ASAL-USUL DESA JATISARI KECAMATAN SLUKE Desa Jatisari adalah sebuah desa kecil yang terletak di pesisir pantai utara Jawa tepatnya berada di kecamatan Sluke kabupaten Rembang. Desa ini terletak persis di sebelah timur kota kecamatan Sluke. Meskipun zaman terus berkembang dan kehidupan terus berjalan, namun hingga kini jumlah penduduk di desa ini tidak lebih dari 1000 orang. Desa ini dikenal sangat unik karena semua penduduknya tinggal di sepanjang pantai dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Padahal sebetulnya wilayah desa ini cukup luas terutama areal pertaniannya. Namun, Desa Jatisari ini penduduknya sangat jarang sementara wilayahnya sangat luas. Oleh karena itulah, maka lahan pertanian di desa ini justru banyak yang dijual kepada masyarakat tetangga desa, sehingga praktis mata pencaharian sehari-hari penduduk desa ini hanya sebagai nelayan. Adapun asal-usul nama Desa Jatisari ini dikisahkan dari Kerajaan Majapahit. Ketika berjayanya Kerajaan Majapahit ada seorang putri dari kerajaan yang bernama Sarijati. Putri Sarijati sangat berbeda sifat dan perilakunya dibandingkan dengan putri-putri yang lain yang umumnya berasal dari keturunan kerajaan. Putri Sarijati rela meninggalkan dunia kemewahan kerajaan dan lebih memilih dekat dengan masyarakat dan mengembara ke pelosok-pelosok desa demi memberikan dorongan kepada masyarakat desa untuk tidak takut dengan aturan-aturan kerajaan Majapahit yang selama ini telah memberatkan dan menyengsarakan masyarakatnya. Karena sang putri melihat banyak kesombongan orang-orang dari kerajaan yang lebih mementingkan harga diri kerajaan untuk diperlihatkan pada kerajaan-kerajaan sekitar, sehingga banyak penindasan dan kekerasan di mana-mana ditambah lagi kekerasan yang dilakukan pihak kerajaan apabila musim kemarau panjang datang dan masyarakat tidak mampu untuk menyetorkan upeti kepada kerajaan. “Ayahanda, cobalah lihat di luar kerajaan kita ini. Banyak rakyat kita yang sengsara karena peraturan yang dibuat kerajaan sangatlah memberatkan mereka,” ujar Putri Sarijati suatu pagi. Sang Prabu pun menjawab,”Apa maksud ucapanmu itu, Anakku? Peraturan ini dibuat juga demi kepentingan mereka.” Putri Sarijati sangatlah tidak sepaham dengan pendapat ayahandanya itu. “Menurut Ayahanda semua ini demi kepentingan mereka? Ayahanda, coba tunjukkan kepada Sarijati kepentingan yang manakah yang dapat membahagiakan mereka, jika setiap hari tidak satu pun hasil dari jerih payah mereka yang bisa mereka nikmati?” ratap Putri Sarijati. “Sudahlah Anakku, semua ini bukan menjadi urusanmu. Nikmati saja kehidupanmu di kerajaan ini layaknya putri-putri raja. Permasalahan kerajaan dan rakyat sudah menjadi urusan pihak kerajaan,” jawab ayahandanya dengan sedikit geram. “Tidak, Ayahanda! Hati nuraniku tidak tega melihat kesengsaraan mereka. Di mana kebijaksanaan Ayahanda selama ini? Bukalah mata hati Ayahanda, cobalah sesekali Ayahanda turun dan melihat betapa sengsaranya kehidupan mereka!” Begitulah, setiap hari selalu ada saja yang diperdebatkan Putri Sarijati bersama Ayahandanya. Melihat sikap Ayahandanya yang selalu mempertahankan pendapatnya itu, Putri Sarijati semakin tidak tahan tinggal dan berdiam diri di lingkungan kerajaan. Akhirnya diamdiam Putri Sarijati pergi meninggalkan kerajaan. Putri Sarijati tergugah hatinya untuk memberantas kesewenang-wenangan dari kerajaan dengan cara mengembara keliling pelosok desa untuk lebih dekat dengan masyarakat. Setiap desa yang disinggahi tak lupa Putri Sarijati selalu mengajarkan kepada masyarakat untuk berani menentang dalam hal kebenaran. Akhirnya, usahanya yang tak kenal lelah membuahkan hasil. Semakin banyak masyarakat yang mengenal siapa dan bagaimana sesungguhnya Putri Sarijati, sehingga setiap desa yang disinggahi sang putri, pastilah masyarakatnya sudah sangat tahu dan paham tentang Putri Sarijati dan perihal orang-orang kerajaan, sehingga keberanian masyarakat untuk menentang kekerasan dan penindasan yang dilakukan pihak kerajaan semakin lama semakin tinggi. “Putri, tidakkah Putri menyesal dengan memilih pergi meninggalkan kerajaan? Apa yang Putri harapkan