses kemajuan atau kemunduran kota.
Adapun analisa sistem ini merencanakan arah perkembangan kota. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Bintarto bahwa kota adalah suatu sistem jaringan
kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi
dan diwamnai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya
materialistis.
Ternyata kota yang jasmaninya nampak sehat, belum tentu mampu
menyehatkan jiwa penghuninya, karena belum dapat mewujudkan produk
dari kesadaran penghuninya. Masih ada perangkat manusia (humanware),
yaitu aneka ragam kelompok masyarakat penghuni kota dengan berbagai
kekhasan perilaku, persepsi dan aspirasinya, yang sangat berperan dalam
perkembangan suatu kota.
Sementara itu Mumford memandang kota sebagai suatu tempat
pertemuan yang berorientasi keluar. Dimana orang pulang dan pergi untuk
berjumpa secara teratur, merupakan sifat kota sebagai magnet yang
mempunyai daya tarik pada penghuni luar kota untuk mengadakan kontak,
memberi dorongan guna kegiatan rohaniah dan perdagangan. Adapun
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1997 Pasal 1:
Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai
batasan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan serta
permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan
perkotaan.
Dengan demikian kajian kota dengan melihat perangkat keras dan
perangkat lunak tersebut tidaklah sempurna apabila tidak dilengkapi
perangkat manusianya. Karena faktor manusia inilah yang sangat berperan
dalam mengelola lingkungannya. Dengan demikian yang menjadi terdakwa
bukan hanya kalangan bisnis saja, melainkan juga para pengelola kota
(urban managers).
Menurut Amos Rapoport sebagian besar definisi yang sudah sering
disebutkan dan digolongkan sebagai definisi klasik bersifat etnosentris,
yang berdasarkan pada kota barat modem. Misalnya salah satu definisi
menyatakan sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat
dan permanen terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari
segi sosial.
Ada sepuluh kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota, yaitu
sebagai berikut:
(1) Ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan
tempat.
(2) Bersifat permanen.
(3) Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat.
(4) Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur
jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata.
(5) Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja.
(6) Fungsi perkotaan minimum yang diperinci yang meliputi sebuah pasar,
pusat administrasi dan pemerintahan, sebuah pusat militer, pusat
keagamaan, atau sebuah pusat aktivitas intelektual bersama dengan
kelembagaan yang sama.
(7) Heterogenitas
dan
pembedaan
yang
bersifat
hierarkhis
pada
masyarakat.
(8) Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah
pertanian untuk pemasaran yang lebih luas.
(9) Pusat layanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat.
(10) Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada massa
dan tempat tersebut.
Selanjutnya Amos Rapoport menuntun kearah suatu pemahaman yang
lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu definisi
baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja,
sebagai berikut: Sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah
kota bukan dari segi cirri-ciri morfologi tertentu, atau bahkan kumpulan
ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun
sebuah
wilayah
dan
menciptakan
ruang-ruang
efektif
melalui
pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan
hierarki-hierarki tertentu.
Wilayah kota ini mengilustrasikan secara diagramatis /idealistis
perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan. Wilayah ini
memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hierarkis. Hierarki
pertama/utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi
sebagai pusat dengan hubungannya di dalam skala makro yaitu
keseluruhan. Kemudian hieraki ke dua diberikan kepada bentuk dan
susunan wilayah masing-masing serta pusatnya. Akhirnya hierarki ke tiga
berfokus pada skala mikro didalam wilayah masing-masing. Didalam
realitas perkotaan, ketiga hierarki tersebut tidak selalu ada secara langsung
atau bisa diperhatikan sejelas ini.
Gambar 1. Hierarki tentang wilayah tingkatan kota.
Morfologi serta rupa permukiman di seluruh dunia sangat berbeda dan
kesan perkotaannya tidak selalu jelas dengan yang lain. Namun demikian
sejak awal pembangunan setiap permukiman dibutuhkan perhatian pada
pembangunan kawasan yang memiliki hierarki ruang serta pemilihan lahan
yang cocok dan perlengkapan yang dasar bagi penataan struktur-struktur
dan ruang terbuka. Sebagai contoh morfologi Kota Yogyakarta seperti
gambar
berikut
ini.
Semua
tersusun
berdasarkan
sumbu
yang
menghubungkan Laut Selatan (Samudera Indonesia) dengan Gunung
Merapi di Utara. Di tengah sumbu terletak Keraton sebagai pusat Kota.
Gambar 2. Morfologi kota Yogyakarta berdasarkan sumbu
Pengorganisasian sebuah daerah sebagai kota tidak dilakukan dalam
konteks yang netral atau kosong. Penyususunan perkotaan serta pemakaian
hierarki-hierarki didalamnya selalu dilakukan dalam konteks yang nyata
berdasarkan parameter-parameter tertentu. Parameter-parameter kota
tersebut sangat bervariasi, tetapi secara dasar dapat diamati ada perbedaan
pokok antara kota dalam konteks urban modern dan konteks rural
tradisional. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
Tabel 2. Parameter Kota Tradisional (Pra Industri) dan Kota Modern
(Industri)
KOTA
TRADISIONAL (PRA
INDUSTRI) RURAL
KOTA MODERN
(INDUSTRI) URBAN
1. Ruang/ Morfologi
Kota disusun dengan
memusatkan bangunanbangunan simbolis dan
public, serta tempat
tertentu. Simbol Istana,
gedung religi, benteng,
dan lain-lain. Hubungan
erat dengan lingkungan
yang dekat. Wilayahwilayah dibatasi secara
jelas
berdasarkan
kelompok etnis.
Kota disusun dengan
memusatkan
institusi
(missal
institusi
perdagangan) Simbol :
CBD (Central Business
District),
pencakar
laangit,
gedung
pemerintah, dan lainlain. Hubungan dengan
lingkungan yang jauh
lewat
teknologi
komunikasi, dan lainlain.
2. Ekonomi
Sistem tukar menukar
atau system keuangan
yang
sederhana.
Kekayaan berdasarkan
pemilikan tanah atau
barang. Landasan pada
teknologi
pertanian
local.
Masyarakat
cenderung berfokus pada
penyediaan kebutuhan
sendiri.
System
pekerjaan sederhana dan
umum.
Sistem
perdagangan
luas dan kompleks.
Kekayaan
dihitung
dengan
capital.
Landasan
pada
teknologi
industry.
Keterkaitan
secara
regional, nasional dan
internasional.
Pembagian kerja secara
rumit dan spesifik.
3. Politik
Otoritas
tradisional.
Tradisi-tradisi rohaniah.
Ahli=ahli
tertentu
(tokoh-tokoh
agama)
memiliki
monopoli
pengetahuan walaupun
ada
landasan
Otoritas legal/rasional.
Tradisi-tradisi sekuler.
Jarak pengetahuan jauh
antara para ahli dan
orang biasa. Kekuasaan
dikelola
oleh
para
kapitalis, teknokrat dan
pengetahuan
yang
disebarkan secara luas.
Ancaman
hukuman
secara informal. Hukum
bersifat represif. Kontrak
secara
informal.
Kekuasaan pada elite
religi/politik.
Penting
hubungannya
dengan
yang berkuasa. Latar
belakang
keluarga
penting.
birokrat.
Ancaman
hukuman
secara
institusional.
Hukum
bersifat
restitusi.
Kontrak secara formal.
Penghargaan
lebih
berdasarkan pada hasil
usaha
daripada
hubungan dengan yang
berkuasa.
Latar
belakang
keluarga
dipandang sekunder.
4. Sosio Budaya
Penekanan
pada
hubungan
dalam
keluarga besar, rasa
kebersamaan.
Kohesi
etnis. Budaya homogen.
Kepercayaan
ritual.
Status diberikan.
Penekanan pada
individu sebagai unit.
Pernanan terpisah-pisah.
Mobilitas social secara
fungsional. Budaya
heterogen.
Keterasingan. Status
dicapai oleh diri sendiri.
Faktor-faktor yang berpengruh dan menentukan pada pengembangan
kota baru mencakup factor social dan ekonomi.
1) Faktor Sosial
Dua Faktor social utama yang sangat menentukan pengembangan dan
perkembangan kota baru umumnya adalah :
(1) Faktor Kependudukan
Revolusi industry yang terjadi pada akhir abad ke 19 dan disusul dengan
dampaknya pada awal abad ke-21 telah menyebabkan arus urbanisasi
dari perdesaan ke kota-kota. Kesempatan kerja yang makin meningkat
sehubungan dengan industrialisasi besar-besaran telah menyebabkan
semakin meningkatnya penduduk kota-kota industry.
Perkembangan penduduk kota besar yang semula telah menarik mereka
karena terbukanya kesempatan kerja telah mengalami berbagai
degradasi. Kalau kita amati keadaan kependudukan tersebut, maka
sampai kini tampaknya masih merupakan factor berpengaruh dan
menentukan dalam permasalahan perkotaan, khususnya masalah
pembangunan kota baru.
(2) Kualitas kehidupan bermasyarakat
Makin
padat
penduduk
kota
industry,
makin
menurun
pola
kemasyarakatannya karena lingkungan kehidupan yang mengutamakan
efisiensi ekonomi, telah menimbulkan berbagai degradasi social.
Keaadaan di kota industry pada masa pasca revolusi industry mengalami
penurunan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi
dan hubungan antar penduduk. Keadaan demikian dikemukakan para
reformis kemasyarakatn sebagai keadaan lingkungan yang tidak
manusiawi. Situasi social ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan
konsep-konsep dasar kota baru.
2) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang berpengaruh dan menentukan dalam pengembangan
dan perkembangan kota baru mencakup dua hal pokok, yaitu :
(1) Kegiatan Usaha
Kehidupan masyarakat khususnya dikota-kota, akan sangat ditentukan
pula oleh kegiatan usahanya. Sebagaimana dapat diungkapkan dari
fakta historis, bahwa terjadinya arus perpindahan penduduk semasa
industrialisasi besar-besaran dikarenakan semakin luasnya lapangan
kerja dan usaha di kota-kota besar.
Terbukanya kesempatan kegiatan usaha pada pusat-pusat atau kotakota yang baru, memungkinkan untuk membelokkan perhatian aliran
penduduk ke arah tersebut. Pemikiran mutakhir menyimpulkan,
bahwa upaya mendekonsentrasikan kegiatan usaha dapat membantu
mengurangi beban yang harus ditanggung kota-kota besar yang
umumnya merupakan pemusatan berbagai lapangan kegiatan usaha.
(2) Politik Ekonomi
Menurut T.C. Peng dan N.S. Verma (dalam Eko Budihardjo, 1999 :
159) mengemukakan 3 jenis pembangunan kota baru, yaitu :
a. Kota baru yang dikembangkan di Negara-negara dengan system
politik perekonomian campuran.
Dalam system ini sebagian system perekonomian ditangani oleh
sector swasta, tetapi sesuai dengan perencanaan yang disusun oleh
sector pemerintah. Inggris merupakan salah satu contoh jelas
negara yang menyelenggarakan pola pembangunan kota baru
yang dilandasi system perekonomian campuran.
b. Kota baru yang dikembangkan di Negara-negara dengan system
perencanaan
demikian
perekonomian
terdapat
pada
terpusat.Sistem
Negara-negara
perekonomian
sosialis.
Kegiatan
perekonomian sepenuhnya tergantung pada investor sector
pemerintah yang berazaskan konsep sosialistik.
Atas dasar system ini, maka perencanaan dan pembangunan kotakota baru di beberapa Negara sosiali, khususnya di Rusia
sepenuhnya menjadi wewenang dan kebijaksanaan pemerintah.
c. Kota baru yang dikembangkan di Negara yang mempunyai system
perekonomian bebas. Dalam system ini, system perekonomian
bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar. Amerika Serikat
merupakan contoh yang menganut system ini. Di bawah system
perekonomian bebas ini perencanaan dan pembangunan kota baru
berada dalam wewenang sector swasta. Dengan demikian, maka
motivasi keuntungan merupakan landasan utama. Investasi yang
besar termasuk berbagai bentuk risiko finansial menjadi tanggung
jawab swasta apabila mekanisme pasar sedang berada dalam
keadaan baik.
C. Fungsi Kota
1. Fungsi Kota Dalam Proses Berkembangnya Wilayah.
“Wilayah”mengandung pengertian geografis beserta segenap unsur yang
terkait padanya termasuk manusia dengan segala aspek kehidupannya dan
sumber daya alam,dengan lokasi,luas dan struktur menurut batasan ruang
lingkup peninjauan tertentu yang meliputi wilayah perkotaan dan wilayah
perdesaan. Berkembangnya wilayah dimaksudkan sebagai suatu proses
wilayah dalam berkembang yang diamati seperti apa adanya, untuk
membedakan dengan istilah “pengembangan wilayah” yang mengandung
arti sebagai suatu usaha/tindakan pengembangan wilayah. Proses-proses
dalam berkembangnya wilayah pada hakekatnya mencakup keseluruhan
proses kehidupan manusia. Salah satu proses ialah kegiatan usaha sosial,
politik, dan ekonomi yaitu kumpulan keseluruhan kegiatan usaha manusia
dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan
hidup dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha manusia dalam
memenuhi kebutuhannya.Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan hidup dan
kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha yang berbentuk baik barang
maupun jasa. Kegiatan usaha manusia pada dasarnya mempunyai fungsi
sebagai penghasil jasa dan barang,sebagai sumber pendapatan dan sebagai
lapangan kerja, yang identik dengan sasaran pokok kehidupan manusia.
Karena itu kegiatan usaha dapat diklasifikasikan sebagai proses sentral,yaitu
proses yang memberikan produk yang identik sasaran pokok kehidupan
manusia. Pertumbuhan suatu wilayah dimungkinkan terjadi oleh adanya
pola-pola efisiensi yang berlaku pada segenap kegiatan usaha manusia yang
bersangkutan. Oleh karena itu apabila dikehendaki suatu wilayah dapat
berkembang dan berkembang kearah tujuan yang dikehendaki diperlukan
cukup tersedianya dan cukup terbinanya kegiatan usaha ekonomi.
Pertumbuhan menuntut diterapkannya pola-pola efisiensi pada segenap
kegiatan usaha (ekonomi, sosial, politik). Hal ini akan terlihat pada
pertimbangan yang menyangkut skala ekonomis (volume dan frekuensi) dan
pemilihan
lokasi
dalam
memberikan
pelayanan
untuk
pemenuhan
kebutuhan. Pola efisiensi akan memberikan implikasi pada arus jasa
distribusi yang harus melayani, dan berkelompoknya berbagai kegiatan
usaha beserta lokasinya sebagai pola yang paling menguntungkan
Perkembangan hanya dimungkinkan melalui pertumbuhan, uraian diatas
memberikan petunjuk bahwa jasa distribusi merupakan unsur pembentuk
struktur pada wilayah. Wujud struktur wilayah dapat dikenal dengan
mengamati tingkah laku jasa distribusi yang bermula pada sumber alam dan
berakhir pada konsumen akhir. Baik sumber alam maupun konsumen akhir
terletak dan berada tersebar, sehingga kegiatan usaha distribusi yang
berperan menghubungkan kedua-duanya menghadapi tingkat penyebaran
yang besar. Proses distribusi pada hakekatnya merupakan proses pemasaran
produk primer ke konsumen akhir. Didalam pusat kegiatan usaha
distribusi,akan terlibat sejumlah manusia. Sejumlah manusia ini akan akan
memerlukan pula pelayanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang
juga akan melibatkan sejumlah manusia. Mekanisme tersebut pada dasarnya
merupakan mekanisme pembentuk kehidupan perkotaan yang akan
tergambarkan oleh konsentrasi kegiatan usaha dan permukiman-permukiman
manusianya. Dengan pengertian itu simpul jasa distribusi dinyatakan sebagai
titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya kota menurut konsiderasi
ekonomi. Atau dengan kata lain kota mempunyai fungsi ekonomi dalam
rangka peranannya sebagai simpul jasa distribusi. Simpul-simpul yang
terbentuk kemudian sifatnya melengkapi dan berada dalam subordinasi
simpul yang telah ada sebelumnya dan simpul-simpul tersebut pada dasamya
merupakan
perkotaan-perkotaan
baru.
Karena
itu
sejalan
dengan
berlangsungnya perkembangan, timbullah kota-kota kecil baru yang
bertindak sebagai simpul-simpul jasa distribusi atau dengan kata lain
munculnya kota-kota kecil baru menggambarkan perkembangan suatu
wilayah.
2. Fungsi Kota Dalam Pengembangan Wilayah
Pada dasarnya antar kota yang satu dengan kota yang lain dapat terjadi
hubungan. Hubungan antar kota tersebut memberikan gambaran meluasnya
permasalahan produk-produk keluar dari satuan wilayah pengembangan
yang bersangkutan, yang dapat berarti adanya ketergantungan ekonomis
antar satuan wilayah pengembangan yang bersangkutan. Dalam pada itu
satuan wilayah ekonomi yang menguasainya. Dalam hubungan itu satuan
wilayah ekonomi dipakai sebagai variabel dalam merencanakan tingkat
perkembangan satuan-satuan wilayah ekonomi beserta penyebarannya dalam
wilayah nasional menggambarkan struktur perkembangan wilayah tingkat
nasional.Sejalan dengan salah satu tujuan nasional yaitu perkembangan antar
daerah yang semakin seimbang pada prinsipnya harus dapat diwujudkan
perkembangan satuan-satuan wilayah ekonomi yang semakin seimbang pula.
Menyadari bah wa kota-kota merupakan unsur penting pembentuk struktur
satuan wilayah ekonomi,pada prinsipnya pengendalian pengembangan
satuan wilayah ekonomi dapat dijalankan melalui pembinaan kota yang lebih
terarah. Oleh karena itu kota-kota kecuali berfungsi dalam satuan wilayah
yang bersangkutan, juga sangat besar peranannya dalam proses pengendalian
pembentukan struktur perkembangan wilayah tingkat nasional yang
dikehendaki sesuai dengan tujuan nasional. Hal ini berarti bahwa dalam
usaha membina kota kebijaksanaan yang diambil perlu dilandasi oleh "Pola
umum pengembangan perkotaan secara nasional”. Pola tersebut kecuali
dilandasi oleh fungsi kota dalam kehidupan nasional yang menjamin
tercapainya efisiensi dalam proses pertumbuhan juga memperhitungkan
kontribusinya dalam pengembangan perkembangan antar daerah.
3. Fungsi Kota Dalam Kegiatan Usaha Industri
Kegiatan usaha industri pada dasarnya bersifat melengkapi jasa distribusi
dalam proses pemasaran produk-produk primer menuju konsumen akhir.
Jasa distribusi diperlukan dalam hubungannya dengan perubahan produk
primer agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan konsumen akhir,yang dapat
berupa proses pemurnian, pengolahan dan pengerjaan.Karena sifatnya hanya
sejauh melengkapi jasa distribusi kegiatan usaha industri cenderung untuk
mendekat pada simpul jasa industri,artinya cenderung untuk tumbuh di kotakota. Kegiatan usaha industri menuntut berbagai pelayanan jasa yang lain,
baik yang langsung pada faktor produksi maupun yang menyangkut faktor
manusia-manusia yang terlibat. Pelayanan jasa seperti itu jelas akan lebih
mudah diharapkan dari pelayanan-pelayanan jasa yang telah terkelompok
dalam kota. Kegiatan usaha industri membawa akibat meningkatnya
kepadatan jasa distribusi pada kota yang bersangkutan. Kepadatan jasa
distribusi yang meningkat berarti meningkatkan kemampuan kota dalam
fungsi pelayanan pemasaran wilayah sekitarnya. Kegiatan usaha industri
dengan demikian akan berpengaruh dalam mempercepat perkembangan kota
(Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah-DITJEN CIPTA KARYADepartemen Pekerjaan Umum,1979).
4. Fungsi Kota Sebagai Pusat Industri
Di dalam kota ini,kegiatan industri merupakan kegiatan yang menonjol
dibandingkan dengan kegiatan kegiatan bukan industri. Pengertian industri
sendiri meliputi berbagai jenis kegiatan, antara lain berdasarkan jenisnya
(industri primer, industri sekunder, dan industri tersier); berdasarkan
produksinya (industri kapal terbang, industri kapal laut, industri mainan
anak-anak, dan lain-lain) dan masih banyak pengertian industri ini ditinjau
dari berbagai segi. Kadang-kadang sesuatu kota mempunyai sifat gabungan
daripada jenis-jenis industri tersebut namun demikian kebanyakan hanya ada
satu atau dua jenis industri saja yang paling menonjol. Sebagai contoh, Kota
Detroit dengan industri mobilnya, kota Bombay dengan industri tekstilnya,
Kota Dresden dengan industri keramiknya, Kota Johannesburg dengan
industri intannya. Kota-kota yang berada di negara-negara yang sedang
berkembang, biasanya kegiatan industri yang menonjol merupakan industri
primer, seperti industri pertambangan, industri penyulingan minyak,
perikanan atau industri yang berkaitan dengan pengolahan kayu. Dengan
makin majunya industri-industri yang ada,biasanya daerah-daerah hunian
(daerah yang betul-betul dihuni) yang ada akan mengalami penciutan karena
makin meluasnya daerah industri tersebut.Hal inilah yang merupakan salah
satu sebab dari makin merosotnya kondisi lingkungan permukiman di kotakota besar.
5. Fungsi Kota Sebagai Pusat Perdagangan
Ditinjau dari kehidupan kotanya, sebenarnya setiap kota merupakan pusat
perdagangan. Namun demikian, tidaklah semua kota selalu ditandai atau
diwarnai oleh kegiatan perdagangannya semata. Kota-kota perdagangan
yang besar biasanya merupakan kota-kota pelabuhan. Hal ini disebabkan
karena kota yang bersangkutan mempunyai kemungkinan beraktivitas jauh
lebih besar dari pada kota-kota lain yang bukan pelabuhan, terutama ditinjau
daripada pintu gerbang transportasinya. Oleh karena sampai saat ini media
transportasi yang besar adalah darat dan laut maka bagi kota-kota yang
mempunyai potensi kearah pengembangan dua jenis transportasi tersebut
akan mempunyai potensi yang besar pula untuk maksud pengembangan
kotanya ditinjau dari segi kegiatan perdagangannya. Contoh-contoh kota
perdagangan besar yang bertaraf internasional antara lain: New York,
London, Rotterdam, Bombay, Hamburg, Napal, Hongkong dan lain
sebagainya.
6. Fungsi Kota Sebagai Pusat Politik
Sebelum Eropa Barat dilanda oleh apa yang dinamakan dengan revolusi
industri, maka sebenamnyalah bahwa kota-kota yang ada pada zaman masa
itu tidak lain merupakan kota-kota pusat pemerintahan.Keadaan ini memang
sesuai dengan kondisi pada saat itu dimana pusat pemerintah, pusat
administrasi dan politik suatu negara harus merupakan ibukota negara yang
bersangkutan. Hanya karena adanya perubahan situasi, berhubung dengan
adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi maka beberapa kota
yang semula merupakan pusat kegiatan politik kemudian berubah menjadi
kota-kota sebagai pusat perdagangan dan industri. Namun demikian,
peranannya sebagai pusat kegiatan politik pemerintahan negara masih
nampak dengan jelas. Beberapa contoh kiranya dapat dikemukakan ialah
Kota New Delhi di India, Kota Jakarta di Indonesia, Kota Bangkok di
Thailand, Kota Canberra di Australia, dan lain sebagainya. Kota-kota politik
ini menjadi berkembang terutama ditentukan oleh peranannya sebagai pusat
pemerintahan negara yang bersangkutan dan merupakan pusat sistem
pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara negara yang
satu dengan Negara yang lain,dimana duta-duta negara lain berkedudukan
pada kota-kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara.
7. Fungsi Kota Sebagai Pusat Kebudayaan
Dalam hal ini potensi kulturalnya kelihatan menonjol dibanding dengan
fungsi-fungsi lain yang ada. Pada masa-masa silam,peranan masjid-masjid di
dunia Islam, Gereja-Gereja di dunia Kristiani serta pusat-pusat kerajaan
memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara.Sebagai
contoh adalah Kota Mekah yang merupakan kota "religius" umat Islam dan
juga kota Roma bagi umat Kristiani.Mengenai peranan kedua contoh kota
tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan agamis didunia ini, kiranya
tidak perlu diterangkan lagi. Disamping kota-kota sebagai pusat kebudayaan
yang berkaitan erat dengan kehidupan agama, dapat pula sesuatu kota
terkenal atau menonjol dibidang pendidikannya, kebudayaan khususnya
seni. Sebagai contoh dapat dikemukakan ialah Kota Yogyakarta, dapat
dianggap menonjol dibidang pendidikannya dan juga mengenai mengenai
kegiatan kebudayaannya. Maka tidaklah berlebihan kiranya apabila Kota
Yogyakarta dianggap sebagai kota pelajar atau kota mahasiswa atau juga
kota budaya. Sesuatu hal yang kurang mendapatkan perhatian adalah belum
didirikannya gedung sebagai pusat buday a,walaupun materi-materi
kebudayaan yang ada cukup memadai. Rupa-rupanya masalah birokrasi dan
dana masih merupakan hambatan yang cukup besar untuk mewujudkan citacita tersebut.
8. Fungsi Kota Sebagai Pusat Rekreasi atau Kesehatan
Suatu kota akan mempunyai fungsi sebagai tempat rekreasi ataupun
kesehatan, apabila pada kota tersebut mempunyai kondisi-kondisi tertentu
yang mampu menarik pendatang untuk menikmati kenikmatan tertentu yang
ada pada kota tersebut.Adapun mengenai kenikmatan ini dapat merupakan
kenikmatan fisikal ataupun dapat merupakan maksud-maksud penyembuhan.
Namun demikian suatu hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan
kota yang berfungsi sebagai kota budaya adalah bahwa pada kota-kota yang
berfungsi sebagai tempat rekreasi ini didalamnya mengandung sesuatu yang
menarik orang luar untuk tujuan berrekreasi. Kota-kota seperti ini antara lain
Kota Palmbeach dengan yang indah, Kota Montecarlo, Kota Monaco, dsb.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sesuatu kota sebenamya tidak akan
menampakkan dirinya secara murni hanya pada satu macam fungsi saja
tetapi merupakan hasil gabungan dari berbagai macam fungsi. Namun
demikian salah satu atau sebagian dari berbagai fungsi tersebut lebih
kelihatan mewarnai kehidupan kotanya. Karena hal itulah kemudian timbul
berbagai notasi terhadap kota-kota tertentu.
9. Kota-Kota Pusat Administrasi (Administrative Towns and Cities)
Kota-kota ini dapat berfungsi sebagai:
a. Ibukota suatu negara
b. Ibukota propinsi
c. Ibukota Kabupaten
Kota-kota yang tidak mempunyai fungsi tertentu yang menonjol,
biasanya baru merupakan kota-kota yang masih sangat muda usia
pertumbuhannya atau kota-kota kecil. Oleh karena dalam suatu kota yang
masih muda fungsi-fungsi yang ada belum mampu mengembangkan dirinya
sedemikian rupa,maka berbagai fungsi yang ada masih mempunyai pengaruh
yang sama. Namun demikian, suatu hal yang perlu diperhatikan adalah pada
kota-kota yang sangat besar. Seperti halnya pada kota-kota kecil, pada kota-
kota yang sangat besarpun terdapat kecenderungan mempunyai berbagai
fungsi yang sangat kompleks sehingga penonjolan sesuatu fungsi tertentu
terlihat lemah. Sebagai contoh kiranya dapat dikemukakan disini yaitu Kota
Jakarta, Kota Philadelphia, Kota Pitsburg, Kota Tokyo, Kota London, dan
lain sebagainya(Gist, N.P & Halbert, L.A).
Adapun Harris dan Chauncy P.membagi fungsi kota menjadi 9 macam,
sebagaimana Hudson membagi kota-kota atas dasar fungsinya. Walaupun
demikian klasifikasi Hudson dapat dikatakan lebih lengkap, walaupun
kriteria notasi fungsinya suatu kota yang dikemukakan tidak dikemukakan.
Dalam klasifikasi fungsi yang diajukan oleh Harris dan Chauncy P.hal
tersebut dicoba untuk dikemukakan dalam gambaran kuantitatif Hal ini
memang telah disadari oleh Harris dan Chauncy bahwa peranan data statistik
suatu kota untuk maksud-maksud mengenali fungsi utama yang ada adalah
benar sekali klasifikasi yang dikemukakan adalah hasil dari penyelidikan
terhadap 984 kota-kota yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar
klasifikasi adalah sebagai berikut:
a. Kota Manufaktur (Manufacturing Cities)
Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota manafaktur apabila kegiatan
manufaktur yang ada melebihi 60%dari seluruh kegiatan kota yang
bersangkutan.
b. Kota yang Mempunyai Bermacam Fungsi (Diversified Cities)
Kota yang dapat dianggap mempunyai fungsi yang beraneka apabila
kegiatan manufaktur yang ada kurang 60%; kegiatan "wholesale”
kurang dari 20% dan kegiatan "retail' kurang dari 50%
c. Kota yang Berfungsi sebagai Penjual Barang-Barang dalam Partai
Besar (Wholeseling Cities)
Suatu kota yang dianggap sebagai "wholesale city” apabila kegiatan
penjualan dalam,partai besar tercatat lebih dari 20% seluruh kegiatan
yang ada.
d. Kota-Kota Pengecer (Retailing Cities)
Suatu kota mempunyai fungsi pengecer apabila kegiatan ini meliputi
lebih dari 50% seluruh kegiatan total.
e. Kota-Kota Transportasi (Transportation Cities)
Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota trasnportasi apabila pekerjapekerja yang berkaitan dengan masalah pengangkutan meliputi
sekurang-kurangnya 11% dari seluruh pekerja-pekerja yang ada.
f. Kota-Kota Pertambangan (Mining Cities)
Suatu kota dapat dikatakan sebagai kota pertambangan apabila
pekerja- pekerja tambang yang ada di kota tersebut meliputi
sekurang-kurangnya 15% dari seluruh pekerja-pekerja yang ada.
g. Kota Universitas dan Pendidikan (University and Educational Cities)
Untuk menentukan fungsi ini suatu kota harus memenuhi persyaratan
bahwa minimal 25 % penduduknya terdaftar di perguruan tinggi atau
akademi- akademi lainnya.
Walaupun demikian klasifikasi yang telah dikemukakan dapat membuka
mata para ahli perkotaan untuk mempertimbangkan terutama dalam
kaitannya dengan usaha-usaha pengembangan dan prencanaan kota. Untuk
keperluaaan-keperluan
praktikal
di
negara-negara
berkembang
dan
khususnya Indonesia,beberapa macam klasifikasi kota berdasarkan fungsi
diatas tidak harus selalu diikuti,karena latar belakang kehidupan dan sosial
ekonomi pekotaan yang ada mempunyai ciri-ciri yang penuh berbeda dengan
Negara-negara yang termasuk "developed”, Usaha untuk menggolongkan
jenis-jenis kota yang ada di Indonesia atas dasar fungsinya jelas merupakan
usaha yang penting,terutama didalam rangka pengembangan regional dan
kota-kota yang ada termasuk konstelasinya.
Latihan
1. Jelaskan kedudukan Geografi Kota dalam Ilmu Geografi!
2. Jelaskan definisi kota yang saudara ketahui (berikan contoh 3
buah)!
3. Jelaskan perbedaan kota dan desa!
4. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya
kajian tentang geografi kota!
5. Jelaskan fungsi kota yang saudara ketahui (berikan contoh 5
buah)!
Ringkasan
Geografi Kota merupakan bagian dari studi Geografi yang mengkaji
tentang wilayah perkotaan. Adapun tugas Geografi Kota adalah
menjelaskan fenomena-fenomena perkotaan dari sudut pandang
keruangan,kelingkungan,dan kompleks wilayah.
Geografi Kota memahami bagaimana faktor interaksi antar ruang.
Interaksi antar ruang berfungsi sebagai pelayan dan hubungan timbal
baliknya
seperti
perkembangan
permukiman,perencanaan
pengembangan kota.
Berkembangnya kajian tentang Geografi Kota didorong oleh: (1)
munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi, (2) degradasi
lingkungan
perkotaan,
(3)
perencanaan
kota
yang
semakin
berkembang, (4) terciptanya sistem transportasi yang modern, (5)
dampak interaksi desa-kota, dan (6) perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi.
Wilayah mempunyai kriteria fisik (territorial) yaitu wilayah perkotaan
dan wilayah perdesaan. Sedangkan berdasarkan kriteria budaya
dikenal adanya masyarakat beradab dan masyarakat primitif. Dengan
demikian masyarakat kota adalah masyarakat beradab yang budayanya
telah mencapai titik puncaknya.
Taraf kekotaan suatu wilayah tidak tergantung dari kepadatan
penduduknya tetapi dari kemutlakan fasilitas hidup yang cukup
membebaskan manusia dari bergantungnya pada lahan pertanian.
Pada dasarnya kota memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai pusat
kegiatan pemerintahan, industri, perdagangan, jasa, pendidikan,
kesehatan, rekreasi, dan transportasi. Makin tinggi status kota
(Kecamatan/Kabupaten/Kota/Provinsi) maka makin beragam pula
fungsi kota tersebut.
BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA
A. Proses Terbentuknya Kota
Kira-kira 5500 tahun sebelum masehi atau mungkin jauh sebelum ini,
telah timbul desa-desa di Asia. Menurut sejarahnya kota-kota baru ada
setelah terjadi surplus ekonomi di daerah pedalaman (desa). Desa-desa ini
antara lain Yerischo dan Yarmo yang merupakan masyarakat-masyarakat
yang kehidupan ekonominya terdiri dari bercocok tanam dan peternakan,
menyebar dari daerah-daerah pegunungan ke daratan Eropa dan Tigris dan
kemudian menumbuhkan permukiman yang boleh disebut kota.Akan tetapi
pelaksanaanya
yang
konkrit
haruslah
menantikan
terlebih
dahulu
perkembangan teknologi yang menghasilkan sarana trasnportasi didukung
oleh dua hal yaitu penemuan roda dan dan penjinakan bom. Sekitar 3000
tahun sebelum masehi muncullah di daerah tersebut negara-negara kota (city
state) yang masing-masing tidak begitu besar dan masih becorak
agraris.Misalnya untuk kehidupan setiap orang yang bukan petani
dibutuhkan sejumlah 50 sampai 90 petani.Karena itu 80% dari penduduk
kota-kota ini hidupnya di bidang pertanian.Kota-kota ini hidupnya dibidang
pertanian. Kota-kota ini diperkirakan berpenduduk maksimal 200.00 orang
dan sebagian besar adalah kota-kota kecil. Babylon misalnya berpenduduk
80.000 orang. Tingkat perkembangan teknologi yang dicapai saat ini
memungkinkan adanya sentra-sentra urban (daerah perkotaaan) yang lebih
besar, daerah-daerah yang harus menjamin bahan pangan bagi kota sangat
terbatas. Setelah berdiri, kota dapat memberikan jasanya kembali kepada
pedesaan ataupun menguasai penduduknya melalui tindakan seperti
misalanya menguasai produksinya untuk diperdagangkan, melakukan
pendudukan militer yang berkubu di benteng kota, menyediakan pelayanan
agamawi, menyajikan berbagai hiburan dan kesenangan.
Seperti telah dikatakan, daerah asal kehidupan urban (kota) terletak di
Mesopotamia dan dari sana menyebar ke Delta Nil dan Lembah Indus.Sering
juga orang beranggapan bahwa dari wilayah ini gejala kota kemudian
menyebar ke Tiongkok (Delta Yang Tse Kiang) dan kebagian-bagian lain di
Asia Tenggara dan Afrika. Di samping difusi dalam proses penyebaran kota,
gejala penemuan tersendiri juga penting dalam hal timbulnya kota-kota.
Kebudayaan urban Amerika-Meso (Amerika Tengah) dianggap sebagai hasil
dari penemuan tersendiri,walaupun kota-kota dibagian ini baru berkembang
3000 tahun kemudian dan menampakan banyak kesamaan dengan kota-kota
di Asia seperti adanya agama sebagai faktor penggerak penting dalam
urbanisasi kuno dan evolusi yang semacam dari lembaga-lembaga militer,
agama, dan politik.
Weber dalam menstudi sejarah kota menyusun lima tipologi kota,yang
lebih mendekati kenyataan social dalam aneka ragam sejarahnya daripada
skema pengertian formil manapun.
Tipe-tipe kota tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kota-Kota Kuno di Timur Tengah
Kota-kota ini kebanyakan merupakan kota-kota Raja. Dulunya itu
adalah kota pusat kerajaan dengan para pegawainya, tokoh agama, para
tentara, para budak-budak (Thebe, Neniveh). Warga kota dalam arti
seperti zaman sekarang belumlah ada, karena penduduknya masih
terbagi-bagi menurut suku atau pekerja bebas dan pekerja budak. Hal itu
bahkan terlihat dalam agama, misalnya di Jerusalem dalam pembuatan
kuil.
2.
Kota-Kota Kuno di Asia
Tipe kota-kota ini kondisinya menunjukan persamaan dengan kota-kota
kerajaan di Timur Tengah, tetapi biasanya sangat merupakan kota
pegawai (peking). Baik di India maupun di China, penduduknya kota itu
tetap terbagi oleh garis-garis pemisah religius,dalam kasta-kasta atau
kelompok-kelompok keluarga. Tiap-tap kelompok keluarga mempunyai
dewa-dewa sendiri dan tetap terikat pada desa asalnya, sehingga juga
akibat dari kesewenangan-wenangan raja disinipun tidak mungkin
diciptakan keluarga kota yang homogen.
3.
Kota-Kota Eropa di Abad Pertengahan
Munculnya dan perkembngan setalah penduduk kota tersebut mendapat
hak kekotaan dari para penguasa bangsawan. Kota adalah seperti pulau
dalam lautan Feodalisme.Penduduknya adalah kaum bebas yang
kerjanya bertukang dan berdagang.Lama kelamaan muncul lapisan baru
yaitu proletariat. Menurut teori ahli sejarah Henri Pirenne, terjadinya
kota abad pertengahan itu adalah diawali oleh datangnya para pedagang
merdeka yang berdiam diluar tembok istana-istana tuan tanah
bangsawan dan tempat-tempat kediaman uskup. Demikianlah timbulnya
"faorboug-faorboug”, kota-kota pasar yang makin lama makin banyak
menarik penduduk.Lambat laun banyak faubourg menjadi lebih besar
dari pada intinya (bourgnya) atau abdij (tempat kediaman uskup) yang
ada di dalam kota ini merupakan suatu kekebalan (immunitet)
tersendiri, yang dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan antara
warga kota (pooters) dan kaum pendeta tinggi atau kaum ningrat. Pada
akhir abad pertengahan didalam warga kota dan golongan yang
menimbulkan banyak sengketa sosial.
4.
Kota-kota Eropa dalam Masa Sejarah Modern
Tipe kota-kota ini bercirikan keterbukaan ekonomis. Dari fungsi
melayani daerah sekitar,akhirnya berfungsi pelayanan nasional.
Penduduk berkembang pesat disertai mobilitas sosial yang pesat pula.
5.
Kota-kota Modern di Dunia Barat
Tipe kota ini dicirikan oleh kepadatan lalulintas yang terus meningkat,
perbedaan ekonomi tercermin pada variasi tempat tinggal dalam kota.
Dengan majunya industri kemudian bergeser batas-batas kota luar dan
lahirlah kota-kota satelit. Kota-kota besar di Eropa Barat berkembang
setelah
berhasil
revolusi
industri
misalnya
di
Inggris,Perancis,Jerman.Sementara itu di Asia sendiri khususnya bagian
yang dijajah oleh bangsa barat timbulnya kota-kota besar seperti
Jakarta, Singapura, Hongkong, Saigon, dan Rangon. Pertumbuhan kotakota di negara-negara sedang berkembang mirip/ada beberapa
persamaan dengan apa yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika
Utara yaitu berupa pertambahan penduduknya yang pesat, misalnya
Caracas (Venezuele) penduduknya bertambah dari 359.000 tahun 1941
menjadi 1.507.000 tahun 1963. Amman (Yordania) dari tahun 1948
menjadi 6.530.000 pada tahun 1980, akan tetapi sebenarnya exsplosi
penduduk yang hebat itu tak disebabkan oleh pertumbuhan alami di
kota yang bersangkutan,tetapi masuknya penduduk dari pedesaan
sebagai akibat kemiskinan di desa yang mendorong penuhnya kota dan
munculnya gejala kemiskinan pula di kota. Pendapat yang meengatakan
bahwa kota di dunia ketiga kurang lebih sama dengan kota di dunia
Barat sebelum zaman revolusi industri di sana, tidaklah benar, karena
tidak cocok dengan logika dan kenyataan sejarah. Memang ada aspekaspek tertentu yang mirip dengan situasi kota di Timur tengah dan
sekitarnya laut tengah,tetapi pengaruh pengaruh dari negara industri
modem menjadi begitu intensif sehingga bukti-bukti kemodernan lekas
bermunculan di kota-kota dunia ketiga.
Kota di dunia ketiga mengandung warisan arkhaisme (kekunoaan) dan
modernisme sekaligus. Arkhaisme mencakup fungsi kota sebagai
tempat mencari pengayoman dari kaum feodal;sekarang kaum yang
berkuasa secara politik administratif. Keraton dikerumuni perumahan
para sanak famili, bawahan dan para penguasa kebutuhan hidup seperti
tukang dan pedagang dengan diferensiasi dan spesialisasi kerja.
Kota sebagai sektor komersial mendapat pengayom dari para aristokrat
atau bangsawan pendukung kekuasaan raja. Masuknya produksi agraris
dari perdesan juga bertalian erat dengan para penguasa kota yang men
guasai daerah pedalaman.Dilihat sepintas lalu kota seperti mula-mula
tak mudah kemasukan modernisasi dari luar karena amat dilindungi aleh
arkhaisme. Tetapi dengan datangnya penjajahan masuklah berbagai
teknik industri dan ini menuntut tenaga-tenaga yang melayaninya.
Sementara itu kota dilanda oleh budaya uang karena segala jasa
manusia harus dinilai dengan uang.Pasar-pasar diisi dengan barangbarang asing yang perlu dibeli oleh mereka yang dilanda kehidupan
yang bercorak baru. Kemiskinan didesa mendapatkan pemacahannya
berupa gerak penduduk masuk kota,tetapi kemudian terjadi reurbanisasi
dimana kota belum siap menampung para urbanisme dengan lapangan
kerja bagi mereka.
B. Faktor-Faktor Pembentuk Kota
Faktor-faktor yang berperan an penting dalam proses timbulnya kotakota adalah Ekologi, Teknologi, dan Organisasi Sosial (P.J.M. Nas,
1979:57). Syarat penting bagi timbulnya kota-kota ialah adanya lingkungan
alam yang menguntungkan. Faktor kedua adalah perkembangan teknologi.
Namun teknologi saja tidak cukup,oleh karena itu diperlukan adanya faktor
yang ketiga yaitu organisasi sosial yang baru baik di kota maupun di daerah
sekelilingnya. Ciri khas disini adalah timbulnya pembagian kerja yang
tertentu.Maka
lembaga-lembaga
yang
mempunyai
kekuasaan
atau
wewenang untuk mengendalikan produksi, distribusi, dan penyimpanan
bahan pangan dan barang-barang lainnya merupakan bagian yang amat
penting dari organisasi sosial.
Sangat sukar untuk menentukan manakah dari ketiga faktor ini
memegang
peranan
terpenting
dalam
timbulnya
kota-kota.
Besar
kemungkinan ketiga-tiganya selalu berada dalam hubungan yang saling
mempengaruhi satu sama lain.
Perancangan kota (urban design) merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan
antara profesi perencana kota, arsitektur, rekayasa sipil, dan trasportasi
dalam wujud fisik. Perencana kota sebagai perancang dalam bentuk dua
dimensi dengan desain fisik bangunannya,sedangkan dsiplin ilmu lainnya
berfungsi sebagai acuan dalam menentukan arahan perkembangan suatu kota
atau wilayah baik dari segi sosial, ekonomi, politik maupun budaya serta
hankamnya, sehingga terbentuk citra spesifik sebuah kota.
Perencanaan kota lazimnya lebih memperhatikan pada bentuk fisiknya
kota. Dalam sejarahnya,disiplin ilmu dan profesi arsitektur dan perencanaan
kota
sama-sama
bekepentingan
dalam
menciptakan
permukiman-
permikiman manusia serta peningkatan kualitas lingkungan fisiknya. Dalam