dari kami rakyat kecil yang selalu sengsara ini?” kata salah satu penduduk desa. “Paman, keputusanku meninggalkan istana sudah kupikirkan matang-matang. Sekarang bukan saatnya menyesali keputusanku ini yang terpenting saat ini adalah bantuan Paman bersama seluruh rakyat untuk mendukung usahaku. Bersediakah Paman mendukungku?” ujar Putri Sarijati. “Iya....iya, Putri. Kami sangatlah berterimakasih, pengorbanan Putri kepada kami tidak akan pernah kami lupakan seumur hidup kami,” sela penduduk desa itu. “Baiklah, Paman sekarang mari kita lanjutkan pekerjaan kita. Kita himpun dan persiapkan rakyat karena lambat laun pihak kerajaan pasti akan mencium pemberontakan kita ini,” kata Putri dengan penuh semangat. “Baiklah, Putri.” Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun demi tahun pun berlalu. Akhirnya, terdengar pula pergerakan yang dilakukan Putri Sarijati tersebut ketelinga pejabat-pejabat kerajaan. Pihak kerajaan menjadi resah karena semakin banyak penolakan-penolakan dan pertentangan-pertentangan dari masyarakat yang justru diakibatkan oleh pengaruh dari sang putri. Oleh karena itu, pihak kerajaan membentuk sebuah pasukan khusus untuk mencari keberadaan Putri Sarijati dan menangkapnya. Serapi apapun usaha yang direncanakan pihak kerajaan untuk menangkap Putri Sarijati, tetapi akhirnya diketahui pula oleh sang putri. Tak ketinggalan akal, Putri Sarijati pun pergi meninggalkan Kerajaan Majapahit menuju ke pesisir pantai utara Jawa. Usaha yang dilakukan pihak kerajaan pun tidak berhenti sampai di situ. Dengan pasukan yang telah dibentuk oleh pihak kerajaan, akhirnya tercium kabar bahwa Putri Sarijati bersembunyi di salah satu daerah di pesisir pantai utara Jawa. Kabar tentang keberadaan Putri Sarijati itu membawa angin segar bagi pihak kerajaan yang telah lama mengalami kegagalan dalam pencarian. Pihak kerajaan pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Pemimpin kerajaan segera mengirimkan pasukan untuk bergerak ke lokasi tempat persembunyian Putri Sarijati. “Panglima, segera kepung tempat persembunyian putriku! Jangan pernah hiraukan siapa dia sebenarnya. Meskipun dia adalah salah satu dari putriku tapi perbuatannya sangatlah memalukan kerajaan!” teriak Sang Prabu dengan geram. “Siap, perintah Paduka akan segera kami laksanakan. Hamba mohon diri untuk menangkap dan membawa Putri Sarijati ke hadapan Paduka Raja.” Akhirnya terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pihak kerajaan dengan pasukan dari rakyat yang telah digerakkan oleh Putri Sarijati. Pertempuran yang sangat tidak seimbang itu dimenangkan oleh pihak kerajaan. Putri Sarijati tertangkap pada saat beliau bertapa di tepi sungai yang berdekatan dengan pantai. Dalam penangkapan itu, Putri Sarijati gugur demi membela kepentingan rakyatnya dengan luka parah dan bersimbah darah. Darah Putri Sarijati yang bercucuran itu mengalir deras dari sungai hingga ke pantai. Masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai merasa heran melihat peristiwa tersebut. Mereka terkejut dengan warna air di sepanjang pantai yang tiba-tiba berubah menjadi merah dan berbau anyir bercampur dengan aroma wangi. Kemudian, para nelayan mencari asal-usul peristiwa tersebut. Akhirnya, para nelayan mengetahui bahwa warna merah pada air laut dan bau anyir yang berpadu dengan aroma wangi itu berasal dari jasad seorang wanita cantik yaitu Putri Sarijati, salah satu putri Kerajaan Majapahit yang telah gugur akibat pertempuran dengan pihak kerajaannya sendiri. Akhirnya, oleh warga sekitar jasad sang putri dimakamkan di lokasi di mana ditemukannya jasad tersebut. Hingga saat ini, makamnya masih terawat dengan baik di tempat itu. Sejak peristiwa tragis itu, akhirnya daerah tersebut dikenal dengan sebutan Jatisari dan Mbarwangen. Jatisari diambil dari nama Putri Sarijati yang dengan kelembutan hati dan keluhuran budinya rela meninggalkan kehidupan kerajaan dan membela kepentingan rakyatnya. Sedangkan nama Mbarwangen diambil dari kalimat semebar wewangian yang berasal dari jasad Putri Sarijati yang semerbak wangi di daerah sepanjang sungai tempat meninggalnya sang putri.