abad dua puluhan, perancangan kota lebih terpusat pada bentuk-bentuk
permukiman perkotaan dan proses-proses kebudayaan yang mempengaruhi
bentuk-bentuk tersebut.Perancangan kota dapat mewujudkan dirinya dalam
bentuk tampak pada bangunan,desain sebuah jalan, atau sebuah rencana
kota, atau dapat dikatakan pula bahwa rancangan kota berkaitan dengan
bentuk wilayah perkotaan.
Ruang-ruang terbuka berbentuk jalan, taman, dan akhirnya ruang yang
lebih besar, dirancang bersamaan dengan perancangan fisik bangunannya,
sehingga kota tersebut merupakan proses dan produk dari pereancangan
kota. Produk perancangan kota tersebut dapat dikategorikan dalam dua
bentuk umum yang disebut Ruang Kota (Urban Space) dan Ruang Terbuka
(Open Space).
Ruang kota terbentuk oleh muka bangunan dengan lantai kota baik
berupa jalan,plaza atau ruang terbuka lainnya.Sedangkan ruang terbuka
disebut juga sebagai natural space yang dapat mewakili alam di dalam dan di
sekitar kota.
Menurut Kevin Lynch, dalam penyelidikan terhadap bentuk kota ada lima
elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota, yaitu:
(1) Pathway, merupakan rute-rute sirkulasi yang biasa digunakan orang
dalam melakukan pergerakan, baik inter maupun antar kota, melalui
jaringan jalan primer dan sekunder.
(2) Districts, merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota, kadang-kadang
begitu bercampur karakternya sehingga tidak mempunyai batas-batas
yang tegas.
(3) Edge, pengakhiran sebuah district atau tepiannya. Distrik tertentu tidak
mempunyai pengakhiran yang tegas tetapi sedikit demi sedikit berbaur
dengan distrik lainnya.
(4) Landmark, elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang
untuk mengorentasikan diri di dalam kota dan membantu mengenal
suatu daerah kota. Sebuah landmark yang lebih baik adalah elemen
yang tegas tetapi harmonis dengan kerangka lingkungan kota.
(5) Node, pusat aktivitas,merupakan salah satu jenis landmark tetapi
berbeda karena fungsinya yang aktif.
Tiga tingkat yang ingin dicapai dari konsep perencanaan kota adalah:
(a) Perumahan yang layak dengan lingkungan sehat bagi kehidupan
(b) Lapangan kerja yang menjamin upah minimum bagi kehidupan
berkeluarga
(c) Pelayanan dan fasailitas yang cukup merata bagi masyarakat yang
bersangkutan.
Tiga target ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara perencana
sosial dan perencana fisik kota.
Hubungan antara kota dengan lingkungan alamnya ditentukan oleh dua
skala yang berbeda,yaitu skala regional dan skala lokal. Sehubungan dengan
ini geograf (ahli geografi) Blanchard dan Damangoen membicarakan tentang
posisi kota (yakni letaknya terhadap daerah sekelilingnya) dan lokasi kota
(yakni letaknya terhadap posisi dirinya sendiri).
Posisi kota adalah hubungan antara kota dengan berbagai faktor alam,
baik
dimasa
lampau
maupun
sekarang
yang
mempengaruhi
perkembangannya. Dengan demikian posisi merupakan suatu pengertian
nilai yang bersifat relatif yang perumusannya didasarkan atas faktor-faktor
kenyataan dari gejala urbanisasi dan proses perkembangan kota.
Dimasa lampau perkembangan kota terutama didorong oleh perniagaan
dan fasilitas untuk kegiatan ppenukaran barang; ini diberikan oleh kondisi
dalam kota itu sendiri. Adapun di zaman revolusi industri perkembangan
kota didorong oleh tersedianya bahan bakar dan posisi kota menurut tafsiran
baru. Posisi ini dapat bersifat permanen jika kondisinya perhubungan dan
perdagangan stabil. Lokasi kota ditentukan oleh kerangka topografis yang
dimiliki oleh kota sejak berdirinya. Dalam perkembangan selanjutnya
menurut sejarahnya, kota dapat bergesar lokasinya.Ini tergantung dari fungsi
kota dalam mengikuti zamannya. Misalnya kota sebagai pusat pemerintahan,
pusat pertahanan militer atau pusat perdagangan. Nilai suatu lokasi nyatanya
lebih lekas berubah jika dibandingkan dengan nilai posisi kota karena lokasi
lebih erat hubungannya dengan cara-cara khusus didalam manusia
memanfaatkan ruang.
Perkembangannya
kota
ditentukan
juga
oleh
letaknya
pada
persimpangan jalan yang memberikan keleluasaan kepada tranportasi dan
perniagaan. Ini dapat stabil sifatnya karena kekuasaan politik ikut
mengawasinya.
Kota sebagai titik persimpangan jalan merupakan daerah yang homogen
secara topografis,artinya daerah tersebut relatif datar. Secara sosiologi suatu
persimpangan jalan sekaligus juga menawarkan kontak antara manusia yang
intensif. Disitu terjadi penukaran aneka produksi dan penukaran berbagai
informasi.
Adapun kategori pertimbangan pembentukannya kota mencangkup halhal sebagai berikut:
a. Kepadatan penduduk ideal 100/ha
b. Jarak dari pusat kota (terdekat)
c. Mata pencaharian penduduk
d. Keadaan bangunan
e. Nilai tanah
f. Penggunaan lahan
Sedangkan dasar pembentukan kota mencangkup hal-hal sebagai berikut:
a. Unsur-unsur fisik, yang meliputi:
1) Jumlah penduduk
2) Mata pencaharian
3) Luas daerah yang dibangun (built area)
4) Keadaan bangunan-bangunan
5) Keadaan"public utilities”
6) Potensi keuangan
b. Unsur-unsur non-fisik,yang meliputi:
1) Peranan dan fungsi kota dalam pengembangan wilayah
2) Kedudukannya dalam pemerintahan negara
3) Heterogenitas kegiatan penduduk
4) Sifat hubangan sesama warga masyarakat.
C. Periode Pertumbuhan Kota
Karakteristik pertumbuhan suatu kota dapat disoroti dari berbagai
macam segi. Dalam hal ini hanya akan dikemukakan beberapa pandangan
saja dari sekian banyak pendapat yang ada. Pengamat perkotaan dapat
mengenali petumbuhan suatu kota atas dasar keadaan fisiknya, keadaan
sosio kultralnya atau keadaan teknik kulturalnya. Oleh karena pada
hakekatnya masa kehidupan seseorang tidak dapat selalu digunakan untuk
memonitor pertumbuhan suatu kota dari tahapan asal sampai tahap-tahap
berikutnya. Sebenarnyalah bahwa apa-apa yang dikemukakan para ahli
mengenai pertumbuhan suatu kota hanyalah bersifat hipotetikal. Namun
demikian makin majunya sistem informasi mengenai keadaan pertumbuhan
suatu kota sering dengan kemajuan teknologi di bidang inventaris data, suatu
pertumbuhan kota dapat dimonitor dengan cepat dan tepat terutama keadaan
fisiknya. Hal ini mulai dirasakan pada dasawarsa terakhir dengan
dikembangkannya teknik teledeteksi dengan satelit.
Melalui citra satelit dapat diamati mengenai:
a. Pertumbuhan kotanya
b. Tata guna lahan yang dominan
c. Perbandingan tata guna lahan yang ada
Dengan demikian jelaslah kiranya arti penting dari citra satelit maupun
foto udara dalam rangka mengamati perumbuhan suatu kota. Dalam
mengemukakan klasifikasi pertumbuhan suatu kota antara lain dikemukakan
oleh:
1) Hoston, J.M
Sarjana ini mengemukakan klasifikasi atas dasar kenampakan fisikalnya. Hal
ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa pertumbuhan suatu kota cara
kronologikal akan tercermin dalam perkembangan fisikalnya. Beliau
mengemukan tiga klasifikasi kota atas dasar karaketristik pertumbuhannya,
yaitu:
a. Stadium pembentukan inti kota (nuclear phase)
Stadium ini merupakan tahap pembentukan apa yang kemudian dikenal
dengan istilah CBD (Central Business District). Pada masa ini baru
dirintis pembangunan gedung-gedung utama sebagai pergerakan
kegiatan yang ada dan baru dimulai meningkat. Keadaan ini tercermin
pada kota-kota dikawasan Eropa Barat) pada masa pra abad 19. Pada
saat ini, daerah yang mula-mula terbentuk,banyak ditandai oleh gedunggedung
yang
pengelompokan
berumur
tua,
bentuk-bentuk
fungsi
kota
yang
yang
termasuk
klasik
penting.
morfologikal, kenampakan kotanya adalah sebagai berikut:
serta
Secara
Gambar 3. Stadium pembentukan inti kota
Pada taraf ini, kenampakan morfologi kotanya akan berbentuk bulat,
hampir bulat atau bujur sangkar/mendekati bujur sangkar. Disamping itu
perlu diingat berhubung pada taraf ini baru merupakan taraf awal
pembentukan kota, maka kenampakan kota yang terbentuk hanya
meliputi daerah yang sempit saja.
b. Stadium Formatif (Formative Phases)
Tahap ini mulai menunjukan ciri-cirinya yang berbeda dengan tahap
yang pertama pada abad ke-19. Hal ini timbul sbagai akibat adanya
revolusi industri yang meledak di kawasan Eropa Barat. Perkembangan
industri pada saat itu mulai meluas dan perkembangan teknologi juga
merasuk ke sektor-sektor lain seperti sektor transportasi dan komunikasi
serta perdagangan. Makin majunya sektor industri, transportasi, serta
kegiatan perdagangan mengakibatkan meluas dan makin kompleksnya
keadaan pabrik-pabrik serta keadaan perumahan-perumahan masyarakat
kota. Penambahan areal untuk kegiatan-kegiatan tersebut beserta aspekaspeknya paling banyak terjadi pada daerah-daerah yang mempunyai
aksebilitas yang tinggi. Seperti diketahui bahwa daerah-daerah seperti
itu berada sepanjang jalan transportasi dan komunikasi. Dampak fisikal
yang terlihat adalah timbulnya kenampakan fisikal kota seperti binatang
atau gurita (star shaped/octopus shaped like).
Untuk jelasnya lihat gambar berikut.
Gambar 4. Stadium Formatif
c. Stadium Modern (Modern Phases)
Stadium ini terlihat pada abad ke-20, sejalan dengan makin majunya
teknik elektronik. Makin majunya peralatan yang digunakan di segala
bidang dan khususnya makin majunya peralatan trasnportasi dan
komunikasi mengakibatkan seseorang tidak lagi berpandangan bahwa
tempat tinggal didekat tempat bekerja merupakan hal yang paling
menguntungkan.
Makin
padatnnya
lalu
lintas,makin
padatnya
bangunan, makin berkurangnya tumbuh-tumbuhan di dalam kota baik
secara perorangan maupun secara berkelompok. Mereka bermaksud
untuk memiliki sesuatu yang dianggap hilang dalam suasana kehidupan
kota yaitu lingkungan kehidupan yang terbebas dari segala macam
bentuk polusi. Hal inilah yang kemudian diketahui sebagai latar
belakang munculnya kota-kota satelit (sub-urban). Dalam pendekatan
dinamika
(dynamic
approach),
gejala
tersebut
diatas
sebagai
”Centrifugal Forces”. Kenampakan kotanya tidak lagi sederhana seperti
kenampakan pada tahap pertama atau kedua, namun jauh lebih
kompleks. Bahkan mulai timbul gejala-gejala penggabungan dengan
pusat-pusat kegiatan yang lain,baik itu kota satelit maupun kota-kota
lainnya yang berdekatan. Mulai saat itu usaha identifikasi kenampakan
kotanya mulai mengalami kesulitan. Kesulitan utamanya terletak pada
penentuan batas-batas fisikal terluar dari kota yang bersangkutan. Hal
ini
disebabkan
adanya
kenyataan
bahwa
penyebaran
“service
functions"nya telah masuk kedaerah-daerah pedesaan sekitarnya. Proses
ini kemudian menunjukan gejala pembentukan kegiatan-kegiatan yang
baru sebagai “sub-urban centres” (satelite residential areas).
Sebagai contoh nyata tepat dikemukakan disini ialah Kota Sydney,
dimana kota tersebut setiap hari menerima komuters dari daerah-daerah
satelit disekitarnya antara lain:Blue Mounts dan Gesferd District yang
dua-duanya mempunyai jarak kurang lebih 60 mil. Contoh lain adalah
kota London yang mempunyai kondisi serupa dengan Kota Sydney
dalam hal interalisanya dengan kota-kota satelit disekitarnya, dimana
setiap hari menerima penglaju (comuters) yang beribu-ribu jumlahnya.
Kota-kota satelit yang ada disekitarnya berjarak 20 sampai 40 mil dari
kota London.
Untuk memperjelas uraian, berikut ini dikemukakan gambaran
konvensional mengenai keadaan suatu kota yang berada pada stadium
modern.
Gambar 5. Stadium Modern
Kota-kota besar di Indonesia saat ini mulai menunjukan gejala-gejala
seperti tersebut diatas. Hal ini telah disadari adanya oleh para ahli
perkotaan sehingga mulai dirumuskan suatu upaya pengembangan
wilayah kota meliputi kota-kota kecil sekitarnya. Mengenai hal ini perlu
dicatat upaya JABOTABEK untuk pengembangan wilayah Kota
Jakarta, Konsep BANDUNG RAYA untuk pengembangan wilayah
Kota
Bandung
dan
konsep
GERBANGKERTASUSILA
untuk
pengembangan wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya.
2) Taylor dan Griffith mengelempokan tahap pertumbuhan kota berdasarkan
karakteristik dinamika fungsionalnya menjada 4 macam, yaitu:
(a.)
Tahap Infantil (The Infantile Stage)
Pada tahap ini belum terlilhat adanya pemilihan yang jelas mengenai
daerah-daerah
pemukiman
dengan
daerah-daerah
perdagangan.
Disamping itu juga belum terlihat adanya pemilihan kampung-kampung
yang miskin dan kampung-kampung yang kaya serta bangunanbangunan yang ada masih terserak disana-sini tidak teratur. Jalan-jalan
utama yang ada baru satu atau dua saja.
(b.)
Tahap Dewasa (The Mature Stage)
Pada tahap ini mulai terlihat adanya proses pengelompokan pertokoan
pada bagian-bagian kota-kota tertentu. Rumah-rumah yang lebih besar
dan lebih baik mulai bermunculan di bagian pinggiran dan sementara itu
kompleks perpabrikan mulai muncul disana-sini.
(c.)
Tahap Dewasa (The Mature Stage)
Pada tahap ini mulai terlihat gejala-gejala segresi fungsi-fungsi
(pemisahan
fungsi-fungsi
dan
kemudian
mengelompok).
Kelas
pemukiman yang jelek terlihat dengan jelas perbedaannya dengan kelas
permukiman
yang
lebih
baik.
Ditinjau
dari
lokasinya,
pola
permukimannya dan struktur permukimannya, kelas permukiman yang
sangat baik sangat jauh berbeda dengan pemukiman yang sangat jelek.
Untuk ini, ingat teori-teori pola keruangan kota yang dikemukkan oleh
E.W Burgess (The Concentric Theory)., Hommer Hyot (The Sector
Theory) dan Makenzie (The Multiple Nuclei Theory). Daerah-daerah
industri banyak terdapat pada lokasi-lokasi
perhubungan dan pengangkutan.
(d.)
Tahap Ketuan (The Senile Stage)
yang dekat jalur
Tahap ini ditandai oleh adanya pertumbuhan yang terhenti (Cessation of
Growth), kemunduran dari beberapa distrik dan kesejahteraan ekonomi
penduduknya menunjukan gejala-gejala pernurunan. Kondis-kondisi ini
terllihat didaerah-daerah industri seperti: Loucashire, Yorkshire, dan
Durham.
1) Sementara itu Mumford dan Lewis mengemukakan bahwa suatu
pertumbuhan kota dapat dibedakan kedalam 4 (empat)fase dengan
penekanan klasifikasinya atas dasar kondisi teknik kulturalnya, yaitu:
a. Fase Eoteknikal (Eotecnik Phase)
Pada Fase ini, suatu pemukiman (settlement) ditandai oleh adanya
penggunaan angin, air, bahan bakar dari kayu sebagai sumber tenaga.
Sebagai contoh, dalam hal ini dapat dikemukakan yaitu mengenai
keadaan kota-kota di kawasan Eropa barat pada abad ke-10 sampai abad
ke-18
b. Fase Palaeteknikal (Palaeotechnic phase)
Pada fase ini terlihat adanya kemungkinan sumber kemajuan dalam
penggunaan sumber-sumber energi. Adapun yang dominan bukan lagi
ketiga sumber energi angin,air dan bahan bakar kayu tetapi sudah
menggunakan batu bara(coal). Sementara itu penambangan bijih besi
mulai meluas. Saat ini ternyata tambang biji dan batubara mendominasi
keadaan perekonomian yang ada. Sejalan dengan itu dengan sendirinya
timbul
pula
usaha-usaha
peleburan
bijih
besi
(tanur
tinggi),
dibangunnya canal, dan mulai dipergunakannya mesin uap.
c. Fase Neoteknik (Neoteknic Phase)
Sebagai contoh mengenai kota-kota yang berada dalam fase ini
ditunjukan suasana perkotaan di kawasan Eropa Barat disekitar tahun
1880, dimana kota-kota pada saat itu mulai menggunakan tenaga listrik
sebagai sumber energi. Disamping itu, keadaan teknik yang ada mulai
ditandai pula oleh makin luasnya penggunaan jenis-jenis metal (tertentu
yang lebih ringan, seperti alumunium, dan tungsten). Alat-alat
komunikasi seperti radio, telepon dan alat-alat pemesinan yang lain
makin disempurnakan. Menurut sarjana ini, pada tahap ini kota-kota
telah tumbuh menjadi kota-kota yang besar (metropolis, bentuknya
tidak menetu, bangunan-bangunan bertingkat mulai berkembang, terjadi
"urban sprawl” ke daerah-daerah perdesaan di sekitar kota, lalu lintas
semakin padat, pengaruh-pengaruh negatif kehidupan perkotaan
terhadap manusia (seperti kegiatan, kenakalan remaja, PSK/Pekerja Sek
Komersial, polusi tanah, air, udara dan suasana serta dekadensi moral)
mulai mengakibatkan goncangan-goncangan sosial yang memerlukan
penanganan serius.
d. Fase Bioteknik (Biotechnic Phase)
Fase ini terjadi sesudah fase neoteknik. Dalam fase ini, peradaban
manusia (civilizition) dan segala pertimbangan/tindakan manusia selalu
ditinjau dari mata biologis dalam skala yang lebih luas konteksnya
dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan fisikal semata.
Pengetahuan manusia mengenai "bachteriology” diterapakan untuk
tujuan-tujuan pengobatan, sanitasi, sedangkan pengetahuan manusia
tentang psikologi diterapkan untuk tujuan-tujuan analisa keadaan gizi
dan pengaturan makanan sehingga keadaan nutrisi dan diet dapat
diperbaiki.
Sementara
itu
pengetahuan
manausia
mengenai
"psychology”
diterapkan pula untuk analisa "Human Behaviour” masyarakat kota dan
desa. Dalam hal ini ilmu lingkungan (ekology), baik itu merupakan
human ecology, animal ecology, merupakan plantechology dijadikan
titik tolak dalam rangka "urban management". Sebagai contoh dapat
dikemukakan disiniyaitu kota-kota baru di Inggris. Kota-kota tersebut
penampilannya menunjukan adanya totalitas lingkungan dimana unsurunsur terjalin secara harmonis (penggunaan/pendayagunaan unsur-unsur
lingkungan tercapai secara optimal/keseimbangan ekologis tercapai)
dan keseluruhan elemen-elemen wilayah menunjukan deerajat daya
guna dan hasil guna tinggi.
Disamping meninjau pertumbuhan kota secara teknikal, MumfordLewis juga meninjau pertumbuhan suatu kota dari mata sosio-kultural.
Dalam hal ini, dikenal 6 (enam) macam fase pertumbuhan kota, yaitu:
a. Eopolis Stage (Fase Eopolis)
Dalam tahap in dicerminkan oleh adanya “village community” yang
makin maju, walaupun kondisi kehidupannya masih didasarkan pada
tahap kegiatan pertanian, pertambangan, dan perikanan. Kota ini
menempati suatu pusat dari daerah pertanian dengan adat istiadat yang
bercorak kedesaan dan serba sederhana.
b. Polis Stage (Fase Polis)
Sebutan ini berasal dari zaman Yunani dan Romawi. Kota merupakan
pusat hidup keagamaan dan pemerintahan. Bentuknya saja semacam
benteng yang kuat;di
dalamnya
terdapat
tempat-tempat
untuk
peribadatan, pasar yang ramai yang bertalian erat dengaan kegiatan
bermacam-macam industri kecil. Penduduknya terdiri atas aneka tukang
dengan keahliannya. Adapula disitu berbagai lembaga pendidikan,
tempat-tempat hiburan dan stadion besar untuk olahraga. Tahap ini
ditandai adanya/munculnya pasar yang cukup besar, sementara itu
beberapa kegiatan industri yang cukup besar mulai bermunculan
diasana-sini, pengaruh industri-industri tersebut dapat dikatakan masih
terbatas. Kenampakan kekotaan yang ada sudah jelas terlihat walaupun
masih dalam skala yang kecil.
c. Metropolis Stage (fase metropolis)
Dalam hal ini kenampakan kekotaanya sudah mulai bertambah besar.
Fungsi-fungsi perkotaan terlihat mendominasi kota-kota kecil lainnya
yang berada disekitar kota tersebut dan daerah-daerah pedesaannya.
Spesialisasi fungsi mulai nampak. Dalam kota besar ini bertemulah
orang dari berbagai bangsa untuk berdagang dan kegiatan sosial budaya
lainnya. Juga terdapat percampuran perkawinan antar bangsa dan ras.
Selain keagungan kota secara fisik,kota menyajikan kontras yang
menonjol antara golongan kaum kaya dan miskin.Pada kota yang besar
seperti Kota Jakarta dan Surabaya hal ini sangat jelas terlihat.
d. Megalopolis Stage (Fase Megalopolis)
Tahap ini ditandai oleh adanya tingkah laku manusia yang hanya
berorentasi pada materi saja,standarisasi pruduksi lebih diutamakan
daripada usah-usah kerajinan (tangan), ukuran (size) lebih diutamakan
daripada bentuk saja (form) atau banyak sedikitnya suatu hal lebih
diutamakan daripada bentuk-bentuknya dan sementara itu kehidupan
birokrasi sangat brengsek. Lewis Mumford mengajukan sebuah contoh,
yaitu keadaan Kota Roma pada abad ke-2; Kota Paris pada abad ke-18
dan Kota NewYork pada permulaan abad ke-20
e. Tyrannopolis Stage (Fase Tiranopolis)
Pada tahap ini ukuran/tolak ukuran budaya adalah apa-apa yang nampak
saja (display). Maslah uang/materi, dan ketidakacuhan mengenai segala
aspek kehidupan mewarnai tingkah laku penduduknya. Sementara itu,
kondisi perdagangan yang ada mulai menunjukan gejala-gejala despresi,
walaupun perkembangannya sendiri tidak seluruhnya menurun.
f. Nekropolis Stage (Fase Nekropolis).
Oleh Lewis Mumford, tahap ini juga disebut sebagai suatu keadaan kota
yang mati "The City of Dead". Hal ini disebabkan karena adanya
peperangan, kelaparan atau penyakit wabah yang melanda kota
tersebutdengan
hebat.
Keadaan
kemunduruan
pelayanan
kota
ini
beserta
mengkibatkan
timbulnya
fungsinya-fungsinya
dan
akibatnya kota seperti ini akan menunjukan gejala-gejala kehancuran.
Tahap-tahap pertumbuhan kota yang dikemukakan oleh Lewis
Mumford tersebut, didasarkan atas pengamatannya pada kota-kota di
kawasan Eropa Barat, baik melalui pengamatan langsung maupun dari
studi literature.
Suatu pertanyaan akan timbul dibenak kita, yaitu mengenai urut-urutan
tahap
pertumbuhan
yang
dikemukakan
“Apakah
urut-urutan
pertumbuhan tersebut akan selalu demikian? hal ini mestinya akan dapat
dipecahkan dengan mudah yaitu apabila pada negara yang bersangkutan
tidak mengalami kegoncangan politik, administrasi, ekonomi, sosial,
budaya yang cukup berarti.
Kondisi kota-kota yang ada di negara-negara berkembang,yang saat ini
masih berada dalam tahap awal pertumbuhannya, karena adanya
kemajuan transportasi dan komunikasi yang sedemikian pesat, secara
langsung menerima pengaruh-pengaruh baik fisikal maupun non-fisikal
dari negra-negara Eropa/Amerika yang kota-kotanya sudah berada pada
tahap lanjut. Apabila keadaan ini diibaratkan pada kehidupan manusia
maka kota-kota yang ada di negara-negara yang sedang berkembang ini
mencapai kedewasaan sebelum waktunya/masak sebelum waktunya dari
tujuan sosio kultural.
D. Kota-Kota Di Indonesia
Perkembangan kota dan “kota baru” umumnya dipengaruhi dan
ditentukan oleh faktor-faktor berkaitan dengan tata nilai, pada sosial budaya,
keadaan sosial ekonomi, keadaan sosial politik dan letak geografis.
Indonesia yang mempunyi pola sosial budaya, sosial ekonomi, sejarah
perkembangan, pola sosial politik serta letak geografis tertentu dengan
sendirinya juga akan mempunyai faktor-faktor pengaruh dan penentu dalam
perkembangan kota-kota dan kota-kota terbarunya.
Untuk menggali faktor yang mendasari konsepsi perencanaan dan
pengembangan kota baru di Indonesia, maka penelusuran mengenai hakekat
dan perwatakan perkembangan kota baru di Indonesia akan merupakan hal
yang sangat esensial. Berikut dapat dijelaskan evolusi perkembangan kota
baru di Indonesia.
1. Perkembangan Kota Masa Pra VOC dan Masa Kolonial
Perkembangan kota zaman "Pra VOC" yaitu kota-kota yang direncanakan
akan dibangun pada masa sebelum kedatangan VOC. Kota-kota pada masa
ini seperti Majapahit (Trowulan), Mataram, Banten lama direncanakan
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tradisional.
Motivasi
utama
pengembangan kota pada masa ini didasarkan pada pertimbangan kekuasaan
pemerintahan dan penguasa.
Perkembngan Kota "Zaman VOC" yaitu pada masa kota-kota kolonial
dikembangkan di Indonesia. Kota-kota masa ini biasanya berupa
perbentangan yang berpola kota abad pertengahan di Eropa Barat, seperti
benteng yang befungsi seabagai kota di Sunda Kelapa, Batavia(1627),
Semarang (1708) dan beberapa kota benteng lain lain di Kepulauan Maluku,
Sulawesi Selatan, dan lainnya. Kota masa VOC merupakan suatu bentuk
awal pertumbuhan kota kolonial. Kota-kota kolonial yang lebih terbuka
kemudian berkembang sampai akhir abad ke-19, seperti Batavia sampai ke
Weltervreden (1858-1870) dan pada tahun 1883 dikembangkan pula sampai
ke Tanjung Priok disebelah timur laut. Motivasi pengembangan kota
benteng terutama didasarkan pada pengamanan wilayah kekuasaan,
pertahanan terhadap serangan dari dalam maupun dari luar, dan penguasaan
perekonomian tanah jajahan. Perubahan besar dalam perkembangan kota di
Indonesia ini terjadi menjelang dan awal abad ke-20. Pada masa ini mulai
dikembangkan kota- kota kolonial yang didasarkan pada kaidah perencanaan
modern.
2. Perkembangan Kota Masa Kolonial Abad Ke-20
Kota kolonial awal abad ke-20 adalah kota yang dikembangkan sejak
awal
abad
ke-20.
Sekalipun
beberapa
petunjuk
sejarah
telah
mengindentifikasikan, bahwa pola kota berencana di Indonesia telah ada
sejak masa sebelum datangnya kolonial, tetapi kota yang dilandasi
pemikiran perencanaan kota modern baru muncul sebelum awal abad ke-20.
Beberapa peristiwa pada masa sebelum perang sangat penting perannya
sebagai tonggak perkembangan perncanaan kota modern di Indonesia
adalah:
(a.) Revolusi Industri di Eropa paling tidak memberikan dua pengaruh
penting.Pertama, bahwa meningkatnya kebutuhan bahan mentah bagi
perindustrian di Eropa seperti produk perkebunan (karet, kina teh, dsb)
rempah-rempah dan bahan bahan mineral telah menyebabkan timbulnya
kota-kota administrasi di Indonesia. Kedua, bahwa konsep-konsep
perencanaan modern pada masa itu yang dicetuskan reformis lingkungan
hidup Patrrick Geddes atau konsep kota taman (garden city concept) yang
dikembangkan oleh seorang reformis kemasyarakatan bangsa Inggris telah
pula menjadi landasan beberapa kota modern di Indonesia yang
dikembangkan oleh perencanaan kota bangsa Belanda masa itu, yaitu
Thomas Karsten pada dekade pertama abad ke-20.
(b.) Politik Kuturalstelsel pada masa Van Den Bosch menimbulkan
beberapa faktor berpengaruh terhadap perkembangan perencanaan
wilayah dan kota, ditandai dengan lahimya Undang-Undang Agraia
(Agrarische Wet) tahun 1870. Dikembangkannya perkebunan tanaman
keras dapat dianggap pula sebagai awal perkembangan wilayah pertanian
dan kota-kota administrasi perkebunan, khususnya di pulau Jawa.
(c.) Politik Etika: Berdasarkan reaksi para reformis Belanda telah
dikembangkan "Politik Balas Budi”, Politik ini telah berdampak penting
dalam perkembangan perencanaan kota di Indonesia, antara lain
perbaikan mutu lingkungan kota. Salah satunya adalah dikembangkannya
upayaperbaikan kampung kota tempat tinggal pribumi pada tahun 1943,
program transmigrasi ke Lampung (tahun 1905) untuk mengurangi
kepadatan penduduk Jawa, disamping juga untuk mengembangkan
wilayah potensi baru.
(d.) Pengembangan perangkat instutisi dan konstitusi baru khususnya
dengan terbitnya "Undang-Undang Desentralisasi”. Berdasarkan undangundang ini terbentuk sistem kota praja yang bersifat perencanaan kota
kolonial modern. Dalam hubungan ini kemudian Thomas Karsten mulai
memperkenalkan konsep pembangunan kota.Selanjutnya, pada tahun
1984 telah diterbitkan peraturan perencanaan pembangunan kota yang
terkenal dengan nama “Stadsvonings Ordonantie (SVO) Staatsbled
1948/168 sebagaai peraturan pokok perencanaan fisik kota khususnya
untuk Batavia, Salatiga, Pekalongan, Banjarmasin, Cilacap, Tangerang,
Bekasi, Wilayah sekitar Kebayoran dan Pasar Minggu sebagai peraturan
pelaksananya
pada
tahun
1949
diterbitkanlah
"Stadvorming
Verondening” (SUV) Staatsblad 1949/40.
3. Perkembangan Kota Dekade 1950-an
Dekade tahun 50-an dapat dikatakan merupakan masa transisi dari masa
penjajahan kemasa kemerdekaan yang menyangkut berbagai bidang
pembangunan di Indonesia. Dalam bidang pembangunan kota juga terjadi
gejolak menyangkut penduduk perkotaan dan pembangunan perkotaan.
Sebelum perang,kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota yang
dikategorikan sebagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan,
Bandung,
Semarang,
Ujung
Pandang
(Makasar)
telah
mengalami
perkembangan dan pertumbuhan yang pesat. Tetapi sejak awal abad
dekade'50-an perkembangan penduduk telah memperlihatkan tingkat yang
lebih tajam.Pertambahan penduduk secara statistik menunjukan indikasi
akibat pertambahan yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke
kota. Jadi pada hakekatnya faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan
kota
kita
umumnya
sama
sebagaimana
yang
berpengaruh
pada
perkembangan kota-kota di negara lainnya yang sedang berkembang, yaitu
pertambahan penduduk secara alami maupun secara migrasi desa-kota dan
perkembangan atau perubahan kegiatan usaha dan kehidupan yang
berkembang. Kedua hal ini telah berakibat pada meningkatnya kebutuhan
berbagai fasilitas dan sarana pelayanan seperti perumahan, pelayanan sosial,
air bersih, transportasi, dan lainnya.
Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya,kenamampakan sarana,
ketersediaan lahan dari segi-segi perangkat lunak seperti aspek manajemen,
perangkat peraturan dan pelaksanaan koordinasi, kondisi ini kemudian
menjadikan masalah kota yang cukup pelik untuk dipecahkan. Masalah
utama yang dihadapi kota di Indonesia dalam masa transisi adalah
perumahan, fasilitas pelayanan terutama sarana trasnportasi dan prasarana
kota seperti jaringan jalan dan utilitas termasuk air bersih, sistem drainase
dan sanitasi kota, listrik dan telepon.
Dari segi non-fisik, masalah yang timbul antara lain melemahnya
pelaksanaan peraturan dan ketertiban hukum, dampak sosial budaya dan
sosial psikologis bagi masyarakat kota segi non-fisik lain yang penting
adalah masalah sosial; ekonomi perkotaan tipikal Indonesia, seperti kegiatan
sektor formal dan informal.
Permasalahan kota merupakan kelanjutan dari masa transisi dekade 50-an.
Masalah utama kota adalah menyangkut tidak seimbangnya perkembangan
penduduk kota dengan tersedianya perumahan, prasarana utilitas umum dan
fasilitas pelayanan. Selanjutnya kekurangan lahan merupakan masalah
pokok pada perkembangan kota masa ini.
Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran dalam
atau luar kota merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota-kota
besar. Lingkungan perumahan padat di bagian tengah kota atau kampung
merupakan masalah perumahan yang juga mendapat perhatian khusus.
Permasalahan kota yang utama pada masa transisi dekade 1950-an adalah
pertumbuhan penduduk perkotaan yang melonjak. Dampak dari keadaan ini
adalah permasalahan kekurangan perumahan. Sarana fasilitas pelayanan kota
dan prasarana jalan dan utilitas umum. Disamping itu ketersediaan lahan di
dalam kota juga semakin kecil mengingat pembangunan fisik yang semakin
intensif.
Dengan didasari rencana-rencana yang telah dikembangkan pada masa
sebelumnya yaitu pada masa perang kemerdekaan. Maka pada awal dekade
50-an mulai dirintis perencanaan pengembangan kota-kota.
Rencana-rencana
ini
kemudian
diwujudkan
dalam
bentuk
pengembangan kota-kota baru sebagai berikut:
(1) Pembukaan wilayah permukiman baru berskala besar dan kota satelit
pada beberapa kota. Upaya ini dimaksudkan untuk memenuhi kekuran gan
rumah terutama untuk pegawai negeri. Kota baru jenis ini dibangun sejak
tahun 1950-1960 seperti misalnya Kebayoran Baru di Jakarta; dan kawasan
pemukiman berskala besar di Jakarta, Bandung, Surabaya. Dengan
perkembangannya kegiatan sektor pemerintahan dan swasta dibidng
pembangunan perumahan (perum perumnas dan real estate) sejak tahun
1970-an, maka pembangunan kawasan pemukiman dan perumahan berskala
besar semkin berkembang dikota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang, Malang, Medan, Palembang, Ujung Pandang, dan kota
besar-besar lainnya.
(2) Pembangunan kota baru yang berfungsi sebagai pusat kedudukan
pemerintahan bagi propinsi seperti Palangkaraya (Kalimantan Tengah);
Banjarbaru (Kalimantan Selatan) atau kota kabupaten seperti sumber di
Cirebon; Baleendeh di Bandung; Gresik di Surabaya, dsb.
(3) Pembangunan kota baru dalam kaitannya dengan industri eksploitasi
sumberdaya alam dan pertambangan seperti Tembagapura, Asahan, Bontan,
Soroako, Cilegon.
Dari tinjauan deskriptif diatas, maka proses evolusi dan motivasi
pengembangan kota baru di Indonesia dapat disajikan pada tabel berikut:
Tabel 3. Proses evolusi dan motivasi pengembangan kota baru di Indonesia
Masa
Perkembanga
n Kota Baru
Masa Pra
VOC
Proses
Evolusi
Kota Baru
Kekuasaan
Pemerintah
Invasi
Perlindungan
Penguasaan
kepada penduduk
seluruh wilayah
Kota Tradisional
Pertanahan
Kota
Perbentengan
Masa
Kolonial
Masa Pasca
Perang
Kota Lama
Eksploitasi
Sumberdaya
Alam
Motivasi
Pengembangan
Kota Baru
Kekuasaan
Pemerintahan
Tradisional
Perlindungan
kepada penduduk
invasi asing
Penguasaan
wilayah dan
pengendalian yang
diduduki
Pengendalian
Tanah Jajahan
Perluasan
Kekuasaan
Pengembangan
Pusat
pemerrintahan
Lokal
Status Kota Praja
Pengembangan
Pengembangan Perbaikan Kawasan
Kawasan
Baru Pusat
Permukiman
Berskala Besar
Administrasi
Kolonial
Pengadministrasian
Perkebunan dan
Pertambangan
Urbanisasi
Pengembangan Urbanisasi /
Propinsi Baru
Eksploitasi
Peningkatan
Sumberdaya
Penduduk Kota
Pemecahan
Pengembangan Kekurangan
Masalah
Kawasan pusat Perumahan Kota
Perumahan Kota
industri
dan dan Pembukaan
dan Lapangan
administrasi
Lapangan Kerja
Kerja
permukiman
Usaha
Pemerataan
Pembangunan
Desa-Kota
Dari letak geografis kota baru dapat dibedakan dalam 4 jenis, yaitu kota
baru dalam kota, kota baru satelit, kota baru di pinggiran dalam dan
pinggiran luar kota induk, kota baru yang berdiri menyendiri. Berdasarkan
penelaahan pada beberapa kota memungkinkan pemilikan rumah tempat
tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan baru di Indonesia
secara geografis kota baru di Indonesia juga menunjukan keempat pola
tersebut yaitu:
(a.)
Kota Baru dalam kota, suatu lingkungan baru berskala besar
yang dikembangkan pada wilayah kantong yang belum terbangun dalam
kota atau bagian wilayah belum terbangun di pinggiran yang berbatasan
langsung dengan kota induk. Pola demikian dapat dilihat misalnya di
Bandung (Plan Cipaganti 1953-1955, Pontianak, Malang, Semarang,
Surabaya, Jakarta, Medan dan beberapa kota besar lainnya)
(b.)
Kota Baru Satelit, suatu lingkungan baru berskala besar yang
dikembangkan sebagai tempat tinggal yang letaknya terpisah pada jarak
tertentu dari kota induk tetapi secara fungsional sangat tergantung pada
kota induk. Kota baru satelit ini juga sering disebut sebagai dormitory
town. Contoh kota satelit di Indonesia adalah Kebayoran Baru(1750),
Banjar Baru(1953), kota satelit Baleendah Kabupaten Bandung(1976).
(c.)
Kota Baru Mandiri suatu kota baru yang dikembangkan dengan
tujuan membentuk kota yang dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan
dan kegiatan usaha penduduknya. Kota baru mandiri ini dapat terbentuk
dari kota perusahaan, ibukota pemerintahan, kota pertambangan, dan kota
baru yang dikembangkan dari kota kecil atau kota yang berkembang dari
pemukiman transmigrasi.
(d.)
Kota Baru Khusus, yaitu kota yang dikembangkan sehubungan
dengan kegiatan tertentu seperti instalasi militer, kegiatan rekreasi, atau
kegitan khusus lainnya. Kota baru khusus ini dapat bersifat mandiri atau
satelit dari kota induk. Contoh jenis kota ini adalah Asahan, Lhoksumawe,
Soroka, Bontang, Tembagapura, Banten, Cinere, Cilegon.
Perkembangan kota-kota di Jawa pada dewasa ini ditandai dengan
proses restrukturisasi internal,baik secara social ekonomi maupun fisik.
Salah satu ciri yang menonjol dalam proses ini, seperti yang ditunjukkan di
wilayah JABOTABEK, adalah pergeseran fungsi kota ini (core) dari pusat
manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa-jasa, termasuk keuangan (finance),
sementara itu kegiatan manufaktur bergeser ke arah pinggiran kota (urban
fringe areas).
Secara
fisik
proses
restrukturisasi
ditandai
dengan
perubahan
penggunaan lahan, baik di kota inti (core) maupun di pinggiran. Kawasan
pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat intensif
dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis, perkan toran,
perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota terjadi
alih fungsi (konversi) penggunaan lahan secara besar-besaran dari lahan
pertanian subur ke kawasan industri dan permukiman berskala besar (kotakota baru).
Dalam jumlah total,konversi tanah pertanian subur di Indonesia selama
periode 1991-1993 mencapai 106.24,3 hektar (BPS 1995), atau kira-kira
53.000 hektar per tahun: 54 persen untuk permukiman dan sisanya untuk
lain-lain. Dari jumlah ini 51% terjadi di pulau Jawa.
Aspek lain yang sangat menonjol dalam perkembangan kota-kota besar
di Indonesia adalah pertambahan penduduk yang pesat pada wilayah
pinggir, dan penurunan laju kenaikan di kota inti. Sebagai contoh, laju
kenaikan penduduk di kabupaten Bogor dan Bekasi selama periode 19801990 masing-masing telah mencapai 4,1 dan 6,3 % per tahun, jauh
melampaui angka kenaikan secara nasional yaitu 1,97% per tahun.
>Latihan
1. Jelaskan secara singkat proses terbentuknya kota!
2. Jelaskan faktor-faktor pembentuk kota dan terangkan factor mana yang
paling dominan
3. Jelaskan lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota!
4. Jelaskan tiga klasifikasi kota atas dasar karakteristik pertumbuhannya
menurut J.M.Hoston!
5. Jelaskan pendapat anda tentang pertumbuhan kota-kota di Indonesia!
>Ringkasan
Terbentuknya kota berawal dari surplusnya hasil pertanian di desa-desa, yang
kemudian
wilayah
tersebut
berkembang
penduduknya.
Selanjutnya
perkembangan teknologi di bidang transportasi memungkinkan mobilitas
penduduk semakin tinggi.
Secara historis terdapat lima tipologi kota, yaitu:
1. Kota-kota kuno di Timur Tengah yang merupakan kota-kota raja,
seperti Kota Thebe dan Neniveh.
2. Kota-kota kuno di Asia, hampir mirip dengan kota-kota kerajaan di
Timur tengah namun cirinya lebih menonjol pada kota pegawai seperti
kota Peking.
3. Kota-kota Eropa di abad pertengahan diawali oleh datangnya para
pedagang dari luar kerajaan sehingga muncullah kota-kota pasar yang
berdampak pada masuknya penduduk dari luar wilayah tersebut.
4. Kota-kota Eropa dalam masa sejarah modern yang dicirikan oleh
keterbukaan ekonomi, yaitu dari fungsi melayani daerah sekitar sampai
pada pelayanan nasional. Selain itu terjadi perkembangan penduduk dan
mobilitas sosial yang sangat pesat.
5. Kota-kota modern di dunia Barat yang ditandai oleh kepadatan lalu
lintas, perbedaan ekonomi dengan indikator perbedaan permukiman
atau hunian dan munculnya kota-kota satelit.
Faktor-faktor yang berperanan penting dalam proses timbulnya kota-kota
adalah: (1) kondisi lingkungan alam yang menguntungkan, (2) perkembangan
teknologi, dan (3) organisasi sosial, baik di kota yang bersangkutan maupun
di wilayah sekelilingnya.
Ada lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota, yaitu:
a. Pathway merupakan rute-rute sirkulasi pergerakan manusia dan barang
melalui jaringan jalan.
b. Districts merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota.
c. Edge merupakan bagian pinggiran dari sebuah districts.
d. Landmark, membantu orang untuk mengorientasikan dirinya didalam
kota dan membantu mengenal suatu daerah kota.
e. Node, pusat aktivitas yang merupakan salah satu jenis landmark tetapi
berbeda karena fungsinya.
Dasar pembentukan kota mencakup antara lain:
1) Unsur-unsur fisik yang meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian,
luas daerah yang dibangun (build area), kondisi bangunan-bangunan,
kondisi public utilities, dan potensi keuangan.
2) Unsur-unsur Non fisik yang meliputi peranan dan fungsi kota dalam
pengembangan wilayah, kedudukannya dalam pemerintahan Negara,
heterogenitas kegiatan penduduk, sifat hubungan sesama warga
masyarakat.
Periode pertumbuhan kota menurut Hoston, J.M. adalah:
1) Stadium pembentukan inti kota (nuclear phase).
2) Stadium formatif (formative phase).
3) Stadium modern (modern phase).
Taylor dan Griffith mengelompokkan tahap pertumbuhan kota berdasarkan
karakteristik dinamika fungsionalnya menjadi beberapa yaitu:
a) Tahap infantile (The infantile stage).
b) Tahap dewasa I (The juvenile stage).
c) Tahap dewasa II (The mature stage).
d) Tahap ketuaan (The senile stage).
Mumford dan Lewis mengemukakan 4 fase pertumbuhan kota, yaitu:
a. Fase eoteknikal (Eotechnic phase).
b. Fase palaeoteknikal (Palaeotechnic phase).
c. Fase neoteknikal (Neotechnic phase).
d. Fase Bioteknikal (Biotechnic phase).
Selanjutnya ia memandang pertumbuhan kota dari sudut sosiokultural, yaitu:
(1) Eopolis, (2) Polis, (3) Metropolis, (4) Tyranopolis, dan (5) Nekropolis.
Adapun pertumbuhan Kota dan Kota Baru di Indonesia umumnya dipengaruhi
dan ditentukan oleh faktor tata nilai,sosial budaya, dan kondisi geografis.
Bab IV. KLASIFIKASI, STRUKTUR, DAN POLA KERUANGAN
KOTA
A. Jumlah dan Sebaran
Klasifikasi ini menekankan pada adanya hubungan antara satu kota
dengan kota yang lain dalam sistem kota-kota yang ada termasuk dalam
kelas tertentu dengan sendirinya harus sama, misalnya mengenai segi jumlah
penduduknya.
Klasifikasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya banyak dianut oleh
perencana kota (planers) dengan tujuan untuk menganalisis wilayah
(regional analysis). Disamping didasarkan adanya kenyataan bahwa cara ini
termasuk cara sederhana dan mudah. Cara inipun mempunyai kaitan yang
erat dengan usaha - usaha penyidikan perkembangan suatu wilayah.
Bukanlah suatu hal yang berlebihan apabila dikatakan bahwa banyak
sedikitnya penduduk suatu kota tertentu mempunyai kaitan-kaitan yang
sangat erat dengan lajunya perkembangan suatu wilayah.
Klasifikasi suatu kota atas dasar hirarki merupakan jenis klasifikasi
yang bersifat dinamika. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa setting
suatu kota pada order atau rank tertentu dapat berubah kedalam order/rank
yang lebih dalam perjalanan hidupnya. Khususnya mengenai klasifkasi
hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya, suatu kota akan selalu berubahubah. Hal ini sejalan dengan perubahan jumlah penduduknya baik yang
disebabkan oleh karena perubahan alami (natural change) maupun oleh
karena adanya proses perpindahan penduduk dari daerah lain ke kota yang
bersangkutan. Dua penyebab tersebut memberi ciri khas tersendiri-sendiri
pada suatu kota sehingga masing-masing kota mempunyai ciri-ciri yang
berbeda satu sama lain.
Disamping sifat dinamika cara ini disebabkan oleh adanya perubahan
jumlah
penuduk,
pertimbangan
luas
sempitnya
wilayah
(regional
considerations) juga mempengaruhinya pada skala wilayah kota-kota yang
berbeda dengan sendirinya fungsi dan peranan kota dalam kegiatan sosial
kulutral juga berbeda. Klasifikasi jenis ini ada dua macam cara, yaitu a)
menggunakan internal tertentu, dan b) tanpa menggunakan interval tertentu.
Contoh klasifikasi hirarki kota atas dasar jumlah penduduknya dengan
menggunakan interval tertentu :
Tabel 4. Klasifikasi Hirarki Kota Atas Dasar Jumlah Penduduknya
Oleh karena pengertian kota sendiri mempunyai variasi yang banyak
dari negara yang satu kenegara lain, maka upaya klasifikasi inipun juga
bermacam-macam. Disamping itu luas sempitnya wilayah dimana sistem
kota-kota tersebut berada ikut menentukan cara klasifikasi tersebut. Luas
sempitnya wilayah mempengaruhi variasi data jumlah penduduk kota. Tenik
pengelompokan kota-kota dalam skala regional, berbeda dengan skala
nasional apalagi dengan skala internasional atau global.
Untuk kepentingan analisis perkotaan yang sifatnya internasional
diseyogyakan untuk menyamakan titik tolak pengertian kota terlebih dahulu.
Dalam hal ini, seseorang yang dapat meninjau dari segi jumlah penduduknya
atau dari segi tinjauan yang lain. Seperti halnya dikemukakan oleh PBB, apa
yang dianalisis sebagai suatu kenampakan kota adalah suatu permukiman
dengan aglomerasi penduduknya lebih atau sama dengan 100.000. Dengan
demikian suatu tempat yang mempunyai aglomerasi penduduk kurang dari
100.000 akan dikesampingkan dalam analisis walaupun istilah lokal (local
term) menunjukan suatu kota.
Berikut ini disajikan salah satu contoh klasifikasi hirarki kota atas dasar
jumlah penduduknya dengan memakai interval tertentu. Berdasarkan tabel di
bawah ini ternyata penyebaran kota-kota di Indonesia atas dasar hirarki
jumlah penduduknya tergolong hirarki yang bersifat diskrit. Kebanyakan
kota mengelompok pada jumlah penduduk lebih kecil dari 250.000
Cara yang kedua adalah klasifikasi hirarki kota tanpa menggunakan
interval jumlah penduduk tertentu. Dalam hal ini ini masing-masing kota
termasuk dalam satu kelas order, kecuali kalau ada kota-kota tertentu yang
mempunyai penduduk yang sama.
Tabel 5. Klasifikasi Hirarki Kota-kota Atas Dasar Jumlah Penduduknya dengan
Interval tertentu
Dengan memberikan hirarki ketiga puluh lima kota tersebut dengan
jumlah penduduk pada tahun 1971 sebagai pembanding ternyata terdapat
gambaran yang menarik. Kenyataan sifat dinamisnya penggolongan kota
atas dasar hirarki jumlah penduduknya terlihat pada perubahan ranking.
Dalam hal ini, kota-kota yang menunjukan peningkatan rangking selama
periode satu dasawarsa tersebut adalah Kota Padang (1971:14 dan 1989:9),
Kota tersebut ternyata mempunyai perubahan yang cukup mencolok
dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Khususnya Ambon, meningkatnya
jumlah penduduk tersebut disebabkan adanya pemakaran kotanya secara
artificial.
Dalam studi kota, adanya pergeseran-pergeseran seperti inilah yang
harus selalu menjadi perhatian. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa
pergeseran - pergeseran tersebut kemungkinan besar berkaitan erat dengan
perubahan-perubahan . nila-nilai atau norma-norma kemanusiaan yang
berlaku dalam kaitannya dengan relasi desa-kota.
Berikut ini dikemukakan contoh klasifikasi hirarki kota tanpa
menggunakan interval tertentu mengenai jumlah penduduknya.
Tabel 6. Hirarki Kota-Kota di Indonesia Atas Dasar Jumlah Penduduknya (1980)
B. Mobilitas Penduduk di Perkotaan
Sejak dahulu manusia selalu bergerak, berpindah dari satu tempat
ketempat lain. Ciri itu selalu nampak pada pola kehidupan manusia baik
sebagai bangsa primitif maupun bangsa modern. Pada hakekatnya mobilitas
manusia merupakan salah satu sifat utama kehidupan manusia itu sendiri
yang tidak puas terpaku pada suatu tempat untuk memenuhi tuntutan
kelangsungan hidupnya.
Dalam zaman modern meningkatnya pertumbuhan penduduk dan
perkembangan
sosial
ekonomi
yang
ditunjang
kemajuan
teknologi ,mendorong manusia menjadi jauh lebih menonjol mobilitasnya
daripada sebelumnya. Faktor jarak. waktu, dan sarana tidak lagi merupakan
masalah besar.
Mobilitas
manusia
timbul
adalah
berbagai
macam
dorongan
kebutuhan/kepentingan yang disebut dengan istilah motivasi. Motivasi dapat
digolongkan menjadi:
1. Motivasi untuk kebutuhan dagang atau ekonomi
2. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan politik
3. Motivasi untuk kebutuhan keamanan
4. Motivasi untuk kebutuhan kesehatan
5. Motivasi untuk kebutuhan permukiman
6. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan agama
7. Motivasi untuk kebutuhan kepentingan pendidikan
8. Motivasi untuk kebutuhan minat kebudayaan
9. Motivasi untuk kebutuhan hubungan keluarga
10. Motivasi untuk kebutuhan untuk rekreasi
Motivasi-motivasi tersebut timbul dari kepentingan - kepentingan hidup
manusia. Oleh karena kehidupannya dalam suatu masyarakat adalah wajar
maka aktivitas-aktivitas permintaan yang timbul layak untuk dipenuhi dan
disediakan.
Pendapatan dan pendidikan yang meningkat, jumlah anak yang
mengecil (sedikit) bersamaan dengan peningkatan prasarana informasi dan
transportasi menyebabkan dan akan terus mendorong peningkatan mobilitas
penduduk. Peningkatan mobilitas mendorong terciptanya berbagai barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Kota merupakan wilayah yang dihuni oleh masing-masing dengan
beragam latar belakang dan mata pencaharian. Semakin bertambah
manusianya semakin bermunculan kegiatan-kegiatan baru serta lembagalembaganya yang khas. Misalnya organisasi, perkumpulan, klub-klub, dan
sebagainya. Hal ini jelas akan memepengaruhi mobilitas penduduk .
Jika letak kota tersebut relatif dekat dengan kota yang lebih besar maka
cenderung menjadi commuters suburban yaitu kota pinggiran yang menjadi
tempat tinggal para penglaju kota. Contohnya di Jawa Tengah yaitu Kota
Ungaran terhadap Kota Semarang . Di wilayah JABODETABEK yaitu kota
Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi terhadap kota metropolitan Jakarta.
Masyarakat kota mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat Desa. Hal ini terjadi mengingat aktivitas ekonomi di kota
jauh lebih tinggi di banding dengan aktivitas ekonomi kota menyeabakan
terjadi pencemaran udara oleh kendaraan bermotor, meningkatkan sampah
kota serta terjadinya berbagai konflik penggunaan lahan.
Louis Wirth menjelaskan bahwa heterogenitas masyarakat kota
meningkatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian
orang menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses
selanjutnya akan menuju kepada impersonalitas dari masyarakat modern.
Sementara itu George Simmel mengupas gejala impersonal itu dan
melukiskan orang kota sebagai yang : cenderung mencari privacy,
berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan yang
khusus saja, menilai segalanya dengan standard uang. Selanjutnya Roe
memandang gaya hidup kota modern itu memiliki 3 nivo kehidupan yaitu :
(1) Nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang
dengan keluarga, teman tetangga.
(2) Nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang
dengan teman-teman sekerja.
(3) Nivo kelompok berdasarkan peranan, ini bersifat anonim dan interaksi
disitu terdapat misalnya antara pribumi dan orang asing, sikaya dan
simiskin.
Situasi antar komuniti (community) dicirikaan oleh relasi secara
populasi, habitat dan kebutuhan. Tentang hal tersebut telah dikembangkan
pengertian- pengertian yang khas. Misalnya “kepadatan penduduk”
(kebanyakan penduduk dalam 1 km² luas habitat) menunjukan relasi habitat
populasi. Adapun relasi kebutuhan habitat disebut “kepadatan kebutuhan”,
dan relasi populasi kebutuhan disebut “relasi kebutuhan”.
Kepadatan kebutuhan diangkakan dengan sekian persen luas wilayah
kota yang ditempati oleh fasilitas seperti toko, restoran, bar dan sebagainya.
Adapun kondisi kebutuhan diangakan dengan berapa jumlah untuk tiap
10.000 jiwa, berapa km panjang jalan untuk tiap jiwa, berapa m² persegi luas
lantai permainan untuk tiap tiap anak, berapa jumlah kamar untuk tiap
keluarga. Di perkotaan, makin kearah pusatnya makin besar angka
kepadatan penduduk dan kepadatan kebutuhan. Sebaliknya makin kecil ke
pinggiran makin kecil angkanya.
Tentang “aspek lokasi” dari tiga macam unsur comunitipun dapat
dijelaskan. Yaitu tempat populasi dinamakan “posisi” tempat kebutuhan
disebut posisi kebutuhan. Diantara dua posisi terdapat jarak relasi antara dua
posisi kebutuhan dinamakan “jarak antara kebutuhan”. Jarak antara
kebutuhan ada dua macam, yaitu “jarak linier” merupakan jarak lurus dan
“jarak ekologis” merupakan jarak yang dinilai dengan perhitungan waktu
dan biaya untuk menempuh. Relasi antara satu posisi dan posisi kebutuhan
disebut jarak terhadap kebutuhan.
Gambar 6 Aspek-Aspek Lokasi dan Unsur-unsur Struktur Community
John Tumer (1988) mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal
(residential mobility). Tesisnya pertama kali diperkenalkan tahun 1968 pada
artikelnya yang berjudul “Housing Priorities, Settlement Patterns, and
Urban Development in Modernizing Countries”. Dalam menjelaskan
teorinya, ia mengemukakan beberapa dimensi yang bergerak pararel dengan
mobilitas tempat tinggal ini. Ada empat macam dimensi yang perlu
diperhatikan dalam mencoba memahami dinamika perubahan tempat unggal
pada suatu kota, yaitu:
a. Dimensi lokasi
b. Dimensi perumahan
c. Dimensi siklus kehidupan
d. Dimensi penghasilan
Dimensi lokasi mengacu pada tempat-tempat tertentu pada suatu kota
yang oleh seseorang sekelompok orang dianggap paling cocok untuk tempat
tinggal dalam kondisi dirinya. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada
penghasilan siklus kehidupannya. Lokasi dalam konteks ini berkaitan erat
dengan jarak terhadap tempat kerja (accesibility to employment). Perspektif
ini sering diistilahkan sebagai “geographical space”.
Dimensi perumahan dikaitkan dengan aspirasi perorangan/sekelompok
orang terhadap macam, tipe perumahan yang ada. Oleh karena luasnya aspek
perumahan ini, oleh John Tumer dibatasi pada aspek “pengusaan” (tenure).
Seperti halnya pada geographical (space dimension). Pandangan seni
terhadap aspek pengusaan tempat tinggal selalu dikaitkan dengan tingkat
penghasilan dan siklus kehidupannya. Mereka yang berpenghasilan rendah
misalnya, akan memiliki menyewa atau mengontrak apa saja dari pada
berangan-angan untuk memiliki, karena kemampuan itulah yang paling
sesuai dengan tingkat penghasilannya. Dasar kehidupan yang masih awal
pada umumnya paralel dengan tingkat penghasilan yang rendah ini.
Dimensi siklus kehidupan membahas tahap-tahap seseorang mulai
menapak dalam kehidupan mandirinya, dalam artian bahwa semua
kebutuhan hidupnya seratus persen ditopang oleh penghasilannya sendiri.
Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupannya makin tinggi
“income” sehingga kaitannya dengan dua dimensi terdahulu menjadi lebih
jelas.
Dimensi penghasilan menekankan pembahasannya pada besar kecilnya
penghasilan yang diperoleh persatuan waktu. Dengan asumsi bahwa makin
lama seseorang menetap di suatu kota, makin mantap posisi kepegawaiannya
(dalam pekerjaannya), maka makin tinggi pula tingkat penghasilan yang
diperlukannya persatuan waktu tertentu.
Oleh karana kondisi kemampuan seseorang tidak ajeg dari waktu maka
“residential mobility” (mobilitas tempat tinggal) ini juga selalu berubah dari
waktu ke waktu. Ada 3 Strata sosial yang berkaitan dengan lama bertempat
tinggal di daerah perkotaan, dikemukakan sebagai acuan untuk melihat
perilaku mereka dalam menentukan pilihan tempat tinggalnya. Ketiga strata
sosial tersebut adalah:
a. Bridge headers (golongan yang baru datang di kota)
b. Consilidators (golongan Yang sudah agak lama tin
c. Status Seeker (golongan Yang sudah lama tinggal
Untuk lebih jelasnya lihat bagan ini :
Gambar 7. Mobilitas Tempat Tinggal Model Turner
Adapun bentuk mobiltas penduduk yang dikemukakan oleh Mantra
(1980) adalah sebagai berikut :
1. Comutting (penglaju). Ini adalah bentuk mobilitas penduduk dari desa ke
kota atau daerah lain, dan kembali ketempat asal pada hari yang sama.
Mobilitas seperti itu kebanyakan kita lihat antara desa-desa yang ada di
sekitar kota-kota besar (sebagai lapangan pekerjaan bagi mereka). Suatu
syarat yang paling penting untuk terjadinya mobilitas semacam ini adalah
tersedianya prasarana perhubungan yang baik, yang akan diikuti pula dengan
sarana transportasi yang memadai serta murah. Jadi kaum penglaju ini
bertempat tinggal di desanya dan tidak menetap di kota. Mengapa mereka
mengambil sikap yang demikian ? Disini ada pertimbanngan dari kaum
penglaju, antara lain :
a. Alasan Ekonomi, sebagaimana kita ketahui bahwa hidup dikota perlu
biaya tinggi, sedangkan kaum penglaju ini umumnya berpendapatan rendah,
sehingga tidak mungkin mereka tinggal di kota bersama keluarga. Dengan
bertempat tinggal di desanya biaya hidup lebih murah.
b. Alasan Nir-Ekonomi. Dimana disini dengan nglaju mereka dapat
berkumpul dengan sanak saudaranya di desa. Mereka merasa aman dan
tentram bila berdekatan dengan sanak saudara dan famili. Kemudian ada lagi
para penglaju yang tergolong ekonomi kuat. Mereka ini adalah orang-orang
golongan “The Have” yang memilih tempat tinggal diluar kota jauh dari
keramaian, kebisingan dan polusi udara. Mereka nglaju ke kota dengan
mobil pribadinya untuk bekerja.
2. Circulation (sirkulasi). Ini adalah bentuk mobilitas penduduk dari desa
dan kota atau daerah lain, dalam jangka waktu lebih dari satu hari, tetapi
tidak ada niat untuk menetap daerah tujuan. Disini ada dua macam mobilitas
sirkuler yang menuju ke kota, yaitu :
a. Mobilitas musiman. Mobillitas musiman ini erat kaitannya dengan
kegiatan- kegiatan di bidang pertanian, dan sebagainya.
b. Mobilitas yang terdorong oleh perbaikan ekonomi atau tujuan untuk
sekolah. Mobilitas semacam ini, terutama tertuju untuk ke kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya. Seperti halnya dengan peristiwa
nglaju, di samping tersedianya lapangan kerja di kota, tersedianya alat
transportasi yang murah merupakan faktor utama untuk meningkatkan arus
mobilitas sirkuler ke kota.
3. Migrasi. Ini merupakan bentuk perpindahan penduduk dari desa ke kota
atau ke daerah lain, dengan maksud untuk bertempat tinggal menetap di
daerah tersebut. Banyak sedikitnya jumlah migran yang menetap tergantung
dari pengaruh mekanisme push and pull factors.
Penyebaran penduduk perkotaan sering dikaji melalui indeks primasi,
yang dalam hal ini didefinisikan sebagai rasio antara jumlah penduduk kota
terbesar pertama terhadap jumlah total penduduk empat kota terbesar,
Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Namun demikian data yang
digunakan seyogyanya adalah jumlah penduduk perkotaan di wilayah
perkotaan dimana keempat kota-kota tersebut berfungsi sebagai inti (core ),
yakni Jabotabek (Jakarta - Bogor - Tangerang - Bekasi), Gerbangkertasusila
(Gresik - Bangkalan – Mojokerto- Surabaya - Sidoarjo -Lamongan),
Bandung Raya, dan Mebidang (Medan - Binjai - Deli Serdang), bukan hanya
penduduk wilayah kotamadya saja.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks primasi ini adalah 0,56
pada tahun 1980 dan 0,58 pada tahun 1990. Hal ini mengindikasikan bahwa
hampir 60 % jumlah penduduk perkotaan pada empat wilayah metropolitan
terbesar di Indonesia, terkonsentrasi di Jabotabek. Ini berarti pula bahwa
Jabotabek sesungguhnya masih berperan sebagai kota primate. Demikian
pula pangsa penduduk perkotaan di Jabotabek terhadap jumlah penduduk
perkotaan secara nasional telah mencapai 22,5 % pada tahun 1980, dan
23,6 % pada tahun 1990, atau kira-kira telah mendekati angka satu per
empat.
Sementara itu analisis pola keruangan perkembangan penduduk
perkotaan di Jawa memperlihatkan kecenderungan perkembangan koridor
perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, yang meliputi koridor
Serang - Jakarta – Karawang; Koridor Jakarta – Bandung; Koridor Cirebon –
Semarang; Koridor Surabaya - Malang. Pembentukan koridor- koridor ini
diwarnai oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah perkotaan dan
wilayah perdesaan.
Dalam konteks ini tampaknya peran kota-kota kecil (kota-kota dengan
jumlah penduduk di bawah 100.000) dan kota menengah (kota-kota dengan
jumlah penduduk 100.000 — 250.000 ) di pulau Jawa sebagai pusat-pusat
kegiatan ekonomi semakin menurun, karena fungsi ini sangat didominasi
dan diperankan oleh kota-kota besar, sementara kota-kota kecil dan
menengah tersebut telah menjadi bagian dari koridor perkotaan yang
membentang antara kota-kota besar.
Mc Gee (1991 ) menyebut proses urbanisasi dan perkembangan kota
seperti ini sebagai mega — urbanization, yang harus dipandang dalam
konteks region-based, bukan city based. Demikian pula sistem kota
berjenjang ( hierarchial urban system ) yang merupakan suatu acuan utama
dalam kepustakaan perkembangan kota-kota, tampaknya sudah tidak begitu
relevan untuk pulau Jawa. .
Sebagai indikasi awal hal ini antara lain ditunjukkan dengan rendahnya
laju kenaikan penduduk kota-kota menengah dan kecil, yaitu kota-kota
dengan jumlah penduduk di bawah satu juta jiwa selama periode 19801990 : kota-kota di Jawa memiliki laju kenaikan yang relative rendah, yaitu
dibawah 2,5% pertahun bahkan ada yang negative (Malang), dengan
pengecualian Tegal, Madiun, Pasuruan, dan Blitar. Sebagai perbandingan,
kota-kota di luar Jawa sebagian besar meningkat dengan laju yang lebih
tinggi, kecuali Manado, Pangkalpinang, Pare-pare, Bukittinggi, dan Sibolga.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Kota
Pembahasan proses perancangan perkotaan secara spesifik dimulai
dengan dinamika ekonomi bukan dengan dinamika politik atau budaya.
Berdasarkan pada sistem hidup yang ada, dimulai dengan perhatian pada
sistem “dari dalam keluar”.
Alasannya bukan karena pada masa kini cara hidup makin lama
materialistik. Terlebih dahulu dinamika sistem hidup perlu dibahas dengan
cara yang lebih luas. Bagaimanakah sistem kehidupan manusia pertamatama untuk hidup secara bermakna, manusia memerlukan arti kehidupannya
yang dengan tepat didasarkan pada realitas spiritual. Namun demikian,
manusia juga berada didalam keadaan jasmani, dimana muncul kriteria yang
fundematal pula: Bagaimana bisa makan dan minum? Bagaimana kualitas
hidup perkembangan kehidupan makin lama makin baik di dalam
masyarakatnya?” darimana datang dan apa yang dibutuhkannya ?
Bagaimana itu bisa dilaksanakannya ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan pada moivasi hidup yang
bersifat jasmani atau ekonomi.Untuk menjalankan motivasi tersebut,
dibutuhkan sebuah sistem pengelolaan hidup yang bersifat teknis atau politis
yaitu mendirikan serta mengurus prinsip-prinsip, serta peraturan-praturan
yang menjamin bahwa bentrokan-bentrokan antara bermacam motivasi
paran individu bisa diurus dengan baik. Untuk menjalankan penggelolaan
hidup tersebut dibutuhkan sebuaah cara hidup yang bersifat tradisi atau
budaya. Akan tetapi untuk menjalankan cara hidup tersebut dibutuhkan
sebuah lingkungan alam sebagai sumber kehidupannya.
Sistem hidup masyarakat tersebut dijalankan didalam dua situasi yang
berbeda, yaitu didalam lingkungan perdesaan (rural) serta lingkungan
perkotaan (urban). Meurut Lowrey Nelson ada perbedaan antara masyarakat
kota (urban community) dengan masyarakat desa (rural community).
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 7. Perbedaan Kualitatif Masyarakat Desa-Kota
Pada dasarnya dalam dinamika ekonomi kota bisa diamati antara lain
tiga faktor pokok yang masing-masing memiliki polaritas sebagaimana
terpampang dalam gambar berikut ini.
Gambar 8. Dinamika Ekonomi Kota
1. Status Tanah
Dalam perancangan kota perlu diperhatikan bahwa kota sebagai artefak
didirikan di atas tanah yang bersifat lahan alam. Namun keberadaan lahan
ini tidaklah bersifat netral dan tidak boleh dianggap berada dalam vakum
yang lingkungannya sama saja. Keadaaan status tanah bisa berbeda sekali.
Misalnya status tanah yang berada di pusat kota jauh berbeda dengan tanah
di pusat hutan. Status tanah sangat tergantung pada potensi terhadap
kemungkinan penggunaannya Walaupun demikian, secara umum dinamika
yang berada di dalam statusnya Sama. Status tanah bergantung pada dua
factor, yaitu situasi geografi serta intervensi manusia..
(a) Situasi Topografi
Pembentukan tanah secara alami tidak sama disetiap tempatnya. Ada
tanah yang curam, landai, atau datar, dan juga bahan dan kesuburunnya
berbeda, dan lain-lain. Dengan demikian, jelas watak landscape dan iklim
menentukan khususnya setempat sehingga tanah alam memiliki potensi
ekonomi yang berbeda pula.
(b) Intervensi Manusia
Walaupun status tanah dipengaruhi oleh situasi topografi, intervensi
manusia terhadap tanah juga perlu diperhatikan. Intervensi manusia akan
jauh lebih besar mempengaruhi status tanah daripada situasi topografi.
Kebanyakan factor yang menentukan status tanah secara ekonomi
diciptakan, diurus, serta dikontrol oleh manusia sendiri. Misalnya :
penentuan
dimana
diletakan
jalur
perdagangan,
pergerakan
dan
penghubungnya, lalu bagaimana tataguna lahan, dimana pusatnya, dan
seterusnya. Ketentuan tersebut yang sangat mempengaruhi status tanah
secara
ekonomi,
memang
tidak
diambil
sekaligus,
melainkan
dilangsungkan sebagai proses. Namun proses tersebut tidak bersifat
otonom, melainkan diarahkan oleh keputusan orang, baik secara individual
maupun kelompok masyarakat.
Cara intervensi yang relevan untuk nilai tanah yang tinggi adalah
bagaimana memungkinkan pada tanah tersebut sebuah aktivitas perkotaan
yang tinggi, dengan kepadatan yang maksimal. Tetapi masalah yang sering
kurang diperhatikan adalah kenyataan bahwa kriteria yang bersifat
maksimal belum bisa langsung disamakan dengan kriteria yang bersifat
optimal. Tujuan pemakaian tanah secara maksimal hanya akan menegaskan
kriteria kuantitas, sedangkan pemakaian secara optimal akan berfokus pada
kriteria kualitas. Kalau kedua kriteria tersebut dibandingkan didalam
jangka waktu, maka jelaslah bahwa tanah yang digunakan secara kualitatif
akan mengakibatkan peningkatan status ekonomi pula. Hal tersebut belum
pasti dapat dihasilkan pada kriteria yang hanya bersifat kuantitatif. Akan
tetapi, justru seringnya kriteria tersebut yang diperhatikan karena secara
ekonomis memang kuantitas bisa diukur dengan mudah dan langsung.
Para perancang kota perlu memahami dinamika tersebut serta penilaian
faktor-faktor mana yang bersifat kualitatf secara umum. Kemudian secara
khusus diperlukan analisis yang difokuskan pada potensi status tanah
sebuah tempat serta lingkungannya dengan tujuan, sasaran, serta srategis
bagaimana kualitasnya bisa ditingkatkan
2. Hirarki Nilai
Didalam dinamika pembangunan kota tercakup banyak faktor dan
kriteria bermacam-macam yang masing-masing memiliki nilai tersendiri.
Hal tersebut hampir selalu menimbulkan bentrokan antara penerapan nilai
yang satu dan yang lain, karena banyak nilai yang ingin ditransportasikan
ke dalam sebuah pembangunan kota berdasarkan landasan-landasan pikiran
lain.
Biasanya dibidang ekonomi nilai-nilai dibagi dalam dua pendekatan
dasar, yaitu nilai pakai (use value) dan nilai tukar (exchange value).
Nyatalah bahwa ada ketegangan diantara keduanya. Kedua pendekatan
terhadap nilai tersebut memiliki hirarki yang berbeda dengan dinamika
tersendiri yang sangat penting untuk diperhatikan didalam perancangan
kota.
3. Nilai Pakai ( use value)
Pendekatan
ekonomi
ini
berfokus
pada
semua
kriteria
yang
berhubungan dengan nilai penggunaan sebuah tempat secara langsung
misalnya rumah sebagai tempat huni, pabrik sebagai tempat produksi, atau
toko untuk menjual barang, dan sebagainya tergantung pada tujuan
pemakaiannya. Fokus nilai pakai berbeda pula, walaupun secara dasar
selalu berfokus pada kebutuhan pemakaian yang pokok dan langsung.
Penerapan nilai tersebut sering berbeda di sektor non formal, khususnya
pada penghuni yang bersifat kampung. Nilai pakai juga ada di sektor
formal, walaupun lebih sedikit.
4. Nilai Tukar (exchange value)
Pendekatan
ekonomi
ini
berfokus
Pada
semua
kriteria
yang
berhubungan dengan nilai investasi pada sebuah tempat, misalnya kegiatan
jual beli atau menyewakan kepada pemakai lain. Sebuah gedung tidak lagi
dianggap sebagai lingkungan hidup atau tempat bekerja dan sebagainya,
melainkan diutamakan sebagai obyek yang bersifat benda saja. Di dalam
hal ini perlu diperhatikan dinamika ekonomi yang mementingkan
pendekatan tersebut, karena keuntungan finansial yang bisa dihasilkan
secara langsung biasanya selalu lebih tinggi, kalua nilai tukar lebih
diperhatikan daripada nilai pakai, sehingga muncul sebuah hirarki nilainilai yang sering mengakibatkan ketegangan di dalam realitas konteks
perkotaan. Oleh karena itu logis bahwa seseorang investor selalu akan
mengutamakan kegiatan pemakaian tempat yang mampu menghasilkan
keuntungan keuangan yang paling tinggi. Misalnya jika sebuah kawasan
penghuni di dalam kota juga berpotensi sebagai tempat kompleks
perkantoran, maka jelas para penghuni makin lama akan makin banyak
digeser, karena keuntungan yang didapat dihasilkan dengan investasi
pembangunan kantor- kantor sebetulnya akan lebih tinggi daripada tempat
penghuni yang sudah ada.
5. Tingkat Struktur
Bagian ketiga yang membutuhkan perhatian adalah tingkat struktur
yang ada didalam dinamika tersebut. Setiap dinamika ekonomi kota
berjalan di dalam dua tingkat, yaitu tingkat lokal dan tingkat global.
Dinamika masing-masing serta bagaimana keterkaitan antaranya perlu
dipahami. Karena dalam
menjalankan proses
pembangunan kota
dibutuhkan sumber-sumber (resources), baik dari segi bahan mentah,
teknik maupun energi, maka para perancang kota juga perlu mengetahui
sistem produksi bangunan yang ada di dalam kota dan bagaimana
pengaruhnya terhadap lingkungannya.
6. Tingkat Lokal
Di dalam kota modern selain terdapat tingkat lokal juga terdapat tingkat
struktur yang bersifat global. Di dalam pembanguan kota tingkat global
sering diutamakan dan dianggap bahwa tingkat global lebih ekonomis
daripada tingkat lokal. Namun jika semua aspek diperhatikan, anggapan
tersebut tidaklah benar. Zaman modern memperkenalkan tiga sistem baru
yang semuanya bersifat global, yaitu :
(1) Teknologi
Sistem produksi baru
(2) Transportasi
(3) Informasi
Sistem disiribusi baru
Sistem komunikasi baru
Ketiga sistem ini tidak lagi berkaitan dengan sebuah konteks tertentu,
karena secara bermacam dapat dijalankan dimana saja dan kemana saja.
Namun,
kelompok
sistem
tersebut
dianggap
ekonomis
karena
dilangsungkan didalam skala besar dan luas, dimana banyak kriteria tidak
dipertimbangkan lagi karena dinamikanya terlalu kompleks dan tidak akan
terwujud secara langsung. Misalnya, didalam sistem komunikasi global
dilakukan transfer teknologi secara langsung yang mungkin kurang
bermanfaat pada beberapa daerah, sehingga teknologi lokal yang memakai
bahan lokal akan dianggap kurang cocok karena dianggap kuno. Atau
didalam sistem produksi global dijalaankan suatu proses pembuatan
didalam jumlah besar yang mungkin akan merusak ekonomi di beberapa
daerah yang lain. Contoh lain lagi, di dalam sistem distribusi global
dijalankan sebuah sistem yang mampu mendatangkan produk dari jauh
hingga lebih murah daripada jika diproduksi setempat.
Pembangunan kota secara ekonomi hanya akan dihasilkan pada saat
pembangunan tersebut dilakukan secara ekologis. Gambar berikut
menunjukan dilemanya. Sistem pembangunan kota modem yang dianggap
“tidak terbatas” sudah terbukti gagal, walaupun secara umum masih
diterapkan dengan pengaruhnya yang berdampak negatif juga dari segi
ekonomi. Masalah perkotaan modern makin lama makin dibayar mahal.
Gambar 9. Keterbatasan Sumber Alam/Ekonomi
Sudah tiba saatnya untuk menerapkan pembangunan kota secara lebih
efektif dan ekonomis dengan memperhatikan sumber serta ekosistemnya.
Dalam hal ini, sangat dibutuhkan penyesuaian sistem global sesuai kriteria
jelas yang disamakan dengan tingkat lokal secara terpadu. Itulah tantangan
dalam menghubungkan dinamika ekonomi kota dengan ekologi kota.
D. Aspek Teknologi dan Dampaknya di Perkotaan
Dua faktor yang besar pengaruhnya atas situasi dan perkembangan
masyarakat adalah pertambahan Penduduk dan kemajuan teknologi.
Perkembangan adalah suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat
untuk selalu berubah. Proses ini tak mengandung hukum-hukumnya yang
ketat, karena itu perubahan tak mudah diramalkan.
Perubahan sosial selain tergantung dari perkembangan dari masa
lampau juga di dorong oleh hasrat manusia yang mengejar keinginannya
untuk masa depan terdekat. Perubahan terikat itu didorong oleh terjalinnya
cita-cita manusia dalam situasi sosial tertentu dengan sarana dan
kemungkinan yang tesedia.
Makin besar pertumbuhan penduduk, maka menjadi jelas corak
kekotaan suatu tempat. Dalam rangka urbanisasi ini nampak di perdesaan
yang letaknya mengelilingi kota-kota. Disitu kepadatan penduduk
mendorong manusia mencari nafkah dari bidang non-agraris seperti
perdagangan, industri, dan perkantoran.
Pertumbuhan penduduk mula-mula adalah akibat dari sisa kelahiran,
apalagi jika angka kematian terus menurun karena meningkatnya kesehatan
penduduk. Kemudian di kota-kota nampak gejala menurunnya angka
kelahiran. Ini merupakan akibat dari perdagangan hidup yang rasional serta
hasrat manusia ingin hidup mewah.
Demikiaan pula hampir seluruh daerah perkotaan menarik kontribusi
penduduk relatif tinggi. Akibatnya wilayah ini membutuhkan areal
tumbuhan yang merupakan tekanan bagi kota untuk memperluas wilayah
bagi kota untuk memperluas wilayah bagi keperluan perumahan serta
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Kepadatan penduduk perkotaan setiap
tahunnya terus meningkat.
DKI Jakarta, kota yang terpadat di Indonesia mempunyai kepadatan
lebih dari 16 ribu jiwa/km², Yogyakarta, Medan, Palembang, dan Ujung
Pandang mempunyai kepadatan antara 6 ribu sampai 10 ribu jiwa/km².
Di kota-kota besar fasiltas pendukung umumnya tidak dapat segera
dibangun sesuai dengan kebutuhannya, sehingga hal ini menyebabkan
penurunan kualitas hidup pada hampir sebagian besar penduduk kota.
Fasilitas pokok seperti air minum bersih dan sanitasi lingkungan umumnya
kurang memadai.
Pengaruh pembangunan prasarana modern dan ekonomi telah memacu
pertumbuhan
permukiman,
merubahnya
kota
atau
mengindikasi
tumbuhnya permukiman baru. Pada tahun 1987 sekitar 26% penduduk
Indonesia hidup dipermukiman perkotaan. Pusat pemukiman yang ada
berjumlah 329 buah dimana lima kota besar berpenghuni sekitar 40% dari
populasi urban. Pertumbuhan pemukiman baru di luar Pulau Jawa pada
umumnya disebabkan karena adanya eksploitasi sumberdaya alam (minyak
dan gas bumi, mineral dan hasil bumi hutan) serta transmigrasi.
Makin padatnya penduduk kota, makin meningkatkan pula titik-titik
pertemuan
manusia
dan
kesalingtergantungannya.
Begitu
pula
bertambahnya titik-titik sumber salah satu paham dan pertentangan.
Bersama ini terjadi pula pengurangan kebebasan individu. Persaingan
antara manusia makin tajam dan pembagian kerja makin jelas. Akhirnya
muncul penduduk massal dan ini mendorong terciptanya aneka oraganisasi
kolektif dari terjaminnya kebutuhan hidup serta pembelaan kepentingan.
Sarana teknologi yang dimiliki oleh manusia ikut menentukan struktur
hubungan antar manusia. Di suatu pabrik dengan masa buruhnya yang
menyajikan produksi untuk pasar, hubungan buruh dengan majikannya,
atau buruh dengan buruh, lain sekali dari suatu pertukangan kecil yang
bekerja tanpa mesin. Tata kerja manusia kota selain dilayani oleh kemajuan
teknologi; juga diatur bahkan diberikan petunjuk oleh jaringan transportasi
dan komunikasi yang serba mekanis. Industrialisasi mampu menciptakan
lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan materil.
Perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat yang diciptakan
oleh kemajuan teknologi dengan mekanisasinya ada lima :
a. Masyarakat dijadikan impersonal
b. Masyarakat diberikan corak masal
c. Masyarakat dilengkapi dengan tenaga bersuasanakan kekuatan yang
ampuh
d. Masyarakat disiksa dengan rasa kurang tenang
e. Struktur masyarakat menjadi makin rumit.
Masyarakat kota dengan kemajuan teknologi dan keampuhan ilmu
pengetahuan sebagai latar belakang, dilanda oleh sekularisasi. Sekularisasi
merupakan suatu proses dimana bidang-bidang hidup dan berfikir tercabut
dari
pengawasan
agama
dan
filsafat
(Daljoeni,1997:20).
Istilah
“secularizer” pertama kali diperkenalkan oleh Longville pada tahun 1648
dalam perundingan damai di Wetfalen. Dengan istilah tersebut hendak
dilukiskan penduniawian wilayah-wilayah milik gereja untuk digabungkan
kedalam kerajaan Bradenbarg. Sebelum saat itu kata secularis sudah
dipakai berabad-abad lamanya dalam arti membedakan apa yang sifatnya
duniawi dari yang rokhani (agama, gerejawi) kemudian diartikan pula
ketergantungan dari yang rokhani itu. Adapun pertimbangan selanjutnya
adalah terlepasnya segala hal dari yang becirakan rokhani.
Secara azasi sekularisasi terjadi dari dua transformasi pemikiran
manusia-manusia yang saling berhubungan. Pertama, desakralisasi dalam
hidup orang dan benda, disitu ketertiban emosional yang mempunyai
reaksi religious terhadap apa yang suci dibuang. Keduanya, rasionalisasi
pembuangan keterlibatan emosional dalam berpikir tentang dunia. Ada
lima kegiatan manusia yang besar pengaruhnya atas pembentukan
pemikiran sekuler, yaitu : kerja, perang, pertukaran ekonomi, pemerintahan
dan ilmu pengetahuan.
Ditahun 80-an pembangunan ekonomi Indonesia memulai memasuki era
industrilisasi dengan pengusaan teknologi dan mutu sumber daya manusia
sebagai sumber pengerak pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini, teknologi
dan
sumberdaya manusia dianggap sebagai unggulan. Kedua hal ini,
teknologi dan sumberdaya manusia dianggap sebagai keunggulan
kompetatif
yang
harus
dimiliki
Indonesia
untuk
mengejar
ketertinggalannya dari negara maju. Untuk itu, salah satu tujuan jangka
panjang pada masa ini adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mempunyai peranan
yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya saja dalam
mendorong
pertumbuhan
kebijakan
pembangunan
teknologi
perlu
dipertimbangkan banyak ahli, antara lain sumberdaya yang kita miliki,
masalah-masalah yang dihadapi dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Sejarah proses industrisasi dan kemajuan teknologi yang dialami negara
maju dapat dibagi dalam beberapa tahap. Tahap awal industrilisasi
Ditandai dengan relatif rendahnya tingkat teknologi dan banyaknya pabrikpabrik yang menggunakan tenaga kerja tidak terlatih/ terdidik (unskilled
technology) oleh perpindahan tenaga kerja dari sector tradisional ke
modern. Tahap selanjutnya pada level teknologi yang lebih ringan, pabrikpabrik menggunakan mesin-mesin yang memerlukan tenaga kerja yang
terampil dan terlatih (skilled technology). Kemajuan teknologi disektor
industri ditandai dengan makin intens fungsi penggunaan modal relatif
terhadap tenaga kerja. Tahap ini ditandai pula dengan kemajuan teknologi
yang berorentasi pada sumber daya alam (natural resources technology).
Semakin canggih barang modal yang digunakan dalam proses produksi
semakin tinggi pula kualitas sumberdaya manusia. Tahap berikutnya
ditandai dengan pengurangan tenaga kerja yang lebih sedikit dengan
tingkat keahlian yang tinggi (human resource technology). Tahap yang
terakhir merupakan tahap teknologi tinggi (high technology).
Kemajuan teknologi terdapat dimana-mana. Dalam proses produksi
kemajuan teknologi dapat berupa pembaruan organisasi (manajemen),
perkembangan teknik produksi yang makin efisien maupun peningkatan
kualitas dari input. Peningkatan kualitas input dapat berupa mesin-mesin
yang lebih canggih, input antara yang mutunya lebih baik, energi yang
penggunaannya lebih efisien (ataupun timbulnya altematif sumber energi
baru), dan tenaga kerja yang lebih terampil dan ahli. Secara simultan,
dalam proses produksi kemajuan teknologi tersebut dipengaruhi oleh
berbagai bentuk inovasi bukan hanya melalui semua faktor produksi
tradisional tetapi juga mencangkup manajemen dan teknik produksi itu
sendiri.
E. Budaya Kota
Salah satu ciri khas kota adalah jumlah dan kepadatan penduduknya
yang tinggi. Gejala ledakan penduduk kota di dunia mulai tampak pada abad
ke 18-19 saat revolusi industri di Eropa dimulai. Dengan bangkitnya
industri, kotamenjadi tempat untuk ikut merasakan hasil industriaalisasi di
kota. Sementara itu jumlah angka kematian alami dapat ditekan karena
kemajuan dunia medis. Akibatnya penduduk kota bertambah, baik secara
alami maupun migrasi.
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri
dari berbagai lapisan tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, dan lain
sebagainya. Mayoritas penduduknya hidup beragam usaha yang bersifat non
agraris.
Sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1. Sikap kehidupan
Sikap hidupnya cenderung kepada egoisme / individualis, yaitu masingmasing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh
anggota masyarakat lainnya, hal mana menggambarkan corak hubungan
yang terbatas, dimana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau
kemerdekaan pribadi.
Sikap hidup masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup
yang lebih tinggi daripada masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak
biaya hidup sebagai alat pemuas kebutuhan yang tiada terbatas sehingga
menyebabkan orang berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari
nafkah demi kelangsungan pribadi/keluarganya. Akibatnya timbulah sikap
pembatasan diri yang akhirnya timbul di dalam pergaulan masyarakat dan
terpupuklah faham mementingkan diri sendiri yang akhirnya timbul sikap
individualisme. Sikap hidup yang demikian dari anggota masyarakat ini
mewujudkan hubungan didalam pergaulan yang hanya berdasarkan
kepentingan-kepentingan pribadi dimana segala sesuatunya terjalin hanya
berdasarkan adanya pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri.
Masing-masing berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuannya. Segala
sesuatu yang akan dilakukan dijalankan saja tanpa mempertimbangkan
masyarakat sekitarnya sepanjang sehat menurut rasio dan selama tidak
melanggar hukum.
2. Tingkah Laku.
Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan
dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan
budaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. Karena
kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima hal-hal
yang baru atau membuang sesuatu yang dianggap lama/kuno. Juga lebih
lekas mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaankebiasaan baru.
Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat memberikan sesuatu
perasaan harga diri yang lebih tinggi jauh berbeda dengan seni budaya dalam
masyarakat desa yang bersifat statis. Derajat kehidupan masyarakat kota
terdiri dari bermacam-macam tingkatan dari yang tertinggi sampai ke yang
terendah sesuai dengan warna kehidupan kepribadian anggota-anggotanya.
Untuk mencapai usaha ke arah pemenuhan materi dibutuhkan adanya daya
upaya yang membuat rasio atau akal pikiran yang mantap. Didalam
masyarakat kota mengingat banyaknya fasilitas-fasilitas yang tersedia,
memungkinkan anggota masyarakat kota meningkatkan pengetahuan mereka
dalam berbagai bidang. Sarana-sarana yang ada ini sangat besar faedahnya
bagi lingkungan masyarakat kota sendiri. Hal ini memungkinkan atau
membawa warna kota kearah peningkatan kecerdasan yang lebih tinggi
sudah barang tentu bagi orang yang lebih tinggi taraf intelegensinya dalam
pandangan hidupnya yang lebih luas, yang mana membuat semakin mampu
menggunakan daya ciptanya. Dengan kata lain menjadi manusia yang
kreatif, rasional, tidak gampang dipengaruhi oleh pihak lain. Segala
sesuatunya dipecahkan secara rasional dengan melihat kenyataan yang ada
berdasarkan pertimbangan pemikiran akal sehat dan ilmiah. Pandangan
hidup yang luas ini membuat orang tidak fanatik, bersedia menerima
pandangan pihak lain maupun ide-ide baru sepanjang masih dapat diterima
oleh rasio. Demikian pula sebaliknya tidak segan membuang kebiasaan lama
yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman.
Dalam segala tindakannya selalu didasarkan kepada pikiran yang sehat
pandangan bebas tidak terikat pada adat kebiasaan yang mengikat. Pada
pikirannya lebih matang dan kreatif karena banyaknya pengalaman yang
didapat dan segala peristiwa yang timbul di sekitarnya.
Kemajuan teknologi dan budaya masa kini telah mengantarkan
manusia/masyarakat kota bertaraf hidup lebih modem. Orang semakin
menyadari bahwa rasio manusia dapat memecahkan persoalan-persoalan
yang selama ini masih merupakan tanda tanya. Hal ini menjadikan anggota
masyarakat kota lebih optimis yang akhirnya menyebabkan mereka lebih
dinamis dalam tingkah laku, karena dipaksa oleh keadaan untuk berusaha
keras supaya tidak ketinggalan zaman.
Sebagai akibat dari konsekuensi kemajuan peradaban kota didorong
pula oleh sikap untuk meniru dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat sekitarnya, maka terciptalah sesuatu masyarkat yang bercorak
radikal dinamis.
3. Perwatakan
Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap
hidupnya yang epgoisme dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis
menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi yang berdampak
pada tindak amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggung jawab
sosial.
Pandangan hidupnya menjurus pada materialistis, dan tingkah lakunya
menjurus pada mementingkan diri pribadi, yang mengakibatkan mereka
untuk mengabaikan factor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakat
sekitamya.
Kesemuanya ini menyebabkan orang-orang kota mengutamakan dengan
segala usaha untuk mengumpulkan harta benda guna memperkaya diri
sendiri. Pada mulanya hal ini disebabkan oleh rasa kekhawatiran
kelangsungan hidup pribadi dan keluarganya untuk masa-masa mendatang
karena sulitnya mencari nafkah di kota.
Disamping kondisi masyarakat kota seperti tersebut di atas maka
masalah urbanisasi tersebut seringkali diikuti oleh masalah sosio - cultural
serta masalah-masalah perkotaan lainnya. Para migran yang berasal dari
daerah dan tinggal di kota seringkali mengalami berbagai macam perasaan
dan perilaku tertentu pada mula pertamanya, misalnya gejala cultural shock ,
yaitu jiwanya terguncang antara dirinya dengan masyarakat yang baru
dikenal karena perbedaan kultur antara dirinya dengan masyarakat yang baru
dikenal. Gejala ini dapat ditemui ketika di kota orang dari daerah
menyeberang jalan raya dengan perasaan cemas, ketakutan, bahkan
mengalami tekanan (stress ) dan menyeberang dengan cara maju dan
mundur. Gejala serupa nampak pula ketika mereka menggunakan peralatan
modem dan cara mengenal situasi kota. Sementara orang-orang kota
adakalanya tertutup untuk memberikan petunjuk bagi mereka. Hal ini
menambah perasaan rendah diri bagi orang dari daerah.
Apabila penyesuaian budaya kota ini sulit dilakukan, mereka mengalami
apa yang disebut cultural alienation yaitu merasa asing dengan kebiasaan
(kebudayaan) setempat. Di kota-kota Negara berkembang termasuk
Indonsesia biasa terjadi cultural lag yaitu terdapat perbedaan tingkat
kemajuan diantara unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki. Biasanya
teknologi berkembang cepat, tetapi masyarakat yang baru datang itu belum
siap menerima keberadaan teknologi itu secara benar dan proporsional.
Akibatnya kebudayaan kota khususnya dalam hal penggunaan Sarana dan
Prasarana kota tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya meludah di
dalam bus umum, merokok di ruangan ber AC dan tempat umum, menjemur
pakaian di pagar rumah dan taman, penataan ruang yang tidak estetis,
menyebrang jalan tidak melalui jembatan penyebrangan yang telah
disediakan, membangun tempat berjualan tanpa memperhatikan lingkungan,
bahkan memanfaatkan halte bis sebagai tempat untuk berjualan, membuang
sampah tidak pada tempatnya (seperti disungai, got/selokan, dari dalam
mobil ke jalan raya), sopir-sopir angkutan umum yang menaikkan dan
menurunkan penumpang di tempat yang tidak semestinya.
Akibat perkembangan teknologi dan sosio kultural masyarakat tidak
seimbang, di kota sering terjadi perubahan nilai pada kelompok orang
tertentu yang memiliki nilai yang tidak jelas yang akan menyebabkan
mereka menunjukkan perilaku diluar batas normal sehingga perilakunya
tidak memiliki nilai yang mendukung bagi kehidupan kota besar (urban)
yang beradab. Dampaknya adalah munculnya tindakan kekerasan (fisik
maupun psikologis) dan perilaku “semau gue”. Misalnya berkendaraan dan
menyeberang jalan dengan cara melawan arus lalu lintas, perusakan pagar
pemisah jalan, perusakan dan penyalahgunaan fasilitas umum.
Di kota banyak ditemui ragam peran dan perubahan peran. Perubahan
peran, dari peran yang lama ke peran yang baru disebut mobilitas sosial.
Gejala mobilitas sosial pada urbanisasi ada dua macam yaitu mobilitas
vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal terjadi apabila
berlangsung perubahan
stasus sosial ekonomi dari tingkat status yang
rendah ke tingkat status yang tinggi, atau sebaliknya. Perubahan status ini
dapat secara geografis, misalnya para urbanis yang berpindah dari daerah
yang sederhana ke daerah yang lebih kompleks, dan sebaliknya; atau dapat
terjadi dari seseorang yang memiliki jabatan (peran) yang lebih rendah ke
jabatan (peran) yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan mobilitas
horizontal terjagi ketika terdapat perpindahan penduduk ke daerah yang
tingkatannya sama dengan daerah asalnya.
Perubahan
peran
apabila
dilakukan
secara
tidak
proporsional
menimbulkan gejala overacting (perilaku yang berlebihan). Mereka
mencoba meninggalkan peran yang lama, tetapi belum dapat menyesuaikan
dengan peran yang baru. Mereka mengalami kebingungan dalam memilih
orientasi nilai/norma (disorientasi norma). Akibatnya mereka akan mudah
dipengaruhi oleh orang lain, bahkan disalahgunakan oleh orang lain. Apabila
mereka menyandang jabatan maka kebijakannya akan berpihak kepada
segelintir orang dan mengabaikan kepentingan umum. Demikian pula dalam
memberikan kebijakan tata ruang pada sebuah kota, membangun prasarana
dan sarana fisik yang tidak memiliki manfaat yang tinggi bagi masyarakat,
pelanggaran terhadap rencana tata kota, bahkan demi kepentingan pribadi
seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akibatnya kota akan kehilangan
nilai-nilai. Biasanya unsur lingkungan akan menjadi korban dan wajah kota
menjadi berantakan.
Pada masyarakat yang kehilangan orientasi nilai dapat menyebabkan
mereka mudah tergelincir dalam kegiatan yang bersifat negative, seperti
perilaku kriminal, minum minuman keras beralkohol dan melakukan
tindakan aktivitas pelacuran. Oleh karena itu, daerah pinggiran kota dan
pusat kota tempat kaum proletar bisa bermukim sering terjadi peristiwa
orang yang mabuk dengan minuman keras yang seringkali diikuti dengan
tindak kriminalitas.
4. Gaya Hidup Kota dan Kepribadian
Urbanisasi menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. Di wilayah
perkotaan, disamping pentingnya fungsi ekonomi, juga cukup berarti fungsi
sosial budaya yang bertalian dengan sekularisasi.
Bagaimanakah bentuk kebudayaan kota ? Intinya adalah penghalusan
perilaku manusia atau kesopan-santunan. Sama halnya bahwa diferensiasi
individu itu merupakan ekspresi sosial di dalam arena perekonomian,
demikian juga penghalusan tingkah laku merupakan syarat mutlak bagi
penduduk yang padat di dalam ruang serta terbatas tanpa melahirkan disiplin
kesangsian.
Kesopanan tadi mencakup segala etiket manusia dengan aneka tindakan
toleransi terhadap sesama, menahan segala nafsu pribadi. Semuanya itu demi
terselenggaranya koeksistensi penuh perdamaian di dalam berharap dapat
berhasil lestari. Kata “civilization”, “civility” berakar pada “city”, sehingga
peradaban selalu dihubungkan dengan hidup kekotaan.
Sebaliknya ada kenyataan bahwa orang kota ditantang oleh cara-cara
berpikir dan perilaku yang tidak dibungkus oleh kesopanan; mereka
mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap apa-apa yang baru
(novelty). Ini berlatar belakang pada rasa tak aman dalam bersaing, suatu hal
yang tidak dapat diterangkan oleh diferensiasi dan spesialisasi. Maka
terciptalah rasa ketidak-tetapan (impermanence) dan selera serba coba-coba
(tentativeness). Dua arus pengaruh ini menimbulkan gejala yang disebut
mode (fashion of style) yang nampak jelas pada pakaian, mebeler, seni,
pendidikan, hiburan, juga pada aspek keagamaan dan pemerintahan.
Dalam mode ada rangsangan untuk meniru, mencipta dan menemukan
yang baru. Itu merupakan kemampuan dari individu untuk mengekspresikan
dirinya secara bebas tanpa dirintangi oleh tradisi, kecurigaan dan perlawanan
dari sekitarnya. Memang kota memberi kebebasan kepada individu untuk
“chance of expression”. Sehubungan ini individualisme berjalan sejajar
dengan trend dari urbanisasi.
Perlu dijelaskan bahwa urban culture itu sekaligus juga money culture,
dimana segalanya dapat dibeli dengan uang. Masyarakatnya adalah
masyarakat uang dan semua barang serta jasa dinilai dengan uang pula.
Hidup di kota memiliki nilai keuangan.
Louis Wirth dalam membahas urbanism sebagai gaya hidup kota
menjelaskan terdapatnya tiga kondisi yang menciptakan gaya hidup
tersebut
:
(a)
jumlah
manusianya,
(b)
kepadatannya,
dan
(c)
heterogenitasnya. Semakin banyak jumlah manusianya di kota makin banyak
bermunculan kegiatan dan lembaga baru. Kepadatan penduduk mendorong
terjadinya seleksi. Sementara itu muncul relasi yang segmental; orang
mengenal sesamanya tak secara utuh akan tetapi berdasarkan perhatian
tertentu saja.
Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala
depersonalisasi yakni lunturnya kepribadian; ia menjadi penting secara
individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju kepada
impersonalitas dari masyarakat modern.
Selain Wirth, sosiolog Jerman George Simmel sudah terlebih dahulu
mengupas gejala impersonalitas itu dan melukiskan orang kota sebagai yang
(a) cenderung mencari privacy, (b) berhubungan dengan orang-orang lain
hanya dalam peranan-peranan yang khusus saja, dan (c) menilai segalanya
dengan standar uang.
Selanjutnya ROE memandang gaya hidup kota modern itu memiliki tiga
nivo kehidupan :
(1) Nivo kelompok primer yang akrab; ini terdapat dalam relasi orang
dengan keluarga, teman dan tetangga.
(2) Nivo kelugasan kelompok sekunder; ini terdapat dalam relasi orang
dengan teman-teman sekerja.
(3) Nivo kelompok berdasarkan peranan; ini bersifat anonim dan interaksi di
situ terdapat misalnya antara pribumi dengan orang asing, si kaya dan si
miskin.
» Latihan:
1. Jelaskan hierarki kota berdasarkan jumlah penduduknya !
2. Jelaskan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat yang diciptakan
oleh kemajuan teknologi !
3. Jelaskan tiga faktor pokok dalam dinamika ekonomi kota !
4. Jelaskan bentuk-bentuk mobilitas penduduk yang dikemukakan oleh Ida
Bagus Mantra !
5. Jelaskan sifat-sifat yang menonjol pada masyarakat kota !
» Ringkasan:
Hierarki kota atas dasar jumlah penduduknya menekankan pada adanya
hubungan antara satu kota dengan kota lainnya dalam sistem kota. Klasifikasi
tersebut banyak dianut oleh para perencana kota untuk kegiatan analisis
wilayah. Klasifikasi tersebut ada dua macam cara yaitu menggunakan interval
tertentu seperti : Hamlet, Village, Town, Small City, Medium Size City, Large
City, Metropolis, Megalopolis, dan Eumenopolis. Dan tanpa menggunakan
interval tertentu yang digolongkan kedalam jumlah penduduk terbesar sampai
pada jumlah penduduk yang terkecil.
Perkembangan jumlah penduduk tersebut dalam suatu kota dipicu oleh
adanya mobilitas manusia untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan hidupnya
yaiu motivasi untuk kebutuhan : (1) dagang atau ekonomi, (2) kepntingan
politik: (3) keamanan, (4) kesehatan, (5) permukiman, (6) kepentigan agama,
(7) kepentingan pendidikan, (8) minat kebudayaan, (9) hubungan keluarga: dan
(10) kebutuhan rekreasi.
Masyarakat kota mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat desa, karena aktivitas ekonomi di kota jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan aktivitas ekonomi di desa. John Turner mengemukakan
teori mobilitas tempat tinggal dan menyebutkan ada empat macam dimensi
yaitu dimensi lokasi, dimensi perumahan, dimensi siklus kehidupan, dan
dimensi penghasilan.
Bentuk mobilitas penduduk yang dikemukakan oleh Mantra adalah : (1)
Commuting ( penglaju), (2) Circulation ( sirkulasi), dan (3) Migration
( Migrasi).
Ada tiga strata yang berkaitan dengan lama bertempat tinggal di daerah
perkotaan, yaiu : (a) Bridge Headers (golongan yang baru dating di kota), (b)
Consolidators (golongan yang sudah agak lama tiggal di kota), dan (c) Status
Seekers (golongan yang sudah lama tinggal di daerah kota ).
Setelah mereka menetap untuk tinggal dan hidup di kota mereka
sepenuhnya tergantung pada dinamika ekonomi kota yang menyangkut status
tanah, hierarki nilai, dan tingkat struktur. Status tanah menunjukkan fungsi
yang berbeda yaitu antara pusat kota dan pinggiran kota. Hierarki nilai
menunjukkan nilai pakai dan nilai tukar. Sedangkan tingkat struktur
menunjukkan tingkat local dan tingkat global.
Zaman modem memperkenalkan tiga sistem baru yang semuanya bersifat
global yaitu : (1) teknologi yang mengarah pada sistem produksi baru, (2)
transportasi yang mengarah pada system distribusi baru, dan (3) Informasi yang
mengarah kepada sistem komunikasi baru.
Perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat yang diciptakan oleh
kemajuan eknologi adalah : (a) masyarakat dijadikan impersonal, (b)
masyarakat diberikan corak moral, (c) masyarakat dilengkapi dengan tenaga
bersuasanakan kekuatan yang ampuh, (d) masyarakat disiksa dengan rasa
kurang tenang, dan (e) struktur masyarakat menjadi makin rumit.
Masyarakat kota dengan kemajuan teknologi dan keampuhan ilmu
pengetahuan sebagai latar belakang dilanda sekularisasi. Hal tersebut
berdampak pada sikap hidup, sifat dan watak yang cenderung pada
individualistis dan materialistis.
Pada kenyataan sering terjadi Cultural Lag yaitu terdapat perbedaan tingkat
kemajuan diantara unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki. Biasanya teknologi
berkembang cepat, tetapi masyarakat kota belum siap menerima keberadaan
teknologi itu secara benar dan proporsional.
Adapun sifat-sifat yang menonjol pada masyarakat kota adalah sikap hidup
yang cenderung egois / individualistis, dengan tingkah laku yang bersifat
kreatif, radikal, dan dinamis. Sedangkan dilihat dari perwatakannya mereka
cenderung pada sifat materialistik.
Kesemuanya ini menyebabkan orang-orang kota mengutamakan dengan
segala usaha untuk mengumpulkan harta benda guna memperkaya diri sendiri.
F. Struktur Keruangan Kota
Wilayah mengandung pengertian geografis beserta segenap unsur
terkait padanya termasuk manusia dengan segala aspek kehidupannya., dan
sumberdaya alam dengan lokasi, luas dan struktur menurut batasan ruang
lingkupnya peninjauan tertentu yang meliputi wilayah perkotaan dan
wilayah pedesaan. Wilayah pada dasarnya merupakan suatu unit geografi
dengan dengan batas-batar tertentu dimana bagian-bagiannya saling
bergantungan satu sama lain secara fungsional. Dalam konteks ini wilayah
dibagi menjadi pusat (inti) dan daerah belakang, dan masing-masing bagian
mempunyai fungsi yang spesifik, yaitu : Pusat (inti) mempunyai fungsi
sebagai :
a Pemusatan pemukiman penduduk
b. Pemusatan kegitan industri
c. Tempat pemasaran bahan mentah
d. Tempat pumusatan sarana-sarana pelayanan.
Sedangkan daerah terbelakang mempunyai fungsi sebagai :
a Prosesing, produksi bahan mentah
b. Tempat pemasaran produk-produk industri.
Ruang mengandung pengertian batasan fisik wilayah dalam dimensi
spasial, meliputi permukaan, dibawah dan diatas permukan bumi yang
diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Adapun tata ruang ialah
gambaran struktur penggunaan ruang dari suatu wilayah yang mengandung
kriteria pilihan sasaran dan kriteria balasannya bagi setiap usaha
pengembangan yang menyangkut pembinaan dengan dimensi spatial.
Dalam upaya mewujudkan gagasan tentang pembangunan kota yang
berkelanjutan, diperlukan peran serta dari pengelolaan lingkungan hidup.
Tata ruang Kota dan lingkungan hidup mengandung arti yang sangat luas
tetapi sekaligus punya konotasi sempit, terbatas pada perencanaan dan
perancangan fisik semata: Padahal sudah semenjak beberapa tahun yang
silam perencanaan kota dan daerah yang menekankan arti fisik semata, serba
deterministik dan menomorduakan manusia dengan segenap keunikan
perilakunya, telah banyak mendapat kecaman.
Penataan ruang kota sungguh rumit dan pelik karena mau tidak mau
menyangkut
benturan
antara
pendekatan-prendekatan
teknokratik,
komersial, humanis. Pernyataan yang muncul adalah : untuk melayani siapa
sebetulnya tata ruang kota dan lingkungan hidup itu, dan bagaimana cara
yang sebaik-baiknya untuk pengelolaannya
Sebuah kota pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya,
diistilahkan oleh Tom Turner (1961) dengan “culuiaral landscape”, dengan
mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan,
keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami
adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata
nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut
terhadap penataan dan bentuk kota. Setiap kota yang merupakan meltingpot
selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan
pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Tata ruang kota terentang antara homogenitas yang kaku seragam dan
heterogenitas yang kenyal memberagam. Suatu bentuk yang gampang
pemerian deskripsinya, kota-kota di Indonesia akan menjadi kota yang
seragam, tidak memiliki jati diri, kepribadian, kekhususan atau karakter
yang spesifik. Kota yang berkelanjutan ibarat mosaik yang penuh
keberagaman.
1. Sistem Ruang Kota
Pada dasarnya fungsi kota dibedakan dalam dua fungsi yaitu fungsi
primer ialah fungsi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya kota
dilihat dari konsiderasi (dalam fungsinya sebagai simpul jasa distribusi) dan
fungsi sekunder ialah fungsi kota dalam hubungannya dengan pemenuhan
kebutuhan, manusia yang terhimpun dalam kota tersebut. Ciri-ciri fungsi
kota seperti itu pada prinsipnya akan tercermin pula pada sistem tata ruang
kota.
Pada dasarnya sistem ruang kota dituntut untuk membentuk seperti yang
dimaksud, yaitu dalam bentuk kawasan primer dan kawasan sekunder.
Kawasan primer pada prinsipnya akan meliputi fasilitas jasa angkutan seperi
terminal-terminal angkutan dan perdagangan, perbankan, dsb. Kawasan
sekunder akan meliputi fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pemenuhan
berbagai kebutuhan manusia-manusia yang terhimpun baik yang terlihat
langsung dalam fungsi primer maupun fungsi sekunder, seperti tempat
hunian, tempat untuk mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari dan tempat
untuk melakukan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Kawasan primer pada dasamya merupakan bagian integral dari sistem
jaringan transportasi regional khususnya dan nasional pada umumnya.
Sebagian bagian dari wilayah, kawasan sekunder pada dasarnya terikat pula
pada jaringan transportasi dengan kawasan primer. Besar kecilnya peranan
kota terhadap wilayah pengaruhnya digambarkan antara lain oleh kepadatan
jasa distribusinya.
2. Klasifikasi Ruang Kota
Pada prinsipnya wilayah perkotaan meliputi dua klasifikasi kawasan,
yaitu kawasan primer dan kawasan sekunder. Masing-masing kawasan akan
memiliki ciri-ciri tersendiri yang terikat dengan pada fungsinya tersebut.
Ciri-ciri tersebut pada dasamya akan merupakan titik tolak bagi penentuan
tingkat pemenuhan fungsi suatu kawasan bagi kehidupan dan perkembangan
wilayah yang dilayaninya.
Kawasan primer merupakan kelompok kawasan-kawasan bagian sesuai
dengan peruntukannya yang terkait pada fungsinya sebagai simpul jasa
distribusi dengan ciri-ciri pokoknya meliputi antara lain :
a. Melayani jasa angkutan yang berjangkauan regional sekunder
b. Melayani jasa perdagangan dengan jangkauan pemasaran regional.
c. Melayani kebutuhan merubah berbagai komoditi melalui kegiatan
industri.
d. Berkaitan dengan jasa angkutan yang tergolong arteri dengan kawasan
bagian sekunder
Kepadatan jasa distribusi dan jangkauan merupakan kelompok kawasan
bagian sesuai dengan peruntukannya yang terkait pada fungsinya sebagai
tempat
permukiman
sekelompok
masyarakat
yang
memungkinkan
berlangsungnya fungsi primer dan fungsi-fungsi pendamping lain. Ciri-ciri
pokoknya meliputi antara lain :
a. Melayani penghunian masyarakat yang terkait pada fungsi primer dan
kegiatan-kegiatan ikutan yang lain.
b. Melayani kebutuhan- kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat yang
terkait pada fungsi primer dan kegiatan-kegiatan pendamping yang lain.
c. Tergantung secara ekonomis pada kawasan primer sebagai tempat
kegiatan usaha yang utama.
Tingkat fungsi pemenuhan fungsi ekonomi kota akan ditentukan oleh
kemudahan warganya untuk memenuhi kebutuhannya yaitu dalam mencapai
tempat untuk melakukan kegiatan usaha didalam mendapatkan segenap
kebutuhan hidupnya.
Meningkatnya perkembangan wilayah akan membawa meningkatnya
kepadatan jasa distribusi yang berakibat akan meningkatnya kepadatan
jumlah penduduk. Berlakunya pola efisiensi dalam mempertahankan tingkat
kemudahan tertentu akan menuntut pembentukan kelompok-kelompok yang
merupakan satuan-satuan pemukiman yang secara keseluruhan membentuk
struktur kawasan-kawasan sekunder. Untuk mengenal struktur kawasan
sekunder dalam menampung kehidupan warga kota, perlu diperinci berbagai
kegiatan warga kota terutama yang menyangkut segi ruang. Dalam
hubungan ini warga kota akan berkelompok membentuk satuan-satuan
permukiman yang terjadi dari berbagai satuan keluarga, dengan aktivitas
masing-masing anggota yang sangat berbeda-beda.
Aktivitas pokok dapat dibedakan menurut fungsinya, sebagai berikut :
(1) Anggota keluarga yang berkativitas minim yaitu yang berusia lanjut
(2) Anggota keluarga yang bertindak mengurus rumah tangga (ibu rumah
tangga)
(3) Anggota keluarga yang bekerja diluar.
(4) Anggota keluarga yang belajar di perguruan tinggi
(5) Anggota keluarga yang belajar pada pendidikan Menengah Atas.
(6) Anggota kelauarga yang belajar pada pendidikan dasar.
Dalam kehidupan sehari-hari kecuali aktivitas pokok tersebut,
diperlukan pula berbagai aktivitas penunjang yang tergolong pada kegiatan
sosial/politik. Bertolak dari pembagian aktivitas tersebut pada prinsipnya
dapat ditentukan besamya satuan pemukiman yang menjamin kemudahan
dalam memenuhi tuntuan melakukan aktivitas tersebut. Beberapa satuan
permukiman akan membentuk satuan kawasan permukiman yang lengkap.
Pengertian lengkap disini ialah dalam arti dapat memenuhi segenap
kebutuhan sekunder yaitu yang tidak lansung menyangkut fungsi primer.
Satuan kawasan permukiman akan terkait pada kawasan primer sebagai
lokasi kerja. permukiman akan terkait pada kawasan primer sebagai lokasi
kerja. Pola dan komposisi dari satuan permukiman dan satuan kawasan
permukiman akan terkait pada aspek kemudahan dan terutama dipengaruhi
oleh :
(a.) Komposisi dan tingkat pendapatan :
(b.)Komposisi rata-rata satuan keluarga
(c.) Jumlah dan tingkat kesempatan kerja
(d.) Teknologi informasi
(e.) Kepadatan jasa distribusi Pada kawasan primer
(f) Kebijaksanaan-kebijaksnaan yang berlaku
Dalam pada itu prinsip efisiensi akan mendorong terbentuknya satu
kawasan yang bersifat utama yaitu yang memiliki kelengkapan tertinggi bagi
pemenuhan kebutuhan warga kota yang bersangkutan dan beberapa satuan
kawasan permukiman yang memiliki kelengkapan lebih rendah bagi
pemenuhan kebutuhan warga kota. Dengan demikian dilihat dari kawasan
sekunder, satuan kawasan permukiman utama memiliki tingkat kemudahan
yang paling tinggi sedang satuan kawasan yang lain memiliki tingkat
kemudahan yang lebih rendah.
Struktur kawasan sekunder akan menunjukan satu satuan kawasan
permukiman utama dan beberapa satuan kawasan permukiman tidak utama.
Ciri- ciri pokok satuan kawasan permukiman utama adalah :
a. Memiliki kemudahan yang tinggi bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
b. Melayani kehidupan perkotaan dengan kepadatan pelayanan dan efisiensi
yang tinggi
c. Terhubungnya oleh jasa transportasi arteri langsung dengan kawasankawasan primer dan satuan—satuan kawasan permukiman yang ada dalam
subordinasinya.
Sedangkan ciri-ciri pokok satuan kawasan permukiman tidak utama
adalah :
a Memiliki kemudahan yang lebih rendah bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
b. Melayani kehidupan perkotaan dengan kepadatan pelayanan efisiensi
sedang atau rendah.
c. Masing-masing terhubung oleh jasa angkutan yang bersifat kolektor
d. Bersama-sama dengan satuan kawasan permukiman utama terhubungkan
oleh jasa angkutan arteri dengan kawasan primer.
3. Unsur-Unsur Ruang Utama
Kota pada dasamya meliputi dua bagian ruang yang memiliki fungsi
dan ciri yang berbeda yaitu kawasan primer yang menampung segala sesuatu
bagi berfungsinya kegiatan-kegaitan simpul jasa distribusi dan kawasan
sekunder yang menampung permukiman manusia sebagai akibat simpul jasa
distribusi dan kegiatan pendamping yang lain. Unsur-unsur ruang yang
membentuk
masing-
masing
kawasan
jelas
akan
berbeda
karena
peruntukannya juga berbeda. Kawasan primer lebih ditekankan pada
pelayanan simpul jasa distribusinya sedangkan kawasan sekunder lebih
ditekankan pada pelayanan manusia- manusianya . Selain dari itu terdapat
berbagai peruntukan ruang yang sifatnya khusus, dalam pengertian tidak
mendukung secara langsung kehidupan perkotaan tersebut. Dengan
demikian pada prinsipnya dalam wilayah perkotaan akan dapat terdiri dari
kawasan umum (baik primer maupun sekunder) dan kawasan khusus.
Kawasan primer pada prinsipnya akan memiliki unsur-unsur ruang yang
terikat pada kepentingan simpul jasa distribusi, seperti terminal-terminal
angkutan dan prasarana angkutan regionalnya, fasilitas-fasiltas perdagangan
dan fasilitas transportasi antara kawasan primer dan kawasan sekunder.
Selain fasilitas- fasilitas yang langsung mendukung kegiatan usaha,
diperlukan pula berbagi fasilitas yang mendukung lingkungan serta yang
diperlukan untuk melindungi/kelestarian lingkungan. Kawasan primer akan
memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukan bagi :
(a) Fasilitas simpul angkutan regional
(b) Prasarana jaringan angkutan regional pusat kegiatan perdagangan
regional
(c) Pusat kegiatan perdagangan regional
(d) Fasilitas pegudangan
(e) kegiatan usaha industri
(f) prasarana angkutan ke kawasan sekunder
(g) prasarana dan sarana pendukung lingkungan seperti: jaringan angkutan,
sanitasi, drainase, komunikasi dan jaringan penyediaan air bersih
(h) keperluan perlindungan lingkungan seperti daerah hijau, daerah aliran
sungai
Selain Unsur-unsur tersebut pada dasarnya kawasan primer dapat pula
memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukan bagi fasilitas pelayanan jasa
sosial/politik yang mempunyai jangkauan regional seperti Universitas,
kantor-kantor PEMDA, rumah sakit-rumah sakit (pusat. umum, khusus).
Kawasan Sekunder pada prinsipnya memiliki unsur-unsur yang terkait
pada keperluan penghunian dan segala pelayanan ikutannya dan akses ke
kawasan primer sebagai tempat kegiatan utama kota yang bersangkutan.
Dengan penjelasan unsur-unsur yang diperuntukan bagi
a. Fasilitas hunian
b. Fasilitas kegiatan usaha perdagangan yang bersifat lokal
c. Fasilitas pelayanan jasa sosial dan politik seperti pendidikan, kesehatan,
pemerintahan rekreasi, peribadatan, dan pemakaman umum.
d. Prasarana angkutan
e. Prasrana dan saran pendukung lingkungan seperti sanitasi, drainase,
jaringan penyediaan air bersih, dan komunikasi
f. Keperluan perlindungan lingkungan seperti daerah hujan , daerah aliran.
4. Bagian-Bagian Ruang Utama
Dalam hubungan dengan peruntukan ruang. masing-masing ruang pada
dasamya akan terdin dari tiga bagian menurut fungsinya yang terkait pada
tertib penggunaanya. Tata guna tanah disini ditunjukan pertama dalam
hubungannya
dengan
sifat-sifat
ruang
tertentu
yang
membatasi
penggunaanya dan kedua dalam hubungannya dengan pengawasanan dan
keamanan penggunaannya. Hal pertama akan menyertai masukan yang
penting dalam proses perencanaan tata ruang. Sedang hal kedua merupakan
landasan yang penting bagi pengendalian dalam proses penyelenggaraan
pembinaan Bagain-bagian yang dimaksud ialah
(a) Ruang manfaat, meliputi luas daerah tertentu dan tinggi (baik ke atas
maupun kebawah permukaan bumi, perairan) tertentu pula. Ruang ini
merupakan ruang yang dimanfaatkan maupun yang akan dimafaatkan bagi
pelayanan jasa dan ruang-ruang diluar ruang manfaat yang diperlukan untuk
menjamin fungsi ruang manfaat sesuai dengan peruntukannya, dalam siklus
pemilikan tertentu.
(b) Ruang pengawasan, meliputi daerah dengan luas tertentu dan tinggi
tertentu pula (baik ke atas maupun ke bawah permukaan bumi/perairan).
Ruang ini merupakan ruang yang penggunaanya dibatasi dan dimensi dalam
hubungannya dengan keperluan keamanan penggunaan ruang.
Akibat dari perkembangan masyarakat di kota-kota maka tekanan
perhatian orang kemudian bergeser kemasalah ruang. Mula-mula hal ini
sekedar menyangkut masalah sosial seperti kondisi perumahan dan
kepadatan penduduk. Tetapi kemudian diperluas ke konstelasi keruangan
dari seluruh kehidupan masyarakat setempat. Ini semua terjadi tanpa
lepasnya perhatian orang kepada kepincangan-kepincangan sosial
Semakin kehidupan sosial dan budaya maju dan peranan transportasi
penting, maka semakin dirasa perlunya suatu struktur keruangan yang jelas.
Suatu masyarakat yang menjadi makin rumit menuntut suatu “kawasan
kerungan”. Tugas dari tata kota tak lain adalah menciptakan wawasan
keruangan itu artinya ” Suatu tempat untuk semuanya, dan semuanya pada
tempatnya. Dengan demikian terciptalah suatu lingkungan yang diharapkan
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Perkembangan selanjutnya dari tata kota kemudian menyangkut hal
penting, yakni : terjalinnya ruang dengan kehidupan bersama makin jelas
akibat-akibatnya yang nampak pada perkembangan ekonomi dan sosial
suatu kota. Oleh karena itu munculah gagasan untuk perencanaan kota.
Program penataan tata ruang kota disusun berdasarkan konsep pemetaan
ruang yang berwawasan pembangunan, lingkungan dan manusia yang
mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mengadung arti
bahwa penyusunan rencana tata ruang kota. Karena identitas pembangunan
di
lokasi
proyek/pembangunan
yang
sedang
maupun
yang
akan
dilaksanakan. Rencana tata ruang tidak hanya memberikan petunjuk dalam
penerapan lokasi sebagai kegiatan alat pengendali pelaksana pembangunan
perkotaan.
B. Penggunaan Lahan Perkotaan
1. Jenis Penggunaan Lahan
Dalam kurun waktu kurang dari satu abad di Indonesia telah terjadi
petumbuhan penduduk yang sangat pesat. Makin meningkatnya jumlah
penduduk, makin meningkat pula kebutuhan akan lahan yang merupakan
tempat dimana manusia melakukan segala aktivitasnya. Pertumbuhan yang
pesat tersebut merupakan ancaman terhadap lingkungan hidup. Berubahnya
tatanan lingkungan akibat peningkatan kebutuhan lahan memang tak dapat
dihindarkan. Apapun bentuk dan ukurannya, pergeseran penggunaan lahan
yang tak terkendali mengikutsertakan efek sampingan, seperti hilanganya
habitat alami, produktivitas lahan pertanian, terjadinya pencemaran dan erosi
tanah serta punahnya beberapa spesies langka.
Lingkungan permukiman kumuh, padat dan kotor banyak dijumpai
disekitar pusat kota. Seperti dibantaran sungai dan wilayah sempadan rel
kereta api, kesemuanya ini mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah melaksanakan seperti program
perbaikan kampung, konsolidasi lahan dan program peremajaan kota (urban
renewell), yaitu antara lain dengan pembangunan rumah susun dan rumah
sewa serta fasilitas kota lainnya.
Perencanaan penggunaan lahan pada prinsipnya bertujuan untuk
menciptakan keserasian dan kesimbangan fungsi dan intensitas penggunaan
lahan dalam suatu wilayah tertentu. Perencanaan penggunaan lahan
merupakan bagian dari perencanaan kota secara menyeluruh. Pada dasarnya
kerangka dasar perencanaan penggunaan lahan meliputi tiga elemen utama
yang saling berinteraksi, yaitu: aktivitas, manusia, lokasi. Manusia
mempunyai beberapa kriteria untuk memilih lokasi dimana mereka tinggal,
seperti dekat dengan tempat kerja, sekolah atau kriteria kenyamanan
lingkungan. Aktivitas perdagangan atau industri juga mempunyai preferensi
lokasi tertentu, seperti dekat dengan pasar, bahan baku atau jalan utama.
Pola penggunaan lahan dapat diatur dengan mekanisme peruntukan (zoning)
atau pengendalian penggunan lahan.
Dengan berkembangnya awal perkotaan ke arah luar maka variabel
lokasi menjadi sedemikian penting sehingga sewa tempat-tempat yang
mempunyai aksebilitas yang tinggi akan membumbung pula. Akibatnya
pada lahan-lahan perkotaan akan terjadi persaingan ketat untuk mendapatkan
lokasi-lokasi seperti itu. Disini nampak bahwa penggunaan lahan yang
mampu menawar paling tinggilah yang mendapat tempat yang dinginkan,.
Selanjutnya terminologi kedekatan “nearness”. Pola persebaran penggunaan
lahan yang efisien akan tercipta dengan sendirinya karena ada persaingan
berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi-lokasi yang diinginkan dengan
menawan
(bidding)
pada
tingkatan
sewa
yang
bermacam-macam.
Penawaran tersebut diperhitungkan dengan cara menimbang kebutuhan akan
sentralitas tersebut terhadap kemampuan membayar sewa yang lebih tinggi
dan kenyataannya bahwa biaya-baiya transport yang meningkat dapat
diadakan dengan mengeser jarak lokasi dari pusat kota
Dari sinilah kemudian tercipta pola penggunaan lahan perkotaan yang
tertata secara keraungan sedemikian rupa yang menunjukan derajat efisiensi
fungsi-fungsi ekonomi pada kehidupan kota. Dapat dikatakan bahwa struktur
suatu
kota
ditentukan
melalui
evaluasi
dolar
tentang pentingnya
“convenience” (dalam arti luas) dan gambaran struktur keruangannya mirip
apa yang telah dikemukakan oleh Bergess (Conceniric Zone Theory). Disini
variabel jarak dianggap sebagai ukuran convenience diatas. Model yang
dihasilkan adalah “concentric zonal model” yang terdiri dari berturut turut
dari pusat kota adalah :1) retailing functions, 2) industrial and
iransportation facilities:3) residental zone dan 4) agricultural zone. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 10. Model “Bid-Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota
Dalam Gambar tersebut diatas ditunjukan bahwa “retailing functions”
(zona 1) mempunyai lokasi pada pusat kota karena kelangsungan usaha ini
membutuhkan
derajat
aksebilitas
paling besar
agar
mendatangkan
keuntungan meksimal. Derajat aksebilitas yang tinggi mi dimaksud untuk
menarik “customers”. Semakin tinggi derajat aksebilitas, semakin tinggi
pula frekuensi beli karena semakin banyak “custumer” dan dengan
sendirinya semakin besar keuntungan yang diperolehnya. Inilah alasannya
mengapa fungsi-fungsi “retailing” mau membayar sewa lahan yang tinggi
pada zone ini. Kegiatan “retailing” ini masih dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu “High-guick retailing” yang pertama adalah kegiatan toko-toko yang
menjual barang-barang yang mempunyai frekuensi lebih tinggi, perputaran
yang cepat seperti misalnya toko-toko pakaian dan sejenisnya, sedangkan
tipe yang kedua ditempati oleh toko- toko yang menjual barang dengan
frekuensi beli rendah dan perputaran barang yang agak lama seperti
perhiasan-perhiasan berkualitas tinggi (misalnya emas, intan, berlian dan
sebagainya). Tipe pertama jelas akan memilih lokasi yang derajat
aksebilitasnya tinggi , dibanding yang kedua dan mampu membayar sewa
lahan yang lebih tinggi, dibanding dengan yang kedua dan mampu
membayar sewa lahan yang lebih tinggi. Lahan pada daerah pusat kota pada
umumnya diusahakan sangat intensif dan banyak bangunan bertingkat. Pada
zona-zona banyak ditempati oleh zone industri dan perdagangan.
Sebenarnya fungsi-fungsi ini membutuhkan lokasi sentral, namun kalah
dengan fungsi-fungsi “retailing” maka penempatannya tergeser sedikit dari
pusat
kota.
Kegiatan-kegiatan
di
zona
ini
antara
lain
“ware
hause“(perdagangan), kantor-kantor yang kenyataannya memang tidak
memerlukan sekali akseblitas paling tinggi. Pada daerah ini pun, derajat
aksebilitasnya juga cukup tinggi sehingga merupakan lokasi yang optimal
bagi fungsi-fungsi sejenisnya. Fungsi-fungsi seperti kantor, jasa-jasa
keuangan (bank) dan jasa-jasa lain memang membutuhkan “face to face
contact” dalam melaksanakan kegiatannya dan juga untuk memelihara
penampilan/prestise. Disinipun terdapat dua macam jenis kegiatan, yaitu
“prime office centres” yang terletak pada bagian yang lebih dekat dengan
pusat kota dan “non prime office cenires” yang terletak pada bagian luarnya.
Sewa untuk sait-sait yang prima sangat tinggi sehingga kamor-kantor
perushaan utama/besar akan menempati lokasi lokasi seperti zone 3:
ditempati oleh daerah permukiman dan menempati areal yang luas di daerah
perkotaan Ada daerah ini terdapat gejala pertukaran (trade-offs) dalam artian
ekonomi antara “lands cost” dengan ”density”.
Pada bagian-bagian zona ini yang lebih dekat dengan pusat kota
mempunyai lahan kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
lebih jauh dari pusat kota. Hal ini dimungkinkan timbul karena kebanyakan
mereka menginginkan biaya transport yang murah (derajat aksebilitas lebih
tinggi). Pada bagian yang lebih jauh dari pusat kota sampai ke pinggiran
kota, nilai lahanya lebih rendah (derajat aksebilitasnya rendah), mempunyai
kepadatan yang lebih rendah, namun biaya transportnya mahal.
Dalam upaya merencanakan penggunaan lahan kota secara ekologis
dipakai tiga prinsip, yaitu :
(1) Concentric Zone Theory (Burgess)
Model ini menunjukan bahwa masing-masing zone mewujudkan suatu
natural area khusus yang letaknya melingkari yang lain dari dalam atau dari
luar. Di zona 1 (Central Bussines Distrcik) hanya tanah yang tertinggi dan
disitu terpusat kegiatan perdagangan dan keuangan. Zone II (zone transition)
merupakan hasil ekspansi dari zone 1. secara ekologis zone ini mewadahi
proses invension dan succession belum selesai. Dalam zone 11 selalu terjadi
spekluasi pembelian tanah karena dapat kemudian dijual lagi untuk
kepentingan perdagangan atau industri. Di situ tersebar pula toko-toko
murah dan rumah-rumah murah. Zone III (Zone Of the Workmen’s Homes)
biasanya padat penduduknya, mereka termasuk buruh rendahan. Kondisi
zone ini merupakan peralihan dari slum ke zone IV. Pada zone IV
(Residential Zone) terdapat rumah-rumah gedung bagus bagi kaum kelas
menengah. Shopping centres banyak dan bright light area menyajikan
tempat hiburan dan rekreasi menank. Zone V (comuters zone) berdiam
orang-orang kaya yang melaju (pekerjaanya di kota) dengan kendaraan
sendiri. Ini semua suasana tahun 1920-1930 yang sekarang tentunya sudah
mengalami banyak perubahan.
(2) Sector Zone Theory (Homer Hoyt)
Model ini merupakan pola kota yang meluas ke jurusan tertentu dan
sesudahnya oleh aneka kekuatan sosial atau planning memiliki bagianbagiannya yang coraknya khusus, misalnya sektor pertokoan, industri,
rumah tempat tinggal, sektor hiburan dan olah raga, sehingga semuanya
memberi kesan serba menyenangkan.
(3) Multiple Nuclei Theory (Harris-Ullman)
Model ini menjelaskan ada bagian-bagian kota dengan fungsi tertentu
yang ditetapkan dengan dasar-dasar tertentu pula. Terjadilah daerah
pertokoan, tempat tinggal, pabrik, bank, dan sebagainya sesuai dengan
kegiatan ekonominya. Ketiga model tersebut dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 11. Tiga Model Ekologi Kota
2. Nilai dan Harga Tanah
Teori nilai lahan menjelaskan bahwa nilai lahan dan penggunaan lahan
mempunyai kaitan yang sangat erat. Seperti diketahui apabila masalah nilai
lahan ini dikaitkan dengan pertanian misalnya, maka variasi nilai lahan ini
banyak tergantung kepada kesuburan, faktor lingkungan, keadaan drainase,
dan lokasi dimana lahan tersebut berada. Hal terakhir ini banyak berkaitan
dengan masalah aksebilitas. Lahan-lahan yang subur pada umumnya
memberikan output yang lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak
subur dan akibat-akibatnya akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta
harganya lebih tinggi pula. Walaupun demikian adapula nilai-nilai lahan
yang tidak ditentukan oleh kesuburan seperti contoh diatas, tetapi lebih
banyak ditentukan oleh lokasi. Dalam hal ini untuk lokasi tertentu
mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain.
Derajat aksebilitaslah yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan ini.
Semakin tinggi aksebilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya
dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang dan
jasa. Derajat keterjangkauan (aksebilita) ini berkaitan dengan : “Potential
shoppers” yang banyak dan kemudahan untuk datang/pergi ke/dari lokasi
atau pasar. Kompetisi untuk memperoleh lokasi dengan aksebilitas tinggi
sangat ketat dan lokasi ini sangat menentukan nilai lahan yang tinggi dan
harga lahan yang tinggi. Nilai lahan atau “land value” adalah suatu penilaian
atas lahan didasarkan pada kenampakan lahan secara ekonomis dalam
hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Harga lahan
adalah penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam
satuan uang untuk satuan luas pada pasarana lahan (Darin Drabkin, 1977)
dalam teori nilai lahan (Hadi Sobari Yunus, 1999: 89). Nilai lahan dapat
diukur secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran langsung
dikaitkan dengan kesuburan dan faktor-faktor lingkungan tertentu untuk
maksud sebagai lokasi pertanian (arti luas) dan nilai produktivitasnya secara
langsung dapat diukur. Pengukuran tidak langsung dikaitkan dengan
kemampuan ekonomi/produktivitasnya, dari sepi segi letaknya penemapatan
fungsi-fungsi.
Dengan demikian nila lahan dapat bemilai rendah bila kesuburannya
rendah tetapi dapat pula menjadi tinggi apabila letaknya strategis untuk
maksud-maksud ekonomi non-pertanian. Apabila dua-duanya menunjukan
nilai tinggi maka sudah jelas bahwa nilainya akan tinggi pula, namun apabila
salah satu diantaranya rendah maka nilai lahannya dapat rendah atau
mungkin pula dapat tinggi. Dengan demikian nyatalah bahwa perbedan nilai
lahan akan sangat bervariasi sekali. Oleh karena untuk studi kota, orentasi
penggunaan lahannya adalah non-pertanian maka penilaian atas lahan
semata-mata dilakukan secara tidak langsung yakni produktivitas lahan yang
ditimbulkan oleh keberadaan lokasi. Atas dasar inilah struktur penggunaan
lahan kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar
lahan tersebut. Memang faktor social dan politik juga berperan besar, namun
kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasi dan tidak dapat
diabaikan begitu saja dalam setiap analisa penggunaan lahan di dalam dan di
sekitar kota. Penggunaan lahan dikatakan telah direncanakan dengan baik
apabila memenuhi kelengkapan sebagai berikut :
a. Lahan itu akomodatif terhadap proyek-proyek prioritas pembangunan.
Proyek pembangunan yang di prioritaskan itu adalah pembangunan
yang tentunya akan mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
b. Lahan itu digunakan sesuai dengan nilai ekonominya, lahan yang tinggi
harganya jangan digunakan untuk penghasil pertanian yang bernilai
rendah.
c. Lahan yang digunakan dengan tidak boros.
d. Lahan yang digunakan dengan selalu mengingat dan sesuai dengan sifat
fisiknya.
e. Lahan itu digunakan sesuai dengan hukum yang berlaku
Upaya mewujudkan pembangunan perkotaan yang berwawasan sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup memerlukan pertahanan yang handal. Hal
ini sejalan dengan pembangunan perkotaan yang cenderung semakin luas
sebagai konsekuensi dari meningkatnya kegiatan Ekonomi pertumbuhan
penduduk serta sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitamya.
Dengan demikian arah manajemen pertanahan harus selaras dengan
pembangunan perkotaan.
Penanganan pertanahan perkotaan dalam suatu sistem manajemen
pertanahan memerlukan informasi pertanahan yang mutakhir, akurat dan
sejalan dengan dinamika pembangunan perkotaan yang semakin tinggi.
Informasi ini dikumpulkan, diolah, disimpan, dan disajikan dalam suatu
Sistem Informasi Geografi (SIG ) melalui perangkat komputerisasi.
Keunggulan sistem ini kecuali unsur kecepatan dalam pengolahan dan
penyajian juga mempunyai efisiensi yang tinggi dalam hal mengantisipasi
penyediaan ruang di perkotaan yang semakin mahal dan cenderung
menjadi langka
Melalui KEPPRES nomor 26 tahun 1988 tentang pembentukan Badan
Pertanahan Nasional, maka pemanfaatan Sistem Informasi Geografi untuk
mendukung kebijaksanaan pertanahan nasional baik perkotaan maupun
perdesaan menjadi lebih intensif. Hal ini diawali pada tahun 1991 melalui
proyek LUPAM, L REP — II, SIG Matra Darat dan INEV yang
penekanannya pada peningkatan institusi. Sementara itu sejak tahu 1996,
Badan Pertanahan Nasional mempunyai proyek LAP dan LOC yang
berkaitan dengan pendaftaran tanah dan layanan administrasi pertanahan.
Untuk mewujudkan suatu sistem informasi geografi sebagai bagian dari
sistem manajemen pertanahan, maka diperlukan suatu sistem yang
bakuatau standar baik dalam struktur basis data, model analisa, bentuk
leuaran, dan cara-cara layanan baik untuk kepentingan Badan Pertanahan
Nasional
maupun berbagai pihak memerlukan informasi keruangan
tentang tanah. Sampai saat ini, Pembakuan itu dirancang dalam satu sistem
yang dikenal dengan data pokok penatagunaan tanah Indonesia / ILUD
(International Land Use Data Bank) yang operasionalnya melalui proses
otomatisasi. Sistem ini adalah sisstem yang fleksibel dan diusahakan selalu
akomodatif terhadap perkembangan teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Kebijaksanaan pertanahan menekankan pada pengaturan penguasaan
dan penatagunaan tanah yang mengacu kepada undang-undang pokok
agrarian (UU nomor 5/1960) dan perundangan lainnya yang menyangkut
pemanfaatan tanah seperti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup ( UU nomor 4 tahun 1982 ). Undang-Undang penataan ruang ( UU
nomor 24 tahun 1992 ) dan |ainnya. Fokus pengaturan penguasaan tanah
dan penatagunaan tanah adalah mengatur pemanfaatan tanah yang mampu
memberikan manfaat ekonomi secara optimal, tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan serasi dengan lingkungan
sekitarnya. Dalam pembangunan perkotaan, GBHN 1993 mengarahkan
bahwa “Pembangunan perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan
secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum
tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman,
lingkungan usaha, dan lingkungan kerja serta kegiatan ekonomi dan
kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan perkotaan yang
efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman dan nyaman.
Perhatian khusus perlu diberikan pada peningkatan sarana dan
prasarana umum yang layak. Keserasian hubungan masyarakat
perkotaan dan perdesaan serta antara masyarakat kota terus
diupayakan agar terwujud keserasian kehidupan masyarakat dalam
segala aspek kehidupan”.
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan seperti yang
diarahkan oleh GBHN tersebut, maka kebijaksanaan tanah perkotaan
sekarang dan di waktu yang akan datang harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kaitan Dengan Penataan Ruang
Guna mewujudkan penataan ruang perkotaan sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang- undang Nomor 24 tahun 1992, maka
perencanaan
tata
ruang
perkotaan
harus
memperhatikan
struktur
penggunaan lahan /tanah serta aspek penguasaan/pemilikan lahan/tanah
yang ada. Struktur penggunaan lahan perkotaan sangat berbeda dengan
struktur penggunaan lahan perdesaan. Secara fisik, Struktur lahan
perkotaan didominasi oleh penggunaan lahan non -pertanian seperti
perumahan, perkantoran, industri dan jasa lainnya.
Dalam penggunaan tanah perkotaan, dimensi letak (lokasi ) menjadi
lebih bernilai dibandingkan dengan sifat fisiknya. Penggunaan lahan
cenderung mempunyai dimensi vertikal sebagai akibat dari kelangkaan
“space“/ruang dan strukturnya sangat dipengaruhi oleh utilitas yang
tersedia.
Sedangkan
penguasaan
tanah
perkotaan
secara
umum
menunjukkan luas kapling yang relative kecil-kecil yang dimiliki oleh
perorangan dan cenderung menjadi kumuh. Kurangnya perhatian terhadap
aspek penggunaan tanah dan aspek penguasaan tanah menimbulkan
masalah yang tidak kecil dalam aplikasi rencana tata ruang perkotaan.
Kadang-kadang rencana terpaksa direvisi karena ketidaksesuaian antara
rencana dan kondisi lapangan yang sangat cepat berubah serta estimasi
biaya perolehan tanah yang tidak akurat adalah beberapa contoh dari
pentingnya informasi penggunaan tanah dan penguasaan tanah.
Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek
lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka
hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi hidro-ologis,
nilai
estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi
penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi
kegiatan masyarakat kota untuk acara keluarga, bersantai, olahraga ringan,
dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka
hendaknya
semua
pihak
yang
terkait
harus
mempertahankan
keberadaannya dari keinginan untuk merubahnya.
Pengertian ruang terbuka hijau perlu dibakukan untuk menghindari
salah tafsir yang bentuk penggunaan tanahnya dapat berupa taman, hutan
kota, bahkan tanah pertanian. PAKTO 93 yang dijabarkan lebih lanjut
melalui surat edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 4101851 dan 460-3346 tahun 1994 menyatakan larangan konversi sawah
irigasi teknis menjadi non sawah. Dalam hal ini, sepanjang rencana tata
ruang menyatakan suatu wilayah menjadi ruang terbuka hijau, dan sudah
terlanjur menjadi bangunan maka Badan Pertanahan Nasional tidak akan
memperpanjang Hak Guna Bangunan yang ada. Namun di sisi lain,
kebijaksanaan pertanahan juga perlu memperhatikan kepentingan pemilik
tanah sawah. Suatu pemikiran keringanan pajak bumi dan bangunan
ataupun insentif lainnya merupakan kebijakan yang mendorong pemilik
tanah tidak tergoda oleh kenaikan harga tanahnya.
2. Pembatasan Luas Penguasaan/Pemilikan Tanah Perkotaan
Dengan meningkatnya kebutuhan tanah permukiman perkotaan, ada
gejala penguasaan/pemilikan tanah secara berlebihan oleh golongan
mampu baik perorangan maupun badan hukum. Usaha pencegahan
penguasaan/pemilikan tanah di perkotaan melalui mekanisme sebagaimana
yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
59/DDA/1970, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan efektif. Hal
ini sangat berkaitan dengan sistem pendataan kependudukan yang masih
dalam taraf pembakuan secara nasional, disamping itu bagi perusahaan
belum diatur keputusan tersebut. Sehubungan dengan itu, pemerintah
sedang mengambil langkah-langkah untuk mengatur batasan maksimum
penguasaan dan pemilikan tanah.
Salah satu onstrument pengendalian penguasaan tanah adalah izin
lokasi. Mekanisme izin lokasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 20 tahun 1994 mempunyai tiga
makna utama yaitu izin untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata
ruang, memperoleh tanah dan mengalihkan hak atas tanah. Untuk memberi
gambaran, Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan ijin lokasi
perumahan baik sebelum dan sesudah PAKTO 93 seluas 121.629 hektar.
Dengan menggunakan pola 1 : 3 : 6 dengan laju pertumbuhan penduduk
tetap, maka ijin lokasi yang diterbitkan mampu menyediakan tanah
perumahan sampai tahun 2018 (akhir PJP —II). Untuk sementara ini,
Badan Pertanahan Nasional tidak akan mengeluarkan ijin baru diluar ijin
lokasi yang sudah ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat
Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 410 — 2784 tanggal 3 Oktober 1996 tentang penerbitan ijin lokasi
perumahan / permukiman di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Dalam rangka antisipasi globalisasi ekonomi, maka kebijaksanaan
pertanahan di Indonesia. Kebijaksanaan ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah nomor 41 tahun 1996 dan dijabarkan lebih lanjut melalui
Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 7 tahun 1996 dan nomor $ tahun 1996. Kebijaksanaan ini perlu
didukung oleh instansi terkait untuk menghindari adanya maksud-maksud
lain yang bertentangan dan mendorong keunggulan bersaing dalam bidang
investasi modal asing.
2. Spekulasi Tanah dan Harga Tanah
Kelangkaan tanah sebagai akibat dari permintaan tanah yang meningkat
jauh lebih besar dari tanah yang dapat disediakan, mendorong kenaikan
harga tamah menjadi tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan pesatnya
pertumbuhan permukiman di pinggiran kota yang harga tanahnya relatif
lebih murah dibandingkan di kota. Kondisi ini menimbulkan dampak sosial
yang tidak sedikit sehubungan dengan pendatang dan masyarakat local,
kekurangan utilitas dan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang
cenderung terus bertambah. Di sisi lain, kelangkaan tanah ini mendorong
spekulan tanah untuk menguasai tanah-tanah di pinggiran kota. Ulah
spekulan ini sangat mengganggu kelancaran alokasi pembangunan yang
memerlukan tanah dan akhimya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high
cost initial investment). Komponen tanah merupakan salah satu faktor
penting dalam struktur biaya investasi.
Untuk mengendalikan ulah spekulan dan harga tanah ini dapat melalui
perangkat perundang-undangan. Pada saat ini, Badan Pertanahan Nasional
sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tanah
terlantar yang dalam tahap akhir pembahasan. Pengendalian juga
memerlukan pembakuan harga dasar tanah yang berlaku bagi semua pihak,
pembentukan bank tanah, pemasyarakatan rencana tata ruang dan
penyempurnaan instrument perpajakan.
3. Konsolidasi Tanah
Tanah sebagai sumber daya alam baik secara material ( kuantitas ) dan
secara luasan (lahan) tidak tak terbatas baik dimanfaatkan secara horizontal
maupun vertikal. Sedangkan dilain pihak jumlah penduduk di suatu
wilayah atau kawasan dari waktu ke waktu jumlahnya meningkat terus dan
dalam kurun waktu 20 tahunan rata-rata akan menjadi dua kali lipat.
Adanya pertambahan ini jelas akan mempengaruhi pemanfaatan ruang
dan penatagunaan tanahnya di suatu kawasan. Tanah secara material akan
dapat digunakan sebagai bahan galian C untuk penimbunan bagi berbagai
kegiatan pembangunan yang dapat berdampak terhadap perubahan bentang
alam (natural landscape). Sedangkan dalam bentuk luasan (secara
horizontal) dapat dimanfaatkan bagi penggunaan tanah dan pemanfaatan
ruang yang berbeda-beda. Namun bila tidak dikendalikan akan terjadi
konversi penggunaan tanah yang merugikan keberlanjutan pembangunan
dan dapat mengancam kualitas lingkungan hidup.
Penggunaan tanah secara horizontal dapat dioptimalisasikan secara
vertikal dalam rangka pemnafaatan ruangnya. Adanya penataan ruang
untuk tanah disebabkan adanya kebutuhan penduduk untuk melakukan
intensitas kegiatan pembangunan yang meningkat terus. Untuk itu maka
upaya konsolidasi tanah sangat strategis untuk dilakukan agar penggunaan
tanah tidak statis tetapi dapat dikembangkan secara dinamis, namun
keseimbangan dan keserasian tetap dapat dijaga.
Konsolidasi tanah yaitu penataan kembali penguasaan dan penggunaan
tanah yang melibatkan partisipasi aktif para pemilik tanah. Konsep
Konsolidasi Tanah menurut peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 4 tahun 1991, sasaran pengaturannya adalah pada bidang-bidang
tanah yang ditata kembali ,mengenai bentuk, luas, dan letaknya sehingga
nilai tanah meningkat. Sedangkan menurut Aca Sugandhy konsolidasi
tanah adalah upaya untuk membentuk kembali kedudukan, penggunaan
dan kepemilikan bidang tanah oleh pemilik lahan. Pengoptimalan
penggunaan lahan di dalam area khusus dilakukan dengan tujuan untuk
menyelarakan dengan rencana kota melalui penetapan bidang lahan yang
direncanakan (Kasiba = Kawasan Siap bangun) dan dilengkapi dengan
yang telah tersedia untuk penggunaan bagi public (Lisiba = Lingkungan
Siap Bangun). Ini termasuk pembagian kembali dari bidang lahan bersama
dengan cara penghitungan jarak dan luas. Upaya ini merupakan salah satu
tindakan untuk memajukan pembangunan perkotaan.
Adapun dasar hukum konsolidasi tanah adalah:
1) UUD RI Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 menekankan bahwa bumi, air,
angkasa dan kekayaan alam didalmnya dikuasai oleh Negara untuk
kemakmuran rakyat. Karena itu kebijaksanaan nasional di bidang
pertanahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan kebijaksanaan
sumberdaya alam nasional lainnya, termasuk antara lain tata guna air, dan
pemanfaatan ruang secara optimal untuk di wilayah daratan. Kebijaksanaan
tersebut pada dasamya mengatur dua hal yang penting mengenai
Sumberdaya alam tanah yaitu penguasaan Negara atas sumber daya
nasional (namun tanpa melanggar hak atas tanah yang dimiliki masyarakat
termasuk dunia usaha dan badan hukum ) dan tujuan yang hendak dicapai
dalam mengelola sumber daya alam untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran bagi rakyat Indonesia
2) Undang Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
khususnya tentang pengaturan penggunaan tanah dan hak-hak atas tanah
menetapkan beberapa pokok yang terkandung meliputi : (a) hak menguasai
oleh Negara, (b) hukum tanah nasional adalah berdasarkan hukum adapt,
(c) fungsi sosial hak atas tanah, (d) larangan kepemilikan yang melampaui
batas yang diperkenankan, serta (e) penggunaan tanah harus sesuai dengan
peruntukkan yang ditetapkan.
3) Undang Undang nomor 4 tahun1992 tentang Perumahan Permukiman
khususnya pengertian konsolidasi tanah dalam ketentuan umum dan pasal
menyebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan mahan dan
permukiman diselenggarakan dengan :
a. Penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara:
b. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah:
c. Pelepasan hak tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara penggunaan tanah
yang langsung dikuasai oleh Negara dan tata cara konsolidasi tanah oleh
pemilik tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4) Undang Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
khususnya
mengenai
optimalisasi
pemanfaatan
sumberdaya
alam
khususnya pasal 16 menetapkan pola pengelolaan tata guna tanah, tata
guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.dalam
pemanfaatannya disesuaikan dengan azas penataan Tuang. Azas tersebut
meliputi tercapainya semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta proses
keterbukaan, persamaan, perlindungan hukum. terselenggaranya keadilan,
dan
5) Undang Undang nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun khususnya
pasal 3 ayat 1 huruf b mengenai meningkatkan daya guna dan hasil guna
tanah di kawasan perkotaan sesuai dengan tata ruang kota demi keserasian
dan keseimbangan, menekankan perlunya upaya peremajaan kota antara
lain melalui konsolidasi tanah.
6) Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun (Kasiba ) dan Lingkungan Siap Bangun ( Lisiba ) yang berdiri
sendiri, khususnya mengenai pengertian konsolidasi tanah pemukiman dan
pasal 18 mengenai penyelesaian perolehan hak atas tanah yang dikuasai
oleh perseorangan atau Badan hukum dilakukan oleh badan pengelola atau
penyelenggara dengan penyelesaian atas pemegang hak atas tanah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui konsolidasi
tanah. Pasal 19 serta pasal 20 secara spesifik mengatur peserta konsolidasi
tanah dan penataan kembali penguasaan, penggunaan kepemilikan tanah
esuai dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan.
Pengertian
konsolidasi
tanah
adalah
upaya
penataan
kembali
penguasaan penggunaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik
melalui usaha bersama untuk membangun kawasan siap bangun (KASIBA)
dan lingkungan Siap bangun ( LISIBA ) dalam wujud penyediaan kapling
tanah matang sesuai dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang
ditetapkan oleh Kepala daerah ( Ketentuan umum butir 11 undang no 4
tahun 1992).
Maksud konsolidasi tanah adalah untuk optimalisasi penggunaan tanah
di suatu kawasan sesuai rencana tata ruang yang ditetapkan.
Tujuan konsolidasi tanah adalah untuk mengatur penyediaan tanah dan
pemilikan tanah dalam rangka penatagunaan tanah sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan.
Pengaruh konsolidasi tanah di perkotaan terhadap nilai tanah yaitu : (1)
dapat berpengaruh terhadap bentuk-bentuk hak atas tanah dan penggunaan
tanah serta pengelolaan tanah juga nilai tanah dalam rangka pemanfaatan
ruang secara optimal. Akibat konsolidasi tanah jelas akan meningkatkan
nilai tanah baik secara social, ekonomi, ekologis, dan politis yang berkaitan
dengan bentuk-bentuk perubahan penggunaan tanah serta adanya dukungan
infrastruktur disamping factor strategis dan sudut letak atau lokasi suatu
kawasan yang ditata melalui konsolidasi tanah. Upaya konsolidasi tanah di
perdesaan, di pinggiran kota atau di pusat kota dalam rangka peremajaan
kota atau perbaikan kawasan kumuh akan memberikan perubahan nilai
tanah yang la-beda, (2) Bila nilai-nilai bentang alam dan atau bentang
buatan manusia
yang berkaitan dengan lahan dan tanah tidak
diperhitungkan secara hati-hati dalam melakukan pembangunan perkotaan
maupun perdesaan, maka akan bisa menjadi ancaman bencana lingkungan.
Rusaknya bentang alam akan menyebabkan bencana banjir, longsor,
perubahan iklim disamping hilangnya karakteristik dan bentang alam dan
suatu kawasan atau wilayah. Sedangkan tidak tertatanya dengan baik
bentang buatan manusia maka disamping juga dapat memperburuk mutu
lingkungan alam seperti pencemaran udara, hujan asam, juga dapat
meningkatkan kenaikan kejahatan baik karena kecemburuan social,
ekonomi, maupun tingkat kejahatan yang diakibatkan oleh desain
lingkungan yang kurang aman. Perubahan yang sangat cepat dalam
penggunaan tanah dan lahan terutama di kawasan perkotaan akibat
pertumbuhan penduduk dan pembangunan akan lebih meningkatkan
perlunya teknik dan prosedur perencanaan penggunaan tanah yang
memperhatikan perubahan bentang alam dan penciptaan bentang buatan
manusia Secara serasi, selaras, dan seimbang. Untuk itu maka pendekatan
total landscape secara makro dan holistic diperlukan dan pendekatan
parametric serta karakteristik-karakteristik dan suatu bentang alam maupun
bentang buatan manusia juga perubahan-perubahannya. Pengkajian dan
perubahan-perubahan nilai-nilai dan bentang harus diperhitungkan secara
benar, dan (3) Untuk kawasan perkotaan yang telah padat penduduknya
dan intensitas bangunannya yang dimanfaatkan secara horizontal sudah
mendekati daya dukung kepadatan penduduk lebih besar atau sama dengan
150 jiwa per hektar maka konsolidasi tanah untuk penggunaan tanah dan
pemanfaatan ruang secara vertikal akan memberikan nilai tanah yang
berkali lipat khususnya nilai ekonomis (harga tanah ) tergantung kepada
lokasi, jenis kegiatan, dukungan infrastruktur serta terbangunnya luas
lantai yang direncanakan sesuai rencana tata ruang kawasan yang
ditetapkan.
>> Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ruang dan Tata Ruang !
2. Jelaskan tentang Klasifikasi Ruang kota !
3. Jelaskan tentang tiga model Ekologi Kota !
4. Apa dampak dari pembangunan terhadap Nilai dan Harga Tanah ?
5. Apa yang dimaksud dengan Konsolidasi Tanah dan apa dasar
hukumnya ?
» Ringkasan
Ruang mengandung pengertian batasan fisik wilayah dalam dimensi spatial
(keruangan), meliputi permukaan, di bawah dan di atas permukaan bumi yang
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sedangkan Tata
Ruang adalah gambaran struktur penggunaan ruang dari suatu wilayah yang
mengandung kriteria pilihan sasaran dan kriteria batasannya bagi setiap usaha
pengembangan yang menyangkut pembinaan dengan dimensi spatial.
Pada dasarnya sistem tata ruang kota menunjukkan fungsi primer dan
fungsi sekunder bagi sebuah kota dan klasifikasi ruang kota terdiri dari
kawasan primer dan kawasan sekunder.
Kawasan Primer memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukkan bagi : (1)
fasilitas simpul angkutan regional, (2) prasarana jaringan angkutan regional, (3)
pusat kegiatan perdagangan regional, (4) fasilitas pergudangan, (5) kegiatan
usaha industri, (6) prasarana angkutan ke kawasan sekunder, (7) prasarana dan
sarana pendukung lainnya, dan (8) keperluan perlindungan lingkungan seperti :
daerah hijau, daerah aliran sungai.
Kawasan Sekunder memiliki unsur-unsur ruang yang diperuntukkan bagi
(a) fasilitas hunian, (b) fasilitas kegiatan usaha perdagangant local, (c) fasilitas
pelayanan jasa sosial dan politik, (d) prasarana angkutan, (e) prasarana dan
sarana pendukung lingkungan, dan (f)keperluan perlindungan lingkungan.
Adapun bagian-bagian ruang mencakup ruang manfaat dan ruang
pengawasan. Ruang manfaat merupakan ruang yang dimanfaatkan maupun
yang akan dimanfaatkan bagi pelayanan jasa dan ruang-ruang di luar ruang
manfaat yang diperlukan untuk menjamin fungsi ruang manfaat sesuai dengan
peruntukkannya. Sedangkan Ruang Pengawasan merupakan ruang yang
penggunaannya dibatasi dan dimensi dala hubungannya dengan keperluan
keamanan penggunaan ruang.
Sesuai dengan GBHN maka kebijaksanaan tanah perkotaan untuk sekarang
dan waktu yang akan dating harus memperhatikan : (1) kaitan dengan penataan
ruang, (2) pembatasan luas penguasaan / pemilikan tanah perkotaan, (3)
spekulasi tanah dan harga tanah, dan (4) Konsolidasi tanah
Pengertian konsolidasi tanah adalah upaya penataan kembali penguasaan,
penggunaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik melalui usaha
bersama untuk membangun kawasan siap bangun ( KASIBA ) dan lingkungan
siap bangun ( LISIBA ) dalam wujud penyediaan kapling tanah matang sesuai
dengan rencana teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan oleh Kepala daerah
( Ketentuan umum butir 11 Undang-undang no 4 tahun 1992).
Maksud konsolidasi tanah adalah untuk optimalisasi penggunaan tanah di
suatu kawasan sesuai rencana tata ruang yang ditetapkan. Tujuan konsolidasi
tanah adalah untuk mengatur penyediaan tanah dan pemilikan tanah dalam
rangka penatagunaan tanah sesuai dengan rencana tata tuang yang telah
ditetapkan.
BAB V. RUANG PUBLIK DAN FASILITAS KOTA
A. Ruang Publik
1.Pengertian
Untuk mengetahui pemahaman tentang ruang terbuka publik antara lain
sebagai civic centre, kita tidak terlepas dari pengertian mengenai civic space.
Civic Space menurut Frederick Gibberd dalam bukunya yang berjudul Civic
Space adalah merupakan suatu pengertian yang tidak dapat dipisahkan, yang
artinya ruang terbuka sebagai wadah yang dapat digunakan untuk aktivitas
penduduk sehari-hari. Jadi pengertian ruang terbuka publik sebagai civic
centre adalah suatu ruang luar yang terjadi dengan membatasi alam dan
komponen-komponennya (bangunan) menggunakan elemen keras seperti
pedestrian, jalan, plaza, pagar beton, dan sebagainya; maupun elemen lunak
seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam landscape dan
merupakan wadah aktivitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan
kota. Budaya atau tradisi adalah merupakan keseluruhan sistem nilai,
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang selalu berubah-ubah dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Adapun aktivitas yang dilakukan pada ruang terbuka publik ini bisa
untuk rekreasi dan hiburan, bisa juga sebagai kegiatan industri wisata
misalnya pameran pembangunan, kegiatan promosi wisata, dan kebudayaan
yang dapat menarik pengunjung sebanyak mungkin seperti pemilihan ratu
atau kontes-kontes lain yang mengandung nuansa kepariwisataan dan
pembangunan serta berbagai kegiatan lainnya.. Akan tetapi pada prinsipnya
ruang terbuka publik merupakan tempat dimana masyarakat dapat
melakukan aktivitas sehubungan dengan kegiatan rekreasi dan hiburan,
Bahkan. dapat pula mengarah kepada jenis kegiatan hubungan social lainnya
seperti untuk berjalan-jalan, melepas lelah, duduk-duduk dengan santai, bisa
juga dengan pertemuan akbar pada saat-saat tertentu juga atau digunakan
untuk upacara-upacara resmi dapat pula dipadukan dengan tempat-tempat
perdagangan.
Dari bahasan di atas terlihat jelas bahwa ruang terbuka publik bukan
saja berupa ruang luar yang bersifat sebagai perancangan lansekap untuk
taman kota saja atau daerah hijau dalam kota, tetapi lebih condong pada
keterlibatan manusia di dalamnya sebagai pemakai fasilitas tersebut. Ruang
publik kota-kota di Indonesia umumnya masih menimbulkan persoalan dan
perbedaan kepentingan oleh berbagai macam pihak dan tampak tak
beraturan. Hal ini disebabkan ruang publik kota diperebutkan oleh banyak
pihak, seperti pengguna lalu lintas, pedagang kaki lima, pejalan kaki,
pengguna tempat parkir, maupun pengguna papan reklame secara
serampangan. Tempat-tempat tertentu seperti taman kota diperebutkan pula
oleh kelompok masyarakat kecil yang melakukan kegiatan ekonomi di satu
pihak dan di lain pihak terdapat kelompok masyarakat atas dan menengah
yang ingin melakukan aktivitas rekreasi,olah raga, maupun santai sejenak.
Ruang merupakan alih kata Space untuk bahasa Indonesia. Dalam
Oxford English Dictionary disebutkan, space berasal dari kata Latin spatium
yang berarti terbuka luas, memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak
leluasa di dalamnya dan dapat berkembang tak terhingga. Ruang diberi
pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi perletakan
sebuah obyek, dan menjadi suatu medium yang memungkinkan suatu obyek
bergerak. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan
posisi letak sebuah obyek, dan menjadi suatu medium yang memungkinkan
suatu obyek bergerak (Paulus Haryono, 2007 : 33 ). Menurut Madanipour
(1980 ) ruang public perkotaan memungkinkan dan membiarkan masyarakat
yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling bercampur baur.
Pengertian ini khususnya sangat diperhatikan pada masyarakat dan
pemerintahan
yang
menganut
faham
demokrasi.
Tibbalds
(2001)
menjelaskan bahwa bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua
jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh
masyarakat umum, termasuk jalan, taman, lapangan, dan alun-alun. Jadi
ruang publik adalah suatu tempat yang dapat menunjukkan letak sebuah
obyek. Tempat ini dapat diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat
umum. Dengan demikian ruang publik dapat berupa jalan, trotoar, taman
kota, lapangan, dan lain-lain.
Sedangkan ruang privat adalah suatu ruang yang diperuntukkan bagi
aktivitas kalangan terbatas, dan penggunaannya biasanya bersifat tertutup
dalam suatu teritori tertentu berdasarkan kepemilikan secara legal oleh
perorangan maupun badan hukum. Namun demikian terdapat ruang privat
yang terbuka untuk umum karena tuntutan aktivitasnya. Sebagai contoh,
sebuah pusat perbelanjaan teritori lahannya bersifat privat. Namun karena
tuntutan aktivitasnya ruang tersebut dibuka untuk umum oleh pemiliknya
dalam rentang waktu yang telah ditentukan sehingga didalamnya terselip
ruang yang bersifat publik. Dengan demikian pada kasus-kasus tertentu
ruang yang statusnya semi privat dan semi publik. Pada saat aktivitas dibuka
untuk umum, ruangan tersebut bersifat public. Namun demikian, apabila di
ruang tersebut berakhir untuk umum maka ruang tersebut berubah menjadi
privat
Ruang dalam pemahaman post modernisme mencoba menggali kembali
nilai-nilai dari struktur ruang. Tempat dan penghubung selain menjadi
penampung berbagai aktivitas operasional fisik dan sosial yang terorganisasi
dalam ruang eksterior maupun interior, publik maupun privat, juga harus
terangkai dalam sebuah sistem sirkuit ruang linier yang terdeferensiasi dan
berhierarki
Kerangka struktur kota yang menyangga ruang kota seharusnya bisa
dirancang. Dikarenakan ruang publik adalah ruang eksterior kota yang
terbentuk oleh bangunan, maka ruang publik terkesan sebagai sisa. Ruang
publik kota seharusnya memiliki posisi yang sejajar dengan bangunan. Ia
merupakan bagian dari rancangan detail suatu spasial bersama bangunan
lain.
2. Fungsi Ruang Publik
Pusat kota seringkali mengalami perubahan posisi dari waktu ke waktu.
Dengan berpindahnya pusat kota, lokasi kerumunan orang-orang yang
menikmati ruang publik pun cenderung bergeser ke kawasan pusat kota yang
baru. Perubahan tersebut diikuti perubahan fungsi ruang publik. Menurut Jan
Gehl, ruang publik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai tempat bertemu,
berdagang, dan lalu lintas. Dari tiga fungsi ini ia membuat empat klasifikasi
kota. .
Pertama adalah Kota Tradisional, yaitu kota yang ketiga fungsi ruang
publiknya masih hidup secara bersamaan. Biasanya kota jenis ini masih
didapat pada kota kecamatan di Indonesia, dimana pasar tradisional masih
memiliki kekuatan sentral yang kuat. Di kota kecamatan yang terkonsentrasi
pada desa tertentu sering terdapat pasar tiban atau pasar . kaget yang
memenuhi ketiga fungsi ruang publik tersebut. Disebut pasari tban ( bahasa
Jawa artinya jatuh, kejatuhan sesuatu, tiba-tiba ada ) atau kaget ( bahasa
Jawa artinya terkejut karena ada sesuatu kejadian mendadak ) karena pasar
ini muncul pada hari-hari tertentu, misalnya Selasa Legi dan Rabo Pahing
Kedua adalah kota yang diserbu (invaded city) yaitu salah satu fungsi
biasanya fungsi lalu lintas mendominasi sebagian besar ruang publik
sehingga fungsi ruang publik yang lain tersingkirkan. Misalnya munculnya
pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota besar di Indonesia maupun kotakota yang baru berkembang. Hal tersebut berdampak pada ramainya dan
padatnya lalu lintas sehingga sering mengurangi hak pejalan kaki dan ruang
publik bagi pedagang kaki lima.
Ketiga adalah kota yang ditinggalkan ( abandoned city ) dengan kondisi
ruang publik dan aktivitasnya telah hilang. Kondisi ini dapat terjadi karena
pusat kota berpindah lokasi. Akibat masyarakatnya berpindah pusat-pusat
perbelanjaan modern. .
Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) adanya
upaya yang kuat untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik
sebagai tempat untuk bertemu, berdagang dan berlalu lintas. Misalnya di
kota Semarang upaya untuk menghidupkan kembali kota lama menjadi pusat
aktivitas dan aktivitas pasar malam Semawis. Di kota Surabaya ada KyaKya Kembang jepun. Di Yogyakarta ada sarana rekreasi yang menempati
bekas terminal bus angkutan antar kota yang lama ditinggalkan. Di kawasankawasan tersebut dahulu terdapat aktivitas masyarakat yang ramai dan sepat
ditinggalkan karena pergeseran pusat aktivitas kota dan kini kawasan ruang
publik tersebut dihidupkan kembali.
3. Permasalahan Ruang Publik Kota
Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan
ruang publik, Seperti persoalan parkir yang memakan tempat berlebihan
ataupun memakan bahu jalan, masalah menjamumya Pedagang kaki Lima
( PKL ), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang berserakan, dan
penggunaan ruang publik yang kumuh.
Berbagai upaya untuk mengurangi persoalan ruang public tampaknya
belum membuahkan hasil. Suatu hal yang ironis bahwa Indonesia yang
memiliki lahan yang sangat luas namun memiliki persoalan dengan ruang
publik, tetapi sebaliknya negeri yang kecil seperti Singapura dengan lahan
yang sempit justru tidak memiliki persoalan dengan ruang public, bahkan
mereka dapat menikmatinya.
Singapura dengan kota-kota besar di Indonesia sama-sama terletak di
Asia Tenggara dengan iklim relatif sama. Akan tetapi, mengapa orang lebih
betah menikmati ruang publik di Singapura ? Sebab pertama adalah
penghijauan di Singapura benar-benar digalakkan. Penghijauan digalakkan
di beberapa kawasan khususnya di pinggiran kota sehingga pusat kota tidak
terlalu panas udaranya. Bahkan di hari saat orang merasakan udara panas di
kota-kota Indonesia, Singapura pada saat yang sama tidak terasa panas.
Terik mataharinya masih dapat diimbangi dengan oksigen yang keluar dari
kawasan hijau. Udara yang tidak terlalu panas membuat orang betah
menikmati ruang publik.
Sebab kedua, lingkungan tertata secara leluasa bagai memanjakan mata,
menarik dan bersih. Ruang publik yang luas, seperti di sepanjang korridor
jalan Orchard Road. Singapura misalnya memberi keleluasaan orang
berjalan kaki, bahkan sebuah atraksi sempat hadir di kaki limanya yang
lapang. Deretan bangunannya bagaikan “nada-nada” yang digubah bergerak
menaik dan menurun dengan wujud dan tema tertentu. Sekali waktu terdapat
bangunan-bangunan besar dengan bentukan ruang public yang khas di
depannnya, tetapi sekali waktu terdapat deretan kios-kios atau toko-toko
kecil dengan model bazaar yang khas pula. Baliho atau iklan di ruang publik
pun ditata secara estetis, dan tampak terpilih, tidak menjorok keluar
melainkan menyatu dengan bangunan.
Irama ruang publik yang indah ini membentuk mental mapping
tersendiri bagi pengunjung sehingga membuat orang mengenang kembali
irama itu. Suatu irama yang tertata secara menarik inilah yang membuat
orang tidak jemu berkunjung dan berbelanja. Sekali waktu di bangunan
besar dan berwajah modem itu orang dapat berbelanja barang-barang dan
makanan mewah, tetapi di deretan yang lain lagi orang dapat berbelanja
barang-barang dan makanan sederhana dank khas.
Sebab ketiga adalah keamanan dan kesenjangan sosial ekonomi
masyarakat. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang terlalu jauh dapat
menimbulkan persoalan menikmati ruang public, karena perbedaan gaya
hidup dan kekhawatiran masyarakat kelas atas menjadi korban kejahatan.
Ukuran kebersihan dan estetika kota biasa dihayati secara berbeda oleh
masyarakat kelas atas dan bawah. Bagi masyarakat kelas bawah, meludah di
tempat umum merupakan hal biasa, tetapi bagi masyarakat kelas atas
tertentu merupakan sesuatu yang tidak terbayangkan. Demikian pula sebuah
taman kota yang dilengkapi bangku, justru sering dinikmati para
gelandangan dengan tidur di atas bangku yang tersedia. Suatu hal yang sulit
terjadi bahwa bangku yang menjadi kotor akan digunakan sebagai tempat
duduk masyarakat kelas menengah dan atas. Untuk mengatasi bangku yang
digunakan sebagai tempat tidur para gelandangan, bangku dibuat tidak
terlalu lebar sehingga tidak memungkinkan orang tidur di atasnya, meskipun
bangku ini menjadi tidak nyaman bagi pengunjung yang ingin melepaskan
lelah.
Selain masalah penghijauan, lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi,
dan keamanan, persoalan selanjutnya yang mengikuti adalah kemampuan
pemerintah kota mengantisipasi, merencanakan, dan mengaplikasikan
kawasan yang tertata secara ideal dibarengi dengan komitmen masyarakat
dan pihak-pihak terkait dalam mewujudkan ruang publik yang ideal.
Akibat ketidakmampuan dan penundaan penanganan, maka kota
menjadi terlanjur padat. Suatu harga mati untuk kesulitan mengantisipasi,
merencanakan, dan mengaplikasikan ruang publik yang ideal. Kota-kota
yang belum terlanjur padat penduduk dan kawasan bangunannya, seharusnya
cepat-cepat mengantisipasi permasalahan di atas. Apabila perlu, dirancang
suatu kota dengan ruang public yang ideal, sekalipun harus membebaskan
lahan-lahan milik swasta yang harus dilakukan secara layak karena dapat
dikatakan merupakan investasi kota di masa depan.
Mewujudkan ruang publik yang ideal bagi masyarakat sebenarnya ikut
mendukung terwujudnya angkutan massal kota, tidak hanya bagi masyarakat
bawah, tetapi juga masyarakat kelas menengah, bahkan masyarakat kelas
atas, karena masyarakat menjadi betah ke ruang publik untuk mencapai
stasiun/halte angkutan massal. Dengan demikian mewujudkan ruang publik
yang ideal secara langsung sebenarnya dapat ikut membantu mengurangi
kemacetan lalu lintas yang salah satu penyebabnya adalah banyaknya
pengguna kendaraan pribadi, meskipun melepaskan kebiasaan menggunakan
kendaraan pribadi sendiri di Indonesia tidak mudah karena menyangkut
masalah status dan gengsi serta perilaku tidak ingin repot-repot, khususnya
bagi masyarakat kelas menengah ke atas.
B. Fasilitas Kota
1. Teminal Bus
Terminal bus merupakan prasarana transportasi jalan untuk keperluan
menurunkan dan menaikan penumpang, perpindahan intra dan atau antar
moda transportasi serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan
kendaraan umum.
Terminal bus penumpang dapat dikelompokkan atas dasar tingkat
penggunaan terminal kedalam tiga tipe sebagai berikut :
1) Teminal penumpang tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan antar kota antar propinsi dan atau angkutan lintas batas Negara,
angkutan antar kota dalam Propinsi, angkutan perkotaan dan angkutan
perdesaan
2) Terminal penumpang tipe B berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan perkotaan dan angkutan
perdesaan
3) Terminal penumpang tipe C berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan perdesaan
Untuk pelaksanaan kegiatan di termninal bus maka perlu adanya
fasilitas yang memadai. Fasilitas dapat dikelompokkan atas fasilitas utama
dan fasilitas pendukung, semakin besar suatu terminal, semakin banyak
fasilitas yang bisa disediakan.
Termasuk kedalam fasilitas utama adalah :

Jalur pemberangkatan kendaraan umum,

Jalur kedatangan kendaraan umum,

Tempat parkir kendaraan umum selama menunggu keberangkatan,
termasuk didalamnya tempat tunggu dan tempat istirahat kendaraan
umum,

Bangunan kantor terminal,

Tempat tunggu penumpang dan pengantar,

Menara pengawas,

Loket penjualan karcis,

Rambu-rambu dan papan informasi, yang sekurang-kurangnya memuat
petunjuk jurusan, tarif, dan jadwal perjalananan,

Pelataran parkir untuk kendaraan pengantar atau taksi
Sedangkan fasilitas penunjang antara lain adalah :

Kamar kecil atau toilet:

Mushollah,

Kios dan Kantin:

Ruang pengobatan,

Ruang informasi dan pengaduan,

Telepon umum:

Tempat penitipan barang: dan

Taman
Achtiar Budi (2004) dalam Transportasi Publik dan Layanan Teminal
menyebutkan bahwa terminal di negara miskin dan berkembang termasuk
Indonesia, belum dikelola secara professional. Survei terhadap 2633
terminal dari berbagai skala yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya 3%
nya yang masuk kategori terminal dengan kinerja pelayanan standar nasional
dan belum satupun terminal (0%) terminal Indonesia yang berstandar
Internasional.
Badan Otonomi Perdagangan dan Transportasi Amerika menilai
pengelolaan terminal dan pelabuhan di Indonesia adalah yang terburuk di
dunia. Padahal di era global dan liberalisasi perdagangan dunia, eksistensi
terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan di suatu negara tidak hanya
mengundang laju investasi, tetapi juga menjadi indikator apakah
infrastruktur strategis transportasi tersedia dengan kualitas standar dunia
atau sebaliknya.
Banyaknya kondisi terinal di Indonesia antara lain disebabkan oeh:
a) banyaknya orang dan lalu lalang orang tanpa tujuan pasti atau liar. Seperti
gelandangan, pengemis preman, para pemeras/pemalak dari berbagai
penjuru yang dibiarkan bebas berkeliaran sepanjang waktu. Pegelola
terminal biasanya menganggap hal biasa realitas tersebut dan karenanya
nyaris tanpa pengendalian.
b) Disisi lain malasnya aparat mengurusi penghuni terminal. Diakui atau
tidak para petugas terminal umumnya tanpa dibekali ilmu dan ketrampilan
khusus sebagai pengelola terminal. Di beberapa daerah bahkan pegawai atau
pengelola terminal menjadi pegawai buangan yang seringkali tidak dibekali
kompetensi tertentu sesuai dengan tantangan dan problema pengelolaan
terminal. Meskipun demikian, pemerintah Setempat selalu memasang target
pendapatan dari retribusi terminal yang tak kalah tinggi dengan unit
pelayanan bisnis lainnya. Namun pendapatan retribusi terminal yang tinggi
tersebut tidak diimbangi dengan kualitas sumberdaya yang memadai.
Melihat potensi dan peluang yang menjanjikan tersebut ke depan
memang mendesak dibutuhkan reformasi mutu layanan angkutan khususnya
di terminal atau sejenisnya. Ada dua prinsip taktis strategis sebagai jawaban
untuk perbaikan layanan di terminal, yaitu :
a Prinsip keamanan dan kenyamanan bagi pelanggan.
Paradigma ini sudah lama menjadi paradigma manajemen pelayanan
public. Penumpang dan angkutan umum harus diperlakukan sebagai
pelanggan. Meskipun terkesan sederhana sebutan itu ternyata signifikan
mengubah perilaku penumpang dan angkutan umum dalam memanfaatkan
terminal. Pelanggan berarti memiliki hak untuk memilih dan berkata “tidak”
jika mutu layanan yang disajikan terminal tak sesuai aturan standar.
Sayangnya pengelola terminal hanya mau menarik retribusi saja dan
perlakuan terhadap pelanggan terminal nyaris tidak ada.
b. Prinsip prosedur layanan.
Diakui maupun tidak, umumnya terminal kurang informatif didalam
prosedur layanan. Terminal biasanya hanya menyajikan papan nama kemana
penumpang hendak pergi atau berangkat tanpa memberikan pengertian
memadai kepada penumpang Disamping itu, terminal seperti. tak bertuan
karena nyaris tak ada instruksi yang memadai sesuai kepuasan pelanggan.
Padahal seperti di Negara-negara maju, terminal biasanya ramai oleh
berbagai peringatan (warning) buat keselamatan dan kenyamanan pelanggan
sehingga dapat mencegah tindak kejahatan. Jangan biarkan kekerasan,
kejahatan, dan kekacauan menjadi kebiasaan yang dibiarkan berlarut-larut,
karena kualitas terminal temyata berpengaruh terhadap citra pemerintah
setempat
dalam
mengelola,
mengatur
dan
mengendalikan
serta
memberdayakan terminal di mata pelanggan dari berbagai daerah.
2. Bandar Udara
Pada masa awal penerbangan, Bandar Udara ( Bandara ) hanyalah tanah
lapang berumput yang bisa didarati pesawat dari arah mana tergantung arah
angin. Di masa Perang Dunia I, Bandara mulai dibangun permanent seiring
meningkatnya penggunaan pesawat landasan pacu. Setelah masa perang,
Bandara mulai ditambahkan fasilitas komersial untuk melayani penumpang.
Sekarang di zaman modern pada era global, Bandara bukan hanya tempat
untuk naik dan turun pesawat. Dalam perkembangannya, berbagai fasilitas
ditambahkan seperti toko-toko, restoran, pusat kebugaran, dan butik-butik
merek terkenal serta pakaian-pakaian hasil produk tradisional.
Bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas
landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki
sebuah landas pacu, namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi
berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun
bagi penggunanya.
Menurut ICAO (International Civil Aviation Organization ) Bandar
Udara atau Bandara adalah area tertentu di daratan atau perairan termasuk
bangunan, instalasi dan peralatan yang diperuntukkan baik secara
keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan, dan pergerakan
pesawat. Sedangkan definisi Bandar Udara menurut PT Angkasa Pura
adalah lapangan udara termasuk segala bangunan dan peralatan yang
merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi
angkutan udara untuk masyarakat.
Kegunaan
Bandara
selain
sebagai
terminal
lalu
lintas
manusia/penumpang juga sebagai terminal lalu lintas barang. Untuk itu,
disejumlah Bandara yang berstatus Bandara Internasional ditempatkan
petugas Bea dan Cukai. Di Indonesia Bandara yang berstatus Bandara
Internasional
antara
lain
adalah
Polonia
(Medan),
Soekamo-Hatta
(Cengkareng), Djuanda (Surabaya), Sepinggan (Balikpapan), dan Hasanudin
(Makassar).
Fasilitas Bandara yang terpenting adalah landas pacu yang mutlak
diperlukan pesawat. Panjangnya landas pacu biasanya tergantung besamya
pesawat yang dilayani dan bisa dari rumput ataupun aspal. Pada bandara
yang ramai, terdapat lebih dari satu landasan untuk antisipasi ramainya lalu
lintas. Untuk keamanan dan pengaturan terdapat Air Traffic Controller atau
concourde adalah pusat urusan penumpang yang datang atau pergi.
Didalmnya terdapat counter check in, imigrasi untuk bandara internasional,
dan ruang tunggu serta berbagai fasilitas untuk kenyamanan penumpang. Di
Bandara besar penumpang masuk ke pesawat melalui belalai. Di Bandara
kecil penumpang naik ke pesawat melalui tangga yang bisa dipindah-pindah.
Setiap Bandara memiliki kode IATA dan ICAO yang berbeda satu sama
lain. Kode bisa dari berbagai hal seperti nama Bandara, daerah tempat
bandara terletak, atau nama kota yang dilayani.
Menjelang era Pasar Bebas Asia Pasifik (APEC) 2010 dan Pasar Bebas
Dunia (WTO ) 2020 dengan segala dampak yang mengikuti, beberapa
peluang dapat diprediksikan akan terbuka bagi jasa kebandarudaraan yaitu:
1) “Booming” wisatawan yang diperkirakan akan terjadi di kawasan Asia
Pasifik, termasuk Indonesia akan memberi berkah yang amat berarti bagi
Bandar Udara berkenaan dengan letak geografisnya yang teramat strategis
didekat dengan sebagian besar daerah-daerah tujuan wisata utama Indonesia.
Hampir semua Bandara I akan terkena dampak positif dari booming
wisatawan itu, terutama sekali adalah Bandar Udara Ngurah Rai,
Adisutjipto, Adisumarmo, Hasanudin, Sam Ratulangi, Frans Kaisiepo,
Pattimura dan Selaparang
2) Perkembangan Asia Pasifik menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan
industri dunia pada era global mendatang yang terkenal dengan sebutan
keajaiban Asia akan memacu pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia yang
kebetulan berada dekat dengan bibir pasifik dan di persilangan jalur
ekonomi Utara - Selatan yang dimasa mendatang diprediksikan akan
menjadi jalur ekonomi antar benua yang sangat penting. Pertumbuhan Asia
Pasifik dan jalur ekonomi Utara-Selatan. membuka peluang besar bagi
Bandar Udara Sam Ratulangi yang letaknya tepat di bibir pasifik dan Bandar
Udara Frans Kaisiepo yang berada tepat di jalur ekonomi Utara - Selatan
yang mulai berkembang. Demikian pula dengan Bandar Udara Juanda dan
Ahmad Yani yang selama ini menjadi prasarana bagi kota Surabaya dan
Semarang yang tumbuh menjadi kota industri terpenting ke dua dan ke tiga
di pulau Jawa.
3) Dijadikannya pulau Biak sebagai pusat Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) untuk kawasan timur Indonesia menjadikan
prospek bisnis Bandar Udara Frans Kaisiepo yang saat ini masih demikian
buram akan menjadi lebih cerah. Hampir pasti, Bandar udara itu akan
memainkan peran yang sentral sebagai pusat mobilisasi transportasi udara di
wilayah KAPET.
4) Berkembangnya industri pariwisata dan industri sumber daya alam di
kawasan timur Indonesia yang begitu pesat telah membuka cakrawala bisnis
luas bagi Bandar Udara Hasanudin yang saat ini menjadi pintu gerbang
udara utama ke kawasan timur Indonesia.
5) Semakin ramainya arus lalu lintas udara dari dan ke Bandara Udara I akan
membuka peluang bisnis yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada bisnis
pelayanan penerbangan dan penunjang penerbangan saja.
Kendati
keajaiban
Asia
mulai
dipertanyakan
perwujudannya
dikarenakan gejolak moneter berkepanjangan di kawasan itu, kunjungan
wisatawan mancanegara ke Asia diperkirakan tidak akan mengalami
penurunan. Bahkan akan meningkat akibat nilai tukar dollar yang menjadi
demikian tinggi di kawasan itu. Kondisi tersebut akan merangsang lebih
banyak Wisatawan mancanegara berkunjung ke obyek wisata di Asia,
khusunya Indonesia.
3. Pelabuhan
Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau
untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang
kedalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus
untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane
dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun
pihak swasta yang berkepentingan. Seiring pula disekitamya dibangun
fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang. Kata
pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal
laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk
berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi
maupun pasar ikan.
Klasifikasi pelabuhan perikanan ada 3, yaitu: Pelabuhan Perikanan
Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera.
Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi:

Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (Minimum 12 meter)

Perlindungan dari angin, ombak, dan petir

Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk.
Peringkat pelabuhan dunia berdasarkan volume lalu-lintas muatan kargo
kontainer (dalam jutaan TEU) (2004) :
1. Pelabuhan Hongkong – Tiongkok
2. Pelabuhan Singapura - Singapura
3. Pelabuhan Shanghai - Tiongkok
4. Pelabuhan Shenzhen - Tiongkok
5. Pelabuhan Pusan — Korea Selatan
6. Pelabuhan Kaohsiung - Taiwan
7. Pelabuhan Rotterdam - Belanda
8. Pelabuhan Los Angeles — Amerika Serikat
9. Pelabuhan Hamburg - Jerman
10. Pelabuhan Dubai — Uni Emirat Arab
11. Pelabuhan Antwerpen - Belgia
12. Pelabuhan Long Beach — Amerika Serikat
13. Pelabuhan Klang - Malaysia
14. Pelabuhan Qingdao - Tiongkok
15. Pelabuhan New York /New Jersey – Amerika Serikat
16. Pelabuhan Jakarta - Indonesia
4. Stasiun
Stasiun kereta api adalah tempat di mana para penumpang dapat naik
dan turun dalam memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada
masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris
sama dengan stasiun kereta api. Stasiun kereta api umumnya terdiri atas
tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang kepala stasiun dan
ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti
sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.
Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada
stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan maupun calon penumpang
kereta api, seperti ruang tunggu, restoran, toilet, mushalla, area parkir,
sarana keamanan (polisi khusus kereta api), sarana komunikasi, depo
lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar. Pada papan nama stasiun yang
dibangun pada Belanda, umumnya dilengkapi dengan ukuran ketinggian
Wilayah itu dari permukaan laut, misalnya Stasiun Bandung ada tulisan
plus-minus 709 meter.
Pada umumnya, stasiun kecil memiliki tiga jalur rel kereta api yang
menyatu pada ujung-ujungnya. Penyatuan jalur-jalur tersebut diatur dengan
alat pemindah jalur yang dikendalikan dari ruang PPKA. Selain sebagai
tempat pemberhentian kereta api, stasiun juga berfungsi bila terjadi
persimpangan antar kereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk
keperluan cadangan dan langsir. Pada stasiun besar, umumnya memiliki
lebih dari 4 jalur yang juga berguna untuk keperluan langsir. Pada halte
umumnya tidak diberi jalur tambahan serta percabangan. Pada masa lalu,
setiap stasiun memiliki Pompa dan tangki air serta jembatan putar yang
dibutuhkan pada masa kereta api masih ditarik oleh lokomotif uap. Karena
keberadaan stasiun kereta api umumnya bersamaan dengan keberadaan
sarana kereta api di Indonesia yang dibangun pada zaman Belanda, maka
kebanyakan stasiun kereta api merupakan bangunan lama yang dibangun
pada masa itu, Sebagian direstorasi dan diperluas, sedangkan sebagian yang
lain ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kebanyakan kota besar,
kota kabupaten, dan bahkan kecamatan di Jawa dihubungkan dengan jalur
kereta api sehingga di kota- kota tersebut selalu dilengkapi dengan stasiun
kereta api.
Stasiun besar di Jawa
1. Stasiun Jakarta Kota
2. Stasiun Tanjung Priok
3. Stasiun Jatinegara
4. Stasiun Manggarai
5. Stasiun Pasar senen
6. Stasiun Bogor
7. Stasiun Bandung
8. Stasiun Yogyakarta
9. Stasiun Solo Balapan
10. Stasiun Semarang Tawang
11. Stasiun Cirebon
12. Stasiun Surabaya Kota
13. Stasiun Surabaya Gubeng
5. Rumah Sakit
1) Sejarah Rumah Sakit
Dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat
erat. Salah satu institusi pengobatan pengobatan tertua adalah kuil Mesir.
Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya memberikan pengobatan kepada
orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi sebagai
kepercayaan. Kuil Romawi untuk Asclepius dibangun pada tahun 291 SM di
tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama dengan kepercayaan
Yunani.
Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali ditemukan di
India. Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada
tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di
Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang
dibiayai anggaran kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan pula
konsep
pengajaran
pengobatan
dengan
mahasiswa
yang diberikan
pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan
Persia.
Bangsa Romawi menciptakan valetudinarian untuk pengobatan budak,
gladiator, dan prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan kristiani turut
mempengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325
memerintahkan pihak gereja untuk juga memberikan pelayanan kepada
orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu Katedral di setiap
kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama
kali mendirikan adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, bishop
of Caesarea. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bangunan gereja,
dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita penyakit lepra/kusta.
Rumah Sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut.
Di setiap tempat peribadatan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh
pendeta dan suster. Namun beberapa diantaranya bisa pula terpisah dari
tempat peribadatan. Ditemukan pula rumah sakit yang terspesialisasikan
untuk penderita kusta/Iepra, kaum miskin, atau musafir. Rumah sakit dalam
sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan yang tinggi pada abad 8
hingga 12. Rumah sakit pertama dibangun pada abad 9 hingga 10
mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda
untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah
muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad ke 10.
Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekuler di Eropa terjadi pada abad
16 dan 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modem pertama dibangun
dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris
pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guys Hospital didirikan di
London pada tahun 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas
Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta sepeti ini kemudian menjamur di
seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri
Pennsylvania pada tahun 1751. Di Eropa daratan biasanya rumah sakit
dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad ke 19
hampir seluruh Negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki
keberagaman rumah sakit.
Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama kali didirikan
oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris zaman Raffles
terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya
secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan kepada
mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah
sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap ini Juga
diteruskan oleh rumah sakit CBZ di Jakarta. Rumah sakit ini Juga tidak
memungut biaya atau bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang
memerlukan pertolongan. Semua ini telah menanamkan kesan yang
mendalam di kalangan masyarakat pribumi bahwa pelayanan penyembuhan
di rumah sakit adalah gratis. Mereka tidak mengetahui bahwa sejak zaman
VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC ( kecuali tentara dan
anggota keluarganya ) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC.
Selama abad pertengahan, rumah sakit juga melayani banyak fungsi
diluar rumah sakit yang kita kenal di zaman sekarang, misalnya sebagai
penampungan orang miskin atau persinggahan musafir.
2) Pengertian Rumah sakit
Istilah Hospital ( Rumah Sakit ) berasal dari kata latin yaitu Hospes
( Tuan rumah ), yang juga menjadi akar kata hotel dan hospital dan
hospitality (keramahan). Beberapa pasien bisa hanya datang untuk diagnosis
atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula
meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit
dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan
diagnosa dan perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien.
Rumah Sakit ( Hospital ) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan
professional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga
ahli kesehatan lainnya Rumah sakit menurut WHO Expert Committee On
Organization of Medical care adalah : “is an integral part of social and
medical organization, the function of which is to provide for the population
comp, Jete healih care, both curative and preventive and whose out patient
service reach Out 10 the family and its home environtment: the hospital is
also a cenire for the training of healih workers and for biosocial research".
Perbandingan antara jumlah ranjang rumah sakit dengan jumlah
penduduk Indonesia masih sangat rendah. Untuk 10.000 penduduk cuma
tersedia 6 ranjang rumah sakit.
3) Jenis Jenis Rumah Sakit

Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit ini melayani hampir seluruh penyakit umum, dan biasanya
memiliki institusi perawatan darurat yang siaga 24 jam (ruang gawat darurat
/ UGD) untuk mengatasi bahaya dalam waktu secepatnya dan memberikan
pertolongan pertama. Rumah Sakit Umum biasanya merupakan fasilitas
yang mudah ditemui di suatu Negara, dengan kapasitas rawat inap sangat
besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang.
Rumah Sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, fasilitas
plastic, ruang bersalin, laboratorium, dan kelengkapan fasilitas ini bisa saja
bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya. Rumah sakit yang sangat
besar sering disebut dengan Medical Center (pusat kesehatan ) biasanya
melayani seluruh pengobatan modem.
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan
kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (Klinik).
Biasanya terdapat beberapa klinik / poliklinik di dalam suatu rumah sakit.

Rumah Sakit Spesialis
Rumah sakit jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah
sakit Manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti
Psychiatric, dan lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun
hanya satu bangunan. Kebanyakan mempunyai afiliasi dengan universitas
atau pusat riset medis tertentu dan umumnya rumah sakit di dunia didirikan
dengan tujuan nirlaba

Rumah Sakit Untuk Penelitian / Pendidikan
Rumah sakit ini adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan
penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas /
lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan
dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik
pengobatan baru. Rumah sakit untuk penelitian / pendidikan diselenggarakan
oleh pihak universitas / perguruan tinggi sebagai salah satu wujud
pengabdian kepada masyarakat / Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Rumah Sakit Lembaga / Perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga / perusahaan untuk
melayani pasien-pasien yang merupakan anggota tersebut atau karyawan
perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan
dengan kegiatan lembaga tersebut (Rumah sakit Militer, rumah sakit
Pertamina, Rumah sakit Bandara), bentuk jaminan sosial / pengobatan gratis
bagi karyawan, atau karena letak/Iokasi perusahaan yang terpencil atau jauh
dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan di
Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat
darurat untuk masyarakat umum.

Klinik
Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu.
Biasanya diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat atau dokterdokter yang ingin menjalankan praktek pribadi. Klinik biasanya hanya
menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan klinik yang
disebut dengan Poliklinik.
4) Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis.

Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis
tambahan.

Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman.

Melaksanakan pelayanan medis khusus.

Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan.

Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi.

Melaksanakan pelayanan kedokteran social.

Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan.

Melaksanakan pelayanan rawat jalan, rawat darurat dan rawat tinggal
(observasi ).

Melaksanakan pelayanan rawat inap.

Melaksanakan pelayanan administrasi

Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan.

Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi.
6. Pusat Perbelanjaan
Perusahaan eceran yang melayani kawasan perumahan pinggiran kota
yang menyebar itu berkumpul pula kelompok-kelompk yang tersebar.
Warung pojok diubah mejadi pusat perbelanjaan lingkungan. “Gaya Baru”
ini memperlihatkan perbedaan yang besar dengan jalan-jalan perdagangan
yang macet dan kotor di kawasan kegiatan usaha yang biasa. Parkir
kendaraan dengan gratis dan mudah merupakan pengalaman yang
mengesankan. Dengan didukung jumlah penduduk yang baru, maka pusatpusat perbelanjaan menjadi popular. Unsur yang menonjol dari pusat baru
ini adalah pemisahan yang positif antara kendaraan bermotor dengan pejalan
kaki. Dengan kompetisi ini maka kawasan kegiatan usaha pusat kota di kotakota besar dan kota kecil berusaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi
perbelanjaan.
Statistik pusat perbelanjaan dari tahun 1960-an masih berlaku di tahun
1980-an. Pusat-pusat tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori
utama,yaitu :
1. Pusat Lingkungan adalah sumber setempat untuk bahan makanan serta
pelayanan sehari-hari untuk penduduk sejumlah 7500 - 20.000 orang.
Ukuran rata-ratanya adalah sekitar 40.000 kaki persegi luas lantai, namun
bisa bervariasi antara 30.000 - 75.000 kaki persegi lantai. Lokasi ini harus
berada dalam kawasan seluas 4 sampai 10 acre. Pusat ini biasanya dirancang
di sekitar pasar swalayan sebagai pelayanan perdagangan eceran utama.
2. Pusat daerah/kota bisa melayani penduduk antara 20.000 sampai 100.000
dan memperluas pelayanan pusat lingkungan dengan menyediakan berbagai
toko atau toserba kecil sebagai unsur utama. Ukuran rata-ratanya adalah
150.000 kaki persegi luas lantai atau antara. 100.000 sampai 300.000 kaki
persegi dangan luas lahan antara 10 sampai 30 acre.
3. Pusat Regional biasanya dibangun di sekitar satu atau lebih toserba dan
mencakup berbagai jenis fasilitas perdagangan eceran yang biasanya
ditemukan di suatu kota kecil yang seimbang. Pusat ini dapat melayani
penduduk antara 100.000 sampai 250.000. Ukuran rata-ratanya adalah
400.000 kaki persegi luas lantai meskipun bisa mencapai 1.000.000 kaki
persegi. Minimum luas arealnya adalah 40 acre, sedangkan pusat yang
terbesar memerlukan sampai 100 acre.
Berikut adalah beberapa contoh pusat-pusat perbelanjaan yang ada di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta :
Jakarta Pusat

Gajah Mada Plaza, Jakarta Pusat

Glodok Plaza, Jakarta Pusat

Harco Glodok, Jakarta Pusat

Hayam Wuruk Lindeteves, Jakarta Pusat

ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat

Menteng Plaza, Jakarta Pusat

Plaza Indonesia, Jakarta Pusat

Sarinah Plaza, Jakarta Pusat
Jakarta Utara

Dusit Mangga Dua, Jakarta Utara

Harco Mas Mangga Dua, Jakarta Utara

ITC Mangga Dua, Jakarta Utara

Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara

Mall Mangga Dua, Jakarta Utara

Mall Sunter, Jakarta Utara

Mega Mall Pluit, Jakarta Utara

Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta utara

WTC Mangga Dua, Jakarta Utara

Mangga Dua Sguare, Jakarta Utara

Harco Manggua Dua , Jakarta Utara
Jakarta Timur

Kramat Jati Indah, Jakarta Timur

Cibubur Junction, Jakarta Timur

Tamini Square, Jakarta Timur

Pulogadung Trade Center, Jakarta Timur

. Mal Cijantung, Jakarta Timur

Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur
Jakarta Barat

ITC Permata Hijau, Jakarta Barat

ITC Roxy Mas, Jakarta Barat

Lokasari Plaza, Jakarta Barat

Mall Ciputra (d/h Citraland Mall), Jakarta Barat

Mall Daan Mogot, Jakarta Barat

Mall Puri Indah, Jakarta Barat

Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat

Roxy Mas Sguare, Jakarta Barat

Slipi Jaya Plaza, Jakarta Barat
Jakarta Selatan

Kalibata Plaza, Jakarta Selatan

Cilandak Town Sguare, Jakarta Selatan

Mal Cilandak, Jakarta Selatan

Blok M Plaza, Jakarta Selatan

ITC Fatmawati, Jakarta Selatan

ITC Kuningan, Jakarta Selatan

Mall Ambassador, Jakarta Selatan

Mall Blok M, Jakarta Selatan

Mall Pondok Indah 1 & IL, Jakarta Selatan

Melawai Plaza, Jakarta Selatan

Pasar Bata Putih, Jakarta Selatan

Pacific Place, Jakarta Selatan

Plaza Senayan, Jakarta Selatan

Setiabudi One, Jakarta Selatan

Senayan City, Jakarta Selatan

FXLifestyle Center Sudirman, Jakarta Selatan

Pasar Raya Dept. Store
7. Hutan Kota
Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan sebanyakbanyaknya di halaman rumah atau dilingkungan sekitar rumah maupun
dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon, semak, perdu, rumput atau
penutup tanah lainnya, di setiap jengkal tanah yang kosong yang ada
dalam kota dan sekitamnya, sering disebut sebagai ruang terbuka hijau
(RTH). RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai
peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi
fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi
estetika (keindahan). Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi
menjadi:
1). Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan
hasilnya untuk konsumsi yang disebut dengan hasil pertanian kota seperti
hasil hortikultura.
2). Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi
social
3). Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas
lingkungan.
Hutan Kota dapat memberikan kota yang nyaman, sehat dan indah
(estetis). Kita sangat membutuhkan hutan kota, untuk perlindungan dari
berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak
fungsi (kegunaan dan manfaat). Hal ini tidak terlepas dari peranan
tumbuh-tumbuhan di alam. Tumbuh-tumbuhan sebagai produsen pertama
dalam
ekosistem,
mempunyai
berbagai
macam
kegiatan
metabulisme.untuk ia hidup, tumbuh dan berkembang. Kegiatan
metabulisme tumbuh-tumbuhan dimaksud telah memberikan keuntungan
dalam kehidupan kita. Tidak ada satu makhlukpun yang dapat hidup
tanpa tumbuh-tumbuhan. Untuk menghadapi kemajuan, kita perlu
melakukan perubahan dan untuk itu kita perlu melakukan pembangunan.
Dalam pembangunan itu kita akan tahu tentang sejauh mana kerugian
kita, jika kita menebang pohon atau membabat tumbuh-tumbuhan tanpa
pertimbangan dengan alasan nanti toh tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh
kembali. Mudah-mudahan pelaku pembangunan dapat menyadari, bahwa
tumbuh-tumbuhan itu adalah makhluk hidup dan butuh waktu untuk
tumbuh dan berkembang.
(1) Bentuk dan Struktur Hutan Kota
Hutan kota meupakan suatu ekosistem dan tidak sama dengan
pengertian hutan selama ini. Hutan kota adalah komunitas tumbuhtumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau
sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk)
dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat
yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan
sehat, nyaman, dan estetis.
Banyak kendala dalam membangun hutan kota. Kendala tersebut
antara lain berkisar kepada persediaan lahan untuk hutan kota, lahan
semakin hari semakin sedikit untuk hutan kota dan harga lahan di kota
semakin hari semakin sangat mahal. Disamping itu pula terbentur kepada
persepsi dari para perancang dan pelaksana pembangunan, maupun dari
lapisan masyarakat lainnya terhadap hutan kota belum sama dan belum
terbangun. Melihat fungsinya maka kita harus membangun dan
mengembangkan hutan kota. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
menunjukan bahwa dengan membangun dan mengembangkan bentuk
hutan kota serta membangun dan mengembangkan struktur hutan kota,
maka kendala lahan dapat di modifikasi sehingga kita akan tetap dapat
membangun dan mengembangkan hutan kota. Disamping itu secara
bertahap kita selalu berusaha membangun dan mengembangkan persepsi
tentang hutan kota.
Bentuk tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia untuk hutan
kota. Bentuk hutan kota dapat dibagi menjadi: a. Berbentuk bergerombol
atau menumpuk adalah hutan kota dengan komunitas tumbuh tumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah tumbuhtumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak
beraturan; b. Berbentuk menyebar yaitu hutan kota yang tidak
mempunyai pola tertentu, dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya
tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombolgerombol kecil; c. Berbentuk jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya
tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung,
mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lainnya. Struktur
hutan kota adalah komposisi dari tumbuh-tumbuhan, jumlah dan
keanekaragaman dari komunitas tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan
kota, dapat dibagi menjadi a. berstrata dua yaitu komunitas tumbuhtumbuhan hutan kota hanya terdiri dan pepohonan dan rumput atau
penutup tanah lainnya; b. berstrata banyak yaitu komunitas tumbuhtumbuhan hutan kota terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat
semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah,
jarak tanam rapat tidak beraturan, dengan strata dan komposisi mengarah
meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.
(2) Fungsi Hutan Kota
Fungsi hutan kota sangat tergantung kepada bentuk dan struktur hutan
kota serta tujuan perancangannya. Secara garis besar fungsi hutan kota
yang sangat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi :
(1) Fungsi lansekap.
Lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial. :
a.
Fungsi fisik, yaitu berfungsi antara lain untuk perlindungan
terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan
terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan
pembingkai.
b.
Fungsi sosial, penataan tumbuhan dalam hutan kota dengan baik
akan memberikan interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan
kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai- milai
ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk
sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk
terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat
interaksi sosial lainnya. Fungsi social politik ekonomi misalnya untuk
persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil
tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buahbuahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup.
persahabatan ant
(2) Fungsi Pelestarian Lingkungan (ekologi).
Dalam
pengembangan
dan
pengendalian
kualitas
lingkungan
diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi
lingkungan ini antara lain adalah:

Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota
Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses
fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk
hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil
dari dalam tanah melalui akar tanaman. Sinar matahari 6 CO2 + 6 H2O
------ C6H12O6 + 6 O2 klorofil enzim.

Menurunkan Suhu Kota dan meningkatkan kelembaban.
Suhu disekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir
bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat
menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun
gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada
daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya
untuk daerah tropis.

Sebagai Ruang Hidup Satwa.
Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem
juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup
lainnya, sebagai burung, kupu-kupu, serangga. Burung sebagai
komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk
mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan
pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat
dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Dengan kondisi
tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan,
karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan
komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperanan
dalam rekreasi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang,
untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung.
Malahan sekarang hampir di setiap rumah orang memelihara burung.
Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung
dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan
tersendiri. Kebiasaan burung-burung beranekaragam, ada burung yang
mempunyai kebiasaan berada mulai dari tajuk sampai kebawah tajuk.
Ini menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak
jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil
penelitian saya (1994) Menunjukkan bahwa burung lebih banyak
dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami
dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur
hutan kota yang berstrata banyak. Kehadiran burung pada hutan kota
yang berstrata banyak selain karena jumlah tumbuh-tumbuhan yang
beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman
produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang
menghasilkan bunga,
buah, biji
aroma,
sehingga memberikan
kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya
untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang

Penyanggah dan Perlindungan Permukaan Tanah dari Erosi.
Sebagai penyanggah dan melindungi permukaan tanah dari air hujan
dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu
penyediaan air tanah dan pencegahan erosi.

Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara dan Limbah.
Sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah,
serta menyanng debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa
komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur
seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida
besi,silika, jelaga dan unsur kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian
lainnya menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan dapat mengakumulasi
berbagai jenis polutan (pencemar). Seperti pohon johar, asam landi,
angsana dan mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran
bermotor, pada daun dan kulit batang.

Peredaman Kebisingan
Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering
disebut “polusi tak terlihat” yang menyebabkan efek fisik dan
psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara
melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia
terhadap suara.

Tempat pelestarian nutfah dan bioindikator
Yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari
timbulnya masalah lingkungan seperti karena tumbuhan tertentu akan
memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi
disekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai
yang sangat tinggi dan diperlukan untuk kehidupan.

Menyuburkan tanah
Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisme dan akhirnya
terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara bagi
tumbuhan itu kembali.
(3) Fungsi Estetika
Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk,
warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, akar bunga, yang
berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan
kota berstrata dua. Hutan kota dapat memberikan kenyamanan dan
kenikmatan kepada kita. Apalagi bila kita dapat mengembangkan dan
membangun hutan kota yang berstruktur, dengan keanekaragam jenis
tumbuh-tumbuhan dan jumlah yang banyak serta ditata dengan baik.
Diharapkan hutan kota dapat memenuhi tingkat kenyamanan yang
dikehendaki, karena hutan kota dapat memodifikasi iklim mikro. Hutan
kota yang berstrata banyak memberikan lingkungan sekitarnya relatif
lebih nyaman daripada yang berstrata dua, dan di dalam hutan akan kita
rasakan lingkungannya lebih nyaman dibandingkan dengan di luar hutan
kota. Jangan lupa bahwa yang paling penting kita perlu menanam jenisjenis khas daerah sehingga hutan kotanya akan mempunyai ciri spesifik,
mungkin tiap daerah sudah menetukan maskot jenis tanaman. Jangan
lupa peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan sangat dominan,
oleh karena itu dalam semua kesempatan perempuan perlu diikutkan.
» Latihan :
1. Apa yang dimaksud dengan Ruang Publik ?
2. Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Kota?
3. Buatlah sebuah analisa tentang kondisi fasilitas kota yang ada di kota- kota
besar di Indonesia terutama Jakarta !
4. Apa perbedaan antara ruang puiblik dengan ruang privat ?
5. Jelaskan manfaat dari Ruang Publik !
Ringkasan :
Ruang publik merupakan ruang terbuka yaitu sebagai wadah yang dapat
digunakan untuk aktivitas penduduk kota sehari-hari. Aktivitas yang dilakukan
pada ruang terbuka misalnya rekreasi atau hiburan, olah raga, bersantai, tempat
untuk mengembangkan industri wisata, tempat-tempat pertemuan, dan tempattempat perdagangan.
Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut maka kota dapat diklasifikasikan menjadi :
(1) Pertama adalah kota tradisional, yaitu kota yang ketiga fungsi publiknya
masih hidup secara bersamaan. Biasanya kota jenis ini didapat pada kota
kecamatan di Indonesia, dimana pasar tradisional masih memiliki kekuatan
sentral yang kuat.
(2) Kedua adalah kota yang diserbu ( invaded city ) fungsi biasanya fungsi lalu
lintas mendominasi sebagian besar ruang publik sehingga fungsi ruang publik
yang lain tersingkirkan. Misalnya muncul pusat-pusat perbelanjaan di berbagai
kota besar di Indonesia maupun kota-kota yang baru berkembang.
(3) Ketiga adalah kota yang ditinggalkan ( abandoned city ) dengan kondisi
ruang publik dan aktivitasnya telah hilang. Kondisi ini dapat terjadi karena
pusat kota berpindah lokasi. berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan modern.
(4) Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) dengan
adanya upaya yang kuat untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang
public sebagai tempat untuk bertemu, berdagang, dan berlalu lintas.
Pada umumnya semakin besar sebuah kota maka semakin lengkap pula
fasilitas kota yang dimilikinya selain itu juga tergantung dari kondisi letak
geografisnya. Pada kota-kota besar yang berada di wilayah pantai pasti akan
memiliki pelabuhan baik yang bertaraf Internasional maupun nasional, begitu
pula untuk Bandara.
Fasilitas kota yang merupakan baik ruang publik maupun ruang privat
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga kota. Adapun
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hal fasilitas kota adalah yaitu :
penanganan Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan
public maupun fasilitas kota, seperti persoalan parkir yang memakan tempat
berlebihan ataupun memakan bahu jalan, masalah Pedagang kaki Lima (PKL ),
kemacetan lalu lintas, papan reklame yang berserakan, dan penggunaan ruang
public yang kumuh.
BAB VI. INTERAKSI DESA KOTA
Untuk membicarakan tentang ketergantungan desa-kota dalam keadaan
sehari-han seperti terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi jika dilihat secara
mendalam
disini
terdapat
semacam
interaksi
yang
melahirkan
ketergantungan ini. Sebelum dikemukakan tetang ketergantungan desa
kota, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
kota itu sesungguhnya. Mannier mengatakan "suatu kota adalah
keseluruhan dari masyarakat yang dasar geografisnya sangat terbatas untuk
ukuran banyak penduduk" atau dengan kata lain elemen teritorialnya lebih
sempit/kecil dari elemen manusianya. Jadi pandangan Mannier tentang
kota dapat dilihat bahwa ia lebih menekankan pada hubungan antara aspek
geografis dengan aspek manusia yang bermukim didalamnya (Leibo, 1990:
13). Sementara itu Wirth lebih melihat kota sebagai tempat berhubungan
antara
sesama
individu,
maupun
kelompok
didalamnya
dengan
menjelaskan "kota merupakn tempat yang relatif besar, padat dan
permanen, dihuni oleh orang-orang heterogen kedudukan sosialnya (Leibo,
1990:13), sedangkan pandangan Cristaller tentang kota, menjelaskan
bahwa "Kota berfungsi menyelenggarakan penyediaan jasa-jasa bagi
daerah lingkungannya". Jadi disini lebih ditekankan sebagai pusat
perdagangan
Tentang hubungan antara manusia dalam masyarakat kota itu sendiri
oleh Gist dan Fava dalam bukunya Urban Society (1964:488-497)
mempunyai beberapa dimensi antara lain:
a) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya berdasarkan aturan-aturan
atau norma keluarga, suku, dan badan agama
b) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh lembagalembaga politik, ekonomi, dan hukum atau lembaga-lembaga lain yang
formal sifatnya.
c) Hubungan atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh lembaga
atau pergaulan sosial yang sifatnya ditentukan oleh berbagai bentuk
asosiasi sukarela.
Interaksi ini dapat dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi,
proses budaya dan sebagainya, yang cepat atau lambat dapat menimbulkan
suatu kenyataan. Interaksi ini dapat terjadi karena adanya unsur-unsur dari
dalam itu sendiri, maupun di dalam kota ini. Arti "interaction" (interaksi)
menurut Yoseph S. Rouchek (Leibo,1990:15) adalah interaksi merupakan
suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap
perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung
maupun melalui media masa (kontak tidak langsung).
A. Potensi Desa
Ketergantungan kota terhadap desa, yaitu dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. Sebagai supplier bahan-bahan atau hasil pertanian, perikanan, petemakan
pun kerajnan sebagai kebutuhan masyarakat kota. Sebagai supplier bahanbahan tersebut karena diketahui bahwa desalah merupakan sumber
produksinya.
b. Sebagai supplier bahan-bahan mentah atau bahan baku bagi industri atau
pabrik-pabnik dan proyek-proyek.. Misalnya saja buah-buahan untuk pabrik
minuman, kapas untuk industn kecil, kopra untuk minyak goreng, ataupun
bahan-bahan untuk bahan material bagi proyek-proyek pembangunan
(gedung, jalan, jembatan dan sebagainya).
c. Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri (barang-barang jadi maupun
alat-alat mekanisasi pertanian, dsb)
d Sebagai sumber tenaga kerja bagi industri-industri, pabnik-pabrik, dsb.
Dengan saling interaksi semacam ini, ada suatu hal yang harus diingat
yaitu bahwa: sampai berapa jauh ketergantungan/interaksi dasa terhadap
kota tergantung dari besarnya kota itu sendiri. Semakin terisolasir suatu desa
semakin kecil ketergantungan terhadap kota. Hal diatas terjadi demikian
oleh karena secara geografis desa terisolir, keadaan ini menimbulkan "Lack
of Comminication" yaitu hubungan dengan masyarakat luar tidak
terselenggara dengan baik karena sulitnya transportasi, dsb.
B. Potensi Kota
Interaksi terjadi atas dasar potensi yang ada baik pada masyarakat desa
maupun kota, maka sifat ketergantungannya dapat dilihat dalam hal sebagai
berikut:
a. Kerana kota merupakan tempat pemasaran hasil-hasıl pertanian,
penkanan, petemakan serta kerajinan tangan sekaligus sebagai tempat
mereka mendapatkan benda-benda pemuas kebutuhan hidup yang mereka
perlukan. Dari keadaan ini, ada dua hal yang dapat dilihat, pertama kota
merupakan "trade centre” dalam artian kota sebagai tempat mereka
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi).
b. Kota merupakan tempat dimana terdapat sarana-sarana pendidikan yang
dibutuhkan oleh orang-orang desa, terutama dalam melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi).
c. Kota sebagai tempat memperoleh lapangan kerja bagi desa, karena kita
mengetahui bahwa akibat sempitnya lahan pertanian yang dibandingkan
dengan jumlah penduduk yang cukup besar, mendorong orang desa untuk
melakukan mobilitas keluar desa untuk mendapatkan lapangan kerja.
Dengan saling interaksi semacam ini, ada suatu hal yang harus diingat
yaitu bahwa: sampai berapa jauh ketergantungan/interaksi dasa terhadap
kota tergantung dari besamya kota itu sendiri. Semakin terisolasir suatu
desa, semakin kecil ketergantungan terhadap kota. Hal diatas terjadi
demikian oleh karena secara geografis desa terisolir, keadaan ini
menimbulkan "Lack of Comminication " yaitu hubungan dengan masyarakat
luar tidak terselenggara dengan baik karena sulitnya transportasi, dsb.
C. Interdependensi Desa - Kota
Bilamana interaksi desa-kota dilihat dari sudut pandang dinamikanya,
maka disini dapat dilihat pengaruhnya yang cukup dominan dari masyarakat
kota atas masyarakat desa. Pengaruh ini dapat kita lihat lewat timbulnya
gejala-gejala yang ada di dalam masyarakat desa antara laın :
a. Adanya disequilibrium atau ketidakseimbangan dalam beberapa aspek
kehidupan di desa misalnya pemilikan barang-barang tertentu, tidak
digunakan sebagaimana fungsinya, akan tetapi berlaku sebagai status simbol
sosial saja. Pesawat televisi berwama yang sesungguhnya sebagaimana
fungsinya, akan tetapi berfungsi sebagai status sosial bagi pemiliknya
Demikian juga dengan benda-benda berharga lainnya.
b. Adanya pertentangan antara tradisi dengan keadaan yang sedang
berkembang. Kalau kita pandang tradisi dalam pengertian yang sederhana
adalah adat. Adat adalah aturan sikap dan tingkah laku dalam berkelompok.
Aturan ierucbut berasal dari masa lampau. Oleh karena itu dalam pengertian
tradisi, selalu terkandung makna "ajeg" dari waktu-waktu. Dengan demikian
masyarakat tradisional adalah masyarakat yang "ajeg" yang relatif hampir
tidak menunjukan perubahan sama sekali.memang kalau kita melihat
masyarakat desa yang masih sederhana, yang sedikit banyak masih dalam
sistem ekonomi rumah tangga tertutup, tradisi masih bisa tetap bertahan
dengan kuat, kemudian dapat bisa mengatur sikap dan tingkah laku para
anggotanya secara efisien. Jadi kondisi sosial masih bisa dibentuk oleh
tradisi tersebut. Dalam kenyataanya masyarakat desa seperti ini sudah jarang
kita jumpai. Desa-desa atau daerah-daerah yang terisolasir, tidak dapat
mempertahankan isolasinya karena kemajuan-kemajuan teknologi modem
(revolusi dibidang komunikasi, transportasi, elektronika, radio, dsb)
menyebabkan jaringan komunikasi ini dapat menerobos ke daerah-daerah
bagaimanapun sukamya. Sementara itu pertambahan penduduk yang pesat,
cukup punya pengaruh yang dominan bagi semakin sulitnya desa-desa tetap
mempertahankan kondisi "self suporting", meskipun teknologi, dibidang
pertanian sudah maju. Dengan demikian keadaan diatas tentunya
berpengaruh pada berlakunya tradisi yang ada. Sebagai contoh "Sambatan"
(kerja bareng) yang sesungguhnya punya fungsi sebagai sistem kerjasama
dengan sempitnya lahan garapan sudah dipandang tidak efektif lagi. Begitu
pula dengan "slametan" yang memiliki fungsi sebagai sistem ikatan sosial,
dipandang terlalu mahal.
c. Lembaga-lembaga tradisional tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat desa. Gist dan Fava dalam bukunya "Urban Society"
mengartikan salah satu lembaga tradisional ialah keluarga inti/keluarga
batih. Dalam masyarakat tradisional atau yang masih sederhana disebut
bahwa segala macam aspek kehidupan hampir dapat memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat secara umum. Akan tetapi kita melihat saat ini
dimana adanya kontak dengan dunia luar (terutama dengan masyarakat kota)
maka berkembanglah kondisi-kondisi yang lebih baru yang lebih lanjut
berakibat terjadinya perubahan-perubahan ataupun pergeseran dalam fungsi
atau kepentingan tertentu.
Semula urbanisası dipercaya banyak orang dapat memberikan
kemakmuran di kota maupun di desa, tetapı tampaknya perkiraan tersebut
tidak seluruhnya benar teriadi. Dengan berduyun-duyunnya penduduk desa
ke kota, diharapkan para urbanis tidak saja ikut mampu membangun kota,
tetapi diharapkan pula mampu membangun desanya melalui penghasilan
yang disisihkan sebagai suatu modal untuk melakukan kegiatan ekonomi
desa.
Memang
penghasilan
yang
disisihkan
ini
mampu
menambah
kesejahteraan penduduk desa, tetapi tidak mampu untuk melakukan
dinamisasi aktivitas perekonomian di desa. Hal ini dikarenakan penghasilan
yang ditinggalkan di desa seringkali digunakan untuk mengkonsumsi
barang-barang konsumtif yang dihasilkan oleh kota, seperti televise, radio,
VCD, atau untuk biaya sekolah anak-anak yang masih kecil maupun untuk
membangun rumah.
Selama desa dan kota mengalami kesenjangan, pengereman arus
urbanisasi sulit dilakukan. Untuk mengatasinya perlu ditawarkan lebih
banyak alternatif lapangan pekerjaan di desa, dengan memberikan
keterampilan kepada masyarakatnya untuk dapat melakukan aktivitas
industri rumah tangga, seperti kerajinan tangan, home industri, dan lain-lain.
Produk ini dapat dipasarkan untuk konsumsi masyarakat kota atau
masyarakat pinggiran kota, dengan mengingat standar tertentu, seperti factor
higienis.penyajian, dan mode yang menarik serta manajemen yang lebih
professional. Apabila standar kualitas produk dapat dipenuhi akan dapat
dilakukan kerja sama antara industri rumah tangga di desa dengan industri di
kota
Penciptaan lapangan kerja di desa ini kiranya bukan sesuatu yang
mudah digerakkan karena berkaitan masalah kultural, motivasi kerja,
keterampilan, dan modal. Pada masa otonomi daerah masalah ini perlu
diperhatikan. Salah satu jalan yang terbaik adalah dengan melakukan
pemberdayaan masyarakat desa. Dengan pemberdayaan ini diharapkan
masyarakat desa memiliki aktivitas ekonomi sendiri sehingga penduduk usia
produktif tidak perlu ke kota untuk mencari lapangan kerja. Bahkan dengan
penciptaan lapangan kerja di desa penduduk usia non produktif (anak-anak
dan usia lanjut ) bisa memperoleh kesibukan dengan membantu kegiatan
ekonomi yang terselenggara, seperti membantu dalam proses produksi. Hal
yang sama terjadi di beberapa kota di RRC dewasa ini bahwa industri rumah
tangga mengikutsertakan penduduk usia nonproduktif dalam proses
produksi, seperti aktivitas perakitan produk-produk elektronik dan mainan
anak-anak untuk diekspor.
Apabila
kegiatan
ekonomi
di
desa
ditumbuhkan,
penghasilan
masyarakat akan meningkat. Akibatnya ada kecenderungan orang untuk
membelanjakan penghasilannya sehingga dibutuhkan prasarana dan sarana
lain tertentu dengan level tertentu, seperti supermarket, tempat hiburan, dan
jaringan telekomunikasi. Dengan demikian perbedaan desa dan kota tidak
terlalu mencolok sehingga kota tidak over-urbanized.
 Latihan
I. Jelaskan potensi desa sesuai dengan kondisi alam dan sosial budayanya !
2. Jelaskan potensi kota sesuai dengan karakteristik wilayahnya !
3. Apa yang dimaksud dengan Interaksi desa-kota ?
4. Apa upaya untuk mengerem laju migrasi ke kota ?
5. Jelaskan pengaruh dari adanya interaksi desa – kota !
 Ringkasan
Interaksi merupakan suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya,
dan sebagainya yang cepat atau lambat dapat menimbulkan suatu kenyataan.
Interaksi desa kota berarti interaksi antara desa dan kota berdasarkan potensi
dari masing-masing wilayah tersebut. Interaksi desa kota tergantung dari
besamya kota itu sendiri dan semakin terisolir suatu desa semakin kecil
ketergantungan terhadap kota.
Pengaruh dari adanya interaksi desa- kota adalah : (1) adanya
disequilibrium atau ketidakseimbangan dalam beberapa aspek kehidupan di
desa, (2) adanya pertentangan antara tradisi dengan keadaan yang sedang
berkembang, dan (3) lembaga-lembaga tradisional tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat desa.
Untuk dapat mengerem laju migrasi penduduk desa ke kota tidak lain
adalah melalui pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa
berdampak pada peningkatan ekonomi perdesaan karena mampu memberikan
lapangan pekerjaan kepada usia produktif maupun non produktif.
BAB VII. URBANISASI DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Urbanisasi
Dalam rangka menemukan
sebuah definisi
atau
konsepsi
urbanisasi diperlukan beberapa pertimbangan dimana pertimbangan
ini didasarkan atas sifat yang dimiliki arti dan istilah urbanisasi,
yaitu multi sektoral dan kompleks, misalnya sara : (l) dari segi
Demografi,
urbanisasi
ditunjukkan
melalui
ini dilihat sebagai
perubahan
suatu wilayah. Masalah-masalah
berakibat
suatu
proses yang
penyebaran penduduk
mengenai
dalam
kepadatan penduduk
lanjut terhadap masalah perumahan dan masalah kelebihan
tenaga kerja menjadi masalah yang sangat merisaukan karena dapat
menghambat pembangunan, (2) dan dari segi ekonomi, urbanisasi
adalah perubahan struktural
dalam
Ini dapat dilihat dari banyaknya
meninggalkan
pekerjaannya
sektor
mata pencaharian.
penduduk
desa
yang
di bidang pertanian, beralih bekerja
menjadi buruh atau pekerja kasar yang sifatnya non agraris di kota.
Masalah-rnasalah yang menyangkut mata pencaharian sektor informal
atau lebih dikenal dengan istilah pedagang kaki lima, (3) dalam
pengertian sosiologi rnaka urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup
penduduk dalam lingkungan perdesaan yang mendapat pengaruh
dari kehidupan kota. Dal am hal ini apakah mereka dapat bertahan
pada cara hidup orang kota yang belum mereka kenal secara
mendalam,
sehingga akan dapat menimbulkan masalah-masalah
sosiologis yang barn. Dari segi
sosiologi
urbanisasi
dapat
menimbulkan lapisan sosial yang baru clan menjadi beban kota
karena kebanyakan dari mereka yang tidak berhasil hidup layak di
kota dan akan menjadi penggclandang membentuk daerah slum atau
daerah human liar, dan (4) dalam pengertian geografi, urbanisasi ini
dilihat dari segi distribusi, difusi perubahan, dan pola menurut waktu
dan tempat.
Selain itu urbanisasi
dapat juga
dipandang
sebagai suatu
proses, yaitu : (1) meningkatnya jumlah penduduk kota menjadi lebih
mengggelembungdan
membengkak
sebagai
akibat
dari
pertambahan penduduk, baik oleh basil kenaikan fertilitas penghuni
kota maupun karena adanya tembahan penduduk dari desa yang
bermukim dan berkembangg di kota, mirip dengan apa yang terjadi
di Asia Tenggara, (2) bertambahnya
Negara atau
wilayah
ckonomi, budaya.
sebagai
jumlah
akibat
kota dalam
dari
suatu
perkembangan
dao teknologi yang baru, dan (3) berubahnya
kehidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kehidupan kota.
Dalam proses urbanisasi ini ada lima hal penting harus menjadi
perhatian, yaitu:

Mengenai proses inovasi generasi ke genersi

Mengenai penyebaran dan inovasi tersebut

Mengenai control terhadap pengambilan keputusan

Mengenai proses latar belakang perpindahan penduduk; dan

Pembiayaan yang berkaitan dengan penanganan urbanisasi ini.
Adapun tingkat kecepatan urbanisasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain adalah:

Tingkat Pendidikan penduduk terlibat

Tingkat kesehatan masyarakat

Presentase penduduk miskin

Latar belakang pertanian di daerah pedesaan

Kondisi geografis

Fungsi serta peran kota sebagai faktor penarik

Tingkat kebutuhan akan lapangan pekerjaan.
Kalau kita melihat pengertian tentang urbanisasi ini, mengandung arti
bermacam-macam antara lain seperti apa yang dikemukakan Schoorl
(198:263) sebagai berikut:
a. Arus pindahnya kota
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris disektor industry
dan sektor jasa.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota
d. Meluasnya pengaruh kota di daerah pedesaan mengenai segi ekonomi,
sosial, budaya, dan psikologi.
Istilah “urbanisasi” merupakan
sebuah istilah yang banyak dikenal
dalam dunia pengetahuan, baik di Indonesia maupun luar negeri. Istilah
tersebut tidak hanya dikenal tetapi juga dialami oleh penduduk kota dan
desa, terutama di negara-negara sedang berkembang. Baik di sadari maupun
tidak mereka itu ikut menjadi penyebab atau bebab urbanisasi. Urbanisasi
merupakan suatu gejala, peristiwa, atau proses yang sifatnya multisectoral,
baik
ditinjau
dari
sebab
maupun
akibatnya
yang
di
timbulkan.
Permasalahannya Nampak sederhana maupun sifatnya sangat kompleks.
Ditinjau dari konsep keruangan (spasial) dan ekologi, urbanisasi
merupakan gejala, geografis, pertama, karena adanya gerakan/perpindahan
penduduk dalam satu wilayah satu perpindahan penduduk yang terjadi
disebabkan adanya salah satu kompenen dari ekosistem setempat. Ketiga,
terjadinya adaptasi ekologis yang baru bagi penduduk dari daerah asal
daerah yang baru, dalam hal ini kota.
Seorang
ahli
ekonomi
perkotaan
dari
Universitas
Colombia
menyebutkan bahwa urbanisasi adalah wujud perubahan ekonomi dan cara
hidup masyarakat dan berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, dan
bahwasanya laju peningkatan GNP perkapita tergantung pada cepatnya
urbanisasi dipacu. Demikian juga Jacopbon dan Prakash ahli ekonomi dari
Beverlay dan Goh dari Oxford University dalam banyak penelitian
perkotaan di Asia Tenggara setelah tahun 1970-an menyimpulkan bahwa
tingkat urbanisasi yang terlampau rendah dan mengabaikan kebutuhankebutuhan kota, dapat memperlambat kemajuan ekonomi dan menimbulkan
kemunduran lingkungan kota yang membahayakan.
Secara demografis urbanisasi diartikan sebagai proporsi penduduk
perkotaan terhadap total penduduk pada suatu negara. Prosesnya
berlangsung sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Dengan menggunakan definisi demografis tersebut, dapat dihitung bahwa
pada tahun 1980 tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 22,3% sementara
pada tahun 1990 angak ini mecapai30,9% pada thun 1995 (dapat SUPAS
1995) propinsi ini mencapai 36% artinya secara rata-rata dari tiap 100 orang
di Indonesia 36 orang diantaranya tinggal di wilayah perkotaan, dan tentu
saja angka ini meningkat terus dari waktu ke waktu.
Perkembangan penduduk perkotaan serta urbanisasi yang di jelaskan
diaas adalah suatu yang tidak mungkin kita hindari. Suka atau tidak suka,
siap atau tidak siap, kita akan menghadapi arus ini. Dengan demikian
tampaknya tidak ada pilihan lagi bagi kita, selain harus menghadapi serta
mengelolanya. Suatu konsekwensi langsung dari perkembangan ini adalah
perkembangan kota-kota karena setelah melewati tahun 2005, maka
berangsur-agsur sebagian besar penduduk Indonesia akan berada di wilayah
perkotaan.
B. Faktor pendorong dan Penarik Urbanisasi (Push and Pull Factor)
Para ahli demografi pada umumnya cenderung untuk menggunakan
faktor-faktor daya tarik dan daya dorong (push and pull factor) pada waktu
mereka berbicara mengenru urbanisasi. Secara umum jika menelaah sebabsebab urbanisasi, maka kedua faktor diatas harus diperhahkan
faktor-faktor
pendorong bagi penduduk desa meninggalkan tempat ked1amannya (push
factor)
adalah
hubungannya
: Lapangan kerja yang relatif
langka,
yang mi
ada
dengan man land ratio yang timpang. Di desa tidak ada
kesempatan untuk menambah pengetahuan Oleh karena itu yang punya
keinginan labih maju, kemudian meninggalkan desanya.
Penduduk desa terutama kaum mudanya, merasa tertekan oleh adat istiadat
yang ketat menyebabkan cara hidup yang ada monoton saja. Untuk
mengembangkan pertumbuhan jiwanya mereka banyak yang pergi ke kota. Bagi
penduduk yang mgin mengembangkan
keahlian
(pengembangan skill) yang lain
dari pertanian. Misalnya bidang industry kecil dan kerajinan, mereka ini tentu
menginginkan prasarana yang lebih luas. Dan ini tidak mungkin terdapat di
desa.
a. Rekreasi sebagai salah satu faktor penting dibidang spriritual sangat
kurang, kalaupun ada sangat lambat perkembangannya.
Sedangkan faktor-faktor penarik dari kota (pull factor) yang menjadikan
penduduk datang ke kota adalah:
a. Penduduk desa kebanyakan dihinggapi anggapan bahwa dikota banyak
tersedia lapangan pekerjaan, serta banyak penghasilan (uang). Atau kota
sebagai prasarana tenaga kerja.
b. Kota
merupakan
pusat
fasilitas.
Misalnya
bidang
Pendidikan
(pendidikan lanjutan), juga rekreasi, dan lain-lain.
c. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, dan
merupakan tempat pergaulan dan segala macam orang dari berbagai
lapisan.
d. Kota merupakan tempat untuk mengembangkan sklill atau semi skill
yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
Dari kedua faktor diatas jika melihat lebih mendalam, proses
migrasi kekota itu menyangkut keputusan dan tindakan yang tidak
demikian sederhannya. Dalam pengambilan keputusan dan perujudannya
berupa tindakan untuk bermigrasi kekota, telah melalui proses kognitif
yang kompleks, yang merupakan faktor-faktor daya Tarik kota dan gaya
dorong desa, nampaknya hanya merupakan faktor eksternal saja. Mengapa
demikian? Hal ini karena dalam proses kognitif itu telah terjadi dalam diri
si pelaku hal-hal sebagai berkut:
(1) Faktor-faktor diatas (push and pull factor) telah terinterpretasikan.
Sehingga interpretasi inilah yang ada dalam sistem pengetahuan si
pelaku.
(2)
Interpretasi tersebut diatas disesuaikan dengan kebutuhan yang
dirasakan,
hubungannya
dengan
usaha
mempertahankan
hidupnya. Sehingga yang lebih menonjoln dalam proses
pengambilan keputusan dan dindakan untuk bermigrasi kekota
adalah : “kebutuhan yang dirasakan itu”
(3)
Sehubungan dengan kebutuha yang dirasakan itu, yang paling
utama yang ada pada setiap manusia (termasuk juga warga
desanya)
adalah
kebutuhan
untuk
dapat
tetap
dapat
melangsungkan kehidupannya (survival).
Keputusan untuk bermigrasi yang diwujudkan dalam tindakan
meninggalkan desa, biasanya diambil kalua mereka memperhitungkan
bahwa kehidupan mereka ditempat yang baru akan menjadi lebih baik dari
tempat asalnya (baik dalam artian secara jasmaniah, sosial, maupun
kejiwaan atau salah satu diantaranya). Namun kadangkala ataupun kerap
terjadi apa yang diidamkan itu lain dengan kenyataan yang mereka alami.
Terutama yang bermigrasi buruh tani yang tidak memiliki pengetahuan
khusus, tapi bisa menggunakan tenaga untuk pekerja mereka. Atau pelajar
dengan meggunakan pengetahuan umum, yang tidak mempunyai suatu
keahlian pengetahuan spesialis.
Mereka yang disebutkan diatas , karena tidak mempunyai modal uang,
dikota
mereka
bekerja
pada
lapangan-lapangan
pekerjaan
yang
memerlukan tenaga kasar, karena itu pendapatan mereka pun tergolong
rendah. Sebagian dari mereka yang tidak memperoleh pekerjaan dengan
sistem upah, biasanya menjadi “gelandangan” (tuna karya).
Di Indonesia urbanisasi pada umumnya mempunya kaitan dengan
timbulnya masalah-masalah sosial, ekonomi, dan pemukiman, baik dikota
maupun didesa. Sebab-sebab urbanisasi antara lain:
a. Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami kota
b. Sebagai akibat dari perpindahan penduduk dari desa kekota
c. Berkembangnya daerah tepian kota.
Kadang-kadang ketiga sebab tersebut terjadi bersama-sama, sehingga
dapat mempercepat proses urbanisasi disuatu wilayah tertentu,
kecepatan urbanisasi di
Indonesia tergantung pada beberapa faktor
antara lain:
a. Tingkat Pendidikan penduduk terlibat
b. Tingkat kesehatan masyarakat
c. Presentase penduduk miskin
d. Latar belakang pertanian di daerah pedesaan
e. Fungsi serta peranan kota-kota sebagai faktor penarik.
Kecepatan urbanisasi ini juga merupakan akibat dari lajunya
pembangunan kot adan sekitarnya antara lain perluasan daerah-daerah
industry ditepian kota, sehingga kesempatan kerjapun lebih meningkat
tenaga kerja dari daerah sekitarnya kota tersebut.
Sebagai akibat dari cepatnya pertumbuhan penduduk yang ditunjang
dengan perkembangan ekonomi, transportasi dan Pendidikan, maka
frekuensi mobilitas semakin meningkat. Urbanisasi sebagai salah satu hasil
dari
keadaan tersebut diatas telah melanda kota-kota dinegara maju
maupun negara berkembang. Maka ternyata urbanisasi ini memiliki
implikasi terhadap berbagai sektor kehidupan seperti:
(a) Jumlah perluasan fisik kota kearah daerah tepian atu pinggiran kota
yang
menimbulkan permasalahan baru mengenai soal administratif
pertanahan dan administratif pemerintahan.
(b) Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut di
perhatikan. Banyak daerah hijau (Green Belt) telah menjadi daerah
industry atau daerah permukiman.
(c) Pertambahan penduduk kota begitu cepat, sudah sulit diikuti dengan
kemampuan daya dukung kotanya.
(d) Pertambahan kesadaran bermotor dua dan empat yang membanjiri kota
dengan tidak henti-hentinya menimbulkan berbagi pencemaran seperti
pencemaran udara, kebisingan.
(e) Dalam sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi.
Bermacam-macam usaha atau kegiatan disbanding transportasi,
perdagangan dan jasa timbul dari mereka yang bermodal gurem sampai
yang bermodal besar, terutama timbulnya kegiatan sektor informal.
Hal lain yang merupakan implikasi negative daripada urbanisasi adalah
apa yang disebut sebagai “Housing Problem” yaitu:
a. Rumah-rumah permanent (sementara) dengan kondisi MCK yang
buruk, yang letaknya berdampingan satu sama lainnya, dengan luas
tempat tinggal yang terbatas atau menciptakan kondisi kesehatan yang
buruk.
b. Dengan keadaan yang seperti diatas itu, maka membawa pengaruh
buruk bagi perkembangan jiwa anak (timbulnya kenakalan anak
remaja), dan kadangkala hubungan ketetanggaan yang ada kurang
harmonis. Juga timbulnya berbagai macam kriminalitas.
Pengaruh urbanisasi tidak saja membawa hal negatif bagi masyarakat
tempat mereka bermukim, akan tetapi hal yang sama berlaku juga bagi
tempat yang mereka tinggalkan (desanya). Desa yang ditinggalkan terlihat
hal-hal sebagai berikut :
(1) Hilangnya tenaga muda sebagai tenaga potensial bagi pembangunan
desanya
(2) Terjadinya perubahan hubungan dalam keluarga seperti (hubungan
“anak-ayah” relatif menjadi renggang)
(3) Timbulnya pendidikan anak yang matriarchat. Artinya pendidikan anak
yang diperoleh dari ibu saja, karena yang meninggalkan desa biasanya
kaum lelaki. Pendidikan disini maksudnya dalam proses sosialisasi anak.
(4) Juga terjadi krsis moral dikalangan masyarakat yang bersangkutan.
Peran kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sebagainya konsentrasi
penduduk akan menjadi sangat menonjol. Diakui bahwa akan banyak
dampak negatif dari urbanisasi yang sangat cepat ini, mulai dari masalahmasalah lingkungan seperti pencemaran/polusi air, udara, dan tanah.
Kemacetan lalulintas, hilangnya lahan-lahan pertanian subur, kebutuhan
akan prasarana dan sarana kota yang semakin meningkat, sampai kepada
masalah-masalah sosial seperti kriminalitas, penyedia lapangan kerja
bahkan kesenjangan sosial. Namun demikian, terlepas dari masalahmasalah tersebut, perkembangan kota seperti ini juga mempunyai dampak
positif, misalnya pada tahun 1990 tercatat kontribusi sektor-sektor ekonomi
perkotaan pada GDP di Indonesia telah mencapai 50% dan angka ini
diperkirakan meningkat lagi dimasa akan datang.
Dilihat persebaran jumlah penduduk perkotaan di Indonesia masingmasing sangat terkonsentrasi di kota-kota besar saja. Data sensus penduduk
1990 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di metropolitan
Jabotabek telah mencapai 23,6%. Sementara itu jumlah penduduk
perkotaan pada empat wilayah metropolitan terbesar (JABOTABEK,
GERBANGKERTASUSILA, BANDUNG RAYA, dan MEDAN RAYA)
telah mencapai 40,6%. Hal tersebut sesungguhnya mencerminkan
kesenjangan antara perkembangan kota-kota besar dengan kota-kota kecil
yang menjadi ciri umum pola urbanisasi di negara-negara yang sedang
berkembang yang secara sangat tegas ditujukan misalnya oleh metropolitan
Bangkok di Thailand. Sampai dengan tahun 2005, JABODETABEK masih
akan mendominasi konsentrasi penduduk perkotaan di Indonesia.
Dilihat dari kegiatan ekonominya, perkembangan kota-kota besar di
Indonesia seperti juga yang terjadi di berbagai negara sedang berkembang,
mulai dicirikan dengan perkembangan sektor-sektor jasa dan umunya
berlokasi di wilayah pusat kota. Sementara itu kegiatan manufaktur
bergeser ke pinggiran kota. Disamping itu wilayah pinggir kota semakin
dominasi oleh pembangunan permukiman berskala besar dan kota-kota
baru yang sebagian dibangun secara eksklusif untuk kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi. Bila dilihat dari lapangan kerja, kota-kota besar
semakin beragamnya segmen-segmen lapangan kerja, mulai dari menejer,
professional, sampai kepada pekerja-pekerja yang berada disektor
informal.
C. Perkembangan Urbanisasi
Pada masa industri kota diwarnai dengan proses urbanisasi yang
ditandai dengan kedatangan para pekerja ke kota. Akibatnya pusat kota
menjadi padat penduduk. Kota menjadi bising dan nilai lahan menjadi
tinggi. Kondisi ini mendorong sebagian penduduk kota menempati daerah
pinggiran kota sebagai tempat tinggal. Proses berpindahnya penduduk ke
pinggiran kota disebut dengan suburbanisasi.
Suburbanisasi biasanya dilakukan oleh penduduk yang berstatus social
ekonomi menengah ke atas. Mereka mencari kawasan strategis sebagai
tempat tinggal. Beberapa kawasan yang dianggap strategis adalah kawasan
yang
nyaman
dan
aman
lingkungannya,
kawasan
yang
indah
pemandangannya, dan kawasan yang pada masa mendatang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi.
Sebagian penduduk kota yang tidak melakukan suburbanisasi adalah
penduduk lama kota tersebut, sekalipun tingkat status sosial ekonominya
tidak rendah. Penduduk lama suatu kota biasanya telah terpolakan
kegiatannya sudah sejak dari awal tinggal di pusat kota Mereka terbiasa
memenuhi kegiatan dan kebutuhan hidupnya di pusat kota dengan segera,
misalnya pergi ke tempat kerja tanpa memakan waktu yang lama, memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan hiburan yang terdapat di pusat kota. Akibatnya
mereka enggan meninggalkan pusat kota. Mereka lebih suka menetap di
tengah kota dan tinggal di rumah dan toko (ruko) serta rumah dan kantor
(rukan) sebagai tempat tinggal sekaligus tempat untuk usaha.
Penduduk kota dengan status sosial ekonomi rendah seperti buruh, tetap
memadati pusat kotak karena pertimbangan biaya transportasi. Dengan tetap
tinggal di pusat kota mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi
yang dirasakan cukup besar daripada jika tinggal di kawasan pinggiran kota
(suburban). Mereka bahkan memilih tinggal di gubuk-gubuk kota di daerah
slum maupun squatter dipusat kota. Mereka rela tidur di ruang yang sempit
dan pengap. Kadangkala di tempat itu seorang istri membuka warung makan
atau kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para buruh.
Ketika malam tiba mereka sekeluarga tidur di dalam warung itu. Ada pula
beberapa kelompok pengembara, pengemis yang tidur di teras-teras tempat
umum atau berteduh di teras serambi suatu kantor. toko maupun bangunan
lainnya.
Pada perkembangannya di kota yang padat terpikirkan juga penyediaan
suatu tempat tinggal eksklusif dipusat kota. Tempat tinggal eksklusif yang
bersusun dengan perlengkapan modern yang biasa ditempati oleh
masyarakat kota kelas atas disebut apartemen. Unit-unit apartemen ini ada
yang disewakan maupun dijual. Pembangunan apartemen dan rumah-rumah
eksklusif di pusat kota mendorong masyarakat kelas atas dan elite tertarik
kembali untuk tinggal di pusat kota. Tempat tinggal yang eksklusif ini lebih
efisien, praktis, privat, dan mendatangkan rasa gengsi tersendiri. Sedangkan
tempat tinggal bersusun dengan perlengkapan yang sederhana yang biasa
ditempati oleh masyarakat kota kelas bawah disebut dengan rumah susun.
Rumah susun adakalanya juga dibangun di pusat kota. Proses menempati
kembali pusat-pusat kota oleh penduduk disebut reurbanisasi
Pada tahap selanjutnya dengan meingkatnya taraf kehidupan yang lebih
tinggi lagi, masyarakat kelas atas kembali membutuhkan tempat istirahat dan
kenyamanan tempat tinggal yang lebih tinggi pula. Masyarakat kota kelas
atas seperti golongan elite membutuhkan tempat tinggal di luar kota ( daerah
penyangga kota ) dengan mencari kawasan yang sejuk dan indah. Mereka
membangun villa di pegunungan yang sejuk. Kegiatan sehari-hari tetap
dilakukan di pusat kota, tetapi pada hari libur mereka beristirahat di villavilla Proses berpindahnya penduduk kota ke luar kota disebut dengan
Konurbanisasi (Conurbanization). Biasanya proses konurbanisasi ini
melahirkan kegiatan lain yang mengikutinya di sepanjang jalan menuju
daerah penyangga, seperi rumah makan, hotel maupun penginapan, tempat
rekreasi dan tempat kesehatan Dewasa ini dimungkinkan pula kegiatan one
stop recreation yaitu pada satu tempat rekreasi dilakukan pula aktivitas yang
lain. Misalnya sebuah hotel atau penginapan selain menawarkan tempat
yang rekreatif, juga menawarkan pusat kebugaran, pusat kecantikan, serta
pusat jajanan dan makanan.
Masyarakat kota kelas menengah sebagian juga tinggal di luar kota. Hal
ini terjadi karena pembangunan perumahan diarahkan ke luar kota dan
mereka masih memiliki kemampuan mengeluarkan biaya transportasi untuk
melakukan pekerjaannya di pusat kota. Atau kalau tidak, masyarakat kelas
menengah melakukan aktivitas ekonomi di daerah penyangga, karena daerah
penyangga memiliki prospek baru untuk kegiatan ekonomi. Pusat kota
dianggap telah jenuh dengan altematif kegiatan ekonomi Sedangkan
masyarakat kota kelas bawah tetap tinggal di pusat kota atau di rumah susun
karena ketidakmampuannya memiliki rumah di luar pusat kota dan
ketidakmammpuannya pula mengeluarkan biaya transportasi untuk menuju
ke tempat bekerja di pusat kota
Perkembangan urbanisasi ke
suburbanisasi, reurbanisasi, dan
konurbanisasi dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Gambar 12. Perkembangan Urbanisasi
Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang pada
taraf tertentu telah mengalami urbanisasi yang cukup pesat. Dari. data yang
ada diperoleh penjelasan bahwa di Indonesia pada tahun 1960 penduduk
yang tinggal di kota sebesar 15%, tahun 1970 sebesar 17%, tahun 1980
sebesar 22% dan tahun 1990 sebesar 31%. Dapat diperkirakan tahun 2000
sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di kota. Pada masa-masa
mendatang angka persentase penduduk Indonesia yang tinggal di kota dapat
lebih tinggi lagi.
Tingkat urbanisasi yang tinggi banyak disebabkan oleh tingkat migrasi
dari desa ke kota Komponen peningkatan alamiah mengalami penurunan
yang cukup signifikan, yaitu dari 68% pada periode 1961 - 1971 menurun
menjadi 36,7% pada periode 1990 - 1995. Sebaliknya komponen migrasi
memberikan sumbangan yang makin besar terhadap pertumbuhan kota dari
tahun ke tahun. Apabila pada periode 1961 - 1971 angka migrasi hanya
sebesar 32%, pada periode 1990 — 1995 menjadi 63% atau meningkat
sebesar 31% selama lebih kurang tiga dekade. Indikator ini menunjukkan
bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan faktor penyebab
terjadinya pertumbuhan penduduk kota.
 Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan urbanisasi !
2. Terangkan faktor-faktor yang mendorong orang untuk berurbanisasi !
3. Terangkan faktor-faktor yang menarik orang untuk urbanisasi !
4. Jelaskan dampak urbanisasi terhadap desa maupun kota !
5. Bagaimana perkembangan urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia ?
 Ringkasan :
Urbanisasi merupakan suatu gejala, peristiwa atau proses yang sifatnya
multisektoral baik ditinjau dari sebab maupun akibat yang ditimbulkannya.
Sebagai suatu proses urbanisasi adalah : (1) peningkaan jumlah dan kepadatan
penduduk kota, dan (2) bertambahnya jumlah kota dalam suatu Negara atau
wilayah sebagai akibat dari perkembangan ekonomi, social budaya, dan
teknologi yang baru.
Adapun faktor pendorong urbanisasi adalah : (a) lapangan kerja yang
relative langka, (b) kurangnya kesempatan untuk menambah pengetahuan, (c)
cara hidup yang ada lebih monoton, (d) kemungkinan pengembangan keahlian
yang lain lebih besar, dan (e) kurangnya rekreasi dan hiburan. Sedangkan
faktor-faktor penarik dari kota adalah : (1) tersedianya lapangan kerja yang
banyak, (2) kota merupakan pusat fasilitas, (3) kota mempunyai tingkat
kebudayaan yang lebih tinggi, dan (4) kota tempat untuk mengembangkan skill
atau semi skill.
Implikasi urbanisasi terhadap berbagai sector kehidupan antara lain yaiu :
(a) jumlah perluasan fisik kota kearah pinggiran kota berdampak pada
administratif pertanahan dan pemerintahan, (b) perubahan tata guna lahan, (c)
berkurangnya daya dukung kota akibat pertambahan penduduk kota yang cepat,
(d) pertambahan kendaraan bermotor yang terus meningkat, dan (e) struktur
ekonomi menjadi lebih bervariasi.
Perkembangan urbanisasi pada kota-kota besar maupun kota-kota lainnya di
Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada
perkembangannya akibat terjadinya urbanisasi tidak saja penduduk kota
mengumpul di pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan tinggal di pusat
kota yang berakibat penduduk ( khususnya sebagian golongan masyarakat kelas
menengah dan atas ) mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota
( suburbanisasi ). Pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka
kembali lagi ke pusat kota ( reurbanisasi ) dengan gejala kota dipenuhi dengan
apartemen, perumahan eksklusif, rumah toko dan rumah susun. Pada tahap
selanjutnya masyarakat kelas atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran
yang lebih tinggi memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagaisuatu rekreasi
pada saat-saat tertentu ( konurbanisasi ) dengan aktivias tertentu yang
menyertainya. Gejala ini dapat dilihat dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat
peristirahatan di daerah penyangga kota. Upaya untuk mengurangi ledakan
penduduk di kota dapat dilakukan dengan mengurangi arus urbanisasi,
mengurangi kesenjangan kota — desa dan menerapkan konsep Agropolitan.
BAB VIIL PEMETAAN WILAYAH KOTA DAN IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN KOTA
A. Pengertian Pemetaan Wilayah Kota
Pemetaan wilayah kota merupakan kegiatan memetakan wilayah kota
baik secara teristris maupun secara fotogrametris. Pada skala kecil dengan
luas wilayah yang sempit digunakan pengukuran teristris yaitu pengukuran
langsung di lapangan. Sedangkan pada skala besar dengan wilayah yang
luas digunakan pengukuran secara fotogrametris, yaitu pengukuran
pembuatan peta melalui foto udara dengan menggunakan pesawat
terbang/satelit. Umumnya kota-kota besar di Indonesia sudah dipetakan
secara fotogrametris.
Hasil pemetaan tersebut selanjutnya diidentifikasi sesuai dengan
penampakan-penampakan yang ada di permukaan bumi baik penampakan
fisik (alam) maupun penampakan sosial budaya (buatan). Dari identifikasi
inilah diperoleh peta-peta secara tematis.
Dan selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai bahan dalam perencanaan wilayah.
Berkaitan dengan permasalahan kota yang muncul sebagai dampak dari
urbanisasi
maka
peta-peta
tematik
yang
ada
dapat
membantu
mengidentifikasi. Misalnya dimana lokasinya ? Berapa jaraknya dari satu
tempat ke tempat lainnya ? Bagaimana pola dan sebarannya ? Bagaimana
Kepadatannya ?. Data tersebut sangat diperlukan dalam menentukan
kebijakan pembangunan di suatu kota.
Adapun yang perlu dipetakan adalah:
1. Administrasi kota yang mencakup batas wilayah, seperti Kelurahan,
Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi.
2. Jaringan jalan dan tempat-tempat penting, Untuk jaringan jalan perlu
diketahui lebar dan kualitas jalannya. Sedangkan tempat-tempat penting
seperti terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, rumah ibadah, rumah sakit,
museum. tempat rekreasi,
3. Kerapatan Bangunan. Yaitu berapa jumlah rumah/bangunan tiap satuan
luas
4. Umur dan Tingkat Bangunan. Umur bangunan menunjukkan kapan
bangunan tersebut mulai dibangun, sedangkan tingkat bangunan
menunjukkan berapa jumlah lantai secara vertical
5. Kualitas Bangunan Adalah bahan-bahan bangunan yang digunakan
6. Penggunaan Lahan
7. Fasilitas Riool dan Kebersihan Kota
8. Fasilitas Ar Minum
9. Fasilitas Listrik
10. Status Tanah.
11. Harga Tanah per Meterperseg.
12. Data Lain seperti jumlah penduduk dan profesi mereka.
Dari data yang ada terkait dengan perencanaan kota, maka masih
terlihat
kesenjangan/ketimpangan.
Misalnya
jaringan
jalan
dengan
kemacetan lalu lintas, tempat-tempat penting seperti terminal, stasiun yang
masih semrawut, penggunaan lahan kota yang masih banyak tidak
sesuai/pelanggaran terhadap rencana umum tata ruang kota, jaringan riool
kota yang belum optimal fungsinya sehingga memberikan kontribusi
terhadap banjir, status tanah yang kepemilikannya masih banyak belum
jelas/overlapping, dan lain-lain.
Hal-hal
tersebut
sudah
barang
berkembangnya permasalahan perkotaan.
tentu
akan
berdampak
pada
B. Identifikasi Permasalahan Kota
Kota-kota besar di dunia menunjukkan tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi akibat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat secara
signifikan dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk dunia yang terus
bertambah ini terjadi karena angka natalitas selalu lebih besar dari angka
mortalitas.
Ada dua pendapat di kalangan para pakar dalam menghadapi
kemungkinan perusakan lingkungan alam oleh manusia, yaitu pandangan
pesimis dan pandangan optimis. Salah satu pandangan pesimis adalah dari
Thomas Robert Malthus (1978). Dalam teorinya yang terkenal itu, Malthus
berpendapat bahwa jumlah penduduk dunia akan meningkat seperti deret
ukur, sedangkan persediaan makanan hanya meningkat secara deret hitung.
Lambat-laun akan terjadi kekurangan pangan yang akan mengancam
kelestarian manusia.
Namun, Francis Bacon (abad ke-17) berpendapat bahwa ilmu dan
teknologi akan mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia.
Abraham Lincoln dan F.D Roosevelt juga yakin pada kemampuan manusia
untuk menguasai alamnya. Penemuan listrik, mesin, dan sebagainya
memang telah membuktikan bahwa manusia berhasil memecahkan berbagai
masalah pangan, transportasi, produksi, dan lainnyayang nyata telah
meningkatkan taraf hidup manusia.
Masalah lingkungan hidup sudah lama menjadi perhatian para ilmuwan,
tetapi sejak tahun 1972 masalah ini baru terangkat ke dalam dunia politik
setelah perwakilan berbagai negara menandatangani keputusan Konferensi
PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm. Sejak itu tanggal 5 Juni, yaitu
hari pembukaan Konferensi PBB dijadikan Hari Lingkungan Sedunia.
Perkembangan kota-kota yang semakin tak teratur pun terjadi bukan
hanya
semata-mata
karena
pertumbuhan
penduduk
yang
tinggi.
Kecenderungan angka urbanisasi lebih besar dari angka reurbanisasi.
Dengan kata lain orang lebih senang melakukan migrasi ke kota dari pada
keluar dari kota. Mungkin hal ini muncul karena adanya pandangan bahwa
kota dapat menyediakan kehidupan yang lebih baik dari pada tinggal di
perdesaan. Memang semua fasilitas kehidupan tersedia di kota. Dan
terjadilah berbagai efek dari memadatnya kota tersebut. Kota menjadi
semakin tidak teratur, baik dilihat secara fisik maupun dari sisi sosial
budaya.
Permasalahan ini sebetulnya tidak timbul baru-baru ini. Pada awal abad
ke 20, ketika revolusi industri bergulir, orang mulai menyadari masalah
yang timbul pada kota-kota modem di Eropa Penduduk meningkat dengan
cepat karena era mesin menyebabkan pabrik-pabrik yang ada di kota
memerlukan buruh dalam jumlah banyak. Kemudian muncul beberapa teori
perencanaan kota dari arsitek-arsitek terkenal saat itu. Misalnya Le
Corbuzier dengan The Radiant City. Ebenezer Howard dengan The Garden
City, dan Frank Lloyd Wright dengan Broadcare City-nya. Ketiganya
mencoba mengatasi masalah perkotaan yang ada dengan berdasarkan
idealisme mereka sendiri. Ide-ide tentang perencanaan kota yang muncul
kemudian lebih merupakan perkembangan atau kombinasi dari konsep yang
dibawa oleh ketiga tokoh tersebut.
Sekarang coba kita meninjau masalah yang terjadi di Indonesia
berkaitan dengan masalah yang terjadi pada kota-kota besar di dunia.
Seberapa besarkah relevansi antara masalah perkembangan kota di dunia
dengan yang ada di Indonesia. Ternyata justru masalah yang terjadi pada
kota-kota besar di Indonesia lebih kompleks dan lebih besar intensitasnya.
Kasus perkotaan yang terjadi di Indonesia secara umum mirip dengan apa
yang terjadi di dunia. Yang menjadikannya berbeda adalah karena kondisi
sosio-kultural yang ada di Indonesia dengan karakteristiknya sendiri.
Sentralisasi menjadi tema sentral yang mengemuka. Pemusatan
penduduk pada suatu daerah urban (kota) menimbulkan masalah-masalah
yang cukup pelik. Indonesia dengan penduduk yang terbesar ke lima di
dunia, mayoritas penduduknya tinggal di Pulau Jawa
Permasalahan yang terjadi akibat kepadatan penduduk beraneka ragam.
Dimulai dari masalah fisik sampai masalah sosial. Masalah fisik yang terjadi
contohnya seperti munculnya permukiman kumuh, pencemaran udara,
sulitnya air bersih, menumpuknya sampah, kemacetan lalu-lintas, dan lainlain. Masalah sosial yang muncul tidak kalah peliknya dengan masalah fisik.
Deviasi yang terlalu besar dari masyarakat berdasarkan tingkat
pendidikan,
status
social,
kekayaan,
dan
lain-lain
menimbulkan
permasalahan seperti pengangguran, kriminalitas, segregasi sosial, dan
masalah lainnya yang diakibatkan oleh ketimpangan yang ada. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa para pendatang ke kota-kota besar akan
menimbulkan problem yang menimpa kota yang didatangi, baik yang
bersifat fisik maupun sosial. Diakui atau tidak, semua persoalan diantaranya
mucul akibat tekanan jumlah penduduk yang terus bertambah. Problema
yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara maju, lambat atau cepat
dihadapi pula oleh kota-kota besar di Indonesia.
Kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire,
tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kecuali
pada kota-kota baru yang memang direncanakan sejak awal seperti
Tanjungpura
atau
Tembagapura,
kota-kota
kita
tidak
betul-betul
dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan
penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek.
Oleh karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh bila kota-kota
besar di Indonesia menampilkan wajah ganda. Di suatu sisi terlihat
perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud
arsitektur modern dan pasca modern di sepanjang tepi jalan utama kota. Di
balik semua keanggunan itu, nampak menjamurnya lungan kumuh dengan
sarana dan prasarana yang sangat tidak memadai untuk mendukung
keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya.
Sungai yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai
salah satu sumber kehidupan penduduk, tidak lagi bisa melanjutkan
fungsinya karena kadar pencemaran yang melampaui ambang batas. Taman
dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi
bangunan yang makin memperpadat lingkungan binaan.
Dalam beberapa kasus bahkan lapangan atau alun-alun yang merupakan
paru-paru kota dan menjadi lambang kebanggaan penduduk, terpaksa
merelakan diri untuk diubah fungsinya menjadi kawasan atau perdagangan.
Lingkungan pantai dan tambak
yang selama berabad-abad telah
menjalankan tugas secara prima sebagai penjaga gawang ekologis, dengan
serta merta berubah menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, perhotelan
dan kegiatan komersial lainnya. Akibatnya sudah dapat ditebak sejak awal,
banjir yang semakin parah pada kota-kota yang berada di tepi pantai. Kota
menjadi semakin padat, sumpek dan semrawut. Jatidiri kota pun cenderung
luntur. Kekhasan setempat yang semula menyiratkan citra spesifik, kian
lama kian pudar.
Kecenderungan lunturnya identitas perkotaan terjadi tidak hanya di
Indonesia, melainkan sudah mewabah dalam skala dunia. Chicago, misalnya
yang dilecehkan dengan sebutan Sickago, Frankfurt pun dijuluki Krankkurt,
alias kota yang sakit. Dan Indianapolis diberi nama ledekan India-no-place,
karena tidak adanya rasa tempat (sence of place).
Berikut ini dapat dikemukakan contoh-contoh permasalahan kota yang
muncul di DKI Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia.
1. Kemerosotan Lingkungan
Piagam bumi merupakan sebagian dari hasil kesepakatan KTT Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 3 – 14 Juni 1992. Piagam ini berisi
pernyataan, bahwa segala perbuatan manusia terhadap alam dan
lingkungannya merupakan awal dari kerusakan alam dan sumber daya yang
sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan.
Dengan ditandatanganinya Piagam Bumi ini, berarti kita semua telah
sepakat bahwa dengan segala daya upaya, kita tidak akan lagi melecehkan
lingkungan (environmental abuse). Segala kemampuan yang kita miliki,
akan kita arahkan guna mewujudkan bumi ini sebagai suatu tempat yang
aman dan nyaman bagi generasi sekarang dan yang akan datang atau sesuai
dengan aslinya : “I pledge to act to the best of my ability to help make The
earth a secure and hospitable home for present and future genrations”.
Kejadian ini merupakan penyegaran kembali bagi motto “pembangunan
berkelanjutan” yang rasanya mulai agak dilupakan orang. Definisi popular
dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini adalah
“ menjamin bahwa pembangunan yang kita lakukan saat ini dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan dari
generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya”.
Definisi ini mengandung arti, bagaimana pembangunan dapat berjalan
tanpa melampaui ambang batas daya dukung lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi mendatang
untuk membangun dan mencukupi kebutuhannya.
Dalam bukunya yang berjudul “climate change and society” (1982)
William Kellog dalam Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo (1993)
mengatakan bahwa dalam kurun waktu setengah abad mendatang bumi kita
yang hanya satu ini akan memiliki jumlah penduduk dua kali lipat,
mengkonsumsi makanan tiga kali lebih banyak dan membakar energi empat
kali lebih besar dari sekarang.
Pernyataan di atas sungguh sangat merisaukan, karena dengan kondisi
lingkungan yang ada sekarang saja berbagai kerusakan lingkungan sudah
mulai terjadi. Pemanasan global akibat dari dampak rumah kaca, lapisan
ozon yang menipis dan mulai jebol di beberapa tempat, perubahan iklim,
hujan asam, ledakan penduduk yang mengakibatkan pengurasan sumber
daya alam, pencemaran limbah akibat industry, transportasi maupun
domestic, adalah sebagian dari kerusakan yang ditimbulkan akibat ulah
manusia.
Kerusakan lingkungan seperti polusi air dan udara, tingkat kebisingan
yang tinggi, memburuknya lanskap karena kurang baiknya perencanaan dan
kemiskinan perkotaan adalah salah satu masalah serius perkotaan yang
terkonsentrasi di kota-kota. Perbedaan utama antara negara maju dan negara
berkembang adalah bahwa di negara maju pemerintah dan warganya
melakukan suatu usaha untuk mengatasinya. Sementara itu di negara sedang
berkembang hal ini masih sepele bila dibandingkan dengan masalah
mendesak yang ada seperti pengangguran, perumahan, pengawasan terhadap
infeksi penyakit, dan sebagainya. Secara umum tingkat kerusakan
lingkungan sekarang ini lebih banyak terjadi di negara berkembang daripada
di negara industri yang telah maju.
Berdasarkan kondisi sosial ekonomi para pendatang maka dari
golongan menengah keatas yang persentasenya kecil, pada umumnya sudah
mendapatkan penampungan yang wajar. Namun sebagian besar pendatang
justru berasal dari golongan kelas pekerja dan golongan buruh kasar yang
pada umumnya berpendidikan rendah. Golongan terbesar yang mayoritas ini
kurang
mempunyai
ketrampilan
sehingga
pada
gilirannya
akan
berpenghasilan rendah. Mereka biasanya memasuki perkampungan kota
pada umumnya sudah padat dengan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Prasarana permukiman seperti air, listrik dan lainnya sudah tidak
mencukupi sarana lingkungan seperti MCK yang makin tidak memenuhi
syarat karena kurang bersih dan tanpa terurus. Masalah pembuangan
sampah yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Juga pengadaan air
bersih untuk air minum sudah kurang mencukupi kebutuhan kebutuhan
peduduk yang berlipat jumlahnya. Selanjutnya adalah polusi air, udara dan
limbah yang dihasilkan oleh berbagai industri dan banyaknya kendaraan
bermotor yang terus meningkat jumlahnya.
2. Pengangguran dan Gelandangan
Urbanisasi yang mengakibatkan kepadatan dan konsentrasi penduduk
yang berlebihan diadalam kota atau dapat dikatakan sebagai daerah
kelebihan penduduk dari pada yang seharusnya dapat ditampung di daerah
tersebut. Hal tersebut jelas akan menimbulkan masalah kekurangan akan
berbagai kebutuhan pokok seperti lapangan pekerjaan. Kekurangan akan
lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran. Mereka yang
tidak berhasil mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal akan terpaksa
hidup menggelandang. Baik para pengangguran (tuna karya) ataupun para
gelandangan (tuna wisma) merupakan masalah sosial yang cukup pelik yang
dihadapi oleh kota-kota besar.
Laju urbanisasi yang berkembang pesat tidak mungkin bisa dikejar
dengan laju pembangunan kota di negara-negara berkembang mengingat
sangat terbatasnya dana pembangunan. Semakin banyaknya kendaraan
pribadi maupun kendaraaan umum sementara perkembangan sarana jalan
yang ada realatif stabil, maka ketidak seimbangan tersebut menimbulkan
kemacetan lalulintas. Di kota-kota besar kemacetan lalulintas sudah
merupakan hal yang biasa, demikian juga kapasitas terminal-terminal yang
dibangun, praktis sudah tidak dapat melayani jumlah angkutan yang
beroperasi. Suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras,
membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi makin merosot dan hal
ini akan menambah suasana kemacetan lalu lintas makin parah.
3. Kota Semakin Panas
Urbanisasi menaikan angka kepadatan yang mengakibatkan kota
semakin panas dan sumpek. Banyaknya orang akan meningkatkan konsumsi
energi dan penggunaan alat-alat rumah tangga yang menghasilkan panas
buangan. Pembangunan fisik kota mempunyai andil sangat besar terhadap
pemanasan suhu kota, lahan kosong yang dahulunya ditumbuhi pohonpohon penyejuk, peneduh dan penyegar udara juga menyerap energi
matahari yang efektif, sekarang sudah digantikan oleh gedung bertingkat.
Kondisi tersebut dapat menaikan suhu panas kota.
Polusi udara dan pencemaran yang melebihi kemampuan lingkungan
untuk menanggungnya akan dapat membuat kota menjadi sakit, dan apabila
tidak segera diupayakan untuk menaggulanginya, lama-kelamaan kota-kota
tersebut akan mati terbunuh oleh penyakit yang telah lama diidapnya.
4. Kriminalitas
Kehidupan di kota besar memang sulit sebab kota besar dijadikan
tujuan utama yaitu tempat untuk berkumpul dan untuk tempat tinggal. Dari
hasil pengamatan, banyak orang pergi ke kota untuk mendapatkan
kehidupan yang layak dan dapat dikenal sepenuhnya. Bagi mereka yang
tidak dapat kehidupan yang layak dan tidak dapat mengenal sepenuhnya
kehidupan kota , mereka merasakan kehilangan kepercayaan diri sendiri atas
lingkungannya. Dan tidak bisa berhubungan dengan dunia yang kompleks di
sekitarnya, sehingga mereka merasa diasingkan, dikucilkan, dicurigai,
mengasingkan diri. Jadi kemungkinan adanya peningkatan permasalahan
mengenai kesehatan mental yang menyebabkan masyarakat menjadi
pecandu alkohol, narkoba dll.
Disamping kondisi tersebut, di kota-kota besar terjadi banyaknya
pengangguran dan anak-anak putus sekolah, kemerosotan moral/ahlak
pribadi akibat kurangnya pendekatan keluarga dan pendekatan sosial maka
akan memicu terjadinya tindak kriminalitas.
5. Pedagang Kaki Lima
Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negaranegara berkembang lainnya, telah mengakibatkan munculnya sektor formal
dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai
gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan halhal positif, tetapi juga hal negatif. Sebagian para urban telah tertampung di
sektor formal, namun sebagian urbanit lainnya yang tanpa dibekali
ketrampilan tidak tertampung di dalam lapangan kerja formal yang tersedia.
Para urabnit yang tidak tertampung disektor formal pada umumnya
tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk
menopang hidupnya. Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan
yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang,
dan waktu. Sektor informal lebih banyak ditangani masyarakat golongan
bawah dan dikenal sebagai “ekonomi bawah tanah” serta diartikan usaha
yang tidak atau sedikit sekat menerima proteksi ekonomi secara resmi dari
pemerintah. Sektor informal ini umumnya berupa usaha kecil yang terbatas.
Pedagang Kaki Lima (PKL) atau “street trading”/”street hawker” adalah
salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal.
Pedagang kaki lima adalah orang dengan modal relatif sedikit berusaha
dibidang produksi dan penualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi
kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut
dilaksanakan pada tempat- tempat yang dianggap strategis dalam suasana
lingkungan yang informal. Pedagang kakilima sering dijadikan kambing
hitam dari penyebab “kesemarawutan lalu lintas” maupun “tidak bersihnya
lingkungan”. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu
kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan
penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi “safety belt” bagi
tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan
kebutuhan masyarakat golongan menengah kebawah.
6. Sampah Perkotaan
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah
penanganan masalah persampahan. Berdasarkan data BPS tahun 2000, dari
384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton/hari,
penanganan sampah diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) adalah sebesar 4,2 2% yang dibakar sebesar 37,6 %, yang dibuang ke
sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 %. Hal tersebut disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi
yang pesat menyebabkan timbunan sampah di perkotaan semakin tinggi,
kendaraan pengangkut sampah yang jumlah maupun kondisinya kurang
memadai, sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah
lingkungan, serta belum diterapkannya pendekatan 3R yaitu Reduce, Reuse,
Recycle. Besarnya timbunan sampah tidak dapat ditangani tersebut akan
menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung maupun tidak langsung
bagi penduduk kota Dampaknya langsung dari penanganan sampah yang
kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai penyakit menular maupun
penyakit kulit serta gangguan pernafasan. Sedangkan dampak tidak
langsungnya diantaranya adalah bahaya banjir yang di sebakan oleh
terhambatnya air sungai/saluran/got karena terhalang sampah. Keterbatasan
kemampuan Dinas Kebersihan dalam menangani permasalahan sampah,
menjadi tanda awal semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan
tersebut. Hal ini semakin sulit karena adanya keterbatasan lahan untuk
Tempat Pembuangan Akhir sampah. Kekurang pedulian penanganan
persampahan ini dapat terlihat dari kecilnya anggaran yang disediakan untuk
menangani masalah sampah. Sementara itu disisi lain, penghasilan yang
didapat dari pelayanan persampahan masih jauh dari tingkat yang
memungkinkan adanya penanganan yang mandiri dan berkelanjutan. Sistem
pentarifan dalam retribusi masih konvensional. Dan tidak mungkin adanya
intensif bagi operator. Berdasarkan uraian tersebut diatas adanya suatu
rencana tindak (action plan) yang meliputi :
(1)Melakukan
pengenalan
karakteristik
sampah
dan
metode
pembuangannya
(2)Merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan terpadu
(pengumpulan, pengangakutan dan pembuangan akhir).
(3)Memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada
dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam
melaksanakan reward dan punishment dalam pelayanan
(4)Menggalakan program 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) agar dapat
tercapai program “zero waste” pada masa mendatang ekonomi bagi bahan
buangan
7. Kemacetan Lalu Lintas
Laporan dari World Bank (Urban Transport, World Bank Paper,
Washington, 1975) menyebutkan bahwa pada akhir dekade ini penduduk
kota akan berkembang lipat dua, sedang pemilikan mobil akan berlipat tiga.
Dari laporan ini terlihat bahwa semakin lama permasalahan lalu lintas akan
semakin menumpuk, baik dalam bentuk kemacetan lalu lintas, kecelakaan
lalu lintas, kebisingan, pencemaran yang berupa debu, bau maupun getaran.
Jalan-jalan yang berskala manusia yang semula terasa akrab dan bersahabat
dengan lingkungannya kini menjadi pengap dan tidak aman karena “dijejali”
beragam jenis kendaraan.
Otto Sumarwoto (Kompas, 12 Januari 1989) menyatakan bahwa
dewasa ini pertumbuhan lalu lintas di jalan tol merupakan kurva
eksponensial. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan jumlah kendaraan yang
melewati jalan tol itu semakin lama semakin membesar. Kurva semacam ini
bagi ekolog merupakan ancaman, karenanya kurva ini disebut overshoot
and collapse, yaitu melampaui daya dukung dan kemudian menuju
kerusakan atau keambrukan.
Keambrukan lalu lintas diperkirakan akan disebabkan oleh kemacetan
yang semakin parah. Untuk mengatasi hal itu haruslah dibuat jalan yang
seimbang dengan pertumbuhan lalu lintas dan ini mengandung konsekuensi
bahwa laju pertumbuhan pembuatan jalan haruslah eksponensial pula.
Namun hal ini cukup sulit dilakukan karena adanya beberapa kendala yaitu
tenaga, dan terutama sekali lahan dan ruang yang sudah sangat terbatas.
Apabila kita menyimak keadaan di Indonesia dengan contoh kasus
adalah di provinsi Jawa Barat, dalam tahun 1979 saja nisbah penggunaan
mobil penumpang umum dengan mobil pribadi tercatat sebesar 0,53. Jadi
jumlah mobil pribadi kira-kira dua kali jumlah mobil penumpang umum.
Pada tahun 1986 nisbah turun menjadi 0,25. Dengan kata lain jumlah mobil
pribadi telah meningkat menjadi empat kali mobil penumpang umum.
Walaupun jenis angkutan umum seperti kereta api, bus dan sejenisnya
telah mengambi lalih sebagian beban angkutan jalan raya, namun semakin
meningkatnya jumlah kendaraan pribadi dewasa ini yang sudah sampai pada
tingkat yang cukup merisaukan, jelas akan menimbulkan berbagai dampak
negatif. Laju penggunaan kendaraan pribadi di Indonesia dari tahun ke
tahun memang menunjukkan kenaikan yang cukup mencolok. Pada tahun
1982, perbandingan persentase penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan
dengan penggunaan kendaraan umum adalah sebesar 48 % : 52%. Pada
tahun 1995 menunjukkan perbandingan yang semakin meningkat yaitu
61 % : 39 %, dan pada tahun 2005 nanti akan mencapai perbandingan
sebesar 70 % : 30 % (sumber : Majalah Teknologi No.51, Januari 1991).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perencanaan kebijaksanaan
transportasi kota di Indonesia sampai saat ini belum berwawasan pada
pemakaian kendaraan umum (public transport oriented), melainkan masih
mengutamakan pada kepentingan kendaraan pribadi (private car oriented),
yang cenderung menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Permasalahan transportasi di kota-kota besar di Indonesia pada saat ini
sudah semakin menjadi kepentingan berbagai pihak, baik pemerintah,
pemakai jalan maupun masyarakat. Permasalahan transportasi di perkotaan
pada umumnya berkembang sejalan dengan pertumbuhan penduduk,
kenaikan pendapatan masyarakat, ketersediaan kendaraan bermotor,
pemekaran kota dan peningkatan aktivitas ekonomi maupun sosial. Di sisi
lain terdapat keterbatasan infrastruktur serta kurang siapnya aparat
pemenntah dengan strategi pengelolaan dan pranata kelembagaannya.
Berkembangnya industri dan kegiatan ekonomi membawa akibat makin
berkembangnya pergerakan angkutan barang antar kota maupun di dalam
kota. Kondisi ini bersama-sama dengan meningkatnya intensitas angkutan
penumpang menyebabkan performansi transportasi di perkotaan menjadi
menurun. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya kecepatan perjalanan pada
ruas-ruas jalan di perkotaan, adanya kemacetan lalu lintas, meningkatnya
tingkat pencemaran udara yang merupakan sebagian dari dampak yang
ditimbulkan akibat meningkatnya pergerakan kendaraan penumpang dan
barang.
Ketidakseimbangan antara volume lalu lintas dengan jumlah dan
panjang jalan yang ada berdampak kepada kemacetan lalu lintas pada ruasruas jalan tertentu dan pada waktu tertentu. Kemacetan lalu lintas adalah
keadaan yang terjadi pada suatu ruas jalan yang dilalui oleh kendaraan yang
berbagai
macam
jenisnya,
dan
melebihi
kapasitas
tertentu
serta
mengakibatkan terjadinya antrian panjang dengan waktu yang cukup lama
sehingga terjadi pemborosan bahan bakar dan menimbulkan polusi udara
dan polusi suara
Secara umum kemacetan lalu lintas di kota Jakarta maupun kota-kota
besar
lainnya
disebabkan
oleh
tiga
hal,
yaitu
:
(1)
adanya
ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan bermotor dengan prasarana
jalan yang ada: (2) kurangnya disiplin para pemakai jalan dalam berlalu
lintas, dan (3) daerah yang rawan kemacetan lalu lintas umumnya daerah
yang mempunyai intensitas kegiatan yang tinggi atau terkonsentrasinya
kegiatan di suatu tempat.
Di dalam sistem transportasi kota yang kurang efektif dan kemacetan
lalu lintas menjadi kejadian sehari-han, maka terjadi pemborosan biaya
akibat waktu dan bahan bakar yang terbuang percuma serta dampak polusi
udara dan kebisingan yang ditimbulkannya. Kondisi boros ini terus
berakumulasi dengan makin bertambahnya kendaraan bermotor ke dalam
arus lalu lintas dari waktu ke waktu. Hal tersebut tentunya segera perlu
ditanggulangi agar tidak banyak pihak-pihak yang dirugikan akibat
kemacetan lalu lintas.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memecahkan
permasalahan kemacetan lalu lintas secara komprehensif, yaitu :
1) Peningkatan Kapasitas Jalan :
(a) Memperlebar jalan dan menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu
memungkinkan.
(b) Merubah sirkulasi lalu lintas menjadi jalan satu arah.
(c) Mengurang konflik di persimpangan melalui pembatasan arus tertentu,
biasanya yang paling dominan membatasi arus belok kanan.
(d) Meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas,
persimpangan tidak sebidang / flyover.
2) Keberpihakan Kepada Angkutan Umum.
Untuk meningkatkan daya dukung jaringan jalan adalah dengan
mengoptimalkan kepada angkutan yang efisien dalam penggunaan Tuang
jalan, anatara lain :
(a) Pengembangan jaringan pelayanan angkutan umum.
(b) Pengembangan lajur atau jalur khusus bus yang di Jakarta dikenal
sebagai jalur Busway.
(c) Pengembangan kereta api kota, baik secara kualitas maupun kuantitas.
(d) Subsidi langsung seperti yang diterapkan pada angkutan kota Trans
Jakarta, maupun tidak langsung melalui keringanan pajak kendaraan
bermotor dan bea masuk kepada angkutan umum.
3) Pembatasan Kendaraan Pribadi
Langkah ini memang tidak populer namun bila kemacetan lalu lintas
semakin parah maka harus dilakukan manajemen lalu lintas yang dianggap
ekstrim, seperti :
(a) Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan
tertentu.
(b) Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya
pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea
masuk yang tinggi.
(c) Pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu
(kawasan 3 in 1 ).
(d) Penerapan kendaraan roda empat milik pribadi dengan system ganjil
genap (“GAGE’)
Laju urbanisasi yang berkembang pesat tidak mungkin bisa dikejar
dengan laju pembangunan kota di negara-negara berkembang mengingat
sangat terbatasnya dana pembangunan. Semakin banyaknya kendaraan
pribadi maupun kendaraaan umum sementara perkembangan sarana jalan
yang ada realatif stabil, maka ketidakseimbangan tersebut menimbulkan
kemacetan lalulintas Di kota-kota besar kemacetan lalulintas sudah
merupakan hal yang biasa, demikian juga kapasitas terminal-terminal yang
dibangun, praktis sudah tidak dapat melayani jumlah angkutan yang
beroperasi. Suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras,
membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi makin merosot dan hal
ini akan menambah suasana kemacetan lalu linatas makin parah.
8. Permukiman Kumuh di Kota
Perkembangan IPTEK yang sangat cepat di kota mendorong warga
desa untuk berbondong-bondong menuju kota guna memanfaatkan
teknologi baru dengan bekerja sebagai buruh. Mereka tinggal di kota bukan
hanya untuk beberapa waktu saja melainkan ada diantara mereka yang
sudah tinggal di kota selama bertahun-tahun dengan status yang tidak jelas,
mereka mendirikan gubug-gubug di kolong jembatan, di sepanjang jalan
kereta api, bantaran sungai dan dimana saja selama tempat itu tidak bertuan.
Lama- kelamaan menjadi padat dan terkesan kumuh.
Permukiman kumuh adalah daerah permukiman dengan unit-unit rumah
yang mempunyai ukuran kecil serta kondisi fisik lingkungan buruk
(Drakakish, 1980). Tipologi permukiman kumuh dapat dibedakan dalam
dua tipe berdasarkan kondisi fisik dan kondisi geografis yang tidak jelas,
antara lain:
(1)
Squatter
Area
adalah
pemukiman
yang
dibangun
di
suatu
kawasan/daerah permukiman/tempat-tempat terlarang dan bersifat illegal
atau liar.
(2) Slum Area adalah permukiman kumuh dalam kaitannya dengan masalah
permukiman perkotaan, apabila dilihat dari kondisi fisik lingkungan tidak
memadai, sedangkan kondisi geografisnya layak untuk di huni. Slum area
bersifat legal atau secara hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik slum
area, yaitu :
(a) Daerah permukiman dengan lingkungan kurang sehat
(b) Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam
bidang ekonomi
(c) Daerah permukiman yang masyarakatnya rentan terhadap hal-hal yang
negatif.
(d) Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai emosi yang tidak
stabil.
Daerah slum dan squatter dalam kota inilah yang biasanya dijuluki
ssebagai kawasan kumuh, yaitu daerah yang kepadatannya (penduduk dan
bangunannya) sudah melebihi daya dukung lingkungan atau bisa mencapai
100 orang/ha (Herlianto, M.:1986:46).
Di beberapa permukiman liar ada penghuninya yang merasa tidak
tenang karena menyadari bahwa penyerobotan yang dilakukannya itu
melanggar hukum. Namun ada juga permukiman liar yang penghuninya
merasa bahagia dan senang tinggal di tempat tersebut. Kawasan seperti itu
umumnya dihuni oleh para pemiliknya sendiri dan biasanya terdapat ikatan
kekerabatan dan asal-usul diantara mereka. Andaikata pembangunan
ekonomi dan pemerataan kesejahteraan berhasil dengan baik, apakah hunian
liar dan kumuh akan hilang ? Mungkin tidak begitu mudah, sebab tinggal di
kawasan liar dan kumuh sudah menjadi kebiasaan buruk mereka. Sementara
itu kita juga berpacu dengan pertumbuhan permukiman liar yang semakin
banyak jumlah dan luasnya, sebagai dampak dari harga tanah dan rumah
yang terus melonjak di wilayah Jakarta. Sebagai contoh misalnya
permukiman liar disepanjang rel kereta api Stasiun Kota sampai ke
Kebayoran lama.
Urbanisasi adalah sesuatu yang sulit dibendung, karena merupakan
proses alamiah yang akan berjalan terus. Kemiskinan dan ketidaktahuan
serta sebab-sebab kultural dan lingkungan budaya yag diyakini menjadi
penyebab utama utama tumbuhnya hunian liar dan kumuh. Maka
pendekatan multidimensional yang tepat harus dipakai dalam upaya untuk
menanggulanginya, yaitu dimensi ekonomi melalui upaya peningkatan
pendapatan, dimensi edukasi melalui pendidikan, penyuluhan dan
bimibingan serta dimensi sosial melalui pengembangan aspek-aspek kultural
dan kemasyarakatan disamping upaya-upaya teknis planologis kota sematasemata
dengan
menggusulr
lingkungan
hunian
liar
tidak
akan
menyelesaikan maslah karena mereka akan berpindah untuk membuat
daerah kumuh yang baru di tempat lain.
Jakarta dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa dan kepadatan
penduduknya mencapai 14.851 jiwa / kilometer persegi merupakan salah
satu kota yang terpadat di dunia. Tingkat kepadatan ini akan memberikan
tekanan yang luas pada kebutuhan lapangan kerja, fasilitas-fasilitas umum
serta kebutuhan akan ruang dan tata ruang kota.
Para
pendatang
dari
daerah-daerah
mencoba
untuk
mencari
peruntungannya di kota Jakarta. Pendatang tersebut hanya berharap
kesuksesan akan diperolehnya di kota yang besar ini. Namun mereka
mayontas udak berbekal pendidikan dan kemampuan ekonomi yang cukup.
Akibatnya banyak di antaranya yang mencari tempat tinggal di
perkampungan-perkampungan
kumuh
dengan
alasan
kawasan
ini
memberikan peluang bagi mereka untuk menyesuaikan diri lebih cepat.
Golongan yang sangat miskin dan termarginalisasi akan menyerbu
tempat-tempat kosong yang masih dapat ditempati sekalipun tidak layak
huni. Mereka mendirikan gubuk-gubuk darurat maupun permanen dengan
bahan bangunan yang seadanya. Mereka menyerbu taman-taman kota,
gerbong-gerbong kereta api, lahan-lahan kosong di tepi sungai dan
pinggiran jalan kereta api hanya semata-mata untuk memperoleh tempat
tinggal yang tidak dapat mereka peroleh secara layak.
Perkampungan yang diserbu oleh para pendatang akan bertambah
padat, baik penduduk maupun bangunannya. Keadaan lingkungan akan
semakin tidak teratur dan kondisi bangunan memungkinkan tidak nyaman,
tidak sehat dan mengurangi keselamatan bagi penghuninya. Keadaan fisik
lingkungan yang makin merosot itu akhirnya mencirikan perkampungan di
kota Jakarta seolah kalah dibandingkan dengan perkampungan yang
terdapat di desa.
Adapun tipologi dan kriteria permukiman kumuh dapat dibedakan
menjadi dua tipe yaitu Slum Area dan Squatter Area. Perbedaan tersebut
berdasarkan kondisi fisik dan geografis serta struktur kepemilikan.
(1) Slum Area adalah permukiman dengan kondisi lingkungan yang tidak
sehat dalam kaitannya dengan permukiman perkotaan. Apabila dilihat dari
kondisi fisik geografisnya layak untuk di huni. Slum Area bersifat legal atau
secara hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik permukiman kumuh
yang termasuk Slum Area yaitu :
a. Daerah permukiman dengan lingkungan yang tidak sehat.
b. Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam
bidang ekonomi
c. Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan neganf
d. Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai emosi yang tidak
stabil
(2) Squater Area adalah permukiman yang dibangun di suatu kawasan atau
daerah permukiman atau tempat-tempat terlarang dan bersifat ilegall atau
liar. Permukiman ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Kondisi fisik Squater Area:
- Permukiman tidak layak menurut peruntukan ruang
- Permukiman dengan tata letak tidak teratur
- Permukiman yang padat penduduknya
- Permukiman dengan prasarana sanitasi yang tidak berfungsi baik
- Permukiman yang tidak tersentuh oleh program peremajaan kota atau
program perbaikan kampung.
- Permukiman dengan kondisi fisik bangunan buruk.
b. Kondisi Geografis Squater Area :

Permukiman kumuh yang berlokasi di kawasan bantaran sungai atau
area selebar kurang lebih 15 meter dari kiri dan kanan sungai.

Permukiman kumuh yang berlokasi di pinggir rel kereta api , di bawah
jaringan listrik tegangan tinggi, di daerah jalur hijau, di tempat-tempat
fasilitas umum, baik yang sudah terbangun maupun yang belum
terbangun

Status permukiman kumuh yang termasuk squatter area biasanya
menempati daerahnya yang terlarang atau illegal, sehingga tidak ada
status kepemilikan rumah. Contohnya permukiman yang menempati
tanah atau lahan milik Negara atau badan usaha lamnya, baik
pemerintah maupun swasta yang belum dibangun atau lahan masih
kosong
Daerah Slum dan Squater dijuluki sebagai kawasan kumuh karena
kepadatan penduduk maupun bangunannya sudah melebihi daya dukung
lingkungan (bisa mencapai 1.000 orang / Ha). Gejala squatter ini
mengakibatkan Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia seolah
patah tulangnya sebagai ibukota Negara maupun ibukota provinsi.
Penggusuran gubuk-gubuk liar di satu kawasan kota akan memicu
timbuhnya kawasan kumuh baru di bagian kota lain. Masalah perumahan
memang sangat sulit dan rumit, hal ini dapat dimaklumi karena
keterbatasan ruang kota.
Perkampungan kumuh ditinjau dari aspek keindahan dan keasrian
lingkungan tentunya membuat kesemrawutan yaitu tampak tidak tertaur dan
tidak tertata rapi. Dalam rangka mengatasi permasalahan perkampungan
kumuh di kota Jakarta yang bersifat sentralistik dan tidak transparan maka
harus ditinjau kembali. Trasnparansi tentang pembangunan kota secara
umum dan khusus dapat dilakukan dengan info box yang menggambarkan
tentang pola perumahan yang diinginkan atau diharapkan di masa
mendatang. Strategi pengembangan arah vertikal perlu disosialisasikan
kepada masyarakat, baik untuk pembentukan budaya baru maupun
instrumen legal yang dibutuhkan.
Pemerintah kota Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia
memerlukan sistem pengadaan perumahan yang aspiratif dengan memberi
kepedulian yang lebih besar kepada warga yang berpenghasilan rendah.
Salah satu contohnya adalah dengan pengembangan proyek rumah susun
yang telah difasilitasi demi kemudahan warganya. Pembangunan rumah
susun diupayakan mampu menghubungkan secara sinergis jaringan utilitas
kota yang sudah ada serta keseimbangan penggunaan lahan.
 Latihan :
1. Apa yang dimaksud dengan pemetaan wilayah ?
2. Hal-hal apa saja yang perlu dipetakan dalam pemetaan wialayah kota ?
3. Jelaskan permasalahan kota yang muncul pada kota-kota besar di Indonesia !
4 Jelaskan salah satu masalah kota yang paling mendesak untuk ditangani di
wilayah Jakarta !
 Ringkasan :
Pemetaan wilayah kota merupakan kegiatan memetakan wilayah kota baik
secara terestris maupun fotogrametris. Hasil pemetaan tersebut diidentifikasi
sesuai dengan penampakan-penampakan yang ada di foto maupun di peta
untuk selanjutnya dibuat peta-peta tematik.
Adapun yang perlu dipetakan adalah :

Administrasi Kota

Jaringan Jalan

Kerapatan Bangunan

Unsur dan tingkat bangunan

Kualitas bangunan

Penggunaan lahan

Fasilitas riool dan kebersihan kota

Fasilitas air minum

Fasilitas listrik

Status tanah

Harga tanah per meterpersegi
Sedangkan permasalahan kota yang dapat diidentifikasi adalah :

Kemerosotan Lingkungan

Pengangguran dan Gelandangan

Kota semakin panas

Kriminalitas

Pedagang Kaki Lima

Sampah Perkotaan

Kemacetan Lalu lintas

Permukiman Kumuh
DAFTAR PUSTAKA
Bintarto, 1984. Interaksi Desa - Kota dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Bintarto, 1983. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto.1991. Kota berkelanjutan, Bandung :
Penerbit Alumni.
Budihardjo, Eko. 1999. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota.
Yogyakarta : Andi Offset.
Chapin, F.S. 1965. Urban Land Use and Urban Planning, University of Illinois
Clark, D. 1082. Urban Geography, London: Croom Helm Ltd.
Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi
Kota dan Ekologi Sosial) Bandung : Penerbit Alumni
Daldjoeni, N. 1997. Geografi Baru : Organisasi Keruangan dalam Teori dan
Prkatik. Bndung : Penerbit Alumni.
Drakakis-SMITH, D. 1980. Urbaniation, Housing and The Development
Process, New York: St. Martin's Press.
Hall, Peter. 1992. Urban and Regional Planning. Third Edition. Routlegde,
London.
Hartshorn, Truman A., 1992. Interpreting the City : An Urban Geography.
John Wiley &Sons, New York.
Herbert, D.T. 1973. Urban Geography: Asocial Prespective, London:
Longman
Herlianto, M. 1985. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung : Alumni.
Johnson, J.H. 1981. Urban Geography, Frankurt: pergamon Press.
Kantor Menteri Negara Kependudukan Lingkungan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Suatu Tinjauan).
Hidup.
1989.
Kaiser, Edward, dkk. 1995. Urban Land Use Planning. Fourth Edition,
University of Illinois Press, Urbana and Chicago.
Knox, P.L. 1994. Urbanization, An Introduction to Urban Geography, Ney
Jersey : Prentice Hall.
Koeseomahatmadja, R.D.H. 1986. Peranan Kota dalam pembangunan,
Bandung : Penerbit Binacipta.
Mumford, Lewis. 1938. The Culture of Cities. New York : an BIA
Mumford, Lewis. 1956. Natural History of Urbanization. Chicago : Chicago
University Press.
Nas, PJM, 1977. Kota di Dunia Ketiga. Jakarta : Bhratara.
Nia K. Pontoh dan Iwan Kustiwan, 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan.
Bandung : Penerbit ITB.
Paulus Haryanto, M T. 2007. Sosiologi Kota untuk arsitek. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Prijono Tjiptoherijanto, 1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di
Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Richard, P.J. and AM. Thomson. 1984. Basic Needs and The Urban Poor.
Rateliff, R.V. 1949. Urban Land Economics, New York : Mc Graw hill Book
Company.
Sa'id E. Gumbira.1987. Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup,
Jakarta . Media Sarana Press.
Short. J.R. 1984. An Introduction to Urban Geography, London: Routledge
and Keagen Paul.
Tibbalds, Francis. 2001. Making People Friendly Towns : Improving the
Public,Environment in Towns and Cities. London : Spon Press.
Yunus, Hadi Sabari. 1982 Klasifikasi Permukiman Kota (Tinjauan Makkro),
Yogyakarta Fakultas Geografi UGM.
Yunus, Hadi Sabari. 2004 Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota : Perspektif Spasial Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Zahnd, Markus.1999. Perancangan Kota secara terpadu, Yogyakarta .Penerbit
Kanisius.
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Drs. Suhardjo, M.Pd.
Dosen Pada
Program Studi
Pendidikan Geografi –
FIS UNJ
Dilahirkan di Cirebon pada tanggal 30 Januari
1957. Pendidikan dasar hingga lanjutan atas
dilaksanakan di sekolah negeri. Tahun 1976
melanjutkan pendidikannya di IKIP Jakarta Jurusan
Geografi dan Lulus Sarjana tahun 1981.
Pengalaman kerjanya diawali pada tahun 1981
hingga 1983 sebagai dosen luar biasa pada Jurusan
geografi untuk mata kuliah Kartografi dan Ukur
Tanah.
Pada tahun 1984 hingga sekarang sebagai dosen
tetap pada Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dengan Pangkat
Pembina dan Jabatan Lektor Kepala dengan
golongan ruang IV a. Sebagai pengajar mata kuliah
Geografi Kota, Kartografi, Geografi Pariwisata,
Geografi Penduduk dan Demografi, Geografi
Sumber Daya, serta Geografi Regional Asia
Tenggara, dan Dasar Dasar Ilmu Sosial. Selain itu
Sekretaris Jurusan periode tahun 1992 1996.
Anggota Ikatan Geograf Indonesia ( IGI ). Dan
aktif dalam berbagai kegiatan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat - Universitas
Negeri Jakarta.
Download